babad tanah leluhur - universitas padjadjaran

326
COVER 01

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

57 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

COVER

01

Page 2: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran
Page 3: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

BABAD TANAH

LELUHUR Cece Sukhiar – Tizar Sponsen – M.Abud

FEBRUARI 02, 2020 NOVEL SANDIWARA RADIO

Karang Sedana

Page 4: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran
Page 5: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

BABAD TANAH LELUHUR

Api Berkobar di Karang Sedana

BABAD TANAH LELUHUR sebuah kisah kolosal dari tanah leluhur ratusan tahun yang silam di tanah

Pasundan yang diwarnai dengan kekerasan, ambisi, keserakahan, iri dan dengki serta cita-cita dan cinta

anak manusia.

Page 6: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

BABAD TANAH LELUHUR IDE CERITA : CECE SUKHIAR PENGARANG CERITA : TIZAR SPONSEN NASKAH KARYA : M. ABOED SUTRADARA : M. ABOED – THOMAS A.G PRODUKSI : SWADAYA PRATHIVI TAHUN PRODUKSI : 1989 ILUSTRASI MUSIK :

HARRY SABAR TEHNIK DAN MONTAGE:

JIMMY MUMUH – YADI ENOZ NARATOR :

LUKMAN TAMBOSE 01-02 NENI SUMARDI / NENI HARYOKO 03-40

MULAI DISIARKAN :

1 SEPTEMBER 1989 – 27 DESEMBER 1992 JUMLAH EPISODE :

40 EPISODE ( 1.200 SERI dalam 600 TAPE CASSETTE ) LUKISAN COVER :

HARYOKO

Selamat menikmati…

Page 7: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

EPISODE

01. API BERKOBAR DI KARANG SEDANA ............................................. *

02. KISAH SEPASANG ANAK HARIMAU .................................................

03. RAHASIA BUKIT TENGKORAK ..........................................................

04. SAYEMBARA PRABU SANNA ...........................................................

05. BIDADARI PENCABUT NYAWA ........................................................

06. BANYU CAKRA BUANA ....................................................................

07. KEMELUT HATI SANG PENDEKAR ...................................................

08. SATRIA CILIK KARANG SEDANA .......................................................

09. KUPU-KUPU BERCADAR PUTIH .......................................................

10. GEGER BUMI GALUH ......................................................................

11. RATU SEGARA KIDUL ......................................................................

12. AWAL KEBANGKITAN MATARAM HINDU .......................................

13. FAJAR MENYINGSING DI BUMI MATARAM ....................................

14. PERTARUNGAN DUA PUTERA MAHKOTA .......................................

15. RAHASIA PUNCAK GUNUNG WUKIR ...............................................

16. PUSAKA ARCA EMAS .......................................................................

17. RAWA RONTEK ...............................................................................

18. PEDANG ULAR EMAS ......................................................................

19. ANGKARA MURKA ..........................................................................

20. ANGKARA MURKA II .......................................................................

21. BARA TANAH MATARAM ................................................................

Page 8: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

22. KEMELUT SEBUAH WARISAN ..........................................................

23. PETAKA ASMARA DEWA .................................................................

24. KISAH DI TANAH NAGA ...................................................................

25. SANG RAJA SURYA ..........................................................................

26. LAYU YANG TERKEMBANG .............................................................

27. PERGURUAN KEMBANG HITAM .....................................................

28. KABUT GUNUNG SALAK ..................................................................

29. REINKARNASI ..................................................................................

30. BAYANG BAYANG ANGKARA ..........................................................

31. MENDUNG DI PAGI HARI ................................................................

32. PERGURUAN TONGKAT MERAH .....................................................

33. KEMELUT DESA TAMIYANG ............................................................

34. GEMURUH DENDAM GEMURUH RINDU ........................................

35. KEMELUT DI KERATON INDRASAPA ................................................

36. PUSAKA SIMA .................................................................................

37. GELORA API CEMBURU ...................................................................

38. PRAHARA DI KAKI BURANGRANG ...................................................

39. GEGER KITAB ILMU SEJATI ..............................................................

40. CENGKAR KEDATON........................................................................

TAMAT ..................................................................................................

Page 9: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

1 Api Berkobar di Karang Sedana

1

Pada akhir abad ke tujuh, tidak jauh dari perbatasan kerajaan Mataram

Hindu dan Galuh Pakuan, tepatnya di lereng gunung Ciremai

berdirilah kerajaan kecil bernama Karang Sedana.

Karang Sedana semula adalah sebuah negeri yang subur dan makmur.

Akibat musim kemarau yang berkepanjangan timbullah masa paceklik

yang hebat. Kekeringan melanda seluruh bagian dari kerajaan Karang

Sedana. Huru-hara dan segala macam tindak kejahatan terjadi di

mana-mana…

“Ambil semua benda dan harta yang mereka miliki !”

“Jangan,… jangan bawa kambing itu, Tuan. Lepaskan,

lepaskanlah Tuan. Kasihanilah kami. Itu adalah milik kami satu-

satunya.”

“Untuk menghidupi dirimu pun sudah tak sanggup heh?!

Masih ingin memelihara hewan segala. Bawa! Bawa seluruh benda

berharga mereka! Ayoo!!”

“Jangan bawa kambing satu-satunya ini Tuan...”

Page 10: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

2 Api Berkobar di Karang Sedana

“Wanita tua sial, bumi Karang Sedana sudah tidak mampu

lagi memberi makan pada dirimu. Sebaiknyalah kau mati saja.”

“Ayoooo! Bakar seluruh rumah-rumah ini sebelum kita

tinggalkan. Bakar! Bakar! Tinggalkan cepat sebelum pasukan

kerajaan tiba.”

Demikianlah, hampir di berbagai tempat dan di berbagai sudut

kerajaan Karang Sedana tidak luput dari huru-hara dan berbagai

macam tindak kejahatan. Pihak kerajaan hampir dapat dikatakan tidak

mampu menanggulangi tindak kejahatan yang telah mewabah hampir

ke seluruh pelosok negeri.

***

“Hmm, itu ada seekor kelinci. Ah, aku harus yang lebih

dahulu mendapatkan dari kakang Seta dan kakang Saka. Diam. Diam

ya manis yaa. Kau sebentar lagi akan membuat pahala besar karena

menolong kami yang sedang lapar. Jika mati kau kelak akan masuk ke

Nirwana. Tenang ya. Aku yang akan lebih dahulu mendapatkannya.”

Gadis lincah yang nampak periang itu setelah berhasil menangkap

buruannya melenting, melompat tinggi dan berputar di udara.

“Kakang Saka, kakang Seta aku berhasil mengalahkan kalian.

Aku lebih dahulu berhasil menangkap kelinci ini.”

Page 11: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

3 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kakang Seta, kakang Saka, dimana kalian?”

“Aku di sini Wulan” terdengar jawaban.

“Kakang Seta, aku menang. Aku berhasil.”

“Bantu kami menguliti kelinci ini, Wulan.”

Gadis yang dipanggil Wulan itu terbelalak matanya.

“He kenapa kau bengong saja? Ayo bantu kami. Aku akan

menyiapkan perapiannya.”

“Huh, kalian curang. Bagaimana kalian dapat mengetahui di

sekitar sini ada hewan seperti itu dengan waktu secepat itu. Pasti

kalian telah menyiapkan kambing kecil itu.”

Mendengar tuduhan si gadis bernama Wulan, kedua pemuda gagah itu

tertawa-tawa kecil.

“Kau ini benar-benar lucu adik Wulan. Bagaimana mungkin

kami dapat menyiapkan hewan seperti ini? Sedangkan usul lomba

menangkap buruan untuk makan, dari engkau sendiri !” sahut pemuda

yang tampaknya paling tua umurnya.

“Iya, tapi bagaimana kalian bisa mendapatkan hewan itu

dengan cepat?”

“Oh… Adik Saka, ceritakanlah. Bagaimana kita bisa

mendapatkan ini dengan cepat.”

“Ya?”

Page 12: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

4 Api Berkobar di Karang Sedana

“Adik Wulan, ketika kami melihat kau melenting lompat

kesana kemari, kami hanya mengeterapkan aji Empat Arah Pembeda

Gerak.”

“Hm?! Empat Arah Pembeda Gerak?”

Anting Wulan masih tak mengerti. Apa hubungannya ilmu

pendengaran sakti itu dengan perlombaan menangkap hewan buruan

ini?

“Iya. Bukankah dengan aji itu kita dapat mendengar desir

angin segala arah maupun gerak hewan kecil pun di segala arah?”

“Aaah, Kakang curang! Kakang mempergunakan ajian untuk

memenangkan lomba ini.”

“Adik Wulan,… kau pun melompat ke sana kemari dengan

Kidang Mamprung!”

“Apakah Kidang Mamprung1 yang hebat itu bukan aji yang

sakti?”

“Sudahlah adik Wulan. Lepaskan saja kelinci itu. Mari,

bakarlah sendiri bagianmu ini.”

“Hmmm, baiklah.”

Beberapa saat kemudian yang dipanggil dengan sebutan Wulan itu

sudah kembali tertawa ceria, riang dan melupakan semua kekesalan

akibat kekalahannya dalam lomba mencari buruan. Akan tetapi,

siapakah mereka sesungguhnya?

1 Kijang Kabur

Page 13: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

5 Api Berkobar di Karang Sedana

Mereka adalah tiga remaja dari kelompok Ning Sewu2 yang berjumlah

empat orang. Raden Seta Keling adalah orang pertama dari kelompok

Ning Sewu. Ia adalah seorang remaja yang telah mapan dalam

bersikap, cerdik dan ulet. Umurnya 27 tahun. Sedangkan orang kedua,

Dampu Awuk. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, kasar, pemarah

akan tetapi berjiwa bersih dan jujur. Saka Palwaguna berwajah

tampan, romantis, berusia 23 tahun. Sedangkan Anting Wulan adalah

orang terakhir dari kelompok Ning Sewu, gadis lincah periang akan

tetapi mempunyai sikap manja terutama kepada ketiga kakaknya.

Dan mereka berempat adalah murid eyang resi Wanayasa dari

Padepokan Goa Larang.

Selagi ketiganya menikmati santapan mereka, tak jauh dari

tempat itu terdengar langkah-langkah kuda dan suara obrolan

beberapa orang bersuara kasar yang terasa menyakitkan telinga.

“Kakang, agaknya kita menjumpai kelinci-kelinci gemuk.”

ucap seorang dari mereka.

“Hahahaha, bukan hanya kelinci gemuk. Tapi agaknya

mereka adalah kelinci-kelinci bodoh yang tidak mengenal gelagat.

Lihat saja, mereka masih nampak tidak menyadari bahaya.” timpal

kawannya sembari terbahak-bahak menjijikkan.

2 Cahaya Seribu

Page 14: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

6 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, aku sangat berminat dengan daging panggang itu,

kakang. Bagaimana dengan kakang?”

“Kakang Ampal pasti lebih berminat dengan kelinci putih

bersih pemakan daging panggang itu.”

“Diam kalian! Bodoh kalian semua! Apakah kalian tidak

melihat sikap mereka yang sedikitpun tidak memandang kita? Mereka

telah benar-benar menghina kalian! Cepat beri hajaran pada mereka!”

bentak seorang lainnya yang tampaknya adalah orang yang dipanggil

dengan nama Kakang Ampal.

“Oh, baik Kakang.”

Namun ketiga orang Ning Sewu itu seperti tidak menganggap

ada orang-orang yang perlu mereka takuti. Mereka tetap asik

membalik-balik daging bakar di perapian mereka, sambil

menggigitinya dengan lahap. Tiba-tiba Anting Wulan berhenti

mengunyah.

“Ayo, tambah lagi adik Wulan. Kenapa kau berhenti?

Biasanya kau makan sangat banyak. Tidak seperti ini.” goda Seta

Keling.

“Huuh, bagaimana aku bisa berselera kakang Seta? Jika

dikerumuni anjing-anjing buduk seperti ini.” rutuk Anting Wulan

dengan tampang kesal.

“Kurang ajar! Heh! Ayo, beri hajaran mereka, cepat !” bentak

Ampal Saragi yang makin tidak sabaran.

Page 15: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

7 Api Berkobar di Karang Sedana

“Gadis liar! Kau bicara apa tadi? Cepatlah kau berlutut dan

mintalah ampun pada kakang Ampal, dan pada kami semua. Barulah

kami akan mengampunimu.”

“Kakang, aku jijik sekali dengan anjing buduk ini.” Sungut

Anting Wulan sambil tidak mengacuhkan begundal yang

membentaknya.

“Biasanya anjing paling takut dengan api, adik Wulan.” jawab

Saka datar.

“Ah… i-iya. Kakang benar.”

Anting Wulan dengan gembira menyentil sepotong ranting

yang sedang membara dari perapian itu ke arah salah seorang

pengganggu itu. Ranting mencelat dan hinggap di dada orang tersebut.

Kontan orang tersebut berteriak-teriak ribut. Tangannya

bergedebukan berusaha mengeluarkan bara yang menyelusup masuk

ke rimbunan bulu dadanya yang lebat.

“Lucu sekali, lucu sekali kakang. Ternyata anjing buduk ini

bisa menghiburku, kakang. Nah ini, kuhadiahkan tulang-tulang

untukmu.” seru Anting Wulan sambil tertawa-tawa riuh. Sementara

tangannya dengan cepat kembali menyambitkan sepotong tulang yang

sedang dipegangnya ke arah orang tadi.

“Kurang ajar, ku cincang kau perempuan! Perempuan siluman

!”

Page 16: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

8 Api Berkobar di Karang Sedana

Anak buah perampok yang telah dipermainkan habis-habisan oleh

Anting Wulan menjadi semakin kalap. Dia segera mencabut goloknya.

Dan tanpa rasa kasihan dan ragu, diayunkannya goloknya siap untuk

membelah gadis dihadapannya. Akan tetapi kali ini manusia-manusia

kasar ini kena batunya. Gadis yang dihadapinya dengan tenang

menyambar ranting kecil dan dikibaskannya pada sisi golok yang

menyambarnya.

“Iblis! Setan! Dia… dia… dia adalah gadis… gadis… gadis

Iblis, Kakang.”

“Mundur kau.” Ampal Saragi mendorong dada anak buahnya

itu hingga terjajar ke belakang, lalu mendengus, “Hmm, siapakah

kalian bertiga sebenarnya ?”

Tidak ada yang menjawabnya. Anting Wulan hanya menoleh

pada Seta Keling dan berkata jemu :

“Kakang, agaknya negeri ini benar-benar sudah parah. Ini

rombongan ke sebelas dari korban-korban kita.”

Mendengar ucapan adiknya itu, raden Seta Keling yang sudah

amat paham sifat kejam adik perempuannya itu menjadi khawatir.

Adiknya itu tidak akan segan-segan membunuh orang yang

dianggapnya adalah penjahat.

Page 17: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

9 Api Berkobar di Karang Sedana

“Adik Wulan, jangan menurunkan tangan maut pada mereka.

Ingat pada pesan eyang Resi. Kita hanya diminta untuk

mengamankan, membantu menciptakan keamanan di Karang Sedana

ini.” Seta Keling mengingatkan.

Mendengar pembicaraan itu, kepala begundal itu semakin

naik pitam. Bentaknya :

“Kurang ajar! Kalian benar-benar terlalu memandang rendah

padaku. Aku, Ampal Saragi bukanlah anak kemarin sore seperti yang

kalian duga. Hm, terimalah ini !”

“Awas, adik Wulan.”

Ampal Saragi, pimpinan para begundal pengacau yang menjadi

berang itu menyentak kerikil-kerikil kecil dekat kakinya dengan

kekuatan dalamnya.

“Cukup baik seranganmu, Ampal. Kau ingin mengajak main

tendang-tendangan batu? Boleh. Ayo…”

Anting Wulan, gadis lincah dan juga amat nakal itu membalasnya

dengan serangan-serangan kerikil yang beruntun. Akan tetapi Ampal

Saragi lawannya tampak hanya berdiri tegak menanti datangnya

serangan itu dengan membuka dadanya.

Page 18: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

10 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hahahaha, seranganmu benar-benar membuat aku geli. Ayo

maju, ajak kawan-kawanmu yang lain !”

“Huh, jangan kau tertawa dulu anjing buduk ! Aku belum

mulai !”

“Wulan, mundurlah. Biarlah sekarang aku yang

melayaninya.” Seru Seta Keling khawatir.

“Biarlah kakang, aku masih bisa mengendalikan diriku.”

“Tahukah kau, siapakah yang dikhawatirkan kakakku ini?

Justru adalah kau sendiri. Kakang aku minta ijin hanya mencabuti

jenggotnya saja. Tapi tentu setelah mematahkan kedua belah

tangannya Kakang.”

“Wulan! Jangan kau bunuh orang itu!”

“Agaknya jurus yang dibuka gadis ini cukup berbahaya. Aku

harus bersiap…”

Anting Wulan, si gadis manis yang merupakan orang keempat dari

kelompok Ning Sewu, membuka jurus Kincir Metu3. Salah satu jurus

andalan dari padepokan Goa Larang, ciptaan dari eyang Resi

Wanayasa.

Tubuh Anting Wulan bagaikan kapas ringannya berputar cepat dan

perlahan-lahan putaran tubuh tersebut mendekat ke arah Ampal Saragi

yang kini juga telah bersiaga penuh dan tanpa diketahui oleh lawannya

3 Pusaran Kekuatan

Page 19: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

11 Api Berkobar di Karang Sedana

dengan kecepatan hampir tak dapat diperhitungkan, Anting Wulan

membuka serangan dari dalam putaran itu.

“Luar biasa ilmu gadis ini. Dalam putaran cepat tubuhnya,

gerak dan tenaganya menjadi semakin berlipat ganda. Apa yang harus

kulakukan padanya?”

“Ayo seranglah aku anjing buduk. Atau aku yang akan

menutup seranganku ini.”

“Kurang ajar, kubelah tubuhmu iblis betina!”

Dengan membabi buta, Ampal Saragi menyerang. Bayang-bayang

goloknya membabat kesana-kemari, tetapi Anting Wulan selalu saja

berhasil mengelakkannya.

“Cukup! Cukup, anjing buduk. Sekarang terimalah

seranganku ini.”

“Wulan ! Cukup !” Seta Keling segera berseru.

Ampal Saragi menyilangkan kedua tangannya untuk menahan

pukulan Anting Wulan yang tiba-tiba muncul dari putaran tubuhnya.

Bukkk, krrrkkk !! Benturan keras itu mendorong Ampal ke belakang

yang kemudian menjerit kesakitan. Kedua lengannya terkulai patah,

sehingga tak mampu menahan tubuhnya yang menjadi terjengkang

karena tiada lagi lengan yang dapat menahan bobot tubuhnya.

Tatapannya nanar setengah sadar setengah pingsan.

Page 20: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

12 Api Berkobar di Karang Sedana

“Cukup, Wulan !” tak hanya sekedar berseru, Seta Keling

segera menghadangkan tubuhnya di antara adik perempuan

seperguruannya dan para begundal yang sudah sangat ciut nyalinya

itu. Lalu berkata penuh wibawa :

“Nah, bagaimana? Apa ada yang masih penasaran? Kami

adalah kelompok Ning Sewu. Kali ini kami hanya memberi peringatan

pada kalian, tapi lain kali jika kalian masih saja bertindak liar

mengganggu ketentraman umum, kami akan datang untuk mencabut

nyawa kalian. Mengerti kalian?!”

“Mengerti tuan…” jawab para begundal yang sudah lesu dan

pucat wajahnya itu.

“Nah, tinggalkanlah tempat ini, dan bawalah pemimpinmu itu

dan kemudian bubarkanlah kelompok kalian. Dan kau Ampal Saragih,

kaulah yang paling bertanggung jawab. Jika aku lihat masih ada anak

buahmu yang melakukan tindak kejahatan. Jadikanlah pelajaran

patahnya kedua lengan mu itu. Nah, tinggalkan tempat ini.”

“Wulan, eyang Resi berpesan khusus untukmu. Ingatkah

kau?”

“Iya kakang. Aku tidak boleh menurunkan pada para penjahat

sekalipun, karena kita harus mengusahakan agar tidak timbul dendam

dari musuh yang kita kalahkan.”

“Bagus adik Wulan.”

Page 21: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

13 Api Berkobar di Karang Sedana

“Akan tetapi, pelajaran tetap harus diberikan pada manusia

bejat tadi, Kakang. Agar mereka menjadi kapok.”

“Betul adik Wulan. Akan tetapi harus diingat, kita bukan

segolongan dengan mereka. Jika kita juga mudah menurunkan tangan

maut sekalipun pada mereka rasanya kitapun hampir tidak berbeda

dengan mereka.”

“Iya. Aku tentu saja kalah. Karena kalian berdua, sedangkan

aku sendiri. Coba nanti jika ada kakang Dampu Awuk. Dia pasti

membenarkan sikapku.” jawab Anting Wulan dengan nada sebal.

“Ingat Wulan, semua tindak kita tidak lepas dari nama

Padepokan Goa Larang dan nama Eyang resi.”

“Sudah kakang Seta, kita kembali ke Banyuanyar. Kakang

Dampu sudah terlalu lama menunggu kita.” kata Saka Palwaguna

mengingatkan.

“Yah, kau benar adik Saka. Ayolah Wulan, kita kembali. Ayo

kita pergunakan Kidang Mamprung agar Dampu Awuk tidak terlalu

lama menunggu kita.”

“Ayo kakang, kita berlomba ke Banyuanyar.”

Bagaikan bayangan setan, ketiga remaja itu berkelebat cepat. Berlari

menuju ke arah timur Banyuanyar. Langkah yang terayun cepat itu,

seakan melayang tidak menyentuh bumi. Bahkan rumpun-rumpun dan

semak yang dijadikan pijakannya pun hampir tak bergoyang

Page 22: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

14 Api Berkobar di Karang Sedana

dijejakinya. Inilah Kidang Mamprung, ilmu lari cepat khas padepokan

Goa Larang.

“Kakang Seta, adik Wulan di sebelah sana. Lihat !”

“Oya. Eh, sesuatu telah terjadi. Ayo kita lihat.”

“Ada apa? Apa yang terjadi?

“Kakang, lihat itu. Mayat-mayat ditutupi kain.”

“Apa yang baru saja terjadi di sini?”

“Menurut gadis itu, dia bersama keluarganya sedang

mengadakan perjalanan ke kotaraja4. Tetapi di sini beberapa saat yang

lalu datang sekelompok orang yang menamakan diri mereka Ning

Sewu.”

“Ning Sewu?!”

“Wulan !”

“Yah. Mereka menamakan dirinya Ning Sewu. Mereka minta

seluruh barang yang dibawa oleh korban karena tidak diberikan…”

“Jadi mayat-mayat itu …”

“Ya, kecuali anak gadisnya, seluruh rombongan itu dibunuh

oleh Ning Sewu yang sesungguhnya adalah perampok bejat.”

“Anjing keparat ! Kecoak katut! Kubunuh kau !”

4 Ibu Kota, Kota dimana sang Raja bertempat tinggal

Page 23: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

15 Api Berkobar di Karang Sedana

Anting Wulan tersentak, dapat mengendalikan emosinya tangannya

segera terayun hendak memukul orang yang menghina nama Ning

Sewu.

“Tahan adik Wulan, kendalikan emosimu! Jangan

mengacaukan suasana.” seru raden Seta Keling yang melihat

perubahan pada airmuka adik perempuan seperguruannya itu. Lalu dia

kembali bercakap-cakap dengan orang tadi. “Eh, maafkan adik kami,

dia memang terlalu emosional melihat keadaan seperti ini.”

“Ya, benar. Kekejaman yang dibuat oleh kelompok liar itu

membuat dia menjadi lupa diri dan tidak dapat menjadikan emosinya.”

“Kakang, aku…”

“Ah, kau diamlah. Istirahatlah di situ.”

“Tapi kenapa anak itu menjadi marah justru ketika kami

mengatakan rombongan ini dibunuh oleh Ning Sewu, perampok bejat

!”

“Kurang ajar !”

“Wulan !”

“Ah, sudah Mamang. Janganlah salahkan dia lagi. Dia justru

akan menjadi semakin tersinggung dengan sikapmu itu.”

“Kakang, katakan saja kepada mereka. Siapakah kita

sesungguhnya?! Peristiwa ini tidak dapat didiamkan saja, Kakang.

Bukankah gadis itu dapat dijadikan saksinya?”

“Wulan aku kakangmu, minta dengan sangat agar kau tidak

berbicara dulu saat ini.”

“Haah” Anting Wulan menyergah kesal.

Page 24: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

16 Api Berkobar di Karang Sedana

“Permisi Mamang, saya akan bicara dengan anak gadis itu…”

“Eh, apakah kau melihat wajah dari orang-orang yang

membunuh ayahmu?”

“Saya tidak dapat melihat wajah mereka. Mereka mengenakan

penutup wajah.”

“Sekarang apa yang akan kamu lakukan dan kemanakah

tujuanmu?”

“Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan.”

“Sanak keluarga, apakah kau masih punya?”

“Di kotaraja, tempat tujuan kami, saya mempunyai seorang

paman.”

“Kalau begitu kita kuburkan saja mayat keluargamu ini dan

nanti aku bersama kawan-kawanku akan mengantarkan menemui

Mamangmu”

“Tunggu dulu. Siapakah kalian sesungguhnya? Sekarang

kami justru menjadi curiga pada kalian.”

“Ya, kami adalah tiga orang sahabat yang sedang mengadakan

perjalanan darmawisata

“Hmm, tidak. Kami tidak percaya pada kalian. Sikap kalian

terutama sikap teman wanita kalian itu tidak dapat menyembunyikan

kekotoran niat kalian. Jadi kalian segera saja tinggalkan tempat ini

sebelum kami menangkap kalian dan menyerahkan kepada kepala

desa ini.”

“Ya, pergi saja kalian. Biar kami yang mengurus wanita ini.”

“Yaa. Pergi. Pergi. Pergi.”

Page 25: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

17 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kraaakkkk! Bruugghhh!!”

Ketika para penduduk di sekitar tempat kejadian mulai menjadi

beringas, Anting Wulan pun tidak dapat mengendalikan diri lagi.

Akan tetapi karena dia memang mempunyai perasaan segan pada

kakak seperguruannya yang tertua, dia mencari cara pelampiasan yang

lain. Pohon besar di mana ia bersandar menjadi korban

pelampiasannya. Patah dibuatnya. Dan para penduduk yang semula

beringas kepada mereka seketika berubah sikapnya. Dan kini mereka

tak ubahnya bagaikan cacing kepanasan.

“Kawan-kawan dan mamang-mamang sekalian marilah kita

kuburkan saja mayat ini segera. Apakah kalian bersedia membantu

kami melakukan tugas mulia ini?” seru raden Seta Keling berwibawa.

“Kami… kami bersedia.”

“Bagus jika demikian. Mari segera saja.”

Segera setelah mayat-mayat keluarga saudagar itu dikuburkan ketiga

remaja kelompok Ning Sewu bersama dengan gadis dari keluarga

korban berpamitan dengan para penduduk dan beberapa saat

kemudian mereka pun telah berada dalam perjalanan menuju Desa

Banyuanyar untuk menjemput Dampu Awuk, saudara mereka.

Page 26: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

18 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kakang! Kenapa Kakang tidak menjelaskan duduk

persoalannya? Siapa kita sesungguhnya dan siapa kelompok orang

yang membunuh satu keluarga tadi”

“Tuan? Siapakah tuan sesungguhnya?”

“Ya, seperti yang dikatakan Kakang Seta Keling. Kami adalah

tiga orang sahabat yang sedang melakukan perjalanan.”

“Tapi… saya telah merepotkan Tuan dan kawan-kawan

Tuan…”

“Ah tidak.. Tidak. Tidak, sama sekali tidak. Bolehkah kami

tahu siapa nama adik?”

“Intan Pandini…”

“Ooh, Intan Pandini. Adik Intan Pandini tidak perlu menjadi

ragu pada kami bertiga. Percayalah, kami akan menolongmu

menyelesaikan dendam keluargamu. Pembunuh itu akan kami

ditemukan !”

“Oh, terima kasih Tuan. Terima kasih. Saya percaya Tuan

akan dapat melakukannya. Saya telah melihat apa yang dapat

dilakukan kawan Tuan itu…”

“Oh ya, dia itu adalah adik kami termuda. Namanya Anting

Wulan. Dan itu adalah kakang Seta Keling.”

“Ayolah kita segera lanjutkan perjalanan kita.”

“Hmm, maaf Tuan. Apakah arah perjalanan kita tidak salah?

kotaraja berada di selatan kita, tapi kita sekarang menuju ke arah

timur…

Page 27: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

19 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kita akan pergi ke Banyuanyar dahulu,” ucap Anting Wulan

cepat dengan nada ketus.

“Wulan…” sergah Saka pelan.

“Ya, kita akan pergi ke Banyuanyar dulu. Mari…”

***

“Aah… Kalian ini terlalu, meninggalkan aku sendirian sejak

kemarin.”

“Apakah di Banyuanyar ini tidak terjadi sesuatu sehingga kau

justru yang menjadi resah, Awuk?”

“Itulah, kalian pasti enak-enakan. Bermain-main dengan

perampok-perampok. Sedangkan aku kesepian di sini.”

“Ah…”

“Oh ya Intan. Ini adalah Dampu Awuk, adikku. Perilakunya

memang agak kasar tapi hatinya sangat baik. Baginya penjahat adalah

musuhnya nomor satu.”

“Kakang… Siapakah gadis hijau itu?”

“Adik Awuk, ini adalah Intan Pandini. Kedua orang tuanya

dibunuh oleh para perampok.”

“Dibunuh oleh kelompok Ning Sewu !”

“Apa? Ning Sewu?! Heeh, Anting Wulan kau… kau bilang

apa?” Dampu Awuk berpaling pada Saka Palwaguna, “Adik Saka, apa

yang telah terjadi?”

Page 28: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

20 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tanyakan saja pada gadis itu…” seru Anting Wulan dengan

sinis.

“Kakang Seta, ceritakanlah segera. Jangan membuat aku

menjadi kebingungan dan kalap. Katakanlah segera Kakang.”

“Baiklah. Duduklah adik Awuk... Intan. Dengarlah cerita

kami. Keluarga Intan Pandini dibunuh oleh sekelompok orang

bercadar yang mengaku diri mereka adalah kelompok Ning Sewu.”

“Haaah! Bergejil busuk! Siapakah mereka kakang Seta?”

“Ketika kami datang, peristiwa itu sudah beberapa saat

terjadinya. Tapi percayalah, mereka akan terus mengulangi tindakan

mereka. Dengan demikian kita justru akan lebih mudah

menyelidikinya.”

“Cih, kurang ajar ! Aku pasti akan mematahkan leher manusia

busuk itu, sekalipun eyang Resi menghalangiku!”

“Awuk, sadarlah akan ucapanmu…” tegur Seta.

“Eh, Intan… ketahuilah. Kami berempat adalah kelompok

yang dikenal dengan nama Ning Sewu…”

“Ooh…”

“Ya, perampok pembunuh orang tua adalah orang-orang yang

sengaja hendak memfitnah dan merusak nama baik kami. Kami turun

dari perguruan kami adalah justru untuk mengamankan Karang

Sedana dari huru-hara dan kekacauan yang terjadi. Akan tetapi

rupanya mereka yang menjadi dendam dengan kami berusaha merusak

nama baik kami.”

Page 29: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

21 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kakang, lalu apa yang akan kakang lakukan dengan gadis

ini?”

“Mengantarkannya ke sanaknya di kotaraja. Nah oleh karena

itulah rencana untuk esok hari kita rubah sedikit. Aku dan Anting

Wulan tetap akan ke kotaraja, akan tetapi akan melalui daerah barat

hutan-hutan di kaki gunung Ciremai yang belum pernah kita rambah.

Dan kau Awuk bersama dengan kakangmu Saka akan mengantarkan

Intan langsung ke rumah orang tuanya.”

“Kakang Seta…”

“Hmm?”

“Mengapa tidak kita saja yang mengantarkan Intan ke

kotaraja? Atau kita bersama-sama ke kotaraja melalui hutan di kaki

gunung Ciremai?”

“Heheheh. Ada apa Wulan? Kenapa kau tiba-tiba takut pergi

bersamaku melalui hutan di kaki gunung Ciremai?”

