chapter ii

41
BAB II DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN A. Perceraian dan Akibat Hukumnya 1. Perceraian Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-isteri karena sebab-sebab tertentu yang tidak memungkinkan lagi bagi suami-isteri untuk meneruskan kehidupan rumah tangga disebut dengan cerai. 45 Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. 46 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 47 Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai suami isteri lagi. Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian, karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun diikuti dengan perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab 45 Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http//:ebsoft.web.id, diakses pada tanggal 2 Oktober 2011. 46 Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 47 Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Universitas Sumatera Utara

Upload: halida-rahmah-nasution

Post on 11-Nov-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENENTUKAN TANGGUNG JAWAB PENGASUHAN ANAK SETELAH PERCERAIAN

    A. Perceraian dan Akibat Hukumnya

    1. Perceraian

    Salah satu bentuk pemutusan hubungan ikatan suami-isteri karena sebab-sebab tertentu

    yang tidak memungkinkan lagi bagi suami-isteri untuk meneruskan kehidupan rumah tangga

    disebut dengan cerai.45

    Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan perkawinannya dilakukan

    dengan putusan hakim, Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan

    saja antara suami-isteri, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami

    istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.46 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan

    Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

    mendamaikan kedua belah pihak.47

    Untuk melakukan perceraian tersebut haruslah ada cukup alasan yang salah satunya yaitu

    bahwa antara suami istri yang meminta untuk diceraikan tidak dapat untuk hidup rukun sebagai

    suami isteri lagi.

    Menurut Undang-undang, alasan perkawinan dapat bubar antara lain karena kematian,

    karena keadaan tidak hadir si suami atau isteri, selama 10 (sepuluh) tahun diikuti dengan

    perkawinan baru isterinya atau suaminya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku I Kitab

    45 Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Online, http//:ebsoft.web.id, diakses pada tanggal 2 Oktober

    2011. 46

    Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 47

    Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    Universitas Sumatera Utara

  • Undang-undang Hukum Perdata, karena putusan hakim setelah perpisahan meja dan ranjang dan

    pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan ini dalam putusan Register Catatan Sipil.48

    Oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa perkawinan yang telah

    dibentuk dapat putus antara lain karena:49

    a. Kematian,

    b. Perceraian dan

    c. atas keputusan Pengadilan.

    Putusnya perkawinan dikarenakan kematian disebabkan karena salah satu dari suami/istri

    atau bahkan kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu, sehingga pernikahan dianggap

    telah putus dengan meninggalnya salah satu pihak atau kedua-duanya tersebut.

    Putusnya perkawinan dikarenakan Perceraian merupakan putusnya perkawinan yang

    dikarenakan adanya ketidak cocokkan lagi para pihak untuk melanjutkan rumah tangganya.

    Sehingga terjadinya pengajuan gugatan salah satu pihak baik itu suami maupun istri untuk

    diputuskannya perkawinan mereka. Terhadap perceraian ini maka yang dapat menjadi alasan-

    alasan para pihak untuk memutuskan perkawinan tersebut antara lain:50

    a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak

    lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

    b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya

    yang sukar disembuhkan;

    c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat

    setelah perkawinan berlangsung;

    48 R.Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 199.

    49 Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    50 R.Subekti, op cit, Pasal 209

    Universitas Sumatera Utara

  • d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak

    yang lain;

    e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

    menjalankan kewajiban sebagai suamiisteri;

    f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada

    harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

    Putusnya perkawinan karena putusan pengadilan merupakan putusnya perkawinan

    berdasarkan keputusan yang ditetapkan oleh Hakim. Selain karena hal pengajuan gugatan

    perceraian tersebut diatas, putusnya perkawinan karena putusan pengadilan dilapangan juga

    dapat terjadi dikarenakan keadaan tidak hadir dari salah satu suami atau istri.

    Putusnya suatu perkawinan bukan berarti melepaskan suatu beban tanggung jawab salah

    satu pihak istri atau suami terhadap pihak lainnya. ini dikarenakan, jika dibutuhkan Pengadilan

    dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau

    menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.51 Dengan mempertimbangkan bahwa pihak yang

    telah diceraikan tersebut tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk menafkahi dirinya

    sendiri.52

    Pengadilan Negeri menentukan jumlah nafkah tunjangan yang akan diberikan kepada

    salah satu pihak yang dinilai pantas untuk dinafkahi, dimana nafkah tersebut berasal dari harta

    kekayaan pihak suami atau istri yang dianggap mempunyai kelebihan atau kemampuan untuk

    itu.53

    2. Akibat Hukum Perceraian

    51 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

    52 R.Subekti, op cit, Pasal 225

    53 Ibid

    Universitas Sumatera Utara

  • Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.54 Sedangkan

    pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur

    oleh hukum.55 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di

    dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan.

    Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1

    tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:

    1) Terhadap anak-anaknya,

    2) Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan).

    3) Terhadap Nafkah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak

    berupa benda atau uang dan lainnya).

    1) Terhadap anak-anaknya

    Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua

    karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami

    meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.56 Hal ini menyebabkan :

    a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua,

    terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi

    permasalahan mereka.

    b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan

    anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasi.

    54 J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hal 104.

    55 ibid, hal 101.

    56 Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal 29.

    Universitas Sumatera Utara

  • c. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk

    hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik. Jadi

    akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan.

    Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa sebagai akibat bentuk pengabaian

    tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci,

    sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi

    kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang

    kriminal lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan

    loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga.

    Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja.

    Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan

    perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik,

    tingkah laku asusila dan kebiasaan delinkuen.57

    Lebih lanjut Kartini Kartono juga mengatakan bahwa penolakan oleh orang tua atau

    ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam,

    rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu

    menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmoni sosial dan

    lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu

    menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta

    menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata

    ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang

    berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus

    57 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja., Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17.

    Universitas Sumatera Utara

  • delinkuen dan karakter pada diri anak.58 Akan tetapi, semua bentuk ketegangan batin dan konflik

    familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu

    juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki.59 Sehingga

    anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal.60

    Peristiwa perceraian, apapun alasannya, akan membawa dampak bukan hanya bagi

    mantan suami dan istri tersebut akan tetapi juga bagi anak. Anak biasanya akan mengalami

    dampak negatif dari perceraian sehingga tidak akan dapat lagi menikmati kasih sayang orang tua

    secara bersamaan, karena tidak jarang pecahnya rumah tangga akan mengakibatkan terlantarnya

    pengasuhan anak.

    Konsekwensi hukum dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan adanya

    perceraian adalah bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak menjadi hapus dan berubah, dari

    kekuasaan orang tua menjadi kekuasaan wali.61 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1

    tahun 1974 masih berada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaan itu belum dicabut.62

    Walaupun pada dasarnya masih orang tua si anak juga yang menjalankan pengasuhan terhadap

    anak tersebut.

