chapter ii

52
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Glaukoma Sudut Terbuka Primer 1. Definisi Glaukoma Glaukoma didefinisikan sebagai suatu kumpulan penyakit dengan karakteristik neuropati optik yang berhubungan dengan penurunan lapang pandangan dan peningkatan tekanan intraokuli sebagai satu faktor resiko utama (Skuta, et al., 2010; Kansky, 2002). Di dalam dunia kedokteran, glaukoma dibagi atas glaukoma sudut terbuka, glaukoma sudut tertutup dan glaukoma pada anak (Lisegang, et al., 2009). Klasifikasi glaukoma secara lengkap dan terperinci tertera pada klasifikasi glaukoma berdasarkan American Academy of Ophthalmology. Dari ketiga glaukoma ini, glaukoma sudut terbuka yang paling sering dijumpai. Sekitar 75% penderita glaukoma menderita glaukoma sudut terbuka (Skuta, et al., 2010). Glaukoma sudut terbuka primer merupakan neuropati optik kronis dengan progresifitas yang perlahan-lahan dengan karakteristik adanya ekskavatio dari syaraf optik, gangguan lapang pandangan, hilangnya sel dan akson ganglion retina dan memiliki sudut iridocorneal yang terbuka. Glaukoma sudut terbuka primer ini lebih sering dijumpai pada usia dewasa (Lisegang, et al., 2005). Pada glaukoma sudut terbuka penyebab yang paling sering terjadi adalah peningkatan tekanan intraokuli walaupun pada beberapa kasus tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuli (Chung & Harris, 2000). Peningkatan tekanan intraokuli dapat merusak sel-sel ganglion retina dan 12 Universitas Sumatera Utara

Upload: ngurah-arya-pradnyantara

Post on 01-Jan-2016

46 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

refrensi

TRANSCRIPT

Page 1: Chapter II

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Glaukoma Sudut Terbuka Primer

1. Definisi Glaukoma

Glaukoma didefinisikan sebagai suatu kumpulan penyakit dengan

karakteristik neuropati optik yang berhubungan dengan penurunan lapang

pandangan dan peningkatan tekanan intraokuli sebagai satu faktor resiko

utama (Skuta, et al., 2010; Kansky, 2002).

Di dalam dunia kedokteran, glaukoma dibagi atas glaukoma sudut

terbuka, glaukoma sudut tertutup dan glaukoma pada anak (Lisegang, et

al., 2009). Klasifikasi glaukoma secara lengkap dan terperinci tertera pada

klasifikasi glaukoma berdasarkan American Academy of Ophthalmology.

Dari ketiga glaukoma ini, glaukoma sudut terbuka yang paling sering

dijumpai. Sekitar 75% penderita glaukoma menderita glaukoma sudut

terbuka (Skuta, et al., 2010). Glaukoma sudut terbuka primer merupakan

neuropati optik kronis dengan progresifitas yang perlahan-lahan dengan

karakteristik adanya ekskavatio dari syaraf optik, gangguan lapang

pandangan, hilangnya sel dan akson ganglion retina dan memiliki sudut

iridocorneal yang terbuka. Glaukoma sudut terbuka primer ini lebih sering

dijumpai pada usia dewasa (Lisegang, et al., 2005).

Pada glaukoma sudut terbuka penyebab yang paling sering terjadi

adalah peningkatan tekanan intraokuli walaupun pada beberapa kasus

tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuli (Chung & Harris, 2000).

Peningkatan tekanan intraokuli dapat merusak sel-sel ganglion retina dan

12 Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

menyebabkan kerusakan syaraf optik sehingga progresifitas glaukoma

berlanjut.

2. Klasifikasi Glaukoma

Klasifikasi glaukoma berdasarkan American Academy of

Ophthalmology adalah:

I. Glaukoma Sudut Terbuka (glaukoma yang paling sering terjadi)

1.Glaukoma Sudut Terbuka Primer

2.Glaukoma Bertekanan Normal

3.Glaukoma Juvenile

4.Suspek Glaukoma

5.Glaukoma Sudut Terbuka Sekunder

II. Glaukoma Sudut Tertutup

1.Glaukoma Sudut Tertutup Primer

i.Akut

ii.Subakut

iii.Kronik

2.Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder dengan Blok Pupil

3.Glaukoma Sudut Tertutup Sekunder Tanpa Blok Pupil

4.Sindroma Iris Plateau

III. Childhood Glaukoma

1.Glaukoma Kongenital Primer

2.Glaukoma yang berhubungan dengan kelainan bawaan

3.Glaukoma sekunder pada anak-anak dan bayi

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

3. Prevalensi

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di dunia, sekitar

lebih dari 5 juta atau 13,5% dari total kebutaan di dunia. Berdasarkan

klasifikasi glaukoma, glaukoma sudut terbuka merupakan glaukoma yang

paling sering dijumpai. Di negara barat, prevalensi glaukoma sudut

terbuka sekitar 1,1-3% dari populasi. Pada studi di Jepang, prevalensi

glaukoma sudut terbuka primer sekitar 2,62%. Prevalensi glaukoma sudut

terbuka ini meningkat dengan bertambahnya usia. Biasanya penderita

glaukoma sudut terbuka terjadi pada usia antara 40 sampai 70 tahun

(Distelhorst & Hughes, 2003).

4. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan neuropati

optik glaukoma pada glaukoma sudut terbuka primer yaitu peningkatan

tekanan bola mata (TIO), usia dewasa, riwayat keluarga dengan

glaukoma, ras (Skuta, et al., 2010)

a. Tekanan Intra Okuli

Sejumlah faktor yang dapat berhubungan dengan timbulnya

glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola mata. Hal ini

disebabkan karena tekanan bola mata merupakan salah satu faktor yang

paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbulnya glaukoma

di masa mendatang. Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

yang lebih tinggi akan lebih memungkinkan terhadap peningkatan

progresifitas kerusakan diskus optikus, walaupun hubungan antara

tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan sampai saat ini

masih diperdebatkan. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya

tekanan bola mata di atas nilai normal akan diikuti dengan kerusakan

diskus optikus dan gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun.

Sebaliknya pada beberapa kasus, pada tekanan bola mata yang normal

dapat juga terjadi kerusakan pada diskus optikus dan lapang pandangan.

Oleh karena itu, definisi tekanan bola mata yang normal sangat sukar

untuk ditentukan dengan pasti (Lisegang, et al., 2005).

Secara umum dinyatakan bahwa hanya sekitar 0.5%-2% per tahun

terjadi kerusakan diskus optikus dan lapang pandangan selama

pengamatan. Ironisnya, sebagian besar penderita glaukoma sudut terbuka

primer hampir tidak pernah menyadari bahwa tekanan bola matanya

mengalami peningkatan. Seringkali mereka baru menyadari setelah

merasakan ada gangguan yang jelas terhadap tajam penglihatan atau

penyempitan lapang pandangan. Liesegang juga menyatakan bahwa

kenaikan tekanan bola mata, merupakan salah satu faktor resiko utama

terjadinya glaukoma. Sementara hubungan antara TIO dengan kerusakan

neuropati optik glaukoma merupakan hal yang fundamental untuk terapi

glaukoma sudut terbuka primer, walaupun terdapat beberapa faktor

lainnya (contohnya suplai darah pada nervus optikus, substansi toksis

pada nervus optikus dan retina, metabolisme aksonal atau ganglion sel

retina, dan matriks ekstraselular lamina cribosa) yang dapat memainkan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

peranan dalam progresifitas neuropati optik pada glaukoma sudut terbuka

primer. Sementara itu, nilai batas normal tekanan bola mata dalam

populasi berkisar antara 10–21 mmHg. Menurut Sommer, nilai rerata

tekanan bola mata yang normal adalah 16 mmHg (Soeroso, 2009).

b. Umur

Faktor bertambahnya umur memunyai peluang lebih besar untuk

menderita glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan (1995), menyatakan

bahwa frekuensi pada umur sekitar 40 tahun adalah 0,4%–0,7% jumlah

penduduk, sedangkan pada umur sekitar 70 tahun frekuensinya

meningkat menjadi 2%–3% dari jumlah penduduk. Framingham Study

dalam laporannya pada tahun 1994 menyatakan bahwa populasi

glaukoma adalah sekitar 0,7% pada penduduk yang berusia 52–64 tahun,

meningkat menjadi 1,6% pada penduduk yang berusia 65–74 tahun, dan

4,2% pada penduduk yang berusia 75–85 tahun. Keadaan tersebut

didukung juga oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma

Study pada tahun yang sama (Lisegang, et al, 2005).

c. Riwayat Keluarga

Glaukoma sudut terbuka primer juga dipengaruhi faktor keluarga.

Hal ini ditunjukkan oleh beberapa survei yang pernah dilakukan. Pada

Baltimore Eye Survey, resiko relatif glaukoma sudut terbuka primer

meningkat sekitar 3,7 kali pada seseorang yang memiliki kerabat

menderita glaukoma sudut terbuka primer. Pada Rotterdam Eye Study,

prevalensi glaukoma sudut terbuka primer sekitar 10,4% pada pasien

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

yang memunyai riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit yang

sama. Peneliti yang sama mengestimasikan bahwa resiko relatif untuk

menderita glaukoma sudut terbuka primer sebesar 9,2 kali pada

seseorang yang memiliki kerabat dekat yang menderita glaukoma sudut

terbuka primer (Lisegang, et al., 2005).

d. Ras

Hipotesa yang menyatakan bahwa ras merupakan faktor resiko

terjadinya glaukoma sudut terbuka primer berdasarkan data pada orang

berkulit hitam memunyai prevalensi tiga kali lebih besar untuk menderita

glaukoma sudut terbuka primer dibandingkan yang berkulit putih. Tetapi

penelitian terbaru menyatakan bahwa glaukoma sudut terbuka primer ini

banyak ditemukan pada populasi China dan Eskimo (Ritch, 1996).

