bahan kerajaan thai

39
Sejarah Asia Tenggara (2) : Zaman Kerajaan Kuno Kerajaan-kerajaan kunoKerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kerajaan-kerajaan agraris dan kerajaan-kerajaan maritim.Kegiatan utama kerajaan- kerajaan agraris adalah pertanian. Mereka kebanyakan terletak di semenanjung Asia Tenggara. Contoh kerajaan agraris adalah Kerajaan Ayutthaya, yang terletak di delta sungai Chao Phraya, dan Kerajaan Khmer yang berada di Tonle Sap. Kerajaan-kerajaan maritim kegiatan utamanya adalah perdagangan melalui laut. Kerajaan Malaka dan Kerajaan Sriwijaya adalah contoh dari kerajaan maritim.Tidak banyak yang diketahui mengenai kepercayaan dan praktek keagamaan Asia Tenggara, sebelum kedatangan dan pengaruh agama dari para pedagang India pada abad ke-2 Masehi dan seterusnya. Sebelum abad ke-13, agama-agama Buddha dan Hindu adalah kepercayaan utama di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan di daratan (semenanjung) Asia Tenggara pada umumnya memeluk agama Buddha, sedangkan kerajaan-kerajaan di kepulauan Melayu (Nusantara) umumnya lebih dipengaruhi agama Hindu. Beberapa kerajaan yang berkembang di semenanjung ini, awalnya bermula di daerah yang sekarang menjadi negara-negara Myanmar, Kamboja dan Vietnam.Peninggalan ibukota Kerajaan Ayutthaya, ThailandKekuasaan dominan yang pertama kali muncul di kepulauan adalah Sriwijaya di Sumatra. Dari abad ke-5 Masehi, Palembang sebagai ibukota Sriwijaya menjadi pelabuhan besar dan berfungsi sebagai pelabuhan persinggahan (entrepot) pada Jalur Rempah-rempah (spice route) yang terjalin antara India dan Tiongkok. Sriwijaya juga merupakan pusat pengaruh dan pendidikan agama Buddha yang cukup

Upload: reby4321

Post on 02-Jan-2016

115 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan Kerajaan Thai

Sejarah Asia Tenggara (2) : Zaman Kerajaan KunoKerajaan-kerajaan kunoKerajaan-kerajaan kuno di Asia Tenggara pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu kerajaan-kerajaan agraris dan kerajaan-kerajaan maritim.Kegiatan utama kerajaan-kerajaan agraris adalah pertanian. Mereka kebanyakan terletak di semenanjung Asia Tenggara. Contoh kerajaan agraris adalah Kerajaan Ayutthaya, yang terletak di delta sungai Chao Phraya, dan Kerajaan Khmer yang berada di Tonle Sap. Kerajaan-kerajaan maritim kegiatan utamanya adalah perdagangan melalui laut. Kerajaan Malaka dan Kerajaan Sriwijaya adalah contoh dari kerajaan maritim.Tidak banyak yang diketahui mengenai kepercayaan dan praktek keagamaan Asia Tenggara, sebelum kedatangan dan pengaruh agama dari para pedagang India pada abad ke-2 Masehi dan seterusnya. Sebelum abad ke-13, agama-agama Buddha dan Hindu adalah kepercayaan utama di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan di daratan (semenanjung) Asia Tenggara pada umumnya memeluk agama Buddha, sedangkan kerajaan-kerajaan di kepulauan Melayu (Nusantara) umumnya lebih dipengaruhi agama Hindu. Beberapa kerajaan yang berkembang di semenanjung ini, awalnya bermula di daerah yang sekarang menjadi negara-negara Myanmar, Kamboja dan Vietnam.Peninggalan ibukota Kerajaan Ayutthaya, ThailandKekuasaan dominan yang pertama kali muncul di kepulauan adalah Sriwijaya di Sumatra. Dari abad ke-5 Masehi, Palembang sebagai ibukota Sriwijaya menjadi pelabuhan besar dan berfungsi sebagai pelabuhan persinggahan (entrepot) pada Jalur Rempah-rempah (spice route) yang terjalin antara India dan Tiongkok. Sriwijaya juga merupakan pusat pengaruh dan pendidikan agama Buddha yang cukup berpengaruh. Kemajuan teknologi kelautan pada abad ke-10 Masehi membuat pengaruh dan kemakmuran Sriwijaya memudar. Kemajuan tersebut membuat para pedagang Tiongkok dan India untuk dapat secara langsung mengirimkan barang-barang diantara keduanya, serta membuat kerajaan Chola di India Selatan dapat melakukan serangkaian penyerangan penghancuran terhadap daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya, yang mengakhiri fungsi Palembang sebagai pelabuhan persinggahan.Pulau Jawa kerap kali didominasi oleh beberapa kerajaan agraris yang saling bersaing satu sama lain, termasuk diantaranya kerajaan-kerajaan wangsa Syailendra, Mataram Kuno dan akhirnya Majapahit.Para pedagang Muslim mulai mengunjungi Asia Tenggara pada abad ke-12 Masehi. Samudera Pasai adalah kerajaan Islam yang pertama. Ketika itu, Sriwijaya telah

Page 2: Bahan Kerajaan Thai

diambang keruntuhan akibat perselisihan internal. Kesultanan Malaka, yang didirikan oleh salah seorang pangeran Sriwijaya, berkembang kekuasaannya dalam perlindungan Tiongkok dan mengambil alih peranan Sriwijaya sebelumnya. Agama Islam kemudian menyebar di seantero kepulauan selama abad ke-13 dan abad ke-14 menggantikan agama Hindu, dimana Malaka (yang para penguasanya telah beragama Islam) berfungsi sebagai pusat penyebarannya di wilayah ini.Beberapa kesultanan lainnya, seperti kesultanan Brunei di Kalimantan dan kesultanan Sulu di Filipina secara relatif mengalami sedikit hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya.Penjajahan EropaBangsa Eropa pertama kali sampai di Asia Tenggara pada abad keenam belas. Ketertarikan di bidang perdaganganlah yang umumnya membawa bangsa Eropa ke Asia Tenggara, sementara para misionaris turut serta dalam kapal-kapal dagang dengan harapan untuk menyebarkan agama Kristen ke wilayah ini.Portugis adalah kekuatan Eropa pertama yang membuka akses jalur perdagangan yang sangat menguntungkan ke Asia Tenggara tersebut, dengan cara menaklukkan Kesultanan Malaka pada tahun 1151. Belanda dan Spanyol mengikutinya dan segera saja mengatasi Portugis sebagai kekuatan-kekuatan European utama di wilayah Asia Tenggara. Belanda mengambil-alih Malaka dari Portugis di tahun 1641, sedangkan Spanyol mulai mengkolonisasi Filipina (sesuai nama raja Phillip II dari Spanyol) sejak tahun 1560-an. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur yang bertindak atas nama Belanda, mendirikan kota Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pusat perdagangan dan ekspansi ke daerah-daerah lainnya di pulau Jawa, serta wilayah sekitarnya.Inggris, yang diwakili oleh British East India Company, secara relatif datang ke wilayah ini lebih kemudian. Diawali dengan Penang, Inggris mulai memperluaskan kerajaan mereka di Asia Tenggara. Mereka juga menguasai wilayah-wilayah Belanda selama Perang Napoleon. Di tahun 1819, Stamford Raffles mendirikanSingapura sebagai pusat perdagangan Inggris dalam rangka persaingan mereka dengan Belanda. Meskipun demikian, persaingan tersebut mereda di tahun 1824 ketika dikeluarkannya traktat Anglo-Dutch yang memperjelas batas-batas kekuasaan mereka di Asia Tenggara. Sejak tahun 1850-an dan seterusnya, mulailah terjadi peningkatan kecepatan kolonisasi di Asia Tenggara.Kejadian ini, yang disebut juga dengan nama Imperialisme Baru, memperlihatkan terjadinya penaklukan atas hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara, yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. VOC dan East India Company masing-masing

