Download - Lapkas RM BELLS PALSY Koreksi
PENDAHULUAN
Bell’s Palsy merupakan paresis nervus fasialis primer yang penyebabnya
tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat akut.1,2 Banyak yang mencampuradukkan
antara Bell’s Palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang
penyebabnya diketahui.3
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau
keluarga atau pada saat bercermin atau sikat gigi/ berkumur. Pada saat penderita
menyadari bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai
merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya
tertekan terutama pada wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang
mengharuskan ia untuk tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan
didalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali secara normal atau tidak.2,4
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s Palsy diperlukan dengan tujuan
membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan
mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis
sehingga penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan
bersosialisasi dengan masyarakat.5,6
Definisi
Bell’s Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-
supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan.6
Epidemiologi
Di Amerika Serikat ditemukan 23 penderita Bell’s Palsy pada 100.000
penduduk pertahun (Hausser dkk). Di Manado, penderita Bell’s Palsy yang datang
berobat ke Poli Saraf RSUP Prof. Kandou pada tahun 1998 sebanyak 58 penderita
1
(9,9%) dari 586 penderita gangguan saraf tepi kranialis. Di instalasi Rehab Medik
sebanyak 281 kunjungan (5,53%) dari 7.970 kunjungan di tahun 1998.6
Di Indonesia, insiden Bell’s Palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah Sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s
Palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-30
tahun. Lebih sering wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.1,2
Etiologi
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s Palsy, tetapi ada 4 teori
yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s Palsy yaitu:1,5
1. Teori Iskemik Vaskuler
Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
2. Teori Infeksi Virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes
Simpleks Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktifasi dari HSV
(khususnya tipe 1).
3. Teori Herediter
Bell’s Palsy terjadi karena kemungkinan adanya kanalis fasialis yang
sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan
predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis.
4. Teori Imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
2
Patofisiologi
Apapun yang menjadi etiologi dari Bell’s Palsy, proses akhir yang
dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s Palsy adalah proses edema
yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau
kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan
permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler
kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran
darah yang menyebabkan terjadinya hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan
kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik,
terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kalikrein sebagai
hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan
yang permanen.5,8
Gambaran Klinis
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya
kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin
atau saat sikat gigi/ berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/ keluarga bahwa
salah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s Palsy hampir selalu unilateral. Gambaran
klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total.
Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan
nasolabial akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air
menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura
palpebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk
memejamkan matanya, maka kelopak mata pada sisi lumpuh akan tetap terbuka
(disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan
tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata
yang berkurang, maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin sehingga
menimbulkan epifora.1,7 Saat menggembungkan pipi, terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak menggembung. Selain itu, makanan cenderung terkumpul di
antara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah
sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila paresisnya benar-
benar bersifat “Bell’s Palsy”.7
3
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis serta beberapa pemeriksaan
fisik, dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis.
1. Anamnesis
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan
- Riwayat pekerjaan dan ada tidaknya aktivitas yang dilakukan pada
malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi
saluran pernapasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan
- Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis N. VII tipe perifer.
- Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal:7,9
1). Mengerutkan dahi
2). Memejamkan mata
3). Mengembangkan cuping hidung
4). Tersenyum
5). Bersiul
6). Mengecangkan kedua bibir
Di instalasi Rehabilitasi Medik RSU Prof. Kandou menggunakan
Skala Ugo Fisch untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita
Bell’s Palsy.6
SKALA UGO FISCH
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5
posisi:
Posisi Nilai Persentasi (%) 0, 30, 70, 100 Skor
Istirahat 20
Mengerutkan Dahi 10
Menutup Mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
4
Total
- Penilaian Persentasi:
0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter.
30% : simetris, poor/ jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke
asimetris komplit daripada simetris normal.
70% : simetris, fair/ cukup, kesembuhan parsial yang cenderung
ke arah normal.
100% : simetris, normal/ komplit.
3. Diagnosis Klinis
Ditegakkan dengan adanya paresis N. VII perifer dan bukan sentral.
Umumnya unilateral.
4. Diagnosis Topis
Letak LesiKelainan
Motorik
Gangguan
Pengecapan
Gangguan
Pendengaran
Hiposekresi
Saliva
Hiposekresi
Lakrimalis
Pons-meatus
akustikus internus+ +
+ tuli/
hiperakusis+ +
Meatus akustikus
internus-ganglion
genikulatum
+ ++
hiperakusis+ +
Ganglion
genikulatum-
N. Stapedius
+ ++
hiperakusis+ -
N.stapedius-
chorda tympani+ + + + -
Chorda tympani + + _ + _
Infra chorda tympani
sekitar foramen
stilomastoideus
+ - - - -
5. Diagnosis Etiologis
Sampai saat ini, etiologi pasti dari Bell’s Palsy belum dapat diketahui.
