Download - Laporan Tutorial Kulit Sk 1
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 1 SEMESTER V
BLOK KULIT
“WARNA MERAH DI KAKI”
Kelompok A 7
1. M. Iqbal G00122. Farhan Kuncoro G00123. Slamet Riyadi G00124. Agung Setiawan G00125. Dinda Carissa G00126. Okky Dhevi G00127. Ria Tustina G00128. Debby Hasprilia O. G00120539. Rizki Ardiana Vita G001210. Rosita Alifa G001211. Sarah Luthfiani G001212. Annisa Pertiwi G0012
Tutor : Risya Cilmiaty, dr.
PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena
posisinya yang terletak di bagian paling luar. Karena letaknya paling luar maka
kulit sering terpajan oleh infeksi baik bakteri, virus maupun jamur. Sebagai
contoh dalam skenario berikut:
WARNA MERAH DI KAKI
Seorang pasien perempuan berusia 41 tahun datang ke puskesmas dengan
keluhan kulit tungkai bawah kiri kemerahan. Keluhan disertai bengkak dan nyeri
sejak 5 hari yang lalu. Penderita juga mengeluh adanya demam. Penderita sering
menggaruk tungkai bawah karena sering digigit nyamuk.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ujud kelainan kulit eritema berwarna
merah cerah, edema, bula, pus, pinggirnya meninggi dan berbatas tegas. Pada
palpasi terdapat nyeri tekan dan perabaan panas. Terdapat pembesaran kelenjar
getah bening pada lipat paha kiri. Dokter menyarankan dilakukan pemeriksaan
penunjang dan dokter akan memberikan terapi setelah didapatkan hasil dari
pemeriksaan penunjang.
B. Klarifikasi Istilah
Dalam skenario kali ini kami mengklarifikasikan istilah sebagai berikut :
a. Bula : sebuah lesi menonjol melingkar (> 0,5 cm) yang berisi cairan
serosa di atas dermis.
b. Pus : suatu respon dari jaringan yang mengalami trauma/luka yang
berisi sel darah putih/leukosit yang mati.
C. Rumusan Masalah
1. Adakah hubungan jenis kelamin, usia, dengan keluhan pasien?
2. Mengapa tungkai bawah pasien kemerahan disertai bengkak dan nyeri?
3. Mengapa keluhan juga disertai dengan demam?
4. Adakah hubungan antara kebiasaan pasien yang sering menggaruk
tungkai bawah karena digigit serangga dengan keluhan?
5. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan ukk
eritem merah cerah, edema, bula, pus dengan pinggir meninggi dan
berbatas tegas?
6. Mengapa ditemukan pembesaran kelenjar getah bening pada lipat paha
kiri?
7. Apakah pemeriksaan penunjang yang diperlukan?
8. Apakah terapi yang tepat untuk diberikan kepada pasien tersebut?
D. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami anatomi dan fisiologi dari Kulit
2. Mahasiswa mampu memahami patogenesis dan patofisiologi dari
kasus
3. Mahasiswa mampu memahami perbandingan differential diagnosis,
pemeriksaan penunjang, tata laksana dan komplikasinya
4. Mahasiswa mampu memahami etiologi dan epidemiologi dari kasus
E. Hipotesis
Pasien pada skenario menderita erisipelas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya
sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya
sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm
sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin.
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak
ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai
dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak
(Tortora, Derrickson, 2009).
A. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum
lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
Stratum korneum adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas
beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Stratum
lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih
jelas di telapak tangan dan kaki.
Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng
dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-
butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas
beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-
beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena
banyak mengandung glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-
sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Di antara
sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang
terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar
jembatan-jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil yang disebut
nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel
Langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung banyak glikogen.
Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang
tersusun vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti
pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling
bawah. Sel-sel basal ini mengalami mitosis dan berfungsi reproduktif.
Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel yang berbentuk
kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar,
dihubungkan satu dengan lain oleh jembatang antar sel, dan sel
pembentuk melanin atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna
muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung
butir pigmen (melanosomes).
