cysticercosis

8
Sistiserkosis Pendahuluan Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista stadium larva cacing pita Taenia Solium. Sistiserkosis dapat mengenai otot dan sistem saraf pusat (SSP) sebagai neurosistiserkosis, atau berupa kista multiple atau keduanya. Penyakit ini juga dinyatakan sebagai penyakit parasit yang paling banyak menyerang SSP. Epidemiologi Distribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas, dengan wilayah yang memiliki prevalensi tinggi, seperti: Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, India, dan Afrika sub Sahara. Di Meksiko ditemukan bahwa pada orang dewasa yang menderita kejang, setengahnya menderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa juga ditemukan di Afrika, India, dan Cina, bahwa sebagian besar penyakit parasite otak disebabkan neurosistiserkosis. Indonesia memiliki keragaman penduduk, dengan mayoritas penduduk muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun ada beberapa daerah seperti Bali dan Papua yang banyak mengkonsumsi daging babi. Pathogenesis dan Patofisiologi Larva T. solium hidup dalam jaringan sebagai kista yang berisi cairan atau metacestoda. Kista tersebut memiliki dinding

Upload: amelia-putri

Post on 23-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

sistiserkosis

TRANSCRIPT

Sistiserkosis

PendahuluanSistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kista stadium larva cacing pita Taenia Solium. Sistiserkosis dapat mengenai otot dan sistem saraf pusat (SSP) sebagai neurosistiserkosis, atau berupa kista multiple atau keduanya. Penyakit ini juga dinyatakan sebagai penyakit parasit yang paling banyak menyerang SSP.

EpidemiologiDistribusi geografis sistiserkosis di dunia sangat luas, dengan wilayah yang memiliki prevalensi tinggi, seperti: Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, India, dan Afrika sub Sahara. Di Meksiko ditemukan bahwa pada orang dewasa yang menderita kejang, setengahnya menderita neurosistiserkosis. Keadaan serupa juga ditemukan di Afrika, India, dan Cina, bahwa sebagian besar penyakit parasite otak disebabkan neurosistiserkosis.Indonesia memiliki keragaman penduduk, dengan mayoritas penduduk muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun ada beberapa daerah seperti Bali dan Papua yang banyak mengkonsumsi daging babi.

Pathogenesis dan PatofisiologiLarva T. solium hidup dalam jaringan sebagai kista yang berisi cairan atau metacestoda. Kista tersebut memiliki dinding semitransparan yang tipis. Skoleks terletak di satu sisi kista, terinvaginasi dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm. Ukuran dan bentuk kista bervariasi sesuai jaringan sekitarnya. Di otak, kista berbentuk bundar dengan diameter mencapai 1 cm. Dinding kantong terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (dilapisi oleh glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung longgar dan jaringan kanalikuli. Nodul mural terdiri atas skoleks terinvaginasi dank anal spiral terasosiasi yang juga terdiri atas membran trilaminar. Sebuah pori ekskretori kecil dekat akhir kanal digestif terhadap jaringan sekitar.Sistiserkosis hidup menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit mononuclear serta jumlah eusinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot babi selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista telah mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun pejamu. Respon antibody dibangun hanya setelah parasite berubah menjadi bentuk metacestoda.Metacestoda sudah membangun mekanisme untuk menghadang destruksi yang dimediasi komplemen. Paramiosin dari parasite mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga mensekresi inhibitor protease serin yang disebut taeniestatin, yang berfungsi menghambat jalur aktivasi klasik atau alternative, berinterferasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Polisakarida sulfa yang melapisi dinding kista mengaktivasi komplemen menjauhi parasite, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang ke parasit. Antibodi tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista hidup sebenarnya juga menstimulasi produksi immunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista, diperkirakan sebagai sumber protein.Gejala neurosistiserkosis berhubungan dengan respons granulomatosa yang terjadi ketika kista tidak lagi dapat memodulasi respons pejamu.

