chapter ii
TRANSCRIPT
-
BAB II
DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN
A. Perceraian dan Akibat Hukumnya
1. Perceraian
Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-isteri karena sebab-sebab tertentu
yang tidak memungkinkan lagi bagi suami-isteri untuk meneruskan kehidupan rumah tangga
disebut dengan cerai.45
Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan
dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan
saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.46 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.47
Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu
bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai
suami isteri lagi.
Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian,
karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun diikuti dengan
perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab
45 Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http//:ebsoft.web.id, diakses pada tanggal 2 Oktober
2011. 46
Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 47
Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
-
Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang dan
pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.48
Oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah
dibentuk dapat putus antara lain karena:49
a. Kematian,
b. Perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suami/istri
atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap
telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.
Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya perkawinan yang
dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk melanjutkan rumah tangganya.
Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk
diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-
alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:50
a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
48 R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.
49 Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
50 R.Subekti, op cit, Pasal 209
Universitas Sumatera Utara
-
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain;
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suamiisteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya perkawinan
berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. Selain karena hal pengajuan gugatan
perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dilapangan juga
dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.
Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah
satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika dibutuhkan Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau
menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.51 Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang
telah diceraikan tersebut tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya
sendiri.52
Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada
salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut berasal dari harta
kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk
itu.53
2. Akibat Hukum Perceraian
51 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
52 R.Subekti, op cit, Pasal 225
53 Ibid
Universitas Sumatera Utara
-
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.54 Sedangkan
pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur
oleh hukum.55 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di
dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1
tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1) Terhadap anak-anaknya,
2) Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).
3) Terhadap Nafkah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak
berupa benda atau uang dan lainnya).
1) Terhadap anak-anaknya
Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua
karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami
meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.56 Hal ini menyebabkan :
a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua,
terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi
permasalahan mereka.
b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan
anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasi.
54 J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 104.
55 ibid, hal 101.
56 Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal 29.
Universitas Sumatera Utara
-
c. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk
hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik. Jadi
akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.
Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa sebagai akibat bentuk pengabaian
tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci,
sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi
kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang
kriminal lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan
loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga.
Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja.
Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan
perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik,
tingkah laku asusila dan kebiasaan delinkuen.57
Lebih lanjut Kartini Kartono juga mengatakan bahwa penolakan oleh orang tua atau
ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam,
rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu
menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmoni sosial dan
lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu
menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta
menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata
ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang
berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus
57 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja., Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17.
Universitas Sumatera Utara
-
delinkuen dan karakter pada diri anak.58 Akan tetapi, semua bentuk ketegangan batin dan konflik
familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu
juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki.59 Sehingga
anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal.60
Peristiwa perceraian, apapun alasannya, akan membawa dampak bukan hanya bagi
mantan suami dan istri tersebut akan tetapi juga bagi anak. Anak biasanya akan mengalami
dampak negatif dari perceraian sehingga tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua
secara bersamaan, karena tidak jarang pecahnya rumah tangga akan mengakibatkan terlantarnya
pengasuhan anak.
Konsekwensi hukum dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan adanya
perceraian adalah bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak menjadi hapus dan berubah, dari
kekuasaan orang tua menjadi kekuasaan wali.61 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 masih berada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu belum dicabut.62
Walaupun pada dasarnya masih orang tua si anak juga yang menjalankan pengasuhan terhadap
anak tersebut.
Menurut Pengadilan, setelah terjadinya perceraian maka Pengadilan akan memutuskan
siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan
pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak,
masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak
asuh.
58 Ibid, hal 18.
59 Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
60 Kartini Kartono, Op.Cit, hal 18.
61 R.Subekti, op cit, Pasal 206 ayat (2)
62 Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
-
Sengketa hak pemeliharaan anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta
putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak pemeliharaan
sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan.
Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah,
biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan
ibu tidak boleh menghalanghalangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga
sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan
mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.63
Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Sebagai
ibu atau bapak mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada
perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata
mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat
memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.64 Kewajiban orang
tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang
tua putus.65
Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut
Undang-undang perkawinan adalah sebagai berikut:66
63 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011. 64
Pasal 41 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 65
Pasal 45 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 66
Pasal 41 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak- anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi
kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah kekuasaan
orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar
pengadilan.67 Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.68 Jika
orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap
anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat dimintakan ke
pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung
yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang dicabut tidak
menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak.69
Dengan demikian jelas bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
sebaik-baiknya sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus.
Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga
memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang
67 Pasal 47 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
68 Pasal 48 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.
69 Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi)
yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah
terjadi perceraian.