“Bukan begitu Kakang. Kurasa Kakang sebagai orang tertua

di antara kita dan juga orang yang paling bertanggung jawab dalam

kelompok Ning Sewu adalah yang paling tepat untuk menjelaskan

pada keluarga gadis ini.”

“Kukira masalahnya tidaklah menjadi seperti itu dik Wulan.

Adik Dampu maupun adik Saka mampu dan pantas untuk melakukan

tugas itu. Nah, istirahatlah kalian.”

***

Page 30: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

22 Api Berkobar di Karang Sedana

“Apakah sebenarnya yang terjadi pada diriku? Aku tiba-tiba

saja menjadi gelisah dan ketakutan melihat kakang Saka berdekatan

dengan Intan pandini… Ah, Jagad Dewa Batara… Apakah… apakah

aku mencintai Kakang Saka saudara seperguruanku yang telah saling

menganggap sebagai saudara sedarah. Oh, dewata. Apa yang harus

kulakukan? Aku benar-benar ingin memiliki kakang Saka.”

“Adik Wulan, apakah kau yang berada di sana?”

“Oh, kakang Saka.”

“Adik Wulan, sedang apa kau di luar sini?”

“Ah, di dalam bilik udara panas sekali, kakang.”

“Hari sudah jauh malam. Beristirahat lah.”

“Mataku rasanya benar-benar tidak dapat dipejamkan,

Kakang.”

“Hmm?” Raden Saka melengak tak percaya.

“Kakang tidur saja lah. Sebentar aku masuk ke dalam.”

“Ah, adik Wulan… Apakah kau masih saja memikir-kan

orang tuamu?

“Eh…? Tidak kakang.”

“Atau barangkali peristiwa siang tadi? Atau hatimu masih

terguncang yang akibat ulah perampok yang merusak nama baik

kita?”

“Entahlah kakang.”

Anting Wulan menghela nafas. Lalu balik bertanya.

“Kakang…”

“Ya?”

Page 31: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

23 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kasihan sekali ya gadis itu…”

“Pandini maksudmu?”

“Iya, Intan Pandini. Gadis semanis itu harus merasakan

penderitaan yang berat dalam masa-masa remajanya.”

Saka Palwaguna pun menarik nafas dalam-dalam.

“Iya. Kasihan sekali Pandini,” desahnya.

“Kakang…”

“Ya?”

“Kau… kau mencintainya?”

“Hah? Siapa?”

“Intan Pandini. Apakah kau mencintainya kakang?”

“Mencintai? Ah, entahlah. Aku tidak mengerti, yang pasti aku

tertarik padanya, kasihan dan… Entahlah, tapi kenapa kau tanyakan

itu?”

Anting Wulan tertawa kecil.

“Yah, tentu saja. Karena aku melihat sikap kakang yang manis

padanya. Eh… ayolah kita masuk saja kakang.”

“Ayolah.”

***

Page 32: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

24 Api Berkobar di Karang Sedana

“Oh, Kakang… Aku menyayangimu. Aku mencintai-mu

kakang Saka. Duh junjunganku Kameswara 5 … Apa yang harus

hamba lakukan agar mengetahui isi hatiku dan mau menerima

penyerahan jiwa. Oh, dewa bathara… tolonglah hamba-Mu.”

Malam itu sebuah jiwa meratap, mengaku lemah tak mampu

berbuat apa-apa, tengah mengadu pada Tuhannya, berharap garis

hidupnya bersama dengan pujaan hatinya.

Begitulah manusia, saat ada keinginan hatinya maka segera

merengek pada Hyang Agung sang pencipta.

***

Keesokan harinya kelompok Ning Sewu bersiap-siap untuk

melakukan perjalanan melaksanakan tugas mereka. Dharma Bakti

pada setiap yang memerlukan pertolongan sebagai-mana menjadi

keharusan tugas seorang pendekar

“Adik Saka sampaikan salamku dan salam adik Wulan pada

keluarga Intan.”

“Akan saya sampaikan Kakang.”

“Dan jangan lupa tunggu kami di sebelah timur istana Karang

Sedana selepas senja. Walaupun mungkin aku terlibat dengan

5 Referensi tentang dewa Kameswara cukup samar, hanya ditemukan nama Kameswara seorang raja Kediri Jenggala yang dianggap titisan ketiga dari sang Hyang Wisnu. Raja tersebut bertahta tahun 1115 sampai 1130.

Page 33: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

25 Api Berkobar di Karang Sedana

berbagai persoalan aku, akan mengusahakan tiba tepat pada waktunya.

Mari Wulan, pergunakan saja ilmu Kidang Mamprung agar kita tidak

terlambat.”

“Baik-baiklah di jalan Kakang Saka.”

“Terima kasih Wulan.”

“Ah, kenapa kau tidak memberi pesan padaku adik Wulan.

Kau jangan membuatku iri.”

“Iya. Baik-baiklah kakang Dampu. Aku pergi…”

“Kakang Awuk, ayo kita berangkat. Mari Pandini. Walaupun

kita hanya menggunakan gerobak kuda ini pasti kita akan tiba lebih

dulu.”

“Iya. Lereng dan kaki Ciremai pasti menyimpan rintangan

yang cukup berat. Hutan itu merupakan tempat yang aman untuk

persembunyian perampok-perampok.”

Demikianlah empat remaja dari kelompok Ning Sewu memecah

kelompoknya menjadi dua, akan tetapi tujuan mereka tetap sama yaitu

kotaraja Karang Sedana.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan dari Raden Seta Keling dan

Anting Wulan yang mencoba untuk menyelidiki hutan di sekitar kaki

Gunung Ciremai.

“Wulan, tahan larimu.”

“Ada apa, kakang? Kenapa kita berhenti?”

Page 34: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

26 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kita telah tiba diperbatasan kawasan yang kita tuju.

Sebaiknya kita berjalan saja secara wajar sebagaimana orang-orang

biasa. Bukankah kita akan memancing mereka keluar?”

“Ah, baiklah kakang. Eh, kakang... Bayangan matahari sudah

jauh lewat di atas kita. Waktu makan siang, kakang!”

“Ah, baiklah. Di sana adik Wulan, di pinggir sungai sana.

Ayo…”

“Desa terdekat yang akan kita jumpai masih jauh sekali,

hematlah sedikit bekal kita.”

“Aku mengerti kakang Seta. Perutku pun sudah terisi penuh.”

“Bukan aku melarangmu makan daging kering yang di tempat

itu. Aku tak ingin jika kau sampai makan buah-buahan karena lapar

atau bahkan daun-daun muda.”

“Aku mengerti. Hmm, dalam suasana kemarau yang panjang

kekeringan terjadi dimana-mana. Aneh sekali sungai ini, masih

menyimpan cukup banyak air. Kakang…”

“Hmm?”

“Mengapa para penduduk di sekitar sini tidak memanfaatkan

air ini, ya Kakang?”

“Aliran sungai kecil ini menuju ke arah tengah hutan dan

keluar di seberang sana…”

“Wulan, awas! Ada yang datang.”

“Iya, aku telah mendengarnya, Kakang.”

“Hey, siapa kalian? Ayo tangkap kedua orang itu. Tangkap!”

Page 35: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

27 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tunggu, apa salah kami? Mengapa kalian ingin menangkap

kami?”

“Kalian telah memasuki daerah terlarang. Daerah kekuasaan

kami, tanpa izin!”

“Heh?! ke dalam kotaraja kami masuk tanpa harus meminta

izin. Kenapa ke dalam hutan kami diharuskan meminta izin segala?”

“Ke dalam kotaraja memang! Kalian dapat sesuka hati. Tapi

di sini… Hey, tangkap mereka!”

“Hmm, kalian benar-benar ingin mencari mati.”

“Kakang, Bajul. Agaknya mereka ini adalah mata-mata dari

kotaraja.”

“Diam kau kerbau! Ayo tangkap mereka cepat!”

“Wulan, buatlah mereka tidak berdaya. Jangan menurunkan

tangan terlalu kejam.”

“Baiklah Kakang.”

Rombongan laki-laki kasar yang berjumlah enam orang itu segera

mengepung dan kemudian perlahan-lahan maju untuk mempersempit

kepungan mereka. Dan beberapa saat kemudian tanpa diberi komando

lagi, mereka pun bagaikan babi kelaparan menerjang ke arah Anting

dan raden Seta Keling.

“Aduh…”

“Kerbau dungu, gentong nasi. Sekali gebrakan saja kalian

berenam dibuat terkapar begitu. Ayo bangun! Cincang mereka!”

Page 36: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

28 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hey, Julid kemari kau. Yang lain cincang mereka!

“Baik, kang.”

“Kamu kembali ke markas beritahu kakang Loba Leungen

kalau ada orang yang datang.”

“Baik, kang.”

“Cepat pergi! Hey, kalian cepat serang, bunuh!”

“Anting, tahan begundal yang lari ke dalam hutan sana. Disini

biar aku yang mengurus.”

“Baik kakang.”

“Kurang ajar, mau kemana kau perempuan liar?”

“Kau yang mau ke mana? Tenang-tenang saja disini bersama

aku!”

“Hey, kalian! Bantu aku!”

“Tunggu! Tunggu! Mau ke mana kau? Mau memanggil bala

bantuan?!”

“Perempuan iblis, kubunuh kau!”

“Ayo bangun. Bangun! Serang aku lagi!”

“Ampun… ampun tuan Putri, jangan bunuh saya. Ampun…”

“Hmm, aku akan mengampuni jiwamu, jika kau katakan terus

terang di mana sarang kalian!”

“Tidak… tidak jauh dari sini tuan Putri. Tuan Putri dapat

mengikuti sungai kecil itu.”

Page 37: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

29 Api Berkobar di Karang Sedana

“Bagus. Jika kau berbohong, aku tidak akan mengampuni

jiwamu. Hey, berapa banyak kawan-kawan di sana?”

“Dengar, totokanku itu membuatmu tidak berdaya sampai

beberapa jam. Nyawamu yang menjadi taruhannya, jika kau sampai

berbohong. Hayo katakan yang sesungguhnya, sarang kamu dan

jumlahnya kawan-kawanmu.”

“Betul betul sekali, sarang kami ada di sana. Di ujung sungai

kecil itu. Dan kawan-kawan kami banyak sekali.”

“Banyak sekali? Berapa jumlah mereka? Aku akan

membunuhmu jika sampai kau membohongiku!”

“Hmm, sekitar enam ribu orang.”

“Gila! Jangan bicara ngawur! Kubunuh kau!”

“Aww, jangan! Ampun tuan puteri. Saya berkata

sesungguhnya…”

“Hmm, baiklah. Akan kubuktikan kata-katamu. Jika kau

bohong, kau segera akan merasakan akibatnya.”

“Bagaimana Anting?”

“Oh, kakang Seta?! Ayo ikutilah aku segera.”

“Hendak ke mana kita?”

“Dari orang itu aku mendapat keterangan bahwa didalam

sana ada enam ribu orang kawannya.”

“Enam ribu? Kau yakin dia tidak berbohong?”

“Agaknya orang bodoh itu dapat dipercaya, Kakang. Ya, aneh

memang. Agaknya jika benar, ini sudah bukan kelompok pengacau

biasa.”

Page 38: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

30 Api Berkobar di Karang Sedana

“Benar Wulan. Untuk mengumpulkan orang sebanyak itu

bukanlah hal yang mudah. Awas Wulan, hati-hati. Mungkin mereka

menempatkan penjaga lagi di sekitar kita. Pergunakan saja aji Empat

Arah Pembeda Gerak agar lebih aman.”

“Baik, kakang.”

Kemudian sepasang remaja perkasa dari kelompok Ning Sewu

nampak berkonsentrasi. Kedua tangannya menutupi telinganya.

Empat Arah Pembeda Gerak adalah sebuah Aji pendengaran sakti.

Keunikan dari aji ini ialah justru tidak mempergunakan telinga untuk

alat pendengarannya. Kekuatan getaran sakti dari batin mereka

membuat seluruh syaraf di bagian tubuh mereka menjadi sedemikian

pekanya, sehingga mampu mendengar dan membedakan gerak

maupun desir angin di empat arah.

“Kakang, sayup-sayup aku mendengar suara banyak orang

berlatih jauh di sana.”

“Kau benar. Dan beberapa puluh meter dari sini ada dua orang

berjaga di atas pohon.”

“Ayo kita selesaikan, Kakang.”

“Itu mereka, biar aku yang menyelesaikannya.”

“Hati-hati. Pohon itu tinggi. Jangan kau membuat kedua orang

itu jatuh.”

“Beres, Kakang.”

Page 39: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

31 Api Berkobar di Karang Sedana

Anting Wulan segera bergerak cepat melumpuhkan kedua

penjaga itu. Totokan-totokan yang dilancarkannya tepat sasaran

sehingga membuat kaku otot-otot para penjaga itu. Sangat

menyakitkan keadaan tertotok seperti itu, tapi apa daya ketegangan

otot-otot mereka itu akan terus seperti itu sampai akhirnya mereka

lemas dengan sendirinya dalam beberapa jam kemuka.

“Nah, tenang-tenanglah kalian disini. Beberapa jam lagi

totokanku akan pulih. Jangan memaksakan diri untuk melepaskan

totokanku. Kau akan jatuh sebelum berhasil. Nah, selamat

beristirahat.”

“Wulan, Ayo kita teruskan perjalanan kita.”

“Hmm, itu mereka. Aneh sekali, siapakah mereka? Banyak

sekali. Apakah pemerintah Karang Sedana sang prabu Aji Konda tidak

mengetahui ada kegiatan pasukan sebanyak ini?”

“Benar kakang. Meraka nampak terpimpin dan terlatih.”

“Awas, Wulan. Merunduk! Mereka dapat melihatmu dari

sana!”

“Aku dapat melihatmu dari sini hehehe iya Siapa kalian anak

muda? Agaknya besar sekali nyali kalian berani datang ke tempat

kami.”

“Kau benar. Nyali kami memang sangat besar. Kami adalah

dua orang pengembara yang kini menjadi sangat heran melihat ada

kegiatan seperti ini di tengah hutan.”

Page 40: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

32 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh Tuan, agar tidak terjadi kesalahpahaman… Dapatkah

kami mengetahui siapakah kalian dan kegiatan apakah yang ada di

tengah hutan ini?”

“Baiklah kau. Boleh mengetahui karena sebentar lagi kau

akan kukirimkan ke neraka. Kami adalah sekelompok orang yang

ingin menggulingkan Aji Konda yang tidak becus memerintah Karang

Sedana.”

“Eh… Lalu dari mana kalian bisa mendapatkan orang

sebanyak itu?”

“Cukup sudah! Kalian sudah tahu terlalu banyak. Ayo! Keluar

kalian kerbau dungu! Tangkap mereka!”

Begitu laki-laki tinggi kurus melambaikan tangannya, dari balik

gerumbul pohon keluar puluhan laki-laki bertampang seram. Di antara

mereka tampak beberapa orang yang baru saja dilumpuhkkan Seta

Keling dan Anting Wulan di pinggiran hutan. Tanpa harus mengulangi

komando gerombolan laki-laki kasar itu segera melompat menyerang

Seta Keling dan Anting Wulan.

“Apa yang terjadi, adik Loba Leungeun?”

“Oh, Ki Demang… Hanya sepasang kelinci yang tersasar.

Jangan khawatir, kami akan segera menyelesaikan-nya.”

“Tapi agaknya mereka bukanlah sepasang kelinci. Lihatlah,

sebentar lagi lumpuh seluruh orangmu adik Loba Leungeun…”

Page 41: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

33 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tenang, biarlah saya yang turun tangan. Apa tidak sebaiknya

tuan masuk ke dalam dahulu? Nanti terjadi sesuatu yang dapat

merusak nama baik Tuan…”

“Hahaha, tidak apa adik Loba Leungeun. Bukankah mereka

tidak akan dapat keluar lagi? Lagi pula mereka tidak mengenal aku

hehehe. He, adik Loba Leungen kau uruslah. Habis anak buahmu

sebentar lagi.”

“Ah, baik Ki Demang.”

Loba Leungeun menjura sejenak, lalu mencelat menghadang

Seta Keling yang sedang sibuk menghajar anak buahnya. Bentaknya :

“Cukup anak muda! Layani aku! Ayo mundur kalian.”

Katanya pada para anak buahnya. Lalu segera menantang Saka dan

Anting Wulan, “Nah, majulah kalian! Lawanlah aku Ki Loba

Leungeun.”

Ki Loba Leungen seorang pendekar dari pantai selatan adalah seorang

ahli dalam hal aji tangan kosong. Hampir seluruh jurus-jurus ganas

dari golongan hitam dikuasainya. Kali ini, pendekar tinggi kurus itu

tampak sudah mulai mengeterapkan Aji Karang Ageung. Setiap gerak

tangan dan kakinya seakan hendak merobohkan bukit.

“Mundurlah Wulan, serahkan yang ini untukku!”

“Mengapa harus Kakang? Aku pun masih sanggup untuk

merobohkannya. Tidak lebih dari sepuluh jurus.”

Page 42: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

34 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah, tapi hati-hati Wulan. Lawanmu kali ini bagaikan

memiliki tenaga sepuluh ekor gajah. Lawanlah dengan Kincir Metu.”

“Baik. Akan saya lakukan.”

Ki Demang Suwanda, Ki Sentana dan para tokoh dari kelompok

misterius seketika terbelalak melihat gerak dari Anting Wulan yang

tidak dapat diikuti oleh mata wajar mereka. Akan tetapi Ki Demang

Suwanda adalah salah satu tokoh sakti yang disegani di sebagian tanah

Pasundan, dapat mengenali gerak Kincir Metu.

“Mereka dari padepokan Goa Larang.”

“Heh? Maksudmu murid dari Resi Wanayasa?”

“Benar.”

“Hey, Loba Leungeun hati-hati. Kau menghadapi aji Kincir

Metu.”

“Jangan khawatir.”

“Mereka mengenal Kincir Metu. Berarti mereka bukanlah

orang sembarangan. Berbahaya sekali keadaan ini. Yah, aku harus

meninggalkan tempat ini.”

“Mundurlah adik Loba Leungen. Dalimar! Sarpo! Layani

kedua orang itu!”

“Wulan, tinggalkan tempat ini, cepat!”

“Kepung! Jangan beri kesempatan mereka untuk lolos!”

“Wulan, tinggalkan tempat ini. Aku menahan mereka

sebentar.”

Page 43: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

35 Api Berkobar di Karang Sedana

Seta Keling terpaksa mendorong Anting Wulan yang kelihatan masih

saja keras kepala untuk tetap di tempat. Kemudian raden Seta Keling

melenting tinggi ke angkasa, menghindar dari serangan Dalimar dan

Darpo, dua tokoh andalan Ki Demang Suwanda. Belum lagi tubuhnya

turun dari angkasa, serangan Dalimar dan Sarpo kembali

mengejarnya. Untuk itu segera raden Seta Keling menyambutnya.

“Tenaga kedua orang ini benar-benar hebat. Wulan telah

berhasil melepaskan diri dari kepungan. Aku akan menyusul sebelum

aku semakin kerepotan dengan hadirnya tokoh-tokoh lainnya di arena

ini.”

“Jangan biarkan mereka lolos!”

Ki Demang Suwanda yang tidak ingin rencana besarnya terbongkar

karena lolosnya kedua remaja dari Goa Larang segera melenting

mengejarnya. Akan tetapi Kidang Mamprung, ilmu lari cepat yang

digunakan kedua remaja dari kelompok Ning Sewu tidak dapat

ditandingi Ki Demang. Beberapa saat saja kedua remaja sudah

berhasil menginggalkan pengejarnya.

“Cukup Wulan. Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Kita

beristirahat sebentar. Hari sudah mulai gelap, Wulan. Tempat ini

kelihatannya cukup aman dan bersih untuk kita beristirahat, Wulan.”

Page 44: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

36 Api Berkobar di Karang Sedana

“Benar kakang. Seluruh tubuhku juga sudah terasa lelah. Kita

lanjutkan perjalanan kita esok pagi, Kakang.”

Malam itu sepasang remaja murid dari eyang resi Wanayasa tidur di

alam terbuka. Rumput kering yang mengalasi tubuhnya mampu

membuatnya nyenyak hingga esok hari. Pagi-pagi sekali mereka

sudah melanjutkan perjalanannya hingga ketika matahari tepat di atas

kepala, barulah mereka menemukan desa pertama dalam

perjalanannya menuju kotaraja.

“Nasi sayur dan daging kering, Mang.”

“Ah, untuk dua orang, Den?”

“Iya. Kami juga minta sepoci tuak.”

“Iya, baik Den. Eeh, Aden orang baru di sini? Mamang baru

melihatnya kali ini.”

“Benar, Mang. Kami berdua berasal dari Banyuanyar.”

“Oo, Banyuanyar. Wah… wah jauh sekali, Den. Harus

mengitari hutan luas di kaki gunung itu. Eh, ini minumnya dulu, Den.”

“Sayang sekali ya, Mang. Jika dulu sebelum masa paceklik

seperti sekarang ini, perjalanan dari Banyuanyar ke desa ini bisa

dilalui hanya dalam waktu satu hari, Mang.”

“Ahahah, betul Den. Tapi yah… kalau bicara soal dulu

banyak sedihnya, Den. Kami bekerja, berdagang tidak pernah gelisah

seperti sekarang, Den.”

“Apakah di sini juga sering terjadi kekacauan, Mang?”

Page 45: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

37 Api Berkobar di Karang Sedana

“Waah, sejak satu tahun yang lalu suasana di sini seperti

neraka, Den. Hampir lima sampai enam kali dalam satu Purnama

mereka datang mengacau kemari, Den. Akan tetapi dalam dua bulan

ini aneh sekali, Den. Mereka tidak pernah hadir ke desa kami.”

Pemilik Warung itu menjawab, sambil mengangsurkan dua porsi nasi

yang telah disiapkannya, “Eeh, ini makannya Den… Neng…”

“Iya. Terima kasih, Mang…” sambut Seta Keling.

“Terima kasih, Mang,” sahut Anting Wulan pula.

“Eeh, aden berdua pengantin baru?”

“Hihihi,” Anting Wulan terkikik mendengar pertanyaan

pemilik warung itu, “Dari mana Mamang menduga kami pengantin

baru?”

“Yaa. Hanya pasangan yang baru saja yang masih senang

keluyuran kesana kemari, Den. Kalau yang sudah karatan mah, yaa…

masing-masing Den.” sahut pemilik warung sambil tertawa.

Raden Seta Keling terbatuk mendengar ucapan ini. Dia

menjadi jengah oleh ucapan “karatan” yang diucapkan secara

bercanda oleh pemilik warung itu. Hal itu terasa cukup menyindir

dirinya. Ya, dia memang sudah dua puluh tujuh tahun, dan masih pula

sendiri. Anting Wulan terkikik mendengar celoteh pemilik warung itu.

Akan tetapi dia tidak merasa bahwa hal itu menyindir kakak

seperguruannya.

“Eeh… hehe, warung Mamang apa setiap hari seperti ini?

Sepi…”

Page 46: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

38 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya… yang datang, yang datang makan yaa ada juga, Den.

Tapi belum seperti dulu. Lagi pula beberapa hari ini banyak orang

yang takut mengadakan perjalanan jauh, Den.”

“Kenapa mereka takut, Mang?”

“Eh, anu… Mereka takut pada kelompok Ning Sewu, Den!”

jawab pemilik warung dengan suara takut-takut.

Kali ini Anting Wulan yang tersedak dan terbatuk-batuk.

Setelah itu dia berseru heran, “Ning Sewu?”

Anting Wulan dan juga Raden Seta Keling tersentak kaget mendengar

kata-kata dari pemilik warung. Kembali nama Ning Sewu menjadi

momok bagi penduduk. Mereka takut pada kelompok dengan Ning

Sewu.

“Apa Mamang tidak salah? Setahu kami, Ning Sewu adalah

sekelompok pendekar yang suka membela rakyat.”

“Ya, kami juga pernah mendengar cerita itu, Den. Semula

orang-orang yang makan di sini bercerita tentang kebaikan Ning

Sewu, Den. Tapi belakangan ini kabarnya Ning Sewu merampok dan

membunuh di mana-mana.”

Anting Wulan menjadi terkulai lemas.

“Huuh…”

“Ada apa Wulan? Tenanglah.”

“Kakang, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini. Kita

lanjutkan perjalanan kita.”

Page 47: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

39 Api Berkobar di Karang Sedana

“Sebaiknya kau habiskan dulu makanmu itu.”

“Aku sudah kenyang, Kakang.”

“Hmm, baiklah. Eh,… Ini uangnya Mang. Mari Wulan…”

“Wuihh, Den. Uangnya terlalu banyak, Den.”

“Ambil saja, Mang.”

“Anggap saja pemberian jadi Neng Sewu!” sela Anting Wulan

ketus.

“Heee? Pemberian dari Ning Sewu? Aneh. Apa maksudnya?

Ning Sewu... Ning Sewu… Hmm… ”

“Itu gerbang kotaraja, Kakang. Kita sampai tepat pada

waktunya. Kita langsung saja ke sana. Sebentar lagi senja akan datang.

Mungkin kakang Dampu Awuk dan kakang Saka sudah menunggu di

sana.”

“Hmm, ya baiklah. Tapi jangan terlampau cepat jalannya. Di

sini banyak prajurit kerajaan yang lalu-lalang. Kau bisa dicurigai.”

“Eeh, baik. Kau benar, Kakang. Aku seakan tidak sabar untuk

mendengar kabar tentang Intan Pandini.” Anting Wulan beralasan,

akan tetapi dalam hatinya, Anting Wulan berpikiran lain, “Ah, aku

berdusta. Aku justru tiba-tiba rindu ingin bertemu dengan kakang

Saka. Oh, dewata… semoga saja Intan Pandini segera hilang dari

kelompok kami. Semoga hilang dari ingatan kakang Saka…”

“Hey! Awas Wulan! Hey,… kenapa kau? Melamun?”

“Eh,… i-iya kakang. Aku melamun.”

“Ada sesuatu yang menyusahkan hatimu?”

Page 48: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

40 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tidak kakang. Tidak… Hmm anu,… Bagaimana jika sampai

eyang Resi mendengar tentang sepak terjang Ning Sewu yang

mencemarkan nama baiknya.”

“Jangan khawatir Wulan, eyang Resi sudah mengenal kita

dengan baik. Tentunya tidak akan mudah percaya dengan cerita-cerita

yang tidak tentu kebenarannya.”

“Kakang! Mari cepat, ikuti kereta kuda itu. Orang itu

kakang…”

“Eh, sabar Wulan. Ini kotaraja. Jangan melakukan tindakan

yang dapat menimbulkan kecurigaan.”

“Ah, tapi kakang… laki-laki tua yang ada di dalam kereta tadi

adalah salah seorang tokoh yang kita temui di dalam hutan sana.”

“Hah?! Apa kau tidak salah Wulan? Kereta tadi adalah kereta

pembesar tinggi kerajaan Karang Sedana. Kurasa kau telah salah

lihat.”

“Aduuh, aku belum lagi pikun Kakang. Umurku belum lebih

dari dua puluh satu tahun!”

“Haah, aneh. Aneh sekali. Malam ini juga aku akan mencoba

menyelidiki istana Karang Sedana. Oh itu adik Dampu dan adik Saka,

lihat … dia memandang kemari. Ayo kita temui.”

Sesuai dengan rencana empat orang anggota kelompok Ning Sewu

berkumpul di sebelah timur istana Karang Sedana.

Page 49: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

41 Api Berkobar di Karang Sedana

“Bagaimana dengan perjalanan kalian? Ada hambatan?”

“Tidak kakang. Hanya rencana kami ubah. Kami tidak

memperkenalkan diri sebagai kelompok Ning Sewu. Karena

disepanjang perjalanan, kami banyak mendengar tentang nama Ning

Sewu yang mulai menakutkan bagi rakyat desa.”

“Aah, tapi Intan Pandini telah mengetahui siapa kita.”

“Kurasa, Intan Pandini dapat dipercaya. Dia sudah mengenal

betul siapa kita.”

“Ah aku rasa juga demikian Wulan. Adik Awuk, Saka dan kau

Wulan…”

“Ya, kakang?”

“Malam ini kita ke istana. Akan tetapi tidak seperti rencana

semula, menghadap dan menghaturkan sembah bakti dan

menyampaikan salam dari eyang Resi.”

“Loh? Kenapa jadi begitu, Kakang?”

“Aku melihat suatu keadaan yang cukup serius yang sebentar

lagi menimpa kerajaan Karang Sedana…”

Kemudian raden Seta Keling menceritakan semua pengalamannya

bersama dengan Anting Wulan di hutan kaki Gunung Ciremai dan

laki-laki tua yang dilihat Wulan di atas kereta pembesar kerajaan.

“Kita harus menjadikannya dahulu Kakang.”

“Benar. Kita harus menyelidikinya sebelum meng-hadap dan

terperangkap.”

Page 50: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

42 Api Berkobar di Karang Sedana

“Bagus. Jika demikian marilah kita atur siasat kita.”

Sementara raden Seta Keling dan kawan-kawannya mengatur rencana

mereka, marilah kita jenguk keadaan istana Karang Sedana.

Malam itu, raja Aji Konda di dalam Keraton Karang Sedana sedang

ber-sinekawa 6 bersama dengan para pembesar istananya. Yang

menjadi pokok bahasan mereka adalah situasi kerajaan yang dirasakan

semakin memburuk, baik mengenai masalah perekonomian maupun

masalah keamanan.

“Paman Dalem, Paman Patih dan Kiai. Terima kasih atas

kesediaan Paman bertiga memenuhi undangan.”

“Daulat Paduka. Sabda Paduka kami junjung tinggi.”

“Iya, terima kasih. Paman-paman sekalian kiranya kita semua

cukup maklum atas kejadian serta keprihatinan yang menimpa di

sebagian besar kerajaan ini. Nah, untuk itu untuk kesekian kali kita

berkumpul, untuk memikirkan masalah ini. Bagaimana kini pendapat

paman-paman?”

“Ampun Tuanku, mengingat jumlah prajurit kita yang sangat

terbatas, rasanya tidak mungkin kita mengirimkan pasukan kita ke

segala penjuru kerajaan untuk mengamankan penduduk. Eh, jadi

maksud hamba, Tuanku dapat mengirimkan utusan pada sang

6 Melakukan pertemuan

Page 51: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

43 Api Berkobar di Karang Sedana

mahaprabu Sanna di Galuh. Mohon agar sudi kiranya mengembalikan

tentara Karang Sedana atau meminjamkan tentara Karang Sedaana

untuk beberapa saat guna mengamankan negeri ini, begitu.”

“Aah, apakah itu mungkin, paman Widadung? Apakah bukan

malah aku yang justru akan disalah? Tidak mampu mengamankan

Karang Sedana. Aku ragu Paman… Eeh, bagaimana paman Dalem?

Kyai?”

“Hamba mengerti. Pasukan tuanku yang jumlahnya tidak

terbatas tidak mungkin diperintahkan keluar dari istana dalam jumlah

yang banyak. Untuk itu, hamba mengusulkan… bagaimana jika

Tuanku mengirimkan utusan dan meminta bantuan pada setiap

Padepokan dan perguruan-perguruan silat.”

“Ampun tuanku. Hamba rasa usul dari Kyai Sedawarna

kurang baik bagi kewibawaan Tuanku sebagai pimpinan dan

junjungan di Karang Sedana ini.”

“Hmm, usulmu sendiri bagaimana paman Dalem?”

“Ampun Tuanku. Tuanku dapat mengumpulkan para

penduduk untuk dilatih olah keprajuritan.”

“Aah, tetapi itu akan memakan waktu yang lama, Ki Sentana.”

“Ya, memang. Sedikit memakan waktu, tapi kita akan tetap

memiliki kewibawaan, Tuanku!”

Sementara perdebatan berlangsung di paseban, Raden Seta Keling dan

kawan-kawannya dengan berpakaian hitam-hitam, berkelebat di

antara dinding dan atap-atap istana Karang Sedana.

Page 52: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

44 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kakang, lihatlah di bawah sana.”

“Itu pintu kayu besar yang terbuka itu adalah lumbung padi

istana.”

“Hmm, gudang istana… Coba kulihat tempat apakah di

bawah kita ini…”

“Hati-hati membuka gentingnya, Awuk. Bukan tidak

mungkin ada penjaga atau penghuni yang bersiaga di dalam.”