5
Diagnosis Banding1,7
1. Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis
2. Herpes Zoster Oticus
3. Trauma Kapitis
4. Sindrom Guillain-Barre
5. Miastenia Gravis
6. Tumor Intrakranialis
7. Leukemia
Prognosis10
Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2
bulan. Kira-kira 10-15% akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.
Komplikasi
1. Crocodile tears phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Hal ini
timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari
regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar
saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum.1
2. Synkinesis
Dalam hal ini, otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau
tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Misalnya bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut
mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah
inervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung
dengan serabut-serabut otot yang salah.1,4
3. Hemifacial Spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan.4 Pada
stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi berikutnya dapat
6
mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak
sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.1,4
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis
lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibandingkan pada sisi yang
sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak
tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot
wajah bergerak.1
Terapi
- Terapi medikamentosa
Golongan kortikosteroid sampai saat ini masih kontoversi. Dapat juga
diberikan golongan neurotropik.1,3
- Terapi operatif
Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi.1,2
- Rehabilitasi medik6
Rehabilitasi Medik Pada Penderita Bell’s Palsy
Sebelum membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s Palsy, maka
akan dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut
WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan
handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas
sosial.6
Tujuan rehabilitasi medik adalah:
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin.
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin.
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan
bekerja dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan
efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,
7
fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial
medik dan perawat rehabilitasi medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu
dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pad Bell’s
Palsy adalah untuk mengurangi/ mencegah paresis menjadi bertambah dan
membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat
melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan
adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik
prostetik, sedangkan program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak
berperan.
A. Program Fisioterapi
1. Pemanasan1,11
- Pemanasan superfisial dengan infrared.
- Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave
Diathermy.
2. Stimulasi Listrik1,9
Tujuan pemberiannya adalah menstimulasi otot untuk mencegah/
memperlambat terjadi atrofi sambil menuggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang
tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, re-edukasi dari aksi otot,
melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah/
meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
3. Latihan Otot-otot Wajah dan Masase Wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.
Latihan berupa mengangkat alis, tahan 5 detik, mengerutkan dahi,
menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, beriul/ meniup
(dilakuka di depan kaca dengan konsentrasi penuh).
Masase adalah latihan manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan
tubuh dengan maksud untuk perbaikan/ pemulihan. Pada fase akut,
Bell’s Palsy diberikan gentle masase secara perlahan dan berirama.
Gentle Massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan
8
relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot.1,3 Setelah lewat fase
akut, diberikan Deep Kneading Massage selum latihan gerak volunter
otot wajah. Hal ini dapat memberikan efek mekanik terhadap
pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa
metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi
serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga
melepaskan perlengketan. Masase daerah wajah dibagi 4 area yaitu
dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan ke atas,
lamanya 5-10 menit.12
B. Program Terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot
wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam
bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat
kondisi penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat
berupa latihan berkumur, latihan minum dengan menggunakn sedotan,
latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan
cermin.5
C. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s Palsy sering merasa malu dan menarik diri dari
pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat
kerja dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan
menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu penderita
dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum.
Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di
tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan
bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat penting
untuk kesembuhan penderita.5,6
D. Program Psikologi
9
Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis yang amat
menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita
muda, wanita ataupun penderita yang profesinya mengharuskan dia untuk
sering tampil di depan umum, maka bantuan psikolog sangat dibutuhkan.5
E. Program Ortotik-Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan “Y” plester dengan tujuan agar sudut
mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam.
Perlu diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan
“Y” plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada
penderita setelah mengalami fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terenggangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya
kontraktur.6
F. Home Program6,12
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit.
- Masase wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan
dari sisi wajah yang sehat.
- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah pada sisi yang
sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet.
- Perawatan mata:
a. Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari.
b. Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari.
c. Biasakan menutup bola mata secara pasif sebelum tidur.
10
LAPORAN KASUS
Identitas Penderita
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 54 thn
Alamat : Ranotana Ling V
Pekerjaan : IRT
Agama : Kristen Protestan
Tanggal pemeriksaan : 24 Desember 2012
Anamnesis
Keluhan utama: Wajah mencong ke kiri.
