PELAKSANAAN PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi Pekon Bumi Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir
Barat)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas – tugas Dan memenuhi syarat – syarat guna
memperoleh gelarSarjana Hukum (SH)
Dalam ilmu Syariah
Disusun oleh :
RIA RAFIKA
NPM : 1321010072
Jurusan : Ahwal Al-Shakhshiyah
FAKULTAS SYARIAHSYARI’AH AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
1440 H /2019 M
ii
ABSTRAK
Melihat dari berbagai aturan yang masih berlaku, maka segala jenis
perkawinan sah-sah saja selama mengikuti aturan tersebut, termasuk pula
perkawinan campuran. Perkawinan campuran menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan indonesia. Dengan demikian kabupaten pesisir barat
khususnya di Pekon Bumi Agung (pantai tanjung setia) mempunyai potensi
dibidang pariwisata yang cukup besar sehingga menarik wisatawan untuk datang
dan menetap di Pekon Indonesia khususnya Pekon Bumi Agung. Bukan hanya
pariwisata yang membuat daya tarik para wisatawan tapi penduduknya juga
membuat para wisatawan untuk tetap tinggal di Pekon Bumi Agung dan
melakukan perkawinan campuran.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan perkawinan
campuran jika ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif pada Masyarakat
Pekon Bumi Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum
Islam dan Hukum Positif tentang perkawinan campuran di Pekon Bumi Agung
Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (field research). Data
primer dilakukan dengan wawancara, dan dilengkapi oleh data sekunder yaitu
buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan pokok bahasan. Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif yaitu metode yang data hasil penelitiannya
lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan dilapangan.
Pengolahan analisis data ini menggunakan metode berfikir induktif, berangkat
dari fakta-fakta yang khusus atau peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian dari
fakta itu ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pada masyarakat
Bumi Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat, perkawinan
campuran yang terjadi di karenakan adanya wisatawan asing yang berkunjung ke
Kabupaten pesisir barat dan bisa untuk tinggal dalam jangka waktu yang lebih
lama, serta rasa ingin wisatawan asing memiliki tanah atau tempat tinggal di
kabupaten pesisir barat. Oleh karna itu alasan terbesar wisatawan asing melakukan
perkawinan campuran agar bisa memiliki kepemilikan tanah tersebut dengan
menggunakan nama suami/istri. Menurut hukum Islam dan Hukum positif bahwa
Hukum yang berlaku bagi perkawinan campuran adalah tergantung pada prinsip
yang di anut masing-masing negara untuk status personal warganegaranya dan
perkawinan sah bila di lakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan kedua mempelai. Apabila perkawinan tersebut telah di langsungkan
secara agama atau dengan kata lain tidak di lakukan di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama (KUA), maka hanya memperoleh surat keterangan
menikah, namun tidak memperoleh salinan Akta Nikah (Buku Nikah dari KUA).
Dengan demikian, langkah hukum yang dapat di tempuh adalah dengan
mengajukan permohonan itsbat nikah pada Pengadilan Agama setempat.
v
MOTTO
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”1
1Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2010),
h. 68.
vi
PERSEMBAHAN
Skipsi ini ku persembahkan kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta, Ayahanda Supriyanto dan Ibunda Kesuma Wati yang
telah membimbingku dengan penuh kesabaran, pengertian dan penuh kasih
sayang yang tak terhingga dan telah memberikan materi maupun inmateri,
karena setetes keringat kalian adalah berjuta-juta semangatku untuk
menyelesaikan studiku ini, walaupun anakmu ini memberikan sekuntum
bunga dari surge dan membawakan lautan dan gunung-gunung dihadapan mu
takan pernah cukup membalas jasa-jasa yang telah diberikan kepada anakmu
ini.
2. Untuk Kakakku tersayang Riki Rikanda (Alm), terima kasih semasa hidupmu
telah menjadi seorang kakak yang luar biasa, banyak memberikan pelajaran
berharga, dorongan dan motivasi dalam hidupku.
3. Untuk adikku tersayang Yosi Yanfriska yang selalu memberikan dorongan
dan motivasi untukku dalam menyelesaikan study ini.
4. Almamater UIN RadenIntan Lampung
vii
RIWAYAT HIDUP
Ria Rafika, dilahirkan di Bumi Agung pada tanggal 24 juni 1995, anak Ketiga
dari Empat bersaudara, lahir dari pasangan Bapak Supriyanto dan Ibu Kesuma
Wati Pendidikan dimulai dari TK di Biha dan selesai pada tahun 2001.
Kemudian melanjutkan sekolah di SDN 1 Tanjung Setia di Tanjung Setia dan
selesai pada tahun 2007. Setelah itu melanjutkan sekolah di SMP N 1 Pesisir
Selatan dan selesai pada tahun 2010. Kemudian melanjutkan sekolah di SMA N 1
Biha dan selesai pada tahun 2013. Kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Fakultas Syari’,Jurusan Al-
Ahwal Al-Syakhsiyah pada tahun 2013.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “ Pelaksanaan Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Islam dan
Hukum Positif (Studi Pekon Bumi Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten
Pesisir Barat) ” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan pengikut-pengikutnya yang setia.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi pada
program Strata Satu (S1) Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah,
UIN Raden Intan Lampung guna memperoleh penyelesaian skripsi ini.
Penyelesaian skripsi ini tidak akan terlaksana tanpa adanya bantuan, kerjasama,
bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag selaku rektor Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung yang selalu memotivasi mahasiswa untuk menjadi
pribadi berkualitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islami.
2. Bapak Dr. Khairuddin Tahmid, M.H., selaku Dekan Fakultas Syari’ah
yang senantiasa tanggap terhadap kesulitan mahasiswa.
3. Bapak Marwin S.H., M.H, selaku ketua jurusan dan sekretaris jurusan Al-
Ahwal Al-Syakhsiyahyang senantiasa sabar dalam memberikan arahan
serta motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
ix
4. Ibu Yufi Miyos Rini Masykuroh, S. Ag., M.Siselaku pembimbing I dan
Bapak Marwin S.H., M.H selaku pembimbing ke II yang telah
meluangkan banyak waktunya untuk mengarahkan penulis hingga
penulisan skripsi ini selesai.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta Karyawan pada Fakultas Syaria’ah UIN Raden
Intan Lampung yang telah memberikan ilmu serta motivasi yang
bermanfaat kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi.
6. Pimpinan dan karyawan perpustakaan pada Fakultas Syari’ah, Institut,
serta perpustakaan daerah yang telah memberikan informasi, data,
referensi, dan lain-lain.
7. Sahabat-sahabatku Panditra, AnnisaShafitri, Ida Liza,dan teman-teman
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimaksih atas
kasih sayang, bantuan, dukungan, dan motivasi serta semangat yang kalian
berikan.
8. Buat seseorang yang selalu memotivasiku Napoleon Pradana, terima kasih
atas kesabaran dan keikhlasanmu yang selalu menemani dan memberikan
motivasi kepadaku.
9. Teman-teman seperjuangan khususnya kelas A, Jurusan Al-Ahwal Al-
Syakhsiyah, angkatan 2013 yang selalu bersama selama proses
perkuliahan serta memberikan dukungan, semangat, dan bantuan dalam
proses penelitian dan penulisan skripsi ini.
10. Keluarga Besar Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII Rayon Syariah dan
Rayon FEBI) Cabang Bandar Lampung.
x
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan
dikarenakan keterbatasan waktu, dana, dan kemampuan yang penulis miliki. Maka
dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
guna melengkapi hasil penelitian ini. Peneliti berharap penelitian ini akan menjadi
sumbangan yang berarti dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam
pembangunan wilayah yang disertai dengan landasan Islam di abad modern ini.
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis
RiaRafika
NPM.1321010072
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
ABSTRAK ......................................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv
MOTTO ............................................................................................................. v
PERSEMBAHAN ............................................................................................. vi
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul .................................................................................... 1
B. Alasan Memilih Judul ........................................................................... 2
C. Latar Belakang ...................................................................................... 3
D. Rumusan Masalah ................................................................................. 6
E. TujuanPenelitian .................................................................................... 6
F. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 6
G. MetodePenelitian .................................................................................. 6
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan ..................................................................... 12
2. Dasar Hukum Perkawinan ............................................................... 16
3. Tujuan Perkawinan ........................................................................... 20
xii
4. Rukun dan Syarat Perkawinan ......................................................... 24
5. Hikmah Perkawinan ......................................................................... 27
B. Perkawinan Campuran
1. Pengertian Perkawinan Campuran ................................................... 30
2. Tujuan Perkawinan Campuran ......................................................... 35
3. Syarat Syah Perkawinan Campuran dalam Hukum Positif .............. 37
4. Prosedur Perkawinan Campuran dalam Hukum Positif ................... 38
5. Prosedur Perkawinan Campuran Dalam Hukum Islam.................... 42
BAB III. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah ................................................................................. 45
1. Kondisi Geografis ............................................................................ 45
2. Kondisi Demografi ........................................................................... 46
3. Struktur Organisasi Pemerintahan Pekon Tanjung Setia ................. 53
4. Sarana dan Prasarana Pekon Tanjung Setia ..................................... 57
B. Sistem Pernikahan dalam Masyarakat Pekon Bumi Agung ................. 58
C. Sistem Pelaksanaan Perkawinan Campuran ......................................... 61
BAB IV. ANALISA DATA
A. Pelaksanaan Perkawinan Campuran ditinjau dari Hukum Islam dan
Hukum Positif pada Masyarakat Pekon Bumi Agung Kecamatan
Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat .............................................. 65
BAB V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 75
B. Saran .................................................................................................... 76
xiii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN – LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Sebagai kerangka awal guna mendapatkan gambaran yang jelas dan
memudahkan untuk memahami proposal ini. Maka perlu adanya uraian
terhadap penegasan arti dan makna dari beberapa istilah yang terkait dalam
proposal ini. dengan penegasan tersebut diharapkan tidak akan terjadi kesalah
pahaman terhadap pemaknaan judul dari beberapa istilah yang digunakan,
disamping itu langkah ini merupakan proses penekanan terhadap pokok
permasalahan yang akan dibahas.
Penelitian ini berjudul “Pelaksanaan Perkawinan Campuran
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Hukum Positif” untuk lebih memahami
maksud dari penulisan tersebut maka penulis akan memaparkan beberapa
permasalahan dalam judul tersebut yang berlandaskan teori dengan sumber-
sumber yang dapat di pertanggung jawabkan.
Pelaksanaan adalah proses, cara, perbuatan.1
Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarga negaraan Indonesia.2
Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.3
1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2008), h. 1059 2 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafika, 2012), h. 103.
3 Pusat Bahasa, Op.Cit. h. 167.
2
Hukum Positif adalah hokum yang sedang berjalan atau hukum yang
sedang berlaku saat ini juga pada suatu Negara.4
Pekon adalah pembagian wilayah pada beberapa kabupaten di Provinsi
Lampung atau Pekon sama dengan sebutan Desa.
Berdasarkan pengertian diatas maka maksud dari judul proposal ini
adalah menganalisis pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang
perkawinan campuran.