Apabila perkawinan antara seorang suami dengan seorang istrinya dalam suatu rumah
tangga, baik karena kematian (meninggal dunia salah seorang di antara mereka) maupun karena
terjadinya suatu perceraian di antara mereka dan karena putusan Pengadilan, maka akan
membawa akibat terganggunya proses pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anak yang
lahir dari perkawinan mereka tersebut. Oleh sebab itu salah seorang di antara kedua orang tuanya
harus menjadi pemelihara dan pendidik bagi anak tersebut, hal ini berhubungan erat dengan masa
depan dan perkembangan jiwa anak-anak yang masih memerlukan perhatian, kasih sayang dan
pendidikan dasar dari orang tuanya, khususnya bagi anak yang masih di bawah umur.
Pada umumnya apabila anak yang masih di bawah umur, maka hak untuk memelihara
dan mendidik anak tersebut akan diberikan kepada ibunya, hal ini sesuai dengan ketentuan
agama dan juga peraturan perUndang-undangan yang berlaku sekarang khususnya dalam
Undang-undang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya, disebabkan bahwa anak-anak di
bawah umur masih sangat memerlukan perhatian dari seorang ibu, sedangkan kepada seorang
ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak
mereka tersebut sampai dewasa.70
Jadi dalam hal ini apabila pihak yang diserahkan kewajiban memelihara dan mendidik
anak tidak melaksanakan dengan baik, maka dapat saja digugat kembali oleh pihak lain yang
berkepentingan terhadap anak tersebut. Gugatan tersebut dapat timbul setelah memperoleh hak
70 Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
asuh dan tanggung jawab dalam pemeliharaan dari anak tersebut, di mana dalam pelaksanaannya
penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.
2) Akibat terhadap harta
Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama
yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang
disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh dari masing-
masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu
Pasal 36 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan
harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama
bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan
hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan
sebagainya) yang menjadi kekayaan.71 Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu
harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.72 Maksudnya
adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.
Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami
isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun
71 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal 199
72 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 200
Universitas Sumatera Utara
-
harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta
pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.73
Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang- Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan itu pula J.Satrio menyimpulkan
bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :
1) Harta bersama
2) Harta Pribadi, dapat berupa:
a. Harta bawaan suami
b. Harta bawaan isteri
c. Harta hibahan/ warisan suami
d. Harta hibahan/ warisan isteri.
Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam)
perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan Pasal 35 Undang-
undang Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur menurut
hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu
perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian.
Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:
73 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999,
hal 156
Universitas Sumatera Utara
-
1) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta
bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing
suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.
2) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk
kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta guna kaya), jika
terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh
(Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k/
Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).74
3) Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata
yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan). Jika terjadi
perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH
Perdata juncto Pasal 37 Undang-undang Perkawinan belum memberikan penyelesaian
tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan
dualisme hukum. Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu
separoh bagi bekas suami dan separoh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata
memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas
istri.
Rumusan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan juga dibagi dua, separoh untuk bekas
suami dan separoh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas hak dan kedudukan
yang seimbang antara suami dan istri. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan
dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri.75
74 http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/harta_perkawinan/pembag_harta.htm, diakses pada tanggal 16
oktober 2011. 75
Pasal 37 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung
pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain.
Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri
walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara
suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam.76
B. Pengasuhan Anak Menurut Hukum
Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) ialah dimulai saat
berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan dan berakhir pada saat ia
meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1)
dan (2) KUHPerdata Indonesia bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan
dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya, mati
sewaktu dilahirkannya dianggap ia tidak pernah telah ada.77
Hukum perdata mengatur setiap manusia pribadi mempunyai hak yang sama untuk
didukung hak dan kewajibannya, manusia mempunyai kewenangan berhak sejak ia dilahirkan,
bahkan sejak dalam kandungan ibunya asalkan ia lahir hidup apabila kepentingannya
menghendaki.78 Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak sejak ia masih dalam kandungan
dan lahirnya harus hidup.
Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukaan orang lain
dalam kehidupannya, baik dalam pertumbuhan fisiknya. Peran seorang ayah yang berkewajiban
dalam membiayai nafkah pemeliharaan dan pendidikan seorang anak agar si anak tersebut dapat
menjadi seseorang yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara kelak,
76 Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.
77 Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 1996, hal 4. 78
Abdul Qodir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hal, 45.
Universitas Sumatera Utara
-
mengingat tanggung jawab anak sebagai generasi penerus. Untuk kepentingan seorang anak,
sikap perduli dari kedua orang tua terhadap tanggung jawab biaya nafkah memang sangat
diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh, tidak terpelihara dan
tidak terarah seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu yang paling diharapkan adalah keterpaduan
keduanya yang akan bisa diwujudkan selama kedua orang tuanya itu masih tetap dalam
hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas mengasuh anak lebih
banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan dalam hal
memenuhi segala kebutuhan guna memperlancar tugas pengasuhan.
Harapan seperti tersebut di atas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara
ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian apapun alasannya merupakan malapetaka bagi anak,
di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan
mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada
terlantarnya pengasuhan anak.
1. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Setiap anak mempunyai hak yang sama dalam pemeliharaan dari orang tuanya.
Pemeliharaan menurut etimologi adalah proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan,
perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan.79
Dalam Hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan al hadhinah yang dalam
pengertian istilah hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri,
biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.80
79 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit., hal. 848
80 Ash Shaani, Subulus Salam, (Surabaya : Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, Al Ilkhlas, 1995),
hlm. 819
Universitas Sumatera Utara
-
Al-Hadhnah berasal dari kata hadhanayahdhunuhadhnan wa hidhnah wa hadhnah.
Secara bahasa hadhnah memiliki dua arti pokok. Pertama dari al-hidhnu (dada), yaitu anggota
tubuh antara ketiak dan pinggang. Dari sini jika dikatakan, Ihtadhana al-walad, artinya
mendekapnya, yaitu merengkuh dan meletakkannya di dalam dekapan (pelukannya). Kedua, al-
hidhnu adalah jnib asy-syayi (sisi sesuatu). Jika dikatakan, Ihtadhana asy-syaya,artinya
meletakkan sesuatu itu di sisinya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari
pihak lain. Hal itu seperti seekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya
sehingga telur itu berada di sisinya dan di bawah pemeliharaannya.81
Pengertian lain dari hadhanah adalah di samping atau berada dibawah ketiak. Merawat
dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena
tidak bisa mengerjakan keperluan sendiri. Menurut Hukum Islam apabila bercerai dua orang
suami-isteri, sedang keduanya sudah mempunyai anak yang belum mumayiz (belum mengerti
kemaslahatan dirinya), maka isterilah yang berhak untuk mendidik dan merawat anaknya itu,
sehingga sampai ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam
hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz atau anak
belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir
sampai berusia 21 tahun, dan sesudah mumayyiz (Pasal 106 KHI).
Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih
mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut sangat
membutuhkan hidup di dekat ibunya. Masa mumayyiz dimulai sejak anak secara sederhana sudah
mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur
81 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
-
tujuh tahun sampai menjelang dewasa (baligh berakal). Pada masa ini anak sudah dapat
memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi
tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh
mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.82
Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri
sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah
anak maka pengadilanlah yang memutuskannya (Pasal 156 d dan e KHI).
Dalam putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan
anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah
diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan
mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban
membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan
dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap
bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.83
2. Pengasuhan Anak Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan perwujudan dari
falsafah Pancasila dan cita-cita pembinaan hukum nasional, yang sekaligus menampung prinsip-
prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.
82 Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam,
(Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), hal. 181 83
Ibid., hal. 200
Universitas Sumatera Utara
-
Penjelasan umum Undang-undang ini menyebutkan, bahwa sesuai dengan landasan
falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang- undang ini di satu pihak
harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945, sedang di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dewasa ini. Karena itu pula Undang-undang ini telah menampung di dalamnya
unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan, sehingga dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan, tidak ada perkawinan di
luar masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar
1945. Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.84
Menurut penjelasan Pasal 2 bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam Undang-undang ini.85
Perkawinan yang telah berlangsung sewaktu-waktu dapat putus, hal itu walaupun
dipandang masih secara negative didalam masyarakat namun oleh Undang-undang
diperkenankan jika antara suami dan istri sekiranya tidak dapat lagi untuk dipersatukan didalam
berumah tangga.
Putusnya perkawinan atau terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum yang
perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Mengenai hubungan suami istri adalah sudah
84 H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, halaman
104. 85
Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
-
jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan, persetubuhan menjadi tidak boleh lagi,
tetapi mereka boleh kawin kembali sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dalam perceraian perkawinan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974,Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Kewajiban dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Bersangkutan dengan hal tersebut diatas, mengenai anak, berdasarkan Pasal 41 ayat (1)
dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai akibat yuridis yang dapat terjadi
terhadap anak bila terjadi perceraian, yaitu:
1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.
Kemudian dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai
berikut :
1. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
2. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya
putus.
Universitas Sumatera Utara
-
Terhadap hal tersebut juga Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur
sebagai berikut:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
2. orang tua mewakili anaktersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan.
Apabila orang tua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu
melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang
tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan.
M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap
anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin
melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang
memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang
tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang
tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang
baik.86 Contohnya seorang orang tua yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan
kehidupan yang layak yang dikarenakan orang tua tersebut berada didalam penjara atau tidak
pernah diketahui keberadaannya.
Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut, akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari
kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :
86 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Rajawali, Medan , 1986, halaman 216.
Universitas Sumatera Utara
-
1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal- hal;
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan sangat buruk sekali
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.
Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui
tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi
persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. Jika berdasarkan Pasal 50
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan
anak diurus oleh seorang wali yang ditunjuk.Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu
adalah sama dengan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak tersebut,
yaitu meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.87
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka ia berada di
bawah kekuasaan wali.88 Perwakilan itu berfungsi untuk mengurus pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta benda yang dimilikinya.89
87 Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
88 Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
89 Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
Penunjukan Wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak dibawah umur
tersebut, yang oleh Undang-undang ditetapkan wali tersebut haruslah telah dewasa, berpikiran
sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak baik. 90
Akan tetapi meskipun demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang
menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua sianak tersebut meninggal,
dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.91
Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang di bawah
penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang berada dalam pengasuhannya
tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan menghormati agama serta kepercayaan anak
tersebut.92
Terhadap harta kekayaan si anak yang berada dibawah kekuasaannya, wali mempunyai
kewajiban untuk: 93
1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.
2. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya.
3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan
kesalahan wali.
4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak
yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
90 Pasal 51 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
91 Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
92 Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
93 Pasal 51 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
Selama melaksanakan kekuasaannya, wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
mengandaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak tersebut, kecuali apabila kepentingan
anak itu menghendakinya.94 Jika terjadi kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan
kesalahannya maka wali dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang
berada dibawah perwaliannya tersebut.95 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta
benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan
keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut.96
Dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan:
1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya,
2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang lain
sebagai wali.
3. Pengasuhan Anak Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Perceraian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan putusnya suatu
perkawinan dengan putusan Hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu
berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam Undang-undang ini. Dalam hal suami
istri tidak dapat hidup bersama lagi, Pasal 233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberi
kemungkinan kepada mereka untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tavel
en bed).
Perpisahan meja dan ranjang ini mempunyai akibat bahwa suami istri dibebaskan dari
kewajiban untuk bertempat tinggal bersama sedang perkawinan antara suami istri tidak
94 Pasal 52 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
95 Pasal 51 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
96 Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
-
dibubarkan.97Kecuali itu mengakibatkan juga perpisahan harta kekayaan antara suami dan istri,98
karenanya penguasaan suami atas harta kekayaan istri dipertangguhkan dan istri berkuasa
mengurus sendiri harta kekayaannya, karena ia telah mempunyai kebebasannya terhadap harta
kekayaannya.99
Setelah terjadinya perceraian menurut Pasal 225 KUHPerdata, apabila pihak suami atau
istri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang cukup
guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang
tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain. Begitu juga yang terjadi jika hal ini
diputuskan oleh Pengadilan Agama.
Terhadap anak-anak yang belum dewasa, menurut Pasal 229 KUHPerdata, oleh
Pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan bekas istri anak-anak itu
harus turut. Apabila yang diserahi anak itu tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak, maka menurut Pasal 230 KUHPerdata, Hakim dapat menentukan sejumlah
uang yang harus diberikan oleh pihak lain untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak tadi.
Dalam hal kekuasaan orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dalam Pasal
300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi pelepasan dan atau berlaku ketentuan-
ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu.
Selanjutnya ditentukan bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan
kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja
dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang,
97 R.Subekti op cit, Pasal 242.
98 R.Subekti op cit, Pasal 243.
99 R.Subekti op cit, Pasal 244.
Universitas Sumatera Utara
-
maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359. Berbeda halnya
menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, kekuasaan orang tua dipegang oleh kedua orang
tua selama kekuasaan kedua orang tua atau salah satu orang tua tersebut tidak dicabut.100
Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena ada kekhawatiran
bahwa tidak ada persesuaian antara ayah dan ibu dalam hal kekuasaan orang tua, sehingga pihak
ketiga, hakimlah yang harus turut campur.101
4. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Menurut Hukum Adat
Dalam masyarakat hukum adat konsep mengenai tanggung jawab orang tua terhadap
anak berbeda dengan masyarakat modern, di mana keluarga/ rumah tangga dari suatu ikatan
perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak
asuh, anak akuan dan sebagainya.102 Kesemua anak-anak tersebut memiliki sangkut paut dengan
hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitu pula sebaliknya.
Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya tergantung pada susunan masyarakat adat
bersangkutan dan bentuk perkawinan kedua orang tua yang berlaku, tidak menjadi masalah
tentang apakah anak tersebut dilahirkan dari perkawinan yang sah atau tidak, hal mana
dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat yang bersangkutan.103
Dalam masyarakat dengan susunan kekerabatan yang patrilineal yang cenderung
melakukan perkawinan bentuk jujur, di mana istri pada umumnya masuk dalam kelompok
kekerabatan suami, maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan keturunan menurut
garis lelaki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak memiliki anak lelaki atau tidak
100 Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
101 Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam,
dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 55. 102
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 126
103 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
-
punya anak sama sekali mengangkat anak wanita berkedudukan seperti anak lelaki atau
mengangkat anak lelaki orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar
dengan anak kandung. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan tanggung
jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat patrilineal berada dipihak suami atau kerabat
suami apabila suami meninggal dunia.
Pada masyarakat matrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk
semanda, di mana suami masuk ke dalam kerabat istri (matrilokal) atau di bawah kekuasaan
kerabat istri, maka kedudukan anak dikaitkan dengan penerusan keturunan menurut garis
keturunan wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak wanita atau
tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki berkedudukan seperti anak wanita
atau mengangkat anak wanita orang lain untuk menjadi penerus keturunan yang berkedudukan
sejajar dengan anak sendiri. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan
tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat matrilineal berada dipihak istri atau
kerabat istri apabila istri meninggal dunia.104
Dalam masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (keorang tuaan) yang
terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di daerah yang satu berbeda dari daerah yang lain. Di
lingkungan masyarakat Melayu tidak banyak pengaruh tentang adanya anak angkat, tetapi di
daerah Jawa anak wong ora nggenah, anak pungut, anak pupon, dapat berperanan melebihi anak
sendiri. Di samping itu di pedesaan orang Jawa sudah terbiasa anak-cucu diurus oleh embah-
kakeknya, entah anak itu anak sah atau tidak, sedangkan di daerah lain hal tersebut bukan
merupakan suatu kebiasaan.105 Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan
104 Ibid., hal. 127
105 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
-
tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat bilateral berada pada kedua orang
tua baik pihak istri atau suami maupun kerabat orang tua baik itu dari pihak istri maupun suami.
C. Hak Pemeliharaan Anak setelah Perceraian dalam Putusan Pengadilan
Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban orang tua dan anak yang
menyangkut beberapa hal, yang salah satunya bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. kewajiban orang tua yang dimaksud tersebut
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan kedua orang tua
putus.106
1. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak
Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas
pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya.107
Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan
tuntutan terhadap bapak (bekas suami) apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya
dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.
Tuntutan yang dilakukan oleh ibu (bekas istri) tidak hanya mengenai pemenuhan
terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan
anak.Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam beberapa putusan yang
menyangkut masalah pemeliharaan anak, maka setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut
dengan ibunya,maka bekas suaminya akan diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah dan
106 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal 188.
107 Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 tahun 1970.
Universitas Sumatera Utara
-
biaya pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut.108
Hal ini sesuai dengan pengaturan Pasal 41 Undang-undang perkawinan yang mengatur
kewajiban sang ayah untuk bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan oleh anak tersebut.
Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan kasus-kasus pemeliharaan anak dan tanggung
jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu
kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.109
Bapak dan Ibu wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa.
Walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak untuk menjadi wali hilang,
tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang seimbang dengan
penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anaknya itu.110
Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan
bahwa anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu, orang tuanya melalaikan
kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dengan wajar baik secara rohani,
jasmani maupun sosial.Setiap anak yang belum dewasa, mempunyai hak untuk dipelihara secara
baik. Mereka memerlukan pengawasan, penjagaan, bimbingan, arahan serta pendidikan dari
orang tua atau pihak lain apabila orang tua sudah tidak ada lagi.
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah dan penelantaran berhak atas perlindungan
108 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya. pada tanggal 23
November 2011 109
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
110 Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 131.
Universitas Sumatera Utara
-
khusus. Oleh karena itu anak korban perceraian termasuk anak bermasalah harus mendapat
perlindungan khusus.111
Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan:112
1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata
berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak
pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat mentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26, sebagai berikut :
1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2. dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab,
tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-undangan yang berlaku.
Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya
ketentuan Undang-undang.Sepanjang orang tua yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad
111 Pasal 1 ayat (15) -undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
112 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
-
baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang
ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada
anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan
anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataanya walaupun telah ada
putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya dibelakang hari ayah tersebut
tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk
mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orang tua,yang terutama sekali dengan
mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orang tua yang bersifat tunggal,
serta menegaskan sanksi bagi pihak yang melalaikan kewajiban pemeliharaan anaknya. Kalau
ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka
hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui
permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan
Negeri.113
Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak
perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum
anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh
ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih
baik.114
Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak yang menyebutkan bahwa
anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan rasa aman
sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tuanya sendiri. Undang-
113 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011. 114
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:115
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
2. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri.Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus.
Pernyataan Pasal diatas tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu
perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orang tuanya.
Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan
tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah seorang hakim harus
menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-
undang Perkawinan ini disaring, mana yang dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus
dilaksanakan.
Sepanjang sebuah perkawinan tidak putus ditengah jalan karena perceraian,
implementasi pemeliharaan dan perlindungan anak hampir tidak menjadi masalah. Jika
perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga jalan satu-satunya adalah solusi
perceraian, saat itu timbullah masalah karena sudah tidak ada kesepakatan lagi mengenai
pemeliharaan dan pengasuhan anak. Bahkan tidak jarang anak menjadi persengketaan diantara
suami istri. Anak akan menjadi objek rebutan antara suami istri. Masing-masing pihak
menganggap bahwa merekalah yang lebih berhak untuk memelihara anak.
Masalah pemeliharaan anak lebih baik diserahkan kepada istri, karena mereka lebih
mengetahui keadaan dan perkembangan anak, sementara suami lebih banyak waktunya untuk
115 Pasal 45, Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .
Universitas Sumatera Utara
-
bekerja diluar rumah. Walaupun demikian ada juga bapak (bekas suami) yang menginginkan
anak tetap dipelihara olehnya.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas
menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri.
Didalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak,
keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa
yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya
perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek
rebutan antara kedua orang tua.116
Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi
lebih berat lagi yaitu orang tua harus membina anaknya agar menjadi manusia yang berguna.
Karena itu tidak benar jika salah satu dari orang tua menganggap ia yang lebih berhak
memelihara anak hanya dengan melihat kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari
segi materilnya saja.
Jika diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, prinsip hukum yang mengatur tentang
kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian sering kali membebankan kewajiban
biaya nafkah pada orang tua laki-laki. Ini dikarenakan pihak laki-laki dianggap sebagai pihak
yang kuat atau mampu dalam berbagai hal kehidupan sehingga tidak heran lelaki selalu dianggap
sebagai kepala dari suatu rumah tangga. Akan tetapi pada dasarnya Majelis Hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara melihat pada kasus yang dihadapinya dan tidak harus terikat
116 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011.
Universitas Sumatera Utara
-
pada prinsip tersebut di atas.117
Dengan kata lain, pada dasarnya Majelis Hakim hanya terikat dengan peraturan hukum
yang berlaku dengan memperhatikan salah satu dari ketiga aspek tujuan hukum yaitu
keadilan, aspek kepastian hukum, dan sosiologis aspek kemanfaatan hukum.118
Dengan demikian,sesuai dengan peraturan Undang-undangan yang berlaku, orang tua
perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai nafkah hidup anak, jika dalam
kenyataannya orang tua laki-laki tidak mampu dalam segi ekonomi.
2. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Hak Pemeliharaan Anak
Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat,
bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia
diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan Negara
melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada berbagai cara pandang dalam
menyikapi dan memperlakukan anak yang terus mengalami perkembangan seiring dengan
semakin dihargainya hak-hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak yang menyebutkan bahwa
anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan rasa aman
sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tuanya sendiri. Dalam
Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
117 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahy pada tanggal 23
November 2011 dan sesuai pula dengan teori hukum rechtssicherheit, gerechtigheit dan rechts utiliteit. 118
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
-
atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus.
Pernyataan Pasal diatas tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu
perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orang tuanya.
Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban orang tua dan anak yang
menyangkut beberapa hal, yang salah satunya bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud tersebut
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan kedua orang tua
putus.119
Bagi orang tua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada
dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai harus
merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan
pembagian hak pemeliharaannya berdasarkan putusan hakim yang memutuskan perceraian
mereka.
Seorang anak belum dewasa masih berhak atas pengasuhan kedua orang tuanya,
walaupun orang tuanya sudah bercerai, dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk
kepentingan anak-anak tersebut. Bila nanti terjadi perselisihan dalam penguasaan anak maka
pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak
tersebut. Sesuai dengan rumusan dan makna Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak
pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi
119 Sudarsono, op cit, hal 188.
Universitas Sumatera Utara
-
hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau
bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.120
Di dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara
jelas menyebutkan sesungguhnya sang Bapak atau sang Ibu berkewajiban memelihara
anaknya. Namun jika seorang Bapak tidak mampu secara sosial ekonomi untuk membiayai
penghidupan anaknya, dan ibunya ternyata lebih mampu untuk membiayainya, maka sang Ibu
lah yang harus bertanggung jawab memberi penghidupan pada anaknya. Jadi tanggung jawab
seorang Bapak dan Ibu memang diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.121
Berdasarkan hal tersebut menurut J.Prins, pertama-tama ditetapkan oleh Undang-undang
bahwa kewajiban untuk memelihara anak-anak dan pendidikan mereka teletak baik pada ayah
maupun ibu. Perselisihan tentang kekuasaan orang tua diputuskan oleh hakim. Ayah secara tegas
dibebani kewajiban menanggung semua biaya hidup dan pendidikan; hanyalah kalau ternyata si
ayah tidak mampu, hakim dapat mewajibkan si ibu ikut menanggung biayanya. Tidak diragukan
bahwa disini telah dijelaskan suatu asas yang sah dan penting menurut hukum. Pada
yurisprudensilah diserahkan pelaksanaannya secara praktis.122
Jadi dalam hal ini untuk menetapkan suatu penetapan yang menyangkut hak
pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian diperlukan adanya lembaga yang berwenang
untuk itu. Dalam hal ini, para pihak dapat melakukannya dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan bagi non muslim dapat melakukannya melalui
Pengadilan Negeri setempat.
120 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011. 121
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
122 J.Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 70
Universitas Sumatera Utara
-
Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan
tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya.123
Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan
alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah seorang hakim harus
menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-
undang Perkawinan ini disaring mana yang dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus
dilaksanakan.
Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan
tuntutan terhadap bapak (bekas suami) apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya
dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.
Tuntutan yang dilakukan oleh ibu (bekas istri) tidak hanya mengenai pemenuhan
terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan
anak. Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam beberapa putusan yang
menyangkut masalah pemeliharaan anak, maka setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut
dengan ibunya, maka bekas suaminya akan diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah dan
biaya pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut.
Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan kasus-kasus pemeliharaan anak dan tanggung
jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu
kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya
123 Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 tahun 1970.
Universitas Sumatera Utara
-
pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.124
Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya
ketentuan Undang-undang. Sepanjang orang tua yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad
baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang
ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada
anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan
anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataannya walaupun telah ada
putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya dibelakang hari ayah tersebut
tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk
mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orang tua, yang terutama sekali dengan
mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orang tua yang bersifat tunggal, serta
menegaskan sanksi bagi ayah yang melalaikan kewajiban membiayai pemeliharaan anaknya.
Kalau ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka
hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui
permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan
Negeri.125
Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak
perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum
anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh
ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih
124 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011. 125
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
-
baik.126
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas
menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri.
Didalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak,
keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa
yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya
perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek
rebutan antara kedua orang tua.
Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi
lebih berat lagi yaitu orang tua harus membina anaknya agar menjadi manusia yang berguna.
Karena itu tidak benar jika salah satu dari orang tua menganggap ia yang lebih berhak
memelihara anak hanya dengan melihat kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari
segi materilnya saja. Hak memelihara dan mendidik seorang anak diutamakan kepada ibunya
karena kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya lebih mendalam.
Perhatikan dalam Pasal 24 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kewajiban memberi
biaya nafkah anak tersebut tidak hanya setelah terjadinya perceraian,akan tetapi juga dapat
ditentukan selama proses perceraian berlangsung. Ketentuan tersebut mengatur bahwa selama
berlangsungnya gugatan perceraian,atas permohonan penggugat dan tergugat, pengadilan dapat
menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, prinsip hukum yang
126 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011.
Universitas Sumatera Utara
-
mengatur tentang kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian pada hakikatnya
membebankan kewajiban biaya nafkah pada orang tua laki-laki. Oleh karenanya, Majelis Hakim
Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara terikat dengan prinsip hukum tersebut
dengan pertimbangan demi kepentingan si anak yang disesuaikan dengan kemampuan si ayah.
Akan tetapi pada dasarnya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara melihat
pada kasus yang dihadapinya dan tidak harus terikat pada prinsip hukum di atas.127
Dengan demikian, sesuai dengan peraturan Undang-undangan yang berlaku, orang tua
perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai nafkah hidup anak, jika dalam
kenyataannya orang tua laki-laki tidak mampu dalam segi ekonomi.
3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn
Keputusan No.209/Pdt.G/PN.MDN merupakan putusan perceraian dimana pihak suami
menggugat istrinya. Isi putusan tersebut selain masalah penetapan perceraian juga mengenai hak
asuh anak yang sedang berada pada ibunya. Pihak penggugat dalam hal ini suami, didalam
keputusan tersebut telah ditetapkan sebagai pemegang hak asuh terhadap anaknya.
Dalam suatu Putusan Hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya,
sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang
objektif atau tidak.128 Khusus mengenai anak, Sesuatu keputusan yang akan diambil oleh hakim
akan menjadi sangat penting sekali. ini dikarenakan menyangkut tentang kehidupan dan masa
depan dari seorang manusia yang belum bisa bertindak secara normal.
Umumnya apabila anak yang masih di bawah umur, maka hak untuk memelihara dan
mendidik anak tersebut akan diberikan kepada ibunya, hal ini sesuai dengan kebiasaan
127 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011. 128
R.Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, SInar Grafika, Jakarta, 2009, hal 134
Universitas Sumatera Utara
-
dimasyarakat dan juga peraturan perUndang-undangan yang berlaku sekarang, dikarenakan
alasan bahwa anak-anak di bawah umur masih sangat memerlukan perhatian dari seorang ibu,
sedangkan kepada seorang ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup
dan pendidikan anak-anak mereka tersebut sampai dewasa.
Hak pemeliharaan dan pendidikan anak dapat beralih kepada bapaknya atau bahkan
kepada orang lain yang bukan orang tua kandung anak tersebut dan dapat dijadikan sebagai wali
bagi anak, jika menurut pertimbangan dan juga bisa dibuktikan bahwa ibu atau bapak tidak dapat
diharapkan untuk dapat memberi jaminan dalam mengurus kepentingan anak-anak tersebut.129
Dalam menentukan hak asuh terhadap anak diperlukan waktu atau proses untuk
mendapatkan penetapannya yang biasanya sangat lama sekali, yaitu sesuai dengan proses
pemeriksaan dalam persidangan (paling cepat 6 bulan). Dan ini biasanya ditujukan kepada
Pengadilan Negeri.
