credit union ”angudi laras” di gkj purworejo...
TRANSCRIPT
0
CREDIT UNION ”ANGUDI LARAS” di GKJ PURWOREJO
(Tinjauan Teologis Terhadap Usaha Gereja Meningkatkan Kesejahteraan Umat)
Oleh :
JOSEF PRIJO HADIJANTO
712008019
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
1
CREDIT UNION ”ANGUDI LARAS” di GKJ PURWOREJO
(Tinjauan Teologis Terhadap Usaha Gereja Meningkatkan Kesejahteraan Umat)
Oleh :
JOSEF PRIJO HADIJANTO
712008019
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si. Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
2
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : JOSEF PRIJO HADIJANTO
NIM : 712008019
Fakultas : Teologi – Universitas Kristen Satya Wacana
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir dengan judul:
CREDIT UNION ”ANGUDI LARAS” di GKJ PURWOREJO
(Tinjauan Teologis Terhadap Usaha Gereja Meningkatkan Kesejahteraan Umat)
yang dibimbing oleh:
1. Pendeta Dr. Daniel Nuhamara, M.Th.
adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat sebagian atau keseluruhan tulisan atau gagasan
orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian
kalimat atau gambar atau simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa
memberi pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 1 Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
JOSEF PRIJO HADIJANTO
3
4
CREDIT UNION ”ANGUDI LARAS” di GKJ PURWOREJO
(Tinjauan Teologis Terhadap Usaha Gereja Meningkatkan Kesejahteraan Umat)
Oleh: JOSEF PRIJO HADIJANTO
Dalam tubuh gereja, banyak permasalahan yang ada dalam kehidupan warga jemaat yang
menyangkut kehidupan sehari-hari. Salah satu permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini
adalah masalah ekonomi dalam kaitan dengan kesejahteraan umat. Seringkali gereja tidak siap
ketika diharapkan bisa menolong masalah kemiskinan jemaatnya. Selain membawakan dalam
doa, gereja juga harus turun tangan untuk bertindak semampunya yaitu dengan kemampuan
yang dimilikinya untuk membantu warga jemaat mengatasi permasalahan tersebut. GKJ
Purworejo mencoba ikut terlibat campur tangan dalam meningkatkan kesejahteraan umat
dengan pembelajaran bersama melalui Credit Union. Credit Union adalah sebuah sistem
pembelajaran pengelolaan keuangan bersama yang didasarkan atas kesetiakawanan/solidaritas
bagi sesama orang miskin atau golongan ekonomi menengah ke bawah dengan memanfaatkan
aset yang dimilikinya, dihimpun, dan digunakan bersama secara bijaksana, dengan aturan-
aturan yang dibuat bersama, agar pengelolaannya berjalan dengan cara profesional yang tidak
menyebabkan kerugian. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode wawancara
dengan pelaku dan pendiri Credit Union Angudi Laras, mengikuti seminar Credit Union serta
penelusuran literatur yang berhubungan dengan Credit Union. Penulis ingin menyajikan
keunggulan Credit Union ini, juga membandingkan dengan lembaga keuangan yang ada agar
jelas kelebihan Credit Union, disamping ingin mengajak gereja-gereja lain untuk melakukan
hal yang sama demi perjuangan menyejahterakan umat secara ekonomi. Credit Union ini
belum banyak dikerjakan oleh gereja-gereja, sehingga tulisan ini mungkin dapat menjadikan
inspirasi bagi banyak gereja untuk juga melakukan hal yang sama, demi kesejahteraan umat.
Kata Kunci: Credit Union, GKJ Purworejo, Kesejahteraan Umat
5
CREDIT UNION ”ANGUDI LARAS” di GKJ PURWOREJO
(Tinjauan Teologis Terhadap Usaha Gereja Meningkatkan Kesejahteraan Umat)
Oleh: JOSEF PRIJO HADIJANTO
Dalam tubuh gereja, banyak permasalahan yang ada dalam kehidupan warga jemaat yang
menyangkut kehidupan sehari-hari. Salah satu permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini
adalah masalah ekonomi dalam kaitan dengan kesejahteraan umat. Seringkali gereja tidak siap
ketika diharapkan bisa menolong masalah kemiskinan jemaatnya. Selain membawakan dalam
doa, gereja juga harus turun tangan untuk bertindak semampunya yaitu dengan kemampuan
yang dimilikinya untuk membantu warga jemaat mengatasi permasalahan tersebut. GKJ
Purworejo mencoba ikut terlibat campur tangan dalam meningkatkan kesejahteraan umat
dengan pembelajaran bersama melalui Credit Union. Credit Union adalah sebuah sistem
pembelajaran pengelolaan keuangan bersama yang didasarkan atas kesetiakawanan/solidaritas
bagi sesama orang miskin atau golongan ekonomi menengah ke bawah dengan memanfaatkan
aset yang dimilikinya, dihimpun, dan digunakan bersama secara bijaksana, dengan aturan-
aturan yang dibuat bersama, agar pengelolaannya berjalan dengan cara profesional yang tidak
menyebabkan kerugian. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode wawancara
dengan pelaku dan pendiri Credit Union Angudi Laras, mengikuti seminar Credit Union serta
penelusuran literatur yang berhubungan dengan Credit Union. Penulis ingin menyajikan
keunggulan Credit Union ini, juga membandingkan dengan lembaga keuangan yang ada agar
jelas kelebihan Credit Union, disamping ingin mengajak gereja-gereja lain untuk melakukan
hal yang sama demi perjuangan menyejahterakan umat secara ekonomi. Credit Union ini
belum banyak dikerjakan oleh gereja-gereja, sehingga tulisan ini mungkin dapat menjadikan
inspirasi bagi banyak gereja untuk juga melakukan hal yang sama, demi kesejahteraan umat.
Kata Kunci: Credit Union, GKJ Purworejo, Kesejahteraan Umat
I. Pendahuluan
Dewasa ini dampak dari globalisasi dan kapitalisme sudah tidak terbendung lagi, baik
dampak positif maupun dampak negatifnya. Berbagai kota yang ada di Indonesia, juga
merasakan dampak tersebut, termasuk kota Purworejo yang ada di Jawa Tengah. Gereja
hidup dan tumbuh di tengah-tengah jemaat dan masyarakat yang sedang mengalami dinamika
sosial yang terus berkembang yang juga mendapatkan imbas globalisasi dan kapitalisme.
Bahkan hari ini gereja tengah berhadapan dengan gaya kehidupan post modern.
Pemilik perusahan atau pemilik modal selalu membutuhkan si miskin untuk membantu
pekerjaan-pekerjaan yang membuat pemilik modal/perusahaan tetap/semakin kaya dengan
tenaga dan waktu dari si miskin. Dalam hal ini si kaya butuh subsidi dari apa yang dimiliki
dari si miskin, berupa tenaga dan waktu. Dan sebenarnya si kaya butuh kondisi agar si miskin
tetap setia bekerja padanya/miskin agar senantiasa bergantung dan membutuhkan si kaya.
Maksudnya adalah agar si miskin tetap ada eksistensinya, demi melakukan pekerjaan-
pekerjaan rendah/kasar yang memerlukan tenaga besar yang tidak mampu dilakukan oleh si
kaya.
Masyarakat miskin, kebanyakan tidak berpengetahuan ekonomi secara memadai, harus
bersaing dengan para pemilik modal yang berpendidikan dan berpengetahuan ekonomi secara
6
formal dengan pengalaman yang lebih luas karena lebih menguasai teknologi ataupun
informasi. Tentu saja masyarakat miskin, yang hidup dalam tempat dan waktu yang sama
dengan para pemilik modal tersebut, akan kalah dalam bersaing secara ekonomi. Masyarakat
miskin untuk mengupayakan kegiatan ekonomi produktif, tidak mempunyai pengetahuan,
disamping itu juga tidak memiliki akses modal yang mudah.
Frans Magnis Suseno (1996) dalam presentasinya yang diberi judul : ”Peranan Agama
di Pasar Global: Perspektif Indonesia” yang ia sampaikan di Universitas Kristen Petra
Surabaya, menyebutkan bahwa keberadaan Pasar Global adalah suatu hal yang tak terelakkan.
Namun, yang kemudian ’yang menjadi masalah kita’ adalah: apakah hal itu bahwa proses
perekonomian harus begitu saja diserahkan kepada kekuatan-kekuatan ekonomis di pasar
global itu, ataukah manusia tetap dapat mengemudikan proses perekonomian demi tujuan-
tujuan yang mau dicapainya? Pandangan kritis Romo Magnis terhadap dogma liberalisme
ekonomi Adam Smith (pasar bebas pada akhirnya akan menemukan keseimbangannya
sendiri, dan pada saat itulah akan tercapai kesejateraan umum dan keadilan yang optimal):
tanpa adanya kontrol dan peraturan, yang akan terjadi adalah hanya pelimpahan keuntungan
pada pihak-pihak yang menguasai permainan ekonomi seperti para pemilik perusahaan dan
modal. Dalam hal ini menurut Magnis Suseno, gereja seharusnya terpanggil untuk juga
berperan mendampingi kaum ekonomi lemah agar tidak selalu menjadi korban pemilik modal.
Gereja sering kali dianggap hanya sebagai institusi yang menangani masalah-masalah
kerohanian dan pembinaan mental serta spiritual saja. Namun sebenarnya sejak gereja mula-
mula ada, gereja juga menangani hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial yang ada
di masyarakat. Gereja diperkenankan Tuhan untuk hadir di tengah-tengah kehidupan sosial
justru sebenarnya untuk mewartakan kabar baik serta menolong jemaat dalam berbagai aspek
kehidupan sosialnya. Gereja diharapkan tidak hanya menyuarakan suara kenabian di tengah
masyarakat melalui khotbah dan perenungan-perenungan saja, namun lebih dari itu, gereja
diharapkan dapat melakukan hal-hal praksis untuk menolong masyarakat yang membutuhkan
pertolongan sesuai dengan visi dan misi gereja.
Ada hubungan yang erat antara diakonia dengan misi. Bahkan menurut Singgih
diakonia merupakan norma yang berpengaruh terhadap kehidupan umat Kristen di Asia,
termasuk kehidupan ekonomi mereka. Bahkan menurutnya, dalam konteks Asia, misiologi
adalah diakonia. Pemahaman misi tidak lagi dipahami sebagai upaya untuk mencari jiwa
tetapi lebih luas daripada itu. 1
Perhatian pada lingkungan hidup, perbaikan sosial ekonomi,
serta mereka yang terisingkir dan dirampok, seharusnya menjadi bagian dari misi Allah yang
harus dilakukan oleh orang percaya (gereja). Misi Allah datang ke dunia melalui Yesus
1 Emanuel Gerrit Singgih, ”Globalisasi dan Kontekstualisasi”. Dalam Teologi Ekonomi. Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2002, hal. 28
7
Kristus dan ditampakkan dalam seluruh kehidupan dan pelayanan Yesus. Misi Allah bukan
sekedar membawa manusia dibaptis dalam gereja tetapi mewujudkan tanda-tanda
pemerintahan Allah di tengah dunia.2 Tujuan diakonia adalah untuk mewujudkan manusia
yang baru dan dunia yang baru. Diakonia tidak dimaksudkan sekedar untuk menciptakan
hubungan antara pemberi dan penerima. Diakonia harus dijalankan dalam rangka Missio Dei,
yaitu kehadiran pemerintahan Allah di dunia. Lingkup diakonia tidak dibatasi oleh tembok
dinding gereja tetapi mencakup setiap sudut kehidupan, baik sosial ekonomi maupun politik.3
Lebih tegas, Josef P. Widiatmadja mengarahkan gereja terlibat dalam diakonia
transformatif, yaitu diakonia yang memberikan pembelajaran dan membebaskan, yaitu
digambarkan sebagai diakonia yang memampukan seseorang untuk menjadi kuat berjalan
sendiri (mandiri). Diakonia transformatif atau diakonia pembebasan adalah diakonia yang
bertujuan untuk membebaskan rakyat kecil dari belenggu struktural yang tidak adil yang
mengepung mereka. Diakonia transformatif berupa pemberdayaan/ pengorganisasian rakyat
kecil, yang tidak hanya didorong oleh rasa belas kasihan, namun didasari dengan perjuangan
mendapatkan keadilan.4
Namun dalam hal ini pandangan gereja tidaklah lebih superior/ekskusif dari masyarakat
atau kaum yang dilayaninya. Gereja bukan bekerja untuk kaum miskin, kaum miskin bukan
hanya merupakan obyek dari pekerjaan gereja. Namun gereja bersama-sama kaum miskin
untuk berjuang mendapatkan suasana kehidupan masyarakat yang lebih baik. Jadi, gereja
bersama masyarakat merupakan subyek yang menjadi agen-agen dan pengemban-pengemban
Missio Dei.
