36
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Hak-Hak Atas Tanah Dalam UUPA
Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan
serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya
untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib
atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang
menjadi kriteria atau tolok pembeda diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang
diatur dalam hukum tanah.70
Dengan adanya hak menguasai dari negara sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu bahwa: “Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan
seluruh masyarakat.”
Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang untuk menentukan hak-
hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan
dan badan hukum yang memenuhi persyaratan yang ditentukan. Kewenangan
tersebut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yang menyatakan bahwa:
“Atas dasar hak mengusai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,
70 Boedi Harsono (b), Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal.283
UNIVERSITAS MEDAN AREA
37
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.”
Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa:
“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.”
Adapun hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA yang
dapat diberikan kepada rakyat oleh negara ialah :
a. Hak milik.
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dijumpai oleh orang atas tanah dengan mengingat pasal 6 UUPA. Terkuat dan
terpenuh yang dimaksud disini adalah hak milik itu bukan berarti merupakan
hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak bisa diganggu gugat, di samping itu
juga kata "terkuat" dan "terpenuh" itu dimaksudkan untuk membedakannya
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain sebagainya.
Walaupun sifatnya yang paling kuat dimiliki oleh seseorang, tetap terikat pada
ketentuan pasal 6 UUPA, yaitu tanah harus berfungsi sosial, artinya bila
kepentingan umum menghendaki, maka kepentingan pribadi harus dikorbankan
(tentu dengan jalan ganti kerugian yang layak).
b. Hak Guna Usaha.
Untuk hak ini merupakan hak yang baru diciptakan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria, jadi tidak seperti hak milik yang telah dikenal sudah
sejak jaman dahulu kala sebab hak guna usaha dan hak guna bangunan semula
UNIVERSITAS MEDAN AREA
38
tidak dikenal oleh masyarakat kita sebab tidak ada persamaannya dalam hukum
adat dan kedua hak di atas itu untuk memenuhi keperluan masyarakat moderen
dewasa ini.
Yang dimaksud dengan hak guna usaha tercantum dalam pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi : " Hak Guna Usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu
sebagaimana tersebut dalam pasal 29, dan dipergunakan oleh perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan.
c. Hak Guna Bangunan.
Yang dimaksud dengan hak guna bangunan tercantum dalam pasal 35
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi :
(1) Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
(2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun.
d. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberikan wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa
dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 41 Undang-Undang Pokok
Agraria).
UNIVERSITAS MEDAN AREA
39
Dengan demikian hak ini merupakan hak atas tanah, baik tanah maupun
bangunan yang dapat diberikan pemerintah dan juga oleh pemilik tanah, hak
pakai ini tidak seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang
dapat digunakan atau dijadikan jaminan untuk hipotik dan credietverband tetapi
hak pakai ini dapat dijadikan jaminan untuk utang karena mempunyai nilai
ekonomi juga dapat dipindah tangankan.
e. Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan termasuk kepada hak yang bersifat sementara juga
disebut hak lainnya. Yang dimaksud dengan hak lainnya itu adalah hak-hak
yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang lain. Maka yang dimaksud dengan hak
pengelolaan ialah hak khusus untuk perusahaan-perusahaan milik pemerintah
guna menyelenggarakan usaha industrial estate, pembangunan perumahan dan
perusahaan pada umumnya.
Untuk pemberiannya tidak disertai dengan penentuan jangka waktu yang
artinya tanah yang bersangkutan boleh dikuasai dan digunakan terus menerus
selama masih diperlukan.
2.2. Pengertian Kepentingan Umum
Kepentingan Umum merupakan konsep hukum yang hanya dapat
ditetapkan kriteria-kriterianya, dan tidak dapat dirumuskan pengertiannya.
Kepentingan Umum adalah suatu konsep hukum yang kabur (vage) dan hanya
untuk alasan praktis konsep kepentingan umum ditetapkan secara enumeratif, dan
ini dianut oleh hukum positif di Indonesia. Bruggink dan Grijssel menyatakan
UNIVERSITAS MEDAN AREA
40
bahwa kepentingan umum merupakan pengertian yang kabur sehingga tidak dapat
didefinisikan. Syafruddin Kalo mengemukakan bahwa masalah kepentingan
umum secara konsepsional sangat sulit didefinisikan lebih-lebih kalau dilihat
secara operasional.71
Sebelum Keppres Nomor 55 Tahun 1993 ditetapkan, belum ada definisi
yang jelas tentang kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat
diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan,
kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian
rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasnya.72
Menurut John Selindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan
bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas
pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan
nusantara. 73
Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit” sedangkan
dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access, atau apabila public
access tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire public could use the
product of the facility”.74
Konsep Kepentingan Umum yang dianut oleh Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 163/SIP/1974 tanggal 5 November 1975 menentukan
71 Gunanegara, Op.cit., hal.73-74. 72 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004, hal.6 73 John Salindheo, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Grafika, 1988, hal.40 74 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,
Jakarta: Kompas, 2008, hal.200
UNIVERSITAS MEDAN AREA
41
bahwa untuk disebut sebagai kepentingan umum adalah jenis-jenis kepentingan
umum yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Hakim di
Indonesia berpendirian untuk tidak memutuskan dalam penentuan perbuatan
Negara untuk kepentingan umum, hakim hanya mengikuti atau menerapkan jenis
kepentingan umum yang sudah diatur oleh hukum positif.75
Kepentingan umum akan dilakukan Pemerintah untuk masyarakat dan
tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Untuk kepentingan umum, apabila
barang-barang yang diperuntukkan untuk umum dan dimiliki Pemerintah masuk
dalam domein publik. Kriteria kepemilikan oleh Negara yang dikemukakan oleh
Philipus M. Hadjon sejalan dengan pendapat Harold J. Lusk yang menyatakan
bahwa untuk kepentingan umum apabila dimiliki oleh Negara.76
Temuan Gunanegara dalam penelitiannya mengemukakan bahwa tidak
mungkin merumuskan makna kepentingan umum. Peraturan perundang-undangan
di Indonesia tidak ada yang memberikan batasan pengertian kepentingan umum,
cara yang dipakai adalah dengan menetapkan kriterianya, yang selanjutnya jenis
kepentingan umum ditetapkan dalam bentuk daftar (enumeratif).77
Menurut John Salindeho mengatakan bahwa sebelum Keppres Nomor 55
tahun 1993 ditetapkan belum ada definisi kepentingan umum yang baku. Secara
sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk
keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan sosial yang luas.