“Jangan khawatir, akan kuintip dulu Kakang.”

“Oh, Kakang! Gudang padi lagi. Banyak sekali padi di dalam

sini.”

“Ah,… ya-ya. Apa yang harus kita lakukan?”

“Kurang ajar Aji Konda. Dia asik-asik di dalam istana

sementara rakyatnya banyak yang kelaparan. Kita beri pelajaran saja

Kakang!”

“Iya, harus diberi pelajaran! Tutup rapat-rapat wajah kalian!

Kita pergi ke gedung besar yang terang itu.”

“Kakang, lihat di bawah sana!”

“Kenapa Wulan?” Seta Keling memandang ke arah yang

ditunjuk oleh Anting Wulan, “Aku melihat sang prabu Aji Konda

bersama… Eh, kurang ajar! Kau benar Wulan. Orang itu yang kita

lihat di hutan sana. Pengkhianat!”

Page 53: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

45 Api Berkobar di Karang Sedana

Raden Seta Keling begitu melihat laki-laki tua yang ditunjukkan

Wulan tidak dapat menahan diri lagi.

“Hahahaha! Aji Konda! Keluarlah kau! Aji Konda, kemari,

temuilah aku malaikat pembuat perhitungan atas dosa-dosa manusia.

Hahahaha!”

Sang Prabu Aji Konda dan para pembantunya tersentak ketika

mendengar suara tantangan dari atas genteng di mana ia sedang

berbincang dengan pembantu-pembantunya dan tanpa membuang

waktu lagi raja yang memang memiliki ilmu dan aji kesaktian itu

bersama dengan pembantu-pembantunya melompat ke atas genteng.

“Turun kau tikus-tikus bodoh!”

“Mundurlah kalian! Siapakah kau sebenarnya? Ada apa kau

menyatroni kami tanpa sopan-santun seperti ini?”

“Hahahaha! Patih Widadung yang perkasa, dan Kyai

Sedahwarna. Aku telah mengenal kalian sebagai satria-satria yang

disegani di tanah Pasundan. Tapi jika aku boleh tahu siapakah laki-

laki tua di sebelah sang prabu Aji Konda?”

“Manusia-manusia liar, ketahuilah itu adalah penasihat Dalem

Sentana! Penasehat istana Karang Sedana.”

“Hahahaha, penasihat dalam Sentana atau penghianat dari

Karang Sedana?”

“Kurang ajar! Siapakah kalian ini, eh?!”

Page 54: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

46 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kau tidak perlu tahu tentang aku, tapi aku tahu banyak

tentang dirimu. Hahahaha!”

“Kurang ajar!”

“Biar hamba yang memberi pelajaran, tuanku.”

“Tunggu paman Patih! Tunggu!” prabu Aji Konda berkata,

“Eeh… Apakah maksud dan tujuan datang kemari, katakanlah!”

“Bukankah sudah kukatakan, aku datang untuk membuat

perhitungan atas dosa-dosa seseorang. Nah, Aji Konda… Lumbung

padimu terlampau penuh isinya. Sedangkan rakyatmu diluar hidup

penuh keprihatinan!”

“Hemmm, lalu kau kemari hendak memberi pelajaran

padaku? Lakukanlah kalau kau memang mampu!”

“Mundurlah tuanku, biar hamba yang memberi pelajaran pada

mereka!”

“Baiklah, Paman. Tapi jangan bunuh mereka. Aku ingin tahu

siapa mereka sesungguhnya.”

“Baik, Tuanku.”

“Berikan padaku, Kakang!”

Ah, mereka dari padepokan Goa Larang. Ya, pasti itu adalah jurus-

jurus khas perguruan itu. Apa hubungan mereka dengan resi

Wanayasa? Putera nomer dua7 sang prabu Sanna maharaja Galuh. Aku

harus menghentikannya.

7 Seharusnya : Saudara nomor dua dari Prabu Sanna, raja Galuh

Page 55: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

47 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tunggu! Berhenti, paman Patih! Tunggu! Anak muda aku

mengenal siapa kalian semua. Tinggalkan tempat ini dan sampaikan

salamku pada gurumu. Aku tidak ingin bertempur dengan kalian! Nah,

tinggalkan tempat ini segera.”

“Kakang, marilah kita tinggalkan tempat ini.”

“Baiklah, tapi ingat-ingatlah pesanku tadi. Perhatikan lah

rakyatmu dan perhatikan pula penasehatmu!”

“Kurang ajar!”

“Sabar paman! Sabar!”

“Aah, kurang ajar! Orang itu benar-benar menghina hamba

Tuan. Siapakah dia? Kenapa Tuanku diamkan saja?”

“Mereka adalah murid dari eyang resi Wanayasa dari

Padepokan Goa Larang.”

“Ooh, kelompok Ning Sewu?!”

“Benar. Marilah kita lanjutkan pembicaraan kita lagi.”

“Baik Tuanku. Eh, Hulubalang! Perketat pengamanan istana.

Aku tidak mau seperti tadi terulang lagi !”

“Celaka! Rahasiaku terbongkar. Untung baginda tidak

percaya begitu saja dengan kata-kata dari anak setan tadi. Aku harus

mempercepat rencana penyerbuan. Malam ini juga aku harus

meninggalkan istana Karang Sedana!” gerutu Ki Jaya Sentana.

Page 56: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

48 Api Berkobar di Karang Sedana

Malam itu juga secara rahasia Prabu Aji Konda menghubungi Patih

Widadung dan Kyai Sedawarna untuk mengadakan pembicaraan

khusus.

“Paman Patih, dan Kyai… mungkin sudah maklum dengan

pertemuan yang tanpa kehadiran penasehat Dalem Sentana.”

“Mungkin Tuanku hendak membicarakan perihal Ki

Sentana?”

“Ya kau benar.”

“Tidak ada salahnya jika Paduka memperketat pengawalan

dan mengawasi Ki Sentana secara hati-hati.”

“Aahh, akan tetapi Tuanku... jika hal itu segera kita lakukan,

kita akan menyinggung perasaan Ki Sentana sebagai orang

kepercayaan Tuanku…”

“Tapi demi kepentingan besar, demi kepentingan seluruh

Karang Sedana… hal itu harus kita lakukan Tuanku.”

“Iya. Cukup Paman dan Kyai. Aku akan mengambil

keputusan.”

“Ah, daulat Tuanku. Keputusan Tuanku hamba junjung tinggi

!”

“Penjagaan dapat diperketat. Akan tetapi pengawasan

langsung kepada penasehat Dalem jangan dilakukan dahulu. Akan

tetapi Paman Patih dapat melakukan penyelidikan ke segala penjuru

Karang Sedana. Jangan kirim pasukan, akan tetapi cukup petugas

sandi.

Page 57: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

49 Api Berkobar di Karang Sedana

“Daulat Tuanku. Akan hamba kirim petugas sandi sampai

keempat penjuru perbatasan Karang Sedana!”

“Hmm, Bagus! Jika demikian kukira pertemuan ini cukup.

Paman dapat segera melakukan tugas Paman kembali.”

Malam itu juga, Ki Sentana penasehat kerajaan Karang Sedana beserta

kelompoknya Ki Demang Suwanda, Ki Dalimar, Ki Darpo dan Ki

Mahendra mengadakan pembicaraan khusus dan akhirnya diputuskan

untuk mengadakan penyerangan secepatnya.

“Malam ini juga kita akan melakukan penyerangan ke Karang

Sedana. Bersiaplah kalian. Kalian sudah harus tiba besok malam di

gerbang kotaraja. Untuk rencana penyerangan, segera akan kalian

dapatkan dari pimpinan kelompok kalian! Nah bersiaplah!”

Keesokan harinya, sejak pagi hari hingga sore hari, istana dan gerbang

kotaraja kelihatan ada sedikit kesibukan. Pasukan-pasukan cadangan

yang berada di dalam barak dikeluarkan sampai akhirnya ketika senja

mulai turun…

“Tuanku! Tuanku bersiaplah! Tuanku!”

“Mereka datang?!”

“Ah, benar Tuanku. Di gerbang kotaraja pasukan kita sedang

berusaha menahan serbuan mereka!”

“Berapa banyak jumlah pasukan mereka, Paman?”

Page 58: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

50 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ampun, Tuanku. Jumlah mereka banyak sekali. Hampir dua

kali lebih banyak dari pasukan Karang Sedana, Tuanku.”

“Jika demikian, kerahkan seluruh pasukan istana, paman

Patih. Jangan biarkan mereka menembus pintu kotaraja. Jaga seluruh

bagian dari dinding-dinding benteng kita!”

“Akan kami usahakan, Tuanku.”

“Apa Paman sudah melihat sendiri dengan mata paman

sendiri keterlibatan penasehat Dalem Sentana?”

“Ah, hamba memang belum melihat. Tapi hamba sudah

merasa pasti, Tuanku. Hamba tidak lagi melihat Ki Sentana setelah

pertemuan malam itu.”

“Ah, baiklah. Kembalilah ke medan sana. Aku akan segera

menyusul setelah menjelaskan masalah ini pada keluargakku.”

“Baik, Tuanku. Hamba segera berangkat.”

“Oh, ada apa ribut-ribut kanda Prabu? Apakah sesuatu telah

terjadi?”

“Iya Adinda. Karang Sedana istana kita yang semula selalu

tenang kini telah berubah, seperti yang kanda khawatirkan semula.”

“Maksud Kanda? Ee… apa yang telah terjadi?”

“Di mana putraku Angling Purbaya?”

“Ada di kamarnya. Dia masih tidur. Oh, ceritakanlah, Kanda.

Apa yang telah terjadi di luar sana?”

“Aah, kemarau yang berkepanjangan agaknya telah membuat

sebagian dari penduduk Karang Sedana menjadi lupa diri. Dan dengan

Page 59: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

51 Api Berkobar di Karang Sedana

hasutan seseorang yang culas, sebagian dari penduduk Karang Sedana

telah bergerak.”

“Maksud Kanda, telah terjadi pemberontakan?”

“Benar Dinda.”

“Oh, celaka. Siapakah yang berdiri di belakang mereka

Kanda? Apakah negara tetangga kita ada yang terlibat?”

“Sampai saat ini Kanda belum tahu akan hal itu. Tapi satu hal

yang membuat Kanda kecewa ialah kemungkinan keterlibatan dari Ki

Sentana besar sekali.”

“Kurang ajar, Ki Sentana! Pagar makan tanaman! Oh,

sungguh busuk manusia itu, Kanda!”

“Sudahlah Dinda. Kanda akan segera melihat ke gerbang

kotaraja. Jaga Purbaya jangan biarkan dia main jauh dari dirimu.”

“Tunggu dulu, Kanda. Agaknya Kanda cukup cemas. Apakah

kekuatan pemberontak itu cukup besar?”

“Menurut paman Patih memang demikian. Akan tetapi

janganlah terlalu khawatir. Kanda akan berusaha untuk menahan

mereka. Kanda pergi!”

“Hati-hatilah, Kanda.”

“Hey, satria-satria Karang Sedana! Apa yang telah kalian

lakukan tadi dengan rekan-rekan kalian? Karena ingin menyelamatkan

nyawa kalian, gerbang ini kalian tutup sehingga semua kawan-kawan

kalian yang tidak berhasil masuk habis mati terbantai. Nah,

lemparkanlah kebawah sini anak panah dan semua senjata kalian, dan

bukalah pintu gerbang ini, maka kalian semua akan kami ampuni.

Page 60: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

52 Api Berkobar di Karang Sedana

Hayoo, bukalah cepat gerbang kalian, dan kalian semua akan selamat.

Jangan memperbodoh diri kalian sendiri. Aku tahu jumlah dan

kekuatan kalian. Kekuatan kalian tidak lebih dari separuh kekuatan

kami. Ayo, menyerahlah!”

Ribuan para pemberontak yang nampak liar dan haus akan

pembunuhan, berteriak sambil mengacung-acungkan senjata mereka.

Ki Demang Suwanda yang merupakan salah seorang tokoh utama dari

kelompok pemberontakan kelihatan menjadi semakin geram, ketika

menyadari ancamannya tidak digubris oleh prajurit Karang Sedana.

“Keluarkan balok pendobrak yang telah kalian siapkan!

Hancurkan gerbang itu! Dan bunuh semua manusia di dalamnya!”

“Satu! Dua! Tiga”

“Hey, jangan biarkan mereka menghancurkan gerbang.

Hujani terus dengan anak panah kalian! Hooy, sayap kiri dan kanan,

pusatkan serangan kalian ke kereta pendobrak itu!”

“Bagaimana dengan gerbang timur dan barat, Hulubalang?”

“Baru saja hamba dapat laporan, bahwa kekuatan terbesar ada

di sini.”

“Oh, pertahankan terus dengan sekuat tenaga gerbang ini.

Yah, jika sampai bobol kita tidak akan dapat menahan arus serangan

pasukan sebanyak itu.”

Page 61: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

53 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, kau benar Patih. Pasukan mereka sangatlah besar

jumlahnya. Dan,… oh agaknya sebentar lagi gerbang ini akan bobol.

Pasukan panah mereka di bawah sangat banyak yang balas menyerang

untuk melindungi pembawa kereta pendobrak itu.”

“Kita bantu menahan kereta itu dengan panah, paman Patih.”

“Baik, Tuanku.”

Melihat serangan dari kereta pendobrak yang bermuatan batang pohon

besar sangat berbahaya, maka prabu Aji Konda dan patih Widadung

kemudian ikut turun tangan membantu menahan lajunya serangan

pemberontak. Tameng itu terpental jatuh dan beberapa saat kemudian

terdengar teriakan dari beberapa orang korban pembawa kereta

pendobrak itu. Demikianlah, beberapa saat lajunya usaha pendobrak

mulai tertahan dengan serangan-serangan dari sang Prabu dan patih

Widadung.

Sementara itu, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk peperangan, di

sebelah selatan dari istana Karang Sedana tampak raden Seta Keling

dan adik-adiknya sedang beristirahat.

“Kakang, agaknya sebentar lagi Karang Sedana akan kembali

hijau. Hujan akan turun. Lihatlah, burung-burung pun sudah mulai

nampak banyak di sekitar Karang Sedana. Burung-burung sudah dapat

membaca bahwa hujan akan segera turun.

“Ha? Apa maksudmu dengan hujan?”

Page 62: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

54 Api Berkobar di Karang Sedana

“Lihatlah itu, kakang Seta, kakang Saka, kakang Dampu…

Bukankah itu…”

“Oh, celaka! Mereka sudah mulai. Kita segera ke sana! Itu

adalah kobaran api ! Ya, dari arah Karang Sedana! Ayo, kita lihat !”

“Dinda! Sedang apa di sini? Mengapa tidak masuk ke dalam?”

“Kanda Prabu, sejak kepergian Kanda, dinda merasa sangat

cemas sekali. Dinda menjadi tidak betah dan serba salah di dalam

istana. Oleh karena itu, Dinda keluar dan menunggu Kanda di sini.

Sambil melihat-lihat orang-orang yang sibuk berlari kesana-kemari.”

“Bersiaplah, Dinda. Mungkin sebentar lagi Dinda akan

berangkat pergi dari istana ini.”

“Lalu, bagaimana dengan Kanda Prabu? Ikut bersama

Dinda?”

“Ah, Kanda masih akan berusaha menahan serangan mereka.

Jika tidak juga berhasil, maka Kanda akan segera menyusul.

Bersiaplah Dinda. Jangan kenakan baju Dinda, tapi kenakanlah baju

Bibi Emban.”

“Jadi maksud Kanda, dinda harus menyamar dan pergi

seorang diri tanpa ditemani kanda Prabu?”

“Iya. Dinda akan pergi tanpa Kanda. Tapi dinda akan diantar

oleh Karewang, hulubalang kerajaan. Bersiaplah Dinda. Dan… kau

juga Karewang.”

“Baik Tuanku, hamba akan kembali untuk berganti pakaian,

Tuanku.”

Page 63: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

55 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aaah, tidak ada waktu, Karewang. Kau masuklah ke dalam,

carilah pakaian dari seorang abdi dalem ku.”

“Hamba segera bersiap, Tuanku. Dan beberapa orang prajurit

akan hamba siapkan untuk membuka jalan di gerbang timur yang agak

lemah, Tuanku.”

“Ah tidak. Kau pergi seorang diri, Karewang.”

“Ah? Seorang diri…?”

“Ya. Dan kau tidak perlu melalui gerbang timur. Ikutilah saja

istriku. Dia akan menunjukkan jalan rahasia keluar dari istana ini

hingga sampai di luar kotaraja. Bawa istriku ke pada Kyai Sedawarna,

kawanku di gunung Sawal.”

“Ah, baik Tuanku. Hamba pamit untuk bersiap, Tuanku.”

“Baiklah.”

“Hapuslah air matamu Dinda, jangan menangis. Semua ini

mungkin sudah kehendak dewata. Pergilah cepat. Eh… dimana

Purbaya?”

“Dia sedang bermain di belakang, bersama Cempaka.”

“Ya, Cempaka emban pengasuh Purbaya bisa juga kau ajak.

Pergilah cepat padanya. Jika dia menanyakanku, aku sedang berusaha

mempertahankan Karang Sedana.”

“Jaga diri Kanda baik-baik. Dinda akan menunggu di sana.”

Sementara itu pergulatan dan usaha dari pihak pemberontak nampak

semakin membuahkan menampakkan hasil. Telah berkali-kali kereta

penggedor sempat menggedor gerbang utama Karang Sedana. Pintu

Page 64: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

56 Api Berkobar di Karang Sedana

gerbang yang kokoh dan dilindungi hujan anak panah para prajurit,

perlahan-lahan mulai kelihatan rusak di sana-sini.

“Satu, Dua, Tiga!”

“Hahahaha! Hey patih Widadung! Sebentar lagi pintu itu akan

hancur. Dan Karang Sedana akan ku buat banjir dengan darah kalian

prajurit-prajurit bodoh! Hayo terus dobrak dan hancurkan gerbang

itu.”

“Hancurkan, hancurkan pintu gerbang itu. Ayo kita

hancurkan! Dobrak saja!”

“Setan gila, entah dari mana Ki Sentana dan demang gila ini

mengumpulkan orang liar sebanyak ini?

“Hooi, demang gila! Tidak bosan-bosankah engkau mengacau

disana-sini? Jika sang mahaprabu Sanna di Galuh mengetahui semua

ulahmu ini, maka tentu kau tidak akan diampuni untuk kedua

kalinya!”

“Hey, kau tidak perlu menakuti aku dengan nama Sanna. Aku

tidak takut pada dia. Justru persiapanku kalil ini untuk membalaskan

sakit hatiku padanya. Galuh satu saat juga akan aku hancurkan!”

“Gila, setan satunya ini benar-benar gila. Eeh, entah dimana

setan satunya si ular kepala dua dan Ki Sentana.”

Semangat juang dari pemberontak-pemberontak liar benar-benar

menggetarkan seluruh prajurit Karang Sedana. Mereka terus saja

Page 65: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

57 Api Berkobar di Karang Sedana

maju, tanpa mengenal arti takut. Dan hampir dapat dipastikan bahwa

beberapa saat lagi gerbang utama dari Karang Sedana akan segera

hancur. Akan tetapi…

“Anting, hancurkan kereta itu.”

“Kakang Saka, kakang Dampu, lindungi aku!”

“Kurang ajar, ternyata kalian. Kau rasakan ini, anak muda tak

tahu diri.” bentak Ki Demang Suwanda geram.

“Mundur kalian, ini bagianku.”

“Setan! Kuremukkan kau bocah sombong!”

Ki Demang Suwanda adalah seorang tokoh sakti yang memiliki

beragam ilmu dari golongan putih maupun hitam. Dan salah satu ilmu

andalan yang menjadi kebanggaannya adalah Kelabang Seribu, yang

merupakan pukulan beracun yang sangat berbahaya.

“Kincir Metu!”

“Kau kira aku gentar dengan Kincir Metu mu, bocah?”

Kedua tangan Ki Demang nampak mulai menghitam, dan Patih

Widadung yang sejak tadi mengawasi pertempuran itu, mengenal

ganasnya ilmu pukulan beracun itu.

Ketika pertempuran antara raden Seta Keling dan Ki Demang

Suwanda telah mencapai puncaknya, pertempuran lainnya disekeliling

mereka tanpa dikomandokan berhenti dengan sendirinya. Dan arena

Page 66: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

58 Api Berkobar di Karang Sedana

pertempuran mereka pun terbentuk karena angin pukulan mereka yang

mencapai beberapa tombak.

Para prajurit pemberontak dan prajurit Karang Sedana yang

menyaksikan dari atas benteng gerbang semua tampak melongong

melihat pertempuran tingkat tinggi. Di tengah arena, mereka hanya

mampu melihat kelebat orang bertempur tanpa dapat

membedakannya.

“Awas raden! Pukulan beracun Kelabang Seribu!”

“Hmm, Kelabang Seribu… Aku harus menghindarkan

persentuhan tangan dengannya. Racun itu sangat berbahaya.”

“Kurang ajar! Aku tidak bisa mengalahkan aji Kincir Metu.

Bagaimana aku dapat menyatakan diri sebagai tokoh golongan tua?

Huh! Aku harus mempercepat seranganku.”

“Serangannya semakin berbahaya saja, harus ku keluarkan

juru pamungkas Kincir Metu.”

“Sambut seranganku, mampus kau anak muda!”

“Tinggalkan tempat ini, naik ke gerbang!”

“Dimana Ki Sentana? Katakan padanya bahwa aku akan

menarik pasukan untuk sementara. Kita tidak akan dapat masuk tanpa

kereta pendobrak itu. Ayo, mundur!”

Kehadiran keempat anggota Ning Sewu di kotaraja kali ini benar-

benar menggembirakan seluruh prajurit. Harapan mereka yang semula

hilang kini telah tumbuh kembali.

Page 67: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

59 Api Berkobar di Karang Sedana

Setelah mengalahkan Ki Demang Suwanda…

“Terima kasih atas bantuan kalian,” ucap patih Suwanda pada

raden Seta Keling dan saudara-saudaranya.

“Tinggal beberapa waktu di sini anak-anak muda bantulah

kami. Kelak aku akan datang untuk mengucapkan terima kasih ke

Padepokanmu, dan menghadap eyang remi Wanayasa.”

“Kami memang datang kemari atas perintah guru, untuk

membantu Karang Sedana dari gangguan pengacau. Akan tetapi yang

terjadi di sini, justru lebih dari sekedar pengacauan.”

“Hmm. Marilah anak-anak muda dan kau paman Patih, kita

beristirahat di dalam keraton.”

“Bagaimana paman Patih, apa kira-kira kita akan dapat

menahan serangan mereka yang berikutnya?”

“Ampun tuanku, beribu ampun. Hamba tidak bisa memberi

kepastian. Hamba ragu… Eh, hamba ragu dengan kemampuan kita

yang ada pada saat ini untuk menahan serangan pasukan

pemberontak.”

“Paman Widadung benar. Aku pun juga ragu jika dalam

situasi seperti ini. Eh sejak 3 bulan yang lalu kita terlena. Kita tidak

memulai menyiapkan kembali pasukan kita. Sejak Prabu Sanna

mengambil 5000 prajurit kita.”

“Tuanku tidak bersalah. Saat itu Tuan menyimpulkan bahwa

tidak perlu untuk menyiapkan prajurit karena keadaan dari Karang

Sedana yang memprihatinkan. Kemarau seakan-akan melumpuhkan

sebagian besar dari sendi-sendi perekonomian kita.”

Page 68: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

60 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ooh, anak-anak muda… Apakah kalian mempunyai

pertimbangan atau usul untuk menyelesaikan masalah ini?

Katakanlah, mungkin justru kau yang dapat menolong kami seperti

yang baru saja kau lakukan.”

“Ampun tuanku sebelumnya hamba ingin me-nyampaikan

dulu salam dari guru kami. Eeh, mengenai masalah yang sekarang

sedang dihadapi oleh Karang Sedana memang sangatlah berat.

Pasukan pemberontak yang kita hadapi jumlahnya jauh lebih banyak

dari pasukan Karang Sedana. Maka untuk menghadapinya janganlah

dengan cara beradu dada.”

“Hmm, apa maksudmu anak muda? Bergerilya?”

“Hampir seperti itu, Tuanku. Tuanku dapat mengirimkan

beberapa orang berilmu untuk mengadakan pengacauan di tempat

mereka. Membakar persediaan makanan mereka dan perlengkapan

perang mereka. Dengan habisnya persediaan makan mereka, tidaklah

mungkin mereka masih berkeliaran di sekitar sini. Yaa, kira-kira itulah

usul dari hamba.”

“Hmm, bisa juga diterima usulmu. Tapi apa tidak ada usul

yang lain? Karena aku sangat mengkhawatirkan keselamatan orang-

orang yang bertugas ke sana.”

“Ampun, Tuanku. Jika hanya itu keberatan Tuanku dengan

usul kakang Seta, Tuanku dapat mempercayakan tugas itu pada kami.”

“Benar, Tuanku. Kedatangan kami kemari memang justru

untuk tugas itu aku.”

Page 69: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

61 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aku mengerti. Kalian adalah satria-satria yang pantang

mengenal takut. Kalian adalah satria-satria perkasa asuhan dari eyang

resi Wanayasa dari Padepokan Goa Larang. Tapi untuk masuk ke

dalam sarang pemberontak yang jumlahnya sekitar enam ribu orang

dan juga penuh dengan tokoh-tokoh sakti, sangatlah berbahaya!”

“Tugasi kami, Tuanku. Kami tidak takut dengan bahaya-

bahaya yang Tuanku ceritakan itu.”

“Ahh, jika sampai terjadi apa-apa dengan kalian, hmm…

bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan-nya.”

“Maafkan saya, Tuanku. Bagaimana jika Tuanku memohon

pertolongan pada Mahaprabu Sanna di Galuh?”

“Hmm, agaknya Mahaprabu Sanna di Galuh sedang

merencanakan pendudukan di luar pulau. Eeh, untuk itu lima ribu

pasukan dari Karang Sedana telah dimintanya.”

“Saya kira tidak ada jalan lain, Tuanku. Kami berempat akan

mencoba masuk ke dalam daerah pertahanan mereka dan membuat

kekacauan di sana.”

“Hmm, baiklah. Jika kau yang memaksa, pergilah. Aku akan

berdoa pada Hyang Widi untuk keselamatan kalian.”

“Terima kasih, Tuanku.”

“Eeh, tunggu! Kalian belum memperkenalkan diri.

Bagaimana aku bisa tenang menerima budi kalian, jika nama kalian

saja aku tidak tahu?”

“Ampun beribu ampun, Tuanku. Hamba berempat adalah

anak-anak desa yang hina yang dapat hidup sampai saat ini adalah

Page 70: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

62 Api Berkobar di Karang Sedana

karena kemurahan hati eyang guru Wanayasa yang telah menolong

kami pada masa kecil. Eeh… saya adalah Seta Keling. Dan adik

seperguruan saya ini adalah Saka Palwaguna, Dampu Awuk dan

Anting Wulan.”

“Hmm,… Nah, Seta Keling berangkatlah segera setelah

kalian cukup beristirahat. Doaku bersama kalian.”

“Terima kasih, Tuanku. Hamba pamit !”

“Istirahatlah kalian. Sebentar lagi, jika senja sudah menjadi

gelap, kita sudah harus meninggalkan istana Karang Sedana untuk

mencari daerah pertahanan pemberontak.”

“Ah, iya kakang. Nasib kita baik sekali, kakang. Kita kini

menjadi orang terhormat. Baginda raja Aji Konda pun kelihatan segan

pada kita. Yah, kalian merasakan tidak, adik Awuk? Adik Wulan?”

“Kita menjadi orang terhormat hanya saat ini saja. Karena saat

ini kita membantu baginda Raja mengamankan Karang Sedana. Saat

lain jika kita bertemu mungkin sikap Baginda akan berubah. Tidak

lagi seperti ini.”

“Kau salah adik Awuk. Kita dihormati bukan karena bantuan

kita terhadap mereka tapi karena eyang guru Wanayasa.”

“Iya, kakang benar. Karena gurulah kita dihormati oleh prabu

Aji Konda.”

“Kalian salah. Kita dihormati adalah karena mahaprabu Sanna

dari Galuh. Coba saja, jika eyang bukan saudara dari mahaprabu

Galuh, apakah juga kita akan dihormati?”

Page 71: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

63 Api Berkobar di Karang Sedana

“Haeehh, sudahlah. Jangan berbicara macam-macam.

Istirahatlah. Ingat, kalian mempunyai tugas yang sangat berat malam

nanti, kumpulkan tenaga kalian. Bersemedilah.”

“Baik kakang.”

Sang mentari senja menebarkan sayap-sayap merahnya hanya

beberapa saat saja. Dan ketika sang mentari perlahan-lahan meluncur

turun dari ufuk timur, Dewa Kegelapan yang sejak tadi telah

mengintip, menunggu kesempatan, kini telah muncul dan menebarkan

sayap-sayapnya menyelimuti alam semesta.

Di keremangan malam, udara terasa dingin menusuk tulang. Suasana

kerajaan Karang Sedana sunyi dan senyap. Hampir diseluruh bagian

jalan Karang Sedana tidak dapat ditemui bayangan seorang penduduk

sekalipun. Akan tetapi ketika malam semakin gelap, dari arah timur

Istana Karang Sedana terlihat empat bayangan berkelebat cepat

menuju ke arah luar kota.

“Berhenti sebentar adik semua.”

“Ada apa kakang? Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Saka

Palwaguna.

“Kita akan mencari mereka. Saat ini kita belum mengetahui

tempat mereka beristirahat.”

Page 72: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

64 Api Berkobar di Karang Sedana

“Mereka pasti beristirahat di sebuah daerah terbuka yang luas.

Mereka tidak mungkin mempergunakan kota atau desa untuk

beristirahat, karena demi pertimbangan keamanan.”

“Ya, tapi dimana lapangan luas itu? Oya coba kita lihat di

sebelah barat kita. Ayo, kita ke arah barat!”

“Awas, stop. Hati-hati ada beberapa ekor kuda menuju ke arah

kemari.”

“Benar, kakang Seta. Mereka pasti berada di sana. Penjagaan

sudah ada di sekitar sini. Kita teruskan perjalanan kita”

“Aku minta, berhati-hatilah kalian. Ayo!”

Raden Seta Keling dan kawan-kawannya semakin meningkatkan

kewaspadaannya ketika tahu bahwa mereka sudah tiba di tempat yang

ditujunya.

***

Sementara itu Roro Angken, permaisuri dari sang prabu Aji Konda

bersama dengan putranya raden Angling Purbaya, Cempaka pengasuh

puteranya, dan hulubalang Karewang yang mengawal pelariannya

melalui lorong rahasia dari puri istana yang terletak di pinggiran

benteng, mereka keluar dari kotaraja.

“Ibu, menuju ke manakah kita? Mengapa Ayahanda Prabu

tidak bersama kita?” raden Purbaya memecah kesunyian.

Page 73: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

65 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kita akan meninggalkan istana, untuk sementara.

Ayahandamu nanti akan menyusul kita…” jawab ibunya yang tanpa

dapat menahan perasaannya lagi, kemudian dia pun merintih, “Ah,

kanda Prabu…”

“Jangan Bunda menangis, kenapa?”

“Aku menangis karena ayahmu tidak menyertai kita saat

ini…”

“Kenapa harus menangis? Bukankah Ayahanda akan

menyusul kita?” tanya raden Purbaya lagi.

Rara Angken tidak menjawab, dia memandang ke arah

hulubalang Karewang lalu berkata,

“Paman Karewang,…”

“Hamba Tuanku?”

“Bisakah kita beristirahat di sini?”

“Eeh, hamba kira bisa Tuanku. Kita sudah cukup jauh dari

kotaraja. Hutan kecil ini tidak mungkin disinggahi mereka, jika saat

ini mereka tidak berhasil menguasai kotaraja, Tuanku.”

“Cempaka,… ambilkan kain tebal untuk alas puteraku tidur.”

“Tidak ibunda. Purbaya tidak akan tidur.”

“Oh, kau harus beristirahat, anakku. Perjalanan kita masih

cukup panjang.”

“Tidurlah, Raden. Nanti Raden akan dibangunkan jika sudah

cukup beristirahat. Dan kita akan segera melanjutkan perjalanan.”