Page 3: Bahan Kerajaan Thai

dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Inggris, yang kemudian mengambil-alih secara langsung administrasi wilayah jajahan mereka. Hanya Thailand saja yang terlepas dari pengalaman penjajahan asing, meskipun Thailand juga sangat terpengaruh oleh politik kekuasaan dari kekuatan-kekuatan Barat yang ada.Tahun 1913, Inggris telah berhasil menduduki Burma, Malaya dan wilayah-wilayah Borneo, Perancis menguasai Indocina, Belanda memerintah Hindia Belanda, Amerika Serikat mengambil Filipina dari Spanyol, sementara Portugis masih berhasil memiliki Timor Timur.Penguasaan kolonial memberikan dampak yang nyata terhadap Asia Tenggara. Kekuatan-kekuatan kolonial memang memperoleh keuntungan yang besar dari sumber daya alam dan dan pasar Asia Tenggara yang besar, akan tetapi mereka juga mengembangkan wilayah ini dengan tingkat pengembangan yang berbeda-beda. Perdagangan hasil pertanian, pertambangan dan ekonomi berbasis eksport berkembang dengan cepat dalam periode ini. Peningkatan permintaan tenaga kerja menghasilkan imigrasi besar-besaran, terutama dari India dan China, sehingga terjadilah perubahan demografis yang cukup besar. Munculnya lembaga-lembaga negara bangsa modern seperti birokrasi pemerintahan, pengadilan, media cetak, dan juga pendidikan modern (dalam lingkup yang terbatas}, turut menaburkan benih-benih kebangkitan grakan-gerakan nasionalisme di wilayah-wilayah jajahan tersebut.Asia Tenggara masa kiniAsia Tenggara modern memiliki ciri-ciri pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada sebahagian besar negara-negara anggotanya dan semakin dekatnya integrasi regional. Singapura, Brunei dan Malaysia secara tradisional mengalami pertumbuhan yang tinggi dan pada umumnya dianggap sebagai negara-negara yang lebih maju di wilayah ini. Thailand, Indonesia dan Filipina dapat dianggap sebagai negara-negara berpenghasilan menengah di Asia Tenggara, sementara Vietnam pada beberapa waktu terakhir juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Beberapa negara yang masih tertinggal pertumbuhannya adalah Myanmar, Kamboja, Laos, dan Timor Timur yang baru merdeka.Pada tanggal 8 Agustus 1967, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) didirikan oleh Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Setelah diterimanya Kamboja ke dalam kelompok ini pada tahun 1999, Timor Timur adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang bukan merupakan anggota ASEAN. Tujuan ASEAN adalah untuk meningkatkan kerjasama antar komunitas Asia Tenggara. ASEAN Free Trade Area (AFTA) telah didirikan untuk mendorong peningkatan

Page 4: Bahan Kerajaan Thai

perdagangan antara anggota-anggota ASEAN. ASEAN juga menjadi pendukung utama dalam terciptanya integrasi yang lebih luas untuk wilayah Asia-Pasifik melalui East Asia Summit.http://www.voa-islam.com/news/world-world/2009/07/08/174/sejarah-asia-tenggara-2-zaman-kerajaan-kuno/

Berasal dari peradaban Neolitikum terletak di Situs modern UNESCO World Heritage di Ban Chiang, sejarah Thailand sangat panjang, membanggakan, dan cukup baik untuk didokumentasikan. Selama berabad-abad awal Masehi, suku Mon, Khmer, dan masyarakat Thai menetapkan alam sebagai perbatasan Thailand modern, Mon berbicara peradaban Buddha Dvaravati di abad pertama memberikan jalan kepada kerajaan Khmer Angkor dengan pergantian abad kedua.

Namun, sejarah Thailand seperti yang kita ketahui dimulai ketika kerajaan Lan Na (Chiang Rai / Chiang Mai) dan Sukhothai, kerajaan Thailand pertama yang benar-benar independen, didirikan di daerah Utara dan Tengah dari Thailand di abad 13 dan 14. Kerajaan Ayutthaya, yang sangat dipengaruhi oleh Khmer Angkor, akhirnya menaklukkan tetangganya Sukhothai dan mendominasi wilayah tersebut selama beberapa ratus tahun. Sayangnya, Chaing Mai dan kemudian Ayutthaya yang dikuasai oleh penjajah Myanmar, yang menduduki ibukota Lan Na selama beberapa abad dan jatuhnya Ayutthaya, Thailand memaksa pusat kerajaan untuk pindah jauh ke selatan, membangun ibukota baru di Thon Buri dekat Bangkok. Dalam waktu singkat di Buri Thon (1767-1772), ibukota dipindahkan melintasi Sungai Chao Phraya, dan raja pertama saat itu, Rama I dari Dinasti Chakri, mendirikan ibukota  Bangkok modern untuk memulai Ratanakosin tersebut pada periode sejarah Thailand. Kepemimpinan diplomatis yang cekatan dari raja Mongkut (Rama IV, 1851-1868), dan Chulalongkorn (Rama V, 1868-1910) yang bertanggung jawab untuk menjaga sejarah Thailand yang luar biasa 700 tahun dimana kerajaan tidak pernah secara resmi dijajah oleh kekuatan asing, masa pergolakan abad ke 20 menyaksikan transisi ke sistem monarki konstitusional, saat ini diawasi oleh Kepala Negara, Raja Bumibol Adulyadej (1946 - sekarang), adalah Raja Rama IX dari Dinasti Chakri dengan demokrasi yang lemah tetapi fungsional.http://id.tourismthailand.org/Thailand/history

Selama berabad-abad menuju ke era sejarah mencatat, Thailand pertama kali dihuni oleh Mon dan kelompok Khmer dan kemudian oleh Tai, sebuah kelompok etnis yang bermigrasi dari selatan Cina ke Vietnam dan secara bertahap ke Laos dan utara Thailand.

Pada abad pertama Masehi, bangsa Tai telah tersebar di Yunan,

Page 5: Bahan Kerajaan Thai

Vietnam, Laos, Thailand, dan Myanmar terpecah ke dalam berbagai sekte sub linguistik. Relatif sedikit bangsa thai di wilayah selama periode tersebut, Tai menempati daerah sampai Asia Tenggara bagian utara, diapit antara kerajaan Nan Zhao, Pyu, dan Angkor.

Dimulai pada sekitar abad ke-2 Masehi, Kekaisaran Sriwijaya di Sumatera memperluas jangkauannya sampai Semenanjung Malaysia ke Thailand selatan. Nakhon Si Thammarat dan Chiaya, Surat Thani didirikan selama periode tersebut untuk memfasilitasi perdagangan di seluruh Genting tanah Kra.

Sekitar abad ke 6 hingga abad ke 9, dataran rendah yang subur dihuni oleh peradaban Mon yang dikenal sebagai Dvaravati. Berbeda dengan kerajaan tetangganya Chenla dan Angkor, Dvaravati tetap menjadi peradaban kota misterius yang didirikan dikelilingi oleh parit dan dinding tanah, Lopburi sebagai pelayanan pusat keagamaan penting dan Nakhon Pathom yang dekat dengan ibukota Bangkok. Walau banyak yang tidak diketahui di dunia ini , rute perdagangan Dvaravati sudah terbukti internal dan eksternal yang penting bagi perkembangan Thailand dan meninggalkan kekayaan karya seni Buddha yang membuktikan pengaruh besar kebudayaan India dan agama telah di wilayah tersebut.

Dari abad ke 9 hingga abad ke 11 bangsa Khmer Angkor memperluas kerajaan mereka dengan mencakup sebagian besar dari zaman Thailand modern, provinsi  kota-kota penting didirikan oleh Phimai, Lopburi dan bahkan Nakhon Si Thammarat. Selama beberapa abad banyak aspek budaya Khmer yang digunakan/ diserap oleh penduduk asli, Tai menjadi semakin meningkat dengan populasi tersebut sehingga bermigrasi ke selatan. Candi-candi di Rung Phanom, Phimai, dan Lopburi adalah periode sejarah Thailand.

