chapter ii bone

28
BAB II KETENTUAN HUKUM AKAD PEMBIYAAN DI BANK SYARIAHDANPERJANJIAN KREDIT DI BANK KONVENSIONAL A. Ketentuan Hukum Perjanjian Kredit di Bank Konvensional 1. Syarat Sah Perjanjian Kredit Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dipersetujuan itu. 52 Sedangkan menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanjiuntuk melaksanakan sesuatu hal. 53 Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Dalam Buku III KUHPerdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban atas sesuatu. Mengenai syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdataadalah : 54 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; 52 W.J.S. Poerdwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 402 53 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Interasa, Jakarta, 1990, hal. 1 54 Ibid., hal. 17 32 Universitas Sumatera Utara

Upload: khairoelanwarazzaroelii

Post on 07-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

d

TRANSCRIPT

32

BAB II

KETENTUAN HUKUM AKAD PEMBIYAAN DI BANKSYARIAHDANPERJANJIAN KREDIT DI BANK KONVENSIONAL

A. Ketentuan Hukum Perjanjian Kredit di Bank Konvensional

1. Syarat Sah Perjanjian Kredit

Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua

pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut

dipersetujuan itu.52Sedangkan menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu

saling berjanjiuntuk melaksanakan sesuatu hal.53

Perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang

perikatan. Dalam Buku III KUHPerdata, perikatan adalah hubungan hukum yang

terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di

mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lainnya berkewajiban atas

sesuatu.

Mengenai syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdataadalah :54

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus

bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

52 W.J.S. Poerdwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal. 40253 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Interasa, Jakarta, 1990, hal. 154 Ibid., hal. 17

32

Universitas Sumatera Utara

33

Dalam dunia hukum, kecakapan atau cakap hukum untuk membuat perjanjian

terkait dengan subjek hukum. Pada dasarnya subjek hukum terdiri dari manusia

(natuurlijke persoon) dan badan hukum (recht persoon). Syarat cakap bertindak bagi

orang perorangan menurut KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun dan telah lebih

dahulu menikah, serta tidak ditaruh di bawah pengampuan. Sedangkan bagi badan

usaha yang berbadan hukum syarat cakap bertindak adalah ketika badan hukum

tersebut telah didirikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan telah mendapat pengesahan dari menteri, sehingga badan hukum ini memiliki

hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum

seperti manusia.55

c. Mengenai sesuatu hal tertentu;

Suatu hal tertentu terkait dengan obyek perjanjian atau prestasi yang

wajibdipenuhi.Prestasi dalam perjanjian harus tertentu atau sekurang-kurangnya

dapat ditentukan. Kejelasan objek perjanjian sangat diperlukan dalam pemenuhan

prestasi (hak dan kewajiban). Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban

kedua belah pihak.

d. Suatu sebab yang halal;

Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, dan ketertiban umum.Dalam pengertian ini pada benda (objek hukum)

55 H.R. Daeng Naja,Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Banker Hand Book, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 35

Universitas Sumatera Utara

34

yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan

menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.56

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan

debitor wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.Format

dan bentuk dari perjanjian itu pada umumnya diserahkan pada bank, namun isi dari

perjanjian itu harus jelas sehingga juga harus memperhatikan keabsahan dan

persyaratan secara hukum. Isi perjanjian sekurang-kurangnya mencakup persetujuan

para pihak, besar kredit, bunga, denda, jangka waktu kredit dan persyaratan lain yang

lazim seperti kewajiban debitur untuk menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena

format kredit disiapkan oleh bank maka bank harus memperhatikan ketentuan

mengenai persyaratan-persyaratan dalam undang-undang agar perjanjian itu tidak

menjadi batal.

Subekti, menyatakan bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu

diadakan, semuanya itu pada hakekatnya yangterjadi adalah suatu perjanjian pinjam

meminjam sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1754 sampai dengan Pasal

1769 KUHPerdata.57

Perjanjian pinjammeminjam menurut KUHPerdata mengandung makna yang

luas yaitu objeknya benda yang menghabis jika dipakai, termasuk didalamnya uang.