“Tidak bibi Cempaka. Aku tidak dapat tidur. Aku… Eh,

paman Karewang ceritakanlah, apa yang sebenarnya terjadi. Jika ini

Page 74: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

66 Api Berkobar di Karang Sedana

memang perjalanan kunjungan ke gunung Sawal, kenapa tidak

memakai kerajaan? Kenapa kita berangkat secara diam-diam melalui

lorong bawah tanah yang gelap tadi? Kenapa aku disuruh memakai

pakaian orang lain yang tidak aku kenal. Ceritakanlah, pasti Paman

dan Ibunda menyembunyikan sesuatu.”

“Oh, ceritakanlah Tuanku. Agaknya raden Purbaya dapat

merasakan situasi yang tidak seperti biasanya, ia sudah boleh

mengetahuinya, hamba kira.”

“Ceritakanlah Paman. Jelaskanlah semua apa yang terjadi

padanya sejelas-jelasnya.”

“Ada apakah, Paman?”

“Karang Sedana kini sedang dilanda perang, Raden.”

“Perang? Yang sering diceritakan Ayahanda? Manusia saling

membunuh untuk mencari kemenangan?”

“Iya, Raden. Begitulah yang kini terjadi di istana sekarang

ini.”

“Jadi Ayahanda Prabu juga sedang berperang? Sedang

membunuh?”

“Ayahanda Raden saat ini sedang membela dan

mempertahankan haknya, Raden. Hak ibunda dan Hak Raden sendiri.

Ayahanda Raden kini sedang berjuang.”

“Apakah Ayahanda akan mati dalam peperangan itu, Paman?”

“Hmm,” hulubalang Karewang tersenyum kecil, “Ayahnda

Raden adalah seorang yang sakti. Yang memiliki beragam ilmu

Page 75: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

67 Api Berkobar di Karang Sedana

kepandaian, Raden. Ayahanda akan selamat, janganlah Raden

khawatir.”

“Paman bohong! Paman dusta! Ayahanda pasti akan mati.

Seperti yang terjadi dalam perang yang pernah saya dengar. Ayahanda

pasti akan terbunuh. Paman dusta!”

“Ooh, anakku Purbaya…”

“Ibu juga dusta! Ibunda membohongi aku. Ayahanda pasti

akan mati. Jika tidak, kenapa ibu menangis? Kenapa kita harus pergi

dengan cara seperti ini?” Purbaya mulai terisak, “Kalian semua

dusta!”

“Dengarlah, Raden. Kita meninggalkan istana saat perang

sedang berlangsung. Bagaimana kuatnya dan besarnya pun jumlah

musuh, Ayahanda Raden pasti akan segera dapat meloloskan diri dari

kepungan mereka, Raden.”

“Paman bohong! Ayahanda pasti mati dalam peperangan itu.

Ayahanda adalah seorang kesatria. Ayahanda tidak mungkin

melarikan diri.”

“Kita teruskan saja perjalanan kita, paman Karewang. Iya,

benar Purbaya. Keadaan di Karang Sedana sangat berbahaya, oleh

karena itu kita pergi dari sana. Tapi itu belum berarti Ayahandamu

akan perlaya8 di sana.”

“Huh! Siapakah musuh-musuh Ayahanda, Bunda?”

8 Gugur, Tewas, Mati

Page 76: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

68 Api Berkobar di Karang Sedana

“Oh, sudahlah anakku. Tidak perlu kau ketahui saat ini. Kelak

jika saatnya tiba, kau pun akan mengetahui dengan sejelas-jelasnya.”

“Ya! Jika saatnya telah tiba, akupun akan membalas

perbuatannya yang sudah menyusahkan kita.”

“Iya, mari Raden, kita lanjutkan perjalanan kita.”

Dengan isak yang tertahan dan langkah yang tersaruk-saruk, Roro

Angken melanjutkan perjalanannya meninggalkan Karang Sedana.

Untuk tiba di tujuan mereka masih harus melakukan perjalanan yang

panjang. Raden Angling Purbaya yang telah mengetahui duduk

permasalahannya kini justru berjalan dengan gagah disamping ibunya.

Seakan-akan siap menjadi pembela apabila ada seseorang yang

mengganggu ibunya yang kini sedang dirundung kesedihan.

Sementara itu, Raden Seta Keling dan ketiga adik seperguruannya

telah tiba di daerah yang ditujunya.

“Kakang, lihat itu di sana Kakang”

“Betul, Kakang. Cahaya temaram di tengah lapangan besar

itu, pastilah mereka.”

“Kalian benar. Lihat itu, di depan sana ada beberapa orang

penjaga. Agaknya itu adalah pos terdepan mereka. Ayo, kita dekati!”

“Sebagian besar dari mereka agaknya sudah tertidur, Kakang.

Hmm, kita harus mencari tempat perbekalan mereka.”

Page 77: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

69 Api Berkobar di Karang Sedana

“Perbekalan mereka pastilah ditaruh dalam gerobak. agar

mudah dipindah-pindahkan.

“Iya, tapi tidaklah mudah mencari gerobak perbekalan mereka

di antara ribuan orang yang bertebaran dalam gelap seperti ini. Coba

kita kitari tempat ini, dari sudut sana agaknya kita dapat melihat

dengan sedikit jelas. Kalian lihat tiga api unggun yang jauh disana.

Kukira mereka adalah penjara tempat berbekalan.”

“Ayo, kita coba lihat ke sana.

“Ah, Awas kakang! Lihat itu disebelah kanan kita, banyak

tubuh-tubuh prajurit yang tidur bertebaran.”

“Kita tidak dapat lewat terus, Kakang. Terpaksa harus

mengitari prajurit yang berterbaran di kanan kita ini.”

“Kita lewati saja, Kakang. Bukankah kita dapat terus

melompati mereka. Sebagian besar dari mereka sedang tidur. Mereka

pasti tidak dapat melihat kita dalam suasana gelap seperti ini.”

“Ya, baik. Kita coba usul Wulan untuk melompati mereka.”

“Biar aku yang dahulu.”

“Aku coba, kakang.”

“Hati-hati Awuk, tubuh mereka bertebaran. Jangan sampai

menginjak mereka.”

“Jangan khawatir.”

Agar tidak membuang-buang waktu, akhirnya raden Seta Keling

menerima usul dari Anting Wulan. Gadis manis yang sedikit

pemberang mendahului kakak-kakaknya, melenting melompati para

Page 78: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

70 Api Berkobar di Karang Sedana

prajurit yang sedang tertidur. Kemudian diikuti oleh Kakak

seperguruannya. Bayangan mereka berkelebat ringan, sempat dilihat

oleh beberapa orang prajurit. Akan tetapi gerakan mereka di dalam

keremangan malam tak dapat ditangkap oleh mata prajurit itu secara

utuh. Sehingga para prajurit itu mengira adalah sekawanan burung

malam yang sedang berkeliaran mencari makan.

“Lihat ! Dari sini jelas bukan?”

“Iya, Kakang. Gerobak-gerobak yang penuh berisi dengan

karung. Dikelilingi oleh tiga api unggun. Pada setiap api unggun ada

tiga orang penjaganya.”

“Kakang, apa yang akan kita lakukan sekarang? Kita langsung

membakar gerobak itu?”

“Ah… ya-ya. Kita tidak boleh membuang waktu lagi. Mana

minyak Jarak9 nya?”

“Ini kakang Seta.”

“Ah sudah, pegang saja. Kau yang bertugas membakar

gerobak itu. Aku, adik Dampu Awuk dan Anting Wulan akan

membungkam dahulu para penjaga malam itu.”

“Baik Kakang.”

“Siap kalian? Adik Awuk kau selesaikan yang sebelah kiri,

tiga-tiganya. Anting yang jauh di sebelah sana. Dan aku yang di

sebelah kanannya. Mulai !”

9 Minyak Jarak, Castor Oil (Ricinus communis) adalah minyak yang dihasilkan dari biji pohon Jarak. Tanaman ini cukup beracun.

Page 79: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

71 Api Berkobar di Karang Sedana

Serangan ketiga remaja yang dilakukan dengan kecepatan tinggi

membuat sembilan penjaga malam di seputar api unggun tak dapat dan

tak sempat berteriak minta tolong. Sementara Saka Palwaguna

mempergunakan kesempatan tersebut untuk membasahi karung-

karung yang berisi bela; mereka dengan minyak jarak. Dan beberapa

saat kemudian…

“Kita berhasil. Berhati-hatilah. Sebentar lagi pasti ada seorang

di antara mereka yang melihat.”

“Kita akan menahan beberapa orang pertama yang akan

berusaha memadamkan api ini.”

“Ya, dan kita akan segera meninggalkan tempat ini, begitu api

ini cukup besar.”

“Apiii ! Apiii ! Hoy, Apiii !”

“Celaka! Api belum cukup besar membakar karung-karung.”

“Orang yang teriak jauh sekali, Kakang. Aku tak dapat

melihat orang itu lagi.”

“Bangun semuanya! Apiii ! Ada musuh datang! Padamkan api

!”

“Hayoo! Siapa yang maju ke arah api ini? Mati kalian semua!”

“Aah, kurang ajar! Kalian lagi rupanya! Ayo, serang mereka,

selamatkan perbekalan kita!”

Page 80: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

72 Api Berkobar di Karang Sedana

Pertarungan segera berlangsung dengan serunya. Keempat kalinya

kelompok Ning Sewu mendapat perlawanan hebat dari pasukan

pemberontak. Ki Darpo dan beberapa orang temannya mengepung

Saka palwaguna. Sedangkan Ki Suwanda yang baru saja tiba bersama

dengan beberapa orang pembantunya segera menempatkan diri

menghadapi raden Seta Keling dan Anting Wulan. Sedangkan Dampu

Awuk dihadapi oleh gedug-gedug Jagalpati dan dua orang saudaranya,

Jagal Lanang dan Jagal Belo.

“Adik Wulan, tinggalkan aku! Lihat itu kakangmu Dampu

Awuk terdesak hebat,” seru raden Seta Keling.

“Baik, Kakang,” sahut Anting Wulan. Dia segera mendekati

Dampu Awuk. Lalu katanya pada Dampu Awuk, “Kakang, tinggalkan

yang dua itu!”

“Kali ini kau tidak akan kulepaskan anak muda. Dan usahamu

itu tidak akan berhasil dengan baik. Persediaan kami yang belum

sempat terbakar masih cukup untuk dua tiga hari dan waktu itu bagi

kami sangat cukup untuk keperluan mengusir Aji Konda.”

“Hey, jangan banyak mulut! Manusia busuk begundal

Sentana. Penghianat licik! Mana manusia licik itu? Mengapa dia tidak

tampil menghadapi kami?”

“Hey, kau tidak usah mencari Ki Sentana. Aku pun dan

kawan-kawan cukup untuk memusnahkan kalian. Ayo, jangan kasih

kesempatan mereka untuk bernafas!”

“Kakang! Anting terluka, Kakang.”

Page 81: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

73 Api Berkobar di Karang Sedana

Pertempuran terus berlangsung dengan seru-nya. Raden Seta Keling

beserta tiga saudara seperguruannya bertempur bagaikan banteng

yang terluka. Mengamuk, membabat musuh-musuhnya. Akan tetapi

setiap dari anggota Ning Sewu dikepung oleh puluhan orang yang

seakan-akan tak pernah habis dan lagi tekanan dari kepungan mereka

semakin lama semakin memperberat dengan hadirnya tokoh hitam di

antara mereka. Sampai pada suatu saat…

“Hahaha, kau tidak akan bisa lolos, anak muda! Kau

tinggalkanlah kepalamu di sini, aku memerlukan tengkorak kepalamu

untuk senjata baru yang akan segera kuciptakan.”

“Aah, justru aku yang memerlukan batok kepalamu! Lihatlah

seranganku ini.” bentak Dampu Awuk.

“Hahaha, kau tak dapat menyerang dengan baik ya? Lima

orang ini adalah lima orang pembantuku dari Bukit Tengkorak. Aku

tidak takut dengan Kincir Metu-mu. Dan kau tidak akan dapat

mengeterapkan ajianmu. Sedetik kau bersiap karena kau akan terkapar

mati.”

“Untuk menghadapimu, aku tidak perlu mempergunakan

Kincir Metu!” kali ini raden Saka Palwaguna yang sesumbar.

“Adik Saka, tinggalkan tempat ini. Biarlah aku yang menahan

mereka.” seru raden Seta Keling.

Dengan sejuta kerepotan, Dampu Awuk, Saka Palwaguna dan Seta

Keling melompat, melenting dan menahan serangan kiri dan kanan

guna membuka kepungan yang berlapis-lapis. Ketiganya bertempur

Page 82: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

74 Api Berkobar di Karang Sedana

sampai melindungi Anting Wulan yang sudah agak limbung

gerakannya. Hingga ketiganya tiba pada akhir kepungan, raden Seta

Keling dan Saka Palwaguna segera membimbing Anting Wulan, dan

kemudian bagaikan terbang mereka melesat meninggalkan arena

dengan aji Kidang Mamprung.

“Kurang ajar! Mereka berhasil melarikan diri,” Ki Demang

Suwanda mengumpat.

“Biarkan saja, Ki Demang. Mereka besok tidak akan

mengganggu kita. Karena saudaranya yang seorang berhasil dilukai

oleh adik Jagal Belo dengan pukulan beracunnya.” sahut Ki Darpo tak

acuh.

“Hmm, jika demikian kita akan mempergunakan waktu yang

tepat untuk kembali menyerang Karang Sedana. Siapkan

kelompokmu, Ki Darpo! Aku akan segera menyiapkan kelompokku.”

“Ya.”

Ki Darpo menjawab pendek.

***

“Ooh, aduh.”

“Tenanglah adik Wulan. Kami akan coba keluarkan racun ini

dari pundakmu. Duduklah…”

“Maaf, adik Wulan… Saya akan membuka baju bagian

atasmu.”

Page 83: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

75 Api Berkobar di Karang Sedana

“Wah, Kakang, lihat ! Racun itu agaknya sudah sampai ke

pinggang nya. Cepat hentikan!”

“Hentikan jalan darah di sekitar perutnya, sebelum hancur isi

perutnya. Aku akan melukai pusat pukulannya yang telah hitam legam

ini.”

“Aah, darah hitamnya tidak keluar, adik Saka.”

“Adik Wulan, angkat… Angkat lengan kirimu.”

“Aah… aduh… Tidak bisa Kakang.”

“Celaka, Kakang.”

“Hmm… menelungkuplah Wulan. Adik Saka, keluarkanlah

racun itu dengan tenaga dalammu.”

“Adik Wulan, bantu aku. Salurkan tenaga yang ku kirim ini

ke pusat lukamu. Ayo…”

Tanpa berpikir panjang lagi, Saka Palwaguna membuka baju bagian

belakang dari anting Wulan dan segera menempelkan kedua telapak

tangannya di bagian pinggangnya.

“Aaah, lihat Kakang. Agaknya usaha kakang Saka berhasil.

Racun nya sudah berada di pinggangnya perlahan-lahan naik lagi ke

arah pundaknya, Kakang.”

“Oh iya. Lihat itu, luka yang ku toreh dengan ujung

pedangku,… lihat semula tidak mengeluarkan darah. Tapi kini…

Lihat!”

“Oh, benar kakang. Kakang Saka berhasil. Darah yang

menghitam yang telah bercampur dengan racun itu keluar, Kakang.”

Page 84: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

76 Api Berkobar di Karang Sedana

“Terus adik Saka, adik Wulan. Kalian berhasil, darah itu

mulai keluar. Teruslah…”

“Celaka, Kakang. Agaknya adik Wulan sudah tidak kuat

lagi.”

“Tahan, adik Wulan. Sebentar lagi semuanya akan selesai.”

“Kakang! Wulan pingsan, Kakang.”

“Cukup! Cukup adik Saka. Darahnya telah memerah.

Racunnya sudah berhasil kau keluarkan. Istirahatlah adik Saka.

Kembalikan tenagamu. Adik Awuk, rapikan pakaian adik Wulan.”

“Tapi, Kakang… Eeh… aku… aku… Kakang sajalah. Aku

akan mencari angin di luar gua ini.”

“Biar… biar adik Saka. Kau istirahat saja, biar aku yang

melakukannya.”

Oh Dewata, entah apa yang terjadi dengan diriku? Anting Wulan

adalah adik seperguruan tapi yang kurasakan tidak hanya itu. Aku

merasakan sesuatu yang lain dalam hatiku tentang Wulan.

“Lho? Kakang kenapa diam saja? Rapikan baju adik Wulan,”

tegur Saka Palwaguna.

“Oh, iya-ya-ya. Adik Saka…”

“Bagaimana adik Wulan? Apakah kau masih merasakan

sesuatu di dalam tubuhmu?”

Page 85: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

77 Api Berkobar di Karang Sedana

“Terima kasih kakang. Kalian semua telah menyelamatkan

jiwaku.”

“Ah, tidak apa adik Wulan. Semua yang kami lakukan adalah

hal yang memang sudah seharusnya. Bagiku, kau sudah kuanggap

seperti saudara sendiri, demikian pula kakang-kakangmu yang lain.”

“Aah, iya adik Wulan. Pergaulan kita selama 8 tahun lebih di

padepokan Goa Larang merupakan buktinya. Bukankah kita sudah

diangkat anak oleh eyang guru Wanayasa?”

“Hmm, iya-ya. Benar adik Wulan.”

“Adik Wulan, coba… kau gerakan tangan dan kaki mu.

Ayo…”

“Ah, sudah bisa Kakang.”

Saka Palwaguna tertawa senang.

“Tapi seluruh tubuhku ini masih terasa lemah. Dan tenagaku

belum pulih kembali.”

“Ehh, beristirahatlah adik Wulan. Nanti pasti tenaga-mu akan

pulih kembali.”

“He-eh. Tapi Kakang…”

“He? Ada apa Wulan?”

“Bagaimana dengan Karang Sedana? Ah, bagaimana dengan

Karang Sedana? Kalian tidak bisa diam saja di sini, Kakang.”

“Eeh, tapi… bagaimana denganmu, Wulan? Kami tidak

mungkin meninggalkanmu sendirian di sini.”

“Kenapa tidak mungkin? Ingat, kita diperintahkan

meninggalkan Goa Larang adalah untuk membantu Karang Sedana.”

Page 86: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

78 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, tetapi jika keadaannya seperti ini, bagaimana mungkin?”

“Mungkin saja, Kakang! Tinggalkan aku di sini. Tempat ini

cukup aman untukku. Aku akan tinggal di dalam gua ini begitu kalian

pergi dan tak akan keluar lagi sampai kalian kembali.”

“Eee… tapi jika…”

“Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian, Kakang. Jika pasukan

pemberontak itu berangkat menjelang fajar, mereka akan tiba di

Karang Sedana tak lama lagi. Kakang Sudah terlambat. Tapi Kakang

masih dapat berbuat lain, menolong sang Prabu misalnya.

Berangkatlah, Kakang.”

“Baiklah jika begitu. Aku dan adik Dampu Awuk akan

berangkat. Biarlah adik Saka menemanimu disini.”

Anting Wulan mengangguk.

“Ayo, adik Awuk!”

“Ada apa adik Wulan? Apakah ada sesuatu yang membebani

pikiranmu? Kulihat sejak tadi, sejak kepergian kakang Seta dan adik

Awuk kau melamun dan kerap kali menarik nafas dalam-dalam.”

“Ah, tidak ada apa-apa kakang Saka.”

“Hmm?”

“Hanya… aku…. Aku merasa menjadi beban kalian saat ini.

Aku merasa karena aku kalian tidak dapat bahu-membahu berperang

di Karang Sedana.”

“Hehehe, masa kau sampai berpikir seperti itu, adik Wulan?

Aku tidak percaya. Kita sudah seperti saudara sendiri. Berjuang dan

Page 87: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

79 Api Berkobar di Karang Sedana

selalu membela. Seharusnya pikiran seperti itu, tidak ada lagi dalam

angan-anganmu.”

Kau benar, Kakang Saka. Akan tetapi bukan itu yang menjadi beban

pikiranku. Kemelut yang ada di dalam dadaku adalah justru karena…

“Ehh, adik Wulan… Masukklah ke dalam gua. Kau perlu

istirahat dan jangan berpikir yang tidak-tidak.”

“Kakang…”

“Ya?”

“Aku… aku tiba-tiba merasa haus. Aku ingin minum

kakang…”

“Haus? Ah, baiklah. Kau tunggu disini. Aku akan mencoba

mencari air untukmu.

“Cepatlah kakang…”

“Baiklah.”

Tanpa merasa curiga sedikitpun dengan keadaan Anting Wulan, Saka

Palwaguna segera melompat cepat untuk memenuhi permintaannya.

Sementara itu raden Seta Keling dan Dampu Awuk yang sedang

menuju ke kotaraja Karang Sedana, berlari dengan sangat cepatnya.

kedua kakinya dengan gerak Kidang Mamprung seakan-akan tidak

menyentuh bumi. Hingga beberapa saat kemudian, kedua orang murid

eyang resi Wanayasa tiba tak jauh dari gerbang kotaraja.

“Lihat, Kakang. Mereka telah berhasil menghancur-kan

gerbang kotaraja itu.”

Page 88: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

80 Api Berkobar di Karang Sedana

“Benar! Benar rupanya dugaan adik Wulan. Ayo kita lihat

segera keadaan sang Prabu.”

Keduanya mengelakkan serangan yang tiba-tiba muncul

menyerang mereka. Delapan orang pemberontak sudah mengayunkan

golok dan pedang ke arah mereka.

“Ayo, terus adik Awuk. Kita langsung ke istana cari sang

Prabu. Jangan layani mereka!”

“Hahahahaha, mau ke mana kau anak muda? Hooy, Jagal Pati,

Jagal Belo, Jagal Lanang hadapi dua anak muda sombong itu!

Pembunuh, perampok yang hendak mengaku satria.”

“Hey, apa maksudmu?”

“Bukankah kalian ini sesungguhnya perampok, dan

pembunuh juga seperti kami-kami ini? Hahahaha, memalukan! Masih

juga ingin mengaku sebagai satria.”

“Kakang, tiba-tiba saja aku jadi mencurigai orang ini,

Kakang!”

“Ayo, bunuh kedua orang ini. Cepat!”

“Sudah Awuk, jangan layani mereka. Tinggalkan tempat ini,

cepat. Biar aku yang melayaninya.”

“Adik Awuk, tinggalkan mereka. Kita langsung ke istana!

Cari Aji Konda!”

Seta Keling menjadi sangat gelisah melihat situasi yang

sangat berbahaya. Dia mengkhawatirkan sekali keadaan dari prabu Aji

Konda. Untuk itu dengan mengerahkan segenap kemampuan yang

ada, dia berusaha menahan serangan para tokoh pemberontak, dan

Page 89: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

81 Api Berkobar di Karang Sedana

memerintah Dampu Awuk untuk segera pergi melihat keadaan sang

Prabu.

“Ah, aku harus cepat tiba di istana Karang Sedana. Huh,

agaknya para prajurit Karang Sedana tidak dapat lagi menahan arus

serbuan para pemberontak. Mereka sudah tiba di istana sang Prabu.

Oh, itu dia sang Prabu di halaman istana, sedang dikepung belasan

orang.”

“Maaf, Tuanku. Kami datang terlambat.”

“Terima kasih anak muda, mana kawanmu yang lainnya?”

“Hahahaha, hei ceritakanlah pada tuanmu, bahwa kawanmu

yang seorang sedang mengubur salah seorang temannya.”

“Hah? Benarkah anak muda? Salah seorang kawanmu telah

terbunuh?”

“Tidak betul, Tuanku. Mereka berhasil melukai Anting Wulan

dengan racun. Tapi kami telah berhasil menyembuhkannya. Dan kini

dia sedang beristirahat, Tuanku.”

“Aarrhh! Pengkhianat, manusia licik! Kali ini aku akan

mengadu nyawa dengan kalian!”

Prabu Aji Konda semakin menjadi kalap mendengarkan berita tentang

Anting Wulan. Bagaikan banteng yang terluka, prabu Aji Konda

melancarkan serangannya tanpa memperhatikan pertahanan bagi

keselamatan jiwanya. Pukulan-pukulan maut dilancarkan pada Ki

Page 90: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

82 Api Berkobar di Karang Sedana

Suwanda. Beberapa saat kemudian pertempuran mereka meningkat

menjadi semakin cepat, mereka berloncatan saling menyerang dan

saling menghindar, desak mendesak. Hingga pada suatu saat, Ki

Demang Suwanda tidak dapat lagi menahan serangan dari sang prabu

Aji Konda yang melandanya bagaikan prahara.

“Terimalah ini.”

“Ayo, maju! Bunuh raja gila itu!”

“Semu maju, bunuh cepat Aji Konda!”

“Keadaan sang Prabu sangat mengkhawatirkan. Aku tidak

dapat berbuat banyak. Prajurit dan tokoh-tokoh dari golongan hitam

yang mengepungku, sedikitpun tidak memberiku kesempatan. Ya aku

harus meninggalkan arena ini.”

“Hamba datang, Tuanku.”

“Kakang Seta Keling, tiba!”

“Awas, jangan mendekat! Hujani anak itu dengan anak panah

dan tombak.”

Raden Seta Keling murid utama dari padepokan Goa Larang yang

telah memiliki ilmu Kincir Metu sampai pada tingkatan ke tujuh, kini

hanya nampak bayangannya saja. Tubuhnya berputar ringan bagaikan

gasing. Hujan anak panah dan tombak yang mengarah pada tubuhnya,

semuanya terpental patah sebelum menyentuh tubuhnya. Dan

perlahan-lahan putaran tubuh tersebut menuju mendekati Ki Suwanda,

Ki Darpo, dan Jagal Lanang, Jagal Belo yang baru saja datang.

Page 91: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

83 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ayo Ki Demang, kita kepung anak muda ini.”

“Berbahaya Ki Darpo! Pergunakan saja senjata lemparmu!

Aku akan mencoba pisau kecilku ini untuknya.”

“Sekarang ganti aku yang menyerang, manusia busuk!

Rasakan ini!”

“Bantu Ki Demang, cepat!”

“Jagal Lanang, bantu aku cepat!”

Demikianlah, serangan yang mulai dibuka oleh raden Seta Keling kini

kembali terhambat dengan hadirnya gegedug-gegedug 10 hitam.

Sedangkan pertempuran antara prabu Aji Konda nampak tak seimbang

lagi. Sang Prabu yang sudah mulai kelelahan hampir tak dapat lagi

menahan serangan dari para tokoh hitam. Pada saat yang sedang kritis

tersebut, dari arah kejauhan terdengar derap kereta kuda.

“Hidup Ki Sentana! Hidup Ki Sentana!”

“Ki Sentana tiba. Lindungi keretanya, Ki Darpo.”

“Hee? Belum selesai juga? Hehehehe.”

“Manusia ular! Kau masih mengenal siapa aku?!”

“Kenapa Konda? Tentu saja aku mengenalmu. Lama sekali

aku kerja membantumu. Tapi maaf, kau tidak bisa mengendalikan

pemerintahan di Karang Sedana. Jadi untuk itu aku merebutnya. Aku

ingin menyelamatkan Karang Sedana.”

10 Tokoh

Page 92: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

84 Api Berkobar di Karang Sedana

“Manusia licik ! Manusia busuk ! Kubunuh kau!”

“Heee, kenapa kau tidak bersikap lunak dan sopan padaku,

Konda? Mungkin aku dapat mengampunimu. Mengampuni

keluargamu.”

“Ah, Konda… Konda. Sudah… Sudah… hentikanlah.”

“Ki Demang, mundurlah. Aku masih ingin bicara

dengannya.”

“Baik, Tuanku.”

“Kenapa kau mundur, heh!? Ayo terus layani aku.”

“Konda… Konda… kuminta tenanglah. Dengarlah, demi

keselamatan keluargamu sendiri.”

“Jahanam! Babi ! Licik !”

“Ki Demang, bagaimana dengan keluarga kawanku ini?

Pertempuran sudah selesai, tapi aku tidak melihat mereka.”

“Hmm, maafkan kami. Kami tidak berhasil menemukan

mereka di seluruh bagian dari istana ini.”

“Hmm, agaknya kau sudah mempersiapkan jalan rahasia dari

istanamu ini, Konda.” Ki Suntana terkekeh penuh kemenangan.

“Konda, kau akan kulepaskan untuk bertemu dengan keluargamu,

asalkan kau mau menunjukkan simpanan harta kerajaan.”

“Persetan, kau tidak akan mendapatkan harta itu. Aku tidak

takut mati !” bentak prabu Aji Konda marah.

“Oow, begitu? Baiklah. Baiklah jika begitu. Ki Demang, kau

bisa berbuat sesukamu pada orang itu.”

Page 93: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

85 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baik, Tuanku. Akan segera hamba selesaikan manusia itu.”

Ki Sentana yang semula penasehat dalam Karang Sedana, penasehat

sang prabu Aji Konda kini berdiri tegak sambil memilin kumisnya

yang tipis. Memperhatikan jalannya pertempuran maut itu.

“Tahan kedua anak muda itu! Ayo, semuanya bantu kawan

kalian!”

Raden Seta Keling bersama Dampu Awuk kembali melibatkan diri

dalam pertempuran, berusaha untuk menolong sang prabu Aji Konda

yang nampak terdesak hebat.

“Terimalah ini !”

Sementara itu, jauh di pinggiran kerajaan Karang Sedana, Saka

Palwaguna yang sedang menemani Anting Wulan dengan tergesa dan

gelisah mencari air untuk minum Wulan.

“Masih cukup banyak air di sini. Aku harus segera

memberikan air ini pada Wulan. Dia nampak kehausan sekali.”

“Wulan, ini kubawakan air untukmu. Wulan… ini air yang

kau minta. Wulan?”

“Wulan? Kenapa kau? Apa yang terjadi denganmu?”

“Kakang, tubuhku… tubuhku terasa panas sekali. Aku haus

kakang. Beri aku minum.”

Page 94: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

86 Api Berkobar di Karang Sedana

“Celaka, Wulan. Agaknya racun itu belum tuntas keluar

semua.”

“Kakang, beri aku minum, Kakang...”

“Jangan, adik Wulan. Kau tidak boleh minum dalam keadaan

seperti ini. Biarlah aku akan mencoba menolong-mu. Maaf, kubuka

baju atasmu…”

“Aku harus melihat pusat lukanya. Celaka, luka kecil yang

dibuat kakang Seta untuk mengeluarkan racun, kini kembali

menghitam.”

“Wulan, bantu aku. Aku akan mencoba mengeluar-kan racun

ini dengan tenaga dalamku.”

“Aku tak kuat, kakang.”

“Ah, celaka. Tenagaku tak akan dapat kusalurkan dengan baik

tanpa bantuan dari Anting sendiri yang terluka. Oh, dewata… aku

harus melakukannya. Ya, tidak ada jalan lain, hanya itulah jalan satu-

satunya untuk menyembuhkan-nya.”

Karena khawatir akan keselamatan adik seperguruannya, yang

sekaligus sebagai saudara angkatnya, raden Saka Palwaguna tanpa

sungkan segera menempelkan mulutnya pada pundak Anting Wulan

yang menghitam legam karena pengaruh racun ganas dari Jagal Belo.

Berkali-kali Saka Palwaguna menghisap dan memuntahkan racun itu

dari mulutnya. Sampai akhirnya ketika racun itu telah terhisap semua,

Anting Wulan tersadar dari pingsannya. Dan gadis pendekar yang

Page 95: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

87 Api Berkobar di Karang Sedana

belum menyadari situasi, sangat terkejut saat merasakan dekapan dan

hisapan seorang laki-laki di tubuhnya.

“Kakang Saka! Kakang Saka! Apa yang baru saja kau lakukan

dengan diriku?” jerit Anting Wulan sembari mengibaskan tubuh Saka

Palwaguna.

“Wulan, aku… aku tidak melihat jalan lain lagi. Untuk

menolongmu. Aku tak dapat mengeluarkan racun itu dengan tenaga

dalamku, ketika kau menjadi pingsan. Jadi aku melakukan cara itu.

Wulan, maafkan aku, Wulan.”

“Aku… aku sebenarnya manusia yang tidak berbudi. Manusia

liar, kotor. Bukankah begitu, kakang Saka?”

“Tidak. Kau tidak bersalah Wulan. Kau tidak mengerti. Kau

baru tersadar dari pingsan. Jadi kau terkejut dan menjadi marah.

