PERKAWINAN DAN PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH
A. Perkawinan
Pengertian
Pengertian Secara Bahasa
Az-zawaaj adalah kata dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua
perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan.Sebagaimana firman
Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):
“Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh)” (Q.S At-Takwir : 7)
dan firman-Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya mereka
disatukan dengan bidadari :
“Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata
jeli (Q.SAth-Thuur : 20)
Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut juga “Al¬-
Aqd, yakni bergandengan (bersatu)nya antara laki-laki dengan perempuan, yang
selanjutnya diistilahkan dengan “zawaaja?.
Pengertian Secara Syar’i
Adapun secara syar’i perkawinan itu ialah ikatan yang menjadikan halalnya
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan, dan tidak berlaku, dengan
adanya ikatan tersebut, larangan-larangan syari’at.
Lafadz yang semakna dengan “AzZuwaaj” adalah “An-Nikaah“; sebab nikah itu
artinya saling bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para
ulama tentang maksud dari lafadz “An-Nikaah” yang sebenarnya. Apakah berarti
“perkawinan” atau “jima’”.
Selanjutnya, ikatan pernikahan merupakan ikatan yang paling utama karena
berkaitan dengan dzat manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta
dan kasih sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya keturunan
dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang
berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
Tujuan Pernikahan
Dan yang terpenting dari tujuan pernikahan ada dua, yaitu:
1. Mendapatkan keturunan atau anak
2. Menjaga diri dari yang haram
Maksud Pertama “Mendapatkan Keturunan atau Anak“
Dianjurkan dalam pernikahan tujuan pertamanya adalah untuk mendapatkan
keturunan yang shaleh, yang menyembah pada Allah dan mendo’akan pada
orangtuanya sepeninggalnya, dan menyebut-sebut kebaikannya di kalangan
manusia serta menjaga nama baiknya.
Maksud Kedua : “Menjaga Diri dari yang Haram“
Tidak diragukan lagi bahwa yang terpenting dari tujuan nikah ialah memelihara dari
perbuatan zina dan semua perbuatan-perbuatan keji, serta tidak semata-mata
memenuhi syahwat saja. Memang bahwa memenuhi syahwat itu merupakan sebab
untuk bisa menjaga diri, akan tetapi tidaklah akan terwujud iffah (penjagaan) itu
kecuali dengan tujuan dan niat. Maka tidak benar memisahkan dua perkara yang
satu dengan lainnya, karena manusia bila mengarahkan semua keinginannya untuk
memenuhi syahwatnya dengan menyandarkan pada pemuasan nafsu atau jima’
yang berulang-ulang dan tidak ada niat memelihara diri dari zina, maka dimanakah
perbedaannya antara manusia dengan binatang ?
Oleh karena itu, maka harus ada bagi laki-laki dan perempuan tujuan mulia dari
perbuatan bersenang-senang yang mereka lakukan itu, yaitu tujuannya memenuhi
syahwat dengan cara yang halal agar hajat mereka terpenuhi, dapat memelihara diri,
dan berpaling dari yang haram.
Selain itu, juga bertujuan untuk:
1. Kelangsungan keturunan
2. Memenuhi hajat naluri untuk mendapatkan kasih sayang, ketenteraman
hidup.
3. Memenuhi perintah agama
4. Menimbulkan rasa tanggung jawab, hak dan kewajiban.
5. Membangun keluarga bahagia, masyarakat muslim damai.
Hukum perkawinan
Hukum dasar dari nikah adalah sunat dan berlaku pada seseorangterutama laki-laki
yang sudah berkeinginan untuk jima’ serta telahmampu untuk menikah.Mampu disini
didefinisikan bahwa ia mampuuntuk memberi mahar yang layak, menafkahi istrinya
dengan makan,minumdan kebutuhan sehari-hari lain dengan cukup, membelikan
pakaian , memberi rumah sekemampuannya dan mampu secara fisikuntuk
melakukan jima’.
Dan sebagaimana hukum lainnya yang berlaku pada manusia maka hukum nikah
pun bisa berubah secara kondisional.Nikah hukumnya menjadi wajib apabila
seseorang bernadzar untuk menikah selain itu juga ia wajib untuk menikah bila
selain dua hal diatas ia juga sudah memiliki keinginan untuk menikah serta telah
memiliki calon yang cocok serta takut akan jatuh kepada perbuatan zina bila tidak
menikah.