2. 2. Patogenesis Neuropati Optik Glaukoma

Patogenesis glaukoma sampai saat ini masih belum jelas. Dada,et

al (2006), menyatakan bahwa kerusakan syaraf optik tidak hanya oleh

karena peningkatan tekanan intra okuli , tetapi penurunan aliran/perfusi

darah dapat menyebabkan kerusakan syaraf optik. Selain itu faktor

genetik, faktor metabolik dan faktor-faktor yang bersifat toksik seperti

glutamat, NMDA, eksitotoksin, radikal bebas dan nitrix oxide juga

berpengaruh terhadap kerusakan syaraf optik (Schwartz, 2003).

Kerusakan syaraf optik pada glaukoma dapat dibagi atas 2 tipe yakni

kerusakan neuron primer (primary neuronal damage) dan kerusakan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

neuron sekunder (secondary neuronal damage) (Dada, et al., 2006;

Schwartz, 2003)

1. Kerusakan Neuron Primer

Kerusakan neuron primer ini disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain faktor mekanik dan faktor iskemik.

a. Faktor Mekanik

Menurut teori mekanis, TIO yang tinggi berperan menyebabkan

kerusakan langsung pada nervus optikus dan akan mengubah struktur

jaringan. Kenaikan TIO akan menghasilkan dorongan dari dalam ke luar

(inside-outside push) yang akan menekan lapisan laminar ke arah luar

dan meningkatkan regangan laminar serta meningkatkan regangan

dinding sklera (Lewis, et al., 1993). Selain itu dengan meningkatnya TIO

akan menyebabkan remodelling dan irregularitas matriks ekstraselular

syaraf optik yang akan menurunkan mechanical support bagi serabut-

serabut syaraf (Sihota, et al., 2006).

Peningkatan TIO juga dapat memblok aliran aksoplasma sehingga

pengiriman growth factor esensial yang dihasilkan oleh sel target dari

kollikulus superior dan korpus genikulatum lateralis ke papil syaraf optik

akan turun (Dada, et al., 2006)

Selain itu, peningkatan TIO juga disebabkan oleh karena

meningkatnya tahanan/ resistensi pada humor akuous. Ada beberapa

faktor yang diduga dapat menyebabkan bertambahnya resistensi pada

outflow humor akuous, antara lain penyempitan ruang intertrabekular,

penebalan lamella trabekular, collaps kanalis sklemmi, dan hilangnya sel-

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

sel endotel trabekula. Keadaan tersebut secara fisiologis terjadi pada

proses penuaan, tetapi pada glaukoma proses tersebut terjadi lebih

progresif (Dada, et al., 2006)

b. Faktor Iskemik

Menurut teori iskemik, turunnya aliran darah di dalam lamina

kribrosa akan menyebabkan iskemia dan tidak tercukupinya energi yang

diperlukan untuk transport aksonal. Iskemik dan transport aksonal akan

memacu terjadinya apoptosis (Lewis et al., 1993).

Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena

rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel

itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Kematian sel yang berasal dari

dalam sel itu sendiri dapat terjadi melalui mekanisme genetik, yang

merupakan suatu proses fisiologis dalam keadaan mempertahankan

keseimbangan fungsinya. Proses kematian yang berasal dari luar sel dan

bersifat pasif dapat tejadi karena jejas ataupun injury yang letal akibat

faktor fisik, kimia, iskhemik maupun biologis (Chen, 2003). Pada proses

iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak

dapat mengkompensasi perfusi yang kurang dan terjadi resistensi

(hambatan) aliran humor akuous pada trabekular meshwork yang akhirnya

menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).

Hipotesis lain yang mendasari teori ini adalah turunya perfusi aliran

darah yang dapat menyebabkan akumulasi eksitotoksin seperti glutamat

yang berakhir dengan kematian sel lebih lanjut. Fase iskemia yang diikuti

dengan perbaikan pasokan darah juga dapat menyebabkan reperfusion

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

injury pada sel ganglion retina oleh karena adanya radikal bebas (Dada, et

al., 2006).

c. Reperfusion Injury

Reperfusion injury atau cedera reperfusi adalah kerusakan jaringan

yang disebabkan oleh kekurangan aliran darah ke jaringan setelah

kurangnya pasokan oksigen (iskemia). Proses restorasi aliran darah ini

secara paradoks akan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut

(Flammer, et al., 2002).

Saat terjadi proses reperfusi sel-sel endotel trabekular meshwork

yang terpapar iskemia akan terjadi adhesi leukosit dan platelet yang akan

menyebabkan permeabilitas sel endotel akan meningkat. Leukosit

adherent tersebut juga akan melepas spesies oksigen reaktif (radikal

bebas) dan bermacam sitokin yang mengakibatkan kaskade inflamatorik.

Pathway inflamatorik dan produksi radikal bebas saling bertumpang tindih

yang akan menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada cedera

reperfusi (Izzoti, et al., 2006).

Pada glaukoma sudut terbuka primer, tekanan oksigen pada

jaringan selalu rendah. Turunnya tekanan ini biasanya ringan, tetapi

selalu rekuren selama beberapa tahun. Reperfusi pada glaukoma sudut

terbuka dapat terjadi pada penderita dengan tekanan intra okuli yang

tinggi maupun tekanan darah yang rendah yang melebihi kapasitas dari

autoregulasi, begitu juga pada penderita dengan tekanan intraokuli

normal ataupun sedikit meningkat dan pada penderita dengan tekanan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

darah normal ataupun rendah jika terjadi gangguan autoregulasi

(Flammer. et al., 2002)

Reperfusi rekuren akan dapat menyebabkan stress oksidatif kronis

terutama di mitokondria. Mitokondria sangat banyak pada syaraf optik

yang disebabkan tingginya asupan energi pada area serabut-serabut

mielin. Apabila terjadi reperfusi, maka mitokondria akan mendapat lebih

banyak kerusakan dan supplai energi akan semakin berkurang. (Izzoti, et

al., 2006)

2. Kerusakan Neuron Sekunder

Kerusakan neuron primer telah memicu pelepasan sejumlah faktor

dari sel ganglion retina yang dapat menyebabkan kerusakan sekunder

sel-sel sekitarnya. Istilah degenerasi neuron sekunder digunakan untuk

neuropati progresif yang meluas di sekitar area neuron yang telah

mengalami kerusakan sebelumnya. Kerusakan neuron sekunder ini

merupakan akibat sejumlah proses yang dipicu oleh trauma dan juga oleh

faktor-faktor yang bersifat toksis yang berasal dari kerusakan primer

sebelumnya seperti glutamat eksitotoksin, radikal bebas dan nitrit oksida.

Faktor-faktor toksik tersebut memicu serangkaian peristiwa yang

menyebabkan apoptosis. Akibatnya kerusakan fungsional jaringan neuron

berlanjut dan semakin berat sehingga hal inilah yang menyebabkan

mengapa pada pasien glaukoma progresifitas pernyakit tersebut terus

berlangsung meskipun TIO sudah terkontrol (Dada, et al., 2006). Menurut

Advance Glaucoma Intervention Study dalam menilai progresifitas

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

glaukoma ada 3 parameter yang harus dinilai yaitu syaraf optik dan

lapisan serabut syaraf retina, lapang pandangan dan tekanan intraokuli

(Shaban & Demirel, 2009). Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan

suatu neuroprotektif untuk meminimalkan dan mencegah degenerasi

neuron sekunder (Schwartz, 2003).

2.3. Mekanisme Kerusakan Sel Ganglion Retina

Berdasarkan beberapa mekanisme yang telah dijelaskan

sebelumnya maka dapat diasumsikan bahwa kerusakan sel ganglion

retina akibat:

1. Hambatan dari outflow axoplasmic

Dinamika humor akuous sangat penting pada glaukoma karena

ketidaksesuaian antara produksi humor akuous dan outflow aquous akan

menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli dan akhirnya akan

mengakibatkan terjadinya glaukoma.

Humor akuous ini adalah cairan yang mengisi sudut bilik mata.

Humor akuous ini diproduksi di nonpigmented epitel badan siliar. Badan

siliar merupakan suatu struktur multifungsional yang terlibat langsung

dalam proses produksi dan pengeluaran (outflow) humor akuous. Badan

siliar juga bertanggung jawab untuk akomodasi, sekresi dan

mempertahankan blood aquous barrier (Lisegang, et al., 2009).

Aliran humor akuous yang utama terletak pada trabekular

meshwork. Apabila terjadi perubahan struktural dari trabekular meshwork

akan mengakibatkan terjadi penebalan dari membran basal dan trabekular

beam, hilangnya sel-sel endotel trabekular dan material trabekular seperti

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

pigmen granul yang akibatnya akan terjadi hambatan aliran humor akuous

di trabekular meshwork sehingga dapat meningkatkan tekanan intraokuli

dan mengakibatkan terjadi glaukoma (Caprioli, 1992).

Selain itu, peningkatan kerusakan DNA oksidatif pada komponen

selular di trabekular meshwork dapat melibatkan regulasi dari struktur

matriks ekstraselular dan regulasi dari tekanan intraokuli sehingga dapat

mencetuskan terjadinya glaukoma (Brubaker, 1994).

2. Eksitotoksisiti glutamat

Glutamat adalah neurotransmitter eksitatorik yang melimpah dalam

sistem syaraf dan diaktivasi oleh bermacam reseptor spesifik. Pembagian

reseptor glutamat berdasarkan atas dua tipe dasar yaitu jenis saluran ion

N-methyl D- Aspartate ( NMDA), Kainate dan Aminohidroksi

Metillisoksazole Propionic Acid (AMPA) dan jenis ligan yaitu G protein-

coupled ‘metabotropic’ glutamat reseptor (mGluR) (Greenstein, 2000;

Wasman, 2007).