B. Lapisan Dermis
Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi
menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke
epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars
retikulare yaitu bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan,
bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut
kolagen, elastin dan retikulin. Dasar lapisan ini terdiri atas cairan
kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat
pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung hidrksiprolin
dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah
umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip
kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk
amorf dan mudah mengembang serta lebih elastis.
C. Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak
merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma
lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang
dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan
sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan
makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama
bergantung pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3
cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak
ini juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang
terletak di bagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di
subkutis (pleksus profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas
mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang di subkutis
dan di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini
pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan
pembuluh darah terdapat saluran getah bening.
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.
Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar
palit. Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil,
terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang
lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
2. Fisiologi
Kulit memiliki beberapa fungsi antara lain:
a. Perlindungan
Kulit tubuh yang memiliki ketebalan sekitar 1 atau 2 mm
memberikan perlindungan yang sangat efektif terhadap invasi bakteri dan
benda asing lainnya. Kulit tangan dan telapak kaki yang menebal
memberikan perlindungan yang sangat efektif terhadap pengaruh trauma
yang terus menerus yang terjadi pada daerah tersebut.
b. Sensibilitas
Ujung-ujung reseptor serabut saraf pada kulit memungkinkan
tubuh untuk memantau secara teru-menerus keadaan lingkungan di
sekitarnya. Fungsi utama reseptor pada kulit adalah ujung saraf Merkel,
untuk merasakan panas; ujung saraf Pacini, untuk merasakan tekanan;
ujung saraf Meissner, untuk mersakan rabaaan; ujung saraf Krausse,
untuk merasakan dingin.
c. Keseimbangan air
Stratum korneum memiliki kemampuan untuk menyerap air
sehingga akan mencegah kehilangan air serta elektrolit yang berlebihan
dari bagian internal tubuh dan mempertahankan kelembaban dalam
jaringan subkutan.
d. Pengaturan suhu
Tubuh secara terus menerus akan menghasilkan panas sebagai hasil
metabolism makanan yang memproduksi energi. Panas ini akan hilang
terutama lewat kulit. Tiga proses fisik yang terlibat yaitu radiasi
(pemindahan panas ke benda lain yang suhunya lebih rendah dan berada
pada suatu jarak tertentu), konduksi (pemindahan panas ke benda lain
yang lebih dingin yang bersentuhan dengan tubuh), dan konveksi yang
terdiri atas pergerakan massa molekul udara hangat yang meninggalkan
tubuh. Evaporasi dari kulit akan membantu kehilangan panas lewat
konduksi. Panas dihantarkan lewat kulit ke dalam molekul-molekul air
pada permukaan sehingga air tersebut mengisat. Air dari permukaan kulit
dapat berasal dari perspirasi yang tidak terasa, keringat ataupun
lingkungan. Pengeluaran keringat merupakan suatu proses yang
digunakan kulit untuk mengatur laju kehilangan panas.
e. Produksi vitamin
Kulit yang terpajan sinar ultraviolet dapat mengubah substansi
yang diperlukanuntuk mensintesis vitamin D (kolekalsiferol). Vitamin D
merupakan unsure esensial untuk mencegah penyakit riketsia, suatu
keadaan yang terjadi akibat defisiensi vitamin D, kalsium serta fosfor dan
menyebabkan deformitas tulang (Morton, 1993).
f. Fungsi respon imun
Hasil penelitian terakhir (Nickoloff, 1993) menunjukkan bahwa
beberapa sel dermal (sel-sel Langerhans, interleukin-1 yang
memproduksi keratinosit, dan subkelompok limfosit-T) merupakan
komponen penting dalam sistem imun.
3. ERISIPELAS
Erisepelas adalah peradangan akut pada kulit epidermis dan dermis,
didahului dengan trauma, tempat predileksinya TUNGKAI BAWAH.
Disebabkan oleh Sterptococcus B hemolyticus. Penyakit ini banyak terjadi
pada anak-anak dan dewasa dengan frekuensi yang sama pada pria dan
wanita.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya erisipelas salah satunya adalah
karena kebersihan/hygiene yang kurang. Selain itu juga ada faktor
predisposisi yaitu diabetes mellitus, infeksi saluran pernapasan atas, dan gizi
kurang.