Siapapun akan memakluminya.”

“Bagaimana dengan pukulan tadi kakang? Apakah

melukaimu?”

“Tidak Wulan, hanya… ya masih terasa sakit sedikit.”

“Maafkan aku kakang Saka.”

“Sudahlah Wulan. Sekarang bagaimana dengan tubuh dan

tenagamu? Kurasakan tadi pukulanmu sudah berisi dengan tenaga.”

“Iya, kakang. Walaupun masih terasa lemah, tapi aku

merasakan sebagian tenagaku sudah pulih kembali, kakang.”

“Wulan, istirahatlah. Agaknya kau kini sudah sembuh benar,

tidak seperti sebelumnya.”

Page 96: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

88 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, kakang. Aku akan mencoba memulikan seluruh

tenagaku agar kita dapat segera menyusul kakang Seta dan kakang

Awuk…”

Ah, segar sekali kini tubuhku rasanya. Hmm, dimana kakang Saka?

Ah, itu dia. Agaknya dia juga banyak menguras tenaga dalamnya

selama dua kali menolongku. Ah, kakang Saka… tahukah kau, bahwa

selama ini aku mencintaimu, kakang? Tahukah kau bahwa selama ini

aku memendam rindu padamu? Ahh… Dewata,… jika tidak ada Intan

Pandini aku pun agaknya tak akan tahu perasaanku yang sebenarnya

pada kakang Saka. Aku selama ini ternyata begitu mencintainya. Aku

begitu cemburu melihat perhatiannya pada Intan Pandini. Oh…

bagaimanakah kakang? Bagaimana kah? Apakah kau juga

mencintaiku, kakang Saka?

Sementara itu, raden Saka Palwaguna yang juga sedang bersemadi

untuk memulihkan tenaganya, telah terjaga.

“Oh, kau sudah selesai Wulan? Bagaimana kini keadaan

tubuhmu?”

“Ah, sudah terasa jauh lebih baik, Kakang. Emm,… kakang

makanlah buah-buahan itu untuk menyegarkan tubuh Kakang.”

“Hee, Wulan? Darimana kau dapatkan ini?”

“Dari hutan kecil yang tak jauh dari goa ini.”

Saka Palwaguna tertawa senang.

“Cicipilah Kakang, maniiis sekali rasanya.”

Page 97: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

89 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, kau baik sekali Wulan. Terima kasih.”

“Kakang yang baik sekali. Kakang telah menyelamat-kan

jiwaku, dan aku… ah, aku tak tahu harus membalas bagaimana untuk

itu.”

“Ah, sudahlah. Jangan kau membicarakan budi di antara

sesama kita. Entah bagaimana nasib kerajaan Karang Sedana. Aku

khawatir gerbang utama sudah berhasil mereka hancurkan. Dan…

hancurlah sudah. Prajurit Karang Sedana tidak mungkin dapat

menahan serbuan dari pasukan pemberontak…”

“Ee, kakang Saka. Bagaimana kalau kita susul mereka

sekarang?”

“Jangan Wulan. Banyak yang sudah terjadi dalam setengah

hari ini. Belum tentu kita dapat menemukan mereka. Dan lagi kau pun

belum sembuh benar.”

“Tidak kakang. Kita harus segera menyusul mereka. Kita tak

dapat berdiam diri di sini sementara kakang Seta dan kakang Awuk

sedang menyabung nyawa dengan para pemberontak.”

“Ah, tapi…”

“Tidak! Kakang pun harus ikut bersamaku sekarang ke

Karang Sedana,” tegas Anting Wulan.

“Baiklah, Wulan. Mari.”

“Ah,bagus kakang. Mari kita berlomba, siapa yang lebih

dahulu tiba di sana.”

“Jangan Wulan, kau belum sembuh benar. Hemat saja

tenagamu untuk persiapan pertempuran di sana.”

Page 98: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

90 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kita lihat saja nanti di sana, Kakang!” seru Anting Wulan

sambil tertawa-tawa genit.

“Kakang! Bantu sang Prabu, Kakang!”

“Aduh, aku tak sempat lagi melompat ke sana.”

Pertempuran kelihatan semakin tak seimbang. Prabu Aji Konda sudah

tidak dapat mempertahankan kemantapan serangannya lagi. Demikian

pula dengan raden Seta Keling dan Dampu Awuk adik

seperguruannya sudah tidak dapat berbuat banyak dalam kepungan

para tokoh pemberontak.

Sementara itu Prabu Aji Panda yang sedang terkepung bersama

dengan Raden Seta Keling dan Dampu Awuk menjadi semakin

berbahaya keadaan mereka, hingga pada suatu ketika sang prabu Aji

Konda yang tak dapat lagi mempertahankan keseimbangan tubuhnya,

tak dapat meng-hindari serangan dari Ki Suwanda

“Aduhh,… Cepat! Cepat tinggalkan tempat ini anak muda!

Selamatkan dirimu! Oh, biarkanlah aku mati di halaman istanaku ini.”

Keadaan tiga orang yang terkepung pasukan pemberontak sudah

sangat memprihatinkan. Derasnya serangan dari segala penjuru

hampir tak dapat ditahan lagi. Goresan-goresan pedang yang

Page 99: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

91 Api Berkobar di Karang Sedana

memercikkan darah di tubuh Aji Konda mewarnai beberapa bagian

tubuhnya. Sampai ketika keadaaan mereka tak tertahankan lagi…

“Eeh, curang… Kalian curang! Mengeroyok beberapa orang

ini dengan puluhan prajurit dan tokoh-tokoh yang sudah mempunyai

nama di dunia hitam.”

“Heh! Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau memakai topeng?

Apakah memang kau seorang pengecut hina?!”

“Eeh? Heheheh,… Ki Sentana aku bukan seorang pengecut

hina, dan aku pun bukan seorang penghianat hina. Aku hanya ingin

mencoba meluruskan yang tidak benar. Menolong yang sangat

membutuhkan pertolongan.”

“Aah, Ki Suwanda!”

“Iya?!”

“Lepaskan topeng orang gila itu! Aku ingin tahu siapa dia.”

dengus Ki Sentana marah.

“Ooh,… silahkan. Silahkan.”

“Tuanku, kita akan segera pergi dari sini. Pegang tangan

hamba…” bisik orang bertopeng pada sang Prabu.

“Serang mereka semua!”

“Terima kasih anak muda, atas semua bantuanmu pada

Baginda. Selamatkanlah dirimu, aku segera pergi !”

“Kejar orang itu, jangan biarkan dia lolos membawa sang

Prabu!”

Page 100: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

92 Api Berkobar di Karang Sedana

Kedatangan laki-laki bertopeng hitam benar-benar telah mengubah

suasana di taman istana Karang Sedana. Kepungan yang semula ketat,

kini mulai berantakan. Bentakan dari laki-laki bertopeng itu amatlah

hebatnya. Dengan beberapa kali melenting sambil membawa tubuh

sang Prabu, laki-laki misterius itu sudah keluar jauh dari kepungan.

Dan Seta Keling serta Dampu Awuk memanfaatkan situasi itu.

“Awas kejar terus, jangan biarkan lagi mereka lolos. Ayo

kalian juga kejar kedua anak muda itu. Aku menghendaki mereka,

hidup atau mati !”

“Ampun, Ki… mereka semua berhasil melarikan diri prajurit

dan tokoh-tokoh pilihan yang mengejar juga tak berhasil menemukan

mereka.”

“Kurang ajar! Babi bodoh kalian semua! Perintahkan lakukan

pengejaran. Cari dan temukan Aji Konda dan keluarganya sekalian.

Tebar orang kalian sekarang juga. Mereka akan menerima hadiah

mereka setelah aku menerima kabar tentang Aji Konda!”

“Baik, Ki… Baik. Akan saya sebarkan prajurit untuk

melakukan penyelidikan.”

“Dan kedua anak muda itu lari ke arah sana, ke tengah

kotaraja. Cari dan bunuh kedua anak itu!”

“Baik, Tuanku… Ki Darpo! Kau bersama orang-orangmu,…

Jagal Pati,… Jagal Lanang dan Jagal Belo, dan beberapa kawan

lainnya pergi mencari Aji Konda. Dan aku akan meminta beberapa

Page 101: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

93 Api Berkobar di Karang Sedana

orang perwiraku untuk mencari dan menangkap kedua anak muda itu

di dalam dan di sekitar kotaraja ini.”

“Berangkatlah, segera!”

“Ki Sentana… Eh sekarang Tuan sudah berhasil. Karang

Sedana sudah berada ditangan Tuan. Silahkan ambil Singgasana itu!”

“Hmm, tapi Ki Demang… Aku tidak akan bisa tenang duduk

di tahta Karang Sedana, selama aku belum dapat menangkap atau

membunuh Aji Konda.”

“Tuan bisa melakukannya sambil membina dan mencari

tambahan pengikut baru. Lakukan segera karena yang Prabu Sora

mungkin sebentar lagi akan menagih imbalan dari bantuannya yang

sekarang ini.”

“Hmm,… katakanlah pada Ranghyang Prabu Sora… Aku

ingat semua janjiku. Segera setelah beliau memerlukan bantuan

sejumlah besar tentara, aku akan menyiapkan dan mengirimkannya.

Tetapi kuharapkan pasukan Indra prahasta jangan dulu kau tarik. Aku

masih memerlukanya sementara ini untuk membina keamanan.”

“Baik-baik,… Ki Suntana.”

“Ki Suwanda, sebentar lagi aku akan menobatkan diri sebagai

kepala pemerintahan Karang Sedana yang bergelar Prabu Jaya

Sentana. tolong sampaikan ini padanya kelak….”

“Tunggu dulu adik Wulan, berhenti dulu. Agaknya

pertempuran sudah selesai. Jangan sembrono. Kita harus mencari tahu

terlebih dahulu situasi di dalam.”

Page 102: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

94 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tetapi, Kakang… Bagaimana nasib kakang Seta dan kakang

Awuk?”

“Ya, kita akan mencari tahu. Tetapi tetap harus berhati-

hati…”

“Hmm! Jika sampai terjadi sesuatu dengan kedua Kakang-ku,

aku akan membuat perhitungan khusus dengan mereka, Kakang Saka.

Akan kubakar mereka yang mencelakakan dan membuat susah

Kakang-ku!”

“Sudahlah, adik Wulan… bukan mengumbar amarah-mu

yang perlu kita lakukan saat ini. Tetapi berpikir tenang.”

“Berpikir tenang di sini? Tanpa berbuat sesuatu?!”

“Tentu saja kita kan berbuat sesuatu. Kita kaan bertindak, tapi

tidak dengan sembrono. Dengarlah adik Wulan… kau rapikan

rambutmu dan pakai ikat kepalamu. Aku khawatir mereka akan

langsung mengenalmu.”

“Tapi, mereka juga akan mengenal Kakang!”

“Iya, mereka dapat mengenalku. Tapi mereka pasti akan lebih

mengenalmu, karena kau Wanita. Nah, ikat baik-baik rambutmu. Aku

ingin kau kelihatan seperti laki-laki, agar tidak terlalu menarik

perhatian.”

“Hmm!? Demi untuk kedua Kakang-ku, kulakukan ini. Jika

tidak, aku lebih senang mencukil mata laki-laki kurang ajar daripada

menghindar seperti orang ketakutan.”

Page 103: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

95 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kita bukanlah takut, Wulan. Tapi seperti katamu tadi. Untuk

kepentingan Kakang Seta dan adik Awuk. Hmm, alismu sedikit

pertebal dan kulit wajahmu jangan seputih dan sehalus itu.”

“Iya, sebentar Kakang…”

Setelah menyiapkan penyamarannya, Anting Wulan dan Saka

Palwaguna yang justru mengurai rambutnya yang semula di gelung11

benar-benar tak dapat dikenali lagi. Dengan jalan yang dibuat-buat,

keduanya justru tak beda lagi dari orang desa orang yang ketakutan

pada para prajurit.

“Wulan, kendalikanlah dirimu. Jangan berbuat hal-hal yang

dapat merusak rencana kita untuk mencari tahu keadaan di dalam

kotaraja”

“Iya, aku mengerti Kakang.”

Dengan tertatih ketakutan, mereka tiba di pintu gerbang bersama

dengan beberapa orang penduduk yang juga ingin masuk. Akan tetapi

penjagaan di gerbang hanya ditujukan pada mereka yang ingin keluar

dari kotaraja. Dengan demikian kedua remaja itu berhasil memasuki

gerbang kotaraja Karang Sedana dan beberapa saat kemudian mereka

jauh dari halaman istana.

11 Sanggul.

Page 104: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

96 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, tidak ada sesuatu yang dapat kita jadikan petunjuk

dimana adanya kakang Seta dan kakang Awuk. Apa yang akan kita

lakukan kemudian?”

“Kita harus dapat mencari tahu di sini. Oya, kau ikutlah

aku…”

“Kemana kakang?”

“Wulan, kau ingat gadis yang kita tolong itu? Ayo…”

“Baiklah, kita ke rumah gadismu!”

“Hee?! Kau… kau masih bisa bercanda dalam situasi seperti

ini?”

“Heeh, kakang juga masih dapat teringat pada Intan Pandini

pada saat seperti ini!”

“Sudahlah, adik Wulan. Ayo kita cepat ke sana. Awas, hati-

hati prajurit yang sebelah kananmu, memperhatikan-mu.”

“Baik, Kakang.”

Setelah beberapa saat berjalan dengan dipimpin oleh Saka

Palwaguna yang memang telah mengenal daerah itu, maka Anting

Wulan dan Saka Palwaguna pun tiba di sebuah rumah yang cukup

besar. Mereka segera memasuki pekarangannya yang luas. Dengan

mengetuk pintu besar dihadapannya, mereka memberi salam.

“Sampurasun… sampurasun…”

Tidak butuh waktu yang lama, salam mereka mendapat

jawaban dari seorang pemudi cantik yang membukakan pintu dengan

segera.

Page 105: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

97 Api Berkobar di Karang Sedana

“Rampes… Siapakah tuan? Hendak mencari siapa?”

“Intan, Apakah kau sudah tidak mengenali aku lagi?”

“Hmm, kakang Saka? Ah, tentu ini Anting Wulan.”

“Intan, dimana pamanmu?”

“Ada, Paman dan Bibi ada di belakang, sedang berbincang-

bincang dengan para tetangga.”

“Di belakang?”

“Iya, di kamar kecil di pintu belakang.”

“Siapa itu yang mencariku, Intan?”

“Oh, Paman… Kakang Saka yang dahulu mengantar kan aku.

Ini dia bersama kawannya… eeh?”

“Panuluh! Kawan saya namanya Sada Panuluh.”

“Ih, Kakang Saka?”

“Ya, Sada Panuluh adalah tetanggaku di Banyuanyar.”

“Eeeh, apa maksud kalian berkunjung dalam suasana seperti

ini?” bertanya orang tua paman si pemudi cantik.

“Justru itu, saya menjadi bingung melihat situasi yang tiba-

tiba saja menjadi seperti ini. Seakan-akan baru saja terjadi perang

besar.”

“Anak muda, aku Ki Cangkara tak ingin karena kedatangan

kau kemari jadi berurusan dengan para prajurit pemberontak.”

“Prajurit pemberontak?”

“Ya. Siang tadi Karang Sedana sudah jatuh ke tangan para

pemberontak.”

Page 106: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

98 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ahh, kasihan sekali sang Prabu. Jika ia tidak mati dalam

pertempuran, tentu ia akan digantung bersama para pengikutnya serta

keluarganya.”

“Tidak… tidak. Sang Prabu serta keluarganya berhasil

melarikan diri.”

“Melarikan diri?”

“Ya. Dan kini para prajurit dan pengikut pemberontak sedang

berusaha mengejarnya. Keadaan di kotaraja saat ini sangat rawan,

anak muda. Tidak sembarang orang diperbolehkan meninggalkan

kotaraja dengan mudah.”

“Jika demikian, tinggallah di sini, kakang Saka, kakang… eeh

kakang Panuluh.”

“Dasar anak bodoh! Para prajurit pemberontak itu sebentar

lagi akan mengadakan pemeriksaan di setiap rumah.”

“Pemeriksaan?”

“Ya, mereka akan mencari dua anak muda pengikut sang

Prabu Aji Konda yang berhasil melarikan diri.”

“Dua orang pengikut Aji Konda?”

“Ya, orang anak muda yang berkepandaian tinggi menurut

prajurit pemberontak tadi di belakang.”

“Paak… paak… mereka datang, pak. Mereka datang!”

“Siapa mereka, pak?”

“Dia kakang Saka, Bi… Yang menolongku.” Intan Pandini

yang menjawab.

Page 107: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

99 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ooh. Pak… mereka… mereka sedang menuju kemari, Pak.

Rumah Ki Sentul di ujung jalan ini sudah… sudah dimasuki

pemberontak itu, Pak.”

“Hmmm, celaka! Celaka anak muda. Celaka… kau harus

segera pergi meninggalkan rumahku, sebelum aku digantung karena

kehadiranmu.”

“Ah, kenapa begitu Paman? bukan kedua Kakang yang

menolongku ini tidak bersalah?”

“Ah, sudahlah Intan. Biarlah kami segera pergi dari sini.”

“Tunggu dulu anak muda, tunggu dulu. Pak,… bagaimana

jika para prajurit itu melihat mereka keluar dari rumah kita, Pak?

Justru keadaan kita akan menjadi semakin berat. Kita tidak dapat

menjelaskan kejadian yang sesungguhnya tentang kedua anak muda

ini.”

“Huh, baiklah anak muda. Aku terpaksa menerima kalian di

sini. Dan di hadapan para prajurit pemberontak nanti, kau akan ku akui

sebagai kemenakanku.”

“Buka! Buka pintu!”

“Ah itu dia mereka sudah datang, Bu. Ayo cepat bukakan

pintu.”

“Pak, aku takut pak. Aku takut Pak. Ayo kita sama-sama

menemuinya Pak.”

“Ya, sebentar Tuan. Kami datang.”

“Kenapa lama kali kau bukakan pintu untuk kami, heh!?”

Page 108: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

100 Api Berkobar di Karang Sedana

“Maaf Tuan. Kami sedang berbicang di dalam dengan

kemenakan kami. Eh, di dalam sana cukup jauh dari sini, Tuan.”

“Hmm, yaa… Rumahmu cukup bagus Ki Sanak. Kau seorang

saudagar?”

“Ooh, tidak Tuan. Saya hanya seorang pedagang… Ya,

pedagang kecil. Nama saya Ki Cangkara dan semua penduduk di sini

tahu saya orang baik-baik Tuan.”

“Cepat geledah, dan periksa isi rumah ini !”

Wijaya yang merupakan pimpinan prajurit pemberontakan yang

sesungguhnya adalah seorang perwira dari kerajaan Indraprahasta,

segera memerintahkan enam orang anak buahnya untuk memeriksa

semua bagian dari rumah Ki Cangkara.

“Siapakah mereka ini, Ki Cangkara?”

“Mereka adalah kemenakan saya, Tuan.”

“Ketiga-tiganya?”

“Ya, ketiga-tiganya, Tuan.”

“Hmm, lalu di mana anakmu?”

“Eeh, saya tidak mempunyai anak, Tuan. Sehingga saya

memelihara mereka seperti anak saya sendiri.”

“Hmm, aku sedang mencari dua orang pelarian, dua orang

anak muda yang sakti dan tampan. Hmm, yaa… memang tidak bodoh

seperti dua orang kemenakanmu,” tiba-tiba Wijaya memukul Saka

Palwaguna.

Page 109: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

101 Api Berkobar di Karang Sedana

Raden Saka, orang kedua Ning Sewu tentu dapat saja

mengelakkan serangan itu dengan amat mudah. Tapi mengingat

situasi dan rencana untuk tetap menyelidiki keadaan maka dia

menerima pukulan itu dan berlagak mengaduh. Nyi Cangkara sampai

terpekik melihatnya.

“Jangan Tuan. Jangan… Kenapa Tuan memukul kemenakan

saya, Tuan?”

“Huh, aku mencurigai mereka. Tapi aku telah salah duga,

agaknya mereka benar-benar orang bodoh.”

“Iya. Iya Tuan. Mereka adalah orang bodoh. Eh Saka,

Panuluh… minta maaflah kepada Tuan prajurit ini.”

“Maafkan saya tuan-tuan prajurit…”

“Panuluh, kau telah menimbulkan kecurigaan dari Tuan

prajurit ini…”

“Tidak! Aku tidak akan meminta maaf !”

Semua yang berada di ruang dalam rumah Ki Cangkara terkejut bukan

buatan mendengar pernyataan dan sikap dari Panuluh yang

sesungguhnya adalah Anting Wulan. Tidak terkecuali Saka

Palwaguna, kakangnya. Paman Cangkara dan istrinya menjadi pucat

dan ketakutan. Sedangkan Wijaya, pimpinan prajurit yang berkumis

lebat itu menggeram marah.

“Wulan, apakah kau ingin menyusahkan paman Cangkara?”

bisik Raden Seta Keling.

Page 110: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

102 Api Berkobar di Karang Sedana

“Anak setan! Kukatakan kau harus meminta maaf lah pada

tuan Prajurit ini. Sebelum dia menjadi marah!” Ki Cangkara

membentak keponakannya yang baru beberapa saat saja diakuinya itu.

"

“Kakang Panuluh, mintalah maaf padanya.” kali ini Intan

Pandini yang berusaha membujuk Anting Wulan.

“Tidak, aku tidak akan meminta maaf! Sedikitpun aku tidak

salah!”

“Huh! Agaknya anak ini benar-benar tidak takut mati, Ki

Cangkara! Jangan salahkan kami, jika kami keluar dengan

meninggalkan bangkai di tempat ini !”

“Tuan prajurit, anak itu memang bersalah tapi …”

“Iya, eh… janganlah ia dibunuh Tuan…”

“Diam! Aku berbuat kasar adalah karena ulah dari

kemenakanmu sendiri!” masih dengan suara keras orang itu menyuruh

anak buahnya, “Hai Subang! Tangkap anak muda kurus dan kurang

ajar itu. Dan paksa dia berlutut di hadapanku!”

“Baik Tuan! Hei anak muda, ayo cepat berlutut sebelum

kubenturkan kepalamu di lantai secara paksa!”

“Aku lebih suka jika kau mau membenturkan kepalaku. Ayo,

silakan.” tantang Anting Wulan dengan sikap meremehkan.

“Eh? Kurang ajar bocah gelo12. Kupatahkan tangan mu!”

12 Gila, Sinting

Page 111: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

103 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ayo lepaskan tanganku, dan benturkan kepalaku.” tantang

Anting Wulan dengan tenang, setelah menghindari sergapan prajurit

itu dan dengan langkah-langkah ringan malah berhasil menelikung

tangan si prajurit.

“Lepaskan tanganku jika kau berani bocah gelo!” maki

prajurit itu.

“Ayo, bunuh bocah itu !” seru si pemimpin pasukan itu setelah

melihat anak buah suruhannya tak berdaya dengan tangan tertelikung

oleh Anting Wulan.

“Nah, menggelindinglah kau sobat !”

“Ayo cepat bunuh anak itu, goblok!”

Segera saja beberapa orang prajurit lainnya mengayunkan pedang

mereka ke arah Anting Wulan yang dengan ringan menghindarinya

dengan berputar dan dari balik putaran itu segera mendorongkan

tubuh-tubuh prajurit yang segera limbung karena serangannya tidak

mengenai sasaran. Mereka jatuh bergedebukan, tapi dengan sigap

yang lainnya kembali menyerang dan membentak, “Mampus kau!”

“Kau harus mempertanggung jawabkan semua ulah

kemenakanmu, Ki Cangkara!”

“Tapi… tapi Tuan, mereka…”

“Ki Cangkara, kau tidak perlu khawatir. Kau tidak

bertanggung jawab atas semua perbuatan kami. Kamilah yang harus

mempertanggung jawabkan sendiri semua yang kami perbuat.”

Page 112: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

104 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kau… kau… kedatanganmu benar-benar menyusah kan

kami. Tundukkan kepalamu, anak muda!” Ki Cangkara yang makin

panik dengan ancaman kepala prajurit itu mencoba memperbaiki

keadaan dengan menjitak kepala raden Seta Keling yang mulai

bangkit menengadah.

“Paman, jangan pukul kakang Seta. Jangan paman.”

“Kau, kau membela anak muda yang sudah menyusahkan

kita? Minggir kau!”

“Panuluh, cepat bereskan lawan-lawanmu!”

Anting Wulan yang sejak tadi asyik mempermainkan lawan-

lawannya, mendengar perintah dari Saka Palwaguna kakak

seperguruannya segera melaksanakannya. Gerakan nya yang semula

disesuaikan dengan kemampuan lawannya menjadi berubah. Gerak

kedua tangannya bekelebat cepat sambil membawa angin yang

menderu-deru.

“Kurang ajar! Agaknya kaulah kawan dari orang-orang yang

kami cari itu.”

“Maaf, aku tidak ada waktu untuk bermain-main denganmu.”

“Celaka, anak muda. Apa yang kau perbuat ini akan

menyusahkan kami. Eeh, jangan… jangan ganggu mereka.”

“Dengar perempuan tua, dan kau laki-laki pengecut!

Duduklah kalian di sana, cepat! Disana! Dengar, jangan ada yang

bergerak selama aku mengadakan pemeriksaan pada prajurit-prajurit

ini. Jika ada satu di antara kalian yang membuat gerak mencurigakan,

akan kubunuh kalian berdua!”

Page 113: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

105 Api Berkobar di Karang Sedana

Intan Pandini yang mendengar ancaman Seta Keling itu,

menjadi ketakutan. “Jangan…” jeritnya.

“Dan kau Cah Ayu, diamlah! Diamlah kau ditempat-mu dan

jangan membuat pemeriksaanku terganggu!” bentak Seta Keling yang

disusul dengan gelak tawanya. “Kelak, jika aku mempunyai

kesempatan aku akan datang kembali menemuimu. Duduklah yang

baik disitu. Hahaha.”

Ah, kakang Seta mengerdipkan matanya padaku. Agaknya dia

sedang membuat suatu rencana. Intan Pandini pun segera memahami

sikap kasar Seta Keling padanya.

“Nah, aku akan segera mematahkan tangamu begitu kau tidak

segera menjawab pertanyaanku, atau kau tidak memberikan jawaban

yang memuaskan hatiku.”

“Kau akan segera mampus di kotaraja Karang Sedana ini,

anak muda! Kau tidak akan dapat lolos dari sini. Sebentar lagi kawan-

kawanku akan datang kemari, mencariku.”

“Hahaha, dengar! Aku tidak memerlukan kalimat itu dari

mulutmu.”

“Lepaskan aku! Lepaskan…”

“Pertanyaan pertama dariku… Dimana kini prabu Aji Konda

berada?”

“Iya… iya lepaskan tanganku anak muda. Aji Konda sudah

tidak ada di sini. Seseorang yang tak dikenal telah menolongnya.

Seorang laki-laki bertopeng hitam.”

Page 114: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

106 Api Berkobar di Karang Sedana

Saka Palwaguna mendengus, “Hemm, Iya. Bagus. Pertanyaan

kedua. Siapa sebenarnya yang sedang kalian cari kali ini?”

“Dua orang muda yang kira-kira sebaya denganmu. Mereka

berhasil meloloskan diri dari kepungan ketika datang laki-laki

bertopeng.”

“Hm, ya. Bagus! Sekarang pertanyaan terakhir. Siapakah

kalian sebenarnya? Dari pasukan mana kalian?”

“Eeh… Galuh. Kami adalah rakyat biasa yang dilatih untuk

berperang.”

“Haaah! Kalian bohong!”

Raden Saka Palwaguna segera menggerakkan tangannya

memperkuat telikungannya.

“Aah,… aku berkata sebenarnya.”

“Kupatahkan tanganmu!”

“Aahhh, aku… baiklah… baiklah.”

Baru saja Saka Palwaguna akan mendapatkan keterangan dari Ki Jaya

yang sudah tak tahan mendapatkan siksaan darinya, pintu belakang

rumah Ki Cangkara digedor oleh prajurit pemberontak.

“Celaka, mereka datang Wulan. Kita harus segera tinggalkan

tempat ini.”

Segera sebelum para prajurit dari Ki Demang Suwanda tiba dan

mempersulit keadaannya, Saka Palwaguna dan Anting Wulan

melenting tinggi ke atas atap. Dan…

“Hahaha, terima kasih Ki Cangkara atas bantuanmu. Semoga

kau digantung oleh para prajurit pemberontak itu.”

Page 115: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

107 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kakang, apa sekarang yang akan kita lakukan?”

“Kita akan meninggalkan kotaraja ini, dan kembali menuju

kakang Seta Keling.”

“Tapi, bukankah kakang Seta Keling dan kakang Dampu

Awuk belum kita temukan?”

“Tidak perlu. Kakang Seta sudah berhasil melepaskan diri

dari kepungan mereka. Pasti dia dan Dampu Awuk akan dapat

meloloskan diri dari kotaraja. Ayo cepat, hari sudah mulai senja. Kita

harus segera tiba di gerbang sebelum berita dari rumah Ki Cangkara

tiba di pusat.”

“Iya, benar Kakang. Kita akan kesulitan keluar dari kotaraja

ini. Eeh, tapi… tapi Kakang… perbuatanmu tadi…?”

“Ah, Wulan. Aku terpaksa melakukan itu. Demi keselamatan

mereka. Biarlah mereka membenci kita asalkan mereka dapat selamat

dari tuduhan para prajurit pemberontak itu. Ayo, cepat Wulan.”

Dengan tanpa membuang waktu lagi, kedua remaja dari padepokan

Goa Larang itu segera menuju ke gerbang kotaraja Karang Sedana.

Dan di muka gerbang tersebut telah menunggu belasan tokoh dari

golongan hitam, puluhan prajurit dan beberapa perwira dari pasukan

Ki Suwanda. Akan tetapi ketika beberapa orang tokoh mengerumuni

dan mulai menaruh kecurigaan, Saka Palwaguna dan Anting Wulan

segera menyerang dengan tiba-tiba. Dan kemudian melompat

Page 116: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

108 Api Berkobar di Karang Sedana

membabat dan menyerang para prajurit yang menjaga pintu gerbang

dengan cepat.

“Wulan, kita akan tinggalkan tempat ini, cepat!”

Kedua remaja itu tanpa membuang waktu lagi segera mempergunakan

kesempatan yang berada di depannya. Tekanan dari lawan-lawannya

yang belum dirasakannya berat dimanfaatkan untuk segera

mengeterapkan aji Kidang Mamprung nya. Dan beberapa saat

kemudian keduanya sudah jauh meninggalkan lawan-lawannya.

***

Sementara itu, jauh diluar batas kerajaan Karang Sedana, empat orang

yang berpakaian lusuh dan kelihatan letih berjalan dengan langkah

tertatih-tatih. Keempat orang itu adalah Rara Angken sang permaisuri

dari Karang Sedana bersama dengan putranya Raden Angling

Purbaya. Cempaka pengasuhnya, dan Hulubalang Karewang yang

mendapat tugas dari prabu Aji Konda untuk membawa dan

menyelamatkan mereka hingga ke gunung Sawal.

“Paman Karewang, masih berapa lama lagi kita tiba di gunung

Sawal?” tanya Rara Angken dengan napas memburu.

“Oh, Tuanku. Kita belum lagi menyelesaikan separuh dari

perjalanan, Tuanku. Kita baru saja keluar dari perbatasan Karang

Sedana, Tuanku,” sahut Hulubalang Karewang dengan penuh iba.

“Oh, begitu jauhkah perjalanan ke sana, paman?”

Page 117: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

109 Api Berkobar di Karang Sedana

“Benar Gusti. Akan tetapi hamba akan mencoba mempercepat

perjalanan kita dengan kuda, Tuanku. Kita nanti dapat mencari kuda

di desa yang kita temui, Tuanku.”

“Ah, tidakkah itu akan membahayakan kita, Paman?”

“Memasuki desa…?” Cempaka turut pula menyatakan

kekhawatirannya.

“Hamba kira tidak akan terjadi sesuatu yang akan

membahayakan kita. Kita kini sudah diluar batas kerajaan Karang

Sedana.”

“Oh, bagaimana Purbaya? Apakah kita beristirahat dulu atau

terus saja?”

“Ananda masih kuat, Bunda. Jika Bunda belum merasa lelah,

dapat Bunda teruskan perjalanan kita.”

