70
BAB III
KONSEP KECERDASAN MAJEMUK (MULTIPLE INTELLIGENCE)
HOWARD GARDNER
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
A. Latar belakang Lahirnya Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple
Intelligences)
Pada awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun 1905 di Perancis,
Alfred Binet, bersama Theodore Simon memperkenalkan sebuah tes kecerdasan
yang dikenal dengan “IQ”.127
Kecerdasan intelektual atau rasional atau pada saat
itu dikenal dengan IQ pernah menjadi isu besar. IQ atau Intelligence Quotient
adalah kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun
strategis. Tujuan utama tes tersebut adalah untuk menentukan pada tingkat mana
kemampuan seseorang seharusnya. Para psikolog menyusun berbagai tes untuk
mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat memilah manusia ke dalam berbagai
tingkat kecerdasan. Menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, maka semakin
tinggi pula kecerdasannya.128
Tes tersebut mendapat tanggapan positif dari pemerintah Amerika
Serikat, yang selanjutnya digunakan untuk mengukur kecerdasan logika
seseorang. Karena satu-satunya tes kecerdasan yang ada pada waktu itu adalah tes
IQ, maka tes tersebut berpengaruh tidak hanya di daratan Amerika, tetapi
merambah keseluruh dunia termasuk Indonesia.
127
Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1 128 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dala Berfikir
Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001). hal. 3
71
Memang, dahulu pada tahun 1905, Alfred Binet, membuat tes IQ
hanya untuk mengukur kecerdasan seseorang dari dua ranah yang masih sempit,
yaitu kemampuan verbal dan matematis, kemudian merangkum dalam sebuah
angka magis, yaitu IQ. Anak yang pandai menari, menggambar, bersosialisasi,
dan sebagainya masih belum terdeteksi bahwa mereka juga memiliki kecerdasan.
kemudian, ilmu psikologi terus berkembang sehingga lahirlah banyak teori
kecerdasan yang dimunculkan oleh para ahli psikologi yang mulai meninggalkan
angka sebagai ukuran kecerdasan seseorang.129
Hampir delapan puluh tahun tes IQ ini diyakini sebagai satu-satunya
tes yang hanya dapat mendeteksi keberhasilan seseorang sehingga didalam
pembelajaran tes IQ menjadi alat evaluasi utama, untuk mengukur kecerdasan
seseorang dan bahkan menjadi model tes untuk evaluasi tahap akhir.130
Dari perspektif sejarah peradaban Barat, terutama pada abad
kegelapan (dark millennium) yang mengantarai abad klasik dan renaissance,
persoalan kecerdasan ini jarang ditentang. Karena itu, tulis Gardner seperti yang
dikutif oleh Agus Efendi, pada awal abad pertengahan, St. Agustine menegaskan
bahwa pengarang dan penggerak utama alam semesta adalah kecerdasan. Oleh
karena itu, sebab akhir alam semesta itu haruslah baiknya kecerdasan (the good of
intelligence). Seluruh manusia itu mencari kearifan, dan pencarian kearifan adalah
129 Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai
Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 94 130 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 1
72
sesuatu yang paling sempurna, paling sulit, paling berguna, dan paling dapat
disepakati.131
Di Indonesia pengaruh tes IQ tidak hanya pada model tes yang
berbasis pada kecerdasan IQ, tetapi pada perkembangannya seolah-olah sebagai
suatu strategi dan target pembelajaran, sehingga proses pembelajaran berlangsung
dengan paradigma mengejar target kurikulum bagi peserta didik lebih penting dari
pada penguasaan ilmu.
Baru pada tahun 1983, Howard Gardner seorang psikolog dari
universitas Harvard, mengkritisi terhadap kondisi teori kecerdasan IQ dan cara
pengukuran hasil tes IQ tersebut. Gardner memberikan konsep baru tentang
paradigma kecerdasan. Ia mengungkapkan:
Sebagian pengujian kita didasarkan pada penghargaan yang tinggi pada
keterampilan verbal dan matematika. Bila anda pandai dalam bahasa dan
logika, tes IQ anda pasti bagus, dan anda mungkin berhasil dengan baik masuk
perguruan tinggi yang bergengsi, tetapi apakah anda berhasil setelah lulus,
mungkin akan tergantung pada sejauh mana anda memiliki dan menggunakan
kecerdasan yang lain.132
Seperti yang diungkapkan Daniel Goleman sebagaimana yang dikutif
oleh Agus Efendi, apabila ada orang yang melihat keterbatasan cara berfikir
konvensional tentang kecerdasan, orang itu adalah Gardner. Gardner menunjukan
bahwa masa-masa kejayaan tes IQ dimulai selama Perang Dunia I, ketika dua juta
pria Amerika secara masal pertama kali dipilih melalui tes IQ. Ini mengantar kita
menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut „cara berfikir IQ‟. Bahwa
orang itu entah cerdas entah tidak, terlahir secara demikian; tak banyak hal yang
131 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 81 132 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Kecerdasan Majemuk, Teori dalam Praktek, (Batam
Center: Inter Aksara 2003). hal. 24
73
dapat Anda lakukan untuk mengubahnya; dan tes-tes itu dapat menunjukan
apakah Anda termasuk orang cerdas atu bukan.133
Dengan kutipan tersebut, Goleman ingin menegaskan dua hal.
pertama, menegaskan bagaimana IQ kritik atasnya. Kedua, menegaskan bahwa
sikap Howard Gardner, penulis Frame Of Mind (1983), itu sangat berpengaruh
terhadap penolakan IQ sebagai satu-satunya kecerdasan, atau berpengaruh
terhadap penolakan IQ sebagai kecerdasan monolitik yang penting untuk meraih
kesuksesan hidup.134
Teori Multiple intelligence yang digagas Howard Gardner dalam
perkembangannya banyak menyita perhatian masyarakat, terutama para
praktisi pendidikan diseluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut Munif
Chatib setidaknya ada tiga paradigma mendasar mengapa Multiple Intelligence
Howard Gardner banyak menyita perhatian masyarakat, khususnya praktisi
pendidikan:
1. Kecerdasan tidak dibatasi tes formal
Kecerdasan tidak mungkin di batasi oleh indikator-indikator yang ada
dalam achievement test (tes Formal). Sebab kecerdasan seseorang itu selalu
berkembang dinamis, tidak statis. Menurut Gardner sebagaimana yang
dikutif Munif Cahatib, kecerdasan dapat dilihat dari kebiasaan seseorang.
Padahal, kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang.
133 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136 134
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21 hal. 136
74
2. Kecerdasan itu Multidimensi
Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya
kecerdasan verbal atau logika. Gardner memberi label „multiple‟ (jamak
atau majemuk) pada konsep kecerdasannya, sehingga memungkinkan ranah
kecerdasan tersebut terus berkembang, ini tebukti dari teori kecerdasan
yang awalnya 7 kecerdasan, menjadi 9 kecerdasan.
3. Kecerdasan Proses Discovering Ability
Multiple intelligences punya metode discovering ability, artinya proses
kemampuan seseorang. Dengan persepsi bahwa setiap orang pasti memiliki
kecenderungan jenis kecerdasan tertentu, yang harus digali dengan
pencarian kecerdasan.135
Ketika mengantarkan edisi ke-10 dari frame of Mind (1983), Gardner
seperti yang dikutif oleh Agus Efendi menegaskan bahwa sembari menulis frame
of Mind, ia memandang karyanya tersebut sebagai kontribusinya terhadap disiplin
Psikologi Perkembangan (Developmental Psychology) yang digelutinya. Dengan
karya tersebut, Gardner hendak memperluas konsepsi kecerdasan. Dengan begitu,
kecerdasan tidak hanya menyangkut the result of paper and pencil tests tetapi juga
menyangkut pengetahuan tentang otak manusia (human brain) dan kepekaannya
terhadap ragam budaya (sensitivity to the diversity of human cultures).136
Meskipun pada awalnya frame of mind, bukanlah karya Gadner yang
terfokus pada pendidikan. Namun, justru buku inilah yang telah menempatkan
135 Munif Chatib, Sekolahnya manusia, Sekolah Berbasis Multiple intelligence di Indonesia,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2009), hal. 70-71 136 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136-137
75
Gardner dalam percaturan dan teori dan praktek pendidikan di Amerika Serikat
serta membuatnya terkenal di seluruh dunia.137
Sedangkan bagaimana cara-cara
utama teori Multiple intelligence memasuki wacana pendidikan kontemporer,
dibahas oleh Gardner dalam karyanya yang lain, Multiple Intelligences: The
Theory in Practice (1993). Buku tersebut oleh Gardner disebut sebagai buku
penyerta (the companion volume) bagi bukunya yang lain yang ditulis
sebelumnya, Frames of Mind.
Dalam buku Frame of Mind: The theory of Multiple Intelligence inilah
Howard Gardner membangun kerangka konsep pemikirannya mengenai
paradigma kecerdasan manusia yaitu kecerdasan majemuk (Multiple Intellignce).
Gardner menjelaskan empat hal terkait dengan latar belakang munculnya teori
kecerdasan majemuk (Multiple intelligences), yaitu (1) The idea of Multiple
Intelligences (gagasan mengenai kecerdasan majemuk),138
(2) Intelligence:
Earlier Views (pandangan awal tentang kecerdasan),139
(3) Biological Foundation
of Intelligence (fondasi bilologis kecerdasan),140
dan (4) What Is an Intelligence?
(apa itu kecerdasan).141
1. The idea of Multiple Intelligences (gagasan mengenai kecerdasan majemuk)
Penjelasan Gardner tentang gagasan mengenai kecerdasan majemuk,
diawali dengan sebuah ilustrasi yang ditulisnya dalam frame Of Mind:
137 Joy A. Palmer, Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer Paling Berpengaruh di Dunia
Pendidikan Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 514 138 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic
Book, 1983), hal. 3 139 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic
Book, 1983), hal. 12 140 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic
Book, 1983), hal. 31 141 Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence, (New York: Basic
Book, 1983), hal. 59
76
A Young Girl spends an hour with an examiner. She is asked a number of
questions that probe her store of information (Who discovered America?
What does the stomach do?), her vocabulary (What does nonsense mean?
What does belfry mean?) her arithmetic skills (At eight cents each, how
much will three candy bars cost?), her ability to remember a series of
numbers (5, 1, 7, 4, 2, 3, 8), hercapacity to grasp the similarity between
two elements (elbow and knee, montain and lake). She may also be asked
to carry out certain other tasks-for example, solving a maze or arringing a
group of pictures in such a way tehat they relate a complete story. Some
time afterward, the examiner scores the responses and comes up with a
single number-the girl‟s intelligence quotient, or IQ.142
Ilustrasi yang dipaparkan Gardner diatas mengindikasikan bahwa
kecerdasan seringkali hanya dinilai dan dihargai dengan tes IQ melalui ujian
tulis atau lisan yang hanya mengkoordinir kemampuan menghafal, mengingat
dan meceritakan suatu peristiwa yang mengarah pada kemampuan linguistik,
dan atau kecerdasan diukur dengan kemampuan untuk menangani bilangan dan
perhitungan dan pemikiran logis yang mengarah pada kemampuan matematis
logis. Bahkan yang lebih naif lagi, kecerdasan diwujudkan dengan perhitungan
angka-angka yang merupakan hasil penjumlahan skor-skor dari seluruh
jawaban yang mampu dijawab dengan benar oleh tester. Dan nilai angka hasil
dari tes tersebut biasanya dijadikan patokan untuk kesuksesan hidup seseorang
dimasa yang akan datang. Dengan demikian, dalam tes tersebut belum ada
anggapan bahwa kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki seseorang juga
termasuk kedalam kriteria kecerdasan.
Menurut Gardner, penilaian tersebut diatas, bukan saja akan
mempengaruhi apresiasi masa depan perempuan muda itu, tapi juga akan
mempengaruhi penilaian guru atasnya. Penilaian itu juga akan menentukan
142 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 63
77
sifat elijibilitas (keterpenuhan syarat, eligibiloties) untuk hak-hak istimewanya.
Karena skor atas kecerdasan tersebut takan mampu menduga kemampuan
seseorang untuk menguasai pelajaran-pelajaran di sekolah. Skor itu juga hanya
menjelaskan sedikit tentang kesuksesan hidupnya di kemudian hari.143
Kejadian seperti itu, kata Gardner terjadi ribuan kali setiap hari
diseluruh dunia. Tentunya, dengan menggunakan versi tes yang berbeda dan
disesuaikan dengan umur dan setting budaya masing-masing. Oleh akrena itu,
banyak peneliti kecerdasan tidak puas dengan kejadian seperti itu. Sebab
kecerdasan itu banyak jenisnya, “pasti ada banyak kecerdasan dari pada
jawaban pendek terhadap pertanyaan singkat jawaban yang menduga
keberhasilan akademis. Dan toh dalam ketiadaan cara berfikir yang baik
tentang kecerdasan, dan ketiadaan cara yang lebih baik untuk menaksir
kecakapan-kecakapan seseorang skenario ini ditakdirkan untuk diulang secara
universal untuk masa depan yang dapat diduga”. Tes-tes IQ seperti di atas,
tidak akan memadai untuk menaksir potensi atau prestasi seseorang.
Masalahnya, terletak pada teknologi pengujiannya. Hanya jika kita memperluas
dan mereformasi pandangan kita mengenai apa itu kecerdasan manusia maka
kita akan mampu memiliki cara yang lebih tepat untuk menaksir kecerdasan itu
dan cara yang lebih efektif untuk mendidiknya.144
Oleh sebab itulah, Gardner mengajukan teori kecerdasan yang baru.
Teori kecerdasan tersebut disebutnya dengan Multiple intelligence (teori
kecerdasan majemuk) yang ditegaskannya sebagai a new theory of human
143 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 3 144 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 4
78
intellectual competences. Inilah teori yang menantang pandangan klasik
tentang kecerdasan yang secara ekplisit atau implisit telah menyihir kita melaui
psikologi dan teks-teks pendidikan.145
Lebih dari dua ribu tahun, minimal sejak lahirnya negara-negara
Yunani, terdapat serangkaian ide yang mendominasi diskusi-diskusi mengenai
kondisi manusia dalam suatu peradaban. Ide-ide ini menekankan pada
eksistensi dan pentingnya kekuatan mental, yaitu kemampuan manusia yang
kemudian diungkapkan dengan berbagai tema, seperti rasionalitas, inteligensi,
atau penyebaran pikiran (the deployment of mind). Dalam pencariannya
mengenai esensi manusia, Howard Gardner melakukan penelitian terhadap
kemampuan-kemampuan khusus dari beberapa tokoh, seperti Plato, ahli-ahli
kitab terpelajar di biara atau ilmuwan di laboratorium. Menurut Gardner,
mereka adalah orang-orang yang mampu menggunakan kekuatan-kekuatan
mental mereka dalam dunia nyata. Sokrates mengatakan, „kenali dirimu,” dan
Aristoteles mengatakan , “seluruh manusia secara alamiah memiliki hasrat
untuk mengetahui,” maka Descartes mengatakan, “Aku berfikir: Oleh karena
itu, aku ada”. Semua pernyataan para filosof itu, menurut Gardner memberikan
inskripsi yang membingkai seluruh peradaban manusia.146
Menurut Gardner seperti yang dikutif Agus Efendi, nalar (reason),
kecerdasan (intelligence), logika (logic), dan pengetahuan (knowledge) tidaklah
sinonim. Oleh karena itu, katanya, Frame of Mind ditulis sebagai upaya untuk
145 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 136 146
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 3
79
menyingkapkan ragam keterampilan dan kemampuan yang sangat mudah
untuk dikombinasikan di bawah rubrik mental. Namun demikian, Gardner
mengungkapkan bahwa ada dua sikap yang berbeda terhadap mental di
sepanjang sejarah. Pertama, sikap dari kaum the hedgehog yang menyakini
bahwa intellec adalah a piece, singular, inviolable capacities; bahwa semua
kita dilahirkan dengan sejumlah kecerdasan tertentu yang disebut dengan IQ.
Kedua, sikap kaum the foxes yang mengungkapkan sejumlah fungsi berbeda
atau bagian-bagian mental (parts of mind), bagi mereka kecerdasan itu bersifat
dinamis dan bisa berkembang. Karenanya, pada zaman klasik dibedakan antara
nalar, kehendak dan rasa. Para pemikir abad pertengahan memiliki trivium
yang mencakup tatabahasa (grammar), logika dan retorika. Selain itu,
memiliki quadrivium yang mencakup matematika, geometri, ekonomi, dan
musik.147
Disamping itu, menurut Gardner dalam sains psikologi sendiri
terdapat pandangan-pandangan yang berbeda mengenai kecerdasan. Franz
Joseph Gall menominasikan 27 fakultas atau kekuatan pikiran manusia (human
mind power), sementara itu seorang tukoh kontemporer, J.p. Guiford,
menyebut adanya 120 vektor fikiran manusia (vector of mind).148
Menurut Gardner, perbedaan pandangan selanjutnya tidak hanya
terjadi pada perdebatan mengenai kecerdasan, perdebatan mengenai studi
daerah otakpun masih sering terjadi. Tentang perbedaan daerah otak (brain
area) ada dua golongan, yaitu golongan localizer dan golongan holist.
147 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 7 148 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 7
80
Golongan localizer meyakini bahwa porsi berbeda dari sitem saraf itu
mengenai kapasitas intelektual yang beragam. Sementara itu, golongan holist
menganggap bahwa fungsi utama intelektual yang merupakan kekayaan otak
(the property of the brain) itu bersifat keseluruhan.149
Selanjutnya, perbedaan pandangan para ahli neurologi terjadi pada
bidang tes kecerdasan, perdebatan terjadi antara mereka yang mengikuti teori
Charles Spearman, yang meyakini faktor umum intelek dengan mereka yang
mengikuti teori L.L. Thurstone, yang meyakini keragaman kemampuan mental.
Kemudian perdebatan terjadi juga pada wilyah perkembangan anak antara
mereka yang mempostulatkan struktur umum pikiran seperti Jean Piaget, dan
mereka yang meyakini serangkaian luas dan relativitas diantara keterampilan-
keterampilan mental manusia. Bahkan gaung perbedaan dalam disiplin-disiplin
ilmu yang lainpun sama-sama terdengar nyaring.150
Pertanyaan mengenai definisi optimal kecerdasan membayang-
bayangi dalam pencarian kita. Memang, pada tingkat definisi ini teori Multiple
Intelligences terpisah dari pokok-pokok pandangan tradisional. Dalam
pandangan tradisional, kecerdasan ditetapkan secara operasional sebagai
kemampuan untuk menjawab berbagai jenis tes kecerdasan. Kesimpulan dari
nilai tes pada beberapa kemampuan dibalik itu didukung oleh teknis statistik
yang membandingkan tanggapan subjek pada usia berbeda; korelasi yang jelas
dari nilai tes ini lintas umur dan linta tes berbeda membenarkan pengertian
bahwa bakat umum dari kecerdasan, g, tidak banyak berubah dengan
149 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 7 150 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 8
81
bertambahnya umur atau dengan pelatihan atau pengalaman. Ini adalah sifat
yang dibawa sejak lahir atau bakat individual.151
Teori Multiple intelligences, sebaliknya, menjadikan majemuk
konsep tradisional. Kecerdasan menyangkut kemampuan meyelesaikan
masalah atau produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suasana
budaya atau masyarakat tertentu. Keterampilan menyelesaikan masalah
membuat seseorang mendekati situasi yang sasarannya harus dicapai dan
menemukan rute yang tepat kearah sasaran itu. Penciptaan produk budaya amat
penting bagi fungsi seperti menangkap dan meneruskan pengetahuan atau
menyatakan pandangan atau perasaan seseorang.152
Teori Multiple intelligences Howard Gardner inilah yang berani
menyatakan bahwa kecerdasan seseorang sudah tidak lagi ditentukan oleh
angka-angka IQ.153
Kecerdasan seseorang, termasuk anak kita, ternyata
bersumber dari kebiasaannya sendiri. Bayangkanlah perubahan yang terjadi:
kecerdasan yang bersumber dari angka berubah menjadi bersumber pada
kebiasaan, yang merupakan kebiasaan seseorang untuk menciptakan produk-
produk baru yang memiliki nilai budaya dan kebiasaan menyelesaikan masalah
secara mandiri.154
Sungguh teori Multiple Intelligence telah merubah
paradigma teori-teori sebelumnya memiliki karakteristik khas, yaitu
meninggalkan konsep mengukur kecerdasan seseorang dengan konsep angka.
151 Howard Gardner, Multiple Intelligences; Teori dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003). hal.
34 152 Howard Gardner, Multiple Intelligences; Teori dalam Praktek, hal. 34 153
Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai
Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 95 154 Munif Chatib, Sekolahnya Manusi: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,
(Bandung: Kaifa Learning, 2009). hal. 9
82
Munculnya teori Multiple Intelligence yang digagas Howard Gardner
pada akhir abad 20 membawa angin segar bagi paradigma perkembangan
kecerdasan yang selama ini cenderung mengagungkan hasil tes IQ. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memahami perjalanan definisi kecerdasan yang
dilakukan para ahli psikologi yang melakukan penelitian sebelum dan setelah
munculnya teori Multiple Intelligence. Pertama, pada 1905, Alfred Binet
dengan tes IQ-nya. Hasilnya: kecerdasan dimaknai dengan angka mental atau
IQ seseorang. Setelah itu, muncul banyak teori kecerdasan, yang cukup
kontroversial. Pada 1983, Howard Gardner memunculkan teori multiple
intelligences (kecerdasan majemuk) sebagai kritik terhadap validitas tes IQ
sehingga bisa dikatakan multiple intelligences sudah meninggalkan angka.