Riwayat penyakit sekarang : Wajah mencong ke kiri dialami penderita sejak ± 10
hari yang lalu. Penderita menyadarinya saat bangun pagi, tiba-tiba penderita
merasakan pipi sebelah kanan menjadi kaku dan saat penderita bercermin nampak
mulut penderita mencong ke kiri. Penderita juga tidak bisa menutup mata kanan
dengan baik dan mengangkat alis kanan. Saat penderita minum, air minum
tersebut menetes/ keluar dari sudut mulut kanan, dan saat penderita makan,
makanan yang dikunyah cenderung terkumpul ke sisi kanan mulut. Penderita juga
merasa sakit pada sisi wajah kanan. Penderita biasa tidur dengan pintu kamar
terbuka. Dua hari sebelum penderita mengalami keluhan mulut mencong ke kiri,
penderita bepergian dengan mobil dan duduk di sebelah pintu dengan jendela
terbuka dari Motoling – Tomohon. Penderita segera memeriksakan diri ke
Puskesmas Amurang dan diberi obat piracetam dan 3 macam obat yang penderita
tidak tahu namanya. Namun karena tidak ada perbaikan, maka penderita berobat
ke RSU Prof. Kandou. ± 6 bulan yang lalu penderita sering sakit telinga kanan,
pasien mengeluh merasa tidak nyaman di telinga, trauma (-), panas (-), keluar
cairan dari telinga (-), gangguan pengecapan (-), telinga berdengung (-), riwayat
batuk, pilek, demam dalam beberapa minggu yang lalu (-).
11
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi (+), DM (-), Asam urat (-), kolesterol (-). Penderita tidak pernah
minum obat darah tinggi sebelumnya, bila sakit kepala hanya minum obat-obat
diwarung. Riwayat trauma tidak ada. Penderita tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Hanya penderita yang sakit seperti ini dalam keluarga.
Riwayat Kebiasaan :
Penderita sering duduk-duduk di teras rumah sampai malam hari dimana penderita
tinggal di Motoling daerah dingin. Minum alkohol (-), merokok (-).
Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita sudah menikah, tinggal bersama dengan suami, dan anaknya. Rumah
permanen 1 lantai, atap terbuat dari seng, lantai dari keramik dengan 3 kamar tidur
dan 1 buah kamar mandi gabung WC jongkok, menggunakan air dari PAM dan
listrik PLN. Biaya pengobatan ditanggung sendiri.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : cukup, Kesadaran : Compos Mentis.
Tanda vital : T: 180/100 mmHg, N: 72 x/m, R: 22 x/m, S: 36,3 0C
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sclera ikterus (-),
pupil bulat isokor kiri=kanan, Refleks Cahaya: (+/+),
Lagoftalmus: 5 mm
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Toraks : Simetris kiri=kanan, retraksi iga (-), massa (-)
Pulmo: simetris, Stem Fremitus kiri=kanan
Suara pernapasan vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung: Ictus cordis tidak tampak ICS III-IV, kuat angkat,
batas jantung normal, SI-II normal, bising (-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal, nyeri tekan epigastrium (-)
Hepar/Lien tidak teraba
Ekstremitas : Hangat, Pitting udema (-/-)
12
Status Lokalis Regio Fasialis
Inspeksi: wajah tampak tidak simetris, mulut mencong ke kiri, hilangnya lipatan
nasolabial kanan, edema (-), celah mata 5 mm.
Palpasi : hangat (-), nyeri tekan (-)
MMT Otot-otot Wajah:
M. Frontalis : 0
M. Corrugator supercilli : 1
M. Dilator Nasalis : 1
M. Orbicularis Okuli : 1
M. Orbicularis Oris : 0
M. Zygomaticus major : 0
Skala Ugo Fisch
Posisi Nilai Persentasi (%) 0, 30, 70, 100 Skor
Istirahat 20 70% 14
Mengerutkan Dahi 10 0 0
Menutup Mata 30 30% 9
Tersenyum 30 0% 0
Bersiul 10 0% 0
Total 23
Resume
♀ , umur 54 tahun. Keluhan wajah mencong . Mulut mencong sejak ±10
hari yang lalu. Riwayat bepergian dengan wajah terkena angin dan kebiasaan
penderita duduk-duduk di teras rumah sampai malam hari dimana daerah tempat
tinggal penderita di daerah dingin. Pada pemeriksaan didapatkan kelemahan otot-
otot wajah kanan skor UGO FISCH 23.
Diagnosis Klinik : Bell’s Palsy dextra, hipertensi gr II
Diagnosis Topis : paresis N. VII perifer dextra (pada foramen stilomastoid)
Diagnosis Etiologik : Idiopatik
Diagnosis Fungsional: Disabilitas ringan (gangguan makan dan minum)
13
Pengobatan : pemberian obat antihipertensi captopril
Problem rehabilitasi medik
- Kelemahan otot-otot wajah sebelah kanan.
- Mata kanan tidak bisa menutup dengan baik sehingga mata sering
berair.
- Gangguan makan dan minum.
- Penderita merasa malu dan minder karena wajah mencong.
Program Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi
Evaluasi:
- Kelumpuhan otot-otot wajah pada sisi sebelah kanan.
