Download - Draft Makalah Seminar
I. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit degeneratif yang berhubungan
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan
tingginya kadar glukosa darah dan urin. Apabila dibiarkan tak terkendali, penyakit ini
akan menimbulkan penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal, termasuk penyakit
jantung, ginjal, kebutaan dan lain-lain. Dalam Diabetes Atlas 2000 ( Internasional
Diabetes Federation ) tercantum perkiraan penduduk Indonesia di atas 20 tahun
sebesar 125 juta dan dengan asumsi prevelensi DM sebesar 4,6%. Di perkirakan pada
tahun 2000 pasien DM akan berjumlah 5,6 juta. Berdasarkan pola pertambahan
penduduk seperti yang telah disebutkan diatas, diperkirakan pada tahun 2020 nanti
akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi DM sebesar 4,6% akan didapatkan 8,2 juta pasien diabetes.
Diabetes Mellitus tipe II (DM tipe II) merupakan penyakit metabolik yang
prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk
yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan
jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia.
Terapi nutrisi medis merupakan komponen integral dalam manjemen diabetes.
Dalam proses merancang diet individual, setelah memperkirakan kebutuhan energi,
langkah berikutnya yaitu menentukan distribusi makanan makronutrien (persen
karbohidrat, lemak dan protein dari total kalori). American Diabetes Association
(ADA) merekomendasikan berbagai asupan karbohidrat antara 45% dan 65% dari
total kalori, protein 10-20%, lemak total ≤ 30%, asam lemak jenuh <7%, mono-asam
lemak tak jenuh sampai dengan 20% dan poli asam lemak tak jenuh hingga 10% dari
total kalori.
Dalam manajemen diabetes, modifikasi karbohidrat adalah rekomendasi
pertama yang lebih ditekankan, tetapi masing-masing makronutrien dapat terlibat
dalam metabolisme karbohidrat melalui jalur biokimia yang berbeda. Karena diet
asam lemak memainkan peran kunci dalam sensitivitas membran sel dan insulin,
beberapa asam lemak dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan akibatnya
berpengaruh terhadap kontrol metabolik diabetes. Studi observasional berupa
komposisi asam lemak serum atau jaringan menemukan bahwa resistensi insulin
dikaitkan dengan asupan lemak jenuh yang relatif tinggi (misalnya asam palmitat) dan
1
asupan rendah polyunsaturated fat (misalnya asam linoleat), temuan tersebut
didukung oleh data klinis terbaru.
Telah diketahui bahwa kemampuan dari diet rendah karbohidrat dalam
memperbaiki kontrol glikemik, hemoglobin A1C (HbA1c) dan untuk mengurangi
obat. Dalam sebuah studi lanjutan selama dua tahun, tingkat HbA1c meningkat secara
signifikan dalam diet tanpa karbohidrat. Sejumlah percobaan berdurasi pendek
menunjukkan perbaikan resistensi insulin pada diet dengan lemak total tinggi yang
sebagian besar merupakan asam lemak tak jenuh tunggal, sedangkan beberapa yang
lainnya menunjukkan bahwa diet tinggi karbohidrat berhubungan dengan kontrol
glikemik yang lebih baik. Dalam sebuah penelitian, besarnya penurunan glukosa
darah serupa dengan temuan diatas setelah mengkonsumsi dua macam makanan
rendah kalori (diet dengan indeks glikemik tinggi dan diet dengan tinggi
lemak/rendah karbohidrat). Selain itu, beberapa studi telah meneliti efek dari diet
makronutrien pada hemoglobin yang tidak terglikasi glukosa postprandial sebagai
indikator kontrol diabetes.
Dalam beberapa studi lainnya yang telah dilakukan, hubungan antara
makronutrien makanan dan asupan kalori dengan resiko diabetes telah dipelajari.
Sebagai contoh yaitu diet tinggi kalori berhubungan dengan peningkatan resiko
diabetes tipe II. Dalam beberapa kasus diet tinggi karbohidrat berhubungan dengan
peningkatan resiko diabetes tipe II, tetapi dalam kasus lainnya menurunkan. Diet
dengan indeks glikemik tinggi berhubungan dengan peningkatan resiko diabetes tipe
II.
Jadi pertanyaannya adalah apakah kelompok makanan yang hanya
mengandung karbohidrat yang dikonsumsi dalam program manajemen diabetes atau
jumlah dan jenis makanan berlemak dan minyak juga perlu dipertimbangkan. Selain
itu, mengingat variasi perbedaan genetik, pola makan, kebiasaan makan dan lain-lain
antara populasi, proporsi makronutrien dalam asupan kalori dapat menyebabkan
beberapa efek pada metabolisme glukosa.
Sejauh ini tidak ada penelitian yang mengevaluasi peran diet makronutrien
pada kontrol glikemik pada pasien diabetes di Iran.Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara komposisi makronutrien makanan terhadap HbA1c dan
glukosa darah pada pasien diabetes tipe II.
2
II. Hubungan Komposisi Makronutrien Makanan terhadap HbA1C pada Pasien
Diabetes tipe II
A. Diabetes Mellitus (DM) tipe II
Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemia akibat
insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau
berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) (Corwin, 2001).
Gambar 1. Gambaran secara umum diabetes melitus tipe 2
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel
β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini
terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β
pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Secara patofisiologi, DM tipe II ini bisa disebabkan karena dua hal yaitu (1)
penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin. Peristiwa tersebut dinamakan
resistensi insulin, dan (2) Penurunan kemampuan sel β pankreas
untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap beban glukosa. Sebagian besar
DM tipe II diawali dengan kegemukan. Sebagai kompensasi, sel β pankreas
3
merespon dengan mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin
meningkat (hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan
reseptor insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri ( self regulation) dengan
menurunkan jumlah reseptor atau down regulation.
Hal ini membawa dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin.
Gambar 2. Resistensi Insulin pada Diabetes Mellitus tipe II
Dilain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan desensitisasi
reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu penurunan aktivasi kinase reseptor,
translokasi pengangkut glukosa dn aktivasi glikogen sintase. Kejadian ini
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada
permulaan proses terjadinya DM tipe II.
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer &
Bare, 2002) antara lain:
a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap
diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan
insulin dengan baik.
b. Usia
Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang
secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada
mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka
terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-
manis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini
4
mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula
dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit Diabetes
mellitus tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat
mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin).Obesitas bukan
karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah
konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan
didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah
mereka yang tergolong gemuk.
Beberapa perubahan yang terjadi pada penderita DM tipe II
a. Perubahan Fisiologi
Setiap penderita DM tipe II yang mengalami perubahan fisik terdiri dari
sering buang air, merasa lapar,mersa haus, berkeringat dingin, luka lama
sembuh, gemetaran dan pusing, sehingga menimbulkan ketakutan atau stress
(Nadesul,2002).
b. Perubahan Psikologi
Hidup dengan DM tipe II dapat memberikan beban psikologi bagi
penderita maupun anggota keluarganya. Respon emosional negatif terhadap
diagnosa bahwa seseorang mengidap penyakit DM tipe II dapat berupa
penolakan atau tidak mau mengakui kenyataan, cemas, marah, merasa berdosa
dan depresi (Darmono, 2007).
B. Sumber Makanan yang Berkalori
Kalori merupakan satuan yang digunakan untuk menyatakan jumlah energi.
Pada umumnya kalori digunakan untuk menunjukkan jumlah energi yang
terkandung dalam makanan. Kalori dapat diperoleh dari asupan nutrisi yang
mengandung nutrisi, seperti karbohidrat, lemak, protein, dan alkohol.
Jumlah kalori dalam makanan diperlukan untuk memperhitungkan
keseimbangan energi. Apabila jumlah kalori yang dikonsumsi lebih kecil dari
kalori yang digunakan, berat badan akan berkurang karena cadangan energi
dari lemak akan digunakan. Sebaliknya, apabila jumlah kalori yang masuk
lebih besar dari kalori yang digunakan, berat badan akan meningkat.
Kelebihan energi pun akan disimpan sebagai lemak. Adapun penumpukan
5
lemak yang berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi,
obesitas, penyakit jantung, stroke, dan diabetes. Karena itu, asupan kalori
perlu dikontrol untuk menjaga berat badan dan mencegah terjadinya penyakit
metabolik.
Ada tiga sumber energi utama yang dapat diperoleh dari makanan, antara
lain karbohidrat, lemak, dan protein.
a. Karbohidrat
Karbohidrat utama dalam tubuh manusia adalah zat tepung, sukrosa,
laktosa fruktosa, glukosa dan serat-serat yang tidak dapat dicerna misalnya
selulosa. sukrosa (gula pasir) dan laktosa (gula susu) adalah disakarida, dan
fruktosa serta glukosa adalah monosakarida. Proses pencernaan mengubah
karbohidrat besar menjadi monosakarida yang dapat diserap ke dalam aliran
darah. Glukosa yang merupakan suatu monosakarida adalah gula yang paling
banyak dijumpai dalam darah manusia.
Gambar 3. Struktur Glukosa
Gambar 4. Struktur glikogen
Oksidasi karbohidrat menjadi CO2 dan H2O didalam tubuh menghasilkan
energi sekitar 4kkal/kg. Dengan kata lain, setiap gram karbohidrat yang kita
makan menghasilkan energi sekitar 4kkal. Molekul karbohidrat mengandung
oksigen dalam jumlah yang bermakna.
6
b. Lemak
Lemak dalam makanan kita terutama adalah triasilgliserol (juga disebut
trigliserida). Sebuah molekul triasilgliserol terdiri dari tiga asam lemak yang
megalami esterifikasi ke sebuah gugus gliserol.
Gambar 5. Struktur triasilgliserol (trigliserida)
Dibandingkan karbohidrat atau protein, lemak mengandung jauh lebih
sedikit oksigen. Dengan demikian, lemak mengalami reduksi lebih besar dan
menghasilkan energi lebih banyak sewaktu dioksidasi. Oksidasi sempurna
triasilgliserol menjadi CO2 dan H2O dalam tubuh menghasilkan energi sekitar
9kkal/g, lebih dari dua kali energi yang dihasilkan karbohidrat atau protein
dalam jumlah yang setara.
Ada dua jenis sumber lemak, yaitu sumber lemak “baik” dan lemak
“jahat”. Dianjurkan untuk banyak mengkonsumsi sumber lemak baik dan
kurangi konsumsi lemak jahat karena lemak jahat dapat memicu resiko
penyakit yang lebih fatal. Sumber lemak “baik” seperti ikan, sumber nabati
seperti kacang-kacangan, kedelai, zaitun. Sumber lemak “jahat” seperti jeroan,
gorengan, mentega, trans-fat pada margarin, lemak di daging.
c. Protein
Protein tersusun dari asam-asam amino yang digabung membentuk rantai
linear.
Gambar 6. Struktur asam amino
7
Gambar 7. Struktur protein
Selain karbon, hidrogen, dan oksigen, protein mengandung nitrogen
sekitar 16% dari beratnya. Proses pencernaan memecah protein menjadi asam-
asam amino konstituennya yang kemudian masuk kedalam aliran darah.
Oksidasi sempurna protein menjadi CO2 dan H2O oleh tubuh menghasilkan
energi sekitar 4kkal/g.
Protein memiliki peranan penting dalam metabolisme dan pembentukan
tubuh manusia. Protein merupakan zat pembangun sel dan berperan dalam
memperbaiki bagian tubuh yang rusak. Protein juga merupakan nutrisi untuk
mendukung pembentukan otot serta berperan dalam metabolisme tubuh serta
sistem imun selain berperan sebagai sumber energi. Sumber protein dibagi
menjadi dua, yaitu sumber hewani dan nabati. Hewani contohnya seperti
daging sapi, ayam, ikan, telur, dan susu. Nabati contohnya seperti kacang-
kacangan, tempe, tahu.
C. Hubungan antara Diet tinggi Karbohidrat dibandingkan Diet tinggi Lemak
terhadap HbA1C
1. Metabolisme Karbohidrat pada Diabetes Mellitus Tipe II
Metabolisme karbohidrat dan diabetes mellitus adalah dua mata rantai
yang tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara metabolisme karbohidrat dan
diabetes mellitus dijelaskan oleh keberadaan hormon insulin. Penderita
diabetes mellitus tipe II insulin tidak dapat berfungsi dengan baik, sedangkan
insulin sangat dibutuhkan dalam melakukan regulasi metabolisme karbohidrat.
Akibatnya, penderita diabetes mellitus tipe II akan mengalami gangguan pada
metabolisme karbohidrat.
Insulin berupa polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel β pankreas.
Insulin terdiri atas dua rantai polipeptida. Struktur insulin manusia dan
8
beberapa spesies mamalia kini telah diketahui. Insulin manusia terdiri atas 21
residu asam amino pada rantai A dan 30 residu pada rantai B. Kedua rantai ini
dihubungkan oleh adanya dua buah rantai disulfida (Granner, 2003).
Gambar 1.1 Struktur insulin pada manusia
Pada orang dengan metabolisme normal, insulin dilepaskan dari sel-
sel beta (ß) pulau Langerhans pankreas setelah makan (postprandial) dan
mengirim sinyal ke jaringan sensitif terhadap insulin dalam tubuh (misalnya
otot dan adiposa ) untuk menyerap glukosa. Hal ini akan menurunkan kadar
glukosa darah. Sel-sel beta mengurangi output insulin saat kadar glukosa
darah turun, akibatnya glukosa darah harus dijaga pada sekitar 5 mmol/L
(mM) (90 mg/dL). Pada orang dengan resistensi insulin, kadar normal insulin
tidak memiliki efek yang sama pada sel-sel otot dan adiposa sehingga hasil
kadar glukosa tetap lebih tinggi dari biasanya. Jenis yang paling umum dari
resistensi insulin dikaitkan dengan kumpulan gejala yang dikenal sebagai
sindrom metabolik. Resistensi insulin dapat berkembang menjadi diabetes
melitus tipe 2 (NIDDM).
Hal ini sering terlihat sebagai hiperglikemia postprandial, ketika ß-sel
pankreas tidak mampu memproduksi cukup insulin untuk menjaga kadar gula
darah normal (euglikemia). Ketidakmampuan sel-ß untuk menghasilkan
insulin yang cukup dalam kondisi hiperglikemia menjadi ciri khas transisi dari
resistensi insulin untuk diabetes melitus tipe II.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah gangguan
metabolisme glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin
9
yang disekresikan. Keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan
dan keadaan glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi Diabetes tipe II.
Gambar 1.2 Keterkaitan glukagon dan insulin dengan glukosa darah
Monosakarida yang merupakan hasil pencernaan karbohidrat di dalam
usus, dimana 80% merupakan glukosa, sedangkan galaktosa dan fruktosa
mewakili masing masing 10%. Glukosa langsung bisa masuk ke aliran
sirkulasi darah. Di dalam darah terdapat hormon insulin yang jumlahnya
normal akan tetapi sel reseptor tidak bisa menangkap insulin secara baik,
sehingga glukosa di darah tidak bisa dibawa ke sel-sel tubuh dengan baik.
Reseptor sel yang menerima insulin mengalami kerusakan, sehingga glukosa
yang dibawa insulin untuk diubah menjadi glikogen juga rendah atau sedikit.
Proses glikogenesis juga menurun dan sel-sel tubuh mengalami kelaparan. Hal
ini menyebabkan gejala polifagia pada DM.
Lalu proses selanjutnya, adalah terjadi peningkatan glikogenolisis
dimana pemecahan glikogen menjadi glukosa dalam sel meningkat karena
tubuh kita membutuhkan energi, sehingga berapapun glikogen yang ada di sel
akan dipecah terus menerus untuk mencukupi energi. Akibat jumlah glikogen
yang minimal didalam sel tubuh, maka glukosa yang dihasilkan juga rendah,
asam piruvat yang dihasilkan juga rendah, ATP yang diproduksi juga sedikit
10
akibatnya menjadi lemas. Glukoneogenesis meningkat, karena persediaan
glukosa rendah maka akan merangsang zat-zat seperti lemak dan vitamin
untuk dipecah dalam menghasikan energi.
Gambar 1.3 Proses Glikogenesis
Gambar 1.4 Proses Glikogenolisis
11
Gambar 1.5 Proses Glukoneogenesis
2. Metabolisme Lemak pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II
Kelainan utama metabolisme lemak pada diabetes mellitus tipe II
adalah percepatan katabolisme lemak, disertai peningkatan pembentukan
benda-benda keton, dan penurunan sintesis asam lemak dan trigliserida.
Kelainan ini terjadi akibat efek insulin terhadap metabolisme lemak. Insulin
mengaktivasi lipoprotein lipase di dalam kapiler darah, yang berfungsi untuk
menghidrolisis trigliserida. Insulin juga meningkatkan pengangkutan glukosa
kedalam sel hati, kemudian glukosa akan masuk jalur glikolisis diubah
menjadi piruvat dan hasil akhir berupa asetil-KoA yang merupakan substrat
awal sintesis asam lemak. Apabila kadar insulin berkurang, maka sintesis
asam lemak dan trigliserida akan berkurang. Pelepasan asam lemak dari
jaringan adiposa ke dalam sirkulasi darah juga terhambat. (Guyton AC, 2006)
Pada diabetes mellitus tipe II, perubahan glukosa menjadi asam lemak
di depot menurun karena defisiensi glukosa intrasel. Insulin menghambat
lipase peka-hormon di jaringan adiposa sehingga dengan tidak adanya hormon
ini kadar asam lemak bebas (FFA, NEFA, UFA) dalam plasma menjadi lebih
dari dua kali lipat. Peningkatan glukagon juga berperan dalam mobilisasi FFA.
Selain peningkatan glukoneogenesis dan meningkatnya glukosa dalam
sirkulasi, terjadi gangguan dalam perubahan asetil-KoA menjadi malonil-
12
KoAyang kemudian diubah menjadi asam lemak. Hal ini disebabkan defisiensi
asetil-KoA karboksilase, enzim yang mengatalisis perubahan. Kelebihan
asetil-KoA diubah menjadi benda-benda keton. (Prince SA, 2006) ;
(Mogensen CE, 2002)
Pada diabetes mellitus tipe II yang tidak terkontrol, kadar trigliserida
dan kilomikron serta FFA plasma meningkat. Peningkatan konstituen-
konstituen ini terutama disebabkan oleh penurunan pengangkutan trigliserida
kedalam depot lemak. Penurunan aktivitas lipoprotein lipase juga berperan
dalam penurunan pengangkutan ini. (Newoehner MD, 1998)
3. HbA1C pada Diabetes Mellitus Tipe II
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik
antara glukosa dengan N terminal valin rantai b HbA dengan ikatan almidin.
HbA1C terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino
valin di ujung rantai beta dari globulin Hb dewasa normal yang terjadi pada 2
tahap. Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa Schiff yang
bersifat stabil dan tahap kedua terjadi penyusunan kembali menjadi bentuk
ketamin yang stabil. Pada keadaan hiperglikemik akan meningkatkan
pembentukan basa Schiff antara gugus aldehid glukosa dengan residu lisin,
arginin, dan histidin.
Gambar 3.1 Pembentukan ikatan glukosa dengan hemoglobin
Pembentukan HbA1c terjadi dengan lambat yaitu selama 120 hari,
yang merupakan rentang hidup sel darah merah. HbA1 terdiri atas tiga
molekul, HbA1a, HbA1b dan HbA1c sebesar 70 %, HbA1c dalam bentuk 70%
terglikosilasi (mengabsorbsi glukosa). Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi
13
bergantung pada jumlah glukosa yang tersedia. Jika kadar glukosa darah
meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan
glukosa menghasilkan glikohemoglobin (Kee JL, 2003)
Kadar HbA1c merupakan kontrol glukosa jangka panjang,
menggambarkan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, karena paruh waktu
eritrosit 120 hari (Kee JL, 2003), karena mencerminkan keadaan glikemik
selama 2-3 bulan maka pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3
bulan (Darwis Y, 2005, Soegondo S, 2004). Peningkatan kadar HbA1c>8%
mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan beresiko tinggi untuk
menjadikan komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau
kardiopati, Penurunan 1% dari HbA1c akan menurunkan komplikasi sebesar
35% (Soewondo P, 2004).
Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada
pasien DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada
tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan
terhadap keberhasilan pengendalian (Kee JL, 2003).
Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran
yang digunakan, namun berkisar antara 3,5%-5,5% (Tabel 3.1). Pemeriksaan
HbA1c sebagai pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status
glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).
Tabel 3.1 Kadar glikat hemoglobin pada penderita DM
14
4. Hubungan antara Diet Tinggi Karbohidrat dengan diet tinggi Lemak
terhadap HbA1C pada Penderita Diabetes tipe II
Dalam jurnal penelitian (Shadman et al. Journal of Diabetes &
Metabolic Disorder) menunjukkan beberapa hasil bahwa adanya keterkaitan
antara diet tinggi karbohidrat dan diet tinggi lemak terhadap konsentrasi
HbA1C.
Usia, jenis kelamin dan durasi diabetes disesuaikan untuk
memperkirakan konsentrasi rata-rata dari HbA1C dalam variabel kuintil (stres,
tingkat aktivitas fisik dan diet). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karbohidrat dan diet asupan serat yang berbanding terbalik (P <0,0001 dan
0,003 masing-masing) dan jumlah makanan dan jenis lemak yang positif (P:
<0,0001, 0,03, 0,01 dan 0,01 untuk persentase lemak total, SAFA, MUFA dan
PUFA dari kalori masing-masing) berkaitan dengan konsentrasi HbA1C
(Tabel 3).
15
Model kerapatan regresi linier multivariat makronutrien, yang mengontrol
umur, jenis kelamin, DD, dan asupan kalori menunjukkan karbohidrat yang
berbanding terbalik dikaitkan terhadap HbA1C (P<0,0001, R2 = 15%).
Hasilnya juga sama dalam tiga model lainnya disesuaikan dengan tingkat stres
dan latihan dalam model 2, lingkar pinggang dan jumlah makanan dalam
16
model 3 dan trigliserida serum dan 25 - hidroksi vitamin D dalam model 4
(P<.0001, <.0001 serta masing 0,0003) (Tabel 4).
Analisis regresi disesuaikan dengan usia, jenis kelamin dan DD, menunjukkan
tidak ada hubungan antara sumber karbohidrat (misalnya tepung terigu, padi,
kacang-kacangan, dan buah-buahan) dengan HbA1c.
Korelasi Pearson menunjukkan bahwa diet karbohidrat adalah positif
(r=0,78, p <0,0001) dan protein (r = -0.07, p = 0,13) dan lemak dikaitkan
secara negatif (r = -0,23, p <0,0001) untuk serat makanan. Mengontrol serat
dalam makronutrien model kerapatan regresi menunjukkan penurunan
koefisien regresi karbohidrat (P = 0,001, β -0,087). Di antara semua lemak
yang mengandung makanan, lemak hewan, minyak terhidrogenasi, produk
susu tinggi lemak, mentega, krim, dan daging berhubungan positif dengan
variasi HbA1C (data tidak ditampilkan).
Kemudian peneliti membandingkan koefisien regresi makronutrien
dengan HbA1c antara 2 kelompok berdasarkan klasifikasi asupan kalori
karena diasumsikan bahwa efek makronutrien pada glukosa darah dapat
dipengaruhi oleh cut of point asupan kalori. Tabel 6 menunjukkan bahwa efek
yang dari karbohidrat terhadap HbA1c pada tingkat asupan kalori lebih rendah
dari 25 kkal/berat badan, secara signifikan lebih kuat daripada asupan kalori
yang lebih tinggi (P = 0,04). Selain itu, asupan kalori 30 kkal/berat badan yang
telah diidentifikasi memiliki efek positif cut of point dari total lemak makanan
terhadap HbA1c (P = 0,03). Dan sebaliknya, hubungan diet SAFA terhadap
17
HbA1c lebih kuat pada level cut of point yang lebih tinggi dari dari 27 kkal/Kg
(P = 0,04). Dalam hal makanan MUFA, PUFA dan serat ada perbedaan
signifikan yang diidentifikasi pada setiap tingkat asupan kalori (Tabel 6).
Model regresi multivariat menunjukkan bahwa proporsi karbohidrat adalah
positif (β = 0,08, P = 0,01) dan protein (β = 0.04, P <0,0001), SAFA (β = -
0.04, P <0,0001) dan proporsi MUFA (β = 0.02, 0,07) yang negatif terkait
dengan peningkatan asupan kalori (Tabel 7).
Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien diabetes tipe 2 dalam diet
tinggi karbohidrat dan rendah lemak jenuh memiliki kontrol glukosa darah
yang lebih baik. Hasil ini adalah menurut kesimpulan dari dua meta-analisis
bukti yang menunjukkan bahwa diet tinggi karbohidrat, diet tinggi serat
dibandingkan dengan karbohidrat sedang, diet rendah serat berhubungan
dengan nilai-nilai yang lebih rendah untuk orang yang berpuasa, rata-rata
18
postprandial glukosa plasma, dan hemoglobin A1c. Efek ini mungkin sebagian
disebabkan oleh jalur metabolisme karbohidrat dan lipid. Efek karbohidrat
dalam merangsang sekresi insulin menyebabkan peningkatan dalam
karbohidrat, tetapi terjadi penurunan oksidasi lemak. Jadi, dapat dinyatakan
bahwa oksidasi lemak ditentukan oleh jumlah energi total yang dikeluarkan
dan jumlah energi yang dikonsumsi dalam bentuk karbohidrat dan protein,
bukan oleh jumlah lemak yang dikonsumsi. Tampaknya bahwa pengaruh
komposisi diet makronutrien pada beberapa aspek kontrol metabolik mungkin
yang paling penting dalam diet berkalori tinggi dibandingkan dengan rendah
kalori atau iso-kalori, karena diet rendah kalori atau iso-kalori semuanya
dimakan dan makronutrien yang diserap harus dioksidasi untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Namun, jika asupan kalori lebih besar dari energi yang
dikeluarkan, maka makanan yang mengandung lemak dapat tersisa dan
menurunkan berat badan, merubah membran sel asam lemak dan
meningkatkan resistensi insulin. Selain itu, laju oksidasi asam lemak jenuh
lebih lambat daripada tak jenuh. Dengan kata lain, diet lemak jenuh memiliki
lebih banyak kesempatan untuk memasuki membran sel, yang mempengaruhi
fluiditas membran, dan meningkatkan resistensi insulin.
Dalam penelitian disebutkan bahwa ada alasan hubungan yang
signifikan antara asupan energi dan HbA1c yang mungkin disebabkan karena
peningkatan proporsi karbohidrat dalam diet yang diikuti dengan peningkatan
asupan kalori, karbohidrat yang tinggi dapat melemahkan efek dari asupan
kalori yang tinggi pada kontrol gula darah. Selain itu, analisis data
menunjukkan bahwa asupan kalori 25 dan 30 kkal/kg berat badan masing-
masing adalah cut off poin dari dampak karbohidrat dan total lemak pada
HbA1c, maka koefisien hubungan antara diet karbohidrat atau lemak dengan
HbA1c secara signifikan lebih tinggi dalam nilai yang lebih rendah.
Sehubungan dengan lemak jenuh makanan, hubungan ini akan lebih parah
pada tingkat asupan kalori lebih tinggi dengan cut off point dari 27 kkal/kg
berat badan.
Ketika asupan kalori melebihi 27 kkal/kg berat badan, makanan yang
mengandung asam lemak jenuh mungkin akan menggantikan dalam membran
sel, mengubah reseptor insulin dan sekresi insulin, sehingga mencegah
resistensi insulin.
19
Berdasarkan penelitian, efek menguntungkan lainnya dari diet tinggi
karbohidrat mungkin berhubungan dengan tinggi serat, Frukto oligosakarida,
resisten pati dan karbohidrat yang dicerna yang dapat meningkatkan
sensitivitas insulin perifer dan sekresi insulin dan penurunan glukosa yang
dilepaskan oleh hati .
III. KESIMPULAN
Metabolime karbohidrat dengan metabolisme lipid berkaitan dengan mekanisme
terjadinya penyakit diabetes. Keduanya mempengaruhi kontrol glukosa dalam darah.
Tes HbA1C merupakan salah satu tes kadar glukosa darah yang digunakan sebagai
indikator seseorang mengalami diabetes. Dalam penelitian disebutkan bahwa BMI dan
asupan kalori dianggap pengaruh. Selain itu, total konsumsi lemak jenuh yang
berlebih bertanggung jawab atas kegagalan mengontrol glukosa darah. Juga diet bagi
penderita diabetes mellitus tipe II yang mengkonsumsi diet tinggi kalori harus tinggi
karbohidrat untuk memfasilitasi perbaikan kontrol glikemik. Penelitian menunjukkan
bahwa penggantian lemak untuk karbohidrat yang dikonsumsi pada kalori tinggi
berhubungan dengan rendahnya konsentrasi HbA1C pada penderita diabetes mellitus
tipe II.
20