Berdasarkan perjanjian pinjammeminjam ini pihak yang menerima pinjaman menjadi

56 C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. PradnyaParamita, Jakarta, 1995, hal. 227.

57 Subekti, Hukum Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra AdityaBakti, Bandung, 1989, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

35

pemilik uang yang dipinjam dan dikemudian hari dikembalikan dengan jenis yang

sama kepada pihak yang meminjamkan.

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Di dalam hukum perikatan dikenal tiga asas penting, yaitu :58

a. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang

berbunyi “Lahirnya perjanjian adalah pada saat tercapainya kesepakatan dan saat

itulah adanya hak dan kewajiban para pihak”.

b. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan

dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Berupa asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat

atautidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun,

menentukanisi perjanjian, pelaksanaan, persyaratannya, dan menentukan bentuk

perjanjianyang tertulis atau tidak tertulis.

3. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit di Bank Konvensional

Subjek perjanjian kredit adalah pihak kreditor yang berhak atas prestasi dan

pihak debitor yang berkewajiban atas prestasi.59Di dalam suatu perjanjian terdiri dari

58 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 157.

Universitas Sumatera Utara

36

dua pihak atau lebih.Pihak-pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi

(naturlijk persoon) dan Badan Hukum (recht persoon).

Objek perjanjian kredit adalah prestasi, yaitu debitor berkewajiban atas

suatuprestasi dan kreditor berhak atas suatu prestasi.60

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi dapatberbentuk memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Untuk sahnya perikatan diperlukan syarat-syarat tertentu:61

a. Obyeknya harus tertentu;

b. Obyeknya harus diperbolehkan;

c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang;

d. Obyeknya harus mungkin.

4. Hapusnya Perjanjian Kredit

Hapusnya perjanjian tertuang dalam Pasal 1381 KUHPerdata, yang

menyatakan bahwa perikatan hapus karena :

a. Pembayaran;

Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitor

kepadakreditor.Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau

barang.Namun, pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk

uangatau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa.62

59 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 10.60 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 361 Ibid., hal. 4.62 Salim HS, Op. Cit., hal. 188.

Universitas Sumatera Utara

37

b. Pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

Merupakan suatu pembayaran yang dilakukan oleh si berutang secara

tunaikepada si berpiutang, karena si berpiutang menolak untuk menerimanya,

dankemudian si berutang menitipkannya di pengadilan.63

c. Pembaharuan utang (novasi);

Novasi lahir atas dasar persetujuan. Para pihak membuat persetujuan dengan

jalan menghapuskan perjanjian lama, dan pada saat yang bersamaan dengan

penghapusan tadi, perjanjian diganti dengan perjanjian baru. Dengan hakikat,jiwa

perjanjian baru serupa dengan perjanjian terdahulu.64

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan

ataumemperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara kreditor dan debitor.65

e. Percampuran Utang

Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitor dan

kreditor pada diri seseorang.66

f. Pembebasan utangnya;

Yaitu apabila kreditor membebaskan kewajiban debitor memenuhi

pelaksanaan perjanjian.67

63 Ibid., hal. 19264 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 14265 Subekti, Op.Cit., hal 7266 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 198.67 Ibid., hal. 159.

Universitas Sumatera Utara

38

g. Musnahnya barang yang terutang;

Musnahnya barang terutang adalah hancurnya, tidak dapat diperdagangkan,

atauhilangnya barang terutang, sehingga tidak diketahui sama sekali apakah barang

itumasih ada atau tidak ada. Syaratnya, bahwa musnahnya barang itu diluar kesalahan

debitor dan sebelum dinyatakan lalai oleh kreditor.68

h. Kebatalan atau pembatalan;

Penyebab timbulnya pembatalan perikatan adalah adanya perjanjian yang

dibuatoleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah pengampuan,

tidakmengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam Undang-undang, dan

adanya cacat kehendak.69

i. Berlakunya syarat batal;

Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan

perikatandan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada

suatu perjanjian (Pasal 1265 KUHPerdata).

j. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri;

Berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata, yang dinamakan daluwarsa atau lewat

waktu ialah supaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu

perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atassyarat-syarat yang ditentukan

oleh undang-undang.