Fungsi reseptor NMDA adalah berkaitan dengan jenis saluran ion

kation dimana ‘kation chanel’ memiliki permeabilitas terhadap Na+, K+, dan

Ca2+. Saluran terbuka saat Glu berikatan pada reseptor dan aksi

neurotransmitter dimodulasi oleh beberapa molekul lain. Glu

membutuhkan glisin untuk berikatan dengan reseptornya. Aksi Glu

dipotensiasi oleh poliamino dan modulasi blokade oleh Mg2+ ekstraseluler.

Ketika membran sel mengalami depolarisasi, Mg2+ bergerak keluar dari

saluran dan Glu terikat pada reseptornya dan saluran terbuka untuk dilalui

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

oleh Na+ dan Ca+

Secara fisiologis, reseptor NMDA bertanggung jawab terhadap

signal neuron, ekspresi gen, plastisitas sinaptik, pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel. Eksitasi masif reseptor Glu khususnya pada

reseptor NMDA menyebabkan kematian sel yang kemungkinan

disebabkan oleh konsentrasi Ca intraseluler yang meningkat berlebihan di

dalam intrasel (Squire, 2008; Kahle & Frotsher, 2003).

. Jika konsentrasi glisin terlalu rendah kemampuan Glu

membuka saluran akan berkurang ( Squire, 2008; Kahle & Frotscher,

2003).

Demikian juga halnya pada mata, eksitoksisitas sel-sel ganglion

retina disebabkan oleh overstimulasi reseptor glutamat yang disebut N-

methyl-D-aspartat (NMDA). Eksitotoksin ini bekerja pada channel

NMDAR, terjadi perubahan permeabilitas dinding sel dengan meningginya

kalsium dan sodium intrasel dan aktivasi kalsineurin. Akibat adanya

pelepasan glutamat pada trauma, ion Na akan masuk ke dalam sel dan

diikuti oleh ion Cl dan air, akibatnya sel membengkak. Hal ini merupakan

fase akut pada trauma neuron. Selanjutnya pada fase kedua akan terjadi

influx ion Ca2+ yang dapat mengganggu homeostasis ion Ca sendiri yang

menyebabkan reaksi biokimia yang abnormal. Akibatnya terjadi pelepasan

enzim cytotoksis seperti protease, endonuklease, dan lipase yang dapat

merusak membran sel serta terjadi akumulasi radikal bebas yang akan

mengganggu fungsi metabolik sel sehingga akan mengakibatkan

gangguan berat fungsi normal sel (Kuehn, et al., 2005). Peningkatan

jumlah glutamat dijumpai di korpus vitreous pada penderita glaukoma

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

yang jumlahnya cukup tinggi. Pada studi hewan coba, dilakukan

pemeriksaan jumlah glutamat pada tikus yang menderita glaukoma dan

didapati peningkatan jumlah glutamat 7 kali melebihi normal pada vitreous

posterior. Sampai saat ini belum pasti apakah jumlah glutamat yang

berlebihan pada vitreous ini menyebabkan kerusakan dari jaringan dan

apakah jumlah glutamat yang berlebihan ini dapat menyebabkan

progresifitas dari kerusakan sel-sel ganglion retina pada studi hewan coba

tikus yang terpapar glaukoma (Kuehn, et al., 2005).

3. Radikal Bebas

Eksitotoksisitas dan stress oksidatif adalah dua proses yang

berhubungan satu sama. Berdasarkan penelitian Gomberg dan ilmuwan

lainnya, istilah radikal bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak

stabil, memunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit

luarnya. Molekul tesebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan

elektronnya. Jika sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi

berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya

terus bertambah (Boveris, et al., 2000).

Oksigen yang kita hirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan

menjadi senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif

oksigen yang diterjemahkan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau

Spesis Oksigen Reaktif (SOR), satu bentuk radikal bebas. Peristiwa ini

berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses

detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. Produksi SOR

secara fisiologis ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II

aerobik. Sistem defensif dianugerahkan terhadap setiap sel berupa

perangkat antioksidan enzimatis. Antioksidan enzimatis endogen pertama

kali dikenal dengan nama superoksida dismutase (SOD). Hanya dalam

waktu singkat setelah teori tersebut disampaikan, ditemukan enzim-enzim

antioksidan endogen lainnya seperti glutation peroksidase dan katalase

yang mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen (Boveris,

et al., 2000).

Stres oksidatif (oxidative stress

• Kekurangan antioksidan

) adalah ketidakseimbangan antara

radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi

umum:

• Kelebihan produksi radikal bebas

Keadaan stress oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif mulai dari

tingkat sel, jaringan hingga ke organ tubuh, menyebabkan terjadinya

percepatan proses penuaan dan munculnya penyakit.

Saat oksigen hilang dalam lingkungan mikro, sel akan mengalami

kerusakan karena hipoksia, fosforilasi oksidatif mitokondria dan spesies

oksigen reaktif (SOR) yang banyak terakumulasi. Akibatnya pertahanan

dan jumlah oksidan akan berkurang sehingga terbentuk radikal bebas

yang akan merusak membran sel yang akan bereaksi dengan low-density

lipoprotein (LDL)-cholesterol menjadi bentuk yang reaktif. Kerusakan

membran akan merubah potensial membran, aktivasi mediator

proapoptotik dan terjadi kerusakan langsung pada DNA dan protein

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II

(Scholp, et al., 2004). Endotelial retina merupakan sumber kedua terbesar

xanthine oxidase (XOD) dan cyclooksigenase (COX).

Pemahaman ilmiah tentang hubungan radikal bebas dengan

antioksidan baru muncul pada tiga hingga empat dekade terakhir ini.

Hingga kini, berbagai uji kimiawi, biokimia, klinis dan epidemiologi banyak

mendukung efek protektif antioksidan terhadap penyakit akibat stress

oksidatif (Boveris, et al., 2000).

Pada glaukoma, terjadinya kerusakan oksidasi DNA di trabekular

meshwork akan menyebabkan terjadinya perubahan regulasi dari matriks

ekstrasellular dan regulasi tekanan intra okuli sehingga menyebabkan

terjadinya glaukoma. Sel endotelial trabekular meshwork ini akan

menyebabkan terjadinya perubahan pada sitokin dan terjadi hambatan

humor akuous ke kanalis sklemmi yang akhirnya mengakibatkan

terjadinya peningkatan tekanan intra okuli (Haefiger, et al., 2001).

Dalam satu penelitian, kerusakan DNA pada sel-sel trabekular

meshwork pada penderita glaukoma lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan grup kontrol. Penelitian lebih lanjut meneliti bahwa

nilai oxidative nucleotida modification (8-OH-dG) pada sel trabekular

meshwork manusia berkorelasi dengan adanya peningkatan tekanan

intraokuli dan kerusakan lapangan pandang (Flammer, 2002).

4. Toksisitas Nitrit Oksida

Nitrit oksida atau nitrogen oksida adalah suatu gas tak berwarna,

tanpa oksigen dan larut dalam air. Gas nitrogen oksida dihasilkan dari

asam amino L arginin oleh enzim nitric oxide synthesa dalam sel-sel

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II

mammalia termasuk manusia dan berfungsi sebagai mediator biologis

yang memungkinkan sel-sel berhubungan satu sama lainnya. Nitrogen

oksida diproduksi oleh sel-sel endotelium yang berperan mengendalikan

tonus pembuluh darah, aliran darah, tekanan darah, fungsi platelet,

gerakan saluran pernafasan dan pencernaan. Nitrogen oksida dalam

jumlah banyak terbentuk karena respon sistem imunitas untuk

mempertahankan diri, tetapi dapat juga menimbulkan perubahan

patofisiologis (Valiance & Coller, 1998).

Nitrit oksida juga berfungsi sebagai mediator pada proses fisiologis

dan patofisiologis pada mata, contohnya pada pembentukan humor

akuous, vascular tone, neurotransmisi retina, kematian sel-sel ganglion

retina oleh karena apoptosis (Haefliger, 2002).

Pada mata, nitrit oksida dapat dijumpai di berbagai jaringan.

Endotelial nitrit oksida sintesa dapat ditemukan pada endotel vaskular dan

otot halus dari segmen anterior, koroid dan retina (Osborne, et al., 1993).

Pada segmen anterior, nitrit oksida mengatur respon selular pada

konjungtiva, trabekular meshwork dan muskulus siliaris. Nitrit oksida juga

berperan pada regulasi dinamika humor akuous dan pathway aliran humor

akuous (Nathanson & Mc Kee, 1995).

Nitrit oksida memunyai efek terhadap progresifitas glaukoma.

Pengurangan aktifitas dari nitrit oksida sintesa (NOS) di muskulus siliaris

dan pathway dari outflow humor akuous dijumpai pada penderita

glaukoma primer sudut terbuka. Keadaan abnormal ini dapat berhubungan

dengan terjadinya glaukoma (Nathanson & Mc Kee, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Chapter II

Pada suatu studi, nitrit oksida sintesa (NOS2) dijumpai pada syaraf

optik astrosit pada manusia dan pada syaraf optik tikus coba yang

menderita glaukoma sedangkan pada yang normal tidak dijumpai.

(Haefliger, 1999).

5. Apoptosis

Apoptosis pertama diidentifikasikan sebagai bentuk kematian sel

berdasarkan kepada morfologinya. Penelitian mengenai insiden

biokomiawi dan genetik merupakan prediksi dari peranannya dalam

mengontrol sel yang ditentukan secara genetik dan alamiah sehingga

kontrol genetik dan mekanisme biokimia dari apoptosis menjadi lebih

dimengerti dalam perkembangan dan strategi terapi yang mengatur

kejadian dalam proses penyakit (Carson & Riberto, 1993)

Tiga dekade terakhir ini, dua bentuk sel mati berbeda secara

mendasar yaitu apoptosis dan nekrosis dan telah didefinisikan dalam

istilah morfologi, biokimia dan insidennya. Dalam keadaan normal, sel-sel

tubuh dapat memberikan respon atau adaptasi terhadap lingkungannya.

Bila aktivitas yang dilakukan sel tersebut meningkat, atau stimulus yang

diterimanya meningkat, maka untuk mencapai keseimbangan dalam

merespon hal tersebut, sel akan mengalami hipertropi. Sebaliknya bila

stimulus berkurang atau terjadi penurunan aktivitas sel, maka sel tersebut

akan mengalami atropi (Cotran, 1999).

Apoptosis adalah suatu proses kematian sel yang terprogram,

diatur secara genetik, bersifat aktif, ditandai dengan adanya kondensasi

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Chapter II

chromatin, fragmentasi sel dan fagositosis sel tersebut oleh sel

tetangganya (Cotran, 1999).

Ada berbagai bukti yang menyatakan kontrol apoptosis dikaitkan

dengan gen yang mengatur berlangsungnya siklus sel, diantaranya gen

p53, Rb, Myc, E1A dan keluarga Bcl-2. Gangguan regulasi dan proliferasi

sel baik akibat aktivitas onkogen dominan maupun inaktivasi tumor

suppressor genes berhubungan dengan kontrol apoptosis. Dalam literatur

lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang

didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui

aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui

serangkaian produk gen (Goepel, 1996).

Pada hakekatnya kematian sel (apoptosis) dapat terjadi karena

rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar ataupun dari dalam sel

itu sendiri (bersifat aktif ataupun pasif). Proses kematian yang berasal dari

luar sel dan bersifat pasif dapat tejadi karena jejas atau injury yang letal

akibat faktor fisik, kimia, iskemik maupun biologis (Chen, 2003). Faktor-

faktor toksik ini yang akan memicu terjadinya apoptosis. Pada proses

iskemik, terjadi mekanisme autoregulasi yang abnormal sehingga tidak

dapat mengkompensasi perfusi yang kurang sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan intraokuli (TIO) (Lewis, 1993).

Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa kematian/kerusakan sel-sel ganglion retina pada glaukoma adalah

apoptosis. Apoptosis ini dapat dipicu oleh kombinasi faktor biokimia yang

diproduksi sebagai hasil akhir peningkatan TIO dan penurunan perfusi.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Chapter II

Maka idealnya secara terapeutik pada glaukoma, kita menginginkan untuk

menurunkan kematian/kerusakan syaraf optik akibat peningkatan TIO dan

penurunan perfusi lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli.

2.4. Progresifitas glaukoma

Kejadian penyakit neurologis termasuk glaukoma dapat

menyebabkan kerusakan neuron primer maupun kerusakan neuron

sekunder. Kerusakan ini dapat berlanjut terus atau merupakan hasil

sekunder akibat kejadian iskemik, eksitotoksisiti glutamat, radikal bebas

dan nitrik oksida sehingga progresifitas glaukoma terus berlanjut yang

akhirnya mengakibatkan apoptosis.

Menurut Shaban & Demirel, et al, 2009, dalam menilai progresifitas

glaukoma sudut terbuka primer ada 3 penilaian klinis (parameter) yang

harus dilakukan yaitu:

1. Pemeriksaan syaraf optik dan lapisan serabut syaraf retina

Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai asimetris dari

neuroretinal rim atau cupping, ekskavatio neuroretinal rim, perdarahan

syaraf optik. Saat ini dengan kemajuan tekhnologi digunakan satu alat

yang dinamakan OCT (Optical Coherence Tomography) yang dapat

menilai sel-sel ganglion retina dan syaraf optik.

Optical Coherence Tomography (OCT) adalah alat bantu diagnostik

non kontak, non invasif dan tidak memerlukan imersi, menampilkan irisan

jaringan hidup, yang beroperasi dengan prinsip inferometri menggunakan

sinar inframerah koherensi rendah sekitar 40Um dengan panjang

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Chapter II

gelombang antara 800-830 nm, yang diserap oleh jaringan tertentu,

dilengkapi dengan kamera khusus untuk menangkap refleksi sinar dan

menghasilkan image atau bayangan dari jaringan histologis dengan

resolusi tinggi (Bancato & Lumbroso, 2004). Kehadiran OCT telah terbukti

sangat berguna dalam membantu menegakkan diagnosa, evaluasi,

penatalaksanaan berbagai kelainan mata dan juga penelitian.

Di bidang ilmu kesehatan mata, OCT banyak membantu

menegakkan diagnosa, pemantauan terapi, pemantauan perjalanan

penyakit, dokumentasi serta penjelasan kepada pasien di bidang

glaukoma, retina dan kornea (Hong&Sun, 2010). OCT ini dapat

menguraikan lapisan demi lapisan serabut syaraf tanpa efek samping

yang merugikan. Stratus OCT memiliki resolusi aksial yang lebih tinggi

sekitar 9 sampai 10 mikron pada jaringan.Sistem Stratus dapat

menghasilkan gambar OCT yang sangat mendetail dari retina. Stratus

OCT ini memliki sensitivitas lebih dari 80% dan spesifisitas lebih dari 95%.

(Christoph&Hitzenberger, 2003). Di bidang glaukoma, OCT sangat

membantu dalam menegakkan diagnosa, mengetahui derajat keparahan

kerusakan papil syaraf optik dan kerusakan lapisan serabut syaraf retina

akibat glaukoma dan menjadi alat screening yang andal dan sahih untuk

glaukoma pra perimetrik yang mampu mendeteksi kerusakan 5 tahun

lebih awal ( Dexter & Barton, 2011).

Dewasa ini OCT adalah teknik pilihan untuk memeriksa dan

mengukur lapisan serabut syaraf retina yang dapat dijadikan marker

terhadap degenerasi aksonal dan untuk pemantauan pengobatan

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Chapter II

neuroprotektif (Zaveri, et al., 2008). Analisis diskus optikus pada Stratus

OCT yang dilakukan berdasarkan Fast Optic Disc Scan dan Fast Macular

Thickness ( Fast Macular Map dan Fast Retinal Nerve Fiber Layer 3,4

Thickness) .

Pemeriksaan tersebut menggunakan 6 garis berukuran 4 mm

untuk mendapatkan data cross sectional dari diskus optikus. Analisis ONH

berguna untuk memeriksa dan mengukur syaraf optik dari masing-masing

6 scan tersebut secara tunggal maupun berbarengan.Hasil analisis terdiri

dari gambaran tunggal atau gambaran gabungan dari hasil semua scan.

Algoritme mendeteksi dan memperlihatkan lokasi bagian atas dan dalam

RPE pada setiap sisi diskus optikus. Titik referensi diskus diindikasikan

dengan gambaran silang di dalam lingkaran yang berwarna biru, dimana

sebuah garis yang menghubungkan titik-titik referensi tersebut merupakan

diameter diskus. Reference plane (garis offset cawan) ditentukan oleh

sebuah garis yang paralel terhadap garis diameter diskus dengan offset

150 Um ke anterior (garis putih). Luas rima neuroretina (daerah merah)

pada potongan melintang diestimasikan oleh luas yang dibatasi reference

plane sebagai batas posterior dan garis yang tegak lurus terhadap ujung

diameter diskus sebagai batas lateral. Lebar syaraf optik pada diskus

(garis kuning) di masing-masing sisi ditandai dengan garis lurus dari

setiap titik referensi ke titik yang paling dekat pada permukaan anterior.

Analisis data dilakukan terhadap masing-masing scan dan disatukan

manjadi hasil pengukuran ONH gabungan termasuk volume lebar rim

keseluruhan (integrasi dari luas rim vertikal pada potongan melintang),

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Chapter II

lebar rim keseluruhan (dikalkulasikan berdasarkan integrasi dari rata-rata

lebar syaraf pada diskus), luas diskus, luas cawan, luar rima (luas rim-luas

cawan), rasio cawan diskus vertikal, horisontal dan rasio luas, dan volume

cawan (Bowd, et al., 2000).

Analisis selular OCT juga mampu menampilkan lapisan demi

lapisan potongan melintang area sekitar papil 360 derajat dengan resolusi

tinggi. Analisis numerik ketebalan LSSR mengacu kepada “ISNT rule”

atau inferior, superior, nasal dan temporal rule yang merupakan acuan

standar yang digunakan untuk mendeteksi tanda-tanda awal dari

neuropati optik. Struktur seluler LSSR kuadran superior dan inferior

adalah yang paling sensitif terhadap perubahan tekanan bola mata dan

cenderung menjadi indikasi awal terjadinya glaukoma dan menjadi tanda

glaukoma pre perimetrik yang belum terdeteksi oleh pemeriksaan

lapangan pandang. Namun ketebalan kuadran lainnya juga memberikan

arti penting dalam fungsi penglihatan yang juga perlu dicermati (Kaushik &

Pandav, 2010). Dalam melakukan pemeriksaan OCT, salah satu yang

harus diperhatikan adalah kejernihan optik. Wong, et al., (2010),

melaporkan bahwa kekeruhan media optik dapat mempengaruhi hasil

pemeriksaan OCT. Kekeruhan media yang ada dapat menurunkan

kekuatan sinyal optik sinar OCT. Kekuatan sinyal berkisar 0 hingga 10.

Sinyal dibawah 6 menandakan hasil pengukuran yang kurang sahih dan

kurang terpercaya. Maka kekuatan sinyal adalah hal yang penting yang

harus diperhatikan dalam interprestasi hasil pemeriksaan (Lumbroso &

Rispoli, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Chapter II

Gambar 2.1. Gambar Stratus OCT

2. Pemeriksaan lapang pandangan

Pada glaukoma sudut terbuka primer dijumpai adanya kerusakan

lapang pandangan. Lapang pandangan monokular berbentuk ellips,

meliputi 60 derajat di superior, 75 derajat di inferior, 60-65 derajat di nasal

dan 100-110 derajat di temporal. Luas lapang pandangan binokular

meliputi 180 derajat melewati garis horizontal, 120 derajat bagian tengah

dapat dilihat secara simultan oleh kedua mata, sedangkan 30 derajat di

bagian perifer hanya dilihat oleh satu mata. Hilangnya lapang pandangan

tidak bersifat spesifik karena ada kelainan lain yang dapat menyebabkan

hilangnya lapang pandangan, namun pola hilangnya lapang pandangan,

progresifitas dan korelasinya dengan perubahan optik disk merupakan

karakteristik dari glaukoma. Hilangnya lapang pandangan pada glaukoma

terutama melibatkan 30 derajat sentral dari lapang pandangan.

3. Pengukuran tekanan intraokuli

Tekanan intraokuli normal berkisar 10-21 mmHg. Berdasarkan

American Academy of Ophthalmology, tekanan intraokuli pada glaukoma

sudut terbuka primer > 21 mmHg.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Chapter II

Pada glaukoma sudut terbuka primer untuk menentukan sudut bilik

mata maka dilakukan pemeriksaan sudut bilik mata dengan menggunakan

gonioskopi, dijumpai sudut bilik mata terbuka (Lisegang, et al., 2010).

Dewasa ini para peneliti tertarik kepada petanda spesifik kerusakan

syaraf optik untuk mengetahui patogenese, diagnosa dan kejadian

neurologis. Sampai saat ini ada beberapa petanda biokemis pada

glaukoma, antara lain:

a. Glutamat eksitotoksisiti

b. Petanda stress oksidatif: Malonildialdehyde (MDA)

c. Redox Enzyme: Catalase, Gluthathion Peoxidase (GPx),

Superoxide Dismutase (SOD)

d. Nitrix Oxide (NO)

e. Petanda kematian sel : TNF

f. Petanda inflamator : Interleukin 6

g. Petanda stress protein selular : Heat Shock Protein (HSP 70)

2. 5. Stress Oksidatif Marker Malonildialdehyde (MDA)

1. Sumber-sumber penghasil radikal bebas

Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologis normal, namun

pelepasannya meningkat pada saat iskemia, reperfusi, reaksi inflamasi

dan penyakit neurodegeneratif. Sumber-sumber endogen terbentuknya

radikal bebas meliputi sistem NADPH oksidase, reaksi fosforilasi oksidatif,

enzim oksidasi dan metabolisme arakhidonat, sedangkan sumber

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Chapter II

eksogen terbentuknya radikal bebas adalah radiasi ionisasi, merokok,

paparan polutan dan sinar ultraviolet (Droge, 2002, Young, 2001).

Stress oksidatif adalah ketidakseimbangan antara prooksidan

dengan antioksidan, dimana produksi radikal bebas melebihi kemampuan

penghambat radikal alamiah atau mekanisme scavenging (pembersih).

Mekanisme penghambat radikal bebas terdiri dari antioksidan endogen

dan eksogen. Antioksidan endogen terdiri dari superoksid dismutase

(SOD), glutation peroksidase (GPx), katalase, sedangkan antioksidan

eksogen terdiri dari vitamin C, betakaroten dan vitamin E (Block, et al.,

2002).

Gambar 2. 2: Sumber eksogen dan endogen radikal bebas (Droge, 2002;

Young, 2001).

Faktor lain yang sangat berbahaya pada stress oksidatif adalah

kandungan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi hampir 50% dari

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Chapter II

struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorbat 100 kali

lipat dibandingkan dengan pembuluh darah perifer, tetapi memunyai

enzim katalase, gluthation peroxidase yang lebih rendah daripada jaringan

lainnya, yang dapat meningkatkan terjadinya resiko stress oksidatif.

Radikal bebas merusak sel dengan bereaksi dengan makromolekuler sel

melalui proses peroksidase lipid, oksidase DNA dan protein (Block, et al.,

2002).

Kerusakan pada DNA baik disebabkan radikal bebas maupun

peroksinitrit mengakibatkan terbentuknya single strand break DNA dan

struktur ini akan mengaktifasi poli ADP ribose polimerase (PARP). Aktifasi

PARP mengakibatkan berkurangnya adenin nukleotida yang akan

menghambat fungsi mitokondria, sehingga terjadi penurunan ATP sel dan

mengakibatkan kematian sel. PARP juga dapat mengaktivasi apoptotic

inducing factor (AIF) di mitokondria. Mekanisme ini juga didukung dengan

berkurangnya infark pada otak tikus yang diterapi dengan PARP inhibitor.

Oksidasi protein oleh radikal bebas membentuk karbonil grup atau disulfid,

dan juga sebagai reduktan, menyebabkan formasi S-H dari ikatan S-S.

Kerusakan pada protein terutama bentuk enzim akan mengganggu

fungsinya (Lipton, et al., 1999).

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Chapter II

Gambar 2. 3: Metabolisme asam arakhidonat dan peroksidase lipid

(Lipton, et al., 1999)

2. MDA sebagai hasil utama peroksidasi lipid akibat stress oksidatif

PUFA yang banyak terdapat pada membran sel menjadi target

utama oksidan, karena sangat rentan terhadap terjadinya autokatalisis

peroksidasi. Pada kondisi suhu fisiologis abstraksi ion H selama fase

propagasi jauh lebih siap pada bentuk PUFA daripada monosaturated

lipids. Hal ini terjadi akibat terlepasnya ikatan dengan menggunakan

energi yang rendah sebesar ~ 10 kcal/mol dibanding bentuk yang

monosaturated. Adanya ikatan ganda pada jembatan metilen (-CH2-) grup

pada PUFA membuat lemah ikatan C-H pada atom karbon dan

memfasilitasi lepasnya atom hidrogen. Peroksidasi lipid merupakan

rangkaian reaksi yang terjadi dalam 3 fase (Favier, et al., 1995).

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Chapter II

Diawali dengan fase inisiasi, terjadi abstraksi ion H dari ikatan C-H

lipid dengan paparan oksidan dan terbentuk carbon centred lipid radical.

Kemudian diikuti dengan fase propagasi yang merupakan bagian yang

kompleks dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan

dengan O2 dan terbentuk radikal peroksid. Reaksi kedua pada fase ini

membuat peningkatan jumlah yang dramatis sehubungan dengan adanya

abstraksi ion H dari lipid oleh radikal peroksid membentuk lipid

hidroperoksidase. Penggabungan O2 dengan lipid radikal yang baru

terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid. Akhirnya

rangkaian peroksidase berakhir dengan satu atau lebih reaksi terminasi

(Burcham, 1998). Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut

ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Chapter II

Gambar 2. 4: Tiga fase reaksi berantai peroksidase lipid (Burcham,

1998) .

Alternatif lain, propagasi radikal akan bereaksi dengan pembasmi

radikal dan terbentuk non propagasi radikal yang terjadi akibat adanya

transfer dari elektron yang tidak berpasangan pada antioksidan.

Tergantung struktur kimia prekusor lipid, berbagai produk terbentuk

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Chapter II

selama fase propagasi dan teminasi. Hasil dari radikal asam lemak lebih

stabil dengan terbentuknya diene terkonjugasi, kemudian diikuti

terbentuknya produk yang lebih stabil seperti hidroperoksida, alkohol,

aldehid dan alkane. Banyak dari produk ini ditemukan dalam cairan tubuh.

Kelompok karbonil yang terbentuk pada proses peroksid lipid berupa n

alkenals (propanal, butanal, pentanal, heksanal dll), 2-alkenal (acrolein,

pentenal, heksenal dll), 2-4 alkadienals (heptadienal, oktadienal,

dekadienal), 4-hidroksi- 2,5-undekadienal, 5- hidroksi oktanal, 4-hidroksi-2

alkenals, dan malondialdehid. Komponen utama yang ditemukan dalam

sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh adalah MDA,

heksanal, dan HNE (Favier, et al., 1995).

Produk peroksidasi lipid diinduksi oleh oksidan dan stres oksidatif

menghasilkan produk dengan variasi yang luas, termasuk RCCs (

Reactivecarbonyl compounds) dan produk yang lebih stabil seperti keton

dan alkane. RCCs seperti aldehid dan dikarbonil, termasuk hidroksialkane,

akrolein, MDA, glyoxal dan methylglyoxal, sebagai komponen biologis

yang banyak dibahas. Aldehid bereaksi dengan protein pada sel dan

jaringan dan terbentuk adducts protein termasuk dalam kelompok ALEs

(advanced peroxidation end products) yang akan menyebabkan disfungsi

protein dan perubahan respon seluler. Kadar oksidasi dan bentuk adduct

protein dalam kondisi fisiologis menjadi rendah dan meningkat dengan

bertambahnya umur (Salvayre, et al., 2008), seperti yang dapat dilihat

pada Gambar 2.5.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Chapter II

Gambar 2.5: Tahapan skematis peroksidase lipid yang menghasilkan

bentuk produk sekunder dan adducts formations (Salvayre

et al., 2008).

MDA merupakan hasil utama peroksidasi asam arakhidonat,

eicosapentaenoic dan docosahexaenoic. HNE juga merupakan produk

yang dihasilkan oleh proses peroksidasi pada 2 PUFA yang banyak

didapatkan (asam arakidonat dan linoleat), namun jumlah yang dihasilkan

lebih sedikit dibanding MDA. Dimana produksi HNE 80 kali lebih rendah

dibanding MDA pada beberapa sistem. MDA juga terbentuk selama

biosintesis eicosanoid biosintesis, seperti pada metabolisme prostaglandin

H2 oleh tromboksan atau prostasiklin (Burcham, 1998). Lipid

Universitas Sumatera Utara

Page 33: Chapter II

hidroperoksida dan aldehid juga dapat diabsorbsi dari makanan, dimana

beberapa makanan yang mengandung MDA amino acid adduct dapat

diabsorbsi melalui usus dan diekskresi lewat urin (Halliwel, 2004)

Efek sitotoksik pada kultur sel (pada sel fibroblas dan endotelial)

berturut-turut berkurang 2,4-decadinal> hidroperoksida asam linoleat> 2,4-

non adienal> HNE> 2 alkena(C6 – C9) > alkanals(C5,C6). Formaldehid,

asetaldehid dan MDA memunyai toksisitas lemah. Sebagai contoh

fibroblas kulit yang diberi paparan 120 – 100mmol MDA tidak mengalami

lisis, tetapi mereka menunjukkan perubahan morfologi, mikro dan

multinuklear, pengurangan DNA, RNA dan sintesis protein (Esterbauer,

1993).

Gambar 2. 6: Rumus bangun MDA

Kadar MDA diukur dengan menggunakan spektrofotometri. Kadar

MDA dapat diperiksa baik di dalam plasma, jaringan maupun urin. Kadar

MDA pada orang normal kurang dari 1,03 nmol/ml dan 2 kali nilai tersebut

adalah patologis

3. MDA sebagai petanda biologis stres oksidatif

Menurut NIH Biomarker Working Group (1998), definisi penanda

biologis adalah suatu karakteristik yang bisa diukur dan dievalusi sebagai

indikator proses biologis normal, proses patologis dan respon

farmakologis terhadap intervensi terapi (Donne, et al., 2006).

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Chapter II

WHO International Programme on Chemical Safety (ICPS)

memberikan definisi sebagai suatu substansi, struktur atau proses yang

dapat diukur pada tubuh dan produk-produk tersebut dapat berpengaruh

atau memprediksi insiden keluaran atau penyakit. Sebagai prediktor suatu

penyakit harus memunyai validitas berupa sensitifitas, spesifisitas dan

pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi. Faktor

tambahan lainnya seperti tidak invasif dan reproducible (Donne, et al.,

2006).

Validasi petanda biologis membutuhkan beberapa tahapan yang

berbeda. Satu tahapan yang meliputi pengembangan prosedur, analisis

referensi material, dan kontrol kualitas. Tahapan yang lain dengan melihat

adanya perubahan konsentrasi petanda biologis menyebabkan

perkembangan penyakit. Perkembangan terakhir mengenai petanda

biologis, belum didapatkan yang memenuhi semua persyaratan yang

ideal, hanya didapatkan yang satu lebih baik dari yang lainnya. Banyak

petanda biologis stress oksidatif dan status antioksidan telah dievaluasi,

tetapi hanya sedikit dilakukan validasi untuk mengetahui sensitifitas dan

spesifisitas secara sistematis dengan menggunakan model hewan coba

(Donne, et al, 2006).

BOSS (Biomarker oxidative Stress study) tahun 2002, merupakan

penelitian terakhir yang secara lengkap dilakukan, yang disponsori dan

diorganisir oleh National Institute of Environmental Health Sciences

(NIEHS) di Amerika Serikat, yang merupakan penelitian komprehensif

pertama untuk menilai beberapa marker stress oksidatif dengan model

Universitas Sumatera Utara

Page 35: Chapter II

yang sama untuk menentukan petanda biologis yang tidak invasif,

memunyai spesifisitas, sensitifitas dan selektifitas terbaik. Dengan model

pada hewan coba tikus yang diberikan CCl4 yang dapat menginduksi

terbentuknya kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Efek kerusakan

yang dilihat dari produk hasil peroksidasi lipid, protein dan DNA diukur dari

sampel plasma darah dan urin, dan dinilai hubungan dengan dosis dan

waktu. Berbagai substansi yang diteliti meliputi lipid hidroperoksida,

thiobarbituric acid reactive substancector (TBARS), MDA, isoprostan,

protein karbonil, 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OhdG), leukocyte DNA-

MDA adduct dan DNA strand break. Peneliti menyimpulkan kadar plasma

MDA, kadar isoprostan dalam plasma dan urin, sebagai petanda biologis

stress oksidatif yang reliabel (Kadiska, et al., 2005).

MDA dan 4 hydroxynonenal (HNE) merupakan produk utama hasil

oksidasi PUFA dan MDA merupakan salah satu yang paling sering

digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. MDA juga digunakan secara

luas sebagai petanda biologik stress oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan

pada penelitian dalam jumlah besar. MDA merupakan produk peroksidasi

lipid yang relatif konstan terhadap proporsi peroksidasi lipid, oleh karena

itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan (rate)

proses peroksidasi lipid in vivo (Block, at al., 2002).

TBARS (thiobarbituric acid reactive substancector) pada tubuh

manusia bukan produk yang spesifik. TBARS dapat bereaksi dengan

aldehid yang lain termasuk MDA. Dengan metode HPLC/mass

spektrofotometri yang dapat memisahkan ikatan MDA - TBA dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Chapter II

kromogen pengganggu lainnya, sehingga akan meningkatkan sensitifitas,

spesifitas dan reproducibility. Derivat ketiga spektrofotometri akan

mengeliminasi interferensi substansi lain (alkana, 4-hidroksinonenal dan

komponen biologis lain) (Donne, et al., 2006).

4. MDA dan glaukoma

Mekanisme oxidation-reduction memunyai peranan yang penting

pada mata. Radikal bebas dapat menyebabkan perubahan molekuler

yang besar pada mata terutama pada glaukoma, katarak, age related

macular degeneration (Moteno, et al., 2004).

Pada glaukoma, terjadinya peningkatan tekanan intraokuli dan

kerusakan lapang pandangan dikatakan berhubungan dengan terjadinya

kerusakan oksidatif DNA pada trabekular meshwork. Penemuan ini dapat

dijadikan sebagai dasar bahwa stress oksidatif berhubungan dengan

patogenese terjadinya glaukoma (Sacca, et al., 2007).

Salah satu radikal bebas yang dapat dijadikan sebagai biomarker

pada glaukoma adalah MDA. Menurut penelitian Ate, et al, (2005), terjadi

peningkatan nilai plasma MDA pada penderita glaukoma dibandingkan

grup kontrol dimana pada grup studi nilai MDA 6,88 ± 0,96 nmol/ml dan

pada grup kontrol 2,94 ± 0,26 nmol/ml (p=0,001), sedangkan nilai plasma

katalase dan myeloperoksidase tidak dijumpai perbedaan yang bermakna

dengan grup kontrol (p=0,919) (Ate, et al., 2005).

Penelitian Ghanem, et al, (2010), yang menilai hubungan stress

oksidatif marker dengan severity dari glaukoma ternyata pada humor

Universitas Sumatera Utara

Page 37: Chapter II

akuous penderita glaukoma dijumpai nilai MDA yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol dan terjadi korelasi positif antara nilai MDA

yang tinggi dengan rusaknya lapang pandangan (Ghanem, et al, 2010).

Berdasarkan penelitian Faschinger, et al, (2006), terdapat korelasi

positif nilai MDA pada serum dengan humor akuous pada penderita

glaukoma sudut terbuka dimana tidak terjadi perbedaan bermakna antara

nilai MDA humor akuous dengan serum dan plasma.

2.6. Redox Enzyme Gluthathion Peroxidase

1. Gluthathion

Gluthathion (glutamilcysteinglisin) adalah tripeptida yang terdiri atas

asam glutamat, sistein dan glisin. Senyawa ini dalam bentuk tereduksi

ditulis sebagai GSH. Dalam keadaan teroksidasi, 2 molekul glutation

terikat melalui ikatan –S-S- dan ditulis GSSG (Meister, 1995).

Gluthathion disintesis di sitosol oleh enzim y-glutamilsistein

sintetase dan GSH sintetase. Mekanisme transport glutation ke dalam

matriks mitokondria terjadi melalui sistem transport yang berafinitas tinggi

dan dirangsang oleh ADP dan ATP. Mitokondria hati dan ginjal

mengandung 15% dari glutation total dalam sel. Konsentrasi glutation

lebih tinggi di mitokondria dibandingkan di dalam sitosol (10mM vs 7 mM)

(Meister, 1995).

Oksidasi GSH menjadi bentuk GSSG terjadi secara nonenzimatik

dan secara enzimatik melalui kerja enzim glutation peroksidase.

Konsentrasi GSSG dipertahankan agar tetap rendah di dalam sel (5-

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Chapter II

50uM). Reduksi GSSG terjadi melalui kerja enzim glutation reduktase

yang memerlukan NADPH. Peristiwa ini dapat terjadi di sitosol dan

mitokondria. Dibawah kondisi stress oksidatif, GSSG keluar dari

mitokondria dan melewati membran sel mitokondria (Reed, 1995).

Pada keadaan normal, mitokondria menghasilkan ROS, 2-5% dari

ROS tersebut yang digunakan oleh mitokondria akan mengalami konversi

melalui kerja superoksida dismutase menjadi hidrogen peroksida (H2O2).

Pada kondisi fisiologis, ROS yang terbentuk akan dinetralkan melalui kerja

enzim glutation peroksidase. Akan tetapi apabila terjadi deplesi glutation,

ROS yang terbentuk akan berakumulasi dan dapat menyebabkan

kerusakan pada mitokondria. Kerusakan mitokondria diperlihatkan dengan

terjadinya penurunan sitrat sintesa sampai 80% dan menyebabkan

disintegrasi membran mitokondria. Deplesi glutation pada mitokondria

dapat menyebabkan hilangnya viabilitas sel yang dilihat dengan adanya

peningkatan pelepasan laktat dehidrogenase atau peroksidase lipid

(Richter, et al., 1995).

2. Gluthathion peroxidase

Gluthathion peroxidase ini merupakan suatu enzim yang memiliki

selenosistein pada tempat aktifnya dan tergantung selenium untuk

aktifitasnya. Gluthathion peroxidase ditemukan di sitosol dan mitokondria

pada sejumlah jaringan. Enzim ini mereduksi hidrogen peroksida (H2O2).

Tappel melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase hanya spesifik

Universitas Sumatera Utara

Page 39: Chapter II

terhadap hidroperoksida dengan struktur ROOH dan aktivitasnya rendah

terhadap ROOR (Awasthi & Beutler, 1995)

2 GSH + ROOH H20 + GSSG + ROH

Gluthathion peroxidase pertama kali dideteksi oleh Mills pada tahun

1957 dalam eritrosit dan berfungsi melindungi hemoglobin dari

pemecahan oksidatif. Sel darah merah diketahui menghasilkan hidrogen

peroksida melalui reaksi antara asam askorbat dan oksihemoglobin dan

dekompensasi anion oksigen oleh superoksida dismutase (Kayatama, et

al., 1997).

Gluthathion peroxidase terdiri atas 4 subunit protein, tiap unit

mengandung satu atom selenium (Se) pada tempat aktif (active site).

Selenosistein adalah asam amino sistein yang sulfurnya diganti oleh

selenium (R-Se-H menggantikan RSH). Selanjutnya selenol (ikatan antara

protein-Se) bereaksi dengan peroksida menghasilkan asam selenonat

(protein-SeOH) (Halliwel, 1998).

Protein-Se+ROOH+H ROH+Protein-SeOH

Kemudian diikuti dengan ikatan GSH

Protein-SeOH-GSH H2O+Protein-Se-SG

Diikuti ikatan kedua dengan GSH

Protein-Se-SG-GSH Protein-Se-GSSG Protein-Se+H+GSSG

Gambar 2.7 : Reaksi gluthathion peroxidase dengan oksidan

Universitas Sumatera Utara

Page 40: Chapter II

2. 7. Penatalaksanaan

Tujuan utama pada pengobatan glaukoma adalah untuk melindungi

fungsi penglihatan dengan cara mencegah kerusakan dari syaraf optik

lebih lanjut dan menurunkan tekanan intraokuli. Pengobatan glaukoma

biasanya dimulai dengan pemberian obat tunggal yang tergantung pada

tekanan intraokuli awal. Bila pemberian obat tunggal tidak berhasil maka

digunakan kombinasi beberapa obat. Bila dengan kombinasi obat juga

tidak berhasil dilakukan bedah laser dan terapi pembedahan ataupun

gabungannya. Mengingat setiap obat memunyai efek samping lokal

maupun sistemik dan kemampuan penderita yang berbeda-beda maka

diperlukan acuan yang rasional agar tercapai kepuasan dalam kualitas

hidup. Acuan yang rasional adalah suatu target pressure dimana

diharapkan penurunan tekanan intraokuli > 20% dari garis batas tekanan

intra okuli yang dianggap normal. Obat-obatan ini dalam menurunkan

tekanan intraokuli harus memunyai aksi pada dinamika akuous humor.

Mekanisme kerja obat-obat ini dapat melalui salah satu dari ketiga jalur

yakni (Skuta, et al., 2010, Ritch, 1996).

• Menurunkan produksi humor akuous

• Menaikkan aliran humor akuous melalui jalur trabekula

• Menaikkan aliran humor akuous melalui jalur uveosklera

Selain untuk menurunkan tekanan intraokuli, sehubungan dengan

patogenese glaukoma saat ini yang berhubungan dengan kerusakan

syaraf optik, maka dicoba penggunaan neuroprotektif yang dikatakan

dapat bermanfaat untuk memperbaiki kerusakan dari syaraf optik dan

Universitas Sumatera Utara

Page 41: Chapter II

sekaligus sebagai antioksidan (Schwartz, 2003). Pendekatan

neuroprotektif melalui beberapa teori yakni :1) mencegah apoptosis

dengan cara menghambat TNF dan aktivitas caspase, 2) menghambat

Ca yang berlebihan, dan 3) menghambat toksisitas nitric oxide dan

menghambat radikal bebas (Ritch, 1996).

Dalam penelitian ini yang

digunakan adalah ginkgo biloba

2.8. GINKGO BILOBA

Ginkgo biloba adalah satu dari spesies tanaman yang tertua dan

daunnya sering digunakan sebagai studi percobaan sampai saat ini. Tidak

seperti tanaman herbal lainnya, ginkgo biloba dibuat dalam bentuk ekstrak

ginkgo biloba yang dipersiapkan dari daun-daun hijau yang sudah

mengering. Di Amerika dan Eropa, suplemen ginkgo ini merupakan jenis

obat herbal yang paling laku (Ernst, 2001)

Di dataran China, ekstrak ginkgo biloba telah dikenal terlebih

dahulu dan digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk mengobati

penyakit sirkuler dan menambah ingatan. Dikatakan bahwa ekstrak ginkgo

biloba efektif untuk mengobati penyakit dengan penurunan aliran darah ke

otak terutama pada usia tua. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan

bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat meningkatkan sirkulasi aliran darah

dengan adanya dilatasi pembuluh darah (Diamond, 2000).

Lebih dari 40 komponen yang terdapat dari pohon ginkgo biloba,

tetapi hanya 2 komponen yang bermanfaat sebagai herbal yaitu flavonoids

dan terpenoid. Komposisi flavonoid yang utama adalah quercetin,

Universitas Sumatera Utara

Page 42: Chapter II

khaemferol dan isorhamnetin (Jutetzek, 1997). Struktur komponen ginkgo

biloba diperlihatkan pada hal berikut.

Struktur akan diperlihatkan pada Gambar 8, 9, 10 dibawah ini

Gambar 2.8 : Structure of ginkgolides

Gambar 2.9: Structure of bilobalide

Universitas Sumatera Utara

Page 43: Chapter II

Gambar 2.10: Structure of Quercetin, Kaempferol & Isorhamnetin

Ekstrak daun ginkgo biloba ini kaya akan air-aseton atau air-ekstrak

etanol. Standartnya, ginkgo biloba terdiri 22-27% flavon-glikosida, 5-7%

terpene lakton (2,8-3,4% terdiri atas ginkgolide A, B, C dan 2,6-3,2%

terdiri atas bilobalide) dan kurang dari 5 mg/kg terdiri atas asam ginkgolik

(Juretzek, 1997).

Dikatakan bahwa ginkgo biloba dapat melewati sawar darah otak.

Sawar darah otak terbentuk dari sel-sel endotel kapiler. Sistem syaraf

pusat dipisahkan dari sirkulasi sistemik oleh sel endotel kapiler, sel epitel

pleksus koroid dan lapisan araknoid. Permukaan area yang luas di kapiler

otak menyebabkan hubungan yang lebih ekstensif antara darah dan otak.

Kapiler memiliki lapisan tunggal sel endotel yang dikelilingi lamina basalis

dengan tonjolan prosesus astrosit pada dindingnya. Diantara sel-sel epitel

Universitas Sumatera Utara

Page 44: Chapter II

terdapat tight junction yang berfungsi mempertahankan integritas sawar

darah otak (SDO) dan sawar otak liquor serebrospinalis (Milburry, 2009).

Tatap muka SDO menyediakan satu sawar untuk mempertahankan

keseimbangan osmotik dan elektrolit. Kemampuan molekul untuk

menyeberang SDO tergantung dari kelarutan molekul dalam lemak,

ukuran molekuler, bentuk dan karakter ikatan protein. SDO juga berperan

pada mekanisme efflux aktif yang mengatur kelarutan substrat melalui

kemampuan pelarutan di lemak dan berdasarkan berat molekul suatu zat.

Dikatakan bahwa flavonoids dan substratnya dapat mengubah sawar

darah otak dan masuk ke sistem syaraf pusat yang tergantung dari sifat

lipofiliknya dan polaritasnya (Greenstein, 2000).

Pada satu studi invitro terdapat dua aspek interaksi antara molekul

flavonoid dan sawar darah otak yaitu masukan/uptake dari flavonoids dan

glukoronid pada sel endotelial otak (END5 dan RBE 4) dan kemampuan

permeabilitas melewati sawar darah otak secara invitro (ECV 304 cells co-

cultured dengan C6 sel-sel glioma). Kedua sel endotelial otak ini diterapi

dengan campuran hesperetin, naringetin, epicatechin dan glukoronid.

Hasilnya menunjukkan bahwa flavonoid dapat menurunkan uptake dari

END5 dan RBE4 (de Boer, 2007).

1. Ketersediaaan Hayati Oral Flavonoids

Kebanyakan flavonoids berasal dari cathecins yang biasanya

berasal dari tanaman yang mengandung B-glycosides. Sebelum

diabsorbsi ke sirkulasi sistemik, glikosida ini harus membentuk

Universitas Sumatera Utara

Page 45: Chapter II

deglikosilasi (Nemeth, et al, 2003). Proses ini kebanyakan terjadi di lumen

intestinal yang melalui kerja 2 enzim yakni lactase phloridzin hydrolase

(LPH) dan cytosolic B-glucocidase (CBG). Transport aktif dari hydropilic

glikosida ini masuk ke dalam sel melalui sugar transporter SGLT-1

(Nemeth, et al., 2003). Glikoside yang tidak mengandung LPH atau SGLT-

1 akan ditransport ke dalam kolon dimana bakteri akan mampu

menghidrolisa glikosida flavonoid (Holmann, 2004).

Beberapa literatur, kadar quercetin dan isorhamnetin dalam plasma

yang merupakan komposisi dari flavonoids sekitar 12 nmol/l dan 4,3 nmol/

l dengan waktu paruh 5-7 jam (Mullen, et al., 2006).