B. Alasan Memilih Judul
Alasan memilih judul proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Alasan Objektif
a. Alasan Objektif penulis ingin melakukan penelitian tersebut karena
melihat potensi wisata yang dimiliki Pekon Bumi Agung sangat
berpengaruh terhadap datangnya wisatawan yang menetap di Pekon
Bumi Agung dengan melakukan perkawinan campuran.
b. Perkawinan campuran harus dilakukan sesuai dengan ketetntuan yang
telah diatur dalam hukum Islam dan hokum positif Indonesia
khususnya UUP. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apakah
perkawinan campuran yang terjadi di Pekon Bumi Agung telah sesuai
atau tidak dengan ketentuan yang diatur dalam hukum Islam dan
hukum positif.
4 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158.
3
2. Alasan Subjektif
a. Permasalahan ini cukup menarik bagi penulis, dimana penulis ingin
memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaca sebagai
pembelajaran mengenai pandangan hukum islam dan hukum positif
tentang pelaksanaan perkawinan campuran.
b. Kajian ini sesuai dengan disiplin ilmu penulis, yaitu hukum islam serta
didukung oleh ketersediaan data-data dan literatur yang di butuhkan
dalam penelitian sehingga memungkinkan penelitian ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
C. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia, dimana perkawinan yang merupakan peristiwa persatuan dari kedua
belah pihak, yaitu dari pihak pria (suami) dengan seorang wanita (istri).
Perkawinan tidak hanya menimbulkan akibat baik terhadap suami dan istri
saja, namun perkawinan juga menimbulkan akibat terhadap keluarga.5
Perkawinan berdasarkan undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP),
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6
Melihat dari berbagai aturan yang masih berlaku, maka segala jenis
perkawinan sah-sah saja selama mengikuti aturan tersebut, termasuk pula
perkawinan campuran. Pengertian perkawinan campuran menurut Undang-
5 Subekti, hukum keluarga dan hukum waris, (Jakarta: Intermasa, 2002), h. 1
6Muhammad Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1993), h. 103
4
Undang Perkawinan adalah “ perkawinan antara dua orang yang di indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Pengertian perkawinan
campuran menurut UUP adalah lebih sempit apabila dibandingkan dengan
perkawinan campuran dalam GHR. Untuk dapat melangsungkan perkawinan
campuran diperlukan syarat-syarat menurut (UUP).7
Akibat hukum perkawinan campuran dapat berdampak terhadap status
kwarganegaraan suami istri dan kewarganegaraan ibunya. Akibat hukum
yang lain dari perkawinan campuran di Indonesia dan bertempat tinggal di
Indonesia dapat dianologikan dengan 8 akibat perkawinan campuran yang
diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 UUP.
Perkawinan campuran yang diatur dalam UUP berbeda dengan
perkawinan campuran yang terdapat dalam Stb 1898 No. 158. Perkawinan
campuran menurut Stb 1898 No. 158 Pasal 1 menyebutkan perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang tunduk pada Hukum-hukum
yang berlainan. Perkawinan campuran menurut Stb 1898 No. 158 ruang
lingkupnya lebih luas karena selain berbeda kewarganegaraan juga
perkawinan dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat dan golongan.
Sedangkan, perkawinan campuran menurut UUP ruang lingkupnya lebih
7 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.
68. 8 Zainudin Ali, Op.Cit. h. 103.
5
sempit karena hanya berbeda kewarganegaraan dan salah satu pihaknya harus
warga negara Indonesia. 9
Dewasa ini banyak terjadi perkawinan campuran di Indonesia yang
salah satunya adalah Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung. Provinsi
Lampung memiliki 15 (Lima Belas) Kabupaten/Kota yang salah satunya
adalah Kabupaten Pesisir Barat. Secara Topografi Kabupaten Pesisir Barat
dapat dibagi dalam 4 unit Topografi. Kabupaten Pesisir Barat secara umum
termasuk kedalam dataran rendah yang diapit dalam pegunungan Bukit
Barisan sebelah timur dan samudra Indonesia sebelah barat.10
Salah satu yang dimiliki kabupaten pesisir barat yaitu potensi
pariwisata dimana lautnya merupakan laut lepas samudra hindia. Ombaknya
salah satu ombak terbesar didunia yang menjadi favorit para peselancar lokal
maupun luar negeri, pantainya yang indah dan pasir putihnya yang landai.
Ada beberapa pantai yang dikelola secara swadaya yaitu pantai Labuhan
Jukung, pantai Tanjung Setia Pekon Bumi Agung dan Pulau Pisang, semua
ini merupakan daya tarik sendiri bagi semua pihak untuk mengunjunginya
baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara.
Dengan demikian kabupaten pesisir barat khususnya di Pekon Bumi
Agung (pantai tanjung setia) mempunyai potensi dibidang pariwisata yang
cukup besar sehingga menarik wisatawan untuk datang dan menetap di Pekon
Indonesia khususnya Pekon Bumi Agung. Bukan hanya pariwisata yang
membuat daya tarik para wisatawan tapi penduduknya juga membuat para
9 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), h. 23
10 http//pesisirbaratkab.blogspot.co.id/2014/03/letak-geografis-kabupaten-pesisir-
barat.html
6
wisatawan untuk tetap tinggal di Pekon Bumi Agung dan melakukan
perkawinan campuran.
D. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan campuran pada Masyarakat Pekon
Bumi Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang pelaksanaan
perkawinan campuran pada Masyarakat Pekon Bumi Agung Kecamatan
Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat?11
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:.
a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perkawinan campuran pada
Masyarakat Pekon Bumi Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten
Pesisir Barat.
b. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif
tentang perkawinan campuran di Pekon Bumi Agung Kecamatan Pesisir
Selatan Kabupaten Pesisir Barat.
F. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini adalah untuk mengembangkan
kajian tentang pelaksanaan perkawinan campuran.
11
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 422
7
b. Sebagai syarat khusus untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syari’ah di UIN Raden Intan Lampung.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian
lapangan (field research). Penelitian lapangan (field research) adalah
penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan dengan latar
belakang dan kondisi saat ini dari subjek yang diteliti serta interaksinya
dengan lingkungan.12
Mengingat penelitian ini menggunakan penelitian
lapangan maka dalam mengumpulkan data-datanya mengambil dari
lokasi penelitian yang berkenaan dengan permasalahan tersebut, yaitu
di Pekon Bumi Agung, Kecamatan Pesisir Selatan.
Selain lapangan penelitian ini juga menggunakan penelitian
kepustakaan (library research) sebagai pendukung dalam melakukan
penelitian. Penulis menggunakan berbagai literatur yang ada
diperpustakaan yang relevan dengan masalah yang diangkat penulis.
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif yaitu penelitian
yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada
sekarang berdasarkan data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis
12
Etta Mamang Sangadji, Metode Penelitian, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), h. 21
8
dan menginterprestasi.13
Dalam penelitian ini penulis akan
mendeskripsikan pelaksanaan perkawinan campuran.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a. Data Primer
Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh
subjek yang dapat dipercaya, dalam hal ini adalah subjek penelitian
(informan) yang berkenaan dengan variabel yang diteliti.14
Dalam hal ini
dari hasil observasi awal peneliti menetapkan bahwa pihak-pihak yang di
jadikan sebagai sumber data pada penelitianan ini meliputi pihak Kantor
Ursuan Agama (KUA) Kecamatan Pesisir Selatan dan hasil wawancara
kepaada masyarakat yang bersangkutan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
grafis (tabel, catatan, notulen rapat, SMS, dan lain-lain), foto-foto film,
rekaman video, benda-benda dan lain-lain yang dapat memperkaya data
primer.15
Data sekunder yang diperoleh peneliti dari Al-Qur’an, Hadis,
buku-buku, jurnal, artikel, dan data monografi Pekon Bumi Agung,
Kecamatan Pesisir Selatan yang mempunyai relevansi dengan
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini.
13
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015),
h. 44 14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2013), h. 22 15
Suharsimi Arikunto, Ibid, h. 22.
9
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam usaha menghimpun data dilokasi penelitian, penulis
menggunakan beberapa metode, yaitu :
a. Interview (wawancara)
Interview (wawancara) adalah proses tanya-jawab dalam penelitian
yang bserlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap
muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan.16
Pada praktiknya penulis menyiapkan daftar
pertanyaan untuk diajukan secara langsung kepada masyarakat untuk
mengetehui pelaksanaan perkawinan campuran.
b. Dokumentasi
Mengumpulkan data melalui data yang tersedia yaitu biasanya
berbentuk surat, catatan harian, cendera mata, laporan, artefak, foto dan
dapat juga berbentuk file di server, dan flashdisk serta data yang
tersimpan di website. Data ini bersifat tidak terbatas pada ruang dan
waktu.17
Data-data tentang masyarakat Pekon Bumi Agung, Kecamatan
Pesisir Selatan.
4. Pengolahan Data
Data-data yang terkumpul kemudian diolah, pengolahan data di
lakukan yakni dengan cara menimbang, menyaring, mengatur dan
mengklasifikasikannya. Menimbang dan menyaring data adalah benar-
benar memilih secara hati-hati data yang relevan, tepat dan berkaitan
16
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Op.Cit, h. 83. 17
Juliyansyah Noor, Metode Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011),h. 141.
10
dengan masalah yang tengah diteliti. Mengatur dan mengklasifikasikan,
yaitu menggolongkan, menyusun, menurut aturan tertentu.18
pada
umumnya pengolahan data dilakukan dengan cara :
Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang
terkumpul sudah cukup lengkap, benar dan sesuai atau relevan
dengan masalah.19
5. Analisis Data
Setelah kelanjutan dari pada kegiatan pengumpulan data yang telah
didapat tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif. Kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang mengasilkan
data deskriptif berupa kata-kata, lisan dari orang-orang yang berprilaku
yang dapat dimengerti.20
Dengan cara memaparkan informasi-informasi
faktual yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan yang berkaitan
dengan keharmonisan rumah tangga terhadap pernikahan dengan orang
asing, yang kemudian dianalisis dengan berbagai teori yang berkaitan
dengan pokok permasalah dalam penelitian ini.
Analisis kualitatif ini digunakan dengan cara menguraikan atau
merinci kalimat-kalimat yang ada dengan menggunakan pendekatan
deduktif yaitu “menarik kesimpulan dimulai dari pernyataan umum
menuju pernyataan khusus dengan menggunakan penalaran atau rasio
(Berfikir Rasional)”. Pengertian analisis disini di maksud sebagai suatu
18
Ibid, h. 86. 19
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian,(Bandung: PT.Cipta Aditya Bakti,
2004), h. 126. 20
Lexy L Moloeng. Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja Perda Karya,
2001), h. 3.
11
penjelasan dan penginterprestasian secara sistematis logis yang
menunjukkan cara berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam
mengikuti penulisan laporan-laporan yang merupakan jawaban atas
permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini dengan menggunakan
pendekatan berfikir deduktif. Metode ini di gunakan sebagai analisis dari
berbagai literaatur atau sumber data yang sudah di kumpulkan berkaitan
dengan analisis hukum islam dan hukum positif tentang pelaksanaan
perkawinan campuran.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Kawin dalam Islam dikenal dengan istilah nikah atau tazwij, secara
harfiyah adalah :
الوطء والضم “bersenggama atau bercampur”
Tumbuh-tumbuhan kawin apabila satu dan lainnya saling bertemu dan
berkumpul.