“Bagus anakku. Eh, mari kita teruskan perjalanan kita,

Cempaka. Mari paman Karewang.”

“Eh, tunggu dulu Tuanku. Lihat di sana itu. Dua orang

berkuda agaknya sedang menuju ke arah kita, Tuanku.”

“Siapakah mereka itu, paman? Apakah mereka pasukan

pemberontak yang mungkin mengejar kita?”

“Ah, mereka memberi tanda pada kita untuk berhenti,

Tuanku.”

“Heh! Siapakah kalian? Mengapa kalian sampai ada di sini?”

“Eeh, kami adalah penduduk desa di pinggiran kerajaan

Karang Sedana, Tuan. Kami sedang dalam perjalanan menuju…

menuju gunung Sawal, Tuan.”

Page 118: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

110 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, gunung Sawal…”

“Iya.”

“Baiklah. Tapi mengapa kalian bisa sampai di hutan ini? Dan

bukankah kalian bisa mempergunakan jalan lain yang lebih aman dari

pada melalui hutan ini?”

“Kami sengaja mengambil jalan pintas. Agar dapat lebih cepat

tiba di sana, Tuan.”

“Hmm, apa benar kalian bukan penduduk Pandan Sari?”

“Eh, Pandan Sari? Desa manakah itu?”

Orang itu terkekeh.

“Hehehehe, aku curiga sekali pada kalian. Apung, coba kau

periksa mereka.”

Orang yang bernama Apung itu pun terkekeh, “Hehehe, iya-

iya Ki Podang. Mereka mencurigakan sekali. Mereka pasti penduduk

Pandan Sari yang melarikan diri. Dan mereka pasti membawa lari

harta mereka. Ayo, tunjukkan semua bungkusan yang kalian bawa.

Ayo!”

“Tunggu! Tunggu! Kau tidak bisa berbuat semaumu saja,

Kawan. Aku tidak mengijinkan kau menyentuh seorangpun yang jalan

bersamaku ini.”

“Aki, lihat Aki ! Orang ini berani melawan pada kita. Eh,

boleh ku hajar tidak?”

“Lakukan sesuka hatimu. Laki-laki kurang ajar itu harus di

hajar Apung! Tapi jangan kau ganggu anak kecil dan wanita itu.”

Page 119: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

111 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, iya Aki. Apung mengerti.” Lalu laki-laki yang bernama

Apung itu mendatangi Karewang. Katanya, “Heh, Sobat! Aki Podang

telah mengijinkan aku untuk memotong lidahmu yang sangat kurang

ajar itu.”

Lelaki bernama Apung itu mencabut sebilah pedang dari

pinggangnya.

“Hehehe, lihat sobat pedangku ini. Setiap pagi dan sore, dia

selalu kuasah dan kumandikan dengan air kembang.”

“Apung! Ayo jangan bicara saja! Dapatkan orang itu!”

“Iya… iya. Nah kini lidahmu itu. Darah dari lidahmu itu yang

akan memandikannya. Awas, jaga serangan pedangku ini !”

Laki-laki tinggi kurus berwajah bagai kanak-kanak itu kemudian

menyerang Karewang dengan sapuan pedangnya yang berkelebat ke

kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Akan tetapi serangan dari

laki-laki tinggi kurus yang bertubi-tubi itu bagi Karewang hanyalah

gerakan-gerakan kasar dari seorang yang baru memiliki dasar dari

gerakan silat. Oleh karena itu beberapa saat kemudian Karewang

sudah berhasil melemparkan Apung keluar dari arena pertempuran.

“Heh-heh, kurang ajar! Rupanya kau seorang yang cukup

berilmu. Pantas kau berani melarikan diri dari Pandan Sari. Sekarang

kau hadapilah aku!”

“Hey, aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Tapi kau tidak

juga mau percaya. Ayo, baiklah. Silakan kau maju.”

Page 120: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

112 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm! Sombong sekali kau! Rasakanlah pukulan tanganku

ini!”

Dengan menggeram marah Aki Podang menyerang

Karewang. Agaknya aku tidak akan berhasil mengalahkan nya,

benaknya berkata. Maka segeralah dia berteriak pada Apung.

“Apung! Beri tanda kawan-kawan agar segera mereka datang.

Gunakan panah apimu!”

“Baik, Aki”

“Celaka, mereka akan memanggil kawan-kawannya. Aku

harus segera membereskan orang ini.” Karewang tersentak mendengar

teriakan Aki Podang itu.

Aki Podang yang mulai terdesak dan mulai beberapa kali terkena

pukulan dari Karewang tetapi tetap terus menerjang Karewang.

Sementara itu Apung melepaskan panah api ke angkasa.

“Celaka Aki… Celaka Aki Podang sudah tidak dapat

melawannya lagi. Aku harus cepat meninggalkan tempat ini.” pikir

Apung ketakutan.

“Aku menyerah, kawan. Aku menyerah. Jangan bunuh aku.”

Sesaat Karewang yang melihat dan membiarkan Aki Podang

terbirit-birit menuju kudanya itu berpikir. Lalu dia berbisik segera

pada Rara Angken.

Page 121: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

113 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tuanku,… tuanku harus segera pergi dari tempat ini dengan

kuda itu, Tuanku.” katanya.

“Eh, tunggu dulu Aki Podang.”

“Aduh, mau apa kau lepaskan kudaku? Aku ingin kembali ke

Pandan Sari. Lepaskan kudaku.”

“Ayo! Turunlah Aki Podang!” bentak Karewang.

Aki Podang terbanting ke tanah, dibetot oleh Karewang yang

tidak ingin membuang-buang waktu.

“Nah, sekarang naiklah Tuanku. Kuda ini cukup besar untuk

dinaiki bertiga, Tuanku.”

“Lalu,… bagaimana dengan kau sendiri, Karewang?”

“Hamba akan berusaha menahan mereka, yang akan segera

datang...”

Aki Podang tertawa sinis. “Kalian terlambat, kawan-kawanku

sudah datang. Lihat!”

Karewang sangat terkejut ketika melihat debu yang mengepul dari

kejauhan, dari arah desa Pandan Sari. Karena itu, tanpa pikir panjang

disambarnya junjungannya sang permaisuri Rara Angken untuk

dinaikkan segera ke atas kuda, dan kemudian raden Purbaya serta

Cempaka. Tanpa membuang-buang waktu lagi dihentaknya tali

kekang kuda itu.

Page 122: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

114 Api Berkobar di Karang Sedana

Sementara itu derap kuda dari arah desa Pandan Sari semakin

mendekat. Dan Hulubalang Karewang mementang dada menunggu

rombongan berkuda itu datang.

“Pegang kuat-kuat tubuhku, Cempaka!”

“Ibu, agaknya kuda ini sudah tak kuat lagi. Kasihan dia.”

“Kita harus pergi sejauh-jauhnya, Purbaya. Mereka adalah

orang-orang jahat yang suka membunuh.”

“Bunda,… Bunda,… apakah sudah benar arah yang kita tuju

ini?”

“Iya, paman Karewang mengatakan kita menuju ke sana.”

“Bagaimana Bunda, apakah Bunda terluka?”

“Tidak Nanda. Bagaimana denganmu Cempaka?”

“Saya juga tidak apa-apa. Kuda ini berjalan sudah tidak terlalu

cepat. Dan lagi tempat ini bukan tanah bebatuan.”

“Ayo, kita lanjutkan perjalanan kita.”

“Oh, celaka Tuanku, mereka mengejar kita.”

“Ingat Cempaka, kita sedang dalam perjalanan penyamaran.

Jangan memanggilku seperti biasanya dihadapan mereka.”

“Ah, baik. Baik Nyai.”

“Hahahaha, kau tidak boleh meninggalkan Pandan Sari. Kau

harus kembali ke desa Pandan Sari.”

“Tidak, aku tidak akan mengikutimu. Aku bukan penduduk

desamu.”

Page 123: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

115 Api Berkobar di Karang Sedana

“Jika kau tidak mau ikut, kau akan kubuat terpaksa

mengikutiku. Bocah kecil ini akan ku bawa.”

Sambil tertawa-tawa, Aki Podang menyambar tangan raden Angling

Purbaya untuk dibuat sandera. Akan tetapi bocah kecil yang sejak tadi

telah memendam benci dan kemarahan justru membiarkan tangannya

disambar. Bersamaan dengan itu raden Purbaya menundukkan

kepalanya dan giginya yang tajam menggigit lengan Aki Podang.

“Aduh! Lepaskan! Lepaskan bocah gila!”

“Purbaya!”

“Bocah gila! Binatang rakus! Kau kira aku ini apa, digigit

seperti ini, heh?”

“Heh! Kakek-kakek peyot, kau ganggu ibuku dan paman

Karewang yang tidak memiliki sedikitpun kesalahan padamu!” sengat

bocah kecil itu.

“Baik! Baik, akan kulihat apakah kau dapat menggigit ku lagi

sekarang. Ayo!”

“Lepaskan aku! Lepaskan kakek peyot! Ini rasakan!”

“Hey, hey kau tidak dapat menggigitku lagi kucing liar!”

“Lepaskan anakku itu Aki. Lepaskan dia. Anak kecil itu tidak

tahu apa yang telah diperbuatnya.”

“Aku akan melepaskannya, tapi kau harus ikut dengan aku ke

Pandan Sari. Ingat jika kau macam-macam, anakmu ini akan

kupecahkan kepalanya!” ancam Aki Podang. “Ayo jalan ke sana!”

“Anakku itu lepaskan, Aki.”

“Baik. Ini… jaga anakmu itu baik-baik, ya!”

Page 124: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

116 Api Berkobar di Karang Sedana

“Purbaya, kau jangan bertindak nakal. Kau jangan berbuat

apapun tanpa Ibu perintah.”

“Iya, Bu. Saya akan diam, jika tak ada yang mengganggu Ibu.

Tapi jika kakek itu masih mengganggu Ibu, saya akan melempar

kepalanya dengan batu!”

“Hehehehe, anak harimau! Heh, kau beruntung sekali

memiliki anak seperti itu, Nyai. Sudah, ayo jalan!”

“Bagus! Bagus Podang. Kau berhasil menggagalkan pelarian

lagi.”

“Tapi Ki, kami bukanlah penduduk desa ini. Kami berasal dari

desa kecil di pinggiran kerajaan Karang Sedana.” “Hmm,

benarkah demikian Podang? Orang ini bukanlah penduduk desa kita?”

“Tapi… tapi saya yakin mereka adalah penduduk dari desa…

desa kita Ki. Saya lihat keadaan mereka sangatlah men…

mencurigakan.”

“Hmm, lalu kemanakah laki-laki yang kau katakan memiliki

kemampuan ilmu silat tinggi itu?”

“Eeh, ketika laki-laki itu dikepung oleh banyak penjaga desa

kita, saya mempergunakan kesempatan untuk mengejar mereka. Tapi

ketika saya bertemu dengan Panggul di depan rumah Ki Dandung, dia

mengatakan bahwa laki-laki itu berhasil melarikan diri.”

“Hemm, siapakah laki-laki itu Nyai? Suamimu kah, hehh?”

“Bukan. Karewang adalah… paman dari anakku ini. Ayah

anak ini,… suamiku sudah lama pergi meninggalkan kami.”

Page 125: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

117 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hemm, dan gadis manis itu siapa? Anakmu kah?”

“Dia… dia adalah adik saya, Ki.”

“Hemm, Podang. Siapkan kamar untuk mereka bertiga. Rawat

dan perlakukan mereka dengan baik. Mengerti?”

“Baik, Ki.”

“Beristirahatlah kalian. Tentu perjalanan panjang yang sudah

kalian jalani sangat melelahkan.”

“Tapi Ki, kami tidak ingin beristirahat terlalu lama di sini.

Kami memiliki tujuan dalam perjalanan kami.”

“Oo iya. Ya-ya-ya, aku mengerti. Tapi sementara ini

pergunakanlah kesempatan untuk beristirahat, Nyai. Kasihan adik dan

anakmu yang masih kecil itu…”

“Nah, ini kamar kalian. Masuk dan beristirahatlah. Ayo…

hehehe, ayo masuk. Kenapa kalian ragu, hemm? Ayo.”

“Ah, terima kasih.”

“Oh, tuanku… apakah yang akan terjadi dengan kita di sini?”

“Entahlah Cempaka, aku pun tidak tahu. Berdo’a sajalah pada

dewata agar kita diberi keselamatan olehnya. Anakku Purbaya,…

berbaringlah kau di ranjang itu. Ayo Cempaka, pergunakanlah waktu

ini untuk beristirahat.”

“Tapi Tuanku,… hamba… hamba rasanya tidak akan dapat

memejamkan mata sedikitpun di sini. Suasana di desa ini terasa aneh

sekali.”

Page 126: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

118 Api Berkobar di Karang Sedana

“Yah, kau benar Cempaka. Agaknya penduduk desa ini

sangat tertekan hidup di desanya sendiri.”

“Iya, mereka merasa takut pada pengawal desa, dan pamong

desa mereka.”

“Iya, kukira sesuatu telah terjadi di desa ini. Ki Dandung

Amoksa kepala desa mereka walaupun nampaknya ramah, aku yakin

bukanlah orang yang baik-baik.”

“Hmm, lalu apa yang harus kita lakukan, Tuanku?”

“Aku tidak tahu, Cempaka. Kita lihat saja keadaan sementara

ini. Ohh, bagaimanakah nasib Karewang..?”

“Hamba yakin dia sedang mengupayakan kebebasan bagi

Tuanku.”

Rara Angken tampak sangat resah, dan terisak gundah.

“Bunda menyuruhku untuk beristirahat. Sedang Bunda sendiri

duduk menangis di kursi itu. Eeh, kenapa Bunda menangis? Bunda

takut berada sendirian di sini? Atau Bunda sedang memikirkan

Ayahanda di Karang Sedana?”

“Ya, aku khawatir dengan nasibmu, Nak. Kau adalah seorang

pangeran mahkota yang seharusnya tetap berada di istana.

Bergelimang dengan kemewahan. Tapi kini, kau di sini di sarang

manusia-manusia buas yang tidak mengenal arti kemanusiaan.”

“Ibunda tidak usah mengkhawatirkan Ananda. Ananda… eh,

entahlah… sedikitpun tidak merasa takut. Sudahlah. Bukankah Ibu

tadi mengajak untuk beristirahat? Berbaringlah Bunda.”

“Oh, anakku Purbaya. Purbaya.”

Page 127: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

119 Api Berkobar di Karang Sedana

Pintu bilik itu terdengar diketuk.

“Siapa?”

“Aku, aki Podang.”

“Mau apa kau datang kemari?”

“Hehehe, aku diperintahkan oleh Ki Dandung untuk

menjemputmu.”

“Menjemputku? Mau apa Ki Dandung memanggilku?” tanya

Rara Angken.

“Entahlah, aku tidak tahu. Aku hanya mendapat perintah

untuk menjemputmu. Itu saja.”

“Oh, iya. Baiklah. Aku akan ke sana. Tunggu sebentar. Ayo,

bersiaplah Purbaya, Cempaka.”

“Eeh, eh jangan. Biarlah anakmu dan adikmu menunggu. Ki

Dandung hanya ingin bicara denganmu seorang.”

“Tidak! Aku harus ikut bersama ibuku.”

“Purbaya, kau tunggulah di sini. Ibu segera akan kembali.”

“Tidak Ibu. Aku harus ikut bersama Ibu.”

“Ayolah, Nyai. Kita segera pergi. Biarkan anakmu di

kamarnya. Ayo!”

“Lepaskan Ibu, lepaskan!”

“Setan, agaknya kau perlu diberi hajaran heh?!”

“Purbaya!”

“Ayo, minggir sana!”

“Kakek peyot! Jahat! Kupukul kau!”

Page 128: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

120 Api Berkobar di Karang Sedana

“Lepaskan! Lepaskan!”

“Jangan! Jangan Ki Podang! Aku tidak akan ikut denganmu

jika kau menyakiti anaknya.”

“Hmm, heeh. Kau bukanlah tamu terhormat di sini. Kau

adalah tahanan kami. Jangan bertindak macam-macam terhadap kami.

Turuti saja kemauan kami, dan kau akan selamat !”

“Iya, aku memang tahanan kalian. Tetapi itu bukan berarti

kalian dapat berbuat sesuka hati kalian terhadap kami. Aku lebih suka

mati daripada menerima penghinaan kalian!”

Aki Podang terkekeh kembali.

“Bagus! Bagus, kau memang seorang wanita yang sejati,

Nyai. Kita lihat saja nanti. Kau boleh ikut, bocah setan. Tapi awas

jangan berbuat konyol seperti tadi dihadapan Ki Dandung, heh!”

“Purbaya anakku, apakah kau terluka Nak?”

“Tidak Bunda. Ananda tidak apa-apa.”

“Ayo, kita segera berangkat. Ki Dandung sudah sejak tadi

menunggu kalian.”

“Mari Purbaya. Kau tunggulah di sini, Cempaka. Kami segera

kembali.”

“Hemm, Podang. Bukankah aku menyuruhmu hanya

membawa wanita itu?”

“Maaf Ki Dandung, maaf. Mereka memaksa untuk pergi

berdua. Dan…”

Page 129: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

121 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ki Podang benar, Ki Dandung. Kamilah yang memaksa

untuk pergi bersama. Ada apa? Apa maksudmu memanggilku?”

“Sebenarnya aku memanggilmu seorang diri adalah untuk…

Ah, Podang coba kau keluar sebentar.”

“Baik, Ki.”

“Hemm, aku memanggilmu untuk membicarakan masalah

yang bersifat pribadi. Hehehe… Aku memerintah disini seorang diri

tanpa seorang pendamping. Jadi aku ingin kau mendampingiku

disini.”

“Oh, apa maksudmu Ki Dandung?”

“Oh… Aku inginkan kau untuk menjadi istriku, Nyai.”

“Ah! Kau… kau… Mana mungkin, Ki. Aku sudah

mempunyai seorang suami. Aku bukanlah gadis ataupun janda.”

“Hehehe”

“Tidak! Ibu tidak boleh menikah denganmu!”

“Hmmm,” Ki Dandung menggeram. “Hehehe, anak manis.

Jika kau mempunyai seorang ayah seperti aku hehehe, kau akan hidup

senang. Dan tidak akan ada seorangpun yang akan berani

menghinamu. Hehehe.”

“Tidak Ki Dandung, maafkan aku. Aku tidak mungkin akan

menikah denganmu.”

Ki Dandung Amoksa kembali menggeram, “Nyai jika kau

tidak menikah denganku, kau akan mendapat susah di sini. Kau kini

sudah tak mungkin dapat keluar lagi dari Pandan Sari.

Page 130: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

122 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hahh, agaknya aku kini berada di sarang perampok yang

berkedok sebagai kepala desa.”

“Hahahah! Iya-iya-iya. Nyai telah banyak tahu. Nah

bagaimana?”

“Kupecahkan kepalamu!”

“Purbaya, jangan!”

“Bocah gila itu telah berbuat onar! Tangkap dan kurung dia di

kamar depan.”

“Heem, mari anak setan. Mari hehehehe.” Dengan kegirangan

Ki Podang menjambak rambut Angling Purbaya dan menyeretnya.

“Lepaskan aku! Lepaskan kakek peyot! Lepaskan!”

“Jangan sakiti anakku, jangan Aki Podang!”

“Bawa dia ke belakang, Podang!”

“Lepaskan! Lepaskan Aki peyot!”

“Diaam! Dengar… dengarkan hai wanita malang. Kau harus

segera membuat keputusan. Jika tidak, anakmu lah yang akan menjadi

jaminannya. Pikirkanlah itu.”

Rara Angken tak berkata-kata, hanya dapat terisak dalam

ketidakberdayaannya.

“Lepaskan aku! Hiyaahh-hiyaaah. Lepaskan!”

“Heheheh, ayo berteriaklah sepuas hatimu nanti di dalam

sana. Ayo.”

“Kau kakek tua pengecut! Jika paman Karewang datang, akan

kusuruh pecahkan kepalamu!”

Page 131: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

123 Api Berkobar di Karang Sedana

“Heh, heh,… disinilah tempatmu anak nakal. Ayo masuk

sana! Berteriaklah sepuas hatimu, sekuat tenagamu.”

“Lepaskan aku kakek peyot! Awas kalian jika sampai

mengganggu ibuku. Dandung gendut, kupukul kau. Lepaskan aku!

Lepaskan aku!”

Raden Purbaya berteriak-teriak tanpa menghiraukan lagi darah yang

menetes dari sela-sela bibirnya. Anak itu tidak memperhatikan lagi

keadaan dirinya, perhatiannya hanya tertuju pada ibundanya. Dia

cemas akan keadaan bundanya.

“Apakah yang harus aku lakukan Cempaka? Apakah aku

harus menerima lamaran begal jahat itu? Oh, aku harus bagaimana,

Cempaka? Katakanlah…”

“Oh, ehmm hamba tidak tahu, Gusti. Tapi Gusti, bagaimana

jika Gusti menceritakan saja siapa sesungguhnya Gusti dan Raden

Purbaya?”

“Aku tidak yakin mereka akan menjadi takut dan mundur,

Cempaka. Mereka adalah orang yang tidak pernah mau mengenal

aturan.”

“Oh… Emm, sayang sekali raden Purbaya bersama kita.

Bersama Tuanku. Ah, hamba mengerti bagi Tuanku sebagai seorang

wanita terhormat lebih baik mati bersimbah darah daripada harus

terhina oleh lelaki hidung belang seperti Ki Dandung.”

“Yah, kau benar Cempaka. Aku tidak dapat bertindak

sembarangan hari ini. Aku juga harus memikirkan anakku Purbaya.

Page 132: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

124 Api Berkobar di Karang Sedana

Dia harus tetap hidup. Dia adalah satu-satunya penerus keturunan dari

kakanda Aji Konda.”

“Ah… Jika demikian memang tidak ada jalan lain, Tuanku.”

“Yah,… Memang tidak ada jalan lain, Cempaka. Purbaya

harus tetap hidup!”

“Oh, dewata. Seandainya hamba boleh memikul beban Gusti

Rara Angken, hamba bersedia.”

Rara Angken tersenyum mendengar perkataan gadis kecil

pengasuh puteranya itu. Dia amat berterima kasih sekaligus terharu

mendengar perkataan itu.

“Terima kasih, Cempaka. Tapi ini memang sudah bagianku.

Dewata sudah memberikannya padaku. Biarlah aku saja yang

memikulnya. Aku akan menerimanya dengan ikhlas dan pasrah, jika

ini memang sudah kehendaknya.”

“Oh, Gusti…” Cempaka memeluk Rara Angken majikannya

sambil terisak sedih.

“Ada apa kau datang menghadapku, Podang?”

“Bocah itu… Ki.”

“He? Bocah itu? Maksudmu bocah yang kau kurung tadi, anak

dari wanita itu?”

“Ah, benar Ki. Mereka mengganggu ketentraman pengawal-

pengawal yang tengah beristirahat di barak, Ki.”

Page 133: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

125 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hah?! Mengganggu ketentraman? Apa lagi yang

diperbuatnya? Bukankah aku sudah perintahkan agar dikurung di

kamar tahanan?!”

“Iya, benar Ki. Tetapi sejak tadi bocah itu berteriak-teriak

memaki-maki.”

“Kurang ajar! Jika bukan putera dari wanita cantik itu, sudah

kuinjak kepalanya sampai hancur.”

“Emm… bagaimana sekarang, Ki Dandung? Apakah bocah

itu dapat dipindahkan ke ruang lain? Ke ruang tawanan khusus?”

“Eh? Kau kira dia siapa heh? Kenapa harus dipindahkan ke

tahanan khusus? Dengar, aku tidak akan mengalah lagi pada bocah

itu. Bawa bocah itu ke halaman belakang, dan siapkan tali. Aku akan

menjinakkan anak harimau itu!”

“Mana ibuku? Awas jika sampai kalian mengganggu ibuku!”

“Haehehehehe, bocah tidak tahu diri ! Agaknya kau mau

mencari mati bertindak gila seperti ini di sini. Ayo berlutut! Ayo

berlutut jika kau tidak ingin mati di desa Pandan Sari ini. Heh! Benar-

benar kau bocah sinting rupanya! Berlutut ! Heh, bocah sinting!

Rasakan ini !”

“Aah…”

“Ayo, berlutut atau kubuat hancur tubuhmu dengan cambuk

ini. Heheheh, agaknya lututmu sudah gemetar. Ayo, berlutut bocah

sinting dan aku akan mengampunimu !”

Page 134: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

126 Api Berkobar di Karang Sedana

Kibasan cambuk yang mengenai tubuhnya membuatnya jatuh

tersungkur, akan tetapi Raden Purbaya anak yang keras kepala dan

tidak mengenal takut. Dengan cepat kembali berdiri menantang.

Kedua kakinya bergetar karena tak dapat menahan gejolak dari

hatinya yang merasa terhina dipermainkan dihadapan belasan

pengawal desa Pandan Sari. Dan beberapa saat kemudian, bocah itu

maju menyerang Ki Dandung.

“Kakek Gendut ! Kupukul kau!”

“Hehehehe, akan kulihat sampai dimana daya tahanmu anak

setan.”

“Aahh,…”

“Ayo! Bangkit lagi anak setan. Ayo bangkit ! Sekarang

rasakan lagi.”

“Aaah,… aduh-aduh… Ahh.”

“Agaknya kau sudah tidak mampu berdiri lagi. Nah sekarang

berlututlah, sebelum tubuhmu menjadi hancur.”

“Tidak! Aku tidak akan berlutut kakek Gendut!”

Ki Dadung Amoksa menggeram marah, lalu membentak

keras, “Podang! Podang, sudahkah kau siapkan tali itu?!”

“Sudah Ki. Itu di tiang sana.”

“Bagus! Ikat kaki anak itu, dan gantung di tiang itu dengan

kaki di bawah.”

“Baik, Ki Dandung.”

“Hehehehe, sekarang aku tidak minta kau berlutut. Tetapi

cukup dengan meminta ampun. Mintalah ampun padaku. Dan kau

Page 135: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

127 Api Berkobar di Karang Sedana

akan segera ku ampuni. Dan berjanji kau tidak akan berbuat macam-

macam di desa ini. Dan…” Ki Dandung terkekeh merasa di atas angin,

“Mau menjadi anak dari Ki Dandung, heh!”

“Cuihhh!”

“Kurang ajar! Bocah setan! Agaknya kau memang ingin mati

di sini. Hiyaatt!”

“Aah,… Aaah… Aduuh… Ah…”

“Anak setan, kau akan ku gantung di sini sampai habis dan

hilang nyawamu. Hayoo, semua tinggalkan bocah ini !”

“Ki Dandung, tunggu Ki. Apakah memang aki berniat

menggantungnya hingga dia mati?”

“Hmm, ya. Kau lepaskan beberapa saat sebelum anak itu mati.

Aku memang masih memerlukan ibunya. Sekap dia di kamar tahanan

khusus!”

“Hehehehe, ada apa Nyai? Kudengar dari pengawal, kau ingin

bertemu denganku?”

“Benar Ki Dandung. Dimanakah anakku sekarang?”

“Ehemm, ada Nyai. Anakmu sekarang ku kurung di kamar

khusus. Tapi jangan khawatir dia dirawat sebagaimana mestinya. Ada

apa Nyai? Apa kau sudah berubah pikiran sekarang?”

“Iya, aku bersedia menikah denganmu,… asalkan kau

membawa anakku sekarang.”

Page 136: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

128 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ouww, tapi bagaimana mungkin Nyai. Anakmu itu eh… ku

kurung jauh dari sini dan baru saja dia dibawa Aki Podang dan seorang

pengasuh.”

“Ah, kau… kau berdusta Ki Dandung! Pasti telah terjadi

sesuatu dengan anakku. Katakanlah yang sebenarnya. Apa yang kau

perbuat dengan anakku?”

“Ayoo, percayalah Nyai. Anakmu akan kuserahkan pada saat

hari perkawinan kita.”

“Kau boleh mengawiniku sekarang juga, Ki. Tapi

kembalikanlah anakku sekarang ini juga.”

“Ehehhehe, jangan khawatir Nyai. Hehe… anakmu selamat

berada di tanganku.”

“Ki Dandung! Ki Dandung!”

“Haeeeh! Podang gila, ada apa orang itu berani

menggangguku, gila!?”

“Ki Dandung! Ki Dandung!”

“Haeeh! Kucabut lidahmu, Podang! Ada apa kau berani

menggangguku dengan teriakan seperti itu, Podang.”

“Maaf, Ki Dandung. Saya datang membawa kabar yang

sangat penting.”

“Hah!? Kabar apa itu? Kabar apa, hayo katakan!”

“Tapi… tapi…”

“Tapi apa heh? Ayo cepat katakan!”

Page 137: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

129 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tapi, Ki… apakah saya tak dapat bicara hanya berdua

dengan Aki?”

Ki Dandung Amoksa yang semula berteriak berang pada Ki Podang,

pembantunya kini menyadari adanya sesuatu kabar yang amat serius

yang dibawa oleh pembantunya. Setelah meminta ijin pada Rara

Angken yang telah menjungkir balikkan hatinya, Ki Dandung Amoksa

meninggalkan tempat itu.

“Katakan, kenapa kau berteriak-teriak seperti orang gila,

Podang.”

“Eh, ampun Ki. Tadi ada beberapa orang prajurit dari Karang

Sedana mencari Aki.”

“Hanya itu?”

“Anu, persoalannya,… persoalannya itu yang cukup serius.

Emm, mereka katanya sedang mencari pelarian dari Karang Sedana.”

“Hmm? Pelarian?!”

“Ya.”

“Agaknya Ki Darpo sudah memulai gerakannya.”

“Emm… Iya. Bahkan, Karang Sedana sudah jatuh ke tangan

mereka.”

“Hmm, kupikir gerakan yang dilakukan akan sia-sia. Tapi

kini mereka berhasil dan kini menikmati hasilnya. Lalu mau apa dia

mengirim prajuritnya kemari?”

“Hmm, ya mereka sedang mencari pelarian dari istana Karang

Sedana. Dua orang pelarian Ki.”

Page 138: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

130 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, lalu apa hubungannya dengan kita? Mau apa dia kemari?

Mengirim utusan, heh?”

“Anu Ki… dua… dua orang pelarian itu terdiri dari

permaisuri dari sang prabu Aji Konda dan putranya, raden Purbaya.”

“Hah? Purbaya?!”

“Benar, Ki Dandung. Putera mahkota Karang Sedana berumur

sebelas tahun dan bernama raden Purbaya.”

Sesaat Ki Dandung Amoksa terhenyak dan seakan-akan tak tahu harus

berbuat apa menghadapi situasi ini. Akan tetapi beberapa saat

kemudian, Ki Dandung Amoksa yang sesungguhnya adalah kepala

begal yang punya nama itu, tersenyum licik.

“Hehehe, walaupun kita tidak ikut berjuang tapi kita tetap

akan menikmati hasil yang cukup besar. Aku akan menikmati hasil

yang jauh lebih besar dari Ki Jagal Lanang dan ah… hahaha bahkan

Ki Darpo. Itu adalah tuntutanku.”

“Tapi… tapi Ki Darpo adalah bukan tandingan kita...”

“Siapa yang akan bertempur dengan Ki Darpo? Aku pun

belum ingin mati, Podang. Lalu apa yang dia perbuat, Podang?”

“Dia mengatakan, pemimpin mereka Ki Jagal Pati berada di

sekitar sini, dan sebentar lagi tentu akan kemari, Ki.”

“Hmm, ya. Aku tidak akan membiarkan kedua tawanan yang

sudah menjadi milikku ini dibawa oleh Ki Jagal Pati. Aku sendiri nanti

yang akan membawanya ke Karang Sedana. Aku yang

menemukannya dan akupula lah yang akan mendapatkan hadiah dari

Ki Sentana.”

Page 139: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

131 Api Berkobar di Karang Sedana

“He, Podang. Jika Ki Jagal Pati datang katakan aku sedang

keluar desa. Dan suruh dia datang kembali besok pagi. Dan…

hehehehe malam nanti, adalah malam pengantin tanpa perayaan

buatku.”

“Awas kalian semua, Aku… aku akan membalaskan semua

penghinaan kalian.”

“Siapakah itu di sana?”

“Rupanya ada orang lain di dalam sini. Siapakah dia, kawan-

kawan mereka kah?”

