daftar isi - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5...

21

Upload: others

Post on 08-Oct-2019

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini
Page 2: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................................................... 3

Daftar Singkatan ....................................................................................................................................... 4

Bab I: Pendahuluan .................................................................................................................................. 5

A. Pneumonia Viral di Dunia ............................................................................................................... 5

B. Definisi Pneumonia Viral ................................................................................................................. 6

C. Etiologi Pneumonia Viral................................................................................................................. 6

D. Patofisiologi Pneumonia Viral ....................................................................................................... 6

Bab II: Diagnosis ........................................................................................................................................ 8

A. Spesimen ............................................................................................................................................... 8

B. Mengenali Pneumonia Viral........................................................................................................... 9

C. Kultur ...................................................................................................................................................... 11

D. Pemeriksaan Sitologi ........................................................................................................................ 11

Bab III: Tata Laksana Berdasarkan Etiologi .................................................................................. 12

A. Virus influenza ..................................................................................................................................... 12

B. Respiratory Syncytial Virus ............................................................................................................. 16

C. Adenovirus ........................................................................................................................................... 17

Daftar Pustaka ............................................................................................................................................ 19

Tim Penyusun ............................................................................................................................................. 20

Page 3: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

3

KATA PENGANTAR

Paru merupakan pintu masuk infeksi termudah dan tersering dari setiap individu,

apalagi bila yang bersangkutan mempunya daya tahan menurun. Pneumonia adalah

penyebab infeksi tersering kenapa seseorang harus dirawat di rumah sakit. Berdasarkan

etiologinya pneumonia bisa disebabkan bakteri, jamur atau virus. Pada kondisi tertentu

pneumonia bisa dipicu oleh aspirasi sesuatu.

Pneumoni disebabkan virus terkadang gejala klinisnya hanya berupa demam biasa,

dalam 24 jam bisa terjadi perburukan klinis mendadak kemudian dengan konfirmasi rontgen

dada dan analisa gas darah kita dikagetkan oleh tantangan serius kondisi fatal yang

memerlukan kecepatan bertindak, hal itu kita alami bila menhadapai pneumoni oleh virus

tertentu seperti: SARS, H5N1, H1Ni yang terakhir H7N9.

Pengenalan yang baik seorang klinikus atas berbagai bentuk pneumonia terutama

pneumonia viral akan berarti keselamatan nyawa utk pasien dan penghematan biaya yang

besar karena biasanya keterlambatan berujung pada Sepsis dan ARDS. Dua keadaan ini perlu

biaya besar karena memerlukan perawatan ruangan khusus ICU, sebagian perlu dipasang

ventilator mekanik, dll.

Banyak nya populasi usia lanjut, berbagai penyakit degeratif, berbagai penyakit

dengan kondisi gagal organ (sirosis hati, gagal ginjal khronik, gagal jantung dll) semuanya

dengan kondisi imunkomromais/ daya tahan menurun, mereka bila terpapar dengan virus

yang ditularkan lewat udara maka pneumonia mudah sekali muncul sebagai komplikasi

menunggu.

Page 4: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

4

DAFTAR SINGKATAN

PCR : Polymerase chain reaction

WHO : World Health Organization

RSV : Respiratory syncytical virus

SARS : Severe acute respiratory syndrome

H5N1 : Avian flu

H1N1 : swine flu

CRP : C-reactive protein

CT Scan : Computed tomography scan

ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay

MRT-PCR : Multiplex reverse transcriptase polymerase chain reaction

ECMO : Extracorporeal membrane oxygenation

CDC : The Center for Disease Control and Prevention

sICAM-1 : Soluble intercellular adhesion molecule type I

IL : Interleukin

RT-PCR : Real time polymerase chain reaction

Page 5: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pneumonia Viral di Dunia

Virus dikenal sebagai penyebab utama pneumonia dan sebagai ko-infeksi dengan

pneumonia bakterial. Ketertarikan terhadap pneumonia viral ini makin meningkat seiring

dengan adanya beberapa faktor, seperti peningkatan jumlah pasien imunosupresi, makin

memungkinkannya teknik diagnostik molekular seperti amplifikasi asam nukleat

(misalnya PCR), dan makin berkembangnya terapi antiviral yang efektif.

Berdasarkan perkiraan WHO, sebanyak 450 juta kasus pneumonia terjadi setiap

tahunnya, dengan sekitar 4 juta orang meninggal akibat penyakit ini, terhitung sebanyak

7% dari total mortalitas pada 57 juta orang. Insidensi ini meningkat pada anak-anak di

bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi

kasus ini dapat lima kali lebih besar. Pada anak-anak, terdapat 156 juta kasus pneumonia

yang terdata setiap tahunnya, dengan 151 juta kasus terdapat di negara berkembang.

