12
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Stilistika.
‘Style’ atau sering disebut sebagai gaya bahasa adalah cara mengungkapkan
gagasan dan perasaan dengan Bahasa dengan bahasa khas sesuai kreativitas,
kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek
estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. Gaya bahasa atau ‘style’
dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi atau keyakinan dan latar
sosiokultural pengarangnya (Al-Ma’ruf, 2012:9).
Dalam kegiatan berbahasa yang bertujuan menghidupkan kalimat akan
terjadi apabila seseorang ingin mengungkapkan gagasan, ide, pikiran, perasaan
atau sesuatu yang lain kepada orang lain. Orang tidak akan berbahasa demi bahasa
itu sendiri. Intinya adalah adanya sesuatu yang di dalam batin yang akan
diungkapkan dalam wujud bahasa yang dapat di dengar atau di produksi untuk
kemudian dilihat ataupun didengar orang lain. Sesuatu yang masih dalam batin
jumlahnya banyak sekali, tetapi yang akan diproduksi dalam bentuk bahasa
tentunya sesuai dengan tujuannya saja. Cara pengungkapan apa yang ada di batin
ini bisa dilakukan oleh seseorang dengan berbagai cara, dan hal inilah yang
kemudian disebut style itu (Nurgiyantoro, 2014:52-53).
Gayadalam konteks pemakaian ini merupakan cara pengarang
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang dapat memperlihatkan
jiwa dan kepribadian pemakai bahasa Oleh karena itu gaya bahasa disebut
sebagai cara menggunakan bahasa. Gaya masing-masing orang tentu berbeda-
beda. Gaya inilah yang selanjutnya dikenali sebagai ‘style’(Keraf, 2010 :113).
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
13
Kemampuan seorang pengarang ketika berimajinasi dan berkreasi dalam
retorika sastra merupakan stile yang membedakan antara pengarang yang satu
dengan pengarang lainnya. Selain itu Jika seorang pengarang mahir dalam
mengungkapkan ide, gagasannya melalui perwujudan kreativitasnya dalam
memberdayakan sarana retorika di atas, maka pembaca akan dapat
membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang digambarkan oleh
pengarang.
Selain dari sisi pengarang peran pembaca sebagai penafsir tehadap
penggunaan bahasa pengarang sangat memungkinkan terjadinya perbedaan
interpretasi dari satu teks yang sama, maka faktor latar sosiokultual pembaca pun
menjadi berperan penting. Maka kajian stilistika ini tidak hanya memandang
‘style’ atau gaya bahasa yang digunakan pengarang saja tapi faktor-faktor di luar
itu pun sekarang ini menjadi perhatian stilistika (Black, 2011:2).
Bidang garapan stilistika adalah ‘style’, bahasa yang dipakai dalam konteks
tertentu, dalam ragam bahasa tertentu. Jika ‘style’diindonesiakan dengan
diadaptasikan menjadi stile atau gaya bahasa, istilah ‘stylistic’ juga dapat
diperlakukan sama, yaitu diadaptasi menjadi stilistika. Istilah stilistika juga lebih
singkat dan efisien daripada terjemahannya yaitu kajian gaya bahasa atau kajian
stile (Nurgiyantoro, 2014:74-75).
Dalam buku berjudul “Teori, Metode, dan Aplikasi PengkajianEstetika
Bahasa menyatakan bahwa ‘Style’ diartikan sebagai gaya bahasa. Pendapat ini
didasarkan pada beberapa ahli, seperti Abrams, yang menyatakan bahwa stilistika
adalah gaya yang digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya ‘sesuatu yaang akan dikemukakan’(Al’Ma’ruf, 2012: 7).
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
14
Batasan-batasan yang digunakan untuk terhadap hakikat atau pengertian
‘style’atau kemudian disebut sebagai gaya bahasa tidak pernah memuaskan
banyak pihak. Hal ini terjadi karena masing-masing pakar memiliki cara tersendiri
dalam memandang ‘style’sebagai suatu ilmu tentang gaya bahasa. Namun
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Pertama, gaya bahasa merupakan cara
penggunaan bahasa secara khusus yang digunakan oleh manusia dalam
berkomunikasi untuk memperoleh efek tertentu. Efek yang dimaksud adalah efek
estetik. Efek estetik ini yang kemudian menjadi salah satu penentu nilai estetik
dari sebuah karya sastra. Kedua bahwa stilistika merupakan bidang linguistik
terapan sebagai ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dalam karya sastra yang
berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik.
1. Tujuan Stilistika
Kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian terhadap karya
sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan wawasan dengan parameter
linguistik, mempunyai tujuan. Pada dasarnya, untuk memahami tujuan dari kajian
stilistika dapat ditekankan pada kemampuan untuk 1) merespon yang dianalisis
sebagai sebuah karya sastra dan 2) mengobservasi bahasa karya sastra tersebut.
Spitzer di kutip oleh Leech & Short dalam Al-Ma’ruf (2012:17) menggambarkan
dua kemampuan tersebut sebagai ‘cycle’ (lingkaran siklus) yang saling mengisi,
seperti yang terlihat dalam bagan berikut ini.
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
15
Gambar 2.1Tujuan Stilistika menurut Leech & Short
Bagan tersebut menjelaskan pada kita bahwa tujuan kajian stilistika berada
pada dua sisi yaitu 1) mencari fungsi estetik karya sastra dan 2) mencari bukti-
bukti linguistik. Dalam rangka mencari bukti-bukti fisik tersebut, proses kajian
stilistik berkisar pada deskripsi segi-segi linguistik yang ada dalam karya sastra.
Sedangkan dalam proses mencari fungsi estetik, proses kajian stilistika berkisar
pada apresiasi sastra. Dalam hal, baik tahap deskripsi linguistik maupun tahap
apresiasi sastra merupakan satu kesatuan proses yang saling mendukung dan
bersifat siklus (seperti tampak pada gambar di atas.
Tujuan kajian stilistika hakikatnya adalah untuk menemukan dan
menjelaskan ketepatanpenggunaan bentuk-bentukbahasa baik secara estetis
maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Fungsi estetis yang dimaksud
mengenai penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang mendukung suatu teks
(Nurgiantoro, 2014:100).
2. Lapangan Kajian Stilistika
a. Bahasa Sastra
Bahasa dalam karya sastra merupakan medium yang utama. Akan tetapi
bahasa alam sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra
Proses
mencari
fungsi
estetik
Apresiasi Sastra
Deskripsi
Linguistik
Proses
Mencari
bukti-bukti
linguistik
A
A
A
B
B
B
B
B
A
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
16
merupkan bahasa yang dikreasikan oleh seorang pengarang untuk
mengungkapkan gagasan atau idenya. Dalam upaya ini seringkali pengarang
melakukan pembaruan atau inovasi bahkan mungkin sekali seorang pengarang
melanggar aturan atau konvensi.
Pengarang seringkali melakukan inovasi dan melanggar konvensi, akan
tetapi inovasi ini tidak akan pernah mengubaah total konvensi tersebut sehingga
orang masih mengenali bahasa yang digunakan. Berikut ciri bahasa sastra secara
umum
1) polisemantis yang menyarankan berbagai kemungkinan makna;
2) memiliki sistem sendiri, namun masih berada dalam sistem bahasa
natural;
3) dalam keadaan tertentu (misalnya, dalam puisi) terjadi pemadatan,
pengayaan makna, dan variasi pola; dan
4) mengandung konotasi yang bersifat individual (Semi, 2012: 65-66).
Tedapat hubungan antara ilmu bahasa dan ilmu sastra bahasa, bahwa sastra
sama dengan bahasa yakni sebuah sistem untuk memahami sekaligus menjadi
syarat mutlak untuk mengarang karya sastra. Selanjutnya istilah ilmu bahasa:
‘literary competence’ membawa kita pada konsep ‘competence performance’
yang biasa dipakai oleh kalangan Transformational Grammar (aliran Chomsky)
disamakan dengan istilah ‘langue.parole’ (de Saussure), ‘code-message,taal-
taalgeburuik’ (‘Reichling‘dan lain-lain ahli bahasa belanda (A.Teeuw, 1982:1-2).
Konsep ‘Langue dan parole’(de Sassure) bahwa ‘langue’ merupakan sistem
kaidah yang berlaku dalam suatu bahasa, sedangkan perole merupakan
penggunaan dan perwujudan sistem, seleksi terhadap sistem, yang dipergunakan
oleh penutur atau (pengarang) sesuai dengan konteks dan atau situasi. Langue
merupakan bentuk konvensi kaidah yang mencakup berbagai unsur bahasa seperti
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
17
sistem bunyi dan struktur, sedangkan parole merupakan bentuk performansi
kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk
kebahasaan (Baldicdalam Nurgiantoro, 2014: 54).
Penuturan bahasa secara nyata, selanjutnya disebut performansi sekalipun
sudah melewati seleksi, juga dapat dikreasikan, disiasati, atau diberdayakan oleh
penutur sesuai dengan kompetensi dan pandangan artistiknya. Terhadap hal ini
Chomsky yang mempunyai pandangan tentang hubungan antara ‘competence’ dan
‘performance’ dinyatakan mirip dengan hubungan antara ‘langue’dan ‘parole’.
Bentuk performansi kebahasaan (kinerja) seorang pengarang (sastra) yang dapat
dilihat dalam sebuah karya sastra baik fiksi, maupun puisi, juga dalam ragam
bahasa yang lain, merupakan sebuah pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat
batiniah. Ini merupakan manifestasi dari sebuah sistem kaidah bahasa. Jadi
bahasa, style jika dikaitkan dengan teori kebahasaam Saussure merupakan suatu
bentuk ‘parole’. Stile adalah perwujudan penggunaan bahasa secara konkret
sesuai dengan sistem kaidah suatu bahasa (Nurgiyantoro, 2014: 53-55).
Bahasa dalam sastra memiliki peran sentral, merupakan media utama yang
diberdayakan oleh seorang pengarang untuk mengekspresikan berbagai gagasan
sastrawan. Sebagai alat untuk berkomunikasi bagi sastrawan dalam
menyampaikan gagasan kepada pembaca sebagai komunikan atau apresiasinya
(Al-Ma’ruf, 2012:1).
Di sisi lain sebagai alat komunikasi, penyampai gagasan memiliki
kedudukan yang penting. Hal ini berhubungan dengan sifat bahasa. Wellek &
Waren (1989) menyebutkan sifat bahasa sastra yakni emosional, konotatif,
bergaya (berjiwa) dan memiliki ketidaklangsungan ekspresi. Emosional bermakna
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
18
mengandung ambiguitas yang luas penuh homonim, manasuka/katagori-katagori
tak rasional, diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi. Bahasa
secara konotatif mengandung arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial
(Al-Ma’ruf , 2012: 3-4).
Bahasa memiliki peran dalam pemertahanan dan pengembangan
kebudayaan oleh sebab itu, aspek kebudayaan peninggalan masa lalu direkam dan
diwariskan kepada generasi berikutnya, salah satunya dengan bahasa
(Nurgiantoro, 2014: 20-21).Oleh karena itu, bahasa merupakan gejala yang
memiliki ciri yang bersifat dinamis. Dikatakan dinamis karena bahasa dapat
mencerminkan kebudayaan yang paling lengkap, merekam berbagai aktivitas
kebudayaan yang lain.
Sifat dinamis bahasa, memiliki makna bahwa bahasa ini berkembang oleh
banyak hal seirama dengan pekembangan masyarakat pemakai bahasa, baik dari
segi sosiologis, sains, teknologi maupun lainnya, dan secara rekayasa seperti yang
dilakukan oleh balai bahasa, ataupun masyarakat pemakai bahasa secara bersama
(Wachid, 2010: 61).
Bahasa dalam karya sastra dinamis, terbuka terhadap kemungkinan
penyimpangan dan juga pembaharuan. Akan tetapi penyimpangan dan
pembaharuan ini tetap tidak mengabaikan fungsi komunikatifnya. Sedangkan
fungsi komuniktif ini akan efektif apabila tuturan masih tunduk dan
memanfaatkan konvensi bahasa itu. (Nurgiyantoro, 2010:275).
Pemakaian bahasa dalam karya sastra tidak sama dengan pemakaian bahasa
dalam buku-buku ilmiah, majalah dan surat kabar, iklan, perundang-undangan,
serta pidato kenegaraan. Bahasa dalam karya sastra memiliki keunikan tersendiri,
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
19
keunikan ini yang membedakan antara bahasa dalam karya sastra dengan
pemakaian bahasa pada tulisan yang bukan sastra seperti yang disebutkan di atas.
Karya sastra juga merupakan suatu wacana yang diungkapkan dengan
menggunakan medium yang bernama bahasa (Al-Maruf, 2012: 34). Artinya
pemakaian bahasa yang digunakan oleh seseorang akan berbeda-beda stilenya
tergantung dari bagaimana seorang pengarang itu akan memfungsikan bahasa
tersebut untuk berbagai kepentingan.
Semua penggunaan bahasa dalam konteks apapun pada hakikatnya terkait
dengan stile. Bahasa memiliki fungsi sebagai perekam budaya dan berbagai
temuan ilmiah sebelumnya sehingga kebudayaan ilmu dan teknologi, serta
peradaban terus dapat dikembangkan. Sebagai contoh sampai kini kita masih bisa
menikmati karya-karya yang ditulis pada masa lalu, misalnya hikayat Si Miskin,
Hikayat Hang Tuah, dan karangan pengarang Shakespeare yang terkenal hingga
kini yakni Hamlet, Romeo dan Juliet, masih bisa kita nikmati belum lagi karya-
karya nonsastra, seperti karya ilmiah. Dari berbagai fakta di atas, ternyata
berbagai penemuan ilmiah yang mampu mengubah dunia secara revolusioner
dapat kita nikmati (Nurgiyantoro, 2014: 1-3).
Terdapat enam faktor dan fungsi bahasa yakni pengirim ‘addreser, sender’,
konteks ‘context’, pesan ‘message’, kontak ‘contact’, kode ‘code’ dan penerima
‘receiver’. Adapun keenam fungsi bahasa tersebut adalah fungsi emotif ‘emotive’,
referencial ‘referential’, puitik ‘poetic’, patik ‘phatic’, metaligual ‘metaligual’,
konatif ‘conative’(Roman Jakobson dalam Nurgiantoro, 2014: 21-25).
Selanjutnya, keenam faktor dan fungsi tersebut di digambarkan dan di jelaskan
akan tampak sebagai berikut.
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
20
Gambar 2.2Faktor Bahasa Teori Jakobson
Bagan fungsi bahasa dari teori Jakobson akan diuraikan lebih rinci sebagai
berikut.
Gambar 2.3 Fungsi Bahasa Teori Jakobson
a. Fungsi referensial terkait dengan konteks, dalam proses komunikasi
konteks memberikan, mempengaruhi, dan menentukan referensi makna
(pesan) yang dikomunikasikan.
b. Fungsi emotif berkaitan dengan pembicara atau pengirim pesan.
Pengirim pesan adalah yng memiliki pesan, di dalam pesan yang
disampaikan itu biasanya terdapat unsur emotif yang menunjukkan sikap,
emosi, atau nada tertentu yang menunjukkan situasi emosi pembicara.
Seperti dalam dialog tokoh-tokoh fiksi misalnya dapat kita jumpai kata-
kata umpatan, rayuan, seruan dan lain sebagainya.
c. Fungsi konatif berkaitan dengan penerima pesan. Misalnya adanya unsur
(kalimat) imperatif dan (tanda) apostrof dalam sebuah teks.
d. Fungsi bahasa metaligual artinya fungsi bahasa untuk menjelaskan
bahasa itu sendiri. Misalnya penjelasan tentang konsep ungkapan tertentu
yang ada pada suatu bahasa.
e. Fungsi puitis bahasa berkaitan langsung dengan pesan yang ingin
dikomunikasikan. Pemfokusan perhatian pada pesan demi pesan itu
sendiri ‘focusing on the message for its own sake’.
Puitik
Patik
Konatif Emotif
Metaliguall
Referensial
Pesan
Kontak
Penerima Pengirim
Kode
Konteks
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
21
Terdapat hubungan antara fungsi bahasa referensial dan fungsi puitis ini.
Jika sebuah penuturan lebih menekankan pada pesan dalam sebuah teks demi
pesan itu sendiri dengan sifat ambiguitasnya dan kurang memperhatikan konteks,
fungsi puitis lebih menonjol. Apabila sebaliknya yakni penuturan lebih
menekankan pentingnya faktor konteks, kepastian makna pesan, maka fungsi
referensial lebih dominan.
Pemakaian bahasa secara umum meliputi keenam fungsi di atas, namun
dalam bahasa karya sastra prosa (cerpen) fungsi puitik lebih dominan daripada
kelima fungsi lainnya. Fungsi puitik inilah yang menjadikan pesan kebahasaan
karya seni. Komunikasi dalam cerpen dapat dikatakan sebagai bentuk komunikasi
puitik dan memiliki fungsi emotif berkaitan engan aktifitas imajinasi dan kreasi
pengaarang. Dalam konteks ini bahasa dalam cerpen difungsikan untuk
membentuk dan mengungkapkan ekspresi secara langsung sekaligus disertai
nuansa emotif, dan sikap penuturnya sendiri.
Dilihat dari bahasa komunikasi, bahasa-bahasa dalam karya sastra
mempunyai beberapa kekhususan dalam pemakaiannya. Untuk menjalin
komunikasi tersebut pengarang melakukan berbagai upaya untuk memberdayakan
bahasa guna mencapai tujuan yang dimaksud.
Hal ini sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa penuturan dalam
kesastraan dipandang sebagai proses (usaha) komunikasi. Dalam menjalin
komunikasi tersebut pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan tentunya
bukan semata-mata bertujuan ingin aneh ataupun ingin berbeda, ingin lain dari
yang lain, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh efek keindahan disamping juga
bermaksud mengedepankan, mengaktualkan‘foreground’ sesuatu yang di
tuturkan. Seorang pengarang merasa lebih pas jika idenya diungkapkan dengan
cara tertentu, bukan dengan cara lain yang biasa (Nurgiyantoro, 2010:275).
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
22
Segi kekhususan bahasa sastra yang lain adalah adanya aspek keindahan
atau estetis, mengandung pesan yang tidak langsung, dan hakikat emosional. Hal
tersebut mengarahkan bahasa sastra pada penyajiannya yang terselubung,
terbungkus, bahkan dengan sengaja disembunyikan, oleh karena itu bahasa dalam
karya sastra khas.