Setelah proses pemeriksaan dianggap selesai,130 maka setelah tahap tersebut tuntas
diselesaikan, Majelis Hakim dapat menyatakan bahwa pemeriksaan ditutup, dan proses
selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan.
Dalam mengambil putusan tersebut, majelis mengadakan musyawarah untuk menentukan
putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak yang berperkara. Bahkan tidak jarang Hakim
memanggil anak dari korban perceraian untuk mendengar keterangannya.131
Untuk lebih jelasnya mengenai dasar pertimbangan hakim menetapkan hak pemeliharaan
anak tersebut kepada salah satu dari orang tua dapat dilihat pada uraian kasus berikut.
129 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011. 130
Setelah melalui tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 142 R.Bg, serta juga dibarengi replik dari Penggugat atau Pemohon, maupun duplik dari pihak tergugat atau termohon, dan dilanjutkan dengan tahap proses pembuktian dan kesimpulan.
131 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23
November 2011.
Universitas Sumatera Utara
-
Berdasarkan penelaahan pada perkara dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.
209/Pdt.G/PN.MDN yang terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan tertanggal 16
Mei 2007, dan putusan dibacakan pada tanggal 25 September 2007. Dalam perkara ini sebagai
Penggugat, adalah pihak suami DBS, Sedangkan yang menjadi Tergugat adalah istri yaitu AFLT.
Dalam perkara ini selain mengajukan tuntutan cerai terhadap isterinya Penggugat, DBS
juga mengajukan tuntutan hak pemeliharaan anak, yaitu kedua orang anak yang masing-masing 1
(satu) anak laki-laki yang masih berumur 7 (tujuh) tahun bernama SAS dan 1 (satu) anak
perempuan yang masih berumur 6 (lima) tahun bernama NOS.
Berdasarkan hasil penelaahan putusan tersebut lebih lanjut diketahui bahwa perceraian
terjadi dikarenakan, tergugat sering melakukan peminjaman uang kepada rentenir dengan
menggadaikan barang emas milik penggugat tanpa sepengetahuan penggugat, tergugat
meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan penggugat, bahwa diantara penggugat dan tergugat
terjadi pertengkaran yang terus menerus sehingga rumah tangga penggugat dan tergugat tidak
dapat dipertahankan lagi.
Oleh karena, penggugat dapat membuktikan dan menguatkan dalilnya dengan
mengajukan saksi-saksi yang memberikan kejelasan terhadap permasalahan yang dihadapi, maka
majelis hakim berkesimpulan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidaklah dapat
dipertahankan lagi dan karenanya dapat sudah sepatutnya diputuskan dengan perceraian.
Selanjutnya atas gugatan yang diajukan pihak penggugat khususnya terhadap hak
pengasuhan atau hak pemeliharaan kedua anak yang masih dibawah umur tersebut, menurut
majelis hakim diserahkan kepada ayahnya sebab Tergugat atau ibu dari si anak dianggap
mempunyai tempat tinggal yang tidak tetap dan dinilai menelantarkan anaknya dalam hal
pemberian makanan.
Universitas Sumatera Utara
-
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka majelis hakim dalam putusannya tanggal 25
September 2007 memutuskan dengan mengadili:
(1) Menyatakan tergugat AFLT tidak pernah hadir dipersidangan walaupun telah dipanggil
dengan patut;
(2) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian dengan verstek;
(3) Menyatakan demi hukum Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana yang
tercantum dalam kutipan Akta Perkawinan Nomor 478/1999 pada tanggal 6 desember 1999
yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kodati II Medan putus karena perceraian;
(4) Memerintahkan Pegawai Kantor Catatan Sipil Kodati II Medan untuk mencatatkan atau
mendaftarkan putusan perceraian didalam buku/daftar yang disediakan untuk itu;
(5) Menyatakan secara hukum bahwa Penggugat adalah selaku wali pemelihara dua orang anak
yang masih dibawah umur yaitu SAS dan NOS;
(6) Menolak gugatan Penggugat untuk lain dan selebihnya;
(7) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar
Rp.164.000,- (seratus enam puluh empat ribu rupiah)
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa gugatan perceraian dikabulkan karena
perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidaklah dapat dipertahankan lagi dan karenanya
sudah sepatutnya diputuskan dengan perceraian.
Sedangkan dasar pertimbangan yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak
asuh) anak dalam Pengadian Negeri 209/Pdt.G/PN.MDN, dengan melihat kondisi dan perilaku
Tergugat yang tidak baik atau kurang dapat dicontoh untuk diserahkan hak pemeliharaan anak.
Oleh karena itu, terhadap hak pengasuhan atau hak pemeliharaan kedua orang anak tersebut,
menurut majelis hakim diserahkan kepada Bapaknya.
Universitas Sumatera Utara