68 Salim HS, Op.cit., hal. 19869 M. Yahya Harahap, Loc.cit.

Universitas Sumatera Utara

39

5. Wanprestasi

Wanprestasi adalah lalai, ingkar tidak memenuhi kewajiban dalam

suatuperikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang lalai harus memberikan

penggantian

rugi, biaya dan bunga.70

Menurut M. Yahya Harahap wanprestasi adalah pelaksanaan kewajibanyang

tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.71

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat

macam :72

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat adanya wanpretasi adalah :73

a. Perikatan tetap ada.

b. Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia

terlambat memenuhi prestasi.

c. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUHPerdata).

70J.C.T Simorangkir, Rudy T. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta,1987, hal. 186

71M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 672Subekti, Op.cit., hal. 4573Salim HS, Op.cit., hal. 181

Universitas Sumatera Utara

40

d. Beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah

debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak

kreditor.

e. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapatmembebaskan diri

dari kewajibannya memberikan kontra prestasi denganmenggunakan Pasal 1266

KUHPerdata, yaitu syaratbatal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan

timbal balik, manakalasalah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

B. Ketentuan Hukum Akad Pembiayaan di Bank Syariah

Lafal akad berasal dari lafal Arab Al-‘aqadyang berarti perikatan, perjanjian

dan permufakatan al-ittifaq. Secara terminology fiqih, akad didefinisikan dengan :

pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan

ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.74

Selain akad, di dalam Al-Quran dikenal juga kata ‘ahd atau al-‘ahdu yang

secara etimologi berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.75 Hal

ini dapat dilihat dalam surat An-Nahl ayat 91, yang artinya : “Dan tepatilah janji

dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah

diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah

itu), sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” Serta dalam surat Al-

Isra ayat 34, yang artinya : “… dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta

pertanggungjawabannya.”76

74 H.M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) alam Fiqih Islam dan Praktek di BankSistem Syari’ah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana USU, Medan, 2005, hal. 1

75 H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hal. 1776Ibid.

Universitas Sumatera Utara

41

Bank syariah terdiri atas dua kata, yaitu bank dan syariah. Kata bank

bermakna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari

dua pihak yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Kata syariah

dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian yang dilakukan oleh

pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan

usaha dan kegiatan lainya sesuai dengan hukum Islam.77

Bank syariah atau bank Islam, seperti halnya bank konvensional,juga

berfungsi sebagai suatu lembaga yaitu menampung dan mengarahkan dana dari

masyarakat serta menyalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkannya

dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Bedanya hanyalah usahanya tidak berdasarkan

bunga (interest free), tetapi berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip pembagian

keuntungan dan kerugian, seperti juga bank konvensional, selain memberikan jasa-

jasa pembiayaanbank, bank syariah juga memberikan jasa-jasa lain, seperti jasa

kiriman uang, pembukaan letter of credit, jaminan dan jasa-jasa lainya.78

Bank Islam atau yang di Indonesia terkenal dengan bank Syariah, adalah

sebuah bank yang didirikan untuk menghindari persoalan bunga uang yang terus

menjadi perdebatan berkepanjangan, yang dikhawatirkan mengandung unsur riba.

Oleh karena itu setiap aktivitas bank Syariah harus menghindari kekhawatiran adanya

unsur-unsur riba. Usaha menghindari kekhawatiran ini dilakukan antara lain

77Zainudin Ali,Hukum Perbankan Syariah, cetakan ke 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.178 Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Islam, cetakan ke II, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,

2005, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

42

dengancara mengganti pranata bunga dengan pranata hukum hasil pemikiran para

ilmuwan hukum Islam klasik.