Namun rumus terlalu umum tidak ada batasnya. Selanjutnya John Salindeho
membuat rumusannya sendiri mengenai kepentingan umum termasuk kepentingan
75 Gunanegara, Op.cit., hal.74. 76 Ibid. 77 Ibid., hal.253.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
42
bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, dan hamkamnas atas dasar asas-asas pembangunan
nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.78
Rumusan John Salindeho belum juga mampu memberikan suatu batasan
yang jelas. Rumusan tersebut pada prinsipnya sama dengan pengertian yang
diberikan UUPA, Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 dan Inpres Nomor 9
tahun 1973. Namun menurut Maria SW Sumardjono berkenaan dengan definisi
kepentingan umum yang dirumuskan dalam UUPA, Undang-Undang Nomor 20
tahun 1961 dan Inpres Nomor 9 tahun 1973 belum menegaskan esensi kriteria
kepentingan umum secara konseptual. Kepentingan umum dinyatakan dalam arti
“peruntukannya” yaitu kepentingan bangsa dan Negara, kepentingan bersama dari
rakyat dan kepentingan pembangunan. Sedangkan dalam Inpres Nomor 9 tahun
1973 kepentingan umum diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut 4 macam
kepentingan yaitu:
a. Kepentingan bangsa dan Negara
b. Masyarakat luas
c. Kepentingan bersama
d. Kepentingan pembangunan.79
Yang menjadi permasalahan adalah kepentingan umum, bila suatu
kegiatan sudah terwujud dan ternyata kemanfaatannya tidak dapat dirasakan oleh
masyarakat. Oleh karena itu Maria SW Sumardjono mengusulkan agar konsep
78 Hari Sudiyono, “Kepentingan Umum (Bonum Commune)”, http://harisudiyono1.
blogspot.com/2013/01/kepentingan-umum-bonum-commune.html, terakhir diakses tanggal 15 Pebruari 2014.
79 Ibid.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
43
kepentingan umum selain harus memenuhi “peruntukannya” juga harus dapat
dirasakan kemanfaatannya (for public use). Agar unsur kemanfaatan ini dapat
terpenuhi artinya dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau
secara langsung untuk penentuan suatu kegiatan seyogyanya melalui penelitian
yang terpadu.80
Dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, kepentingan umum
dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, yang selanjutnya dimiliki
atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan kegiatannya
meliputi 7 (tujuh) kegiatan dan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
ditambahkan “akan” dimiliki dan tidak diberi batasan “tidak digunakan untuk
mencari keuntungan”.81
Melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan
Presiden 65 Tahun 2006, makna kepentingan umum telah bergeser. Kepentingan
umum sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat tidak dibatasi
dengan tiga kriteria seperti dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993
sehingga membuka penafsiran yang longgar, contoh pergeseran makna itu adalah
dimasukkannya “jalan tol” dalam salah satu kegiatan yang bersifat kepentingan
umum. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tidak memuat hal itu. Mudah
dipahami bahwa batasan tiga kriteria kepentingan umum dihapuskan dalam
Peraturan Presiden karena hal itu tidak dapat diaplikasikan untuk proyek jalan
tol.82
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dalam mengemas kepentingan
80 Ibid. 81 Maria S. W. Sumardjono (a), Op.cit., hal.286 82 Maria S. W. Sumardjono (e), Op.cit., hal.108-109
UNIVERSITAS MEDAN AREA
44
umum memperluas maknanya sebagai kepentingan umum sebagian besar lapisan
masyarakat berbeda dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dalam
pengertian umum adalah kepentingan seluruhnya masyarakat, sehingga Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 akan lebih memadai dan sesuai dengan
pengertian yang terkandung dalam Pasal 18 UUPA yakni Kepentingan Umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
yang berarti kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Sedang pengertian
Kepentingan Umum dalam Peraturan Presiden hanya kepentingan sebagian besar
bukan seluruh kepentingan masyarakat.83
Dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 telah memberikan klarifikasi dan
definisi yang tegas mengenai kepentingan umum yaitu:
a. Kepentingan seluruh masyarakat
b. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dimiliki oleh pemerintah
c. Tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan
Dengan demikian interpretasi tentang kegiatan termasuk dalam kategori
kepentingan umum dibatasi pada terpenuhinya ketiga unsur tersebut secara
komulatif.
Selanjutnya dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 jo. Perpres Nomor 65
tahun 2006 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Menurut Mudakir Iskandar Syah
bahwa bila dibandingkan dengan definisi kepentingan umum di atas maka
rumusan kepentingan umum yang terdapat dalam Perpres Nomor 36 tahun 2005
83 Muhadar, Op.cit., hal.141
UNIVERSITAS MEDAN AREA
45
jo. Perpres Nomor 65 tahun 2006 adalah lebih tepat dengan menggunakan
rumusan “sebagian besar lapisan masyarakat” oleh karena salah satu sarana umum
itu belum tentu dapat dinikmati semua masyarakat kata “sebagian besar”
mempunyai arti tiak semua masyarakat namun dapat dianggap untuk semua
masyarakat walaupun dari sebagian besar itu ada sebagian kecil masyarakat yang
tidak bisa menikmati hasil atau manfaat dari fasilitas pembangunan kepentingan
umum itu sendiri.84
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang
dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, Negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengertian kepentingan umum tersebut relatif
lebih tegas dan berkepastian hukum sebagaimana ditegaskan lebih lanjut pada
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Pasal 1 angka 6 yaitu Kepentingan
Umum adalah kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Undang-Undang tersebut juga mengubah pengertian dan ruang lingkup
kepentingan umum, pembangunan kepentingan umum meliputi 18 (delapan belas)
kegiatan (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012). Kriteria kepentingan
umum ditentukan: (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan (2) tanahnya
selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah (Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012).
84 Ibid.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
46
Melihat kepada beberapa kali perubahan pengertian, kriteria, dan kegiatan
pembangunan kepentingan umum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian kepentingan umum menjadi isu sentral dalam pengadaan tanah.
2.3. Pengertian Pengadaan Tanah
Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.85
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden
Nomor 36 tahun 2005, maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah
daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Tanah adalah salah satu harta yang sangat berharga di muka bumi ini, yang
dalam sepanjang sejarah peradaban umat manusia tak henti-hentinya memberikan
problema-problema rumit. Indonesia, yang memiliki daratan (tanah) yang sangat
luas, telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling
urgen diantara persoalan lainya. Maka tak heran, pasca Indonesia merdeka, hal
pertama yang dilakukan oleh pemuka bangsa dikala itu adalah proyek
“landreform” ditandai dengan diundangkannya UU No 5 Tahun 1960 Tentang
85 Pasal 1 Angka 3, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
47
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA.86
Selanjutnya UUPA beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannya menjadi
acuan bagi pengelolaan administrasi pertanahan di Indonesia, termasuk dalam
kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Pembangunan fasilitas-fasilitas umum memerlukan tanah sebagai wadahnya.
pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah apabila persediaan
tanah masih luas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tanah merupakan
sumber daya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak pernah bertambah luasnya.
