chapter ii
TRANSCRIPT
BAB II
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA
A. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial merupakan istilah baru yang diperkenalkan
oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (UU PPHI). Undang-Undang sebelumnya, yaitu Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan serta
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan menggunakan istilah Perselisihan Perburuhan. Terdapat perbedaan
pengertian menurut ketiga undang-undang tersebut, yaitu :
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 memberikan pengertian
perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perserikatan
majikan dengan perserikatan buruh atau sejumlah buruh berhubung dengan tidak
adanya persesuaian paham antara hubungan kerja dan atau keadaan perburuhan.43
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 disebutkan perselisihan
perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan
43 Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan
Universitas Sumatera Utara
serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham, mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan.44
Dari kedua rumusan tersebut menurut Zaeni Asyadie sebenarnya yang perlu
mendapat perhatian adalah para pihak yang berselisih, menurut undang-undang
darurat, dari pihak buruh yang boleh menjadi pihak dalam perselisihan disamping
organisasi buruh adalah juga sejumlah buruh yakni beberapa orang buruh tanpa ikatan
organisasi. Jadi beberapa orang buruh secara bersama-sama dapat menuntut majikan
di depan persidangan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.45 Menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957, dari pihak buruh yang dapat menuntut
dalam penyelesaian hanyalah organisasi buruh saja, hal ini tidak lain maksudnya
adalah untuk merangsang para buruh untuk bergabung dalam satu organisasi,
sedangkan persamaan dari kedua undang-undang tersebut menurut Imam Soepomo,
adalah baik Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 maupun Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1957 sama-sama tidak memperbolehkan seorang buruh
(buruh perorangan) menjadi penuntut dalam perselisihan.46 Bagi perselisihan
perburuhan perseorangan yaitu tentang pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha di
atur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta dan Peraturan Menaker No.Per-04/MEN/1986 tentang
44 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan 45 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta : Rajawai Pers, 1993), hlm. 165. 46 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Aneka Putusan (P4), (Jakarta : Pradya
Paramita, 1978), hlm.9-10.
Universitas Sumatera Utara
Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan
Ganti Kerugian.
Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 (UU PPHI)
munculah istilah Perselisihan Hubungan Industrial sebagai pengganti istilah
Perselisihan Perburuhan. Di dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tersebut yang dimaksud dengan perselisihan hubungan industrial adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.47
Nampak dalam UU PPHI ini, pihak yang berselisih adalah pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh. UU
PPHI memperkenankan buruh/pekerja perseorangan untuk menjadi pihak dalam
perselisihan, hal mana tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang Darurat Nomor 16
Tahun 1951 maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957. Hal lain yang menjadi
tambahan adalah adanya perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan, yang lahir untuk mengantisipasi terjadinya perselisihan yang terjadi antar
serikat pekerja/serikat buruh tingkat perusahaan yang timbul karena lahirnya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh / Serikat Pekerja.
47 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Universitas Sumatera Utara
Uwiyono dalam tulisannya mengajukan pertanyaan sehubungan dengan
pengertian perselisihan hubungan industrial ini, yaitu apakah perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dapat mengakibatkan perselisihan hubungan industrial
antara pengusaha dengan pekerja/serikat pekerja? Para pihak yang berselisih dalam
rumusan Pasal 1 ayat (1) tersebut di atas membingungkan sebab di satu pihak hanya
pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja yang menjadi
pihak dalam perselisihan hubungan industrial, di lain pihak perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh, yang pada pihaknya adalah serikat pekerja dengan serikat
pekerja, dikatagorisasikan sebagai salah satu perselisihan yang menimbulkan
perselisihan hubungan industrial.48
B. Sejarah Perselisihan Hubungan Industrial
Mengenai sejarah perselisihan hubungan industrial ini sudah dikenal sejak
zaman Pemerintahan Hindia Belanda yakni bermula sebagai akibat dari buruh kereta
api yang pertama kali melakukan pemogokan. Untuk itu, yang pertama kali diatur
oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah cara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di lapangan perusahaan kereta api dengan diadakannya verzoenings raad
(dewan pendamai). Peraturan tentang dewan pendamai bagi kereta api dan trem untuk
Jawa dan Madura, regerings besluit tanggal 26 Februari 1923 Stb.1923 Nomor 80
yang kemudian di ganti dengan S.1926 Nomor 224.
48 Aloysius Uwiyono, Pelaksanaan Undang-Undang PPHI dan Tantangannya, dalam
http://www.hukumonline.com. Diakses tanggal 20 Maret 2009.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1937 peraturan ini di cabut dan di ganti dengan peraturan tentang
dewan perdamaian bagi kereta api dan trem di Indonesia yang berlaku untuk seluruh
Indonesia (regerings besluit) tanggal 24 November 1937 s. 1937, Nomor 624).
Adapun susunan kepengurusan dewan perdamaian ini adalah terdiri atas :49
”Seorang ketua dan seorang atau beberapa orang wakil ketua yang diangkat oleh Gubernur Jendral dari kalangan di luar perusahaan kereta api dan trem serta enam orang anggota yang di tunjuk oleh Kepala Jawatan Kereta Api, enam orang anggota yang ditunjuk oleh Dewan Pengurus dari persatuan perusahaan kereta apai dan trem di Indonesia, dua orang anggota di tunjuk oleh persatuan pegawai sarjana pada jawatan kereta api di Indonesia, enam orang anggota di tunjuk oleh Spoorbond, dua orang anggota di tunjuk oleh roomsch kathalands. Indie Raphael, seorang anggota yang di tunjuk oleh vereniging van het Eiropeesch personeel der pelis poorweg, dua orang yang di tunjuk oleh persatuan pegawai spoor dan trem dan seorang yang ditunjuk oleh bumi putra staatsspoor Tramwegen Ombilinmijnen en Landsantomobild iensten of Sumatera”.