Salah satu kebutuhan yang terkait dengan dinamika sosial-ekonomi di masyarakat
secara umum, adalah sulitnya mendapat akses permodalan bagi usaha mikro bagi
pengembangan usaha ekonomi produktif. Padahal laju pertumbuhan ekonomi sangat
bergantung pada kinerja di sektor riil, justru sektor riil inilah yang tersebar di tengah
masyarakat. Namun pelaku sektor riil juga membutuhkan permodalan, pembimbingan dan
pendampingan. Gereja bisa berperan dalam sisi ini, karena tidak semua pelaku sektor riil ini
seluruhnya terlayani oleh pemerintah/negara.
Meskipun saat ini Lembaga Keuangan/pembiayaan baik berasal dari pemerintah
maupun swasta (BRI, Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro, BPR, Lembaga Finance, dan
lain-lain) telah banyak didirikan untuk membantu rakyat kecil melalui program-program yang
menjadi produknya, namun fungsi dan peranannya tidak menyentuh kebutuhan yang
sesungguhnya agar rakyat kecil sadar ekonomi atau melék ekonomi. Lembaga keuangan
2 Josef P. Widiatmadja, ”Yesus dan Wong Cilik”, Jakarta : BPK Gunung Mulia. 2010, hal.10.
3Ibid., hal. 11.
4 Ibid., hal. 44-45.
8
semacam ini hanya mengejar target keuntungan, hanya membantu menyalurkan pinjaman
dengan imbal balik yang cukup mahal, tanpa memberikan pendidikan ekonomi yang sehat.
Hal tersebut mempunyai prisip sangat berbeda dengan yang ditetapkan oleh Credit Union,
dimana dengan prinsip-prinsip: struktur yang demokratis, memperhatikan kebutuhan finansial
angotanya dan pelayanannya bersifat sosial (non-profit oriented), namun tetap menjunjung
profesionalisme dalam pengelolaan keuangan. Adapun 3 pilar utama yang diperjuangkan
dalam Credit Union, yaitu : pendidikan, swadaya dan setia kawan.
Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap usaha ekonomi produktif (Usaha Kecil dan
Menengah) telah lebih baik, misalnya dengan adanya program Kredit Usaha Rakyat (KUR) di
setiap desa dan kecamatan, namun pada praktek pelaksanaannya belum dapat menyentuh
kebutuhan masyarakat secara luas dan merata.5 Kredit Usaha Rakyat ini diberikan oleh
pemerintah kepada masyarakat yang telah mempunyai usaha mikro, melalui bank milik
pemerintah tanpa agunan dengan plafon kredit minimal Rp. 20.000.000,- (dua puluh lima juta
rupiah) dengan suku bunga pinjaman yang ringan (22%).6 Dari tingkat suku bunga 22% per
tahun bukanlah bunga yang ringan, dan dalam praktek pengucurannya kepada masyarakat
masih menemui banyak kendala, antara lain : harus sudah mempunyai usaha mikro yang
stabil, bank tetap mensyaratkan agunan, tidak adanya pembelajaran yang mendampingi
kreditor. Sehingga seringkali sasaran penggunaan bantuan kredit tidak sesuai dengan harapan
upaya menolong/mengembangkan upaya ekonomi produktif, namun justru membawa
masyarakat/pengguna kredit masuk lebih dalam ke dalam dunia konsumerisme dengan
penggunaan kredit pinjaman tersebut untuk kebutuhan yang tidak sebagaimana mestinya
(misalnya dipakai oleh pengguna kredit untuk membeli barang-barang konsumsi non-
produktif). Hal semacam ini tentu sangat berbeda dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh
Credit Union.
Gereja Kristen Jawa dalam dalam pengajarannya, mengacu pada tiga tolok ukur
berjenjang, yaitu: Alkitab, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa dan Tata Gereja dan
Tata Laksana Gereja Kristen Jawa. Pada Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, khususnya pasal
54 diatur tentang Pelayanan Sosial Ekonomi: (1) Pelayanan sosial ekonomi adalah tindakan
untuk memberdayakan warga gereja mengatasi kesulitan dalam hal kebutuhan sosial ekonomi
demi terpelihara imannya, (2) Pelayanan sosial ekonomi yang dilakukan oleh Gereja dapat
bersifat konsumtif/pemberian (khariatif), pemberdayaan (reformatif) dan penyadaran
(transformatif).7
5 Dewi Indriastuti, ” Mendorong UMKM ” Kolom Perbankan, Harian Kompas edisi Kamis, 22 Februari 2012.
6 Direktorat Pembiayaan Pertanian – Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementrian Pertanian.
Pedoman Teknis Kredit Usaha Rakyat (KUR) Sektor Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian 2012, hal. 11. 7 Tim Revisi PPA GKJ, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga: Sinode GKJ, 2005, hal.106.
9
Gereja Kristen Jawa Purworejo (GKJ Purworejo) adalah gereja yang telah hadir di kota
Purworejo sudah lebih dari 113 tahun. Gereja Kristen Jawa Purworejo tumbuh dan
berkembang bersama jemaat dan masyarakat umum di kota Purworejo, seiring dengan
dinamika sosial dengan berbagai masalah sosial, ekonomi maupun politik yang ada di
dalamnya. Dengan demikian gereja ditantang untuk ikut terlibat secara langsung dalam
dinamika sosial-ekonomi tersebut. Untuk itulah GKJ Purworejo memutuskan untuk terlibat
dalam masalah tersebut secara langsung dengan menolong masyarakat mempermudah
mendapatkan akses kredit, namun juga disertai upaya pendampingan dan pembelajaran
bersama agar pengguna kredit lebih bijaksana dalam memakai dan mengelola keuangannya.
Credit Union ”Angudi Laras” dibentuk oleh GKJ-GKJ di Klasis Purworejo untuk menangani
masalah ekonomi mikro jemaat lokal maupun masyarakat umum yang ingin bergabung dan
terlibat di dalamnya. Credit Union ”Angudi Laras” menghimpun dana dari jemaat dan
masyarakat untuk kembali dipergunakan oleh para penghimpun secara bergantian menurut
skala prioritas. Kelebihan dari Credit Union ini adalah : akses permodalan yang tidak
berbelit, suku bunga pinjaman yang lebih rendah namun suku bunga simpanan yang lebih
tinggi dari bank milik pemerintah, adanya pendampingan dan pembelajaran kepada
anggotanya secara berkala dan berkelanjutan untuk menekan sifat konsumerisme, serta
menumbuhkembangkan rasa ingin menabung.
Prinsip kerja Credit Union ini mengadopsi dari pendirinya, Friedrich Wilhelm
Raiffeisen seorang walikota Flammersfield (Jerman), yang menyatakan bahwa ”kesulitan si
miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang
secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman
harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan
pinjaman adalah watak si peminjam/anggota.”8
Credit Union juga sering dikaitkan dengan upaya pembelajaran yang diberikan gereja
kepada jemaat/masyarakat dalam menyikapi imbas kapitalisme yang sudah lagi tidak bisa lagi
dibendung. Karena di dalam Credit Union tidak hanya sekedar fungsi kredit atau pinjam
meminjam saja, namun di dalamnya ada pembelajaran untuk bersikap lebih arif dalam
menahan keinginan yang bersifat selalu ingin membeli / konsumtif. Wahono menyatakan
bahwa musuh dari Credit Union adalah “sifat dan tindak mengumbar keinginan”. Keinginan
pasti tanpa batas, dan cenderung menabrak kepentingan dan kebutuhan orang lain. Keinginan
akhirnya menciptakan persaingan, persaingan akhirnya menciptakan ketidakadilan,
8 Agung KN, ” Friedrich Wilhelm Raiffeisen” http://www.cubg.or.id/index.php/sejarah/pelopor-dunia, diunduh
30 Januari 2014 jam 12.30 WIB
10
ketidakadilan akhirnya menciptakan pemiskinan dan pembodohan, yang pada gilirannya
menjadi kondisi atas perang, kebencian, ketidakdamaian. 9
II. Gereja dan Perjuangan Keadilan Ekonomi untuk Kaum Miskin
Gereja tidak dapat dipisahkan dengan ’kaum miskin’ sebab, selama dunia ini ada,
menurut Yesus Kristus, kaum miskin selalu saja ada.10
Perhatian dan kepedulian Yesus
Kristus terhadap orang miskin lebih terasa dari pada orang kaya, meskipun orang kaya juga
mendapat tempat dalam perhatian Yesus Kristus (seperti dalam kisah Zakheus dalam Lukas
19). Dalam Perjanjian Baru, tidak ada satu ayatpun yang membuat Yesus Kristus ingin
mengubah keadaan orang miskin menjadi kaya. Namun Yesus Kristus cenderung mengajak
pendengarNya untuk mengambil sikap peduli kepada kaum miskin. Ivan Illich mengatakan
bentuk kepedulian ini dinyatakan dengan kata-kata ’gereja untuk kaum miskin’ bukan ’gereja
dari kaum miskin’, bukan gereja yang membutuhkan kaum miskin sebagai obyek
pelayanannya, namun justru gerejalah yang membutuhkan kaum miskin bila gereja ingin
dekat dengan Tuhannya.11
II.1. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah kondisi orang dimana tidak menguasai sarana-sarana fisik
secukupnya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, untuk mencapai tingkat minimum
kehidupan yang masih dapat dinilai manusiawi.12
Ignasius Suharyo mengatakan bahwa miskin bukanlah sebuah cita-cita. Orang miskin
adalah mereka yang mau tidak mau harus membungkuk di adapan orang yang lebih kuat,
berkuasa atau orang kaya; tidak tepandang dan hidup dari belas kasihan orang lain. Orang
miskin adalah orang yang dianggap rendah tidak mampu menuntut agar hak-haknya
dihormati.13
Kemiskinan menurut sosiolog dari UGM, Selo Sumardjan (1980:5), menggolongkan
kemiskinan menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Kemiskinan Individual, adalah kemiskinan yang dialami seseorang oleh karena ia
malas bekerja atau oleh karena ia sakit secara permanen.
9 Francis Wahono, ” Gerakan Credit Union Sebagai Perwujudan Ekonomi Kerakyatan Baru”, Makalah seminar
credit union di Sinode GKJ, Salatiga, pada tanggal 11 Juli 2011. 10
Matius 6:11 Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama
kamu. 11
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta:
BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 668. 12
J.B. Banawiratma (Ed.), Kemiskinan dan Pembebasan, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hal. 37. 13
Ibid., hal. 38.
11
2. Kemiskinan Struktural, adalah kemiskinan yang dialami seseorang karena struktur
sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia di sekitar mereka.14
Menurut Widiastuti (2010:18) ketika memahami kemiskinan struktural, yang banyak dilihat
adalah struktur yang ada disekitar orang miskin. Misalnya struktur perekonomian,
ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, perkreditan, jaminan sosial, dan sebagainya. Bahkan
struktur terkecil dalam masyarakat yang juga berpeluang untuk menyebabkan terjadinya
kemiskinan struktural, adalah keluarga. (Perilaku pengambil kebijakan dalam keluarga).
a. Kemiskinan dari Dimensi Teori Sosial
Dalam teori sosial, ada banyak definisi atau batasan tentang kemiskinan maupun
pendapat beberapa ahli tentang kemiskinan ini. Kemiskinan, menurut Suryawasita dalam
Banawiratma (1987:17-18) dapat dipandang dari beberapa aspek ideologi menggolongkan
pandangan kemiskinan menurut 2 model, yaitu :
1. Model/kerangka berpikir Konsensus, yang terbagi menjadi
- kemiskinan menurut ideologi konservatif
- kemiskinan menurut ideologi liberal
2. Model/kerangka berpikir Konflik
b. Kemiskinan menurut ideologi konservatif
Umumnya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada
orang miskin sendiri. Orang miskin dinilai umumnya bodoh, malas, tidak punya motivasi
berpretasi yang tinggi, tidak punya ketrampilan dan lain sebagainya. Maka kaum
konservatif sering berbicara mengenai kultur dan mentalitas orang miskin yang mereka
anggap sebagai sebab kemiskinan. Karena kaum konservatif selalu cenderung menilai
positif struktur sosial yang sudah ada, maka orang-orang yang miskin dianggap sebagai
orang-orang yang gagal menyesuaikan diri dalam tata sosial yang ada atau bahkan
menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diharapkan dan sudah disetujui oleh
masyarakat.