Secara syar’i nikah adalah :
عقد ي تضمن اباحة وطء بلفظ انكاح أو تزءويج Artinya: “Suatu aqad yang mengandung kebolehan untuk melakukan
hubungan sebagai suami isteri dengan menggunakan lafadz
“inkah”(menikahkan), atau lafadz “tadzwij (mengawinkan).
Kata nikah itu sendiri secara hakiki berarti aqad, yaitu aqad antara
calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagaimana suami
isteri dan secara majazi berarti persetubuhan.
Q.S. Al Baqarah 237
Artinya :“Ikatan perkawinan ada ditangannya”.
13
Fuqaha berbeda dalam memberikan definisi nikah.
1. Golongan Hanafiyah :
عة قصدا ت النكاح بأنو عقد يفيد ملك امل
Nikah adalah akad yang memanfaatkan pemilikan untuk
bersenang-senang (dengan isterinya) secara sengaja.
2. Golongan Syafi’iyyah :
النكاح بأنو عقد ي تضمن ملك وطء بلفظ انكاح أو ت زويج أو معنا هاNikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan
untuk bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwiz
atau dengan lafadz yang memiliki kesamaan arti dengan nikah
atau tadzwiz.
3. Golongan Malikiyah :
عة الت لذذ بأدمية غ ر موجب قيمت هاالنكاح بأنو عقد على مرد مت ي Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-
mata untuk membolehkan berhubungan suami isteri, bersenang-
senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita
yang boleh nikah dengannya.
4. Golongan Hanabilah :
النكاح عقد بلفظ انكاح أو ت زويج على من فعة االستمتاع
14
Nikah adalah akad dengan menggunakan lafadz nikah atau tajwiz,
guna mebolehkan untuk mengambil manfaat bersenang-senang
dengan wanita.
Menurut Subekti, Pernikahan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu yang lama.1
Menurut Sudarsono pernikahan atau perkawinan adalah aqad yang bersifat
luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya
sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan
mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan, dan sling
menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.2 Menurut Wirjono
Prodjodikoro, pernikahan adalah suatu hidup bersama antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk
dalam peraturan.3
Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu
akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan
tidak mewajibkan adanya harga. Ulama Hanabilah mengatakan bahwa
pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafazh nikah atau tazwij
untuk mendapatkan kepuasan, artinya seorang laki-laki dapat memperoleh
kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.4
1 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Kedua Puluh Sembilan, (Jakarta: PT
Intermasa, 2001), h. 23 2 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cetakan Ketiga, (Jakarta: PT Asdi
Mahasatya, 2005), h. 2 3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung:
Sumur), 1981, h. 7 4 Ibid.,
15
Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqih Al-Islam Wa
Adillatuhu, nikah adalah suatu akad yang telah ditetapkan oleh syari’at
yang berfungsi untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki untuk
bersenang-senang dengan perempuan, dan menghalalkan seorang
perempuan bersenang-senang dengan laki-laki. Maksudnya, pengaruh akad
ini bagi lelaki adalah memberikan hak kepemilikan secara khusus, maka
lelaki lain tidak boleh memilikinya, sedangkan pengaruhnya kepada
perempuan adalah sekedar menghalalkan bukan memiliki hak secara
khusus. Oleh karenanya boleh dilakukan poligami, sehingga hak
kepemilikan suami merupakan hak seluruh istrinya. Lebih gamblangnya,
syari’at melarang poliandri dan membolehkan poligami.5
Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan definisi
tentang perkawinan antara lain: Menurut Sajuti Thalib, pernikahan adalah
suatu perjanjian suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga
yang kekal, santun, menyantuni, kasih mengasihi, tenteram, dan bahagia.
Perkawinan itu ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian di sini untuk
memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta
penampakannya kepada masyarakat ramai.6
5 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani
dkk, Jilid IX, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 39 6 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1974), h. 47
16
Dari beberapa definisi daiatas terlihat bahwa nikah itu merupakan
perjanjian hukum (aqad) untuk membolehkan seorang lakai-laki
memanfaatkan seorang wanita untuk menikmati kenikmatn yang awal
mulanya merupakan perbuatan diharamkan, menjadi dihalalkan dengan
telah mengutarakan akad yang benar.
Berakar dari pemikiran bahwa nikah bukan hanya untuk menikmati
kesenangan belaka sebagaimana suami isteri secara sah, namun dari sudut
tujuan dan hikmahnya, haruslah diperhatikan serius, maka dari itu perlu
adanya pengertian yang dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya
dewasa ini.
Ulama’ konterporer dalam memberikan definisi nikah, memperhatikan
adanya unsur hak dan kewajiban yang terjadi adanya pernikahan. Demikian
ini adalah logis bahwa dengan adanya proses pernikahan yang sah akan
mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban antara suami dan isteri,
sehingga pasangan suami dan isteri menjadi terikat dengan sendirinya,
akhirnya keduanya antara suami dan isteri saling menjaga dan bertanggung
jawab dalam keluarga.
Demikian sejalan dengan pengertian yang diungkapkan oleh
Muhammad Abu Israh :
عقد يفيد حل عشرة ب ي الرجل والمرأة وت عونا ويد مالكيهما من حقوق وما عليو من واجبات
17
Nikah adalah akan yang memberikan faedah hukum kebolehan
untuk mengadakan hubungan suami isteri antara seorang pria dan
seorang wanita serta mengadakan tolong menolong dan memberikan
hak-hak dan kewajiban antara mereka.
Pengertian ini memberikan arti bahwa dalam perkawinan terdapat
kandungan untuk saling mendapatkan hak dan kewajiban, serta bertujuan
mengadakan pergaulan yang dilandsi saling tolong menolong.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran
kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan
dengan akibat perkawinan tersebut.7
Allah berfirman dalam Al-Qu’ran Surat Adz-Dzariyat ayat 49
sebagai berikut:
Artinya: “dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.8
Allah SWT berfirman:
7 Tihani dan Sahroni S, Fikih Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 9
8 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Tehazed, 1990), h.
18
Artinya: “Dan nikahlah orang-orang yang masih membujang diantara
kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nūr (24)
: 32)9
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.” (QS. Ar-Rūm (30) : 21)10
Perkawinan yang merupakan sunnatullah pada dasarnya adalah
mudah. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh rasulullah SAW sebagai
berikut:
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنو أغض للبصر و أحصن )للفرج فمن مل يستطع فعليو بالصوم فإنو لو وجاء)رواه البخاري و مسلم
“Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda kepada kami, Hai para pemuda! Barang siapa
diantara kamu sudah mampu kawin, maka kawinlah. Karena dia
itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan
siapa yang belum mampu hendak lah dia berpuasa karena dapat
menahan. ”(HR. Bukhari Muslim)”
9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya, CV. Pustaka Agung
Harapan, 2006), h. 494 10
Az-Zikr, Al-Quran dan Terjemahnya, Cet. Ketujuh Belas, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016), h. 838
19
Dari penjabaran dua dalil diatas, dapat diambil maslahatnya sebagai
berikut:
1. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah SWT bagi hambany-Nya.
Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama),
afdhal (paling utama) dan mutawassih (pertengahan). Maslahat
yang peling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung
kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapt
mendatangkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis
ini wajib dikerjakan.
2. Maslahat yang disunnahkan oleh syar’I kepada hamba-Nya demi
untuk kebaikan, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit
dibawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkat ke
bawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat masalahat yang
ringan yang mendekati maslahat mubah.
3. Maslahat Mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari
kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah.
Imam Izzadin berkata “Maslahat mubah dapat dirasakan secara
langsung”. Sebagian diantaranya lebih bermanfaat dan lebih besar
kemaslahatannya dari sebagian yang lain. Maslahat mubah ini tidak
berpahala.11
Dengan demikian, dapat diketahui secara jelas tingkat maslahat
taklif perintah (thalabal fi’il), taklif takhyir, dan taklif larangan (thalabal
11
M. Abu Zahrah, Ushul Fikih terjemahan Ma’shum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
h.558-559
20
kaff). Dalam taklif larangan kemaslahatannya adalah menolak
kemafsadatan dan mencegah kemufdaratan. Di sini perbedaan tingkat
larangan sesuai dengan kadar kemampuan merusak dan dampak negatif
yang ditimbulkannya. Kerusakan yang ditimbulkan perkara haram tentu
lebih besar dibanding kerusakan pada perkara makruh. Meski pada
masing-masing perkara haram dan makruh masih terdapat perbedaan
tingkatan, sesuai dengan kadar kemafsadatannya keharaman dalam
berbuat zina, misalnya tentu lebih berat dibandingkan keharaman
merangkul atau mencium wanita yang bukan muhrim, meskipun keduanya
sama-sama perbuatan haram. 12
Oleh karna itu, meskipun perkawinan itu
asalnya mubah, namun dapat berubah menurut akhmal-khamsah (hukum
yang lima) menurut perubahan keadaan:
1. Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang
akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dariperbuatan haram.
Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah.13
2. Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tampat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri isteri.
12
Tihani dan S.Sahroni, Op.Cit. hlm. 1 13
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2003), h. 7
21
3. Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang yang mampu tetapi ia
masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam14
hal seperti ini maka nikah lebih baik dari pada membujang karna
mambujang tidak diajarkan dalam Islam.
4. Nikah mubah. Yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk menikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib
nikah dan tidak haram bila tidak nikah. 15
3. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa
Rosulallah Saw., yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan
duniawi dan ukhrowi. Menurut Zakiyah Darajat dkk, mengemukakan lima
tujuan dalam perkawinan,16
yaitu:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
Naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai
keturunan yang sah keabsahan anak keturunan yang diakui oleh
dirinya sendiri, masyarakat, negara, dan kebenaran keyakinan agama
Islam memberi jalan untuk itu. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab
Fiqh Sunnah beliau mengatakan, “Pernikahan adalah cara sebaik-
baiknya untuk berkembang biak dan mendapatkan keturunan yang
14
Nasrudin, Fiqih Munakahat, (Bandar Lampung: CV. Team Ms Barokah, 2015), h. 4 15
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986), h. 294 16
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op.cit., h. 15
22
baik, serta berlangsungnya kehidupan disertai terjaminnya kemurnian
asal-usul yang amat penting bagi agama Islam.17
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya
Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri atau
garizah untuk manusia bahkan juga garizah bagi makhluk hidup yang
diciptakan Allah SWT. Untuk maksud itu, Allah menciptakan bagi
manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari
pasangan hidupnya dan untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut
secara sah dan legal melalui pernikahan.18
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
Pernikahan adalah suatu ibadah, dan berarti pelaksanaan
perintah Syar’i, merupakan refleksi ketaatan makhluk kepada
Khaliknya. Nabi Muhammad Saw bersabda:
اذا ت زوج العبد ف قدا ستكمل نصف الد ين ف ليتق اهلل ف النصف البا قى
Artinya:“Apabila seorang hamba menikah, sempurnalah sebagian
agamanya, maka bertaqwalah kepada Allah akan sebagian
yang lain”.