Tugas dewan pendamai ini ialah memberi perantaraan jika di perusahaan
kereta api dan trem timbul atau akan terjadi perselisihan hubungan industrial yang
akan atau telah mengakibatkan pemogokan atau dengan jalan lain merugikan
kepentingan umum.50 Pada tahun 1939 dikeluarkan peraturan cara menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial pada perusahaan lain di luar kereta api (S.1939
Nomor 407) regerings besluit tanggal 20 Juli 1939 peraturan ini kemudian di ubah
dengan S. 1948 Nomor 238.51 Di dalam Pasal 1 S. 1939 Nomor 407 dikatakan kalau
perusahaan swasta yang tidak termasuk perusahaan menurut regereings besluit
tanggal 24 November 1937 Nomor 1 (S.1937 Nomor 624) terjadi atau akan terjadi
49 F.X.Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hlm. 32.
50 Zaeni Ashadie, Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), hlm. 129.
51 Ibid, hlm 129.
Universitas Sumatera Utara
perselisihan hubungan Industrial yang akan sangat mempengaruhi kepentingan umum
maka Direktur Justitie wajib dengan cepat menyampaikan kepada Gubernur Jenderal,
keterangan dan pertimbangan apakah perlu diadakan perantaraan oleh pemerintah
atau tidak, jika perlu sebelumnya diadakan penyelidikan, namun meskipun demikian
nantinya yang sangat menentukan apakah pemerintah perlu ikut campur tangan
memberikan perantaraan atau tidak ialah Gubernur Jenderal, sedang Direktur Justitie
hanya memberikan pertimbangan saja.52
Itulah peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
sehubungan dengan permasalahan perselisihan hubungan industrial pada waktu itu,
perkembangan keadaan berjalan terus hingga bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal-awal kemerdekaan ini
perselisihan perburuhan tidak begitu tajam atau belum sampai pada taraf yang
penting-penting, hal ini dapat dimaklumi karena segala perhatian bangsa dan seluruh
rakyat Indonesia pada waktu itu ditujukan pada bagaimana cara mempertahankan
negara yang ingin di rebut kembali oleh Pemerintah Belanda, selain itu juga karena
perusahaan-perusahaan yang penting pada waktu itu dikuasai oleh negara sehingga
pertentangan antara buruh dengan majikan dapat diperkecil dan keadaan ini juga
disebabkan karena Kementerian Sosial yang diwajibkan mengurus perburuhan belum
mengadakan peraturan-peraturan baru mengenai cara penyelesaian perselisihan
hubungan industrial tetapi hanya berupa instruksi-instruksi kepada kepala-kepala
52 Ibid, hlm 130.
Universitas Sumatera Utara
jawatan sosial di daerah yang menentukan bagaimana seharusnya sikapnya terhadap
perselisihan perburuhan.53
Setelah pengakuan atas kedaulatan atas negara Republik Indonesia tanggal 27
Desember 1949 mulai timbul pertentangan-pertentangan antara buruh dengan
majikan sampai menimbulkan perselisihan yang menyebabkan terjadinya pemogokan
maupun penutupan perusahaan, maka dikeluarkanlah Instruksi Menteri Perburuhan
Nomor PBU.1022-45/U.4191 Tanggal 20 Oktober 1950 tentang Penyelesaian
Perburuhan.54
Instruksi ini antara lain memuat bahwa :55
a. Perselisihan antara buruh dengan majikan yang bersifat individual tentang hal-hal
yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan, dan
yang tidak berakibat pemogokan. Penyelesaian ini ditangani oleh Kantor Daerah
Jawatan Pengawasan Perburuhan.
b. Perselisihan perburuhan yang tidak termasuk perselisihan tersebut diatas,
penyelesaian-penyelesaian ini ditangani oleh kantor-kantor daerah, jika dianggap
perlu diselesaikan oleh kantor pusat urusan perselisihan di Jakarta.
Kantor-kantor tersebut di atas mengadakan penyelesaian perselisihan
perburuhan secara aktif, yang bersifat perantaraan (mediation) atau perdamaian
53 Y.W Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Masalalah PHK dan Pemogokan, (Jakarta : Bina
Aksara, 1988), hlm.90. 54 F.X.Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Op.Ciit, hlm.38. 55 Ibid
Universitas Sumatera Utara
(conciliation) dan jika oleh pihak yang berselisih menghendakinya dapat mengadakan
pemisahan/arbitrase (arbitration).
Cara penyelesaian perburuhan seperti di atas tidak dapat mengatasi
perselisihan-perselisihan perburuhan pada waktu itu karena perselisihannya lebih
bersifat politis dari pada ekonomis. Untuk mengatasi masalah-masalah sebagai akibat
pemogokan-pemogokan yang sangat banyak terjadi pada waktu itu, maka pada
permulaan tahun 1951 berdasarkan atas undang-undang keadaan perang dan darurat
perang oleh beberapa panglima tentara dan teritorium dengan persetujuan pemerintah
dikeluarkan aturan larangan mogok untuk perusahaan-perusahaan vital, tetapi karena
terus menerus terjadi pemogokan yang menyebabkan keamanan dan ketertiban,
sangat terganggu maka oleh kekuatan militer pusat dengan persetujuan Dewan
Menteri ditetapkan Peraturan Penyelesaian Pertikaian Perburuhan (Peraturan
Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 Nomor 1).56
Peraturan ini melarang adanya pemogokan di perusahaan yang vital yakni
dengan mengancam barang siapa yang melakukan pemogokan dan atau penutupan
perusahaan di hukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya satu tahun dan
atau denda setinggi-tinginya Rp 10.000,00.
Peraturan ini juga mengatur cara penyelesaian pertikaian perburuhan yakni
perselisihan di perusahaan yang vital diputuskan secara mengikat oleh panitia
penyelesaian pertikaian perburuhan yang terdiri atas Menteri Perburuhan sebagai
56 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, (Jakarta :
Djambatan, 1983), hlm. 144.
Universitas Sumatera Utara
ketua dan sebagai anggota adalah Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan dan
Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan dan Menteri Pekerjaan Umum sedangkan
perselisihan di perusahaan yang tidak vital diselesaikan dengan cara mendamaikan
oleh Instansi Penyelesaian Pertikaian Perburuhan di daerah yang terdiri atas Wakil
Menteri Perhubungan, sebagai ketua dan sebagai anggotanya Wakil Kementerian
Dalam Negeri, Wakil Kementerian Keuangan, Wakil Kementerian Perdagangan dan
Perindustrian, Wakil Kementerian Umum dan Wakil Kementerian Perhubungan. Jika
usaha instansi ini tidak berhasil, maka persoalannya diajukan kepada Panitia
Penyelesaian Pertikaian Perburuhan, dengan demikian ada dua macam penyelesaian
yaitu di perusahaan vital penyelesaiannya secara arbitrase wajib sedangkan di
perusahaan lain dengan perantaraan saja, namun karena dalam kenyataannya
peraturan ini tidak membawa hasil seperti yang diinginkan maka pada tahun 1951
pemerintah juga mengeluarkan undang-undang yakni Undang-Undang Darurat
Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Keistimewaan dari Undang-Undang Darurat ini adalah jika majikan dan
serikat buruh tidak mengadakan pemisahan sukarela yakni menyerahkan perkaranya
kepada seorang juru pemisah atau sebuah dewan pemisah untuk diselesaikan
(voluntary arbitration), maka perselisihannya akan diselesaikan oleh instansi tersebut
dalam undang-undang darurat itu (compulsory arbitration). Keadaan seperti ini
terjadi bila pihak-pihak yang berselisih atau salah satu pihak dari pihak yang
memberitakannya kepada pegawai perantara. Keistimewaan lain dari undang-undang
darurat ini adalah bila para pihak tidak tunduk pada putusan Panitia Penyelesaian
Universitas Sumatera Utara
Perselisihan Perburuhan Pusat yang sifatnya mengikat di ancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp
10.000,00.