A. Patofisiologi
Inokulasi bakteri melalui kulit yang trauma merupakan awal
terbentuknya erisipelas. Kelainan kulit yang sudah ada seperti eksema
pada muka dan telinga, fisura pada mukosa, mikosis interdigitalis dan
luka pada kulit sering menjadi pintu masuk kuman. Faktor lokal lain
seperti insuffisiensi vena, ulkus stasis, dermatitis, gigitan serangga dan
luka operasi juga di perkirakan sebagai pintu masuk.
B. Manifestasi Klinis
Setelah masa inkubasi berlangsung sekitar 2 sampai 5 hari,
Erysipelas muncul bersamaan dengan demam (sampai 40°C) dan
menggigil dalam waktu 48 jam dari infeksi awal. Setelah beberapa jam
baru tampak perubahan di bagian kulit yang terinfeksi. Kulit terlihat
kemerahan, bengkak, terasa sakit dan menjadi panas. Lesi kulit
eritematosa membesar dengan cepat dan memiliki tepi tajam mengangkat
batas-batasnya. Infeksi lebih parah dapat mengakibatkan vesikel, bula, dan
petechiae, Kelenjar getah bening bisa membengkak, dan lymphedema
mungkin terjadi. Hasil lab menunjukkan adanya leukositosis,
meningkatnya Laju Endap Darah atau erythrocyte sedimentation rate
(ESR), juga C-reaktive protein.
C. Pemeriksaan Kulit:
Lokalisasi : Kaki, tangan dan wajah
Efloresensi/sifat-sifatnya : Makula eritematosa nummular hingga
plakat, berbatas tegas, edematosa, panas kpada perabaan dan nyeri
tekan. Pada bagian tengah di temukan vesikel miliar atau bular
lentikular.
D. Gambaran Histopatologi
Epidermis tampak edematosa, sel-sel membengkak dan sebukan sel
inflamasi serta sel PMN. Pada dermis pelebaran pembuluh darah dan
sebukan sel-sel radang.
E. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis
Biakan darah, usapan tenggorok dan hidung dapat diisolasi streptokok
beta hemolitik.
F. Pemeriksaan Penunjang
Direct Microscopy Smears
Pewarnaan Gram dari eksudat , pus, cairan bulla, atu apusan sentuh
bisa menunjukkan bakteri. GAS: rantaian cocci gram positif, S
aureus:kelompokan cocci gram positif, Clostridia:Rod gram negatif.
Hematologi
White blood count (WBC) biasanya ditemukan polimorfonuklear
leukositosis sekitar 20,000/mm3 atau lebih6 dan laju endap darah
(ESR) mungkin meningkat danjuga meningkatnya C-reaktif protein.
Dermatopatologi
Potongan lesi yang dibekukan bisa membantu dalam
mengeliminasi diagnosis dermatoses peradangan non-infeksi6.
Uji Serologi
Ujian serologi mungkin dapat membantu untuk memberi bukti
infeksi streptococcal (ASTO dan anti DNAase B).
G. Diagnosis banding
Urtikaria : warna merah akan menghilang pada penekanan
Flurunkulosis: biasannya nyeri, berbentuk kerucut dan berbatas tegas.
H. Penatalaksanaan:
Sistemik: antipiretik dan analgesic
Penisilin0.6 – 1.5 mg unit selama 5-10
Sefalosporin 4x400mg selama 5 hari memberikan hasil yang lebih
buruk
Topikal: Kompres dengan larutan asam borac 3%
4. SELULITIS
Selulitis adalah radang kulit & subkutis disertai dengan adanya
infiltrat difus di subkutan dan tanda-tanda radang akut. Penyakit ini
disebabkan oleh Streptococcus ß-hemolyticus dan banyak terjadi pada anak-
anak & orang tua. Frekuensi kejadiannya pria dan wanita sama.
A. Klasifikasi
Selulitis dapat digolongkan menjadi:
a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau
dua spasia fasial, yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri
mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan spongius.
Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat.
b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous
akut, hanya infeksi bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang
purulen. Penamaan berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika
terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan tubuh bertendensi
membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh
dalam mengontrol infeksi.
c. Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
a) Ludwig’s Angina
b) Selulitis yang berasal dari inframylohyoid
c) Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
d) Selulitis Fasialis Difus
e) Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
f) Selulitis Kronis
g) Selulitis Difus yang Sering Dijumpai (Phlegmone).