Pada 1995, ada dua ahli yang memunculkan teori kecerdasan: Dr. Goleman
(emotional quotient) dan Paul G. Stolz, Ph.D, (adversity quotient) keduanya
juga telah meninggalkan angka untuk mengukur kecerdasan seseorang. Dan
terakhir, pada 2001, Ian Marshall dan Danah Zohar melengkapi teori
kecerdasan dengan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence), yang juga telah
jauh meninggalkan angka. Malah keduanya telah menilai manusia cerdas
dengan hakikat.155
Prosedur yang diungkapkan oleh Gardner dalam rumusan mengenai
kecerdasan majemuk (multiple intelligences) ini akan sangat berbeda. Gardner
meninjau bukti-bukti ini dari berbagai literatur dan sumber yang luas dan tidak
saling berkaitan: studi tentang anak-anak yang cerdas, orang-orang berbakat,
155 Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai
Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 99
83
pasien-pasien yang mengalami kerusakan otak, idiots savants, anak-anak
normal, orang-orang dewasa normal, dan orang-orang yang bersal dari
berbagaimacam budaya. Melalui bukti-bukti dari berbagai literatur, dan riset
tersebut, Gardner yakin bahwa keberadaan suatu kecerdasan bisa ditemukan
pada populasi-populasi tertentu yang secara relative terisolasi, mengalami
perkembangan yang sangat pesat pada individu-individu atau budaya tertentu,
didukung oleh bukti-bukti psikometri, ahli-ahli penelitian eksperimental dan
ahli-ahli dalam disiplin ilmu-ilmu khusus. Selanjutnya Gardner menjelaskan
bahwa ketiadaan beberapa atau semua indeks tersebut, tentunya akan
mengeliminasi suatu kandidat kecerdasan.156
Oleh karena itu, dalam kesimpulan Gardner, sebagaimana yang
dikutif Agus Efendi, ada bukti persuasip mengenai adanya beberapa
kompetensi intelektual manusia yang otonom secara relatif, yang disebut
dengan “kecerdasan manusia”. Inilah yang disebut oleh Gardner dengan
“frames of mind”. Watak pasti dan keluasan masing-masing “kerangka”
intelektual tersebut sejauh ini belum dibangun dengan memuaskan. Demikian
juga, jumlah persis kecerdasan itu belum ditetapkan (fixed). Namun, diyakini
bahwa minimal ada beberapa jenis kecerdasan yang relatif tidak bergantung
satu sama lain. Jenis-jenis kecerdasan tersebut dapat dibentuk dan
dikombinasikan dalam sebuah keragaman adaptif oleh perseorangan-
perseorangan dan budaya-budaya yang menurut Gardner sulit ditolak.157
156 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 3 157 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 139-140
84
2. Intelligence: Earlier Views (pandangan awal tentang kecerdasan)
Mengawali penjelasannya tentang pandangan-pandangan terdahulu
mengenai kecerdasan, Gardner mengemukakan penelitian yang dilakukan oleh
Franz Joseph Gall seorang fisikawan dan ilmuwan pada akhir abad ke- 18,
yaitu observasi yang dilakukan untuk meneliti hubungan antara karakteristik
mental tertentu dan bentuk kepala mereka.
Gagasan Gall seperti yang dikutif Gardner, akhirnya melahirkan teori
yang disebut dengan “phrenology”. Kunci gagasan phrenology sederhana.
Tengkorak manusia berbeda satu sama lain, dan keberagaman mereka
menggambarkan perbedaan dalam ukuran dan bentuk otaknya. Area berbeda
otak menunjukan fungsinya masing-masing: dan, dengan menguji konfigurasi
tengkorak seorang individu, seorang pakar harus mampu menentukan
kekuatan, kelemahan, dan keistimewaan profil mental mereka.158
Teori Gal tentang organ fikiran, kemudian di sempurnakan oleh
koleganya, Joseph Spurzheim yang mengemukakan 37 kemampuan berbeda
yang mencakup kemampuan afektif, sepertihal yang bersifat cinta kasih,
cenderung ingin punya banyak keturunan, dan kerahasiaan; perasaan seperti
harapan, penghormatan, dan harga diri; kemampuan reflektif dan kapasitas
yang jelas, termasuk bahasa, lagu, juga sensitivitas untuk hal visual seperti
bentuk dan warna.159
Phrenology milik Gall dan Spurzheim teori ini mendapat
popularitas besar di Eropa dan Amerika Serikat pada awal abad ke-18 karena
doktrin sederhana mempunyai pertimbangan yang hakiki, dan setiap individu
158 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 12 159Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 12
85
dapat “memainkan permainan”, sehingga bukanhal yang mengejutkan apabila
popularitas sains yang diharapkan dikuatkan oleh fakta bahwa hal tersebut
disokong oleh banyak ilmuwan kala itu.
Meskipun demikian, ternyata seseorang dapat mengenali kecacatan
dokrin frenologi. Contohnya bahwa ukuran kecil otak tidak mempunyai
korelasi yang jelas dengan kecerdasan individu; kenyataannya, individu dengan
otak yang sangat kecil, seperti Walt Whitman dan Anatole Francis, sudah
meraih kesuksesan besar, bahkan individu yang mempunyai otak besar kadang
idiot dan biasa saja. Selain itu, ukuran dan konfigurasi tengkorak itu sendiri
membuktikan sebuah takaran yang tak pasti terhadap konfigurasi penting
korteks manusia.160
Gal merupakan salah satu diantara ilmuwan masa kini yang
menekankan bahwa bagian-bagian berbeda otak menengahi fungsinya yang
berbeda-beda; meskipun kenyataanya bahwa belum mampu menunjukan
dengan tepat hubungan antara ukuran, bentuk, dan fungsi yang harus diambil
sebagai bukti yang kitapun tidak akan mamapu membuktikannya. Meskipun
demikian, Gall mengemukakan ide penuh, salah satunya adalah klaim yang
sangat menarik sebagaimana dikutip Gardner, tidak ada kekuatan mental
umum, seperti persepsi, ingatan dan perhatian; tapi ada bentuk persepsi
berbeda, ingatan dan kegemaran untuk setiap beberapa kemampuan intelektual,
seperti bahasa, musik dan visi. Gagasan ini membuktikan hal yang bersifat
sugestif dan mungkin juga benar, tetapi disepanjang sejarah psikologi gagasan
Gall ini jarang digunakan dengan serius.
160Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 13
86
Gagasan yang dikemukakan Gall menjadi perbincangan dikalangan
para ilmuwan, antara sebuah keyakinan lokalisasi fungsi dan sebuah skeptisme
tentang batas korelasi perilaku otak keseluruhan. Pieree Flourens menunjukan
dengan meneliti bagian-bagian otak yang berbeda dari seekor binatang dan lalu
mengobservasi perilaku barunya, dan mengemukakan pendapat bahwa
beberapa klaim Gall tidak dapat didukung.161
Tetapi ada sebuah dukungan
kuat terhadap gagasan Gall yang datang di tahun 1860-han, dari seorang ahli
bedah dan antropolog Perancis Pierre Paul Broca yang menunjukan sebuah
hubungan yang tak dapat disangkal antara luka otak tertentu mengakibatkan
kerusakan kognitip tertentu. Broca menghimpun bukti bahwa luka didalam
sebuah area tertentu dibagian depan kiri korteks manusia menyebabkan afasia,
rusaknya kapasitas linguistik.162
Para ilmuwan diabad ke-19 bukanlah yang pertama merinci tingkatan
kemampuan intelektual manusia. Masyarakat Mesir sudah meletakan ide dalam
hati dan penilain dikepala. Pytagoras dan Plato mengidentifikasi bahwa letak
fikiran didalam otak, dan Descartes menempatkan jiwa dalam kelenjar pineal.
Selama abad pertengahan, para akademisi mendiskusikan trivium dan
kuadrivium dimana kaum terpelajar menguasainya. Apa yang diperkenalkan
pada abad ke- 19 merupakan klaim spesifik tentang profil kapasitas mental
manusia dan secara empiris merupakan upaya pokok dalam labolatorium klinik
dan eksperimen untuk menghubungkan area tertentu dalam otak terhadap
fungsi kognitip tertentu pula.
161 161Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic
Book, 2009). hal. 14 162 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, hal. 14
87
Howard Gardner dalam menjelaskan pandangan-pandangan terdahulu
mengenai kecerdasan, mengungkapkan empat pedekatan yang melandasi
pandangannya, yaitu psikologi sebenarnya (psychology proper), pandangan
Jean Piaget, pendekatan pemrosesan informasi (the information processing
approach) dan pendekatan sistem simbol (the symbol system approach).
a. psikologi sebenarnya (psychology proper)
Howard Gardner menjelaskan bahwa upaya untuk menjadikan
psikologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan dimulai pada akhir pertengahan
abad ke 19, oleh beberapa orang akademisi seperti Wilhelm Wundt di
Jerman dan Wiliam James di Amerika yang telah memberikan dasar
rasional dan menjadi pelopor penelitian. Terjadi hubungan yang sangat kecil
antara ahli psikologi pendidikan yang baru dengan para ahli yang
melakukan eksperimen-eksperimen tentang otak manusia. Karena sejarah
psikologi pra-keilmuan lebih dipengaruhi oleh filsafat daripada kedokteran
dan karena para ahli psikologi awal memiliki hasrat yang sangat besar untuk
mendefinisikan disiplin keilmuan mereka secara terpisah kedalam dua
bagian, yaitu fisiologi dan neurologi. Hal ini kemudian terbukti, akibatnya
kategori argumen yang menarik bagi para ahli psikologi jauh kaitannya
dengan pendidikan. Bahkan menurut Gardner, para ahli psikologi lebih
mencari hukum-hukum tentang kemampuan mental, seperti memori,
persepsi, perhatian, asosiasi, dan belajar; kemampuan ini merupakan
gagasan tentang pengoperasian isi mental itu sendiri secara ekuivalen, dari
pada berfikir tentang tema-tema mengenai isi mental sebagai bukti faktual
88
(seperti bahasa, musik, atau macam-macam bentuk persepdi visual
lainnya).163
Psikologi ilmiah dalam usahanya, telah mencari hukum umum
mengenai pengetahuan manusia. Ranah kajiannnya mencari perbedaan
individu, profil kemampuan dan ketidak mampuan yang berbeda dalam
individu, yang sekarang mungkin disebut pemrosesan informasi manusia.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang mengemukakan gagasan
mengenai kemampuan dan ketidak mampuan yang berbeda dalam diri
individu. Sir Francis Galton seorang psikolog dari Inggis mengemukakan
ketertarikan tertentunya pada bentuk pencapaian yang jenius, unggul dan
terkemuka. Sementara Galton mengembangkan metode statistik yang
membuatnya mampu mengurutkan manusia dalam istilah fisik dan kekuatan
mental mereka dan untuk menghubungkan pengukuran seperti itu satu sama
lain. Pencapaian profesional dan hubungan antara garis silsilah diharapkan
dapat menguji hubungan keduanya dengan alat ini.164
Tetapi secara
berangsur-angsur, masyarakat ilmiah menyimpulkan bahwa seseorang harus
memandang terutama pada kapasitas yang lebih kompleks, antara lain
dengan melibatkan bahasa dan abstraksi jika seseorang ingin mendapatkan
penilaian yang akurat mengenai kekuatan intelektual manusia.
Pada awal abad 20, Frenchman Alfred Binet dan koleganya
Theodore Simon mengusulkan untuk menggunakan tes kecerdasan untuk
mengukur kekuatan intelektual seseorang. Tes tersebut kemudian dikenal
163 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 14 164 Howard Gardner, Frame of Mind, hal. 15
89
dengan tes IQ (intelligence quotient) yang sempat menjadi isu besar dalam
percaturan dunia psikologi dan selama beberapa dekade hampir tidak ada
yang berani untuk membantahnya. Namun demikian menurut Gardner,
penggunaan tes IQ untuk mengukur kecerdasan seseorang ternyata masih
banyak menimbulkan perdebatan. Para psikolog terutama pada akhir abad
ke- 20 memandang bahwa tes IQ ini hanya mampu mengukur tingkat
kecerdasan seseorang pada jenjang formal, namun hanya sedikit sekali
memprediksi keberhasilan seseorang dalam konteks kehidupan yang lebih
luas dan komplek.
Selanjutnya seorang psikolog pendidikan Inggris Charles Spearman
seperti yang dikutif Gardner, menyatakan bahwa dalam diri manusia
terdapat unsur “g”, yaitu faktor kecerdasan lain yang selama ini
dikesampingkan yang sudah diukur dalam setiap tugas dalam uji
kecerdasan. Sementara itu, para pendukung ahli psikometrik asal Amerika
Serikat L. Thurstone meyakini keberadaan seperangkat kecil kemampuan
primer yang terpisah satu sama lain dan diukur dengan tugas yang berbeda,
menurutnya ada tujuh faktor seperti pemahaman verbal, kelancara kata,
kelancara angka, visualisasi spasial, ingatan asosiatif, percepatan perseptual,
dan nalar.165
Dari pernyataan beberapa ahli psikologi diatas dapat disimpulkan
bahwa setidaknya sampai beberapa dekade kebanyakan psikolog setuju
dengan penilaian bahwa uji kecerdasan merupakan pencapaian terbesar
165
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 16
90
dunia psikologi, klaim utamanya terhadap keperluan sosial, dan sebuah
penemuan ilmiah penting.
b. Gagasan Piaget
Jean Piaget merupakan seorang ahli psikologi kognitif yang
memberi pengaruh cukup besar bagi pemikiran Howard Gardner.
Eksperimen Gardner dalam penelitian kognisi manusia terinspirasi dari
karya Jean Piaget dalam penelitiannya mengenai perkembangan kognisi
manusia, terutama konsepsinya tentang “ilmuwan luar biasa.” Meskipun
pada akhirnya Gardner merumuskan teori kognisi yang berlawanan dengan
teori Piget.166
Piaget tidak pernah memberikan sebuah tinjauan tentang
pergerakan uji kecerdasan; tetapi ia melakukannya terhadap pergerakan
ilmiah untuk mengkritisi tes IQ milik Binet-Simon. Dalam tinjauannya
mengenai tes IQ, Jean Piaget sebagaimana dikutip Gardner, memberikan
kritikan bahwa tes IQ yang dilakukan untuk mengukur kecerdasan
seseorang pada dasarnya hanya mampu memberikan beberapa daya
prediktif tentang kesuksesan disekolah dan tentang sebuah teori bagaimana
cara kerja otak. Tidak ada pandangan mengenai proses bagaimana seseorang
akan menyelesaikan sebuah masalah, namun hanya sebatas apakah
seseorang mampu memberikan jawaban dengan benar. Tes IQ menurut
Piaget hanya memiliki peran yang sangat kecil dalam menaksir kesuksesan
seseorang di dunia nyata, tes IQ hanya mewakili suatu pendekatan untuk
166 Joy A. Palmer, Ide-ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer Paling Berpengaruh di Dunia
Pendidikan Modern, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hal. 519
91
memprediksi kemampuan intelektual manusia. Selain itu, soal yang
disajikan dalam uji IQ sering tidak berhubungan satu sama lain. Soal-
soalnya merupakan hal yang jauh, dalam banyak kasus dari kehidupan
sehari-hari.167
Jean Piaget, setelah memberikan kritiknya atas teori tes IQ
kemudian mengembangkan suatu pandangan yang berbeda mengenai
kognisi manusia. Piaget seperti yang dikutif Howadr Gardner
mengemukakan bahwa semua kajian tentang akal manusia harus dimulai
dengan menempatkan seorang individu yang sedang mencoba membuat
dunia agar dapat dimengerti. Seseorang harus terus menerus membangun
hipotesis dan mencoba membangkitkan pengetahuan; dia mencoba
memahami sifat objek material di dunia, seperti bagaimana manusia saling
berinteraksi, sifat orang-orang di dunia, motivasi dan perilaku, yang
membawa kedalam sebuah teori yang tepat dan nilai yang koheren yang
terakomodir dalam dunia fisik dan sosial.168
Menurut Piaget sebagaimana yang dikutip Howard Gardner
menyatakan bahwa bayi pada awalnya memahami dunia terutama melalui
refleknya, persepsi pancainderanya, dan tindakan fisiknya terhadap dunia.
Setelah satu atau dua tahun, dia berada pada fase “praktis” atau “sensori
motor”.169
Tahap ini menurut Piaget sebagaimana dikutip oleh Desmita
merupakan tahap permanensi objek, yaitu kemampuan untuk menghadirkan
167 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 17-18 168 Howard Gardner, Frame of Mind, hal. 18 169 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal . 18
92
objek. Dalam tahap ini, perkembangan mental ditandai dengan kemajuan
pesat dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan
mengkoordinasikan sensasi melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan
fisik, bayi bukan saja menerima secara pasif rangsangan terhadap alat
inderanya, tetapi juga aktif meberikan respon terhadap rangsangan tersebut,
melalui gerak-gerak refleks.170
Selanjutnya pada usia 2-7 tahun, anak berada
pada tahap praoperational, pada tahap ini anak mulai mempresentasikan
dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar (simbol). Kata-kata dan
gambar-gambar ini menunjukkan adanya peningkatan pemikiran simbolis
dan melampaui hubungan informasi sensor dan tindak fisik.171
Sementara itu, menurut Piaget seperti yang dikutif oleh Gardner,
pada usia 7-11 tahun, anak berada pada tahap operasi konkrit (concrete
operational) dalam tahap ini anak mampu menalar tentang dunia objek,
nomor, waktu, ruang, hubungan sebab akibat dan kesukaan. Pencapaian
tahap akhir dari perkembangan kognisi anak menurut Piaget berada pada
masa awal remaja pada usia antara 11-15 tahun yaitu pada tahap operasi
formal (formal operational), pada masa ini anak mampu menalar tentang
dunia tidak hanya melalui tindakan atau simbol tunggal, tetapi juga dari
memahami implikasi yang didapat dari serangkaian masalah, berfikir
dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan idealistik.172
170Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). h. 104 171 Desmita, Psikologi Perkembangan., hal. 47 172
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 18-19
93
Dalam tinjauan Gardner, teori perkembangan kognisi Piaget
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Dilihat dari kelebihannya,
Piaget sudah melakukan eksperimen terhadap anak-anak dengan serius,
mengajukan permasalahan-permasalahan yang sangat penting dan
mengemukakan bukti-bukti dalam setiap fase perkembangan kognisi
mereka, menurutnya cakupan operasi yang luas terlihat dari struktur
organisasi yang utama. Misalnya, dalam pandangan Piaget, anak-anak yang
berada pada tahap opersional konkrit memiliki kemampuan untuk
menjalankan seluruh tugas yang ada hubungannya dengan konservasi angka,
sebab akibat, kuantitas, isi dan kesukaan karena mereka semua
menggunakan struktur mental inti yang sama. Diwaktu yang sama Piaget
menghindari bentuk pengetahun yang diingat atau membatasi kelompok
budaya tertentu.173
Dengan demikian, disadari atau tidak Piaget telah
memberikan gambaran yang sangat brilian tentang pertumbuhan intelektual
manusia yang dinilai sangat tinggi oleh ilmuwan dan tradisi filsafat.
Namun demikian, teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget,
menurut Gardner juga memiliki kelemahan, diantaranya : ketika Piaget
mengemukakan pandanagn yang mengagumkan tentang perkembangan,
ternyata hanya terbatas pada perkembangan Piaget yang secara relatif
kurang penting dalam terhadap orang-orang awam dan konteks non-Barat.
Gardner berpendapat bahwa baginya pola perkembangan kognitif Piaget
173 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 19
94
mungkin sangat baik bagi orang-orang yang normal yang menetap di
negara-negara industri, namun defisiensinya juga menjadi penting.174
Senada dengan Gardner, kritikan terhadap teori kognitip juga
datang dari Wadsworth sebagaimana yang dikutif Paul Suparno, pemikiran
Piaget tentang mengapa dan bagaimana perkembangan terjadi memang
jelas, tetapi bagaimana mekanisme-mekanisme itu masuk dalam proses
perekembangan tidak semuanya jelas, bahkan menurut Chapman masih
dalam Paul Suparno menyatakan bahwa urutan langkah-langkah
perkembangan kognitif Piaget sangat dipengaruhi oleh perbedaan kultur dan
sosial. Dinamisasi perkembangan kognitif akan berbeda karena adanya
perbedaan kultur. Misalnya, dalam kultur yang cenderung primitif dan non
industri, batasan-batasan sosial yang ketat cenderung memperlambat
pemikiran formal individu. Penilaian perkembangan pemikiran seseorang
berdasarkan kognisi dianggap kurang tepat dalam masyarakat seperti ini.
Oleh karena itu diperlukan pendekatan perkembangan yang lebih bersifat
sosiopsikologis dan penghargaan terhadap bentuk-bentuk non operatif
pengetahuan. Jadi teori perkembangan kognitif bukanlah sesuatu yang sudah
mantap dan tetap, teori tersebut belum komplit.175
c. Pendekatan pemrosesan informasi (the information processing approach)
Dinamisasi eksperimen dalam bidang neurosain dan neurologi
terus berkembang hingga akhir abad 20, dan nampaknya akan terus
174 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 20 175 Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget, (Yogyakarta: Kanisius, 2007). hal. 128-
129
95
berkembang seiring dengan kemajuan sains itu sendiri. Jika tes kecerdasan
(intelligence) yang dipelopori Alfred Binet dan Theodore Simon merupakan
mode pengukuran kecerdasan empat puluh tahun yang lalu dan teori Piaget
tentang perkembangan kognisi manusia berkembang dua puluh tahun yang
lalu, maka ditahun berikutnya lahirlah bentuk studi baru tentang penyelidik
fikiran yang sering disebut dengan “psikologi pemrosesan informasi” atau
disebut juga “sains kognitif” yang sedang menikmati hegemoni diantara
para penyelidik fikiran. Psikolog pemrosesan informasi menggunakan
metode yang didapat dari para psikolog eksperimen selama satu abad
terakhir agar dapat menelusuri gugusan tugas-tugas yang digunakan oleh
Piaget dan teoritikus kognitif lainnya.
Para ahli psikolog pemrosesan informasi lebih suka
menggambarkan secara mendetil semua langkah-langkah terbaik yang
digunakan oleh anak dalam menerima informasi, daripada menggambarkan
dua atau tiga langkah dasar yang ditemukan pada usia-usia yang berbeda.
