the 9th liver update 2016 -...

13
THE 9 th LIVER UPDATE 2016 TIM EDITOR: Rino Alvani Gani Irsan Hasan C. Rinaldi A. Lesmana Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

Upload: buithuan

Post on 18-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

THE 9th LIVER UPDATE2016

TIM EDITOR:Rino Alvani Gani

Irsan HasanC. Rinaldi A. Lesmana

Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

The 9th Liver Update 2016

Tim Editor: Rino Alvani Gani Irsan Hasan C. Rinaldi A. Lesmana

150 x 230 mm

ISBN 978-602-18991-4-4

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang:

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit

Diterbitkan oleh:

Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia

The 9th Liver Update 2016 iii

KONTRIBUTOR

Ali DjumhanaSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNPAD / RSUP Dr. Hasan Sadikin,Bandung

A.M. Luthfi ParewangiSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNHAS / RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar

Andri SanityosoDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Bogi Pratomo WibowoSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNBRAW / RSUP Dr. Syaiful Anwar, Malang

Bradley Jimmy WalelengSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNSRAT / RSUP Prof. RD Kandou,Manado

Cheah Yee LeeAsian American Liver Centre (Gleneagles Hospital), Singapore

Chyntia O. JasirwanDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Cosphiadi IrawanDivisi Hematologi Onkologi MedikDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Daldiyono HardjodisastroDivisi GastroenterologiDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

David Handojo MuljonoLembaga Biologi Molekuler EijkmanJakarta

Ening KrisnuhoniDepartemen Patologi AnatomiFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Hery Djagat PurnomoSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNDIP / RSUP Dr. Kariadi,Semarang

The 9th Liver Update 2016iv

Ibrahim BasirDepartemen Ilmu BedahFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

I Dewa Nyoman WibawaSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UDAYANA / RSUP Sanglah,Denpasar

Irsan HasanDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Juferdy KurniawanDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Kamarjit Singh MangatDepartment of Diagnostic ImagingNational University Hospital (NUH),Singapore

Kieron Lim Boon LengHead of the Division of Gastroenterology & Hepatology National University Hospital, Singapore

Kuntjoro HarimurtiDivisi GeriatriDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Laurentius A. LesmanaDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Maria MayasariBagian Ilmu Bedah, RS Medistra, Jakarta

Neneng RatnasariSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UGM / RSUP Dr. Sardjito,Yogyakarta

Nurul AkbarDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Poernomo Boedi SetiawanSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNAIR / RSUP Dr. Soetomo,Surabaya

Rino Alvani GaniDivisi HepatobilierDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Sahat MatondangDepartemen RadiologiFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

The 9th Liver Update 2016 v

Samsuridjal DjauziDivisi Alergi Imunologi KlinikDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

SuhendroDivisi Penyakit Tropik dan InfeksiDepartemen Ilmu Penyakit DalamFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Toar JM LalisangDepartemen Ilmu BedahFKUI / RSCM Dr. Cipto Mangkunkusumo,Jakarta

Ummi MaimunahSubbag. Gastroentero-hepatologiBagian Ilmu Penyakit DalamFK UNAIR / RSUP Dr. Soetomo, Surabaya

The 9th Liver Update 2016x

LS 1-2Diagnosis and Treatment of Primary Biliary Cirrhosis Hery Djagat Purnomo .............................................................................................. 19

SS 3-1Experience of Radiofrequency Ablation as HCC Treatment of Choice in RSCM Andri Sanityoso, Pitt Akbar ................................................................................... 25

SS 3-2Percutaneous Transhepatic Biliary Drainage (PTBD) for Obstructive Jaundice: Technique and Result JuferdyKurniawan,Lutfie ...................................................................................... 28

SS 3-3Radiological Management of Budd Chiari Kamarjit Singh Mangat ........................................................................................... 33

SS 4-1Hepatitis Virus Management Before & After Liver Transplantation Rino Alvani Gani, Pitt Akbar .................................................................................. 34

SS 4-2The Progress of Living Donor Liver Transplant (LDLT) Program in Indonesia Toar JM Lalisang ........................................................................................................ 41SS 4-3Indication of Liver Transplantation in ACLF Kieron Lim ..................................................................................................................... 43

SS 5-1Peran Pemeriksaan Prokalsitonin dan Protein C Reaktif pada Sepsis Suhendro ........................................................................................................................ 45

SS 5-2Practical Guideline in Intra Abdominal Infection JuferdyKurniawan,Lutfie ...................................................................................... 53

SS 6-1Imaging Assesment of Intra Hepatic Cholangiocarcinoma Sahat Basana Matondang ...................................................................................... 58

Prohepa
Highlight

The 9th Liver Update 201634

SS 4-1

HEPATITIS VIRUS MANAGEMENT

BEFORE & AFTER LIVER TRANSPLANTATION

Rino Alvani Gani, Pitt AkbarDivisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit DalamFakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Ciptomangunkusumo

Pendahuluan

Hepatitis B kronik masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan 15%-40% dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular. Pada penderita dengan komplikasi yang mengancam jiwa, transplantasi hati masih menjadi satu-satunya piihan terapi untuk pasien yang memenuhi syarat dan tersedia fasilitas transplantasi hati pada daerah tersebut. Indikasi transplantasi pada komplikasi yang berhubungan kronik hepatitis B adalah pada pasien dengan sirosis dekompensasi, pasien dengan hepatitis flare berat dengan tanda gagal hati, dan pada pasien dengan KHS terkait hepatitis B kronik dimana reseksi sudah tidak dapat dilakukan dan memenuhi persyaratan tranplantasi hati. Penggunaan analog nukleostida (NA) saat ini menjadi landasan dalam manajemen hepatitis B kronik. Penggunaan regimen interferon-based dikontraindikasikan pada sirosis dekompensasi, dan tidak terbukti pada pasca transplantasi hati pada hepatitis B kronik. Saat ini terdapat 5 NA yang disetujui sebagai terapi hepatitis B kronik, tiga diantaranya adalah analog nukleosida yaitu lamivudine, telbivudin, dan entecavir. Sedangkan dua obat lainnya adalah analog nukleotida yaitu adefovir dan tenofovir.1

Sama halnya pada hepatitis C kronik, meskipun terdapat perkembangan dalam strategi pengobatan, hepatitis C masih menjadi salah satu penyebab utama end-stage liver disease dan indikasi utama untuk transplantasi hati. Pasien yang menjalani transplantasi hati dengan infeksi virus hepatitis C (VHC) yang aktif mengalami graft reinfection. Sekitar 30% pada keadaan ini

The 9th Liver Update 2016 35

Rino Alvani Gani, Pitt Akbar

dapat berkembang menjadi sirosis dalam 5 tahun. Infeksi VHC yang rekuren ini merupakan penyebab tersering dari kematian dan graft lost pada pasien.2

Pengobatan Hepatitis B kronik Sebelum Transplantasi Hati

Berbagai regio di dunia memiliki panduan penatalaksanaannya masing-masing. Walaupun indikasi dilakukannya transplantasi hati mungkin berbeda-beda, prinsip pengobatan hepatitis B kronik pada pasien dengan daftar tunggu untuk transplantasi tidak berbeda. Tujuan dari terapi antivirus adalah untuk mencegah kerusakan lebih jauh dari keadaan hepatitis yang sedang terjadi dan flare akut. Sehingga pada pasien yang sudah direncanakan untuk dilakukan transplantasi hati harus diberikan terapi antivirus. Kelemahan utama dari NA adalah perkembangan mutasi dari virus yang menyebabkan resistensi terhadap obat yang diberikan dan dapat berakibat timbulnya hepatitis flare. Pasien yang membutuhkan transpantasi hati tidak dapat mentoleransi kerusakan lebih jauh pada hati. Sehingga pasien-pasien ini harus segera diberikan terapi NA dengan high barrier terhadap resistensi seperti entecavir atau tenofovir. Pada pasien yang sudah memiliki riwayat resisten terhadap pengobatan sebelumnya, sebaiknya diberikan kombinasi nukleosida dan nukleotida analog. Secara umum NA dapat ditoleransi dengan baik dan dengan efek samping yang minimal. Obat – obat ini secara dominan di ekskresi melalui ginjal, maka perlu dilakukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.1

Pengobatan Hepatitis B kronik Setelah Transplantasi Hati

Walaupun rekurensi VHB berkurang dengan penggunaan HBIG, namun jumlah proporsi yang signifikan tetap berkembang sebagai hepatitis rekuren. Penggunaan HBIG dikombinasikan dengan NA selama ini sudah banyak diadopsi di berbagai tempat. Lamivudine merupakan obat pertama yang di setujui sebagai obat hepatitis B kronik dapat menurunkan rekurensi VHB 3.8%-40.4%. Kombinasi HBIG dan lamivudine secara sinergis dapat menekan rekurensi VHB mencapai kurang dari 5%. Studi yang dilakukan kepada 33 pasien hepatitis B kronik yang diberikan lamivudine + HBIG selama 12 bulan setelah transplantasi hati tanpa adanya bukti kekambuhan dan dilakuakn randomisasi apakah pasien melanjutkan HBIG atau menggantinya dengan adefovir. Pada akir studi didapatkan hanya 1 pasien yang memiliki

The 9th Liver Update 201636

Hepatitis Virus Management Before & After Liver Transplantation

HBsAg positif dengan DNA VHB yang tidak terdeteksi pada kelompok adefovir. Kelemahan utama dari penggunaan lamivudine adalah tingkat resistensi yang tinggi yaitu mencapai 70% setelah 5 tahun terapi pada pasien nontransplantasi. Pada entecavir dan tenofovir ditemukan jumlah resistensi obat <2% setelah 5 tahun terapi. Sehingga membuat kedua obat ini menjadi obat yang ideal untuk mencegah kekambuhan pada pasien setelah transplantasi. Sebuah studi pada 80 pasien yang menjalankan transplantasi hati, diberikan entecavir sebagai monoterapi. Didapatkan hasil jumlah seroclearence HBsAg yang tinggi yaitu 86% dan 91% setalah 1 dan 2 tahun tanpa pemberian HBIG.1

Pengobatan Hepatitis C Sebelum Transplantasi Hati

Menggunakan direct acting antiviral (DAA) baru, diharapkan eradikasi VHC dapat dicapai sebelum transplantasi hati dan mencegah kekambuhan VHC. Namun, terdapat beberapa kelemahan pada terapi antivirus sebelum transplantasi hati, yaitu penggunaan antivirus terutama sofosbuvir terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang berat dan durasi pemberian terapi VHC sebelum transplantasi hati sulit untuk diprediksi.2

Gambar 1. Strategi alternatif penggunaan DAA sebelum transplantasi hati3

The 9th Liver Update 2016 37

Rino Alvani Gani, Pitt Akbar

Hasil keseluruhan dari PEG-IFN sebelum transplantasi menunjukkan respon virologis yang rendah dan lebih baik pada pasien dengan infeksi VHC non-genotype 1, namun memiliki toleransi yang buruk dan tingginya resiko sepsis terutama pada pasien dengan sirosis.3 Virus hepatitis C kemungkinan dapat dieradikasi sebelum transplantasi hati pada sebagian besar pasien dengan menggunakan DAA baru.3

Pengobatan Hepatitis C Setelah Transplantasi Hati

Sebuah studi fase II pada 40 pasien transplantasi hati dengan VHC rekuren (genotype I) 88% adalah pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya dan 23% adalah non-responders pada protease inhibitor generasi pertama. Regimen yang diberikan dalam studi ini adalah SOF + RBV selama 24 minggu. Seluruh pasien mencapai RVR dan 70% mencapai SVR12. Tidak terdapat interaksi antara SOF dengan agen imunosupresif yang dilaporkan dalam studi. Studi lain pada 104 pasien (VHC rekuren) transplantasi hati dengan regimen SOF + RBV dengan atau tanpa PEG-IFN selama 48 minggu. Studi ini menunjukkan bahwa IFN-free regimen dapat meningkatkan fungsi graft. Selain itu juga didapatkan end of treatment viral response 87% dan SVR 62%.3

Gambar 2. Strategi alternatif pada VHC rekuren setelah transplantasi3

The 9th Liver Update 201638

Hepatitis Virus Management Before & After Liver Transplantation

Rejection dan Reaktivasi Virus Setelah Transplantasi Hati

Acute cellular rejection merupakan presentasi dari graft-specific immune rejection. Hal ini sering ditemukan pada periode waktu 5 – 21 hari setelah transplantasi, namun onset dapat timbul lebih cepat yaitu 3 – 4 hari setalah tranplantasi atau lebih lambat yaitu beberapa tahun setelah transplantasi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan biopsi hati. Pada biopsi akan ditemukan infiltrasi dari sel T host dan leukosit mononuklear lainnya pada vena portal, saluran empedu, dan endotelium vena sentral.4

Pada transplantasi hati, acute rejection berbeda dengan chronic rejection. Pada chronic rejection, onset akan bertahap semakin memburuk, tidak berespon dengan pemberian bolus metilprednisolon, dan pada gambaran histopatologi terlihat hilangnya saluran empedu dan kerusakan arteriol oleh makrofag. Hal-hal yang diperkirakan menjadi faktor risiko terjadinya chronic rejection antara lain mengalami episode acute cellular rejection sebelumnya, terdapat kronik iskemia sekunder disebabkan insufisiensi arteri hepatik atau trombosis, infeksi cytomegalovirus atau infeksi rekuren dari virus hepatitis C.4

Hepatitis B rekuren sejak lama didefinisikan sebagai munculnya kembali HbsAg setelah transplantasi hati, walaupun pada pasien dengan profilaksis antiviral dapat berkembang menjadi HbsAg positif tanpa rekurensi aktual (DNA tidak terdeteksi, biokomia dan histologi normal). Gambaran histologi pada hepatitis B rekuren tidak jauh berbeda dengan sebelum transplantasi. Walaupun protokol untuk pemantauan rekurensi hepatitis B dapat bervariasi di setiap tempat, HbsAg dan DNA harus tetap dilakukan paling tidak setiap 3 bulan pada tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan.5

Pada hepatitis C, fibrosis ditemukan pada >50% pada 1-2 tahun setelah transplantasi hati dan sebanyak 30% berkembang menjadi fibrosis lanjut atau sirosis dalam waktu 5 tahun. Standar baku emas untuk diagnosis adalah biopsi hati, namun sulit untuk membedakan dengan penyebab lain (rejection, obstruksi bilier) dari hepatitis C rekuren saat awal setelah ransplantasi hati. Sebagian besar melakukan biopsi hati secara rutin untuk memantau

The 9th Liver Update 2016 39

Rino Alvani Gani, Pitt Akbar

kebutuhan terapi pada rekurensi. Pengukuran kekakuan hati dengan transient elastography dapat mendeteksi dan memantau terjadinya fibrosis. 5

Pengaruh Everolimus Pada Fibrosis Hati Setelah Transplantasi Hati

Everolimus adalah derivat dari rapamycin yang dapat menginhibisi aktifasi antigenik, interleukin-stimulated dan proliferasi dari sel limfosit T dan B. Everolimus membentuk kompleks imunosupresif dengan intracellular immunophilin FK506-binding protein 12, yang selanjutnya berikatan pada mTOR dan menghambat aktifitasnya.6 mTOR adalah sebuah serine/ threonine kinase yang berperan penting dalam proliferasi sel, aktivasi sel stelata, sintesis protein ( sintesis dari interleukin dan TGF- β), angiogenesis dan metabolisme sel. Karena perannya dalam fibrogenesis, inhibisi dari mTOR diharapkan dapat mengurangi fibrosis hati pada graft. Studi yang melibatkan 30 pasien transplantasi hati yang menggunakan everolimus, menyimpulkan bahwa studi ini mendukung peran everolimus dalam modulasi fibrosis hati setelah transplantasi hati.7

Kesimpulan

Setiap pasien yang sedang menunggu untuk transplantasi hati dengan hepatitis B kronik harus mendapatkan terapi antivirus dengan high barrier to resistance dan dilanjutkan setelah transplantasi hati. Pada Hepatitis C, mengingat efikasi dan toleransi PEG-IFN/RBV yang buruk, dianjurkan untuk menggunakan IFN-free regimen dengan DAA. Penggunaan everolimus setelah transplantasi hati diharapkan dapat mengurangi fibrosis yang terjadi pada graft.

Daftar Pustaka1. Fung J. Management of chronic hepatitis B before and after liver transplantation.

World J Hepatol 2015; 7(10): 1421-1426

2. Roche B, Coilly A, Roque-Afonso AM, Samuel D. Interferon-free hepatitis C treatment before and after liver transplantation: the role of hcv drug resistance. Viruses 2015; 7:5155-5168

The 9th Liver Update 201640

Hepatitis Virus Management Before & After Liver Transplantation

3. Coilly A, Roche B, Duclos-Vallee JC, Samuel D. Optimal therapy in hepatitis C virus liver transplant patients with direct acting antivirals. Liver Int 2015; 35(1): 44-50

4. Eyraud D, Lepere V, Savier E, Coriat P. Liver, rejection and tolerance. Journal of Gastroenterology and Hepatology Research 2016; 5(1): 1880-1887. Available from: URL: http://www.ghrnet.org/index.php/joghr/article/view/1556

5. Levitsky J, Doucette K. Viral hepatitis in solid organ transplantation. American Journal of Transplantation 2013; 13: 147-168.

6. Keating GM, Lyseng-Williamson KA. Everolimus: a guide to its use in liver transplantation. BioDrugs 2013; 27: 407-411

7. Fernandez-Yunquera A, Ripoll C, Banares R, Puerto M, Rincon D, Yepes I, et al. Everolimus immunosuppression reduces the serum expression of fibrosis markers in liver transplant recipients. World J Transplant 2014; 4(2): 133-140.