B. PATOFISIOLOGI
Invasi bakteri masuk melalui trauma, luka, gigitan serangga
berinvasi streptokokus dan staphylococcus aureus melalui barier
epidermal yang rusak menyerang kulit dan subkutan, masuk ke jaringan
yang lebih dalam dan menyebar secara sistemik yang menyebabkan
terjadinya reaksi infeksi/inflamasi yang merupakan respon dari tubuh
sehingga muncul nyeri, pembengkakan kulit, lesi kemerahan dan demam.
Setelah bakteri masuk melalui luka kecil, bakteri tersebut
menyebar ke jaringan di sekitarnya dan kemudian membelah diri dan
menghasilkan hyaluronidase yang akan memecah substansi dasar
polisakarida, fibrinolisin mencerna barrier fibrin, lecithinase
menghancurkan membran sel. Jaringan setempat yang rusak akibat
trauma biasanya terkena infeksi bakteri anaerob. Jumlah organisme yang
menginfeksi biasanya hanya sedikit, hal ini menggambarkan selulitis
lebih banyak disebabkan oleh reaksi terhadap sitokin dan superantigen
bakteri dibanding oleh karena infeksi yang mengenai jaringan.
Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi
pada permukaan kulit atau menimbulkan peradangan.
C. MANIFESTASI KLINIK
Penampakan yang paling umum adalah bagian tubuh yang
menderita selullitis berwarna merah, terasa lembut, bengkak, hangat,
terasa nyeri, kulit menegang dan mengilap. Gejala tambahan yaitu
demam, malaise, nyeri otot, eritema, edema, lymphangitis. Lesi pada
awalnya muncul sebagai makula eritematus lalu meluas ke samping dan
ke bawah kulit dan mengeluarkan sekret seropurulen. Gejala pada
selulitis memang mirip dengan eresipelas, karena selulitis merupakan
diferensial dari eresipelas. Yang membedakan adalah bahwa selulitis
sudah menyerang bagian jaringan subkutaneus dan cenderung semakin
luas dan dalam, sedangkan eresipelas menyerang bagian superfisial kulit.
D. Differensial Diagnosis :
Mikosis profunda : biasanya kronik
Pioderma kronik : kronik, warna kehitaman
E. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah akan didapatkan leukositosis
Biakan sekret fistel dan uji resistensi
F. Penatalaksanaan :
Sistemik :
Penisillin: 1,2 –2,4 juta unit ->14- 21 hari
Eritromisin 4 x 1 gr ->14 – 21 hari
Topikal : kompres dgn antiseptik spt povidon yodium 5 –10 %
5. Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan
oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan
kulit.
Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan
dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis.
A. Dermatitis Kontak iritan
Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari
bahan iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada
sel-sel epidermis dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan
konsentrasi yang cukup.
Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang
dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI
diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan
(DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui.
Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan
ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak
pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan
pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik.
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk
kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik
berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit yang
muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu
sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita.
Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda
terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan
dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk menginduksi
dermatitis. Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan
peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan kelembaban tinggi,
bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan
kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent,
sehingga hanya mengenai tempat primer kontak.
Dermatitis kontak iritan dibagi beberapa klasifikasi yaitu:
a. Dermatitis kontak iritan akut
Kelainan ini diakibatkan oleh bahan iritan yang sangat kuat
seperti asam sulfat dan asam klorida dan basa kuat. Satu kali
kontak yang pendek dengan suatu bahan iritan tersebut sudah
cukup untuk mencetuskan reaksi iritan.
Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang
hari akan menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction),
yaitu berupa kekeringan dan kemerahan pada kulit, akan
menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan suatu
pelembab. Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang
lebih sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri pada bagian yang
mengalami fissura.
b. Dermatitis kontak iritan kronis
DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah
yang berulang-ulang. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari,
berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun
kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor
paling penting.
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat
laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas.
Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak
kulit yang disebut fisura.
