daftar isi - staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/zulkifli.amin/miscellaneous/...bawah 5...
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................................................... 3
Daftar Singkatan ....................................................................................................................................... 4
Bab I: Pendahuluan .................................................................................................................................. 5
A. Pneumonia Viral di Dunia ............................................................................................................... 5
B. Definisi Pneumonia Viral ................................................................................................................. 6
C. Etiologi Pneumonia Viral................................................................................................................. 6
D. Patofisiologi Pneumonia Viral ....................................................................................................... 6
Bab II: Diagnosis ........................................................................................................................................ 8
A. Spesimen ............................................................................................................................................... 8
B. Mengenali Pneumonia Viral........................................................................................................... 9
C. Kultur ...................................................................................................................................................... 11
D. Pemeriksaan Sitologi ........................................................................................................................ 11
Bab III: Tata Laksana Berdasarkan Etiologi .................................................................................. 12
A. Virus influenza ..................................................................................................................................... 12
B. Respiratory Syncytial Virus ............................................................................................................. 16
C. Adenovirus ........................................................................................................................................... 17
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................ 19
Tim Penyusun ............................................................................................................................................. 20
3
KATA PENGANTAR
Paru merupakan pintu masuk infeksi termudah dan tersering dari setiap individu,
apalagi bila yang bersangkutan mempunya daya tahan menurun. Pneumonia adalah
penyebab infeksi tersering kenapa seseorang harus dirawat di rumah sakit. Berdasarkan
etiologinya pneumonia bisa disebabkan bakteri, jamur atau virus. Pada kondisi tertentu
pneumonia bisa dipicu oleh aspirasi sesuatu.
Pneumoni disebabkan virus terkadang gejala klinisnya hanya berupa demam biasa,
dalam 24 jam bisa terjadi perburukan klinis mendadak kemudian dengan konfirmasi rontgen
dada dan analisa gas darah kita dikagetkan oleh tantangan serius kondisi fatal yang
memerlukan kecepatan bertindak, hal itu kita alami bila menhadapai pneumoni oleh virus
tertentu seperti: SARS, H5N1, H1Ni yang terakhir H7N9.
Pengenalan yang baik seorang klinikus atas berbagai bentuk pneumonia terutama
pneumonia viral akan berarti keselamatan nyawa utk pasien dan penghematan biaya yang
besar karena biasanya keterlambatan berujung pada Sepsis dan ARDS. Dua keadaan ini perlu
biaya besar karena memerlukan perawatan ruangan khusus ICU, sebagian perlu dipasang
ventilator mekanik, dll.
Banyak nya populasi usia lanjut, berbagai penyakit degeratif, berbagai penyakit
dengan kondisi gagal organ (sirosis hati, gagal ginjal khronik, gagal jantung dll) semuanya
dengan kondisi imunkomromais/ daya tahan menurun, mereka bila terpapar dengan virus
yang ditularkan lewat udara maka pneumonia mudah sekali muncul sebagai komplikasi
menunggu.
4
DAFTAR SINGKATAN
PCR : Polymerase chain reaction
WHO : World Health Organization
RSV : Respiratory syncytical virus
SARS : Severe acute respiratory syndrome
H5N1 : Avian flu
H1N1 : swine flu
CRP : C-reactive protein
CT Scan : Computed tomography scan
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay
MRT-PCR : Multiplex reverse transcriptase polymerase chain reaction
ECMO : Extracorporeal membrane oxygenation
CDC : The Center for Disease Control and Prevention
sICAM-1 : Soluble intercellular adhesion molecule type I
IL : Interleukin
RT-PCR : Real time polymerase chain reaction
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pneumonia Viral di Dunia
Virus dikenal sebagai penyebab utama pneumonia dan sebagai ko-infeksi dengan
pneumonia bakterial. Ketertarikan terhadap pneumonia viral ini makin meningkat seiring
dengan adanya beberapa faktor, seperti peningkatan jumlah pasien imunosupresi, makin
memungkinkannya teknik diagnostik molekular seperti amplifikasi asam nukleat
(misalnya PCR), dan makin berkembangnya terapi antiviral yang efektif.
Berdasarkan perkiraan WHO, sebanyak 450 juta kasus pneumonia terjadi setiap
tahunnya, dengan sekitar 4 juta orang meninggal akibat penyakit ini, terhitung sebanyak
7% dari total mortalitas pada 57 juta orang. Insidensi ini meningkat pada anak-anak di
bawah 5 tahun dan pada dewasa di atas 75 tahun. Di negara berkembang, insidensi
kasus ini dapat lima kali lebih besar. Pada anak-anak, terdapat 156 juta kasus pneumonia
yang terdata setiap tahunnya, dengan 151 juta kasus terdapat di negara berkembang.
Sebanyak 200 juta kasus pneumonia komunitas viral dilaporkan terjadi setiap
tahunnya, dengan 100 juta kasus terjadi pada anak-anak dan 100 juta kasus lainnya
terjadi pada dewasa. Dengan tes diagnostik molekular, perhatian terhadap peran virus
dalam insidensi kasus pneumonia makin meningkat. Pada anak, RSV, rhinovirus, human
metapneumovirus, human bocavirus, dan parainfluenza virus merupakan virus yang
paling banyak diidentifikasi pada anak, baik d negara maju maupun negara berkembang.
Infeksi viral ganda umum terjadi, atau dengan ko-infeksi bakteri. Pada dewasa, virus yang
lebih berperan adalah virus influenza, rhinovirus, dan coronavirus. Bakteri lebih dominan
pada pneumonia dewasa.
Adanya epidemi viral di dalam komunitas, usia pasien, kecepatan terjadinya onset
penyakit, gejala, biomarker, perubahan radiografi, dan respon terhadap terapi dapat
membedakan pneumonia yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Beberapa epidemi
virus yang terjadi dalam komunitas di antaranya adalah SARS (2003), H5N1 (2006-2008),
H1N1 (2009), dan yang paling baru adalah H7N9, yang menyebabkan flu berat dengan
angka mortalitas yang tinggi di antara penduduk China yang terpapar daging unggas
yang terinfeksi.
6
B. Definisi Pneumonia Viral
Pneumonia virus adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi virus
yang sering terlihat perubahan pada foto torak diikuti terjadinya kelainan pertukaran gas
di alveolus.
C. Etiologi Pneumonia Viral
Virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus (PIV), corona virus,
rhino virus, human metapneumo virus (hMPV), bisa menyebabkan community acquired
viral pneumonia, virus influenza adalah penyebab tersering terdiri dari tipe A, B dan C.
Tipe A paling patogen.
D. Patofisiologi Pneumonia Viral
Belum diketahui sepenuhnya. Infeksi awal berbeda tiap virus. Setelah kontaminasi,
kebanyakan virus respiratori cenderung berkembangbiak di epitel saluran nafas atas dan
selanjutnya menginfeksi paru melalui sekret saluran nafas atau penyebaran hematogen.
Kerusakan jaringan tergantung jenis virusnya, ada yang sitopatik, langsung
mempengaruhi pneumosit, yang lain dengan respon imun yang berlebihan. Virus
respiratori merusak saluran nafas dan merangsang host melepaskan antara lain
histamine, leukotrin C4. Infeksi virus respiratori mengubah pola kolonisasi bakteri, yang
meningkatkan perlengketan bakteri ke epitel respiratori, mengurangi mucocilliary
clearance dan fagositosis. Ini membiarkan kolonisasi bakteri patogen dan invasi ke
daerah yang normal steril, sehingga menyebabkan infeksi sekunder.
Virus influenza umumnya menyerang saluran nafas bawah dan parenkim paru setelah
menyebabkan infeksi saluran nafas atas. Virus mencapai paru melalui penyebaran dari
saluran nafas atas atau inhalasi partikel kecil aerosol. Infeksi mulai di silia sel epitel
mukosa dari trakea, bronkus, saluran nafas bawah sehingga merusak sel-sel tersebut
secara luas, mukosa jadi hiperemia, terlihat trakeitis, bronkitis, bronkiolitis dengan
hilangnya sel epitel normal. Submukosa hiperemi dengan perdarahan fokal, oedem,
infiltrasi sel. Rongga alveolus berisi berbagai jumlah netrofil, sel mononuklear bercampur
dengan fibrin dan cairan oedem. Kapiler alveolus hyperemia dengan perdarahan
7
intraalveolar. Kerusakan sel epitel normal sebagai barrier terhadap infeksi, hilangnya
mucocilliary clearance meningkatkan patogenesis bakteri. Bakteri sendiri bisa
meningkatkan replikasi virus influenza dengan melepaskan protease yang membelah
hemoglutinin virus. Gangguan pertahanan tubuh ini dapat menerangkan sebanyak 53%
pneumonia bakteri rawat jalan disertai infeksi virus.1 Tetapi bisa juga mulai dengan sel
saluran nafas lain seperti sel alveolar, sel kelenjar mukosa, makrofag. Pada sel yang
terinfeksi, virus berkembang biak dalam 4-6 jam, lalu menjalar ke sel sekitarnya. Infeksi
menyebar dari fokus yang sedikit ke sel respiratori yang luas dalam beberapa jam. Masa
inkubasi 18–72 jam. Gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia, diduga virus
menginduksi sitokin terutama TNF-α, interferon-α disekret pernafasan dan sirkulasi
darah. Respon host terhadap infeksi influenza berupa antibodi humoral, antibodi lokal,
imunitas seluler, interferon, dan lain-lain. Respon antibodi serum terdeteksi minggu
kedua setelah infeksi primer. Antibodi sekretori oleh saluran nafas utamanya adalah IgA
sebagai proteksi terhadap infeksi. Interferon terdeteksi di sekret respiratori segera
setelah mulai pelepasan virus (virus shedding), bila titernya naik pelepasan virus
menurun. Pelepasan virus umumnya berhenti 2–5 hari setelah gejala pertama muncul.
Pada orang tua, meningginya risiko infeksi dan komplikasi pneumonia virus karena
komorbid. Berkurangnya fungsi imunitas seluler, humoral, mengganggu pembersihan
virus sehingga virus menyebar ke saluran nafas bawah, inflamasinya meningkat,
penurunan kekuatan otot pernafasan dan proteksi saluran nafas oleh mukosa.
8
BAB II
DIAGNOSIS
Insidensi pneumonia viral makin meningkat dalam beberapa tahun ini. Gejala klinis yang
muncul bervariasi, dari yang paling ringan dan dapat sembuh sendiri, sampai kasus yang
ekstrem dengan gagal napas, tergantung pada tingkat virulensi agen penyebab dan
komorbiditas pasien. Dalam diagnostik pneumonia viral, harus dipahami bahwa isolasi dari
agen penyebab infeksi ini tidak berarti adanya infeksi yang aktif. Metode tervalidasi yang
dapat dilakukan untuk mencari etiologi dari infeksi virus ini adalah serologi, kultur, evaluasi
secara sitologi, deteksi antigen cepat, dan teknik amplifikasi gen.
A. Spesimen
Diagnosis laboratorium pneumonia viral bergantung dari deteksi antigen virus pada
spesimen saluran napas atas (misalnya sekret nasofaring) dan saluran napas bawah
(misalnya sputum yang diinduksi). Spesimen tersebut kemudian dilakukan identifikasi
dengan kultur atau mikroskop imunofluoresens. Pemeriksaan dengan PCR dapat
meningkatkan kemungkinan deteksi virus, termasuk yang sulit dideteksi dengan kultur.
Setidaknya sebanyak 26 jenis virus ditemukan berhubungan dengan pneumonia
komunitas.
Pengambilan spesimen dari saluran napas atas, kadang sulit dalam interpretasinya,
karena virus pada nasofaring dapat saja menggambarkan koinsidens dari infeksi saluran
napas atas, atau patogen dari pneumonia itu sendiri. Spesimen pada saluran napas atas
yang dapat diambil adalah aspirat nasofaring, swab yang berasal dari nasofaring, hidung,
atau tenggorok, serta gabungan antara swab nasofaring dan tenggorok. Spesimen
saluran napas bawah yang dapat diidentifikasi adalah sputum baik yang dikeluarkan
langsung ataupun yang dilakukan induksi, aspirat trakea, bronchoalveolar lavage, dan
hasil dari pungsi paru.
Sebagian besar studi yang mengkaji penyebab dari pneumonia viral menggunakan
spesimen saluran napas atas untuk pemeriksaan. Pada anak, aspirat nasofaring paling
9
banyak digunakan. Respiratory virus paling banyak ditemukan pada 95% sampel mukus
dari aspirat nasofaring pada anak dengan infeksi pernapasan.
Swab hidung, yang dilakukan dengan kassa steril dari kedalaman 2-3 cm mempunyai
sensitivitas yang sebanding dengan aspirat nasofaring untuk kultur semua respiratory
virus, kecuali respiratory syndcytial virus. Swab dengan serat nilon (flocked swabs) lebih
disukai dikarenakan lebih nyaman digunakan dengan sensitivitas yang sama dengan
aspirat nasofaring dalam mendeteksi respiratory virus oleh PCR. Pada dewasa, swab
nasofaring mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan swab
tenggorok, tetapi kurang sensitif dibandngkan dengan cuci nasofaring. Flocked swab
nasofaring transnasal juga mempunyai tingkat deteksi virus yang tinggi pada dewasa.
Spesimen saluran napas bawah mempunyai kelebihan dalam menentukan etiologi
dari pneumonia karena spesimen ini berasal dari tempat infeksinya. Namun, salah satu
tantangan yang harus dihadapi adalah mendapatkan spesimen yang bebas dari
kontaminasi flora dari saluran napas atas. Spesimen dengan kualitas yang tinggi didapat
dengan aspirasi toraks, tetapi teknik ini tidak dianjurkan karena invasif.
B. Mengenali Pneumonia Viral
Pneumonia viral harus dibedakan dengan pneumonia bakterial, karena
manajemennya yang berbeda. Secara umum, perbedaan keduanya dapat dilihat pada
tabel 1. Respiratory virus biasanya mengikuti pola musim, sehingga waktu infeksinya
mengikuti waktu tersebut. Di negara dengan empat musim, epidemi respiratory syncytical
virus, biasanya terjadi pada akhir musim gugur, epidemi rhinovirus meningkat pada
musim gugur dan musim semi, sedangkan influenza meningkat pada akhir musim gugur
dan awal musim dingin. Beberapa virus dapat bersirkulasi pada satu waktu yang spesifik,
walaupun saat itu adalah puncak epidemi dari satu virus.
Tabel 1. Membedakan pneumonia viral dan bakterial
Diduga Penyebab Virus Diduga Penyebab Bakteri
Usia Kurang dari 5 tahun Dewasa
Situasi epidemi Sedang epidemi virus -
Onset penyakit Onset lambat Onset cepat
10
Profil klinis Rinitis, wheezing Demam tinggi, takipnea
Biomarker
Jumlah leukosit total < 10 x 109 sel/L > 15 x 109 sel/L
Konsentrasi CRP < 20 mg/L > 60 mg/L
Konsentrasi prokalsitonin < 0,1 µg/L > 0,5 µg/L
Temuan radiografi toraks Infiltrat interstitial tunggal,
bilateral
Infiltrat alveolar lobaris
Respon terhadap antibiotik Lambat atau tidak respon
sama sekali
Cepat
Pneumonia viral lebih dapat dikenali peningkatannya pada dewasa, walaupun demikian,
kejadiannya meningkat pada anak di bawah usia 2 tahun. Berdasarkan British Thoracic
Society, demam lebih dari 38,5ºC, laju respirasi lebih dari 50 kali/menit, dengan adanya
retraksi dada menunjukkan pneumonia bakterial dibandingkan dengan pneumonia viral.
Sebagai perbandingan, pada usia muda, adanya wheezing, demam di bawah 38,5ºC, dengan
retrakasi dada yang mencolok menunjukkan penyebabnya virus. Walaupun demikian, tanda
dan gejala klinis dari pneumonia viral atau bakterial seringkali overlap. Jika ada gejala seperti
onset yang tiba-tiba, demam tinggi, menggigil, nyeri dada pleuritik, infiltrat lobaris,
leukositosis, maka kumpulan gejala tersebut merujuk pada pneumonia bakterial (tipikal
untuk pneumonia pneumococcal).
Jumlah sel darah putih, konsentrasi CRP dalam serum, dan prokalsitonin merupakan
variabel yang dapat menunjukkan adanya pneumonia komunitas. Namun, secara umum,
biomarker ini akan meningkat secara signifikan pada pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri. Prokalsitonin dapat mengidentifikasi adanya infeksi bakteri. Biomarker ini akan
meningkat pada 6-12 jam setelah onset infeksi bakteri, menurun setengahnya ketika infeksi
terkontrol. Pada pneumonia, konsentrasi prokalsitonin ini akan meningkat lebih dari 0,5 µg/L
yang menunjukkan adanya infeksi bakteri. Angka yang lebih rendah menujukkan bahwa
kemungkinan kecil terjadi infeksi bakteri.
Rekomendasi dari American Thoracic Society menunjukkan bahwa diagnosis pneumonia
seharusnya dilakukan melalui pemeriksaan radiografi toraks. Adanya infiltrat interstitial pada
radiografi toraks menunjukkan bahwa penyebab pneumonia adalah virus, sedangkan infiltrat
11
alveolar mengindikasikan bahwa penyebab pneumonia adalah bakteri. Walaupun demikian,
baik bakteri maupun virus sendiri, atau gabungan keduanya dapat menyebabkan perubahan
radiografi yang luas. Pada pemeriksaan CT scan toraks, ditemukan opasitas tree-bud,
konsolidasi multifokal, dan ground-glass opacities pada dewasa dengan pneumonia viral
tanpa adanya bukti infeksi bakteri.
C. Kultur
Kultur dapat dilakukan untuk sebagian besar respiratory virus, tetapi dibutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan hasil dari pemeriksaan ini. Untuk melakukan
pemeriksaan kultur, sampel jaringan dari saluran napas atas/bawah, sputum, dan
spesimen nasofaring atau bronchoalveolar lavage dapat digunakan. Efek sitopatik virus
dapat diamati dari kultur sel, seperti pembentukan multinucleated giant cell atau adanya
bukti pertumbuhan virus.
D. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan ini diperoleh dari sekret nasal atau bronkoalveolar.
Teknik ini bertujuan untuk mengidentifikasi nukleus (virus DNA) atau inklusi sitoplasmik
(virus RNA). Identifikasi adanya inklusi mengonfirmasi diagnosis. Kekurangan dari
metode ini adalah mempunyai sensitivitas yang rendah, sehingga tidak adanya temuan
tidak dapat menyingkirkan penyakit.
E. Deteksi Antigen Cepat
Tes deteksi cepat ini dapat digunakan dengan mudah, menggunakan spesimen dari
swab nasal. Tes ELISA dapat digunakan untuk sebagian besar respiratory virus.
Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi antigen virus. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini
bervariasi bergantung dari agen yang dilakukan analisis. Namun, pemeriksaan ini tidak
direkomendasikan untuk mengonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan ini kurang sensitif jika
dibandingkan dengan kultur, tetapi dapat digunakan sebagai tambahan untuk
meningkatkan kemungkinan diagnosis.
12
F. Amplifikasi Gen
Teknik PCR sangat sensitif dan spesifik dalam mendeteksi virus. Metode ini dapat
menggunakan sampel dari sekret nasofaring, atau cairan tubuh, seperti darah, untuk infeksi
cytomegalovirus.
Teknik PCR terbaru, yakni MRT-PCR dapat digunakan untuk deteksi cepat beberapa
respiratory virus, seperti influenza A dan B, RSV A dan B, HPIV 1, 2, dan 3, metapneumovirus,
dan adenovirus. Namun, kekurangannya, untuk deteksi H1N1, pemeriksaan ini belum sensitif.
13
BAB III
TATA LAKSANA BERDASARKAN ETIOLOGI
A. Virus Influenza
Virus influenza menjadi penyebab utama infeksi paru akibat virus. Influenza
merupakan virus yang mengandung RNA yang termasuk dalam famili Myxovirus, yang
dibagi menjadi tiga grup, yaitu A, B, dan C berdasarkan antigen membran intena (M) dan
nucleoprotein (NP). Grup A dibagi lagi berdasarkan glikoprotein permukaannya, yaitu
hemagglutinin (H) dan neuraminidase (N). Hemaglutinin dibutuhkan virus untuk
berikatan dan penetrasi ke dalam membran sel pejamu. Neuraminidase membantu
dalam pelepasan dan penyebaran partikel virus yang sudah bereplikasi. Virus influenza A
dapat melakukan mutase secara spontan, memproduksi strain baru dengan mengubah
glikoprotein H dan N. Penamaan strain virus influenza secara lengkap termasuk tipe virus,
lokasi geografis ditemukannya virus, nomor strain, tahun, dan nomor H dan N (misalnya
A/California/7/2009[H1N1]). Tiga tipe virus influenza ini dapat mengubah struktur secara
minor, kecuali tipe A yang dapat memproduksi strain yang berbeda secara serologi.
Imunitas tubuh tehadap virus influenza ini bergantung dari antibodi yang dihasilkan
tehadap glikoprotein tersebut. Ketika perubahan antigen yang minor (antigenic drift)
terjadi, efek tehadap antibodi juga minor. Namun, dengan perubahan antigen yang besar
(antigentic shift), sebagian besar orang tidak mempunyai respon imun terhadap virus
yang baru ini sehingga dapat terjadi pandemi. Misalnya, virus H1N1 berperan dalam
terjadinya pandemi pada tahun 2009. WHO memperkirakan terdapat 16.226 kematian
yang berhubungan dengan pandemi virus tersebut dari April 2009 sampai Januari 2010.
Hewan-hewan, seperti ungags atau babi merupakan reservoir penting untuk virus
influenza, yang memungkinkan untuk tejadinya rekombinasi genetik yang menghasilkan
virus baru.
Infeksi virus influenza dapat menyebabkan kematian sel, terutama di saluran naoas
atas. Ketika virus menginfeksi saluran napas atas secara langsung, dapat terjadi
gangguan pembersihan mukosilier, yang menyebabkan bakteri dapat menempel di epitel
saluran napas. Gangguan fungsi dari sel T, makrofag, dan neutrofil juga terjadi, sehingga
14
menurunkan respon imun tubuh. Semua proses ini memungkinkan untuk tejadinya ko-
infeksi dengan bakteri.
Masa inkubasi virus ini adalah satu sampai dua hari, sedangkan gejalanya
berlangsung dari tiga sampai lima hari. Tiga presentasi klinis yang mungkin terjad adalah
pneumonia primer akibat influenza, pneumonia akibat influenza dengan infeksi sekunder
bakteri, dan ko-infeksi secara simultan antara virus dengan bakteri.
1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
Pneumonia primer dapat memberikan gejala berupa batuk yang persisten, nyeri
tenggorok, sakit kepala, dan mialgia selama kurang lebih lima hari. Dapat juga terjadi
sesak napas dan sianosis. Pada pneumonia dengan infeksi bakteri sekunder, dapat
ditemukan demam tinggi, batuk, dan sputum yang purulen, yang berhubungan
dengan adanya gambaran opasitas pada radiologi. Bakteri utama yang dapat
menyebabkan infeksi ini adalah Streptococcus pneumoniae (48%), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Pneumonia yang disebabkan oleh ko-infeksi
virus dan bateri mempunyai manifestasi yang serupa.
Marker inflamasi seperti CRP dan prokalsitonin mempunyai sedikit kegunaan
dalam membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri. Gambaran radiologi tidak
begitu spesifik. Gambaran yang dapat ditemukan adalah berupa opasitas di perihilar
dan peribronkus, konsolidasi, dan opasitas interstitial bilateral yang difus, terutama
pada bentuk penyakit yang lebih parah atau pada pasien dengan neutropenia. Virus
influenza dapat diisolasi pada sputum, sekret nasal, swab nasal atau faring. Sebanyak
90% hasil kultur positif dideteksi dalam waktu tiga hari, sampai dengan tujuh hari. Tes
deteksi cepat influenza mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap virus influenza
tipe A dan tipe B (100%), tetapi sensitivitasnya rendah (40-80%). Sehingga pada kasus
seperti dugaan H1N1, tes ini tidak direkomendasikan. Pemeriksaan dengan PCR yang
dapat berguna. Pemeriksaan histologis dapat menjadi opsi, tetapi dilakukan dengan
cara invasif, yakni biopsi paru.
2. Tata Laksana
Tata laksana yang harus diberikan pada pasien dengan pneumonia virus adalah
oksigen, analgesik, antipiretik, dan antivirus pada kasus tertentu. Obat yang
15
direkomendasikan untuk tata laksana influenza adalah amantadin, rimantadin,
oseltamivir, dan zanamivir (Tabel 2). Amantadin dan rimantadin direkomendasikan
untuk pencegahan dan terapi, tetapi tidak efektif untuk influenza tipe B. Obat ini
bekerja dengan memblik kanal ion pada protein M2 virus dan mencegah terjadinya
dekapsulasi. Harus digunakan pada 48 jam setelah onset gejala. Namun, beberapa
strain dilaporkan resisten terhadap obat ini, sehingga tidak direkomendasikan
sebagai terapi empiris tunggal.
Tabel 2. Terapi farmakologi pneumonia viral
Mekanisme Obat Dosis Virus
Inhibitor
neuraminidase
Oseltamivir 75-150 mg dua kali sehari selama lima
hari (PO)1
Influenza A
dan B
Zanamivir 10 mg dua kali sehari selama lima hari
(aerosol)
Inhibitor protein
M2
Amantadin 100 mg dua kali sehari selama lima hari
(PO)
Influenza A
Rimantadin 200 mg dua kali sehari selama lima hari
(PO)
Tidak diketahui Ribavirin
(20 mg/mL)
18 jam/hari (aerosol) selama tiga sampai
enam hari dengan nebulizer
RSV2
Adenovirus3
Parainfluenza 1PO: per oral
2RSV: respiratory syncytical virus
3untuk adenovirus, sebaiknya diberikan kombinasi dnegan cidofovir (5 mg/kg, satu minggu sekali,
intravena)
Oseltamivir dan zanamivir merupakan obat yang bekerja dengan memblok
protein permukaan neuraminidase dan menangkap virus yang terinfeksi di epitel
saluran napas. Obat ini juga harus diberikan dalam 48 jam setelah munculnya gejala.
Obat ini dapat digunakan untuk influenza tipe A dan B, dan mempunyai potensi yang
rendah untuk menimbulkan resistensi. Pada kasus pneumonia yang berat, obat ini
dapat digunakan setelah 48 jam dari onset gejala.
Ketika terjadi gagal napas, seperti pada kasus H1N1, prone ventilation dan ECMO
dapat membantu, di samping pemberian antivirus.
3. Pencegahan
16
Vaksinasi menjadi metode paling efektif untuk mencegah epidemi dari virus
influenza A. CDC merekomendasikan vaksinasi dilakukan pada populasi yang rentan,
yakni anak usia 6 bulan sampai 4 tahun, dan dewasa usia 50 tahun ke atas. Populasi
lainnya yang direkomendasikan adalah individu dengan penyakit paru yang kronik,
kardiovaskular (kecuali hipertensi saja), gangguan renal, hepar, hematologi,
metabolik (temasuk pasien DM), pasien imunosupresif, wanita yang hamil atau akan
hamil pada musim influenza. Vaksinasi juga direkomendasikan untuk perawat,
pekerja di fasilitas kesehatan, penjaga anak-anak atau geriatri, atau orang yang
kontak dekat dengan pasien influenza. Oseltamivir 1 x 75 mg/hari pada orang yang
risiko tinggi selama terjadi paparan, dapat diberikan untuk mencegah infeksi.
B. Respiratory Syncytial Virus
RSV merupakan famili dari Paramyviridae virus, dan merupakan virus yang
menyebabkan infeksi saluran napas bawah paling sering pada anak. Belakangan
diketahui bahwa virus ini menjadi penyebab paling sering pneumonia pada dewasa,
terutama pada usia lanjut. Populasi yang beresiko adalah anak di bawah usia enam bulan,
pasien dengan penyakit kronik seperti fibrosis kistik, pasien dengan penyakit jantung
bawaan, orang usia lanjut, dan pasien imunosupresif. Total mortalitas pada dewasa akibat
infeksi virus ini bervariasi, yakni dari 1-5% pada orang sehat, dan meningkat menjadi 41%
pada resipien transplantasi sumsum tulang.
Tabel 3. Perbedaan gejala klinis antara pneumonia akibat influenza atau RSV
Gejala Influenza RSV
Demam ++++ +
Mialgia +++ +
Kongesti nasal + +++
Wheezing ++ ++++
Produksi sputum ++ +++
Gejala gastrointestinal +++ -
“+” menandakan beratnya gejala pneumonia akibat spesies tertentu
“-“ menandakan tidak adanya gejala tersebut
1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
17
RSV jarang didiagnosis pada dewasa. Gejala yang dapat muncul antara lain
hidung berair, nyeri telinga, nyeri tenggorok, yang berhubungan dengan batuk lama
(baik kering maupun berdahak), dan sesak napas. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan wheezing. RSV dapat menyebabkan bronkhitis, bronkhiolitis, dan
pneumonia yang berat sehingga membutuhkan ventilasi mekanik. Dibandingkan
dengan virus influenza, pada infeksi RSV, frekuensi rinorea dan sputum purulen lebih
besar, tetapi gejala demam dan gastrointestinal jarang ditemukan.
Penanda inflamasi saluran napas dan darah, seperti sICAM-1, IL-1, dan IL-6, dapat
menandakan infeksi jika ditemukan meningkat. Peningkatan kadar penanda tersebut
berhubungan dengan durasi hospitalisasi dan keparahan penyakit. Temuan radiologi
tidak spesifik untuk RSV, yakni ditemukannya opasitas alveolar bilateral dan
interstitial, sama seperti pada virus influenza.
Virus ini dapat diisolasi melalui kultur, dengan sampel paling baik diambil dari
sekret nasofaring dan trakea. Pada pasien imunosupresif, kultur positif ditemukan
pada 15% sampel sekret nasofaring, lebih drai 70% pada sekret tenggorok, dan lebih
dari 89% pada sekret bronkoalveolar. Tes deteksi cepat untuk antigen virus ini
mempunyai sensitivitas antara 50-90% dan spesifisitas yang tinggi (90-95%).
Amplifikasi dengan RT-PCR juga tersedia.
2. Tata Laksana
Ribavirin bekerja dengan mencegah terjadinya transkripsi virus dan satu-satunya
obat antivirus untuk pneumonia akibat RSV. Obat ini direkomendasikan untuk
diberikan hanya pada kasus yang berat dan pada pasien dengan risiko komplikasi
yang tinggi. Imunoglobulin spesifik intravena, seperti palivizumab, dapat digunakan
dengan kombinasi ribavirin, pada pasien yang dalam kondisi kritis dan beresiko
tinggi.
C. Adenovirus
Adenovirus merupakan virus DNA dengan 52 serotipe. Infeksi adenovirus dapat
terjadi kapan saja dalam waktu satu tahun. Adeovirus merupakan penyebab 10%
18
pneumonia pada anak. Virus ini pernah diidentifikasi menjadi penyebab outbreaks pada
kemah militer di Amerika Serikat.
Serotipe virus ini diklasifikasikan menjadi 7 subgrup atau spesies (A sampai G). Infeksi
paru banyak disebabkan oleh serotipe 1, 2, 3, 4, 5, 7, 14, dan 21. Walaupun sebagian
besar virus ini mempunyai tingkat mortalitas yang rendah, namun subtipe 14 dilaporkan
dapat menyebabkan gagal napas yang berat, terutama pada pasien HIV dan pasien
dengan gangguan imunitas sel lainnya. Penyebaran virus ini terjadi langsung melalui
konjungiva, hirupan, feses, dan muntahan. Virus ini dapat bertahan di lingkungan dalam
hitungan minggu. Reaktivasi virus ini dapat juga menghasilkan penyakit seperti
keratokonjungtivitis, gastroenteritis, hepatitis, sistitis, dan pneumonia. Mortalitasnya
bervariasi, antara 38-100%, terutama pada pasien yang menerima transplantasi sumsum
tulang.
1. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang
Gejala yang dapat diamati pada pasien adalah berupa demam, batuk, hidung
berair, suara serak, tonsilitis, dan otitis media, selama tiga sampai lima hari.
Leukositosis dan peningkatan penanda inflamasi dapat membedakan dari infeksi
baktei. Opasitas paru retikolunodular dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi,
tetapi jarang ditemukan adanya konsolidasi.
Kultur dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis, dengan melihat efek
sitopatik akibat virus pada dua sampai 20 hari setelah onset gejala. Serotipe 14
dapat dideteksi dengan teknik deteksi antigen cepat dan PCR.
2. Tata Laksana
Obat yang dapat digunakan untuk infeksi adenovirus adalah ribavirin, cidofovir,
ganciclovir, dan vidarabine, dengan angka kesembuhan paling tinggi didapat dari
kombinasi antara cidofovir/ribavirin.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Ruuskanen O, Lahti E, Jennings JC, Murdoch DR. Viral pneumonia. Lancet. 2011; 377:
1264-75.
2. Da Rocha Neto OG, Leite RF, Baldi BG. Update on viral community-acquired
pneumonia. Rev Assoc Med Bras. 2013; 59 (1): 78-84.
3. Falsey AR, Walsh EE. Viral pneumonia in older adults. Aging and Infectious Disease.
2006; 42: 518-24.
4. Luu BQ. Viral Pneumonia. Dalam Morris TA, Ries AL, Bordow RA. Manual of Clinical
Problem in Pulmonary Medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.
5. Marcos MA, Esperatti M, Torres A. Viral pneumonia. Curr Opin Infect Dis. 2009; 22:
143-7.
6. Wiemken T, Peyrani P, Bryant K, et al. Incidence respiratory viruses in patients with
community-acquired pneumonia admitted to the intensive care unit: result from the
Severe Influenza Pneumonia Surveillance (SIPS) project. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.
2013; 32: 705-10.
7. Choi SH, Hong SB, Ko GB, et al. Viral infection in patients with severe pneumonia
requiring intensive care unit admission. Am J Respir Crit Care Med. 2012; 186(4): 325-
32.
8. Stephen CH, Grace R, John S, Sophie W. Respiratory infection: viral. Dalam Oxford
handbook of respiratory medicine. Edisi kedua. Inggris: Oxford University Press. 2009;
530- 45.
9. Treanor J. Viral infection of the lung and respiratory tract. Dalam Fisman AP, Alias JA,
Fisman JA, Grippi MA. Fisman’s Pulmonary Diseases and Disorders. Edisi ke-4. USA:
McGraw-Hill companies; 2008: 2388- 95.
10. Influenza and others viral respiratory Diseases. Dalam Fauci SH, Braundwald E, Kasper
DL. Harrison’s Manual of Medicine. Edisi ke-17. USA: Mc Grawhill Co, inc.
11. Griffith J, Dambro MR, Griffith HW. Pneumonia Viral. Dalam Griffith’s 5 minutes
clinical consult. Edisi ke-16. Philadelphia; 2006: 862- 63.
20
TIM PENYUSUN
Dr. Zulkifli Amin, dr., SpPD-KP, FCCP,
FINASIM (Ketua)
Dr. Arto Yuwono Soeroto, dr., SpPD-KP,
FCCP, FINASIM
Sumardi, dr., SpPD-KP, FINASIM
Agus Suryanto, dr., SpPD-KP, FCCP,
FINASIM
Ahmad Rasyid, dr., SpPD-KP, FINASIM
Alwinsyah Abidin, dr., SpPD-KP, FINASIM
Anna Uyainah Z.N., dr., SpPD-KP, MARS,
FINASIM
Aryanto Suwondo, dr., SpPD-KP, FINASIM
Asril Bahar, dr., SpPD-KP, KGer, FINASIM
Prof. Azhar Tanjung, dr., SpPD-KP, KAI,
FINASIM
Bambang Sigit Riyanto, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Banteng Hanang Wibisono, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Prof. Barmawi Hisyam, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Crispian Oktafbipian Mamudi, dr., SpPD-
KP
Dr. Cleopas Martin Rumende, dr., SpPD-
KP, FCCP, FINASIM
Diah Syafriani, dr., SpPD
Eko Budiono, dr., SpPD-KP, FINASIM
Dr. Emmy Hermiyanti Pranggono, dr.,
SpPD-KP, KIC, FINASIM
Efata Bilvian Ivano Polii, dr., SpPD
Ermanta Ngirim Keliat, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Erwin Arief, dr., SpPD-KP, SpP, FINASIM
Farida, dr., SpPD
Fathur Nurcholis, dr., SpPD
Fauzar, dr., SpPD-KP
F. Hadi Halim, dr., SpPD-KP, FINASIM
Gurmeet Singh, dr., SpPD-KP
Ika Trisnawati, dr., SpPD
IGN Bagus Artana, dr., SpPD
I Made Bagiada, dr., SpPD-KP, FINASIM
I Wayan Hero Wantara, dr., SpPD
Karel Arahmanda, dr., SpPD-KP, FINASIM
Merianson, dr., SpPD
M.C.P. Wongkar, dr., SpPD-KP, FINASIM
M. Harun Iskandar, dr., SpPD-KP, FINASIM
Ketut Gede Sajinadiyasa, dr., SpPD
Muhammad Ilyas, dr., SpPD-KP, SpP,
FINASIM
Nur Ahmad Tabri, dr., SpPD-KP, SpP,
FINASIM
21
Prof. Pasiyan Rahmatulloh, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Prayudi Santoso, dr., SpPD-KP, MKes,
FCCP, FINASIM
Putu Andrika, dr., SpPD, KIC
Rouly Pola Pasaribu, dr., SpPD
Roza Kurniati, SpPD-KP
Samsirun Halim, dr., SpPD, KIC, FINASIM
Sudarto, dr., SpPD
Telly Kamelia, dr., SpPD-KP
Thomas Handoyo, dr., SpPD
Yana Akhmad Supriatna, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Zen Achmad, dr., SpPD-KP, FINASIM
Prof. Zulkarnain Aryad, dr., SpPD-KP,
FINASIM
Fia Afifah Mutiksa, dr.