chapter ii 5

Upload: edy-timanta-tarigan

Post on 29-Feb-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

giniiiiiiiiiii

TRANSCRIPT

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA TERHADAP KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA TANAH DAN KADAR RESIDU PESTISIDA PADA BUAH JERUK

II. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Sekilas tentang JerukTanaman jeruk merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Negara Cina dipercaya sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh (David, 2007). Klasifikasi tanaman jeruk adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae Genus : Citrus Species : Citrus sp.

Jenis jeruk lokal yang dibudidayakan di Indonesia adalah jeruk Keprok (Citrus reticulata/nobilis L.), jeruk Siem (C. microcarpa L. dan C.sinensis. L) yang terdiri atas Siem Pontianak, Siem Garut, Siem Lumajang, jeruk manis (C. auranticum L. dan C.sinensis L.), jeruk sitrun/lemon (C. medica), jeruk besar (C.maxima Herr) yang terdiri atas jeruk Nambangan-Madium dan Bali. Jeruk untuk bumbu masakan yang terdiri atas jeruk nipis (C. aurantifolia), jeruk Purut (C. hystrix) dan jeruk sambal (C.hystix ABC). Jeruk varietas introduksi yang banyak ditanam adalah varitas

Lemon dan Grapefruit. Sedangkan varitas lokal adalah Jeruk Siem, Jeruk Baby, Keprok Medan, Bali, Nipis Dan Purut (Prihatman, 2000).

Manfaat buah jeruk salah satunya sebagai makanan buah segar atau makanan olahan, di mana kandungan vitamin C yang tinggi. Di beberapa negara telah diproduksi minyak dari kulit dan biji jeruk, gula tetes, alkohol dan pektin dari buah jeruk yang terbuang. Minyak kulit jeruk dipakai untuk membuat minyak wangi, sabun wangi, esens minuman dan untuk campuran kue. Beberapa jenis jeruk seperti jeruk nipis dimanfaatkan sebagai obat tradisional penurun panas, pereda nyeri saluran napas bagian atas dan penyembuh radang mata (Prihatman, 2000).

2.2. Perjalanan Pestisida ke LingkunganPelaksanaan perlindungan tanaman serta penggunaan sarana dan cara dalam rangka perlindungan tanaman memang bermanfaat untuk mencegah dan mengurangi kerugian ekonomis yang dapat ditimbulkan oleh organisme pengganggu tumbuhan. Di pihak lain, pelaksana perlindungan tanaman termasuk penggunaan sarana dan cara tertentu dapat mengganggu kesehatan dan mengancam keselamatan manusia dan menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian, 2004).

Tarumingkeng (1992) menyatakan sebab utama terjadinya pencemaran lingkungan oleh pestisida adalah pengendapan (deposits) dan residu pestisida yang digunakan untuk pengendalian hama, penyakit serta tumbuhan pengganggu (gulma)

serta serangga yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Deposit adalah materi yang terdapat pada permukaan segera setelah aplikasi, sedangkan residu merupakan materi yang terdapat di atas atau di dalam benda lain setelah beberapa saat atau mengalami penuaan (aging), perubahan kimia (alteration) atau keduanya. Residu permukaan atau residu efektif adalah banyaknya materi yang tertinggal, misalnya pada tanaman setelah aplikasi. Residu permukaan dapat hilang karena pencucian (pembilasan), penggosokan, hidrolisis dan sebagainya. Dalam waktu 1-2 jam setelah aplikasi pestisida, kemungkinan besar 90% deposit telah hilang karena pencucian oleh air hujan, sisanya biasanya terurai oleh sinar ultraviolet. Beberapa jenis pestisida lipofilik cenderung terakumulasi (menumpuk) pada lapisan malam (lilin) dan lemak tanaman, terutama di bagian kulit. Itulah sebabnya sayuran atau buah terutama yang dikonsumsi mentah perlu dicuci atau dikupas terlebih dahulu.

Pestisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan, kemudian terangkut ke tempat lain oleh air, angin atau organisme yang berpindah tempat. Ketiga komponen ini kemudian mengubah pestisida tersebut melalui proses kimiawi atau biokimiawi menjadi senyawa lain yang masih beracun atau senyawa yang telah hilang sifat racunnya. Yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi lingkungan adalah berbagai pengaruh dinamis pestisida dan derivat-derivatnya setelah mengalami perubahan oleh faktor lingkungan secara langsung atau faktor hayati terhadap sistem hayati dan ekosistemnya (Tarumingkeng, 1976).

Air merupakan medium utama bagi transportasi pestisida. Pindahnya pestisida dapat bersama partikel air atau debu pembawa. Pestisida dapat pula menguap karena

suhu yang tinggi (pembakaran). Pestisida yang ada di udara bisa kembali ke tanah oleh hujan atau pengendapan debu (Tarumingkeng, 1992).

2.3. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida di LingkunganPemberantasan hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida dapat menimbulkan masalah ekologi yang rawan. Keadaan ini mengakibatkan pencemaran tanah dan air, adanya resiko yang tinggi keracunan bagi manusia yang memperlakukan pestisida dan tanaman, kemungkinan adanya residu pestisida yang tinggi pada produk-produk yang dipasarkan dan biaya produksi yang tinggi (Arifin dan Lubis, 2003).

Dewasa ini kasus mengenai residu atau pencemaran pestisida pada hasil pertanian menjadi sorotan tajam. Hal ini disebabkan karena residu pestisida yang terkandung pada tanaman yang dikonsumsi dapat mengganggu kesehatan manusia bahkan membahayakan manusia. Dalam kaitan ini, pengujian analisis residu pestisida di laboratorium selalu digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah hasil pertanian ada pada tingkat yang aman atau tidak untuk dikonsumsi (Bethlee, dan Cloyd, 2000).

Dampak negatif penggunaan pestisida selain disebut di atas, yaitu:

1. Menimbulkan resistensi pada hama pertanian.

2. Menurunkan populasi predator baik dari golongan serangga, burung maupun ikan yang sebenarnya bukan sasaran.

3. Menurunkan populasi organisme yang berperan penting dalam menjaga kesuburan tanah (cacing tanah, jamur, dan serangga tanah).

4. Menghambat aktivitas fiksasi nitrogen pada tanaman kacang-kacangan

(bakteri nitrat dan nitrit).

5. Tidak terdegradasi di lingkungan sehingga residunya akan terdistribusi melalui rantai makanan.

6. Menimbulkan keracunan pada hewan ternak dan manusia.

7. Racun pestisida dapat terakumulasi melalui rantai makanan dan dapat terkonsentrasi pada organisme tertentu. Cacing tanah, misalnya dapat mengkonsentrasikan pestisida pada tubuhnya hingga mencapai 20 kali konsentrasi pestisida pada tanah sekitarnya.

8. Karena peristiwa akumulasi tersebut (bioakumulasi) melalui rantai makanan, pestisidacenderung untuk lebih terkonsentrasi pada organisme yang menempati piramida makanan yang lebih tinggi. Salah satu organisme tersebut adalah manusia. Hal ini menyebabkan manusia rawan untuk teracuni pestisida, yang menurut penelitian diduga kuat termasuk bahan karsinogenik atau penyebab kanker (Komisi Pestisida, 1997).

2.4. Peraturan-peraturan yang Berkaitan dengan PestisidaKelompok Kerja Penyusunan Revisi Metode Analisis residu Pestisida pada Hasil Pertanian 2004 menyatakan untuk menjamin penggunaan bahan kimia agar ramah lingkungan dan meningkatkan keamanan yang tinggi maka diperlukan

peraturan dan perundang-undangan sebagai upaya pengelolaan penggunaan bahan kimia tersebut baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional untuk mengurangi resiko terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Berikut ini adalah berbagai kebijakan dan perundang-undangan Indonesia mengenai bahan kimia berbahaya beracun dan pestisida:

1. Stockholm Convention tentang Persistent Organic Pollutants (POPs).

2. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.

3. UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4. PP No. 7/1973 tentang Pengawasan Distribusi, Penyimpanan dan Penggunaan

Pestisida.

5. PP No. 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman.

6. PP No. 85/1999 tentang Perubahan Undang-Undang yang Berkaitan dengan

Bahaya serta Penanganan Limbah B3.

7. PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

8. KEPMENTAN No. 434/Kpts/TP.270/7/2001 tentang Syarat-syarat dan

Prosedur Pendaftaran Pestisida.

9. KEPMENTAN bulan September 2002 tentang Manajemen Pengawasan

Pestisida.

10. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian Nomor:

881/Menkes/SKBVIII/1996 tentang Batas Maksimum Residu Pestisida pada

771/Kpts/TP.270/8/96 Hasil Pertanian.

2.5. Residu PestisidaResidu pestisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida (Kelompok Kerja Penyusunan Revisi Metode Analisis Residu Pestisida Pada Hasil Pertanian, 2004).

Hasil pertanian yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri tidak boleh mengandung residu pestisida melebihi Batas Maksimum Residu (BMR). BMR didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum residu pestisida yang secara hukum diizinkan atau diketahui sebagai konsentrasi yang dapat diterima dalam atau pada hasil pertanian, bahan pangan, atau bahan pakan hewan. Konsentrasi tersebut dinyatakan dalam miligram residu pestisida per kilogram hasil (Kelompok Kerja Penyusunan Revisi Metode Analisis Residu Pestisida pada Hasil Pertanian, 2004).

2.6. Lingkup Pengujian Residu Pestisida dalam Hasil PertanianSuatu proses pengujian harus dilakukan untuk menentukan apakah suatu hasil pertanian telah memenuhi persyaratan ketentuan BMR Pestisida. Penetapan apakah suatu hasil pertanian diterima atau ditolak untuk beredar di pasaran Indonesia harus didasarkan pada data analisis dengan validitas dan reliabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menghindari kesalahan teknis yang tidak perlu sebagai akibat dari kesalahan interprestasi dalam pamahaman terhadap metode pengujian residu pestisida, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat

Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan menyusun Buku Pedoman Pengujian Residu Pestisida dalam hasil Pertanian yang merupakan acuan untuk tujuan pengujian tingkat residu pestisida (Kelompok Kerja Penyusunan Revisi Metode Analisis residu Pestisida pada Hasil Pertanian, 2004).

Langkah-langkah pengujian tingkat residu pestisida adalah sebagai berikut:

1) pengambilan contoh/sampel, 2) penyiapan dan penyimpanan contoh analitik, dan

3) pelaksanaan analisis. Prosedur lengkap ketiga langkah tersebut harus sesuai dengan Pedoman Pegujian Residu Pestisida dalam hasil Pertanian (Kelompok Kerja Penyusun Revisi Metode Analisis Residu Pestisida dalam Hasil Pertanian, 2004).

2.7. Kelompok Arthropoda TanahSalah satu fauna tanah yang memegang peranan penting di dalam tanah adalah arthropoda. Arthropoda adalah Phylum fauna yang terbesar dan sangat beragam. Fauna yang termasuk ke dalam arthropoda adalah insekta (serangga), krustasea, centipoda, milipoda, simfila, pauropoda dan trilobita yang telah punah. Arthropoda dicirikan dengan segmentasi dan badannya dilapisi dengan sisik luar (exoskleton) dengan pasangan anggota pada setiap segmen, sistem syaraf yang kompleks dengan tulang belakang, sambungan syaraf melalui ujung anterior dari alat pencernaan (Borror, 1992).

Dalam dunia fauna, arthropoda meliputi lebih dari 90% kingdom animalia. Secara literal arthropoda berarti kaki yang beruas-ruas. Semua anggota dari kelompok

ini mempunyai bagian tubuh yang beruas-ruas, tidak hanya pada kakinya (Borror,

1992).