    Menurut Pengadilan, setelah terjadinya perceraian maka Pengadilan akan memutuskan

    siapa di antara ayah dan ibu yang berhak menjalankan kuasa orang tua demi kelangsungan

    pemeliharaan dan pengasuhan anak, tidak jarang terjadi perebutan mengenai hak asuh anak,

    masing-masing bekas suami isteri merasa paling berhak dan paling layak untuk menjalankan hak

    asuh.

    58 Ibid, hal 18.

    59 Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.

    60 Kartini Kartono, Op.Cit, hal 18.

    61 R.Subekti, op cit, Pasal 206 ayat (2)

    62 Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    Universitas Sumatera Utara

  • Sengketa hak pemeliharaan anak berbeda dengan sengketa harta, dalam sengketa harta

    putusan hakim bersifat menafikan hak milik pihak yang kalah, tetapi putusan hak pemeliharaan

    sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan anak yang disengketakan.

    Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan mengalahkan pihak ayah,

    biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban membelanjai kebutuhan anaknya dan

    ibu tidak boleh menghalanghalangi ayah berhubungan dengan anaknya demikian juga

    sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap bebas berhubungan dan

    mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.63

    Dengan terjadinya perceraian, pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

    memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Sebagai

    ibu atau bapak mereka tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak dan jika ada

    perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi putusan dengan semata-mata

    mendasarkan kepada kepentingan anak. Seorang bapak bertanggung jawab atas semua biaya

    pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan jika bapak ternyata tidak dapat

    memenuhi kewajibannya pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikulnya.64 Kewajiban orang

    tua untuk memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang

    tua putus.65

    Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian yang timbul menurut

    Undang-undang perkawinan adalah sebagai berikut:66

    63 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011. 64

    Pasal 41 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 65

    Pasal 45 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 66

    Pasal 41 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-

    mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan

    anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

    b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

    diperlukan anak- anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi

    kewajiban tersebut.Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

    tersebut.

    Selagi anak belum berusia 18 tahun atau belum menikah ia berada di bawah kekuasaan

    orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar

    pengadilan.67 Meskipun memegang kuasa, orang tua tidak boleh memindahkan hak atau

    menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan anak menghendaki.68 Jika

    orang tua melalaikan kewajibannya atau berkelakuan yang sangat buruk, kekuasaannya terhadap

    anak dapat dicabut untuk waktu tertentu, pencabutan kekuasaan orang tua dapat dimintakan ke

    pengadilan oleh salah satu orang tua, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, saudara kandung

    yang telah dewasa atau oleh pejabat berwenang, kekuasaan orang tua yang dicabut tidak

    menghilangkan kewajibannya untuk tetap memberi biaya pemeliharaan kepada anak.69

    Dengan demikian jelas bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak

    sebaik-baiknya sampai anaknya kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban orang tua untuk

    memelihara dan mendidik anak tetap melekat meskipun hubungan perkawinan orang tua putus.

    Anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi orang tua, sebaliknya orang tua juga

    memiliki hak yang harus dipenuhi anaknya. Hak anak untuk mendapatkan penghidupan yang

    67 Pasal 47 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    68 Pasal 48 Undang-undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    69 Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • layak meliputi sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan merupakan nafkah anak (alimentasi)

    yang harus dipenuhi orang tua, terutama ayah, baik dalam masa perkawinan atau pun setelah

    terjadi perceraian.

    Apabila perkawinan antara seorang suami dengan seorang istrinya dalam suatu rumah

    tangga, baik karena kematian (meninggal dunia salah seorang di antara mereka) maupun karena

    terjadinya suatu perceraian di antara mereka dan karena putusan Pengadilan, maka akan

    membawa akibat terganggunya proses pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anak yang

    lahir dari perkawinan mereka tersebut. Oleh sebab itu salah seorang di antara kedua orang tuanya

    harus menjadi pemelihara dan pendidik bagi anak tersebut, hal ini berhubungan erat dengan masa

    depan dan perkembangan jiwa anak-anak yang masih memerlukan perhatian, kasih sayang dan

    pendidikan dasar dari orang tuanya, khususnya bagi anak yang masih di bawah umur.

    Pada umumnya apabila anak yang masih di bawah umur, maka hak untuk memelihara

    dan mendidik anak tersebut akan diberikan kepada ibunya, hal ini sesuai dengan ketentuan

    agama dan juga peraturan perUndang-undangan yang berlaku sekarang khususnya dalam

    Undang-undang Perkawinan beserta peraturan pelaksananya, disebabkan bahwa anak-anak di

    bawah umur masih sangat memerlukan perhatian dari seorang ibu, sedangkan kepada seorang

    ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak

    mereka tersebut sampai dewasa.70

    Jadi dalam hal ini apabila pihak yang diserahkan kewajiban memelihara dan mendidik

    anak tidak melaksanakan dengan baik, maka dapat saja digugat kembali oleh pihak lain yang

    berkepentingan terhadap anak tersebut. Gugatan tersebut dapat timbul setelah memperoleh hak

    70 Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • asuh dan tanggung jawab dalam pemeliharaan dari anak tersebut, di mana dalam pelaksanaannya

    penerima hak tidak melaksanakan kewajibannya.

    2) Akibat terhadap harta

    Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama

    yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang

    disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh dari masing-

    masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu

    Pasal 36 Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau

    istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan

    harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak

    sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

    Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama

    bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan

    hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan

    sebagainya) yang menjadi kekayaan.71 Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu

    harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan.72 Maksudnya

    adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

    Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami

    isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun

    71 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Balai Pustaka, Tahun 1989, cet.2, hal 199

    72 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 200

    Universitas Sumatera Utara

  • harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta

    pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah.73

    Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang- Undang Nomor

    1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

    1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

    2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh

    masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing

    sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

    Dari ketentuan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan itu pula J.Satrio menyimpulkan

    bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :

    1) Harta bersama

    2) Harta Pribadi, dapat berupa:

    a. Harta bawaan suami

    b. Harta bawaan isteri

    c. Harta hibahan/ warisan suami

    d. Harta hibahan/ warisan isteri.

    Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam)

    perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan Pasal 35 Undang-

    undang Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur menurut

    hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu

    perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian.

    Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:

    73 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, cet. IV, Tahun 1999,

    hal 156

    Universitas Sumatera Utara

  • 1) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta

    bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing

    suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing.

    2) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk

    kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta guna kaya), jika

    terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh

    (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k/

    Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).74

    3) Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata

    yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan). Jika terjadi

    perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH

    Perdata juncto Pasal 37 Undang-undang Perkawinan belum memberikan penyelesaian

    tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan

    dualisme hukum. Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu

    separoh bagi bekas suami dan separoh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata

    memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas

    istri.

    Rumusan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan juga dibagi dua, separoh untuk bekas

    suami dan separoh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas hak dan kedudukan

    yang seimbang antara suami dan istri. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan

    dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri.75

    74 http://asiamaya.com/konsultasi_hukum/harta_perkawinan/pembag_harta.htm, diakses pada tanggal 16

    oktober 2011. 75

    Pasal 37 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung

    pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain.

    Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri

    walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara

    suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam.76

    B. Pengasuhan Anak Menurut Hukum

    Berlakunya seseorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) ialah dimulai saat

    berada dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan dan berakhir pada saat ia

    meninggal dunia, hal ini berlangsung selama dia hidup. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1)

    dan (2) KUHPerdata Indonesia bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan

    dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya, mati

    sewaktu dilahirkannya dianggap ia tidak pernah telah ada.77

    Hukum perdata mengatur setiap manusia pribadi mempunyai hak yang sama untuk

    didukung hak dan kewajibannya, manusia mempunyai kewenangan berhak sejak ia dilahirkan,

    bahkan sejak dalam kandungan ibunya asalkan ia lahir hidup apabila kepentingannya

    menghendaki.78 Jadi setiap orang dimungkinkan pula berhak sejak ia masih dalam kandungan

    dan lahirnya harus hidup.

    Seorang anak pada permulaan hidupnya sampai umur tertentu memerlukaan orang lain

    dalam kehidupannya, baik dalam pertumbuhan fisiknya. Peran seorang ayah yang berkewajiban

    dalam membiayai nafkah pemeliharaan dan pendidikan seorang anak agar si anak tersebut dapat

    menjadi seseorang yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara kelak,

    76 Yani Trizakia, Op.Cit, hal 57.

    77 Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. Ke-28, PT. Pradnya Paramita,

    Jakarta, 1996, hal 4. 78

    Abdul Qodir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hal, 45.

    Universitas Sumatera Utara

  • mengingat tanggung jawab anak sebagai generasi penerus. Untuk kepentingan seorang anak,

    sikap perduli dari kedua orang tua terhadap tanggung jawab biaya nafkah memang sangat

    diperlukan. Jika tidak, maka bisa mengakibatkan seorang anak tumbuh, tidak terpelihara dan

    tidak terarah seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu yang paling diharapkan adalah keterpaduan

    keduanya yang akan bisa diwujudkan selama kedua orang tuanya itu masih tetap dalam

    hubungan suami istri. Dalam suasana yang demikian, kendatipun tugas mengasuh anak lebih

    banyak dilakukan oleh pihak ibu, namun peranan seorang ayah tidak bisa diabaikan dalam hal

    memenuhi segala kebutuhan guna memperlancar tugas pengasuhan.

    Harapan seperti tersebut di atas tidak akan terwujud, bilamana terjadi perceraian antara

    ayah dan ibu si anak. Peristiwa perceraian apapun alasannya merupakan malapetaka bagi anak,

    di saat itu si anak tidak lagi dapat merasakan nikmat kasih sayang dari kedua orang tuanya.

    Padahal merasakan kasih sayang kedua orang tua merupakan unsur penting bagi pertumbuhan

    mental seorang anak. Pecahnya rumah tangga kedua orang tua, tidak jarang membawa kepada

    terlantarnya pengasuhan anak.

    1. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

    Setiap anak mempunyai hak yang sama dalam pemeliharaan dari orang tuanya.

    Pemeliharaan menurut etimologi adalah proses, cara, perbuatan memelihara (kan), penjagaan,

    perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta kekayaan.79

    Dalam Hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan al hadhinah yang dalam

    pengertian istilah hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri,

    biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang membahayakan jiwanya.80

    79 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit., hal. 848

    80 Ash Shaani, Subulus Salam, (Surabaya : Terjemahan Abubakar Muhammad Jilid 3, Al Ilkhlas, 1995),

    hlm. 819

    Universitas Sumatera Utara

  • Al-Hadhnah berasal dari kata hadhanayahdhunuhadhnan wa hidhnah wa hadhnah.

    Secara bahasa hadhnah memiliki dua arti pokok. Pertama dari al-hidhnu (dada), yaitu anggota

    tubuh antara ketiak dan pinggang. Dari sini jika dikatakan, Ihtadhana al-walad, artinya

    mendekapnya, yaitu merengkuh dan meletakkannya di dalam dekapan (pelukannya). Kedua, al-

    hidhnu adalah jnib asy-syayi (sisi sesuatu). Jika dikatakan, Ihtadhana asy-syaya,artinya

    meletakkan sesuatu itu di sisinya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari

    pihak lain. Hal itu seperti seekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya

    sehingga telur itu berada di sisinya dan di bawah pemeliharaannya.81

    Pengertian lain dari hadhanah adalah di samping atau berada dibawah ketiak. Merawat

    dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena

    tidak bisa mengerjakan keperluan sendiri. Menurut Hukum Islam apabila bercerai dua orang

    suami-isteri, sedang keduanya sudah mempunyai anak yang belum mumayiz (belum mengerti

    kemaslahatan dirinya), maka isterilah yang berhak untuk mendidik dan merawat anaknya itu,

    sehingga sampai ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.

    Dalam Kompilasi Hukum Islam, ada dua periode perkembangan anak dalam

    hubungannya dengan hak asuh orang tua, yaitu periode sebelum mumayyiz atau anak

    belum bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya, dari lahir

    sampai berusia 21 tahun, dan sesudah mumayyiz (Pasal 106 KHI).

    Sebelum anak mumayyiz, ibu lebih berhak menjalankan hak asuh anak karena ibu lebih

    mengerti kebutuhan anak dengan kasih sayangnya apalagi anak pada usia tersebut sangat

    membutuhkan hidup di dekat ibunya. Masa mumayyiz dimulai sejak anak secara sederhana sudah

    mampu membedakan mana yang berbahaya dan bermanfaat bagi dirinya, ini dimulai sejak umur

    81 Ibid.

    Universitas Sumatera Utara

  • tujuh tahun sampai menjelang dewasa (baligh berakal). Pada masa ini anak sudah dapat

    memilih dan memutuskan apakah akan memilih ikut ibu atau ayahnya. Tetapi dalam kondisi

    tertentu ketika pilihan anak tidak menguntungkan bagi anak, demi kepentingan anak hakim boleh

    mengubah putusan itu dan menentukan mana yang maslahat bagi anak.82

    Semua biaya hadlanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut

    kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri

    sendiri atau sampai usia 21 tahun. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlanah dan nafkah

    anak maka pengadilanlah yang memutuskannya (Pasal 156 d dan e KHI).

    Dalam putusan hak asuh sama sekali tidak menafikan hubungan pihak yang kalah dengan

    anak yang disengketakan, sehingga tidak sepatutnya sengketa hak asuh dipertajam ketika sudah

    diputuskan oleh Pengadilan. Sehingga lazimnya walaupun putusan memenangkan pihak ibu dan

    mengalahkan pihak ayah, biasanya putusan juga menyatakan ayah tetap berkewajiban

    membelanjai kebutuhan anaknya dan ibu tidak boleh menghalang-halangi ayah berhubungan

    dengan anaknya demikian juga sebaliknya, meskipun orang tuanya sudah bercerai anak tetap

    bebas berhubungan dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.83

    2. Pengasuhan Anak Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

    Lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan perwujudan dari

    falsafah Pancasila dan cita-cita pembinaan hukum nasional, yang sekaligus menampung prinsip-

    prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan

    telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.