Faktanya, tujuan akhir psikologi pengolahan informasi adalah untuk
menggambarkan secara lebih mendalam dan teliti langkah-langkah
perbuatan individu yang bisa disimulasikan pada sebuah komputer.176
Proses pengolahan informasi dimulai sejak informasi tersebut diterima oleh
mata atau telinga dan hanya menyimpulkan ketika suatu jawaban
dikeluarkan oleh mulut atau tangan.
176
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 19
96
Teori pemrosesan informasi (information processing theory)
merupakan teori alternatif terhadap teori kognitif Piaget. Berbeda dengan
Piaget, para pakar psikologi pemrosesan informasi tidak menggambarkan
perkembangan dalam tahap-tahap atau serangkaian sub tahap tertentu.
Sebaliknya mereka lebih menekankan pentingnya proses-proses kognitif,
seperti persepsi, seleksi perhatian, memori dan strategi kognitif. Menurut
Zigler dan Stevenson sebagaimana yang dikutif oleh Desmita, teori
pemrosesan informasi setidaknya didasarkan pada tiga asumsi umum,
pertama, fikiran dipandang sebagai suatu sitem penyimpanan dan
pengembalian informasi. Kedua, individu-individu pemrosesan informasi
dari lingkungan, dan ketiga, terdapat keterbatasan pada kapasitas untuk
memproses informasi dari seorang individu.177
Berkenaan dengan teori pengolahan informasi, Seifert dan
Huffnung sebagaimana yang dikutif Desmita menyatakan bahwa model
pemrosesan informasi mempunyai beberapa komponen utama, yaitu
stimulus lingkungan, (input), sensory register (SR), short term memory
(STM), long term memory (LTM), dan respons (output). Menurut teori ini,
ketika seseorang mememecahkan masalah, pertama ia menerima informasi
dari lingkungan melalui inderanya, kemudian informasi yang diperoleh
disimpan dalam sensory register sebagai memori penyimpanan pertama.
Kemudian, memory yang mendapat perhatian khusus ditransfer ke short
term memory, memori penyimpanan kedua yang menyimpan informasi
177 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). hal. 49
97
dalam jumlah terbatas. Kemudian informasi bergerak ke long term memory,
memori penyimpan ketiga. Dalam long term memory ini, informasi dapat
disimpan secara lebih permanen.178
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, dapat dipahami bahwa teori
pemrosesan informasi lebih menekankan pada bagaimana individu
memproses informasi tentang dunia mereka bagaimana informasi masuk ke
dalam fikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan, dan
bagaimana informasi diambil kembali untuk melaksanakan aktivitas-
aktivitas yang kompleks seperti berfikir dan memecahkan masalah.
d. Pendekatan sistem simbol (the symbol system approach).
Dalam mengungkap pandangan awal tentang kecerdasan, Gardner
menjelaskan tentang pendekatan sistem simbol. Diabad ke-20, banyak
filusuf yang menunjukan minat dalam meneliti kapasitas simbol manusia.
Kemampuan manusia untuk menggunakan sarana simbol yang beragam
dalam menunjukan dan menyampaikan makna yang membedakan manusia
dari organisme lainnya. Penggunaan simbol merupakan kunci dari evolusi
sifat manusia, memberikan perkembangan menurut mitos, bahasa, seni,
sains; hal tersebut juga merupakan pusat dalam pencapaian kreatif tertinggi
manusia, yang memanfaatkan simbol manusia.179
Gardner mengungkapkan, dalam penelitiannya di Proyek Zero
Harvard dengan kolega-koleganya, mereka mencoba untuk menemukan
struktur yang baik tentang fakta-fakta perkembangan sistem simbol. Mereka
178 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010). hal. 50 179 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 25
98
berusaha untuk tiba pada gagasan yang memuaskan tentang struktur dan
organisasi fungsi simbolik manusia berdasarkan informasi dari persfektif
psikologi perkembangan dan neuropsikologi. Akhirnya mereka nenemukan
berbagai jenis dasar tentang sistem simbol, yaitu kelompok-kelompok
sistem simbol yang tetap bersatu atau terpecah-pecah dan tatacara
merepresentasikan sistem syaraf manusia.
Menurut Gardner, hal paling penting dari sistem simbol adalah
definisi dan penggambaran yang saling terpisah. Terakhir, ada satu hal yang
bisa diambil dari pendekatan yang dilakukan oleh para ahli neuropsikologi
yang melihat pada kemampuan-kemampuan simbolik yang gagal menyatu
pada orang-orang yang mengalami kerusakan otak. Untuk satu hal, dekatnya
fisik pada sistem syaraf tidak bisa menggambarkan mekanisme sistem
syaraf yang serupa. Perbedaan fungsi yang tinggi pada sistem syaraf boleh
jadi pada daerah-daerah yang berdekatan dengan korteks.180
3. Biological Foundation of Intelligence (fondasi bilologis kecerdasan)
Mengawali penjelasanya mengenai fondasi biologis kecerdasan,
Howard Gardner dalam frames of mind mengungkapkan:
A comprehensive science of life must account for the nature, as well as the
variety, of human intellectual competences. In view of the spectacular
progress of recent decades in such areas as biochemistry, genetics, and
neurophysiology, there is every reason to believe that yhe biological
sciences will eventually be able to offer a cogent account of these
intellectual phenomena. Indeed, it is high time that our understanding of
human intellec be informed by the findings that have accrued in the
biological sciences since the time of Franz Josep Gall. And yet, because
180
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 29
99
psychologists and biologists inhabit different environments, the task of
marshaling biology to explain human intelligence has barely begun.181
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa penemuan-penemuan
serta pemikiran-pemikiran mengenai manusia sebagai makhluk biologis,
terutama penelitian tentang neurobiologis dan neurosains, dari masa kemasa
memberikan sumbangan yang signifikan bagi perkembangan penelitian dan
pembahasan mengenai kecerdasan manusia.
Manusia sebagai makhluk yang unik memiliki beberapa dimensi
dalam eksistensinya. Selain sebagai makhluk spiritual, yang memiliki hasrat
untuk bermakna dalam hidup, manusia juga berdimensi sebagai makhluk
biologis yang jaringan fisik dan psikisnya lebih sempurna dari makhluk
lainnya. Memahami apapun tentang aspek-aspek manusia, tidak mungkin
menghindari pembahasan manusia sebagai mahluk biologis.
Demikian pula halnya dengan pembahasan mengenai kecerdasan
manusia, pasti memiliki ikatan-ikatan biologis. Karena pada dasarnya manusia
adalah mahluk biologis.182
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa teori yang
dominan dalam pembahasan tentang kecerdasan manusia adalah teori IQ yang
meyakini bahwa kecerdasan manusia itu bersifat bawaan dan tidak bisa diubah
dan dikembangkan. Menurut Agus Efendi ada dua isu yang akan muncul
apabila membahas tentang kecerdasan manusia, isu yang pertama adalah isu
tentang fleksibilitas perkembangan kecerdasan manusia, pembahasannya
181
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). Hal. 31 182
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence Atas
IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 95
100
berpusat pada sejauh mana potensi kecerdasan seseorang atau kelompok bisa
diintervensi dan sejauh mana efektivitas dan efisiensi dari intervensi tersebut.
Isu kedua menyangkut sejauh mana identitas atau sifat dasar kemampuan
intelektual manusia bisa berkembang.
Menurut Gardner, landasan biologis mengenai kecerdasan manusia
dapat dipelajari dari temuan-temuan genetis, terutama hasil penelitian tentang
komposisi DNA (desoxyribonucleic acid), RNA (ribonucleic acid), dan
interaksi istimewanya.183
Temuan-temuan genetis tersebut sesungguhnya juga
berangkat dari studi dibidang biologi. Selanjutnya menyangkut heretabilitas
(pewarisan) kecerdasan manusia, dilihat dari perspektip genetika terdapat dua
pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa heretabilitas kecerdasan itu
bisa sampai delapan puluh persen, dalam hal ini kecerdasan bisa diukur melalui
tes IQ. Dengan kata lain bahwa delapan puluh persen dari keragaman skor
kecerdasan itu bisa dijelaskan melalui latar belakang genetika. Pendapat kedua
menegaskan bahwa pewarisan genetis (heretability) kecerdasan itu tidak lebih
dari 30 persen atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan genetika.
Dalam buku Frames of Mind, Howard Gardner mengungkapkan
hubungan antara genetika dan kecerdasan manusia:
Our genetic heritage is so variegated that one can pustulate all kinds of
abilities and skills (as well as maladies and infirmities) that have not yet
emerged, or that we have not yet come to know about. Given genetic
engineering, count less other posibilities arise as well. An individual with
a claver imagination might well be able to anticipate some of these
possibilities. However, it is a far more prudent research strategy to
sample widely among human beings of diverse stock and to determine
which competences they have in fact achieved. Studies of remote and
183 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 29
101
isolated groups the prize of the geneticst prove extremely valuable for
psychologists as well. The broader the sampling of human beings, the
more likely that any list of the range of human intelligences wil be
comprehenshive adn accurate.184
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa banyaknya sampel yang
digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya hubungan antara genetik
dengan kecerdasan akan sangat menentukan keakuratan data yang diperoleh
dan mempengaruhi kesimpulan akhir yang akan dikembangkan. Oleh karena
itu, perlu adanya penelitian yang lebih luas dan mendalam serta penggunaan
sampel yang lebih banyak untuk memahami hubungan antara genetik dengan
kecerdasan manusia, sehingga pengembangan penelitian persoalan tersebut
harus terus dilakukan sampai pada penemuan fakta yang lebih meyakinkan.
4. What Is an Intelligence? (apa itu kecerdasan)
Intelligence atau quotient adalah dua kata yang biasa digunakan
untuk kata kecerdasan. Kecerdasan atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
intelligence, para ahli termasuk para psikolog, tidak sepakat dalam
mendefinisikan apa itu kecerdasan. Hal ini selain dikarenakan definisi
kecerdasan itu senantiasa mengalami perkembangan sejalan dengan
perkembangan ilmiah menyangkut studi kecerdasan dan sains-sains yang
berkaiatan dengan otak manusia, seperti neurologi atau neurosains, juga karena
penekanan kecerdasan itu sendiri sangat bergantung pada dua hal, yaitu:
pertama, pandangan dunia, filsafat manusia, dan filsafat ilmu yang
mendasarinya; Kedua, teori kecerdasan itu sendiri, seperti teori kecerdasan IQ
184 184 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic
Book, 2009). hal. 30
102
berbeda dengan teori kecerdasan EQ, SQ dan MI dalam mendefinisikan apa
itu kecerdasan.
Sebelum mengupas lebih dalam tentang apa itu kecerdasan dalam
perspektip Howard Gardner, ada baiknya kita mengkaji beberapa definisi
kecerdasan menurut para ahli, untuk lebih memperkaya wawasan tentang cara
pandang kita terhadap kecerdasan itu sendiri, dan untuk membandingkan yang
selanjutnya bisa dijadikan bahan untuk menganalisa konsep kecerdasan
perspektip Howard Gardner yang telah berhasil mendobrak pandangan
tardisional mengenai paradigma kecerdasan, yang selama ini dianggap hanya
berhubungan dengan kemampuan kognisi dan berhubungan dengan angka-
angka saja.
Terkait dengan pengertian kecerdasan, Piaget, sebagaimana dikutip
oleh Agus Efendi, mengatakan bahwa “Intelligences is what you use when you
don‟t know what to do” (Kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat
kita tidak tahu apa yang harus dilakukan).185
Sedangkan kecerdasan, menurut Cattell sebagaimana yang dikutif
oleh Ansharullah, menyatakan bahwa “Intelligence is a composite or
combination of human traits, which includes a capacity for insight into
complex relationships, all of the processes involved in abstract thinking
adabtability in problem solving, and capacity to ac quire new capacity.”186
Kecerdasan merupakan kombinasi dari sifat-sifat manusia yang mencakup
kemampuan untuk memahami hubungan kompleks, semua proses yang
185 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelegencee
atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 83. 186 Ansarullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak, (Jakarta: STEP, 2013) hal. 71-71
103
dilakukan terlibat dalam berfikir abstrak, kemampuan menyesuaikan diri
pemecahan masalah dan kemampuan untuk memperoleh kemampuan baru.
Kecerdasan merupakan suatu kemampuan manusia untuk memahami
hubungan kompleks yang bersumber dari dalam diri serta bersinergi dengan
lingkungan. Kegiatan ini meliputi semua proses berfikir abstrak, yaitu
kemampuan untuk memecahkan masalah dan menemukan kemampuan baru,
oleh karena kecerdasan mecakup beberapa gabungan sifat atau potensi manusia
memungkinkan setiap pribadi cenderung memiliki kecerdasan lebih dari satu.
Sedangkan menurut Alfred Binet dan Theodore Simon, kecerdasan
terdiri dari tiga komponen: (1) kemampuan mengarahkan fikiran atau tindakan,
(2) kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut telah dilakukan,
dan (3) kemampuan mengkritik diri sendiri.187
Masih mengenai kecerdasan, Danah Zohar dan Ian Marshal,
sebagaimana yang dikutif oleh Agus Efendi menegaskan bahwa kecerdasan itu
beragam. Menurutnya ada tiga ragam kecerdasan, IQ (Intelligence Quotient),
EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). Mengenai hal ini Danah
Zohar dan Ian Marshal menulis, “ada pengorganisasian syaraf yang
memungkinkan kita berfikir rasional logis dan taat asa. Ini disebut IQ. Jenis
yang lain memungkinkan kita berfikir asosiatif, yang terbentuk oleh kebiasaan
dan membuat kita mampu mengenali pola-pola emosi. Ini kita sebut EQ. Jenis
yang memungkinkan kita berfikir kreatif, berwawasan jauh, membuat dan
bahkan membuat aturan. Jenis pemikiran yang memungkinkan kita untuk
187
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005) hal. 81
104
manata kembali dan mentransformasikan dua jenis pemikiran sebelumnya. Ini
disebut SQ.”188
Daniel Goleman sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi
mendefinisikann kecerdasan emosional dengan kemampuan megenali perasaan
diri kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri,
dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
hubungannya dengan orang lain.
Definisi-definisi kecerdasan di atas hanya merupakan contoh
diantara banyak definisi, sesuai dengan banyaknya jenis-jenis kecerdasan. Para
psikolog terbukti tidak menyepakati definisi kecerdasan tersebut, tetapi konsep
kecerdasan EQ, SQ keduanya telah meninggalkan angka untuk mengukur
kecerdasan seseorang.
Dalam memahami mengenai apa itu kecerdasan, Howard Gardner
dalam bukunya Frames of Mind menjelaskan tiga hal terkait apa itu
kecerdasan, pertama prasyarat sebuah kecerdasan, kedua kriteria kecerdasan
dan yang ke tiga pembatasan konsep kecerdasan.
Mengawali pandangannya mengenai prasyarat kecerdasan, Gradner
menyatakan dalam bukunya frames Of Mind:
To my mind, a human intellectual competence must entail a set of skills
of problem solving enabling the individual to resolve genuine problems
or difficuties that he or she encounters and, when appropriate, to create
an efective product and must also entail the potential for finding or
creating problems thereby laying the groundwork for the acquisition of
new knowledge. These prerequisites refresent my efort to focus on those
intellectual strengths that prove of some importance within a cultural
context. At the same time, I recognize that the ideal of what is valued
188 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 82
105
will difer mrkedy, sometime even radically, across human cultures,
within the creation of new products or posing of new questions being of
relatively little importance in some settings.189
Dari penjelasan diatas dapat dipahami komptensi intelektual manusia
mencakup serangkaian keterampilan dalam memecahkan masalah,
menciptakan produk-produk yang efektif dan harus juga mencakup potensi
menemukan atau memecahkan masalah. Prasyarat merupakan sebuah cara
untuk menjamin bahwa kecerdasan manusia dengan sejati harus bermanfaat
dan penting, minimal dalam seting budaya tertentu.
Terlepas dari berbagai pengertian mengenai kecerdasan yang
disampaikan oleh para ahli baik psikologi maupaun neuroscince diatas,
Howard Gardner mendefinisiskan kecerdasan sebagai “the ability to solve
problems, or to fashion products, that are valued in one or more cultural or
community setting,”190
yaitu kemampuan untuk menyelesaikan masalah-
masalah, atau produk mode yang merupakan konsekuensi dalam suatu atau
lebih latar budaya atau masyarakat tertentu. Suatu kecerdasan melibatkan
kemampuan untuk memecahkan masalah atau merancang produk yang
merupakan konsekuensi dari komunitas atau latar budaya tertentu. Keahlian
memecahkan masalah memungkinkan seseorang untuk mendeskripsikan suatu
situasi dimana sasarannya akan diperoleh dan menentukan rute yang memadai
menuju sasaran itu. Penciptaan produk kultur memungkinkan seseorang untuk
189 Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
2009). hal. 29 190
Howard Gardner, Multiple Intelleginces, Theory dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003) hal.
7
106
menangkap dan menyampaikan pengetahuan atau mengungkapkan kesimpulan,
keyakinan, atau perasaan seseorang.191
Menurut Howard Gardner, Kecerdasan adalah kemampuan
komputasi, kemampuan untuk memproses jenis informasi tertentu yang berasal
dari faktor biologis dan psikologis manusia. Gardner percaya bahwa
kompetensi kognitif manusia akan lebih baik jika dideskripsikan dalam hal
rangkaian keahlian, bakat, atau kemampuan mental, yag disebut dengan
kecerdasan. Semua individu normal memiliki tiap keahlian tersebut hingga
tarap tertentu; setiap individu mempunyai perbedaan dalam tingkat keahlian
dan dalam sifat kombinasinya. Saya percaya bahwa teori kecerdasan ini
mungkin lebih manusiawi dan lebih faktual dibandingkan pandangan alternatif
tentang kecerdasan serta lebih memadai dalam mencerminkan data perilaku
“cerdas” manusia. Teori seperti itu memiliki implikasi pendidikan yang
penting. Manusia pada dasarnya memiliki kecerdasan-kecerdasan tertentu,
sedangkan binatang menampilkan jenis kemampuan komputasi tertentu.
Pandangan Gardner tentang kecerdasan hampir senada dengan yang
diungkapkan Cattell, yang memandang kecerdasan (intelligence) dari aspek
pemecahan masalah, berpadaptasi dan menciptakan lingkungan baru. Namun,
definisi Gardner tentang kecerdasan melibatkan dua aspek yaitu psikologi atau
jiwa dan fisik, sedangkan Cattell lebih cenderung pada faktor kejiwaan saja
dengan menggunakan terminologi kepribadian mausia (human traits).
191 Howard Gardner, Multiple Intelleginces, Theory dalam Praktek, (Batam: Interaksara, 2003), hal.
19
107
Lebih lanjut Gardner menegaskan bahwa:
Althought we all receive these intelligences as part of our birthright no
two people have exacctly the same intelligences in the same
combinations. After all, intelligences arise from the combinations of a
persons‟s genetic heritage and life conditions in a given culture and
era.192
Howard Gardner berpendapat bahwa setiap individu memiliki
kecerdasan, hanya saja tingkat perkembangan dari masing-masing kecerdasan
berbeda pada satu individu dengan individu lainnya. Tidak akan pernah ada
dua orang memiliki kecerdasan yang sama, karena kecerdasan merupakan
kombinasi dari dua faktor yaitu keturunan (genetic) dengan faktor lingkungan
atau kondisi dan situasi dalam suatu budaya dan dalam suatu kurun waktu atau
era.
Menurut Howard Gardner sebagaimana yang dikutip oleh Munif
Chatib dalam Orang Tuanya Manusia menyatakan bahwa anak-anak memiliki
variasi potensi kecerdasan masing-masing. Ada yang hanya satu kecerdasan
yang dominan, sedangkan yang lainnya rendah. Ada yang memiliki dua atau
tiga kecerdasan atau bahkan kecerdasannya dominan. Namun tidak ada
manusia bodoh, terutama jika stimulus yang diberikan lingkungan tepat.193
Sehingga dalam bukunya Frame of Mind, Howard Gardner
menyatakan bahwa kecerdasan anak kita sangat dipengaruhi oleh stimulus dari
lingkungannya. Stimulus tersebut akan membentuk pengalaman dalam otak
192
Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New Yorks, Basic
Book, 1999). hal. 41 193
Munif Chatib, Orang Tuanya Manusia; Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai
Fitrah Setiap Anak (Bandung: Kaifa Learning, 2012). hal. 89
108
anak. Ternyata, ada dua jenis pengalaman yang berasal dari stimulus
lingkungan, yaitu:
1. Crystallizing experience. Pengalaman seseorang dari informasi yang
diterima sehingga memberikan kekuatan positif kepada dirinya.
Pengalaman-pengalaman tersebut berkaitan dengan pemberian apresiasi
atau motivasi untuk berhasil. Pengalaman positip itu akan mengkristal
dalam diri orang tersebut sehingga crystallizing experiences menjadi
pengalaman yang berfungsi sebagai pendorong munculnya kecerdasan
seseorang.
2. Paralizing experiences. Pengalaman seseorang dari informasi yang
mematikan semangat dan motivasinya dalam proses belajar. Pengalaman-
pengalaman negatif ini biasanya berhubungan dengan seseorang yang tidak
pernah mendapatkan apresiasi atas sesuatu yang sudah dia lakukan, juga
erat kaitannya dengan tekanan-tekanan psikologis yang berasal dari
keluarga atau lingkungan yang tidak mendukung proses belajar dan
kecerdasannya. Paralizing experiences ini merupakan pengalaman yang
menghambat munculnya kecerdasan seseorang.
Ternyata, dengan stimulus yang tepat, orang akan dapat
memunculkan kemampuannya. Maka tidak tepat jika pada kecerdasan
dilakukan pembatasan-pembatasan dalam memberikan makna pada
kemampuannya (delemiting the concept of an intelligence).194
194
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences, (New York: Basic
Book, 2009). hal. 63
109
Selanjutnya menurut Thomas Armstrong sebagaimana yang dikutip
Munif Chatib, menjelaskan hal-hal penting multiple intelligence anak. Hal
penting tersebut adalah:
1. Semua kecerdasan itu sederajat meskipun masing-masing punya kriteria
yang berbeda. Tidak ada kecerdasan yang lebih baik atau lebih penting dari
pada yang lainnya.