Tanah yang tersedia saat ini telah banyak dilekati dengan hak (tanah hak),
sementara tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan untuk
kepetingan umum di atas tanah negara, oleh karena itu jalan keluar yang ditempuh
adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil” tanah (oleh
pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum)
inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah.87
UUPA sendiri memberikan landasan hukum bagi pengambilan tanah hak
ini dengan menentukan : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur
dengan Undang-Undang.
Pembangunan yang tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali
86 Achmad Rusyaidi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum : Antara Kepentingan
Umum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Erlangga, 2009, hal.42 87 Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Medan: FH USU, 2004, hal.4
UNIVERSITAS MEDAN AREA
48
berbenturan dengan masalah pengadaan tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik
tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan dengan memerhatikan prinsip-
prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai
dengan sekarang telah berlaku Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961, kemudian
dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal
Dalam Negeri) Nomor 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan diganti dengan
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan
Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses
pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu
dikaji ulang keberadaan dari Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006. Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah
diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
UNIVERSITAS MEDAN AREA
49
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk
pengadaan tanah yaitu :
a. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
(pembebasan hak atas tanah) ;
b. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan
pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan
cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas
musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ditentukan secara
tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas
tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya
Perpres Nomor 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah
dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara
pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006 bukan berarti
menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk
memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat
ditempuh apabila jalur musyawarah gagal.
Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus
ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara
pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres Nomor 65 Tahun 2006 antara
cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah
UNIVERSITAS MEDAN AREA
50
tidak sewenang-wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan
dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi
Manusia (HAM), Perpres Nomor 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika
dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya.
Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 juga
memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal
18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di
atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana
ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan
dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi
sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor
39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi
Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada
di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU Nomor
20 Tahun 1961.
Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU Nomor 20
Tahun 1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-Perpres
yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota,
Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri, sehingga dianggap dapat memberikan
ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang
notabene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.
Dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
UNIVERSITAS MEDAN AREA
51
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Pengadaan Tanah diartikan sebagai kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Pada Perpres Nomor 65 Tahun 2006 diatur mengenai pemberian ganti
kerugian. Dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman
kembali, kepemilikan saham. Atau bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak,
baik berdiri sendiri maupun gabungan dari beberapa bentuk ganti kerugian
tersebut. Dalam musyawarah, pelaksana pengadaan tanah mengutamakan
pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang.
Perpres juga memuat syarat dan ketentuan penitipan ganti kerugian di
pengadilan negeri. Hal ini dilakukan dengan kriteria apabila ada penolakan dari
pihak yang berhak. Lalu, hasil musyawarah telah dilaksanakan dan tidak ada
keberatan. Juga, apabila pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya.
Kemudian obyek pengadaan tanah menjadi obyek perkara di pengadilan. Lalu
masih disengketakan kepemilikannya. Serta diletakkan sita, atau menjadi jaminan
bank.
Selain Pengadaan tanah, perlu juga diketahui pengertian tentang
kepentingan umum, mengingat pengadaan tanah di Indonesia senantiasa ditujukan
untuk kepentingan umum. Memberikan pengertian tentang kepentingan umum
bukanlah hal yang mudah. Selain sangat rentan karena penilaiannya sangat
subjektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur
secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada
ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat
UNIVERSITAS MEDAN AREA
52
terkait. Namun, hal tersebut telah dijawab dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005
yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah
ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu :
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama
pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum sedangkan yang
kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan
komersial dan bukan komersial.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975
Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah,
menyebutkan pengadaan tanah dengan istilah pembebasan tanah yaitu melepaskan
hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas
tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi. Menurut Pasal 1 angka 1 Keppres
Nomor 55 Tahun 1993 yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap
UNIVERSITAS MEDAN AREA
53
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
kepada yang berhak atas tanah tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan
tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas
tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian. Dan
menurut Pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang dimaksud dengan
Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan
pencabutan hak atas tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengadaan tanah menurut
Perpres Nomor 36 Tahun 2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti
kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak
dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres
Nomor 65 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-
benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006 selain dengan
memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan
cara pelepasan hak.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
54
2.4. Landasan Hukum Pengadaan Tanah
2.4.1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
UUPA dalam Pasal 18, menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.”
Pelaksanaan Pasal 18 UUPA ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada
Diatasnya. Karena dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut
sifatnya belum operasional, maka masih dilengkapi dengan Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-
Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tersebut
dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya”.88
Dalam Penjelasan Umum menurut Pasal 18 UUPA maka Kepentingan
Umum termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang
layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Kepentingan Umum ini
88 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Pencabutan Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, Pasal 1.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
55
sama dengan dianut oleh UUPA hanya ditambah satu kriteria baru yakni untuk
kepentingan Pembangunan.
Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973
tersebut di atas dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan:
“Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut:
a. kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau b. kepentingan masyarakat luas dan/atau c. kepentingan rakyat banyak/bersama dan/atau d. kepentingan pembangunan.”89
Pengertian ini tampaknya mengambil pengertian Kepentingan Umum
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.90 Selanjutnya kegiatan
pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum dirumuskan dalam 13
(tigabelas) bentuk kegiatan yaitu: (a) pertahanan; (b) pekerjaan umum; (c)
perlengkapan umum; (d) jasa umum; (e) keagamaan; (f) ilmu pengetahuan dan
seni budaya; (g) kesehatan; (h) olahraga; (i) keselamatan umum terhadap bencana
alam; (j) kesejahteraan sosial; (k) makam/kuburan; (l) pariwisata dan rekreasi; dan
(m) usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum. Selain itu
Presiden mempunyai hak untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan
pembangunan lainnya apabila diperlukan bagi kepentingan umum.91
89 Republik Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973
tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, Pasal 1 ayat (1).
90 Ahmad Safik, Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Jakarta: FHUI, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006, hal.6
91 Republik Indonesia, Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, Lampiran Tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, Pasal 1 ayat (1).
UNIVERSITAS MEDAN AREA
56
Apabila diamati tentang lingkup kepentingan umum, yang disebut
kepentingan umum adalah kepentingan Negara dan atau kepentingan masyarakat
banyak, dan atau kepentingan pembangunan, maka dapat disimpulkan rumusan
kepentingan umum ini dilakukan secara limitatif. Akan tetapi apabila dilihat dari
segi isinya, pengertian kata-kata itu (Negara, bangsa, masyarakat banyak dan
pembangunan) merupakan istilah-istilah yang bersifat abstrak, istilah-istilah
tersebut dapat ditafsirkan secara luas. Oleh karenanya tepatlah apabila dikatakan
bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
secara formal pengertian kepentingan umum dirumuskan secara limitatif, akan
tetapi secara materiil hal tersebut merupakan rumusan yang fakultatif.
Dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973, khususnya dalam Pasal 1
ayat (1), kepentingan umum tersebut dijabarkan secara operasionil menjadi tiga
belas macam kepentingan. Berdasarkan ketentuan ini, tepatlah apabila dikatakan
bahwa penjabaran dalam Instruksi Presiden tersebut merupakan usaha Pemerintah
untuk melimitatifkan rumusan dan lingkup pengertian kepentingan umum. Akan
tetapi dengan adanya ketentuan dalam ayat (2)-nya yang menyatakan bahwa
Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali
yang telah disebutkan dalam ayat (1), ini berarti membuka kemungkinan bagi
Presiden atas prakarsa sendiri menambah rincian operasional. Oleh karenanya
dengan adanya rumusan yang semula sudah bersifat limitative kembali menjadi
rumusan yang bersifat fakultatif.
Sebenarnya ketentuan hukum yang dirumuskan secara limitatif,
mempunyai segi kebaikan sebagai berikut:
UNIVERSITAS MEDAN AREA
57
a. memberi kepastian hukum yang tinggi, khususnya bagi anggota masyarakat
yang terkena langsung ketentuan hukum yang limitative tersebut.
b. memberikan bobot perlindungan hukum yang tinggi pula kepada anggota
masyarakat yang terkena langsung ketentuan yang bersangkutan.
Dalam rumusan pengertian kepentingan umum secara fakultatif seperti di
atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa belum adanya rincian secara operasional
yang pasti tentang lingkup pengertian kepentingan umum, perlindungan hukum
kepada masyarakat, khususnya para pemilik tanah yang dibebaskan haknya,
kurang berbobot.92
2.4.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 (PMDN
Nomor 15 Tahun 1975) tidak dikenal adanya istilah pengadaan tanah melainkan
pembebasan tanah. Menurut pasal 1 ayat (1) PMDN Nomor 15 Tahun 1975 yang
dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula
terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan
ganti rugi. PMDN Nomor 15 Tahun 1975 juga mengatur pelaksanaan atau tata
cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dan pembebasan tanah
untuk kepentingan swasta.
Kepentingan umum dalam Pelaksanaan pembebasan tanah yang diatur
dalam ketentuan Bijblad Nomor 11372 juncto Bijblad Nomor 12476 yang telah
dicabut dengan PMDN Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
92 Imam Koeswahyono Muchsin dan Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah, Cetakan Pertama, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007, hal.346-248
UNIVERSITAS MEDAN AREA
58
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dalam Menimbang dinyatakan bahwa
untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha pembangunan, baik
yang dilakukan oleh instansi maupun untuk kepentingan swasta, khususnya untuk
keperluan Pemerintah dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan
tanah dan sekaligus menentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang diperlukan
secara teratur, tertib dan seragam.93
Berdasarkan peraturan tersebut maka pembebasan tanah dapat dijalankan
untuk kepentingan swasta dan keperluan Pemerintah, asalkan untuk usaha
pembangunan untuk keperluan Pemerintah. Acara Pembebasan yang dilaksanakan
oleh swasta diatur oleh PMDN Nomor 2 Tahun 1976, diatur bahwa pembebasan
tanah oleh pihak swasta untuk kepentingan umum atau termasuk dalam bidang
pembangunan sarana umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara
pembebasan tanah untuk Pemerintah sebagaimana diatur dalam Bab I, II dan IV
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, sehingga dapat
dijalankan oleh swasta dengan tujuan untuk: (1) Pembangunan proyek-proyek
yang menunjang kepentingan umum; (2) Pembangunan sarana umum; (3)
Fasilitas-fasilitas sosial. Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek
Pembangunan Di Wilayah Kecamatan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 2 Tahun 1985, menyatakan bahwa Pengadaan Tanah adalah setiap
93 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Konsiderans “Menimbang”
UNIVERSITAS MEDAN AREA
59
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang berhak atas tanah itu (Pasal 1) dalam rangka Pembangunan Nasional.94
Berkaitan dengan kekuasaan negara sebagai organisasi tertinggi yang
mengatur penguasaan dan peruntukan hak-hak atas tanah, maka dalam hal
pengadaan tanah bagi kepentingan umum selalu menyangkut dua dimensi yang
harus ditempuh secara seimbang, yaitu dengan kepentingan masyarakat.95
Ketentuan perundang-undangan telah menggariskan bahwa pengadaan tanah
dikeluarkan dengan tujuan adalah agar pemilikan tanah bisa dilindungi seperti
melalui pemberian ganti rugi yang sesuai yang artinya bahwa dalam pemberian
ganti rugi jangan mengakibatkan kemunduran ekonomi, status sosial maupun
tingkat hidup masyarakat pemilik tanah.96 Bila dikaitkan dengan teori Bentham,
maka kepentingan umum berdasarkan Peraturan di atas, hanya diberikan pada
kepentingan dan dinikmati oleh investor saja tidak bermanfaat untuk masyarakat,
karena kenaikan nilai tanah sebagai pembangunan. Pemegang hak tanah yang
tergusur untuk proyek pembangunan tidak turut menikmati keuntungan kenaikan
tersebut.
2.4.3. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 1 angka 3
dinyatakan bahwa Kepentingan Umum adalah kepentingan seluruh masyarakat.
Kriteria ini menampakkan sifat yang sepihak dan tidak aspiratif, karena
94 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang
Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan Di Wilayah Kecamatan, Pasal 1 huruf c.
95 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, Cetakan II, Edisi Revisi, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006, hal.61-62
96 Ibid., hal.62-63
UNIVERSITAS MEDAN AREA
60
kepentingan pemilik tanah kurang bahkan tidak mendapat perhatian. Padahal
seharusnya pemilik tanahlah yang paling pokok untuk mendapat perlindungan
sesuai fungsi daripada hukum untuk mengayomi demi tercapainya ketertiban dan
rasa keadilan. Kepentingan umum pada hakikatnya tidak dapat mengabaikan
kepentingan pribadi, bahkan harus mencirikan hal-hal sebagai berikut:
a. Kepentingan pemilik tanah tidak diabaikan; b. Tidak menyebabkan pemilik tanah mengalami kemunduran dalam
kehidupan selanjutnya baik sosial maupun ekonomi. c. Pemilik tanah memperoleh manfaat, baik secara langsung maupun tidak
langsung penggunaan tanahnya yang dilepaskan haknya. d. Ada kelayakan ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik tanah.97
Dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 diatur mengenai
pokok-pokok kebijakan pengadaan tanah, untuk kepentingan umum yang secara
jelas disebutkan pada Pasal 2 sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum;
2. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
3. Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar-menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.98
Dalam Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tersebut suatu
kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum merupakan kegiatan
pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah serta tidak
digunakan untuk mencari keuntungan, kegiatan yang dinyatakan sebagai
kepentingan umum diuraikan dalam bentuk 14 (empat belas) jenis kegiatan, yaitu:
97 Soetandyo Wignyosoebroto (c), Pengertian Kepentingan Umum Dalam Pembebasan Hak Atas Tanah, Jakarta: Gema Clipping Service Hukum, 1991, hal.19.