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 ini sering mendapat kecaman
dari para pihak khususnya serikat buruh karena dipandangnya sebagai peraturan
pengekangan terhadap hak mogok karena pihak yang hendak melakukan tindakan
terhadap hak mogok, harus memberitahukan maksudnya dengan surat kepada Panitia
Daerah. Tindakan ini baru boleh dilakukan secepat-cepatnya tiga minggu sesudah
pemberitahuan itu diterima oleh Panitia Daerah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
diancam dengan pidana.
Adanya kecaman-kecaman inilah yang mendorong dicabutnya Undang-
Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan sebagai penggantinya pada tanggal 8
April 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang menetapkan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (P4D) sebagai organ yang berwenang menyelesaikan perselisihan
perburuhan.
Kondisi pada waktu itu banyak terjadi perselisihan antara buruh dengan
majikan maka saat itu pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan
(sekarang di sebut Perjanjian Kerja Bersama). Selain itu di buat Undang-Undang
Nomor 7 PnPs Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan Penutupan
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital serta Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta
yang melarang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa seijin dari
P4P dan P4D.
Setelah itu kondisi ketenagakerjaan mulai membaik sehingga jarang terjadi
konflik antara pekerja dengan pengusaha. Perhatian masyarakat juga tertuju pada
politik dengan pergantian kekuasaan dari orde lama ke orde baru.57
Peraturan perundang-undangan tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial yang ada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 yang digunakan
sebagai landasan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini
ternyata belum dapat mewujudkan penyelesaian secara sederhana, cepat, adil dan
murah, bahkan sebaliknya prosedurnya panjang dan tidak adanya jeminan kepastian
hukum.
Upaya untuk mengganti peraturan perundang-undangan yang dirasakan tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di bidang ketenagakerjaan sudah
dilakukan sejak tahun 1998 yang melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi
pekerja, pengusaha, LSM dan para pakar yang melahirkan rancangan undang-undang
tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial (PPI) dan tepatnya pada akhir tahun 2003
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
57 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2003),
hlm.7.
Universitas Sumatera Utara
Disahkannya UU PPHI ini pada tanggal 16 Desember 2003 menyebabkan
segala bentuk penyelesaian perselisihan perburuhan akan mengikuti ketentuan yang
berlaku menurut undang-undang ini. Pada ketentuan penutup UU PPHI ini dijelaskan
undang-undang ini baru akan berlaku setahun setelah setelah diundangkan dan
dengan berlakunya undang-undang tersebut maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan
tidak berlaku lagi serta semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1964 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam UU PPHI.
C. Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi beberapa
jenis yaitu :
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
a. Perselisihan Hak
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menjelaskan
perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.58
Perselisihan hak dapat juga disebut perselisihan hukum yang diakibatkan
tidak ditaatinya kesepakatan yang telah diperjanjikan termasuk didalamnya
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, pihak yang satu menafsirkan lain terhadap kesepakatan tersebut.59
b. Perselisihan Kepentingan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 3 menyebutkan
pengertian perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian mengenai pembuatan, dan/atau perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
58 Abdul Khakim berpendapat perselisihan hak (rechtsgeschillen) ialah perselisihan yang
timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau ketentuan perundangan ketenagakerjaan, contoh pengusaha tidak membayar gaji sesuai perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 90.
59 Iman Soepomo mengatakan perselisihan hak ini terjadi karena tidak adanya persesuaian paham mengenai pelaksanaan hubungan kerja (Jakarta : Djambatan, 1983), hlm 97. Sedangkan H.P.Rajagukguk berpendapat jika perselisihan hak adalah perselisihan hukum, yakni perselisihan kolektif atau perselisihan perorangan antara majikan atau serikat majikan dengan serikat buruh atau buruh perorangan mengenai pelaksanaan atau penafsiran perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja.
Universitas Sumatera Utara
atau perjanjian kerja bersama.60 Jadi perselisihan jenis ini timbul karena perbedaan
paham dari para pihak dalam pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja.
Perselisihan kepentingan berbeda dengan perselisihan hak, dalam perselisihan
hak, objek sengketanya adalah tidak dipenuhinya hak yang telah ditetapkan karena
adanya perbedaan dalam implementsi atau penafsiran ketentuan peraturan perundang-
undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
melandasi hak yang disengketakan. Jadi hendaknya harus berhati-hati dalam
membuat perjanjian kerja, peraturan perusahaan serta kesepakatan kerja bersama agar
tidak menimbulkan penafsiran lain sedangkan perselisihan kepentingan objek
sengketanya karena tidak adanya kesesuaian paham/pendapat mengenai pembuatan,
dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Perselisihan pemutusan hubungan kerja menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 Pasal 1 Angka 4 adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak.61
60 Abdul Khakim menyatakan perselisihan kepentingan (belangengeschillen) adalah
perselisihan yang terjadi akibat dari adanya perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan, contoh pekerja menuntut kenaikan tunjangan makan (Bandung : Citra Aditya Bakti , 2003), hlm.91.
61 PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha (Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).
Universitas Sumatera Utara
Selama ini dibandingkan jenis perselisihan lain, perselisihan jenis inilah yang
paling banyak terjadi, walaupun dalam perundang-undangan sudah cukup jelas
diterangkan tentang pemutusan hubungan kerja ini tetapi masih saja masing-masing
pihak berbeda pendapat tentang pemutusan hubungan kerja.
Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
sudah dijelaskan mengenai tata cara PHK. Menurut undang-undang ini PHK tidak
boleh dilakukan terhadap pekerja dengan alasan :62
a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
d. Pekerja/buruh menikah
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui
bayinya.
f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah di atur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
62 Pasal 153 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Universitas Sumatera Utara
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Akibatnya jika terjadi pemutusan hubungan kerja dengan alasan di atas maka
PHK tersebut menjadi batal demi hukum dan pengusaha harus mempekerjakan
kembali pekerjanya.
Adapun alasan yang diperbolehkan menjadi dasar pemutusan hubungan kerja
adalah :63
a. karena pekerja melakukan kesalahan berat64
b. karena pekerja di tahan pihak yang berwajib
c. karena telah diberikan surat peringatan ketiga
d. karena perubahan status perusahaan
63 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hlm.
183. 64 Pasal ini telah dibatalkan oleh putusan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor
012/PUU-1/2003.
