Transcript

BAB I

Disfungsi Endotel pada Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) dan Penatalaksanaannya

Disusun Oleh:

Hariya Romiza, S. KedDibimbing Oleh:

Dr. Rizky Perdana, Sp. PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI

2007-2008

HALAMAN PENGESAHAN

Refrat

JudulDISFUNGSI ENDOTEL PADA DHF DAN PENATALAKSANAANNYA

Oleh:

Hariya Romiza, S. Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang

periode 12 November 2007 21 Januari 2008

Palembang, Desember 2007

Mengetahui Pembimbing,

dr. Rizky Perdana, Sp.PDDAFTAR ISI

Daftar Isi i

Kata Pengantar .. iiI. Pendahuluan .................................................................................................. 1

II.Patofisiologi .................................................................................................. 4

II. 1 Definisi Disfungsi Endotel .................................................................... 4

II. 2 Definisi Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) ....................................... 4

II. 3 Definisi Disfungi Endotel pada DHF .................................................... 5

II. 4 Mekanisme Terjadinya Disfungsi Endotel pada DHF .......................... 6

III. Penatalaksanaan Disfungsi Endotel pada DHF ............................................ 9

III. 1 Intra Vena Fluid Drip (IVFD) ............................................................. 9

III. 2 Packed Red Cell (PRC) ...................................................................... 11

III. 3 Trombosit ........................................................................................... 13

IV. Ringkasan ................................................................................................... 14

V. Daftar Pustaka ............................................................................................ 16KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan rahmatnya penulis bias menyelesaikan refrat ini dengan sebaik-baiknya. Refrat ini dibuat dengan judul Disfungsi Endotel pada Dengue Haemorrhagic Fever dan Penatalaksanaannya. Refrat ini berisi tentang Dengue Haemorrhagic Fever khususnya membahas mekanisme disfungsi endotel dan bagaimana penatalaksanaannya.

Beberapa sumber yang dihimpun penulis dalam membuat refrat ini berasal dari beberapa buku kedokteran dan internet. Penulis juga mencoba menjelaskan dalam bentuk skema dan table supaya lebih mudah dipahami. Refrat ini dibuat sebagai tugas pokok bagi penulis dalam menyelesaikan pembelajaran sebagai Koass di bagian Ilmu Penyakit Dalam yang dimulai dari tanggal 12 November 2007 dan insya allah akan berakhir pada tanggal 21 Januari 2008.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing refrat dr. Rizky Perdana, Sp.PD yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan refrat ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak-kakak residen dan teman-teman yang telah berperan dalam penyelesaian refrat ini.

Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak, penulis sadar refrat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Penulis berharap semoga refrat ini dapat menjadi sarana informasi dalam kemajuan perkembangan ilmu di bidang kedokteran.

Palembang, Desember 2007

PenulisBAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini sitemukan nyaris di seluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan ledakan kejadian luar biasa (KLB) yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan sehingga tak jarang menimbulkan kepanikan pada masyarakat dan ketidaksiapan di berbagai instansi terkait. Hal tersebut sejalan dengan peningkatan aktivitas vektor dengue yang justru terjadi pada musim penghujan. Penularan penyakit DHF antar manusia terutama berlangsung melalui vector nyamuk Aedes aegypti. Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya, DHF disebut sebagai the most mosquito transmitted disease.

Penyakit yang dilaporkan pertama kali oleh Benyamin Rush pada tahun 1789 ini muncul dalam literatur Inggris sebagai KLB suatu penyakit yang terjadi sepanjang tahun 1827-1829 di Caribbean. Peluang penyebaran penyakit ini nampaknya masih terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah dan penyebaran vector serta peningkatan lalu lintas kendaraan dan manusia termasuk perpindahan manusia (terutama turis, pelaku bisnis, personel tentara) dari satu daerah atau negara endemik maupu epidemic ke daerah atau negara lain yang belum terkontaminasi virus dengue. Disamping distribusi geografis, komplikasi serius penyakit DHF juga semakin teramati. Sekitar 500.000 kasus DHF membutuhkan rawat inap setiap tahunnya dan sebagian besar diantaranya adalah kasus DHF pada anak. Di negara-negara Asia terutama Asia Tenggara, epidemi DHF merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Angka kematian penyakit ini dapat mencapai 20%, namun dengan pengenalan dini dan terapi yang tepat, angka tersebut dapat direduksi menjadi kurang dari 1%.

Di Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan iklimnya yang tropik, terjadinya epidemi suatu penyakit di Batavia (Jakarta) yang kemungkinan besar adalah dengue dilaporkan pertama kali oleh David Beylon pada tahun 1779. KLB pertama penyakit ini terjadi di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968 dengan ditemukannya 54 kasus 24 kasus diantaranya (44%) meninggal dunia. Pada tahun 1994, penyakit akibat infeksi virus dengue ini telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia dan bahkan sejak tahun 2001 telah menjadi suatu penyakit endemik di beberapa kota besar dan kecil, bahkan di daerah pedesaan.

Gambar 1. Distribusi Geografis Dengue dan Aedes AegyptiSejauh ini, hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa KLB DHF umumnya terjadi di daerah yang memiliki kondisi optimal bagi transmisi virus dengue (daerah tropic dan subtropik dengan iklim dan temperature yang optimal bagi habitat nyamuk Aedes aegypti). Sampai saat ini daerah paling endemik bagi DHF adalah Asia. Berdasarkan data yang dilaporkan ke WHO antara tahun 1991-1995, Indonesia menempati peringkat ketiga (110043 kasus) dalam hal insidensi infeksi virus dengue dengan jumlah kematian menempati peringkat pertama (2861 kasus).

Selama periode epidemik, kemungkinan terserang virus dengue diperkirakan sekitar 80-90% dan sekitar 50% diantaranya tidak menunjukkan manifaestasi klinis (asymptomatic) sehingga seringkali tidak dilaporkan. Itulah sebabnya, laporan mengenai jumlah kasus yang terserang virus dengue pada dasarnya merupakan fenomena gunung es. DHF ditandai oleh terjadinya perembesan plasma dan hemostasis yang abnormal yang menyebabkan penurunan volume plasma. Hal ini dapat menyebabkan kondisi berat yang disebut sebagai Sindroma Syok Dengue (SDS) yang seringkali berakhir dengan kematian. Penurunan volume plasma secara cepat dan mengancam nyawa disebabkan oleh disfungsi endotel. Disfungsi endotel pada DHF dapat menyebabkan penurunan volume plasma yang signifikan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa volume plasma berhubungan secara terbalik dengan keparahan penyakit (makin rendah volume plasma, makin parah keadaan penyakit yang diderita).

Keberhasilan penatalaksanaan terhadap kasus DHF sangat erat kaitannya dengan kecermatan dalam deteksi dini kehadiran penyakit ini dan kemampuan tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan yang tepat apabila menjumpai kasus DHF termasuk dalam menetapkan kasus yang membutuhkan dirujuk ke sentra kesehatan yang lebih lengkap fasilitasnya.

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana patofisiologi terjadinya disfungsi endotel pada DHF agar dapat memutuskan penatalaksanaan yang tepat dan mencegah terjadinya SDS sehingga mengurangi angka kematian yang disebabkan oleh infeksi virus dengue.BAB II

PATOFISIOLOGI

II. 1 Definisi Disfungsi Endotel

Peran sistem vaskuler dalam mencegah perdarahan meliputi proses kontraksi pembuluh darah (vasokonstriksi) serta aktivasi trombosit dan pembekuan darah. Semua pembuluh darah, baik arteri, vena maupun kapiler dilapisi oleh endotel pada permukaan yang menghadap ke lumen. Endotel yang utuh bersifat non trombogenik. Disfungsi endotel adalah suatu keadaan dimana endotel kehilangan sifat non trombogeniknya.

Dalam keadaan normal, apabila lapisan endotel rusak maka jaringan ikat di bawah endotel seperti serat kolagen, serat elastin dan membran basalis terbuka sehingga terjadi aktivasi tromosit yang menyebabkan adesi trombosit dan pembentukan sumbat trombosit. Disamping itu terjadi aktivasi faktor pembekuan darah baik jalur intrinsik maupun jalur ekstrinsik yang menyebabkan pembentukan fibrin.

Disfungsi endotel dapat disebabkan oleh efek hemodinamik aliran darah seperti pada hipertensi, atau tindakan invasif misalnya pemasangan kateter. Selain itu disfungsi endotel juga dapat terjadi akibat berbagai penyebab lain seperti kompleks antigen-antibodi, kebiasaan merokok, hiperkolesterolemia, hiperlipoproteinemia, homosisteinemia, dan anoksia.II. 2 Definisi Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)

Sebagaimana penyakit pada umumnya, diagnosis DHF juga bertolak dari manifestasi klinis yang teramati maupun yang dikeluhkan oleh pasien dibantu oleh temuan laboratoris (mulai dari hasil pemeriksaan laboratoris sederhana seperti pemeriksaan hitung trombosit darah tepi sampai dengan pemeriksaan laboratoris khusus untuk infeksi virus dengue).

Berdasarkan kriteria WHO 1997, pada kasus DHF harus ditemukan:

Demam atau riwayat demam akut yang berlangsung selama 2-7 hari, kadang-kadang memiliki pola bifasik.

Terdapat sekurang-kurangnya salah satu dari manifestasi berikut:

Tourniquet Test yang positif

petechiae, ecchymoses, atau purpura

perdarahan dari mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), saluran pencernaan makanan, atau perdarahan dari tempat lain

hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.II. 3 Definisi Disfungsi Endotel pada DHF

DHF ditandai secara spesifik dengan adanya pergeseran cairan dan protein (terutama albumin) keluar dari kompartemen vaskuler untuk masuk ke dalam rongga usus dan kavitas serosal. Temuan penelitian menunjukkan bahwa volume plasma berhubungan secara terbalik dengan keparahan penyakit (makin rendah volume plasma makin parah keadaan penyakit yang diderita).

Penurunan volume darah secara cepat dan mengancam nyawa disebabkan oleh disfungsi endotel. Disfungsi endotel pada DHF mengakibatkan lubang-lubang vaskuler melebar dan oleh karena itu dapat dilewati oleh protein-protein kecil seperti albumin. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya kadar albumin sekitar 80->100% dalam cairan serosal dibandingkan dengan kadar albumin dalam plasma. Kehilangan cairan nampaknya tidak berlangsung melalui jalur saluran kencing ataupun saluran pencernaan makanan sebab proteinuria hanya ditemukan sepintas dan tidak signifikan, dan secara klinis maupun otopsi tidak ditemukan keadaan yang mendukung pengumpulan cairan dalam feses. Gambar 2. Mekanisme Perembesan Plasma Akibat Infeksi Virus Dengue

Meskipun dengan menggunakan mikroskop cahaya tidak ditemukan perubahan sel endotel dan hilangnya integritas kapiler, namun dengan menggunakan mikroskop elektron nampak adanya perubahan endotel yang sesuai dengan jejas sel akibat anoksia atau akibat terbakar. Biopsi kulit yang diambil dari sejumlah pasien DHF selama fase akut pada daerah petechiae, purpura, dan erupsi makulopapuler menunjukkan pembengkakan sel endotel, dilatasi retikulum endoplasmik dan nuclear envelope, serta pembengkakan mitokondria dan penipisan sel endotel. Pada beberapa tempat ditemukan adanya pelebaran jarak antar endotel, namun tidak ditemukan nekrosis endotel. Hal tersebut membawa pada dugaan bahwa permeabilitas sangat mungkin disebabkan secara farmakologik akibat hilangnya sambungan erat antar sel. II. 4 Mekanisme Terjadinya Disfungsi Endotel pada DHF

Sel endotel utuh (intact) mempunyai tugas utama mencegah perlekatan trombosit dan pembekuan darah, sedangkan aktivasi terhadap endotel memicu proses protrombotik yang bermuara pada pembentukan molekul agregasi trombosit. Temuan penelitian menunjukkan bahwa virus dengue yang melakukan penetrasi ke dalam sel endotel dapat mengaktivasi sel tersebut dan menyebabkan peningkatan adesi dan pemakaian trombosit. Molekul adesi yang berperan sehubungan dengan infeksi virus dengue antara lain ICAM, VCAM, E-selectine, dan vWF yang kemudian menyebabkan inflamasi lokal, kerusakan endotel dan kebocoran plasma.

Pada infeksi virus dengue, kerusakan atau kematian endotel dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis yang dipicu oleh interaksi ligand receptor dan TNF (sitokin produk respon imun terhadap virus dengue). Sinyal apoptosis dipancarkan oleh suatu death domain setelah dipicu oleh fas-ligand yang memiliki peran penting dalam memberikan instruksi untuk apoptosis. TNF yang diproduksi oleh makrofag yang teraktivasi dan limfosit T sebagai respon terhadap virus dengue dengan mengikat TNFR-1 (Tumor Necrotizing Factor Receptor-1) akan mengaktivasi faktor transkripsi NF-kB (Necrotizing Factor-kB) dan AP-1 (Antigen Presenting Factor-1) untuk selanjutnya mengakibatkan induksi gen pro-inflamasi dan immunomodulatori. Gambar 3. Mekanisme Perembesan Plasma Akibat Endotel yang Terjejas

Melalui analisis imunofluoresens dapat dilihat bahwa sel endotel aorta yang terinfeksi virus dengue setelah diinokulasi selama 24 jam menunjukkan perependaran warna hijau muda di sejumlah besar sel secara tidak merata, sedangkan setelah diinkubasi selama 48 jam nampak bahwa antigen virus dengue berpendar hampir di seluruh sel endotel (molekul antigen menyebar pada inti dan sitoplasma sel endotel). Sel endotel pada inokulasi selama 24 jam nampak lebih rapat dibandingkan dengan sel endotel pada inokulasi selama 48 jam. Ini berarti ada sejumlah sel endotel yang menghilang akibat penetrasi virus dengue melalui proses apoptosis dan nekrosis. Sel endotel yang menghilang adalah sel endotel yang tidak mampu beradaptasi dengan virus dengue.

Gambar 4. Imunopatologi DHF dan SSD yang dipicu oleh

Dengue Serotype-crossreactive Antibody dan Limfosit TBAB III

PENATALAKSANAAN DISFUNGSI ENDOTEL PADA DHF

Penatalaksanaan terhadap kasus DHF tidak dapat lepas dari kecermatan dalam menentukan diagnosis dan kondisi (fase) kasus DHF. Rambu-rambu protokol penatalaksanaan DHF pada kasus dewasa selain harus sesuai indikasi, juga harus praktis dalam penatalaksanaannya dan mempertimbangkan cost effectiveness.

III. 1 Intra Vena Fluid Drip (IVFD)

Pada fase awal, manifestasi perdarahan mungkin belum nampak dan hasil pemeriksaan darah tepi (kadar hemoglobin(Hb), hematokrit (Ht) dan hitung trombosit) juga belum menunjukkan kelainan atau masih dalam batas-batas normal. Keadaan semacam ini sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lain. Penetapan diagnosis pada seleksi pertama didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan laboratoris.

Kepada pasien yang hasil pemeriksaan pertama maupun pemeriksaan ulang menunjukkan: Hb dan Ht normal disertai hitung trombosit < 100.000/ul, atau Hb dan Ht meningkat dengan hitung jenis trombosit < 150.000/ul, atau Hb dan Ht meningkat dengan hitung jenis trombosit normal atau menurun perlu dilakukan rawat inap. Selain itu, indikasi rawat inap pasien tersangka DHF adalah apabila disertai syok dan/atau perdarahan masif.

Penatalaksanaan pada kasus DHF tanpa perdarahan masif (uji tourniquet (+), petechiae, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok yang dilakukan di ruang rawat inap pada prinsipnya adalah pemberian cairan secara tepat. Jenis cairan pilihan pertama adalah Ringer Laktat (RL). Selain itu dapat pula dipakai cairan dextrose 5% dalam RL atau ringer asetat, dextrose 5% dalam NaCl 0,45%, dextrose 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan sekitar 3000cc dalam 24 jam dengan estimasi berat badan pasien antara 50-70 kg dan pasien mengalami dehidrasi sedang. Gambar 5. Penatalaksanaan Kasus DHF Dewasa Tanpa Perdarahan Masif, Tanpa Syok

Jika berat badan pasien kurang dari 50 kg maka jumlah pemberian cairan nfus dapat dikurangi menjadi 2000cc/24 jam, atau jika berat badan pasien lebih dari 70 kg maka jumlah cairan infus ditambah sampai dengan 4000cc/24 jam. Jumlah cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali apabila diberikan pada pasien DHF dewasa disertai kehamilan terutama usia kehamilan 28-32 minggu. Selain itu jumlah cairan infus harus diperhitungkan secara cermat jika diberikan kepada pasien DHF dewasa disertai kelainan jantung atau kelainan ginjal, ataupun pasien DHF usia lanjut dan pasien dengan riwayat epilepsi. Bagi pasien berusia lebih dari 40 tahun, pemeriksaan elektrokardiografi merupakan syarat operasional yang harus dikerjakan.Gambar

Selama fase akut, jumlah cairan infus yang diberikan pada hari berikutnya tetap sama untuk setiap harinya. Ketika mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan dalam bentuk temperatur tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar 2000cc dalam waktu 24 jam) dan tidak didapatkan lagi tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih dari 5000/ul, maka cairan infus dapat dikurangi. Berdasarkan pertimbangan bahwa pemberian cairan infus kepada pasien DHF dewasa tanpa perdarahan masif dan tanpa syok sebagaimana dikemukakan di depan sudah memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit cukup dilakukan setiap 12 jam bagi pasien dengan jumlah trombosit , 100.000/ul. Sedangkan untuk pasien DHF dewasa dengan jumlah trombosit berkisar antara 100.000 150.000/ul, pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan pernapasa serta jumlah urin dilakukan setiap 6 jam kecuali bila keadaan pasien semakin memperburuk dengan terdeteksinya tanda-tanda syok. Dalam kondisi semacam itu pemeriksaan tanda-tanda vital harus diperketat.

Apabila keadaan umum atau kesadaran dan hemodinamika pasien telah baik dan tidak lagi ada demam, maka pasien dapat dipulangkan. Demikian pula, pasien dapat dipulangkan apabila Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil dalam 24 jam. Dalam beberapa keadaan meskipun jumlah trombosit belum mencapai normal namun diatas 50.000/ul, pasien juga dapat dipulangkan. Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak onset penyakit atau hitung trombosit darah tepi belum mencapai normal, maka kepada pasien diminta untuk kontrol ke poliklinik dalam waktu 1x24 jam. Apabila kemudian keadaan umum pasien kembali memburuk, maka pasien harus segera dibawa kembali ke UGD (Unit Gawat Darurat). III. 2 Packed Red Cell (PRC)

Perdarahan spontan dan masif pada kasus DHF dewasa (jumlah perdarahan antara 4-5 ml/kg BB/jam. Biasanya muncul dalam bentuk perdarahan hidung (epistaksis) yang tidak terkendali meskipun kepada yang bersangkutan telah diberikan tampon hidung. Selain itu, perdarahan spontan dan masif juga sering muncul dalam bentuk perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena), perdarahan saluran kencing (ditandai dengan gross hematuria), perdarahan otak ataupun perdarahan dari organ-organ lain yang tidak nampak kasat mata namun menunjukkan tanda-tanda penekanan akibat gumpalan darah atau tanda-tanda lain kehilangan darah.

Pada pasien dengan perdarahan spontan tranfusi PRC hanya diberikan apabila pada pemeriksaan darah tepi ditemukan nilai Hb < 10 gr%. Diluar itu cukup diberikan cairan RL . Pemeriksaan tensi, nadi, pernapasan dan jumlah produksi urin dikerjakan sesering mungkin dengan waspada ketat terhadap tanda-tanda dini syok. Pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosis serta hemostasis harus segera dikerjakan apabila secara klinis dan laboratoris ditmukan tanda-tanda DIC.

Gambar 6. Penatalaksanaan Kasus DHF Dewasa

Dengan Perdarahan Masif Tanpa SyokIII. 3 Trombosit

Pemberian tranfusi komponen harus sesuai dengan indikasi. Tranfusi trombosit hanya diberikan kepada pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif disertai trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul) dengan atau tanpa tanda-tanda DIC. Pada kasus DHF disertai DIC, pemeriksaan hemostasis diulang 24 jam kemudian, sedangkan pada kasus DHF tanpa DIC, pemeriksaan hemostasis dikerjakan jika masih dijumpai perdarahan. Gambar 7. Penatalaksanaan Kasus DHF Dewasa

Dengan Syok dan Perdarahan

BAB IVRINGKASAN

Penyakit Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Selama periode epidemik, kemungkinan terserang virus dengue diperkirakan sekitar 80-90% dan sekitar 50% diantaranya tidak menunjukkan manifaestasi klinis (asymptomatic) sehingga seringkali tidak dilaporkan. Itulah sebabnya, laporan mengenai jumlah kasus yang terserang virus dengue pada dasarnya merupakan fenomena gunung es.

DHF ditandai oleh terjadinya perembesan plasma dan hemostasis yang abnormal yang menyebabkan penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma secara cepat dan mengancam nyawa disebabkan oleh disfungsi endotel. Disfungsi endotel pada DHF dapat menyebabkan penurunan volume plasma yang signifikan. Endotel yang utuh bersifat non trombogenik. Disfungsi endotel adalah suatu keadaan dimana endotel kehilangan sifat non trombogeniknya. Disfungsi endotel pada DHF mengakibatkan lubang-lubang vaskuler melebar dan oleh karena itu dapat dilewati oleh protein-protein kecil seperti albumin. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya kadar albumin sekitar 80->100% dalam cairan serosal dibandingkan dengan kadar albumin dalam plasma. Meskipun dengan menggunakan mikroskop cahaya tidak ditemukan perubahan sel endotel dan hilangnya integritas kapiler, namun dengan menggunakan mikroskop elektron nampak adanya perubahan endotel yang sesuai dengan jejas sel akibat anoksia atau akibat terbakar. Pada beberapa tempat ditemukan adanya pelebaran jarak antar endotel, namun tidak ditemukan nekrosis endotel. Hal tersebut membawa pada dugaan bahwa permeabilitas sangat mungkin disebabkan secara farmakologik akibat hilangnya sambungan erat antar sel.

Melalui analisis imunofluoresens dapat dilihat bahwa sel endotel aorta yang terinfeksi virus dengue setelah diinokulasi selama 24 jam menunjukkan perependaran warna hijau muda di sejumlah besar sel secara tidak merata, sedangkan setelah diinkubasi selama 48 jam nampak bahwa antigen virus dengue berpendar hampir di seluruh sel endotel (molekul antigen menyebar pada inti dan sitoplasma sel endotel). Sel endotel pada inokulasi selama 24 jam nampak lebih rapat dibandingkan dengan sel endotel pada inokulasi selama 48 jam. Ini berarti ada sejumlah sel endotel yang menghilang akibat penetrasi virus dengue melalui proses apoptosis dan nekrosis. Sel endotel yang menghilang adalah sel endotel yang tidak mampu beradaptasi dengan virus dengue.

Penatalaksanaan pada kasus DHF tanpa perdarahan masif (uji tourniquet (+), petechiae, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok yang dilakukan di ruang rawat inap pada prinsipnya adalah pemberian cairan secara tepat. Jenis cairan pilihan pertama adalah Ringer Laktat (RL).

Pada pasien dengan perdarahan spontan tranfusi PRC hanya diberikan apabila pada pemeriksaan darah tepi ditemukan nilai Hb < 10 gr%. Diluar itu cukup diberikan cairan RL . Pemeriksaan tensi, nadi, pernapasan dan jumlah produksi urin dikerjakan sesering mungkin dengan waspada ketat terhadap tanda-tanda dini syok.

Tranfusi trombosit hanya diberikan kepada pasien DHF dengan perdarahan spontan dan masif disertai trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul) dengan atau tanpa tanda-tanda DIC. Pada kasus DHF disertai DIC, pemeriksaan hemostasis diulang 24 jam kemudian, sedangkan pada kasus DHF tanpa DIC, pemeriksaan hemostasis dikerjakan jika masih dijumpai perdarahan.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Djunaedi, Djoni, Dr, Dr, SpPD, KPTI, 2006. Demam Berdarah Dengue, Malang; UMM Press. 2. Setiabudy, D, Rahajuningsih, 2007. Hemostasis dan Trombosis, Jakarta; Balai Penerbit FK UI.

3. Sudoyono, A.W.; Setiyohadi, B.; Alwi, I.; Simadibrata, M.K.; Setiati. S, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV, Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 4. Silbernagl, Stefan; Lang, Florian, 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi, Jakarta; EGC5. Priatni, Ika, 2003. Kadar Soluble Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (sVCAM-1) dan Von Willebrand Factor (vWF) sebagai Petanda Disfungsi Endotel pada Pasien Demam Berdarah Dengue, Jakarta; FK UI.6. Anonymous, 2004. Demam Berdarah Dengue, Jakarta.

PAGE 20


Top Related