“Ooh, tidak puas-puasnya iblis-iblis itu berbuat angkara.

Keluargaku sudah dimusnahkan, seluruh kerabat pamong desaku

habis dibunuhnya.”

“Siapakah orang tua itu? Agaknya itu tawanan disini.”

“Kemarilah sobat, kita berbincang bersama.”

“Kenapa kau diam saja sobat, bunuhlah aku jika kau mendapat

perintah untuk itu.”

“Ah, tidak Kek. Saya juga disini juga seorang tawanan.”

“Heeh? Kau… kau seorang bocah cilik.”

“Iya kek.”

“Siapakah kau sebenarnya, bocah?”

“Saya bersama ibu, bibi dan paman saya sedang melakukan

perjalanan jauh. Tapi ketika melalui perbatasan desa Pandan Sari,

kami ditangkap. Kami dituduh hendak melarikan diri dari desa Pandan

Sari.”

Page 140: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

132 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ouh… jadi kau bukan penduduk desa ini.”

“Saya tinggal di Karang Sedana, sedang dalam perjalanan ke

gunung Sawal.”

“Hemm… setan iblis. Iblis gila. Awas jika aku dapat keluar

dari sini, akulah yang akan menghabisi nyawa iblis itu. Hiaahhhh!!”

Kakek Tua tawanan dari Ki Dandung Amoksa mengamuk. Raden

Purbaya cepat menghindar dari sambaran kayu dan benda-benda lain

yang berterbangan.

“Seisi desa dibuat sengsara oleh kelompoknya. Awas kau

Dandung!”

“Kek… Kek?”

“Oh, kau… bocah. Aku tidak dapat menguasai diriku lagi.

Aku tidak dapat menahan gejolak emosiku lagi. Apakah kau tidak apa-

apa?”

“Ah tidak, Kek. Saya tidak apa-apa.”

“Iya, atau memang semua ini salahku juga. Semua salahku.

Aku yang tidak berhasil mendidik anak. Ya, semua akibat

perbuatannya pada akhirnya akulah yang menanggungnya.”

“Kek, ada apa Kek? Kenapa kakek menangis?”

“Ya, semua penderitaan yang kalian alami adalah tanggung

jawabku. Akulah yang bersalah.”

“Eh, tidak… tidak Kek. Kakek tidak bersalah. Semua derita

yang saya alami adalah akibat perbuatan dari Ki Dandung. Kakek

Page 141: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

133 Api Berkobar di Karang Sedana

tidak bersalah. Justu kakek sendiri pun menderita akibat perbuatan Ki

Dandung. Kakek justru harus dikasihani.”

Kakek tua itu tersenyum pahit.

“Kau anak kecil, mana mungkin kau dapat tahu. Mana

mungkin kau dapat mengerti semua penderitaanku. Bocah,… tahukah

kau, bahwa akulah orang yang paling berdosa di desa Pandan Sari ini.

Aku orang yang patut dicerca, patut di hukum. Semua perbuatan

Dandung adalah menjadi tanggung jawabku. Karena Dandung adalah

putraku sendiri.”

“Hah? Dandung Amoksa iblis gendut itu putera kakek?”

Kakek tua itu kembali tertawa pahit.

“Kau terkejut bocah? Dan mungkin kau juga bertanya dalam

hati, jika Dandung puteraku, kenapa aku bisa sampai di tempat ini?

Aku yang bersalah. Sudah aku katakan aku yang bersalah. Dandung

puteraku tertua, dialah yang sebenarnya berhak menggantikanku

menjadi kepala desa di sini. Akan tetapi aku mendengar kabar

diluaran, bahwa anakku Dandung adalah pimpinan begal. Dan akupun

kemudian mengangkat adiknya sebagai penggantinya, karena aku

sudah merasa sudah tua. Ketika anak iblis itu mendengar aku

mengangkat adiknya, dia kembali pulang dari perantauan dan

menuntut haknya. Aku berhasil mengusirnya, tapi kemudian dia

kembali lagi. Kali ini bersama kawan-kawan dan kelompoknya.

Mereka menyerang desa ini dan membunuh adiknya sendiri.”

“Lalu kakek sendiri dibuatnya cacat olehnya juga?”

Page 142: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

134 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, oleh perbuatannya. Dapat dikatakan oleh perbuatannya.

Seorang tukang masakku yang diupah olehnya, meletakkan racun

pada masakan yang kumakan. Aku cepat tersadar, dan memuntahkan

racun itu. Akan tetapi sebagian racun sempat masuk ke pembuluh

mataku. Oleh karena itu mereka berhasil menguasai desa ini karena

satt itu aku sedang dalam keadaan lemah. Aku sedang berjuang

mengeluarkan racun dalam tubuhku. Pada saat itu jugalah mereka

menangkapku dan mengikatku disini.”

“Benar-benar iblis gila, Ki Dandung. Rasa-rasanya jika aku

sanggup dan mempunyai kepandaian, akupun ingin membunuh

manusia iblis itu.”

“Hematlah emosimu, bocah. Di dalam tahanan ini kau hanya

akan diberikan makan sekali dalam sehari. Duduklah bersandar di

sampingku.”

“Hey, penjaga. Dimana aku bisa bertemu dengan Ki

Dandung?”

“Ki Dandung saat ini sedang tidak ada di dalam desa. Dia

sedang keluar. Ada urusan yang hendak diselesaikan.”

“Bawa aku ke rumahnya.”

“Ki Dandung berpesan, jika ada yang ingin menemuinya

diminta untuk kembali besok pagi.”

“Hey monyet! Tahukah kau berhadapan dengan siapa

sekarang ini?”

“Dengan tamu yang tidak kami undang!”

Page 143: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

135 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kurang ajar! Agaknya mulutmu perlu di hajar!”

“He, jangan macam-macam kawan. Kau hanya datang

sendirian, sedang kami disini berempat. Kami dapat saja berbuat kasar

padamu jika kau tidak menuruti perintah kami.”

“Hey monyet besar, saat ini kau sedang berhadapan dengan

orang yang sangat ditakuti oleh pimpinanmu sekalipun. Hayo,

antarkan aku ke tempat Ki Dandung, atau akan kupatahkan leher

kalian semua!”

“Kau kira kami takut padamu yang hanya seorang diri itu?

Hayoo kawan, sikat tamu gila ini !”

“Hahaha, kalian hendak mencari penyakit sendiri agaknya.

Ayo majulah, siapa yang mengayunkan pedang lebih dahulu dia yang

akan kubuat celaka.”

Keempat penjaga itu terdiam ragu-ragu mendengar ancaman

yang penuh percaya diri itu.

“Ayo, kenapa kalian diam saja? Hmm, bagus agaknya kalian

masih waras. Masih takut pada kematian. Ayo sekarang masukkan

kembali pedangmu dalam sarungnya. Ayo masukkan pedangmu

dalam sarungnya. Ayo!”

Jagal Pati dan kedua saudaranya Jagal Lanang dan Jagal Belo adalah

tiga orang sakti dari golongan hitam yang merupakan pembunuh

bayaran. Jagal Pati dan kedua saudaranya adalah tokoh yang terkenal

keganasannya. Mereka sanggup membunuh korbannya sambil

tersenyum dan tanpa mengerdipkan mata sedikitpun.

Page 144: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

136 Api Berkobar di Karang Sedana

Kini keempat anak buah dari Ki Dandung pun dapat dirontokkan

nyalinya tanpa menggerakkan tenaga sedikitpun.

“Bagus, bagus. Sekarang antarkan aku ke tempat tuan

Dandung Amoksa.”

“Baik Tuan, mari ikuti kami.”

“Siapa itu?”

“Saya, Ki. Mamik.”

“Ada perlu apa kau, monyet!”

“Ada yang mencari Ki Dandung.”

“Kurang ajar, kemana Ki Podang. Hee, kenapa kau datang

padaku? Dimana Ki Podang?”

“Sudah saya cari-cari, tidak ada Ki.”

“Hmm, siapa yang mencari aku?”

“Mmm,… orang itu mengaku bernama Jagal Pati, Ki.”

“Kenapa kau bawa orang itu kemari? Apa Podang tidak

berpesan padamu untuk tidak menerima tamu malam ini, hah?”

“Eh, sudah Ki. Sudah. Tapi anu, Ki… orang ini mengancam

akan membunuh kami, Ki.”

“Kurang ajar, Ki Jagal Pati mengganggu rencanaku saja. Pergi

katakan padanya, aku akan segera datang.”

“Ah, baik Ki… Baik.”

“Setan! Ular hitam itu memang tidak tahu diri !”

Page 145: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

137 Api Berkobar di Karang Sedana

“Heh, kerbau gila. Kau tak dapat membohongiku. Kedua

orang pelarian itu pasti ada di tanganmu.”

“Heh? Kau bicara apa ular hitam?”

“Siapa yang tidak kenal kau Ki Dandung. Kau adalah begal

licik yang sanggup membunuh adik dan orang tuamu. Tapi padaku,

Jagal Pati si ular hitam, kau tak bisa membohongiku. Keluarkanlah

Dandung, kau juga akan memperoleh hadiah dari istana Karang

Sedana.”

“Ular hitam licik, aku mengaku kalah atas kejelianmu hingga

mengetahui kedua tawananku. Tapi kau tidak akan menemukan

mereka walaupun kau acak seluruh desa Pandan Sari ini hehehehe.”

“Hmm, Dandung… Dandung. Aku yakin kau tidak akan

berani membohongi kami, karena kau cukup tahu siapa kau dan siapa

yang memerlukan tawanan itu. Baiklah aku akan kembali besok sore,

kemari.”

“Ki, Ki Dadung… Celaka Ki… Ki. Penduduk desa

mengamuk, mereka sedang menuju kemari, Ki.”

“Kurang ajar! Bagaimana mereka sampai berani bertindak

seperti itu. Siapa yang memimpin mereka?”

“Kami tak mengenalnya, Ki. Tapi agaknya orang itu yang

kemarin meloloskan diri, Ki.”

“Hey, tunggu. Tunggu dulu Ular hitam!”

“Hey, uruslah sendiri urusanmu kerbau gila!”

“Tidak bisa, ini adalah urusanmu. Atau barangkali kau takut

hah?”

Page 146: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

138 Api Berkobar di Karang Sedana

“Heh! Kau jangan memancing kemarahanku, Ki Dandung!”

“Memang aku memang akan memancing kemarahan mu, Ular

hitam. Dengarlah, orang yang memimpin gerakan penduduk itu adalah

salah seorang pelarian dari Karang Sedana. Dialah yang mengawal

kedua tawananku. Bukankah itu juga merupakan urusanmu?”

“Siapakah orang itu? Dimanakah mereka? Tunjukkan

padaku.”

“Ayo, antarkan kami, Mamik.”

“Baik, Tuan.”

“Yang manakah orang yang kau maksud, Ki Dandung?” tanya

Jagal Pati sesampainya di sekitar tempat kerusuhan penduduk desa.

“Hmm, aku pun belum mengenalnya. Orang itu berhasil

melarikan diri dari kepungan beberapa orang anak buahku.” Ki

Dandung menunjuk ke arah Karewang yang tengah membabat kesana-

kemari, “Hmm, itu dia pasti. Kau lihatlah gerakannya yang terlatih.”

“Iya, dia pastilah salah seorang perwira dari Karang Sedana.

Memang ini adalah urusanku, Dandung.”

Jagal Lanang segera membedol kuda mendekati Karewang.

“Heh, kau pemimpin orang-orang ini?”

“Iya, benar. Aku akan bertemu dengan pimpinan begal-begal

ini. Apakah kau pimpinannya?”

“Apakah kau ingin meminta kembali tawanan itu?”

“Ya aku menuntut agar keluargaku dikembalikan, dan semua

begal-begal yang ada di desa ini agar segera pergi dari sini.”

Page 147: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

139 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, kau menuntut keluargamu? Apakah kau tidak takut di

gantung jika keluarga orang itu mendengar kata-katamu?”

“Eeh, siapakah kau sebenarnya?”

“Agaknya kau sudah terlalu tua, sobat. Hingga tidak dapat

mengenaliku lagi. Atau memang pertempuran itu terlalu ramai hingga

kau tidak mengenaliku lagi.”

“Kau… kau… agaknya kalian semua disini adalah antek-

antek dari Ki Sentana. Aku akan mengadu nyawa dengan kalian.”

“Maaf, aku mempunyai banyak urusan yang harus

kuselesaikan, sobat. Aku tidak dapat lama-lama bermain denganmu.”

Karewang gugur di tangan Jagal Pati.

“Maaf Ki Dandung, aku akan segera pergi. Urusanku sudah

selesai disini.”

“Hahaha, terima kasih Ular hitam.”

Pertempuran yang semula berjalan cukup berimbang dengan adanya

Karewang kini menjadi berat sebelah, karena jago andalan mereka

telah gugur di tangan Ki Jagal Pati. Ki Dandung yang menjadi berang

kemudian turun tangan membunuh penduduk yang beberapa diantara

mereka sesungguhnya adalah kawannya bermain ketika kecil.

Dan beberapa saat kemudian, penduduk yang merasakan tekanan

semakin berat, segera melarikan diri dari arena pertempuran itu.

“Aki, bertemu juga dengan Karewang tadi?”

“Huh, anak goblok itu ketakutan di ancam oleh Ki Jagal Pati.

Sudahlah Podang, sekarang aku punya tugas untukmu. Malam ini juga

Page 148: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

140 Api Berkobar di Karang Sedana

kau harus segera meninggalkan Pandan Sari dan usahakan tak lama

setelah fajar kau sudah berada di istana.”

“Iya, tapi Ki… sekarang sudah hampir tengah malam. Jika

harus tiba esok pagi, berarti saya harus berkuda semalaman, Ki…?!”

“Ya, ini perintah Podang. Carilah beberapa orang kawan

sekarang juga.”

“Ya-ya-ya, baik Ki. Tapi apa yang harus saya kerjakan di sana

nanti, Ki?”

“Mintalah untuk bertemu untuk bertemu dengan Ki Sentana

di sana. Ingatlah dia sekarang pasti sudah menjadi raja. Dan

katakanlah bahwa kau adalah utusanku, akan memberikan hadiah pada

Ki Sentana yaitu permaisuri dari Aji Konda dan puteranya. Mengerti?”

“Iya, Ki. Saya mengerti, Ki. Saya pamit saja sekarang.”

“Hmm, ya. Bagus. Bagus, Podang. Nah berangkatlah segera.

Jangan lupa ajak beberapa orang kawan.”

“Baik, Ki.”

“Hey, stop! Stop! Kau lihat di sana itu, ada perapian yang

menyala. Hahaha, mungkin ada seseorang yang membakar daging

atau apa. Ayo mari kita ke sana.”

Aki Podang yang sedang kedinginan dan kelaparan karena berkuda di

malam hari, segera mengarahkan kudanya ke arah perapian yang

dilihatnya dari kejauhan. Apung yang berkuda di sampingnya tidak

Page 149: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

141 Api Berkobar di Karang Sedana

menghiraukan sedikitpun kata-kata Aki Podang. Dia mengikuti sambil

terkantuk-kantuk.

***

“Ah, kakang Saka, apa yang akan kita lakukan jika sampai

besok Kakang Seta dan Kakang Awuk tidak juga kembali?”

“Kita lakukan lagi penyelidikan seperti tadi siang dan itu akan

kita ulangi terus hingga kita dapat menemukan mereka, atau paling

tidak kita mendapatkan kabar tentang mereka yang benar-benar pasti.”

“Iya. Agaknya mereka tidak mengganggu Ki Cangkara dan

keluarganya. Siasat yang kakang lakukan pada para pemberontak itu

agaknya cukup mengena. Mereka menyangka Ki Cangkara pun

mendapat tekanan dari kita.”

“Iya, tapi aku tetap khawatir. Walaupun sedikit, mereka pasti

mencurigai keluarga Ki Cangkara. Tidakkah kau lihat, banyaknya

prajurit yang berkerliaran di sekitar rumahnya?”

“Iya, tapi itu berarti paling tidak mereka masih ada di dalam

rumahnya.” simpul Anting Wulan, “Agaknya samaran kita tadi siang

lebih sempurna dari yang kemarin.”

“Hehehe, iya. Wulan. Kau lucu sekali dengan samaranmu.

Agaknya nanti, jika kau sudah tua wajahmu akan seperti itu.”

“Tidak! tidak mungkin! Kakang pasti senang jika aku seperti

itu. Aku akan menarik perhatian semua orang untuk diolok-olok.”

Page 150: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

142 Api Berkobar di Karang Sedana

“Huss! Sudah, aku hanya bercanda. Kau pasti tidak akan

seperti tadi jika sudah tua kelak. Kau pada dasarnya adalah seorang

gadis yang manis. Yaaah, jadi walaupun kelak umurmu sudah lanjut,

garis-garis kecantikanmu masih akan tetap nampak.”

“Ah, benarkah itu Kakang?”

“Tentu saja, masa aku kakangmu berbohong, hah?”

“Kakang… Kakang Saka… Cantik mana aku dengan Intan

Pandini?”

“Eh? tentu saja… ya, tentu saja kau. Akan tetapi… Intan, ya…

juga adalah seseorang gadis yang manis.”

“Mm, Kakang mencintai Intan Pandini?”

“Eeh… Mmm… aku… Wulan ada yang datang! Sembunyi !”

“Ah, kakang Seta! Kakang Awuk!”

“Oh, kalian masih di sini rupanya.”

“Kemana saja kalian, Kakang? Aku mencari-cari kakang. Aku

keluar masuk kotaraja sejak kemarin bersama kakang Saka.”

“Oh, kalian menyusulku ke sana?”

“Mana saya dapat tenang menanti kakang di sini?”

“Tapi bukankan keadaan tubuhmu saat itu masih lemah?”

“Ah, agaknya keadaannya yang masih lemah saat itu karena

racun yang kita keluarkan belum sepenuhnya, Kakang.”

“Eeh, berkat pertolongan kakang Saka, lewat tengah hari

racun yang masih mengendap dapat dikeluarkan seluruhnya. Saya

menjadi segar kembali, Kakang.”

Page 151: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

143 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ha? Jadi racun itu bekerja lagi? Huh, sungguh berbahaya

sekali. Untung kau dapat mengeluarkannya adik Saka.”

“Menjelang sore, saya tiba di kotaraja. Tapi peperangan sudah

selesai. Kemana saja kakang berdua? Dari Ki Cangkara saya mendapat

keterangan bahwa prajurit pemberontak sedang sibuk mencari dua

anak muda yang membantu Aji Konda. Saya dapat pastikan bahwa itu

kakang berdua.”

“Ki Cangkara? Siapa itu?”

“Mmm,… calon mertua Kakang Saka…”

“Husss! Ki Cangkara adalah paman dari Intan Pandini. Adik

Awuk sudah mengenalnya ketika saya mengantar Intan bersamanya.”

“Hmm, aku melarikan diri dari kepungan pasukan dan tokoh-

tokoh pemberontakan karena kedatangan seorang laki-laki bertopeng

yang menyelamatkan baginda Aji Konda.”

“Oh, jadi baginda berhasil diselamatkan?”

“Baginda berhasil diselamatkan oleh laki-laki bertopeng yang

berilmu tinggi itu dan keluarga Baginda pun tidak berhasil ditemukan

Ki Sentana di dalam istana. Yah, jadi aku berkesimpulan mereka juga

berhasil menyelamat kan diri.”

“Lalu, Kakang sendiri? Kakang belum menceritakan

pengalaman Kakang.”

“Ah, tidak ada sesuatu hal pun yang terjadi pada diri kami.

Kami bersembunyi di sebuah gudang tua di samping istana, dan ketika

para prajurit memeriksa tempat kami, kami naik ke atas gudang itu.

Kami berdua bersembunyi sambil menyembuhkan luka dalamku.”

Page 152: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

144 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hah? Kakang terluka?” Saka Keling terkesiap.

Sepengetahuannya, raden Seta Keling kakak tertuanya itu adalah

pemuda yang pilih tanding. Sehingga jika dia bisa terluka, maka tentu

lawannya adalah orang yang hebat pula.

“Pukulan beberapa tokoh termasuk Ki Suwanda tepat

mengenai dadaku. Ya, aku baru saja keluar dari persembunyianku dan

dalam kegelapan aku berhasil meninggalkan kotaraja.”

“Hahahaha, kakang pasti sudah kelaparan sejak kemarin! Ayo

ini, masih ada persediaan daging kering. Wulan, bakarkan daging

kering ini untuk Kakangmu.”

Keempat remaja seperguruan dari Padepokan Goa Larang duduk

mengitari perapian, berbincang sambil menikmati daging bakar di

malam yang dingin. Akan tetapi belum lagi mereka puas berbincang

dan menikmati makanan hangatnya, dari kejauhan mereka mendengar

derap kuda yang mendatanginya.

“Ada orang datang. Sembunyi !” bisik Saka cepat.

“Hmm, tidak ada orang. Heh, kau periksa ke sebelah sana,

Pung. Aku ke sana. Perapian ini menandakan baru saja ada orang di

sini.”

“Aah, baik Aki.”

“Hmm, ini ada gua yang cukup besar, coba kulihat ke

dalamnya.” Tapi tak lama Ki Podang memandang ke gua itu. “Hueh,

gua ini gelap sekali. Aah, tidak ada yang dapat dengan jelas kulihat

disini. Aah, sebaiknya kulihat di luar saja.”

Page 153: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

145 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh, hey sedang apa kau di situ, Apung?”

“Ah, anu Aki… Ini… Daging. Ini saya temukan di sini, Aki.

Perut saya lapar, Aki.”

“Hmm, berikan itu padaku!”

“Ah, itu Aki… Masih banyak. Aki dapat membakar dan

makan sepuasnya.”

“Heeh-heeh. Berikan itu yang sudah kau bakar.”

“Kau ambil lagi yang lain!”

“Ooh, Aki curanggg!”

“Eeh, dengar goblok. Jika nanti perjalanan kita berhasil, kau

akan dapat menikmati daging bakar seperti ini bersama keluargamu

selama beberapa minggu, hehehe.”

“Wueeeh?! Benar Aki?”

“Iya… iya.”

“Sungguh saya dapat makan daging seperti ini, bersama

keluarga saya, selama seminggu? lebih dari seminggu? Tapi dari mana

Aki?”

“Dari aku. Aku yang akan memberikan padamu.”

“Hey, Aki bohong! Aki mana punya uang sebanyak itu,

hmm?” Apung meleletkan lidahnya.

“Dengar, berita yang kubawa untuk Ki Sentana ini akan

membuatnya gembira dengan demikian dia tidak akan segan-segan

memberi hadiah pada kita.

Page 154: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

146 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ooh, saya sudah tahu sekarang! Aki akan mengabarkan pada

raja, Ki Dandung berhasil mendapatkan dua orang yang disebutkan

sebagai pelarian itu kan??”

“Sttt! Kau… Kau tahu dari mana, tolol?”

“Eh, saya yang pertama kali tahu Ki. Ketika pasukan dari

Karang Sedana datang mencari dua pelarian itu.”

“Eh eh, awas itu hangus dagingmu itu. Ayo, ayo makan cepat,

kita harus segera pergi dari sini.”

Keempat remaja yang bersembunyi dan mendengarkan semua

pembicaraan Ki Podang bersama Apung segera melompat turun dari

persembunyiannya ketika melihat kedua orang yang menghabiskan

persediaan daging keringnya hendak berangkat pergi.

“Tunggu kawan!”

“Heh!? Siapakah kalian?”

“Sabar kawan. Sarungkan kembali pedangmu. Kami hanya

ingin meminta keadilan dari kalian. Kalian sudah menghabiskan

persediaan daging kering dan kami, minta ganti rugi.

“Heheheh, kau bicara seolah-olah kau adalah sang pemenang.

Walaupun kalian berempat tetapi aku, Ki Podang tidak akan gentar

menghadapi kalian. Iya, aku sudah menghabiskan daging kering

kalian. Mau apa? Aku tidak bersedia untuk mengganti !”

“Hey, Podang! Agaknya kau pandai bicara dan tertawa seperti

halnya burung Kepodang. Aku ingin bertanya padamu, sebagai ganti

daging kering yang kau makan. Jika kau tidak bersedia menjawab,

Page 155: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

147 Api Berkobar di Karang Sedana

tentu saja aku akan mengeluarkan semua persediaan daging keringku

yang kau makan tadi.”

“Hmm, kurang ajar! Jika aku saat ini tidak sedang

menjalankan tugas, kalian tentu akan kubuat menyesal bertemu

denganku malam ini. Apung, ayo!”

“I-iya?”

“Ayo, turun dari kudamu, Kepodang!”

“Dengar pertanyaanku yang harus kau jawab, adalah dimana

kedua tawanan yang akan kau serahkan pada Ki Sentana?”

“Kurang ajar, kau… Apung, serang mereka! Bunuh !”

“Baik, Aki.”

“Ayo, ayo cepat!”

Anting Wulan tertawa mengejek, “Apung, sarungkan saja

pedangmu itu. Aku akan mematahkan tanganmu bodoh, jika kau tak

mau menjawab pertanyaanku tadi.”

“Aduaduaduh… jangan patahkan tanganku, aduh-aduh.

Jangan keras-keras, tanganku sakit.”

Apung yang tidak tega melihat Ki Podang berkemik-kemik

kesakitan ditelikung oleh Anting Wulan, berteriak mengancam dan

maju menyerang.

“Wanita! Aku belah tubuhmu wanita cantik! Hiyaat!”

Dengan ringan, Anting Wulan menyepakkan kakinya dan

Apung segera pingsan terkena sabetan tumit wanita yang

dikatakannya sebagai wanita cantik itu.

“Ayo, cepat katakan. Dimana mereka berada?”

Page 156: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

148 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aduhh, jangan keras-keras. Tanganku sakit. Desa kami…

desa kami… aduh.”

“Dimana desa kalian, ayoh!?”

“Di desa Pandan Sari…”

“Dimana itu Kakang, desa Pandan Sari…”

“Tanyakan terus, Wulan. Aku sendiri tidak tahu. Agaknya itu

hanyalah sebuah desa kecil.”

“Sudaaah, lepaskan saya. Saya akan ceritakan semuanya.” Ki

Podang yang sudah kepayahan akhirnya menyerah.

“Bagus. Bukankah sejak tadi sebaiknya kau bersikap seperti

ini?”

“Ya, betul.”

“Ayo, ceritakan semua yang kau ketahui.”

“Begini, semula kami menangkap mereka karena kami

mengira dia adalah penduduk desa kami yang melarikan diri. Tapi

kemudian setelah tadi malam datang utusan dari kerajaan, kami baru

tahu bahwa mereka adalah pelarian dari Karang Sedana.”

“Hah? Utusan dari Karang Sedana?”

“Iya, utusan dari Karang Sedana yang dipimpin oleh Ki Jagal

Pati. Dan mereka akan kembali lagi besok sore untuk menjemput

kedua tawaran kami.”

“Di mana letak desamu itu?”

“Ya cukup jauh juga. Kami di sini dari desa kami kira-kira

menghabiskan waktu seperempat malam.”

Page 157: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

149 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, bagaimana Kakang Seta? Kita harus segera ke sana,

sebelum utusan dari Karang Sedana itu datang.”

“Ah, tapi… bagaimana dengan keadaan Kakang Seta dan adik

Awuk? Apa tidak perlu istirahat di sini?”

“Jangan khawatir, adik Saka. Aku sudah cukup beristirahat di

gudang itu. Ayo kita berangkat sekarang juga.”

“Ayo kisanak, kita berangkat sekarang.”

“Tapi saya… saya dapat tugas dari Ki Dandung untuk ke

istana Karang Sedana.”

“Hey, apa kau ingin kupatahkan tanganmu satu per satu?”

geram Anting Wulan.

“Jangan, aduh…”

“Sudah, Wulan. Aki Podang akan mengantarkan kita ke

Pandan Sari. Bukan begitu, Ki?”

“Aah,.. Iya. Baiklah.”

“Coba kau lihat keadaan kawanmu itu. Kita harus berangkat

segera, mungkin dia terluka.”

“Apung, ayo kita kembali.”

“Kembali ke mana, Aki?”

“Iya, kembali ke Pandan Sari, goblok! Ayo cepat bangun!”

“Tangan saya ini, Aki…”

“Kenapa?”

“Sakit, rasanya mau patah, Aki.”

“Cepat bersiap! Atau tanganmu itu akan kupatahkan benar-

benar?! Bangun !” bentak Anting Wulan.

Page 158: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

150 Api Berkobar di Karang Sedana

“I-iya nona.”

“Ayo kita berangkat. Kau gunakanlah kudamu. Kami akan

mengikuti dari belakang.”

“Baik-baik-baik…”

“Awas, kau jangan main-main dengan kami. Jika matahari

terang esok pagi kita belum juga sampai. Tangan kalian akan

kupatahkan. Kedua tangan kalian.”

“Percayalah pada kami, Raden. Kita sudah menuju ke arah

yang benar.”

“Bagus jika demikian. Ayo, percepat lagi kudamu.”

Demikianlah, keempat remaja dari padepokan Goa Larang bersama

dengan Ki Podang, anak buah dari Ki Dandung Amoksa yang telah

dikuasainya berpacu dengan waktu menuju ke desa Pandan Sari.

Sementara itu di Pandan Sari, Ki Dandung sedang kalut memikirkan

persiapan esok hari menghadapi kelompok dari Ki Jagal Pati dan

utusan langsung dari istana Karang Sedana. Ki Dandung Amoksa tiba-

tiba saja khawatir jika sampai raden Purbaya yang telah disiksa tadi

sore meninggal dalam kamar tahanan khusus. Walaupun mereka

adalah musuh dari Ki Sentana, tapi bukan tidak mungkin Ki Sentana

menghendaki kedua tawanan itu hidup.

Akhirnya dia berteriak memanggil salah seorang pengawal-nya.

Page 159: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

151 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hey, aku minta kau segera membawa bocah setan itu

kemari.”

“Hmm,… tapi Ki Dandung, hari sudah larut malam dan pagi

hampir saja tiba. Anak itu pasti sedang tidur di sana.”

“Hey, monyet! Aku minta kau membawa anak itu kemari,

segera! Atau kau ingin aku patahkan dulu sebelah kakimu itu?”

“Eh… Baik Ki. Baik.”

Anak itu harus diserahkan dalam keadaan hidup. Oh, dewata… Apa

apa yang akan terjadi jika ternyata bocah yang sore tadi kucambuki itu

ternyata mati dan Ki Suntana ternyata memerlukannya hidup-hidup?

Jika sudah demikian persoalannya, berlindung dengan guru pun tidak

akan ada artinya. Biar ku tunggu saja bocah setan itu disini.

“Awas kalian! Jika pamanku datang kemari kalian semua

akan dihajar. Akan dipecahkan kepala kalian. Lepaskan! Lepaskan!”

“Hehehehehe, bagus sekali. Kau ternyata mempunyai daya

tahan tubuh yang hebat. Kemarilah bocah! Lepaskan anak itu.”

“Eeh, tapi dia akan mengamuk, Ki…”

“Lepaskan kataku, monyet !”

“I-iya, iya Baik… baik, Ki.”

“Bagus, bagus bocah. Kemarilah, kulihat tubuhmu. Apakah

luka yang kau derita cukup serius.”

“Tidak! Tidak perlu kau melihat lukaku.”

“Hehehehe, agaknya kau tidak percaya dengan ku bocah?”

“Kau orang jahat Aku tidak percaya dengan mu!”

Page 160: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

152 Api Berkobar di Karang Sedana

“Oh, hmm… aku minta maaf atas kejadian tadi siang. Hmm,

sini. Aku benar-benar akan melihat lukamu, Nak.”

“Lepaskan! Jangan sentuh tubuhku. Lepaskan, kau orang

jahat! Durhaka kepada orang tua!”

“Hei? Apa kau bilang? Siapa yang…” Ki Dandung

mengernyit heran, tetapi tak lama. “Ooh, rupanya orang gila itu.”

“Kau yang gila! Tua bangka yang tak tahu membalas budi

orang tua! Kau manusia durhaka !!”

“Hehehehe, bocah kau jangan mudah terpengaruh oleh

omongan orang yang tua gila itu. Kemari kulihat tubuhmu.”

“Tidak! Lepaskan!”