Universitas Sumatera Utara
e. karena perusahaan tutup
f. karena perusahaan pailit
g. karena pekerja meninggal dunia
h. karena pekerja pensiun
i. karena pekerja mangkir
j. karena pengusaha melakukan perbuatan yang tidak patut.
k. karena kemauan diri sendiri
l. karena sakit berkepanjangan atau sakit akibat kecelakaan kerja
Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam kaitannya dengan
kasus PHK yang diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan
tidak berfungsi sebagai lembaga pemberi izin PHK sebagaimana halnya dengan
P4D/P4P, tetapi menilai apakah PHK yang dilakukan oleh para pihak telah sesuai
dengan hukum atau tidak, termasuk hal-hak yang diperoleh sebagai akibat dari PHK
tersebut.65
Selain kewenangan PHK yang datang dari pengusaha, pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai
berikut :66
65 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di
Luar Pengadilan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hlm. 50. 66 Lihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Universitas Sumatera Utara
i. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
ii. Menbujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
iii. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih.
iv. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.
v. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan.
vi. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan,
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam
perjanjian kerja.
e. Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 menyebutkan
Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu
perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan.
Saat ini sudah diterbitkan undang-undang khusus serikat pekerja/serikat buruh
yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Di dalam undang-undang ini memberikan kemudahan kepada buruh untuk
membentuk serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan. Hanya dengan
Universitas Sumatera Utara
minimum 10 orang pekerja dalam suatu perusahaan sudah dapat di bentuk serikat
pekerja/serikat buruh. Di dalam undang-undang ini juga dijelaskan siapapun tidak
dapat memaksakan kehendak dalam pembentukan atau tidak melakukan
pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Pengelompokan jenis-jenis perselisihan tersebut kembali di kritik oleh
Uwiyono, menurutnya pengelompokan jenis perselisihan dalam UU PPHI ini tidak
benar. Hal ini disebabkan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan
antar serikat pekerja tidak dalam satu tataran dengan perselisihan hak atau hukum dan
perselisihan kepentingan. Pengkatagorian jenis perselisihan hak/hukum dan
perselisihan kepentingan didasarkan faktor penyebabnya yaitu adanya
ketidaksepahaman tentang pelaksanaan aturan hukum, perbedaan perlakuan, dan
perbedaan penafsiran suatu ketentuan hukum untuk perselisihan hak, dan
ketidaksepahaman tentang perubahan syarat-syarat/kondisi kerja untuk perselisihan
kepentingan. Perselisihan PHK, perselisihan upah lembur, perselisihan jaminan
sosial, perselisihan kesehatan dan keselamatan kerja adalah contoh-contoh dari
perselisihan hak/hukum, sedangkan perselisihan antar serikat pekerja/buruh dilihat
dari subjek yang berselisih selanjutnya perselisihan yang terjadi antar serikat
buruh/pekerja jika dilihat dari faktor pekerjanya adalah ketidaksepahaman tentang
perbedaan pelaksanaan suatu aturan hukum atau perbedaan penafsiran suatu aturan
hukum yang masuk dalam katagori perselisihan hak atau perselisihan hukum.67
67 Aloysius Uwiyono, Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
D. Perselisihan Dalam Hubungan Industrial Pancasila
Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan
pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari
keseluruhan sila-sila dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tumbuh
dan berkembang di atas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.68
Ini artinya prinsip hubungan industrial pancasila yang dianut di Indonesia
harus dipergunakan sebagai acuan dalam mengatasi atau memecahkan berbagai
persoalan yang timbul (perselisihan) dalam bidang ketenagakerjaan. Hal ini berarti
bahwa kegiatan-kegiatan hubungan industrial harus mengamalkan sila-sila dari
pancasila sebagai berikut :69
1. Hubungan industrial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menyatakan bahwa pengusaha dan pekerja harus menerima dan percaya bahwa perusahaan adalah berkat dan rahmat Allah SWT serta kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kita, supaya kita dapat melayani sesama manusia, serta kesempatan untuk berbakti pada nusa dan bangsa. Sebab itu perlu adanya kebebasan beragama dan beribadah, dan ada rasa saling menghormati antara sesama kelompok-kelompok agama.
2. Hubungan industrial berdasarkan keadilan dan peradapan manusia menganjurkan bahwa setiap pekerja tidak boleh diperlakukan hanya sebagai faktor produksi tetapi juga sebagai mahluk individu yang memiliki kepribdaian, berdasarkan kenyataan ini, hubungan pengusaha dengan karyawan harusberdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan rasa cinta dengan sesama.
3. Hubungan industrial berdasarkan persatuan Indonesia, menunjukan bahwa tidak ada diskriminasi golongan, agama, dan antara pria dan wanita. Antara pengusaha dan pekerja, harus mengingkatkan rasa cinta air dan
68 Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila (HIP), (Jakarta : Depatemen
Tenaga Kerja, 1985), hlm. 9 69 Ibid
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, serta menempatkan kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
4. Hubungan industrial berdasarkan perwakilan dan permusyawaratan mengutamakan bahwa pemilik perusahaan dan pekrja harus berlaku sebagai patner dalam produksi. Ini berarti mereka harus tolong menolong dan berusaha mencari persesuaian di antara mereka. Keduanya pengusaha dan pekerja harus mengutamakan pemusyawaratan dalam membuat keputusan bagi kepentingan bersama.
5. Hubungan industrial berdasarkan keadilan sosial, mempunyai arti baik pengusaha maupun pekerja harus berusaha untuk memperbaiki kesejahteraan semua pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Setiap orang harus menerima balas jasa sesuai dengan fungsi dan kemampuanya.
Hubungan industrial pancasila berbeda dengan hubungan industrial di negara
lain karena memiliki ciri khas yaitu :70
1. Hubungan Industrial Pancasila mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan hanya bertujuan untuk sekedar mencari nafkah, akan tetapi sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya, kepada sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Hubungan Industrial Pancasila menganggap pekerja/buruh bukan hanya sekedar faktor produksi belaka, tetapi sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya, oleh karena itu perlakuan pengusaha/majikan kepada pekerja/buruh bukan hanya dilihat dari segi kepentingan produksi belaka, tetapi harus dilihat dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia.
3. Dalam Hubungan Industrial Pancasila, setiap ada perbedaan pendapat antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan harus dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilakukan secara kekeluargaan, karena dalam tindakan mogok, penekanan dan penutupan perusahaan (Lock Out) adalah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Hubungan Industrial Pancasila.
Selain Hubungan Industrial Pancasila, juga dikenal beberapa hubungan
industrial di dunia, yaitu :
70 Hartono Widodo dan Juliantoro, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
(Jakarta : Rajawali Pers, 1992), hlm.15.