Manifestasi KlinisManifestasi sistiserkosis tergantung lokasi dan jumlah kista, serta respons penjamu. Bila hanya terdapat sedikit lesi dan terletak di lokasi yang tidak strategis misalnya di otot, atau beberapa daerah di otak, infeksi tersebut dapat terjadi tanpa gejala, namun tetap bisa menjadi salah satu alasan diagnosis sistiserkosis. Pada kasus penyakit neurologis, terdapat periode tanpa gejala sebelum gejala pertama timbul. Masa inkubasi ini diperkirakan berdasarkan masa hidup kista jaringan. Hal ini didukung penemuan histopatologi kista yang ditemukan pada manusia yang tanpa gejala sistiserkosis dan telah meninggal akibat penyebab lain. Sebaliknya, kebanyakan kista dari pasien dengan gejala, berhubungan dengan respons peradangan termasuk di dalamnya limfosit, eosinophil, granulosit, dan sel plasma. Oleh karenanya, gejala sistiserkosis parenkimal timbul akibat peradangan ketika kista kehilangan kemampuan memodulasi respons penjamu.Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kista dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular, jaringan granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi.Manifestasi utama neurosistiserkosis adalah kejang (70-90%). Gejala lain adalah sakit kepala, peningkatan tekanan intracranial (mual dan muntah), dan gangguan status mental (termasuk psikosis). Hanya sedikit pasien yang menunjukkan kelumpuhan saraf kranial maupun gejala fokal lainnya.Bentuk manifestasi klinis:1. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya (kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang, psikosis.2. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkimal aktif dan ensefalitis sistiserkal.3. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis ventricular.4. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular, sistiserkosis, sakit kepala migren, defek neurokognitif, sistiserkosis eksternal.

DiagnosisDel Brutto et al, mengusulkan kriteria diagnostic yang dapat dilakukan berdasarkan pencitraan, tes serologi, presentasi klinis, dan riwayat pajanan. Pencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis. Computerized Tomography (CT) adalah metode terbaik untuk medeteksi kalsifikasi yang menunjukan infeksi infaktif. CT lebih unggul daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitive untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan.Tess serologi memiliki penggunaan luas dan juga sangat bervariasi. Sayangnya kebanyakan tes menggunakan antigen yang tidak terfraksi yang menyebabkan positif dan negative palsu. Hal itu diperkirakan karena aviditas kista dengan immunoglobulin yang menyebabkan positif palsu, selain itu high cutoffs menyebabkan negatif palsu. Salah satu yang dikembangkan adalah dengan pemeriksaan antigen onkosfer. Pemeriksaan EITB sudah terbukti sensitif pada kista parenkim aktif multiple atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian, sensitivitasnya rendah pada pasien dengan kista parenkimal atau kalsifikasi, sehingga pada infeksi inaktif pemeriksaan serologi sering negatif. Pemeriksaan EITB lebih baik ketika menggunakan serum dibanding liquor serebrospinalis. Di daerah yang belum memiliki fasilitas CT dan MRI, serologi berperan penting untuk diagnosis.Untuk menyatakan seseorang menderita sistiserkosis, diperlukan beberapa penemuan positif, diperlukan beberapa penemuan positif. Kriteria mayor:1. Penemuan berdasarkan pemeriksaan pencitraan, dimana ditemukan sistiserkus yang berukuran 0,5-2 cm.2. Ditemukannya antibody spesifik antisistiserkal menggunakan EITB.Kriteria minor antara lain: kejang, peningkatan tekanan intracranial, kalsifikasi intraserebral pungtata, nodul subkutan, atau hilangnya lesi setelah pengobatan anti parasit. Kombinasi kedua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor, ditambah riwayat pajanan, digunakan untuk menegakkan diagnosis.