2. Kecerdasan tersebut dinamis. Artinya, anak memiliki kemampuan
mengeksplorasi, menumbuhkan, dan mengembangkan kecerdasan tersebut.
3. Setiap anak dapat memiliki beberapa kecerdasan sekaligus.
4. Setiap kecerdasan punya banyak indikator. Contohnya kecerdasan
linguistik memiliki indikator kemampuan mendengar, berbicara, menulis
dan membaca.
5. Indikator kecerdasan yang berbeda-beda saling kerjasama hampir disetiap
aktivitas anak kita. Ketika anak punya kemampuan cerdas menggambar,
dengan sendirinya indikator kecerdasan kinestetis juga bekerja: gerakan
jemari-jemari sehingga menghasilkan lukisan yang indah.195
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
menurut Howard Gardner adalah suatu potensi biopsikologi untuk memproses
informasi yang dapat menempatkan diri didalam suatu budaya tertentu untuk
pemecahan masalah atau mencari jalan keluar dari suatu permasalahan dan
menciptakan pemikiran (produk) baru yang bernilai atau berguna di dalam
budaya tersebut.
195 Munif Chatib, Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai
Fitrah Setiap Anak, (Bandung: Kaifa Learning, 2012), hal. 91
110
Dengan demikian, kecerdasan tidak hanya terbatas pada fungsi
kognisi saja, namun harus mencakup fungsi otak dan penggunaan yang tepat
serta terintegrasi. Oleh itu kecerdasan harus didefinisikan sebagai fungsi otak
keseluruhan yang mencakup kognisi, emosi, intuisi dan indra tubuh.
Riset Gardner tentang Intelligences ini merupakan temuan tentang
potensi diri yang jauh lebih kompleks dari penemuan kecerdasan sebelumnya.
Sebaliknyapun temuan tentang kecerdasan pada era setelah Hoaward Gardner
umumnya juga bersumber pada multiple intelligences pesrpektip Howard
Gardner.
B. Macam-macam Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Gardner
mengemukakan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Teori tersebut
memandang bahwa pada dasarnya manusia memiliki banyak kecerdasan, dan
manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan sampai batas maksimal
kecerdasan-kecerdasan tersebut apabila berada pada lingkungan yang mendukung
dalam pengembangannya.
Pada awal hasil risetnya, Gardner mengemukakan tujuh kecerdasan
pada manusia yang telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, ke tujuh kecerdasan
tersebut ditulisnya dalam buku Frames of Mind. Kemudian, Gardner
menambahkan dua kecerdasan lain, yang ditulisnya dalam buku Intelligence
Reframed. Sembilan kecerdasan tersebut adalah kecerdasan linguistik (linguistic
Intelligence), kecerdasan musikal (musical intelligence), kecerdasan matematis
111
logis (logical-matematical intelligence), kecerdasan visual/ruang spasial (spatial
intelligence), kecerdasan kinestetis badani (bodily kinesthetic intelligence),
kecerdasan antar pribadi (interpersonal intelligence), kecerdasan diri pribadi
(intrapersonal intelligence),196
kecerdasan naturalis (naturalist intelligence) dan
kecerdasan eksistensial (existensial intelligence).197
Adapun deskripsi dari
sembilan kecerdasan menurut teori kecerdasan majemuk adalah sebagai berikut:
1. Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence)
Kecerdasan linguistik atau word smart merupakan kemampuan
menggunakan kata-kata secara efektif. Dalam kegiatan pembelajaran disekolah
menurut Thomas Amstrong kecerdasan linguisitik mencakup setidaknya dua
pertiga bagian dari interaksi belajar mengajar yang meliputi kegiatan membaca
dan menulis. Dalam kegiatan membaca dan menulis tersebut terdapat cakupan
luas kemampuan linguistik yaitu kemampuan mengeja, kosakata, dan tata
bahasa. Selain itu kecerdasan linguistik juga berkaitan dengan kemampuan
berbicara, seperti yang tampak pada orator, pelawak, penyiar radio, atau politisi
yang sering menggunakan kata-kata untuk manipulasi dan mempengaruhi
audiens.198
Menurut Howard Gardner sabagaimana yang dikutif oleh Agus Efendi
menyatakan bahwa kecerdasan linguistik antara lain ditunjukan oleh
sensitivitas terhadap fonologi, penguasaan sintaksis, pemahaman semantik dan
196
Howard Gardner, Frame of Mind, The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Book,
1983). hal. 73-276 197 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York: Basic
Books, 1999). hal. 48 198 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 9
112
pragmatik.199
Sedangkan menurut Julia Jasmine, kecerdasan linguistik berbeda
dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain, kecerdasan linguistik merupakan
kecerdasan paling unik karena berkaitan dengan kehidupan setiap orang. Hal
ini dikarenakan, setiap orang mampu bertutur dan berkata-kata yang pada
dasarnya hal tersebut merupakan kecerdasan linguistik.200
Mengenai kecerdasan lingusitik, Gardner menyatakan bahwa:
Lingusitic Intelligence, invoves sensitivity to spoken and writen language, the
ability to learn languages, and the capacity to use language to accomplish
certain goals.201
Gardner dalam keterangan diatas menyatakan bahwa kecerdasan
berbahasa melibatkan kepekaan (sensitivity) terhadap penguasaan bahasa lisan
dan tulisan dan kesanggupan untuk menggunakan bahasa tersebut dalam
meraih tujuan tertentu.
Thomas Armstrong dalam bukunya sekolah para juara
mengungkapkan bahwa kecerdasan linguistik terdapat di daerah spesifik dari
otak, yaitu terletak pada lobus bagian depan khususnya di daerah Broca dan
Wernicke.202
Menurut Gardner daerah tersebut bertanggung jawab untuk
menghasilkan kalimat yang benar secara tata bahasa. Berdasarkan risetnya
terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak, Gardner menyatakan
bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata menjadi
199 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 141 200 Julia Jasmine, Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelligence, (Bandung: Nuansa,
2007). hal. 16-18 201 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York: Basic
Books, 1999). hal. 42 202 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 12
113
kalimat, namun tetap dapat memahami kata-kata dan kalimat dengan cukup
baik.203
Menurut Gardner sebagaimana yang dikutif Thomas Armstrong, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kecerdasan linguistik
bahwa ada banyak cara untuk mengungkapkan kecerdasan ini dalam kehidupan
anak. Bisa jadi anak sangat menikmati menulis puisi, namun tidak pandai
mengungkapkannya di depan kelas atau anak sangat pandai bercerita namun
kesulitan saat membaca.204
Oleh karena itu, memperhatikan arah
kecenderungan anak saat memperlihatkan kecerdasan linguistik mereka
sangatlah penting dalam mengembangkan kecerdasan tersebut.
Menurut Agus Efendi, contoh orang yang memiliki kecerdasan
linguistik diantaranya adalah jurnalis dan penulis hebat. Jennifer James,
mencontohkan Will Riger; Richard Leviton mencontohkan Herman Melville,
penulis novel Moby Dick; J.K. Rowling, penulis Harry Potter; para penyair
sufistik mencontohkan Jalaluddin Rumi, Sa‟di, dan Hafizh. Di Indonesia untuk
sekedar menunjukan contoh orang yang memiliki kecerdasan linguistik seperti
Soekarno, Gunawan Mohamad, Taufik Ismail, dan Emha Ainun Najib.205
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti dari
kecerdasan linguistik adalah kepekaan terhadap bunyi, struktur, makna, fungsi,
kata dan kalimat, serta bahasa.
203 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice. (New York: Basic Book,
1993).hal. 42 204 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 25-26 205 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 142
114
2. Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence)
Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan Musikal (musical
intelligence), Hioward Gardner mengungkapkan kisah nyata dari seorang
pemusik Yehudi Menuhin sebagai ilustrasi. Gardner mengungkapkan sebagai
berikut:
Ketika Yehudi Menuhin berusia tiga tahun, orang tuanya membawanya
ke konser San Francisco Orchestra. Suara biola Louis Persinger begitu
mempesona anak kecil itu sehingga bersikukuh untuk mendapatkan
biola biola di hari ulang tahunnya dan meminta Louis Persinger
menjadi gurunya. Menuhin mendapatkan keduanya. Saat ia berusia
sepuluh tahun, Menuhin udah menjadi pemain biola internasional.
(menuhin, 1977).206
Dari ilustrasi yang diungkapkan Gardner di atas, menunjukan bahwa
kecerdasan yang dimiliki Yehudi Menuhin termanifestasi sendiri. Reaksi
kuatnya pada suara tertentu dan kepekaannya terhadap instrumen bahkan
sebelum ia menyentuh biola atau menerima pelatihan musik apapun,
menunjukan bahwa ia dipersiapkan secara biologios dipersiapkan dalam cara
tertentu untuk hidup dalam dunia musik. Lalu apakah kecerdasan musikal itu?
Dalam buku Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21
st, Howard Gardner menyatakan bahwa:
Musical Intelligence entails skills in the ferformance, composition and
appreciation of musical patterns.207
Gardner menjelaskan dalam keterangan di atas, bahwa kecerdasan
musik terkait dengan kepiawaian dalam menampilkan, mengarang, dan
menyususn, serta mengapresiasi pola musik. Selain itu menunurut Gardner
206 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur
(New York: Basic Book, 1993). hal. 21 207 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York:
Basic Books, 1999). hal. 42
115
sebagaimana dikutip Paul Suparno, kecerdasan musik adalah kemampuan
untuk mengembangkan, mengekpresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik
dan suara.208
Selain itu, menurut Ady W. Gunawan kecerdasan musik juga meliputi
kemampuan untuk mengamati, membedakan, mengarang, dan membentuk
bentuk-bentuk musik, kepekaan terhadap ritme, melodi, dan timbre dari musik
yang didengar.209
Menurut Gardner, musik memainkan peran yang sangat penting
sebagai pemersatu bahkan pada masyarakat zaman batu (Paleolitik). Bukti dari
berbagai budaya mendukung pendapat bahwa musik adalah bakat universal.
Study perkembangan pada bayi menunjukan bahwa ada kemampuan komputasi
“mentah” dalam usia dini. Notasi musik memberikan sistem simbol yang
flesibel dan bisa diakses. Bukti untuk mendukung interpretasi kemampuan
musikal sebagai kecerdasan berasal dari banyak sumber berbeda. Sehingga
menurut Gardner, meskipun keahlian musik tidak secara khusus dianggap
sebagai keahlian intelektual seperti matematika, keahlian ini memenuhi syarat
dalam kriteria kecerdasan. dengan semua definisinya, keahlian ini patut
dipertimbangkan; dan dengan melihat data, memasukan keahlian ini bisa
dibenarkan secara empiris.210
Bahkan menurut May Lwin, kecerdasan musik merupakan kecerdasan
pertama yang harus dikembangkan dari sudut pandang neurologis. Bahkan,
208 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius, 2004).
hal. 36 209 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated
Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). hal. 235 210 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur (New
York: Basic Book, 1993). hal. 22
116
dari semua bentuk kecerdasan, musik dan irama pada otak memiliki pengaruh
paling besar terhadap kesadaran. Kekuatan musik, irama, suara, dan getaran
mampu menggeser fikiran, memberi ilham pengabdian religius, meningkatkan
kebanggaan nasional, dan ,megungkapkan kasih atau rasa kehilangan dan duka
yang dalam untuk orang lain.211
Bahkan berkenaan dengan hal ini, Danah Zohar dan Ian Marshal
sebagaimana yang dikutip Agus Efendi, menyatakan bahwa penelitian Wright
juga menunjukan bahwa tabuhan ritmis dalam berbagai ritus spiritual dapat
mengaktifkan lobus temporal berikut area sistem limbik yang berkaitan
dengannya. Bahkan menurut keduanya, peningkatan dalam SQ pun menuntut
improvisasi musikal.212
Sehingga menurut Thomas Armstrong hal tersebut
dapat dipahami karena daerah temporal, khususnya temporal kanan merupakan
wilayah primer kecerdasan musik ditinjau dari sudut neurologis.213
Hal tersebut
diperoleh dari penelitianya terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan
otak.
Berdasarkan penjelasan para ahli di atas mengenai kecerdasan musikal
(Musical Intelligence) dapat disimpulkan bahwa kecerdasan musikal adalah
kemampuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengembangkan,
mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.
211 May Lwin, How to Multiply Your Child‟s Intelligences: Cara Mengembangkan Berbagai
Komponen Kecerdasan, (Yogyakarta: Indeks, 2008). hal. 137 212
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 148 213 Thomas Armstrong, Sekolah Para Juara: Menerapkan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, terj. Yudi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2004). hal. 13
117
3. Kecerdasan Matematis Logis (Logical-Matematical Intelligence)
Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan matematis logis,
Gardner memberikan sebuah ilustrasi dalam buku Multiple Intelligences: The
Theory in Practice sebagai berikut:
In 1983 Barbara McClintock won the Nobel prize in Medicine or
physiology for her work in microbiology. Her intellectual powers of
deducation and observation ilustrate one form of logical-mathematical
intelligence that is often labeled “scientific thinking”. One incident is
particulary illuminating. While a researcher at Cornell in the 1902s
McClintock was faced one day with a problem: while theory predicated 50
percent pollen sterility in corn, her research assistant (in the “field”) was
finding plants that were only 25 t0 30 percent sterile. Disturbed by this
decrepancy. McClintock left the corn field and returned to her office
where she sat for hal an hour, thinking:
Suddenly I jumped up and run back to the (corn) field. At the top
the field (the others were still at the bottom) I should “Eureka, I have it! I
know what the 30% sterility is “...Thes asked me to prove it. I sat down
with a paper bag and a pencil adn I started from scratch, wich I had not
done at all in my laboratory, it had all been done so fast; the answer came
and i run. Now I worked it uot step by step it was an intricate series of step
and I came out with (the same result). (They) looked at the material and it
was exactly as I‟d said it was: it worked out exactly as I had diagrammed
it. Now, why did I Know, without having done it on paper? Why was I so
sure? (Keller, 1983, p.104).214
214 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,
1993).hal. 25-26. Pada tahun 1983, Barbara McClintock memenangkan Hadiah Nobel Kedokteran dan
Psykologi atas karyanya dalam mikrobiologi. Kekuatan kecerdasannya dalam pengambilan kesimpulan dan
observasi mengilustrasikan suatu bentuk kecerdasan logis matematis yang sering diberi label sebagai
“pemikiran ilmiah”. Ada suatu insiden yang paling cepat memberikan gamabarannya. Ketika MCClintock
menjadi peneliti di Cornell pada kurun waktu 1920-an, suatu hari McClintock dihadapkan pada suatu
masalah: ketika teori memprediksi 50 persen kesterilan serbuk sari pada jagung, asisten risetnya (di “ladang”
itu) menemukan tanaman yang hanya 25 hingga 30 persen steril. Terganggu oleh perbedaan ini, McClintock
meninggalkan ladang jagung dan kembali kekantornya, dimana ia duduk selama setengah juam, berfikir: tiba-
tiba aku melompat dan berlari lagi keladang (jagung). Di puncak ladang itu 9yang lain masih dibawah), aku
berteriak, “Eureka, aku dapat! Aku tahu sterilitas 30% itu!” ... Mereka memintaku untuk membutikannya, aku
duduk dengan kantong kertas serta pensil dan mulai mencoret-coretnya, yang belum pernak kulakukan sama
sekali di laboratoriumku. Semua dilakukan dengan begitu cepat: jawabannya datang dan aku berlari.
Sekarang aku melakukannya selangkah demi selangkah itu adalah rangkaian langkah yang rumit dan aku
sampai pada (hasil yang sama). (Mereka) melihat bahannya dan semuanya persis seperti yang kukatakan saat
itu; berhasil persis seperti yang telah aku diagramkan. Sekarang, mengapa aku bisa tahu, tanpa melakukan itu
diatas kertas? Mengapa aku begitu yakin? (keller, 1983, halaman 104)
118
Dari ilustrasi diatas, Gardner mengemukakan dua fakta penting
mengenai kecerdasan logis matematis. Pertama, dalam diri orang yang
berbakat, proses penyelesaian masalah berlangsung sangat cepat. Kedua,
penyelesaian masalah dapat disusun sebelum penyelesaiain itu di utarakan.215
Kedua fakta tersebut diketahui terdapat pada McClintock yang memiliki
kemampuan dalam menjawab persoalan mengenai sterilitas serbuk sari pada
jangung dan penyelesaian masalah yang dia susun sebelum dilakukanya dalam
penelitian dilaboratorium. Berdasarkan ilustrasi tersebut, timbul pertanyaan,
sebenarnya apa yang dimaksud dengan kecerdasan logis matematis?
Mengenai kecerdasan matematis logis, dalam buku Multiple
Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, Gardner menyatakan bahwa:
Logical-Mathematical Intelligence involves the capacity to analyze
problem logically, carry out mathematical operation, and investigates
issues scientifically.216
Dalam keterangan diatas, Gardner menyatakan bahwa kecerdasan
matematis logis melibatkan kesanggupan (capacity) untuk menganalisis
problem secara logis, mengatasi problem matematika serta sanggup
menginvestigasi suatu permasalahan sesuai kaidah keilmiahan.
Menurut Howard Gardner, sebagaimana yang dikutip Paul Suparno,
kecerdasan matematis logis adalah kemampuan yang berkaiatan dengan
penggunaan bilangan dan logika secara efektif, seperti yang dimiliki oleh
matematikus, saintis, programmer, dan logikus. Termasuk dalam kecerdasan
215 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,
1993).hal. 41 216 Howard Gardner, Multiple Intelligence, Intelligence Reframed, for the 21 st, (New York: Basic
Books, 1999). hal. 42
119
ini adalah kepekaan pada pola logika, abstraksi, kategorisasi dan
perhitungan.217
Orang yang kuat dalam kecerdasan matematis-logis biasanya
menonjol dalam tugas memikirkan sistem-sistem abstrak, seperti matematika
dan filsafat. Mereka mudah belajar berhitung, kalkulus, dan bermain dengan
angka. Pola pemikiran seperti itu, menurut Paul Suparno biasanya berfikir
induktif – deduktif. Dalam menghadapi berbagai masalah, orang yang memiliki
kecerdasan matematis logis cenderung untuk memilah masalah, mana yang
pokok dan yang tidak. Mereka dengan mudah membuat abstraksi dari berbagai
persoalan sehingga dapat fokus ke persoalan inti yang dihadapi dengan jelas.
Jalan fikirannya bernalar dan mudah mengembangkan pola kausalitas.
Pemikiran orang seperti ini ilmiah, berurutan. Silogismenya kuat sehingga
mudah dimengerti dan mudah mempelajari persoalan analitis.218
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti
kecerdasan matematis-logis adalah kepekaan pada pola-pola logis atau numeris
dan kapasitas mencernanya, serta kemampuan mengolah alur pemikiran dan
kemampuan untuk menangani bilangan dan perhitungan, pola dan pemikiran
logis dan ilmiah.
4. Kecerdasan Visual/ruang Spasial (Spatial Intelligence)
Penjelasan mengenai kecerdasan Spasial diawali dengan ilustrasinya
dalam buku Multiple Intelligence teori dalam praktek, Howard Gardner
mengungkapkan:
217 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,
2004). hal. 29 218 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, hal. 29-30
120
Navigasi disekitar Kepulauan Caroline di Laut Selatan dilakukan oleh para
pelayar pribumi tanpa instrumen apapun. Posisi bintang, yang dilihat dari
berbagai pulau, pola cuaca dan warna air adalah penanda utama. Tiap
perjalanan dibagi ke dalam serangkaian segmen, dan navigator
mempelajari posisi bintang di setiap masing-masing segmen ini. Selama
perjalanan aktual, navigator membayangkan sebuah pulau sebagai
referensi sewaktu melewati bintang tertentu. Saat melakukan khayalan itu,
ia menghitung jumlah segmen yang terselesaikan, proporsi perjalanan
yang tersisa dan segala koreksi dalam arah yang diperlukan. Navigator
tidak bisa melihat kepulauan ketika ioa berlayar; sebaliknya ia memetakan
lokasi kepulauan tersebut dalam gambaran mental perjalanan itu. (lihat
Gldwin, 1970).219
Dari ilustrsi di atas, Gardner menyatakan bahwa pemecahan masalah
spasial (ruang) diperlukan untuk navigasi dan penggunaan sistem notasi peta.
Jenis pemecahan masalah spasial lain digunakan dalam memvisualisasikan
sebuah benda dari sudut yang berbeda dan dalam memainkan catur. Seni visual
juga menggunakan kecerdasan ini dalam penggunaan ruang.
Menurut Thomas Armstrong, kecerdasan spasial menekankan pada
pentingnya kekuatan persepsi yang terfokus untuk mengungkapkan apa yang
ada meskipun seolah tersembunyi bagi pengamat sambil lalu pada segala
sesuatu yang tampak. 220
Jadi apa sebenarnya kecerdasan spasial?