- KO: M. Frontalis : 0
M. Orbicularis Okuli : 1
M. Orbicularis Oris : 0
M. Dilator Nasalis : 1
M. Corrugator supercilli : 1
M. Zygomaticus major : 0
Program:
- Pemanasan superfisialis dengan infra red pada regio facialis dextra.
- Latihan otot wajah sebelah kanan antara lain: mengangkat alis (tahan 5
detik), mengerutkan dahi, menutup mata, mengangkat sudut mulut,
tersenyum, bersiul/ meniup (dilakukan didepan kaca dengan penuh
konsentrasi).
- Deep kneading massage.
- Faradisasi
2. Ortotik Prostetik
Evaluasi:
- Kelumpuhan otot-otot wajah pada sisi sebelah kanan.
- Sudut mulut kanan lebih rendah daripada kiri
- KO: M. Frontalis : 0
14
M. Orbicularis Okuli : 1
M. Dilator Nasalis : 1
M. Orbicularis Oris : 0
M. Corrugator supercilli : 1
M. Zygomaticus major : 0
Program:
- Rencana pemasangan plester “Y”.
3. Okupasi Terapi
Evaluasi:
- Kelumpuhan otot-otot wajah pada sisi sebelah kanan.
- Gangguan fungsi saat minum air, air keluar dari sudut mulut kiri
Program:
- Latihan AKS antara lain berkumur, minum dengan sedotan, latihan
meniup lilin (hindari menggembungkan pipi dengan mulut tertutup).
Latihan ini dilakukan secara bertahap, sesuai kondisi penderita dan
jangan sampai melelahkan penderita.
4. Psikologi
Evaluasi:
- Merasa malu, minder, dan cemas, apakah akan sembuh atau tidak.
Program:
- Support mental
- Memberikan dorongan agar penderita tetap menjalani terapi di
Instalasi Rehabilitasi Medik dan rajin melakukan latihan di rumah.
5. Sosial Medik
Evaluasi:.
- Penderita cenderung mengurangi sosialisasi dengan lingkungannya
karena merasa malu akan penyakitnya.
- Penderita tidak bekerja, biaya pengobatan ditanggung sendiri dan
membutuhkan terapi dalam waktu lama.
15
Program:
- Memberikan edukasi kepada lingkungan dan keluarga penderita
mengenai penyakit penderita dan memberikan dorongan kepada
penderita agar tetap menjalani terapinya.
- Penderita disarankan untuk mengurus Jamkesmas atau sementara
membutuhkan bantuan dari keponakan penderita.
6. Home Program
- Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 10 menit.
- Masase wajah yang sakit ke arah atas
- Latihan tiup lilin, bersiul, berkumur, mengunyah permen karet disisi
yang sakit.
- Perawatan mata: Beri obat tetes mata (artificial tears), memakai
kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari, biasakan menutup
kelopak mata secara pasif sebelum tidur dengan kasa.
7. Edukasi
- Penderita disarankan apabila tidur pintu dengan jendela ditutup agar
angin (udara dingin) tidak masuk. Dan hilankan kebiasaan pasien yang
suka duduk-duduk sampai malam hari di teras rumah.
- Penderita disarankan untuk diet rendah garam
- Edukasi pasien agar berolahraga teratur.
Prognosis- Ad vitam : ad bonam- Ad functionam : ad bonam- Ad sanationam : dubia ad bonam
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam: Hadinoto, dkk. Gangguan gerak. Cetakan I. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990: 171-81
2. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam: Adams, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit EGC, 1997: 139-52
3. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In: Rehabilitation Medicine. 2nd
ed. New York: Mc Graw Hill, 1971: 429-31
4. Lumbantobing SM. Saraf Otak: Nervus Fasial. Dalam: Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FK Universitas Indonesia, 2004: 55-60
5. Thamrinsyam. Beberapa kontroversi Bell’s Palsy. Dalam: Thamrinsyam, dkk. Bell’s Palsy. Surabaya: Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR, 1991: 45-51
6. Angliadi LS, Sengkey L, Mogi TI, Gessal J. Bell’s Palsy. Dalam: Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi FK UNSRAT. Manado. 2006. Hal: 79-90
7. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta: Dian Rakyat, 1985: 311-17
8. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English: ELBS, 1985: 3-16
9. Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam Thamrimsyam, dkk. Bell’s Palsy. Surabaya: Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR, 1991: 31-49
10. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In: Principles of Neurology. 5th ed. New York: Mc Graw Hill, 1994: 1174-5
11. Kendall FP, Mc Creary EK. Muscle Testing and Function; 3rd ed. Baltimore: William & Wilkins, 1983: 235-48
12. Reyes TM, Reyes OBL. Hydrotherapy, Message, Manipulation and Traction. Volume 2 Philippines: U. S. Printing Office, 1977: 78-84, 210
17