TerapiTerapi sistiserkosis berbeda pada tiap individu berdasarkan pathogenesis penyakitnya. Hal yang perlu diperhatikan adalah lokasi kista, gejala seperti kejang atau hidrosefalus, viabilitas kista (termasuk stadium degenerasi kista) dan derajat respons peradangan penjamu. Untuk mencegah transmisi perlu dilakukan peningkatan sanitasi lingkungan, memasak daging babi sampai matang, menekan jumlah ekskresi telur taenia, edukasi terhadap masyarakat termasuk kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah ke kamar mandi, serta memasak air minum hingga matang. Upaya yang juga dapat dilakukan adalah melakukan pencegahan infeksi sistiserkosis di babi dengan vaksinasi.Pada infeksi inaktif, pasien dapat diterapi untuk mengatasi gejala seperti kejang. Apabila terdapat hidrosefalus, maka dapat dibantu dengan prosedur tambahan, misalnya dengan operasi pembuatan shunt ventrikuloperitoneal. Pengguanaan obat antiparasit tidak diperlukan karena tidak ada parasite hidup pada pasien. Penderita neurosistiserkosis aktif, memerlukan berbagai pengobatan tambahan untuk mengatasi kista hidup, gejala, dan reaksi akibat pengobatannya sendiri. Obat yang digunakan adalah praziquantel (50-100 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) selama 14 hari, albendazol (15 mg/kg dalam 2-3 dosis terbagi) selama 8 hari, kortikosteroid (10-30 mg deksametasone per hari, atau 60 mg prednisone, dilanjutkan dengan tapering off saat ingin menghentikan pemberian) dan juga obat antikonvulsan seperti fenitoin atau fenobarbital. Pemberian kortikosteroid adalah untuk mengatasi reaksi peradangan yang terutama terjadi setelah pengobatan praziquantel. Tujuannya untuk mencegah peradangan yang dapat mengancam nyawa pada ensefalitis sistiserkal, neurosistiserkosis subarachnoid, dan neurosistiserkosis intramedular spinal. Prednisone lebih baik dibandingkan deksametason untuk penggunaan jangka panjang. Selain itu dapat digunakan manitol (2 g/kg per hari) untuk hipertensi sekunder akut akibat neurosistiserkosis.Pemakaian praziquantel bersama obat anti konvulsan dapat menyebabkan induksi metabolisme. Oleh karena itu diperlukan simetidin (400 mg tiga kali per hari) untuk menghambat metabolisme praziquantel. Interaksi obat ini relative tidak terjadi pada penggunaan obat albendazol. Hal lain yang perlu diperhatikan saat pengobatan adalah reaksi peradangan yang akan menyebabkan demam, mual, muntah dan sakit kepala, bahkan dapat menjadi edema serebral.Pengobatan yang dianjutkan adalah albendazol (15 mg/kg/hari oral, selama 7 hari atau lebih). Bertujuan untuk mengahancurkan seluruh kista dan meringankan kejang sampai 45%. Diberikan secara simultan dengan deksametason (0,1 mg/kg/hari minimal selama minggu pertama terapi). Pilihan lain adalah praziquantel (25 mg/kg) 3 kali sehari, oral dengan interval 2 jam atau dosis standar (50-100 mg/kg/ hari selama 15 hari). Efikasi dosis tunggal lebih baik pada penderita dengan kista tunggal atau kista sedikit, namun kurang bermanfaat bila jumlah kistanya banyak.Pengobatan yang adekuat terhadap cacing pita penting untuk menghentikan transmisi sistiserkosis. Taenia solium dapat diobati dengan niklosamid dosis tunggal (2 gram) atau praziquantel (5 mg/kg). niklosamid merupakan obat pilihan terapi karena tidak diabsorbsi usus sehingga dapat menhindarkan dari resiko gejala neurologi bila pasien juga menderita sistiserkosis. Terapi keduanya memiliki efektifitas lebih dari 95%, namun belum ada penelitian lebih lanjut. Indentifikasi kesembuhan adalah dengan ditemukannya skoleks setelah pengobatan, karena skoleks yang tersisa dapat tumbuh kembali dalam jangka waktu 2 bulan. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan purgative osmotik sebelum dan sesudah pengobatan.