Kecerdasan spasial menurut Gardner, sebagaimana yang dikutip oleh
Agus Efendi, adalah kemampuan untuk memberikan gambar-gambar dan
imagi-imagi, serta kemampuan adalam mentrasformasikan dunia visual-
spasial. Diantara ciri yang mengacu pada kecerdasan ini adalah keterampilan
menghasilkan imagi mental dan menciptakan representasi grafis, berfikir tiga
dimensi, dan mencipta ulang dunia visual. Diantara orang-orang yang memiliki
219 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur (New
York: Basic Book, 1993). hal. 27 220 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal. 38
121
keberdasan spasial adalah picasso, Van Gough, Raden Saleh Affandi dan apara
disainer dan arsitek.221
Ketika menjelaskan pusat kecerdasan spasial, Howard Gardner dalam
buku Multiple Intelligences: the Theory in Practice menjelaskan bahwa:
Central to Special intelligence are the capacities to perceive the visual
world accurately, to perform transformations and modifications upon
one‟s visual experience, even in the absence of relevant physical
stimuli.222
Gardner menegaskan sebagaimana yang dikutip oleh Agus Efendi,
bahwa kecerdasan spasial mencakup sejumlah kapasitas yang kurang
berhubungan; kemampuan mengenali contoh-contoh dari unsur yang sama;
kemampuan mentrasformasikan atau mengenali transformasi satu elemen ke
elemen yang lain; kemampuan untuk menyulap pencitraan mental, lantas
mentransformasikan pencitraan tersebut; kemampuan memproduksi kesukaan
grafis dari informasi spasial; dan seterusnya. Kecerdasan spasial dapat
diturunkan dalam sejumlah arena yang berbeda.223
Walaupun kecerdasan spasial mencakup sejumlah kapasitas yang
kurang berhubungan, namun kecerdasan ini penting untuk mengorientasikan
seseorang dalam lokal-lokal yang beragam, mulai dari lingkup yang sempit
seperti akmar sampai lingkup yang besar seperti para navigator kapal saat
berada di samudera. Dengan begitu, menurut Agus Efendi, Gardner
221 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 145 222 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,
1993).hal. 173. Pusat kecerdasan spasial adalah kemampuan mempersepsi dunia visual dengan akurat,
mentransformasi dan memodifikasi pengalaman visual seseorang, bahkan ketika tidak adarangsanganfisikal
yang relevan. 223
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 145-146
122
memaksudkan kecerdasan spasial merupakan kecerdasan yang dapat digunakan
untuk mengenali objek dan pemandangan dilingkungan aslinya.224
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti
kecerdasan spasial adalah kemampuan untuk memberikan gambar-gambar dan
imagi-imagi, serta kemampuan dalam mentrasformasikan dunia visual-spasial.
Diantara ciri kompetensi yang mengacu pada kecerdasan ini adalah
keterampilan menghasilkan imagi mental dan menciptakan representasi grafis,
berfikir tiga dimensi, dan mencipta ulang dunia visual.
5. Kecerdasan Kinestetis Badani (Bodily Kinesthetic Intelligence)
Pemaparan mengenai kecerdasan kinestetis badani (bodily kinesthetic
intelligence), Gardner mengawali penjelasannya dengan sebuah ilustrasi:
Fifteen-year-old Babe Ruth played third base. During one game his team‟s
pitcher was doing very poorly and babe loudly critised him from third
base. Brother Mathias, the coach, called out, “Ruth, if you know so much
abaout it, YOU pitch!” Babe was surprised and embrassed because he
never piched before, but Brother Babe Mathias insisted. Ruth Said later
that at the very moment he took the pitcher‟a mound, he KNEW he was
supposed to be a picher and that it was “natural” for him to strike people
out. Indeed, he went on to become a great major league pitcher (and, of
course, attained legendary status as a hitter) (Connor, 1982)225
Ilustrasi di atas memberikan gambaran bahwa seseorang yang
memiliki kecerdasan kinestetik badani adalah seseorang yang mampu
224 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 146 225 Howard Gardner, Multiple Intelligences: the Theory in Practice (New York: Basic Book,
1993).hal. 18. Terjemahan bebasnya: Babe Ruth yang berumur lima belas tahun berada ditempat aman (base)
ketiga. Dalam suatu permainan petugas pelempar timnya bermain amat buruk dan Babe dengan suara keras
melontarkan kritik kepadanya dari tempat aman ketiga. Kak Mathias, sang pelatih, berteriak, “Ruth, kalau
kamu memang menguasainya, KAMU jadi pelempar!” Babe terkejut dan malu karena dia belum pernah
melempar bola sebelumnya, tetapi Kak Mathias mendesak. Ruth berkata kemudian bahwa pada saat ia berdiri
di tempat pelempar, yang agak ditinggikan, dia MENGETAHUI dia seharusnya menjadi pelempar dan tugas
itu “alami” baginya untuk mengalahkan lawan. Memang benar, dia menjadi seorang pelempar liga utama
yang terkemuka (dan, tentu saja, memperoleh status legendaris sebagai pemukul bola atau hitter) (Connor,
1982)
123
mengenali instrumen yang berkaitan dengan gerak badan dengan segera saat
pertama kali bersinggungan dengan objek itu sebelum memperoleh pelatihan
formal.
Menurut Toni Buzan sebagaimana yang dikutip Agus Efendi,
kecerdasan tubuh adalah kemampuan memahami, mencintai dan memelihara
tubuh, dan membuatnya berfungsi seefisien mungkin bagi dirinya. Dengan kata
lain, kecerdasan tubuh adalah kecerdasan atletik dalam mengontrol tubuh
seseorang dengan sangat cermat. Oleh karena itu, ditegaskan oleh Buzan
bahwa jika kita memiliki kecerdasan fisik yang tinggi maka kita akan
memahami hubungan antara otak dan tubuh, men sana in corpore sano, pikiran
yang sehat terdapat dalam badan yang sehat. Sebaliknya, badan yang sehat
berada dalam pikiran yang sehat.226
Menurut Gardner, sebagaimana yang dikutif Agus Efendi adanya
bentuk kecerdasan kinestetik bisa kita saksikan dari adanya dua aktivitas
berbeda yang menonjol diantara perorangan, kelompok dan masyarakat.
Sebagai contoh, ada orang yang sangat reflektif dan ada orang yang sangat
aktif. Aktivitas nalar bagaimanapun berbeda dari aktivitas fisikal, meski
diantara keduanya pasti ada keterkaitan sebagaimana ditegaskan oleh para
psikolog bahwa antara penggunaan tubuh dengan penyebaran kekuatan-
kekuatan kognitif yang lain ada keterkaitan karena dalam gerak tubuh ada
peran otak.227
226 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 152 227 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, hal. 154
124
Dengan demikian, operasi sistem gerak tubuh pada manusia begitu
kompleks, dan memerlukan koordinasi ragam komponen saraf dengan fisik
dalam bentuk yang sangat sempurna dan terintegrasi satu dengan lainnya. Hal
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan James, seperti yang dikutip Agus
Efendi, bahwa bentuk kecerdasan tubuh itu memungkinkan terjadinya
hubungan natara fikiran dan tubuh yang diperlukan agar berhasil dalam
berbagai aktivitas, seperti menari melakukan pantomin, berolah raga,
menguasai seni bela diri, dan memainkan drama.228
Sementara itu, Gardner sebagaimana yang dikutip Paul Suparno
menegaskan bahwa kecerdasan kinestetik-badani merupakan kemampuan
menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan
perasaan. Dalam hal ini termasuk keterampilan koordinasi dan flesibilitas
tubuh.229
Sehingga menurut Paul Suparno orang yang memiliki kecerdasan ini
akan dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh mereka.
Apa yang mereka fikirkan dan rasakan, akan dengan mudah diekspresikan
dengan gerak tubuh atau ekspresi tubuh.230
Sedangkan menurut Thomas Armstrong, yang hampir 20 tahun
meneliti dan mengaplikasikan teori multiple intelligences ke dalam dunia kelas
menyatakan bahwa anak-anak yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani
yang sangat berkembang sering tidak bisa diam saat duduk makan, dan
biasanya selalu minta izin keluar untuk bermain. Mereka memproses
228 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 153 229 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,
2004). hal. 34 230 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, 35
125
pengetahuan melalui sensasi tubuh. Anak-anak dengan kecerdasan ini, bisa
berkomunikasi dengan sangat efektif melalui gerakan dan bentuk-bentuk
bahasa tubuh.231
Selanjutnya Mengenai hubungan kecerdasan kinestetik-badani dengan
kecerdasan lainnya, Gardner sebagaimana yang dikutip Agus Efendi
menyatakan kecerdasan tubuh menyempurnakan tiga kecerdasan yang
berhubungan dengan objek kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial,
dan kecerdasan tubuh.232
Menurut Agus Efendi, contoh orang-orang yang memiliki kecerdasan
tubuh yang sangat bagus itu sering kita saksikan dalam arena olah raga, seperti
dalam olimpiade. Dalam arena itulah mereka mampu menunjukan ciri-ciri
istimewa yang terbedakan dari umum ketika berlaga. Para penari balet menari
begitu indah, para pemain basket dan bola begitu lincah memainkan bola di
lapangan, atau para atlet lainnya dengan sangat piawai memamerkan
kecerdasan tubuh (bodily intelligence) mereka. Semua itu hanya bisa terjadi
bukan saja karena mereka memiliki kekuatan dan keterampilan fisikal tapi juga
karena mereka memiliki kecerdasan kinestetik. Begitulah posisi kecerdasan
kinestetik.233
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti
kecerdasan kinestetis badani (Bodily Kinesthetic Intelligence) adalah
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menggunakan anggota tubuh
231 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). h. 29 232 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). h. 154 233 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, hal. 154
126
untuk segala kebutuhan hidup. Mampu mewujudkan ide atau gagasan melalui
gerak fisik, dan mampu menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk
mengekspresikan gagasan atau perasaan dalam sebuah bentuk tindakan.
6. Kecerdasan Antar Pribadi (Interpersonal Intelligence)
Penjelasan Howard Gardner tentang kecerdasan antar pribadi
(Interpersonal Intelligence) diawali dengan sebuah kisah nyata tentang
perjuangan seorang psikiater yang bernama Anne Sulivian yang mengajar
seorang tunanetra dan tuna rungu yang berusia tujuh tahun, usahanya dalam
mengajar diperumit dengan kesulitan emosional sang anak dengan dunia
disekitarnya yang menghambat komunikasi antara keduanya, anak tersebut
adalah Hellen Keller. Kisah tersebut bahkan telah diangkat menjadi sebuah
film. Ilustrasi tersebut ditulis Gardner dalam bukunya, Multiple Intelligences:
the Theory in Practice, kisah ini diawali pada saat makan bersama pertama
kali, pemandangan berikutpun terjadi:
Anne tidak mengizinkan Helen menaruh tangannya di piring Anne
dan mengambil yang Helen mau, seperti yang biasa Helen lakukan di
keluarganya. Hal itu menjadi tes kemauan dorongan tangan ke piring,
tangannya dengan kuat diletakan di pinggir piring. Keluarga Helen, yang
sangat kecewa, meninggalkan ruang makan. Anne mengunci pintu dan
meneruskan makan pagi sedangkan Helen berbaring dilantai menendang-
nendang dan menjerit, mendorong dan menarik-narik kursi Anne. (Setelah
setengah jam) Helen mengitari meja mencari keluarganya. Helen tak
menemukan seorang pun di sana dan itu membuatnya bingung. Akhirnya,
Helen duduk dan mulai makan pagi, tapi dengan tangannya. Anne
memberinya sendok. Sendok jatuh lagi dan lagi ke bawah lantai dan kontes
kemauan pun memulai babak barunya (Lash, 1980, halaman 52)
Anne Sullivan dengan sensitif merespon perilaku sang anak. Ia
menulis kerumahnya: “Masalah terbesar yang harus saya pecahkan adalah
bagaimana mendisiplinkan dan mengendalikannya tanpa merusak
semangatnya. Saya akan bergerak pelan dulu dan berusaha mendapatkan
cintanya”. Jelas “keajaiban” pertama terjadi dua minggu sesudahnya, tepat
sebelum insiden yang terkenal di gardu irigasi itu Anne membawa Helen
127
kesebuah pondok kecil di dekat rumah keluarga itu, tempat mereka bisa
tinggal berdua saja. Setelah tujuh hari bersama, kepribadian Helen tiba-
tiba mengalami perubahan terapi itu berhasil: “Hati saya bernyanyi
gembira pagi ini. Keajaiban telah terjadi. Makhluk kecil liar dua pekan lalu
itu telah di transformasikan menjadi seorang anak yang lembut” (Lash,
1980, halaman 54).234
Dari kisah di atas Gardner menyimpulkan bahwa kunci keberhasilan
mengenai perubahan yang terjadi pada Hellen Keller adalah terletak pada
pemahaman Anne Sulivan terhadap kondisi pribadi Hellen. Hal ini
menggambarkan kemampuan Anne dalam memahami pribadi Helen tidak
bergantung pada bahasa, namun bergantung pada kecerdasan interpersonal
yang dimiliki Anne.
Menurut Gardner, kecerdasan interpersonal berkembang pada
kapasitas inti untuk memperhatikan perbedaan diantara orang lain siklus hidup,
perbedaan suasana hati, temperamen, motivasi dan niat mereka. Dalam bentuk
yang lebih lanjut, kecerdasan ini memungkinkan orang dewasa yang terlatih
untuk membaca niat dan hasrat orang lain. Bahkan ketika semua itu
tersembunyi.235
Selain kemampuan untuk memperhatikan perbedaan diantara orang
lain siklus hidup, perbedaan suasana hati, temperamen, motivasi dan niat orang
lain, kecerdasan interpersonal menurut Adi W. Gunawan, seseorang mampu
mengamati perubahan kecil yang terjadi pada mood, perilaku, motivasi dan
234
Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur
(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 28-29 235 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, hal. 29
128
perhatian orang lain.236
Kecerdasan ini menurut Agus Efendi banyak dimiliki
oleh para manajer, konselor, terapis, politikus, mediator, dan spesialais
hubungan manusia. Mereka yang memiliki kecerdasan ini, biasanya memiliki
keterampilan intuitif yang kuat. Mereka pintar membaca suasana hati,
temperamen, motivasi, dan maksud orang lain.237
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan antar
pribadi (Interpersonal Intelligence) merupakan kemampuan untuk mengerti
dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang
lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara serta isyarat orang lain.
7. Kecerdasan Diri Pribadi (Intrapersonal Intelligence)
Mengawali penjelasannya mengenai kecerdasan diri pribadi
(intrapersonal intelligence), Howard Gardner mengutif sebuah esai yang
berjudul A Sketch of the Past (Sketsa Masa Lalu) karya Virginia Woolf, yang
ditulis hampir seperti catatan buku harian:
Ada tiga contoh momen yang luar biasa. Saya sering membicarakannya,
atau muncul kepermukaan secara tak terduga. Tapi sekarang untuk kali
pertama saya menuliskannya, saya menyadari sesuatu yang belum pernah
saya sadari sebelumnya. Dua dari momen ini berakhir dalam kondisi
keputusasaan. Lainnya berakhir, sebaliknya, dalam kondisi
kepuasan...Rasa ngeri (ketika mendengar kejadian bunuh diri) membuat
saya tak berdaya. Tapi dalam hal hubungan, saya menemukan sebuah
alasan; sehingga sanggup menguasai sensasinya. Saya tidak tanpa daya...
Meskipun saya mengalami keganjilan yang saya dapatkan dari
goncangan mendadak ini, semua itu sekarang selalu baik-baik saja;
setelah kejutan pertama, saya selalu merasakan dengan cepat bahwa
semua itu sangat bernilai. Maka saya terus saja menganggap bahwa
kapasitas menerima goncangan itu adalah hal yang membuat saya
menjadi seorang penulis. Saya menanggung resiko menjelaskan bahwa
236
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated
Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). hal. 237 237 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 156
129
suatu goncangan dalam kasus saya sekaligus diikuti oleh hasrat
menerangkannya. Saya merasa telah mengalami tamparan; tapi tidak,
seperti yang saya fikir ketika masih kecil, hanya tamparan dari seorang
musuh yang tersembunyi dibalik „kapas‟ kehidupan sehari-hari; hal ini
memang atau akan menjadi kejutan tersendiri; ini merupakan pertanda
suatu yang riil dibalik penampakannya; dan saya mewujudkannya dengan
menuangkan ke dalam kata-kata (Woolf, 1976, halaman 69-70).238
Dalam kisah tersebut Virginia Woolf mendiskusikan tentang
“keberadaan kapas mentah” dan berbagai kejadian hidup yang biasa terjadi.
Woolf membandingkan kisah keberadaan kapas mentah dengan ingatan
spesifik dan emosional dari masa kecilnya yang berkesan sangat mendalam
terkait tiga hal, yaitu pertengkaran dengan saudara kecilnya, melihat bunga
tertentu di taman dan mendengar bunuh dirinya seorang tamu dimasa lalu.
Kisah tersebut menjelaskan tentang kesadaran seseorang akan
kemampuan dirinya setelah mengalami suatu peristiwa luar biasa yang
menimbulkan ketakuatan dan keterkejutan. Namun kesadaran akan
kemampuan dan potensi yang dimiliki akhirnya menjadikan orang tersebut
memiliki kepercayaan diri yang kuat, tidak takut menghadapi tantangan bahkan
mampu mengembangkan kemampuannya dengan optimal. Kisah tersebut
menginspirasi pada semua orang tentang bagaimana cara mengelola masalah
yang dianggap buruk, karena dari masalah itulah dia belajar dan semakin
mampu mengenali kemampuan dan kekuatan diriinya sendiri.
Dari ilustrasi di atas, Howard Gardner menjelaskan sebagaimana yang
dikutip oleh Agus Efendi, bahwa kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan
seseorang dalam mendeteksi dan mensimbolisasi serangkaian perasaan yang
238
Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur
(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 30-31
130
kompleks dan terbedakan.239
Orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi
dalam bidang ini adalah orang yang mengetahui kelebihan dan kelemahan diri
serta mampu menjadi dirinya yang sejati. Diri sejati menurut James Masterson
sebagaimana dikutip oleh Thomas Armstrong, memiliki sejumlah komponen,
anatara lain:
1. Kemampuan untuk mengalami berbagai perasaan secara mendalam dengan
gairah, semangat, dan spontanitas.
2. Kemampuan bersikap tegas.
3. Pengakuan terhadap harga diri.
4. Kemampuan untuk meredakan perasaan sakit pada diri sendiri.
5. Mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk mempertahankan niat
dalam pekerjaan maupun relasi.
6. Kemampuan untuk berkreasi dan berhubungan secara dekat.
7. Kemampuan untuk menyendiri.
8. Mampu bertahan menghadai ruang dan waktu.240
Sedangkan menurut Paul Suparno kecerdasan intrapersonal adalah
kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan
kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri
tersebut. Termasuk dalam kecerdasan ini adalah kemampuan berrefleksi
dan berkeseimbangan diri, memiliki kesadaran tinggi akan gagasan-
gagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi,
239
Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 156 240 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal. 118-
119
131
sadar akan tujuan hidupnya, bisa mengatur perasaan serta emosi dirinya
sendiri.241
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti
kecerdasan diri pribadi (intrapersonal ntelligence) adalah kemampuan
yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan
untuk bertindak secara adaptif berdasar pengenalan diri itu.
8. Kecerdasan Naturalis (Naturalist Intelligence)
Kecerdasan naturalis (naturalis intelligence) merupakan kecerdasan
yang baru teridentifikasi dalam penelitian Howard Gardner. Menurut Gardner
bukti untuk eksistensi kecerdasan naturalis ternyata meyakinkan, setelah ia
meneliti ahli-ahli dalam dunia biologi seperti Charles Darwin dan E.O. Wilson
dan ahli ornitologi seperti John James Audubon dan Roger Tory Peterson
berhasil mengidentifikasi dan membandingkan suatu spesies dengan spesies
lainnya.
Kecerdasan naturalis menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Paul
Suparno, adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna
dengan baik, dapat membuat distingsi monsekuensial lain dalam alam natural;
kemampuan untuk memahami dan menikmati alam serta menggunakan
kemampuan tersebut secara produktif dalam bertani, berburu dan
mengembangkan pengetahuan alam lainnya.242
Menurut Gardner orang yang memiliki tingkat kecerdasan naturalis
yang tinggi amat sadar akan bagaimana membedakan tanaman, hewan,
241 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,
2004). hal. 39 242 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, hal 42
132
pegunungan, atau konfigurasi awan yang berbeda dalam ceruk ekologis
mereka. Kapasitas kecerdasan ini tidak selalu berkaitan dengan faktor fisual;
mengenali nyayian burung tertentu atau teriakan ikan paus memerlukan
persepsi pendengaran. Sebagai contoh misalnya naturalis asal Belanda, Germat
Vermij, yang seorang tunanetra, bergantung pada indra sentuhnya.243
Disisi lain, Thomas Armstrong seorang pakar pendidikan anak
mengatakan bahwa, anak yang memiliki kecerdasan naturalis yang tinggi lebih
suka berada atau berjalan-jalan di alam terbuka, ke kebun binatang atau
musium sejarah, akrab dengan hewan peliharaan, menunjukan kepekan
terhadap bentuk-bentuk alam (misalnya gunung, awan, sepatu kanvas, sampul
CD, model mobil), suka berkebun atau berada didekat kebun, menghabiskan
waktu dekat akuarium, tetarium, atau sistem kehidupan alam lain,
memperlihatkan kesadaran ekologi (misalnya, melalui daur ulang dan
pelayanan masyarakat), yakin bahwa binatang juga punya hak sendiri, suka
mencatat fenomena yang alam yang melibatkan hewan, tanaman dan hal-hal
sejenis, membawa pulang serangga, bunga, daun, atau benda-benda alam lain
untuk diperlihatkan kepada anggota keluarga yang lain, atau memperlihatkan
pemahaman yang mendalam di sekolah dalam topik-topik yang melibatkan
sitem kehidupan.244
Selanjutnya, menurut Gardner sebagaimana dikutip oleh Thomas
Armstrong kecerdasan naturalis ini tidak hanya biasa berkembang pada oarang-
243 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur
(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 33 244 Thomas Armstrong, Setiap Anak Cerdas: Panduan Membantu Anak Belajar dengan
Memanfaatkan Multiple Intelligence-nya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005). hal. 36-37
133
orang yang dekat pada flora dan fauna saja, namun orang yang jauh dari flora
dan fauna, seperti orang-orang yang hidup di kota, juga bisa mengembangkan
kecerdasan naturalisnya, karena kecerdasan naturalis itu tidak hanya sekedar
kemampuan untuk memahami flora dan fauna saja, tetapi bisa berupa
kemampuan untuk membedakan jenis benda-benda yang dikota, sperti jenis
sampul CD, sepatu karet, atau mobil.245
Senada dengan pernyataan Gardner,
Adi W, Gunawan menyatakan bahwa kecerdasan naturalis saat ini tidak hanya
sebatas mengenali alam, namun juga mampu membedakan, menggolongkan,
dan membuat kategori terhadap apa yang di jumpai di alam maupun di
lingkungan, termasuk kemampuan untuk membedakan benda buatan manusia,
seperti mobil, sepatu, pesawat, dan perhiasan.246
Menurut Paul Suparno, orang yang memiliki kecerdasan naturalis
yang tinggi yaitu orang yang mampu hidup di luar rumah, dapat berteman dan
berhubungan baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan klasifikasi
tanaman dan binatang. Orang seperti ini biasanya memiliki kemampuan untuk
mengenal sifat dan tingkah laku binatang, mencintai lingkungan, dan tidak
suka merusak lingkungan hidup.247
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti
kecerdasan naturalis (naturalist intelligence) adalah kemampuan untuk
mengerti flora fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensi lain
245 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal.215 246 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated
Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006). hal. 237 247 Paul Suparno, Teori Intelligensi ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,
2004). hal. 42
134
dalam alam natural, kemampuan untuk memahami dan menikmati alam, dan
menggunakan kemampuan tersebut secara produktif.