Salah satu kegiatan operasional perbankan syariah adalah memberikan

pembiayaan-pembiayaan yang dapat membantu masyarakat dalam menjalankan

kegiatan usahanya. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

PerbankanSyariah memberikan pengertian mengenai pembiayaan yang diberikan oleh

bank syariah yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu

berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi

sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya

bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’,

transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa-

menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan

atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau unit usaha syariah dan pihak lain yang

mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan

dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan,

atau bagi hasil.79

Kegiatan Usaha Bank Syariah secara garis besar dapat digolongkan menjadi3

(tiga) macam yaitu penghimpunan, penyaluran dan jasa perbankan.Penghimpunan

terdiri dari Prinsip Mudharabah (Tabungan, Deposito/Investasi,Obligasi), Prinsip

Wadi’ah Yad Dhamanah (Giro, Tabungan), Prinsip Ijarah(Obligasi). Kegiatan

79 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008tentang Perbankan Syariah,Pasal 1angka 25

Universitas Sumatera Utara

43

Penyaluran terdiri dari Pola Bagi Hasil (Mudharabah,Musharakah), Pola Jual Beli

(Murabahah, Salam, Istishna), Pola Sewa (Ijarah,Ijarah wa Iqtina). Sedangkan Jasa

Perbankan terdiri dari Jasa Keuangan (Wakalah,Kafalah, Ujr, Qardh, Sharf, Rahn),

JasaNon-

Keuangan(Wadi’ahyadamanah),JasaKeagenan(Mudharabah,Muqayyadah).80

1. Syarat Sah Akad Pembiayaan di Bank Syariah

Akad yang banyak dipraktekkan di bank syariah adalah murabahah, yaitu jual

beli dengan harga jual terdiri dari harga beli dan keuntungan yang sudah

disepakati.Hal ini dikarenakan terdapat kesalahan persepsi pada murabahah.

Murabahah sering dipersamakan dengan perjanjian kredit biasa, hanya pada namanya

diganti akad murabahah atau jual beli. Padahal selain harga jual yang lebih mahal,

dari pada harga pada permohonan kredit di bank konvensional, dan juga pada

prosedur pelaksanaannya terlihat tidak ada beda antara murabahah dengan perjanjian

kredit perbankan konvensional.

Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian. Ditinjau dari Hukum

Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu perbuatan yang

sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan masing-masing.

Dengan kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan kabul secara yang dibenarkan

syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak. Sementara itu, pengertian

akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul

80 Ascarya, dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Seri Ke bank sentralanNomor 14, Bank Indonesia Pusat Pendidikan dan Studi Ke bank sentralan, Jakarta, 2005, hal.14

Universitas Sumatera Utara

44

dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan akibat-akibat hukum. Ijab

adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, dan kabul

adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Masing-masing pihak haruslah

saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad.81

Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang hidup dalam Al-Quran Surat al-Maidah

(5): 1, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu kepada Allah

dan dengan sesamamu.”

Dalam Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan syarat

akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur essensial yang membentuk akad, yang

harus selalu dipenuhi dalam suatu transaksi, terdiri dari:82

a. Subjek Akad, yaitu pihak yang berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling

sedikit dua orang yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk

melakukan perbuatan hukum sendiri.

b. Objek yang diakadkan, yaitu objek akad bermacam-macam, sesuai dengan

bentuknya. Dalam akad jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan

dan harganya. Sesuatu akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan syarat

sebagai berikut: (1) Telah ada pada waktu akad diadakan. Objek akad harus telah

wujud pada waktu akad diadakan. Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi

objek akad menurut pendapat kebanyakan fukaha sebab hukum dan akibat akad

tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum berwujud; (2) Dapat

81Ibid.82Ibid.

Universitas Sumatera Utara

45

menerima hukum akad. Dalam akad jual beli misalnya, barang yang

diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang

mengadakan akad jual beli; (3) Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus

dapat ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan akad.

Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa kemudian hari

sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek akad. Adanya syarat ini

diperlukan agar pihak-pihak bersangkutan dalam melakukan akad benar-benar

atas dasar kerelaan bersama. Oleh karenanya, adanya syarat ini disepakati

fuqaha; (4) Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Objek akad harus dapat

diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus dapat

diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah pada saat yang telah ditentukan

dalam akad, objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada

dibawah kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.