Sebanyak 200 juta kasus pneumonia komunitas viral dilaporkan terjadi setiap

tahunnya, dengan 100 juta kasus terjadi pada anak-anak dan 100 juta kasus lainnya

terjadi pada dewasa. Dengan tes diagnostik molekular, perhatian terhadap peran virus

dalam insidensi kasus pneumonia makin meningkat. Pada anak, RSV, rhinovirus, human

metapneumovirus, human bocavirus, dan parainfluenza virus merupakan virus yang

paling banyak diidentifikasi pada anak, baik d negara maju maupun negara berkembang.

Infeksi viral ganda umum terjadi, atau dengan ko-infeksi bakteri. Pada dewasa, virus yang

lebih berperan adalah virus influenza, rhinovirus, dan coronavirus. Bakteri lebih dominan

pada pneumonia dewasa.

Adanya epidemi viral di dalam komunitas, usia pasien, kecepatan terjadinya onset

penyakit, gejala, biomarker, perubahan radiografi, dan respon terhadap terapi dapat

membedakan pneumonia yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Beberapa epidemi

virus yang terjadi dalam komunitas di antaranya adalah SARS (2003), H5N1 (2006-2008),

H1N1 (2009), dan yang paling baru adalah H7N9, yang menyebabkan flu berat dengan

angka mortalitas yang tinggi di antara penduduk China yang terpapar daging unggas

yang terinfeksi.

Page 6: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

6

B. Definisi Pneumonia Viral

Pneumonia virus adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi virus

yang sering terlihat perubahan pada foto torak diikuti terjadinya kelainan pertukaran gas

di alveolus.

C. Etiologi Pneumonia Viral

Virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus (PIV), corona virus,

rhino virus, human metapneumo virus (hMPV), bisa menyebabkan community acquired

viral pneumonia, virus influenza adalah penyebab tersering terdiri dari tipe A, B dan C.

Tipe A paling patogen.

D. Patofisiologi Pneumonia Viral

Belum diketahui sepenuhnya. Infeksi awal berbeda tiap virus. Setelah kontaminasi,

kebanyakan virus respiratori cenderung berkembangbiak di epitel saluran nafas atas dan

selanjutnya menginfeksi paru melalui sekret saluran nafas atau penyebaran hematogen.

Kerusakan jaringan tergantung jenis virusnya, ada yang sitopatik, langsung

mempengaruhi pneumosit, yang lain dengan respon imun yang berlebihan. Virus

respiratori merusak saluran nafas dan merangsang host melepaskan antara lain

histamine, leukotrin C4. Infeksi virus respiratori mengubah pola kolonisasi bakteri, yang

meningkatkan perlengketan bakteri ke epitel respiratori, mengurangi mucocilliary

clearance dan fagositosis. Ini membiarkan kolonisasi bakteri patogen dan invasi ke

daerah yang normal steril, sehingga menyebabkan infeksi sekunder.

Virus influenza umumnya menyerang saluran nafas bawah dan parenkim paru setelah

menyebabkan infeksi saluran nafas atas. Virus mencapai paru melalui penyebaran dari

saluran nafas atas atau inhalasi partikel kecil aerosol. Infeksi mulai di silia sel epitel

mukosa dari trakea, bronkus, saluran nafas bawah sehingga merusak sel-sel tersebut

secara luas, mukosa jadi hiperemia, terlihat trakeitis, bronkitis, bronkiolitis dengan

hilangnya sel epitel normal. Submukosa hiperemi dengan perdarahan fokal, oedem,

infiltrasi sel. Rongga alveolus berisi berbagai jumlah netrofil, sel mononuklear bercampur

dengan fibrin dan cairan oedem. Kapiler alveolus hyperemia dengan perdarahan

Page 7: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

7

intraalveolar. Kerusakan sel epitel normal sebagai barrier terhadap infeksi, hilangnya

mucocilliary clearance meningkatkan patogenesis bakteri. Bakteri sendiri bisa

meningkatkan replikasi virus influenza dengan melepaskan protease yang membelah

hemoglutinin virus. Gangguan pertahanan tubuh ini dapat menerangkan sebanyak 53%

pneumonia bakteri rawat jalan disertai infeksi virus.1 Tetapi bisa juga mulai dengan sel

saluran nafas lain seperti sel alveolar, sel kelenjar mukosa, makrofag. Pada sel yang

terinfeksi, virus berkembang biak dalam 4-6 jam, lalu menjalar ke sel sekitarnya. Infeksi

menyebar dari fokus yang sedikit ke sel respiratori yang luas dalam beberapa jam. Masa

inkubasi 18–72 jam. Gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia, diduga virus

menginduksi sitokin terutama TNF-α, interferon-α disekret pernafasan dan sirkulasi

darah. Respon host terhadap infeksi influenza berupa antibodi humoral, antibodi lokal,

imunitas seluler, interferon, dan lain-lain. Respon antibodi serum terdeteksi minggu

kedua setelah infeksi primer. Antibodi sekretori oleh saluran nafas utamanya adalah IgA

sebagai proteksi terhadap infeksi. Interferon terdeteksi di sekret respiratori segera

setelah mulai pelepasan virus (virus shedding), bila titernya naik pelepasan virus

menurun. Pelepasan virus umumnya berhenti 2–5 hari setelah gejala pertama muncul.