Arthropoda yang hidup di tanah disebut arthropoda tanah. Arthropoda tanah dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya di dalam tanah sebagai penghancur, predator, herbivor dan pemakan fungi (Moldenke, 2001).

1. PenghancurBeberapa arthropoda besar di atas permukaan tanah biasanya sebagai penghancur. Mereka mengunyah bahan-bahan tumbuhan yang telah mati, sekaligus juga memakan bakteri dan fungi yang menempel di permukaan tanaman. Jenis yang paling melimpah pada kelompok ini adalah lipan, kutu, rayap dan tungau (mite). Dalam tanah pertanian, kelompok arthropoda ini dapat menjadi hama karena memakan akar tanaman yang masih hidup jika bahan-bahan makanan yang telah mati kurang mencukupi (Moldenke, 2001).

2. Predator dan ParasitBeberapa arthropoda tanah adalah predator dan parasit. Predator dan mikropredator dapat disebut generalis, yaitu memakan beberapa tipe mangsa yang berbeda atau spesialis, yaitu hanya berburu satu tipe mangsa. Predator meliputi kelabang, laba-laba, kumbang tanah, kalajengking, laba-laba serigala, pseudoscorpion, semut dan tungau. Beberapa predator memakan hama tanaman diantaranya kumbang dan tawon parasit telah dikembangkan untuk biokontrol komersial (Moldenke, 2001).

3. HerbivoraBeberapa arthropoda yang menghabiskan hidupnya di dalam tanah seperti kumbang, symphylans, cicadas, mole-crikets, lalat centhomyiid adalah herbivora dan dapat menjadi hama tanaman. Jumlah herbivora ini cukup besar dan menyebabkan kerusakan pada akar atau bagian tanaman lainnya (Moldenke, 2001).

4. Pemakan FungiBeberapa arthropoda seperti springtail, beberapa tungau, silverfish memakan fungi dan juga beberapa jenis bakteri. Mereka menggaruk dan memakan bakteri dan fungi yang ada di permukaan akar. Sejumlah besar fraksi nutrient bagi tumbuhan dihasilkan oleh fauna pemakan mikroba ini (Moldenke, 2001).

2.8. Peranan Fauna TanahFauna tanah adalah semua organisme yang hidup di tanah, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah, sebagian atau seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam tanah. Kelompok fauna tanah ini sangat banyak dan beranekaragam, mulai dari protozoa, rotifera, nematoda, anelida, moluska, arthropoda hingga vertebrata (Kalshoven, 1981).

Peran hewan tanah pada ekosistem tanah cukup besar dalam menentukan kualitas dan struktur tanah. Peran hewan tanah dalam proses perombakan bisa terlaksana secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung karena memakan dan menghancurkan bahan organik, dan secara tidak langsung berupa

keikutsertaannya dalam meningkatkan jumlah mikroflora tanah yang juga berperan dalam proses perombakan bahan organik (Deshmukh, 1992).

Hewan tanah melaksanakan dua proses yang berlainan dalam perombakan. Pertama, pengecilan adalah reduksi ukuran partikel organik, yang terjadi berkat aktivitas makan hewan-hewan tanah. Kedua, katabolisme adalah pemecahan secara biokimia molekul organik kompleks berkat proses pencernaan fauna dan mikroflora tanah (Deshmukh, 1992). Selain berperan dalam proses perombakan bahan organik dan memperbaiki struktur tanah, fauna tanah juga berperan menaikkan nilai tukar kation dan menyumbang nitrogen bagi tanah (Graham, 1996).

Tanah yang kekurangan bahan organik menjadi padat, karena salah satu fungsi bahan organik adalah untuk memperbaiki tekstur dan struktur tanah. Fungsi lain bahan organik adalah sebagai sumber mineral sehingga di dalam tanah tersedia unsur hara yang diperlukan tanaman. Di dalam tanah bahan organik secara berangsur- angsur mengalami mineralisasi membentuk hara tanah. Kondisi tanah yang kekurangan bahan organik akan menyulitkan tanaman menyerap unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Hardjowigeno, 1995).