17
Sayyid Sabiq Alih Bahasa oleh Moh Thalib, Fiqh Sunnah, Jilid 6, Cetakan Kedelapan,
(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1993), h. 19 18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undung-Undang Perkawinan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 47
23
Orang-orang yang melakukan perkawinan akan mengalami
ketidakwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, entah kerusakan
dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia
mempunyai nafsu, sedangkan nafsu itu condong untuk mengajak
kepada perbuatan yang tidak baik,19
sebagaimana dinyatakan dalam
QS. Yusuf (12) : 53:
وء... ... ان الن فس أل مارة با لس
Artinya:“...Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan...”.20
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal
Pernikahan adalah merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi
pemikulan tanggungjawab itu dan pelaksanaan segala kewajiban yang
timbul dari pertanggungjawaban tersebut. Menyadari taggungjawab
beristeri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan
sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang. Suami istri yang perkawinannya didasarkan pada
pengalaman agama, jerih payah, dalam usahanya dan upayanya
mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibinanya dapat
19
Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., h. 46 20
Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 325
24
digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian, memulai
rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung
jawab serta berusaha mencari harta yang halal.21
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram
atas dasar cinta dan kasih sayang.
Keluarga sebagai struktur suatu bangsa mempunyai kontribusi
yang sangat besar terhadap bangsa itu sendiri. Jadi, jika suatu bangsa
terdiri atas kumpulan keluarga yang kokoh, kokoh pulalah bangsa
tersebut dan sebaliknya. Perkawinan juga mengajarkan kepada
manusia agar bertanggungjawab akan segala akibat yang timbul
karenanya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih sayang
terhadap keluarga inilah timbul keinginan untuk mengubah keadaan
kearah yang lebih baik dengan berbagai cara.22
Hal ini terlihat dari firman Allah (QS. Ar-Rūm (30) : 21):
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
21
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Kencana, 2008), h.
30 22
Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., h. 45
25
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir.” (QS. Ar-Rūm (30) : 21)23
Menurut ayat tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan
antara ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih
sayang (rahmah).
4. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian perkerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan
takbiratul ihraam untuk shalat, atau adanya calon pengantin
laki/perempuan itu harus beragama Islam.24
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat, atau menurut
Islam calon pengantin laki/perempuan itu harus beragama Islam. Syarat
sahnya pernikahan adalah apabila terpenuhi, maka ditetapkan padanya
seluruh hukum akad (pernikahannya).25
Rukun dan syarat pernikahan dalam Hukum Islam merupakan hal
yang penting demi terwujudnya suatu ikatan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 4, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam
23
Departemen Agama RI, Op.Cit,, h. 572 24
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op.cit., h. 12 25
Ibid.,
26
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu. Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan ada lima dan masing-
masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:26
a. Calon Suami, syarat-syaratnya:
1). Beragama Islam
2). Laki-laki
3). Jelas orangnya
4). Dapat memberikan persetujuan
5). Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon Isteri, syarat-syaratnya:
1). Beragama
2). Perempuan
3). Jelas orangnya
4). Dapat diminta persetujuan
5). Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali Nikah, syarat-syaratnya:
1). Laki-laki
2). Dewasa
26
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, Cetakan
Pertama, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 62-63
27
3). Mempunyai hak perwalian
4). Tidak terdapat halangan perwaliannya
d. Saksi Nikah, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam ijab qabul
3) Dapat mengerti maksud akad
4) Islam
5) Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
1). Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2). Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
3). Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kedua kata
tersebut
4). Antara ijab dan qabul bersambungan
5). Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6). Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram atau
haji atau umrah
7). Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang
yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita
dan dua orang saksi.
5. Hikmah Perkawinan
28
Pernikahan adalah ikatan batin anatara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri. Hal itu merupakan pintu gerbang kehidupan
berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan
masyarakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi
kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada
umumnya.27
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah Sesuatu yang suci,
baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara
manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh
nafsu birahi yang tak terkendalikan. Banyak sekali hikmah yang
terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai ketenangan batin,
kelangsunan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain.
Dibawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan:28
a. Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan
jasmaniah dan rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan
jasmaniah dan rohaniah. Kebutuhan jasmaniah perlu dipenuhi dan
kepentingan rohaniah perlu diperhatikan. Ada kebutuhan pria yang
pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya.
Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan
kegelisahan. Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk
membina ketenangan, ketentraman dan kasih sayang keluarga.
27
Syaikh Shaleh Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi Panduan Fiqh
Lengkap, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2010), h. 137 28
Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Puataka Amani, 2011), h. 69
29
b. Pernikahan dapat melahirkan keturunan yang baik29
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh.
Anak yang shaleh adalah idamanb semua orang tua. Selain sebagai
penerus keturunan, anak yang shaleh akanb selalu mendoakan orang
tuanya.
c. Dengan pernikahan, agama dapat terpelihara
Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah
tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam
kehiodupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah SAW
memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh.
Mempunyai istri yang shaleh bearti Allah menolong suaminya
melaksanakan setengah dari urusan agamanya.
d. Pernikahan dapat memelihara ketinggian martabat seorang wanita
Wanita dalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak
boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-
baiknya. Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita
secara baik dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus
memperlakukan dan menggauli pasangannya secara baik dan
terhormat pula.30
e. Pernikahan dapat menjauhkan perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki
napsu seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran
29
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 302 30
Khoirul Abror, Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Bandar Lampung: Pusat
Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2015), h. 89
30
yang baik, sehat, dan sah adalah melalui pernikahan. Jika napsu birahi
besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak
sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus kelembah
perzinahan atau pelacuran yang dilarang oleh agama.31
Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah menciptakan struktur
sosial yang jelas dan adil. Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat
kaum wanita. Dengan nikah aagama akan terpelihara. Dengan pernikahan
terjadilah keturunan yang mampu memakmuran bumi.
B. Perkawinan Campuran
1. Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
berbeda dengan perkawinan campuran yang terdapat dalam Stb. 1898 No
158. Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan
campuran adalah perkawinan antara dua orang yang ada diindonesia tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Apabila melihat isi pasal tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang
berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:32
1) Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita.
2) Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.
31
Ibid, h.89 32
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, (Jakarta: 2004), h.
31
3) Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan.
4) Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Sedangkan perkawinan campuran menurut Stb. Tahun 1898 No. 158
Pasal 1 menyebutkan, Perkawinan campuran adalah perkawinan antara
orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.
Kalau dibandingkan perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. I
Tahun 1974 dengan perkawinan campuran menurut Stb. Tahun 1898 No.
158 adalah perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I Tahun 1974
ruang lingkupnya lebih sempit karena hanya berbeda kewarganegaraan dan
salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia. Sedangkan, Perkawinan
campuran menurut Stb. Tahun 1898 No. 158 ruang lingkupnya lebih luas
karena selain berbeda kewarganegaraan juga perkawinan dapat dilakukan
karena perbedaan agama, tempat, dan golongan. Perkawinan campuran ini
misalnya perkawinan antara seorang laki-laki warga negara asing yang
bertempat tinggal di Indonesia dengan seorang perempuan warga negara
Indonesia yang juga berdiam di Indonesia jika kedua-duanya tidak
beragama Islam, maka perkawinan mereka dapat dilangsungkan di Kantor
Catan Sipil. Jika kedua-duanya beragama Islam maka perkawinan dapat
dilangsungkan menurut Hukum Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah (Kantor Urusan Agama Kecamatan).33
33
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Depertemen Agama RI Tahun 2007, h. 8
32
Menurut Undang-undang perkawinan di Indonesia,34
perkawinan
campuran didefinisikan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal 57: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Hukum yang berlaku bagi perkawinan campuran adalah tergantung pada
prinsip yang dianut masing-masing negara untuk status personal
warganegaranya. Di Indonesia menganut prinsip nasionalitas berdasarkan
Pasal 16 AB (Algemeene bepalingen) untuk status personal warga
negaranya, artinya bahwa hukum nasional seseorang itu tetap berlaku dan
mengikuti kemanapun orang itu pergi. Prinsiptersebut berlaku tidak hanya
bagi WNI yang berada di luar negeri, tetapi berlaku juga bagi warga negara
asing yang berada di Indonesia. Jadi prinsipnya, asas nasionalitas yang
dianut oleh Indonesia berlaku dua arah.
Dalam perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan
dari suami/istri maka pihak istri mempunyai pilihan, yaitu mengikuti status
kewarganegaraan dari suaminya untuk memperolah kesatuan hukum dalam
perkawinan atau tetap mengikuti kewarganegaraannya semula. Status
kewarganegaraan ini bagi seseorang sangatlah penting. Hal ini berkaitan
dengan hukum yang berlaku padanya, Sebagai contoh apabila seseorang
pergi keluar negeri, maka yang berlaku adalah hukum negaranya bukan
34
Depertemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Proyek Peningkatan
Tenaga Keagamaan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, (Jakarta: 2003), h. 34
33
hukum dari negara yang dikunjungi. Hal ini yang akan menimbulkan
permasalahan dikemudian hari terutama bagi anak yang dihasilkan dari
perkawinan campuran tersebut. Peraturan mengenai perkawinan campuran
yang pertama kali diatur dalam Staatsblaad tahun 1898 No.158 yang dikenal
dengan nama Regeling Op De Gemengde Huwelijken (yang disingkat
GHR).
Dari segi perkawinan campuran ada yang dilakukan di luar negeri
dan ada yang melangsungkan perkawinan di dalam Negeri hal ini
dikarenakan ada faktor-faktor yang mempengaruhi ialah:
a. Faktor-faktor melangsungkan perkawinan di luar negeri :
1. Untuk mempertahankan prinsip keyakinan dan kewarganegaraan
masing- masing.
2. Undang-undang di Negara Republik Indonesia belum mengatur
perkawinan campuran berbeda kewarganegaraan maupun
keyakinan.
b. Faktor melangsungkan perkawinan di Indonesia adalah Bila keyakinan
atau agama yang dianut oleh calon pasangan perkawinan campuran
adalah sama. Fenomena perkawinan campuran menyebabkan banyak
pria atau wanita berpindah kewarganegaraan, ada yang ingin mengikuti
kewarganegaraan suami atau isteri dan juga meninggalkan Indonesia
pindah keluar negeri dan hidup disana. Karena berdasarkan aturan pada
Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
34
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Dari uraian Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia dapat diartikan bahwa setiap orang bebas untuk memilih
kewarganegaraannya, dan berhak untuk meninggalkan Indonesia dan boleh
kembali lagi ke Indonesia. Hal ini terdapat pada prinsip yang diamanatkan
Konstitusi Negara Repulik Indonesia yaitu:
1. Perlakuan dan persamaan hak didepan hukum dan pemerintahan
2. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
3. Setiap orang berhak memperoleh kebebasan untuk memilih
4. Tidak ada tindakan diskriminasi
5. Keadilan dan kesetaraan gender
6. Kewajiban menghormati hak asasi orang lain serta tunduk pada
pembatasan.
Perkawinan campuran yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
berbeda dengan perkawinan campuran yang terdapat dalam Stb. 1898 No
158. Menurut Pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 pengertian perkawinan
campuran adalah perkawinan antara dua orang yang ada diindonesia
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Apabila melihat isi
pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan
35
campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsur nya adalah sebagai
berikut:
a. Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita.
b. Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.
c. Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan.
d. Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
Sedangkan perkawinan campuran menurut Stb. Tahun 1898 No.