Pada umumnya, kaum konservatif tidak memandang masalah kemiskinan sebagai
masalah yang serius. Kaum konservatif percaya bahwa masalah kemiskinan akan
terselesaikan dengan sendirinya. Dalam jangka panjang melalui proses sosial yang
naturalbakan berjalan dan akan menguntungkan semua anggota masyarakat. Oleh karena
itu kaum konservatif tidak mendukung adanya campur tangan pemerintah untuk mengatasi
kemiskinan. Kaum konservatif juga menentang campur tangan pemerintah (misalnya
14
Alfian, Melly G. Tan, Selo Soemardjan, Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai, Jakarta: Yayasan Ilmu-
ilmu Sosial, 1980, hal. 5.
12
memberi jaminan sosial bagi penganggur, bagi mereka yang berpendapatan rendah),
karena hal tersebut bagi kaum konservatif menganggap hanya akan membuat orang miskin
semakin malas dan justru akan mengurangi daya rangsang bagi kelompok lain.
c. Kemiskinan menurut ideologi liberal
Kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya
perlu dipecahkan. Masalah kemiskinan menurut kaum liberal dapat diselesaikan dalam
struktur politik, ekonomi yang sudah ada. Yang penting ialah diciptakannya kesempatan
yang sama untuk berusaha bagi setiap orang tanpa diskriminasi. Ada kepercayaan kuat
pada kaum liberal, bahwa orang miskin pasti dapat mengatasi kemiskinan mereka asal
mereka dapat kesempatan berusaha yang memadai. Untuk mengatasi kemiskinan mereka
mengusulkan untuk diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka
kesempatan-kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan menyebarkan pendidikan.
Tentang kultur orang miskin, kaum liberal mempunyai pandangan yang lebih
optimistis daripada pandangan kaum konservatif. Menurut kaum liberal, untuk
membebaskan kaum miskin dari kultur yang memiskinkan mereka, perlu diadakan
perubahan-perubahan terhadap lingkungan dan situasi hidup mereka. Perubahan ini
meliputi dihapuskannya diskriminasi dalam mencari kerja, perumahan dan pendidikan;
perlu juga diciptakannya lapangan-lapangan kerja dan latihan-latihan ketrampilan dan
diperbaikinya pelayanan-pelayanan lainnya. Kalau kondisi sosial dan ekonomi telah
diperbaiki dan kesempatan-kesempatan baru telah terbuka bagi orang-orang miskin, maka
orang miskin ini menurut kaum liberal akan siap menyesuaikan diri dengan kultur dominan
dalam masyarakat dan meninggalkan kultur mereka.
Baik kaum konservatif maupun kaum liberal mempertahankan struktur sosial yang
sudah ada, bedanya kaum konservatif cenderung membiarkan kaum miskin bahkan
menyalahkan; namun kaum liberal lebih berupaya bagaimana kaum miskin lebih
memungkinkan hidup dalam struktur sosial yang sudah ada. Namun di sisi lain liberalisme
juga menaruh hak dan kepentingan pribadi ekonomi manusia sebagai suatu yang harus
diperjuangkan demi untuk melindungi individu-individu terhadap kesewenang-wenangan
negara.
d. Kemiskinan dalam pandangan Model Konflik
Terkait dengan kemiskinan, pandangan teori konfik, tentang struktur sosial
bukanlah hasil konsensus seluruh warga masyarakat, namun karena dominasi dari
sekelompok kecil yang memerintah dan mempertahankan kepentingannya. Penganut teori
konflik tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup, dan berprestasi dalam
13
struktur sosial yang sudah ada sebagaimana ditekankan kaum liberal, tetapi mereka
mempersoalkan struktur sosial itu sendiri dan menganggapnya sebagai penyebab
kemiskinan.
Penganut model teori konflik, memandang kemiskinan dalam masyarakat memang
sengaja dipertahankan sebab orang-orang miskin dianggap mempunyai fungsi. Sistem
ekonomi, kepentingan kelompok penguasa dan elite membutuhkan kelanggengan
kemiskinan, sebab kemiskinan akan menjamin masyarakat adanya pekerjaan kotor yang
harus dikerjakan oleh orang miskin. Dengan kata lain, kemiskinan berfungsi menyediakan
tenaga-tenaga kerja murah yang mau menangani pekerjaan kotor dengan upah murah.
Orang miskin ini sebenarnya memberikan subsidi yang menguntungkan bagi orang kaya.
II.2. Globalisasi dan Kemiskinan
Memasuki abad 21, dunia ditandai dengan semakin meluasnya sistem globalisasi, baik
dalam bidang teknologi, informasi ataupun perdagangan bebas. Widyatmadja mengatakan
bahwa suka atau tidak suka, globalisasi sudah menjadi bagian dari manusia yang hidup di
bawah kolong langit. Kawasan Asia memasuki babak baru dengan berlakunya perdagangan
bebas AFTA dan ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement). Dampak negatif maupun
positif pasar bebas akan terjadi dalam kehidupan manusia di seluruh dunia. Banyak ilmuwan
berusaha untuk mendefinisikan ’globalisasi’ dengan pandangan dan pendekatan yang berbeda.
Ada yang hanya melihat sisi positif globalisasi, tetapi ada juga yang melihat dari sisi negatif
dan dampaknya bagi orang miskin. Globalisasi bukan sekedar proses pembukaan sekat
ekonomi oleh kekuatan global, tetapi juga pendobrakan tatanan sosial politik dan budaya.
Globalisasi telah menciptakan ekonomi kasino, yang di dalamnya perputaran modal dan
saham bisa membuat suatu negara mengalami kebangkrutan seperti yang terjadi di Asia dan
Amerika Latin pada krisis moneter tahun 1997.15
Held dan McGrew mendefinisikan globalisasi sebagai pelebaran, pendalaman, dan
percepatan interkoneksi dunia dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari budaya hingga
kriminalitas, dari keuangan hingga spiritualitas. “Pelebaran” berarti jangkauan spasial dalam
pola relasi yang tidak mengenal batas negara lagi (borderless world). Kata “pendalaman”
merujuk kepada intensitas dan kualitas relasi antarindividu yang semakin besar. Sedangkan
“percepatan” dimaksudkan sebagai kapasitas globalisasi untuk mempersingkat waktu yang
dibutuhkan dalam komunikasi maupun informasi.16
Penolakan terhadap globalisasi semakin mencuat terutama dalam karakternya yang
paling dominan, yaitu globalisasi ekonomi dengan ditandainya akumulasi kapital, semakin
15
Josef P. Widyatmadja, Yesus dan Wong Cilik, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hal. 174-175. 16
D. Held & A. McGrew, Global Transformation: Politics, Economics and Culture. University Press: Stanford,
1999, hal. 7.
14
tingginya intensitas arus investasi, keuangan, dan perdagangan global. Di samping
karakteristik lain dari globalisasi, seperti kemajuan dan inovasi teknologi, intensitas
perpindahan manusia, serta semakin meningkatnya ketergantungan dan keterkaitan tidak
hanya antar bangsa tetapi juga antar masyarakat. Dengan globalisasi ekonomi, ketidaksetaraan
itu sangat mungkin terjadi, karena globalisasi memunculkan eksploitasi negara maju atas
negara yang kurang beruntung. Hal ini memungkinkan karena dalam dunia yang semakin
global, ketidaksetaraan dalam power (baik itu berupa ilmu pengetahuan, kapital, sumber daya,
dan akses informasi) masih tetap terjadi. Sebagaimana yang diungkapkan Lesourne mengenai
dampak negatif globalisasi, “Ketika ketidaksetaraan masyarakat industrial tengah mengalami
perubahan akan muncul pola-pola ketidaksetaraan yang baru dalam kondisi pekerjaan atau
perburuhan dan akses terhadap informasi”. Ketidaksetaraan ini akan memunculkan relasi
kekuasaan dan pemerintahan yang eksploitatif bagi pihak yang lebih lemah.17
Globalisasi memiliki sisi negatifnya – penyisihan, diikuti dengan terjadinya proses
disintegrasi sosial. Kapilatalisme selalu diikuti oleh ketidakseimbangan sosio-ekonomis serta
kurangnya perlindungan untuk mengatasi kemiskinan dan kepapaan. Pengayaan dan
penyisihan bukanlah dua proses yang berbeda dan terpisah. Thucydides, sejarawan Yunani
Kuno, mengatakan pendapatnya berdasarkan struktur global produksi, keuangan, dan
perdagangan : ”Yang kuat berbuat sesuai dengan kekuatannya dan yang lemah menerima
takdirnya”18
Di negara yang padat penduduk seperti Indonesia, kemiskinan merupakan masalah
laten. Semua sistem ekonomi yang pernah dan sedang diterapkan di Indonesia belum terbukti
mampu mengatasi masalah ini. Maka fokus pada nasib kaum miskin, seperti ditekankan kubu
antikapitalis, jelas sangat penting untuk dipertahankan. Dalam konteks masyarakat Indonesia
yang majemuk, pendekatan dialogis lintas agama dan tradisi kearifan lain merupakan suatu
kebutuhan dalam membangun etika ekonomi yang aktual.19
Di pasar terjadi persaingan antara penjual (produsen baik keahlian maupun produk)
dan pembeli (konsumen keahlian maupun produk). Pasar merupakan ruang dimana masing-
masing perorangan dengan keahliannya masing-masing dan produk masing-masing bersaing
ketat. Orang miskin akan sulit terlibat dalam pasar, karena tidak mempunyai kemampuan
menghasilkan keahlian maupun produk ditengah persaingan yang ketat itu. Apalagi orang
miskin tidak menguasai pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan sikap (attitude) yang
17
Kaplinsky & Morris, A Handbook for Value Chain Research. IDRC-International Development Research
Center, 2003, hal. 3-10. 18
Bas de Gaay Fortman dan Berma Klein Goldewijk, Allah dan harta benda: ekonomi global dalam
perspektif peradaban. Terjemahan Bambang Subandrijo, Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001, hal.12-13. 19
Yahya Wijaya. Kesalehan Pasar. Kajian teologis Terhadap Isu-isu Ekonomi dan Bisnis Indonesia.
Jakarta: Grafika KreasIndo, 2010, hal. 38-39.
15
memadai. Dalam persaingan di pasar global, orang-orang miskin akan tersingkir dan menjadi
orang yang kalah. Untuk itu, selain bantuan agar mereka mampu membeli, pendidikan dan
pelatihan (pendampingan) merupakan cara yang dianggap tepat. Tujuannya adalah untuk
menambah pengetahuan dan keahlian serta membentuk sikap. Harapannya, jika orang
memiliki pengetahuan, keahlian dan sikap yang baik, dia dapat bekerja dan membangun
usaha. 20
II.3. Ketidakadilan Bagi Orang Miskin
Dalam konteks Asia, bisa ditambahkan, bahwa kemiskinan juga desebabkan oleh
masa kolonialisme yang panjang saat dimana bangsa-bangsa Asia berada dalam penindasan
imperialisme Barat yang menghancurluluhkan jiwa bangsa Asia, semangat kreatifnya serta
rasa percaya dirinya. Ketika masa lalu yang pahit itu berakhir, bangsa-bangsa Asia tetap
menderita karena pengendalian ekonomi masih berada di tengah segelintir orang, pihak
penguasa dan pihak pemilik modal besar yang membentuk elite baru yang kemudian
bekerjasama dengan wajah baru ’kolonialisme ekonomi’ dari Barat dan Jepang. Jadi, masalah
kemiskinan sosial ekonomi di Asia adalah masalah ketidakadilan politik, baik yang terjadi di
dalam negara masing-masing maupun ketidakadilan politik dalam sistem ekonomi dunia.21
Di Indonesia, kepemimpinan nasional yang lebih demokratis, sudah berganti beberapa
kali, mulai dari BJ. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai
dengan Soesilo Bambang Yudhoyono, namun permasalahan bangsa tetap diwarnai dengan
penyelewengan kekuasaan, korupsi, penggaran HAM, dan masalah kemiskinan akibat dari
ketidakadilan.22
Kemiskinan, menurut para pemikir dari kelompok demokrasi-sosial, disebabkan oleh
ketidakadilan dan ketimpangan akibat tersumbatnya kesempatan kelompok miskin.
Pasar/ruang persaingan yang dikuasai oleh kelompok neo-liberalisme, memberikan ruangan
bagi praktik ketidakadilan, bahkan ada pula yang menggunakan kekuasaan pemerintahan.23
Menurut Widiastuti (2010:13) kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang
mencakup politik, sosial, ekonomi, aset, maupun akses. Hal ini mengakibatkan orang miskin
tersingkir dari proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Lebih
dari itu, segala pekerjaan/usaha yang dilakukan tidak punya akses, termasuk informasi yang
memadai ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup
mereka secara layak.