Sepanjang pemerintahan Angkor, Lopburi sering menyatakan kemerdekaan dan itu penting untuk perkembangan budaya Syam. Bangsa Cina, yang disebut utusan dari daerah sebagai perwakilan "Hsien" atau Siam (tampak seperti yang diucapkan) mendokumentasikan permintaan dari kemerdekaan Lopburi meminta dari Angkor sejak 1001.Di Thailand utara, Buddha dari Lopburi mendirikan sebuah Negara dengan kota yang dikenal sebagai Haripunjaya di Lamphun, Thailand utara sekitar abad ke-9 (daerah Mon yang tetap independen sampai abad ke-13) Di tempat lain di utara. Bangsa Tai yang mendorong dan mendirikan negara dengan kota mereka sendiri, terutama di Chiang Saen, di mana salah satu kerajaan terkuat pertama di Thailand, Lan Na, awalnya didirikan pada abad ke-12. Pembentukan Lan Na, Sukhothai, dan Phayao, tiga sekutu kerajaan didirikan oleh para pemimpin yang kontemporer, merupakan awal dari sejarah Thailand seperti yang kita kenalhttp://id.tourismthailand.org/Thailand/history/pre-thai-kingdomsistory

hailand muncul sebagai kekuatan yang dominan pada abad ke

Page 6: Bahan Kerajaan Thai

13, secara bertahap menyatakan kemerdekaan dari Khmer dan kerajaan Mon. Didirikan oleh Khun Pha Muang dan Khun Bang Klang Thao di 1238, Kerajaan itu dinamai oleh penguasa " the dawn of happiness ". Periode Sukhothai sering dianggap sebagai era keemasan pada sejarah Thailand, negara Thailand diperintah oleh ayah dan raja yang murah hati, yang paling terkenal di antaranya adalah Raja Ramkamhaeng Agung (c.1279-98), orang yang memperluas perbatasan Kerajaan.

Selain mengembangkan beberapa karya seni Thailand yang indah, Kerajaan Sukhothai dipuji dengan mengembangkan alfabet Thai modern. Namun, setelah kematian Raja Ramkamhaeng, Ayutthaya berkuasa secara bertahap memberikan pengaruhnya kepada Sukhothai.Setelah kematian Raja Ramkhamhaeng, kerajaan Sukhothai dengan cepat mengalami kemunduran dan Lan Na memperluas pengaruhnya terhadap kerajaan tetangganya, di daerah kekuasaan Sukhothai. Di pertengahan abad ke-15 Lan Na,seni dan sastra mencapai puncak selama periode raja Tilokoraj. Namun, setelah kematian raja, Lan Na melemah karena konflik internal dan Chiang Mai jatuh di bawah kendali Burma sekitar 1.564, sedangkan Burma menduduki wilayah utara selama beberapa abad, mereka melakukan perubahan kecil, menggunakan Chiang Mai sebagai pangkalan militer dimana untuk melawan kerajaan Ayutthaya, sebuah kerajaan yang kuat di dataran rendah yang secara bertahap mengerahkan pengaruhnya dari pertengahan abad ke 14 dan seterusnya.

http://id.tourismthailand.org/Thailand/history/sukhothai

Raja-raja Ayutthaya mengadopsi pengaruh budaya Khmer dari awal. Tidak ada lagi penguasaan yang dapat diakses raja-raja Sukhothai yang sudah-sudah, penguasaan Ayutthaya ini adalah monarki absolut dan diasumsikan yang bergelar DevaRaja (dewa-raja). Bagian awal periode ini melihat Ayutthaya memperluas kedaulatannya atas kerajaan Thailand berikut lingkunganya dan sampai datang konflik kedalam lingkunganya. Selama abad ke-17, Siam mulai menjalin hubungan diplomatik dan komersial dengan negara-negara Barat. Pada tahun 1767, setelah berulang kali mencoba, Burma menyerang dan berhasil ditangkap di Ayutthaya.Meskipun kemenangan besar mereka, Burma tidak mempertahankan kendali Siam untuk waktu yang lama. Seorang jenderal muda bernama Phya Taksin dan para pengikutnya menerobos garis Burma dan melarikan diri ke Chantaburi. Tujuh bulan setelah jatuhnya Ayutthaya, ia dan pasukannya berlayar kembali ke Sungai Chao Phraya yang bertujuan ke Ayutthaya dan mengusir pasukan Burma, meskipun tragis ibukota telah dijarah dan hampir diruntuhkan.

Page 7: Bahan Kerajaan Thai

http://id.tourismthailand.org/Thailand/history/ayutthaya

Setelah kematian Taksin, Jenderal Chakri (Rama I) menjadi raja pertama dari Dinasti Chakri, memerintah 1782-1809. Aksi pertamanya sebagai raja adalah untuk mentransfer ibukota kerajaan di seberang sungai dari Thon Buri ke Bangkok dan membangun Grand Palace. Rama II (1809-1824) terus pemulihan dimulai oleh pendahulunya. Raja Nang Klao, Rama III (1824-1851) membuka kembali hubungan dengan negara-negara Barat dan perdagangan yang didirikan dengan China.

Raja Mongkut, Rama IV, (1851-1868) mungkin telah mencapai ketenaran di Barat melalui kisah "The King and I", namun memenangkan hati rakyat Thailand atas prestasi termasuk pembentukan perjanjian dengan negara-negara Eropa, sehingga menghindari penjajahan, dan modernisasi Thailand melalui reformasi sosial dan ekonomi. Raja Chulalongkorn, Rama V (1869-1910) melanjutkan tradisi reformasi ayahnya, penghapusan perbudakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sistem administrasi.Reformasi pendidikan, termasuk pendidikan wajib, diperkenalkan oleh Raja Vajiravudh, Rama VI (1.910-1.925). Selama pemerintahan Raja Prajadhipok, Rama VII (1925-1935), Thailand berubah dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Raja turun tahta pada tahun 1933 dan digantikan oleh keponakannya, Raja Ananda Mahidol Rama VIII (1935-1946). Nama negara diubah dari Siam ke Thailand dengan munculnya pemerintahan yang demokratis pada tahun 1939. Raja kami saat ini, Raja Bhumibol Adulyadej (R. 9 Juni 1946 - sekarang), adalah Raja Rama IX dari Dinasti Chakri.

http://id.tourismthailand.org/Thailand/history/rattanakosin

Thailand : Negara yang tidak pernah dijajah

Kerajaan Thai merupakan tempat terletaknya beberapa wilayah geografi yang berbeza. Di sebelah utara, keadaannya bergunung-gunung, dan puncak tertingginya berada di Doi Inthanon (2.576 m).

Page 8: Bahan Kerajaan Thai

Sebelah timur laut terdiri dari Dataran Korat, yang disempadani di timur oleh sungai Mekong. Wilayah tengah negara didominasi lembah sungai Chao Phraya yang hampir seluruhnya datar, dan mengalir ke Teluk Thailand. Di sebelah selatan terdapat Tanah Genting Kra yang melebar ke Semenanjung Melayu.

Cuaca setempat adalah tropika dan bercirikan monsun. Ada monsun hujan, panas dan berawan dari sebelah barat daya antara pertengahan Mei dan September, serta monsun yang kering dan sejuk dari sebelah timur laut dari November hingga pertengahan Mac.

Tanah genting di sebelah selatan selalu panas dan lembab. Kota-kota besar selain ibu kota Bangkok termasuk Nakhon Ratchasima, Nakhon Sawan, Chiang Mai, dan Songkhla.