    82 Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam,

    (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), hal. 181 83

    Ibid., hal. 200

    Universitas Sumatera Utara

  • Penjelasan umum Undang-undang ini menyebutkan, bahwa sesuai dengan landasan

    falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang- undang ini di satu pihak

    harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang

    Dasar 1945, sedang di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam

    masyarakat dewasa ini. Karena itu pula Undang-undang ini telah menampung di dalamnya

    unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang

    bersangkutan, sehingga dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan, tidak ada perkawinan di

    luar masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-undang Dasar

    1945. Karena tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan

    kepercayaannya, maka konsekuensinya tidak ada pula perceraian di luar hukum masing-masing

    agamanya dan kepercayaannya.84

    Menurut penjelasan Pasal 2 bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing

    agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

    golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan

    lain dalam Undang-undang ini.85

    Perkawinan yang telah berlangsung sewaktu-waktu dapat putus, hal itu walaupun

    dipandang masih secara negative didalam masyarakat namun oleh Undang-undang

    diperkenankan jika antara suami dan istri sekiranya tidak dapat lagi untuk dipersatukan didalam

    berumah tangga.

    Putusnya perkawinan atau terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum yang

    perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai. Mengenai hubungan suami istri adalah sudah

    84 H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, halaman

    104. 85

    Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

    Universitas Sumatera Utara

  • jelas bahwa akibat pokok dari perceraian perkawinan, persetubuhan menjadi tidak boleh lagi,

    tetapi mereka boleh kawin kembali sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum masing-masing

    agamanya dan kepercayaannya itu.

    Dalam perceraian perkawinan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974,Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya

    penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Kewajiban dan/atau

    menentukan sesuatu kewajiban ini tentu berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan

    kepercayaannya itu.

    Bersangkutan dengan hal tersebut diatas, mengenai anak, berdasarkan Pasal 41 ayat (1)

    dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai akibat yuridis yang dapat terjadi

    terhadap anak bila terjadi perceraian, yaitu:

    1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata

    berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-

    anak pengadilan memberi keputusannya.

    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

    diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban

    tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut.

    Kemudian dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai

    berikut :

    1. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

    2. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau

    berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya

    putus.

    Universitas Sumatera Utara

  • Terhadap hal tersebut juga Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur

    sebagai berikut:

    1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

    perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari

    kekuasaannya.

    2. orang tua mewakili anaktersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar

    pengadilan.

    Apabila orang tua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu

    melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang

    tua dapat dicabut dengan putusan pengadilan.

    M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa Orang tua yang melalaikan kewajiban terhadap

    anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin

    melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang

    memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang

    tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang

    tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang

    baik.86 Contohnya seorang orang tua yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan

    kehidupan yang layak yang dikarenakan orang tua tersebut berada didalam penjara atau tidak

    pernah diketahui keberadaannya.

    Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut, akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari

    kewajiban memberi biaya nafkah anak. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-

    undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut :

    86 M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Rajawali, Medan , 1986, halaman 216.

    Universitas Sumatera Utara

  • 1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak

    atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak

    dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang

    berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal- hal;

    a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

    b. Ia berkelakuan sangat buruk sekali

    2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk

    memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

    Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

    Anak, dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui

    tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi

    persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. Jika berdasarkan Pasal 50

    ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pelaksanaan pengasuhan

    anak diurus oleh seorang wali yang ditunjuk.Ruang lingkup kekuasaan wali yang ditunjuk itu

    adalah sama dengan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab orang tua dari anak tersebut,

    yaitu meliputi pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.87

    Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

    melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka ia berada di

    bawah kekuasaan wali.88 Perwakilan itu berfungsi untuk mengurus pribadi anak yang

    bersangkutan maupun harta benda yang dimilikinya.89

    87 Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    88 Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    89 Pasal 50 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Penunjukan Wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak dibawah umur

    tersebut, yang oleh Undang-undang ditetapkan wali tersebut haruslah telah dewasa, berpikiran

    sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak baik. 90

    Akan tetapi meskipun demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang

    menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua sianak tersebut meninggal,

    dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.91

    Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak yang di bawah

    penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang berada dalam pengasuhannya

    tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan menghormati agama serta kepercayaan anak

    tersebut.92

    Terhadap harta kekayaan si anak yang berada dibawah kekuasaannya, wali mempunyai

    kewajiban untuk: 93

    1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.

    2. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang berada di bawah

    perwaliannya.

    3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat dan kelalaian dan

    kesalahan wali.

    4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak

    yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali apabila kepentingan anak itu

    menghendakinya.

    90 Pasal 51 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

    91 Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

    92 Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

    93 Pasal 51 ayat (4) dan (5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Selama melaksanakan kekuasaannya, wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

    mengandaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak tersebut, kecuali apabila kepentingan

    anak itu menghendakinya.94 Jika terjadi kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan

    kesalahannya maka wali dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang

    berada dibawah perwaliannya tersebut.95 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta

    benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga tersebut dengan

    keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian

    tersebut.96

    Dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan:

    1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya,

    2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, pengadilan dapat menunjuk orang lain

    sebagai wali.

    3. Pengasuhan Anak Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

    Perceraian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata merupakan putusnya suatu

    perkawinan dengan putusan Hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu

    berdasarkan alasan-alasan yang sah yang disebut dalam Undang-undang ini. Dalam hal suami

    istri tidak dapat hidup bersama lagi, Pasal 233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberi

    kemungkinan kepada mereka untuk menuntut perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tavel

    en bed).

    Perpisahan meja dan ranjang ini mempunyai akibat bahwa suami istri dibebaskan dari

    kewajiban untuk bertempat tinggal bersama sedang perkawinan antara suami istri tidak

    94 Pasal 52 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    95 Pasal 51 ayat (5) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    96 Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    Universitas Sumatera Utara

  • dibubarkan.97Kecuali itu mengakibatkan juga perpisahan harta kekayaan antara suami dan istri,98

    karenanya penguasaan suami atas harta kekayaan istri dipertangguhkan dan istri berkuasa

    mengurus sendiri harta kekayaannya, karena ia telah mempunyai kebebasannya terhadap harta

    kekayaannya.99

    Setelah terjadinya perceraian menurut Pasal 225 KUHPerdata, apabila pihak suami atau

    istri atas kemenangan siapa perceraian itu dinyatakan, tidak mempunyai penghasilan yang cukup

    guna membelanjai nafkahnya, maka Pengadilan Negeri boleh menentukan sejumlah uang

    tunjangan untuk itu dari harta kekayaan pihak lain. Begitu juga yang terjadi jika hal ini

    diputuskan oleh Pengadilan Agama.

