babad bali

Upload: maya-anggaraini

Post on 06-Jul-2015

2.970 views

Category:

Documents


44 download

TRANSCRIPT

BABAD BALITop of Form

NamaBottom of Form

Babad Kutawaringin (basis data) Beliau adalah utusan Maha Patih Gajahmada, yang ditugaskan mengamankan daerah Gelgel. Di bawah pemerintahan Dalem Ketut Kepakisan di Samprangan, beliau adalah wakil dari Patih Agung Arya Kresna Kepakisan. Tahun 1271-1349. Beliau menetap di Toya Anyar (Tianyar), mempertahankan wilayah timur Gunung Agung. Berikut adalah lelintihan keturunan beliau yang dihimpun dari para pratisentananya. Babad Sri Nararya Kresna Kepakisan (basis data) Pada tahun 1357 Arya Kresna Kepakisan dikirim ke Bali oleh Maha Patih Gajahmada memimpin pasukan bantuan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan Samprangan, mendampingi Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I. Babad Satria Kelating (basis data) Ini adalah lelintihan dari Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I. Babad Buleleng (basis data) Berikut adalah lelintihan dari Ki Barak Panji (Ki Gusti Panji) sebagai yang dapat disarikan dari Lontar Babad Buleleng. Babad Pasek (basis data) Lelintihan ini berkawitan Mpu Ketek, berikut disajikan silsilah yang berhasil disarikan dari Buku Babad Pasek. Babad Arya Kresna Kepakisan Versi Dokbud Bali (basis data) Arya Kapakisan adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas. Babad Buleleng Versi Dokbud (basis data) Silsilah ini berkawitan seorang ibu bernama Si Luh Pasek Panji, disarikan dari Lontar Babad Buleleng untuk melengkapi kasanah babad Bali kita. Mohon masukan dan tambahan informasi dari para pratisentana.

Babad Jawa Versi Mangkunegaran (basis data) Juga sebagai pelengkap, karena silsilah ini sedikit banyak juga bersinggungan dan menjadi akar dari berbagai babad di Bali. Dikumpulkan dan disarikan dari berbagai sumber di Keraton Mangkunegaran, Surakarta. Babad Arya Gajah Para (essay) Pasukan Majapahit memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga, diutuslah Sirarya Gajah Para dan Sirarya Getas. Akhirnya kedua Arya tersebut tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, dan menurunkan beberapa keturunan. Berikut kisahnya. Babad Buleleng (essay) Keesokannya, ternyata Ki Barak Panji tersurat kapur, di sanalah Sri Aji Dalem Sagening percaya akan kata-katanya Ki Gusti Ngurah Jarantik, bahwa benar ubunubun anak itu keluar sinar, hati beliau menjadi murung, hati beliau Dalem sangat kasih sayang, akan tetapi ada yang ditakutkan dalam hati, mungkin Ki Barak Panji, nantinya akan mengalahkan putranya yang diharapkan akan menggantikannya menjadi raja. Babad Dalem Batu Kuub (essay) Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Raja. Yoganya sangat mantap, lalu dilemparkan dan jatuh di sungai, menimpa batu. Maka timbul lah gempa bumi, angin topan, guntur dan halilintar. Kemudian muncul lah bayi dari batu itu, rupanya hitam. Ada pula bayi muncul dari buih, rupanya putih. Sejak itu sungai itu dinamakan sungai Lipak. Babad Ki Tambyak (essay) Ki Tambyak adalah putra dari Begawan Maya Cakru, semenjak lahir ia ditinggal oleh orang tuanya, akhirnya ia dijadikan anak angkat oleh Kebayan Panarajon. Sebagai anak angkat yang dipungut sewaktu masih bayi, kemudian tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan berilmu sehingga disegani masyarakat lingkungannya. dalam hal ini bukan saja oleh masyarakat lingkungannya, bahkan raja Bedahulu pun mengangkatnya sebagai seorang patih. Babad Manik Angkeran (essay) Ida Bang Manik Angkeran adalah putra dari Dang Hyang Siddhimantra. Berikut kisah beliau, diambil dari sebuah terbitan untuk para pratisentananya.

abad Bali Babad Kutawaringin Arya Kutawaringin

Beliau adalah utusan Mahapatih Gajahmada, yang ditugaskan mengamankan daerah Gelgel. Di bawah pemerintahan Dalem Ketut Kepakisan di Samprangan, beliau adalah wakil dari Patih Agung Arya Kresna Kepakisan. Tahun 1271-1349. Beliau menetap di Toya Anyar (Tianyar), mempertahankan wilayah timur Gunung Agung.

Arya Kresna Kepakisan Pada tahun 1357 Arya Kresna Kepakisan dikirim ke Bali oleh Maha Patih Gajahmada memimpin pasukan bantuan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan Samprangan, mendampingi Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I. Di Samprangan beliau tinggal di Puri Nyuh Aya, karenanya beliau disebut juga Pangeran Nyuh Aya atau Ida Dewa Nyuh Aya. Beliau berputra 8 orang, 7 orang lahir di Nyuh Aya dan satu lahir di Gelgel (Krian Madya Asak). Putra-putra beliau adalah:

Ida Dianggan Krian Madya Asak Krian Petandakan Krian Akah Krian Cacaran Krian Kaloping Krian Pelangan Krian Satra

ANAKCIREMAIKumpulan Makalah, Skripsi, Tesis, Cara, Setting, Computer

Pages Home

Iklan Anakciremai Batu Alam Forum Anakciremai

Top of Form

partner-pub-2013

FORID:9

ISO-8859-1

Cari Makalah Anakciremaiw w w .anakciremBottom of Form

Browse Home MAKALAH SEJARAH MAKALAH SEJARAH TENTANG PULAU BALI

MAKALAH SEJARAH TENTANG PULAU BALIBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bali adalah tempat berkembangnya agama Hindu dan Hampir seluruh Masyarakatnya menjadi penganutnya. Agama Hindu di Bali mulai tumbuh dan berkembang sejak abad ke 8, bersamaan dengan pertumbuhan agama Hindu di Jawa Tengah, Agama Hindu banyak pengaruhnya terhadap kebudayaan setempat, juga terhadap sistem pemerintah Berita Cina menyebutkan pada abad ke 7 ada daerah Dwapatan (Bali) yang mempunyai adat yang sama dengan Jawa (Holing). Prsasti Bali 804 Caka (882 M) menyebutkan pemberian izin pembuatan pertapaan di bukit Kintamani. Prasasti berangka tahun 896 caka (991 M) isinya menyebutkan tempat suci dan istana Raja terletak di Singhamandawa dekat Sanur berhuruf Dewa Nagari dan Bali Kuno Kitab Usana Bali abad ke 16 menyebutkan Raja Jayapangus memerintah setelah Raja Jayakusuma. Ia Raja penyelamat Bali yang terkena malapetakaa karena lupa menjalankan ibadah Raja ini juga mendapat wahyu untuk melakukan upacara agama kembali yang sekarangsebagai hari Galungan

Raja Raja Bali: a. Khesari Warmadewa yang beristana di Singhadwala menurunkan Wangsa Warmadewa b. Ugrasena c. Raja Haji Tabanendra Warmadewa ia di candikan di Air Mandu d. Raja Jayasingha Wamadewa ia membangun pemandian di Desa Manukraya yaitu Pemandian Tirta Empul dekat tampak Siring tahun 960 e. Raja Jayasadhu Warmadewa f. Sri MahaRaja Sri Wijaya Mahdewi (mungkin dari Sriwijaya) g. Raja Udayana yang memerintah bersama istrinya yakni Gunapriyadarmapatni yang melahirkan Airlangga, Marakata, Anak wungsu h. Marakata bergelar Marakata Utungga Dewa yang di segani rakyatnya, ia membangun bangunan suci di Gunung Kawi, Tampak Siring Bali i. Anak Wungsu, mengaku penjelmaan Wisnu yang masa pemerintahannya di bantu 10 senopati rakyat hidup dari bertani, binatang yang berharga adalah Kuda. Untuk golongan pedagang laki laki disebut Wanigrama dan untuk perempuan disebut Wanigrami j. Raja Walaprabu k. Raja Jayasakti, pada masa pemerintahanya ada dua kitab undang undang yakni UU Utara Widdi Balawan dan Raja Wacana (Rajaniti) l. Jayapangus yang dikenal penyelamat negara karena mengajak rakyatnya kemBali melakukan upacara agama sehingga mendapat wahyu (Hari Galungan) B. Perumusan Masalah Sistem pembagian Raja Raja di Bali di dasarkan atas keturunan, biasanya pengganti Raja yang meninggal adalah putra laki laki tua atau satu satunya putra laki laki yang lahir dari permaisuri yang berasal dari golongan bangsawan (Ksatria). Tetapi apabila putra mahkota pengganti Raja tersebut masih di bawah umur, biasanya diwakili oleh ibunya atau salah seorang bangsawannya yang di pilih pada penggawa pendanda istana Dalam menjalankan pemerintahan, Raja dibantu oleh pejabat pemerintah yang masing masing menduduki fungsi tertentu. Raja di dampingi oleh sebuah Dewan Kerajaan yang di sebut Pasamuan Agung. Tugas Pokok dari Pasamuan

Agung adalah memberikan nasihat dan pertimbangan para Raja dalam memecahkan masalah masalah yang berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu mereka juga di tugasi untuk mengurus hubungan dengan penguasa di luar Kerajaan Raja juga dibantu oleh patih, Prebekel atau Pambekel dan penggawa penggawa daerah. Penggawa penggawa ini kedudukanya sama dengan kepala distrik. Di Kerajaan Buleleng disebut Pembekel Gede yang kebanyak mempunyai darah keturunan maju dan bertempat tinggal di Puri Masyarakat Bali hidup dari bercocok tanam, berternak dan berdagang, mereka menghiasi mayat yang telah meninggal dengan emas dan diberi harum haruman. Orang Bali sebagian besar memeluk Hindu Waisanawa adapun ada sedikit pemeluk agama Budha. Karena agama Hindu di Bali Berkembang dengan pesat maka di juluki museum hidup Di Bali di kenal beberapa susunan pejabat yang mengurusi masalah pengairan, mereka itu adalah: a. Sedekah Gede / Sedahan Agung / Penyaringan Gede b. Sedahan Tembuk yang bertugas mengawasi aliran air ke sawah sawah dan menrima pajak dari para pemakai air c. Klian Subak, yang bertugas langsung pengairan air ke sawah sawah dan mengurus administrasinya Kesulitan kesulitan para pemakai air di tampung setiap 35 hari sekali dan diadakan rapat. Rapat itu diadakan setiap hari Anggara Kasih atau Aelasa Kliwon Pada abad ke 8 di Bali berdiri sebuah Kerajaan yang berpusat di Singhamandawa yang diperintah oleh seorang Raja, yaitu Sri Ugrasena daerahnya kemungkinan SingaRaja sekarang. Sedangkan pada abad ke 10 Bali berada di bawah kekuasaan Jawa Timur dengan kebudayaan Jawa Hindu, dan di Bali ini kebudayaanya tersebut berkembang dengan pesat. Pada tahun 982 M di Bali berkuasa seorang Ratu yang bernama Sri MahaRaja Wijaya Mahadewi yang memerintah dengan sistem pemerintahan di Jawa. Susunan dan nama nama jabatan pemerintah yang biasa berlaku di Jawa di pergunakan di Bali Setelah masa pemerintahan Sri MahaRaja berakhir, Bali kemudian diperintah oleh seorang Raja keturunan Bali, yaitu Dharma udayana Marwadewa, yang biasa di panggil Dharmodayana. Beliau memerintah bersama sama dengan

permaisurinya yaitu Gunapriya Dharmapatni, yang merupakan keluarga Raja Sindok. Pada tahun 1000 Dharmopatni melahirakan seorang putra yaitu Airlangga. Dalam menjalankan pemrintahanya, Dharma Udayana dan Dharmapatni selalu berbeda. Hal ini berakibat perginya Raja ke Jawa Timur dan menikah lagi dengan adik Raja Dharmawangsa, yaitu Mahendradatra. Kemudian Dharmaptni di buang ke hutan C. Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan diantaranya yaitu: 1. Sesuai dengan judulnya yaitu untuk memenuhi salah satu tugas guru mata pelajaran Sejarah 2. Untuk menambah nilai yang mungkin kurang dari target yang di tentukan 3. Melatih agar siswa siswi mampu melakukan suatu pekerjaan dengan gotong royong atau belajar kelompok Tujuan kami bukan hanya itu, kami bukan hanya nilai yang tinggi dan baik kamipun ingin dengan tugas tugas yang di berikan kualitas belajar kami menjadi lebih baik BAB II PEMBAHASAN Di Bali terdapat sejumlah Kerajaan yang mempunyai Raja dan pemerintahan sendiri, yaitu, Kerajaan Buleleng, Karang Asem, Klungkung, Gianjar, Badung Badung, Mangur dan lain lain. Tetapi Raja Raja Bali mengakui Raja Klungkung sebagai Raja tertinggi, disebabkan karena asal usul keturunan dan keturunan dan kedudukan Raja Klungkung sebagai Dewa Agung, tiap tiap Kerajaan dalam wilayahnya masing masing di kepalai oleh Raja baru Pamade atau keluarga dekat dari Raja. Misalnya Kerajaan Buleleng dibagi dalam wilayah wilayah SingaRaja, tejakula dan Badung, sedangkan Kerajaan Badung terbagi menjadi tiga wilayah yaitu Denpasar, Pernade, dan Kasiman Raja Raja Bali memakai gelar Anak Agung. Raja Raja Bali masing masing bertempat tinggal di dalam istana (puri) bersama sama keluarga dekat Raja. Di dalam puri ini banyak tersimpan benda benda pusaka dan benda benda untuk upacara keagamaan