20
Kusumaatmadja (Ed.), Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan, 2007, hal. 15. 21
Widi Arianto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008,
hal. 111. 22
Ibid., hal. 244. 23
Kusumaatmadja (Ed.), Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan, 2007, hal. 17.
16
Menurut Muller kemiskinan relatif (karena tidak memiliki akses ke sumber-sumber
pendapatan) menunjukkan adanya ketidakmerataan kesempatan dan peluang di segala bidang
kehidupan.24
Modal atau akses ke lembaga pemberi modal, juga merupakan salah satu
penyebab langgengnya kemiskinan. Pinjaman modal hanya dapat diberikan bila ada
kepercayaan dari pemberi pinjaman. Kepercayaan itu hanya bisa dipenuhi melalui jaminan
yang diberikan oleh pengguna modal. Pertanyaannya, lalu apa yang bisa dijadikan orang
miskin sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman? 25
Bank sebagai institusi umum untuk pemberi modal, lebih berminat memberikan modal
kepada yang memiliki jaminan. Hal itu pulalah yang pernah dialami oleh Mohamad Yunus
pendiri Grameen Bank, ia menghubungkan orang miskin sudah bekerja keras namun masih
melarat, dengan pihak bank; tapi usahanya tidak mendapat tanggapan dari pihak bank. 26
Di Indonesia, pada awal 1987, peraturan pemerintah tentang pendirian Bank
dipermudah. Namun kemudian bank-bank yang didirikan bukan untuk membantu
menyalurkan kredit pada rakyat miskin tetapi dana yang terkumpul di bank (dari masyarakat)
dipakai untuk mendanai proyek-proyek besar justru milik orang/grup-grup orang kaya. Tahun
1994 empat per lima atau 75% jumlah total kredit bank, yang sebagian besar dari bank milik
negara disalurkan untuk kredit megaproyek grup-grup bisnis para konglomerat (Prasetyo,
2006:4, 49).
II.4. Gereja dan Kemiskinan
Pembahasan tentang gereja dan kemiskinan, tidak bisa lepas dari pandangan teori
teologi pembebasan dari Gutierrez. Teologi, menurut Gutierrez, adalah refleksi kritis tentang
praksis Kristen dalam terang firman Allah, atau refleksi kritis tentang firman Allah yang
diterima di dalam gereja.27
Menurut Paus Yohanes Paulus II, Teologi Pembebasan bukanlah
suatu ”teologi baru”, melainkan suatu tahap baru dalam berteologi. Bukan suatu mode/trend,
tetapi suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat iman berarti bagi zaman pasca
modern.28
Penginjilan bukan hanya pemberitaan verbal.29
Tentang orang kaya dan orang miskin, tidaklah cuma kita jumpai dalam Perjanjian
Baru, tetapi juga dalam Perjanjian Lama.30
Tetapi Allah juga tidak anti kekayaan atau secara
apriori anti orang kaya, maka harus pula ditentukan bahwa Allah tidak mengidealisir dan
meromantisir kemiskinan. Namun, amat jelas bahwa Allah selalu memihak yang lemah,
24
Johanes Müller, Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 7. 25
Kusumaatmadja (ed.), 2007. Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan, hal. 6. 26
Ibid., hal. 68. 27
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta:
BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 649. 28
Ibid., hal. 685. 29
Ibid., hal. 643. 30
Eka Darmaputera, Iklan bagi Anak Hilang. Jakarta: Gloria Grafa, 2002, hal. 87.
17
miskin dan tertindas.31
Oleh karena itu, gereja-gereja di Indonesia harus berdiri di dalam
solidaritas dengan si miskin dan bertekad bulat memerangi segala sesuatu yang menjadi
penyebab kemiskinan maupun pemiskinan.32
Melengkapi pandangan Gutierrez, Eka Darmaputra menyatakan bahwa gereja tidak
boleh menjadi penyulut api kebencian, tetapi harus menjadi pembawa obor kesetiakawanan.
Namun sekali lagi, itu tidak berarti bahwa gereja dapat bersikap netral, sama sekali tidak.
Gereja mesti menegaskan diri dimana ia berdiri: di pihak si miskin. Gereja mesti menegaskan
sikapnya yang pasti: menentang segala bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dan
apapun yang gereja lakukan, gereja melakukannya bukan dengan sikap ingin menjadi
pahlawan, melainkan dengan sikap kerendahan hati.33
Secara global perkembangan pemikiran tentang keadilan di kalangan gereja-gereja
Protestan dapat dilihat melalui Dewan Gereja-gereja Sedunia (DGD). Sejak tahun 1960-an,
DGD mulai mengembangkan apa yang disebut dengan teologi pembangunan. Teologi yang
memberi perhatian pada soal-soal kemiskinan, ketertindasan yang terjadi di banyak belahan
dunia. Yang membahas tentang: bagaimana masyarakat miskin yang tertindas (terutama
secara sosial-ekonomi-politik) bisa keluar dari kemiskinan dan ketertindasan, bagaimana
mereka bisa hidup dengan hak-hak hidup yang layak, bagaimana supaya keadaan yang
membuat mereka miskin dan tertindas mengalami pembaruan menjadi baik. Kemudian pada
sidang raya DGD ke-5 di Nairobi, Gereja-gereja Protestan dan gerakan oikumene pada
umumnya melakukan langkah perubahan yang sangat substansial terhadap komitmen mereka
pada keadilan. Keadilan bukan lagi menjadi isu sosial-ekonomi-politik semata, melainkan
jelas-jelas menjadi persoalan kemanusiaan. Keadilan menjadi perhatian yang sangat penting
dan menjadi prioritas di kalangan Gereja-gereja untuk diperjuangkan. Karena itu melalui
gerakan oikumenis sedunia, Gereja-gereja diajak untuk menyadarkan warganya, siapapun
untuk melawan semua kekuatan yang tidak adil, menindas, yang membuat masyarakat
menjadi semakin miskin dan tertindas. Juga gereja-gereja dipanggil untuk melawan kekuatan-
kekuatan yang menindas itu, mendukung orang-orang yang melawan penindasan itu yang
berusaha mencari akar ketidakadilan itu. Gereja ditantang bukan saja terhadap keberadaannya
secara institusional, tetapi hal yang lebih mendasar, yaitu soal keimanannya. Karena Gereja-
gereja tidak berada di luar konteks proses pemiskinan dan penindasan itu, tetapi justru berada
di dalamnya.34
31
Ibid., hal. 88. 32
Ibid., hal. 89. 33
Ibid., hal. 90 34
Al. Andang L. Binawan dan A. Prasetyoko (Eds.), Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan
Bersama di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, hal. 239-240.
18
Penginjilan tidak dapat dipisahkan dari pemberitaan dan praktek keadilan.35
Tugas dan
tanggung jawab ini merupakan respon teologis Gereja-gereja, atau orang-orang Kristen
terhadap keadaan nyata kemanusiaan manusia, suatu respon yang berkaitan dengan
pergumulan nyata manusia terutama yang miskin, lemah, kecil dan tidak berdaya di dalam
masyarakat. Mereka memerlukan pembelaan, terutama berhadapan dengan kekuasaan-
kekuasaan struktur ekonomi-sosial-politik yang menindas dan melemahkan mereka. Inilah
yang seharusnya terjadi bila gereja-gereja di Indonesia ingin sungguh-sungguh menjadi
komunitas iman para murid Yesus. Gereja-gereja tidak mempunyai pilihan lain kecuali tetap
mau berada di pihak mereka yang menjadi korban kekuasaan. Sebagai kekuatan liberatif
(pembebas) sekaligus kekuatan yang mampu memberdayakan (empowering) manusia, Gereja-
gereja di Indonesia memiliki potensi yang cukup untuk melakukan itu, tetapi pertanyaannya
adalah : apakah gereja bersedia dan berani melakukannya? Atau, apakah selama ini Gereja-
gereja melakukannya?
Yesus Kristus menyebut Allah (Bapa) sebagai sosok yang adil36
dan sangat menentang
praktek keagamaan yang mengabaikan keadilan dan mengabaikan belas kasihan.37
Dan Pulus
juga mengingatkan jemaat Efesus untuk juga berbuah kebaikan dan keadilan dan kebenaran,
karena hal seperti itulah yang berkenan kepada Tuhan.38
Bassham dalam Bosh (2012)
mengajak orang Kristen untuk ikut serta bertanggung jawab dalam masyarakat manusia,
termasuk berusaha demi kesejahteraan manusia dan keadilan.39
II.5. Gereja Kristen Jawa dan Kepedulian terhadap Pelayanan Ekonomi
GKJ (Gereja Kristen Jawa) dalam kehidupan bergereja, mempunyai pokok-pokok
ajaran, sebagai pedoman di dalam menjalani kehidupan dan melaksanakan tugas
panggilannya. Ajaran gereja GKJ diberi nama ”Pokok-pokok Ajaran GKJ” (PPA GKJ).40
PPA
GKJ disusun berdasarkan Alkitab, melalui proses penafsiran Alkitab yang disesuaikan dengan
konteks peradaban zaman. PPA GKJ mendefinisikan gereja adalah suatu kehidupan bersama
religius yang berpusat pada Yesus Kristus, yang sekaligus merupakan buah pekerjaan
penyelamatan Allah dan jawab manusia terhadap penyelamatan Allah, yang di dalamnya Roh
Kudus bekerja dalam rangka pekerjaan penyelamatan Allah.41
35
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta:
BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 640. 36
Yohanes 17:25 37
Matius 23:23 38
Efesus 5:9-10 39
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta:
BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 618. 40
Tim Revisi PPA GKJ, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga: Sinode GKJ, 2005, hal. 1. 41
Ibid., hal. 29.
19
Gereja Kristen Jawa (GKJ) mempergunakan tiga tolok ukur berjenjang yaitu Alkitab,
Pokok-pokok Ajaran GKJ, serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ untuk menentukan
apakah hidup, karya dan keberadaannya sebagai gereja dapat dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan Raja Gereja. Itu berarti bahwa difungsikannya Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja
tersebut sangat diperlukan untuk menata kehidupan GKJ. Tata Gereja GKJ, yaitu tatanan
kehidupan gereja untuk menyatakan sikap percaya terhadap penyelamatan Allah, menghayati
dan mengungkapkan hubungannya dengan Allah serta untuk melaksanakan tugas
panggilannya di dalam pekerjaan penyelamtan Allah. Secara eksplisit, Tata Gereja dan Tata
Laksana GKJ berisi mukadimah yang menyatakan pemahaman hakiki tentang eklesiologi, dan
pasal-pasal yang mengatur hal-hal principal berkenaan dengan hidup dan karya gereja, dan
memuat Tata Laksana yang mengatur hal-hal yang menyangkut prosedur pelaksanaan Tata
Gereja.42
Bekenaan dengan pelayanan sosial ekonomi, dalam Tata Laksana GKJ dalam Pasal 54
ayat 1 – 2 menyatakan sebagai berikut :
(1) Pelayanan sosial ekonomi adalah tindakan yang dilakukan oleh gereja untuk
memberdayakan warga Gereja mengatasi kesulitan dalam hal kebutuhan sosial
ekonomi demi terpeliharanya imannya.
(2) Pelayanan sosial ekonomi yang dilakukan oleh Gereja dapat bersifat konsumtif
(Kharitatif), pemberdayaan (Reformatif) dan penyadaran (Transformatif).43
Tentunya tidak hanya GKJ yang mempunyai tatanan tertulis tentang kepedulian
terhadap kehidupan sosial ekonomi seperti ini, gereja-gereja lain juga tentu punya tatanan
yang hampir mirip. Juga dalam beberapa persidangan antar gereja baik di lingkup sinode,
antar sinode ataupun antar Negara seringkali cara pandang dan cara bersikap terhadap
kemiskinan menjadi bahan khotbah, bahan renungan, materi diskusi, atau materi persidangan.
Sayangnya kadang-kadang hal tersebut hanya menjadi kalimat normatif yang tidak
diimplementasikan bagi kaum miskin secara umum. Segundo dalam Bosch (2012) mengkritisi
hal demikian dengan mengatakan, ada banyak retorika kosong dalam rumusan-rumusan yang
kelihatan sangat hebat.44
Siregar (2012) mengatakan gereja bukan hanya penonton dan bukan sebatas bertugas
untuk pengabaran Injil. Gereja justru harus ikut serta dalam menyelesaikan masalah ekonomi
rakyat terutama membantu masyarakat yang kurang mampu. Gereja harus inklusif, artinya
terbuka, kehadirannya harus berdampak posisti terhadap kehidupan masyarakat, yang
42
Moderamen Sidang Non Reguler GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, Salatiga: Sinode
GKJ, 2005, hal iii-v. 43
Ibid., hal. 106. 44
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah. Jakarta:
BPK Gunug Mulia, 2011, hal. 680.