98 Muhadar, Op.cit., hal.115
UNIVERSITAS MEDAN AREA
61
Kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki
pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-
bidang antara lain:
a. Jalan umum, saluran pembuangan air. b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran
irigasi. c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat. d. Pelabuhan atau Bandara atau Terminal. e. Peribadatan. f. Pendidikan atau sekolahan. g. Pasar Umum atau Pasar INPRES. h. Fasilitas Pemakaman Umum. i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar. j. Pos dan Telekomunikasi. k. Sarana Olah Raga. l. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya. m. Kantor Pemerintah. n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.99
Kegiatan pembangunan untuk kepentingan selain 14 (empatbelas) macam
kegiatan di atas ditentukan dengan Keputusan Presiden.100 Sedangkan bentuk
ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik tanah yang tanahnya digunakan
untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah:
a. Uang. b. Tanah pengganti. c. Pemukiman kembali. d. Gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c. e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.101
99 Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 5 ayat (1) 100 Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 5 ayat (2) 101 Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 13
UNIVERSITAS MEDAN AREA
62
Sedangkan penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat
diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi
masyarakat setempat dalam diatur dalam ketentuan Pasal 14.
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 juga menegaskan bahwa
penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum harus sesuai dan
berdasarkan kepada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang ditetapkan terlebih
dahulu. Bagi daerah yang belum menetapkan RUTR harus didasarkan kepada
perencanaan ruang wilayah atau kota yang sudah ada.102 Oleh karena itu
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak sesuai dengan
RUTR dapat dinyatakan sebagai bukan kepentingan umum.103 Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1993 kemudian digantikan dengan Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 dan diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006.
2.4.4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Jo. Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005
Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2005, yang dimaksud dengan adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam Keppres
Nomor 55 Tahun 1993 yang mengatur tentang kepentingan untuk seluruh lapisan
masyarakat.
102 Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 4 ayat (1) 103 Ahmad Safik, Op.cit., hal.13
UNIVERSITAS MEDAN AREA
63
Hal ini ada perbedaan yang menyolok, berarti yang dimaksud dengan
kepentingan umum bukan lagi untuk seluruh lapisan masyarakat tetapi hanya
sebagian lapisan masyarakat saja. Dan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tidak
memberikan kriteria tegas tentang batasan kepentingan umum seperti Keppres
Nomor 55 Tahun 1993.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Keppres Nomor 36 Tahun 2005 dinyatakan bahwa:
Kepentingan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain : a. Jalan umum, saluran pembuangan air; b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran
irigasi; c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau Bandara atau Terminal; e. Peribadatan; f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas Pemakaman Umum; i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti tanggul penanggulangan bahaya
banjir, lahar; j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana Olah Raga; l. Stasiun Penyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor Pemerintah; pemerintah daerah, perwakilan negara asing,
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan/atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
n. Fasilitas Tenatar Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
o. Lembaga Pemasyarkatan dan Rumah Tahanan; p. Rumah Susun Sederhana; q. Tempat Pembuangan Sampah; r. Cagar Alam dan Cagar Budaya; s. Pertamanan; t. Panti Sosial; u. Pembangkit, Transmisi dan distribusi Listrik.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
64
Menurut Pasal 13 ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 bentuk ganti
kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas tanah yang tanahnya digunakan
untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah :
a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Pemukiman kembali;
Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa “dalam hal pemegang hak atas
tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka dapat diberikan konpensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedang penggantian terhadap tanah yang dikuasai dengan Hak Ulayat
diberikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bemanfaat bagi
masyarakat setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 14.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 pengadaan tanah
untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan
Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. Khusus untuk
Panitia Pengadaan Tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh
Gubernur, sebagaimana diatur dalam ayat (2).
Kemudian untuk pengadaan tanah yang terletak meliputi wilayah dua atau
lebih Kabupaten/Kota dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah
Propinsi yang dibentuk oleh Gubernur, sedangkan pengadaan tanah yang terletak
meliputi wilayah dua atau lebih propinsi dilakukan dengan bantuan Panitia
Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas
unsur pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
65
Dengan demikian menurut Perpres Nomor 65 Tahun 2006, khusus untuk
pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah, sedangkan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum yang
dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dalam hal ini dilakukan
oleh pihak swasta, maka dilaksanakan dengan jual beli, tukar menukar, atau cara
lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Sebelum diterbitkan peraturan pelaksanaan dari Perpres Nomor 65 Tahun
2006, maka tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum masih berlaku
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994
tentang ketentuan pelaksanaan Keppres Nomor 55 Tahun 1993.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yang merupakan perubahan
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, dalam hal pembatasan kepentingan
umum dikatakan bahwa pembangunan itu dilaksanakan Pemerintah/Pemerintah
Daerah yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki Pemerintah/Pemerintah
Daerah, sedang dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tidak memberi
pembatasan sama sekali.
Jadi dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ini memperluas
pembatasan kepentingan umum dengan memuat kata “atau akan” dimiliki oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah, serta menghapus kata “tidak digunakan untuk
mencari keuntungan.”
Dalam Peraturan Presiden ini utamanya dimaksudkan untuk menjadi
landasan hukum kemitraan antara Pemerintah dan swasta, khususnya dalam
UNIVERSITAS MEDAN AREA
66
proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi
pemerintah sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah
maupun pengusahaannya, misalnya melalui Built, Operate and Transfer (BOT).
Pemilikannya baru dapat dinikmati Pemerintah setelah berakhir perjanjian kerja
sama operasi, umumnya setelah 30 (tigapuluh) tahun.104 Dalam Konsep BOT
tersebut terdapat Perjanjian Kuasa Penyelenggara (PKP), yang sekarang disebut
Perjanjian Pengusaha Jalan Tol (PPJT), yaitu pihak kontraktor diberi kuasa untuk
membangun, mengoperasikan dan kemudian menyerahkan kepada pemberi kuasa
yang mana izin tersebut didasarkan dari izin konsesi yang diberikan
Pemerintah.105
Dalam konsep BOT tersebut dijelaskan oleh Munir Fuady adalah kontrak
dimana pihak kontraktor menyerahkan bangunan yang sudah dibangunnya setelah
masa transfer, sementara sebelum proyek tersebut diserahkan ada masa tenggang
waktu bagi pihak kontraktor (misalnya 20 tahun) yang disebut dengan “masa
konsesi” untuk mengoperasikan proyek yang bersangkutan.106 Oleh karena itu
untuk mencegah terjadinya multi interprestasi, maka pengertian kepentingan
umum tetap harus dikaitkan atau tidak dipisahkan dari konsep hak menguasai
negara dan fungsi sosial hak atas tanah, yaitu dimaksudkan semata-mata untuk
104 Ibid., hal.112 105 Iwan E. Joesoef, Perjanjian Pengusaha Jalan Tol (PPJT) Sebagai Kontrak Bisnis
Berdimensi Publik Antara Pemerintah Dengan Investor (Swasta) Dalam Proyek Infrastruktur, Cetakan Pertama, Jakarta: Badan Penerbit FH UI, 2006, hal. 34-35
106 Munir Fuady (b), Kontrak Pemborong Mega Proyek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 51-52.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
67
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tidak diperbolehkan untuk mencari
keuntungan.107
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 lebih memberikan
perlindungan hukum daripada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 karena dalam Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993, kegiatan kepentingan umum harus berlandaskan:
a. kegiatan pembangunan;
b. dimiliki Pemerintah;
c. tidak digunakan untuk mencari keuntungan;
Kegiatan tersebut kemudian dibatasi dengan 14 (empatbelas) jenis
kegiatan dan apabila jenis kegiatan akan ditambah, memerlukan Keputusan
Presiden lagi. Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006 justru landasan hukumnya tidak dibatasi dengan
3 (tiga) kriteria di atas, walaupun selanjutnya diberi pembatasan jenis kegiatan
yakni 21 (duapuluh satu) jenis dan berubah menjadi 7 (tujuh) jenis. Dengan tidak
dibatasi 3 (tiga) kriteria tersebut di atas maka kepentingan umum menjadi
bergeser.
Jenis kepentingan umum di berbagai negara berbeda-beda. Perbedaan itu
karena ada suatu kondisi dan prioritas yang berbeda antara negara yang satu
dengan negara lain, konsekuensinya penetapan jenis atau syarat kepentingan
umum antara negara yang satu dengan negara lain menjadi berbeda. Akan tetapi
107 Muhadar, Op.cit., hal.142
UNIVERSITAS MEDAN AREA
68
secara general kepentingan umum tentunya mempunyai nilai-nilai yang
universal.108
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 juncto
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976, yakni swasta boleh
melakukan pembebasan tanah asalkan untuk kepentingan umum untuk
pembangunan. Namun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975
juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 telah dicabut
dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, sehingga swasta tidak dapat
berperan serta.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 juncto Peraturan
Presiden Nomor 65 Tahun 2006, pembangunan jalan tol yang memerlukan dana
yang besar dapat menggunakan Peraturan Presiden tersebut di atas. Namun
pertimbangan ini mengakibatkan mengaburkan makna kepentingan umum dan
nilai-nilai keadilan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perlindungan
untuk kepentingan umum dalam pengadaan tanah harus dibatasi pengertiannya,
dengan kriteria seperti dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, yaitu
harus berlandaskan kegiatan pembangunan, dimiliki Pemerintah, dan tidak
digunakan untuk mencari keuntungan, yang kemudian dibatasi dengan jenis
kegiatan dan harus dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai peraturan pelaksana dari Perpres Nomor 36 Tahun 2005
sebagaimana diubah oleh Perpres 65 Tahun 2006, maka diterbitkanlah Peraturan
108 Gunanegara (b), Op.cit., hal. 30
UNIVERSITAS MEDAN AREA
69
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-
RI Nomor 3 Tahun 2007 yaitu:109
1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya.
Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah,
maka Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan
Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur :
a. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2007);
b. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan
Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
c. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah
dengan Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor
3 Tahun 2007).
109 Binsar Simbolon, Prinsip Dasar Pengaturan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Materi Sosialisasi Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, 2009. hal. 4.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
70
2. Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi.
Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36
Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI
Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :
a. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2007);
b. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan
kepada masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2007);
c. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain
yang berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak
yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan
Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
d. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang
professional dan independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3
Tahun 2007);
e. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara
Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal
31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan
Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator dalam pelaksanaan
musyawarah tersebut ;
f. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti
rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada
UNIVERSITAS MEDAN AREA
71
Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41
Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
3. Menutup peluang lahirnya spekulasi tanah.
Dalam rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Perpres No 36
Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI
Nomor 3 Tahun 2007, mengatur jika lokasi tanah telah ditetapkan sebagai
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, maka pihak ketiga yang
bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi tersebut wajib memperoleh izin
tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta (Pasal
9 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
2.4.5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Setelah sekian lama pembahasan dan ditunggu-tunggu berbagai pihak UU
tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ini, maka akhirnya DPR RI
menyetujui dan mensyahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum untuk
dilaksanakan oleh Pemerintah serta menyiapkan perangkat-perangkat peraturan
Pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah dan aturan pendukung lainnya.
Bagi pihak Pemda Daerah saat ini, lahirnya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum ini akan membantu pelaksanaan program mereka dalam mendukung
pembangunan yang pro rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-
Undang berbunyi:
UNIVERSITAS MEDAN AREA
72
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan: a. Pertahanan dan keamanan nasional; b. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api; c. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. Pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. Infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. Jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. Rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. Fasilitas keselamatan umum; k. Tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. Cagar alam dan cagar budaya; n. Kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. Penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; p. Prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. Prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Jika dilihat dari poin-poin yang dimaksud dengan untuk kepentingan
umum di atas, maka pihak Pemda memahami benar di lapangan perihal Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum ini agar tidak berbenturan dengan pelaksanaannya.
Disamping pihak Pemda memerlukan pemahaman Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, para Masyarakat, Tokoh masyarakat dan Kepala Desa yang tersebar di
Indonesia ini perlu memahami Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mengingat
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 secara tidak langsung akan sering
UNIVERSITAS MEDAN AREA
73
bersentuhan dengan tugas-tugas mereka sebagai pemimpin masyarakat di desa-
desa.
Saat ini banyak pembangunan kepentingan Umum di daerah tidak bisa
dilaksanakan hanya gara-gara pelepasan tanah untuk pembangunan sesuai dengan
program Pemda, misalkan seperti pelebaran jalan-jalan dan hal-hal lainnya.
Namun demikian, masyarakat langsung dan masyarakat yang mengetahui hukum
perlu mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum agar tidak
terkesan pihak Pemda yang terkait seperti raja dengan adanya payung Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
Bagaimanapun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sangat diperlukan saat ini
dalam pembangunan yang diharapkan, namun jangan sampai pihak-pihak tertentu
sengaja memamfaatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ke masyarakat yang tidak
mengetahui hukum dan rencana Pemda setempat.
Jika dilihat dari pasal demi pasal, maka masih banyak yang harus di
jelaskan dan dipertegas di Peraturan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan
dilapangan, tanpa adanya perpu yang jelas mengatur maka kemungkinan gesekan-
gesekan dalam pelaksanaannya akan sering terjadi antara pihak petugas pemda
dengan masyarakat yang merasa dirugikan dengan pelepasan Tanahnya.
Diharapkan dalam perpu nantinya tidak membuat aturan yang sifatnya abu-abu
UNIVERSITAS MEDAN AREA
74
dalam pasal demi pasal. Namun harus jelas dibuat dalam koridor yang jelas dan
mudah difahami oleh masyarakat yang mungkin tidak memahaminya saat
bersinggungan dengan pelepasan Tanah untuk pembangunan kepentingan Umum.
Mengingat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sangat berhubungan
langsung dengan kepentingan dan situasi masyarakat Indonesia yang saat ini
kurang faham dengan hukum dan peraturan maka Media diharapkan dapat segera
mempublikasikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum secara jelas dan tegas
kepada masyarakat mengingat dampak dari disyahkannya Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum akan langsung terasa begitu pihak terkait melaksanakannya di lapangan.
Secara khusus pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dijelaskan
dalam Pasal 1 butir 2 bahwa Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan
tanah dengan cara memberi Ganti Kerugian yang layak dan adil kepada Pihak
yang Berhak.
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan
amanat dari pelaksanaan amanat Pasal 53 dan Pasal 59 UU Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
75
Hal-hal pokok yang diatur dalam Perpres Nomor 71 Tahun 2012, antara
lain:
a. Keharusan setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, untuk menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah,
yang antara lain memuat tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan
Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang
dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah (harga),
dan untuk selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah
dimana letak tanah berada;
b. Pembentukan Tim Persiapan oleh Gubernur, yang beranggotakan
Bupati/Walikota, SKPD Provinsi terkait, instansi yang memerlukan tanah dan
instansi terkait lainnya, untuk antara lain melaksanakan pemberitahuan
rencana pembangunan, melakukan pendataan awal lokasi rencana
pembangunan, dan melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan;
c. Ketentuan dan tata cara pelaksanaan konsultasi publik oleh Tim Persiapan
dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak
pembangunan secara langsung, untuk mendapatkan kesepakatan lokasi
rencana pembangunan;
d. Keharusan bagi Gubernur untuk membentuk Tim Kajian Keberatan sebelum
mengeluarkan penetapan lokasi pembangunan, dalam hal masih terdapat pihak
yang tidak sepakat atau keberatan atas lokasi rencana pembangunan;
e. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah oleh Kepala BPN,
yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku
UNIVERSITAS MEDAN AREA
76
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas,
kondisi geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan kepada
Kepala Kantor Pertanahan);
f. Ketentuan dan tata cara pelaksanaan pengadaan tanah oleh pelaksana
pengadaan tanah, meliputi antara lain inventarisasi dan identifikasi data fisik
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta data pihak
yang berhak termasuk obyek pengadaan tanah; penyusunan Peta Bidang
Tanah dan daftar nominatif; penetapan besarnya nilai ganti kerugian yang
didasarkan pada hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik; pelaksanaan
musyawarah; dan pemberian ganti kerugian; pelepasan hak obyek pengadaan
tanah; serta penyerahan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang
memerlukan tanah;
g. Pengaturan pemberian ganti kerugian yang dapat diberikan dalam bentuk
uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk
lain yang disetujui kedua belah pihak, baik berdiri sendiri maupun gabungan
dari beberapa bentuk ganti kerugian tersebut (namun demikian dalam
musyawarah, pelaksana pengadaan tanah mengutamakan pemberian ganti
kerugian dalam bentuk uang);
h. Pengaturan ganti kerugian dalam keadaan khusus, yaitu meliputi pengaturan
dimana sejak ditetapkannya lokasi pembangunan untuk kepentingan umum,
Pihak yang berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada
pelaksana pengadaan tanah; dan ketentuan bahwa pelaksana pengadaan tanah
dapat memprioritaskan atau mendahulukan pemberian ganti kerugian kepada
UNIVERSITAS MEDAN AREA
77
pihak yang berhak yang membutuhkan pemberian ganti kerugian dalam
keadaan mendesak, maksimal 25% dari perkiraan ganti kerugian berdasarkan
NJOP tahun sebelumnya;
i. Syarat dan ketentuan penitipan ganti kerugian di pengadilan negeri, yaitu
dalam hal adanya penolakan dari pihak yang berhak, padahal hasil
musyawarah yang telah dilaksanakan, tidak ada keberatan sebelumnya; pihak
yang berhak tidak diketahui keberadaannya; dan obyek pengadaan tanah
menjadi obyek perkara di Pengadilan, masih disengketakan kepemilikannya,
diletakkan sita, atau menjadi jaminan bank;
j. Penegasan bahwa obyek pengadaan tanah yang telah dititipkan di Pengadilan
Negeri dan obyek tanah yang telah diberikan ganti kerugian, maka hubungan
hukum antara pihak yang berhak dengan tanahnya menjadi putus;
k. Pengaturan sumber pendanaan pengadaan tanah yang berasal dari APBN
dan/atau APBD;
l. Ketentuan yang memungkinkan pemberian insentif perpajakan kepada pihak
yang berhak, yang mendukung penyelenggaraan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, dan tidak melakukan gugatan atas
putusan penetapan lokasi dan putusan bentuk dan/atau besarnya ganti
kerugian.
m. Pengaturan kembali bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
luasnya tidak lebih dari 1 hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi yang
memerlukan tanah dengan pihak yang berhak, dengan cara jual beli atau tukar
menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
78
Selain pengaturan pokok di atas, Perpres Nomor 71 Tahun 2012 juga
mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum secara tegas dan konkrit. Dalam Perpres
itu ditegaskan, bahwa tenggang waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan
tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari.
Sebagai peraturan pelaksana dari Perpres Nomor 71 Tahun 2012, maka
terbitlah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 5 Tahun 2012
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah, sesuai amanat ketentuan
Pasal 111 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
Pada prinsipnya Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 mengatur
mengenai:
1. Pelaksanaan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 1
ayat (1)), dan dapat menugaskan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 1 ayat (3)).
2. Tahapan pelaksanaan pengadaan tanah (Pasal 5), adalah:
a. penyiapan pelaksanaan;
b. inventarisasi dan identifikasi;
c. penetapan penilai;
d. musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian;
e. pemberian ganti kerugian;
UNIVERSITAS MEDAN AREA
79
f. pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus;
g. penitipan ganti kerugian;
h. pelepasan objek pengadaan tanah;
i. pemutusan hubungan hukum antara pihak yang berhak dengan objek
pengadaan tanah; dan
j. pendokumentasian peta bidang, daftar nominatif dan data administrasi
pengadaan tanah.
3. Penyiapan pelaksanaan pengadaan Tanah dituangkan dalam rencana kerja
(Pasal 6 ayat (3)) sebagai berikut:
a. membuat agenda rapat pelaksanaan;
b. menyiapkan administrasi yang diperlukan;
c. mengajukan kebutuhan anggaran operasional pelaksanaan pengadaan
tanah;
d. inventarisasi dan identifikasi;
e. kendala-kendala teknis yang terjadi dalam pelaksanaan;
f. merumuskan strategi dan solusi terhadap hambatan dan kendala dalam
pelaksanaan;
g. menyiapkan langkah koordinasi ke dalam maupun ke luar di dalam
pelaksanaan;
h. menetapkan Penilai;
i. penilaian;
j. musyawarah penetapan ganti kerugian;
k. pemberian/penitipan ganti kerugian;
UNIVERSITAS MEDAN AREA
80
l. pelepasan objek Pengadaan Tanah dan pemutusan hubungan hukum;
m. penyerahan bukti perolehan/penguasaan dari Pihak yang Berhak;
n. membuat dokumen hasil pelaksanaan Pengadaan Tanah.
o. penyerahan hasil Pengadaan Tanah
4. Inventarisasi dan identifikasi (Pasal 9 - Pasal 19);
Setelah sosialisasi, tatap muka, atau surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan, selanjutnya Satgas melakukan
inventarisasi dan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 sampai
dengan Pasal 62 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, yaitu:
a. Satgas A yang bertugas menginventarisasi dan mengidentifikasi data fisik
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah,
melaksanakan pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah (Pasal
10), yang meliputi:
1) pengukuran batas keliling lokasi pengadaan tanah;
2) pengukuran bidang per bidang;
3) menghitung, menggambar bidang per bidang dan batas keliling; dan
4) pemetaan bidang per bidang dan batas keliling bidang tanah.
b. Satgas B yang bertugas menginventarisasi dan mengidentifikasi data
pihak yang berhak dan obyek pengadaan tanah melaksanakan
pengumpulan data paling kurang (Pasal 16 ayat (1)):
1) nama, pekerjaan, dan alamat Pihak yang Berhak;
UNIVERSITAS MEDAN AREA
81
2) Nomor Induk Kependudukan atau identitas diri lainnya Pihak yang
Berhak;
3) bukti penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, bangunan, tanaman,
dan/atau benda yang berkaitan dengan tanah;
4) letak tanah, luas tanah dan nomor identifikasi bidang;
5) status tanah dan dokumennya;
6) jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah;
7) penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, bangunan, dan/atau benda lain
yang berkaitan dengan tanah;
8) pembebanan hak atas tanah; dan
9) ruang atas dan ruang bawah tanah.
5. Pengadaan Jasa Penilai yang dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah (Pasal 20);
6. Musyawarah penetapan ganti kerugian yang dilakukan secara langsung untuk
menetapkan bentuk ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian
(Pasal 25);
7. Pemberian ganti kerugian dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah
berdasarkan validasi Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (Pasal 26);
8. Penitipan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri (Pasal 37), yang dilakukan
dalam hal:
a. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan hasil musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke
pengadilan negeri;
UNIVERSITAS MEDAN AREA
82
b. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
berdasarkan putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Pihak yang Berhak tidak diketahui keberadaannya;
d. Dalam hal Pihak yang Berhak telah diundang secara patut tidak hadir dan
tidak memberikan kuasa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; atau
e. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan ganti kerugian:
1) sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
2) masih dipersengketakan kepemilikannya;
3) diletakan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
4) menjadi jaminan di bank atau jaminan hutang lainnya.
9. Pelepasan obyek pengadaan tanah, yang dilakukan dihadapan Kepala Kantor
Pertanahan Setempat dan dilaksanakan bersamaan pada saat pemberian ganti
kerugian (Pasal 39);
10. Pemutusan Hubungan Hukum antara Pihak yang Berhak dengan Objek
Pengadaan Tanah (Pasal 41);
Pada saat pemberian Ganti Kerugian dan pelepasan hak telah dilaksanakan di
hadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat, kepemilikan atau hak atas tanah
dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak
berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
83
11. Pendokumentasian Peta Bidang, Daftar Nominatif dan Data Administrasi
Pengadaan Tanah (Pasal 45);
12. Penyerahan hasil pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum (Pasal 46);
13. Pengambilan ganti kerugian yang dititipkan di Pengadilan Negeri (Pasal 49);
14. Pemantauan dan evalusasi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(Pasal 50);
15. Pendanaan pengadaan tanah diajukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
Kepada Instansi yang memerlukan tanah (Pasal 51);
16. Pengadaan tanah berskala kecil yang luasnya kurang dari 1 hektar dapat
dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan pihak yang
Berhak, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang
disepakati kedua belah pihak (Pasal 53);
17. Koordinasi pelaksanaan pengadaan tanah (Pasal 54).
Dalam melaksanakan tugasnya, pelaksana pengadaan tanah dapat melakukan
koordinasi dengan:
a. instansi yang memerlukan tanah;
b. instansi/lembaga terkait;
c. penilai yang bersangkutan;
d. perangkat keamanan;
e. tokoh masyarakat; dan/atau
f. pihak lain yang diperlukan.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
84
2.5. Tata Cara Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
a. Persiapan
Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan
penetapan lokasi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Propinsi
dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Permohonan penetapan lokasi diatur sebagai berikut :
1) Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam 1
(satu) provinsi diajukan kepada Gubernur.
2) Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) provinsi atau lebih diajukan kepada
Kepala BPN-RI.
b. Pelaksanaan
1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu)
hektar.
Khusus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1
(satu) hektar berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah
diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, dibentuk Panitia Pengadaan
Tanah Kabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur
untuk wilayah DKI Jakarta.
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota terdiri dari paling
banyak 9 (Sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut :
a) Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
b) Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil
Ketua merangkap Anggota.
UNIVERSITAS MEDAN AREA
85
c) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk
sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
d) Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan
pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai
anggota.110
Tugas Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah :
a) Penyuluhan kepada masyarakat;
b) Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;
c) Penelitian status hak tanah;
d) Pengumuman hasil inventarisasi;
e) Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai
Harga Tanah;
f) Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah;
g) Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah
dicapai antara pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan
tanah;
h) Menyaksikan penyerahan ganti rugi;
i) Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
j) Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;
k) Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian
pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah
110 Yusuf Susilo, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 4
UNIVERSITAS MEDAN AREA
86
DKI Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk
pengambilan keputusan.111
Panitia Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah
dana yang disebut sebagai biaya operasional dalam rangka membantu
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Biaya Panitia Pengadaan Tanah tersebut diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tanggal 23 April 2008 tentang Biaya
Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Biaya operasional tersebut digunakan untuk pembayaran honorarium,
pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/stensil, fotocopy/penggandaan,
penunjang musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang berkaitan dengan
proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas), biaya keamanan, dan biaya
perjalanan dalam rangka pengadaan tanah.112
2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1
(Satu) Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum adalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan Instansi Pemerintah, yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk
kepentingan umum :
111 Ibid., hal.5 112 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tentang
Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 2
UNIVERSITAS MEDAN AREA
87
a) Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan
tanah dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar
menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak.113
b) Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/Kota dengan mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang
sama dengan tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
c) Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam
musyawarah antara Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah
(Pemilik tanah).
d) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
(1) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan
penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh
panitia.
(2) Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan.
(3) Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian.
113 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 20
UNIVERSITAS MEDAN AREA