Legenda mengenai Udayana dan Dharmapatani yang di baung ke hutan, kemudian mengembangkan ilmu sihir bersama sama muridnya, ilmu sihir tersebut di dapat dari Dewi Durga yang ia puji. Kemudian Dharmapatni ini dikenal dengan nama Rangda dan sebagai ahli sihir, ia dipanggil dengan Calon Arang Dharmapatni sangat sakit hati terhadap suaminya yang kawin lagi dengan menghukum ia kehutan. Kemarahan memuncak, karena putrinya Ratna Menggali yang cantik tidak ada yang melamar, karena para jejaka takut terhadap Calon Arang, yang menjadi sasaran kemarahan adalah Airlangga tidak dapat menghalangi ayahnya untuk kawin lagi Kerajaan Airlangga hampir hancut akibat terjangkitnya penyakit menular yang tersebar di wilayah Kerajaannya. Dan wabah penyakit ini ditimbulakan oleh Rangda, ibunya sendiri, Airlangga meminta bantuan kepada pendeta sakti, yaitu Mpu Bharada melawan calon Arang. Calon Arang menjelma menjadi makhluk yang menakutkan dan Mpu Bharada menjelma menjadi makhluk ajaib yang di sebut Barong. Dalam perkelahian tersebut Barong menang dan Kerajaan Airlangga selamat dari bencana

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kerajaan Bali muncul pada abad ke 9 yang di perintah oleh Raja Sri Kesariwarmadewa, Udayana dan anak Wungsu. Tahun 915 Raja Bali Ugrasena berhasil membangun Kerajaan Bali dan berkembang dan serta menjalin persahabatan Mataram, dan di tandai perkawinana Udayana Wamadewa (956 1022) kawin dengan putrid Makutawangsa Whardana yang bernama Mahendratta, hubungan berlanjut setelah putra Udayana yang bernama Airlangga menikah dengan putrid Darmawangsa Tguh sampai akhirnya terjadi perlaya 1016. karena diserang oleh Raja wurawari dari wengker yang merupakan sekutu Sriwijaya

Pada masa pemerintahan anak Wungsu (1049 1077) berhasil dibangun Candi Tampak Siring. Pengganti Anak Wungsu, Jaya Sakti, Jayapangus dan Bedahulu adalah Raja lemah dan akhirnya ditaklukan oleh Gajah Mada dalam meluaskan Kerajaan Majapahit

Bali Kuno dan Bali Majapahit Kamis, 11 Oktober 2007

Istilah Indianisasi baru dikenal mendekati abad ke-19, ketika Raffles mengangkat Indianisasi sebagai topik yang digenari melalui buku The History of Java. Namun, Raffles tidak sendiri, peristiwa yang paling dramatik dalam merumuskan Indianisasi terjadi pada saat segerombolan tentara Inggris yang berasal dari Bangali mencetuskan pemberontakan Sepoy di Jawa Tengah pada tahun 1815 (Denys Lombard: 1996). Setelah mereka merebut Yogyakarta (pada tahun 1812), beberapa perwira, di antaranya bernama Kapten Dhaugkul Sigh, terkejut melihat bahwa Jawa adalah tanah Brahma dan bahwa Sunan adalah keturunan Rama. Berdasarkan alasan keyakinan keagamaan seperti itu, mereka merumuskan gagasan pemberontakan pada kekuasaan Inggris demi memulihkan kekuasaan Hindu di Jawa. Pemberontakan itu gagal, tetapi peristiwa itu perlu diberi tempat dalam sejarah mitos Indianisasi. Setelah Raffles, gagasan Indianisasi dilanjutkan oleh para sarjana Belanda, yang beberapa di antaranya ahli bahasa Sansekerta, seperti J.LA Brandes, H. Kern, N.J Korn, dan WF Stutterheim. Pada tahun 1918, ditulis artikel yang terkenal dari George Coodes yang menghidupkan kenangan akan Kerajaan Sriwijaya, dilanjutkan dengan Krom yang menerbitkan tulisannya berjudul HindoeJavaansche Geschiedenis (sejarah Hindu-Jawa), pada tahun 1931. Beberapa sarjana India juga tertarik dengan wacana Indianisasi seperti RC Majumdar dan HB Sarkar. Tetapi yang monumental adalah kunjungan Rabindranath Tagore pada tahun 1930 yang

secara jelas menyebutkan bahwa "ia memang merasakan kehadiran India di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali". Bali Kuna Walaupun bukti-bukti Indianisasi sudah secara meyakinkan disampaikan oleh para sarjana Indolog Inggris dan Belanda, namun ada dua catatan penting yang berkaitan dengan Indianisasi di Indonesia, khususnya di Bali. Pertama, mitos India lebih menjadi fenomena Jawa/Bali Kuna dibandingkan dengan fenomena Bali Majapahit. Disebut Bali Majapahit untuk membedakan dengan Bali kuna, yang memang secara kuat dihubungkan dengan India. Kedua, Indianisasi tidak sepenuhnya berhasil membangun secara totalitas peradaban India karena Indianisasi harus berhadapan dengan fragmentasi paham keagaman serta masih hidupnya sistem kepercayaan lokal sebelum Indianisasi berkembang. Oleh karena terjadi pola penerimaan dan pertukaran antara peradaban India dengan lokalitas. Bentuk akhirnya bisa bermacam-macam; di Jawa melahirkan Kejawen, di Bali menghasilan sistem beragama yang khas Bali. Ketiga, Indianisasi sangat terkait dengan bangun kekuasaan politik yang menopangnya. Dengan demikian Indianisasi tidak an sich fenomena kebudayaan melainkan juga fenomena politik. Secara historis, Indianisasi pada masa Buli Kuna dihubungkan dengan kelahiran dan berkembangnya berbagai sekte, mulai dari sekte Sambu, Brahma, Indra, Wisnu (Wesnawa), Bayu dan Kala, yang tentu saja mengalami interaksi dengan kepercayaan lokal pada saat itu. Interaksi antara berbagai sekte dengan kepercayaan lokal menyebabkan paham keagamaan yang terbangun tidak sepenuhnya bertahan dalam bentuk aslinya (otentisitas) melainkan mengalami proses silang budaya dengan kepercayaan lokal. Di samping menghadapi pengalaman dengan kepercayaan lokal, paham keagaman yang bersendikan pada sekte hidup dalam

pluralitas yang bisa saja berakhir dengan benturan-benturan paham keagamaan. Dalam konteks seperti itu, sekitar 923 Caka, oleh Mpu Kuturan yang bertindak sebagai Senapati Pakiran-kiran I Jero Makabehan, keberagaman sekte-sekte itu kemudian diakomodasi dalam konsep Tri Kahyangan. Selain kehadiran sekte-sekte, pengaruh India juga terlihat dari konsep pakraman. Pakraman pada dasarnya sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam tradisi India. Tatanan itu disebut dengan Grama yang artinya tatanan (sekarang di India disebut Grama Penchayat). Di Bali, istilah grama ini diterima menjadi krama dan selanjutnya menjadi pakraman. Dengan demikian, sistem sosial Bali Kuna merupakan reproduksi tatanan sosial di India. Jejak pengaruh India juga terlihat dalam legenda dan mitologi yang berkembang secara historis pada masa Jawa/ Bali Kuna; Pertama, legenda Aji Saka, yang mengisahkan bagaimana seorang keturunan Brahmana dari India dan menetap di Medang Kemulan. Aji Saka kemudian dikisahkan bisa membangun ketertiban dan peradaban setelah mengalahkan Prabu Baka yang berwatak raksasa (tidak beradab). Kisah kedua tercantum dalam kitab Tantu Pagelaran. Dalam Tantu Pagelaran diceritakan asal mula Batara Guru yang pergi bersemedi di Gunung Dieng untuk meminta pada Brahma dan Wisnu agar Pulau Jawa diberi penghuni. Akhirnya Brahma menciptakan kaum laki-laki dan Wisnu menciptakan kaum perempuan. Di samping itu dikisahkan juga semua dewa menetap di bumi baru itu dan memindahkan Gunung Meru dari Jambhu Dwipa. Sejak itu gunung yang disebut pinkalalingganingbhuwana itu tertanam di Pulau Jawa. Kisah legenda ketiga adalah kedatangan dinasti Warmadewa yang lebih dihubungkan dengan India dibandingkan dengan Jawa. Walaupun hubungan dengan Jawa akhirnya terbangun ketika putra Udayana, yang bernama Airlangga menjadi menantu Raja Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama di Pulau Jawa dan kemudian memegang kekuasaan atas pulau Jawa.

Proses Indianisasi mengalami kemunduran ketika kuasa politik para Maharaj di India kemudian jatuh ke tangan Sultan-sultan Moghul yang beragama Islam. Kemunduran itu memungkinkan bagi terjadinya bentuk baru dalam pembangunan sistem kepercayaan di wilayah-wilayah yang dahulunya menjadi sasaran Indianisasi. Salah satu bentuk kreasi lokal yang paling nampak dalam sejarah adalah ekspansi sistem keagamaan yang dibawa oleh kekuasaan Majapahit. Bali Majapahit Berbeda dengan Bali Kuna yang secara kuat dipengaruhi oleh mitos India, mitos India tidak begitu kuat pengaruhnya di Bali Majapahit, karena Bali Majapahit lebih dekat dengan mitos Jawa. Hal ini nampak dari beberapa teks dan mitologi yang berkembang di Bali, mulai dari kitab Usana Jawa, Usana Bali, Batur Kemulan sampai dengan sejarah Pancaka Tirta. Dalam berbagai kisah mitologi, Gunung Tonglangkir diceritakan sebagai penggalan Gunung Mahameru; Gunung Semeru, Tonglangkir dan Rinjani. Demikian pula dengan asa-usul geneologis; Hyang Putra Jaya, Hyang Gni Jaya dan Dewi Danuh yang bersumber dari Sang Hyang Pasupati yang bersemayam di Gunung Semeru di Pulau Jawa. Selanjutnya mitos Jawa ini diperkuat oleh kedatangan ekspedisi Gadjah Mada ke Bali yang menempatkan Dinasti Kepakisan sebagai pemegang kekuasaan atas Pulau Bali. Kehadiran bangun kuasa baru ini tidak hanya berpengaruh pada pembentukan tatanan sosial-politik baru yang sering disebut Negara dan desa-desa Apanage (majapahit), namun kemudian menegakan sebuah tafsir keagamaan baru yang hegemonik. Tafsir keagamaan inilah yang kemudian melalui instrumen kekuasaan masuk secara penetratif ke desa-desa Bali Kuna (James Danandjaja:1990). Namun, penetrasi sistem kepercayaan dominan itu tidak selalu berakibat penghancuran pada sistem agama lokal, kadangkala hubungannya bisa koeksistensi atau bahkan sinkretisme, di mana sistem agama dominan berdampingan dengan sistem agama lokal.

Walaupun demikian, sistem kepercayaan yang dianut oleh pemegang kuasa politik menjadi acuan dari sistem kepercayaan sosial masyarakat Bali keseluruhan. Relasi antara kekuasaan dan bangun paham keagamaan sedemikian kuatnya sehingga keduanya berada dalam hubungan yang mutualistik. Hal ini nampak jelas dalam lontar Widhi Papinjatan dan sebagainya. Secara geneologis, pemegang kuasa politik di Bali juga cenderung mencari garis pertautan silsilah dengan Jawa bukan dengan India. Misalnya dinasti Kepakisan dan keturunan Dhyang Nirartha dihubungkan dengan Mpu Tantular dan Mpu Bharadah yang memegang peranan politik di Jawa. Demikian pula dengan keturunan para Arya di Bali yang mencari pertautan dengan kekuasaan Jayabhaya di Kediri. Bali Baru Dalam konteks Bali baru, Indianisasi tentu saja akan dipahami berbeda dengan Indianisasi pada masa Bali Kuna. Berbeda dengan masa lalu, proses Indianisasi sangat didukung oleh sistem perdagangan global dan pola ekspansi paham keagamaan yang ditopang oleh kekuasaan politik, Indianisasi sangat dibantu oleh globalisasi dan mempunyai banyak wajah. Bagi kalangan yang pembela sistem beragama dengan kebudayaan lokal, Indianisasi dianggap mengabaikan nilai dan sistem lokal, sehingga dianggap sebagai bentuk gerakan penyeragaman (homogenisasi) cara beragama yang baru. Kritik ini didasarkan atas pengertian Indianisasi sebagai peminjaman acuan tradisi keberagaman yang secara umum digunakan di India untuk diterapkan dalam konteks lokal di luar India. Namun dalam pengertian yang berbeda, Indianisasi juga dapat dibaca dalam tiga kecenderungan. Pertama, Indianisasi sebagai "anak kandung" dari globalisasi. Dalam globalisasi, keterjarakan ruang dan waktu makin dekat. Apa yang terjadi dalam lingkup lokal

tertentu bisa secara cepat "ditiru", "digandakan" atau sekadar diketahui di dalam lokalitas yang berbeda. Dengan demikian, apa yang menjadi trend keagamaan di India misalnya, secara cepat menjadi "milik" global karena dekatnya jarak ruang dan waktu. Dalam globalisasi, tidak ada lagi lokal dan global karena yang lokal bisa menjadi global. Demikian pula sebaliknya, yang kita sebuat universal dan global pada dasarnya fenomena lokal. Kedua, masih berkaitan dengan globalisasi, kecenderungan kembali ke India juga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan spiritual (new age) terhadap globalisasi yang dirumuskan secara totaliter sebagai modernisasi dan westernisasi. Modernitas dianggap justru menciptakan kekosongan spiritual karena membuat manusia teralienasi (terpinggirkan) dari dirinya sendiri. Acuan-acuan modernitas justru membelenggu manusia itu sendiri. Oleh karena itu, kebangkitan spiritualisme baru yang menjadi fenomena lokal dan global, pada dasarnya merupakan respons kegagalan modernitas memberikan alternatif peradaban. Ketiga, kebangkitan spiritualisme baru yang inspirasinya diambil dari India adalah fenomena perlawanan terhadap tatanan sosialpolitik dan kultural yang dominatif. Tatanan sosial yang dominatif seringkali didasarkan atas pijakanpijakan teologis dari paham keagamaan. Oleh karena itu, spiritualisme baru kemudian berkembang menjadi gerakan purifikasi (pemurnian) paham keagamaan dari bias kepentingan ekonomipolitik. Akhirnya, seperti juga halnya yang dialami oleh agama-agama lain, Hinduisme mengalami tarik-menarik antara ide universalisme dan lokalitas, serta antara pendekatan purifikasi dan pendekatan budaya. Sejarah agama-agama besar penuh dengan cerita gerakan purifikasi yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dialektika keagamaan dan relasi kuasa.

Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas. Tunggul Ametung Ken Arok / Angrok / Rejasa

Tunggul Ametung Akuwu Tumapel 1222 Beliau dibunuh dan tahtanya direbut oleh Ken Arok / Angrok / Rejasa yang menggantikannya sebagai raja di Tumapel. Dari istrinya Ken Dedes beliau menurunkan Anusapati, karena kemudian Ken Dedes diperistri oleh Ken Arok / Angrok / Rejasa beberapa putra dan putrinya yang lain tidak kami ketahui berasal dari ayah yang mana. Ken Dedes menurunkan: Anusapati / Panji Anengah Kidal Maesa Wong Ateleng Panji Saprang Agnibhaya Putri

Ken Arok / Angrok / Rejasa Menjadi Amurwa Bumi Tumapel tahun 1222. Mendirikan kerajaan Singasari. Beliau membunuh akuwu di Tumapel Tunggul Ametung dan merampas istrinya Ken Dedes yang sedang mengandung putranya Anusapati / Panji Anengah Kidal kemudian menjadi akuwu Tumapel yang baru. Kerajaanya

bertambah kuat, pada masa kejayaannya beliau sempat mengalahkan Kediri dalam perang Genter. Raja Kediri saat itulah adalah Kertajaya. Tahun 1222 beliau mendirikan kerajaan Singasari. Namun tahun 1227 mangkat karena dibunuh oleh putra tirinya - Anusapati. Panji Tohjoyo Tumapel Panji Sudhatu Tuan Wergala Dewi Rumbi

Anusapati / Panji Anengah Kidal Lahir dari Ken Dedes, bergelar Anusapati Tumapel 1248. Anusapati adalah putra dari Tunggul Ametung dari Ken Dedes. Beliau memerintah Singasari selama 20 tahun dari 1227 sampai 1247 sebelum dibunuh oleh saudara tirinya Panji Tohjoyo Tumapel, anak dari Ken Arok / Angrok / Rejasa dengan Ken Umang. Beliau berputra: Wisnuwardana / Ronggo Wuni Jayagu

Wisnuwardana / Ronggo Wuni Jayagu Berkuasa tahun 1250 Sang Ronggowuni Jayagu adalah putra dari Anusapati / Panji Anengah Kidal. Beliau memerintah Singasari setelah merebut tampuk kekuasaan dari Panji Tohjoyo Tumapel tahun 1250 dan digulingkan oleh Kertanagara / Siwa Budha Tumapel tahun 1268. Kertanagara / Siwa Budha Tumapel

Kertanagara / Siwa Budha Tumapel Berkuasa tahun 1194M (1272S). Beliau adalah putra dari Wisnuwardana / Ronggo Wuni Jayagu yang mewarisi tahta ayahndanya pada tahun 1268. Beliau memperkenalkan penyatuan Buddha dan Hindu sehingga mendapatkan sebutan Sang Siwa Buddha. Beliau menaklukkan kerajaan Melayu Jambi di Sumatra pada tahun 1275. Tahun 1280 ribuan rakyatnya yang tidak menyukai pemerintahannya mengungsi ke Kutai di Kalimantan. Tahun 1281 rakyat muslim dari Kerajaan Jambi mengirimkan utusan kepada raja Kublai Khan. Tahun 1284 menaklukkan Bali. Tahun 1289 utusan Kublai Khan yang

datang untuk menekannya dianiaya dan diusir paksa. Tahun 1290 beliau menaklukkan Sriwijaya. Tahun 1292 Kublai Khan mengirimkan 1000 kapal perangnya ke Jawa. Kertanagara mangkat dalam peperangan tersebut. Bhre Kahuripan I Bhre Daha I Dinikahi oleh Raden Wijaya Mojopahit. Beliau adalah salahsatu putri dari Kertanagara / Siwa Budha Tumapel yang dinikahi oleh Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya melahirkan Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II.

Dinikahi oleh Raden Wijaya / Kertarajasa Mojopahit. Beliau adalah salahsatu putri dari Kertanagara / Siwa Budha Tumapel yang dinikahi oleh Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya dan melahirkan Bhre Daha II yang diperistri oleh R Kudamerta Adilangu. Bhre Daha II

Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya Berkuasa tahun 1294M (1216S). Beliau memperistri keempat putri Kertanagara / Siwa Budha Tumapel. Melarikan diri dari serbuan Kublai Khan yang memporak porandakan Singasari dan menetap di Majapahit (sekarang Trowulan). Dibantu oleh Penguasa Madura Arya Wiraraja memulai pemerintahan baru. Januari 1293 beliau bergabung dengan Mongol menghabisi Jayakatwang, yang menguasai sisa-sisa kerajaan mertuanya Singasari. Bulan Maret 1293 kekuatan gabungan Mongol dan Majapahit menggilas kerajaan Kediri. Pada saat Mongol lengah, beliau menyerang secara mendadak. Mongol mengalami kekalahan dan meninggalkan Pulau Jawa. November tahun itu juga, beliau menjadi raja Mojopahit bergelar Kertarajasa Jayawardana. Jayanegara / Raden Kolo Gemet Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II

Jayanegara / Raden Kolo Gemet

Lahir dari Dara Pethak, memegang tahta Mojopahit tahun 1295M (1217S). Beliau adalah putra dari Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya dari ibunda Dara petak, istri diluar keluarga Kertanagara. Memegang tahta Mojopahit mulai tahun 1309, terbunuh pada tahun 1328.

Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II Memegang tahta Mojopahit tahun 1250. Dinikahi Raden Cakradara. Beliau adalah putri dari Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya menggantikan kedudukan kakaknya Jayanegara / Raden Kolo Gemet yang terbunuh tahun 1328 dan memegang tahta Mojopahit sampai tahun 1350. Tahun 1331 beliau mengangkat patih handal bernama Gajah Mada yang membantu menaikkan wibawa Mojopahit ke tingkat kecemerlangan. Dengan suaminya R Cakradara menurunkan: Hayam Wuruk / Rajasanagara Putri - Dinikahi Raden Larang Bhre Pajang I Bhre Tumapel I

Hayam Wuruk / Rajasanagara Bertahta mulai tahun 1274. Beliau dilahirkan tahun 1334 oleh ibunda Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II mewarisi tahta Mojopahit tahun 1350 bergelar Rajasanagara. Saat itu Mojopahit menaklukan kerajaan Islam Pasai dan Aru (sekarang disebut Deli, dekat Medan, Sumatra Utara). Wirobumi

Babad Arya Gajah Para

Bagian 1 > bagian 2 > bagian 3

Ya Tuhan semoga tidak mendapat halangan.

Ong pranamyam sira sang siwyam, bhukti mukti hitarratam, prawaksye tatwa wijnevah, wisnwangsa patayo swaram. Sira ghranestyam patyam, rajasityam mahabalam, sawangsanira mangjawam, bhuphalakarn patyam loke. Ong nama dewa ya. Sembah hamba ke hadapan Batara junjungan, daulat paduka leluhur yang telah menjadi batara, Engkau yang menganugerahi kehidupan (makanan) dan kebahagiaan, keberhasilan dalam segala kehendak, senantiasa bersemayam dalam perasaan dan pikiran, dipuja agar merestui, para bijak di lingkungan keluarga memohon untuk menyebarkan cerita ( sejarah ) ini, yang berkenaan dengan kewajiban seorang raja, menerangi dan menjadi contoh di dunia, akan diuraikan tentang silsilah keturunan oleh beliau junjungan utama yang telah sempurna. Pada awalnya dimulai. Selamat dan panjang usia, terhindar dari kutuk celaan fitnah bagaikan terkena racun, semoga terus dijunjung di dunia. Ya Tuhan semoga menemukan keberhasilan. Selamat pada tahun Saka 530 yang telah lewat, bulan Cetra (sekitar Maret), hari ke-12 terang bulan, hari dalam sepekan Julung Pujut, pada saat itu titah paduka batara Maharaja Manu, tiba di pulau Jawa di Medangkamulan, di sana dipuja sebagai dewa, dan menjadi pelindung pertama di negeri itu. Gurunam sobitah siyotah. Sebabnya beliau turun, karena atas titah ayah beliau , Batara Guru, menitahkan untuk menegakkan dharma ( kebenaran ) di Medangkemulan, kemudian selesainya melaksanakan dharma beliau, beliau juga melakukan semadi, menghadap/ memuja Surya pada waktu mulai terbit. Hasil dari tapanya, beliau bagaikan dewa dalam alam nyata, oleh karena itu tidak ada yang menyamai di dunia, demikian selesai. Taman loke turanjitah, stroteyam satya dharmmanam, Sakyam wakbhitah krtti loke, bhuta bhawanam wancanam. Karenanya tenteramlah negeri itu selama beliau dijunjung bagi beliau tidak ada yang melebihi selain darma, itulah sebabnya berhasil segala yang diucapkannya, Hyang Maharaja Manu juga memahami tentang kebatinan. Jawanam mandawe swijah, dasantih bhujanggam tayah, tasiyamnco ywanam prajah, haiwam santanam Wijnanah. Entah berapa lama hyang Batara Maharaja Manu, bertahta menjadi pemimpin di sana, bagaikan dewa dalam kenyataan, beliau tetap mempertahankan kemuliaan, sampai ke seluruh negeri, disegani oleh rakyat maupun bangsawan, orang pertama dalam keturunan Manu, di kerajaan, Medangkamulan. Awiji ekam sastito. Awalnya beliau Maharaja Manu, menurunkan keturunan utama seorang laki-laki, bergelar Sri Jaya Langit. Adapun Sri Jaya langit, menurunkan Sri Wrttikandayun. Adapun Sri Wrttikandayun, menurunkan Sri Kameswara Paradewasikan. Adapun Sri Kameswara Paradewasikan, menurunkan Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama

Tungga Dewa, beliau sebagai pemimpin utama, perencana unggul, raja di antara para yogi dan penguasa tertinggi, menjabarkan tujuh formasi ilmu Sanskrit dalam tata bahasa, oleh dilampaui orang. Hasil karya Bagawan Byasa, digubah dalam palawakya, memahami seluk beluk cerita prosa dari Astadasa Parwa. Beliau bagaikan Raja yang unggul di dunia, pikiran beliau mengutamakan kebenaran, tidak diperdaya sebagai raja, menjaga daerah kekuasaan, mengutamakan kejujuran dan kesetiaan, sungguh beliau menjadi pelindung dunia. Prawaktayan sri gotrabih. Beliau raja penguasa pertama, pada waktu beliau memerintah negeri itu makmur, para pernuka tidak ada yang berani menentang beliau. Demikian keistimewaan beliau Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Beberapa lama beliau dijunjung menjadi penguasa negeri, berhasil mempunyai keturunan, beliau berputra laki-laki yang utama, bernama Sri Kameswara, seperti nama buyut beliau. Adapun Sri Kameswara, memiliki keturunan tiga laki-laki, dan seorang perempuan, Semuanya ada empat, rinciannya adalah, yang tertua bernama Sri Krtta Dharma, beliau yang wafat di Jirah. Adapun adik beliau, Sri Tunggul Ametung, beliau wafat di Tumapel, saudara yang perempuan, bernama Dewi Ghori Puspatha, disunting oleh Mpu Widha, saudara dari Medhawati, telah menyatu ke alam baka, berkedudukan di kuburan. Adapun yang keempat, adalah Sri Airlangga, yang diangkat dari Sri Udayana Warmadewa, raja Bali, beserta Sri Guna Priya Dharmapatni, keturunan dari Mpu Sendok. Adapun Sri Airlangga menjadi raja penguasa berkedudukan di negara Daha. Memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri. Semuanya keturunan Wisnuwangsa Kediri. Adapun yang di luar istana (puspa capa), bergelar Sri Arya Buru, sama-sama keturunan orang dusun, cikal bakal lurah Tutwan, Si Gunaraksa yang datang ke Bali. Silsilah raja Sri Jayabhaya yang diuraikan terlebih dahulu, raja Sri Jayabhaya, berputra tiga orang laki-laki, yang tertua bernama raja Sri Dandang Gendis, Sri Siwa Wandhira, Sri Jaya Kusuma, demikian keturunan beliau Sri Jayabhaya. Adapun raja Sri Dandang Gendis, memiliki keturunan Sri Jaya Katong, dia wafat dalam peperangan, Sri Jaya Katong, berputra Sri Jaya Katha, adapun Sri Siwa Wandhira berputra Sri Jaya Waringin, Sri Jaya Waringin berputra Sri Kuta Wandhira berputra bernama Arya Kutawaringin, dia pergi ke Bali, diutus oleh beliau Patih Mada, berkembang keturunannya menjadi keluarga Kubon Tubuh, Kuta Waringin, sampai di sana diceritakan. Adapun Sri Jaya Kusuma, memiliki keturunan Sri Wira Kusuma, tidak mengikuti aturan kata krama keluarga, melahirkan keturunan berada di Pulau Jawa, tidak diceritakan lagi kelanjutannya. Kembali Sri Jayasabha yang diceritakan, memiliki keturunan seorang laki-laki, bernama Sirarya Kediri, memiliki keturunan bernama Arya Kapakisan, beliau dikirim oleh keturunan dua orang semua laki-laki, beliau Pangeran Nyuhaya, dan Pangeran Asak, sama-sama mengembangkan keturunan di Bali, cerita disudahi. Kembali diceritakan yang terdahulu, Jaya Waringin dan Jaya Katha, keturunan beliau Sri Siwa Wandhira dan Jaya Katong beliau berdua yang gugur dalam pertempuran,

beliau berdua yaitu Jaya Waringin dan Jaya Katha, yang menyerah ke Tumapel, waktu ayah beliau hancur dalam peperangan negara Daha menjadi kacau, akhirnya berlanjut sampai cucu terkena kehancuran, kutuk beliau pendeta iwa maupun golongan Budha.

Apa yang menyebabkan terjadinya perang itu? Menyebabkan Keraton menjadi hancur ? Dengarkan tambahan cerita ini, pada tahun aka yang lalu 1144 ( 1222 M ), bulan Palguna (sekitar Pebruari), hari ketiga belas setelah bulan Purnama, hari sepekan Watu Gunung, pada saat itu perintah beliau raja Ken Angrok, beliau yang bertahta di Tumapel, menyerang kerajaan Galuh, atas desakan beliau para pendeta iwa maupun golongan Budha. Bahwasanya raja Sri Dangdang Gendis, durhaka pada para pendeta, menghina kewajiban sang Brahmana, ibaratnya seperti maharaja Nahusa, yang berkeinginan menguasai Surga. Demikian perbuatan raja Sri Dangdang Gendis, menyebabkan semua pendeta menjadi bingung mengungsi ke Tumapel, sekarang kerajaan Daha, ibaratnya seperti segunung rumput kering, hancur lebur terbakar oleh api, siap dibakar?, itulah kemarahan sang pertapa, berkobar dalam pikirannya, ditiup angin tak henti-hentinya Raja Sri Ken Angrok menghembus, semakin menyala tak ada tandingnya. Pada akhirnya menyerah Sri Aji Dangdang Gendis, sadar akan ajalnya tiba, karena raja Sri Ken Angrok sungguh seorang keturunan Brahmana dari Waisnawa, beliau juga dijuluki Hyang Guru, nah itu sebabnya Sri Raja Dangdang Gendis, memusatkan pikiran, menggelar rahasia batin, segera moksa tanpa jasad turut pula kandang kuda beserta pembawa puan, payung, terlihat samar bayangan beliau, melambai di angkasa, menuju Wisnuloka. Demikian jelas Sri raja telah menyatu di alam sana. Ada lagi yang diceritakan yaitu para prajurit dan menteri lebih-lebih para keluarga utama ( dekat ), rakyat yang masih hidup, semua cerai-berai, mencari tempat berlindung, mencari tempat persembunyian, agar selamat, sebab pemimpin perang adalah Siwa Wandhira, beserta Misawalungan, Semuanya telah gugur, dengan penuh keberanian. Masih ada dua orang keluarga keturunan utama, Jaya Katha, dan Jaya Waringin yang terkenal, keturunan Jaya Katong, beserta Siwa Wandhira, yang gugur dalam medan perang. Mereka berdua dendam, atas tewas ayahnya dalam pertempuran, maju menyerang seperti harimau galak, lalu ditangkap bersama-sama oleh empat orang gagah berani yang masing-masing bernama , Arya Wang Bang, Misa Rangdi, Bango Samparan, Cucupu Rantya, di sana Jaya Katha dan Jaya Waringin, keduanya ditangkap. Tidak mampu melawan ikut pula istri Jaya Katha dibawa berlari beliau sedang hamil, sedang mengidam. Adapun Jaya Waringin, masih perjaka, belum mempunyai istri. Keempat menteri tersebut semua belas kasihan terhadap beliau Jaya Katha, dan pula terhadap Siwa Wandhira, itulah sebabnya lepas tidak terkena senjata. Adapun setibanya beliau di Tumapel, disayang oleh yang mendirikan memerintah Tumapel, diasuh oleh orang Japara, masih merupakan keturunan istri Mpu Sendok, dan Kebo ljo, di sana dipelihara, tidak mendapat kekuasaan. Beberapa lama mereka berada

di Tumapel, setelah tiba masanya, akhirnya Jaya Katha berputra tiga orang laki-laki, yang sulung bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng, ketika ibunya dibawa lari janin itu berada dengan selamat di rahim ibunya, itulah sebabnya diberi nama Dalem Manyeneng. Adapun adiknya bernama Arya Katanggaran, itu yang menurunkan Kebo Anabrang, orang tua dari Arya Kanuruhan, yang dikirim ke Bali, mengembangkan keturunan, yaitu Arya Brangsinga, Tangkas, Pagatepan, sampai di sana diceritakan. Putra yang bungsu bernama Arya Nuddhata, seorang Arya yang menetap berdiam di Tumapel mengembangkan keturunan di kerajaan di Jawa, tidak diceritakan lebih lanjut. Adapun beliau Arya Wayahan Dalem Manyeneng, berputra dua orang laki-laki, yang sulung bernama Arya Gajah Para, adik beliau bernama Arya Getas, Mereka berdua itu diutus oleh Gajah Mada ke Bali, demikian uraiannya pada zaman dahulu. Ya Tuhan yang bersemayam dalam kalbu dan pikiran, yang diwujudkan dengan Ongkara dalam kesucian Batara junjungan hamba, para leluhur yang telah suci, hamba menghaturkan sembah suci agar berhasil, oleh karena semua para anggota keluarga, keturunan, karena beliau yang pertama mengembangkan keluarga hamba sendiri, tiada lain beliau itu yang menetap di Tumapel. Beliau itu adalah Arya Wayahan Dalem Manyeneng, gelar beliau yang terkenal. Beliau yang pertama menurunkan keluarga hamba, maafkan agar tidak kena kutukan, para keluarga hamba mohon ijin untuk menguraikan cerita ini, semoga selamat dan panjang umur, menemui kesempurnaan, sampai anggota keluarga dan keturunan, berhasil dalam segala tujuan, tidak kekurangan pangan, kekayaan, semoga tetap disegani di bumi. Ya Tuhan semoga sukses, berhasil selalu. Permulaan cerita disusun dalam silsilah, berkat jasa beliau seorang brahmana pendeta sakti, beliau bergelar Wayahan Tianyar, yang berasrama di Griya Punia, atas dorongan Kyayi I Gusti Ngurah Tianyar, pemimpin di utara gunung, keturunan beliau Jaya Katong dari Kediri, itulah sebabnya sang pendeta sakti, menulis tentang silsilah , telah dimuat dalam tulisan sesuai dengan bahasa dalam babad Jawa. Adapula diceritakan, bernama Kriyan Patih Gajah Mada, memanggil Arya Damar, atas titah dari maha raja Pulau Jawa, melaksanakan empat daya upaya, menyerang kerajaan Bali, setelah siap perbekalan dan kendaraan, segeralah beliau berangkat ikut pula para Arya semua, para perwira dan menteri berkelompok-kelompok menaiki perahu, disertai pula prajurit beliau, tepi laut Bali dikelilingi oleh musuh, para Arya itu dibagi-bagi oleh Kriyan Patih Mada, utara, timur, barat selatan semuanya penuh, penuh sesak di pantai laut, yang masing-masing menempati posisinya, ditambatkan perahunya. Adapun beliau Arya Gajah Para, beserta saudara beliau Arya Getas, disertai oleh Arya Kutawaringin yang cekatan, diikuti oleh Jahaweddhya, para gusti dari Majapahit, seperti tiga patih bersaudara, yang bernama Tan Kawur, Tan Mundur, dan Tan Kober. Beliau tiga bersaudara menambatkan perahu layarnya di pelabuhan Tejakula, yang menyerang dari barat Toya Anyar. Desa-desa menjadi kacau balau, semuanya yang ada di kerajaan Bali, sangat ramai pergulatan perang itu, memarang diparang, kacau balau, banyak rakyat yang tewas, dan menderita, karena keperkasaannya serangan dan Pulau Jawa. Dengan sekejap kalah

pasukan Maharaja Sri Bhedamuka (Bedahulu), amat panjang tidak diceritakan dalam buku ini. Sementara setelah gugurnya maharaja Bhedamuka, para Arya itu semua kembali, menuju Majapahit, keadaan Pulau Bali menjadi sunyi senyap, karena belum ada yang memimpin Bali, demikian. Setelah sekian lama datanglah Sri Kresna Kepakisan, dinobatkan menjadi raja di Pulau Bali. Diikuti oleh semua Arya, Arya Kepakisan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Kanuruhan, lagi beliau Arya Wang Bang, Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur, yang terakhir Arya Kutawaringin semua mengiringi sebagai para perwira menteri, Beliau Arya Kutawaringin, menjadi kepala penasehat pasukan tinggi tersebut. Sesampainya Sri Maharaja Kapakisan, dinobatkan menjadi raja Pulau Bali, orangorang dusun ada yang tidak mau menghormati ( tunduk ), yang di sebelah utara gunung Agung, oleh karena tidak ada pemimpin yang disegani yang datang di sana. Demikian cerita berakhir.

Kemudian kembali diceritakan, beliau Arya Gajahpara, bersama saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja, sebagai mahapatih raja yang ada di Bali. Beliau menurut ( menyerah ), karena ingat dengan kewajiban sebagai seorang anak, tidak pantas melawan perintah orang tua, demikian motto kepemimpinan beliau, dengan tetap pula melaksanakan keperwiraan utama dan keadilan, kedua Arya tersebut diberikan istri, juga merupakan putra Arya. Tetapi di sana para Arya itu segera diajar tentang kewajiban dan tingkah laku seorang kesatria, oleh ayah beliau, untuk tetap melaksanakan cita-cita kewajiban seorang pahlawan (pemberani). Setelah demikian, kedua Arya itu menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut, segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar hilir mudik, setelah melewati pertengahan laut, selanjutnya, berlabuhlah beliau di daerah Pulaki, barat daya Pulau Bali, beliau menumpang di rumah I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan keluarga keturunan Bendesa Mas. Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramahtamah sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu, seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa Pulaki. Di sana beliau menginap dua malam. Pagi-pagi pergilah kedua Arya tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa, tujuannya untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di Samprangan. Tidak habis jika diceritakan perjalanan kedua Arya tersebut, diantar oleh beliau I Gusti Bendesa. Segera tiba di penghadapan, beliau langsung mendekat dan menghadap pada baginda raja. Tak lama antaranya kedua Arya tersebut dipandang oleh sang raja, dengan sopan dan tulus sembah kedua Arya tersebut, demikian pula I Gusti Bendesa, menimbulkan kekaguman setiap yang melihat, orang yang berada di tempat penghadapan, oleh tingkah laku yang baik kedua Arya itu. Ada petunjuk dari sang raja, terhadap kedua Arya, dinobatkan menjadi patih oleh beliau raja penguasa, bertempat di sana di sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb penyerangan beliau Mada untuk membunuh raja Bedha Murdhi ( Bedahulu ), kalahnya Pulau Bali oleh Majapahit. Menjadi patuhlah Arya itu, dengan

segera ditutuplah penghadapan raja. Setelah itu mohon pamitlah beliau pada Sri Maharaja, dan permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu berjalan menuju ke utara, diiringkan oleh rakyat sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb Toya Anyar. Setibanya di sana, segera beliau membangun rumah, tenanglah penduduk sebelah utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya adalah Basang Alas, sebelah baratnya sampai di Tejakula, sebelah utaranya sampai di desa Got, demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah pemerintahan Arya Gajah Para, berdua beserta saudara beliau. Beberapa lama kemudian beliau Arya Gajahpara berdua bersama saudara beliau, hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua sama-sama memiliki putra. Adapun putra beliau Gajah Para tiga orang laki-laki dan perempuan, laki-laki yang sulung I Gusti Ngurah Toya Anyar, adiknya ( bernama ) I Gusti Ngurah Sukangeneb, yang perempuan Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan istri oleh beliau Sri Raja Wawu Rawuh, untuk sementara tidak diceritakan. Beliau Arya Getas yang diceritakan sekarang, berputra dua orang laki-laki, yang tertua bernama I Gusti Ngurah Getas, adiknya diberi nama I Gusti Kekeran Getas. Adapun beliau Arya Getas, setelah berputra dua orang diadu oleh Sri Maharaja, disuruh menyerang daerah Selaparang, karena beliau menguasai empat daya upaya yang licin, diikuti oleh seribu enam ratus orang bawahannya, setelah semua lengkap dengan perbekalan dan kendaraan, menjadi penuhlah desa-desa pesisir di sepanjang pantai, beliau bersama semua rakyatnya hilir mudik menaiki perahu. Setelah itu berhasillah beliau berlabuh di tepi pantai Selaparang, turun dari perahu, berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang menjadi terdiam, oleh karena beliau ( Arya Getas ) berhasil memasang empat daya upaya yang licin, beliau langsung menerobos memasuki semua desa, orang-orang yang berada di Praya semua diam, semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya sampai sekarang dan mengembangkan keturunan. Diceritakan kedua putra beliau yang tinggal di Sukangeneb Toya Anyar, sama-sama mengembangkan keturunan, telah tercatat. Kembali diceritakan, tersebut I Gusti Ngurah Sukangeneb, pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan tiba-tiba, terlunta-lunta perjalanan beliau, sampai tiba di desa Pegametan, bergegas penduduk di sana, disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan, keturunan dari Bendesa Mas, senang hati I Gusti Bendesa sama-sama memohon maaf dengan tulus dan sopan, tidak beberapa lama masuklah di sana I Gusti Ngurah Sukangeneb, bergandeng tangan dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa di Pegametan, masuk ke dalam Puri, duduk di beranda rumah, beliau sama-sama senang saling bertukar pikiran dan berunding, tidak diceritakan jamuan beliau I Gusti Bendesa. Karena saling mengasihi dari dulu. Waktu telah berlalu, sekarang I Gusti Ngurah Sukangeneb, beliau berdiam di Pegametan, menyebabkan I Gusti Bendesa menjadi akrab, dengan I Gusti Sukangeneb. Oleh karena itu dijadikan menantu laki oleh I Gusti Bendesa. I Gusti Ngurah Sukangeneb. Permintaan I Gusti Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb dikawinkan dengan I Gusti ..Kekeran, I Gusti Getas, dinikahkan pada hari, Senin Umanis, Wuku Tolu, tanggal empat belas hari terang bulan, sasih kelima ( sekitar Nopember ) pada tahun Saka 1560 ( 1638 M). Tidak diceritakan perkawinan beliau, pada akhirnya beliau mempunyai dua orang putra, laki-laki, yang sulung I Gusti

Gede Pulaki, adiknya I Gusti Ngurah Pegametan. Cerita selesai sampai di sini. Selanjutnya kembali diceritakan, tersebutlah I Gusti Ngurah Toya Anyar, ada saudara beliau, laki-laki dua orang dan perempuan seorang. Adapun yang tertua I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya Gajah Para, yang ketiga mengambil istri I Gusti Ayu Diah Wwesukia, adiknya I Gusti Ngurah Kaler, kawin dengan I Gusti Diah Lor. Adiknya yang bernama I Gusti Luh Tianyar, dijadikan istri oleh Pendeta Sakti Manuaba. Adapun I Gusti Ngurah Getas, dan I Gusti Ngurah Kekeran Getas, beliau tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, beliau sama-sama mengembangkan keturunan. Kemudian kembali dikisahkan, diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi ketiga, putra beliau yang seibu yaitu I Gusti Ayu Diah Wwesukia. Putra tertua ( bernama ) I Gusti Gede Tianyar, yang selanjutnya berdiam dan memiliki keturunan di Kebon Culik, putra kedua ( juga ) lakilaki bernama I Gusti Made Tianyar, yang kemudian tinggal dan berkembang di Sukangeneb Toya Anyar. Putra yang bungsu I Gusti Nyoman Tianyar, beliau ( yang ) lahir di Desa Pamuhugan, tidak berbeda seperti leluhur beliau dahulu, janin itu selamat dalam rahim ibunya yang sangat setia kepada suaminya, berkat anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel, ketiganya itu diijinkan kembali ke Toya Anyar.

Bagian 2 < bagian 1 > bagian 3

Sekarang kembali diceritakan I Gusti Ngurah Kaler, mempunyai empat orang putra dari seorang ibu lahir dari I Gusti Ayu Diah Lor, putra tertua bernama I Gusti Gede Kaler, pindah menuju desa Antiga, berdiam di sana dan mengembangkan keturunan, putra kedua I Gusti Made Kekeran, pindah menuju Desa Kubu, berkembang di sana. Putra ketiga I Gusti Nyoman Jambeng Campara, pindah ke Desa Sukadana Tigaron, menetap dan mengembangkan keturunan di sana. Adapun yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, beliau dijuluki Ubuh, karena ayahnya meninggal pada saat masih dalam kandungan ibunya Sang Diah yang setia terhadap suami, akhirnya tinggal dan mengembangkan keturunan di Tanggawisia, dihentikan penuturannya sebentar. Cerita kembali lagi, pada I Gusti Gede Pulaki, diambil anaknya I Gusti Bendesa Pulaki, dikawinkan menjadi istri bernama I Gusti Luh Mas. Selanjutnya I

Gusti Ngurah Pegametan, beliau tinggal di desa Pegametan. Adapun saudara beliau I Gusti Gede Pulaki, tinggal di desa Pulaki, putra beliau laki-laki, terlanjur sudah, beliau meninggal. Sedih hatinya I Gusti Gede Pulaki.

Diceritakan sekarang Batara Nirartha, adik dari Mpu Angsoka, putra dari Hyang Danghyang Asmaranatha, beliau menemukan kemurahan batin, datang di Bali, menaiki buah labu (waluh kele), dan sampan yang bocor, mendarat di tepi pantai Purancak, mampir di pondok I Gusti Gede Pulaki, beserta putra beliau semua. Ada putra Batara Nirartha, laki perempuan lahir dari golongan Brahmana Keturunan Daha, yang sulung sangat cantik dan parasnya menawan, tidak ada yang menyamai di dunia, harum semerbak baunya. Adiknya bernama Pedanda Kemenuh, lagi pula ada saudara beliau seorang perempuan, menikah dengan Mpu Astamala beliau dari Aliran Budha Ada pula anak beliau yang lahir dari putri Brahmana dari Pasuruhan, empat orang lakilaki, tertua Pedanda Kulwan, Pedanda Lor, Pedanda Ler. Ada lagi putra dari Pedanda Batara Nirartha, laki perempuan, ibunya dari golongan Kesatria saudara dari Dalem Keniten Blambangan, bernama Patni Keniten. Istri Pedanda Rai, pendeta perempuan tidak bersuami, Pedanda Telaga, Pedanda Keniten. Kembali lagi pada cerita, Batara Nirartha, berada di pondok I Gusti Gede Pulaki, disambut dan diterima oleh I Gusti Gede Pulaki, beliau berucap "Aum-aum hamba sangat bahagia atas kedatangan sang pendeta, apa tujuan tuan pendeta, katakan yang sebenarnya", Danghyang Nirartha menjawab, "Aum Ngurah Gede Pulaki, tujuan saya datang padamu, maksud saya untuk menyembunyikan putraku sekarang, takut saya jika ia datang di kerajaan menghadap pada raja, karena harum semerbak bau tubuhnya, juga sangat cantik paras mukanya, maksud saya sekarang untuk menyatukan kembali ke alam sepi (alam gaib), I Gusti Gede Pulaki menyetujui dan berkenan mengantar, seraya memohon ikut ke alam gaib ia bersedih dan berduka karena terputus keturunannya, tidak ada lagi putranya, diam ( lah ) Batara Nirartha, memikirkan perasaan hati I Gusti Gede Pulaki. Maka bersabdalah Batara Nirartha, sabdanya, "Duhai Ngurah Pulaki, apa sebabnya demikian, menjadi sangat sedih perasaan hatimu, janganlah engkau demikian". Bersikeras I Gusti Gede Pulaki, memohon restu, agar ia mengiringkan menuju alam gaib. Dengan demikian dikabulkan semua perkataan I Gusti Gede Pulaki, bersama putra beliau, beserta semua prajuritnya mengiringkan putra beliau (Batara Nirartha) tidaklah nampak lagi di alam nyata oleh semua orang. Diceritakan sekarang berhubung dipenuhinya permintaan I Gusti Ngurah Pulaki, senanglah hati beliau, maka menyiapkan prajurit, kemudian disuruh membuat upacara selamat, di Pura Dalem, lengkap dengan sanggar cucuk, masing-masing pasukannya disuruh untuk memasang di pintu masing-masing, pada had Kamis Kliwon, lengkap dengan sesajennya. Dengan sekuat tenaga Batara Nirartha, melakukan yoga smertti, terhadap Batara Berawa, beserta penghormatan dan permohonan, kemudian dianugerahi beliau oleh Batara sarana untuk tidak tampak di alam ini, oleh semua orang. Segera setelah itu ada terlihat tabung bambu kuning bergelayutan, tanpa gantungan, dari dalam sebuah tempat pemujaan di kahyangan ( pura ), tidak lama kemudian keluar baju loreng, dari lubang tabung bambu kuning tersebut. Segera diambil baju itu oleh semua orang. Demikian pula I Gusti Ngurah Pulaki, sama-sama disuruh mengenakan pakaian

itu, masing-masing sebuah, di sana orang-orang itu semua dan I Gusti Ngurah Pulaki, segera berubah wujud, menjadi harimau, desa tempat tinggal itu, hilang tidak tampak di alam ini. Adapun putra beliau Batara Nirartha, secara gaib menyatu di alam tidak tampak, berdiam di Mlanting, di puja oleh orang yang tidak kelihatan (samar), sampai sekarang. Cerita kembali lagi, waktu I Gusti Ngurah Pulaki, memohon berubah wujud menyatu dalam alam tidak tampak mengikuti Batara di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan, sedang tidak ada di rumah, beliau pergi mengunjungi Bendesa Kelab, yang berada di Jembrana. Beberapa hari berada di sana, kembali pulang dia ke Pulaki, bersama semua pengiringnya, tidak diceriterakan dalam perjalanan, segera sampai di perbatasan desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegametan, karena tidak seperti sedia kala, bingung perasaan I Gusti Ngurah Pegametan . "Wahai saudaraku, apa sebabnya tidak tampak olehku penduduk desa itu, tidak seperti sedia kala tempat tinggal desaku saat ini ". Kemudian terdengarlah suara-suara binatang bercampur dengan suara harimau, mengaum ribut tiada tara. Terkejut perasaan I Gusti Ngurah Pegametan, tidak kepalang tanggung hati I Gusti Ngurah Pegametan, ingin mengadu keberaniannya, beliau marah dan mengumpat-umpat, ujarnya " Hai engkau harimau semua, tampakkanlah wujudmu, hadapi keberanianku sekarang.

Segera I Gusti Ngurah Pegametan melangkah, tidak kelihatan yang bersuara gemuruh itu, kemudian beliau berjalan hendak meninjau Toya Anyar. Berjalan beliau bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama, perjalanannya diikuti oleh wujud yang maya itu, sekilas tampak berupa harimau, semua pengikut itu perasaannya menjadi takut, semakin mendekat harimau itu, perilakunya seperti orang menghormat, menunduk pada I Gusti Ngurah Pegametan, kemudian mengumpat serta menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan itu, segeralah beliau melanjutkan perjalanan. Tidak diceritakan desa yang telah dilewati, orang-orang yang mengiringinya, diceritakan sekarang telah sampai di desa Wana Wangi, banyak pengiring itu berlarian teringat para pengiring yang hilang sebanyak lima puluh orang, karena jurangnya menyulitkan berbahaya dan terjal diliputi oleh gelap, tidak terlihat keberadaan di dalam hutan. Tidak terpikir oleh I Gusti Ngurah Pegametan, tidak menghiraukan lembah terjal perjalanan beliau, segera sampai di Samirenteng. Menuju ke timur perjalanan beliau, sampailah beliau di hutan sekitar Sukangeneb Toya Anyar. Beristirahatlah beliau di sana, dihitung prajuritnya, dulu diiringi oleh dua ratus prajurit, telah hilang tersesat lima puluh orang, sekarang pengiringnya tinggal seratus lima puluh orang, itulah sebabnya ( tempat itu ), bernama Desa Karobelahan sampai sekarang. Adapun lima puluh orang pengikut yang tersesat, dikumpulkan bertempat di Bengkala. Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegametan, beserta pengikut menuju keluarganya di Sukangeneb Toya Anyar. Tidak diceritakan sekarang untuk sementara. Cerita kembali lagi, sekarang diceritakan beliau Arya Gajah Para, setelah lama beliau berada di Sukangeneb, Toya Anyar. Karena masa tuanya, pada saatnya akan dijemput oleh Kala Mrtyu ( Kematian ), sudah tampak tanda-tanda kematiannya. Sudah diyakini

oleh beliau, tidak boleh tidak beliau pasti akan meninggal. Ada pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya " Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di puncak gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari), dihias dengan bungabunga, dan diiringi dengan tabuh dan tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari". Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaler, cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan kakeknya. Tidak diceritakan lagi telah tiba saatnya maka wafatlah beliau Arya Gajah Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat tersebut, karena ( pada saat itu ) beliau tidak berada di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap pada Sri Maharaja, bersama-sama dengan I Gusti Ngurah Pegametan, sama-sama berada di Gelgel. Tidak diceritakan lagi, setibanya kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta saudaranya, dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong I Gusti Ngurah Tianyar, memberitahukan tentang wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak hati yang baru tiba, berpikir-pikir tentang wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah Kaler, diberitahukan ada pesan beliau (Arya Gajah Para), bahwa disuruh untuk membuatkan panggung jasad beliau di puncak gunung Mangun. Demikian perkataan beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya. Diam I Gusti Ngurah Tianyar, berpikir-pikir beliau. Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan I Gusti Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh semua rakyat, untuk membantu bersama-sama mengerjakan bade ( tempat usungan mayat ) bertumpang sembilan, pancaksahe, taman agung cakranti tatrawangen, beserta segala upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang berwibawa bernama anyawa wedhana, harapan beliau agar segera jasad leluhurnya dikremasi. Karena hari baik sudah dekat, itu sebabnya masyarakat itu beserta tamu semua segera membantu bekerja baik laki maupun perempuan, membuat upakara ngaben (pitra yadnya). Diceritakan sekarang I Gusti Ngurah Kaler, kembali ingat dengan wasiat pesan leluhurnya dahulu, tidak berani menolak setia pada perintah, semakin khawatir I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya I Gusti Ngurah Tianyar. Diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh rakyat beliau memulai mengerjakan terhadap upacara pengabenan, setelah beliau tentukan, saat pelaksanaannya, tidak diceritakan upacara tersebut. Tersebutlah sekarang I Gusti Ngurah Kaler, semakin besar dendam hatinya, banyak alasannya, marah, terhadap I Gusti Ngurah Tianyar. Itu Sebabnya I Gusti Ngurah tidak ingat terhadap kakaknya, terikat oleh kesetiaan beliau, yakin terhadap kebenaran ucapan wasiat leluhur beliau, perasaan hatinya yang marah tidak dapat dikendalikan, segera kakaknya ditantang berperang, marah I Gusti Ngurah Tianyar, memuncak kemarahannya, sama-sama tidak mau surut kejantanannya, sebagai seorang kesatria untuk mendapatkan kemashuran di ujung senjata utama, lagi pula prajurit sama-sama prajurit, semua setia membela kehendak tuannya, sama-sama beringas, saling parang memarang, terus menerjang berbenturan. Lagi pula peperangan beliau I Gusti Ngurah Tianyar, dengan I Gusti Ngurah Kaler, sama-sama gagah berani, sangat hebat peperangan itu, bagaikan perang kelompok raksasa, banyak rakyat hancur menjadi korban, darah bercucuran, dan mayat para prajurit menggunung, itu sebabnya diberi nama Tukad Luwah sampai sekarang. Adapun peperangan I Gusti Ngurah Kaler, dengan I Gusti Ngurah Tianyar, sama-sama tidak berkurang keberaniannya, sama-sama saling menikam. I Gusti Ngurah

Kaler menikam dengan keris Si Tan Pasirik, tembus dada I Gusti Ngurah Tianyar, membalaslah ia menikam dengan keris " I Baru Pangesan ", sekejap sama-sama meninggal beliau berdua. Kemudian datang I Gusti Abyan Tubuh, bersama I Gusti Pagatepan, yang merupakan utusan dari Sri Raja penguasa di suruh untuk melerai pertikaian mereka berdua. Agar tidak terjadi perkelahian, karena dia bersaudara, sekarang keduanya ditemukan telah meninggal, terhenyak I Gusti Abyan Tubuh, demikian pula I Gusti Pagatepan, memikirkan tentang kematiannya berdua, juga tentang ketidakberhasilan tugasnya, diutus oleh Sri Raja penguasa. Beliau segera kembali untuk menghadap Baginda Raja, tidak diceritakan perjalanannya I Gusti Abyan Tubuh, beserta I Gusti Pagatepan, tibalah mereka di Sweca Negara (Gelgel), segera mereka menghadap sang raja memberitahukan tentang meninggalnya mereka berdua karena berkelahi katanya. " Baiklah paduka Sri Prameswara, tidak membuahkan hasil yang baik tugas yang hamba emban dari paduka, hamba temukan keduanya telah meninggal. Melongo gundah hati sang raja, berpikir-pikir beliau, bahwa sungguh merupakan takdir Yang Maha Esa. Sekarang diceritakan, putra I Gusti Ngurah Kaler, dan I Gusti Ngurah Tianyar, keturunannya sama-sama pria. Adapun putra I Gusti Ngurah Tianyar, yang sulung bernama I Gusti Gede Tianyar, adiknya bernama I Gusti Made Tianyar, yang bungsu bernama I Gusti Nyoman Tianyar, lahir di desa Pamuhugan, semua bijaksana, paham dengan segala ilmu pengetahuan. Diceritakan pula putra I Gusti Ngurah Kaler, empat orang laki-laki, yang tertua I Gusti Gede Kaler seperti nama ayahnya. Adiknya bernama I Gusti Made Kekeran, yang muda bernama I Gusti Nyoman Jambeng Campara, yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, karena di antara dua orang yang meninggal ( ayahnya ) sama-sama meninggalkan isterinya yang sedang hamil, itu sebabnya tidak ada yang melakukan satya, "menceburkan diri dalam api pembakaran mayat " kemudian setelah sama-sama kandungan mencapai usianya, pada saatnya lahirlah bayi itu sama-sama pria, ada di Desa Pamuhugan di Tanggawisia, hentikan ceritanya sebentar. Sekarang diceritakan, tentang beliau Batara Sakti Manuaba, putra dari Batara Ler, ibunya dari I Gusti Dawuh Baleagung, dengan gelar Batara Buruwan, berhasil menjadi pendeta besar, mendapatkan tingkat kemuliaan yang tinggi, tidak ada yang menyamai tentang kependetaan beliau, bertempat di Manuaba. Banyak brahmana ikut tinggal di sana. Beliau mendengar tentang pertikaian I Gusti Ngurah Tianyar dan I Gusti Ngurah Kaler, yang sama-sama meninggal, beserta rakyatnya yang mati tidak terhitung jumlahnya. Menjadi kasihan beliau Batara Sakti Manuaba. Tujuan beliau datang untuk mengetahui keadaan sesungguhnya kedua orang yang bertikai tersebut. Tidak diceritakan perjalanan beliau sang Resi sakti. Tidak beberapa lama tiba beliau di Sukangeneb, Toya Anyar. Dijumpai saudara I Gusti Ngurah Kaler, perempuan seorang, berpengetahuan dan rupawan, bernama I Gusti Ayu Tianyar. Disarankan oleh beliau sang raja penguasa, agar beliau melamar (meminang ), dikawinkan dijadikan istri sang Resi Wisesa. Tidak diceritakan beliau.

Ada anak lahir dari I Gusti Ayu Tianyar, laki-laki tiga orang, yang sulung bernama Ida Wayahan Tianyar, adiknya bernama Ida Nyoman Tianyar, yang bungsu bernama Ida

Ketut Tianyar, bagaikan dewa Brahma, Wisnu, iwa kecerdasannya. Cerita kembali lagi, diceritakan istri I Gusti Ngurah Tianyar, dan istri I Gusti Ngurah Kaler, mereka berdua sangat sedih, hatinya sangat duka, menyebabkan mereka meninggalkan puri. Bersama putra beliau yang masih bayi, diikuti oleh dua ratus orang pengikut, tujuannya untuk datang menghadap Sri raja, yang berada di Sweca pura (Gelgel). Adapun I Gusti Diah Lor, pergi meninggalkan rumahnya, bersama putranya, diiringkan oleh pengikut sebanyak dua ratus orang menuju Desa Tanggawisia, tidak diceritakan perjalanan beliau. Adapun I Gusti Ayu Wwesukia, datang menghadap ke Gelgel, menghadap raja mohon belas kasihan dari beliau Dalem, dengan sopan dan hormat, terhenyak hati Dalem, melihat penderitaan I Gusti Diah Wwesukia, kemudian bersabdalah beliau. "Wahai engkau Wwesukia, aku paham dengan kesedihan yang menimpamu. Sekarang tabahkan hati dalam suka duka, karena sudah menjadi nasib, jangan engkau terlalu bersedih ingatlah akan kesetiaan sebagai seorang istri, jangan gundah, menyesali karma, aku berikan engkau tempat tinggal, beserta rakyat yang banyak yang akan menyertaimu, di sana di Desa Pamuhugan", demikian sabda Dalem. Senang hati I Gusti Diah Wwesukia, bagaikan disiram dengan air kehidupan, hatinya sangat senang, terdorong kesetiaannya sebagai seorang istri, lagi pula sabda beliau Dalem bagaikan sungai Gangga yang membasuh perasaan ternoda. Diceritakan sekarang I Gusti Diah Wwesukia, memohon diri pada Dalem, bersama sama dengan pengikutnya, menuju desa Pamuhugan, beserta putra beliau yang bernama I Gusti Nyoman Tianyar, tinggal di Desa Pamuhugan, mereka menyiapkan dan menyuruh untuk segera bekerja, karena banyaknya pengikut, puri cepat terwujud, sampai di sana diceritakan. Diceritakan sekarang I Gusti Diah Lor, setibanya di Tanggawisia, bersama dengan putra beliau yang bernama I Gusti Ketut Kaler Ubuh, diikuti oleh rakyat sebanyak dua ratus orang, juga ikut tinggal di sana, mengembangkan keturunannya, di Desa Tanggawisia wilayah Buleleng, sampai sekarang. Cerita kembali lagi, diceritakan sekarang yang berada di Sukangeneb, Toya Anyar, itu sudah dewasa, putra I Gusti Ngurah berdua, yang gugur dalam peperangan, Semuanya bernama I Gusti Gede Tianyar, I Gusti Made Tianyar, adapun I Gusti Gede Tianyar, menghadap pada Sri Raja penguasa di Sweca negara (Gelgel), menyampaikan tentang penderitaannya berada di Sukangeneb, Toya Anyar, lemah bagaikan diiris hatinya. Bersabda sang raja, menyuruh untuk berpindah tempat, tidak menolak perintah, I Gusti Gede Tianyar, kemudian mohon pamit pada beliau Dalem, berpindah ke Desa Kebon Dungus, tinggal beliau di sana, mengembangkan keturunan sampai sekarang. Adapun I Gusti Made Tianyar, tinggallah beliau di Sukangeneb, Toya Anyar, mengembangkan keturunan di sana sampai kemudian. Selanjutnya diceritakan putra I Gusti Ngurah Kaler, I Gusti Gede Kaler Putra yang sulung, I Gusti Ngurah Tianyar Pohajeng pindah, berjodoh di desa Blungbang Antiga, Adiknya I Gusti Made Kekeran, berpindah ke Kubu, yang ketiga I Gusti Nyoman Jambeng Campara, segera pindah ke Desa Sukadana Tigaron, telah diceritakan dahulu semuanya mengembangkan keturunan, cerita selesai. Diceritakan kembali, Batara Sakti Manuaba, putranya yang lahir dari I Gusti Ayu Tianyar yang sulung Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar,

sekarang sudah selesai didiksa (ditasbih) menjadi pendeta Siwa, dilantik oleh Batara Sakti Abah, karena beliau itu adalah saudara lain ibu, beliau mencapai puncak kemuliaan. Setelah selesai dilantik oleh pendeta mahasakti, ( putra ) sulung bergelar Batara Wayahan Tianyar, adiknya bernama Batara Nyoman Tianyar, yang bungsu Batara Ketut Tianyar, sama-sama menemukan puncak kemuliaan, lagi pula mereka bertiga dianugerahi keterampilan, Batara Wayan Tianyar, beliau diberi pangrupak ( alat tulis pada daun lontar ), Batara Nyoman Tianyar diberi pustaka, Batara Ketut Tianyar dianugerahi ilmu panah, semua sama-sama dipahami, pemberian guru pendidiknya, cerita selesai. Selanjutnya diuraikan, yang bernama Gusti Ngurah Batu Lepang, di Batwan desa beliau, angkara murka dan dengki melihat asrama di Manuaba, sangat indah dan makmur, keberadaan Asrama Manuaba, semua brahmana yang berada di asrama itu, tidak urung diobrakabrik, oleh Si Ngurah Batu Lepang, oleh karena Batara Sakti Manuaba telah berpulang ke Surga. Tetapi Batara Sakti Abah yang ditakuti oleh Si Ngurah Batu Lepang, sedang tidak berada di asrama, sedang bepergian ke Banjar Ambengan. Segera Si Ngurah Batu Lepang menyiapkan pasukan, lengkap dengan senjata, ingin menggerebeg Asrama Manuaba. Bergemuruh sorak para prajurit. Adapun Pedanda Teges menjadi takut, gemetar, memohon ampun pada Si Ngurah Batu Lepang, adapun para brahmana semua sama-sama untuk bertahan, sangat pemberani dan melawan, seperti perang antara dewa melawan raksasa, mundur berlari pasukan Si Ngurah Batu Lepang, dihancurkan, lain lagi ada yang mati. Si Ngurah Batu Lepang menjadi marah, maju dengan rakyat yang berlimpah, dikurung asrama tersebut. Adapun kaum brahmana, sama-sama tidak ada yang mundur, karena jumlahnya sedikit bergantian dipukul oleh lawan, tidak lama kalah asrama itu, hancur semuanya, banyak yang meninggal dan yang lainnya hancur, yang lainnya ada yang menjauh laki perempuan menuju desa tidak henti-hentinya menangis. Adapun Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar baru tanggal gigi pada waktu itu, perjalanannya menuju ke timur tiba di Bukit Bangli, di pertapaan Pedanda Bajangan. Tersebar berita I Gusti Dawuh Baleagung, mendengar kabar, di Gelgel, dicari tiga bersaudara yang berada di Bangli, karena masih ada hubungan cucu, tidak habis kalau diceritakan, datanglah beliau di Bukit Bangli, beliau menghadap Pedanda Bajangan, meminta ketiga cucu beliau, Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar, semua senang. Memohon pamit pada Pedanda Sakti Bajangan. Tidak diceritakan dalam perjalanan, telah tiba di Gelgel, didengar oleh raja, bahwa Ida Wayan Tianyar datang, bersama semua saudaranya, diutuslah I Dewa Wayahan Tianyar ke istana, menghadap pada Dalem, disambut dengan lirikan yang manis, dan ucapan yang simpatik, ujar beliau. Duhai Ida Wayan Tianyar, masuklah ke teras, mari duduk mendekat, katakanlah sekarang tentang kesedihanmu. Kemudian berkatalah Ida Wayan Tianyar, sebabnya asrama/pertapaannya hancur diserbu karena keangkuhan Si Ngurah Batu Lepang, diserang hancur beserta penghuninya, banyak meninggal yang ada di pertapaan, bersabdalah sang raja. Kata beliau, Duhai jika demikian, Si Ngurah Batu Lepang, " Hai semoga ia tidak berlanjut menemukan kewibawaan, karena ia perusak pendeta, menemukan kesengsaraan ( karena ) membunuh brahmana ". Demikian kutukan beliau sang raja , terhadap si Ngurah Batu Lepang. Demikian pula Pedanda Sakti Abah melepaskan kutukan seperti senjata Bajra beracun ke luar dari mulut beliau, demikian umpat kutukannya. ''Sekarang Ida Wayan Tianyar

beserta dua saudaranya, janganlah ragu-ragu dalam hati, saya memberikanmu tempat, ada keluargamu di Pamuhugan, Kyai Nyoman Tianyar nama beliau, juga aku akan memberikan pengiring, dua ratus orang beserta keris warisan dari ibumu, bernama Ki Tan Pasirik, dibawa oleh Kyayi Nyoman Tianyar, ini keris Si Baru Pangesan saya berikan kepadamu", Ida Wayan Tianyar menurut, demikian pula Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar. Cerita sampai di sini dulu. Tidak diceritakan Pedanda Teges setelah kalah/hancurnya Pertapaan Manuaba, kemudian dijarah semua isi pertapaan. Adapun Pedanda Sakti Abah, mendengar tentang kehancuran pertapaan, dirusak oleh Si Ngurah Batu Lepang, beliau marah dan mengutuk. "Jah tasmat (semoga hancur) Si Ngurah Batu Lepang dia sangat tidak berperasaan, congkak dan garang kepada kami brahmana, biadab membunuh brahmana pendeta, semoga dia tidak berlanjut menemukan kewibawaan, lagi pula terbenam dalam Yamaniloka (sengsara) pada bersumpah untuk Si Teges, jangan engkau saling mengambil (dalam perkawinan), dan menjalin kekeluargaan dengan keturunan Si Teges". Didukung oleh semua keluarga beliau.

Diceritakan Pedanda Sakti Abah lama berada di Pertapaan Pedanda Sakti Bajangan, di sana di Bukit Bangli, Pada suatu ketika, akhirnya menginjak dewasa ketiga adiknya, sudah wajar diupacarai, diberi penyucian (padiksan), oleh Pedanda Sakti Abah, sekarang berganti nama yang sulung Pedanda Wayan Tianyar, Pedanda Nyoman Tianyar, Pedanda Ketut Tianyar. Adapun Pedanda Wayan Tianyar, kawin dengan seorang putri dari Kekeran, Pedanda Nyoman Tianyar beristrikan dari Intaran Badung, Pedanda Ketut Tianyar dari Blaluwan isterinya. Adapun Pedanda Sakti Abah, beliau pindah pertapaan ke Banjar Ambengan, selanjutnya bergelar Pedanda Lering Gunung. Selesai diceriterakan. Kembali lagi diceritakan Si Ngurah Batu Lepang, setelah beberapa lamanya, menghancurkan pertapaan itu, lalu terbukti kutuk brahmana itu mengena, kegusaran, gundah gulana bercampur ( menyebabkan ) kesusahan hati, akhirnya menentang terhadap Sri raja, marahlah baginda raja, diperintahkan untuk mengangkat senjata, Sri raja hendak menghancurkan Si Ngurah Batu Lepang, karena kemarahan sang raja, maka berembug dengan keluarganya semua, perintah Si Ngurah Batu Lepang, "Terlebih dahulu gempur raja pada malam hari, agar meninggal" maka didukung oleh keluarganya semua, perintah Si Batu Lepang pula, menyuruh untuk membunuh semua keluarga dan isterinya, agar tak ada lagi yang diingat-ingat di rumah, sampai di sana diceritakan. Diceritakan sang raja, para punggawa diperintahkan, untuk menghancurkan Si Ngurah Batu Lepang, semua keluarga sampai anak isterinya. Semua prajurit itu ribut mengangkat senjata, banyak tak terhitung, penuh menyebar ke mana-mana tak putus-putusnya dan para menteri sang raja, siap untuk menyerbu rumah Si Ngurah Batu Lepang, diserang bersama. Bingung Si Ngurah Batu Lepang, kehilangan akal, hingar bingar prajurit itu, saling berbenturan mendesak bergulat mengincar keadaan perang itu, meraba-raba tidak tahu dengan temannya, karena diliputi oleh gelap, itu sebabnya sama-sama menyalakan obor. Sekarang kembali mengejar ke arah timur Si Ngurah Batu Lepang, mundur rakyatnya Si Ngurah Batu Lepang, karena banyak yang mati dan menderita, kemudian mengamuk Si Ngurah Batu Lepang, tidak dapat menahan hati, memarang, tombak-menombak menusuk kiri kanan, oleh karena gelap gulita.

Kemudian Si Ngurah Batu Lepang terhalang tidak melihat jalan, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, karena banyak rakyatnya yang gugur, sisa dari yang gugur semua lari menuju rumah masing-masing. Bingung hati Si Ngurah Batu Lepang, masuklah ia ke rumah tempat mesiu, di sana dikejar diburu Si Ngurah Batu Lepang, dikelilingi oleh banyak prajurit, adapun belas kasihan perlakuan prajurit dan menteri semuanya, tak diijinkan membunuhnya dengan mengikat dan menyiksa. Sadar Si Ngurah Batu Lepang, bahwa dirinya akan dibunuh dengan siksaan oleh musuh, kemudian didekatilah bungkusan mesiu itu, kemudian dibakar, segera menyala menjulang tinggi sampai ke angkasa, Si Ngurah Batu Lepang pun segera meninggal, hangus beserta prajuritnya, demikian akibat kutuk brahmana, karena (dulu ) membunuh brahmana tidak berdosa, saat kematiannya lama menemukan hina sengsara. Sekarang kembali diceritakan putra Batara Sakti Manuaba bagaimana keutamaannya yang bernama Bajangan, mempunyai tiga orang putra laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Bajangan, Pedanda Taman, dan Pedanda Abyan. Pedanda Bajangan mendirikan pertapaan di Bukit Bangli, beliau berputra seorang bernama Pedanda Tajung. Adapun Pedanda Taman, mendirikan pertapaan di Sidhawa, putra beliau bernama Pedanda Manggis. Juga Pedanda Abyan, mencari pertapaan di Tagatawang, mempunyai dua orang putra laki-laki, disebut Pedanda Buringkit, Pedanda Made Tubuh. Adapun istri Batara Abah, berputra seorang laki-laki, disebut Pedanda Abah, beliau bertempat di Bajing, pemberian dari Sri Raja penguasa. Berputra empat orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Kelingan, Pedanda Gunung, Pedanda Tamu, Pedanda Abah. Adapun istri Batara yang bernama I Gusti Ayu Tianyar, keturunannya tiga orang laki-laki, yang tertua bernama Pedanda Wayan Tianyar, Pedanda Nyoman Tianyar, Pedanda Ketut Tianyar. Beliau merupakan Bagawanta Arya Dawuh, di Desa Singharsa (Sidemen). Adapun Pedanda Wayan Tianyar, memiliki dua orang istri, keturunan Arya Kekeran seorang, berasal dari Jasi seorang, ada putra lahir dari Kekeran, seorang laki-laki bernama Pedanda Kekeran, mempunyai seorang adik perempuan, bernama Laksmi Sisingharsa, lagi pula putra beliau yang lahir dari keturunan Jasi, bernama Pedanda Tianyar, seperti nama ayahnya, adiknya perempuan bernama Pasuruhan. Beliau Pedanda Wayan Tianyar, yang memiliki dua orang istri, seorang dari Intaran, dari Blaluwan seorang, keturunan yang lahir dari ibu Intaran, Pedanda Wayan Intaran, Pedanda Made Intaran. Keturunan dari Blaluwan, seorang perempuan disunting oleh Pedanda Wayan Kekeran. Pedanda Ketut Tianyar, beristrikan Ngurah Sukahet, berputra tiga orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Sukahet, Pedanda Made Wangseyan, dan Pedanda Ketut Wanasari. Adapun istri Batara yang bernama Kutuh, mempunyai seorang putra laki-laki, bernama Pedanda Kutuh, kawin dengan perempuan dari Karangasern, memiliki empat orang putra laki-laki, Pedanda Wayan Karang, Pedanda Made Karang, Pedanda Nyoman Karang, dan Pedanda Ketut Karang. Adapun Istri Batara yang berasal dari Sambawa, berputra seorang laki-laki, bernama Ida Raden, kemudian beliau berputra bernama Ida Panji, beliau sudah tercatat. Diceritakan kembali, I Gusti Nyoman Tianyar, yang berada di Pamuhugan, melahirkan keturunan lima orang anak laki-laki, tertua I Gusti Ngurah Sangging, adiknya I Gusti Made Sukangeneb, I Gusti Nyoman Tianyar, I Gusti Ngurah Diratha, yang bungsu I Gusti Ngurah Intaran. Pada akhirnya seperti mendapat petunjuk dari leluhur, habis semua isi rumah beliau, hutan ( ladang ) sawah, ada yang digadaikan, ada yang dijual, ke desa lain, oleh karena menuruti hawa

nafsu, I Gusti Nyoman Tianyar menjadi tidak henti-hentinya bingung pikirannya, menjadi kasihan setiap ia melihat anak-anaknya yang masih kecil. Kemudian di dengar oleh Batara Wayan Tianyar kasihan terhadap kesusahan I Gusti Nyoman Tianyar, maka beliau pergi menuju Desa Pamuhugan. Maka disuruhnya I Gusti Nyoman Tianyar, mengambil warisannya dahulu berupa sebidang tanah, yang berada di Sukangeneb. Berkata I Gusti Nyoman Tianyar, Ucapnya. "Jika demikian saya tidak mau kembali ke Sukangeneb Toya Anyar". Berpikir-pikir Batara Wayan Tianyar, tentang kehancurannya di sana, terketuk hatinya sangat kasihan melihat keluarga beliau I Gusti Nyoman Tianyar" Wahai keluargaku semua, jangan anda di sini, mari bersama-samaku di Singarsa, saya memberi anda tempat, sebab kami tak bisa berpisah dengan anda". Diceritakan sekarang I Gusti Nyoman Tianyar semua mengikuti Batara Wayan Tianyar, berbondong-bondong bersama anak isterinya, tidak diceritakan dalam perjalanan tiba di Singharsa, I Gusti Nyoman Tianyar disuruh membangun rumah di Abyan Sekeha, wilayah Dusun Ulah yang disebut Malayu, dijadikan pengawal pendamping dari asrama Batara di kota Singharsa. Adapun putra beliau Batara Wayan Tianyar, yang bernama Batara Wayan Kekeran, pindah asrama ke Pidada, kawin dengan putra Batara Nyoman Tianyar, menjadi istri beliau, mempunyai dua orang putra, yang tua bernama Pedanda Nyoman Pidada, adiknya bernama Pedanda Ketut Pidada, sama-sama mencapai keutamaan. Pedanda Nyoman Pidada, pindah asrama menuju ke Pangajaran, Pedanda Ketut Pidada pindah pertapaan ke Sinduwati, sama-sama mempunyai keturunan. Kembali diceritakan Pedanda Wayahan Kekeran, yang berada di Pidada, memiliki seorang putra laki-laki lahir dari golongan bawah yang bernama Ni Jro Dangin, putra itu bernama Ida Wayan Dangin. Sekarang diceritakan kembali Pedanda Wayan Intaran, berada di Gelgel, memiliki murid dari golongan Sulinggih empat orang. Adapun Pedanda Made Intaran, beliau berada di Toya Mumbul, beliau pindah dari Toya Mumbul, pindah menuju desa Duda, beliau menetap di sana, kawin dengan putra Pedanda Wayan Kekeran, berputra dua orang laki-laki bernama Pedanda Wayan Intaran, di Pendem. Pedanda Made Intaran. Adapun Pedanda Wayan Intaran memiliki anak dua orang, yang sulung bernama Pedanda Nyoman Intaran, Pedanda Ketut Intaran, mengembangkan keturunan di Pendem dan di Kediri Sasak. Adapun Pedanda Made Intaran, berputra dua orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Nyoman Paguyangan, berasrama di Sindhu, Pedanda Ketut Tianyar di Pidada, ada keturunan beliau di Pasangkan berhasil dalam mengobati segala penyakit.

Diceritakan Pedanda Sukahet, memiliki dua orang istri, seorang putri dari Pedanda Wayan Kekeran, dari Banjar Kebon seorang, istri dari golongan Brahmana tersebut memiliki putra, namanya Pedanda Wayan Sukahet, (dan) Pedanda Made Sukahet, bertempat tinggal di Banjar Wangseyan, kemudian beliau pindah ke Wanasari, kemudian pindah lagi ke Pasedehan. Adapun putra beliau yang lahir dari istri yang berasal dari Banjar Kebon, bernama Ida Nyoman Banjar, keturunannya berada di Abyan Tubuh daerah Sasak. Adapun Pedanda Made Sukahet, memiliki putra laki-laki bernama Pedanda Sukahet, sedangkan Pedanda Wanasari, putranya bernama Pendeta Wayan Wanasari, beliau yang melahirkan keturunan yang berada di Sindhu daerah Sasak.

Cerita Kembali lagi, diceritakan putra beliau I Gusti Nyoman Tianyar, setelah waktu berselang lama, beliau yang memiliki lima orang anak kini telah tumbuh dewasa. Adapun I Gusti Ngurah Diratha, pindah rumah tinggal di Kubu Juntal, memiliki keturunan, di antaranya I Gusti Ngurah Bratha, kemudian berganti nama menjadi I Gusti Ngurah Bhujangga Ratha. Adiknya bernama I Gusti Ngurah Tianyar. pindah menuju Katawarah. menetap di sana. I Gusti Ngurah Cakrapatha, di Bhawana. Yang bungsu I Gusti Ngurah Gajah Para, di Kubu, mengembangkan keturunan yang berada di Tongtongan, Bubunan, Bondalem, Bakbakan, Antiga, Gamongan. Adapun I Gusti Ngurah Intaran, mendirikan tempat tinggal di Banjar Getas Tianyar. Keturunannya ada tiga orang, I Gusti Ngurah Cadha, I Gusti Ngurah Cadha Sukangeneb, I Gusti Ngurah Bhojasem yang memiliki keturunan berada di Tista, semuanya memiliki keturunan. Adapun I Gusti Nyoman Tianyar, menjadi pengiring Pedanda Made Intaran, di Toya Mumbul, di sana menetap dan memiliki keturunan. Adapun I Gusti Made Sukangeneb, berada di Singaraja, memiliki empat orang putra, yang sulung I Gusti Wayan Tianyar, pindah ke Badung. Adiknya bernama I Gusti Made Danti, pindah menuju Panghi. I Gusti Nyoman Tianyar pindah menuju Mataram di daerah Sasak, yang bungsu I Gusti Ketut Tianyar, menetap di Antiga. Adapun I Gusti Ngurah Sangging, beliau masih menetap di Abyan Sekeha ikut dengan ayahnya. Kemudian beliau melakukan diksa, berganti nama menjadi I Gusti Wayan Tianyar. Adapun I Gusti Ngurah Sangging, memiliki tiga orang anak. Putra tertua I Gusti Ngurah Subratha, adiknya I Gusti Ngurah Jathakumba pindah menuju Pangi, yang bungsu bernama I Gusti Ngurah Ketut Tianyar, pindah menuju Bajing, memiliki keturunan dua belas orang. Adapun beliau I Gusti Ngurah Subratha, mulanya tinggal di Jumpungan, setelah didiksa kemudian pindah asrama ke Abyan Sekeha. Berganti nama menjadi I Gusti Wayan Tianyar Taman. Pindah asrama ke Sindu, menjadi pengikut Pedanda Ketut Pidada, pada waktu mendirikan asrama di Sindhu. Adapula kolam peninggalan beliau di Patal, berupa tempat penyucian waktu di pertapaan, sangat kemilau dan menyenangkan di Patal, dihiasi dengan berbagai bunga, di tepi kolam tersebut, merupakan tempat bercengkrama Pedanda Ketut Pidada. Beliau juga mendirikan tempat pemujaan, tiga buah, sebuah untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ada (pula) titah beliau Pedanda Ketut Pidada terhadap I Gusti Wayan Tianyar Taman, Duhai anaku Wayan Tianyar, ini bangunan untuk memuja dewa, tiga buah. Ananda nantinya yang menjadi pemangku, kemudian saya juga berada di sana, dipersatukan dengan beliau Sang Hyang Siwa, jangan tidak disucikan, sampai nanti seterusnya, anda yang menjadi pemangku untuk keluarga saya, bagian yang sebelah utara diupacarai. Untuk semua keturunanmu, itu yang di sebelah selatan. Karena itu, jangan melupakan keturunan saya juga keturunanmu yang seterusnya dapat menemukan Surga (kebahagiaan). I Gusti Wayan Tianyar Taman mengiyakan, sampai ke lubuk hati, cerita disudahi. Adapun I Gusti Wayan Tianyar Taman, beliau memulai menetap di Sinduwati, mengambil wanita menjadi isterinya dan keturunan Pulasari, memiliki putra seorang bernama I Gusti Gede Tianyar, kemudian beliau juga didiksa. Adapun I Gusti Gede Tianyar, berputra seorang laki-laki, tidak berbeda tingkah laku dengan leluhurnya, beliau juga didiksa, bernama I Gusti Gede Tianyar Sekar. Adapun I Gusti Gede Tianyar Sekar, memiliki tiga orang keturunan, I Gusti Gede Tianyar, I Gusti Made Tianyar Blahbatuh, adiknya I Gusti Made Tianyar Tkurenan, beliau pada akhirnya menjadi Rohaniwan.

Demikian perkembangan keturunan yang berada di Sinduwati, daerah Singharsa, lengkap dengan tempat pemujaan Dewa, bernama, Pura Puri Anyar Sukangeneb, diteruskan dari sejak dulu, masa kini dan masa yang akan datang. Cerita disudahi. Ya Tuhan semoga selalu berhasil. Ini petunjuk/tingkah laku keturunan Manu, pesan beliau Batara Manu, agar ditaati oleh para keluarga dan keturunan, tentang lahirnya dari keturunan Manu. Jika petunjuk/kewajiban/ajaran ini sudah dikuasai, dapat menyebabkan kesembuhan/menghilangkan sengsara dalam diri, jika badan dapat dijaga dengan baik, atas perintah pikiran yang tak ternoda. Tidak tercoreng oleh noda-noda yang menyakitkan telinga, begitu pula nafsu dan tamak/loba, itu tujuannya untuk mendapatkan kesenangan yang besar, lebih-lebih keutamaan batin, kenali perbuatanmu masing-masing. Singkatnya, ajaran/tuntunan perbuatan itu sungguh dipahami, dan dilaksanakan, jangan gegabah dengan segala perilaku, itu dapat menjagamu (agar) tidak menyimpang dari sifat-sifat manusia, oleh karena tahu akan penjelmaan. Tidak bercampur-baur dengan kaum Ekajati hendaklah dipilih yang pantas dijadikan sahabat, apa sebab demikian, karena engkau sungguh manusia yang baik, keturunan dari golongan Manu, hendaknya ingat dengan tugas masing-masing, lebih-lebih dalam melaksanakan aturan brata, utamakanlah kesetiaan dan kebaikan yang dapat mengontrol perbuatanmu, tidak diselingi perbuatan salah, perbuatan durjana, ini ajaranmu yang pantas diikuti dan dilarang mendatangkan mala petaka kutuk, ditujukan kepada siapa saja, ditujukan kepada semua keturunan dan warga Manu.

Pada jaman dahulu kala, di India, beliau Batara penguasa tertinggi, dapat dikalahkan, oleh musuh, ditangkap dipukul dan disiksa, tidak dapat membela diri, akhirnya lari dengan tidak menentu, ingin masuk ke tengah hutan, masuklah ia di bawah biji tumbuhan Jawa, dinaungi oleh tumbuhan hea beras, ada burung perkutut dan bayan, lagi pula (ada) sapi hitam mulus. Di sana burung tersebut memakan biji-bijian, menampakkan keadaan yang wajar, burung itu bersuara, sapi itu jinak tidak liar. Oleh karena demikian, dikira oleh musuh beliau Batara, tidak ada orang di sana, segera ditinggalkan, pada akhirnya selamatlah beliau. Pergilah beliau menuju Jawa, dinobatkan menjadi pemimpin negeri, beliau berwasiat, seketurunan Wisnuwangsa tidak memakan daging perkutut, dan Bayan, apalagi daging sapi yang bulunya berwarna hitam mulus, wija maya (Jawa), eha beras, sama-sama tidak boleh yang melanggar, oleh semua keluarga seketurunan golongan Wisnuwangsa. Demikian wasiat beliau Batara Manu. Apabila tercela dalam kehidupan, lebih-lebih untuk mengabdi, terhadap keluarganya, akibat kesulitan penghidupan, oleh karena itu menjadi melanggar pedoman hidup, itu tidak merupakan dosa, berhak bila merendah terhadap saudara, sebab satu keturunan, seperti perputaran roda pedati, dapat di bawah dan dapat pula di atas. Jika engkau memohon bantuan/perlindungan terhadap orang bawah, ya dapat pula merendahkan derajat, berakibat menyimpang dari etika, menyebabkan terperosok ke dalam sumur mati, menjadi manusia biasa ( ekajati), tidak memiliki nama baik, senang makan minum kepunyaan orang lain, itu namanya hina, tidak dapat disucikan, ( hendaknya ) dijadikan pedoman bagi empat golongan manusia, janganlah engkau meniru perbuatan tersebut, semoga selamat, panjang umur, sempurna, sampai sanak saudara dan keturunannya, selamanya disenangi di bumi, ya Tuhan semoga senantiasa berhasil. Ini adalah jenis busana (alat) yang dapat/bisa digunakan dalam upacara kematian, ijin dari beliau Sri Raja Batur Renggong, engkau bisa menggunakan busana manusia utama, sesuai dengan tata cara kerajaan (Dalem), menggunakan peti usungan, upacara penyucian, upacara Ngaben dengan

membakar jenazah, bade ( tempat usungan ) bertumpang sembilan, taman agung, candra sari, cakraantita trawangan, tempelan kapas lima warna, sembilan tumpang warna warni, kain panjang, cemeti dari bulu merak yang panjang dan burung cendrawasih berkuncir, balai-balai dari bambu gading, gender yang digotong menyertai bade (tempat usungan), binatang singa bersayap, yang lain sapi/lembu jantan yan