9. Kecerdasan Eksistensial (Existensial Intelligence)
Kecerdasan eksistensial (existensial intelligence), sama halnya dengan
kecerdasan naturalis (naturalis intelligence) merupakan kecerdasan yang baru
teridentifikasi dalam penelitian Howard Gardner. Kecerdasan eksistensial
menurut Gardner merupakan suatu aspek dari spiritual menjadi kandidat yang
menjanjikan bagi sebuah kecerdasan.248
Meskipun kajiannya atas bukti tentang
spiritualitas kurang lugas. Ini diungkapkannya dalam buku Multiple
Intelligences: Teori dalam Praktek:
Orang-orang memliki pandangan yang amat kuat tentang agama
dan spiritualitas. Bagi banyak orang (khususnya di Amerika Serikat saat
ini), pengalaman jiwa adalah hal yang tepenting; dan banyak yang
mengasumsikan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya eksis tetapi benar-
benar mewakili prestasi tertinggi manusia. Lainnya, khususnya yang
memiliki kecenderungan ilmiah, tidak bisa serius menanggapi pembahasan
jiwa atau roh: hal itu menolak hal-hal yang berbau mistik. Dan mereka
mungkin amat sketpis tentang Tuhan dan agama khususnya di sekolah.
Saya menyimpulkan bahwa setidaknya dua aspek spiritualitas agak
jauh dari konsepsi saya tentang kecerdasan. pertama, saya tidak percaya
bahwa kecerdasan seharusnya dikacaukan dengan pengalaman
fenomenologis seorang individu. Bagi sebagian besar pengamat,
spiritualitas mengakibatkan set reaksi intuitif tertentu-misalnya, perasaan
bahwa seseorang berhubungan dengan suatu makhluk yang lebih tinggi
atau “menyatu” dengan dunia. Perasaan seperti ini mungkin baik, tapi saya
tidak melihatnya sebagai indikator yang valid dari sebuah kecerdasan.
Kedua, bagi banyak individu, spiritualitas itu tidak bisa dipisahkan
dari kepercayaan pada agama dan Tuhan secara umum, atau bahkan dari
komitmen pada iman atau sekte tertentu: “Hanya
Yahudi/Katolik/Muslim/Protestan sejati yang merupakan makhluk
spiritual” adalah pesan ekspilit atau implisitnya. Syarat ini membuat
membuat saya tidak nyaman dan membawa kita jauh dari set kriteria awal
untuk kecerdasan.
248
Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur
(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 34-35
135
Dari pernyataan di atas jelas penolakan Gardner terhadap adanya
kecerdasan spiritual. Dengan berbagai pertimbangan dan argumennya. Tetapi
di lain pihak, Gardner menyatakan bahwa meskipun kecerdasan spiritual tidak
memenuhi syarat untuk kriteria yang ditetapkannya, suatu aspek terlihat
menjadi kandidat yang menjanjikan. Howard Gardner menyebutnya kecerdasan
eksistensial yang kadang dideskripsikan sebagai “kecerdasan yang
membingungkan”.249
Gardner menyatakan bahwa kecerdasan eksistensial didasarkan pada
kecenderungan manusia untuk merenungkan pertanyaan yang paling
fundamental tentang keberadaan. Mengapa kita hidup? Mengapa kita mati?
Dari mana kita datang? Apa yang akan terjadi pada kita? Apakah cinta itu?
Mengapa kita berperang? Saya kadang bertkata inilah pertanyaan-pertanyaan
yang melebihi persepsi; semua berhubungan dengan persoalan-persoalan yang
terlalu besar atau terlalu kecil untuk dirasakan oleh lima sistem indra utama
kita.250
Menurut Gardner kecerdasan eksistensial memang masuk akal
dalam hal kriteria kecerdasan. Ia mencontohkan para filusuf, pemimpin agama,
negarawan sebagai perwujudan kelas atas dari kecerdasan eksistensial.
Kecerdasan eksistensial merupakan kemampuan untuk menempatkan
diri sendiri dengan memperhatikan capaian-capaian terjauh dalam kosmos
249
Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, Terj. Yelvi Andri Zaimur
(Jakarta: daras Books, 2013). hal. 35 250 Howard Gardner, Multiple Intelligences: Teori dalam Praktek, hal 35
136
(yang tak terbatas dan yang sangat tak terukur).251
Kecerdasan eksistensial
menyangkut kemampuan dan kepekaan seseorang untuk menjawab persoalan-
persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Kecerdasan ini sering
disebut dengan kecerdasan spiritual. Sifat kecerdasan ini selalu mencari
koneksi antar kebutuhan untuk belajar dengan kemampuan dan menciptakakan
kesadaran akan kehidupan setelah kematian.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa komponen inti
kecerdasan eksistensial (existensial intelligence) adalah kepekaan atau
kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi manusia
dan alam semesta.
Kesembilan kecerdasan tersebut tidak semata-mata diklasifikasikan
tanpa adanya dasar yang jelas melainkan melalui riset yang panjang. Menurut
Armstrong sebagai mana dikutip oleh Paul Suparno, pengklasifikasian
kesembilan kecerdasan tersebut berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu
sehingga dapat disebut dengan kecerdasan bukan hanya bakat, kemampuan,
atau keterampilan semata. Dasar teoritis dalam pengklasifikasian kecerdasan
adalah:
1. Isolasi potensi oleh kerusakan otak.
2. Keberadaan orang-orang yang berbakat, genius, dan individu yang luar
biasa lainya.
251 Thomas Armstrong. 7 The Kind of Smart: Menemukan dan Meningkatkan Kecerdasan Anda
Berdasarkan Teori Multiple intelligences, Terj. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002). hal.218
137
3. Sejarah perkembangan yang khas dan serangkaian prestasi (performance)
yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai ahli, yang dapat
didefinisikan dengan baik.
4. Sebuah sejarah evolusi dan kemasuk akalan evolusi.
5. Dukungan dari temuan-temuan psikometrik.
6. Dukungan dari tugas-tugas psikologi yang bersifat eksperimental.
7. Sebuah definisi inti yang dapat diidentifikasi atau serangkaian operasi.
8. Kepekaan dan kerentanan terhadap pengkodean dalam sebuah sistem
simbol.252
Terlepas dari pengertian berbagai macam kecerdasan dalam Multiple
intelligence dan dasar-dasar teoritis yang membangun konsep multi kecerdasan
yang perlu diingat adalah semua anak memiliki kesembilan kecerdasan
tersebut, namun tiap-tiap anak memiliki porsi yang berbeda pada tiap-tiap
kecerdasan sehingga munculah beberapa anak yang menonjol pada salah satu
kecerdasan tertentu. Kategorisasi kecerdasan digunakan untuk membantu
dalam bentuk representasi mental.
Dari penjelasan Howard Gardner mengenai kecerdasan majemuk dari
mulai ide awal munculnya sampai dengan macam-macam kecerdasan dapat
disimpulkan seperti yang dikatakan oleh Dr. Sternberg sebagaimana yang
dikutip oleh Agus Efendi, “Tes sesungguhnya bukan pada seberapa banyak
kecerdasan yang Anda miliki dalam otak Anda. Akan tetapi bagaimana Anda
252 Paul Suparno, Teori Intelligensi Ganda dan Aplikasinya Di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,
2004). hal. 23
138
menggunakan kecerdasan yang harus Anda buat menjadi dunia yang lebih baik
bagi diri Anda sendiri, dan orang lain”.253
Senada dengan pandangan Sternberg diatas, John Holt seperti yang
dikutip Agus Efendi menyatakan bahwa kecerdasan bukanlah yang Anda
miliki. Kecerdasan lebih merupakan sesuatu yang anda gunakan. “Kita tidak
harus mencerdaskan manusia. Mereka sudah dilahirkan dengan cerdas. Yang
harus kita lakukan adalah menghentikan hal-hal yang membuat mereka
bodoh.”254
C. Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) dalam Perspektif
Pendidikan Islam
1. Kecerdasan dalam Pandangan Islam
Kecerdasan merupakan salah satu anugrah besar dari Allah SWT dan
menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan
mahluk lainnya. Dengan kecerdasan, manusia dapat terus menerus
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin
kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus. Dan
dengan kecerdasan Allah SWT menjadikan manusia sebagai mahluknya yang
mempunyai bentuk dan susunan struktur tubuh yang paling sempurna
dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain baik dari segi fisik maupun
psikis. Allah SWT menegaskan dalam Al-Quran Surat At-Tin ayat 4:
253 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successfull Intelligence
Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005). hal. 160 254Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, hal. 161
139
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” (Al-Quran, Surat At-Tin: 4)255
Kecerdasan (intelligence) merupakan salah satu dari beberapa gejala
kejiwaan yang sulit dipahami. Padahal sudah tidak diragukan lagi, bagaimana
perannya dalam berbagai kehidupan, khususnya dalam bidang pendidikan dan
pengajaran. Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, kecerdasan merupakan
salah satu masalah pokok, karena itu tidak mengherankan kalau masalah itu
banyak dikupas oleh peneliti secara khusus.
Kecerdasan (intelligence/adz-dzaka) menurut arti bahasa adalah
pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu, dalam arti kemampuan
dalam memahami sesuatu secara cepat dan sempurna. Begitu cepat
penangkapannya itu sehingga Ibnu Sina menyebut kecerdasan sebagai
kekuatan intuitif.256
Pada mulanya kecerdasan hanya berkaitan dengan kemampuan strukur
akal dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan
dengan aspek-aspek kognitif. Namun pada perkembangan selanjutnya, disadari
bahwa kehidupan manusia bukan hanya semata-mata memenuhi struktur akal,
melainkan terdapat struktur Qalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk
membuat aspek-aspek afektif seperti kehidupan emosional, moral, spiritual dan
255 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: CV Dipenogoro, 2005), hal. 478 256
Abdul Mujib dan Jusuf Muzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 317
140
agama. Karena itu, jenis-jenis kecerdasan pada diri seseorang sangat beragam
seiring dengan kemampuan dan potensi yang ada di dalam dirinya.257
Pada dasarnya, setiap manusia terlahir dengan potensi inteligensinya
masing-masing sebagai anugerah Allah. Persoalannya, justru terletak pada
bagaimana cara mengembangkan potensi inteligensi yang beragam tersebut,258
karena inteligensi telah ada dan mengakar dalam saraf manusia, terutama
dalam otak yang merupakan pusat seluruh aktivitas manusia. Konsep Islam
mengenai inteligensi, telah secara jelas disebutkan dalam surat al-Isra‟ ayat 70.
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”259
(Al-Quaran, Surat al-
Isra [17]: 70).
Ayat ini mengindikasikan adanya potensi superiority dalam diri setiap
manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, potensi tersebut salah
satunya adalah kecerdasan. Dengan inteligensinya, manusia dapat
mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks
melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus, melalui pendidikan.
257 Abdul Mujib dan Jusuf Muzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 317 258 Arief Rachman, “Genius Learning Strategy” dalam Adi W. Gunawan, Genius Learning
Strategy: Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelerated Learning, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006), hal. xiii. 259 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 289
141
Mengupas kecerdasan dalam perspektip Islam, tentunya tidak akan
terlepas dari sumber hukum Islam yaitu Al-Quran sebagai sumber literasi
utama Islam. Dalam literatur Islam, ada beberapa kata yang apabila ditinjau
dari pengertian etimologi memiliki makna yang sama atau dekat dengan
kecerdasan antara laian:
1. Al-fathânah atau al-fithnah, yang artinya cerdas, juga memiliki makna sama
dengan al-fahm (paham) lawan dari al-ghabawah (bodoh).260
2. d -d aka ‟ yang berarti hiddah al-fuâd wa sur‟ah al-fithnah (tajamnya
pemahaman hati dan cepat paham).261
Ibn Hilal al-Askari membedakan
antara al-fithnah dan ad -d aka ‟, bahwa ad -d aka ‟ adalah tamam al-
fithnah.262
(kecedasan yang sempurna).
3. Al-hadzaqah, di dalam kamus Lisan al-„Arab, al-hadzaqah diberi ma‟na al-
Maharah fi kull „amal (mahir dalam segala pekerjaan)263
4. An-Nubl dan an-Najabah, menurut Ibn Mandzur an-Nubl artinya sama
dengan ad -d aka ‟ dan an-naja bah ya‟ni cerdas.264
5. n- aja bah, berarti cerdas.
6. Al-Kayyis, memiliki ma‟na sama dengan al-„aqil (cerdas).Rasulullah saw.
Mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis,
sebagaimana dalam hadits berikut :
260 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.
1, Juz 13, hal. 323 261 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, hal. 287 262 Abu Hilal al-Askari, Mu‟jam al-Furuq al-Lughawiyah, (al-Maktabah asy-Syamsiyah), juz 1, hal.
166 263 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.
1, Juz 13, hal. 40 264 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, hal. 640
142
س مه دان وفسه انكي» قال -صهى الله عهيه وسهم-عه شداد به أوس عه انىبى
)زواي التسمر( وعمم نما بعد انموت
Dari Syaddad Ibn Aus, dari Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas
adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan
sesudah mati (H.R. At-Tirmidzi)”.265
Apabila kita meneliti ayat-ayat Al-Quran, kata-kata yang memiliki arti
kecerdasan, sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut di atas, yaitu al-
Fathânah, ad -d aka ‟, al-had aqah, an-nubl, an-naja bah, dan al-kayyis
tidak digunakan oleh Al-Quran. Definisi Kecerdasan secara jelas juga tidak
ditemukan, tetapi melalui kata-kata yang digunakan oleh Al-Qur‟an dapat
disimpulkan makna kecerdasan. Kata yang banyak digunakan oleh Al-Quran
adalah kata yang memiliki makna yang dekat dengan kecerdasan, seperti kata
yang seasal dengan kata al-„aql, al-lubb, al-fikr, al-Bashar, al-nuha, al-fiqh, al-
fikr, al-nazhar, al-tadabbur, dan al-dzikr. Kata-kata tersebut banyak digunakan
di dalam Al-Quran dalam bentuk kata kerja, seperti kata ta‟qilu n. Para ahli
tafsir, termasuk di antaranya Muhammad Ali Al-Shabuni, menafsirkan kata
afala ta‟qilu n “apakah kamu tidak menggunakan akalmu”.266
Dengan
demikian kecerdasan menurut Al-Quran diukur dengan penggunaan akal atau
kecerdasan itu untuk hal-hal positif bagi dirinya maupun orang lain.
Kata-kata yang memiliki makna yang dekat (mirip) dengan
Kecerdasan yang banyak digunakan dala Al-Quran adalah:
265 At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut, Dar al-Arab al-islami, 1998), Juz 4, hal. 638 266
Muhammad Ali Al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, (Beirut, Dar al-Fikr), Juz 1, hal. 576
143
1. Al–„ ql, yang berarti an-Nuha (kepandaian, kecerdasan). Akal dinamakan
akal yang memilki makna menahan, karena memang akal dapat menahan
kepada empunya dari melakukan hal yang dapat menghancurkan dirinya.267
2. Al-Lubb atau al-Labib, yang bearti al-„aql atau al-„aqil, dan al-labib sama
dengan al-„aql.268
Di dalam al-Quran Kata al-albab disebut 16 kali, dan
kesemuanya didahului dengan kata ulu atau uli yang artinya pemilik, ulu al-
albab berarti pemilik akal.
3. Al-bashar, yang berarti indra penglihatan, juga berarti ilmu.269
Di dalam
Kamus Lisan al Arab, Ibn Manzhur mengemukakan bahwa ada pendapat
yang mengatakan ; al-bashirah memiliki ma‟na sama dengan al-fithnah
(kecerdasan) dan al-hujjah (argumentasi).270
.
4. An-Nuha, ma‟nanya sama dengan al-„aql, dan akal dinamakan an-nuha
yang juga memiliki arti mencegah, karena akal mencegah dari keburukan.
Kata an-nuha di dalam al-Quran terdapat pada 2 tempat, keduanya ada pada
Surat thaha ; 54, 128 dan keduanya diawali dengan kata uli (pemilik).
5. Al-fiqh yang berarti pemahaman atau ilmu. Di dalam al-Quran, Kata yang
seasal dengan al-Fiqh terdapat pada 20 ayat, kesemuanya menggunakan
kata kerja (fi‟l mudhari‟), hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan
267 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.
1, Juz 13, hal. 343 268 Muhammad Ibn Abu Bakar al-Razi, Mukhtar ash-Shahah, (Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun,
1995), juz I, hal. 612 269 Al-Jauhari, ash-Shihah fi al-Lughah, (al-Maktabah asy-Syamilah), juz 1, hal. 44 270
Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir), Cet.
1, Juz 4, hal. 64
144
pemahaman itu seharusnya dilakukan secara terus menerus. Kata al-fiqh
juga berarti al-fithnah (kecerdasan).271
6. Al-Fikr, yang artinya berpikir. Kata yang seakar dengan al-fikr terdapat
pada 18 ayat. Kesemuanya berasal dari bentuk kata at-tafakkur, dan
semuannya berbentuk kata kerja (fi‟il), hanya satu yang berbentuk kata
fakkara, yaitu pada Surat al-Mudatstsir : 18. Al-Jurjani mendefinisikan, at-
tafakkur adalah pengerahan hati kepada makna sesuatu untuk menemukan
sesuatu yang dicari, sebagai lentera hati yang dengannya dapat mengetahui
kebaikan dan keburukan.272
7. An-nazhar yang memiliki makna melihat secara abstrak (berpikir), di dalam
kamus Taj al-„Arus disebutkan termasuk makna an-nazhar adalah
menggunakan mata hati untuk menemukan segala sesuatu, an-nazhar juga
berarti al-i‟tibar (mengambil pelajaran), at-taammul (berpikir), al-bahts
(meneliti).273
Untuk membedakan antara an-nazhar dan al-Ru‟yah, Abu
Hilal al-„Askari memberikan definisi bahwa al-nazhar adalah mencari
petunjuk, juga berarti melihat dengan hati.274
8. At-tadabbur yang semakna dengan at-tafakkur, terdapat dalam al-Quran
sebanyak 8 ayat. Al-Jurjani memberikan definisi at-tadabbur, adalah
271 Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqi al-Mashari, Lisan Arab, (Beirut: dar Shadir),
Cet. 1, Juz 4, hal. 522 272 Al-jurjani, at-Ta‟rifat, hal. 20 273
Muhammad ibn muhammad Ibn Abd. Al-Razzaq, Taj al-„ rus min Jawahir al-Qamus (Al-
maktabah asy-Syamilah), Juz, I, hal. 3549 274 Abu Hilal al-Askari, Mu‟jam al-Furuq al-Lughawiyah, (al-Maktabah asy-Syamsiyah), juz 1, hal.
543
145
berpikir tentang akibat suatu perkara, sedangkan at-tafakkur adalah
pengerahan hati untuk berpikir tentang dalil (petunjuk).275
9. Adz-dzikr yang berarti peringatan, nasehat, pelajaran.276
Dalam al-Quran
terdapat kata yang seasal dengan adz-dzikr berjumlah 285 kata, 37
diantaranya adalah yang berasal dari bentuk kata attadzakur yang berarti
mengambil pelajaran.
Dari banyaknya penggunaan kata-kata yang seasal dengan kata „aql,
dipahami bahwa Al-Quran sangat menghargai akal, dan bahkan Khithab Syar‟i
(Khithab hukum Allah) hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal.
Banyak sekali ayat-ayat yang mendorong manusia untuk mempergunakan
akalnya. Di sisi lain penggunaan kata yang seasal dengan „aql tidak berbentuk
nomina (ism) tapi berbentuk kata kerja (fi‟il) menunjukkan bahwa Al-Quran
tidak hanya menghargai akal sebagai kecerdasan intelektual semata, tapi al-
Quran mendorong dan menghormati manusia yang menggunakan akalnya
secara benar.
Di dalam Al-Quran, banyak kata yang memiliki makna yang sama
atau mendekati makna aql (akal). Kata tersebut seperti dabbaro
(merenungkan), faqiha (mengerti), fahima (memahami) nadzhara (melihat
dengan mata kepala), dzakara (mengingat), fakkara (berfikir secara dalam),
dan „alima (memahami dengan jelas).277
Kata-kata tersebut sekalipun memiliki
makna yang sama, namun dalam aspek lain memiliki perbedaan. Namun jika
275 Al-Jurjani, at-Ta‟rifat, hal. 76 276 Muhammad Ibn Ya‟qub al-Fairuzzabadi, al-Qamus al-Muhith, (al-Maktabah asy-Syamilah), Juz
1, hal. 508 277 A.W, Munawar, Kamus Al-Munawwar, Arab-Indonesia, Edisi ke 2 (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997), hal. 257
146
dianalisis lebih lanjut maka semua kata tersebut bisa terhimpun dalam satu
makna yakni semua menunjuk pada makna “kecerdasan.”
Muhammad Naquib Al-Attas, menjelaskna secara filosofis bahwa akal
adalah suatu “organ” yang aktif dan sadar yang “mengikat”dan “menahan”
objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk dan atau simbol-simbol lain.