    Terhadap anak-anak yang belum dewasa, menurut Pasal 229 KUHPerdata, oleh

    Pengadilan harus ditentukan sekali, kepada siapa dari bekas suami dan bekas istri anak-anak itu

    harus turut. Apabila yang diserahi anak itu tidak mampu memikul biaya pemeliharaan dan

    pendidikan anak, maka menurut Pasal 230 KUHPerdata, Hakim dapat menentukan sejumlah

    uang yang harus diberikan oleh pihak lain untuk turut membayar biaya pemeliharaan dan

    pendidikan anak-anak tadi.

    Dalam hal kekuasaan orang tua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dalam Pasal

    300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi pelepasan dan atau berlaku ketentuan-

    ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu.

    Selanjutnya ditentukan bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan

    kekuasaan orang tua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja

    dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang,

    97 R.Subekti op cit, Pasal 242.

    98 R.Subekti op cit, Pasal 243.

    99 R.Subekti op cit, Pasal 244.

    Universitas Sumatera Utara

  • maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359. Berbeda halnya

    menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, kekuasaan orang tua dipegang oleh kedua orang

    tua selama kekuasaan kedua orang tua atau salah satu orang tua tersebut tidak dicabut.100

    Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena ada kekhawatiran

    bahwa tidak ada persesuaian antara ayah dan ibu dalam hal kekuasaan orang tua, sehingga pihak

    ketiga, hakimlah yang harus turut campur.101

    4. Tanggung Jawab Pengasuhan Anak Menurut Hukum Adat

    Dalam masyarakat hukum adat konsep mengenai tanggung jawab orang tua terhadap

    anak berbeda dengan masyarakat modern, di mana keluarga/ rumah tangga dari suatu ikatan

    perkawinan tidak saja terdapat anak kandung, tetapi juga terdapat anak tiri, anak angkat, anak

    asuh, anak akuan dan sebagainya.102 Kesemua anak-anak tersebut memiliki sangkut paut dengan

    hak dan kewajiban orang tua yang mengurus atau memeliharanya, begitu pula sebaliknya.

    Kedudukan anak-anak tersebut pengaturannya tergantung pada susunan masyarakat adat

    bersangkutan dan bentuk perkawinan kedua orang tua yang berlaku, tidak menjadi masalah

    tentang apakah anak tersebut dilahirkan dari perkawinan yang sah atau tidak, hal mana

    dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat yang bersangkutan.103

    Dalam masyarakat dengan susunan kekerabatan yang patrilineal yang cenderung

    melakukan perkawinan bentuk jujur, di mana istri pada umumnya masuk dalam kelompok

    kekerabatan suami, maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan keturunan menurut

    garis lelaki. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak memiliki anak lelaki atau tidak

    100 Pasal 49 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

    101 Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam,

    dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman 55. 102

    Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 126

    103 Ibid.

    Universitas Sumatera Utara

  • punya anak sama sekali mengangkat anak wanita berkedudukan seperti anak lelaki atau

    mengangkat anak lelaki orang lain menjadi penerus keturunan yang kedudukannya sejajar

    dengan anak kandung. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan tanggung

    jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat patrilineal berada dipihak suami atau kerabat

    suami apabila suami meninggal dunia.

    Pada masyarakat matrilineal yang cenderung melakukan perkawinan dalam bentuk

    semanda, di mana suami masuk ke dalam kerabat istri (matrilokal) atau di bawah kekuasaan

    kerabat istri, maka kedudukan anak dikaitkan dengan penerusan keturunan menurut garis

    keturunan wanita. Sehingga ada kemungkinan keluarga yang tidak mempunyai anak wanita atau

    tidak mempunyai anak sama sekali mengangkat anak lelaki berkedudukan seperti anak wanita

    atau mengangkat anak wanita orang lain untuk menjadi penerus keturunan yang berkedudukan

    sejajar dengan anak sendiri. Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan

    tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat matrilineal berada dipihak istri atau

    kerabat istri apabila istri meninggal dunia.104

    Dalam masyarakat yang kekeluargaannya bersifat parental (keorang tuaan) yang

    terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di daerah yang satu berbeda dari daerah yang lain. Di

    lingkungan masyarakat Melayu tidak banyak pengaruh tentang adanya anak angkat, tetapi di

    daerah Jawa anak wong ora nggenah, anak pungut, anak pupon, dapat berperanan melebihi anak

    sendiri. Di samping itu di pedesaan orang Jawa sudah terbiasa anak-cucu diurus oleh embah-

    kakeknya, entah anak itu anak sah atau tidak, sedangkan di daerah lain hal tersebut bukan

    merupakan suatu kebiasaan.105 Dari uraian tersebut maka dapat diartikan bahwa permasalahan

    104 Ibid., hal. 127

    105 Ibid.

    Universitas Sumatera Utara

  • tanggung jawab pengasuhan terhadap anak pada masyarakat bilateral berada pada kedua orang

    tua baik pihak istri atau suami maupun kerabat orang tua baik itu dari pihak istri maupun suami.

    C. Hak Pemeliharaan Anak setelah Perceraian dalam Putusan Pengadilan

    Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban orang tua dan anak yang

    menyangkut beberapa hal, yang salah satunya bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan

    mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. kewajiban orang tua yang dimaksud tersebut

    berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan kedua orang tua

    putus.106

    1. Penentuan Tanggung Jawab Terhadap Pemeliharaan dan Nafkah Anak

    Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan tugas

    pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang

    diajukan kepadanya.107

    Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan

    tuntutan terhadap bapak (bekas suami) apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya

    dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.

    Tuntutan yang dilakukan oleh ibu (bekas istri) tidak hanya mengenai pemenuhan

    terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan

    anak.Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam beberapa putusan yang

    menyangkut masalah pemeliharaan anak, maka setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut

    dengan ibunya,maka bekas suaminya akan diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah dan

    106 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal 188.

    107 Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 tahun 1970.

    Universitas Sumatera Utara

  • biaya pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut.108

    Hal ini sesuai dengan pengaturan Pasal 41 Undang-undang perkawinan yang mengatur

    kewajiban sang ayah untuk bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

    diperlukan oleh anak tersebut.

    Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan kasus-kasus pemeliharaan anak dan tanggung

    jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu

    kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya

    pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.109

    Bapak dan Ibu wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa.

    Walaupun hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau hak untuk menjadi wali hilang,

    tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang seimbang dengan

    penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anaknya itu.110

    Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan

    bahwa anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu, orang tuanya melalaikan

    kewajibannya, sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi dengan wajar baik secara rohani,

    jasmani maupun sosial.Setiap anak yang belum dewasa, mempunyai hak untuk dipelihara secara

    baik. Mereka memerlukan pengawasan, penjagaan, bimbingan, arahan serta pendidikan dari

    orang tua atau pihak lain apabila orang tua sudah tidak ada lagi.

    Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

    menyebutkan bahwa anak korban perlakuan salah dan penelantaran berhak atas perlindungan

    108 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya. pada tanggal 23

    November 2011 109

    Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.

    110 Hilman Hadikesuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 131.

    Universitas Sumatera Utara

  • khusus. Oleh karena itu anak korban perceraian termasuk anak bermasalah harus mendapat

    perlindungan khusus.111

    Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    menyebutkan:112

    1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata

    berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak

    pengadilan memberi keputusannya.