Pada orang tua, meningginya risiko infeksi dan komplikasi pneumonia virus karena

komorbid. Berkurangnya fungsi imunitas seluler, humoral, mengganggu pembersihan

virus sehingga virus menyebar ke saluran nafas bawah, inflamasinya meningkat,

penurunan kekuatan otot pernafasan dan proteksi saluran nafas oleh mukosa.

Page 8: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

8

BAB II

DIAGNOSIS

Insidensi pneumonia viral makin meningkat dalam beberapa tahun ini. Gejala klinis yang

muncul bervariasi, dari yang paling ringan dan dapat sembuh sendiri, sampai kasus yang

ekstrem dengan gagal napas, tergantung pada tingkat virulensi agen penyebab dan

komorbiditas pasien. Dalam diagnostik pneumonia viral, harus dipahami bahwa isolasi dari

agen penyebab infeksi ini tidak berarti adanya infeksi yang aktif. Metode tervalidasi yang

dapat dilakukan untuk mencari etiologi dari infeksi virus ini adalah serologi, kultur, evaluasi

secara sitologi, deteksi antigen cepat, dan teknik amplifikasi gen.

A. Spesimen

Diagnosis laboratorium pneumonia viral bergantung dari deteksi antigen virus pada

spesimen saluran napas atas (misalnya sekret nasofaring) dan saluran napas bawah

(misalnya sputum yang diinduksi). Spesimen tersebut kemudian dilakukan identifikasi

dengan kultur atau mikroskop imunofluoresens. Pemeriksaan dengan PCR dapat

meningkatkan kemungkinan deteksi virus, termasuk yang sulit dideteksi dengan kultur.

Setidaknya sebanyak 26 jenis virus ditemukan berhubungan dengan pneumonia

komunitas.

Pengambilan spesimen dari saluran napas atas, kadang sulit dalam interpretasinya,

karena virus pada nasofaring dapat saja menggambarkan koinsidens dari infeksi saluran

napas atas, atau patogen dari pneumonia itu sendiri. Spesimen pada saluran napas atas

yang dapat diambil adalah aspirat nasofaring, swab yang berasal dari nasofaring, hidung,

atau tenggorok, serta gabungan antara swab nasofaring dan tenggorok. Spesimen

saluran napas bawah yang dapat diidentifikasi adalah sputum baik yang dikeluarkan

langsung ataupun yang dilakukan induksi, aspirat trakea, bronchoalveolar lavage, dan

hasil dari pungsi paru.

Sebagian besar studi yang mengkaji penyebab dari pneumonia viral menggunakan

spesimen saluran napas atas untuk pemeriksaan. Pada anak, aspirat nasofaring paling

Page 9: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

9

banyak digunakan. Respiratory virus paling banyak ditemukan pada 95% sampel mukus

dari aspirat nasofaring pada anak dengan infeksi pernapasan.

Swab hidung, yang dilakukan dengan kassa steril dari kedalaman 2-3 cm mempunyai

sensitivitas yang sebanding dengan aspirat nasofaring untuk kultur semua respiratory

virus, kecuali respiratory syndcytial virus. Swab dengan serat nilon (flocked swabs) lebih

disukai dikarenakan lebih nyaman digunakan dengan sensitivitas yang sama dengan

aspirat nasofaring dalam mendeteksi respiratory virus oleh PCR. Pada dewasa, swab

nasofaring mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan swab

tenggorok, tetapi kurang sensitif dibandngkan dengan cuci nasofaring. Flocked swab

nasofaring transnasal juga mempunyai tingkat deteksi virus yang tinggi pada dewasa.

Spesimen saluran napas bawah mempunyai kelebihan dalam menentukan etiologi

dari pneumonia karena spesimen ini berasal dari tempat infeksinya. Namun, salah satu

tantangan yang harus dihadapi adalah mendapatkan spesimen yang bebas dari

kontaminasi flora dari saluran napas atas. Spesimen dengan kualitas yang tinggi didapat

dengan aspirasi toraks, tetapi teknik ini tidak dianjurkan karena invasif.

B. Mengenali Pneumonia Viral

Pneumonia viral harus dibedakan dengan pneumonia bakterial, karena

manajemennya yang berbeda. Secara umum, perbedaan keduanya dapat dilihat pada

tabel 1. Respiratory virus biasanya mengikuti pola musim, sehingga waktu infeksinya

mengikuti waktu tersebut. Di negara dengan empat musim, epidemi respiratory syncytical

virus, biasanya terjadi pada akhir musim gugur, epidemi rhinovirus meningkat pada

musim gugur dan musim semi, sedangkan influenza meningkat pada akhir musim gugur

dan awal musim dingin. Beberapa virus dapat bersirkulasi pada satu waktu yang spesifik,

walaupun saat itu adalah puncak epidemi dari satu virus.

Tabel 1. Membedakan pneumonia viral dan bakterial

Diduga Penyebab Virus Diduga Penyebab Bakteri

Usia Kurang dari 5 tahun Dewasa

Situasi epidemi Sedang epidemi virus -

Onset penyakit Onset lambat Onset cepat

Page 10: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

10

Profil klinis Rinitis, wheezing Demam tinggi, takipnea

Biomarker

Jumlah leukosit total < 10 x 109 sel/L > 15 x 109 sel/L

Konsentrasi CRP < 20 mg/L > 60 mg/L

Konsentrasi prokalsitonin < 0,1 µg/L > 0,5 µg/L

Temuan radiografi toraks Infiltrat interstitial tunggal,

bilateral

Infiltrat alveolar lobaris

Respon terhadap antibiotik Lambat atau tidak respon

sama sekali

Cepat

Pneumonia viral lebih dapat dikenali peningkatannya pada dewasa, walaupun demikian,

kejadiannya meningkat pada anak di bawah usia 2 tahun. Berdasarkan British Thoracic

Society, demam lebih dari 38,5ºC, laju respirasi lebih dari 50 kali/menit, dengan adanya

retraksi dada menunjukkan pneumonia bakterial dibandingkan dengan pneumonia viral.

Sebagai perbandingan, pada usia muda, adanya wheezing, demam di bawah 38,5ºC, dengan

retrakasi dada yang mencolok menunjukkan penyebabnya virus. Walaupun demikian, tanda

dan gejala klinis dari pneumonia viral atau bakterial seringkali overlap. Jika ada gejala seperti

onset yang tiba-tiba, demam tinggi, menggigil, nyeri dada pleuritik, infiltrat lobaris,

leukositosis, maka kumpulan gejala tersebut merujuk pada pneumonia bakterial (tipikal

untuk pneumonia pneumococcal).

Jumlah sel darah putih, konsentrasi CRP dalam serum, dan prokalsitonin merupakan

variabel yang dapat menunjukkan adanya pneumonia komunitas. Namun, secara umum,

biomarker ini akan meningkat secara signifikan pada pneumonia yang disebabkan oleh

bakteri. Prokalsitonin dapat mengidentifikasi adanya infeksi bakteri. Biomarker ini akan

meningkat pada 6-12 jam setelah onset infeksi bakteri, menurun setengahnya ketika infeksi

terkontrol. Pada pneumonia, konsentrasi prokalsitonin ini akan meningkat lebih dari 0,5 µg/L

yang menunjukkan adanya infeksi bakteri. Angka yang lebih rendah menujukkan bahwa

kemungkinan kecil terjadi infeksi bakteri.

Rekomendasi dari American Thoracic Society menunjukkan bahwa diagnosis pneumonia

seharusnya dilakukan melalui pemeriksaan radiografi toraks. Adanya infiltrat interstitial pada

radiografi toraks menunjukkan bahwa penyebab pneumonia adalah virus, sedangkan infiltrat

Page 11: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

11

alveolar mengindikasikan bahwa penyebab pneumonia adalah bakteri. Walaupun demikian,

baik bakteri maupun virus sendiri, atau gabungan keduanya dapat menyebabkan perubahan

radiografi yang luas. Pada pemeriksaan CT scan toraks, ditemukan opasitas tree-bud,

konsolidasi multifokal, dan ground-glass opacities pada dewasa dengan pneumonia viral

tanpa adanya bukti infeksi bakteri.

C. Kultur

Kultur dapat dilakukan untuk sebagian besar respiratory virus, tetapi dibutuhkan

waktu yang lama untuk mendapatkan hasil dari pemeriksaan ini. Untuk melakukan

pemeriksaan kultur, sampel jaringan dari saluran napas atas/bawah, sputum, dan

spesimen nasofaring atau bronchoalveolar lavage dapat digunakan. Efek sitopatik virus

dapat diamati dari kultur sel, seperti pembentukan multinucleated giant cell atau adanya

bukti pertumbuhan virus.

D. Pemeriksaan Sitologi

Spesimen untuk pemeriksaan ini diperoleh dari sekret nasal atau bronkoalveolar.

Teknik ini bertujuan untuk mengidentifikasi nukleus (virus DNA) atau inklusi sitoplasmik

(virus RNA). Identifikasi adanya inklusi mengonfirmasi diagnosis. Kekurangan dari

metode ini adalah mempunyai sensitivitas yang rendah, sehingga tidak adanya temuan

tidak dapat menyingkirkan penyakit.

E. Deteksi Antigen Cepat

Tes deteksi cepat ini dapat digunakan dengan mudah, menggunakan spesimen dari

swab nasal. Tes ELISA dapat digunakan untuk sebagian besar respiratory virus.

Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi antigen virus. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini

bervariasi bergantung dari agen yang dilakukan analisis. Namun, pemeriksaan ini tidak

direkomendasikan untuk mengonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan ini kurang sensitif jika

dibandingkan dengan kultur, tetapi dapat digunakan sebagai tambahan untuk

meningkatkan kemungkinan diagnosis.

Page 12: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

12

F. Amplifikasi Gen

Teknik PCR sangat sensitif dan spesifik dalam mendeteksi virus. Metode ini dapat

menggunakan sampel dari sekret nasofaring, atau cairan tubuh, seperti darah, untuk infeksi

cytomegalovirus.

Teknik PCR terbaru, yakni MRT-PCR dapat digunakan untuk deteksi cepat beberapa

respiratory virus, seperti influenza A dan B, RSV A dan B, HPIV 1, 2, dan 3, metapneumovirus,

dan adenovirus. Namun, kekurangannya, untuk deteksi H1N1, pemeriksaan ini belum sensitif.

Page 13: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

13

BAB III

TATA LAKSANA BERDASARKAN ETIOLOGI

A. Virus Influenza

Virus influenza menjadi penyebab utama infeksi paru akibat virus. Influenza

merupakan virus yang mengandung RNA yang termasuk dalam famili Myxovirus, yang

dibagi menjadi tiga grup, yaitu A, B, dan C berdasarkan antigen membran intena (M) dan

nucleoprotein (NP). Grup A dibagi lagi berdasarkan glikoprotein permukaannya, yaitu

hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Hemaglutinin dibutuhkan virus untuk

berikatan dan penetrasi ke dalam membran sel pejamu. Neuraminidase membantu

dalam pelepasan dan penyebaran partikel virus yang sudah bereplikasi. Virus influenza A

dapat melakukan mutase secara spontan, memproduksi strain baru dengan mengubah

glikoprotein H dan N. Penamaan strain virus influenza secara lengkap termasuk tipe virus,

lokasi geografis ditemukannya virus, nomor strain, tahun, dan nomor H dan N (misalnya

A/California/7/2009[H1N1]). Tiga tipe virus influenza ini dapat mengubah struktur secara

minor, kecuali tipe A yang dapat memproduksi strain yang berbeda secara serologi.

Imunitas tubuh tehadap virus influenza ini bergantung dari antibodi yang dihasilkan

tehadap glikoprotein tersebut. Ketika perubahan antigen yang minor (antigenic drift)

terjadi, efek tehadap antibodi juga minor. Namun, dengan perubahan antigen yang besar

(antigentic shift), sebagian besar orang tidak mempunyai respon imun terhadap virus

yang baru ini sehingga dapat terjadi pandemi. Misalnya, virus H1N1 berperan dalam

terjadinya pandemi pada tahun 2009. WHO memperkirakan terdapat 16.226 kematian

yang berhubungan dengan pandemi virus tersebut dari April 2009 sampai Januari 2010.

Hewan-hewan, seperti ungags atau babi merupakan reservoir penting untuk virus

influenza, yang memungkinkan untuk tejadinya rekombinasi genetik yang menghasilkan

virus baru.

Infeksi virus influenza dapat menyebabkan kematian sel, terutama di saluran naoas

atas. Ketika virus menginfeksi saluran napas atas secara langsung, dapat terjadi

gangguan pembersihan mukosilier, yang menyebabkan bakteri dapat menempel di epitel

saluran napas. Gangguan fungsi dari sel T, makrofag, dan neutrofil juga terjadi, sehingga

Page 14: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

14

menurunkan respon imun tubuh. Semua proses ini memungkinkan untuk tejadinya ko-

infeksi dengan bakteri.

Masa inkubasi virus ini adalah satu sampai dua hari, sedangkan gejalanya

berlangsung dari tiga sampai lima hari. Tiga presentasi klinis yang mungkin terjad adalah

pneumonia primer akibat influenza, pneumonia akibat influenza dengan infeksi sekunder

bakteri, dan ko-infeksi secara simultan antara virus dengan bakteri.

1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang

Pneumonia primer dapat memberikan gejala berupa batuk yang persisten, nyeri

tenggorok, sakit kepala, dan mialgia selama kurang lebih lima hari. Dapat juga terjadi

sesak napas dan sianosis. Pada pneumonia dengan infeksi bakteri sekunder, dapat

ditemukan demam tinggi, batuk, dan sputum yang purulen, yang berhubungan

dengan adanya gambaran opasitas pada radiologi. Bakteri utama yang dapat

menyebabkan infeksi ini adalah Streptococcus pneumoniae (48%), Staphylococcus

aureus, dan Haemophilus influenzae. Pneumonia yang disebabkan oleh ko-infeksi

virus dan bateri mempunyai manifestasi yang serupa.

Marker inflamasi seperti CRP dan prokalsitonin mempunyai sedikit kegunaan

dalam membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri. Gambaran radiologi tidak

begitu spesifik. Gambaran yang dapat ditemukan adalah berupa opasitas di perihilar

dan peribronkus, konsolidasi, dan opasitas interstitial bilateral yang difus, terutama

pada bentuk penyakit yang lebih parah atau pada pasien dengan neutropenia. Virus

influenza dapat diisolasi pada sputum, sekret nasal, swab nasal atau faring. Sebanyak

90% hasil kultur positif dideteksi dalam waktu tiga hari, sampai dengan tujuh hari. Tes

deteksi cepat influenza mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap virus influenza

tipe A dan tipe B (100%), tetapi sensitivitasnya rendah (40-80%). Sehingga pada kasus

seperti dugaan H1N1, tes ini tidak direkomendasikan. Pemeriksaan dengan PCR yang

dapat berguna. Pemeriksaan histologis dapat menjadi opsi, tetapi dilakukan dengan

cara invasif, yakni biopsi paru.

2. Tata Laksana

Tata laksana yang harus diberikan pada pasien dengan pneumonia virus adalah

oksigen, analgesik, antipiretik, dan antivirus pada kasus tertentu. Obat yang

Page 15: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

15

direkomendasikan untuk tata laksana influenza adalah amantadin, rimantadin,

oseltamivir, dan zanamivir (Tabel 2). Amantadin dan rimantadin direkomendasikan

untuk pencegahan dan terapi, tetapi tidak efektif untuk influenza tipe B. Obat ini

bekerja dengan memblik kanal ion pada protein M2 virus dan mencegah terjadinya

dekapsulasi. Harus digunakan pada 48 jam setelah onset gejala. Namun, beberapa

strain dilaporkan resisten terhadap obat ini, sehingga tidak direkomendasikan

sebagai terapi empiris tunggal.

Tabel 2. Terapi farmakologi pneumonia viral

Mekanisme Obat Dosis Virus

Inhibitor

neuraminidase

Oseltamivir 75-150 mg dua kali sehari selama lima

hari (PO)1

Influenza A

dan B

Zanamivir 10 mg dua kali sehari selama lima hari

(aerosol)

Inhibitor protein

M2

Amantadin 100 mg dua kali sehari selama lima hari

(PO)

Influenza A

Rimantadin 200 mg dua kali sehari selama lima hari

(PO)

Tidak diketahui Ribavirin

(20 mg/mL)

18 jam/hari (aerosol) selama tiga sampai

enam hari dengan nebulizer

RSV2

Adenovirus3

Parainfluenza 1PO: per oral

2RSV: respiratory syncytical virus

3untuk adenovirus, sebaiknya diberikan kombinasi dnegan cidofovir (5 mg/kg, satu minggu sekali,

intravena)

Oseltamivir dan zanamivir merupakan obat yang bekerja dengan memblok

protein permukaan neuraminidase dan menangkap virus yang terinfeksi di epitel

saluran napas. Obat ini juga harus diberikan dalam 48 jam setelah munculnya gejala.

Obat ini dapat digunakan untuk influenza tipe A dan B, dan mempunyai potensi yang

rendah untuk menimbulkan resistensi. Pada kasus pneumonia yang berat, obat ini

dapat digunakan setelah 48 jam dari onset gejala.

Ketika terjadi gagal napas, seperti pada kasus H1N1, prone ventilation dan ECMO

dapat membantu, di samping pemberian antivirus.

3. Pencegahan

Page 16: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

16

Vaksinasi menjadi metode paling efektif untuk mencegah epidemi dari virus

influenza A. CDC merekomendasikan vaksinasi dilakukan pada populasi yang rentan,

yakni anak usia 6 bulan sampai 4 tahun, dan dewasa usia 50 tahun ke atas. Populasi

lainnya yang direkomendasikan adalah individu dengan penyakit paru yang kronik,

kardiovaskular (kecuali hipertensi saja), gangguan renal, hepar, hematologi,

metabolik (temasuk pasien DM), pasien imunosupresif, wanita yang hamil atau akan

hamil pada musim influenza. Vaksinasi juga direkomendasikan untuk perawat,

pekerja di fasilitas kesehatan, penjaga anak-anak atau geriatri, atau orang yang

kontak dekat dengan pasien influenza. Oseltamivir 1 x 75 mg/hari pada orang yang

risiko tinggi selama terjadi paparan, dapat diberikan untuk mencegah infeksi.

B. Respiratory Syncytial Virus

RSV merupakan famili dari Paramyviridae virus, dan merupakan virus yang

menyebabkan infeksi saluran napas bawah paling sering pada anak. Belakangan

diketahui bahwa virus ini menjadi penyebab paling sering pneumonia pada dewasa,

terutama pada usia lanjut. Populasi yang beresiko adalah anak di bawah usia enam bulan,

pasien dengan penyakit kronik seperti fibrosis kistik, pasien dengan penyakit jantung

bawaan, orang usia lanjut, dan pasien imunosupresif. Total mortalitas pada dewasa akibat

infeksi virus ini bervariasi, yakni dari 1-5% pada orang sehat, dan meningkat menjadi 41%

pada resipien transplantasi sumsum tulang.

Tabel 3. Perbedaan gejala klinis antara pneumonia akibat influenza atau RSV

Gejala Influenza RSV

Demam ++++ +

Mialgia +++ +

Kongesti nasal + +++

Wheezing ++ ++++

Produksi sputum ++ +++

Gejala gastrointestinal +++ -

“+” menandakan beratnya gejala pneumonia akibat spesies tertentu

“-“ menandakan tidak adanya gejala tersebut

1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang

Page 17: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

17

RSV jarang didiagnosis pada dewasa. Gejala yang dapat muncul antara lain

hidung berair, nyeri telinga, nyeri tenggorok, yang berhubungan dengan batuk lama

(baik kering maupun berdahak), dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisik dapat

ditemukan wheezing. RSV dapat menyebabkan bronkhitis, bronkhiolitis, dan

pneumonia yang berat sehingga membutuhkan ventilasi mekanik. Dibandingkan

dengan virus influenza, pada infeksi RSV, frekuensi rinorea dan sputum purulen lebih

besar, tetapi gejala demam dan gastrointestinal jarang ditemukan.

Penanda inflamasi saluran napas dan darah, seperti sICAM-1, IL-1, dan IL-6, dapat

menandakan infeksi jika ditemukan meningkat. Peningkatan kadar penanda tersebut

berhubungan dengan durasi hospitalisasi dan keparahan penyakit. Temuan radiologi

tidak spesifik untuk RSV, yakni ditemukannya opasitas alveolar bilateral dan

interstitial, sama seperti pada virus influenza.

Virus ini dapat diisolasi melalui kultur, dengan sampel paling baik diambil dari

sekret nasofaring dan trakea. Pada pasien imunosupresif, kultur positif ditemukan

pada 15% sampel sekret nasofaring, lebih drai 70% pada sekret tenggorok, dan lebih

dari 89% pada sekret bronkoalveolar. Tes deteksi cepat untuk antigen virus ini

mempunyai sensitivitas antara 50-90% dan spesifisitas yang tinggi (90-95%).

Amplifikasi dengan RT-PCR juga tersedia.

2. Tata Laksana

Ribavirin bekerja dengan mencegah terjadinya transkripsi virus dan satu-satunya

obat antivirus untuk pneumonia akibat RSV. Obat ini direkomendasikan untuk

diberikan hanya pada kasus yang berat dan pada pasien dengan risiko komplikasi

yang tinggi. Imunoglobulin spesifik intravena, seperti palivizumab, dapat digunakan

dengan kombinasi ribavirin, pada pasien yang dalam kondisi kritis dan beresiko

tinggi.

C. Adenovirus

Adenovirus merupakan virus DNA dengan 52 serotipe. Infeksi adenovirus dapat

terjadi kapan saja dalam waktu satu tahun. Adeovirus merupakan penyebab 10%

Page 18: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

18

pneumonia pada anak. Virus ini pernah diidentifikasi menjadi penyebab outbreaks pada

kemah militer di Amerika Serikat.

Serotipe virus ini diklasifikasikan menjadi 7 subgrup atau spesies (A sampai G). Infeksi

paru banyak disebabkan oleh serotipe 1, 2, 3, 4, 5, 7, 14, dan 21. Walaupun sebagian

besar virus ini mempunyai tingkat mortalitas yang rendah, namun subtipe 14 dilaporkan

dapat menyebabkan gagal napas yang berat, terutama pada pasien HIV dan pasien

dengan gangguan imunitas sel lainnya. Penyebaran virus ini terjadi langsung melalui

konjungiva, hirupan, feses, dan muntahan. Virus ini dapat bertahan di lingkungan dalam

hitungan minggu. Reaktivasi virus ini dapat juga menghasilkan penyakit seperti

keratokonjungtivitis, gastroenteritis, hepatitis, sistitis, dan pneumonia. Mortalitasnya

bervariasi, antara 38-100%, terutama pada pasien yang menerima transplantasi sumsum

tulang.

1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang

Gejala yang dapat diamati pada pasien adalah berupa demam, batuk, hidung

berair, suara serak, tonsilitis, dan otitis media, selama tiga sampai lima hari.

Leukositosis dan peningkatan penanda inflamasi dapat membedakan dari infeksi

baktei. Opasitas paru retikolunodular dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi,

tetapi jarang ditemukan adanya konsolidasi.

Kultur dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis, dengan melihat efek

sitopatik akibat virus pada dua sampai 20 hari setelah onset gejala. Serotipe 14

dapat dideteksi dengan teknik deteksi antigen cepat dan PCR.

2. Tata Laksana

Obat yang dapat digunakan untuk infeksi adenovirus adalah ribavirin, cidofovir,

ganciclovir, dan vidarabine, dengan angka kesembuhan paling tinggi didapat dari

kombinasi antara cidofovir/ribavirin.

Page 19: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Ruuskanen O, Lahti E, Jennings JC, Murdoch DR. Viral pneumonia. Lancet. 2011; 377:

1264-75.

2. Da Rocha Neto OG, Leite RF, Baldi BG. Update on viral community-acquired

pneumonia. Rev Assoc Med Bras. 2013; 59 (1): 78-84.

3. Falsey AR, Walsh EE. Viral pneumonia in older adults. Aging and Infectious Disease.

2006; 42: 518-24.

4. Luu BQ. Viral Pneumonia. Dalam Morris TA, Ries AL, Bordow RA. Manual of Clinical

Problem in Pulmonary Medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.

5. Marcos MA, Esperatti M, Torres A. Viral pneumonia. Curr Opin Infect Dis. 2009; 22:

143-7.

6. Wiemken T, Peyrani P, Bryant K, et al. Incidence respiratory viruses in patients with

community-acquired pneumonia admitted to the intensive care unit: result from the

Severe Influenza Pneumonia Surveillance (SIPS) project. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.

2013; 32: 705-10.

7. Choi SH, Hong SB, Ko GB, et al. Viral infection in patients with severe pneumonia

requiring intensive care unit admission. Am J Respir Crit Care Med. 2012; 186(4): 325-

32.

8. Stephen CH, Grace R, John S, Sophie W. Respiratory infection: viral. Dalam Oxford

handbook of respiratory medicine. Edisi kedua. Inggris: Oxford University Press. 2009;

530- 45.

9. Treanor J. Viral infection of the lung and respiratory tract. Dalam Fisman AP, Alias JA,

Fisman JA, Grippi MA. Fisman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi ke-4. USA:

McGraw-Hill companies; 2008: 2388- 95.

10. Influenza and others viral respiratory Diseases. Dalam Fauci SH, Braundwald E, Kasper

DL. Harrison’s Manual of Medicine. Edisi ke-17. USA: Mc Grawhill Co, inc.

11. Griffith J, Dambro MR, Griffith HW. Pneumonia Viral. Dalam Griffith’s 5 minutes

clinical consult. Edisi ke-16. Philadelphia; 2006: 862- 63.

Page 20: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

20

TIM PENYUSUN

Dr. Zulkifli Amin, dr., SpPD-KP, FCCP,

FINASIM (Ketua)

Dr. Arto Yuwono Soeroto, dr., SpPD-KP,

FCCP, FINASIM

Sumardi, dr., SpPD-KP, FINASIM

Agus Suryanto, dr., SpPD-KP, FCCP,

FINASIM

Ahmad Rasyid, dr., SpPD-KP, FINASIM

Alwinsyah Abidin, dr., SpPD-KP, FINASIM

Anna Uyainah Z.N., dr., SpPD-KP, MARS,

FINASIM

Aryanto Suwondo, dr., SpPD-KP, FINASIM

Asril Bahar, dr., SpPD-KP, KGer, FINASIM

Prof. Azhar Tanjung, dr., SpPD-KP, KAI,

FINASIM

Bambang Sigit Riyanto, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Banteng Hanang Wibisono, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Prof. Barmawi Hisyam, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Crispian Oktafbipian Mamudi, dr., SpPD-

KP

Dr. Cleopas Martin Rumende, dr., SpPD-

KP, FCCP, FINASIM

Diah Syafriani, dr., SpPD

Eko Budiono, dr., SpPD-KP, FINASIM

Dr. Emmy Hermiyanti Pranggono, dr.,

SpPD-KP, KIC, FINASIM

Efata Bilvian Ivano Polii, dr., SpPD

Ermanta Ngirim Keliat, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Erwin Arief, dr., SpPD-KP, SpP, FINASIM

Farida, dr., SpPD

Fathur Nurcholis, dr., SpPD

Fauzar, dr., SpPD-KP

F. Hadi Halim, dr., SpPD-KP, FINASIM

Gurmeet Singh, dr., SpPD-KP

Ika Trisnawati, dr., SpPD

IGN Bagus Artana, dr., SpPD

I Made Bagiada, dr., SpPD-KP, FINASIM

I Wayan Hero Wantara, dr., SpPD

Karel Arahmanda, dr., SpPD-KP, FINASIM

Merianson, dr., SpPD

M.C.P. Wongkar, dr., SpPD-KP, FINASIM

M. Harun Iskandar, dr., SpPD-KP, FINASIM

Ketut Gede Sajinadiyasa, dr., SpPD

Muhammad Ilyas, dr., SpPD-KP, SpP,

FINASIM

Nur Ahmad Tabri, dr., SpPD-KP, SpP,

FINASIM

Page 21: DAFTAR ISI - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi kasus ini

21

Prof. Pasiyan Rahmatulloh, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Prayudi Santoso, dr., SpPD-KP, MKes,

FCCP, FINASIM

Putu Andrika, dr., SpPD, KIC

Rouly Pola Pasaribu, dr., SpPD

Roza Kurniati, SpPD-KP

Samsirun Halim, dr., SpPD, KIC, FINASIM

Sudarto, dr., SpPD

Telly Kamelia, dr., SpPD-KP

Thomas Handoyo, dr., SpPD

Yana Akhmad Supriatna, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Zen Achmad, dr., SpPD-KP, FINASIM

Prof. Zulkarnain Aryad, dr., SpPD-KP,

FINASIM

Fia Afifah Mutiksa, dr.