20
diwujudkan dengan melakukan berbagai upaya seperti community development;
pemberdayaan ekonomi rakyat, pendampingan terhadap petani, buruh dan nelayan. Tugas
orang Kristen bukan hanya selalu berbicara tentang surga, tetapi juga bangaimana
menghadirkan kehendak Allah di bumi, bukan di surga. Sehingga keimanan kita berdampak
bahkan bagi orang lain yang tidak seiman. Gereja tidak (boleh) mengembangkan konsep
ekonomi ketamakan. Sebagai tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia, yaitu dengan mencoba
menyejahterakan orang miskin.45
II.6. Credit Union Sebagai Suatu Alternatif Diakonia Transformatif Pelayanan
Ekonomi bagi Kaum Miskin
Credit Union berasal dari dua kata, yaitu credit dan union. Credit dalam bahasa Latin
adalah ’credere’ artinya saling percaya. Sedangkan ’union (unio)’ berarti kumpulan. Jadi,
’Credit Union’ artinya kumpulan orang-orang yang saling percaya. Di Indonesia, Credit
Union diterjemahkan sebagai Koperasi Kredit. Menurut beberapa literatur, ada beberapa
definisi tentang Credit Union.
Pertama, Credit Union adalah koperasi keuangan yang dijalankan secara demokratis
dan profit sharing (bagi hasil), menawarkan berbagai produk simpanan dan pinjaman
berbunga rendah kepada anggotanya.
Kedua, Credit Union adalah sebuah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan
diawasi oleh para anggotanya dan dioperasikan untuk tujuan mendorong pola hidup hemat,
menyediakan pinjaman dengan suku bunga bersaing, dan menyediakan berbagai pelayanan
keuangan lain kepada para anggotanya.
Ketiga, World Council of Credit Union (WOCCU) mendefinisikan Credit Union
sebagai ”not-for-profit cooperative institutions” (lembaga koperasi yang bukan untuk mencari
keuntungan).
Keempat, Credit Union adalah koperasi keuangan yang didirikan dari, oleh dan untuk
anggota dimana para anggota adalah penabung, peminjam, dan sekaligus pemegang saham.
Credit Union beroperasi dengan bisnis tidak untuk mencari keuntungan. Credit Union
menawarkan banyak pelayanan perbankan, seperti pinjaman konsumtif dan pinjaman
komersial (biasanya lebih rendah dari suku bunga pasar), simpanan sukarela berjangka (suku
bunga biasanya lebih tinggi dari suku bunga pasar), kartu kredit, dan asuransi. Pajaknya
rendah, bahkan dibeberapa negara seperti USA dan Thailand, bebas pajak.
Kelima, Credit Union adalah koperasi keuangan yang tidak mencari keuntungan (not-
for-profit) yang kehadirannya bertujuan melayani para anggota yang berada dalam satu
45
Nelson Flores Siregar, ”Credit Union, Media Gereja Mengentaskan Kemiskinan”, Tabloid Reformata, No.
156, Tahun IX, 2012, hal. 36.
21
ikatan pemersatu (common-band) seperti wilayah tempat tinggal, profesi, tempat kerja dan
lain-lain. Credit Union dioperasikan secara demokratis oleh para anggotanya dan diurus oleh
para pengurus dan pengawas yang melayani anggota secara sukarela (voluntarily). Tujuan
utama dari Credit Union adalah melayani para anggota agar permasalahan dan kebutuhan
keuangan mereka teratasi.
Keenam, sebuah lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh
anggotanya. Credit Union tidak-untuk-profit (not-for-profit) dan hadir untuk memberi tempat
yang aman, nyaman bagi anggota untuk menyimpan uang dan memperoleh pinjaman dan
pelayanan keuangan lainnya dengan harga yang bersaing. Para anggota diikat dalam suatu
ikatan pemersatu, seperti pekerjaan, tempat tinggal, atau gereja.
Dari keenam definisi itulah Credit Union yang ada di Indonesia memjadikan dirinya
berbeda dengan lembaga keuangan lainnya yang sudah ada. Lembaga keuangan lain seperti
bank, bertujuan mengoptimalkan keuntungan bagi para pemegang saham. Sementara dalam
Credit Union, pengelola dan pengurus memberikan pelayanan secara sukarela (tanpa digaji).
Credit Union juga memiliki tradisi memberikan memberikan pendidikan kepada anggota
melalui seminar atau berbagai jenis pendidikan anggota, mulai dari bagaimana membeli mobil
sampai bagaimana mempersiapkan masa pensiun. Hal penting yang perlu dicatat adalah
tujuan sosial Credit Union adalah : pendidikan yang berlangsung secara terus menerus,
kerjasama antar Credit Union dan tanggung jawab sosial.46
Beberapa tahun terakhir Indonesia muncul istilah Credit Union yang oleh banyak
pihak dinyatakan sebagai jawaban atas kebutuhan muncuknya sistem ekonomi kerakyatan
yang lebih ideal. Beberapa media masa lokal maupun nasional juga mengeksposnya. Bahkan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada awal minggu pertama Januari 2006 menerbitkan
sebuah dokumen tentang pembangunan sektor keuangan yang menyeluruh demi
pembangunan. Dokumen tersebut dikenal dengan nama ”Blue Book” (Buku Biru) yang
merupakan titik puncak dari kerja PBB dan dianggap sebagai sebuah penemuan terhadap
bagaimana sektor keuangan ini memperluas akses pelayanan keuangan untuk membantu
mengurangi kemiskinan. PBB mengakui bahwa Credit Union dari awal mulanya telah
menjadi pembaharu (inovator) dalam sistem keuangan mikro, dan Credit Union telah terbukti
menunjukkan kinerja operasionalnya dengan biaya rendah dan efisiensi tertinggi
dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, dan sasaran utamanya adalah masyarakat
miskin.47
46
AM Lilik Agung (Ed..), Credit Union: Kendaraan Menuju Kemakmuran. Jakarta: Elex Media Komputindo,
2012, hal. 2-3. 47
Sudarwanto Yustianus,”Prospek Credit Union”, Majalah Tetruka, Edisi Agustus 2011-Oktober 2011, hal. 16-
17.
22
III. Credit Union Angudi Laras Purworejo
III.1. Sekilas Kabupaten Purworejo
Kabupaten Purworejo wilayahnya seluas 1.034 km2, terdiri atas 16 kecamatan, yang
dibagi lagi atas sejumlah 469 desa dan 25 kelurahan. Secara geografis letak wilayah
Kabupaten ini ada di terletak pada posisi 109o 47’28” – 110
o 8’20” Bujur Timur dan 7
o 32’ –
7o 54 Lintang Selatan. Batas sebelah utara adalah Kabupaten Magelang dan Wonosobo, batas
sebelah timur adalah Kabupaten Kulonprogo (DIY), batas sebelah selatan adalah Samudra
Hindia, sedangkan batas sebelah Barat adalah Kabupaten Kebumen.
Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Purworejo. Penduduknya, berdasarkan
sensus 2010 adalah sebanyak 948.000 jiwa dengan angka kepadatan 916,83 jiwa/km2. Berikut
adalah data jumlah penduduk Purworejo per kecamatan menurut Jenis Kelamin:
Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Purworejo per Kecamatan
DATA JUMLAH PENDUDUK
NO. NAMA
KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH
1. GRABAG 22,720 27,887 50,607
2. NGOMBOL 20,928 21,459 42,387
3. PURWODADI 25,248 26,282 51,530
4. BAGELEN 19,008 19,452 38,460
5. KALIGESING 18,602 18,366 36,968
6. PURWOREJO 48,480 49,221 97,701
7. BANYUURIP 25,023 25,755 50,778
8. BAYAN 29,532 30,101 59,633
9. KUTOARJO 37,597 38,096 75,693
10. BUTUH 26,261 26,694 52,955
11. PITURUH 32,689 32,236 64,925
12. KEMIRI 33,451 32,731 66,182
13 BRUNO 29,167 28,016 57,183
14. GEBANG 24,680 24,509 49,189
15. LOANO 21,525 20,967 42,492
16. BENER 31,545 30,403 61,948
Sumber : Data Monografi Kabupaten Purworejo
Dari segi upah minimum kabupaten (UMP), Kabupaten Purworejo menduduki
peringkat terendah yaitu Rp910.000,00 per bulan pada tahun 2014, dari 35 kabupaten/kotadi
Provinsi Jawa Tengah (BPS Jawa Tengah, 2014).
III.2. Gereja Kristen Jawa di Purworejo
GKJ Purworejo adalah awal sejarah Gereja Kristen Jawa, yang didirikan oleh Kyai
Sadrach yang memisahkan diri dari Zending ZGKN, komunitas Kristen ini menyebut dirinya
23
"Golongane Wong Kristen Jowo kang Mardhiko". Majelis GKJ Purworejo diteguhkan pada
tanggal 4 Februari 1900.48
III.3. Visi GKJ Purworejo saat ini
GKJ Purworejo mencanangkan visinya diselaraskan dengan berdasarkan jati diri
Gereja-gereja Kristen Jawa, yaitu : menjadi gereja yang senan tiasa memperbaharui diri,
bertumbuh dalam Kristus dan berperan aktif mewartakan Rahmat Allah.
III.4. Misi GKJ Purworejo saat ini
Misi merupakan operasionalisasi dari visi tersebut, yaitu:
1. Terus-menerus memantapkan diri dalam spiritualitas yang mampu menjawab tantangan
zaman.
2. Terus-menerus memantapkan diri dalam kemandirian membangun mentalitas
berkelimpahan.
3. Terus-menerus membanggun kebersamaan, baik internal maupun eksternal, bagi pemulihan
martabat manusia.
4. Terus-menerus mengoptimalkan pendayagunaan segenap potensi GKJ. (disalin dari Buku
Materi Sidang Majelis Terbuka GKJ Purworejo tahun 2012/2013)
III.5. Data Jumlah Warga Jemaat GKJ Purworejo
Pendeta Tetap yang melayani ada 2 orang, dan majelis berjumlah 40 orang.
Tabel 1.2. Jumlah Warga GKJ Purworejo
WARGA DEWASA ANAK-ANAK TOTAL
Laki-laki Perempuan Jumlah Laki-laki Perempuan Jumlah
474 537 1011 117 140 257 1268
Sumber: Buku Materi Sidang Majelis Terbuka GKJ Purworejo tahun 2012/2013
Namun hingga kini (setelah + 113 tahun), menurut data angka tahun 2013 di Sinode
GKJ, berdasarkan jumlah pendapatan persembahan gereja-gereja, GKJ Klasis Purworejo ada
dalam urutan terbawah dari 32 Klasis GKJ se-Sinode GKJ. Hal ini tentu saja membuat GKJ
Purworejo harus melihat kenyataan bahwa secara finansial (baik dari sisi UMK Kabupaten
dan Persembahan Klasis), jemaat GKJ Purworejo rata-rata dalam urutan terbawah. Namun
kenyataan tersebut juga yang membuat GKJ Purworejo harus berfikir lebih keras, bagaimana
menemukan suatu konsep yang sekaligus dapat ditindaklanjuti untuk meningkatkan
kesejahteraan jemaat GKJ Purworejo khususnya. Pendeta Eko Lukas Sukoco mengatakan,
tidak mungkin membangun kesejahteraan umat hanya di pikirkan dan ditangani oleh 1 orang
saja, meskipun hal tersebut baru embrionya, maka wacana peningkatan kesejahteraan umat
48
Soekotjo, SH. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa (Jilid 1). Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2009, hal.
282.