Patogenesis
Iritan masuk ke dalam kulit merusak lapisan kulit yang disebut
sebagai keratinosit. Bahan iritan banyak yang merusak kulit dengan
merusak membran lemak keratinosit, kerusakan tersebut menyebabkan
keratinosit dapat mengaktifkan fosfolipase, asam arakidonat,
diasilgliserida (DAG), platelet activating factor, inositida.
Asam arakidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien
yang dapat menginduksi terjadinya vasodilatasi. DAG dan second
messenger menstimulasi ekspresi gen IL-1 dan GMSCF. IL-1
mengaktifkan sel T helper yang dapat mengaktifkan IL-2. Keratinosit
membuat HLA-DR dan ICAM-1 yang dapat melepaskan TNF alfa yang
bisa mengaktifasi se T.
Terapi
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari
pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan
sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan
cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat
diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya
pencegahan.
B. Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang
kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi.
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang
juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi
oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di
kulit.
Penyebab utama kontak alergen yaitu dari tumbuh-tumbuhan.
Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap
tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan
poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran
dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel
sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -
alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat
rambut, bahan kimia fotografi).
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul,
likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit
dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya
juga campuran.
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia
karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan
dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis
granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan
kosmetik.
Patogenesis
Fase Sensitasi:
Hapten masuk ke dalam epidermis. Kemudian keratimosit akan
mengeluarkan IL-1 yang bisa mengaktifkan sel langerhans yang
mampu menstimulasi sel T. TNF-alfa menekan produksi e-cadherin
padahal molekul ini berfungsi untuk mengikat sel langerhans. Sel
langerhans dihambat untuk mengeluarkan HLA-DR dan sel T-helper.
Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang bisa menstimulasi sel T-helper
untuk akhirnya membuat IL-2. Turunan sel ini akan membuat sel T
memori yang akan ditinggalkan di kelenjar getah bening.
Fase Elisitasi :
Hapten masuk akan berikatan dengan HLA–DR dan sel T
memori. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 menstimulasi sel T-
helper yang akan menstimulasi IL-2. Keratinosit yang rusak akan
menghasilkan IL-1, IL-6, TNF-alfa. Eikosanoid yang dihasilkan oleh
keratinosit juga dapat menghasilkan prostaglandin yang menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
Terapi
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak
alergi adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan
alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteoroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai
dengan eritema, edema, bula atau vesikel, serta eksudatif. Umumnya
kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup
dikompres dengan larutan garam faal. Untuk dermatitis kontak alergik
yang ringan, atau dermatitis akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid
topikal.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario, pasien mengalami kemerahan di tungkai bawah kiri disertai
bengkak dan nyeri. Pasien juga mengeluh adanya demam dan sering menggaruk
tungkai bawah akibat digigit serangga. Hal ini dikarenakan invasi bakteri masuk
melalui gigitan serangga melalui barier epidermal yang rusak menyerang kulit dan
subkutan, masuk ke jaringan yang lebih dalam dan menyebar secara sistemik
sehingga terjadi reaksi inflamasi dan akhirnya muncul nyeri, pembengkakan kulit,
lesi kemerahan dan demam.
Akibat banyaknya bakteri yang menginvasi daerah tersebut, maka sel-sel
fagosit seperti limfosit dan makrofag akan berkumpul dan menuju ke daerah
inflamasi tersebut sehingga menimbulkan terbentuknya bula dan pus yang
pinggirnya meninggi. Tubuh juga akan memberikan respon terhadap infeksi
tersebut agar tidak menyebar lebih jauh ke jaringan sekitar sehingga terbentuklah
batas yang tegas.Pada pemeriksaan juga ditemukan pembesaran getah bening pada
lipat paha kiri. Hal ini terjadi akibat sel-sel imun tubuh memproduksi limfosit
dalam jumlah yang besar akibat adanya reaksi infeksi.
Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui jenis bakteri
yang menginfeksi, sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi; dkk. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6. Jakarta :
FKUI
Mansjoer, Arif. et.al,. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21475/4/Chapter%20II.pdf
Wolff, Klaus, Goldsmith, Lowell et al.. 2008. Fitzpatrick‟s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. United State of America: The McGraw-
HillCompanies, Inc.