Dominasi penggunaan bahasa yang khas dalam karya sastra diakibatkan
oleh beberapa hal sebagai berikut.
a. Karya sastra mementingkan unsur keindahan.
b. Penggunaan cara-cara yang yang tak langsung dalam penyampaian pesan
seperti; refleks, refraksi, proyeksi, manifestasi, dan representasi.
c. Karya sastra adalah curahan hati bukan intelektual (Kutha, 2013:13-14).
Kekhasan dan kekhususan yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa
ilmiah dan penyampaian pesan yang dilakukan secara tidak langsung dalam
mencapai tujuan komunikasinya membuat pembaca mendapatkan pengalaman
batin ketika membaca karya sastra. Sejalan dengan yang disampaikan oleh Jan
Van Luxembrug dkk dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Dick Hartoko
(1992: 12) bahwa bahasa dalam sastra, pengolahan bahan dapat membuka batin
kita sehingga mendapatkan pengalaman-pengalaman baru/ mengajak kita untuk
mengatur pengalaman tersebut dengan satu cara yang baru.
Jika kita rumuskan secara padat, maka akan didapat rumusan ciri-ciri dan
sifat bahasa sebagai berikut.
a. Bahasa sastra didominasi oleh unsur emosi ‘perasaan’ dan subjektif
daripada unsur rasio pikiran dan objektif seperti dalam bahasa ilmiah.
Emosi bukan dalam artian emosional, mengandung maksud untuk
mengekspresikan perasaan yang kuat.
b. Bahasa dalam sastra lebih menunjuk pada makna konotatif daripada
makna denotatif.
c. Karya sastra disebut sebagai karya kreatif, maka bahasa yang
digunakanpun disebut bahasa kreatif.
d. Bahasa sastra ditandai oleh adanya pengucapan yang menyimpang, yang
lain daripada yang lain.
e. Bahasa sastra ditandai oleh adanya unsur-unsur tertentu yang mendapat
penekanan lebih, dengan tujuan untuk mencapai keindahan. Istilah lain
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
23
untuk menyebut ini adalah ‘foregrounding’.‘Foregrounding’ dapat di
pahami sebagai mengedepankan, mementingkan, atau mengaktualkan.
Kata, ungkapan, atau struktur yang di-‘foregrounding’-kan berarti kata,
ungkapan, struktur yang mendapat penekanan untuk mencapai keindahan
tanpa mengesampingan muatan makna atau pesan (Nurgiantoro,
2014:133-141).
Kajian stile akan memperkaya pengetahuan, pemahaman, dan wawasan kita
terhadap bahasa dan pengguunaan bahasa dalam suatu teks sastra. Kajian stile ini
akan membawa masyarakat pembaca pada suatu pemahaman yang lebih baik.
Pembaca akan lebih luas memaknai bagaimana bahasa diberdayakan sedemikian
rupa, dikreasikan, bagaimana untuk mencapai efek-efek tertentu bahkan
penggunaan bahasa ini disimpangkan, dilakukan pengulangan, penekanan, bahkan
penciptaan ungkapan-ungkapan yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Hal-hal di atas dilakukan dengan tujuan agar tercipta komunikasi bahasa yang
lebih segar, lebih efektif.
Kajian stilistika adalah bagian dari estetik, disamping pula kajian linguistik.
Dikatakan sebagai bagian dari estetik karena menyangkut objek keindahan.
Kaitannya dengan objek penelitiannya yakni teks sastra, teks sastra ini adalah
bagian dari sebuah karya seni. Sedangkan objek linguistik karena wujud nyatanya
adalah bahasa, berawal dari penggunaan bahasa dalam konteks wacana.
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa posisi stilistika tidak bisa
mengabaikan fakta bahwa ada dua penekanan yakni efek keindahan dan dukungan
bahasa. Kajian stilistika bertujuan untuk fungsi estetis bentuk-bentuk linguistik
tertentu. Data stile adalah bahasa, jadi kajian stilistika ini berangkat dari
penggunaan bahasa dalam sebuah teks. Deskripsi stile tidak lain adalah deskripsi
bahasa, lebih tepatnya penggunaan berbagai komponen bahasa. Oleh karena itu,
kerja yang terkait dengan hal-hal tersebut merupakan kerja linguistik. Kajian
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
24
stilistika harus diprasarati dengan pengusaan linguistik yang baik (Nurgiantoro
2014:78).
Berangkat dari beberapa pemahaman di atas maka asumsinya adalah bahwa
ada dua kutup yang harus diselesaikan dalam kajian penelitian ini, yakni kutup
seni dan kutup liguistik yang harus terselesaikan secara tuntas. Pengamatan
terhadap linguistik akan menstimulasi wawasan estetis sastra, demikian juga
sebaliknya wawasan estetis sastra akan menstimulasi secara lebih lanjut terhadap
observasi linguistik (Nurgiyantoro, 2014:79).
Jadi tidak ada keharusan penelitian tentang stilistika ini berangkat dari sisi
linguistik atau sisi literer. Namun yang menjadi penekanannya adalah tuntutan
kedalaman, kepekaan dan kesanggupan peneliti untuk merespon fungsi- fungsi
estetis sebuah teks dengan melakukan observasi secara mendalam terhadap tanda-
tanda linguistik yang mendukung.
Analisis stilistik, dapat dilakukan melaui dua cara. Cara yang pertama
adalah dilakukan dengan analisis secara sistematik terhadap sistem dan tanda-
tanda liguistik dan kemudian menginterpretasikannya sebagai keseluruhan makna,
dan itu dalam hubungannya dengan tujuan estetis sebuah karya sastra. Tanda-
tanda linguistik yang dimaksud mencakup seluruh aspek kebahasan yang
membentuk stile sebagaimana terdapat dalam sebuah teks sastra. Kedua,
dilakukan dengan menganalisis bentuk-bentuk linguistik yang menyimpang dari
sistem yang berlaku umum. Analisis stilistika dilakukan dengan mengamati
berbagai bentuk deviasi dan distorsi bahasa yang terdapat pada sebuah karya dan
kemudian dibandingkan dengan bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang wajar-
baku dan dari sinilah kemudian dicobatemukan fungsi estetisnya. Aspek bahasa
yang menyimpang itu dapat berupa pengulangan bunyi, inversi susunan kata,
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
25
penghilangan afik, penggunaan makna konotasi, dan lain-lain baik yang bertujuan
menekankan dan memperjelas makna maupun sebaliknya, mengaburkan makna
(Wellek & Waren, 1989:226).
Penelitian tentang kajian stilistika ini tidak boleh lepas pada pandangan
bahwa sebuah teks tidak dapat lepas dari konteks penggunaannya. Jadi ragam
bahasa yang akan dikaji benar-benar menjadi titik tolak peneliti dalam melakukan
analisisnya. Karena stilistika berada pada posisi linguistik dan seni hal ini harus
dijadikam patokan karena data stile adalah data bahasa. Namun analisis stile
tidaklah sama dengan analisis bahasa. Analisis bahasa akan terhenti pada
deskrepsi berbagai asppek bahasa saja. Sedangkan tujuan kajian stilistika adalah
menemukan dan menjelaskan ketepatan penggunaan bentuk-bentuk bahasa baik
secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi. Oleh karena itu
langkah-langkah penelitian stilistika ini harus setia pada tujuan kajian. Adapun
tujuan ini adalah mencoba menemukan dan menjelaskan fungsi penggunaan
berbagai bentuk kebahasaan sehingga dapat dikatakan mendukung capaian efek
keindahan. Tetapi keindahan ini juga berarti tepatnya bentuk bahasa itu sebagai
sarana berkomunikasi (Nurgiantoro, 2014:99-101).
Langkah kerja selanjutnya adalah mencari bukti-bukti linguistik yang
dipertimbangkan untuk mendukung tujuan di atas. Oleh karena kegiatan
selanjutnya adalah menganalisis berbagai aspek teks. Adapun aspek-aspek yang
dianalisis pada teks sastra ini adalah berbagai tanda linguistik yang meliputi
aspek bunyi, struktur, bahasa figuratif (pemajasan), sarana retorika, serta konteks
dan kohesi. Berbeda dengan kajian puisi yang mementingkan aspek bunyi sebagai
aspek estetis dalam bentuk persajakan dengan segala variasinya seperti, irama,
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
26
tiruan bunyi, penciptaan suasana tertentu. Kajian stile bahasa prosa unsur-usur
bunyi di atas biasanya diabaikan.
Merujuk beberapa pendapat para pakar yangmenyatakan bahwa kajian
stilistika sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan mengkaji bentuk dan tanda-
tanda linguistik yang digunakan dalam struktur lahir karya sastra tersebut. Bentuk
atau usur-unsur yang dimaksud atau unsur-unsur stilistika sebagai tanda-tanda
ligustik ini dapat berupa fonem, leksikal atau diksi,kalimat, wacana,bahasa
figuratif dan citraanpakar (Al’Maruf,2012:20-21).
Pada beberapa penelitian yang telah dipublikasikan kajian stilistika
menganalisis latar belakang pemanfaatan bentuk-bentuk dan satuan kebahasaan
tertentu yang sengaja diciptakan pengarang sebagai wujud stilistika. Pemanfaatan
ini tentunya memiliki latar belakang tertentu bagi sastrawannya. Berbagai alasan
pemanfaatan bentuk atau satuan kebahasaan inilah yang dikaji dalam stilistika.
Analisis terhadap fungsi pemanfaatan satuan dan bentuk-bentuk kebahasaan yang
diberdayakan sedemikian rupa oleh sastrawan. Diciptakannya satuan dan bentuk-
bentuk kebahasaan tertentu ini tentunya memiliki fungsi-fungsi ini tentulah tak
lepas dari fungsi untuk mencapai efek estetis tertentu yang dikehendaki oleh
seorang sastrawan. Sedangkan yang terakhir adalah analisis terhadap tujuan
pemanfataan bentuk atau satuan ligual tertentu dalam karya sasta. Penciptaan
bentuk-bentuk kebahasaan yang unik dan khas, serta estetik oleh sastrawan
tentunya memiliki tujuan tertentu (Al’Maruf, 2012: 21-22).
Adapun kerja stilistika yakni dengan mencari bukti-bukti liguistik yang
mempertimbangkan mendukung tujuan-tujuan yang ada ‘seeking linguistic
evidence’ Berbagai aspek yang ada dalam bahasa teks perlu dianalisis dengan
seksama. Aspek yang dianalisis untuk teks sastra adalah berbagai tanda liguistik
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
27
‘linguisticfeatures’ yang meliputi aspek bunyi, diksi, stuktur, bahasa figuratif
(pemajasan), sarana retorika (penyiasatan struktur), serta konteks dan kohesi.
Berbagai aspek inilah yang dikaji untuk ditemkan keberadaannya dalam sebuuah
teks yang akan dikaji. Hasilnya dideskripsikan dalam bentuk deskripsi kebahasaan
‘linguistic description’. Karena kajiannya berupa kajian stilistika maka langkah
berikutnya adalah menjelaskan peran dan fungsi setiap aspek kebahasaan itu
dalam kaitannya dengan tujuan memperoleh efek keindahan (Nurgiantoro,
2012:101).
Berdasarkan uraian pendapat para ahli mengenai pengertian, tujuan dan
lapangan kajian stilistika (lihat uraian Bab II ) serta berdasarkan beberapa
penelitian yang menggunakan stilistika sebagai pendekatannya, kajian stilistika
terhadap cerpen karya Seno Gumira Ajidarma ini menerapkan kajian stilistika
yang tidak lagi berfokus pada penyimpangan pemakaian bahasa dalam cerpen.
Kajian stilistika ini meliputi pembahasan mengenai kekhasan, keunikanAntologi
Cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah” karya Seno Gumira Ajidarma dalam
pemakaian kata, dan bahasa figuratif.
3. Gaya dalam Kajian Stilistika
Di beberapa buku pengertian tentang gaya dibahas sebagai bagian dari
retorika. Gaya dianggap sebagai sarana yang dipergunakan oleh pengarang untuk
mencapai tujuannya. Pedapat lain mendefinisikan gaya sebagai variasi. Gaya ialah
segala sesuatu yang memberikan ciri khas dibandingkan dengan teks-teks lainnya.
Variasi dapat dijumpai di dalam ungkapan saja (dualistik didalam keseluruhan
ungkapan dan isi (monistik). Variasi ini diklasifikasikan dan dikenal sebagai pola-
pola gaya dalam struktur teks, meliputi (1) penambahan/pengulangan, (2)
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
28
penukaran, (3) penggantian, (4) penghapusan. Empat jenis transformasi di atas
dapat dikaitkan dengan sintaksis, semantik, dan bunyi ‘fonologi’ (Luxemburg,
1992:104-105).
Kaitannya seorang pengarang sebagai pembuat teks, berhubungan dengan
masalah bagaimana cara (seseorang) menyatakan sesuatu sedangkan hubungan
selanjutnya berkaitan dengan apa yang akan dikatakan. Sebuah fiksi hadir
dihadapan pembaca untuk mengenalkan dunia. Untuk mengenalkan ini hanya
dapat dicapai melalui sarana bahasa(Nurgiyantoro, 2010:277).
Bahasa merupakan sarana bagi seorang pengarang untuk menunjukan gaya
atau stile pada masyarakat pembaca. Adapun gaya ini merupakan kekhasan yang
dimiliki oleh seorang pengarang, baik dari pilihan kata yang digunakan, kalimat
yang diberdayakan maupun bahasa-bahasa figuratif yang digunakan. Teknik
pengarang dalam memberdayakan bahasa sedemikian rupa untuk menuangkan
ide, gagasan, pikiran inilah yang disebut sebagai gaya.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Stanton yang mengatakan bahwa
gaya merupakan cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Misalnya dua orang
menggunakan alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa
sangat berbeda. Perbedaan ini terletak pada bahasa yang menyebar dalam
berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor,
kekongkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek
di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007: 61).
4. Diksi
Pada hakekatnya diksi berasal dari bahasa Latin ‘dicere’, ‘dictum’yang
berarti ‘to say’.Di sisi lain, diksi juga diartikan sebagai pemilihan dan penyusunan
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
29
kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scott dalam Al-Ma’ruf, 2012: 50). Pada
konteks yang lebih konkret dapat dilihat apabila seseorang mendengar kata roti,
maka tidak ada yang berfikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari, tepung air,
ragi, mentega yang telah di panggang. Orang akan berfikir kepada esensi yang
baru yaitu sejenis makanan, roti,‘bread’, ‘Brot’, ‘brood’, ‘pain’, ‘pains’. Bunyi
atau bentuk (rangkaian huruf ) yang akan mengarahkan perhatian kita kepada
jenis makanan itu. Oleh karena itu kata dapat didefinisikan sebagai rangkaian
bunyi atau simbol yang tertulis yang menyebabkan orang berfikir tentang sesuatu
hal dan makna sebuah kata diperoleh berdasarkan konvensi atau kesepakatan
umum tentang interelasi antara sebuah kata dengan referensinya (Keraf, 2010: 87-
88).Diksi merupakan pilihan kata-kata yang digunakan oleh pengarang dalam
karyanya dengan tujuan untuk mencapai efek makna tertentu. Dalam hal ini
berhubungan dengan makna denotasi dan makna konotasi. Keberaadaan kata-kata
ini selanjutnya menjadi sangat esensial dalam karya sastra. Kata-kata yang
dikombinasikan dalam berbagai variasi akan mampu menggambarkan ide, angan,
dan perasaan (Al-Ma’ruf, 2012: 49).
Di dalam konteks ini, diksi dinilai sangat erat kaitannya dengan karya sastra.
Seorang pengarang dituntut untuk dapat memilih dan memilah kata-kata tertentu
untuk mencapai efek estetis yang diinginkan, dengan tanpa mengesampingkan
makna atau ide, gagasan yang hendak disampaikan. Pada dasarnya di dalam
proses pemilihan kata-kata inilah pengarang seringkali mengalami pergulatan
penyair dengan karyanya, bagaimana pengarang memilih kata-kata memadu
padankan dengan kata-kata yang lain yang benar-benar mengandung arti yang
sesuai dengan yang diinginkannya, baik dalam arti konotatif maupun denotatif.
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
30
Kata merupakan kesatuan tak terpisahkan antara aspek bentuk ‘signifiant’
dengan aspek arti ‘signifie’. Pemahaman ‘signifie’ dalam kesadaran batin penafsir
akan membuahkan gambaran signifikantum sebagaimana tertandi lewat
signifikannya. Sehingga relasi antara keduanya yakni antara lambang kebahasaan
dengan sesuatu yang dilambangkannya ada dalam hubungan ganda itulah, kata
sebagai lambang kebahasaan memungkinkan untuk diubah relasinya menjadi
makna lain (Al-Ma’ruf, 2012:51-52). Pengubahan relasi sebuah kata sehingga
tercipta makna lain, makna yang sekaligus dapat mewakili nilai estetis yang
dikehendaki pengarang menjadi fenomena tersendiri dalam pemberdayaan kata
pada sebuah karya sastra.
Kata yang di rangkai sehingga membentuk kelompok kata mampu
menimbulkan makna baru dari sekedar perpaduan makna unsur-unsur yang ada.
Kata yang dikombinasikan dengan kata-kata lain dalam berbagai variasi mampu
menggambarkan berbagai ide, pikiran, dan perasaan. Kaitannya sebagai medium
ekspresi ide dan gagasan ini kesatuan antara lambang dengan yang dilambangkan
sangat padu. Sebagai contoh kata buah mengacu kepada arti bagian dari
tumbuhan, jika matang biasanya manis, harum, sebagian besar dapat
dikonsumsi, mengandung vitamin, baik untuk kesehatan. Dalam prosesnya untuk
mengekpresikan sesuatu, kata buah dapat bermakna lain seandainaya melekat
pada lambang kebahasaan itu sendiri. Kata buah, maknanya dapat diekspresikan
sebagai ide atau angan tentang hasil dari jerih payah, bukan lagi sebagai bagian
dari tumbuhan. Misalnya pada kata buah karya, buah dalam buah karya dalam hal
ini mengalami perubahan makna. Lambang buah karya mengacu pada pengertian
hasil karya, atau hasil cipta. Demikian halnya jika melekat pada kata cinta, maka
menjadi bentuk kebahasaan dengan makna yang berbeda pula, misalnya buah
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
31
cinta. Maka kata buah mengalami perubahan makna, tidak lagi sebagai bagian
dari tumbuhan yang mengandung vitamin melainkan, anak.
5. Bahasa Figuratif
Figuratif berasal dari bahasa latin figura, yang berarti form, shape. Figura
berasal kata ‘fingere’dengan arti ‘to fashion’. Istilah ini sejajar dengan pengertian
metafora (Scott dalam Al-Ma’ruf, 2012: 59).
Beberapa ahli mengidentifikasikan bahasa figuratif sebagai bahasa retorika
dalam karya sastra. Retorika merupakan pemberdayaan semua unsur bahasa baik
yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan,struktur kalimat,
segmentasi, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan
yang disesuaikan dengan tujuan. Adanya kekhasan, ketepatan, kebaruan
pemilihan bentuk-bentuk pengungkapan tergantung pada kemampuan imajinasi
dan kretivitas pengarang (Nurgiantoro, 2010: 295-296).
Bahasa figuratif merupakan retorika sastra, pengungkapannya dengan kias
menyaran pada makna literal ‘literal meaning’, memanfatkan bahasa sedemikian
rupa untuk memperoleh efek estetis. Dalam kajian stilistika karya sastra
mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Majas, idiom dan peribahasa dipandang
representatif dalam mendukung gagasan pengarang, selain dari ketiganya cukup
banyak dimanfaatkan para sastrawan dalam karyanya(Al-Ma’ruf, 2012: 60-61).
Sedangkan unsur style yang berujud retorika menurut Abrams dalam
Nurgiyantoro (2010) terdiri dari bahasa figuratif ‘figurative language’ dan wujud
pencitraan ‘imagery’. Sedangkan bahasa figuratif dibedakan ke dalam (1) ‘figures
of thought’ atau ‘tropes,’ dan (2) ‘figures of speech, rhetorical figures,’ atau
‘schemes’ Yang pertama merujuk pada penggunaan unsur kebahasaan yang
menyimpang dari makna yang harfiah dan lebih menyaran pada makna literal
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
32
‘meaning’, sedangkan yang kedua lebih menunjuk pada masalah pengurutan kata,
masalah permainan struktur. Jadi yang pertama mempersoalkan pada
pengungkapan dengan cara kias, sedangkan yang kedua denga penyiasatan
struktur. Stile ini yang merupakan retorika klasik, yang biasa dianggap hanya
“gaya bahasa”(Nurgiyantoro, 2010:296).
a. Idiom
Idiom sering disejajarkan dengan konsep atau pengertian peribahasa dalam
bahasa Indonesia. Menilik pada konsep idiom yang disampaika Keraf, makna
idiom jauh lebih luas daripada peribahasa. Idiom merupakan “Pola-pola struktur
yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasayang umum, biasanya berbentuk
frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara
gramatikal , dengan bertumpu pada kata-kata yang membentuknya”(Keraf,
2010:109).
b. Simile
Konsep tentang simile sering disebut pula sebagai ‘persamaan’. Simile
atau persamaan merupakan gaya bahasa perbandingan. Perbandingan ini bersifat
eksplisit karena ia secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang lain.
Oleh karena itu upaya yang digunakan dalam perbandingan ini juga bersifat
eksplisit yaitu dengan kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan
sebagainya (Keraf, Gorys, 2010: 138).
Simile seringkali digunakan dalam karya sastra. Pemilihan dan
penggunaan simile yang dilakukan pengarang memiliki tujuan yang hampir sama
yakni untuk menyampaikan gagasan dan pikiran dengan lebih jelas kepada
pembaca tanpa mengesampingkan tujuan estetis yang dikehendaki. Simile
merupakan bagian dari gaya bahasa figuratif yang dapat membuat komunikasi
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
33
bahasa menjadi lebih hidup dan lancar.Sejauhmana simile dalam karya sastra
prosa diberdayakan untuk mengungkapkan gagasan dan pikiran pengarang dan
sekaligus mencapai efek estetis?. Pertanyaan seperti inilah nanti yang akan
digunakan untuk mengupas cerpen karya Gumira Aji Darma dalam penelitian ini.
c. Konotasi
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif atau makna evaluatif. Dalam makna konotatif antara stimulus dan respon
mengadung nilai-nilai emosional. Makna konotatif ini terjadi karena pembicara
bermaksud menimpulkan efek emosional seperti senang-tidak senang. Kaitannya
dengan aspek perasaan, Misalnya kata mati, meninggal, wafat,gugur, mangkat,
berpulang,memiliki denotasi yang sama, namun memiliki konotasi yang berbeda
pada kata meninggal, wafat, berpulang memiliki konotasi kesopanan. Kata
mangkat memiliki konotasi “kebesaran”, dan gugur memiliki nilai keagungan dan
keluhuran. Hal ini akan berbeda pada kata persekot, uang muka atau panjar hanya
mengandung makna denotatif (Keraf, 2010:28-30).
Jadi sebuah kata mengandung makna denotasi dan makna konotasi apabila
kata tersebut disamping memiliki makna dasar yang melekat juga memiliki makna
tambahan yang mempertimbangkan aspek hubungan sosial. Jika sebuah kata tidak
memiliki makna konotasi tetapi hanya memiliki makna denotasi saja artinya
dalam hubungan sosial kata tersebut dianggap tidak memiliki nilai emosional.
d. Metafora
Secara etimologis metafora berasal dari akar kata ‘meta’ + ‘pherein’
(Yunani). ‘Meta’ berarti disamping, sesudah, mengatasi, sedangkan ’pherein’
berarti membawa, mengalihkan. Dari devinisi ini metafora berarti membawa
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
34
keluar, di samping atau di atasnyasehingga suatu kelompok kata memiliki makna
yang berbeda (Ratna, 2013: 187).
Metafora adalah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung,
tetapi dalam bentuk yang singkat. Misalnya bunga bangsa, buaya darat, buah hati,
cendera mata dan sebagainya. Metafora tidak menggunakan kata-kata
pembanding: seperti, bak, bagaikan, sehingga pokok pertama langsung
dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya metafora hampir sama
dengan simile tetapi kemudian berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan
dan pokok pertama dihilangkan (Keraf, 2010:139).
Metafora didefinisikan melalui dua pengertian, secara sempit dan secara
luas. Pengertian di atas bahwa majas metafora termasuk majas perbandingan
termasuk pengertian secara sempit. Pengertian metafora secara sempit adalah
majas seperti metonomia, sinekdoke, hiperbola dan sebagainya. Sedangkan
pengertian secara luas diartikan sebagai semua bentuk kiasan, penggunaan bahasa
yang dianggap ‘menyimpang’ dari bahasa baku(Ratna, 2013: 181).
Sebagai perbandingan metafora memiliki unsur yang dibandingkan dan
unsur pembanding atau dua ‘term‘ atau dua bagian. ‘Term’ pokok ‘principal term’
dan term kedua ‘secondary term’. ‘Term‘pokok disebut juga ‘tenor’, term kedua
disebut juga ‘vehicle’.‘Term’ pokok atau term tenor menyebutkan hal yang
dibandingkan, sedangkan term kedua atau ‘vehicle’ adalah hal yang untuk
membandingkan. Misalnya ‘Bumi adalah perempuan jalang’ maka ‘Bumi’ adalah
‘term‘pokok, sedangkan ‘perempuan jalang’ ‘term’ kedua atau ‘vehicle.’
Terhadap fenomena di atas seringkali seorang pengarang langsung menyebut
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
35
‘term’ kedua tanpa menyebutkan ‘term’ pokok atau tenornya. Inilah yang
selanjutnya disebut sebagai metafora implisit ‘implied metaphore’(Pradopo,
2009:66).
e. Metonomia
Metonomia seringkali dibicarakan bersama-sama dengan metafora. Hal ini
karena antara metafora dan metonomia saling berkaitan. Secara etimologis
memiliki ciri-ciri yaitu adanya perubahan makna sehingga objek dapat dikaitkan
dengan apa yang dimaksudkan. Perbedaan antara keduanya adalah jika metafora
dengan cara mengalihkan, melalui persamaan dan perbandingan, didasarkan atas
proses seleksi, pilihan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain, sedangkan
metonomia dengan mengatasnamakan, menampilkan konsep-konsep secara
bertautan, berdekatan, bersebelahan, dan berdampingan. Hubungan dalam
metonomia antara bagian dan keseluruhan, penghasil dan benda-benda yang
dihasilkan, sebab dan akibat, ruang dan waktu. Oleh karena itu ciri khas dari
metonomia adalah sinekdoke (Ratna, 2013: 202-203).
Metonomia dan sinekdoke merupakan bahasa kiasan yang jarang dijumpai
pemakaiannya dibandingkan dengan metafora, perbandingan, dan personifikasi.
Berikut contoh yang diambilkan dari sajak Toto Sudarto Bachtiar dalam “Ibu
Kota Senja”.
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
.....
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Di bawah bayangan samar istana kejang
O, kota kekasih setelah senja
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
36
Kata Klakson dan Lonceng dimaksudkan untuk mengganti orang-orang
atau partai yang bersaing adu keras suaranya. Sungai kesayangan mengganti
Sungai Ciliwung. Istana mengganti kaum kaya yang memiliki rumah-rumah
seperti istana. Kota kekasih adalah Jakarta (Pradopo, 2009: 77-78).
f. Personifikasi atau ‘Prosopopoeia;
Personifikasi atau ‘Prosopopoeia’ adalah bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan)
merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati
bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Penginsanan dalam personifikasi
adalah benda-benda mati bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan
manusia, baik dalam tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya
(Keraf, 2010: 140).
g. Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal (Keraf, 2010:
135). Hiperbola merupakan sarana retorika yang banyak kita jumpai pada karya-
karya berbentuk puisi. Gaya ini sering pula digunakan pada teks-teks fiksi dalam
bentuk prosa yang dimaksudkan untuk menegaskan, menekankan, atau
mengintensifkan penuturan. Selain itu dalam kehidupan sehari-hari pun gaya
bahasa hiperbola ini seringkali digunakan dalam percakapan (Nurgiyantoro, 2014:
261-263).
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
37
Adapun penggunaan Hiperbola pada cerpen karya Seno Gumira Ajidarma
berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku terlihat pada kutipan berikut ini.
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss
yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu
berbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja disaku kiri dan
kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku,
menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali
menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih (SCB: 447).
Data tersebut merupakan contoh pengarang memanfaatkan gaya bahasa
Hiperbola yang indah dan khas karena merupakan bentuk kreasi yang baru karya
Seno Gumira Ajidarma. Bentuk hiperbola ini melukiskan sesuatu dibesar-
besarkan, namun demikian justru semakin menarik.
B. Pengertian Stilistika dalam Karya Sastra Cerpen.
Karya sastra adalah hasil kreasi pengarang yang dilakukan melalui proses
kontemplasi dan refleksi dari berbagai fenomena kehidupan yang ada pada
lingkungan sosial budaya yang melingkupinya. Fenomena ini bisa terjadi pada
berbagai aspek kehidupan. Sebagi karya seni, karya sastra menggunakan bahasa
sebagai medium untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran pengarang. Sebagai
media ekspresi bahasa yang digunakan memiliki nilai estetik yang dominan (Al
Ma’ruf, 2012:1-2).
Dalam beberapa penelitian stilistika, seringkali seorang peneliti
menggunakan teori sturuktural untuk kemudian melalukan pendekatan dengan
menggunakan teori stilistika. Hal ini dimaksudkan bahwa sebuah karya sastra
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari aspek yang membangunnya yakni unsur
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
38
intrinsik dan unsur ektrisnik. Sekaitan dengan hal tersebut maka perlu kiranya
penulis menguraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan cerpen sebagai
sebuah karya sastra dan unsur yang membangunnya.
Secara umum konsep cerpen dapat diuraikan dari beberapa hal, Aziez dan
Hasim, Abdul (2012) dalam bukunya berjudul “Menganalisis Fiksi Sebuah
Pengantar” menguraikan beberapa perihal cerpen sebagai berikut.
1. Prinsip-prinsip tentang cerita pendek disampaikan oleh tokoh Edgar
Allan Poe. Prinsip ini muncul sekitar abad kesembilan belas. Edgar
menetapkan batas panjangnya, yaitu cerita pendek harus cukup
panjang dibaca sela kurang lebih satu setengah jam. Plot yakni
rangkaian peristiwa yang terjalin antara peristiwa yang satu dengan
peristiwa yang lain merupakan serangkaian peristiwa yang menuju
klimaks. O, Henri menaambahkan ciri cerpen ini dengan ‘surprise
ending’.
2. Materi cerpen dapat berupa humor, petualangan, misteri, realisme,
drama, detektif, kajian psikologis tokoh dan sebagainya.
3. Plot atau alur dalam cerita pendek memiliki pendahuluan yang pendek
dan ‘to the poit’. Klimaks muncul di ujung, skadang muncul di akhir
sehingga mengundang pembaca untuk tetap bertahan membaca hingga
akhir cerita. Adapula metode lin yakni klimaks di awal cerita lalu
menggunakan metode kilas balik atau flashback. Kilas balik atau
‘flashback’dimaksudkan untuk menunjukan sebab terjadinya klimak
yang telah diceritakan pada bagian awal. Dalam cerpen hanya terdapat
satu aspek kehidupan saja yang digarap, hal ini berbeda dengan novel.
Plot hanya sebagai alat untuk mengembangkan penokohan bukan
sebagai tujuan akhir.
4. Karena sempitnya ruang dalam cerpen, sehingga tokoh-tokoh yang
adapun jumlahnya tidak banyak. Penggambaran terhadap tokoh tidak
dilakukan secara penuh. Keberadaan tokoh sebagai individu tetap
diperhatikan sekalipun tidak dikethui nama dan rupa mereka (Azies
dan Hasim, Abdul, 2010:34-35).
Cerita pendek haruslah berbentuk ‘padat’. Jumlah kata dalam cerpen harus
lebih pendek dari jumlah kata pada novel. Dalam novel terdapat bab yang
menjelaskan unsurnya satu demi satu. Sebaliknya dalam cerpen pengarang
menciptakan karakter, semesta mereka, dan tindakan-tindakannya sekaligus.
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
39
Menurut teori Poe, cerita dalam cerpen dilingkupi oleh dua efek ‘kengerian’ dan
‘kecerdasan’. Dua efek ini menguras habis emosi dan intelegensi
pembaca(Station, 2007:76-80).
Ukuran panjang pendek seringkali menjadi ukuran untuk menentukan
apakah suatu karya sastra prosa itu disebut cerpen, atau novel. Hal ini tentu tidak
salah, karena ukuran memang menjadi salah satu ciri dari cerpen disamping ciri-
ciri lain yang melekat. Misalnya ceritanya berpusat pada seorang tokoh saja.
Dalam stilistika bentuk fisik dalam hal ini ukuran panjang atau pendek
sebuah wacana sastra dalam hal ini adalah cerpen tidak menjadi persoalan. Karena
stilistika sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya
tidak mempersoalkan panjang pendek wacana yang menjadi objek kajiannya.
Stilistika dalam penelitiannya dapat saja berangkat dari teori struktural. Yakni
dengan menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra. Setelah itu
secara bersama-sama mengkaji aspek-aspek stilistika dalam objek kajiannya. Hal
ini tentu akan menjadikan hasil penelitiannya lebih kompleks. Artinya selain
aspek stilistika penelitian seperti ini juga akan bisa mendeskrepsikan komponen-
komponen lain yang membangun sebuah karya sastra.
C. Penelitian Tentang Stilistika
Di dalam penelitian yang relevan, akan diurai beberapa hasil penelitian
stilistik terhadap karya sastra, baik jenis puisi, novel maupun cerpen. Uraian
tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran singkat mengenai perbedaan
penelitian stilistika antara peneliti yang satu dan peneliti yang lainnya. Penelitian
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
40
tersebut akan dijadikan sebagai salah satu pijakan oleh peneliti di dalam
melakukan penelitian dalam tesis ini.
Sastra Indonesia sebagai media ekspresi berbagai gagasan modern,
pencerminan atau pencarian jatidiri untuk membangun kebudayaan baru (Alwi,
2011: 221). Oleh karena itu bermunculanlah produk-produk karya sastra itu, baik
yang berupa cerpen, novel maupun puisi sebagai wujud ekspresi. Demikian
halnya terhadap kajan-kajian sastra di Indonesia terus dilakukan, seiring dengan
mengalirnya produk sastra tersebut.
Sejauh pengetahuan penulis penelitian dengan menggunakan kajian
stiistika terhadap karya sastra belum begitu banyak dilakukan, misalnya penelitian
stilistika terhadap karya novel, puisi maupun cerpen. Diantara ketiga karya sastra
tersebut, puisilah yang seringkali menjadi sasaran kajian stilistika dibandingkan
dengan dua diantaranya yaitu cerpen dan novel. Seperti yang ditulis oleh
A.Teeuw dalam bukunya tergantung pada kata (1980).
Penelitian stilistika lain ditulis oleh Mamik Purwaningsih dari program
studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret dengan judul
tesisnya “Analisis Stilistika dan Nilai-nilai Pendidikan Kumpulan Puisi Mata
Puisi Karya D. Zawawi Imron”. Penelitian-penelitian relevan lain, akan dibahas
secara rinci sebagai berikut.
Penelitian terhadap karya sastra dengan objek kajian cerpen dilakukan oleh
Jabrohim dengan judul “Senyum Karyamin Sebuah Tinjauan Stilistika” (2014).
Satu tahun kemudian penelitian ini diterbitkan atas kerjasama antara Masyarakat
Poetika Indonesia dengan penerbit Pustaka Pelajar menjadi buku. Penelitian ini
telah berhasil. (a) Mendudukan stilistika sebagai linguistik terapan
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
41
(appliedlinguistics) untuk menganalisis karya sastra Indonesia. (b) Memberikan
metode hermeneutik/metode pemahaman interpretatif terhadap karya sastra,
khususnya cerpen dengan menggunakan metode stilistika. (c) Memberikan model
analisis wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra.
Tujuan penelitian yang dilakukan oleh Jabrohim ini, untuk (1) mengetahui
gaya kalimat dan sarana retorika cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang terhimpun
dalam Senyum Karyamin. (2) gaya kata yang dipakai dalam cerpen-cerpen
Ahmad Tohari yang terhimpun dalam Senyum Karyamin. (3) mengetahui makna
yang terimplisitkan pada cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang terhimpun dalam
Senyum Karyamin. Selain itu terdapat tujuan teoretik dan tujuan praktis. Secara
teoretik penelitian ini bertujuan untuk menyumbangkan pandangan bagi
pengembangan ilmu sastra, khususnya bidang stilistika sehingga dapat
memperkaya khasanah studi stilistika di Indonesia. Secara praktis penelitian ini
bertujuan untuk dapat memotifasi para peneliti sastra lainnya agar tertarik untuk
mengadakan penelitian sastra secara stilistika.
Penelitian yang dilakukan oleh Jabrohim ini menggunakan teori
strukturalisme dan semiotik. Adapun prosedur yang dilakukannya adalah sebagai
berikut. Pertama, cerpen-cerpen yang akan diteliti dianalisis ke dalam unsur-unsur
dengan tidak melupakan relasi antar unsur dalam keseluruhan. Kedua, setiap
unsur yang ada diberi makna sesuai dengan konvensi fiksi. Ketiga, sebelum
dianalisis karya sastra perlu dilakukan pemahaman makna karya sastra itu dengan
pembacaan semiotik, yakni berupa pembacaan hermeneutik. Pembacaan
hermeneutik merupakan pembacaan teks dengan disertai penafsiran terhadap teks
yang bersangkutan.Metode yang digunakan adalah identifikasi, artinya gejala
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
42
yang ada yang berkaitan dengan topik diidentifikasi untuk mempermudah
pengelompokan data. Pencapaian metode ini ditempuh melalui teknik pengamatan
dan pencatatan. Teknik pengamatan dilakukan untuk mengamati semua gejala
yang akan diteliti sedangkan teknik pencatatan dilakukan untuk mencatat semua
data yang diperoleh.
Hasil penelitian diperoleh deskripsi melalui pembacaan hermeneutik dapat
diidentifikasi bahwa cerpen-cerpen yang diteliti bermuara pada sistem nilai yaitu
sikap hidup khas masyarakat Jawa tradisional. Nilai ini meliputi sikap sabar, ‘rila’
dan ‘nrimo’. Selain itu pengarang penggunaan kosakata bahasa Jawa
dimaksudkan untuk menghadirkan efek estetis yang tidak bisa ditemukan
padanannya dalam bahasa Indonesia. Pada Analisis pemakaian gaya kata, kalimat
maupun bahasa figuratif banyak menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa.
Gaya bahasa yang dominan meliputi penggunaan gaya bahasa personifikasi,
metafora dan hiperbola, repetisi. Pemanfaatan gaya bahasa dimaksudkan untuk
mengungkapkan gagasan pengarang sekaligus sebagai upaya pengarang dalam
mencapai efek estetis yang diinginkan (Jabrohim, 2014).
Karya ilmiah lain yang menggunakan stilistika sebagai ancangannya untuk
meneliti karya sastraadalah novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dengan
judul “Analisis Stilistika Novel Laskar Pelangi”. Karya Ilmiah ini merupakan
tesis yang dilakukan untuk memperoleh gelar magister di Universitas Sebelas
Maret tahun 2010. Penelitian ini bersifat analisis terhadap pemilihan pemakaian
kosakata, aspek morfologis, aspek sintaksis dan penggunaan gaya bahasa
figuratif. Terdapat pada leksikon bahasa asing, leksikon bahasa jawa, leksikon
ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada judul. Analisis terhadap aspek
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
43
kekhususan aspek morfologis yaitu pada penggunaan afiksasi leksikon bahasa
jawa dan bahasa inggris serta reduplikasi dalam leksikon bahasa jawa, kemudian
aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi, kalimat majemuk, dan pola kalimat
inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang unik dan menimbulkan efek-efek
estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan, konotatif, metafora, metonomia,
simile, personifikasi dan hiperbola.Data penelitian ini berupa satuan-satuan
lingual yang mengandung keunikan kosakata dan morfosintaksis serta keunikan
gaya bahasa.Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, simak dan
catat. Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan analisis mengalir yang
terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Karakter atau gaya pemilihan dan pemanfaatan kata, kalimat setiap
pengarang memiliki kekhasan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini
mempengaruhi komponen yang menjadi bahan kajian peneliti. Sehubungan
dengan hal itu, maka terdapat perbedaan dalam ranah ini diantaranya adalah pada
pemilihan dan pemakaian kata bahasa Jawa dalam cerpen yang dikaji.
Hasil penelitian yang terdapat dalam penelitian Novel berjudul “Laskar
Pelangi” karya Andrea Hirata ialah sebagai berikut. a) Keunikan atau kekhasan
pemakaian bahasa pada novel “Laskar Pelangi” dilatarbelakangi oleh faktor sosial
budaya dan pendidikan penulis yang diungkapkan melaui deskripsi ceritanya.
Adapun keunikan pemilihan dan pemakaian kosa kata yaitu tampak pada (1)
pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa asing. (2) pemilihan dan pemakaian
leksikon bahasa jawa. b) Kekhususan aspek morfologis dalam novel “Laskar
Pelangi” karya Andrea Hirata yaitu pada penggunaan afiksasi pada leksikon
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
44
bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dan reduplikasi data leksikon bahasa jawa.
Aspek sintaksis yaitu pemakaian repetisi, pemakaian kalimat majemuk dan
pemakaian kalimat inversi. c) Pemakaian gaya bahasa figuratif pada Novel
“Laskar Pelangi” membuat pengungkapan maksud menjadi lebih menarik.
Beberapa bahasa figuratif yang terdapat dalam pembahasan novel “Laskar
Pelangi” yaitu idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonomia, simile,
personifikasi, dan hiperbola. Peneltian ini menekankan pada pendeskrpsian hasil
analisinya Adapun bagaimana penelitian ini dimanfaatkan untuk kepentingan
pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di kelas tidak dilakukan (http//e-
journal.unsrat.ac.id/index.php/jets/article.../1421).
Berikut disajikan penelitian-penelitian lain yang telah dipublikasikan darie-
jornal dan prosiding. Pertama, Penelitian Nurul Setyorini yang telah dimuat dalam
prosiding dengan judul “Aspek-Aspek Stilistika Novel Lalita Karya Ayu Utami”
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrepsikan diksi dalam novel, gaya bahasa,
citraan dan gaya kalimat dalam novel “Lalita” karya Ayu Utami. Metode yang
digunakan kualitatif deskreptif.Hasil penelitiannya adalah bahwa diksi asing
diperoleh fakta penggunaan diksi bahasa sansekerta dan kosakata sejarah
budha.Citraan yang diperoleh berkaitan erat dengan citraan pendengaran dan
penglihatan.Gaya bahasa diciptakan untuk memeperoleh nilai estetis.Kajian
kalimat pada novel Lalita meliputi kalimat pernyataan, kalimat pertanyaan,
kalimat panjang dan kalimat pendek (Setyorini, Nurul, 2016)).
Penelitian stilistika yang telah dipublikasikan dalam bentuk artikel berjudul
“Penggunaan Ungkapan Jawa dalam Kumpulan Puisi Tirta Kamandanu Karya
LinusSuryadi (pendekatan Stilistika Kultural)” dilakukan oleh Burhan
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
45
Nurgiyantoro. Metode yang digunakan kualitatif dengan pendekatan tekstual
dengan tujuan mengkaji penggunaan bahasa tertentu dalam sebuah wacana. Hasil
penelitian ini berupa kandungan makna, penggunaan kata dan ungkapan bahasa
Jawa dalam puisi “Tirta Kamandanu” Karya Linus Suryadi (Nurgiantoro, Burhan:
2014).
Dalam Jurnal Sastra Indonesia yang diterbitkan oleh Iniversitas Negeri
Semarang pada November 2013, terdapat penelitian stilistika dalam bentuk artikel
yang ditulis oleh Syaiful Munir dkk.Penelitian tersebut berjudul “Diksi dan
Majas dalam Kumpulan Puisi Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S:
Kajian Stilistika”.Tujuan penelitiannya yaitu untuk mengetahui penggunaan diksi
dan majas serta fungsinya. Dalam metode penelitian digunakan pendekatan
stilistika dengan cara menganalisis sistem liguistik karya sastra dan dilanjutkan
dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra
sebagai keseluruhan makna. Adapun hasil penelitian berupa pembuktian adanya
wujud penggunaan diksi dan majas ( Munir, Saiful dkk. 203).
Penelitian lain dalam bentuk artikel disarikan dari Laporan Penelitian
Kuaslitatif, dimuat dalam journal Nuansa (2013). Penelitian yang menggunakan
pendekatan kualitati ini menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi.
Kemudian berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan data dicatat dalam kartu data
setelah itu dianalisis dan dikelompokan. Hasil penelitian mengungkap banyak
penggunua ponsel yang tidak memperhatikan kesantunan berbahasa dalam
berkomunikasi menggunakan SMS (Adriana, Iswah. 2014)
Selanjutnya, berdasarkan pemantauan penulis lewat katalog di perpustakaan
secara manual maupun lewat komputer di Universitas Muhammadiyah
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
46
Purwokerto, penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan kajian
stilistika masih relatif sedikit. Terhitung selama kurun waktu 1995 sampai 2014
terdapat karya ilmiah berupa skripsi S1 yang menggunakan karya sastra dengan
menggunakan stilistika dengan objek kajian karya sastra prosa sebagai
tinjauannya, dari jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia ialah Dewi
Rediati dengan judul skripsi “Analisis StilistikaKumpulan Cerpen Sebuah
Pertanyaan untuk Cinta Karya Seno GumiraAjidarma”(2005). Skripsi ini
menganalisis unsur stilistika yang berujud retorika. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian deskreptif. Metode yang digunakan adalah dengan pembacaan dan
pencatatan. Hasil penelitian pada skripsi ini berupa deskrepsi penggunaan gaya
bahasa metafora yang meliputi penggunaan gaya bahasa personifikasi, hiperbola,
metonomia pada cerpen yang diteliti. Perbedaan dengan penelitian ini adalah dari
segi komponen stilistika yang digunakan. Pada skripsi berjudul “Analisis
StilistikaKumpulan Cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta Karya Seno
GumiraAjidarma” penulis hanya menyoroti satu aspek saja yakni pemanfaatan
bahasa figuratif. Sejauh mana pemanfaatan dan pemilihan bahasa figuratif ini
menjadi sesuatu yang khas, tidak diurai secara lebih mendalam.
Penelitian lain yang cukup baik tentang analisis stilistika juga ditulis oleh
Abdul Wachid B.S. Seorang sastrawan sekaligus pengajar pada STAIN
Purwokerto. Penelitian ini diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Analisis
Stuktural Semiotik, Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron”. Tujuan
penelitian terhadap karya ini adalah untuk menguji kebenaran, yang pertama
bahwa sajak D. Zawawi Imron sebagai hasil sastra. Kedua, sajak ini memiliki
orisinilitas bahasa, disamping sebagai pernyataan ekspresi atau bagian hidup
penyair. Ketiga, dunia angan D. Zawawi Imron bergerak ke alam surealisme, yang
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
47
menolak kenyataan empiris.Dari kedua tujuan tersebut sama sekali berbeda
dengan penelitian ini. Bahwa penelitian berjudul “Analisis stilistika Antologi
cerpen karya Seno Gumira Ajidarma” ini tidak bertujuan untuk membuktikan
kebenaran tertentu yang menjadi fenomena yaitu aliran-aliran di dunia seni sastra
dan tentang keorisinilan sebuah karya sastra.
Metode dan teori yang digunakan pada penelitian Abdul Wachid B.S
merujuk pada teori semiotik yang mengacu pada pandangan Michael Riffaterre
dengan konsep dasarnya bahwa karya sastra disatu segi merupakan dialektika
antara pembaca dengan teks. Dengan cara kerja pembaca yang bertugas memberi
makna dengan menemukan makna, yaitu kata-katanya, menurut kemampuan
bahasanya yang berdasarkan fungsinya bahasa sebagai alat komunikasi tentang
gejala di dunia luar. Dalam tataran semiotik karya sastra yang di teliti juga
dibongkar secara struktural, atas dasar ‘significance’-nya; penyimpangan dari
kode bahasa dari makna biasa, dengan latar belakang keseluruhan karya sastra
yang disimpanginya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sajak-sajak D. Zawawi Imron
bukanlah sajak gelap melainkan sajak yang bernilai sastra. Sajak ini memiliki
orisinilitas yang dibangun melalui unsur kepuitisannya seperti diksi, bahasa
kiasan, citraan, sarana retorika, ataupun gaya sajak. Kemiripan dengan gaya
surealisme sebatas sebagai estetika, tidak pada pemikirannya. Pemikiran aku-lirik
sajak karya D. Zawawi Imron memasuki wilayah religiositas, yang dalam hal ini
religiositas Islam, berangkat dari konsep bahwa Allah adalah pencipta segala
sesuatu, pemelihara dan pelaksana, serta tempat kembali seluruh ciptaan (Wachid
Abdul.2012).
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
48
D. Teori Relevan
Ada beberapa ahli yang melakukan penelitian stilistika berangkat dari kajian
struktural terlebih dahulu. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan menganalisis
aspek struktural karya sastra setelah itu secara bersama-sama peneliti
mengolaborasikannya dengan aspek stilistika.
Mengacu pada penelitian-penelitian tentang stilistika yang telah dilakukan
oleh para peneliti terdahuludan telah dipublikasikan dalam bentuk artikel pada e-
jornal,prosiding, serta beberapa penelitian yang telah dibukukan dan di
publikasikan seperti yang telah di ulas pada sub-bab ‘penelitian yang
relevan’,penelitian ini berusaha berpijak pada penelitian-penelitian yang telah ada
tersebut dengan teori stilistika Ali Imron Al Ma’ruf (2012). Penelitian ini
mengambil dua aspek yang merupakan wilayah dalam kajian stilistika, kemudian
dilakukan analisis secara mendalam terhadap aspek stilistika tersebut.
Dalam penelitian ini kajian struktural tidak menjadi pijakan secara utuh
untuk menganalisis aspek stilistika. Peneliti bertolak dari sisi bahasa sebagai
sarana penyampai pesan dan gagasan pengarang. Penyampaian pesan dan gagasan
pengarang yang menggunakan medium bahasa inilah yang menjadi pijakan
peneliti.
Pada penelitian-penelitian stilistika yang telah dipublikasikan, upaya
mencermati gejala-gejala yang muncul sekaitan dengan pemilihan dan pemakaian
bahasa oleh pengarang pada umumnya dilakukan dengan memberikan
interpretasi. Karena sifat interpretasi ini sangat tergantung kepada kepekaan dan
pengalaman masing-masing peneliti maka hasil kajian terhadap karya sastra
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
49
menjadi subjektif. Akan tetapi terhadap hal ini jarang sekali muncul perdebatan
atau pertentangan. Hal ini dikarenakan sifat yang melekat pada karya sastra itu
sendiri.
Terhadap fenomena di atas, maka dalam penelitian ini interpretasi terhadap
objek kajian dilakukan dengan mendistorsi satuan-satuan gramatikal tertentu.
Sehingga upaya interpretasi menjadi lebih terukur dengan mengamati satuan
kebahasaan saat belum dilakukan distorsi dan setelahnya. Satuan kebahasaan yang
didistorsi adalah satuan kebahasaan yang dianggap memiliki kekhasan, keunikan
sesuai dengan aspek-aspek yang dikaji. Upaya ini dilakukan untuk membedakan
potensi estetis satuan kebahasaan yang didistorsi dengan satuan kebahasaan yang
asli. Selanjutnya, peneliti menggunakan istilah “pelesapan atau penghilangan dan
penggantian atau subtitusi’ dalam penjelasan lebih lanjut sekaitan dengan metode
penelitian pada bab III.
E. Landasan Pikir
Kumpulan cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah”karya Seno Gumira
Ajidarma merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berbobot. Kumpulan
cerpen “Senja dan Cinta yang Berdarah”karya Seno Gumira Ajidarmaini terdiri
dari beberapa judul cerpen, seperti “Telepon dari Aceh”, “Sepotong Senja untuk
Pacarku”, “Cinta di Atas Perahu Cadik”, “Orang yang Selalu Cuci Tangan”.
Secara umum karya Seno Gumira Ajidarma memiliki banyak keistimewaan
diantaranya memiliki kekhasan tersendiri yang original dalam cerpen tersebut.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui lebih dalam lagi
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
50
mengenai kekhasan, keunikan kebahasaan dalam cerpen berjudul“Telepon Dari
Aceh”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Cinta di Atas Perahu Cadik”, “Orang
yang Selalu Cuci Tangan” karya Seno Gumira Ajidarma dapat dikaji dari
parameter linguistik yakni melalui analisis stilistika.
Di dalam penelitian ini teori yang digunakan secaraumumdinilaiberbeda.
Apabila pada penelitian yang telah dilakuan (penelitian relevan) umunya teori
yang digunakanadalah teori struktural dengan aspek stilistika yang dikaji tidak
sama dengan penelitian ini. Maka di dalam penelitian ini peneliti
akanmemfokuskan diri pada teori stilistika secara murni dengan dua aspek
stilistika yang dianggap memiliki keunikan dan kekhasan dengan objek kajian
berupa karya sastra prosa.Oleh karena itu, teori yang digunakan dinilai sedikit
berbeda sehingga prosedurpenelitian yang digunakan juga akanberbeda. Adapun
prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dipaparkan pada bab tiga.
Kajian stilistika pada kumpulan cerpen “Senja dan Cinta yang
Berdarah”karya Seno Gumira Ajidarmaini akan menitikberatkan pada teori
stilistika dengan menganalisis padaaspek, (1) aspek kata, (2) bahasa figuratif.
Secaraspesifik aspek kata menekankan pada kosakata bahasa asing sedangkan
penggunaan bahasa figuratif lebih dikhususkan pada analisis idiom, simile,
konotasi, metafora, metonomia, personifikasi, hiperbola.
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016
51
Berikut disajikan bagan kerangka pikir dalam penelitian ini.
Gambar 2.4 Kerangka Pikir
Cerpen berjudul: ‘Telepon Dari Aceh’,
‘Sepotong Senja untuk Pacarku’, ‘Cinta di
Atas Perahu Cadik’, ‘Orang yang Selalu
Cuci Tangan ‘karya Seno Gumira
Ajidarma
Kekhasandan Keunikan
pemakaian bahasa
Kajian Stilistika
Kekhasan dan
keunikian pemilihan,
dan pemakaian kata
Kekhasan, pemilihan
dan pemakaian bahasa
figuratif
- Keunikan
kosakata
bahasa asing
- Idiom
- Simile
- Konotasi
- Metafora
- Metonomia
- Personifikasi
- Hiperbola
Aspek Stilistika Dalam..., Wiwit Supriyatin, Program Pascasarjana UMP, 2016