Dari empat syarat objek akad tersebut di atas, secara garis besar dapat disebutkan

bahwa sesuatu dapat menjadi objek akad apabila dapat menerima hukum akad

dan tidak mengandung unsur-unsur yang mungkin menimbulkan sengketa

kemudian hari antara pihak-pihak yang bersangkutan. Syarat yang disebut

terakhir mengharuskan objek akad itu telah wujud, jelas dan dapat diserahkan.

c. Akad/Sighat terdiri dari: (1) Serah (ijab) atau penawaran; (2) Terima (qabul) atau

penerimaan Ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang

berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja

yang memulainya. Kabul ialah jawaban pihak yang lain sesudah adanya ijab,

Universitas Sumatera Utara

46

buat menyatakan persetujuannya. Yang dimaksud dengan sighat akad adalah

dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun-rukun akad itu

dinyatakan. Sighat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan, isyarat

maupun perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul.

Sementara itu, syarat adalah unsur yang membentuk keabsahan rukun akad.

Jadi sahnya suatu akad sangat bergantung kepada terpenuhi atau tidaknya rukun dan

syarat akad, syarat sahnya perjanjian adalah:83

a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya. Maksudnya bahwa

perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang

bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syariah, sebab

perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah, dan dengan

sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau

melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi

perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah),

maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.

b. Terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho dan ada pilihan, dalam hal ini tidak

boleh ada unsur paksaan dalam membuat perjanjian tersebut. Maksudnya

perjanjian yang diadakan dan para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan

kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha atau rela akan isi perjanjian

tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-

masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu

83Ibid.

Universitas Sumatera Utara

47

kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak

mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas

pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

c. Isi perjanjian harus jelas dan gamblang. Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh

para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak

mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang

telah mereka perjanjikan dikemudian hari. Dengan demikian pada saat

pelaksanaan atau penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan

perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai

interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap

isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. Hampir sama dengan

perjanjian menurut KUHPerdata, menurut hukum Islam perjanjian juga

berdasarkan kata sepakat, dengan syarat objek perjanjian haruslah berwujud pada

saat akad dilaksanakan.

2. Bentuk-Bentuk Perjanjian di Bank Syariah

Bentuk-bentuk perjanjian di bank syariah dapat dilihat dari jenis usaha bank

syariah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah membedakan kegiatan usaha bank syariah menjadi 4

(empat) bagian yaituMudharabah (pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil),

Musyarakah (pembiayaan berdasarkan prinsip usaha patungan), Murabahah (jualbeli

barang dengan memperoleh keuntungan) dan Ijarah (pembiayaan barang modal

berdasarkan prinsip sewa). Namun Bank Indonesia dalam booklet-nya

Universitas Sumatera Utara

48

menggambarkan lebih rinci lagi mengenai kegiatan bank umum yang berdasarkan

prinsip syariah. Adapunkegiatannya adalah sebagai berikut:84

1. Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanandan

investasi antara lain:

a. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;

b. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah;

c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.

2. Menyalurkan dana melalui:

a. Prinsip jual beli berdasarkan akad meliputi:

1) Murabahah (jual-beli antara bank dan nasabah dimana bank secaraprinsip

membeli barang yang diperlukan oleh nasabah, kemudianmenjualnya

kepada nasabah sebesar harga beli ditambah denganmarjin keuntungan

yang disepakati antara bank dan nasabah).

2) Istishna (jual beli barang pesanan antara bank sebagai Penjual

dengannasabah sebagai Pembeli. Spesifikasi dan harga barang

Istishna’disepakati pada Akad transaksi Istishna’ sedangkan cara

pembayarannasabah kepada bank dilakukan secara bertahap sesuai

kesepakatan).

3) Salam (jual beli barang pesanan antara bank dan nasabah

denganpembayaran dimuka dan pengiriman barang oleh penjual

84 Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia, Vol. 4, ISSN 1858-4233, Bank IndonesiaDirektorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Jakarta,2007, hal.7-9.

Universitas Sumatera Utara

49

dibelakang, spesifikasi barang Salam disepakati dan dituangkan dalam

Akad).

b. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:

1) Mudharabah (kerjasama usaha antara bank sebagai pemilik dana

dannasabah sebagai pengelola dana untuk melakukan kegiatan

usahatertentu, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan).

2) Musyarakah (kerjasama patungan yang terjadi antara bank dannasabah

masing-masing sebagai pemilik modal Musyarakah untukmelakukan

usaha tertentu secara bersama dalam suatu kemitraan,dengan Nisbah Bagi

Hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkanKerugian Usaha ditanggung

secara proporsional sesuai dengankontribusi modal Musyarakah).

c. Prinsip sewa menyewa berdasarkan akadantara lain:

1) Ijarah (sewa menyewa antara bank dan nasabah yang mendasari

Pembiayaan Ijarah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku).

2) Ijarah muntahiya bittamlik (sewa-menyewa antara bank dengan nasabah.

Pada akhir masa sewa, bank yang secara prinsip sebagai pemilik aset akan

mengalihkan kepemilikan aset kepada nasabah, baik secara penjualan atau

hibah).

d. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh (pinjaman dari bank

kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana

Universitas Sumatera Utara

50

yang diterimanya kepada bank pada waktu yang telah disepakatiantara bank

dan nasabah sesuai dengan peraturan perundang-undanganyang berlaku).

e. Melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antaralain:

1) Wakalah, akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima

kuasauntuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.

2) Hawalah, akad pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada

pihaklain yang wajib menanggungnya.

3) Kafalah, akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak

lainketika pemberian jaminan bertanggung jawab atas

pembayarankembali suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan.

4) Rahn, akad penyerahan barang/harta dari nasabah kepada bank

sebagaijaminan sebagian atau seluruh hutang.

3. Membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat-suratberharga

pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata(underlying transaction)

berdasarkan prinsip syariah.

4. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh

Pemerintah dan/atau Bank Indonesia.

5. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah.

6. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabahberdasarkan

prinsip syariah.

Universitas Sumatera Utara

51

7. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan

danmelakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan

prinsipsyariah.

8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat

berhargaberdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah.

9. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untukkepentingan

pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.

10. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip syariah.

11. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah.

12. Melakukan kegiatan usaha kartu debet,charge card berdasarkan prinsipsyariah.

13. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah.

14. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujuioleh

Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional.

15. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf.

16. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang

keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa gedung usaha,modal ventura,

perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaiandan penyimpanan.

17. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsipsyariah

untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harusmenarik

kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkanoleh Bank

Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

52

18. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan

prinsip syariah sesuai ketentuan dalam perundang-undangandana pensiun yang

berlaku.

19. Bank Syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak

sebagaipenerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq,

shadaqah,waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank

ataulembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.

3. Hapusnya Perjanjian

Menurut ketentuan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hapusnya perjanjian

dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak, dan akad penghapusan dipandang sah

jika dilakukan seperti pelaksanaan perjanjian, yaitu di sepakati oleh para pihak serta

dilakukan dalam suatu majelis.Syarat penghapusan akad adalah bahwa benda yang

dijual harus sudah menjadi milik pembeli, penghapusan akad hanya berlaku pada

barang yang tidak rusak, serta penurunan harga tidak mempengaruhi keabsahan

penghapusan.85

Mengenai berakhirnya suatu akad, para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu

akad dapat berakhir apabila:86

a. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu;

85 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Naskah Akademik), Mahkamah Agung RepublikIndonesia, Jakarta, 2007, hal. 33-34.

86 H.M. Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) alam Fiqih Islam dan Praktek di BankSistem Syariah, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pasca Sarjana USU, Medan, 2005, hal. 19-20.