Page 9: Bahan Kerajaan Thai

Kerajaan Thai bersempadan dengan Laos dan Myanmar di sebelah utara, dengan Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dengan Myanmar dan Laut Timur di barat dan dengan Laos dan Kamboja di timur. Koordinat geografinya adalah 5°-21° LU dan 97°-106° BT\

Faktor Lain

Faktor InternalRaja Thailand pada masa itu sifatnya terbuka terhadap dunia luar. Sudah adanya orang-orang

Page 10: Bahan Kerajaan Thai

yang berpendidikan di Thailand pada masa itu terutama keluarga kerajaan.

Anak-anak raja,keluarga raja di kirimkan keluar negeri(ke Eropah) untuk menuntut ilmu,bahkan mendatangkan guru dari Eropah ke kerajaan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan.

Faktor EksternalNegara Thailand pada masa itu menjadi buffer state(sempadan)wilayah para kolonialis Eropah,antara Inggeris di utara dan selatan,Perancis di Indochina dan Belanda di Hindia Belanda.

Page 11: Bahan Kerajaan Thai

http://tulahan.blogspot.com/2011/05/thailand-negara-yang-tidak-pernah.html

Negara Yang Tidak Pernah Terjajah

Page 12: Bahan Kerajaan Thai

 

1. ThailandAsal mula Thailand secara tradisional dikaitkan dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, Kerajaan Sukhothai yang didirikan pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian diteruskan Kerajaan Ayutthaya yang didirikan pada pertengahan abad ke-14 dan berukuran lebih besar dibandingkan Sukhothai. Kebudayaan Thailand dipengaruhi dengan kuat oleh Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa negara besar Eropa dimulai pada abad ke-16 namun meskipun mengalami tekanan yang kuat, Thailand tetap bertahan sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh negara Eropa, meski pengaruh Barat, termasuk ancaman kekerasan, mengakibatkan berbagai perubahan pada abad ke-19 dan diberikannya banyak kelonggaran bagi pedagang-pedagang Britania.

Alasan Thailand tidak pernah di JajahKerajaan Thai merupakan tempat terletaknya beberapa wilayah geografis yang berbeda. Di sebelah utara, keadaannya bergunung-gunung, dan titik tertingginya berada di Doi Inthanon (2.576 m). Sebelah timur laut terdiri dari Hamparan Khorat, yang dibatasi di timur oleh sungai Mekong. Wilayah tengah negara didominasi lembah sungai Chao Phraya yang hampir seluruhnya datar, dan mengalir ke Teluk Thailand. Di sebelah selatan terdapat Tanah Genting Kra yang melebar ke Semenanjung Melayu.

Cuaca setempat adalah tropis dan bercirikan monsun. Ada monsun hujan, hangat dan berawan dari sebelah barat daya antara pertengahan Mei dan September, serta monsun yang kering dan sejuk dari sebelah timur laut dari November hingga pertengahan Maret. Tanah genting di sebelah selatan selalu panas dan lembab. Kota-kota besar selain ibu kota Bangkok termasuk Nakhon Ratchasima, Nakhon Sawan, Chiang Mai, dan Songkhla. Kerajaan Thai berbatasan dengan Laos dan Myanmar di sebelah utara, dengan Malaysia dan Teluk Siam di selatan,

Page 13: Bahan Kerajaan Thai

dengan Myanmar dan Laut Timur di barat dan dengan Laos dan Kamboja di timur. Koordinat geografisnya adalah 5°-21° LU dan 97°-106° BT

Faktor LainFaktor InternalRaja thailand pada masa itu sifatnya terbuka terhadap dunia luar.Sudah adanya orang-orang yang berpendidikan di thailand pada masa itu terutama keluarga kerajaan.anak-anak raja,keluarga raja di kirimkan keluar negeri(ke Eropa)guna menuntut ilmu,bahkan mendatangkan guru dari eropa ke kerajaan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan.

Faktor EksternalNegara Thailand pada masa itu menjadi buffer state(perbatasan)wilayah para kolonialisEropa,antara Inggris di utara dan selatan,Prancis di Indocina dan Belanda di Hindia Belanda.

 

http://www.htysite.com/P-negara-yg-tidak-pernah-dijajah.htm

Prehistory The earliest known inhabitation of present-day Thailand dates to the Paleolithic period, about 20,000 years ago. Archaeology has revealed evidence in the Khorat Plateau in the northeast of prehistoric inhabitants who may have forged bronze implements as early as 3000 B.C. and cultivated rice during the fourth millennium B.C.Early History In the ninth century B.C., Mon and Khmer people established kingdoms that included large areas of what is now Thailand. Much of what these people absorbed from contacts with South Asian peoples—religious, social, political, and cultural ideas and institutions—later influenced the development of Thailand’s culture and national identity. In the second century B.C., the Hindu-led state of Funan in present-day Cambodia and central Thailand had close commercial contact with India and was a base for Hindu merchant-missionaries. In the southern Isthmus of Kra, Malay city-states controlled routes used by traders and travelers journeying between India and Indochina (present-day Cambodia, Laos, and Vietnam). Nanchao Period (650–1250) Located on the southwestern border of China’s Tang empire (A.D. 618–907), Nanchao served as a buffer for and later rival to China. The Tai, a people who originally lived in Nanchao, migrated into mainland Southeast Asia over a period of many centuries during the first millennium A.D. Sukhothai Period (1238–1438) In 1238 a Tai chieftain,

Page 14: Bahan Kerajaan Thai

Sri Intraditya, declared his independence from Khmer overlords and established a kingdom at Sukhothai in the Chao Phraya Valley in central Thailand. The people of the central plain took the name Thai, which means “free,” to distinguish themselves from other Tai people still under foreign rule. The Kingdom of Sukhothai conquered the Isthmus of Kra in the thirteenth century and financed itself with war booty and tribute from vassal states in Burma (today Myanmar), Laos, and the Malay Peninsula. During the reign of Ramkhamhaeng (Rama the Great, r. 1279–98), Sukhothai established diplomatic relations with the Yuan Dynasty (1279–1368) in China and acknowledged China’s emperor as its nominal overlord. After Ramkhamhaeng’s death, the vassal states gradually broke away; a politically weakened Sukhothai was forced to submit in 1378 to the rising new Thai Kingdom of Ayutthaya and was completely absorbed by 1438.During and following the Sukhothai period, the Thai-speaking Kingdom of Lan Na flourished in the north near the border with Burma. With its capital at Chiang Mai, the name also sometimes given to this kingdom, Lan Na emerged as an independent city-state in 1296. Later, from the sixteenth to eighteenth centuries, Lan Na came under the control of Burma. Ayutthaya Period (1350–1767) The city-state of Ayutthaya was founded in 1350 and established its capital in 1351 on the Chao Phraya River in central Thailand, calling it Ayutthaya, after Ayodhaya, the Indian city of the hero Rama in the Hindu epic Ramayana. In 1360 Ramathibodi (r. 1351–69) declared Theravada Buddhism as the official religion and compiled a legal code based on Hindu legal texts and Thai custom that remained in effect until the late nineteenth century. Ayutthaya became the region’s most powerful kingdom, eventually capturing Angkor and forcing the Khmer to submit to Thai suzerainty. Rather than a unified kingdom, Ayutthaya was a patchwork of self-governing principalities and tributary provinces ruled by members of the royal family who owed allegiance to the king. The king, however, was an absolute monarch who took on god-like aspects. This belief in a divine kingship continued until the eighteenth century. The kingdom became increasingly sophisticated as new social, political, and economic developments took place.In 1511 Ayutthaya received its first diplomatic mission from the Portuguese, who earlier that year had conquered the state of Malacca to the south. Ayutthaya concluded trade treaties with Portugal in 1516 and with the Netherlands in 1592 and established commercial ties with Japan and England in the seventeenth century. Thai diplomatic missions also went to Paris and The Hague. When the Dutch used force to extract extraterritorial rights and freer trade access in 1664, Ayutthaya turned to France for assistance in building fortifications. In addition to construction engineers, French missionaries and the first printing press soon arrived. Fear of the threat of foreign religion to Buddhism and the arrival of English warships provoked anti- European reactions in the late seventeenth century and ushered in a 150-year period of conscious