Tugas dan fungsi akal yang “mengikat” dan “menahan‟ menunjukan fakta yang
sama pada fungsi „aql, qalb, ruh dan nafs.278
Al-Ghazali dari kaum sufi dan Al-
Attas dari kaum filosof, memiliki pendapat yang sama bahwa keempat organ
tersebut adalah organ yang aktif dan sadar dan memiliki makna dan fungsi
yang sama, yang membedakannya adalah dari segi wujudnya yang bertingkat-
tingkat (maratib al-wujud).279
Dalam Al-Quran kata „aql (akal), dalam bentuk kata dasar, tidak
ditemukan, yang ada adalah dalam bentuk kata kerja masa kini, dan lampau.280
Dalam bentuk kata kerja, disebut sebanyak 49 kali, dalam bentuk lampau
disebut 1 kali, dan dalam bentuk sekarang disebut sebanyak 48 kali.
Penyebutnya maliputi aqluh, ta‟qilu n, na‟qil, ya‟qilu ha, dan ya‟qilu n.281
Al-Quran menggunakan kata akal untuk menunjukan “sesuatu yang
mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”.
“Sesuatu” yang dimaksud tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Quran,
namun dari konteks yang menggunakan kata „aql, “sesuatu” itu dapat dimaknai
dalam 3 konteks maksud yakni: (1) daya (kecerdasan) untuk memahami
278 Al-Attas, Syed Naquib, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 267 279 Taufik Pasiak, Revolusi IQ, Eq, dan SQ, antara Neurosains dan Al-Quran, (Bandung: Mizan,
2004), hal. 267 280 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 294 281
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI-Press, 1980), hal. 5
147
sesuatu, (2) daya (kecerdasan) dan atau dorongan moral, dan (3) daya
(kecerdasan) untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan atau “hikmah”.282
Daya (kecerdasan) untuk memahami sesuatu dapat difahami dari ayat:
Artinya: “dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” 283
(Al-Quran Surat Al-Ankabut [29]: 43)
Manusia memiliki kecerdasan logis yang berkaitan dengan panca
indra. Ini diisyaratkan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam,
dan lain-lain. Hal tersebut dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah bagi
orang-orang yang berakal (AL-Quran, Surat Al-Baqarah [2]: 164)284
akal yang
dimaksud disini adalah kecerdasan rasional-logis yang mengandalkan panca
indera.
Dalam kontes daya (kecerdasan), dan atau dorongan moral dapat
dipahami dari ayat:
282 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 296 283
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 401 284 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 294
148
Atinya: Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang
diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun,
berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena
miskin. Kamilah yang memberi rizki kepdamu dan kepada mereka; dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak
di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”285
(Al-Quran, Surat Al-Anam [6]: 151).
Menurut Quraish Shihab, kecerdasan yang dimaksud dalam ayat
diatas berorientasi kepada kecerdasan emosional, atau kecerdasan sosial yang
menekankan agar manusia membangun hubungan sosial, memupuk empati,
berperilaku jujur, memiliki motivasi dan berbagai perilaku sosial positif lainya
yang muncul dari dorongan moral yang baik.
Daya kecerdasan untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta
“hikmah”, dapat dipahami dalam ayat:
Artinya: “dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-
penghuni neraka yang menyala-nyala".286
(Al-Quran, Surat Al-Mulk [67]: 10)
Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya (kecerdasan)
ini menggabungkan antara kecerdasan memahami dan menganalisis
(kecerdasan rasional), serta menyimpulkan dengan dorongan moral
(kecerdasan emosional). Seseorang yang memiliki rusyd, maka dia memiliki
kemampuan atau kecerdasan pikir dan zikir sekaligus, yang kemudian
285
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 289 286
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya To ha Putra), hal. 562
149
melahirkan kecerdasan spiritual, sehingga memungkinkan seseorang untuk
menemukan makna-makna yang terkandung dibalik ayat-ayat qauniyah
maupun ayat-ayat qauliyah Allah SWT.287
Sementara itu para ahli neurologi sepakat bahwa kecerdasan-
kecerdasan manusia merupakan produk dari otak. Kecerdsan rasional-logis
atau IQ (Intelligence Quotient), berpusat pada otak kiri, kecerdasan emosional
(EQ) (emotional Quotient) berpusat pada otak kanan, dan kecerdasan spiritual
(Spiritual Quotient), berpusat pada jaringan sel syaraf antara keduanya, yakni
pada lobus temporal. Iq terletak pada dimensi fisik. EQ terletak pada dimensi
emosi. SQ terletak pada dimensi spiritual.288
Sedangkan menurut Ary Ginanjar
Agustian, IQ berada pada dimensi Islam, EQ berada pada dimensi iman, dan
SQ berada pada dimensi ihsan. Dengan kata lain, IQ dibimbing oleh Islam, SQ
dibimbing oleh iman dan SQ dibimbing oleh ihsan. Jika ketiga fungsi otak
berfungsi dengan baik, maka akan melahirkan manuisa yang paripurna atau
insan kamil.289
Kecerdasan manusia yang berpusat pada otak, menurut Jalaudin
Rakhmat sejalan dengan hadits Nabi:
“Dalam diri manusia ada segumpal daging, jika daging itu baik, maka
baiklah manusia itu. Jika daging itu jelek , maka jeleklah manusia itu. Itulah
Qalb.
287
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cetakan ke III, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 294 288 Askar, Jurnal Potensi dan Kekuatan Kecerdasan Manusia (IQ,EQ,SQ) dan Kaitannya dengan
Wahyu, (Palu: IAIN Datokrama, 2014), hal. 221 289 Ari Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ
Emosional Spritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2003), hal. 46-
47
150
Qalb dalam hadits diatas semestinya diterjemahkan dengan otak, dan
bukan hati, sebagaimana yang selama ini dipahami. Kata “Qalb” dalam hadits
tersebut lebih bermakna ke dimensi fisik. Qalb atau hati yang selama ini
dipahami berada dalam dada, secara logis medis diragukan kalau tidak bisa
diterima sama sekali. Jika hati dan jantung, yang tergantung dalam dada rusak
bisa diganti dengan hati dan jantung orang lain, dan orang-orang tersebut tetap
bisa dalam keadaan waras. Tetapi jika otak yang rusak manusia pasti
menunjukan perilaku yang tidak waras.290
Masih menurut Jalaluddin Rakhmat, Al-Quran menunjukan bahwa
kata Qalb, lebih mengarah pada makna fungsi dari pada makna fisik. Hasil
penelitian mutakhir juga membuktikan bahwa otak terdiri dari 78% air, 10%
lemak, 8% protein, beratnya kira-kira 1,5 kg, menggunakan 20% energi tubuh,
100 miliar neuron, 1 triliun sel glial, 1000 triliun titik sambung sinaptik dan
280 kuintiliun memori.291
Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting. Otaklah yang
menentukan makhluk hidup bergerak, memerintah indra, mengatur pola
informasi dan komunikasi, untuk membuat keputusan. Otak inilah yang
bertugas mengarahkan dan mengkoordinasikan kerja sel-sel saraf sedemikian
rupa sehingga mampu mendengar, melihat, berfikir, mengingat, dan bertindak
290
Jalaludidin Rakhmat, Belajar Cerdas, Belajar Berbasiskan Otak, (Bandung: Mizan, 2005), hal.
3 291 Jalaludidin Rakhmat, Belajar Cerdas, Belajar Berbasiskan Otak, hal. 4
151
secara tepat. Keseluruhan proses yang mengorganisasi tingkah laku tersebut
berpusat pada sistem saraf yang rumit.292
Menurut Taufik Pasiak, otak terdiri dari segumpal daging yang ada di
kepala manusia, memiliki tiga fungsi: (1) fungsi rasional logis, (2) fungsi
emosional-intuitif, dan (3) fungsi spiritual, ketiga fungsi ini yang
memungkinkan otak untuk menjadi penentu bagi kualitas diri manusia.293
Fungsi rasional logis adalah hasil kerja panca indera, fungsi emosional intuitif
adalah hasil kerja otak kanan berdasarkan intuisi manusia, dan fungsi spiritual,
adalah hasil kerja antara keduanya melalui jaringan saraf lobus temporal,
berdasarkan aspek-aspek ruhaniah manusia. Hasil kerja otak kiri melahirkan
fikir, hasil otak kanan melahirkan zikir, dan perpaduan antara keduanya fikir
dan zikir manusia memungkinkan memiliki kesadaran ketuhanan, lewat
kecerdasan spiritualnya, sehingga manusia dapat menemukan makna dan nilai-
nilai spiritual dalam hidup dan kehidupannya.
Otak dan akal merupakan potensi dan kekuatan-kekuatan dalam diri
manusia. Kata otak dan akal pada sebagian orang ada yang menyamaartikan,
tetapi ada pula yang membeda artikan otak dan akal. Harun Nasution termasuk
orang yang membeda artikan pengertian dari otak dan akal. Beliau menjelaskan
bahwa akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, melainkan daya berfikir
292
Shaleh dkk, Psikologi Suatu Pengantar; dalam Perspektip Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.
63-64 293 Taufik Pasiak, Revolusi IQ, Eq, dan SQ, antara Neurosains dan Al-Quran, (Bandung: Mizan,
2004), hal. 204
152
dalam diri manusia: daya yang sebagaimana digambarkan Al-Quran
memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.294
Secara umum Al-Quran diturunkan oleh Allah adalah untuk
mencerdaskan umat manusia, sehingga manusia dapat hidup dalam hidayah-
Nya, mendapat kelapangan, jaminan surga yang penuh dengan kenikmatan
bagi orang yang beriman dan beramal soleh. Al-Quran diturunkan oleh Allah
sebagai pembeda antara yang haq dan yang bathil. Fungsi ini akan berjalan
efektif jika yang memahami Al-Quran adalah orang-orang yang cerdas. Untuk
itu, Allah kemudian memberi manusia potensi-potensi kecerdasan sebagai
sarana untuk beriman dan bermal soleh, seperti nafs, akal, qalb dan ruh.295
Dimensi psikologis manusia yakni ruh, „aql, qalb, dan nafs. Yang
kalau digambarkan akan membentuk segi empat, yang kemudian melahirkan
dua bentuk segi tiga. Segi tiga yang pertama yakni ruh, akal, dan qalb,
sedangkan segi tiga yang kedua yakni aql, qalb, dan nafs. Segi tiga yang
pertama akan melahirkan kepribadian yang ideal, yakni insan kamil, sedangkan
segitiga yang kedua akan melahirkan kepribadian non ideal, yakni kepribadian
nafsul ammarah dan kepribadian nafsul lawwamah.296
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa didalam Al-Quran banyak
sekali kata yang menunjukan tentang kecerdasan manusia. Sekalipun Al-Quran
menggunakan kata yang beragam, namun jika ditelaah diperoleh suatu
kesimpulan, bahwa dari seluruh kata itu tersimpul dalam suatu makna yakni
294
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 13 295 Hasan Langgulung, Asas-asan Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 279-
283 296 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami; Study tentang Elemen Psikologi dari Al-Quran,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 254-255
153
kekuatan kecerdasan dalam diri manusia. Kata otak yang hasil kerja
fungsionalnya berupa akal pikiran, yang ternyata dalam Al-Quran ,
mempergunakan kata yang beragam seperi, ruh, aql, qalb, nafs dan kata yang
semakna atau hampir sama maknanya dengan keempat kata tersebut. Keempat
unsur penting dimensi psikologis manusia tersebut, sangat menentukan
kecerdasan manusia.
Dalam kajian kontemporer tetang kecerdasan, dikemukakan berbagai
macam konsep kecerdasan seperti IQ, EQ, SQ dan MI. Konsep IQ, EQ, SQ dan
MI sesungguhnya hanyalah merupakan konsep-konsep baru yang
diketengahkan oleh para psikolog mutakhir terhadap berbagai potensi
kecerdasan yang dimiliki manusia. Islam telah mengembangkan konsep
kecerdasan sejak 14 abad yang lalu, karena dalam pandangan Islam manusia
sejak lahir telah memiliki potensi-potensi kecerdasan yang diberikan oleh
Tuhan yang dikenal dengan konsep “fitrah”. Kecerdasan-kecerdasan tersebut
tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan pengalaman manusia
melalui pendidikan dan pengajaran.
Islam sesungguhnya telah menawarkan konsep pengoptimalan
inteligensi dalam bentuk implisit. Jika dilihat dari kemampuan dasar
paedagogis, manusia dipandang sebagai homo edukandum, yaitu makhluk yang
harus dididik, oleh karena itu manusia dikategorikan sebagai animal educable,
yaitu makhluk sebangsa hewan yang dapat dididik. Manusia dapat dididik
karena mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan (homo sapiens),
disamping memiliki kemampuan untuk berkembang dan membentuk dirinya
154
sendiri (self forming). Jadi, kedudukan manusia adalah makhluk paedagogik
yakni sebagai makhluk yang dapat didik dan mendidik.297
Islam menganjurkan manusia untuk memperhatikan realitas alam,
seperti langit dan bumi. Realitas alam ini sungguh merupakan materi berfikir
untuk mengembangkan inteligensi. Mengenai keberdaan alam semesta,
disebutkan bahwa Allah menciptakan alam semesta itu untuk memenuhi
kepentingan umat manusia. Karena itu, alam semesta pada hakikatnya menjadi
sumber, alat, media, metode, tujuan dalam rangka mengembangkan kecerdasan
manusia yang identik dengan tujuan kehidupan, apabila manusia mau berfikir
dan mentafakurinya.
2. Konsep Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) dalam Pendekatan
Konsep Fitrah
Diawal abad 21 dunia psikologi dihebohkan dengan teori baru
mengenai kecerdasan (intelligence), seorang pakar psikologi perkembangan
dan professor dari Harvard University Howard Gardner dari Project Zero
(kelompok peneliti)) mengemukakan formulasi baru mengenai kecerdasan.
Dan menariknya lagi, konsep kecerdasan yang dimunculkan Gardner
“digandrungi” para praktisi pendidikan di penjuru dunia termasuk Indonesia.
Konsep kecerdasan yang dimunculkan Gardner kemudian dikenal dengan
Multiple Intelligence, yang secara bahasa diartikan Kecerdasan Majemuk298
.
297
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 16 298 Thomas Armstrong, terjemahan Multiple intelligence in the Classroom, “Sekolah Para Juara:
Menerapkan Multiple Intelligence di Dunia Pendidikan”. Di dalam buku tersebut, Multiple Intelligence
diterjemahkan Kecerdasan Majemuk (Bandung: Kaifa, 2005)
155
Ada juga yang mengartikan Kecerdasan Beragam.299
Hal yang menarik dari
teori kecerdasan ini adalah terdapat usaha untuk melakukan redefinisi
kecerdasan. Sebelum muncul teori multiple Intelligences, teori kecerdasan
lebih cenderung diartikan secara sempit. Kecerdasan seseorang lebih banyak
ditentukan oleh kemampuannya menyelesaikan serangkaian tes IQ, kemudian
tes tersebut diubah menjadi angka standar kecerdasan. Gardner berhasil
mendobrak dominasi teori dan tes IQ yang sejak tahun 1905 banyak digunakan
oleh para pakar psikologi di seluruh dunia.300
Selama lebih dari dua puluh tahun teori kecerdasan majemuk atau
multiple intelligence disebut-sebut sebagai teori kecerdasan paling mutakhir.
Teori yang mengusung konsep keberagaman kecerdasan pada manusia ini,
seakan menjadi jawaban bagi banyak pemerhati dan pendidik dunia
pendidikan, untuk pertanyaan seputar bakat dan potensi manusia. Padahal,
dalam Pendidikan Islam, keberagaman potensi yang dimiliki oleh manusia ini
telah lama dibahas melalui pendekatan konsep “Fitrah”. Dengan pengertian
lain bahwa di dalam Islam (Al-Quran) sebenarnya sudah dikemukakan
berbagai pengembangan tentang kecerdasan dan berbagai potensi manusia.301
Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan
praktik pendidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusia. Pembicaraan tentang persoalan ini merupakan hal yang sangat vital
299 Evelyn William English, Gift of Literacy for the Multiple Intelligences Classroom diterjemahkan
dengan judul “Mengajar dengan Empati, Panduan Belajar Mengajar Tepat dan Menyeluruh untuk Ruang
Kelas dengan Kecerdasan Beragam”, (Bandung: Nuansa, 2005) 300
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia,
(Bandung: Kaifa, 2013), hal. 132 301 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:
UIN SUSKA, 2014), hal. 135
156
dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan Islam tidak
akan dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam
tentang pengembangan individu seutuhnya.302
Konsepsi dasar tentang
pengembangan manusia salah satunya adalah konsep fitrah.
Unsur-unsur esensial dalam sitem pendidikan Islam didasarkan atas
beberapa konsep pokok tertentu, yaitu konsep agama, konsep manusia, konsep
ilmu, konsep kebijakan, konsep keadilan, konsep universalitas, dan konsep
demokrasi. Kerangka dasar pertama pendidikan yang didasarkan pada asumsi-
asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan masyarakat,
lingkungannya menurut ajaran Islam. Proses pendidikan Islam dan pandangan
Islam terhadap manusia sebagai makhluk yang dididik dan mendidik, sebagai
berikut: pertama, sesuai dengan maksud pendidikan Islam adalah kegiatan
untuk mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sejalan dengan
nilai-nilai Islam. Kedua, pembahasan tentang hakekat manusia dalam Al-Quran
kata kuncinya khalaqa artinya menciptakan atau membentuk.303
Dalam prakteknya, pendidikan Islam bukan hanya memindahkan
pengetahuan Transfer of knowledge kepada peserta didik, namun perlu
memperhatikan semua unsur potensi, fitrah dan inteligensi yang ada pada anak
didik dan diintegrasikan anatara tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib, sehingga dapatlah
seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Islam memiliki kepribadian
302 Ika Sri Wahyuni dkk. Konsepsi Islam tentang Fitrah Manusia, Presentasi Kelas tentang Ilmu
Pendidikan Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014), hal. 7. 303 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia
(yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 128
157
muslim yang mengimplementasikan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari,
serta hidup bahagia di dunia dan akhirat.304
Manusia diciptakan oleh Allah dalam struktur yang paling baik
diantara makhluk-makhluk yang lainnya. Struktur manusia terdiri atas unsur
jasmaniah dan rohaniah, atau unsur fisiologis dan psikologis. Unsur jasmani
yang dimaksud dalam Islam adalah pengembangan aspek fisik. Sedangkan
rohani merupakan kemampuan dan kekuatan pendorong yang tidak terlihat
dengan indera fisik.305
Ada dua pendapat tentang lokasi rohani, pendapat
peretama menyatakan dimensi rohani adalah ranah otak, karena secara
lahiriyah otak merupakan sentral atau pengendali aktivitas dan kehidupan
manusia. Pendapat kedua menyatakan bahwa dimensi rohani berada pada ranah
masing-masing dan bersifat mandiri satu sama lain.306
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang
yang dalam psikologi disebut dengang potensialitas atau disposisi. Dalam
pandangan Islam kemampuan dasar atau pembawaan itu disebut dengan fitrah
yang dalam pengertian epistemologi mengandung arti “kejadian”, oleh karena
itu fitrah berasal dari kata kerja “fatara” yang berarti “menjadikan”. Dalam Al-
Quran kata-kata “fatara” dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali,
14 kali diantaranya dalam konteks uraian bumi dan langit. Sisanya dengan
304 Hamdani Ihsan dan Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 1998),
hal. 16 305
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 128 306 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences hal. 128
158
konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya
adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia.307
Fitrah merupakan suatu bekal kemampuan yang ada di dalam diri
manusia yang bersifat kekutan (keistimewaan). Kekuatan itu adalah potensi diri
yang ada dalam diri seseorang. Manusia diminta untuk meluruskan pandangan
hidupnya sejalan dengan agama yang telah diridoi Allah. Allah telah
menciptakan manusia serasi dengan fitrah kejiwaannya. Itulah agama yang
lurus tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui apa fitrahnya, dengan kata
lain manusia tidak mengenal potensi diri seperti fungsi kerja otak, kecerdasan
dan bakat.308
Fitrah manusia adalah suatu kemapuan dasar berkembang manusia
yang dianugerahkan Allah kepadanya. Didalamnya terkandung berbagai
kompenen psikologis yang satu sama lainya saling berkaitan dan saling
menyempurnakan bagi hidup manusia.309
Manusia secara kodrati dikarunia tiga potensi, yakni akal (kognisi),
indra (afeksi), dan nurani (hati). Hal ini diperjelas dalam Al Quran surat An-
Nahl [16]: 78.
307 Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Exspres, 2005), hal. 62 308
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP, 2011), hal. 128 309 Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Exspres, 2005), hal. 66
159
Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.310
Jika melihat dari ayat diatas maka diperoleh pengertian bahwa
manusia dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan berbagai potensi yang
dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses
pendidikan. Inilah yang dimaksud dengan konsep fitrah dalam Islam. Fitrah
memiliki beberapa makna yang diantaranya adalah potensi dasar manusia.311
Jika dihubungkan antara dunia Islam dengan dunia ilmu penegtahuan
perihal kecerdasan maka bakat bukan merupakan potensi belajar yang sangat
utama. Sebagaimana yang sudah dirumuskan bahwa bakat yang sudah ada di
dalam diri manusia dimaknai sebagai yang inheren (telah ada dan menyatu di
dalam diri seseorang) dibawa sejak lahir dan terkait dengan struktur otak.
Sekaligus bakat mebedakan setiap individu dan malah keunikan yang satu dari
yang lainnya. Keterangan tersebut mengindikasikan bahwa bakat merupakan
potensi tersembunyi dibawa sejak lahir yang telah melekat dengan kepribadian
seseorang. Namun bakat merupakan potensi yang harus diaktualisasikan dan
dapat berkembang kearah lebih baik jika terjadi sinergi dengan lingkungan
yang mendukung disekitarnya.312
310 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
275 311
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, Sebuah pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul
Falah, 1999), hal. 27 312 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 129
160
Dari uraian diatas jelas bahwa Islam telah berbicara jauh-jauh hari
tentang keberagaman potensi yang dimiliki oleh manusia sebelum lahirnya
berbagai teori kecerdasan (intelligence). Metodologi Islam dalam melakukan
proses pendidikan adalah secara menyeluruh dalam segala aspeknya. Sehingga
tidak ada yang tertinggal dan terabaikan sedikitpun, baik segi jasmani maupun
rohani, baik kehidupan secara fisik maupun secara mental. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa konsep fitrah itu bersifat universal.