Universitas Sumatera Utara

53

b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak

mengikat;

c. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad bisa dianggap berakhir jika; (a)

jual beli itu fasad, seperti terdapatnya unsur-unsur tipuan salah satu rukunnya

atau syarat-syaratnya tidak terpenuhi; (b) berlakunya syarat, khiyar aib, atau

khiyar rukyah; (c) akad tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak; (d)

tercapainya tujuan akad itu secara sempurna.

d. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Dalam hubungan ini, para ulama

fiqh menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya

seseorang atau salah satu pihak yang melangsungkan akad, diantaranya akad

sewa-menyewa, ar-rahn, al-kafalah, asy-syirkah, al-wakalah, dan al-muzara’ah.

Akad juga akan berakhir tergantung pada persetujuan lain, apabila tidak

mendapat persetujuan dari pemilik modal.

Suatu akad berakhir apabila tercapai tujuannya.Dalam akad jual beli misalnya,

akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli

dan harganya telah menjadi milik penjual.Dalam akta gadai dan pertanggungan

(kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila utang telah dibayar.Kecuali telah

tercapainya tujuan, akad dipandang berakhir juga apabila terjadi fasakhatau telah

berakhir waktunya.Fasakh terjadi dengan sebab-sebab:87

87Ibid., hal. 20-21

Universitas Sumatera Utara

54

a. Difasakh karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang

disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual beli barang yang tidak memenuhi

syarat kejelasan.

b. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.

c. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa

menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut

iqalah.

d. Karena adanya kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak terpenuhi

oleh pihak-pihak bersangkutan. Misalnya dalam khiyar pembayaran (khiyar

naqd) penjual menyatakan bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan

tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila

pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan

tetapi apabila ia tidak membayar akad menjadi rusak (batal).

e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka waktu dan

tidak dapat diperpanjang.

4. Wanprestasi

Wanprestasi dalam akad bank syariah Islam apabila salah satu pihak dalam

akad karena salahnya (Pasal 34 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah):88

a. Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat;

88Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Naskah Akademik), Op.cit., hal. 22

Universitas Sumatera Utara

55

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan;

e. Dapat dianggap melakukan ingkar janji.

Salah satu pihak dalam akad dianggap melakukan wanprestasi/ ingkar janji,

apabila ia dengan surat perintah atau dengan suatu akta sejenis itu telah dinyatakan

ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad

harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan.89

Sesuai dengan Surat Al Maidah ayat 1, bahwa setiap orang yang beriman

harus menepati janjinya, maka para pihak dalam Akad ini sebagai orang yang

beriman tidak boleh melanggar janjinya. Dalam prakteknya, untuk mencegah agar

nasabah tidak melanggar dan akan memenuhi janjinya pada Bank sesuai dengan akad

ini, bank menetapkan semacam hukuman kepada nasabah yang tidak mampu untuk

membayar. Sesungguhnya pihak Bank tidak dapat serta merta dapat memberlakukan

penghukuman kepada nasabah dengan menyita jaminan yang telah ditetapkan

sebelumnya dengan sepihak tanpa pemberitahuan kepada nasabah. Bank seharusnya

mengadakan klarifikasi terhadap nasabah terlebih dahulu penyebab yang

mengakibatkan terjadinya penunggakan atau kemacetan tersebut secara obyektif, dan

baru setelah diketahui penyebabnya Bank dan Nasabah bersama-sama menyepakati

cara penyelesaiannya. Menurut peneliti, masalah penghukuman oleh bank

kepadanasabah bila terjadi cedera janji harus dilihat kasus per kasus, setiap

kasustidak dapat diberlakukan sama.

89Ibid.

Universitas Sumatera Utara

56

Pemberlakukan hukuman secara serta merta tanpa mengklarifikasi hal tersebut

kepada nasabah terlebih dahulu sangat bertolak belakang dengan prinsip keadilan dan

kesederajatan dalam banksyariah. Penghukuman baru dapat dilakukan apabila

diketahui dengan pastibahwa nasabah tidak jujur atau beritikad buruk.