    2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

    diperlukan anak itu bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban

    tersebut, pengadilan dapat mentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

    Tanggung jawab orang tua terhadap anak juga diatur dalam Undang-undang Nomor 23

    Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 26, sebagai berikut :

    1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

    a. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak

    b. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, dan

    c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

    2. dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab,

    tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung

    jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang

    dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-undangan yang berlaku.

    Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya

    ketentuan Undang-undang.Sepanjang orang tua yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad

    111 Pasal 1 ayat (15) -undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

    112 Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

    Universitas Sumatera Utara

  • baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang

    ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada

    anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan

    anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataanya walaupun telah ada

    putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya dibelakang hari ayah tersebut

    tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk

    mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orang tua,yang terutama sekali dengan

    mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orang tua yang bersifat tunggal,

    serta menegaskan sanksi bagi pihak yang melalaikan kewajiban pemeliharaan anaknya. Kalau

    ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka

    hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui

    permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan

    Negeri.113

    Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak

    perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum

    anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh

    ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih

    baik.114

    Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak yang menyebutkan bahwa

    anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan rasa aman

    sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tuanya sendiri. Undang-

    113 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011. 114

    Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.

    Universitas Sumatera Utara

  • undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:115

    1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

    2. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin

    atau dapat berdiri sendiri.Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua

    orang tua putus.

    Pernyataan Pasal diatas tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu

    perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orang tuanya.

    Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan

    tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah seorang hakim harus

    menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-

    undang Perkawinan ini disaring, mana yang dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus

    dilaksanakan.

    Sepanjang sebuah perkawinan tidak putus ditengah jalan karena perceraian,

    implementasi pemeliharaan dan perlindungan anak hampir tidak menjadi masalah. Jika

    perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga jalan satu-satunya adalah solusi

    perceraian, saat itu timbullah masalah karena sudah tidak ada kesepakatan lagi mengenai

    pemeliharaan dan pengasuhan anak. Bahkan tidak jarang anak menjadi persengketaan diantara

    suami istri. Anak akan menjadi objek rebutan antara suami istri. Masing-masing pihak

    menganggap bahwa merekalah yang lebih berhak untuk memelihara anak.

    Masalah pemeliharaan anak lebih baik diserahkan kepada istri, karena mereka lebih

    mengetahui keadaan dan perkembangan anak, sementara suami lebih banyak waktunya untuk

    115 Pasal 45, Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .

    Universitas Sumatera Utara

  • bekerja diluar rumah. Walaupun demikian ada juga bapak (bekas suami) yang menginginkan

    anak tetap dipelihara olehnya.

    Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas

    menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri.

    Didalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib

    memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak,

    keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa

    yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya

    perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek

    rebutan antara kedua orang tua.116

    Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi

    lebih berat lagi yaitu orang tua harus membina anaknya agar menjadi manusia yang berguna.

    Karena itu tidak benar jika salah satu dari orang tua menganggap ia yang lebih berhak

    memelihara anak hanya dengan melihat kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari

    segi materilnya saja.

    Jika diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari, prinsip hukum yang mengatur tentang

    kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian sering kali membebankan kewajiban

    biaya nafkah pada orang tua laki-laki. Ini dikarenakan pihak laki-laki dianggap sebagai pihak

    yang kuat atau mampu dalam berbagai hal kehidupan sehingga tidak heran lelaki selalu dianggap

    sebagai kepala dari suatu rumah tangga. Akan tetapi pada dasarnya Majelis Hakim dalam

    memeriksa dan mengadili perkara melihat pada kasus yang dihadapinya dan tidak harus terikat

    116 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011.

    Universitas Sumatera Utara

  • pada prinsip tersebut di atas.117

    Dengan kata lain, pada dasarnya Majelis Hakim hanya terikat dengan peraturan hukum

    yang berlaku dengan memperhatikan salah satu dari ketiga aspek tujuan hukum yaitu

    keadilan, aspek kepastian hukum, dan sosiologis aspek kemanfaatan hukum.118

    Dengan demikian,sesuai dengan peraturan Undang-undangan yang berlaku, orang tua

    perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai nafkah hidup anak, jika dalam

    kenyataannya orang tua laki-laki tidak mampu dalam segi ekonomi.

    2. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Hak Pemeliharaan Anak

    Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat,

    bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana seharusnya ia

    diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan Negara

    melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak. Ada berbagai cara pandang dalam

    menyikapi dan memperlakukan anak yang terus mengalami perkembangan seiring dengan

    semakin dihargainya hak-hak anak, termasuk oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

    Salah satu asas yang termuat dalam konvensi hak-hak anak yang menyebutkan bahwa

    anak berhak untuk tumbuh dan dibesarkan dalam suasana penuh kasih sayang dan rasa aman

    sedapat mungkin berada dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tuanya sendiri. Dalam

    Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan :

    1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.

    2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin

    117 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahy pada tanggal 23

    November 2011 dan sesuai pula dengan teori hukum rechtssicherheit, gerechtigheit dan rechts utiliteit. 118

    Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.

    Universitas Sumatera Utara

  • atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua

    orang tua putus.

    Pernyataan Pasal diatas tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dalam suatu

    perkawinan harus dipelihara, diasuh dan dididik oleh orang tuanya.

    Undang-undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban orang tua dan anak yang

    menyangkut beberapa hal, yang salah satunya bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan

    mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud tersebut

    berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, meskipun perkawinan kedua orang tua

    putus.119

    Bagi orang tua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada

    dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orang tua yang telah bercerai harus

    merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan

    pembagian hak pemeliharaannya berdasarkan putusan hakim yang memutuskan perceraian

    mereka.

    Seorang anak belum dewasa masih berhak atas pengasuhan kedua orang tuanya,

    walaupun orang tuanya sudah bercerai, dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk

    kepentingan anak-anak tersebut. Bila nanti terjadi perselisihan dalam penguasaan anak maka

    pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak

    tersebut. Sesuai dengan rumusan dan makna Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak

    pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi

    119 Sudarsono, op cit, hal 188.

    Universitas Sumatera Utara

  • hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau

    bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik.120

    Di dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara

    jelas menyebutkan sesungguhnya sang Bapak atau sang Ibu berkewajiban memelihara

    anaknya. Namun jika seorang Bapak tidak mampu secara sosial ekonomi untuk membiayai

    penghidupan anaknya, dan ibunya ternyata lebih mampu untuk membiayainya, maka sang Ibu

    lah yang harus bertanggung jawab memberi penghidupan pada anaknya. Jadi tanggung jawab

    seorang Bapak dan Ibu memang diwajibkan untuk membiayai penghidupan anaknya.121

    Berdasarkan hal tersebut menurut J.Prins, pertama-tama ditetapkan oleh Undang-undang

    bahwa kewajiban untuk memelihara anak-anak dan pendidikan mereka teletak baik pada ayah

    maupun ibu. Perselisihan tentang kekuasaan orang tua diputuskan oleh hakim. Ayah secara tegas

    dibebani kewajiban menanggung semua biaya hidup dan pendidikan; hanyalah kalau ternyata si

    ayah tidak mampu, hakim dapat mewajibkan si ibu ikut menanggung biayanya. Tidak diragukan

    bahwa disini telah dijelaskan suatu asas yang sah dan penting menurut hukum. Pada

    yurisprudensilah diserahkan pelaksanaannya secara praktis.122

    Jadi dalam hal ini untuk menetapkan suatu penetapan yang menyangkut hak

    pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian diperlukan adanya lembaga yang berwenang

    untuk itu. Dalam hal ini, para pihak dapat melakukannya dengan mengajukan gugatan ke

    Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan bagi non muslim dapat melakukannya melalui

    Pengadilan Negeri setempat.

    120 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011. 121

    Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.

    122 J.Prins, Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 70

    Universitas Sumatera Utara

  • Pengadilan Negeri merupakan salah satu dari badan peradilan di Indonesia, dengan

    tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara

    yang diajukan kepadanya.123

    Dalam menyelesaikan suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan

    alasan tidak ada hukum yang mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah seorang hakim harus

    menemukan dan menentukan hukumnya. Kaedah-kaedah hukum yang diatur dalam Undang-

    undang Perkawinan ini disaring mana yang dapat dijadikan suatu hukum yang hidup dan harus

    dilaksanakan.

    Dalam penuntutan biaya hidup bagi anak biasanya ibu yang akan bertindak mengajukan

    tuntutan terhadap bapak (bekas suami) apabila bekas suaminya tidak memenuhi kewajibannya

    dalam pemberian nafkah hidup bagi anak yang berada dalam asuhannya.

    Tuntutan yang dilakukan oleh ibu (bekas istri) tidak hanya mengenai pemenuhan

    terhadap biaya hidup dan pendidikan anak, namun juga menyangkut masalah pemeliharaan

    anak. Hal seperti ini yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri dalam beberapa putusan yang

    menyangkut masalah pemeliharaan anak, maka setelah bercerai dan diputuskan bahwa anak ikut

    dengan ibunya, maka bekas suaminya akan diberikan kewajiban untuk memberikan nafkah dan

    biaya pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut.

    Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan kasus-kasus pemeliharaan anak dan tanggung

    jawab nafkah anak cenderung melimpahkan tanggung jawab pemeliharaan anak kepada ibu

    kandungnya dan kepada pihak bapak dibebani tanggung jawab untuk memenuhi segala biaya

    123 Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 tahun 1970.

    Universitas Sumatera Utara

  • pemeliharaan dan pendidikan anak sehingga anak tersebut dapat berdiri sendiri.124

    Dalam perlindungan anak pasca perceraian tidak hanya sebatas telah terpenuhinya

    ketentuan Undang-undang. Sepanjang orang tua yang telah bercerai dengan sadar dan beritikad

    baik mau menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang ada, masalah yang

    ditimbulkan oleh perceraian, terutama masalah anak, akan dapat diminimalkan. Mungkin ada

    anggapan bahwa dengan telah terpenuhinya kebutuhan fisik anak maka masalah perlindungan

    anak sudah selesai. Tetapi tidak sesederhana itu, sebab dalam kenyataannya walaupun telah ada

    putusan yang mewajibkan ayah membiayai pemeliharaan anaknya dibelakang hari ayah tersebut

    tidak perduli lagi dengan kewajibannya. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana upaya untuk

    mengoptimalkan perlindungan anak pasca perceraian orang tua, yang terutama sekali dengan

    mengadakan peninjauan kembali terhadap konsep kekusaan orang tua yang bersifat tunggal, serta

    menegaskan sanksi bagi ayah yang melalaikan kewajiban membiayai pemeliharaan anaknya.

    Kalau ibu yang telah diserahi hak pemeliharaan anak ternyata melalaikan kewajibannya maka

    hukuman baginya adalah mencabut hak pemeliharaan anak atau hak perwalian tersebut melalui

    permohonan dari pihak yang merasa keberatan dengan tindakan ibu tersebut kepada Pengadilan

    Negeri.125

    Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-undang, bahwa untuk menentukan hak

    perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum

    anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh

    ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan yang lebih

    124 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011. 125

    Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23 November 2011.

    Universitas Sumatera Utara

  • baik.126

    Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara tegas

    menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi perceraian antara suami istri.

    Didalam Pasal 41 Undang-undang tersebut hanya dijelaskan kedua orang tua wajib

    memelihara dan mendidik anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak,

    keputusan akan ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa

    yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat menyebabkan timbulnya

    perselisihan antara bekas suami istri mengenai pemeliharaan anak. Anak akan menjadi objek

    rebutan antara kedua orang tua.

    Pemeliharaan anak bukan hanya sekedar mencukupi makan minum saja, akan tetapi

    lebih berat lagi yaitu orang tua harus membina anaknya agar menjadi manusia yang berguna.

    Karena itu tidak benar jika salah satu dari orang tua menganggap ia yang lebih berhak

    memelihara anak hanya dengan melihat kemampuannya untuk mencukupi kebutuhan anak dari

    segi materilnya saja. Hak memelihara dan mendidik seorang anak diutamakan kepada ibunya

    karena kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya lebih mendalam.

    Perhatikan dalam Pasal 24 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

    Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kewajiban memberi

    biaya nafkah anak tersebut tidak hanya setelah terjadinya perceraian,akan tetapi juga dapat

    ditentukan selama proses perceraian berlangsung. Ketentuan tersebut mengatur bahwa selama

    berlangsungnya gugatan perceraian,atas permohonan penggugat dan tergugat, pengadilan dapat

    menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.

    Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan yang tersebut di atas, prinsip hukum yang

    126 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011.

    Universitas Sumatera Utara

  • mengatur tentang kewajiban biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian pada hakikatnya

    membebankan kewajiban biaya nafkah pada orang tua laki-laki. Oleh karenanya, Majelis Hakim

    Pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara terikat dengan prinsip hukum tersebut

    dengan pertimbangan demi kepentingan si anak yang disesuaikan dengan kemampuan si ayah.

    Akan tetapi pada dasarnya Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara melihat

    pada kasus yang dihadapinya dan tidak harus terikat pada prinsip hukum di atas.127

    Dengan demikian, sesuai dengan peraturan Undang-undangan yang berlaku, orang tua

    perempuan dapat juga diwajibkan untuk membiayai nafkah hidup anak, jika dalam

    kenyataannya orang tua laki-laki tidak mampu dalam segi ekonomi.

    3. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No. 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn

    Keputusan No.209/Pdt.G/PN.MDN merupakan putusan perceraian dimana pihak suami

    menggugat istrinya. Isi putusan tersebut selain masalah penetapan perceraian juga mengenai hak

    asuh anak yang sedang berada pada ibunya. Pihak penggugat dalam hal ini suami, didalam

    keputusan tersebut telah ditetapkan sebagai pemegang hak asuh terhadap anaknya.