Universitas Sumatera Utara
a. Hubungan Industrial berdasarkan Demokrasi Liberal
Hubungan industrial ini berdasarkan pada falsafah individualisme dan liberalisme
yang dianut oleh negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Ciri hubungan industrial berdasarkan Demokrasi Liberal antara lain :71
1. Pekerja dan pengusaha mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, kepentingan
pekerja adalah mendapatkan upah yang sebesar-besarnya, sedangkan
pengusaha ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
2. Pihak majikan dan pekerja masing-masing membentuk kekuatan sosial untuk
memelihara dan melindungi kepentingan masing-masing dalam setiap
perselisihan.
3. Setiap individu baik majikan ataupun pekerja akan dijamin haknya untuk
berusaha atau berpartisipasi aktif dalam menentukan jalannya perusahaan.
4. Mufakat diselesaikan melalui konflik bargainning dan voting.
5. Lock Out (majikan) dan mogok kerja (Pekerja) merupakan senjata masing-
masing pihak untuk mendikte lawan.
b. Hubungan Industrial Berdasarkan Perjuangan Kelas
Hubungan indutrial ini berlandaskan Marxisme/Komunisme, yang memiliki ciri-
ciri sebagai berikut :72
71 Ali Mashar, Rasional dan Sejarah Singkat Hubungan Industrial Pancasila, dalam
http://www. pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/31022-12-928244234882.doc, Diakses tanggal 4 Mei 2009
72 Lalu Husni, Op.Cit, hlm.31
Universitas Sumatera Utara
1. Berdasarkan pada teori ”nilai lebih” dari Karl Marx dan Lenin, yakni
pengusaha selalu berupaya agar dapat menilai lebih meskipun dengan
mengambil sebagian upah pekerja.
2. Perjuangan kelas diperlukan untuk mencapai diktator proletariat yang
merupakan masa transisi ke tahap penghapusan semua kelas menuju
masyarakat tanpa kelas.
3. Untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, kelas tertindas harus
dipertentangkan dengan kelas penindas.
4. Pekerja dan pengusaha adalah dua pihak yang bertentangan kepentingan
karena itu perbedaan pendapat diselesaikan dengan saling menjatuhkan.
c. Hubungan industrial yang didasarkan pada ajaran sosial Rerum Novarum,
berpandangan bahwa pertentangan kelas dalam masyarakat tidak bersifat abadi,
karena itu perlu diupayakan kerja sama.
d. Hubungan industrial atas dasar komitmen seumur hidup.
Sistem ini diterapkan di Jepang yang mencerminkan hubungan industrial yang
bersifat desentralistik dan paternalistik yang menekankan kewajiban
kesejahteraan pekerja menjadi tanggungjawab pihak perusahaan.
Untuk mewujudkan falsafah hubungan industrial Pancasila di dalam
kehidupan sehari-hari perlu dirintis sarana perwujudannya, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Lembaga Kerjasama Bipartit
Lembaga kerjasama bipartit73 adalah lembaga yang berada pada tingkat unit
produksi yang dibentuk bersama-sama dengan pengusaha dan pekerja. Badan ini
merupakan forum konsultasi, komunikasi dan musyawarah dalam pelaksanaan
kehidupan sehari-hari yang berkaitan dalam meningkatkan produktivitas kerja,
ketenangan kerja dan usaha serta penelitian praktek-praktek kesepakatan kerja
dan penetapan tata cara kerja.
2. Lembaga Kerja Sama Triparit
Lembaga kerjasama tripartit adalah lembaga kerja sama yang anggotanya terdiri
dari unsur pemerintah, organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Fungsi
lembaga ini74 adalah sebagai forum konsultasi dan komunikasi dengan tugas
utamanya menyatukan konsepsi, sikap, dan rencana dalam menghadapi berbagai
masalah ketenagakerjaan, baik timbul sekarang maupun yang timbul di masa
datang.
73 LKS Bipartit tidak dapat diartikan sebagai kerjasama dalam arti fisik, melainkan dalam
konsep pemikiran dan penyamaan persepsi. LKS Bipartit tidak dapat menggantikan fungsi SP didalam perundingan atau musyawarah, apalagi mencapai suatu kesepakatan. LKS Bipartit hanya sebatas sebagai forum komunikasi dan konsultasi yang tidak mengikat semua pihak. Pada perusahaan dengan jumlah pekerja kurang dari 50 orang, komunikasi dan konsultasi masih dapat dilakukan secara individual dengan baik dan efektif, namun pada perusahaan dengan jumlah pekerja 50 orang atau lebih, komunikasi dan konsultasi perlu dilakukan melalui sistem perwakilan. Agus Setya Permana, Hubungan Industrial, dalam http://www.sp-bni.or.id/content/hubungan-industrial, Diakses tanggal 20 Mei 2009.
74 Sedangkan tugas lembaga ini adalah (a).menggalang komunikasi dan kerjasama yang baik antara pemerintah, pekerja dan pengusaha. (b).menampung, merumuskan dan memecahkan masalah yang menyangkut dalam bidang ketenagakerjaan (c).membina komunikasi, informasi, konsultasi secara timbal balik dalam hubungan kerja dari ketiga unsur tripartit (d).dalam hubungan dengan badan-badan lain yang bersifat tripartit, memberikan informasi dan konsultasi secara timbal balik juga dengan LKS Tripartit daerah dan sektoral. Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia : Panduan Pengusaha, Pekerja dan calon Pekerja, (Jakarta : Pustaka Yistisia, 2008), hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
3. Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Industrial
Kelembagaan ini merupakan mekanisme penyelesaian keluh kesah yang
seharusnya diadakan di setiap perusahaan.75 Apabila penyelesaian keluh kesah di
perusahaan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat, maka
penyelesaiannya didasarkan pada ketentuan pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yaitu menyerahkan pada pegawai perantara yang pada
dasarnya merupakan tahap penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Untuk itu
pihak yang berselisih menyadari bahwa sikap keterbukaan merupakan salah satu
kunci penyelesaian, yang berarti dihadapan pegawai perantara harus merupakan
tempat tukar menukar informasi lebih mendalam terhadap kedua belah pihak,
sehingga proses penyelesaian dapat berjalan lancar, cepat dan baik.
4. Organisasi Ketenagakerjaan
Organisasi ketenagakerjaan yang terdiri dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh76 dan
75 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat, Ali Sodikin, Sarana Menciptakan Hubungan Industrial Yang Harmonis, dalam http://apindo.or.id/index/berita/aW5mbywyNDk, Diakses tanggal 3 Mei 2009.
76 Serikat Pekerja/ Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud di atas, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Ibid
Universitas Sumatera Utara
Organisasi Pengusaha77 haruslah sesuai dengan tuntutan hubungan industrial
Pancasila, yaitu antara lain :
a. harus dibentuk secara demokratis
b. harus berasaskan Pancasila
c. dibentuk bukan karena tujuan menghimpun kekuatan demi tercapainya tujuan
kelompoknya, tetapi harus dibentuk sebagai salah satu rekanan pengusaha
untuk meningkatkan produksi dalam menunjang pembangunan.
Pelaksanaan Hubungan Industial Pancasila akan memberikan kepada pekerja
dan pengusaha suatu filsafat untuk dapat memahami lebih lanjut kedudukan, peranan
dan partisipasinya dalam pembangunan. Secara lebih jauh Hubungan Industrial
Pancasila dapat digunakan sebagai sarana dalam mengurangi timbulnya masalah
ketenagakerjaan, sehingga segala macam rintangan yang dapat menghambat
kelancaran jalannya pembangunan sedikit banyaknya dapat diatasi.
Di dalam hubungan industrial yang berdasarkan Pancasila, maka pengusaha
sebagai pemberi kerja dan upah serta pekerja sebagai penerima kerja dan upah,
merupakan patner dalam pembangunan, oleh karena itu hubungan antara pekerja dan
pengusaha harus selalu bekerjasama secara kekeluargaan dan bergotong royong yang
berdasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, khususnya sila
77 Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
Keberadaan organisasi pengusaha dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan pengusaha dalam rangka melindungi iklim investasi dan terselenggaranya proses produksi yang aman dan lancar. Untuk saat ini, organisasi pengusaha yang mewakili pengusaha di bidang ketenagakerjaan dan Lembaga Kerjasama Tripartit adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ibid
Universitas Sumatera Utara
kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adanya kerja sama antara pengusaha dengan pekerja yang bersifat
kekeluargaan dan segala sesuatu diselesaikan dengan permusyawaratan dan
kesepakatan, maka di dalam Hubungan Industrial Pancasila akan tercipta suatu
hubungan yang selaras, serasi dan seimbang. Pekerja di samping partner di dalam
menciptakan produksi, juga sebagai teman seperjuangan dalam pemerataan
menikmati hasil keuntungan perusahaan menurut bagian yang layak sesuai dengan
prestasi kerja para pekerja sebagai partner dalam bertanggung jawab.
Seiring adanya reformasi negara, istilah hubungan industrial Pancasila seakan
menghilang dan tidak pernah disebut-sebut lagi. Saat ini istilah hubungan industrial
Pancasila sering disebut hubungan industrial saja. Sejak reformasi tahun 1998, telah
terjadi beberapa perubahan mendasar di bidang ketenagakerjaan di Indonesia yang
berdampak pada sistem dan pelaksanaan hubungan industrial, diantara perubahan
tersebut adalah:78
Pertama, reformasi politik dan pemerintahan tahun 1998, dari pengekangan
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat selama pemerintahan Orde Baru
menjadi eufora reformasi dan demokrasi. Eoforia reformasi tersebut bukan saja
berdampak pada pembentukan lebih dari 100 partai politik baru, akan tetapi juga pada
pembentukan lebih dari 100 serikat pekerja.
78 Sarana Hubungan Industrial, dalam http//www.ab-fisip-upnyk.com/files/Bab-02-Sarana-
HI.pdf, Diakses tanggal 15 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, pelaksanaan otonomi daerah di tingkat kabupaten dan kota, menuntut
peningkatan peranan serikat pekerja dan asosiasi pengusaha di tingkat kabupten atau
cabang. Demikian juga dengan otonomi daerah, terjadi pergeseran kewenangan
perumusan dan pelaksanakan kebijakan ketenagakerjaan dan hubungan indistrial serta
pengawasan dari aparat Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah tingkat kabupaten
atau kota.
Ketiga, Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour
Organization (ILO) pada tahun 1998 mengeluarkan Deklarasi yang pada intinya
mewajibkan semua negara di dunia meratifikasi dan menerapkan prinsip 8 Konvensi
Dasar ILO. Dua diantaranya, yaitu Konvensi Nomor 87 dan Nomor 98 menyangkut
kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk bernegosiasi. Ratifikasi kedua
Konvensi tersebut juga berarti membuka peluang dan perlindungan bagi para pekerja
untuk membentuk serikat pekerja.
Keempat, Indonesia bersama negara-negara lain merupakan bagian dari dunia
menghadapi globalisasi. Ciri utama globalissi adalah persaingan yang tajam antar
perusahaan dan antar negara. Persaingan tersebut bukan saja menuntut reorientasi
hubungan antara serikat pekerja dan pengusaha dari yang selama ini cenderung
konfrontatif menjadi kooperatif. Perubahan-perubahan tersebut menuntut perubahan
dalam pendekatan, kelembagaan dan penerapan hubungan industrial antara lain :79
79 Ibid
Universitas Sumatera Utara
1. Euforia Reformasi
Setelah adanya reformasi, banyak pekerja merasa telah memiliki kembali
haknya untuk berserikat. Serikat pekerja langsung tumbuh seperti jamur. Hingga
akhir tahun 2002 sudah terbentuk dan terdaftar di Departemen Tenaga Kerja dan
transmigrasi 71 Federasi Serikat Pekerja dan lebih dari 100 serikat pekerja tingkat
nasional yang non-afiliasi. Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98 yang telah
diratifikasi Infonesia memungkinkan pembentukan lebih dari satu serikat pekerja di
satu perusahaan. Keberadaan serikat pekerja yang demikian menuntut perubahan
berbagai kelembagaan dan proses pelaksanaan hubungan industrial, antara lain
komposisi dan mekanisme kerja Lembaga Bipartit dan Tim Perunding di tingkat
perusahaan, Panitia Penyelesaian Perselisihan, Lembaga Tripartit dan lain-lain.
2. Otonomi Daerah
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi
pemerintahan dilaksanakan di tingkat kebupaten dan kota. Pada tingkat
kabupaten/kota tersebut, masing-masing federasi serikat pekerja dan serikat pekerja
non afiliasi pada umumnya mempunyai perangkat organisasi dalam bentuk Pengurus
Cabang, demikian juga asosiasi pengusaha juga mempunyai perangkat organisasi di
tingkat kabupaten dan kota.
Patut diantisipasi bahwa akan banyak peraturan ketenagakerjaan terutama
yang bersifat pelaksanaan yang akan ditetapkan di tingkat kabupaten dan kota dalam
bentuk Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati. Oleh karenanya, asosiasi pengusaha,
setiap federasi serikat pekerja unitaris atau yang berdiri sendiri, perlu memperkuat
Universitas Sumatera Utara
dan memberdayakan perangkat organisasi dan Pengurus Cabang supaya berperan
aktif sebagai mitra sosial bersama Pemerintah Daerah setempat terutama di berbagai
lembaga tripartit di masing-masing kabupaten dan kota.