Didalam Al-Quran, kata Fitrah dalam konteks uraian penciptaan atau
kejadian langit dan bumi. Sedangkan selebihnya digunakan dalam kontks
penciptaan manusia, baik dari segi pengakuan bahwa penciptanya adalah
Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Salah satu kata fitrah
yang disebutkan dalam Al-Quran, termaktub dalan surat Ar-Rum ayat 30:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.313
(Al-Quran, Surat Aruum [30]:
30).
Secara tekstual pengertian dari terjemah tersebut adalah
“menghadapkan wajahmu (umat manusia)‟ kepada agama yang diridoi Allah,
tetapi dalam makna kontekstual “menghadapkan wajahmu” kepada agama
313
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
407
161
Allah merupakan kegiatan aktualisasi diri yang bermakna konotasi dan bersifat
dinamis. Mempelajari agama Allah sesuai dengan potensi diri manusia. Kata
“menghadapkan” tidaklah hanya berarti “memperlihatkan” melainkan kata
tersebut memiliki arti yang lebih luas seperti berjuang, bekerja, belajar, dan
curahkan.314
Dalam kamus Lisanul Arab, Ibnu Mandzhur menulis salah satu makna
„fitrah‟ dengan arti (Al-Ibtida wal ikhtiro / memulai dan mencipta). Sehingga
dapat ditarik pengertian bahwa fitrah adalah penciptaan awal atau asal
kejadian. fitrah adalah kondisi "default factory setting", suatu kondisi awal
sesuai desain pabrik.315
Perkembangan manusia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan
bawaan tetapi yang peling terpenting mempengaruhi perkembangan manusia
adalah kedua orang tuanya sendiri. Didalam kitab hadis yang disusun oleh para
Imam Mazhab terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal tersebut.
Dalam meriwatkan hadis terjadi perbedaan matan (bacaan : redaksi)
namun secara subtasnsif memiliki pengertian yang sama.
a. Riwayat al-Bukhari
314
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 130 315
http://militansicerdas.blogspot.com/2011/03/fitrah-manusia.html diakses pada tanggal 23 Maret
2016.
162
Artinya : Abdan Menceritkan kepada kami (dengan berkata)
Abdullah memberitahukan kepada kami (yang berasal) dari al-Zukhri
(yang menyatakan) Abu salamah bin Abd al-Rahman memberitahukan
kepadaku bahwa Abu Hurairah, ra. Berkata : Rasulullah SAW bersabda
“setiap anak lahir (dalam keadaan) Fitrah, kedua orang tuanya (memiliki
andil dalam) menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan
beragama Majusi. sebagimana binatan ternak memperanakkan seekor
binatang (yang sempurnah Anggota tubuhnya). Apakah anda melihat anak
binatang itu ada yang cacak (putus telinganya atau anggota tubuhnya
yang lain)kemudian beliau membaca, (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptkan menurut manusia fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus.316
b. Riwayat Muslim
Artinya :Hâjib bin al-Walid menceritakan kepada kami (dengan
mengatakan) Muhammad bin harb menceritakan kepada kami (yang
berasal) dari al-Zubaidi (yang diterima) darfi al-Zuhri (yang mengatakan)
Sa'id bin al-Musayyab memberitahukan kepadaku (yang diterima) dari
Abu Hurairah bahwa ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak
lahir (dalam keadaan) fitrah, kedua orang tuanya (memiliki andil dalam)
menjadikan anak beragama Yahudi, Nasrani, atau bahkan beragama
Majusi, sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang
(yang sempurna anggota tubuhnya). Apakah anda mengetahui di antara
binatang itu ada yang cacat/putus (telinganya atau anggota tubuhnya
yang lain)
316
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Barri (penjelasan kitab Shahih al-Bukhari). Terj.
Amiruddin, Jilid XXIII, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm., 568
163
c. Riwayat at-Tarmizi
Artinya :Muhammad bin Yahya al-Qutha'i al-Bashri
menceritakan kepada kami (yang mengatakan) 'Abd al-'Aziz bin Rabi'ah
al-Bunani menceritakan kepada kami (yang berkata) al-A'masy
menceritakan kepada kami (yang bersumber) dari Abu Shalih (yang
berasal) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan beragama (Islam), kedua orang tuanya
(memiliki andil dalam) menjadikannya beragama Yahudi atau Nasrani
atau menjadikannya musyrik.
Hadits diatas menunjukan bahwa fitrah merupakan suatu potensi yang
bisa diarahkan, dibentuk dan diarahkan oleh lingkungan. Dalam hal ini ayah
dan ibu sebagai faktor lingkungan memiliki potensi yang mengarahkan.317
Jika fitrah merupakan suatu potensi yang dibawa semenjak lahir,
sedangkan bakat juga merupakan suatu potensi yang dibawa dari lahir, maka
antara fitrah dan bakat dalam konteks potensi diri manusia yang dibawa sejak
lahir memilki suatu pengertian yang sama, bakat dan fitrah inilah yang
dikembangkan Howard Gardner dengan konsep kecerdasan majemuknya.
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan diatas, dapat ditarik sebuah
pengertian bahwa sejak awal kejadianya, manusia telah membawa potensi
beragama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa esensi teori fitrah meliputi: (1) bakat
dan kecerdasan, yaitu suatu kemampuan bawaan potensial yang mengacu
317
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 132
164
kepada perkembangan kemampuan akademis dalam berbagai bidang
kehidupan, (2) Insting (naluri), yaitu komponen bertingkah laku dengan tanpa
melalui proses terlebih dahulu. Namun demikian, potensi (fitrah) yang dimiliki
manusia dalam perkembangannya selanjutnya ditentukan oleh interaksi dengan
lingkungannya, terutama dengan proses pendidikan dan pembelajaran. individu
dan perkembanganya adalah produk dari hereditas dan lingkungan, keduanya
sama-sama berperan penting bagi perkembangan individu.318
Dari pemaparan mengenai konsep fitrah manusia melalui ayat Al-
Quran maupun Hadits diatas jelas terlihat bahwa secara teoritis, konsep
pengembangan berbagai potensi manusia telah lama dibahas dalam pendidikan
Islam, dengan kata lain bahwa didalam Islam (Al-Quran) sebenarnya sudah
dikemukakan berbagai pengembangan tentang kecerdasan dan berbagai potensi
manusia sebelum konsep kecerdasan majemuk (multiple intelligence)
dimunculkan Howard Gardner.
Dalam Islam sebenarnya sudah dikemukakan berbagai pengembangan
tentang kecerdasan dan berbagai potensi manusia, yaitu terdapat di dalam ayat-
ayat Al-Quran. Kecerdasan linguistik atau word smart, merupakan kemampuan
untuk menggunakan dan mengolah kata-kata secara efektif, baik secara oral
maupun tertulis. Hal ini terlihat dalam diri Adam, sebagai manusia berakal
pertama, menurut Al-Quran, Adam dilebihkan atas makhluk tuhan lainya,
sehingga iblis harus tunduk padanya karena Adam memiliki kemampuan untuk
318
Wasty Soemanto, Psikologi pendidikan, (Jakarta: Rineka Gipta, 2006), hal. 94
165
menyebut nama-nama, suatu keahlian menciptakan, dan memahami simbol-
simbol.319
Firman Allah:
Artinya: “Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada
mereka Nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada
mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan
kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?".320
(Al-Quran, Surat Albaqarah [2]: 33)
Selain itu kecerdasan verbal linguistik juga terdapat dalam Al-Quran,
Surat Ar-Rahman ayat 1-4:
Artinya: “( llah) yang Maha pemurah, .yang telah mengajarkan Al
Qur‟an. Dia menciptakan manusia. mengajarnya pandai berbicara.”321
(AL-
Quran, Surat Ar-Rahman [55]: 1-4)
Ayat diatas merupakan bukti bahwa Allah telah mengajarkan kepada
manusia Al-Quran dan mengajarkannya (Nabi Muihammad) pandai berbicara
319 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:
UIN SUSKA, 2014), hal. 140 320
Tim Syamil, Al-Quranulkarim, Miracle The Reference, (Bandung:Sygma Publishing, 2010), hal.
1191 321
Tim Syamil, Al-Quranulkarim, Miracle The Reference, hal. 1059
166
sehingga dapat menyampaikan ayat-ayat Al-Quran kepada umatnya. Dari ayat
tersebut dapat dijadikan dasar pengajaran linguistik verbal kepada manusia.322
Selain itu menurut Ansharullah, didalam Islam kecerdasan linguistik
ini mendapat tempat yang sangat penting, sebagaimana perintah Allah dalam
Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 83:
Artinya, “serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,” 323
(Al-Quran, Surat Al-Baqarah [2]: 83)
Ayat diatas menerangkan bahwa setiap manusia diperintahkan oleh
Allah untuk mengunakan kata-kata yang baik dalam berhubungan dan
berbicara dengan sesama manusia. Kata-kata yang baik itu merupakan produk
pilihan sebelum diucapkan oleh seseorang terhadap orang lain dalam bentuk
ujaran bahasa yang dihasilkan melalui perangkat artikulasi di dalam diri
manusia.324
Lebih lanjut, dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Nabi
Muhammad bersabda:
322 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:
UIN SUSKA, 2014), hal. 140 323
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
12 324 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 134
167
“Artinya: “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka
janganlah menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, maka muliakanlah tamunya. Dan siapa yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau diamlah” (HR Bukhari
no. 6018, Muslim no. 47).
Hadits diatas menjelaskan bahwa seseorang yang akan bertutur bicara
hendaklah ia mempertimbangkan dari beberapa sisi, apakah topik dan
konteksnya tepat, apakah tekanan dan irama suara sesuai, jika hal itu tidak
sejalan dengan konsep diatas maka lebih baik memilih diam.325
Begitu pula pendidikan Islam telah mengajarkan anak untuk memiliki
kecerdasan logis matematis atau cerdas angka akan berfikir secara numerik
atau dalam konteks polaserta urutan logis, atau dalam bentuk-bentuk cara logis
yang lain. Allah berfirman dalam Surat Al-Ankabut ayat 43:
Artinya: “dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” 326
(AL-Quran, Surat Al-Ankabut [29]: 43.
Dari ayat diatas kita kanan memahami ayat-ayat Allah dengan berfikir
logis. Di dalam Al-Quran banyak perumpamaan-perumpamaan yang hanya
orang-orang berilmu saja yang akan memahaminya. Untuk memahami
perumpamaan tersebut harus dengan berfikir logis.327
325Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, hal. 135 326
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
401 327 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:
UIN SUSKA, 2014), hal. 140
168
Secara maksimal berfikir dilakukan ketika seseorang dihadapkan
dengan kesadaran untuk mencari kebenaran, itulah sebabnya di dalam agama
Islam, berfikir dan belajar wajib dilakukan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Quran:
Artinya” Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-
tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memikirkan. Dan Dia menundukkan malam dan siang,
matahari dan bulan untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu)
dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), dan Dia
(menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan
berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan
Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat
memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari
lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar
padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan
supaya kamu bersyukur.328
(Al-Quran, Surat An-nahl [16]: 11-14)
328
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
268
169
Berfikir berarti menggunakan kekuatan otak untuk menggali,
menemukan serta mempertahankan kaidah keilmuan yang memerlukan berfikir
tajam, logis dan rasional.329
Inteligensi tidak terlepas dari proses berfikir
manusia. Berfikir dapat diberi pengertian sebagai proses menentukan
hubungan-hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dari suatu bagian
pengetahuan. Sebagi bentuk aktivitas, berfikir merupakan tingkah laku
simbolis, karena seluruh aktivitas ini berhubungan dengan atau mengenai hal-
hal yang konkret.330
Keterampilan berfikir merupakan keterampilan mental
yang memadukan inteligensi dengan pengalaman.331
Selanjutnya kecerdasan Visual/ruang (spasial) yaitu kecerdasan yang
komponen intinya meliputi kemampuan untuk memberikan gambar-gambar
dan imagi-imagi, serta kemampuan dalam mentrasformasikan dunia visual-
spasial. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah:
Artinya: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.332
(Al-Quran, Surat An-Nahl [16]:
78).
329
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 134-135 330 Ahmad Thontowi, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 76 331 Edward de Bono, Revolusi Berfikir: Mengajari Anak Anda Berfikir Canggih dan Kreatif dalam
Memecahkan Masalah dan Memantik Ide-ide Baru, terj. Ida Sitompul dan Fahmy Yamani, (Bandung: Kaifa,
2007), hal. 24 332
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
275
170
Ayat diatas menunjukan bahwa Allah memberikan manusia
kecerdasan pendengaran, penglihatan, dan hati. “Penglihatan” merupakan
kecerdasan yang terkait dengan kecerdasan visual spasial.333
Kecerdasan ini
tidak hanya bernuansa pada ruang besar dan kecil atau yang disebut
mikrokosmos dan makrokosmos, namun kecerdasan ini terlihat dengan pola
image yang ada dalam fikiran seseorang baik refleksi terhadap suatu peristiwa
yang sudah terjadi maupun pola image yang bersifat prediktif.334
Kecerdasan lain yang dibahas dalam Islam adalah kecerdasan
kinestetik badani yang menurut Gardner kecerdasan ini berkaitan dengan
gerakan badan, yang komponen inti dari kecerdasan kinestetis badani (Bodily
Kinesthetic Intelligence) adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
untuk menggunakan anggota tubuh untuk segala kebutuhan hidup. Mampu
mewujudkan ide atau gagasan melalui gerak fisik, dan mampu menggunakan
tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau perasaan dalam
sebuah bentuk tindakan. Kecerdasan tersebut sudah dikemukakan oleh
Rasulullah SAW melalui sabdanyanya:
حدثىا أبى بكس الطلح , حدثىا أحمد ابه حماد به سفان , حدثىا عمسو به
لحمصي , حدثىا ابه عاش , عه سلم به عمسو الأوصاز , عه عثمان ا
عم أب , عه بكس به عبد الله به زبع الأوصاز , قال : قال زسىل الله صل
الله عل و سلم : " علمىا أبىاءكم السباحة و السماة , و وعم لهى المؤمىة ف
بتها المغزل , و إذا دعاك أبىاك فأجب أمك "
333 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 142-143 334
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, hal. 142-
143
171
Artinya : Menceritakan kepada kami Abu Bakar Atthalahi dari Ahmad bin Hamad bin
Sofyan , dari amru bin usman alhimsi dari ibnu i‟yasy dari sulaiman bin amru
al-anshari dari paman ayahnya dari Bakar bin bdillah bin Rabi‟ al-anshari
berkata :berkata Rasulullah S W. “ajarilah anak anakmu berenang dan
melempar lembing, termasuk juga perempuan perempuan di rumahnya
menenun, dan apabila kedua orangtuamu memanggil maka utamakan
ibumu. (HR. Ath-Thahawi).
Hadits di atas menunjukan bahwa agama menyuruh umatnya untuk
mengajarkan anak-anaknya agar bisa berenang, melempar lembing dan
menenun. Hal tersebut merupakan kemampuan fisik yang bersifat kinestetik.
Didalam hadits tersebut disebut kata-kata berenang, melempar lembing dan
menenun sebagai suatu hal yang spesifik, namun pada hakikatnya kedua
kompetensi tersebut merupakan keterampilan fisik (psikomotorik).335
Selain kecerdasan Visual/ruang (spasial), dalam Islam dibahas juga
mengenai kecrdasan interpersonal, yaitu kecerdasan yang kompetensi intinya
mampu untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak,
dan temperamen orang lain, kepekaan akan ekspresi wajah, suara serta isyarat
orang lain. Seperti yang tertera dalam firman Allah Surat Al-Maa‟uun ayat 1-3:
Artinya: “ tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah
orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan
orang miskin. 336
(Al-Quran, Surat Al-Maun [107]: 1-3)
335 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), hal. 145-146 336
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
602
172
Dalam Surat tersebut dijelaskan bahwa orang yang termasuk
mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Dari ayat ini dapat dipetik
pelajaran bahwa kasih sayang dan saling tolong menolong dalam agama Islam
sangat dianjurkan sesuai dengan karakteristik kecerdasan interpersonal.337
Selanjutnya Islam membahas tentang kecerdasan naturalis yang
komponen inti dari kecerdasan naturalis (naturalist intelligence) adalah
kemampuan untuk mengerti flora fauna dengan baik, dapat membuat distingsi
konsekuensi lain dalam alam natural, kemampuan untuk memahami dan
menikmati alam, dan menggunakan kemampuan tersebut secara produktif. Al-
Quran dalam hal ini menyebut berkali-kali tentang kejadian bumi, langit atau
alam semesta seisinya dan tentang flora dan fauna, serta pemeliharaan,
melarang membuat kerusakan terhadap bumi, yang demikian terkait dengan
kecerdasan naturalis.338
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah
ayat 205:
Artinya: “dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi
untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan
337 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau: UIN
SUSKA, 2014), h. 141 338
Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), h. 150
173
binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”339
(Al-Quran, Surat
Al-Baqarah [2]: 205)
Senada dengan ayat diatas, Allah juga berfirman yang berkaitan
dengan kecerdasan naturalis, dalam Al-Quran Surat Al-Araf ayat 56:
Artinya: “dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.340
(Al-
Quran, Surat Al-A‟raf [7]: 56.
Ketika Islam melarang perbuatan tersebut, tujuan utamanya adalah
untuk menjaga binatang dari pencemaran air, udara dan tumbuhan. Ini adalah
hak setiap makhluk. Dalam skala luas, kecerdasan tersebut terkait dengan alam
mikro dan makrokosmos.341
Adapun kecerdasan selanjutnya yang mendapat perhatian dalam Islam
adalah kecerdasan eksistensial spiritual merupakan kemampuan untuk
menempatkan diri dalam hubunganya dengan suatu kosmos yang tak terbatas
dengan kondisi seperti makna penciptaan drinya, kehidupan, kematian dan
339
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal. 32 340
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
157 341 Ansharullah, Pendidikan Islam Berbasis Kecerdasan Jamak Multiple Intelligences, (Jakarta:
STEP), h. 149-150
174
perjalanan akhir dari dunia.342
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT Surat
Al-Fatihah ayat 6:
Artinya: “ Tunjukilah Kami jalan yang lurus,” 343
Dari ayat tersebut dapat diambil hubungan antara kecerdasan
eksistensial spiritual dengan hidayah (petunjuk) yang Allah berikan kepada
manusia melalui naluri, panca indra, akal, maupun benih agama dan akidah
tauhid pada jiwa manusia. Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat
yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan
kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada
dialam ini, untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena
merasa berhutang budi pada zat yang gaib, maka dia berfikir bagaimana cara
berterima kasih dan membalas budi serta bagaimana cara menyembah zat yang
gaib itu. Bila manusia mau memikirkan darimana datangnya alam ini, akan
sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai pada
keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid) karena akidah (keyakinan) tentang
keesaan Tuhan ini lebih mudah dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia.
342 Muslim Afandi, Jurnal Potensial vol. 13 , Pendidikan Islam dan Multiple Intelligences (Riau:
UIN SUSKA, 2014), h. 139 343
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha Putra, 2002), hal.
1
175
Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah
beragama tauhid.344
Pemahaman tentang sitem berfikir, pengorganisasian dan
pendayagunaan fitrah manusia (panca indra, otak dan hati) secara proposional
dan optimal akan berimplikasi positif pada pemahaman mengenai intelegensi
secara utuh. Sehingga pendidikan Islam pada implemtasinya dalam konteks
pembelajaran tidak hanya difokuskan pada hafalan, tetapi lebih kepada
penanaman dan penghayatan nilai-nilai Islami (values) yang diaktualisasikan
dalam kehidupan sehari-hari, penalaran dan argumentasi berfikir untuk
masalah-masalah inteligensi berbagai bentuk semakin mendapat perhatian.
Sesungguhnya manusia dapat dikatakan intelligent (cerdas), bila mampu
mengotimalisasikan fitrah manusianya dengan melaui pendidikan dan proses
pembelajaran.
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa teori kecerdasan majemuk
(multiple intelligence) yang dimunculkan Howard Gardner tentang jenis
kecerdasan sebenarnya sudah dibahas dalam dunia pendidikan Islam,
pembahasan terhadap keberagaman potensi yang dimiliki oleh manusia melalui
pendekatan konsep “Fitrah”. Dengan pengertian lain bahwa di dalam Islam
(Al-Quran) sebenarnya sudah dikemukakan berbagai pengembangan tentang
kecerdasan dan berbagai potensi manusia jauh sebelum konsep kecerdasan
344
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 21-
24
176
majemuk (multiple intelligence) yang dimunculkan Howard Gardner
ditemukan.
Menurut analisis penulis Lahirnya Multiple Intelligence secara
kontekstual hasil dari research Gardner dengan para koleganya yang ahli
dibidang psikologi, lebih kepada pembuktian bio teori yang terdapat dalam Al-
Quran dan Hadits secara tekstual, bahwa Al-Quran telah berbicara tentang
potensi kecerdasan manusia yang beragam. Bahwa sebenarnya pendidikan
Islam dalam konsepsi Al-Quran dan Hadits telah jauh-jauh hari berbicara
tentang beragam kecerdasan dan cara mengembangkannya. Yang menarik dari
Al-Quran adalah bahwa kitab suci ini tidak saja memberikan pandangan
persepsionalnya, tetapi juga metode-metode pokok, bagaimana seharusnya
pendidikan yang tepat diberikan kepada anak untuk mencapai aktualisasi
kecerdasan dan peran manusia yang sempurna. Dengan demikian dapat
mengaplikasikan prinsip-prinsip dan implementasi kecerdasan tersebut dalam
kehidupan nyata.345
345
Syamsul Ma‟arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Hal. 89