    Dalam suatu Putusan Hakim yang perlu diperhatikan adalah pertimbangan hukumnya,

    sehingga siapapun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang

    objektif atau tidak.128 Khusus mengenai anak, Sesuatu keputusan yang akan diambil oleh hakim

    akan menjadi sangat penting sekali. ini dikarenakan menyangkut tentang kehidupan dan masa

    depan dari seorang manusia yang belum bisa bertindak secara normal.

    Umumnya apabila anak yang masih di bawah umur, maka hak untuk memelihara dan

    mendidik anak tersebut akan diberikan kepada ibunya, hal ini sesuai dengan kebiasaan

    127 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011. 128

    R.Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, SInar Grafika, Jakarta, 2009, hal 134

    Universitas Sumatera Utara

  • dimasyarakat dan juga peraturan perUndang-undangan yang berlaku sekarang, dikarenakan

    alasan bahwa anak-anak di bawah umur masih sangat memerlukan perhatian dari seorang ibu,

    sedangkan kepada seorang ayah diberikan tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan hidup

    dan pendidikan anak-anak mereka tersebut sampai dewasa.

    Hak pemeliharaan dan pendidikan anak dapat beralih kepada bapaknya atau bahkan

    kepada orang lain yang bukan orang tua kandung anak tersebut dan dapat dijadikan sebagai wali

    bagi anak, jika menurut pertimbangan dan juga bisa dibuktikan bahwa ibu atau bapak tidak dapat

    diharapkan untuk dapat memberi jaminan dalam mengurus kepentingan anak-anak tersebut.129

    Dalam menentukan hak asuh terhadap anak diperlukan waktu atau proses untuk

    mendapatkan penetapannya yang biasanya sangat lama sekali, yaitu sesuai dengan proses

    pemeriksaan dalam persidangan (paling cepat 6 bulan). Dan ini biasanya ditujukan kepada

    Pengadilan Negeri.

    Setelah proses pemeriksaan dianggap selesai,130 maka setelah tahap tersebut tuntas

    diselesaikan, Majelis Hakim dapat menyatakan bahwa pemeriksaan ditutup, dan proses

    selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan.

    Dalam mengambil putusan tersebut, majelis mengadakan musyawarah untuk menentukan

    putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak yang berperkara. Bahkan tidak jarang Hakim

    memanggil anak dari korban perceraian untuk mendengar keterangannya.131

    Untuk lebih jelasnya mengenai dasar pertimbangan hakim menetapkan hak pemeliharaan

    anak tersebut kepada salah satu dari orang tua dapat dilihat pada uraian kasus berikut.

    129 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011. 130

    Setelah melalui tahap jawaban dari tergugat sesuai Pasal 142 R.Bg, serta juga dibarengi replik dari Penggugat atau Pemohon, maupun duplik dari pihak tergugat atau termohon, dan dilanjutkan dengan tahap proses pembuktian dan kesimpulan.

    131 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Indra Cahya pada tanggal 23

    November 2011.

    Universitas Sumatera Utara

  • Berdasarkan penelaahan pada perkara dengan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

    209/Pdt.G/PN.MDN yang terdaftar pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan tertanggal 16

    Mei 2007, dan putusan dibacakan pada tanggal 25 September 2007. Dalam perkara ini sebagai

    Penggugat, adalah pihak suami DBS, Sedangkan yang menjadi Tergugat adalah istri yaitu AFLT.

    Dalam perkara ini selain mengajukan tuntutan cerai terhadap isterinya Penggugat, DBS

    juga mengajukan tuntutan hak pemeliharaan anak, yaitu kedua orang anak yang masing-masing 1

    (satu) anak laki-laki yang masih berumur 7 (tujuh) tahun bernama SAS dan 1 (satu) anak

    perempuan yang masih berumur 6 (lima) tahun bernama NOS.

    Berdasarkan hasil penelaahan putusan tersebut lebih lanjut diketahui bahwa perceraian

    terjadi dikarenakan, tergugat sering melakukan peminjaman uang kepada rentenir dengan

    menggadaikan barang emas milik penggugat tanpa sepengetahuan penggugat, tergugat

    meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan penggugat, bahwa diantara penggugat dan tergugat

    terjadi pertengkaran yang terus menerus sehingga rumah tangga penggugat dan tergugat tidak

    dapat dipertahankan lagi.

    Oleh karena, penggugat dapat membuktikan dan menguatkan dalilnya dengan

    mengajukan saksi-saksi yang memberikan kejelasan terhadap permasalahan yang dihadapi, maka

    majelis hakim berkesimpulan bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidaklah dapat

    dipertahankan lagi dan karenanya dapat sudah sepatutnya diputuskan dengan perceraian.

    Selanjutnya atas gugatan yang diajukan pihak penggugat khususnya terhadap hak

    pengasuhan atau hak pemeliharaan kedua anak yang masih dibawah umur tersebut, menurut

    majelis hakim diserahkan kepada ayahnya sebab Tergugat atau ibu dari si anak dianggap

    mempunyai tempat tinggal yang tidak tetap dan dinilai menelantarkan anaknya dalam hal

    pemberian makanan.

    Universitas Sumatera Utara

  • Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka majelis hakim dalam putusannya tanggal 25

    September 2007 memutuskan dengan mengadili:

    (1) Menyatakan tergugat AFLT tidak pernah hadir dipersidangan walaupun telah dipanggil

    dengan patut;

    (2) Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian dengan verstek;

    (3) Menyatakan demi hukum Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana yang

    tercantum dalam kutipan Akta Perkawinan Nomor 478/1999 pada tanggal 6 desember 1999

    yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kodati II Medan putus karena perceraian;

    (4) Memerintahkan Pegawai Kantor Catatan Sipil Kodati II Medan untuk mencatatkan atau

    mendaftarkan putusan perceraian didalam buku/daftar yang disediakan untuk itu;

    (5) Menyatakan secara hukum bahwa Penggugat adalah selaku wali pemelihara dua orang anak

    yang masih dibawah umur yaitu SAS dan NOS;

    (6) Menolak gugatan Penggugat untuk lain dan selebihnya;

    (7) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar

    Rp.164.000,- (seratus enam puluh empat ribu rupiah)

    Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa gugatan perceraian dikabulkan karena

    perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tidaklah dapat dipertahankan lagi dan karenanya

    sudah sepatutnya diputuskan dengan perceraian.

    Sedangkan dasar pertimbangan yang dilakukan dalam penetapan hak pemeliharaan (hak

    asuh) anak dalam Pengadian Negeri 209/Pdt.G/PN.MDN, dengan melihat kondisi dan perilaku

    Tergugat yang tidak baik atau kurang dapat dicontoh untuk diserahkan hak pemeliharaan anak.

    Oleh karena itu, terhadap hak pengasuhan atau hak pemeliharaan kedua orang anak tersebut,

    menurut majelis hakim diserahkan kepada Bapaknya.

    Universitas Sumatera Utara