3. Deklarasi ILO
Sebagaimana dikemukakan di atas, Konferensi ILO ke-86 bulan Juni1998
telah mengeluarkan satu Deklarasi yang intinya adalah bahwa semua negara anggota
ILO menyatakan komitmen mereka untuk meratifiksi dan atau menerapkan prinsip-
prinsip konvensi Dasar ILO. Konvensi dasar tersebut kemudian berkembang yang
dikelompokkan menjadi 4 bidang yaitu bidang :
a. Kebebasan dan perlindungan hak berserikat dan berunding bersama, terdiri dari
Konvensi Nomor 87 dan Nomor 98;
b. Larangan kerja paksa, terdiri dari Konvensi Nomor 29 dan Nomor105;
c. Larangan memperkerjakan anak, terdiri dari Konvensi Nomor 138 dan Nomor
182;
d. Larangan diskriminasi dalam penerimaan dan perlakukan terhadap pekerja, terdiri
dari Konvensi Nomor 100 dan Nomor 111.
Konvensi dasar tersebut merupakan ketentuan minimal yang harus dipatuhi
oleh pengusaha dan Pemerintah di semua negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Dengan demikian, perusahaan multinasional tidak mungkin
menghindari kewajiban melaksanakan Konvensi dasar tersebut misalnya dengan
pindah ke negara tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Juga merupakan kewajiban pengusaha dan serikat pekerja untuk bersama-
sama melaksanakan ketentuan Konvensi dasar dimaksud. Serikat pekerja di tingkat
perusahaan bukan saja ikut terlibat langsung dan aktif dalam menerapkan Konvensi
dasar dimaksud, akan tetapi juga perlu aktif melaporkan pelaksanaannya.
E. Faktor Penyebab Terjadinya Perselisihan Antara Pekerja Dengan Pengusaha
Perselisihan hubungan industrial dapat terjadi dengan didahului ataupun tidak
didahului oleh suatu pelanggaran hukum. Perselisihan hubungan industrial yang
didahului suatu pelanggaran hukum terjadi dalam beberapa bentuk :80
a. Pengusaha tidak memenuhi hak normatif pekerja sebagaimana telah diperjanjikan
atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya
pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum.
b. Perlakuan pengusaha yang bersifat diskriminatif. Misalnya perbedaan
pembayaran upah berdasarkan perbedaan gender atau warna kulit.
c. Pekerja melakukan tindakan tidak disiplin atau kesalahan atau pelanggaran,
misalnya: malas, mengganggu pekerja lain, merusak alat, mencuri.
Perselisihan hubungan industrial yang tanpa didahului suatu pelanggaran
dapat terjadi karena faktor :81
80 Kajian Penanganan Perselisihan Industrial Melalui Hubungan Tripartit Dalam Perspektif
HAM, dalam http://www.unissula.ac.id/mh/artikel, Diakses tanggal 20 Nopember 2008. Hal serupa juga sesuai dengan hasil wawancara SPSI Sumatera Utara (Bapak Usman) dan KPS (Bapak Situmorang) tanggal 20 Mei 2009 dan 8 Juni 2009).
81 Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama atau
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Misalnya dalam pemberian
bonus, cuti panjang, pembayaran uang lembur, dan lain-lain.
b. Tidak tercapai kesepahaman tentang syarat-syarat kerja, misalnya karena
pengusaha tidak mampu atau tidak bersedia memenuhi tuntutan pekerja atau
serikat pekerja dalam hal kenaikan upah, uang transpor, hak cuti, dan lain-lain.
Berdasarkan hasil peneltian tim SMERU, dari kasus-kasus perselisihan
hubungan industrial dan pemogokan kerja di tingkat perusahaan, penyebab utama
yang sering ditemui di banyak perusahaan dapat dikelompokkan dalam 4 (empat)
kategori :82
1. Tuntutan non-normatif, yaitu yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak diatur
dalam peraturan perundangan dan Perjanjian Kerja Bersama. Perselisihan ini
sebagai refleksi ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, misalnya karena
belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang transport dan uang susu,
pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana rekreasi, sistem pembayaran
upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service charge di perhotelan, fasilitas
tempat kerja kurang memadai atau pencabutan fasilitas, dan hal-hal lain.
2. Tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam
peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam Perjanjian Kerja
Bersama, maupun penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru.
82Hubungan Industrial Di Era Kebebasan Berorganisasi, dalam http://pukmusashi.blogspot.com/2005/10/hubungan-industrial-di-era-kebebasan.html, Diakses tanggal 17 April 2009
Universitas Sumatera Utara
Misalnya pelaksanaan Upah Minimum Regional atau upah yang telah menjadi
kesepakatan bersama (tripartit), uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan
perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukan serikat pekerja dan pemilihan
pengurus secara demokratis, Tunjangan Hari Tua, Tunjangan Hari Raya, dan
pemberian pesangon.
3. Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan (misalnya oleh pekerja dari
perusahaan lain) dan aksi solidaritas untuk melakukan tuntutan bersama secara
massal, misalnya menuntut pemberlakuan upah minimum regional, kenaikan uang
transport dan uang makan sebagai akibat kenaikan bahan bakar minyak,
pemberlakuan cuti haid; dan
4. Tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain
agar ikut berunjuk rasa.
Perselisihan yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha disebabkan
beberapa faktor, yaitu83 :
a. Faktor Internal
Faktor internal yang menyebabkan perselisihan antara pekerja dengan
pengusaha bisa berasal dari pihak pengusaha maupun pihak pekerja. Penyebab yang
berasal dari pengusaha antara lain :
83 Rangkuman wawancara dengan Bapak Maurid Siahaan (Disnakertrans Sumut), Bapak
Usman Syam (SPSI Sumut), Bapak Sitomorang (KPS) dan SBMI.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang.
2. Pengusaha ingkar janji terhadap perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya.
3. Perusahaan membuat kebijakan sendiri dengan tidak memperhatikan kepentingan
pekerja.
4. Sikap pengusaha yang tidak baik.
5. Manajemen perusahaan yang kacau.
6. Tidak ada keterbukaan di perusahaan.
7. Pengusaha diskriminasi terhadap pekerja.
Adapaun penyebab perselisihan yang berasal dari pekerja adalah antara lain
sebagai berikut :
1. Pekerja tidak melaksanakan kewajibannya kepada perusahaan dan ingkar janji
terhadap perjanjian yang sudah dibuat sebelumnya.
2. Pekerja menuntut hak yang berlebihan kepada pengusaha, misalnya meminta gaji
dan fasilitas yang diluar kemampuan perusahaan.