158 Pasal 1 nya menyebutkan, Perkawinan campuran adalah perkawinan
antara orang-orang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan. Kalau dibandingkan perkawinan campuran menurut pasal 57
UU No. I Tahun 1974 dengan perkawinan campuran menurut Stb. Tahun
1898 No. 158 adalah perkawinan campuran menurut pasal 57 UU No. I
Tahun 1974 ruang lingkupnya lebih sempit karena hanya berbeda
kewarganegaraan dan salah satu pihaknya harus warga Negara Indonesia.
Sedangkan, Perkawinan campuran menurut Stb. Tahun 1898 No. 158
ruang lingkupnya lebih luas karena selain berbeda kewarganegaraan juga
perkawinan dapat dilakukan karena perbedaan agama, tempat, dan
golongan.
2. Tujuan Perkawinan Campuran
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya
36
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan
dan kerusakan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab
menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh
untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Perkawinan juga bertujuan untuk membentuk perjanjian suci antara
seorang pria dan wanita. Yang mempunyai segi-segi perdata, diantaranya:
kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih dan
darurat. Perkawinanpun adalah makna dan jiwa dari kehidupan
berkeluarga yang meliputi:
1) Membina cinta kasih saying yang penuh romantika dan
kedamiaan. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 187 sebagai berikut :
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
37
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”35
2) Pengertian dan toleransi yang tulus ikhlas yang diletakkan atas
dasar nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan demokrasi. Hal
tersebut yang menjadi landasan dalam berumah tangga. Dalam
kaitan tersebut Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 21
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.36
Menurut ayat tersebut, keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan
antara ketenteraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah) dan kasih
sayang (rahmah). Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur
dan tulus, ayah yang penuh kasih saying dan ramah, ibu yang lemah
lembut dan perperasaan halus, putra-puteri yang patuh dan taat serta
kerabat yang saling membina silaturrahim dan tolong menolong. Hal ini
35
Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya (Jakarta: PT. Tehazed, 1990), h.45 36
Ibid, h. 644
38
dapat tercapai bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui
hak dan kewajibannya.
3. Syarat Syah Perkawinan Campuran dalam Hukum Positif
Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus
memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hukum masing-masing
pihak (Pasal 60 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Sahnya perkawinan harus
berdasarkan Pasal (2) UU No. I Tahun 1974 yang menyebutkan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaan itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-
duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang
berbeda di kantor Catatan sipil.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tentang pencatatan Nikah,
Talak, Cerai dan Rujuk, syarta yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
adalah sebagai berikut:
a. Certificate of no impediment atau surat izin menikah di Negara lain
yang dikeluarkan dari kedutaan calon suami/istri.
b. Fotokopi akta kelahiran
c. Fotokopi kartu identitas (KTP) dari negara calon suami/istri.
d. Fotokopi paspor.
e. Surat keterangan domisili.
39
4. Prosedur Perkawinan Campuran Dalam Hukum Positif
Perkembangan hukum keluarga Islam Indonesia telah dimulai sejak
zaman penjajah dan berlangsung sampai sekarang.11 Hukum perkawinan
zaman penjajah diatur dalam Huwelijks Ordonantie, yang pemberlakuan
hukumnya disesuaikan dengan golongan warga Negara dan berbagai daerah
seperti tampak dalam uraian berikut.
Suatu unsur pokok dalam hukum ialah bahwa hukum itu adalah
sesuatu yang berkenaan dengan manusia. Pada perkembangannya,
perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia sebagai subyek hukum
(perdata) yang berbeda kewarganegaraan pun di zaman modern ini bukan
merupakan sesuatu yang jarang dilakukan, seperti terjadinya perkawinan,
bisnis dan juga transaksi lainnya yang dilakukakn antar warga Negara yang
satu dengan warga Negara yang berlainan pun sudah. Dalam perihal
perkawinan pun aturan-aturan mengenai perkawinan campuran (karena
perbedaan kewarganeraan) diatur dengan adanya hukum perdata
internasional yang merupakan hukum yang mengatur hubungan perdata
antara para pelaku hukum perdata yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata yang berbeda, sehingga unsur asing menjadi penting di dalam
hukum perdata internasional. Oleh karena perkawinan merupakan salah
satu peristiwa sekaligus perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak
dengan melakukan suatu perikatan, terlebih apabila perkawinan tersebut
merupakan perkawinan yang terdapat unsure perbedaan kewarganeraan,
maka sudah seharusnya dalam melakukan perikatan tersebut harus
40
memperhatikan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan juga tidak
menafikan terhadap asas kebebasan berkontrak. Sehingga, dalam
melaksanakan perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan pun harus
memperhatikan dan mempertimbangkan beberapa asas yang berlaku di
dalam hukum perdata Internasional, seperti asas “lex loci actus” atau tempat
dilakukannya perbuatan hukum, “lex loci celebration” atau tempat
berlangsungnya atau diresmikannya suatu perkawinan dan “choice of Law”
atau pilihan Hukum.
Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat
perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon
mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belumberumur 21 tahun,
dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan). Berikut ini prosedur
perkawinan campuran di Indonesia :
a. Dokumen
Masing-masing calon mempelai mempersiapkan dokumen yang
diperlukan yaitu:
W N I
1) Akte Kelahiran
2) Surat Keputusan Pengadilan Agama (Akta Cerai)
3) Kartu Keluarga
4) Paspor
5) Kartu Tanda Penduduk
41
6) Bila akad nikah dilaksanakan diluar wilayah KTP ybs, maka perlu
mengisi 1 formulir ”numpang nikah”
7) Surat Keterangan RT&RW yang menyatakan Ybs belum menikah
lagi, lalu surat keterangan tersebut di legalisir oleh Camat Setempat
8) Pas Foto uk 3 X 4 dan 4 X 6 @ 3 lembar
W N A
1) Akte Kelahiran
2) Surat Keterangan Belum Kawin/Akta Cerai
3) Surat Ijin Orang Tua (jika usia dibawah 21)
4) Kartu Keluarga
5) ID Card/KTP
6) Visa (Jika menikah di Indonesia)
7) Surat keterangan lapor diri dari kepolisian
8) Surat ijin dari kedutaan asing
9) Pas Foto uk 3 X 4 dan 4 X 6 @ 3 lembar
Semua dokumen lalu dilegalisir dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penerjemah yang tersumpah, lalu dilegalisir oleh kedutaan
asing calaon mempelai yang berkewarganegaraan asing di Indonesia.
b. Pendaftaran Pernikahan
1) Tanggal rencana pernikahan harus di daftarkan selambat-lambatnya
14 hari sebelum hari – H, hal ini dimaksudkan untuk memenuhi asas
publikasi yaitu diumumkannya lebih dahulu nama pasangan calon
42
pengantin di KUA setempat untuk mencegah apabila ada tuntutan di
kemudian hari.
2) Dokumen-dokumen tersebut diatas didaftarkan dengan urutan
sebagai berikut:
- Dokumen calon mempelai di daftarkan ke KUA dimana akad
nikah akan dilaksanakan.
- Bila pernikahan di lakukan bukan di kantor KUA setempat
(misal di gedung, masjid, dll) maka harus memberitahukan
kepada pejabat akta nikah.
- Jika ada perjanjian pra nikah, maka disampaikan pada waktu
pendaftaran ini.
c. Setelah Pelaksanaan Pernikahan
Setelah melangsungkan pernikahan, maka suami istri masing-
masing akan menerima buku/akte nikah, dimana kemudian akte nikah ini
dilegalisir ke Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri,
lalu di daftarkan ke kedutaan Asing WNA tersebut untuk dicatat.
5. Prosedur Perkawinan Campuran Dalam Hukum Islam
Pada dasarnya dalam Hukum Islam tidak ada aturan yang secara jelas
mengatur tentang perkawinan campuran antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan. Syarat yang paling mendasar dalam perkawinan campuran
adalah harus seiman antara du mempelai.
Perkawinan campuran menurut pasal 7 (tujuh) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP), merupakan perkawinan antara dua
43
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum berlainan, karena erbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Karena
itu, perkawinan campuran yang dimaksud ialah apabila salah satu pihak
berkewarganegaraan asing. Perkawinan yang dilakukan di Indonesia dilakukan
menurut UUP. Jika kedua belah pihak berdiam di Indonesia dan tidak
beragama Islam, perkawinan mereka dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil.
Sedangkan jika keduanya beragama Islam, perkawinan dilangsungkan menurut
Hukum Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan.37
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum
publik maupun hukum perdata. Perkawinan campuran di Indonesia dilakukan
menurut UUP. Jika seorang mempelai beragama Islam dan
berkewarganegaraan Indonesia hendak melangsungkan perkawinan campuran
diperlukan surat keterangan dari Pegawai Pencatat Nikah di daerah tempat
tinggalnya (Pasal 64 UUP), diperlukan juga bagi calon mempelai Muslim yang
hendak menikah tidak menurut agama Islam (Pasal 60).
Sehubungan dengan perkawinan campuran yang dilakukan menurut
agama Islam, mengenai tata cara pencatatan perkawinan dapat dilihat dalam
Pasal 2 ayat (1) PP Perkawinan yang berbunyi:
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
37
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 196.
44
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang
Pencatatan nikah, Talak, dan Rujuk.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Penctatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang N0. 22 Tahun 1946 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32
Tahun 1954.
Pencatatan perkawinan ini bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur, guna
melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Lebih tegas lagi bahwa tujuan
pencatatan perkawinan adalah agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban.
Namun perlu diingat bahwa pencatatan perkawinan hanyalah bersifat
administrasi, dan bukan syarat sah atau tidaknya perkawinan, dan juga tidak
mengakibatkan batalnya perkawinan.38
Perkawinan campuran yang dilakukan di wilayah Indonesia, prosedur
yang harus dilakukan dan dipenuhi adalah dengan mendatangi Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan sesuai dengan tempat tinggal (domisili).
Dokumen-dokumen/berkas-berkas yang harus dipenuhi oleh Warga
Negara Asing adalah sebagai berikut:
38
Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara; Studi Terhadap Perundng-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia Dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002),
h. 147.
45
a. Akta kelahiran
b. Surta tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian (tingkat Polda atau
Polres)
c. Surat keterangan model KII dari Dinas Kependudukan
d. Tanda lunas pajak bagi orang asing
e. Keterangan izin untuk sementara (KIMS) dari Imigrasi
f. Paspor, dan
g. Surat keterangan dari kedutaan/Perwakilan Diplomatik yang bersangkutan
(terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia-Penerjemah tersumpah)
45
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Wilayah
1. Kondisi Geografis
a. Batas Wilayah Desa Tanjung Setia
Wilayah Desa Tanjung Setia merupakan bagian wilayah
Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat. Secara
administratif Desa Tanjung Setia memiliki batas batas sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pagar Dalam. Sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Biha. Sebelah Timur berbatasan dengan Hutan
Marga. Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia.1
b. Luas Wilayah Desa Tanjung Setia
Tanjung Setia (05°18’00” LS - 104°00’00”) masuk kedalam
wilayah administrasi kecamatan pesisir selatan.Morfologi pantai ini
datar hingga landai (2% - 8%), karakteristik garis pantai teluk ini terdiri
dari pasir, kerikil, dan kerakal. Jenis penggunaan tanah di wilayah Desa
Tanjung Setia terdiri dari dua bagian besar yaitu penggunaan tanah
untuk kawasan budidaya dan non budidaya atau kawasan lindung. Bila
dilihat secara parsial maka dari luasan wilayah Desa Tanjung Setia
seluas 2500 Ha umumnya didominasi oleh penggunaan lahan
perkebunan dengan luas 1500 Hadari luas seluruh wilayah.
1Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun
2016
46
Desa. Kemudian menyusul jenis penggunaan tanah persawahan
dan perumahan penduduk dengan luasan 900 Ha dari luas seluruh
wilayah Desa, dan yang terkecil adalah penggunaan untuk daerah zona
wisatayaitu dengan luas 100 Ha.
c. Orbitasi Desa Tanjung Setia
Secara keseluruhan luas wilayah yang dimiliki Desa Tanjung
Setia yaitu 2,500 ha/m2 yang terdiri atas luas pemukiman, luas
persawahan, luas perkebunan, luas kuburan, luas pekarangan, luas
taman, luas perkantoran dan luas prasarana umum lainnya. Sedangkan
orbitasi atau jarak tempuh desa adalah:
Jarak dari Desa Tanjung Setia ke Ibukota Kecamatan adalah 5 km.
Jarak dari Desa Tanjung Setia ke Ibukota Kabupaten adalah 36 km.
Jarak dari Desa Tanjung Setia ke Ibukota Provinsi adalah 360 km.2
d. Iklim dan Keadaan Tanah Desa Tanjung Setia
Curah hujan rata-rata mencapai 0,3 mm, suhu rata-rata harian
200C dan Desa Tanjung Setia berada pada ketinggian 5 meter dari
permukaan laut. Sementara jenis tanah yang ada pada Desa Tanjung
Setia sebagian besar adalah tanah lempungan sehingga cocok untuk
aktivitas pertanian dan persawahan penduduk dan sedikit tanah pasir.
2. Kondisi Demografi
Secara keseluruhan jumlah penduduk Desa Tanjung Setia adalah
1.272 orang yang terdiri dari 784 kepala keluarga. Untuk lebih jelasnya
2Ibid
47
mengenai kondisi demografi Desa Tanjung Setia berikut diuraikan
komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,
mata pencaharian, dan suku.
a. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Untuk mengetahui gambaran penduduk Desa Tanjung Setia
berdasarkan jenis kelamin dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Komposisi Penduduk Desa Tanjung Setia berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan
Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2016
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa jumlah penduduk Desa
Tanjung Setia adalah 1.272 orang yang terdiri atas laki-laki berjumlah 569
atau 44,73% dan perempuan berjumlah 703 atau 55,27%. Dengan
demikian diketahui bahwa jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan
lebih banyak dari pada penduduk berjenis kelamin laki-laki.
b. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur
Penduduk adalah orang-orang yang berdomisili secara tetap dalam
wilayah suatu negara untuk jangka waktu yang lama. Untuk mengetahui
No Jenis Kelamin Jumlah Presentase (%)
1 Laki-Laki 569 44,73%
2 Prempuan 703 55,27%
Jumlah 1.272 100%
48
gambaran penduduk Desa Tanjung Setia berdasarkan umur dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2
Komposisi Penduduk Desa Tanjung Setia Berdasarkan Umur
No Umur Jumlah Presentase(%)
1 0-6 tahun 216 16,98%
2 7-12 tahun 167 13,13%
3 13-18 tahun 205 16,15%
4 19-24 tahun 160 12,58%
5 25-55 tahun 280 22,01%
6 56 keatas 244 19,18%
Jumlah 1.272 100%
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan
Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2016
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa golongan umur
mayoritas pada penduduk Desa Tanjung Setia berada pada kelompok umur
25-55 tahun yang berjumlah 280 orang atau 22,01% dan golongan umur
mayoritas berada pada kelompok umur 19-24 tahun yang berjumlah 160
orang atau 12,58% dari keseluruhan jumlah penduduk yang ada.
c . Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku
Kelompok etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena
keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu
49
kelompok etnik meiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa
(baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan
tradisi. Untuk mengetahui gambaran penduduk Desa Tanjung Setia
berdasarkan suku atau daerah penduduknya dapat dilihat pada tabel
berikut
Tabel 3.
Komposisi Penduduk Desa Tanjung Setia Berdasarkan Suku
No Suku Jumlah Presentase (%)
1 Lampung 1.040 81,76%
2 Jawa 129 10,14%
3 Sunda 75 5,90%
4 Minang 20 16%
5 Semendo/Ogan 20 1,57%
6 Banjar 3 0,24%
7 Bugis 3 0,24%
Jumlah 1.272 100%
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan
Kabupaten PesisirBarat Tahun 2016
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa mayoritas penduduk
Desa Tanjung Setia beretnis Lampung, suku lampung ini merupakan
penduduk asli Desa Tanjung Setia yang berjumlah 1.040 orang
atau81,76% dari keseluruhan jumlah penduduk. Suku atau etnis lain yang
50
mendiami Desa Tanjung Setia adalah penduduk pendatang yang terdiri
atas suku jawa, sunda, minang, semendo/ogan, banjar danbugis.
d.Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah suatu kondisi jenjang pendidikan yang
dimiiki oleh seseorang melalui pendidikan forma yang dipakai oleh
pemerintah serta disahkan oleh departemen pendidikan .Untuk mengetahui
gambaran penduduk Desa Tanjung Setia berdasarkan tingkat
pendidikannya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.
Komposisi Penduduk Desa Tanjung Setia BerdasarkanTingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Presentase (%)
1 TK 145 11,40%
2 SD 240 18,87%
3 SLTP/Sederajat 280 22,01%
4 SMA/Sederajat 230 18,08%
5 Diploma 120 9,43%
6 S1 101 7,94%
7 S2 40 3,14%
8 Tidak Sekolah 116 9,12%
Jumlah 1.272 100%
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten
Pesisir Barat Tahun 2016
51
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa mayoritas penduduk
Desa Tanjung Setia adalah tamatan SLTP/Sederajat yang berjumlah 280
orang atau 22,01% dari jumlah keseluruhan penduduk yang ada, namun
pada Desa Tanjung Setia juga masih terdapat penduduk yangtidak
mengenyam pendidikan yang berjumlah 116 orang atau 9,12%.
e. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan aktifitas manusia untuk memperoleh
taraf hidup yang layak dimana antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya berbeda satu dengan taraf kemampuan penduduk dan keadaan
demografinya. Untuk mengetahui gambaran penduduk Desa Tanjung Setia
berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.
Komposisi Penduduk DesaTanjung Setia BerdasarkanMata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Presentase (%)
1 Petani 690 54,25%
2 PNS 155 12,19%
3 Nelayan 223 17,53%
4 Wiraswasta 204 16,04%
Jumlah 1.272 100%
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten
PesisirBarat Tahun 2016
52
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa penduduk Desa Tanjung
Setia dominan bermata pencaharian sebagai petani, dengan jumlah
penduduk yang berkerja sebagai petani mencapai 690 orang atau 52,22%.
Penduduk Desa yang berada di daerah pesisir ini juga adayang bermata
pencaharian sebagai nelayan, wiraswasta dan PNS.
f. Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama
Agama merupakan ajaran sistem yang mengatur tata keimanan
kepada tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia antara manusia serta manusia dengan lingkungan.
Keadaan penduduk Desa Tanjung Setia berdasarkan agama yang dianut,
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6.
Keadaan Penduduk Desa Tanjung Setia Menurut Agama
No Agama Jumlah Presentase(%)
1 Islam 1.266 99%
2 Kristen 6 1%
3 Katholik 0 0
4 Budha 0 0
5 Hindu 0 0
Jumlah 1.272 100%
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten
Pesisir Barat Tahun 2016
53
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa penduduk Desa
Tanjung Setia mayoritas memeluk agama islam dengan jumlah pemeluk
agama 1.266 orang dan 6 orang pemeluk agama kristen.
3. Struktur Organisasi Pemerintahan Pekon Tanjung Setia
a.Kepala Desa
Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa Tanjung Setia
dari calon yang memenuhi syarat. Kepala Desa memimpin
penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan kebijaksanaan yang
ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya Kepala Desa bertanggung jawab
kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan pelaksanaan
tugasnya kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat. Secara rinci
dapat diketahui bahwa tugas Kepala Desa, yakni:
1. Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan.
2. Dalam melaksanakan tugas, kepala desa mempunyai wewenang :
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah desa berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama BPD.
b. Mengajukan Rancangan PERDES
c. Menetapkan PERDES yang telah mendapat persetujuan bersamaBPD
d. Membina kehidupan masyarakat dan perekonomian Desa.
e. Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif.
54
b. Perangkat Desa
1. Juru Tulis
Kedudukan dari Juru Tulis Desa Tanung Setia yaitu sebagai staf
pembantu Kepala Desa tugasnya yaitu menjalankan administrasi
pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan desa serta
memberikan pelayanan administrasi kepada Kepala Desa.
2. Kepala Urusan
yaitu sebagai unsur pembantu sekretaris desa dalam bidang
tugasnya. Tugas utamanya yaitu menjalankan kegiatan-kegiatan
sekretaris Desa dalam bidang tugasnya masing-masing. Kepala Urusan
di Desa Tanjung Setia ada 3 yaitu Kepala Urusan Bidang Pemerintahan
dan Kesejahteraan Rakyat, Kepala Urusan Bidang Ekonomi dan
Pembangunan, Kepala Urusan Bidang Administrasi dan Umum.
Adapun tugas dari masing-masing Kepala Urusan di Desa Tanjung
Setia yaitu:
c. Kepala Urusan Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat
1. Merumuskan progam kegiatan Sub Tata Pemerintahan Desa
berdasarkan hasil evaluasi kegiatan tahun lalu sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta sumber data yang
tersediasebagai pedoman pelaksanaan kegiatan.
2. Menjabarkan perintah atasan melalui pengkajian permasalahan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar pelaksanaan
tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kebijakan atasan.
55
3. Membagi tugas bawahan sesuai bidang tugasnya baik secara
lisan maupun tertulis guna kelancaran pelaksanaan tugas.
4. Melaksanakan koordinasi dengan Kepala Sub Bagian di
lingkungan Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD dan instansi
terkait baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
mendapatkan masukan, data dan informasi untuk memperoleh hasil
kerja yang optimal.
5. Menyiapkan bahan dalam rangka penyusunan kebijakan Bupati
dibidang Tata Pemerintahan Desa.
6. Melaksanakan pengkajian dan penelitian dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan desa.
7. Melaksanakan monitoring penyelenggaraan pemerintahan desa
dan melakukan inventarisasi permasalahan yang muncul dalam
penyelenggaraan pemerintah desa.
8. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan menilai prestasi kerja
bawahan secara berkala melalui sistem penilaian yang tersedia
sesuai ketentuan yang berlaku;
9. Membuat laporan pelaksanaan tugas kepada atasan sebagai dasar
pengambilan kebijakan.
10. Menyampaikan saran dan pertimbangan kepada atasan baik
secara lisan maupun tertulis sebagai bahan masukan guna
kelancaran pelaksanaan tugas.
56
d. Kepala Urusan Bidang Ekonomi Pembangunan
Membantu Kepala Desa dalam melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan teknis pengembangan ekonomi masyarakat dan
potensi desa, pengelolaan administrasi pembangunan, pengelolaan
pelayanan masyarakat serta penyiapan bahan usulan kegiatan dan
pelaksanaan tugas pembantuan. Dimana kepala urusan pembangunan
mempunyai fungsi sebagai berikut;
1. Penyiapan bantuan-bantuan analisa & kajian perkembangan
ekonomi masyarakat.
2. Pelaksanaan kegiaatan administrasi pembangunan.
3. Pengelolaan tugas pembantuan.
4. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Desa.
e. Kepala Urusan Bidang Administrasi dan Umum
1. Menyelenggarakan penyusunan, pengetikan/penggandaan
danproses surat menyurat beserta pengirimannya.
2. Mengatur dan menata surat-surat yang dimintakan tanda tangan
Kepala Desa.
3. Mengatur rumah tangga Sekretariat Desa, tamu-tamu, kebutuhan
kantor, penyimpanan dan pemeliharaannya menyimpan,
memelihara dan mengamankan arsip, mensistematisasikan buku-
buku inventaris, dokumen-dokumen, absensi.
4. Perangkat Desa dan memberikan pelayanan administratif kepada
semua urusan.
57
5. Mengurus pemeliharaan kendaraan dinas, kebersihan kantor dan
sebagainya.
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Carik dalam
bidang umum.
7. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Carik.
4. Sarana dan Prasarana Pekon Tanjung Setia
Sarana merupakan Beberapa fasilitas umum yang berguna
untukmenunjang kehidupan masyarakat Desa dan untuk memenuhi
fasilitasmasyakat dalam kehidupan sehari-hari, adapaun sarana yang
terdapatpada Desa Tanjung Setia diantaranya:
Tabel 7.
Sarana dan Prasarana Desa Tanjung Setia
No Jenis Nama Jumlah Unit
1 Kantor Peratin 1
2 SD/Sederajat 1
3 Masjid 3
4 Surau/Mushola 2
5 Lapangan Bulu Tangkis 1
6 Lapangan Volley 1
7 Kesehatan Puskusmas 1
8 Transportasi Jalan Aspal 13 Km
9 Jalan Tanah 3 Km
58
Sumber: Profil Desa Tanjung Setia Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten
Pesisir Barat Tahun 2016
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa sarana yang
terdapatdi Desa Tanjung Setia yang terdiri dari kantor pertanian, SD,
Masjid, Mushala, Lapangan Volly, Puskesmas, Jalan Aspal, Jalan
tanah,dalam hal ini terlihat jelas bahwa saran yang terdapat di Desa
TanjungSetia masih sangat minim fasilitas, hal ini dapat dilihat dari
jumlahfasilitas yang berada di Desa Tanjung Setia.
B.Sistem Pernikahan Dalam Masyarakat Pekon Bumi Agung
Dari hasil wawancara dengan Bapak Darto selaku tokoh adat masyarakat
Bumi agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat bahwa sistem
pelaksanaan pernikahan atau upacara adat pernikahan yang dipakai masyarakat
Bumi agung sama dengan system pernikahan yang di pakai adat lampung pesisir
(Sai Batin) lainnya.3
1. Sebelum Pernikahan
a. Ngelamar
Menurut Bapak Sutiyo, tokoh Agama, pada hari yang di tentukan
calon pengantin pria datang melamar dengan membawa bawaan berupa
makanan, kue-kue, yang jumlahnya disesuaikan dengan tahta atau
kedudukan calon pengantin pria. Lalu dikemukakanlah maksud dan tujuan
kedatangan yaitu untuk meminang si gadis.4
3 Wawancara dengan Bapak Darto
4 Wawancara dengan Bapak Sutiyo
59
b. Ngikat
Menurut Bapak Asran, ngikat bisa digabungkan pada saat melamar.
Ini merupakan peluang bagi calon pengantin pria untuk memberi tanda
pengikat dan hadiah bagi si gadis berupa mas berlian, kain jung sarat dan
sebagainya. Tata cara ngikat : Orang tua calon pngantin pria mengikat
pinggang si gadis dengan benang katun (benang dari kapas warna putih,
merah, hitam atau tridatu) sepanjang 1 meter dengan niat semoga menjadi
jodoh, dijauhi dari halangan.5
d. Manjau (Berunding)
Ibu Feni menyebutkan bahwa utusan pengantin pria datang ke rumah
calon mempelai wanita (manjau) dengan membawa dodol cumbi untuk
membicarakan uang jujur, mas kawin, adat macam apa yang akan
dilaksanakan, serta menentukan tempat acara akad nikah.6
e. Sesimburan (Dimandikan)
Ibu Yuli menyebutkan bahwa sesimburan dilaksanakan di kali atau
sumur dengan arak-arakan. Calon pengantin wanita dipayunngi dengan
payung gober, diiringi tetabuhan (gender, gujih dll), talo lunik. Lalu
bersama gadis-gadis dan ibu-ibu mandi bersama dan saling simbur, sebagai
tanda permainan berakhir dan sebagai tolak bala karena akan melaksanakan
akad nikah.7
2. Pada Hari Pernikahan
a. Upacara Adat
5 Wawancara dengan Bapak Asran
6 Wawancara dengan Ibu Feni
7 Wawancara dengan Ibu Yuli
60
Bapak Amirudin menyebutkan bahwa beberapa jenis upacara adat
dan tata laksana ibal serbo sesuai perundingan akan dilaksanakan dengan
cara tertentu. Ditempat keluarga gadisdilaksanakan 3 acara pokok dalam 2
malam, yaitu Maro Nanggep, Cangget pilangan dan Temu di pecah aji.8
b. Upacara akad nikah atau ijab kabul
Menurut Mardiono, tradisi Lampung biasanya pernikahan
dilaksanakan di rumah calon mempelai pria, namun dengan perkembangan
zaman dan kesepakatan, maka akad nikah sudah sering diadakan di rumah
calon mempelai wanita.9
Rombongan calon mempelai pria diatur sebagai berikut :
- Barisan paling depan adalah perwatin adat dan pembarep (juru bicara)
- Rombongan calon mempelai pria diterima oleh rombongan calon
mempelai wanita dengan barisan paling depan pembarep pihak calon
mempelai wanita.
- Rombongan calon pengantin pria dan calon pengantin wanita disekat
atau dihalangi dengan appeng (rintangan kain sabage/cindai yang harus
dilalui).
Bapak Ahmad menyebutkan, setelah tercapai kesepakatan, maka juru
bicara pihak calon pengantin pria menebas atau memotong appeng dengan
alat terapang. Baru rombongan calon pengantin pria dipersilahkan masuk
dengan membawa seserahan berupa: dodol, urai cambai (sirih pinang),
juadah balak (lapis legit), kue kering, dan uang adat. Kemudian calon
8 Wawancara dengan Bapak Amirudin
9 Wawancara dengan Bapak Mardiono
61
pengantin pria dibawa ke tempat pelaksanaan akad nikah, didudukan di
kasur usut. Selesai akad nikah, selain sungkem kepada orangtua, kedua
mempelai juga melakukan sembah sujud kepada para tetua yang hadir.10
C.Sistem Pelaksanaan Perkawinan Campuran di Pekon Bumi Agung
Bapak Kusnadi, mengatakan bahwa perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (Pasal 57 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di
Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua
calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun,
dan sebagaimua (lihat Pasal 6 UUP).11
Menurut Ibu Siti, tata cara atau prosedur pelaksanaan perkawinan
campuran:
1.Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan12
Bapak Kusnadi menyebutkan bahwa, bila semua syarat telah terpenuhi,
anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat
Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, anda dan
calon suami anda, (Pasal 60 ayat 1 UUP). Surat Keterangan ini berisi keterangan
bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat
keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan,
10 Wawancara dengan Bapak Ahmad
11 Wawancara dengan Bapak Kusnadi
12 Wawancara dengan Ibu Siti
62
yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UUP.
Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama
enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka
Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60
ayat 5 UUP).
2 Surat-surat yang harus dipersiapkan13
Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
a. Untuk calon suami
Ibu Vina menyebutkan, Calon suami harus melengkapi surat-
surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di
Indonesia, ia juga harus menyerahkan “Surat Keterangan” yang
menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI.14
SK
ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu
harus pula dilampirkan:
- Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
- Fotokopi Akte Kelahiran
- Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
- Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
- Akte Kematian istri bila istri meninggal
- Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir
oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
13
Wawancara dengan Bapak Kusnadi 14 Wawancara dengan Ibu Vina
63
b. Calon istri
Harus melengkapi diri anda dengan:
- Fotokopi KTP
- Fotokopi Akte Kelahiran
- Data orang tua calon mempelai
- Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa tidak
ada halangan untuk melangsungkan perkawinan
3. Pencatatan Perkawinan (Pasal 61 ayat (1) UUP)
Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh
kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang
berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh
pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak
Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh
Pegawai Kantor Catatan Sipil.
4. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan
Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus
dilegalisir di Kementrian Hukum dan HAM dan Kementrian Luar Negeri,
serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.Dengan adanya legalisasi
itu, maka perkawinan sudah sah dan diterima secara internasional, baik
bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia.
5. Konsekuensi Hukum
Ada beberapa konsekuensi yang harus diterima bila menikah
dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan
64
status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir
dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak
yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini
sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut
akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau
sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk
memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Dari 8 orang pasang yang melakukan perkawinan campuran, 5
pasang tidak ditemukan datanya karena telah ikut atau dibawa ke negara
asal suaminya. Adapun 3 pasang lainnya melakukan nikah siri dan tidak
tercatat data-datanya.
65
BAB IV
ANALISIS
A. Pelaksanaan Perkawinan Campuran pada Masyarakat Pekon Bumi
Agung Kecamatan Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat
Perkawinan Campuran Warga Negara Indonesia beragama Islam
menikah dengan Warga Negara Asing, serta Perkawinan ini terjadi di
Indonesia, maka terikat pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dalam Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Perlu diketahui bahwa UU Perkawinan juga mengatur tentang
Perkawinan Campuran. Hal ini tertuang pada Pasal 57-63 UU Perkawinan.
Dalam Pasal 57 UU Perkawinan diberikan pengertian tentang apa yang
dimaksud dengan perkawinan campuran:
Pasal 57 UU Perkawinan: Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Sehubungan dengan perkawinan yang dilakukan menurut agama
Islam, mengenai tata cara pencatatan perkawinan dapat dilihat dalam Pasal
2 ayat 1 PP Perkawinan yang berbunyi:
Pasal 2 ayat (1) Nomor 1 : Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh
66
Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Hal ini juga diatur dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat 1, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang No. 22 Tahun 1946 Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Berdasarkan hasil observasi langsung di Kantor Urusan Agama
(KUA), cara penyelesaian hukum yang bisa lakukan untuk
mencatatkan/mendaftarkan pernikahan campuran tersebut yaitu :
Pertama, oleh karena perkawinan tersebut telah dilangsungkan
secara agama atau dengan kata lain tidak dilakukan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA), maka hanya memperoleh
surat keterangan menikah, namun tidak memperoleh salinan Akta Nikah
(Buku Nikah dari KUA). Dengan demikian, langkah hukum yang dapat
ditempuh adalah dengan mengajukan permohonan itsbat nikah pada
Pengadilan Agama setempat. Hal ini di atur dalam Pasal 7 Kompilasi
Hukum Islam.
Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang
dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
67
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya akta nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami
atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
Kedua, oleh karena perkawinan dilakukan di wilayah Indonesia,
maka prosedur ketertiban yang harus dilakukan dan dipenuhi adalah
dengan mendatangi Kantor Urusan Agama (“KUA”) Kecamatan sesuai
dengan tempat tinggal (domisili) untuk dinikahkan kembali secara hukum
negara, dengan melengkapi dokumen-dokumen/berkas-berkas yang harus
dipenuhi oleh Warga Negara Asing diantaranya:
1) AktaKelahiran/Kenal Lahir;
68
2) Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian (tingkat Polda
atau Polres);
3) Surat Keterangan Model KII dari Dinas Kependudukan;
4) Tanda Lunas Pajak Bagi Orang Asing;
5) Keterangan Izin Untuk Sementara (KIMS) dari Imigrasi;
6) Paspor; dan
7) Surat Keterangan dari Kedutaan/Perwakilan Diplomatik yang
bersangkutan (Terjemahan Bahasa Asing ke Bahasa Indonesia-
Penerjemah Tersumpah).
B. Perkawinan Campuran Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum
Positif pada Masyarakat Pekon Bumi Agung Kecamatan Pesisir
Selatan Kabupaten Pesisir Barat
Pada dasarnya dalam Hukum Islam tidak ada aturan yang secara jelas
mengatur tentang perkawinan campuran antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan. Syarat yang paling mendasar dalam perkawinan campuran
adalah harus seiman antara dua mempelai.. Perkawinan yang dilakukan di
Indonesia dilakukan menurut UUP. Jika keduanya beragama Islam, perkawinan
dilangsungkan menurut Hukum Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan.1
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum
publik maupun hukum perdata. Perkawinan campuran di Indonesia dilakukan
menurut UUP. Jika seorang mempelai beragama Islam dan
1 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 196.
69
berkewarganegaraan Indonesia hendak melangsungkan perkawinan campuran
diperlukan surat keterangan dari Pegawai Pencatat Nikah di daerah tempat
tinggalnya (Pasal 64 UUP), diperlukan juga bagi calon mempelai Muslim yang
hendak menikah tidak menurut agama Islam (Pasal 60).
Sehubungan dengan perkawinan campuran yang dilakukan menurut
agama Islam, mengenai tata cara pencatatan perkawinan dapat dilihat dalam
Pasal 2 ayat (1) PP Perkawinan yang berbunyi:
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang
Pencatatan nikah, Talak, dan Rujuk.
Menurut hukum positif, perkawinan campuran berdasarkan Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh
dua orang yang berbeda warga negara di Indonesia dan salah satu pihaknya
berwarganegaraan Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) beserta dengan peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan. Untuk perkawinan seperti
ini UU Perkawinan menyebutnya sebagai perkawinan campuran.
Berdasarkan UU Perkawinan, perkawinan adalah sah bila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan kedua mempelai
(pasal 2 ayat 1) dan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku (pasal 2 ayat 1). Pencatatan perkawinan dari mereka yang
70
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah dari Kantor Urusan Agama (“KUA”).
Dalam hal ini pasangan Suami Istri telah menikah secara agama Islam
namun perkawinan tersebut belum dicatatkan di KUA. Hal ini berarti istri dan
suami masih berstatus menikah di bawah tangan atau nikah siri. Hal demikian
sesuai ketentuan pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini adapun tata cara
pelaksanaan perkawinan ditentukan dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan
Pemerintah No.9 Tahun 1975, yaitu sebagai berikut :
1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman
kehendak oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaanya itu.
3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Disamping itu dilangsungkannya perkawinan, kemudian dilaksanakan
penandatanganan akta perkawinan sesuai peraturan sehingga urutannya sebagai
berikut:
1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan
ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani
71
akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawa Pencatat berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri
perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah yang mewakilinya.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan
lapisan masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan
transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah
perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Perempuan WNI
adalah pelaku mayoritas kawin campur, tetapi hukum di Indonesia yang
berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan.
Salah satunya adalah UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
telah menempatkan perempuan sebgai pihak yang harus kehilangan
kewarganegaraan akibat kawin campur (Pasal 8 ayat 1) dan kehilangan hak
atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya.
Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi
setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan
golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan
permasalahan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan
72
hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap perkawinan antara dua
orang yang berbeda kewarganegaraan.
Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op de
Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898).
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara
”orang-orang yang di Indonesia tunduk padahukum yang berlainan”.
Pasal 1 di atas memberikan penekanan pada verschillend rech
onderwopen, yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di
atas, warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang
berlaku di Indonesia, antara lain sukubangsa, golongan, penganut-penganut
agama, berlaku hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata.
Adapun yang menjadi pertimbangan pluralisme tersebut bukan karena
diskriminatif tetapi justru untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua
golongan yang bersangkutan, terutama yang, menyangkut hukum perkawinan.
Karena faktor perbedaan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak
mungkin mengadakan hukum yang seragam.
Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun
pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan adalah : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-Undang ini untuk perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
73
salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan
antara seorang warganegara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI,
sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang
berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam GHR dimaksud telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena
Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menekankan
perbedaan kewarganegaraan dan atau tunduk pada hukum yang berlainan
maka ketentuan GHR masih tetap berlaku sepanjang yang melakukan
perkawinan campuran itu adalah orang sebagaimana diatur dalam Pasal 57
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian
perkawinan internasional sebagai berikut: Perkawinan Internasional adalah
suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa
berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan
mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi
perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam
perkawinan campuran, yaitu:
74
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (intergentiel) Menerangkan hukum
mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang,
yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk
kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin
dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat (Interlocaal) Mengatur hubungan
hukum (perkawinan) antara orang-orangIndonesia asli dari masing-masing
lingkungan adat. Misalnya,orang Minang kawin dengan orang Jawa.
3. Perkawinan Campuran Antar Agama (interreligius) Mengatur hubungan
hukum (perkawinan) antara 2 orang yangmasing-masing tunduk kepada
peraturan hukum agama yangberlainan. Misalnya orang Islam dengan orang
Kristiani.Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan
Dalam hal ini adapun tata cara perkawinan campuran yang di lakukan
masyarakat Pekon Bumi Agung masih sama halnya dengan pelaksanaannya
dengan daerah-daeah lain yang di atur dalam Pasal 59 ayat (2) sampai dengan
Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, yang
menentukan sebagai berikut :
1. Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan ini.
2. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang relatif
dipenuhi dan karena itu tidak untuk melangsungkan perkawinan campuran,
maka mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-
75
masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan
bahwa syarat-syarat telah terpenuhi.
3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak boleh dimintakan banding tentang
soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau
tidak.
4. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut dalam Pasal 60
ayat (3) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.
5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam
masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
6. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkawinan campuran yang terjadi pada masyarakat Pekon Bumi
Agung di karenakan adanya wisatawan asing yang berkunjung ke
Kabupaten Pesisir Barat, dan mereka bisa tinggal disana dalam jangka
waktu yang lebih lama. Selain itu hal ini juga dikarenakan keinginan
para wisatawan asing untuk memiliki tanah atau tempat tinggal di
Kabupaten Pesisir Barat. Mereka melakukan perkawinan campuran
dengan masyarakat lokal agar bisa memiliki tanah di daerah tersebut
dengan menggunakan nama suami/istri. Prosedurnya dilakukan sesuai
dengan peraturan yang tertera pada undang-undang.
2. Menurut hukum Islam, perkawinan campuran sah-sah saja jika sesuai
dengan rukun dan syarat perkawinan dalam Islam. Sedangkan menurut
Hukum positif, perkawinan campuran harus sesuai dengan aturan
perundang-undangan. Apabila perkawinan tersebut telah di
langsungkan secara agama atau dengan kata lain tidak di lakukan di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA), maka
hanya memperoleh surat keterangan menikah, namun tidak memperoleh
salinan Akta Nikah (Buku Nikah dari KUA). Dengan demikian,
langkah hukum yang dapat di tempuh adalah dengan mengajukan
permohonan itsbat nikah pada Pengadilan Agama setempat. Dari 8
orang pasang yang melakukan perkawinan campuran, 5 pasang tidak
76
ditemukan datanya karena telah ikut atau dibawa ke negara asal
suaminya. Adapun 3 pasang lainnya melakukan nikah siri dan tidak
tercatat data-datanya.
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian, maka dapat di sampaikan
beberapa saran dan di harapkan berguna bagi pemerintah dan masyarakat
terkait dalam pelaksanaan perkawinan campuran agar masyarakat lebih
memahami dampak dari perkawinan campuran, dianataranya sebagai
berikut:
1. Di perlukan peranan pemerintah dan pengawasan untuk mencegah,
mengantisipasi terjadinya perkawinan campuran apabila hanya untuk
pemanfaatanwisatawan asing untuk mendapatan hak tinggal dan
hanya untuk dapat membelitanah atau lahan di Kabupaten Pesisir
barat serta dampak-dampak negative lainnya untuk menjaga
kelestarian budaya, alam dan lainnya.
2. Kepada Tokoh-tokoh Agama, Adat Masyarakat Pekon Bumi Agung
hendaknya dapat membantu memberikan saran kepada masyrakat
Pekon Bumi Agung tentang tidak baiknya perkawinan campuran
apabila hanya untuk pemanfaatan Warga Negara Asing atau
wisatawan asing kepada masyarakat untuk medapatan hak tinggal.
DAFTAR PUSTAKA
MS, Basri. Metodelogi Penelitian Sejarah. Jakarta: Restu Agung, 2006.
Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Grafika, 2012.
Etta Mamang Sangadji dan Sopiah. Metode Penelitian Pendekatan Praktik Dalam
Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010.
Subekti. hukum keluarga dan hukum waris. Jakarta: Intermasa, 2002.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara,
2015.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2013.
Noor, Juliyansyah. Metode Penelitian. Jakarta: Kencana, 2011.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian. Bandung: PT.Cipta Aditya
Bakti, 2004.
Moloeng, Lexy L. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Perda
Karya, 2001.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: Dar Al-Fikr, 1986.
Al-Hamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 2011.
Darajat Zakiah. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995.
Abror Khoirul. Hukum Perkawinan dan Perceraian. Bandar Lampung: Pusat
Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Raden Intan Lampung, 2015.
Yunus M. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT Hidayat Karya Agung,
1996.
Idhamy Dahlan. Asas-Asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam. Surabaya.
Rofiq Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2007 Tentang
Pencatatan Nikah, Seksi Urusan Agama Islam Depertemen Agama RI
Tahun 2007.
Depertemen Agama RI. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Proyek
Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam. Jakarta: 2003.
Al-Fauzan Dkk. Mulakhkhas Fiqhi Panduan Fiqh Lengkap. Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir, 2010.
http://pesisirbaratkab.blogspot.co.id/2014/03letak-geografis-kabupaten-pesisir-
barat.html.