Sementara bila seseorang memiliki hasrat untuk berjima’ dan memiliki keinginan
untuk menikah tapi tidak memiliki kemampuan maka ia lebih utama untuk tidak
menikah sepanjang ia mampu untuk menahan diri untuk tidak berzina.
Hukum nikah juga berubah menjadi makruh pada seseorang yang tidak memiliki
kemampuan untuk menikah dan tidak pula memiliki keinginan untuk menikah serta
tidak memiliki kecenderungan untuk jatuh ke perbuatan zina Walaupun secara fisik ,
psikis maupun usia ia telah dianggap pantas menikah.
Hukum nikah juga bisa jatuh menjadi haram apabila niat salah satu pihak atau pihak
ketiga yang menikahkan atau memaksa mereka untuk menikah cenderung pada
upaya untuk mencelakakan atau mendzolimi pasangannya.
Dasar nikah
Dasar pernikahan menurut Islam adalah satu isteri (monogami), lebih dari satu isteri
adalah alternatif dengan syarat berat sekali (kemampuan lahir batin: Surat An Nisa
4: 3).
Rukun nikah
a. Wali calon mempelai wanita
b. Calon mempelai laki-laki dan wanita
c. Dua orang saksi
d. Mahar
e. Akad nikah
f. Di satu tempat (satu ruangan)
Wali nikah
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim digunakan di dalam
mazhab Syafi’i, disebutkan urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c) Saudara laki-laki kandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Kemenakan laki-laki kandung
f) Kemenakan laki-laki seayah
g) Paman kandung
h) Paman seayah
i) Saudara sepupu laki-laki kandung
j) Saudara sepupu laki-laki seayah
k) Sultan/hakim
l) Orang yang ditunjuk oleh mempelai wanita
Dari segi haknya:
Macam wali
a) Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan
yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai
perempuan.
Wali nasab terbagi menjadi dua:
1) Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya
untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada
wanita yang bersangkutan hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut
dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut Imam Syafi’i
hanya ayah, kakek dan seterusnya ke atas. Para ulama berpendapat
bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
(a) Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
(b) Laki-laki pilihan wali harus sekufu dengan wanita yang akan
dikawinkan.
(c) Di antara calon mempelai wanita dengan calon suami tidak ada
permusuhan
(d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.
(e) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap
isteri dan tidak ada kekhawatiran akan menyengsarakannya.
Catatan: Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wanita dapat
meminta fasakh ke pengadilan.
2) Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan
untuk memaksa menikahkan tanpa ijin/persetujuan dari wanita yang
bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan
menggunakan hak ijbar.
b) Wali Hakim.
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat
yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak
sebagai wali nikah.
Wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 2 Tahun
1987 tentang Wali Hakim. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah
apabila:
(1) Wali nasab tidak ada: memang tidak ada (kemungkinan calon mempelai
wanita kehabisan wali dalam arti semua wali nasab yang yang memenuhi
syarat telah meninggal dunia, calon mempelai wanita tidak mempunyai
wali karena wali lain agama dan merupakan anak luar kawin.
(2) Wali nasab tidak mungkin hadir : bepergian jauh, berhaji dan
melaksanakan umroh.
(3) Wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya;
(4) Wali nasab gaib (mafqud); diperkirakan masih hidup tetapi tidak diketahui
rimbanya.
(5) Wali nasab adlal atau enggan (setelah ada putusan Pengadilan Agama
tentang wali tersebut). Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan
wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya.
Sedangkan masing-masing pihak menginginkan adanya pernikahan
tersebut. Dalam kaitan ini, ada sebuah hadits yang yang bunyinya :
Apabila datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena
kekuatan agama dan akhlaknya. Nikahkanlah dia dengan anak
perempuanmu. Apabila kamu tidak menerimanya, akan terjadi bencana
dan kerusakan di muka bumi. Dengan demikian, baik Al-Qur’an maupun
hadits menjadikan ketaqwaan sebagai nilai utama dalam pemilihan jodoh.
Oleh karenanya dalam Pasal 61 KHI ditentukan bahwa Tidak sekufu tidak
dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama dan ikhtilaafu al dien.
Saksi nikah
1. Arti penting Saksi
Perkawinan adalah bentuk perjanjian, dan saksi mempunyai arti penting yaitu
sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan
tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak.
2. Syarat saksi.
Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu
ingatan dan tidak tuna rungu.
3. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung
akad nikah, menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan.
AKAD NIKAH
1. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang
diucapkan oleh mempelai pria dan wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
2. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan
tidak berselang waktu.
3. Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan kepada
orang lain.
. Ucapan (sighat) nikah, atau ijab qabul nikah
Ijab atau perkataan dari wali: “Hai...1) Saya nikahkan kamu dengan anak saya
bernama....2) dengan maskawin ....3) kontan/hutang....4)”. Langsung dijawab
(qa-bul) oleh calon pengantin laki-laki: “Saya terima nikahnya....2) anak Bapak,
dengan maskawin....3) kontan/hutang….4)”.
Keterangan:
1. Sebut nama pengantin laki-laki
2. Sebut nama pengantin wanita
3. Sebut nama dan ukuran maskawainnya. Misal: “emas seberat 5 gram”
4. Sebut “kontan” apabila maskawinnya ada dan dibayar kontan, dan sebut
“hutang” apabila maskawinnya dihutang
4. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Akan
tetapi, atas persetujuan mempelai wanita dan walinya, ucapan penerimaan kabul
dapat diwakilkan kepada pria lain dengan surat kuasa khusus.
5. Contoh redaksi ijab kabul yang diwakilkan
Ijab: Saya nikahkan puteri kandung saya bernama A kepada X bin Y yang telah
mewakilkan kabul nikahnya kepada C bin D dengan mas
kawin sebesar/seberat dibayar tunai.
Kabul: Saya terima pernikahan puteri kandung Bapak bernama A dengan X bin Y
yang telah mewakilkan kabulnya kepada saya dengan mas kawin
sebesar/seberat dibayar tunai.
Wanita yang haram dinikahi
Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikai. Dengan
mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim,
pengharaman’ ini terbagi dua:
Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya), yaitu
seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap waktu.
Kedua: Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan
berubah, gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal.
Sebab-sebab tahrim muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena
nasab, kedua haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena
penyusuan.
I. perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan).
II. perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami harus dukhul
”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan
puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh karena itu,
manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun belum sempat
(mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi mantan suami
ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi kalian belum bercampur
dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian campur), maka tidak berdosa kalian
menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar
dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak dengan sebab
hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
III. perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian;
saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang menjadi
haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139 no:5099, Muslim
II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’i
VI:99).
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua
orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula
dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang lain
haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara perempuan bapak susu
6. cucu perempuan dari Ibu susu
7. Saudara perempuan sepersusuan
Kedua, Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.” (An-Nisaa’:23).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh dikumpulkan
(dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan tidak (pula) dari
ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297 no:11359 Ibnu Majah I:621
no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98).
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus sebagai
isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal
bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia
masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu pada hadits dari Abu Sa’id
bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan negeri Authas. Lalu mereka
berjumla dengan musunya, lantar mereka memeranginya. Mereka berhasil
menaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mereka sebagai
tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan
untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-
orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan
ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali
budak-budak yang kamu miliki. ’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka
selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim
II:1079 no:1456, Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud
VI:190 no:2141).
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain
dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si suami
mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah :230).
5. Kawin dengan wanita pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak
halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali
masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha.
Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali
perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak
boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki yang musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”(An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-
Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan perang dari Mekkah dan di
Mekkah terdapat seorang pelacur yang bernama ’Anaq yang ia adalah teman
baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan
kepadanya ”Ya Rasulullah bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau
diam, lalu turunlah ayat, ”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku
kembali dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah engkau
menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48 no:
2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
Ta’lik thalak (janji setelah nikah)
Sighat taklik adalah suatu janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan
oleh suami setelah selesai prosesi akad nikah di depan penghulu, isteri, orang tua /
wali, saksi-saksi dan para hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut. Sighat
Ta'lik ini diucapkan jika proses akad nikah telah selesai dan sah secara ketentuan
hukum dan Agama Islam.
Di bawah ini adalah janji serta ucapan yang diucapkan oleh Suami / Mempelai Pria :
Bismillahirrohmanirrohim
Wa Aufuu Bil-Ahdi Innal-Ahda Kaana Mas-Uulaa "Tepatilah janjimu, sesungguhnya
janji itu kelak akan dituntut"
Sighat Ta’lik Yang Dibacakan Sesudah Akad Nikah Sebagai Berikut :
Sesudah akad nikah, saya (Nama Mempelai Pria) bin (Nama Ayah Mempelai Pria)
saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya
sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (Nama Mempelai
Wanita) binti (Nama Ayah Mempelai Wanita) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf)
menurut syariat agama Islam.
Selanjutnya saya membaca sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1. Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
2. Atau saya tiada memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu,
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya,
Perkawinan campuran
Pengertian Perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pandangan Islam Tentang Perkawinan campuran
Perkawinan dua orang pemeluk agama yang berbeda: Islam melarang. Mengapa
dilarang:
(1) Dalam satu keluarga harus satu aqidah
(2) Tujuan perkawinan untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang,
kesejahteraan; maka harus satu komando
Konflik keluarga
faktor penyebab yang paling memungkinkan terjadinya konflik antara suami dan istri.
1.) anak. Anak memang sering menjadi penyebab terjadinya konflik suami dan istri.
Sebagian besar menilai bahwa tingkah laku dan kenakalan anak memang
mendasari setiap kasus perselisihan mereka.
2.) keadaan ekonomi rumah tangga. Keadaan ekonomi rumah tangga dinilai
sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri.
Beberapa kasus terjadi justru karena ada perbedaan penghasilan antara suami dan
istri,terutama bila penghasilan istri lebih besar dibandingkan penghasilan suaminya.
Namun perselisihan lebih sering dipicu oleh kekurangan pendapatan yang mereka
peroleh.
3.) pihak keluarga lain. Pihak keluarga lain juga dinilai sebagai pemicu terjadinya
konflik antara suami dan istri. Mertua dan anggota keluarga lain sering menjadi
penyebab terjadinya perselisihan antara suami dan istri. Kemungkinan yang paling
besar bisa terjadi terutama bila mereka hidup dalam satu atap (mertua dan keluiarga
utamanya).
4.) perbedaan keyakinan (agama). Perbedaan keyakinan juga terbukti sering
menjadi faktor penyebab terjadinya konflik antara suami dan istri. Perbedaan
keyakinan antara suami,istri atau anak-anak secara tidak langsung akan
menyebabkan perbedaan prinsip dalam kehidupan mereka. Walau ada beberapa
kasus rumah tangga yang pluralis menemukan kebahagiaannya sendiri,namun
tingkat kesulitan mereka untuk berjuang mempertahankan setiap konflik yang terjadi
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hidup dalam satu keyakinan
yang sama.
5.) perselingkuhan. Perselingkuhan memang sering dianggap sebagai klimaks akibat
konflik yang terjadi,namun bagaimanapun juga perselingkuan adalah faktor
penyebab terjadinya konflik. Wanita atau pria lain yang masuk dalam ranah keluarga
menjadi maslah yang amat sulit bagi keluarga. Sebagian besar keluarga yang
menjalankan poligami merasa lebih nyaman daripada mereka saling
berselingkuh,dengan kata lain perselingkuhan bahkan juga menjadi faktor penyebab
konflik bagi keluarga yang menjalankan poligami.
. Pokok-pokok pembinaan rumah tangga
Prinsip hidup berkeluarga adalah Saling menyempurnakan, Saling menolong, Saling
mengasihi, Dan saling membesarkan hati untuk menanggung beban hidup.
Islam memandang kehidupan berkeluarga dari tiga sisi:
Pertama, masa perintisan kehidupan rumah tangga.
Kedua, masa menjalani kehidupan rumah tangga.
Ketiga, masa berakhirnya kehidupan rumah tangga, andaikata ditakdirkan berakhir.
Kehidupan berumah tangga ini, dibangun berlandaskan beberapa kaidah.
Kaidah pertama, pembinaan yang integral dalam pembentukan rumah tangga dan
anjuran untuk melaksanakannya.
Kaidah kedua, mengatasi hambatan-hambatan.
Kaidah ketiga, pemilihan yang baik dan perhatian terhadap keseimbangan suami-
istri dalam keturunan dan agama.
Jika rumah tangga telah dibangun di atas landasan ini, akan terwujudlah tolong-
menolong sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam.
FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi biologis :
a. Meneruskan keturunan
b. Memelihara dan membesarkan anak
c. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga
d. Memelihara dan merawat anggota keluarga
2. Fungsi Psikologis :
a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman
b. Memberikan perhatian di antara anggota keluarga
c. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga
d. Memberikan identitas keluarga
3. Fungsi sosialisasi :
a. Membina sosialisasi pada anak
b. Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan
anak
c. Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga
4. Fungsi ekonomi :
a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga
b. Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga
c. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan
datang (pendidikan, jaminan hari tua)
5. Fungsi pendidikan :
a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan
membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya
b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam
memenuhi peranannya sebagai orang dewasa
c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
Akibat perkawinan campuran
a. Kerenggangan antar keluarga suami/isteri
b. Keluarga berbeda agama akan terkucil dan sulit kembali ke keluarga besarnya
c. Kesulitan perkembangan anak
Kawin hamil
Kawin hamil adalah perkawinan antara wanita dengan pria yang
menghamilinya.Menurut Kompilasi Hukum Islam Bab VIII psl.53 wanita yang hamil
diluar nikah dapat dikawinkan dengan laik-laki yang menghamilinya tanpa terlebih
dahulu menunggu kelahiran anaknya. Keduanya tidak perlu melakukan nikah ulang
setelah anak yang dikandungnya lahir.
Mencari jodoh
Mencari calon isteri
Islam menganjurkan memiliki isteri yang sholihah, yaitu: mematuhi ketentuan
agama, jujur, bersikap luhur, memperhatikan hak suami dan memelihara anak
dengan baik.
Memilih wanita karena empat hal: kecantikannya, keturunannya, hartanya dan
agamanya. Pilihlah yang beragama, supaya selamat dirinya. Wanita sholihah adalah
wanita yang cantik, patuh, baik dan amanah. Perhatikan juga kufunya: umur,
kedudukan sosial, dan pendidikan.
Memilih calon suami
Syarat calon suami: berakhlak mulia, baik keturunan, tidak zalim, tidak fasik, bukan
ahli bid’ah, bukan pemabuk, tidak jahat, dan sedikit berbuat dosa.
Meminang
Meminang adalah laki-laki meminta kepada seorang wanita untuk menjadi isterinya.
Tujuan untuk saling mengenal antara calon isteri dan suami sehingga pada saat
pernikahan benar-benar berdasar pemikiran yang jelas dan benar.
Yang boleh dipinang adalah wanita:
- Pada sat dipinang tidak ada halangan hukum untuk dipinang
- Belum dipinang oleh orang lain
Dilarang meminang:
- Bekas isteri orang lain yang sedang ‘ iddah
- Wanita yang sudah dipinang orang lain
Haram menyendiri dengan tunangan sebelum menikah. Bahaya menyendiri
(pacaran: wanita kehilangan harga diri, rasa malu, hilang kegadisannya, bahkan
dapat hilang kesempatan menikah. Membatalkan pinangan tercela, dipandang
sebagai munaf.
SYARAT CALON MEMPELAI :
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya :
1. Laki-laki
2. Beragama Islam
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya :
1. Perempuan
2. Beragama, meskipun Yahudi atau nasrani
3. Jelas orangnya
4. Dapat dimintai persetujuan
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
BEBERAPA ISTILAH :
Lian : sumpah bersaksi Allah bahwa suami menuduh istrinya
Berzina
Ila : ucapan suami tidak menggauli istrinya selama empat
bulan atau lebih
Khulu : talak tebus, yaitu talak yang diucapkan oleh suami
dengan pembayaran dari pihak istri kepada suami
Zihar : seorang suami menyerupakan istrinya dengan ibunya,
sehingga haram bagi suami.
Iddah : masa menanti yang diwajibkan atas wanita yang dicerai
suaminya.
Rujuk : mengembalikan istri yang telah dicerai pada perkawinan
asal sebelum diceraikan.
Referensi
http://www.lawskripsi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=92&Itemid=92
http://alislamu.com/content/view/398/6/
http://elisa.ugm.ac.id/chapter_view.php?HKU.304_Hartini&685
http://organisasi.org/sighat-ta-lik-yang-dibacakan-sesudah-akad-nikah-oleh-suami-dalam-
pernikahan-perkawinan-islam
http://blog.ilmukeperawatan.com/konsep-keluarga.html
http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=989
http://grahita.wordpress.com/2010/03/04/5-faktor-penyebab-terjadinya-konflik-antara-suami-
dan-istri/
http://psikologiuinjkt2004.wordpress.com/2007/09/23/perkawinan-campuranperkawinan-
campuran-dalam-hukum-positif-di-indonesia/