Page 15: Bahan Kerajaan Thai

isolation from contacts with the West.After a bloody dynastic struggle in the 1690s, Ayutthaya entered what some historians have called its golden age—a relatively peaceful period in the second quarter of the eighteenth century when art, literature, and learning flourished. The rising power of Burma led to a Burmese invasion of Ayutthaya and the destruction of its capital and culture in 1767. Only a Chinese attack on Burma kept the chaotic Thai polity from Burmese subjugation. Thon Buri Period (1767–82) The Thai made a quick recovery under the leadership of a half- Chinese military commander, Phraya Taksin. Taksin had escaped from the besieged Ayutthaya and organized resistance to the Burmese invaders, eventually driving them out. Taksin declared himself king and established a new capital at Thon Buri, a fortress town across the river from modern Bangkok. By 1774 Taksin had annexed Lan Na and reunited Ayutthaya in 1776. He was deposed and executed in 1782, however, by his ministers, who invoked interests of the state over Taksin’s claim to divinity. Early Chakri Period (1782–1868) Another general, Chakri, assumed the throne and took the name Yot Fa (Rama I, r. 1782–1809). Yot Fa established the ruling house that continues to the present. The court moved across the river to the village of Bangkok, the kingdom’s economy revived, and what remained of the artistic heritage of Ayutthaya was restored. The Kingdom of Bangkok consolidated claims to territory in Cambodia and the Malayan state of Kedah while Britain annexed territory in an area that had been contested by the Thai and the Burmese for centuries. Subsequent treaties—in 1826 with Britain and in 1833 with the United States— granted foreign trade concessions in Bangkok. The kingdom’s expansion was halted in all directions by 1851. The reign of King Mongkut (Rama IV, r. 1851–68) marked a new opening to the Western nations. To avoid the humiliations suffered by China and Burma in their wars with Britain and the resulting unequal treaties, Bangkok negotiated and signed treaties with Britain, the United States, France, and other European countries between 1855 and 1870. As a result, commerce with the West increased and, in turn, revolutionized the Thai economy and connected it to the world monetary system. Foreign demands for extraterritoriality convinced Mongkut that legal and administrative reforms were needed if Siam (as the Thai kingdom was officially known from 1855 to 1939 and from 1946 to 1949; prior to then, the Thai traditionally named their country after the capital city) were to be treated as an equal by the Western powers. Monkut’s death in 1868 postponed further reforms, however. Reign of Chulalongkorn, Reforms, and War (1868–1932) Real reform occurred during the reign of Chulalongkorn (Rama V, r. 1868–1910). After his formal enthronement in 1873, he announced reforms of the judiciary, state finance, and the political structure. An antireform revolt was suppressed in 1874, after which Chulalongkorn embarked on less radical approaches. In time, he ordered the gradual elimination of slavery and corvée labor. He

Page 16: Bahan Kerajaan Thai

introduced currency- based taxes and a conscription-based regular army. In 1893 a centralized state administration replaced the semifeudal provincial administration. The regime established European-style schools for children of the royal family and sent government officials, promising civil servants, and military officers to Europe for further education. The first railroad line was opened between Bangkok and Ayutthaya in 1897 and extended farther north in 1901 and 1909. To the south, rail connections were made in 1903, linking with British rail lines in Malaya.During this time, British and French colonial advances in Southeast Asia posed serious threats to Siam’s independence and forced Siam to relinquish its claims in Cambodia, Laos, and the northern Malay states. Although much diminished in territory by the 1910s, Siam preserved its independence, and the kingdom served as a buffer state between the British and French colonies. During this time, anti-Chinese sentiments came to the fore. About 10 percent of the population was Chinese, and ethnic Chinese largely controlled many government positions, the rice trade, and other enterprises, much to the resentment of the native Thai.Siam joined the Allies in declaring war against Germany during World War I (1914–18) and sent a small expeditionary force to the European western front. These actions won Siam favorable amendments to its treaties with France and Britain at the end of the war. Siam also gained, as spoils of war, impounded German ships for use in its merchant marine. Siam took part in the Versailles peace conference in 1919 and was a founding member of the League of Nations. The Emergence of Constitutional Rule (1932–41) A bloodless coup d’état in 1932, engineered by a group of Western-oriented and nationalist-minded government officials and army officers, ended the absolute monarchy and ushered in a constitutional regime. The first parliamentary elections were held in November 1933, confirming Minister of Finance Pridi Phanomyong’s popularity, but Luang Plack Phibunsongkhram (Phibun) used his considerable power as minister of defense to assert the superior efficiency of the military administration over the civilian bureaucracy. In 1938 Phibun succeeded as prime minister, with Pridi continuing with the finance portfolio. The Phibun administration promoted nationalism and in 1939 officially changed the nation’s name from Siam to Muang Thai (Land of the Free), or Thailand. Foreign- owned businesses (mostly Chinese-owned) were heavily taxed, and state subsidies were offered to Thai-owned enterprises. The people were encouraged to emulate European-style fashions. Betel chewing was prohibited, and opium addicts were prosecuted. Irridentist claims for lost territories in Cambodia and Laos were revived amidst new anti-French sentiment. Phibun cultivated closer relations with Japan as a model for modernization and a challenge to European power. Thailand During World War II (1941–44) After World War II broke out in Europe (1939– 45), Japan used its influence with the Vichy regime in France to obtain territorial concessions for Thailand in Laos

Page 17: Bahan Kerajaan Thai

and Cambodia. The war for Thailand began in earnest on December 8, 1941, when Thai and Japanese troops clashed on the Isthmus of Kra. Bangkok acceded to Japan’s demands that its troops be permitted to cross the isthmus to invade Burma and Malaya. In January 1942, Phibun signed a mutual defense pact with Japan and declared war against Britain and the United States. Seni Pramoj, the anti-Japanese Thai ambassador to Washington, refused his government’s orders to deliver the declaration of war, and the United States refrained from declaring war on Thailand. Seni organized a Free Thai movement, and, with U.S. government support, Thai personnel were trained for anti-Japanese underground activities. In Thailand, Pridi ran a clandestine movement that, by the end of the war, with Allied aid had armed more than 50,000 Thai to resist the Japanese. During the early war years, Phibun was rewarded for his cooperation with Tokyo with the return of further territory that had once been under Thai control. Japan stationed some 150,000 troops in Thailand and built the infamous “death railway” across the River Kwai and through Thailand using Allied prisoners of war. The Allies bombed Bangkok during the war, and public opinion and the civilian political leaders forced Phibun out of office in June 1944. Civilian Government (1945–47) Shortly after the war, Seni Pramoj briefly served as prime minister. In May 1946, a new constitution was promulgated. It called for a bicameral legislature with a popularly elected lower house and an upper house elected by the lower house. The name Siam was officially restored. The 1946 elections set the stage for Pridi’s accession to the prime minstership. However, two weeks after the election Pridi was accused of being implicated in the untimely death of King Ananda Mahidol (Rama VIII, r. 1935–46), and he resigned and left the country. The new king, Bhumibol Adulyadej (Rama IX, r. 1946– ), who was born in Cambridge, Massachusetts, in 1927, had spent the war in Switzerland and returned there after a brief first visit to Thailand in 1945. He did not return to Bangkok to take up his kingly duties until 1951, following a government-engineered coup. Return to Military Rule (1947–73) The civilian government’s failure eventually led to the restoration of the Phibun military faction. Phibun had been arrested in 1945 as a war criminal but was released soon afterward. A coup in November 1947 ousted the civilian leaders, and Phibun took over as prime minister in April 1948. During his second government (1948–57), Phibun restored the use of the name Thailand, reintroduced legislation to make Thai social behavior conform to Western standards, improved secondary education, and increased military appropriations. Phibun’s traditional anticommunist position led to Thailand’s continued recognition of Taiwan, and he supported the French in their actions against communist insurgents in Indochina. Thailand also provided ground, naval, and air units to the United Nations (UN) forces fighting during the Korean War (1950–53; Thai forces continued to serve in South Korea until 1972). Phibun brought Thailand into the new

Page 18: Bahan Kerajaan Thai

Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) in 1954. In 1955 SEATO’s headquarters was established in Bangkok, and Thailand offered the United States the use of Thai military bases. In an attempt to generate popular support for himself, Phibun articulated a policy of democracy, but he was deposed in a bloodless coup in September 1957.Military-controlled government continued between 1957 and 1967. There was talk under Prime Minister Sarit Thanarat of a “restoration” of the king, and a strong popular affection for the monarchy arose. The regime emphasized the kingdom’s Buddhist heritage in an effort to gain support from monks for government programs. Anticommunism continued to influence Thailand’s foreign affairs, and in 1961 Thailand, the Philippines, and newly independent Malaya (since 1963, Malaysia) formed the Association of Southeast Asia (ASA). In 1967 Thailand became a founding member of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), a broader regional cooperative organization that replaced the ASA. At the same time, Prime Minister Thanom Kittikachorn decided to shorten the timetable for the country’s transition from the military-dominated leadership structure to a popularly elected government.In June 1968, a new constitution was proclaimed, but martial law, which had been imposed in 1958, remained in effect. Party politics resumed in 1968, and Thanom’s United Thai People’s Party carried the February 1969 National Assembly elections. The new government, however, had to respond to numerous issues: a Muslim insurgency in southern Thailand, communist guerrillas operating in jungle areas north of the Thai-Malaysian border, the successes of communist forces in Vietnam and Laos, and other regional unrest and protests against the government. In November 1971, Thanom carried out a coup against his own government, thereby ending the three-year experiment in parliamentary democracy. The constitution was suspended, political parties were banned, and the military took full charge in suppressing opposition. Transition to Democratic Rule (1973–76) The stern moves by the Thanom regime led to popular dissatisfaction among university students and organized labor, accompanied by growing anti-U.S. sentiments. Some feared Thanom would even overthrow the monarchy and establish a republic. In a demonstration on October 13, 1973, some 250,000 people pressed their grievances against the government. The following day, troops fired on the demonstrators, killing 75 of them. King Bhumibol took a rare direct role, forcing the cabinet’s resignation; Thanom and his close colleagues were allowed to leave the country secretly. Thammasak University president Sanya Dharmasakti was appointed interim prime minister, and it was he who fully credited the student movement with bringing down the military dictatorship. A new constitution went into effect in October 1974, providing for a popularly elected House of Representatives. The elections were inconclusive, and conservative Seni Pramoj eventually formed a government that lasted less than a

Page 19: Bahan Kerajaan Thai

month. His brother, Kukrit Pramoj, then put together a more acceptable centrist coalition that lasted until January 1976. Seni returned as prime minister but only until October 1976, when violent student demonstrations were suppressed by security forces, and Seni was ousted. A military junta took control of the government, declared martial law, annulled the constitution, banned political parties, and strictly censored the media.

http://www.nationsonline.org/oneworld/History/Thailand-history.htm

Kenapa Siam (sekarang Thailand) tidak pernah "dijajah"?

Faktor-faktor yang membuat Kerajaan Siam mampu bertahan dari ancaman kolonialisme dan imperialisme Barat.

Faktor Intern

1. Adanya suksesi yang baik di Siam sehingga terdapat pemimpin yang mampu melindungi Siam dari imperialisme bangsa Barat.

Di Siam ada 3 (tiga) Raja yang mampu "mengakali" agar imperialisme Barat tidak serta merta mengambil alih Siam. Tiga raja itu adalah Raja Mongkut (Rama IV pada 1851-1868), Chulalongkorn (Rama V pada 1858-1910), dan Wachirawut (Rama VI pada 1910-1925). Tiga Raja tersebut pandai menempatkan diri di Asia Tenggara, mereka mampu menghadapi situasi-situasi sulit sesuai dengan perhitungan-perhitungan mereka yang matang. Dengan adanya kebijakan-kebijakan dari tiga Raja tersebut khususnya Raja

Page 20: Bahan Kerajaan Thai

Mongkut, Siam mampu menjadi suatu wilayah yang mandiri dan mampu menerima modernisasi.[1] Raja Mongkut adalah seorang yang luar biasa, ia mapu memadukan kemodernan dan ketradisionalan di Siam. Sehingga walaupun terdapat pembangunan infrastruktur yang modern tetapi tidak melupakan nilai-nilai tradisional.[2] Raja Mongkut merupakan Raja yang cakap, sehingga ia mampu menjalin hubungan dengan pihak-pihak asing, ia mampu belajar banyak dari orang-orang asing yang ia kenal. Raja Mongkut juga termasuk Raja yang bijaksana karena ia pernah hidup membiara selama 20 tahun. Selain Raja Mongkut, Rama V dan Rama VI juga mendapatkan pendidikan Barat yang baik, sehingga pandangan dan cara berfikir mereka tidak lagi kaku. Oleh karena itu mereka pandai dalam hal berdiplomasi.[3]

2. Siam mampu memanfaatkan persaingan dan ketegangan antara Indocina, Prancis, dan Kerajaan Inggris, serta berbagai kekuatan asing di Asia Tenggara.

Siam mampu membaca situasi untuk "mengakali" agar negerinya tidak terkena gerusan imperialisme Barat. Hal tersebut terkait dengan perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh Siam dengan negara-negara asing seperti: Perjanjian Burney (dengan Amerika Serikat pada tahun 1833), perjanjian dengan Inggris (perjanjian Bowring pada tahun 1855), Siam juga melakukan perjajian sejenis dengan Prancis dan Amerika Serikat (1856),

Page 21: Bahan Kerajaan Thai

Denmark (1858), Portugis (1859), Belanda (1860), dan Prusia (1862). Dengan perjanjian perjanjian yang dilakukan oleh Siam tersebut secara tidak langsung pihak-pihak asing di Siam merasa saling terusik sehingga mereka mempunyai konflik masing-masing di luar Siam.

3. Respon Siam terhadap Barat: Siam yang bisa menerima modernisasi dan sesuatu yang baru.

Siam mampu memanfaatkan adanya pengaruh Barat di negerinya, ia menggunakan hal-hal yang baik dari Barat dalam negerinya. Juga mampu menerima hal-hal yang modern untuk negerinya tanpa meninggalkan sifat tradisional mereka. Diadakannya pendidikan dengan sistem Barat. Raja Mongkut sendiri banyak menggunakan orang Barat dalam melaksankan modernisasi negerinya.

Faktor Ekstern

1. Oleh kekuatan Barat, Siam dijadikan wilayah Buffer State.

Sebab, pada waktu itu Inggris dan Perancis membutuhkan suatu wilayah yang netral dimana Siam terletak di tengah Bangladesh (yang diduduki oleh Inggris) dan Vietnam (yang diduduki oleh Perancis).

2. Adanya evolusi bertahap pada pemerintahan.

Sejak 1932, Thailand telah menjadi monarki konstitusional, dengan raja sebagai kepala negara

Page 22: Bahan Kerajaan Thai

dan bentuk pemerintahan parlemen.

[1] David A. Wilson, dkk, Governments and Politics of Southeast Asia, Second Edition, (United Nation of America: Cornell University), 1964, hal. 9

[2] W. A. R. Wood, A History of Siam, (Bangkok: Consul-General, Chiangmai), 1924, hal-278

[3] Skripsi Megi Rizki, Hubungan Siam-Inggris ditinjau dari kasus Perjanjian Bowring pada masa Raja Mongkut ( 1851-1868 ), (Depok: Universitas Indonesia), 2010, hal. 52-54

http://bodhiisvarasuyami.blogspot.com/2011/12/kenapa-siam-sekarang-thailand-tidak.html

Mongkut datang ke tahta sebagai Rama IV pada tahun 1851, bertekad untuk menyelamatkan Siam dari dominasi kolonial dengan memaksa enggan modernisasi pada mata pelajaran. Tapi meskipun ia dalam teori monarki mutlak, kuasa-Nya terbatas. Setelah biarawan selama 27 tahun, ia tidak memiliki dasar yang kuat di antara pangeran kerajaan, dan tidak memiliki aparatur negara modern untuk melaksanakan keinginannya. Usaha pertama reformasi, untuk membangun sistem administrasi modern dan meningkatkan status utang-budak dan perempuan, sedang frustrasi. Rama IV dengan demikian datang untuk menyambut tekanan barat, Siam. Ini datang pada tahun 1855 dalam bentuk sebuah misi yang dipimpin oleh Gubernur Hong Kong, Sir John Bowring, yang tiba di Bangkok dengan tuntutan untuk segera berubah, didukung oleh ancaman kekerasan. Sang Raja segera menyetujui permintaan kepada perjanjian baru, yang disebut Bowring Perjanjian, yang membatasi bea masuk hingga 3%, menghapuskan monopoli perdagangan kerajaan, dan diberikan ekstrateritorialitas mata pelajaran Inggris. Kekuatan Barat lainnya segera menuntut dan mendapat konsesi serupa.

Page 23: Bahan Kerajaan Thai

Raja segera datang untuk mempertimbangkan bahwa ancaman nyata Siam berasal dari Perancis, bukan Inggris. Inggris tertarik pada keuntungan komersial, Perancis dalam membangun kekaisaran kolonial. Mereka menduduki Saigon pada tahun 1859, dan 1867 mendirikan protektorat di selatan timur Vietnam dan Kamboja. Rama IV berharap bahwa Inggris akan membela Siam jika ia memberi mereka konsesi ekonomi mereka menuntut. Pada masa pemerintahan berikutnya ini akan membuktikan menjadi ilusi, tetapi memang benar bahwa Inggris melihat Siam sebagai negara penyangga yang bermanfaat antara Burma dan Inggris Indochina Perancis.

Chulalongkorn[sunting sumber]

Rama IV meninggal pada 1868, dan digantikan oleh tahun 15-putra berusia Chulalongkorn, yang memerintah sebagai Rama V dan sekarang dikenal sebagai Rama Agung. Rama V adalah raja siam pertama untuk memiliki penuh pendidikan barat, yang telah diajarkan oleh pengasuh Inggris, Anna Leonowens - yang terjadi dalam sejarah siam telah fictionalised sebagaiThe King and I . Mula-mula pemerintahan Rama V didominasi oleh Bupati konservatif, Chaophraya Si Suriyawongse, tetapi ketika raja datang usia pada tahun 1873 ia segera mengambil kendali. Dia menciptakan Dewan Penasihat dan Dewan Negara, sistem pengadilan formal dan anggaran kantor. Ia mengumumkan bahwa perbudakan akan berangsur-angsur dihapuskan dan utang-Pembatasan perbudakan.

Pada awalnya para pangeran dan konservatif lainnya berhasil menahan raja agenda reformasi, tetapi sebagai generasi tua digantikan oleh yang lebih muda dan berpendidikan barat pangeran, perlawanan memudar. Raja bisa selalu berpendapat bahwa satu-satunya alternatif adalah pemerintahan asing. Dia menemukan sekutu yang kuat pada saudara-saudaranya Pangeran Chakkraphat, yang ia membuat menteri keuangan, Pangeran Damrong, yang diselenggarakan pemerintah interior dan pendidikan, dan saudaranya iparnya Pangeran Devrawongse , menteri luar negeri selama 38 tahun. Pada 1887 Devrawonge berkunjung ke Eropa untuk mempelajari sistem pemerintah. Atas rekomendasinya raja Kabinet didirikan pemerintah, kantor audit dan departemen pendidikan. Semi-otonom Chiang Mai telah berakhir dan tentara itu mereorganisasi dan memodernisasikan.

Page 24: Bahan Kerajaan Thai

Teritorial klaim ditinggalkan oleh Siam pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20Pada tahun 1893 otoritas Perancis di Indocina digunakan sengketa perbatasan kecil untuk memprovokasi krisis. Kapal meriam Perancis muncul di Bangkok, dan menuntut penyerahan wilayah Lao timur Mekong. Sang Raja memohon kepada Inggris, tetapi menteri Inggris mengatakan kepada Raja untuk menyelesaikan syarat-syarat apa saja yang bisa ia peroleh, dan ia tidak punya pilihan selain untuk mematuhi. Britain's hanya gerakan ini adalah kesepakatan dengan Perancis menjamin integritas dari sisa Siam. Sebagai gantinya, Siam harus menyerahkan klaimnya atas Tai Shan berbahasa wilayah utara-timur Burma ke Inggris.

Prancis, bagaimanapun, terus tekanan Siam, dan pada 1906-1907 mereka diproduksi krisis lain. Siam kali ini harus mengakui wilayah kekuasaan Prancis di tepi barat Mekong berlawanan dari Luang Prabang dan sekitar Champassack di selatan Laos, serta Kamboja barat. Campur Inggris untuk mencegah lebih banyak menggertak dari Siam perancis, tetapi harga mereka, pada tahun 1909 adalah penerimaan kedaulatan Inggris atas dari Kedah, Kelantan, Perlis dan Terengganu di bawah [ [Anglo-Siam Perjanjian tahun 1909]]. Semua ini "hilang teritori" berada di pinggiran dari Siam lingkup pengaruh dan tidak pernah aman di bawah kendali mereka, tetapi dipaksa untuk mengabaikan semua klaim kepada mereka adalah sebuah penghinaan

Page 25: Bahan Kerajaan Thai

besar kepada kedua raja dan negara (sejarawan David K . Wyatt menggambarkan Chulalongkorn sebagai "patah dalam semangat dan kesehatan" setelah krisis 1893). Pada awal abad 20 krisis ini diadopsi oleh pemerintah nasionalis semakin sebagai simbol perlunya negara untuk menyatakan dirinya sendiri terhadap Barat dan negara-negara tetangganya.

Sementara itu, reformasi terus dengan cepat mengubah monarki mutlak didasarkan pada hubungan kekuasaan ke modern, terpusat negara bangsa. Proses semakin di bawah kendali Rama V putra, yang semuanya berpendidikan di Eropa. Kereta Api s dan telegram garis bersatu yang sebelumnya terpencil dan semi-otonom provinsi. Mata uang diikat ke standar emas dan sistem modern menggantikan perpajakan exactions sewenang-wenang dan pelayanan tenaga kerja masa lalu. Masalah terbesar adalah kekurangan pegawai negeri yang terlatih, dan banyak orang asing harus bekerja sampai sekolah baru dapat dibangun dan Siam lulusan yang dihasilkan. Hingga tahun 1910, ketika Raja meninggal, Siam telah menjadi setidaknya semi modern sebuah negara, dan terus melarikan diri kolonial.

Pendakian Vajiravudh dan nasionalisme elite[sunting sumber]

Salah satu reformasi Rama V adalah untuk memperkenalkan gaya barat hukum kerajaan berturut-turut, maka pada tahun 1910 ia damai digantikan oleh putranya Vajiravudh, yang memerintah sebagai Rama VI. Dia telah dididik di Sandhurst akademi militer dan di Oxford, dan merupakan Edwardian anglicised pria. Memang salah satu masalah Siam adalah melebarnya jurang antara westernised keluarga kerajaan dan aristokrasi atas dan seluruh negeri. Butuh waktu 20 tahun lagi untuk pendidikan barat untuk memperluas ke seluruh birokrasi dan tentara: sumber potensi konflik.

Ada beberapa reformasi politik di bawah Rama V, tetapi raja masih absolut raja, yang bertindak sebagai perdana menteri sendiri dan staf semua lembaga negara dengan kerabatnya sendiri. Vajiravudh, dengan pendidikan Inggris, tahu bahwa sisa bangsa tidak dapat dikecualikan dari pemerintah untuk selama-lamanya, tetapi ia tidak demokrat. Ia menerapkan pengamatannya dari keberhasilan monarki Inggris, muncul lebih banyak di depan umum dan lebih kerajaan mengadakan upacara. Tapi dia juga pada ayahnya program modernisasi. Poligami itu dihapuskan, membuat pendidikan dasar wajib, dan pada tahun 1916 perguruan tinggi datang ke Siam dengan pendirian Chulalongkorn University, yang pada waktu menjadi persemaian Siam baru inteligensia.

Solusi lain dia temukan adalah untuk mendirikan Wild Tiger Corps, sebuah organisasi paramiliter warga Siam "karakter yang baik" bersatu untuk memajukan bangsa penyebabnya. Sang Raja menghabiskan

Page 26: Bahan Kerajaan Thai

banyak waktu pada pengembangan gerakan ketika ia melihatnya sebagai sebuah kesempatan untuk menciptakan suatu ikatan antara dirinya dan setia warga negara; korps sukarelawan bersedia untuk berkorban untuk raja dan bangsa dan sebagai cara untuk memilih dan kehormatan kesukaannya.

Pada awalnya, Wild Tigers diambil dari raja rombongan pribadi (kemungkinan bahwa banyak yang bergabung untuk mendapatkan nikmat dengan Vajiravudh), tetapi antusiasme di kalangan penduduk muncul kemudian.

Dari gerakan ini, seorang Jerman pengamat menulis pada bulan September 1911:

Ini adalah pasukan relawan seragam hitam, mengebor secara lebih atau kurang gaya militer, tetapi tanpa senjata. Pramuka Inggris yang tampaknya paradigma untuk Tiger Corps. Di seluruh negeri, di paling jauh-jauhnya tempat, unit korps ini sedang dibentuk. Satu akan hampir tidak mengenali Siam tenang dan apatis.

Gaya Vajiravudh pemerintah berbeda dari ayahnya. Pada awal pemerintahan keenam, raja terus menggunakan tim ayahnya dan tidak ada istirahat mendadak dalam rutinitas sehari-hari pemerintah. Sebagian besar menjalankan urusan sehari-hari Oleh karena itu di tangan orang-orang berpengalaman dan kompeten. Bagi mereka dan staf mereka Siam berutang banyak langkah-langkah progresif, seperti pengembangan rencana nasional untuk pendidikan seluruh rakyat, mendirikan klinik di mana vaksinasi gratis diberikan terhadap cacar, dan perluasan terus kereta api.

Namun, senior secara bertahap dipenuhi omembers dari King's Coterie ketika terjadi kekosongan jabatan melalui kematian, pensiun, atau mengundurkan diri. Pada 1915, setengah kabinet terdiri dari wajah-wajah baru. Paling menonjol adalah Chao Phraya Yomarat kehadiran dan ketidakhadiran Pangeran Damrong. Ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri secara resmi karena kesehatan yang buruk, tetapi dalam kenyataannya karena gesekan antara dirinya dan raja.

Siam pada tahun 1917 menyatakan perang terhadap Jerman, terutama untuk mendapatkan nikmat dengan Inggris dan Perancis. Siam's token partisipasi dalam Perang Dunia I mengamankan tempat duduk di Konferensi Perdamaian Versailles, dan Menteri Luar Negeri Devawongse menggunakan kesempatan ini untuk berdebat untuk pencabutan abad ke-19 perjanjian dan pemulihan Siam penuh kedaulatan. Amerika Serikat diwajibkan pada tahun 1920, sementara Perancis dan Britania ditunda sampai 1925. Kemenangan ini diperoleh raja beberapa popularitas, tapi tak lama kemudian melemahkan oleh ketidakpuasan atas isu-isu lain, seperti sebagai pemborosan, yang menjadi lebih terlihat ketika sebuah resesi terjadi sesudah perang tajam

Page 27: Bahan Kerajaan Thai

Siam pada tahun 1919. Ada juga fakta bahwa raja tidak mempunyai anak, ia jelas perusahaan lebih suka laki-laki dengan perempuan (masalah yang dengan sendirinya tidak terlalu peduli Siam pendapat, tetapi yang juga merongrong stabilitas monarki karena tidak adanya ahli waris) .

Jadi ketika Rama VI meninggal tiba-tiba pada tahun 1925, usia hanya 44, monarki sudah dalam keadaan lemah. Ia digantikan oleh adiknya Prajadhipok.

http://id.wikipedia.org/wiki/Siam

Perjanjian Inggris-Siam 1909Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cariPerjanjian Inggris-Siam 1909 , dikenal juga sebagai Perjanjian Bangkok 1909 , adalah perjanjian antara Inggris dan Thailand pada 1909. Perjanjian ini ditandatangani di Istana Raja Siam di Bangkok pada 10 Maret 1909 dan diratifikasi pada 9 Juli 1909.

Kesungguhan perjanjian ini sebenarnya dijalankan sungguh-sungguh oleh Edward Henry Strobel Penasehat Urusan Luar Negeri Kerajaan Siam [1] . Dia menemukan beberapa kesepakatan yang disegel bersama Inggris sebelum dia bertugas pada tahun 1906 di Siam merugikan Siam terutama urusan perdagangan bilateral dan keistimewaan lain seperti dalam Bowring (1855) dan Perjanjian Rahasia (1897). Oleh itu, ia telah menyatakan kepada WD Beckett seorang pejabat kedutaan Inggris di Bangkok pada tahun 1907 akan hasratnya untuk menyeimbangkan posisi hubungan perdagangan dan mencabut hak keistimewaan Inggris di Siam dengan kesediaanya membujuk Raja Chulalongkorn menyerahkan negeri-negeri Melayu Utara seperti Kedah, Terangganu dan Kelantan hanya ke Inggris sebagai imbalan [2] . Tawaran itu mendapat reaksi positif dari Ralph Paget, Duta Inggris ke Siam serta Sir John Anderson, Komisaris Tinggi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu dan Gubernur Negara-Negara Selat

Perjanjian[sunting sumber]

Melalui Perjanjian Bangkok 1909 itu, pemerintah Siam menyerahkan negeri-negeri Kedah , Perlis , Kelantan dan Terengganu untuk bernaung di bawah pemerintahan Inggris. Perjanjian tersebut telah ditandatangani di Bangkok oleh Ralph Paget Duta Inggris di Siam Mewakili King Inggris dan Irlandia serta Pangeran Devawongse Varoprakar, Menteri Luar Kerajaan Siam ketika itu.

Rincian Perjanjian Bangkok 1909 adalah seperti berikut: -

Page 28: Bahan Kerajaan Thai

1.Penyerahan Kelantan, Terengganu, Kedah, Perlis, dan pulau-pulau yang berdekatan ke Inggris.

2.Tanggal penyerahan dalam waktu tiga puluh hari setelah ratifikasi perjanjian.

3.Pengangkatan Komisi Campuran untuk perlintasan Inggris-Siam .4.Utang publik wilayah yang diserahkan akan tetap dibayar kepada

Pemerintah Siam.5.Penghapusan yurisdiksi Konsul Inggris di Siam.6.Hak rakyat Inggris di Siam terhadap properti, perumahan dan

perjalanan, pajak, dll.7.Konfirmasi perjanjian lama.8.Ratifikasi dalam waktu empat bulan.

^ Sejarah penggarisan dan penetapan sempadan negeri-negeri Melayu Utara dengan Siam 1907-1912 oleh Nik Anuar Nik Mahmud dalam jurnal, Malaysia Dalam Sejarah Bil 22-1994, Persatuan Sejarah Malaysia^ surat Paget kepada Grey, 29 April 1907 FO 422/62