Dalam akad-akad pembiayaan pada bank syariah terdapat klausul mengenai

cara penyelesaian perselisihan. Pencantuman klausul ini dimaksudkan sebagai pilihan

hukum terhadap lembaga penyelesaian jika terjadi perselisihan antara bank syariah

dengan nasabahnya. Isi klausul tersebut pada intinya mengatur apabila terjadi

perbedaan pendapat dalam memahami atau menfasirkan bagian-bagian dan isi, atau

terjadi perselisihan dalam melaksanakan akad ini, maka nasabah dan bank akan

berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat, serta apabila

usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah

untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak,

maka dengan ini nasabah dan bank sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta

memberikan kuasa kepada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk

memberikan putusannya, menurut tata cara dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan

oleh dan berlaku di badan tersebut.

Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) bersifat final dan

mengikat. Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya tentang murabahah,

musyarakah, dan mudharabah juga mengatur mengenai penyelesaian perselisihan

dalam perbankan syariah yang dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah

tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Demikian juga Bank Indonesia

Universitas Sumatera Utara

57

dalam Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Akad

Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Dengan Prinsip Syariah, mengatur jika terjadi perselisihan antara bank dan nasabah

maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah, dan jika musyawarah tidak

mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui

alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah. Kewenangan Bank

Indonesia untuk mengatur penyelesaian atau sengketa tersebut diamanatkan dalam

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Sehubungan dengan penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi

antara bank syariah dengan nasabahnya tersebut, pada bulan Februari 2006 telah

diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 diatur bahwa: ”Pengadilan agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan; waris; wasiat; hibah;

wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syariah”.

Dalam penjelasan Pasal 49 ini dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa tidak

hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi

syariah lainnya. Yang dimaksud dengan ”antara orang-orang yang beragama

Universitas Sumatera Utara

58

Islam”adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya

menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang

menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Selanjutnya penjelasan Pasal 49 huruf i mengatakan bahwa yang

dimaksuddengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang

dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi bank syariah; asuransi syariah;

reasuransi syariah; reksadana syari’ah; obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka

menengah syari’ah; sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah; pegadaian syari’ah; dana

pensiun lembaga keuangan syari’ah; bisnis syari’ah; dan lembaga keuangan mikro

syari’ah.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut, kembali

penulis melihat klausul-klausul penyelesaian perselisihan” yang dicantumkan dalam

akad pembiayaan pada bank syariah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa

pencantuman klasul ”penyelesaian perselisihan” dalam akad pembiayaan lebih

terkesan sebagai pilihan hukum para pihak untuk menentukan bahwa Badan Arbitrase

Syari’ah Nasional adalah lembaga terakhir yang dipilih untuk menyelesaikan

perselisihan, terlebih lagi dicantumkan pula dalam akad bahwa putusan Badan

Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) bersifat final dan mengikat. Demikian

pula jika diperhatikan beberapa fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSNMUI/

IV/2000 tentang Murabahah, Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Mudharabah

(Qiradh), Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Musyarakah. Dalam fatwa ini

penyelesaian perselisihan ditetapkan dengan jelas melalui Badai Arbitrase Syariah.

Universitas Sumatera Utara

59

Dalam penyelesaian perselisihan ini ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia

Nomor 9/19/PBI/2007 juga penyelesaian ditentukan melalui alternatif penyelesaian

sengketa atau badan arbitrase syariah. Kesepakatan para pihak memilih lembaga

arbitrase dalam penyelesaikan perselisihan merupakan kebebasan para pihak dalam

menentukannya, akan tetapi dasar (fatwa Dewan Syariah Nasional) atau ketentuan

peraturan perundang-undangan(Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007)

yang mengatur penyelesaian perselisihan dalam kegiatan perbankan syariah ini

hendaknya tidak mengatur sedemikian rupa sehingga menutup kemungkinan

penyelesaiannya di lembaga peradilan agama. Dengan adanya kewenangan mengadili

perselisihan atau sengketa dalam ekonomi syariah pada peradilan agama, hendaknya

badan arbitrase syariah bukan dijadikan suatu keharusan, melainkan sebagai alternatif

bagi para pihak dalammenyelesaikan perselisihan yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara