Download - Chapter II Bone
32
BAB II
KETENTUAN HUKUM AKAD PEMBIYAAN DI BANKSYARIAHDANPERJANJIAN KREDIT DI BANK KONVENSIONAL
A. Ketentuan Hukum Perjanjian Kredit di Bank Konvensional
1. Syarat Sah Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut
dipersetujuan itu.52Sedangkan menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu
saling berjanjiuntuk melaksanakan sesuatu hal.53
Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang
perikatan. Dalam Buku III KUHPerdata, perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban atas
sesuatu.
Mengenai syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdataadalah :54
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
52 W.J.S. Poerdwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 40253 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Interasa, Jakarta, 1990, hal. 154 Ibid., hal. 17
32
Universitas Sumatera Utara
33
Dalam dunia hukum, kecakapan atau cakap hukum untuk membuat perjanjian
terkait dengan subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari manusia
(natuurlijke persoon) dan badan hukum (recht persoon). Syarat cakap bertindak bagi
orang perorangan menurut KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun dan telah lebih
dahulu menikah, serta tidak ditaruh di bawah pengampuan. Sedangkan bagi badan
usaha yang berbadan hukum syarat cakap bertindak adalah ketika badan hukum
tersebut telah didirikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan telah mendapat pengesahan dari menteri, sehingga badan hukum ini memiliki
hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum
seperti manusia.55
c. Mengenai sesuatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu terkait dengan obyek perjanjian atau prestasi yang
wajibdipenuhi.Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau sekurang-kurangnya
dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian sangat diperlukan dalam pemenuhan
prestasi (hak dan kewajiban). Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban
kedua belah pihak.
d. Suatu sebab yang halal;
Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum)
55 H.R. Daeng Naja,Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Banker Hand Book, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
34
yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan
menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.56
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan
debitor wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.Format
dan bentuk dari perjanjian itu pada umumnya diserahkan pada bank, namun isi dari
perjanjian itu harus jelas sehingga juga harus memperhatikan keabsahan dan
persyaratan secara hukum. Isi perjanjian sekurang-kurangnya mencakup persetujuan
para pihak, besar kredit, bunga, denda, jangka waktu kredit dan persyaratan lain yang
lazim seperti kewajiban debitur untuk menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena
format kredit disiapkan oleh bank maka bank harus memperhatikan ketentuan
mengenai persyaratan-persyaratan dalam undang-undang agar perjanjian itu tidak
menjadi batal.
Subekti, menyatakan bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu
diadakan, semuanya itu pada hakekatnya yangterjadi adalah suatu perjanjian pinjam
meminjam sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1754 sampai dengan Pasal
1769 KUHPerdata.57
Perjanjian pinjammeminjam menurut KUHPerdata mengandung makna yang
luas yaitu objeknya benda yang menghabis jika dipakai, termasuk didalamnya uang.
Berdasarkan perjanjian pinjammeminjam ini pihak yang menerima pinjaman menjadi
56 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. PradnyaParamita, Jakarta, 1995, hal. 227.
57 Subekti, Hukum Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra AdityaBakti, Bandung, 1989, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
35
pemilik uang yang dipinjam dan dikemudian hari dikembalikan dengan jenis yang
sama kepada pihak yang meminjamkan.
2. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Di dalam hukum perikatan dikenal tiga asas penting, yaitu :58
a. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi “Lahirnya perjanjian adalah pada saat tercapainya kesepakatan dan saat
itulah adanya hak dan kewajiban para pihak”.
b. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Berupa asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat
atautidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun,
menentukanisi perjanjian, pelaksanaan, persyaratannya, dan menentukan bentuk
perjanjianyang tertulis atau tidak tertulis.
3. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit di Bank Konvensional
Subjek perjanjian kredit adalah pihak kreditor yang berhak atas prestasi dan
pihak debitor yang berkewajiban atas prestasi.59Di dalam suatu perjanjian terdiri dari
58 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 157.
Universitas Sumatera Utara
36
dua pihak atau lebih.Pihak-pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi
(naturlijk persoon) dan Badan Hukum (recht persoon).
Objek perjanjian kredit adalah prestasi, yaitu debitor berkewajiban atas
suatuprestasi dan kreditor berhak atas suatu prestasi.60
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dapatberbentuk memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
Untuk sahnya perikatan diperlukan syarat-syarat tertentu:61
a. Obyeknya harus tertentu;
b. Obyeknya harus diperbolehkan;
c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang;
d. Obyeknya harus mungkin.
4. Hapusnya Perjanjian Kredit
Hapusnya perjanjian tertuang dalam Pasal 1381 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa perikatan hapus karena :
a. Pembayaran;
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitor
kepadakreditor.Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau
barang.Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk
uangatau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.62
59 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 10.60 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 361 Ibid., hal. 4.62 Salim HS, Op. Cit., hal. 188.
Universitas Sumatera Utara
37
b. Pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
Merupakan suatu pembayaran yang dilakukan oleh si berutang secara
tunaikepada si berpiutang, karena si berpiutang menolak untuk menerimanya,
dankemudian si berutang menitipkannya di pengadilan.63
c. Pembaharuan utang (novasi);
Novasi lahir atas dasar persetujuan. Para pihak membuat persetujuan dengan
jalan menghapuskan perjanjian lama, dan pada saat yang bersamaan dengan
penghapusan tadi, perjanjian diganti dengan perjanjian baru. Dengan hakikat,jiwa
perjanjian baru serupa dengan perjanjian terdahulu.64
d. Perjumpaan utang atau kompensasi;
Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan
ataumemperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditor dan debitor.65
e. Percampuran Utang
Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitor dan
kreditor pada diri seseorang.66
f. Pembebasan utangnya;
Yaitu apabila kreditor membebaskan kewajiban debitor memenuhi
pelaksanaan perjanjian.67
63 Ibid., hal. 19264 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 14265 Subekti, Op.Cit., hal 7266 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 198.67 Ibid., hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
38
g. Musnahnya barang yang terutang;
Musnahnya barang terutang adalah hancurnya, tidak dapat diperdagangkan,
atauhilangnya barang terutang, sehingga tidak diketahui sama sekali apakah barang
itumasih ada atau tidak ada. Syaratnya, bahwa musnahnya barang itu diluar kesalahan
debitor dan sebelum dinyatakan lalai oleh kreditor.68
h. Kebatalan atau pembatalan;
Penyebab timbulnya pembatalan perikatan adalah adanya perjanjian yang
dibuatoleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah pengampuan,
tidakmengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam Undang-undang, dan
adanya cacat kehendak.69
i. Berlakunya syarat batal;
Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan
perikatandan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada
suatu perjanjian (Pasal 1265 KUHPerdata).
j. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri;
Berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata, yang dinamakan daluwarsa atau lewat
waktu ialah supaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atassyarat-syarat yang ditentukan
oleh undang-undang.
68 Salim HS, Op.cit., hal. 19869 M. Yahya Harahap, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
39
5. Wanprestasi
Wanprestasi adalah lalai, ingkar tidak memenuhi kewajiban dalam
suatuperikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang lalai harus memberikan
penggantian
rugi, biaya dan bunga.70
Menurut M. Yahya Harahap wanprestasi adalah pelaksanaan kewajibanyang
tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.71
Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat
macam :72
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat adanya wanpretasi adalah :73
a. Perikatan tetap ada.
b. Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia
terlambat memenuhi prestasi.
c. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata).
70J.C.T Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta,1987, hal. 186
71M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 672Subekti, Op.cit., hal. 4573Salim HS, Op.cit., hal. 181
Universitas Sumatera Utara
40
d. Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah
debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak
kreditor.
e. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapatmembebaskan diri
dari kewajibannya memberikan kontra prestasi denganmenggunakan Pasal 1266
KUHPerdata, yaitu syaratbatal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan
timbal balik, manakalasalah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
B. Ketentuan Hukum Akad Pembiayaan di Bank Syariah
Lafal akad berasal dari lafal Arab Al-‘aqadyang berarti perikatan, perjanjian
dan permufakatan al-ittifaq. Secara terminology fiqih, akad didefinisikan dengan :
pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.74
Selain akad, di dalam Al-Quran dikenal juga kata ‘ahd atau al-‘ahdu yang
secara etimologi berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.75 Hal
ini dapat dilihat dalam surat An-Nahl ayat 91, yang artinya : “Dan tepatilah janji
dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah
diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah
itu), sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Serta dalam surat Al-
Isra ayat 34, yang artinya : “… dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.”76
74 H.M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) alam Fiqih Islam dan Praktek di BankSistem Syari’ah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana USU, Medan, 2005, hal. 1
75 H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hal. 1776Ibid.
Universitas Sumatera Utara
41
Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank dan syariah. Kata bank
bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari
dua pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah
dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian yang dilakukan oleh
pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha dan kegiatan lainya sesuai dengan hukum Islam.77
Bank syariah atau bank Islam, seperti halnya bank konvensional,juga
berfungsi sebagai suatu lembaga yaitu menampung dan mengarahkan dana dari
masyarakat serta menyalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya
dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Bedanya hanyalah usahanya tidak berdasarkan
bunga (interest free), tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian
keuntungan dan kerugian, seperti juga bank konvensional, selain memberikan jasa-
jasa pembiayaanbank, bank syariah juga memberikan jasa-jasa lain, seperti jasa
kiriman uang, pembukaan letter of credit, jaminan dan jasa-jasa lainya.78
Bank Islam atau yang di Indonesia terkenal dengan bank Syariah, adalah
sebuah bank yang didirikan untuk menghindari persoalan bunga uang yang terus
menjadi perdebatan berkepanjangan, yang dikhawatirkan mengandung unsur riba.
Oleh karena itu setiap aktivitas bank Syariah harus menghindari kekhawatiran adanya
unsur-unsur riba. Usaha menghindari kekhawatiran ini dilakukan antara lain
77Zainudin Ali,Hukum Perbankan Syariah, cetakan ke 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.178 Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Islam, cetakan ke II, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
2005, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
42
dengancara mengganti pranata bunga dengan pranata hukum hasil pemikiran para
ilmuwan hukum Islam klasik.
Salah satu kegiatan operasional perbankan syariah adalah memberikan
pembiayaan-pembiayaan yang dapat membantu masyarakat dalam menjalankan
kegiatan usahanya. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
PerbankanSyariah memberikan pengertian mengenai pembiayaan yang diberikan oleh
bank syariah yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi
sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’,
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan
dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan,
atau bagi hasil.79
Kegiatan Usaha Bank Syariah secara garis besar dapat digolongkan menjadi3
(tiga) macam yaitu penghimpunan, penyaluran dan jasa perbankan.Penghimpunan
terdiri dari Prinsip Mudharabah (Tabungan, Deposito/Investasi,Obligasi), Prinsip
Wadi’ah Yad Dhamanah (Giro, Tabungan), Prinsip Ijarah(Obligasi). Kegiatan
79 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008tentang Perbankan Syariah,Pasal 1angka 25
Universitas Sumatera Utara
43
Penyaluran terdiri dari Pola Bagi Hasil (Mudharabah,Musharakah), Pola Jual Beli
(Murabahah, Salam, Istishna), Pola Sewa (Ijarah,Ijarah wa Iqtina). Sedangkan Jasa
Perbankan terdiri dari Jasa Keuangan (Wakalah,Kafalah, Ujr, Qardh, Sharf, Rahn),
JasaNon-
Keuangan(Wadi’ahyadamanah),JasaKeagenan(Mudharabah,Muqayyadah).80
1. Syarat Sah Akad Pembiayaan di Bank Syariah
Akad yang banyak dipraktekkan di bank syariah adalah murabahah, yaitu jual
beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah
disepakati.Hal ini dikarenakan terdapat kesalahan persepsi pada murabahah.
Murabahah sering dipersamakan dengan perjanjian kredit biasa, hanya pada namanya
diganti akad murabahah atau jual beli. Padahal selain harga jual yang lebih mahal,
dari pada harga pada permohonan kredit di bank konvensional, dan juga pada
prosedur pelaksanaannya terlihat tidak ada beda antara murabahah dengan perjanjian
kredit perbankan konvensional.
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian. Ditinjau dari Hukum
Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu perbuatan yang
sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan masing-masing.
Dengan kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan
syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak. Sementara itu, pengertian
akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul
80 Ascarya, dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Seri Ke bank sentralanNomor 14, Bank Indonesia Pusat Pendidikan dan Studi Ke bank sentralan, Jakarta, 2005, hal.14
Universitas Sumatera Utara
44
dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan akibat-akibat hukum. Ijab
adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, dan kabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Masing-masing pihak haruslah
saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad.81
Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang hidup dalam Al-Quran Surat al-Maidah
(5): 1, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu kepada Allah
dan dengan sesamamu.”
Dalam Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan syarat
akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur essensial yang membentuk akad, yang
harus selalu dipenuhi dalam suatu transaksi, terdiri dari:82
a. Subjek Akad, yaitu pihak yang berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling
sedikit dua orang yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk
melakukan perbuatan hukum sendiri.
b. Objek yang diakadkan, yaitu objek akad bermacam-macam, sesuai dengan
bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan
dan harganya. Sesuatu akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan syarat
sebagai berikut: (1) Telah ada pada waktu akad diadakan. Objek akad harus telah
wujud pada waktu akad diadakan. Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi
objek akad menurut pendapat kebanyakan fukaha sebab hukum dan akibat akad
tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum berwujud; (2) Dapat
81Ibid.82Ibid.
Universitas Sumatera Utara
45
menerima hukum akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang
diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang
mengadakan akad jual beli; (3) Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus
dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan akad.
Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa kemudian hari
sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek akad. Adanya syarat ini
diperlukan agar pihak-pihak bersangkutan dalam melakukan akad benar-benar
atas dasar kerelaan bersama. Oleh karenanya, adanya syarat ini disepakati
fuqaha; (4) Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Objek akad harus dapat
diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus dapat
diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada saat yang telah ditentukan
dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada
dibawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.
Dari empat syarat objek akad tersebut di atas, secara garis besar dapat disebutkan
bahwa sesuatu dapat menjadi objek akad apabila dapat menerima hukum akad
dan tidak mengandung unsur-unsur yang mungkin menimbulkan sengketa
kemudian hari antara pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat yang disebut
terakhir mengharuskan objek akad itu telah wujud, jelas dan dapat diserahkan.
c. Akad/Sighat terdiri dari: (1) Serah (ijab) atau penawaran; (2) Terima (qabul) atau
penerimaan Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang
berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja
yang memulainya. Kabul ialah jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab,
Universitas Sumatera Utara
46
buat menyatakan persetujuannya. Yang dimaksud dengan sighat akad adalah
dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun-rukun akad itu
dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat
maupun perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul.
Sementara itu, syarat adalah unsur yang membentuk keabsahan rukun akad.
Jadi sahnya suatu akad sangat bergantung kepada terpenuhi atau tidaknya rukun dan
syarat akad, syarat sahnya perjanjian adalah:83
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya. Maksudnya bahwa
perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syariah, sebab
perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah, dan dengan
sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau
melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi
perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah),
maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
b. Terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho dan ada pilihan, dalam hal ini tidak
boleh ada unsur paksaan dalam membuat perjanjian tersebut. Maksudnya
perjanjian yang diadakan dan para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan
kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha atau rela akan isi perjanjian
tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-
masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu
83Ibid.
Universitas Sumatera Utara
47
kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
c. Isi perjanjian harus jelas dan gamblang. Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh
para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak
mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang
telah mereka perjanjikan dikemudian hari. Dengan demikian pada saat
pelaksanaan atau penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan
perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai
interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap
isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. Hampir sama dengan
perjanjian menurut KUHPerdata, menurut hukum Islam perjanjian juga
berdasarkan kata sepakat, dengan syarat objek perjanjian haruslah berwujud pada
saat akad dilaksanakan.
2. Bentuk-Bentuk Perjanjian di Bank Syariah
Bentuk-bentuk perjanjian di bank syariah dapat dilihat dari jenis usaha bank
syariah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah membedakan kegiatan usaha bank syariah menjadi 4
(empat) bagian yaituMudharabah (pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil),
Musyarakah (pembiayaan berdasarkan prinsip usaha patungan), Murabahah (jualbeli
barang dengan memperoleh keuntungan) dan Ijarah (pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa). Namun Bank Indonesia dalam booklet-nya
Universitas Sumatera Utara
48
menggambarkan lebih rinci lagi mengenai kegiatan bank umum yang berdasarkan
prinsip syariah. Adapunkegiatannya adalah sebagai berikut:84
1. Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanandan
investasi antara lain:
a. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;
b. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah;
c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.
2. Menyalurkan dana melalui:
a. Prinsip jual beli berdasarkan akad meliputi:
1) Murabahah (jual-beli antara bank dan nasabah dimana bank secaraprinsip
membeli barang yang diperlukan oleh nasabah, kemudianmenjualnya
kepada nasabah sebesar harga beli ditambah denganmarjin keuntungan
yang disepakati antara bank dan nasabah).
2) Istishna (jual beli barang pesanan antara bank sebagai Penjual
dengannasabah sebagai Pembeli. Spesifikasi dan harga barang
Istishna’disepakati pada Akad transaksi Istishna’ sedangkan cara
pembayarannasabah kepada bank dilakukan secara bertahap sesuai
kesepakatan).
3) Salam (jual beli barang pesanan antara bank dan nasabah
denganpembayaran dimuka dan pengiriman barang oleh penjual
84 Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, Vol. 4, ISSN 1858-4233, Bank IndonesiaDirektorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Jakarta,2007, hal.7-9.
Universitas Sumatera Utara
49
dibelakang, spesifikasi barang Salam disepakati dan dituangkan dalam
Akad).
b. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:
1) Mudharabah (kerjasama usaha antara bank sebagai pemilik dana
dannasabah sebagai pengelola dana untuk melakukan kegiatan
usahatertentu, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan).
2) Musyarakah (kerjasama patungan yang terjadi antara bank dannasabah
masing-masing sebagai pemilik modal Musyarakah untukmelakukan
usaha tertentu secara bersama dalam suatu kemitraan,dengan Nisbah Bagi
Hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkanKerugian Usaha ditanggung
secara proporsional sesuai dengankontribusi modal Musyarakah).
c. Prinsip sewa menyewa berdasarkan akadantara lain:
1) Ijarah (sewa menyewa antara bank dan nasabah yang mendasari
Pembiayaan Ijarah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku).
2) Ijarah muntahiya bittamlik (sewa-menyewa antara bank dengan nasabah.
Pada akhir masa sewa, bank yang secara prinsip sebagai pemilik aset akan
mengalihkan kepemilikan aset kepada nasabah, baik secara penjualan atau
hibah).
d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh (pinjaman dari bank
kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana
Universitas Sumatera Utara
50
yang diterimanya kepada bank pada waktu yang telah disepakatiantara bank
dan nasabah sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku).
e. Melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antaralain:
1) Wakalah, akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasauntuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
2) Hawalah, akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada
pihaklain yang wajib menanggungnya.
3) Kafalah, akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak
lainketika pemberian jaminan bertanggung jawab atas
pembayarankembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan.
4) Rahn, akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank
sebagaijaminan sebagian atau seluruh hutang.
3. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat-suratberharga
pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata(underlying transaction)
berdasarkan prinsip syariah.
4. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh
Pemerintah dan/atau Bank Indonesia.
5. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah.
6. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabahberdasarkan
prinsip syariah.
Universitas Sumatera Utara
51
7. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan
danmelakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan
prinsipsyariah.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat
berhargaberdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.
9. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untukkepentingan
pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.
10. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip syariah.
11. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah.
12. Melakukan kegiatan usaha kartu debet,charge card berdasarkan prinsipsyariah.
13. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah.
14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujuioleh
Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional.
15. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf.
16. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang
keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa gedung usaha,modal ventura,
perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaiandan penyimpanan.
17. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsipsyariah
untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harusmenarik
kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkanoleh Bank
Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
52
18. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan
prinsip syariah sesuai ketentuan dalam perundang-undangandana pensiun yang
berlaku.
19. Bank Syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak
sebagaipenerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq,
shadaqah,waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank
ataulembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.
3. Hapusnya Perjanjian
Menurut ketentuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hapusnya perjanjian
dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak, dan akad penghapusan dipandang sah
jika dilakukan seperti pelaksanaan perjanjian, yaitu di sepakati oleh para pihak serta
dilakukan dalam suatu majelis.Syarat penghapusan akad adalah bahwa benda yang
dijual harus sudah menjadi milik pembeli, penghapusan akad hanya berlaku pada
barang yang tidak rusak, serta penurunan harga tidak mempengaruhi keabsahan
penghapusan.85
Mengenai berakhirnya suatu akad, para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu
akad dapat berakhir apabila:86
a. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu;
85 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Naskah Akademik), Mahkamah Agung RepublikIndonesia, Jakarta, 2007, hal. 33-34.
86 H.M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) alam Fiqih Islam dan Praktek di BankSistem Syariah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana USU, Medan, 2005, hal. 19-20.
Universitas Sumatera Utara
53
b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak
mengikat;
c. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika; (a)
jual beli itu fasad, seperti terdapatnya unsur-unsur tipuan salah satu rukunnya
atau syarat-syaratnya tidak terpenuhi; (b) berlakunya syarat, khiyar aib, atau
khiyar rukyah; (c) akad tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak; (d)
tercapainya tujuan akad itu secara sempurna.
d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini, para ulama
fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya
seseorang atau salah satu pihak yang melangsungkan akad, diantaranya akad
sewa-menyewa, ar-rahn, al-kafalah, asy-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah.
Akad juga akan berakhir tergantung pada persetujuan lain, apabila tidak
mendapat persetujuan dari pemilik modal.
Suatu akad berakhir apabila tercapai tujuannya.Dalam akad jual beli misalnya,
akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli
dan harganya telah menjadi milik penjual.Dalam akta gadai dan pertanggungan
(kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar.Kecuali telah
tercapainya tujuan, akad dipandang berakhir juga apabila terjadi fasakhatau telah
berakhir waktunya.Fasakh terjadi dengan sebab-sebab:87
87Ibid., hal. 20-21
Universitas Sumatera Utara
54
a. Difasakh karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang
disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi
syarat kejelasan.
b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.
c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa
menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut
iqalah.
d. Karena adanya kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak terpenuhi
oleh pihak-pihak bersangkutan. Misalnya dalam khiyar pembayaran (khiyar
naqd) penjual menyatakan bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan
tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila
pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan
tetapi apabila ia tidak membayar akad menjadi rusak (batal).
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka waktu dan
tidak dapat diperpanjang.
4. Wanprestasi
Wanprestasi dalam akad bank syariah Islam apabila salah satu pihak dalam
akad karena salahnya (Pasal 34 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah):88
a. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;
88Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Naskah Akademik), Op.cit., hal. 22
Universitas Sumatera Utara
55
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan;
e. Dapat dianggap melakukan ingkar janji.
Salah satu pihak dalam akad dianggap melakukan wanprestasi/ ingkar janji,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan suatu akta sejenis itu telah dinyatakan
ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad
harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan.89
Sesuai dengan Surat Al Maidah ayat 1, bahwa setiap orang yang beriman
harus menepati janjinya, maka para pihak dalam Akad ini sebagai orang yang
beriman tidak boleh melanggar janjinya. Dalam prakteknya, untuk mencegah agar
nasabah tidak melanggar dan akan memenuhi janjinya pada Bank sesuai dengan akad
ini, bank menetapkan semacam hukuman kepada nasabah yang tidak mampu untuk
membayar. Sesungguhnya pihak Bank tidak dapat serta merta dapat memberlakukan
penghukuman kepada nasabah dengan menyita jaminan yang telah ditetapkan
sebelumnya dengan sepihak tanpa pemberitahuan kepada nasabah. Bank seharusnya
mengadakan klarifikasi terhadap nasabah terlebih dahulu penyebab yang
mengakibatkan terjadinya penunggakan atau kemacetan tersebut secara obyektif, dan
baru setelah diketahui penyebabnya Bank dan Nasabah bersama-sama menyepakati
cara penyelesaiannya. Menurut peneliti, masalah penghukuman oleh bank
kepadanasabah bila terjadi cedera janji harus dilihat kasus per kasus, setiap
kasustidak dapat diberlakukan sama.
89Ibid.
Universitas Sumatera Utara
56
Pemberlakukan hukuman secara serta merta tanpa mengklarifikasi hal tersebut
kepada nasabah terlebih dahulu sangat bertolak belakang dengan prinsip keadilan dan
kesederajatan dalam banksyariah. Penghukuman baru dapat dilakukan apabila
diketahui dengan pastibahwa nasabah tidak jujur atau beritikad buruk.
Dalam akad-akad pembiayaan pada bank syariah terdapat klausul mengenai
cara penyelesaian perselisihan. Pencantuman klausul ini dimaksudkan sebagai pilihan
hukum terhadap lembaga penyelesaian jika terjadi perselisihan antara bank syariah
dengan nasabahnya. Isi klausul tersebut pada intinya mengatur apabila terjadi
perbedaan pendapat dalam memahami atau menfasirkan bagian-bagian dan isi, atau
terjadi perselisihan dalam melaksanakan akad ini, maka nasabah dan bank akan
berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat, serta apabila
usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah
untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak,
maka dengan ini nasabah dan bank sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta
memberikan kuasa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk
memberikan putusannya, menurut tata cara dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan
oleh dan berlaku di badan tersebut.
Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) bersifat final dan
mengikat. Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya tentang murabahah,
musyarakah, dan mudharabah juga mengatur mengenai penyelesaian perselisihan
dalam perbankan syariah yang dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Demikian juga Bank Indonesia
Universitas Sumatera Utara
57
dalam Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Dengan Prinsip Syariah, mengatur jika terjadi perselisihan antara bank dan nasabah
maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah, dan jika musyawarah tidak
mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui
alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah. Kewenangan Bank
Indonesia untuk mengatur penyelesaian atau sengketa tersebut diamanatkan dalam
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sehubungan dengan penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi
antara bank syariah dengan nasabahnya tersebut, pada bulan Februari 2006 telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 diatur bahwa: ”Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan; waris; wasiat; hibah;
wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syariah”.
Dalam penjelasan Pasal 49 ini dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa tidak
hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi
syariah lainnya. Yang dimaksud dengan ”antara orang-orang yang beragama
Universitas Sumatera Utara
58
Islam”adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang
menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Selanjutnya penjelasan Pasal 49 huruf i mengatakan bahwa yang
dimaksuddengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi bank syariah; asuransi syariah;
reasuransi syariah; reksadana syari’ah; obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka
menengah syari’ah; sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah; pegadaian syari’ah; dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah; bisnis syari’ah; dan lembaga keuangan mikro
syari’ah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut, kembali
penulis melihat klausul-klausul penyelesaian perselisihan” yang dicantumkan dalam
akad pembiayaan pada bank syariah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa
pencantuman klasul ”penyelesaian perselisihan” dalam akad pembiayaan lebih
terkesan sebagai pilihan hukum para pihak untuk menentukan bahwa Badan Arbitrase
Syari’ah Nasional adalah lembaga terakhir yang dipilih untuk menyelesaikan
perselisihan, terlebih lagi dicantumkan pula dalam akad bahwa putusan Badan
Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) bersifat final dan mengikat. Demikian
pula jika diperhatikan beberapa fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSNMUI/
IV/2000 tentang Murabahah, Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah
(Qiradh), Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Musyarakah. Dalam fatwa ini
penyelesaian perselisihan ditetapkan dengan jelas melalui Badai Arbitrase Syariah.
Universitas Sumatera Utara
59
Dalam penyelesaian perselisihan ini ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 9/19/PBI/2007 juga penyelesaian ditentukan melalui alternatif penyelesaian
sengketa atau badan arbitrase syariah. Kesepakatan para pihak memilih lembaga
arbitrase dalam penyelesaikan perselisihan merupakan kebebasan para pihak dalam
menentukannya, akan tetapi dasar (fatwa Dewan Syariah Nasional) atau ketentuan
peraturan perundang-undangan(Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007)
yang mengatur penyelesaian perselisihan dalam kegiatan perbankan syariah ini
hendaknya tidak mengatur sedemikian rupa sehingga menutup kemungkinan
penyelesaiannya di lembaga peradilan agama. Dengan adanya kewenangan mengadili
perselisihan atau sengketa dalam ekonomi syariah pada peradilan agama, hendaknya
badan arbitrase syariah bukan dijadikan suatu keharusan, melainkan sebagai alternatif
bagi para pihak dalammenyelesaikan perselisihan yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara