daftar isi lembar prasyarat gelar doktor …...usaha sebagai berikut: 1) menerima/menghimpun dana...
TRANSCRIPT
iii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM …....…………………………………………. ii LEMBAR PRASYARAT GELAR DOKTOR…………………. iii LEMBAR PERSETUJUAN …………………….………………. iv HALAMAN PENGESAHAN …………………………………… v PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………… vi UCAPAN TERIMA KASIH ….………………….…………….. vii ABSTRAK ….…………….……………………………..……….. x ABSTRACT ………………………………………………………. xi LEMBAR DAFTAR ISI ………………………………………... xii LEMBAR DAFTAR TABEL ……………..……………………. xv LEMBAR DAFTAR GAMBAR …………………………….….. xvii LEMBAR DAFTAR LAMPIRAN ……………………………... xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……………………. 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………. 18 1.3 Tujuan Penelitian…..………………….……. 18 1.4 Manfaat Penelitian …..……………………... 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan Ekonomi ……………………… 20 2.1.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi . . 20 2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ……… 21 2.2 Peran Pemerintah …………...………………. 25 2.3 Modal Sosial ………………..………………. 28 2.3.1 Konsep Modal Sosial ………………. 28 2.3.2 Indikator Modal Sosial ……………. 31 2.3.3 Tipologi Modal Sosial …………….. 36 2.3.4 Ukuran Modal Sosial ………………. 37 2.4 Orientasi Kewirausahaan Sosial …………... 38 2.4.1 Sejarah Kewirausahaan Sosial ……. 38 2.4.2 Studi Ilmiah Tentang
Kewirausahaan Sosial………………... 43
2.4.3 Karakteristik Kewirausahaan Sosial 45 2.4.4 Karakteristik Pengusaha Sosial ….. 47 2.4.5 Bentuk Wirausaha Sosial …………. 48
iv
2.4.6 Sifat Wirausaha Sosial ……………. 49 2.4.7 Indikator Orientasi Kewirausahaan
Sosial…………………………………. 50
2.5 Kinerja LPD .………..……………………… 50 2.5.1 Rasionalitas Kinerja LPD …………. 50 2.5.2 Balanced Scorecard Sebagai
Pengukuran Kinerja ……………….. 53
2.5.3 Empat Perspektif dalam Balanced Scorecard ……………………………
55
2.5.4 Indikator Kinerja LPD ……..……… 59
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir ….………………………. 62 3.2 Kerangka Konseptual …...…………………. 66 3.3 Hubungan Antar Variabel Laten ….……… 67 3.4 Hipotesis Penelitian …..…………………… 69
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ……………………………… 71 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………… 72 4.3 Jenis dan Sumber Data …………………………… 72 4.4 Populasi Penelitian ………………………………… 73 4.5 Metode Pengambilan Sampel …………………….. 74 4.6 Variabel Penelitian ............................................…… 76 4.6.1 Identifikasi Variabel ................................... 76 4.6.2 Definisi Operasional Variabel .................... 77 4.7. Metode Pengumpulan Data ………………………. 80 4.8. Instrumen Penelitian ………………………………. 81 4.9 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian 82 4.10 Teknik Analisis Data ……………………………… 83
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian......................... 94 5.2 Karakteristik Responden…………………………… 97 5.2.1 Umur Responden…………………………. 97 5.2.2 Pendidikan Formal Responden…………… 98 5.2.3 Masa Kerja Responden ………………….. 99 5.2.4 Jenis Kelamin Responden ……………….. 100 5.3 Hasil Analisis………………………………………. 101 5.3.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Penelitian…………………………………. 101 5.3.2 Persepsi Responden terhadap Variabel
Laten …………………………………….. 105 5.3.2.1 Persepsi Responden Terhadap
Peran Pemerintah........................ 106
v
5.3.2.2 Persepsi Responden Terhadap Modal Sosial............................... 108
5.3.2.3 Persepsi Responden Terhadap Orientasi Kewirausahaan Sosial 109
5.3.2.4 Persepsi Responden Terhadap Kinerja LPD................................ 111
5.4 Evaluasi Model Pengukuran (Outer Model).............. 112 5.4.1 Validitas Konvergen (Convergent Validity) 113 5.4.2 Validitas Diskriminan (Discriminant
Validity)....................................................... 114 5.4.3 Reliabilitas Komposite (Composite
Reliability)................................................... 117 5.5 Evaluasi Model Struktural (Uji Goodness Of Fit
Inner Model).............................................................. 120
5.6 Pengujian Hipotesis Penelitian.. . . . . . . . . . . . . . . . . 123 5.7 Pembahasan Hasil Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 129 5.7.1 Pengaruh Langsung Peran Pemerintah
terhadap Orientasi Kewirausahaan Sosial .. 130 5.7.2 Pengaruh Langsung Modal Sosial terhadap
Orientasi Kewirausahaan Sosial ................. 132 5.7.3 Pengaruh Langsung Orientasi
Kewirausahaan Sosial terhadap Kinerja LPD ............................................................ 137
5.7.4 Pengaruh Langsung Peran Pemerintah terhadap Kinerja LPD ................................. 140
5.7.5 Pengaruh Langsung Modal Sosial terhadap Kinerja LPD ................................................ 142
5.7.6 Orientasi Kewirausahaan Sosial memediasi sebagian (partially mediated) Peran Pemerintah terhadap Kinerja LPD.............. 145
5.7.7 Orientasi Kewirausahaan Sosial memediasi sebagian (partially mediated) Modal Sosial terhadap Kinerja LPD.................................. 148
5.8 Temuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 150 5.9 Keterbatasan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 153
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 154 6.2 Saran – Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 155
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 156
LAMPIRAN – LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 169
vi
ABSTRAK
PENGARUH PERAN PEMERINTAH, MODAL SOSIAL DAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN SOSIAL
UNTUK MENINGKATKAN KINERJA LEMBAGA PERKREDITAN DESA
DI PROVINSI BALI
MASHUDI
Lembaga Perkreditan Desa di provinsi Bali mempunyai peran yang sangat besar bagi pembangunan ekonomi Bali. Dalam hal ini, kontribusi LPD adalah sebagai penyedia lapangan pekerjaan, pilar aktivitas ekonomi masyarakat Bali. LPD, selain sebagai lembaga usaha pemberdaya ekonomi berbasis desa, juga diakui sebagai lembaga tempat berkiprahnya masyarakat dalam mengembangkan ide kewirausahaan sosial. Pemerintah Daerah telah melakukan berbagai program pemberdayaan LPD, namun optimalisasi modal sosial dan orientasi kewirausahaan sosial yang belum maksimal menyebabkan tidak optimalnya perkembangan LPD di Provinsi Bali.
Penelitian ini bertujuan mengungkap pengaruh Peran Pemerintah, Modal Sosial, Orientasi Kewirausahaan Sosial dalam meningkatkan Kinerja LPD, dengan Orientasi Kewirausahaan Sosial sebagai variabel mediasi dalam meningkatkan kinerja LPD. Penelitian ini melakukan survei terhadap 95 pengurus LPD, dan dengan menggunakan teknik analisis data yang dipandu oleh software Smart PLS-30, menemukan: Peran Pemerintah dan Modal Sosial berpengaruh secara signifikan terhadap Orientasi Kewirausahaan Sosial pada LPD; Peran Pemerintah, Modal Sosial dan Orientasi kewirausahaan Sosial berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja LPD; Orientasi Kewirausahaan Sosial memediasi sebagian (Partially Mediated) Peran Pemerintah dan Modal Sosial terhadap Kinerja LPD.
Penelitian ini menemukan Peran Pemerintah, Modal Sosial dan Orientasi Kewirausahaan Sosial secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja LPD. Namun demikian Orientasi Kewirausahaan Sosial hanya memediasi sebagian (Partially Mediated) Peran Pemerintah dan Modal Sosial dalam meningkatkan kinerja LPD. Peneltian ini merekomendasikan bahwa maksimalkan peran pemerintah, optimalisasi modal sosial dan orientasi kewirausahaan sosial untuk meningkatkan kinerja LPD.
Kata Kunci: peran pemerintah, modal sosial, orientasi kewirausahaan sosial dan
kinerja LPD.
vii
ABSTRACT
EFFECT OF GOVERNMENT ROLE, SOCIAL CAPITAL AND ORIENTATION OF SOCIAL ENTREPRENEURSHIP
TO IMPROVE PERFORMANCE VILLAGE CREDIT INSTITUTION (LPD)
IN BALI PROVINCE
MASHUDI
Village Credit Institutions (LPD) in the province of Bali have a huge role for Bali's economic development. In this case, the contribution of the LPD is as a provider of employment, a pillar of Balinese economic activity. LPD, in addition to being a village-based economic empowerment business institution, is also recognized as an institution where the community works in developing the idea of social entrepreneurship. The Regional Government has carried out various LPD empowerment programs, but the optimization of social capital and social entrepreneurship orientation that has not been maximized has caused the development of LPDs in Bali Province to be not optimal.
This study aims to reveal the influence of the role of government, social capital, social entrepreneurship orientation in improving LPD performance, with social entrepreneurship orientation as a mediating variable in improving LPD performance. This study surveyed 95 LPD administrators, and by using data analysis techniques guided by the Smart PLS-30 software, found: The role of the Government and Social Capital significantly influences the Social Entrepreneurship Orientation in LPDs; The Role of Government, Social Capital and Social Entrepreneurial Orientation significantly influence LPD performance; The Orientation of Social Entrepreneurship partially mediates the role of the Government and Social Capital on LPD Performance.
This study found the role of government, social capital and social entrepreneurship orientation significantly influence the improvement of LPD performance. However, the Social Entrepreneurship Orientation only partially mediates the Role of the Government and Social Capital in improving LPD performance. This study recommends that maximize the role of government, optimize social capital and social entrepreneurship orientation to improve LPD performance.
Keywords: government role, social capital, social entrepreneurship orientation and LPD performance.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini di Indonesia jenis keuangan mikro sangat beragam. Keuangan mikro
formal yang menjadi bagian dari industri perbankan seperti Teras BRI (unit Mikro
BRI), Danamon Simpan Pinjam, Unit Mikro-banking Bank Mandiri, dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR). Dan bagian dari industri keuangan non-bank seperti
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit
Kecamatan (BKK), dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Lembaga keuangan
mikro non formal yang tersebar luas dan menjadi bagian dari masyarakat, termasuk
arisan dan rentenir. Eksistensi sistem keuangan mikro itu belum menjamah seluruh
masyarakat dan usahawan mikro.
Lembaga Perkreditan Desa atau LPD yang ada di Bali merupakan sebuah
lembaga keuangan milik desa adat, sama dengan LPN yang ada di Sumatera Barat.
LPD adalah lembaga keuangan, tetapi lembaga keuangan yang tidak biasa.
Lembaga ini berdiri sejak tahun 1985, dan pada tahun 2016 jumlahnya sudah
mencapai 1.443 LPD. Lembaga Perkreditan Desa di Bali merupakan lembaga
keuangan mikro yang paling sukses di Indonesia. Keberhasilan program ini karena
dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Bali dan kuatnya kesatuan masyarakat
adat di Bali. Sejarah LPD sendiri dimulai tahun 1985, dengan dicetuskannya sebuah
pilot project dengan jangka waktu tiga tahun, sejak Maret 1985 hingga Maret 1988.
Pada saat itu sebagai langkah awal, Pemerintah Provinsi Bali mendirikan 161 buah
ix
LPD dengan modal awal Rp 2 juta. Tahun 1986 pemerintah provinsi menerbitkan
peraturan terkait desa adat yang memberikan kewenangan kepada desa adat untuk
melakukan pengelolaan aset melalui organisasi mereka sendiri. Upaya Bank
Indonesia untuk mendorong LPD berubah menjadi BPR mendapat penolakan dari
masyarakat di Bali, disamping itu BI juga mempertimbangkan banyaknya jumlah
LPD yang harus diawasi, sehingga akhirnya BI memberikan persetujuan dengan
memutuskan bahwa LPD merupakan lembaga keuangan non-bank yang khusus
beroperasi di wilayah Bali. Dalam Undang-undang No.1 tahun 2013 tentang LKM,
keberadaan LPD diakui sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis adat, sehingga
tidak dimasukkan sebagai LKM yang diatur dalam peraturan tersebut. Saat ini
peraturan yang mengatur tentang LPD adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali No.
4 tahun 2012. Pengelolaan LPD sepenuhnya dilakukan oleh desa adat, dengan
pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah provinsi dan BPD. Ada
beberapa perbedaan antara LPD dengan Bank, yaitu LPD sebagai lembaga
keuangan komunitas desa pakraman menggunakan Pasal 18A dan Pasal 18B
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar
konstitusinya, sedangkan Bank berpedoman Pasal 23D, dan Pasal 33 Undang-
undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
dasar konstitusinya. LPD memiliki landasan konstitusional yang berbeda dengan
Bank, selain landasan konstitusional yang berbeda dasar hukum LPD juga memiliki
perbedaan dengan Bank. LPD menggunakan Undang-undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan Bank menggunakan Undang-undang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagai dasar hukumnya. Sifat keanggotaan
x
LPD adalah tertutup dan yang boleh menjadi anggota sebuah LPD hanyalah warga
masyarakat desa pakraman setempat sedangkan Bank sifat keanggotaannya adalah
umum siapapun berhak menjadi anggota dengan berdasarkan atas pilihan dari
pemegang saham.
Dalam suatu wilayah desa di Provinsi Bali terdapat dua sistem pemerintahan
yang berbeda dan kadang saling tumpang tindih. Pemerintahan formal yang berada
dalam struktur adalah desa dinas dengan dikepalai oleh seorang kepala desa dan
desa adat yang dikepalai oleh seorang “bendesa” adat dengan dibantu oleh
“prajuru”. Masing-masing jenis pemerintahan ini mempunyai perangkat sendiri,
dimana “bendesa” adat dipilih oleh “paruman” desa yakni sebuah musyawarah
tingkat desa. Bendesa sebagai seorang chairman dalam mengelola LPD biasanya
mengangkat seorang kepala LPD atau manajer melalui musyawarah desa, dengan
organisasi yang terpisah dari kepengurusan “bendesa”, namun bertanggung jawab
langsung kepada paruman adat. “Bendesa” bertugas sebagai pengawas internal
dalam pengelolaan LPD. Simpanan dan pinjaman LPD hanya diperbolehkan
kepada anggota desa adat. Jumlah simpanan baik tabungan maupun deposito tidak
dibatasi, namun biasanya jumlah pinjaman disesuaikan dengan likuiditas LPD dan
adanya collateral atau jaminan. Dana yang dihimpun oleh LPD boleh berasal dari
lembaga keuangan lain namun jumlahnya dibatasi. LPD sejak digagasnya pada
bulan November 1984 oleh Gubernur Bali, yang pada waktu itu di jabat oleh Ida
Bagus Mantra (Alm), LPD telah mengemban fungsi untuk mendorong
pembangunan ekonomi masyarakat melalui tabungan yang terarah, serta
menyalurkan modal yang efektif. Disamping itu LPD juga diharapkan dapat
xi
memberantas sistem ijon dan gadai gelap yang saat itu kerap terjadi di masyarakat
fungsi lainnya juga diemban oleh LPD adalah menciptakan pemerataan dan
kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan, baik yang biasa bekerja langsung di
LPD maupun yang bisa ditampung oleh usaha – usaha produktif masyarakat yang
dibiayai oleh LPD, menciptakan daya beli, serta melancarkan lalu lintas
pembayaran dan pertukaran di desa juga menjadi tugas pokok LPD.
Keberadaan LPD sebagai salah satu lembaga keuangan mikro memiliki
usaha sebagai berikut: 1) Menerima/menghimpun dana dari Krama desa dalam
bentuk tabungan dan deposito. 2) Memberikan pinjaman hanya kepada Krama desa.
3) Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar 100
persen dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan, kecuali batasan lain
dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan modal. 3) Menyimpan kelebihan
likuiditasnya pada BPD Bali dengan imbalan bunga bersaing dan pelayanan yang
memadai.
LPD merupakan badan usaha yang bergerak dibidang ekonomi mempunyai
tujuan memperoleh keuntungan, dimana dari keuntungan tersebut dialokasikan
untuk : cadangan modal 60 persen, dana pembangunan desa adat 20 persen, jasa
produksi 10 persen, dana pembinaan, pengawasan dan perlindungan 5 persen, dan
dana sosial sebanyak 5 persen. Oleh karena itu LPD hampir sama dengan lembaga
bisnis lainnya dalam operasionalnya menghadapi persaingan, agar mampu bersaing
dan mampu mencapai tujuan secara efektif dan efisien harus menggunakan prinsip-
prinsip manajemen dan memilih strategi bisnis yang tepat.
xii
Gambaran mengenai jumlah LPD, aset dan laba Lembaga Perkreditan Desa
di Bali tahun 2016 selengkapnya disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.1 Jumlah, Aset dan Laba LPD di Bali Tahun 2016
Kota/ Kabupaten
Jumlah LPD
Aset* Rata Rata Aset
Laba Persentase Laba
Rata Rata Laba
Denpasar 35 1,625,610,986 46,446,028 70,217,525 13.01% 2,006,215
Badung 122 4,192,183,809 34,362,162 136,001,473 25.19% 1,114,766
Buleleng 169 1,772,883,196 10,490,433 65,030,828 12.05% 384,798
Jembrana 64 480,650,310 7,510,161 19,660,173 3.64% 307,190
Tabanan 307 1,284,687,193 4,184,649 45,779,553 8.48% 149,119
Gianyar 270 3,286,120,615 12,170,817 103,188,535 19.11% 382,180
Bangli 159 759,271,535 4,775,293 34,220,565 6.34% 215,224
Klungkung 117 626,241,734 5,352,493 30,667,003 5.68% 262,111
Karangasem 190 1,042,893,544 5,488,913 35,128,814 6.51% 184,888
Jumlah 1.433 15,070,542,922 10,516,778 539,894,469 100.00% 376,758,178
Keterangan:
*Dalam Ribuan Rupiah (Rp)
Sumber: LP LPD Provinsi Bali Tahun 2017
Berdasarkan tabel di atas dilihat dari jumlah LPD yang dimiliki kabupaten
di Provinsi Bali jumlah LPD yang terbanyak di kabupaten Tabanan sebanyak 307
LPD sedangkan LPD di Kota Denpasar hanya terdapat 35 LPD. Dari sisi aset LPD,
Kabupaten Badung memiliki jumlah aset tertinggi sebesar 4,2 trilyun kemudian
Kabupaten Gianyar sebesar 3.3 trilyun, Kabupaten Buleleng dan Kota Denpasar,
masing masing sebesar 1,8 trilyun dan 1,6 trilyun sedangkan aset terendah pada
LPD di kabupaten Jembaran sebesar 0,480 trilyun. Dari rata-rata laba yang
xiii
diperoleh LPD di tiap kabupaten, laba tertinggi diperoleh LPD di Kota Denpasar
sebesar rata-rata sebesar 2 milyar diikuti kabupaten Badung sebesar 1,1 milyar,
kabupaten Buleleng sebesar 384,798 juta, kabupaten Gianyar sebesar 382,180 juta,
Kabupaten Jembrana sebesar 307,190 juta, kabupaten Klungkung sebesar 262,111
juta, kabupaten Bangli sebesar 215,224 juta, kabupaten Karangasem sebesar
184,888 juta dan terendah kabupaten Tabanan sebesar 149,119 juta.
Dari gambaran tersebut menjelaskan bahwa LPD di kabupaten Tabanan,
kabupaten Karangasem dan kabupaten Bangli perolehan laba masih sangat rendah
dibandingkan dengan LPD di kabupaten yang lain. Padahal pada 3 kabupaten
tersebut memiliki LPD sejumlah 656 unit, masing-masing di kabupaten Tabanan
307 LPD, kabupaten Karangansem 190 LPD dan kabupaten Bangli 159 LPD atau
sekitar 45,77% dari total keseluruhan LPD di provinsi Bali. Sedangkan presentase
laba dari LPD di 3 kabupaten tersebut sangat kecil hanya 18,53% dari total laba
LPD-LPD Provinsi Bali. Perolehan laba LPD yang masih rendah ini memberikan
salah satu gambaran yang cukup bahwa LPD tersebut menunjukkan kinerja yang
kurang maksimal. Secara umum, kesehatan LPD sangat dipengaruhi banyak faktor.
Salah satu yang digunakan sebagai tolok ukur yang menjadi obyek pemerikasaan
LPD yang dilakukan oleh pengawas LPD. CAMEL terdiri atas lima kriteria yakni
modal, aktiva, manajemen, pendapatan dan likuiditas. Lebih lanjut diuraikan secara
singkat tentang CAMEL, sebagai metode untuk mengukur kesehatan LPD sebagai
berikut:
1) Capital, untuk rasio kecukupan modal. Penilaian terhadap faktor permodalan
meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a.
xiv
kecukupan, komposisi, dan proyeksi (kecenderungan ke depan) permodalan
serta kemampuan permodalan LPD dalam mengcover asset bermasalah, b.
kemampuan LPD dalam memelihara kebutuhan penambahan modal yang
berasal dari keuntungan, rencana permodalan LPD utnuk mendukung
pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan, dan kinerja keuangan
pemegang saham untuk meningkatkan permodalan LPD.
2) Assets, untuk rasio kualitas aktiva. Penilaian terhadap faktor kualitas asset
meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. kualitas
aktiva produktif, konsentrasi eksposur risiko kredit, perkembangan aktiva
produktif bermasalah, dan kecukupan penyisihan penghapusan aktiva produktif
(PPAP), b. kecukupan kebajikan dan prosedur, sistem kaji ulang (review)
internal, sistem dokumentasi, dan kinerja penanganan aktiva produktif
bermasalah.
3) Manajemen, untuk menilai kualitas manajemen. Penilaian terhadap faktor
manajemen meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut:
a. Kualitas manajemen umum dan penerapan manajemen resiko,
b. Kepatuhan LPD terhadap ketentuan yang berlaku.
4) Earning, untuk rasio-rasio rentabilitas LPD. Penilaian terhadap faktor
rentabilitas meliputi penilaian terhadap komponen-komponen diantaranya:
pencapaian return on assets (ROA), return on equity.
xv
Berdasarkan data dari Lembaga Pemberdayaan LPD Provinsi Bali tahun
2017, diperoleh gambaran tentang kesehatan LPD sebagaimana pada tabel 1.2:
Tabel 1. 2 Klasifikasi Kesehatan LPD se Provinsi Bali Tahun 2017
No Tahun Sehat C. Sehat K. Sehat T. Sehat Macet Total
1 2011 1,011 124 108 43 132 1,418
2 2012 982 145 106 47 138 1,418
3 2013 1,014 116 90 64 138 1,422
4 2014 994 133 79 216 0 1,422
5 2015 956 189 93 18 177 1,433
6 2016 972 164 118 31 148 1,433
7 2017 864 249 130 44 146 1,433
Sumber: LP LPD Provinsi Bali Tahun 2017
Dari tabel 1.2 diperoleh gambaran bahwa sebagian besar LPD tergolong
sehat, namun demikian masih banyak LPD yang tergolong kurang sehat, tidak sehat
bahkan macet. Terkait dengan tingkat kesehatan LPD, berdasarkan analisis biplot
diketahui, bahwa LPD yang berkategori sehat dan cukup sehat dipengaruhi oleh
aspek manajemen serta likuiditas yang relatif tinggi, sementara nilai CAR dan
LDRnya berada pada nilai rata rata LPD (BI, 2016). Fakta ini menunjukkan peran
pentingnya aspek manajemen yang ditopang oleh likuiditas yang relative tinggi
untuk menjaga agar LPD dalam kondisi yang sehat. Sementara itu LPD yang
terkategori tidak sehat disebabkan oleh tingginya nilai BOPO dan LDR. Fakta ini
menunjukkan bahwa LPD dengan biaya operasional yang tinggi, ditambah dengan
nilai LDR yang tinggi akan memiliki resiko menjadi tidak sehat. Sementara itu LPD
xvi
yang kurang sehat dipengaruhi disebabkan nilai KAP yang tinggi, meski nilai CAR
nya tinggi. Ini artinya meski LPD memiliki kecukupan modal yang baik, namun
jika kualitas aktiva produktivitasnya (KAP) tinggi maka akan berpeluang
menjadikan LPDnya kurang sehat. Padahal LPD menjadi pilihan utama masyarakat.
Dari hasil survei mengenai preferensi masyarakat terhadap lembaga keuangan
manakala di wilayah tersebut terdapat beberapa pilihan lembaga keuangan untuk
menyimpan dana, terilhat bahwa 88% masyarakat akan memilih LPD jika hanya
ada LPD saja di wilayah tersebut, sementara jika diwilayah tersebut terdapat juga
lembaga keuangan lain seperti Bank Umum, Koperasi, BPD dan BPR, maka pilihan
masyarakat terhadap LPD masih cukup besar, yakni lebih dari 70% masyarakat
akan tetap memprioritaskan LPD (BI, 2016). Sehingga disayangkan ada banyak
LPD yang bermasalah dimana secara umum masalah kesehatan LPD di Bali
disebabkan oleh banyaknya kredit macet. Hal ini karena manajemen LPD yang
tidak profesional dalam melakukan pengelolaan.
Kredit macet dapat disebabkan manajemen yang tidak melakukan prosedur
dalam pemberian kredit yang berpedoman pada 5 C: character, capacity, capital,
colateral, dan condition. Selain faktor tersebut kredit macet dapat disebabkan oleh
jenis kredit yang disalurkan lebih banyak pada kredit konsumtif. Karena kredit
konsumtif memiliki resiko macet lebih tinggi dibandingkan dengan kredit usaha
sehingga pemberian kredit konsumtif harus lebih berpedoman pada prinsip 5C.
Temuan hasil analisis faktor menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kredit macet pada Lembaga Perkreditan Desa di Kecamatan
Denpasar Timur yaitu faktor intern dan faktor ekstern, sedangkan faktor yang
xvii
paling dominan mempengaruhi kredit macet pada Lembaga Perkreditan Desa di
Kecamatan Denpasar Timur tahun 2010-2012 adalah berasal dari faktor intern yaitu
kurangnya pengawasan kredit dengan nilai varimax rotation sebesar 0,866. (K. T.
Windartini, dkk., 2014).
Selain studi tentang kredit macet LPD di Kecamatan Denpasar Timur, ada
studi ditempat lain, yakni di Kabupaten Tabanan yang dilakukan oleh Anak Agung
Ngurah Bagus Candra Dinata, dkk. Peneliti melakukan wawancara kepada Kepala
LPD Desa Kaba Kaba, hasil wawancara dari Bapak A.A. Ngurah Putra
Suryadharma, Kepala LPD Desa Kaba Kaba, kredit macet disebabkan memang dari
debitur dan bukan dari pihak LPD. Debitur meminjam kredit untuk membantu
kelancaran usahanya, namun usahanya mengalami kebangkrutan sehingga sisa
hutang yang dipinjam tidak mampu untuk dilunasi.Sanksi adat merupakan salah
satu reaksi adat terhadap pelanggaran aturan-aturan adat atau terhadap tidak
dilaksanakan peraturan-peraturan adat. Berdasarkan wawancara dengan Bapak A.
A. Ngurah Putra Suryadharma, Ketua LPD Desa Adat Kaba Kaba, sanksi yang
digunakan LPD Desa Adat Kaba Kaba adalah Sanksi Danda (Pidanda) dan
Kerampag yang sesuai dengan Awig- Awig Lembaga Perkreditan Desa, Desa Adat
Kaba Kaba. Selama ini hanya denda saja yang sampai diterapkan kepada debitur
yang tidak melakukan kewajibannya, yaitu berupa denda uang yang dipotong dari
besarnya pokok tunggakan dan bunga yang harus dibayar oleh debitur, sedangkan
untuk sanksi kerampang belum ada. Penyelesaiannya adalah pihak LPD melakukan
rapat intern untuk membahas upaya yang dilakukan ke debitur dan jika debitur
belum melunasi hutangnya sampai 2 bulan maka kreditur memberikan teguran
xviii
berupa surat pemberitahuan. Penyelesaian Kredit Macet di LPD Desa Adat Kaba
Kaba yaitu dari pihak LPD sebelum melakukan penagihan kelapangan, bagian
kredit melakukan rapat intern untuk membahas upaya yang dilakukan ke debitur
agar bisa membayar tunggakan. Jika debitur belum melunasi utangnya sampai 2
(dua) bulan maka pihak kreditur memberikan teguran berupa Surat Pemberitahuan
seperti:
1) Surat Pemberitahuan I (Pertama) untuk tunggakan 3 (tiga) bulan.
2) Surat Pemberitahuan II (Kedua) untuk tunggakan 4 (empat) bulan.
3) Surat Pemberitahuan III (Ketiga) untuk tunggakan 5 (lima) bulan.
Untuk dapat meningkatkan kinerja LPD pihak manajemen harus mampu
menetapkan strategi usaha sesuai dengan tujuan organisasi LPD. Strategi bisnis
tersebut diharapkan dijadikan sebagai langkah untuk meningkatkan kinerja agar
mencapai tujuan LPD. Peran pemerintah dalam menumbuh-kembangkan LPD
sangat signifikan, selain itu manajemen yang profesional dalam mengelola LPD
merupakan hal yang wajib dimiliki oleh pengurus dan karyawan. Manajemen
professional hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang punya kapasitas/modal
sosial yang cukup serta memiliki jiwa orientasi kewirausahaan sosial yang tinggi.
Dengan modal sosial yang memadai, pribadi yang punya orientasi kewirausahaan
sosial yang tinggi, memungkinkan manajamen LPD mampu memanfaatkan
peluang-peluang yang ada secara optimal dengan kreatifitas dan inovasi serta
pemanfaatan sumber daya yang tersedia.
Peran menurut Cohen (2009) adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh
xix
orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Menurut Thoha (2002),
peranan merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh
seseorang. Penghargaan semacam itu merupakan suatu norma yang dapat
mengakibatkan terjadinya suatu peranan. Dalam bahasa organisasi, peranan
diperoleh dari uraian jabatan. Adapun uraian jabatan itu merupakan dokumen
tertulis yang memuat persyaratan-persyaratan dan tanggung jawab atas suatu
pekerjaan. Karena hakikatnya peranan itu merupakan perwujudan interaksi antara
orang-orang dalam organisasi. Dengan demikian banyak yang bisa dilakukan
olehnya untuk merencanakan intervensi ke arah perubahan, perbaikan dan
penyempurnaan organisasi.
Menurut Suhady dalam Riawan (2005), pemerintah (government) ditinjau
dari pengertiannya adalah the authoritative direction and administration of the
affairs of men/women in a nation state, city, etc. Pemerintahan dapat juga diartikan
sebagai the governing body of a nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan
sebagainya. Pengertian pemerintah dilihat dari sifatnya yaitu pemerintah dalam arti
luas meliputi seluruh kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi cabang
kekuasaan eksekutif saja (Riawan, 2005).
Menurut Sumarni (2013), perlunya peran dan fungsi pemerintah dalam
perekonomian, yaitu sebagai berikut:
1) Pembangunan ekonomi dibanyak negara umumnya terjadi akibat intervensi pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Intervensi
xx
pemerintah diperlukan dalam perekonomian untuk mengurangi dari kegagalan pasar (market failure) seperti kekakuan harga monopoli dan dampak negatif kegiatan usaha swasta contohnya pencemaran lingkungan.
2) Mekanisme pasar tidak dapat berfungsi tanpa keberadaan aturan yang dibuat pemerintah. Aturan ini memberikan landasan bagi penerapan aturan main, termasuk pemberian sanksi bagi pelaku ekonomi yang melanggarnya.
Peranan pemerintah menjadi lebih penting karena mekanisme pasar saja
tidak dapat menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Untuk menjamin efisiensi,
pemerataan dan stabilitas ekonomi, peran dan fungsi pemerintah mutlak diperlukan
dalam perekonomian sebagai pengendali mekanisme pasar. Kegagalan pasar
(market failure) adalah suatu istilah untuk menyebut kegagalan pasar dalam
mencapai alokasi atau pembagian sumber daya yang optimum. Hal ini khususnya
dapat terjadi jika pasar didominasi oleh para pemasok monopoli produksi atau
konsumsi dan sebuah produk mengakibatkan dampak sampingan (eksternalitas),
seperti rusaknya ekosistem lingkungan.
Dalam pengembangan LPD peranan pemerintah yang efektif dan optimal
diwujudkan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator. 1) Peran pemerintah
sebagai fasilitator, sebagai fasilitator, pemerintah memiliki peran dalam
memfasilitasi LPD untuk mencapai tujuan pengembangan usaha yang dimiliki oleh
LPD. 2) Peran pemerintah sebagai regulator, adalah membuat kebijakan-kebijakan
sehingga mempermudah usaha LPD dalam mengembangkan usahanya. Sebagai
regulator, pemerintah berfungsi untuk menjaga kondisi lingkungan usaha tetap
kondusif untuk melakukan investasi yang dilakukan dengan membuat kebijakan
tentang aturan-aturan persaingan usaha. Pemerintah adalah pihak yang mampu
menerapkan aturan agar kehidupan dapat berjalan baik dan dinamis. 3) Peran
xxi
pemerintah sebagai katalisator, yakni membantu mempercepat proses
berkembangnya LPD.
Kewirausahaan sosial mengacu pada fenomena menerapkan keahlian dan
keterampilan bisnis berbasis pasar pada sektor nirlaba dengan mengembangkan
pendekatan inovatif untuk memperoleh penghasilan (Reis, 1999; Thompson, 2002).
Terdapat kesamaan umum dari semua definisi kewirausahaan sosial, yaitu tentang
hal yang mendorong dan mendasari kewirausahaan sosial untuk menciptakan nilai
sosial, bukan untuk menciptakan kekayaan pribadi atau kekayaan para pemegang
saham (Zadek & Thake, 1997). Begitu pula bahwa kegiatan kewirausahaan sosial
juga ditandai oleh adanya suatu inovasi, atau penciptaan sesuatu yang baru, bukan
hanya melakukan replikasi semata terhadap praktik bisnis yang sudah ada.
Kewirausahaan social berbeda dengan kewirausahaan social. Dr. Gamal membuat
perbandingan Wirausaha Konvensional dan Wirausaha Sosial sebagaimana terlihat
pada tabel 1.3
Tabel 1.3
Perbandingan Wirausaha Konvensional dan Wirausaha Sosial
No Faktor Wirausaha Konvensional Wirausaha Sosial 1 Tujuan Menangkap pasar dengan
aman Mengisi kesenjangan pasar dan merubah dunia
xxii
2 Obyektif Membangun bisnis, mendapat keuntungan
Membuat solusi berkelanjutan untuk perubahan sosial
3 Motif profit Memaksimalkan nilai shareholder, profit sebagai akhirnya
Keuntungan sebagai sarana untuk berkelanjutan finansial
4 Risiko Risiko bisnis dasar Risiko bisnis dasar dan aspek sosial
5 Pertumbuhan Kompetitif untuk satu perusahaan
Kolaboratif untuk social impact
6 Hubungan dengan masalah sosial
Tidak langsung Langsung
7 Umpan balik Konsumen pasar dan sumber informasi pasar
Perlu kreativitas dalam menerima respon pasar
8 Kompetisi Menang untuk satu bisnis diatas lainya dalam pasar
Eksis dikarenakan tidak ada yang menyelesaikan masalah secara memadai
9 Modal Mendapatkan keuntungan dari layanan keuangan dan manajerial yang kuat
Bersaing dengan pembiayaan yang tidak dapat diprediksi dan terfragmentasi
Ada 2 hal yang sangat terasa sekali dalam logika berpikir seorang wirausaha
sosial dan wirausaha konvensional, yaitu soal kepentingan diri dan kesadaran
sosial. Wirausaha konvensioal memiliki kepentingan diri yang lebih tinggi dan
kesadaran sosial yang lebih rendah. Sedangkan wirausaha sosial memiliki
kepentingan diri yang lebih rendah dan kesadaaran sosial yang tinggi. Logika itu
akan sangat mempengaruhi mereka dalam memulai usaha apa, merespon berbagai
peluang yang hadir, keberanian mengambil risiko, dan menentukan cara mereka
xxiii
mengalokasikan sumber dayanya.
Berikutnya dr. Gamal menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan
dalam nilai pribadi dan karakter kepemimpinan yang ada pada wirausaha
konvensional dan wirausaha sosial, sebagaimana pada Tabel 1.4
Tabel 1.4
Perbandingan Nilai Pribadi Dan Karakter Kepemimpinan
Wirausaha Konvensional Dan Wirausaha Sosial
No Wirausaha Konvensional Wirausaha Sosial 1 Seorang yang biasa menciptakan dan
termotivasi untuk membangun sesuatu dari nilai yang dikenali disekitar peluang yang dipersepsikan
Seseorang yang berusaha memaksimalkan social atau modal social untuk memecahkan masalah sosial
2 Termotivasi oleh keuntungan finansial Termotivasi oleh keuntungan sosial
3 Mencari keuntungan pribadi atau pemegang saham
Sangat inovatif dan kreatif
4 Tingkat kepentingan diri yang lebih tinggi
Tingkat kepentingan diri yang lebih rendah
5 Tingkat kesadaran social yang lebih rendah
Tingkat kesadaran social yang lebih tinggi
6 Tingkat dorongan dan determinasi yang lebih rendah
Tingkat pengambilan risiko yang lebih tinggi
Konsep yang berbeda antara wirausaha sosial dan wirausaha konvensional
memberikan pengaruh pada nilai, aktivitas, orientasi dari masing-masing konsep.
Pemicu utama dari kegiatan kewirausahaan sosial adalah masalah sosial aktual yang
sedang ditanganinya, dimana organisasi mengambil keputusan dalam pengelolaan
xxiv
sumber daya berdasarkan format yang paling efektif yang dibutuhkan untuk
mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, kegiatan kewirausahaan sosial tidak
ditentukan oleh badan hukum, dimana suatu kegiatan dapat ditempuh melalui
berbagai kendaraan organisasi atau lembaga, baik melalui organisasi nirlaba, sektor
bisnis, maupun sektor pemerintah. Untuk sementara, kita dapat mendefinisikan
kewirausahaan sosial sebagai kegiatan untuk menciptakan nilai sosial inovatif yang
dapat terjadi baik di sektor nirlaba, bisnis, maupun pemerintah. Meskipun
demikian, sebagian besar definisi kewirausahaan sosial dalam kepustakaan
akademik dan wacana populer, lebih fokus pada kegiatan kewirausahaan sosial di
dalam sektor nirlaba dan bisnis.
Orientasi kewirausahaan sosial mengacu pada proses, praktik, dan
pengambilan keputusan yang mendorong ke arah input baru dan mempunyai 4
aspek, yaitu wirausaha (entrepreneur), ide/gagasan (idea), peluang (opportunity),
dan organisasi (organization). Dimensi wirausaha mengacu pada suatu sikap
seseorang yang memiliki talenta atau bakat, kreatif, dan memiliki motivasi yang
besar. Ide/gagasan diterjemahkan sebagai orientasi untuk mengurangi/mengatasi
masalah dan meiliki gagasan untuk melaksanakan kegiatan social. Sementara itu,
peluang dipahami sebagai suatu yang persisten, peka terhadap lingkungan sekitar
serta keinginan untuk berubah kearah yang lebih baik. Sedangkan organisasi
diartikan sebagai pandai mengatur strategi, melaksanakan kegiatan secara masif
serta berani mengambil keputusan (self determination). Orientasi kewirausahaan
sosial merupakan penggerak utama keuntungan sehingga organisasi dengan
orientasi kewirausahaan sosial yang tinggi mempunyai kesempatan lebih besar
xxv
untuk memunculkan peluang-peluang dan mengambil keuntungan-keuntungan
yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kinerja usaha. Begitu juga dengan LPD,
dengan orientasi kewirausahaan social yang kuat akan memperkokoh lembaga
untuk mencapai tujuannya.
Modal sosial adalah konsep yang muncul dari hasil interaksi di dalam
masyarakat dengan proses yang lama. Meskipun interaksi terjadi karena berbagai
alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi, dan kemudian menjalin kerjasama
pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan dengan berbagai cara untuk mencapai
tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri. Interaksi
semacam ini melahirkan modal sosial yang berupa ikatan emosional yang
menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan
kepercayaan yang tercipta dari adanya hubungan tersebut.
Dengan adanya modal sosial pada sebuah LPD maka akan mampu
membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan lembaga. Adapun kekuatan
kerjasama ini akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat
jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan
diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. LPD sebagai
soko guru ekonomi masyarakat desa sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal
sosial yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Penelitian ini didasarkan pada
model-model yang diperoleh dari fenomena di lapangan yang terbentuk didasarkan
pada teori-teori terpisah antar model, sehingga dari beberapa teori pendukung
tersebut diperoleh suatu bentuk model, teori dan model yang digunakan dalam
xxvi
penelitian ini adalah kinerja lembaga. Dengan berbagai pertimbangan yang sudah
disampaikan diatas maka judul penelitian ini adalah pengaruh peran pemerintah,
modal sosial dan orientasi kewirausahaan sosial terhadap kinerja Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) di provinsi Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Peran Pemerintah berpengaruh terhadap Orientasi Kewirausahaan
Sosial dan Kinerja LPD pada LPD di Provinsi Bali?
2. Bagaimana Modal Sosial berpengaruh terhadap Orientasi Kewirausahaan
Sosial dan Kinerja LPD pada LPD di Provinsi Bali?
3. Bagaimana Orientasi Kewirausahaan Sosial berpengaruh terhadap Kinerja
LPD di Provinsi Bali?
4. Apakah Orientasi Kewirausahaan Sosial memediasi Peran Pemerintah dan
Modal Sosial terhadap Kinerja LPD di Provinsi Bali?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan rumusan masalah
penelitian, ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini yaitu:
1. Untuk menganalisis pengaruh Peran Pemerintah dan Modal Sosial secara
langsung terhadap Orientasi Kewirausahaan Sosial
xxvii
2. Untuk menganalisis pengaruh Peran Pemerintah, Modal Sosial dan Orientasi
Kewirausahaan Sosial secara langsung terhadap kinerja Lembaga Perkreditan
Desa (LPD) di provinsi Bali
3. Untuk menganalisis Peran Pemerintah dan Modal Sosial secara tidak langsung
berpengaruh terhadap Kinerja LPD di Bali melalui Orientasi Kewirausahaan
Sosial
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bidang ilmu ekonomi, khususnya
tentang peningkatan Kinerja LPD yang dipengaruhi oleh Peran Pemerintah,
Modal Sosial dan Orientasi Kewirausahaan Sosial.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/gambaran yang
lebih konkret, sehingga dapat menemukan faktor- faktor yang mempengaruhi
Kinerja LPD di Bali. Oleh karena itu, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
penyusunan kebijakan oleh pihak pengelola LPD dalam upaya meningkatkan
dan mengembangkan LPD di Provinsi Bali.