2. Peran Ginkgo Biloba pada sistem syaraf

Dilaporkan bahwa ekstrak ginkgo biloba dapat menambah

memori/ingatan. dengan dosis 120 mg/hari dikatakan efektif pada

penderita dementia Alzeimer. Dikatakan bahwa ekstrak ginkgo biloba

dapat menurunkan produksi kortikosteroid, meningkatkan aliran darah

serebral, meningkatkan produksi ATP dan metabolisme mitokondria

(Juretzek, 1997). Menurut Winter, pemberian ginkgo biloba 100mg/kg

pada tikus coba selama 4-8 minggu dapat meningkatkan memori (Winter,

1991). Cohen-Salmon juga menyatakan bahwa pemberian ginkgo biloba

40 mg/ kgBB pada hewan coba tikus muda (6 bln) dan tikus tua (22 bulan)

selama 1-3 minggu dapat meningkatkan memori (Cohen-Salmon, et al.,

1997). Krieglestein dan Cowokers yang meneliti pada hewan coba rodent,

pemberian bilobalide dan ginkgolide A, B dapat menurunkan area infark

Universitas Sumatera Utara

Page 46: Chapter II

pada brain surface tikus sebelum terjadinya oklusi dan pemberian injeksi

ginkgo biloba setelah global forebrain ischemia dapat meningkatkan aliran

darah serebral (Krieglestein, et al., 1995).

Kim, et al., (1997), juga menyatakan bahwa flavonoids (quercetin,

kaemferol, sciadopitysin, ginkgetin, isoginkgetin) dapat meningkatkan

produksi kollagen dan fibrovaskular ekstraselular dari jaringan fibroblast

kulit secara invitro dan bilobalide dapat melindungi kematian neuron akibat

iskemia dan glutamat eksitoksisiti (Kim, et al., 1997).

Berdasarkan DeFeudis FV, dikatakan juga bahwa ekstrak ginkgo

biloba memunyai reaksi spasmolitik pada dinding arteri sehingga terjadi

dilatasi pembuluh darah. Efek dilatasi pembuluh darah ini terjadi akibat

pelepasan dari nitrix oxide. Selain itu dinyatakan juga bahwa ekstrak

ginkgo biloba dapat meningkatkan perfusi kapiler dan membantu aliran

balik pembuluh darah vena dan membersihkan toksin metabolik yang

terkumpul di dalam jaringan pada saat jumlah oksigen tidak tercukupi

(DeFeudis, 1999).

Flavonoid juga memunyai efek sebagai antioksidan. Flavonoids ini

dapat menurunkan jumlah radikal bebas yaitu dengan cara menurunkan

sel-sel membran lipid peroksidase sehingga dapat melindungi sel. Lipid

peroksidase ini apabila berikatan dengan radikal bebas dapat

menyebabkan kerusakan sel membran dan menambah produksi radikal

bebas. Terpenoids terdiri atas bilobalide dan ginkgolides. Bilobalides ini

berhubungan erat dengan ginkgolides. Bilobalides memunyai efek

perlindungan terhadap sel-sel syaraf melalui regenerasi sel-sel syaraf

Universitas Sumatera Utara

Page 47: Chapter II

motorik. Sedangkan ginkgolides dapat menghambat aktivitas dari platelet

activating factor (Nishida & Satoh, 2003).

Gambar 2.11: Diagram manfaat ginkgo biloba (DeFeudis,1999)

Berdasarkan diagram, ginkgo biloba memunyai efek antioksidan,

neuroprotektif dan antiinflamasi.

Pengunaan ginkgo biloba pada mata juga pernah dicoba pada

penderita age related macular degeneration dan hasilnya dijumpai adanya

perbaikan pada ganglion sel retina (Evans, 2000). Begitu juga pada

peneltian hewan coba tikus yang bertekanan bola mata tinggi diterapi

dengan ginkgo biloba selama 5 bulan dan hasilnya terjadi perbaikan pada

sel-sel ganglion retina dibandingkan dengan kontrol (Hiroka, et al., 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 48: Chapter II

Jadi penggunaan ginkgo biloba berguna untuk:(Wang, et al., 2006):

1. Meningkatkan fungsi otak.

2. Menguatkan (strengthening) sistem serebrovaskular dan

kardiovaskular dengan menghambat agregasi platelet dan

meningkatkan aliran darah dan suplai oksigen.

3. Menetralkan radikal bebas yang dapat merusak syaraf dan

accelerate aging.

4. Menstabilisasi produksi energi selular (konsentrasi yang tinggi

dari ATP, glukosa, kreatinin fosfat dan menurunkan nilai laktat).

Ginkgo biloba ini tersedia dalam bentuk ekstrak yang berisi 24-32%

flavanoids dan 6-12% terpenoids terdiri dari kapsul, tablet, liquid ekstrak

dan juga teh. Dalam bentuk tablet dosisnya 40 mg. Pemberian ginkgo

biloba umumnya 120 mg/hari. Ginkgo biloba ini kurang efektif apabila

diberikan bagi pasien yang memakan obat antidepresan dan juga bagi

wanita hamil (Ernst, 2001).

Efek samping yang mungkin dijumpai adalah gangguan

gastrointestinal, sakit kepala, dan kelelahan.Tetapi pada satu penelitian

pernah dijumpai perdarahan intrakranial paska pemberian ginkgo biloba

dengan dosis tinggi (Bent, et al., 2000)

3. Ginkgo Biloba dengan MDA dan GPx

Sun,et al., (2002), mendeskripsikan bahwa flavonoids dapat

menghambat aktivitas beberapa enzim seperti lipooksigenase,

siklooksigenase, monooksigenase, xantin oksidase, glutation -S-

Universitas Sumatera Utara

Page 49: Chapter II

transferase, mitokondrial succinil- oksidase, NADH oksidase, lipid

peroksidase, phospolipase dan protein kinase. Flavonoids mampu

mendetoksifikasi phase II enzym (NADPH-oxidoreduktase, glutation

transferase, glukoronyl transferase dan lipid peroksidase). Pada

flavonoids ini terdapat regulasi ekspresi gen protektif yang dapat

diperantarai oleh EpRE (Electrophylic Respons Element). Kemampuan

flavonoids untuk mengaktivasi EpRE berkorelasi dengan redox properties.

Dikatakan bahwa flavonoids dengan kemampuan potensial intrinsik yang

tinggi dapat menghambat stress oksidatif dan redox cycling (Winkel &

Shirley, 2001). Jadi dapat disimpulkan bahwa bahwa aktifitas flavonoids

dapat menyebabkan detoksifikasi .

Formica, (1995), bahwa efek sitoprotektif dari quercetin ditemukan

dalam menghambat hidrogen peroksida (H2O2) pada kultur hewan coba

yang terdeteksi hepatocyte Bl-9. Sel tersebut kaya akan ekspresi sitosol

GPx. Beberapa peneliti juga mendeskripsikan bahwa aktifitas flavonoids

berhubungan dengan aktifitas GPx dan aktivitas dari survival signaling

protein (protein kinase dan extracelluler regulated kinases) dengan

adanya peningkatan aktifitas GPx dan GSH pada hepatosit manusia yang

disebabkan oleh flavonoids.

Universitas Sumatera Utara

Page 50: Chapter II

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

2.9. Kerangka Teori

GB

GB

Diagram 2.1. Bagan Kerangka Teori

Glaukoma

Penurunan perfusi

Kerusakan neuron sekunder

Kerusakan neuron primer

Peningkatan TIO

mekanis iskemik

Eksitotoksik glutamat

pompa Na+K+ ↑

Reseptor mGluR↑

Cedera reperfusi

Respon inflamasi ↑

Kerusakan sel ganglion retina

ROS ↑ (MDA ↑dan

GPx ↓)

Influx Ca2+↑

Ca2+ intrasel ↑

NO ↑

Peroksinitrit↑

Lipid peroksidase ↑

apoptosis

Trabecular meshwork

collapse enlargement

Kehilangan sel-sel endotel T.meshwork

TIO↑

Kerusakan mitokondria

Pelepasan Ca2+ ↑

Resistensi Humor akuous

T.Meswork

Universitas Sumatera Utara

Page 51: Chapter II

2.10. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Mayor

Terjadi hubungan antara perubahan kadar stress oksidatif marker

malonildialdehyde dan redox enzyme gluthathion peroxidase

dengan progresifitas syaraf optik paska pemberian ginkgo biloba

pada penderita glaukoma sudut terbuka primer

2. Hipotesis Minor

a. Pemberian ginkgo biloba akan menurunkan kadar MDA pada

glaukoma sudut terbuka primer

b. Pemberian ginkgo biloba akan meningkatkan kadar GPx pada

glaukoma sudut terbuka primer.

c. Terdapat perbedaan kadar MDA yang mendapat ginkgo biloba

dengan kadar MDA yang tidak mendapat ginkgo biloba pada

glaukoma sudut terbuka primer.

d. Terdapat perbedaan kadar GPx yang mendapat ginkgo biloba

dengan kadar GPx yang tidak mendapat ginkgo biloba pada

glaukoma sudut terbuka primer.

e. Terdapat hubungan antara perubahan kadar MDA dan GPx

dengan progresifitas syaraf optik.

Universitas Sumatera Utara

Page 52: Chapter II

2.11. Kerangka Konseptual

Diagram 2.2. Bagan Kerangka Konseptual

GLAUKOMA

Kerusakan sel ganglion retina

Progresifitas syaraf optik ↓

ROS ↑ Kehilangan sel endotel

T.Meshwork

MDA ↑ GPx ↓ TIO↑

GB Terapi standar

MDA ↓ GPx ↑ TIO ↓

lapang pandangan ↓

Kerusakan syaraf optik

lapang pandangan ↑

(MD dan PSD)

Kerusakan syaraf optik ↓

Universitas Sumatera Utara