24
dijadikan topik diskusi antar teman-teman pendeta dalam satu klasis, yaitu Klasis
Purworejo.49
IV.1. Credit Union sebagai Alternatif Baru Pengembangan Ekonomi Jemaat GKJ
Purworejo
Di lingkup pelayanan GKJ Purworejo, wacana Credit Union sudah menjadi
pembicaraan selama 3 tahun sebagai konsep alternatif pelayanan ekonomi jemaat, pengganti
koperasi gereja yang lama yang telah ada. Hal itu menjadi pembicaraan antar pendeta GKJ
dalam satu klasis (GKJ Klasis Purworejo). Akhirnya setelah menjadi wacana pembicaraan
dan diskusi selama 3 tahun, Credit Union tidak menggantikan koperasi yang sudah ada,
namun sebagai substitusi atau alternatif koperasi yang telah ada. Pada tanggal 3 Januari 2011
Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) Klasis Purworejo memfasilitasi lahirnya CREDIT
UNION "Angudi Laras". Mereka sebagian besar adalah para Pendeta dan keluarganya. Credit
Union yang dibentuk sebagai model gerakan ekonomi jemaat, yang untuk sementara fungsi
dan keanggotaannya diutamakan ditujukan bagi jemaat miskin.50
Namun hal penting yang perlu dicatat, bahwa Credit Union harus berdiri sendiri
sebagai suatu lembaga mandiri, tidak boleh di bawah institusi gereja ataupun klasis, apalagi
tergantung kepada gereja/klasis, meskipun inisiator Credit Union adalah para pendeta;
mengingat kelak Credit Union akan menjadi sebuah institusi keuangan yang memiliki badan
hukum sendiri. Credit Union adalah lembaga non profit yang dimiliki oleh anggota, dan
untuk mengupayakan kesejahteraan bersama. Credit Union "meletakkan" pelayanan kepada
anggota diatas keuntungan. Namun meskipun Credit Union adalah lembaga non profit, Credit
Union harus dikelola secara profesional terutama dalam pembuatan keputusan keuangan dan
kebijakan financial, agar Credit Union menjadi institusi yang bisa membiayai diri sendiri
bahkan memberi keuntungan kepada stiap anggotanya, baik keuntungan finansial maupun
keuntungan pembelajaran ekonomi produktif. Hubungan dengan gereja adalah simbiosis
mutualisme, dimana akan terjadi saling menguntungkan tanpa adanya saling dominasi.
Meskipun badan hukum Credit Union Angudi Laras dibawah Kementrian Koperasi RI,
dengan nomor yang didaftarkan di notaris adalah 184/BH/XIV.21/2012, namun ada
perbedaan secara prinsipiil dengan koperasi masa kini, terutama dalam hal permodalan.
Credit Union tidak menerima titipan modal dari luar anggota, maupun hibah dari pemerintah
yang sering disebut sebagai ”bantuan modal koperasi”. Inilah perbedaan mendasar antara
Credit Union dengan Koperasi. Credit Union Angudi Laras meskipun lahir di jaman ini,
49
Wawancara dengan Pdt. Eko Lukas Sukoco (Pendeta GKJ Purworejo), tgl. 20 Maret 2014, jam 10.30 WIB). 50
Wawancara dengan Maria Ch (Manager CU Angudi Laras), 24 Maret 2014, 13.00 WIB.
25
namun mengadopsi prinsip-prinsip koperasi mula-mula yang digagas dan didirikan oleh
Friedrich Wilhelm Raiffeisen pada tahun 186451
.
Visi Credit Union Angudi Laras: Credit Unionyang terpercaya dan berkesinambungan
di Kabupaten Purworejo sedangkan misinya adalah: memberikan pelayanan keuangan yang
prima bagi anggota, memberdayakan anggota menuju kemandirian sosial ekonomi. Dengan
misi tersebut, Credit Union Angudi Laras mewajibkan anggotanya untuk mengikuti
pendidikan dasar keuangan/ekonomi. Pendidikan dasar ini akan diteruskan dengan
pendidikan-pendidikan lanjutan. Hal ini adalah merupakan upaya agar setiap anggota Credit
Union, yang kebanyakan adalah kaum awam tidak berpendidikan ekonomi dan dari golongan
ekonomi kelas bawah, melek keuangan dan bijak dalam membelanjakan uang yang
dimilikinya (tidak hanya untuk tujuan konsumtif). Materi pendidikan-pendidikan lanjutan
bagi anggota juga diperlengkapi dengan kursus-kursus tentang kegiatan ekonomi produktif
dan ekonomi kreatif dengan mendatangkan berbagai nara sumber pelaku mikro enterpreneur
yang kompeten dan relevan. Visi dan misi Credit Union Angudi Laras ini selaras dengan visi
dan misi GKJ Purworejo. Bahkan juga selaras dengan Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja
dalam Pasal 54 (ayat 2) yang berbunyi: Pelayanan sosial ekonomi yang dilakukan oleh greja
dapat bersifat transformatif. Bahkan Credit Union Angudi Laras juga membuat jejaring intern
anggota dan antar anggota dengan pihak lain dalam hal memasarkan barang ataupun jasa yang
diproduksi oleh anggota Credit Union Angudi Laras, juga anggota diberikan informasi
diversifikasi usaha mikro sekala rumah tangga.52
Ada beberapa perbedaan prinsipiil antara Credit Union dengan bank dan lembaga
keuangan mikro masa kini. Berikut ini perbedaan fundamentalnya:
Tabel 1.3. Perbedaan Credit Union, Bank Komersial dan Lembaga Keuangan Mikro
CREDIT UNION
BANK
KOMERSIAL
Lembaga
Keuangan Mikro
Struktur Koperasi keuangan yang
dimiliki oleh anggota dan tidak
mencari keuntungan, sebagian
besar di danai dari simpanan
sukarela anggota.
Bank berorientasi pada
keuntungan dan
dimiliki oleh para
pemegang saham atau
saham pemerintah
Pada umumnya LKM
didanai oleh pemilik/
investor/hibah dari pihak
luar atau dari pinjaman
dari pihak luar.
Fokus pelayanan Anggota Nasabah Nasabah
Anggota Para anggota diikat dalam suatu
ikatan pemersatu (berbasis
komunitas). Pelayanan kepada
orang miskin dipadukan dengan
pelayanan kepada spectrum
polpulasi yang lebih luas yang
memungkinkan Credit Union
menawarkan harga yang
bersaing.
Tidak ada ikatan
pemersatu.
Kekhasannya adalah
melayani NASABAH
berpenghasilan
menengah ke atas.
Target anggota/nasabah
adalah dari kalangan
bawah.
51
Wawancara dengan Pdt. Eko Lukas Sukoco (Pendeta GKJ Purworejo), tgl. 20 Maret 2014, jam 10.45 WIB. 52
Wawancara dengan Maria Ch (Manager CU Angudi Laras Purworejo), tgl. 24 Maret 2014, jam 13.00 WIB.
26
CREDIT UNION
BANK
KOMERSIAL
Lembaga
Keuangan Mikro
Tata Kelola Anggota memilih
pengurus/pengawas sebagai
sukarelawan (tanpa digaji)
dari para anggota sendiri yang
memenuhi syarat.
Dalam memilih para
pengurus/pengawas, satu
anggota berhak atas satu
suara, tanpa
mempertimbangkan berapa
jumlah uang yang disimpan di
Credit Union.
Para pemegang saham
memilih pengurus dan
digaji, dapat berasal
dari luar
masyarakat/pengguna
jasa bank.
Banyaknya suara
ditentukan dengan
jumlah saham yang
dimiliki oleh masing-
masing pemegang
saham.
Lembaga ini dijalankan
oleh pengurus yang
ditunjuk dan digaji.
Pendapatan
(Earnings)
Pendapatan bersih digunakan
agar suku bunga pinjaman
rendah dan suku bunga
simpanan tinggi atau
digunakan untuk
pengembangan produk dan
pelayanan baru.
Pemegang saham
menerima keuntungan
sebanding dengan
sahamnya.
Pendapatan bersih
digunakan untuk
membangun cadangan
atau dibagikan kepada
para investor.
Produk dan
Pelayanan
Rentang pelayanan keuangan
yang luas, terutama produk
simpanan, kredit, transfer
uang dan asuransi.
Ada pendidikan dasar dan
berkala serta pembinaan
anggota.
Rentang pelayanan
yang luas, produk
simpanan, kredit,
transfer uang dan
asuransi, termasuk
berbagai peluang
investasi.
Tidak ada pendidikan
dasar dan berkala
serta pembinaan
nasabah, kecuali para
karyawan/staff.
Fokus pada kredit
mikro.
Tidak ada pendidikan
dasar dan berkala serta
pembinaan nasabah,
kecuali para
karyawan/staff.
Tanggungjawab Sosial Komersial Komersial
Sumber : Lilik Agung (Ed.) Credit Union: Kendaraan menuju Sukses. 2012. Hal 29-30
Hal tersebut, merupakan jawaban mengapa layanan kesejahteraan umat miskin tidak
tercukupi dengan adanya koperasi maupun lembaga keuangan mikro atau perbankan yang
sudah ada di Purworejo. Menurut pemaparan Maria Ch., Manager Credit Union Angudi
Laras, Bank maupun lembaga keuangan mikro yang ada sekarang ini, bukanlah lembaga
sosial namun lembaga komersial, jadi pasti harus ada untung yang diperoleh dari setiap
nasabah. Keuntungan yang diperoleh menjadi keuntungan pemilik saham Bank maupun
lembaga keuangan mikro tersebut. Sedangkan pada Credit Union, jika ada keuntungan, maka
keuntungan tersebut akan menjadi keuntungan pemilik Credit Union (dalam hal ini, seluruh
anggota adalah pemilik Credit Union). Credit Union melayani masyarakat ekonomi bawah
dan bersifat sosial. Namun meskipun demikian Credit Union harus bekerja dengan
praofesional agar tidak merugi, namun justru semakin berkembang dengan membiayai dirinya
sendiri tanpa harus memohon belas kasihan dari pihak luar.53
53
Wawancara dengan Ibu Maria Ch (Manager CU Angudi Laras Purworejo), tgl. 24 Maret 2014, jam 13.00 WIB
27
Pemegang struktur tertinggi dalam organisasi Credit Union adalah RAT (Rapat
Anggota Tahunan) adapun struktur organisasi Credit Union Angudi Laras adalah sebagai
berikut:
Struktur Organisasi Credit Union Angudi Laras
Sumber : Buku Pola Kebijakan Pengurus Tahun Buku 2013 Credit Union Angudi Laras
Keterangan : Dalam rapat anggota, setiap anggota mempunyai 1 suara, tidak berdasarkan
besar/kecilnya simpanan. Pengurus/Dewan Pimpinan dan Dewan Pengawas dipilih melalui
RAT, dan bertugas membuat Peraturan dan Kebijakan Organisasi.
Meskipun Pengurus/Dewan Pimpinan dan Dewan Pengawas dipilih secara demokratis oleh
RAT, namun kebanyakan yang duduk di dalamnya adalah para Sarjana Ekonomi dan para
Pendeta yang tidak digaji, namun peduli dengan masalah kesejahteraan ekonomi golongan
ekonomi lemah / kaum miskin.
Tabel 1.4. Data anggota Credit Union Angudi Laras Purworejo menurut asal gereja.
No. ASAL GEREJA JUMLAH PERSENTASE (%) 1. GKJ Bener 10 1.8
2. GKJ Pituruh 2 0.4
3. GKJ Jatirejo 5 0.9
4. GKJ Jenar 25 4.4
5. GKJ Kaligesing 19 3.4
6. GKJ Kutoarjo 50 8.8
7. GKJ Purworejo 235 41.5
8. GKJ Purworejo Selatan 44 7.8
9. GKJ Sidorejo 11 1.9
10. GKJ Tlepok 15 2.7
11. GKJ di luat Klasis 27 4.8
12. Non- GKJ 43 7.6
13. MUSLIM 80 14.1
TOTAL 566 100
Sumber : Data Keanggotaan CUAL Berdasarkan Asal Gereja, Desember 2013.
Dewan Penasihat
Pengurus/
Dewan Pimpinan
Dewan Pengawas
Manager
(Teknis Oprasional)
ANGGOTA
RAPAT ANGGOTA TAHUNAN
28
Dari seluruh anggota Credit Union Angudi Laras (566 orang), hingga akhir tahun 2013
(3 tahun) terkumpul aset dan pendapatan, sebagai berikut :
Tabel 1.5. Tabel Asset dan Pendapatan CU Angudi Laras dalam 3 tahun (2011-2013)
No Bulan ASSET PENDAPATAN
TH. 2011 TH. 2012 TH. 2013 TH. 2011 TH. 2012 TH. 2013
1 Jan 87.190.250 905.789.954 1.812.077.766 2.407.500 14.519.253 31.831.015
2 Feb 151.365.030 1.046.048.635 1.906.061.652 4.314.912 30.170.882 58.026.629
3 Mrt 224.587.804 1.080.027.903 2.000.806.251 7.230.780 47.528.389 90.230.607
4 Apr 273.080.201 1.163.669.795 2.057.337.619 11.325.364 66.522.469 122.383.970
5 Mei 350.164.126 1.250.573.585 2.094.018.012 15.859.495 86.744.484 155.599.011
6 Jun 392.084.681 1.292.127.544 2.134.452.313 21.605.203 108.994.499 185.543.426
7 Jul 507.361.331 1.393.788.670 2.242.441.631 30.010.350 131.285.589 219.233.877
8 Agts 579.570.124 1.490.306.616 2.323.111.005 38.798.795 156.137.607 255.427.410
9 Sept 643.156.858 1.571.565.655 2.372.919.949 49.184.166 179.282.750 289.222.226
10 Okt 705.952.409 1.633.768.566 2.504.149.859 59.521.508 206.202.261 332.446.613
11 Nov 801.263.263 1.675.714.386 2.602.101.186 73.121.425 233.824.009 370.516.745
12 Des 859.552.518 1.750.462.289 2.695.687.140 86.407.857 263.951.099 412.080.590
Sumber : Data Asset dan Pendapatan CUAL tahun 2013
Pada awalnya terbentuk 33 orang anggota yang berkomitmen untuk mendirikan Credit
Union Angudi Laras, dan bersedia mengikuti Pendidikan Dasar Planning Strategy I yang
difasilitatori oleh Francis Wahono, pendiri Credit Union Cindelaras Tumangkar –
Yogyakarta. Dan saat launching/pembukaan perdana pada tanggal 3 Januari 2011, terkumpul
183 anggota perdana dengan iuran perdana terkumpul sebesar 183 x Rp80.000,00/orang =
Rp14.640.000,00. Pada bulan pertama, asset yang juga diperhitungkan adalah peralatan
pendukung (furniture, komputer, dll) yang pengadaannya melalui cara gotong royong antar
anggota mula-mula diperhitungkan secara nominal sebagai tabungan yang disepakati bersama
untuk tidak diambil atau tetap diperhitungkan, dan akan dikembalikan ketika Credit Union
Angudi Laras sudah mendapatkan keuntungan. Adapun tempat operasionalnya masih pinjam
di salah satu bagian kantor Klasis GKJ Purworejo. Namun jika dilihat keuntungan pada tabel
di atas, maka ada pendapatan yang sangat baik dengan trend yang semakin naik.54
Ada hal menarik lainnya dalam operasional Credit Union Angudi Laras, yang sangat
berbeda dengan sistem lembaga keuangan komersial lainnya, yaitu dimana bunga pinjaman
adalah 2% menurun setiap tahunnya. Sedangkan bunga simpanannya adalah 6% pertahun
untuk tabungan harian, yang langsung ditambahbukukan ke dalam buku simpanan yang
bersangkutan setiap akhir bulan. Sedangkan untuk tabungan berjangkanya diberi nama
SIHARTA (Simpanan Hari Tua), mirip deposito dengan syarat minimal mengendap selama 5
tahun diberi bunga jasa simpanan 14%, namun besaran bunga akan langsung
54
Wawancara dengan Maria Ch (Manager CU Angudi Laras Purworejo), tgl. 24 Maret 2014, jam 13.00 WIB
29
ditambahbukukan ke buku tabungan setiap akhir bulan.55
Ini juga merupakan perbedaan
dengannya dengan koperasi yang Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi dibagikan di akhir tahun,
namun pada Credit Union keuntungan ditambahkan/didebetkan langsung setiap bulan dalam
bentuk bunga tabungan, sehingga akan sesuai dengan keaktifan anggota dalam menabung atau
meminjam kredit. Bunga Kredit yang sebesar 2% menurun juga akan menjadi keuntungan
peminjam kredit.
Solduka adalah solidaritas dukacita antar anggota Credit Union Angudi Laras. Besaran
iuran uang solduka adalah Rp10.000,00 per tahun untuk tiap anggota. Solduka merupakan
bentuk solidaritas dan turut belasungkawa terhadap anggota yang meninggal, berupa santunan
secara tunai. Ini mirip asuransi jiwa yang sederhana. Ini merupakan wujud kesetiakawanan
yang dirancang dalam suatu sistem iuran wajib yang tidak memberatkan, namun akan sangat
berguna bagi ahli waris anggota yang tengah mengalami dukacita.56
V.1. Hal yang telah dilakukan GKJ Purworejo
Berdasarkan kenyataan besaran UMP Kabupaten Purworejo dan Data Pendapatan
Gereja-gereja, maka perlu dilakukan suatu upaya untuk menyikapi hal tersebut dengan
menggunakan sumber daya yang ada di lokasi setempat. Kata-kata inspiratif ”kesulitan si
miskin hanya dapat diatasi oleh si miskin itu sendiri. Si miskin harus mengumpulkan uang
secara bersama-sama dan kemudian meminjamkan kepada sesama mereka juga. Pinjaman
harus digunakan untuk tujuan yang produktif yang memberikan penghasilan. Jaminan
pinjaman adalah watak si peminjam/anggota.” oleh Friedrich Wilhelm Raiffeisen pada tahun
1864, menjadikan inspirasi Pendeta Eko Lukas Sukoco dalam mengajak warga jemaat GKJ
dengan menggunakan SDM manusia yang telah ada untuk mencoba mempraktekannya,
dengan merintis berdirinya Credit Union di sekitar GKJ Purworejo. Setelah melalui diskusi
panjang antar pendeta GKJ se-klasis Purworejo, maka dicari model yang dianggap tepat dan
paling memungkinkan untuk dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat yang
akan dimulai dari jemaat di lingkup GKJ Klasis Purworejo. Dan model yang sedang cukup
aktual dalam hal pengembangan kesejahteraan umat adalah Credit Union, yang juga telah
cukup berhasil dilaksanakan di Yogyakarta (Credit Union Cindelaras Tumangkar,
Yogyakarta, yang dikelola oleh umat Katholik).
Membangun suatu sistem ekonomi masyarakat yang menuju kemandirian ekonomi
produktif, merupakan sesuatu yang tidak mudah dan dibutuhkan cukup tenaga pemikiran dan
konsep yang matang dan jelas arah yang akan dicapai. Apalagi jika sistem ekonomi produktif
yang berbasis komunitas lokal tersebut berbasis pada kekuatan diri sendiri yang sudah ada,
55
Cahyono, Nur Edi. Pola Kebijakan Pengurus Credit Union Angudi Laras tahun buku 2013. Purworejo: Credit
Union Angudi Laras, 2013, hlm. 8. 56
Wawancara dengan Ibu Maria Ch (Manager CU Angudi Laras Purworejo), tgl. 24 Maret 2014, jam 13.00 WIB
30
tidak mengandalkan belas kasihan dari komunitas lain (Self-Financing). Namun sebuah
harapan besar dan hal-hal yang sulit akan dicapai dengan di mulai dari satu langkah kecil dan
sederhana. Warga jemaat (sumberdaya yang telah ada) yang peduli ambil bagian dan yang
mempunyai kapabilas/mengerti tentang kegiatan ekonomi, juga dilibatkan dalam proses
pembentukan Credit Union Angudi Laras, sekaligus menjadi anggota mula-mula.57
Sebagai salah satu inisiator berdirinya Credit Union Angudi Laras, GKJ Purworejo terus
mendorong agar semua jemaat, khususnya golongan ekonomi menengah ke bawah untuk
menjadi anggota Credit Union. Hal ini memang belum seluruh warga jemaat GKJ Purworejo
yang termasuk kategori tersebut mau bergabung dengan Credit Union Angudi Laras. Jika
dilihat dari data yang ada, baru 235 orang dari 1268 total warga GKJ Purworejo yang menjadi
anggota Credit Union Angudi Laras (18,8%), atau 235 dari 1.011 warga dewasa (23.2%)
warga dewasa. Melihat angka-angka ini merupakan potensi yang besar untuk
mengembangkan Credit Union Angudi Laras, untuk berkembang lebih besar lagi. Apalagi jika
dilihat dalam 3 tahun saja, asset yang dimiliki oleh Credit Union Angudi Laras sudah
bertumbuh menjadi Rp2.695.687.140,00 dengan pendapatan bulanan yang terus meningkat.
Salah satu keuntungan dari nyata dari adanya Credit Union Angudi Laras bagi warga
GKJ Purworejo adalah tidak jatuhnya warga jemaat ke jeratan rentenir atau lembaga
keuangan yang menereapkan bunga pinjaman yang tinggi (4% tetap / flat dari total pinjaman,
atau bahkan lebih besar lagi). Juga berkurangnya praktek hutang-menghutang antar warga
jemaat yang berpotensi timbulnya perpecahan antar warga jemaat jika si penghutang tidak
segera melunasi hutangnya. Jika diadakan penelitian, mungkin adanya Credit Union Angudi
Laras ini juga memberi kontribusi yang signifikan dalam meningkatkannya jumlah
persembahan gereja, namun hal ini perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan mendetail.58
Hal penting yang harus dilakukan GKJ Purworejo adalah terus menerus mendorong
warga jemaatnya agar mau dan segera bergabung dengan menjadi anggota Credit Union
Angudi Laras, agar warga jemaat mandiri dalam hal ekonomi bahkan mengarah kepada
pertumbuhan ekonomi kreatif. Jika dilihat tren kenaikan jumlah asset dan pendapatan,
dengan anggota yang masih relatif kecil maka, jika semakin banyak orang terlibat dalam
Credit Union Angudi Laras tentu akan meningkatkan asset maupun pendapatannya. Jika
demikian, minimal akan lebih banyak warga jemaat maupun warga masyarakat yang lebih
pintar dalam hal keuangan.
Melihat adanya animo untuk menjadi anggota Credit Union dari warga non-kristiani
sudah ada yaitu sebanyak 14,1% anggota yang beragama Muslim (Tabel 1.4.), maka tidak
menutup kemungkinan, bahwa kelak Credit Union fungsinya juga akan dapat dirasakan
57
Wawancara dengan Maria Ch (Manager CU Angudi Laras Purworejo), tgl. 24 Maret 2014, jam 13.00 WIB. 58
Wawancara dengan Pdt. Eko Lukas Sukoco (Pendeta GKJ Purworejo), tgl. 20 Maret 2014, jam 11.15 WIB.
31
komunitas lain di luar tubuh gereja. Ini juga berarti akan membawa keluar semangat inklusif
ke-Kristen-an dari sekedar pelayanan internal komunitas. Bahkan kenyataan ini adalah kabar
sukacita dari komunitas Credit Union yang semula berbasis komunitas warga gereja dengan
ruh teologi gereja, dapat dinikmati oleh komunitas lain diluar tubuh gereja. Bukankah ini
merupakan ’terang gereja’ bagi komunitas lain?
Menariknya, GKJ Purworejo adalah satu dari 319 GKJ dalam lingkup Sinode GKJ,
yang berani membawa pemikiran ekonomi dalam tataran praktis (operasional) ke tengah
kehidupan gereja. Jika saja 318 gereja (GKJ) lainnya yang ada dalam lingkup Sinode GKJ
melakukan hal yang sama, maka hal ini akan menjadi potensi pembelajaran bersama dalam
upaya nyata gereja dalam menyikapi kemiskinan serta tindakan meningkatkan kesejahteraan
warga gereja pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. GKJ Purworejo bersama-
sama dengan GKJ se-Klasis Purworejo (Klasis yang mempunyai persembahan terkecil se-
Sinode GKJ), mulai menyuarakan Credit Union bagi 31 Klasis lain di lingkup Sinode GKJ,
baik melalui siomposium, seminar, lokakarya, maupun kegiatan promorsi Credit Union
melalui jejaring media sosial melalui internet.
V.2. Kendala yang dihadapi
Penolakan dari intern warga jemaat GKJ Purworejo sendiri atau kampanye negatif
(kampanye pesimistif) dari para pelaku renten (rentenir) dan dari beberapa anggota jemaat
juga muncul, terutama dari warga jemaat yang bekerja di kalangan perbankan atau koperasi
atau lembaga keuangan, yang memandang Credit Union Angudi Laras justru akan berpotensi
mengurangi keuntungan lembaga keuangan tempat jemaat tersebut bekerja. Pendeta GKJ
Purworejo menyikapi ini dengan melakukan pendekatan dan dialog, bahwa Credit Union
Angudi Laras adalah ditujukan untuk membangun dan mendidik ekonomi produktif golongan
kelas bawah (ekonomi lemah), sementara perbankan saat ini justru sangat dibutuhkan untuk
golongan ekonomi menengah ke atas.59
Di samping hal tersebut kendala lainnya adalah tingkat kepercayaan warga yang masih
menganggap bahwa Credit Union adalah penjelmaan ’koperasi lama’ yang pernah ada atau
mirip dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Hal ini kemudian disikapi oleh Pendeta,
Pengurus, maupun para anggota Credit Union Angudi Laras yang telah tertolong dengan
adanya Credit Union ini. Para anggota yang telah menikmati manfaat Credit Cnion ini
memberi kesaksian tentang keuntungan-keuntungan yang didapatnya, hal inilah yang akan
membuat promorsi Credit Union berdasarkan kesaksian dari mulut ke mulut.60
59
Wawancara dengan Pdt. Eko Lukas Sukoco (Pendeta GKJ Purworejo), tgl. 20 Maret 2014, jam 11.45 WIB. 60
Wawancara dengan Pdt. Eko Lukas Sukoco (Pendeta GKJ Purworejo), tgl. 20 Maret 2014, jam 11.45 WIB.