3. Sikap dan prilaku pekerja yang tidak baik.
Pengaturan syarat-syarat kerja selama berlangsungnya hubungan kerja yang
tidak jelas dapat juga menjadi penyebab terjadinya perselisihan antara pekerja dengan
pengusaha. Hal ini bisa menjadi sumber kesalahpahaman antara pekerja dengan
pengusaha sehingga menimbulkan perselisihan.
b. Faktor Eksternal
Selain disebabkan oleh faktor internal perusahaan, perselisihan juga bisa
dipengaruhi faktor-faktor dari luar perusahaan, yaitu antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1. Pengaruh kebijakan pemerintah, yang sering menjadi pemicu terganggunya
hubungan antara pekerja dengan pengusaha, pekerja menilai kebijakan
pemerintah tidak berpihak kepadanya dan penyusunan kebijakan tersebut tidak
melibatkan pihak pekerja. Sebaliknya pengusaha juga menilai kebijakan
pemerintah berupa peraturan-peraturan ketenagakerjaan sering memberatkan
pengusaha. Akibatnya masing-masing pihak merasa dirugikan oleh kebijakan
pemerintah dan menimbulkan keresahan di perusahaan.
2. Minimnya sosialisasi peraturan perundang-undangan
3. Pengawasan ketenagakerjaan tidak berjalan efektif, akibatnya banyak pelanggaran
yang dilakukan oleh pengusaha tidak ditindak. Akibatnya lama kelamaan bisa
menyebabkan perselisihan di perusahaan.
4. Faktor ekonomi juga bisa menjadi pemicu terjadinya perselisihan, hal ini
berkaitan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan, misal faktor tingginya inflasi,
kenaikan harga BBM yang menaikan harga kebutuhan pokok.
5. Faktor lingkungan sekitar dan pengaruh pihak ketiga, hal ini bisa diakibatkan
tingkat kesejahteraan di perusahaan lain yang sejenis lebih baik dan provokasi
dari lingkungan sekitar.
Perusahaan yang tidak banyak menghadapi masalah perselisihan industrial
adalah perusahaan yang telah melaksanakan hak-hak normatif dan memperhatikan
kesejahteraan pekerja/buruh, memperlakukan pekerja/buruh mereka sebagai mitra,
dan membina komunikasi serta membuka peluang adanya keterbukaan dengan
pekerja/buruhnya. Di perusahaan seperti ini, perselisihan hubungan industri biasanya
Universitas Sumatera Utara
hanya terjadi apabila perusahaan mengalami goncangan secara tiba-tiba, misalnya
saja serangan terhadap gedung World Trade Center pada bulan September 2001 dan
penurunan produksi secara drastis atau penurunan pesanan sebagai akibat krisis
ekonomi, sehingga perusahaan terpaksa mengurangi biaya produksi dan mengambil
tindakan PHK untuk mengurangi jumlah tenaga kerja.84
Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera ditanggapi
oleh pihak perusahaan, perundingan tidak segera dilakukan, atau karena kesepakatan
antara perusahaan dan pekerja tentang jenis tuntutan atau nilai tuntutan belum dapat
dicapai.
Tim Peneliti SMERU membagi perselisihan industrial dan mogok kerja
menjadi empat kategori, yaitu:85
vii. Perselisihan ringan, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan
melibatkan lebih dari satu pekerja/buruh yang dapat diselesaikan secara bipartit.
viii. Perselisihan sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan
didampingi atau melibatkan lebih dari satu pekerja/buruh yang dapat diselesaikan
secara bipartit.
ix. Perselisihan berat, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja yang dapat
diselesaikan di tingkat tripartit.
84 Hasil wawancara dengan bapak TB Hasbi (APINDO Sumut) tanggal 8 Juni 2009, demikian
juga pendapat Bapak Maurid Siahaan (Disnakertrans Sumut). 85 Hubungan Industrial di Era Kebebasan Berorganisasi, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
x. Perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial disertai mogok kerja dan
melibatkan lebih dari satu pekerja/buruh yang belum atau dapat diselesaikan di
tingkat tripartit.
Akhirnya, berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak86, kesimpulan
yang dapat diambil mengenai praktek penyelesaian perselisihan industrial, antara lain
adalah:
1. Perselisihan industrial antara pekerja dengan atasan (perselisihan individual)
biasanya pertama-tama diselesaikan secara musyawarah informal antara pihak
yang berselisih dengan difasilitasi oleh serikat pekerja tingkat perusahan (SP-TP).
Bila tidak tercapai kesepakatan, maka kasus perselisihan akan diajukan ke tingkat
bipartit yang akan melibatkan perusahaan secara formal.
2. Perselisihan yang bersifat tuntutan non-normatif biasanya dapat diselesaikan
secara bipartit. Keputusan yang diambil umumnya merupakan hasil kompromi
antara kepentingan pekerja dan kepentingan perusahaan, dalam batas toleransi
kedua belah pihak, misalnya mengenai tuntutan bonus. Umumnya pekerja atau SP
tidak terlalu memaksa bahwa semua tuntutan harus dipenuhi, yang penting
tuntutan mereka mendapat tanggapan dari perusahaan meskipun hanya sebagian.
3. Tuntutan yang bersifat normatif biasanya untuk pertama kali diselesaikan secara
bipartit, namun bila tuntutan tersebut tidak ditanggapi perusahaan, maka dapat
86 Kesimpulan dari hasil wawancara di Disnakertrans, SPSI Sumut, SBMI, KPS, DPP Apindo
Sumut.
Universitas Sumatera Utara
dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi sampai ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
4. Tuntutan yang disertai unjuk rasa massal dan berdampak PHK apabila tidak dapat
diselesaikan di tingkat bipartit biasanya kemudian diselesaikan sampai ke tingkat
pengadilan, sebab upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit ini harus
dilakukan terlebih dahulu oleh pekerja/buruh dan pemberi kerja (pengusaha)
terhadap semua jenis perselisihan hubungan industrial. Dari perundingan bipartit
ini diharapkan akan tercapai kesepakatan penyelesaian tanpa campur tangan pihak
ketiga. Hal ini dapat dimengerti karena sebetulnya yang paling mengetahui duduk
permasalahan dan berperan dalam perselisihan yang terjadi adalah pekerja/buruh
dan pengusaha. Campur tangan pihak ketiga bisa saja membantu mendinginkan
suasana tapi bisa juga membuat suasana menjadi lebih panas.
5. Sebagian perusahaan melakukan hal ini sebagai upaya untuk mendidik pekerja:
bahwa perselisihan yang tidak mau diselesaikan di tingkat bipartit dan disertai
unjuk rasa massal akan menelan biaya tinggi dan memakan waktu lama. Bagi
perusahaan hal ini tidak menjadi masalah, namun bagi pekerja dapat berdampak
besar.
6. Tuntutan yang disertai unjuk rasa dan kekerasan umumnya mengakibatkan
perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang
dianggap sebagai pemimpin, penggerak atau provokator unjuk rasa. Dalam kasus
semacam ini perusahaan kadang-kadang juga melibatkan pihak kepolisian,
selanjutnya masalah akan diajukan ke peradilan pidana.
Universitas Sumatera Utara