32
V.3. Tantangan
Dalam waktu kurang lebih 3 tahun Credit Union Angudi Laras beroperasi melayani
anggota dan warga gereja (sebagian besar termasuk kategori miskin), mampu mengajak 566
orang untuk bergabung, dengan aset yang dikelola sebesar Rp2.695.687.140,00 dan akumulasi
keuntungan di akhir tahun ke tiga sebesar Rp412.080.590,00. Tantangannya adalah jika asset
maupun keuntungan semakin besar, dan warga jemaat yang semula miskin sudah berubah
’dari miskin menjadi kaya/sukses’ apakah Credit Union masih tetap akan bekerja untuk tujuan
sosial dan masih peduli dengan anggota miskin yang baru bergabung? Atau jika anggota
Credit Union yang dari non-kristen sudah semakin banyak (bahkan kemungkinan lebih
banyak dari anggota yang Kristen), apakah ruh ke-Kristen-an yang menjiwai Credit Union,
akan masih dapat dipertahankan? Pertanyaan ini belum bisa terjawab.
VI. Penutup
Gereja sebagai komunitas religi dan sosial juga merupakan bagian dari negara dan
masyarakat ini, maka permasalahan yang muncul di tengah-tengah negara dan masyarakat,
khususnya dalam bidang ekonomi, juga merupakan tantangan bagi gereja untuk berbuat
sesuatu. Gereja seharusnya juga terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi
permasalahan sosial dalam bentuk praksis. Gereja tidak hanya menyuarakan kerajaan Allah
dalam bentuk verbal saja. Melalui Credit Union yang dipelopori oleh gereja, menjadikan
gereja benar-benar menghadirkan kerajaan Allah dalam bentuk layanan sosial-ekonomi,
khususnya bagi komunitas golongan ekonomi lemah yang awam terhadap praktek ekonomi
produktif.
Di Indonesia, Credit Union dibangun dengan landasan ruh gereja, hampir seluruh Credit
Union mengadopsi prinsip-prinsip teologi gereja dalam operasional pelayanannya. Credit
Union meskipun sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1976,61
namun belum banyak
komunitas yang mempraktekannya. Di kalangan komunitas Katholik atau komunitas Kristen,
istilah Credit Union beberapa tahun ini sudah mulai dikenal. Namun banyak komunitas gereja
masih menjadikannya sebatas wacana diskusi. Credit Union Angudi Laras merupakan salah
satu bentuk upaya kepedulian GKJ Purworejo dan gereja-gereja di sekitarnya dalam bidang
ekonomi warga jemaat, yang tujuannya adalah menyejahterakan jemaat secara ekonomi
melalui pendidikan dan praksis secara nyata.
Credit Union Angudi Laras inilah yang merupakan perwujudan keberpihakan gereja
terhadap orang miskin yang tidak mempunyai akses permodalan/kredit/bantuan (Widiastuti,
2013:13) dan tindakan gereja terlibat dalam hal ini bukan untuk mencari keuntungan secara
61
CU. Tunas Muda, ”Sejarah Credit Union” http://cu-tunasmuda.blogspot.com/2011/03/sejarah-credit-
union.html, diunduh 30 Januari 2014, jam 12.40
33
finansial, tetapi merupakan wujud keberpihakan dan jawaban atas panggilan gereja secara
inklusif untuk ikut serta dalam menyelesaikan masalah ekonomi rakyat terutama bagi
golongan masyarakat yang kurang mampu (Siregar, 212:36). Untuk mewujudkan Credit
Union Angudi Laras menjadi suatu institusi yang nyata/benar-benar berjalan dan
berkelanjutan, dibutuhkan suatu kerja keras dan kemauan yang teguh. Namun juga dibutuhkan
pemahaman yang mendalam, agar Credit Union Angudi Laras dapat terus berjalan dan tidak
bergantung pada belas kasihan pihak luar komunitas. Hal ini tentunya akan melibatkan
tenaga-tenaga profesional di bidang ekonomi, mengingat para pekerja gereja biasanya lebih
dibekali pemahaman teologi daripada ekonomi. Disamping hal tersebut juga Credit Union
juga dapat saling belajar (studi banding) antar Credit Union yang ada dan saling menolong
dalam mengatasi kendala operasionalnua, dengan demikian potensi merugi dari Credit Union
Angudi Laras sebagai lembaga sosial yang bergerak dalam bidang ekonomi akan bisa
dihindari.
Dalam Credit Union, orang akan belajar untuk saling mempercayai (credere) dan saling
menolong dalam hal pemenuhan kebutuhan akan finansial. Sedangkan keuntungan lainnya,
menjadikan anggota akan lebih mengerti tentang bagaimana menggunakan uang miliknya
dengan bijak dan orang akan dituntun dalam pembelajaran usaha ekonomi produktif dan
kreatif. Hal ini tentu saja sejalan dengan program pemerintah negara Indonesia. Sebab, selain
membawa anggota Credit Union Angudi Laras untuk masuk dalam suasana yang mandiri
ekonomi, secara langsung Credit Union juga membantu anggota dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan finansial dan sosial.
Jika warga jemaat sejahtera dalam hal ekonomi, hal ini secara tidak langsung juga akan
membawa imbas bagi gereja, gereja secara institusi juga akan sejahtera. Kegiatan-kegiatan
tugas pelayanan gereja lain, akan dapat berjalan lebih lancar karena dukungan warga jemaat
yang telah disejahterakan oleh gereja terlebih dahulu melalui Credit Union. Model pelayanan
ekonomi jemaat melalui Credit Union ini akan sangat membantu bagi gereja-gereja di
pedesaan, namun juga akan menolong kaum miskin diperkotaan agar tidak menggantungkan
diri dari belas kasihan warga jemaat lain yang lebih kaya (Diakonia Kharitatif).
Jika gereja dalam berupaya menyejahterakan jemaat dan masyarakat umum mau
mengacu pada Yeremia 29:7 ”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang,
dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah
kesejahteraanmu.” maka Credit Union sangat selaras dengan maksud dalam ayat tersebut,
meskipun tentu saja masih banyak cara lain untuk mengupayakan kesejahteraan jemaat.
Mengingat Credit Union adalah suatu model pelayanan ekonomi Kristiani yang mungkin
belum banyak didirikan di banyak gereja, maka sosialisasi kepada gereja-gereja lainnya perlu
34
dilakukan. Bahkan jika memungkinkan tidak hanya sebatas dalam sosialisasi, namun juga
pendampingan khusus bagi gereja-gereja lainnya yang ingin mendirikan Credit Union. Jika
banyak gereja telah mau dan mampu mendirikan Credit Union sebagai salah satu bentuk
pelayanannya, maka gereja melalui Credit Unionnya akan menjadi institusi yang dibutuhkan
oleh masyarakat, tidak sebatas dalam komunitas Kristen saja. Dengan demikian keberpihakan
gereja terhadap orang miskin benar-benar telah diwujudnyatakan.
Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu....
(Yohanes 20:21)
Credit Union Angudi Laras adalah salah satu kabar baik kasih Allah dalam bentuk ekonomi,
yang menjelma dalam kesaksian suatu paguyuban pelayanan, demi terwujudnya damai
sejahtera di antara umat manusia. Pengharapan tentang damai sejahtera tidak untuk sekedar
dijadikan diangankan atau diwacanakan saja, tetapi harus diperbuat, dikerjakan dan dibangun,
meski tidak sempurna. Biarlah kelak Allah sendiri yang akan turut campur tangan dalam
penyempurnaannya.
35
DAFTAR PUSTAKA
Agung, AM Lilik (Ed.). 20012. Credit Union : Kendaraan Menuju Kemakmuran. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Alfian, Melly G. Tan, Selo Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural: Suatu Bunga Rampai,
Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Arianto, Widi. 2008. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen.
Banawiratma, J.B. (Ed.). 1987. Kemiskinan dan Pembebasan.Yogyakarta: Kanisius.
Banawiratma, JB, SJ. dan Müller, J. 1993. Berteologi Lintas Ilmu. Yogyakarta : Kanisius.
Binawan, Al. Andang L. dan A. Prasetyoko (Eds.). 2004. Keadilan Sosial: Upaya Mencari
Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bosch, David J. 2011. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan
Berubah. Jakarta: BPK Gunug Mulia.
Darmaputera, Eka. 2002. Iklan bagi Anak Hilang. Jakarta: Gloria Grafa.
Dewi Indriastuti. Mendorong UMKM . Kolom Perbankan, Harian Kompas edisi Kamis, 22
Februari 2012.
Direktorat Pembiayaan Pertanian – Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian,
Kementrian Pertanian 2012. Pedoman Teknis Kredit Usaha Rakyat (KUR) Sektor
Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian.
Dopo, Eduard R. 1992. Keprihatinan Sosial Gereja. Yogyakarta : Kanisius.
Fortman, Bas de Gaay dan Berma Klein Goldewijk. 2001. Allah dan harta benda: ekonomi
global dalam perspektif peradaban. Terjemahan Bambang Subandrijo. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Francis Wahono, ” Gerakan Credit Union Sebagai Perwujudan Ekonomi Kerakyatan Baru”,
Makalah seminar credit union di Sinode GKJ, Salatiga, pada tanggal 11 Juli 2011.
Held, D. & A. McGrew. 1999. Global Transformation: Politics, Economics and Culture.
University Press: Stanford.
Imam Suprayogo dan Toboroni. 2003. Metode Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Kaplinsky & Morris. 2003. A Handbook for Value Chain Research. IDRC-International
Development Research Center.
Knitter, Paul F. 2005. Menggugat Arogansi Kekristenan. Terjemahan M. Purwatma, Pr.
Yogyakarta: Kanisius.
Kusumaatmadja (Ed.). 2007. Politik dan Kemiskinan. Depok : Koekoesan.
Magnis-Suseno, Frans. 1996. Peranan Agama di Pasar Global: Perspektif Indonesia,
presentasi di Universitas Petra Surabaya.
Moderamen Sidang Non Reguler GKJ. 2005. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen
Jawa. Salatiga: Sinode GKJ.
Müller, Johanes. 2006. Perkembangan Masyarakat Lintas Ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Prasetyo, Eko. 2005. Orang Kaya di Negeri Miskin. Yogyakarta: Resist Book.
Saiffudin Azwar. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setio, Robert. 2002. Teologi Ekonomi. Jakarta : Gunung Mulia.
Singgih, Emanuel Gerrit. Globalisasi dan Kontekstualisasi. Dalam Teologi Ekonomi. Jakarta :
BPK Gunung Mulia, 2002.
………, 2005. Mengantisipasi Masa Depan : Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III.
Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Siregar, Nelson Flores, ”Credit Union, Media Gereja Mengentaskan Kemiskinan”, Tabloid
Reformata, No. 156, Tahun IX, 2012
Stackhouse, Max L [et. al.]. 1995. On Moral Bussiness : Calassical and Contemporary
Resources for Ethic in Economic Life. Cambridge : WM B. Eerdmans Co.
36
Subandrijo, Bambang. 2003. Agama dalam Praksis. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Tim Revisi PPA GKJ. 2005. Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga: Sinode
GKJ.
Weber, Max. 1992. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme. Terjemahan TW Utomo dan
Yusup Priya Sudiarja. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Widiastuti, Tuti. 2010. ”Kemiskinan Struktural Informasi”, dalam Jurnal Ilmu Komunikasi,
Volume 8, No.1 tahun 2010. Jakarta: Fakultas Komunikasi FEIS Universitas Bakrie.
Widiatmadja, Josef P. 2010. ”Yesus dan Wong Cilik”. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Wijaya, Yahya. 2010. Kesalehan Pasar : Kajian Teologis terhadap Isu-isu Ekonomi dan
Bisnis di Indonesia. Jakarta : Grafika Kreasindo.
Wiyono, Andreas Untung. 2013. Eklesiologi GKJ. Salatiga : Sinode GKJ.
Woga, Edmund. 2009. Misi, Misiologi & Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta : Kanisius.
Yustianus, Sudarwanto, ”Prospek Credit Union”, Majalah Tetruka, Edisi Agustus 2011-
Oktober 2011.
Sumber dari Internet :
Agung KN. ”Friedrich Wilhelm Raiffeisen”
http://www.cubg.or.id/index.php/sejarah/pelopor-dunia, diunduh 30 Januari 2014,
jam 12.30 WIB.
CU. Tunas Muda. ”Sejarah Credit Union” http://cu-
tunasmuda.blogspot.com/2011/03/sejarah-credit-union.html, diunduh 30 Januari
2014, jam 12.40 WIB.