“Lihat luka-lukamu sudah mulai mengering. Basuhlah

tubuhmu dengan air hangat, bocah. Beristirahatlah di ruangan dalam

ini. Dan besok kau akan bertemu dengan ibumu.”

“Bohong! Aku tidak percaya padamu kakek penipu!”

“Aah, besok bahkan kalian akan pergi dari sini. Nah,

beristirahatlah! Kau membutuhkan tenaga untuk perjalanan

panjangmu bukan?”

“Aku tidak percaya dengan omongan manusia jahat

sepertimu. Kau pasti hendak menyiksaku seperti tadi lagi.”

“Hey pengawal! Bawa dia kebelakang! Basuh dan bersihkan

lukanya dan carikan baju yang lebih pantas untuknya.”

“Oh, baik Ki. Baik… Nah, mari kita ke belakang.”

Page 161: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

153 Api Berkobar di Karang Sedana

Hahaha, ternyata anak itu tidak hancur tubuhnya. Bagus, bagus.

Senang hatiku sekarang. Kini aku dapat dengan tenang menemui

ibunya.

“Nyai… Nyai… buka pintunya, Nyai. Hari sudah pagi…”

“Ah, ada apakah Aki datang malam-malam kemari?”

“Hehehehe, kau manis sekali walaupun baru bangun dari

tidur.”

“Aki, mau apa datang kemari ?”

“Aku mencari kakakmu. Bangunkan dia.”

“Saya sudah bangun, Ki Dandung. Ada apa Tuan mencari

saya?

“Ooh tidak ada apa-apa. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu

hari perkawinan kita. Ayo Nyai… ikutlah aku keluar dari sini.”

“Tidak Ki. Kembalilah tidur. Saya akan menepati janji saya

nanti pada saatnya.”

“Aah, tidak Nyai… aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama

lagi… Ayolah ikutlah denganku, Nyai.”

“Tidak. Ki Dandung boleh kembali. Saya tidak akan bersedia

saat ini. Ki Dandung boleh memaksa saya, tapi saya tetap tidak

bersedia melayani.”

“Aah, apapun yang akan terjadi. Malam ini kau harus tetap

menuruti kemauanku, suka rela ataupun terpaksa. Kemarilah Nyai…”

“Pergilah, Ki. Jangan ganggu saya. Oh, jangan Ki. Lepaskan

saya.”

Page 162: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

154 Api Berkobar di Karang Sedana

“Apapun yang terjadi, aku harus dapat menikmati tubuh

seorang permaisuri raja.”

“Oh, kau sudah mengetahui siapa aku? Tidak, lepaskan!

Lepaskan aku!”

“Siapa tau aku kelak berumur panjang, mempunyai keturunan

yang akan menjadi raja.”

Cempaka yang memang sedari tadi telah gelisah dengan

kedatangan kakek gendut itu mulai berpikir keras untuk

menyelamatkan majikannya.

Oh, aku harus menolong Gustiku ini. Tusuk kondeku ini akan

kutancapkan di tubuh Ki Dandung. Rasakan ini orang jahat!

“Waduh! Kurang ajar! Kurang ajar kau berani

menggangguku!”

Pukulan keras yang diayunkan pada tubuh Cempaka, emban pengasuh

raden Purbaya yang masih muda itu, membuat tubuhnya terlempar

beberapa depa. Tusuk konde yang semula dipegangnya jatuh tak jauh

dari Rara Angken. Dan dengan sigapnya permaisuri Aji Konda itu

menyambar tusuk konde dari Cempaka.

“Berhenti di situ, Ki Dandung! Aku akan menancapkan tusuk

konde ini ke dadaku jika kau maju selangkah.”

“Heh, jangan main-main dengan nyawamu, Nyai. Kau masih

mempunyai masa depan yang panjang dan bagus.”

Page 163: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

155 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tidak! Masa depanku justru akan hancur. Masa depanku

akan menjadi busuk, jika kubiarkan kau menjamah diriku. Pergi !

Pergilah ! Tinggalkan aku di sini.”

“Iya. Baik, baiklah. Jangan bertindak bodoh. Aku akan pergi.

Ingatlah, jangan lakukan perbuatan bodoh itu.”

Hmm, celaka… Celaka aku jika wanita ini sampai mati. Aku

pasti akan berurusan langsung dengan penguasa baru Karang Sedana.

“Cepaaat! Pergi dari sini!”

“Baik. Baik, Nyai.”

“Dewata, kenapa jadi seperti ini nasib hambamu? Kakang

Prabu, bagaimanakah nasibmu kini? Maafkan aku kakang Prabu, aku

tidak dapat menjaga putramu Purbaya dengan sebaik-baiknya.

Kakang… Purbaya, dimanakah kau kini anakku?”

“Tuanku,… aduh. Tuanku…”

“Cempaka! Bagaimana keadaanmu?”

“Bagaimana Ki Dandung, Tuanku?”

“Iblis itu sudah pergi. Cempaka, bagaimana keadaanmu?”

“Saya… saya merasa nyeri sekali. Dada saya. Sakitnya…

sakitnya bukan kepalang.”

“Kasihan sekali kau, kau menderita karena menolongku,

Cempaka…”

“Tuanku, bagaimana kira-kira nasib raden Purbaya?

Dimanakah anak itu?”

Page 164: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

156 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tenanglah Cempaka, jangan kau pikirkan asuhanmu itu.

Pejamkanlah matamu. Beristirahatlah.”

“Uhh… apakah kita akan berhasil tiba di gunung Sawal,

Tuanku. Kasihan sekali Baginda, tentu… tentu beliau telah menunggu

dengan gelisah di sana.”

“Sudah, tenangkan saja pikiranmu, Cempaka. Berdo’a saja

pada Dewata, agar Dia mau menolong kita semua.”

“Lepaskan aku! Manusia jahat! Kau bunuh adikmu sendiri.

Lepaskan, lepaskan aku!”

“Tuanku, itu raden Purbaya.”

“Hehehehe, mau kemana Kau? Ini sudah kubawakan anakmu.

Ah, kau lihatlah bocah, bukankah aku tidak membohongimu? Nah,

sana temui ibumu.”

“Ibu!”

“Anakku, Purbaya! Purbaya, apakah iblis itu membuatmu

susah?”

“Tidak, Bu. Saya tidak apa-apa. Bagaimana dengan ibu

sendiri? Ibu pasti menderita selama ini.”

“Aku pergi dulu, Nyai. Ingatlah, jangan berbuat bodoh seperti

yang akan Nyai lakukan tadi.”

“Eh, kenapa tiba-tiba Ki Dandung bersikap lain kepada kita,

Bunda?”

Page 165: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

157 Api Berkobar di Karang Sedana

“Entahlah, mungkin dia tiba-tiba menyesal dan kasihan pada

kita, Purbaya.”

“Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin Bunda. Dia manusia

iblis. Ya, hanya manusia iblis sajalah yang sanggup melakukan

perbuatan biadab, membunuh saudara dan menyiksa ayahnya sendiri.”

“Hey, darimana kau tau semua itu, Purbaya?”

Kemudian bocah kecil itu pun dengan suara yang tersendat karena

menahan emosi menceritakan semua kejadian yang ditemui di ruang

tahanan khusus. Semua cerita tentang misteri yang menyelimuti desa

Pandan Sari. Akan tetapi tanpa menceritakan pada ibunya tentang

perbuatan Ki Dandung yang menyiksanya dan menggantungnya di

halaman.

“Begitulah, Bunda. Bukankah dia adalah manusia iblis?!”

“Ya, orang itu benar-benar tidak waras agaknya. Berhati-

hatilah kau Purbaya.”

“Oh, Bunda… dimanakah bibi Cempaka? Aku tak melihatnya

sejak tadi.”

“Ah,… itu. Itu dia Purbaya.”

“Oh? Apa yang terjadi dengan bibi Cempaka, Bu?”

“Oh, Den… Bibi tidak apa-apa. Rindu bibi, rasa cemas bibi

sudah terobati dengan kehadiran Aden yang tak kurang suatu apapun.”

“Ibunda, apakah yang terjadi dengan Bibi? Apakah Ki

Dandung yang melukainya?”

Page 166: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

158 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, beberapa saat sebelum kau dibawanya kemari, dia

datang dan…”

“Datang dan melukai bibi Cempaka? Manusia jahat! Kubunuh

dia!”

“Oh, Purbaya… jangan! Jangan!”

“Lepaskan saya, Bu. Lepasakan saya. Saya akan memecahkan

kepalanya dengan kayu ini. Lepaskan!”

“Oh, Purbaya ingatlah Nak, Ki Dandung adalah seorang yang

amat ganas dan kasar. Kau akan celaka jika mencari perkara

dengannya.”

“Tapi, dia jahat sekali, Bu. Ki Dandung itu terlalu jahat, dia

harus di hukum!”

“Kau benar. Ki Dandung jahat dan harus dihukum. Tapi kau

tidak mungkin melakukannya. Kau adalah anak yang tidak

mempunyai kepandaian apa-apa. Kau harus dapat tetap hidup, untuk

mencari kepandaian. Dan kelak, kau dapat membalaskan semua

penghinaan yang kita terima ini.”

“Ya, saya ingin tetap hidup, Bunda. Saya akan membalaskan

semua penghinaan yang saya terima ini. Yang telah Ibu dan bibi

Cempaka terima.”

“Ohh, Purbaya anakku.”

Nun jauh di ufuk timur, mentari yang telah sekian lama menunggu

kesempatan untuk menjalankan tugasnya mulai menyinarkan cahaya

paginya yang gemilang. Gunung Ciremai yang tampak jelas dari desa

Page 167: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

159 Api Berkobar di Karang Sedana

Pandan Sari masih diselimuti kabut tipis di sekitar kepundannya, akan

tetapi suasana di sekitar desa kecil itu nampak lengang. Hampir dapat

dikatakan tidak terlihat kegiatan sama sekali. Penduduk desa

mengunci pintunya rapat-rapat. Mereka khawatir akibat dari tindakan

sebagian penduduk yang mengadakan gerakan bersama Karewang,

semalam.

Akan tetapi suasana lengang itu tiba-tiba dipecahkan oleh langkah dua

ekor kuda yang menggemuruh memasuki batas desa kecil itu.

“Kita sudah sampai, anak muda. Hey, Apung… temani tamu

kita. Aku akan menghadap Ki Dandung.”

Ya, Dewa… Aku tak tahu bagaimana marahnya Ki Dandung

mendengar laporanku ini. Tapi biar, aku akan melemparkan semua

tanggung jawab ini pada Ki Dandung langsung.

“Hey, Podang! Kau sudah kembali? Bagaimana dengan tugas

yang kuberikan padamu?”

“Beb… beb… belum. Tapi saya… bertemu dengan seseorang

yang … yang sangat penting Ki. Dia berkata ingin bertemu dengan

Aki.”

“Wuaaah, kau gila, Podang! Masalah apa lagi yang kau bawa

padaku sepagi ini, heh? Siapa orang itu?”

“Orang itu… eh ada empat orang muda, Ki.”

“Hmm, empat orang muda?!”

“Iya.”

“Kurang ajar! Ayo kau ikut aku menemui mereka!”

Page 168: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

160 Api Berkobar di Karang Sedana

Dengan tangan terkepal dan gigi gemeretak, Ki Dandung Amoksa

melangkah menunju beranda depan untuk menemui tamunya.

“Hmmm, monyet! Siapakah kalian ini? Kaliankah yang

memaksa Podang pembantuku untuk kembali kemari?”

“Benar, Ki. Saya datang kemari untuk meminta kedua

tawanan Aki. Permaisuri Aji Konda dan puteranya raden Purbaya.”

“Grrr... siapakah kalian anak muda? Agaknya kalian tidak

memandang sebelah matapun pada aku, Ki Dandung.”

“Kakang, sebaiknya kita tidak usah membuang-buang waktu

lagi. Kita paksa saja orang ini untuk menyerahkan kedua orang

keluarga istana.”

“Poodaang! Poodaaang! Kemari kamu! Poodaang! Bunuh

mereka semua.”

“Tapi, Ki… Tapi, mereka … anu… anu, Ki.”

“Aah, Podang! Kau dengar perintahku, hah?!”

Anting Wulan jelas tertawa melihat situasi itu, katanya, “Ki

Dandung, kenapa kau berteriak-teriak sendiri? Jika kau tidak senang

dengan kedatangan kami, bertindaklah cepat. Jangan hanya berteriak-

teriak saja begitu.”

“Hmm, kurang ajar. Bocah-bocah sombong! Kuremukkan

kepala kalian!” ancam Ki Dandung, tapi anehnya dia masih berteriak,

“Poodaang! Ambilkan senjataku, Poodaang!”

“Sekarang, Ki?”

“Kau ingin bertempur atau menunjukkan senjatamu padaku?”

Page 169: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

161 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah, kalian akan kuremukkan dengan kedua belah

tanganku ini.”

“Kau, ini sedang bertempur atau main lompat-lompatan?”

Melihat tingkah dan kesombongan wanita muda dihadapan nya, Ki

Dandung tidak dapat menahan diri lagi. Serangan-serangan yang

dilancarkannya susul menyusul secara beruntun mengarah ke tiap

bagian yang berbahaya di tubuh Anting Wulan. Akan tetapi karena

Anting Wulan mengelakkan semua serangan itu dengan gerak yang

berpindah-pindah dan Ki Dandung memburunya terus dan terpaksa

melompat-lompat mengejarnya ke depan, belakang dan samping

bagaikan orang yang kebingungan.

“Hey, bocah setan! Janganlah kau mengelak saja. Hadapilah

seranganku secara jantan!”

“Hahaha, kau lucu Ki Dandung! Bagaimana aku bisa

menghadapimu secara jantan, aku ini seorang wanita. Huu! Jangan

khawatir, Ki. Aku sedang menunggu senjatamu itu datang.”

“Nah, itu. Ambillah!”

Ki Dandung segera melompat meninggalkan Anting Wulan, dan

menyambar senjatanya yang dibawakan Ki Podang, pembantunya.

Sebuah bola besi berduri yang diikatkan rantai panjang. Dengan wajah

membara karena merasa terhina, Ki Dandung memutar-mutar senjata

mautnya yang telah banyak merenggut jiwa musuh-musuhnya.

“Mampuslah kini kau anak muda!”

Page 170: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

162 Api Berkobar di Karang Sedana

Anting Wulan masih saja tertawa-tawa mendengar bentakan

Ki Dandung itu, sehingga dengan gemas dia kembali membentak.

“Jangan tertawa kau!”

“Dandung, sekarang jika aku menyambut serangan mu, kau

tentu akan puas jika kukalahkan.”

“Awas Ki, aku akan merampas senjatamu!”

“Lepas senjatamu!”

“Hey, Ki kenapa kau berikan senjatamu ini?”

“Ki Dandung, sudahlah. Serahkan kedua tawanan itu kepada

kami. Agar kami tidak memaksamu dengan cara yang tidak

menyenangkanmu.”

“Baiklah. Aku mengaku kalah, anak muda. Aku… aku akan

menunjukkan pada kalian dimana persembunyian kedua tawananku.

Ayo ikut aku…”

Hehehe, kalian semua akan kubawa ke barak para pengawalku.

Hadapilah nanti enam puluh orang pengawalku.

“Heeh, itu anak muda. Sudah tidak jauh lagi tempatnya.”

“Nah, inilah tempatnya. Tunggulah di sini. Aku akan

menjemputnya ke dalam.”

“Masuklah. Tapi awas jika kau sampai membohongi kami.”

“Baiklah, kalian tunggulah di sini.”

Page 171: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

163 Api Berkobar di Karang Sedana

Ki Dandung pun segera masuk ke dalam barak prajuritnya, dan

keempat anggota Ning Sewu menunggu di luar sambil berjaga-jaga.

Mereka khawatir kakek gendut yang kelihatannya cukup licik itu akan

melarikan diri. Akan tetapi beberapa saat kemudian, Ki Dandung

muncul di ambang pintu besar itu.

“Heheheh, anak-anak muda. Aku sebenarnya mengizinkan

dan setuju kau membawa kedua tawanan itu. Akan tetapi para

pengawalku banyak yang tidak menyetujuinya, jadi…”

“Kurang ajar! Apa maksudmu gendut licik.”

“Orang ini benar-benar curang.”

“Hey, anak-anak! Keluarlah kalian, hadapilah orang-orang

yang hendak merampas tawanan itu!”

“Kurang ajar! Dia membawa kita ke tempat para prajuritnya,

akan kuberi pelajaran orang ini…”

“Ayo anak-anak, serang dan bunuh keempat anak muda itu!”

Aku agaknya …

“Adik Awuk, kau tahanlah dahulu mereka. Aku akan

dapatkan manusia licik itu!”

Ki Dandung segera menyelinap meninggalkan barak

prajuritnya. Dia berlari menuju ke bangunan lain yang merupakan

rumah penyekapan Rara Angken.

“Buka pintunya, Nyai. Buka pintunya cepat! Buka pintu!” dan

dengan penuh ketidaksabaran akhirnya pintu itu diterjangnya.

“Ada apa, Ki? Kenapa Aki jadi seperti ini?”

“Sudah, ayo kau ikutlah aku. Cepat!”

Page 172: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

164 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kemana?…”

“Sudah, jangan banyak bicara. Ayo ikut saja, cepat! Sebelum

aku berbuat kasar lagi pada kalian.”

“Tapi,… tapi Cempaka sedang dalam keadaan sakit.”

“Aaah! Sudah tinggalkan saja anak itu, ayo cepat!”

“Tidak! Kami tidak akan meninggalkan Bibi Cempaka!”

“Anak setan, agaknya kau perlu dibuat susah lagi seperti

kemarin. Ayo cepat setan!”

“Lepaskan! Lepaskan Ki. Aku tak mau pergi bersama kau.”

“Ah, ayo aku ikut dengan aku, bocah!”

Kupecahkan kepalanya dengan rantai ini, pikir Purbaya. Dan

segeralah dia mengayunkan itu ke kepala Ki Dandung. Kakek gendut

kepala begal itu mengaduh.

“Aduh! Kurang ajar… kepalaku.”

“Lepaskan wanita itu, Ki Dandung!”

“Hmm, kau lagi anak muda. Tunggulah disitu. Aku akan

menyelesaikan pemuda sombong ini. Aku akan memecahkan

kepalamu kalau kau tidak segera menyingkir.”

“Ki Dandung, sadarlah kau! Menghadapi adikku saja, kau

tidak sanggup, apalagi menghadapi aku.”

“Hmm, kau tidak mungkin sehebat wanita itu, anak muda.

Wanita itu hanya memiliki kelebihan kecepatan geraknya saja, akan

tetapi aku pun merasa penasaran dengannya. Jaga seranganku!”

Page 173: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

165 Api Berkobar di Karang Sedana

“Majulah kau anak muda, dan aku akan memecahkan kepala

anak ini, heh!”

“Kukira kau bukanlah seorang laki-laki pengecut, Ki

Dandung.”

“Aah, aku akan bertindak sesuai dengan naluriku, anak muda.

Aku bisa berbuat apapun jika keadaan memaksaku.”

“Ki Dandung… kau… jangan Ki. Jangan ganggu anakku.”

Rara Angken memelas meminta belas kasihan.

“Hehehehe, maafkan aku Nyai. Anak muda inilah yang

membuat aku jadi bertindak seperti ini. Minggirlah kau anak muda!

Biarkan aku lewat.”

“Jangan, Ki. Jangan bawa anakku!”

“Apa yang terjadi, Kakang?” Anting Wulan yang baru tiba

ditempat itu berbisik-bisik bertanya pada Seta Keling.

“Ayoo! Majulah kalian, aku akan segera memecahkan kepala

anak ini. Beri aku jalan!”

“Kakang, itukah keluarga dari sang Prabu?”

“Betul, Wulan. Minggir, berikan jalan padanya.”

“Anakku itu… Ki Dandung, lepaskanlah anakku itu, Ki.”

ratap Rara Angken.

“Tenanglah Tuanku. Hamba akan berusaha untuk

menolongnya.”

“Awas, jika aku mengetahui kalian mengikutiku. Akan

kulepaskan satu per satu tubuh dari anak ini. Ayo!”

Page 174: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

166 Api Berkobar di Karang Sedana

“Oh, anakku… anakku Purbaya… Oooh…” Rara Angken

menggelosor pingsan karena tak tahan akan ketegangan suasana itu.

“Wulan, cepat tolong wanita ini,” seru Seta Keling. “Adik

Awuk dan Saka, ikuti mereka! Cepat!”

Saka Palwaguna dan Dampu Awuk segera melenting tinggi dan

melesat ke arah mana Ki Dandung menghilang. Sedangkan Anting

Wulan bersama Seta Keling berusaha menyadarkan Rara Angken

yang belum sadarkan diri.

Dan beberapa saat setelah memijit beberapa urat di sekitar tengkuk

Rara Angken, wanita itupun segera tersadar.

“Ah? Anakku? Anakku Purbaya! Anakku…”

“Tenanglah Tuanku. Tenanglah. Dua kawan hamba sedang

mencari kemungkinan untuk menolong raden Purbaya.”

“Hey, Ki Podang! Kemari kau!”

“Iya Tuan, iya-iya-iya.”

“Kemana tuanmu melarikan diri, heh!?”

“Saya ti-tidak tau, Tuan.”

“Dengar Podang, saat ini aku sedang benar-benar tidak ada

waktu untuk bermain-main denganmu. Kau tau, aku akan berbuat

sesuatu jika kau tidak juga menunjukkan kemana Ki Dandung

membawa raden Purbaya. Oleh karena itu, sebelum kau menyesali

dirimu, katakanlah kemana Ki Dandung pergi.”

“Anu…”

“Anu apa?”

Page 175: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

167 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ke-ke sarang kami yang semula, Tuan. Sarang kami yang

semula itu di hutan bambu.”

“Hutan bambu? Sarang kalian? Apa maksudmu?”

Seta Keling kebingungan dengan jawaban Aki Podang itu.

Rara Angken yang teringat keterangan puteranya segera memberikan

penjelasan,

“Anak muda, mereka sebenarnya adalah sekumpulan

perampok. Mereka berhasil merebut desa ini dari tangan kepala desa

ini yang sebetulnya masih merupakan adik kandung dari Ki Dandung

sendiri.”

“Hee? Pantas saja kelakuan kalian tidak mencermin kan

kelakuan seorang pengawal desa. Ternyata kalian adalah sekumpulan

begal liar. Ayo, antarkan kami ke hutan bambu itu!”

“Tunggu anak muda. Dari anakku Purbaya, aku mengetahui

Ki Dandung anak durhaka itu menyekap ayahnya sendiri dalam

ruangan khusus. Ki Podang, lepaskan tawanan kalian itu.”

“Maksud Tuanku?”

“Lepaskan tawanan itu! atau kau akan kubuat seperti kayu ini,

heh!?”

“Eeh, iya-iya. Baik-baik… Baik Raden. Mari… mari.”

Sementara itu, Ki Dandung Amoksa menderap kudanya

keluar dari desa Pandan Sari. Raden Purbaya yang ditelikung

tangannya diletakkan di bagian depan, dekat dengan leher kuda.

Page 176: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

168 Api Berkobar di Karang Sedana

Tertelungkup dengan tubuh terguncang-guncang di atas kuda seperti

itu sangatlah menyakitkan. Maka bocah itu pun berteriak-teriak ribut.

“Kakek Gendut, lepaskan aku!”

“Jangan macam-macam kau bocah, kupecahkan kepalamu

disini !” geram Ki Dandung. “Kali ini aku sudah tidak dapat main-

main lagi denganmu.”

“Ayo, lakukan itu. Aku tidak takut kau bunuh!” tantang Raden

Purbaya.

Mendengar ucapan itu, Ki Dandung segera menghentikan

kudanya. Lalu dengan suara bengis dia berkata, “Hmm, kau

menantangku?! Rasakan ini.”

Dengan sekali sentakan yang kuat, kepala begal itu

mencengkram bahu raden Purbaya, lalu melemparkan tubuh anak

berusia sebelas tahun itu ke tanah.

“Aah… ahh. Aduh.”

“Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau masih saja

menantangku,” desisnya.

“Hahaha, kau tidak akan berani membunuhku. Karena aku

merupakan jaminan dari nyawamu. Tanpa aku, mereka akan dengan

leluasa membunuhmu.”

“Huhh, anak setan. Rasakan ini !”

Tangan Ki Dandung segera melayang menempeleng raden

Purbaya berkali-kali.

“Aduh… aduh…”

“Mampus!”

Page 177: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

169 Api Berkobar di Karang Sedana

“Terus, Ki. Bunuhlah aku! Bunuhlah aku jika kau berani.”

Walau mengaduh kesakitan, Purbaya malah semakin terus menantang.

“Hmmh! Anak setan!”

Ki Dandung menjadi semakin geram, akan tetapi dia menyadari bahwa

dia tidak dapat berbuat banyak dengan anak itu. Karena itu, pimpinan

begal dari hutan bambu itu kemudian menyambar tubuh raden

Purbaya yang masih saja berdiri menantangnya dan kembali melompat

ke atas pelana kudanya. Dan tanpa berkata sepatah katapun, dia

menarik kekang kudanya. Kemudian membentak keras untuk memacu

kudanya, “Hiyaaah!!”

Beberapa saat kemudian, tibalah Ki Dandung di tempat yang

ditujunya. Sebuah hutan bambu yang lebat dan nampak menyeramkan.

Musim kemarau yang melanda kerajaan Karang Sedana tak banyak

berpengaruh sampai kemari. Aliran sungai Sedana yang membawa

sisa-sisa airnya masih cukup untuk memberikan kesuburan bagi

kawasan ini. Akan tetapi tidak seorangpun yang berani mendekat

untuk memanfaatkan kawasan ini. Karena disinilah kelompok begal

dibawah pimpinan Ki Dandung selama bertahun-tahun bertempat

tinggal bersama dengan Ki Sampar Angin, gurunya yang sudah lama

mengasingkan diri.

“Hmm, tempat ini semakin tidak terawat. Sejak kutinggalakan

tiga bulan yang lalu. Aku harus memberi tanda sebelum memasuki gua

Page 178: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

170 Api Berkobar di Karang Sedana

tempat guruku ini. Aku tidak ingin mati konyol masuk dengan begitu

saja.”

Ki Dandung Amoksa beberapa saat berdiri di depan goa, dimana dia

dulu tinggal bersama gurunya, Ki Sampar Angin. Ki Dandung

berteriak memanggil gurunya, untuk kemudian dia perlahan-lahan

melangkahkan kakinya memasuki mulut goa yang cukup besar. Ki

Dandung yang telah tiba di mulut gua segera memberikan tanda pada

gurunya bahwa dia telah datang.

“Guru, ini aku yang datang. Dandung muridmu.”

“Masuklah Dandung. Kemana saja kau selama ini?”

Dandung Amoksa segera bergegas setelah mendengar suara gurunya.

Dan kemudian laki-laki yang ganas pimpinan begal yang ditakuti oleh

banyak orang itu duduk bersimpuh membeberkan sembah pada laki-

laki yang kelihatannya sudah berumur lanjut. Akan tetapi diantara

temaramnya cahaya yang masuk kedalam dua itu masih dapat

ditangkap sinar mata Ki Sampar Angin yang memancarkan sinar

kebuasan yang penuh dengan pancaran nafsu keserakahan.

“Hey, kemana saja kau Dandung? Kau meninggalkan tempat

ini lebih dari 3 bulan. Hmm, siapa bocah yang kau bawa itu?”

“Maafkan saya, Guru. Saya mencoba untuk menjalan kan

siasat kita semula. Saya baru saja menguasai Pandan Sari dan pada

saatnya nanti saya tentu akan menguasai desa-desa lain di sekitarnya,

tapi saya harus melakukan itu semua dengan hati-hati karena jika

Page 179: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

171 Api Berkobar di Karang Sedana

sampai baginda Sanna tahu, walaupun jauh beliau tentu akan

mengirimkan bala tentaranya, Guru.”

“Eh, bagus. Lalu siapakah bocah yang kau bawa itu?

Muridmu kah?”

“Dia… Hmmm, Dia adalah putra dari prabu Aji Konda yang

sudah berhasil direbut kekuasaannya, Guru.”

“Oh, Aji Konda dari Karang Sedana?”

“Benar, Guru. Saya bermaksud hendak memberikan bocah ini

kepada Ki Sentana yang kini menjadi penguasa di Karang Sedana.”

“Hee? Kau berubah pikiran melihat rencana mereka berhasil

Dandung? Darimana kau dapatkan bocah itu?”

Kemudian Ki Dandung menceritakan semua kesulitannya pada Ki

Sampar Angin gurunya. Tentang Ki Jagal Pati utusan Ki Darpo yang

ingin menguasai anak ini dan juga tentang keempat anak muda yang

tangguh murid dari padepokan Goa Larang.

“Hmm, Kau datang kembali padaku setelah menemui

kesulitan Dandung? Tapi siapakah empat pemuda tangguh yang kau

katakan itu?”

“Saya tidak tahu, Guru. Agaknya dia adalah murid dari

perguruan ternama.”

“Ah, baiklah. Kau beristirahatlah dulu. Biar aku yang akan

melayani orang yang mengejarmu itu. Lihatlah, lihatlah itu kedua anak

muda itu Dandung. Itukah mereka yang kau maksud?”

“Benar, Guru. Mereka adalah dua diantara empat anak muda

yang saya ceritakan tadi.”

Page 180: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

172 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hey, kau lihatlah. Aku akan melayani mereka.”

“Pasti, Ki Dandung bersembunyi di dalam, adik Awuk,” ucap

Raden Saka yang melihat seekor kuda tidak jauh dari sebuah Goa yang

cukup besar.

“Jika demikian aku masuk melihatnya, kakang.”

“Hey, tunggu dulu adik Awuk. Berbahaya sekali jika kita

masuk saat ini. Di dalam mungkin banyak jebakan.”

“Tapi apa kita harus berdiam diri saja di sini, Kakang?”

“Sabar adik Awuk. Kita akan masuk, tapi kita akan mencari

mencari akal untuk itu. Bukan tidak mungkin di dalam tidak hanya Ki

Dandung sendiri.”

“Hey, kenapa kalian ragu anak muda? Masuklah kemari. Aku

menunggumu bersama bocah ini.”

“Siapakah Tuan yang berada di dalam? Aku merasa belum

mengenal Tuan. Aku hanya ingin berurusan dengan Ki Dandung yang

telah membawa lari anak itu.”

“Hey, anak muda. Darimanakah asal kalian? Apakah kamu

belum mengenal aku, sehingga berani masuk kemari di hutan bambu

ini.”

“Maaf, Tuan. Saya tidak mengenal Tuan dan maafkan saya

jika saya sampai mengganggu Tuan disini. Saya akan segera pergi dari

sini jika saya telah mendapatkan kembali anak itu.”

Page 181: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

173 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hee, kurang ajar. Jika demikian kau menantangku. Anak

muda, dengarlah! Aku adalah Sampar Angin, penguasa hutan bambu

ini.”

“Heh! Siapapun adanya kau, aku tidak akan mundur sebelum

kau berikan anak itu!”

“Kurang ajar! Agaknya kau bukanlah penduduk daerah Galuh

ini, hah! Dan gurumu agaknya tidak menceritakan siapa sesungguhnya

Sampar Angin.”

“Keluarlah kalian, mari bertanding di luar sini. Aku akan

melayanimu hingga kau puas.”

“Hey, anak muda. Jika kau memang mempunyai keberanian,

masuklah kemari.”

“Baiklah, akan kulihat tampangmu di dalam sana.”

“Tunggu adik Awuk. Jangan sembrono. Kita tidak tahu

jebakan macam apa yang tengah mereka siapkan.”

“Tidak Kakang. Aku tidak sabar lagi jika harus menunggu

lama di sini. Kita harus berbuat sesuatu Kakang. Biarkan aku mencoba

masuk ke dalam, Kakang.”

“Ahh, baiklah. Jika kau memaksa, hati-hatilah adik Awuk.”

“Setan, curang kau!”

“Sudahlah adik. Jangan lanjutkan langkahmu lagi. Kita berada

dalam posisi yang tidak menguntungkan. Kita tunggu saja mereka di

sini.”

Page 182: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

174 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hey, kenapa kau berhenti anak muda? Gerakanmu tadi

benar-benar kupuji. Jarang ada orang yang dapat menyelamatkan diri

dari sambaran serangan jarum beracun ku tadi. Kau hebat anak muda,

dalam keadaan yang cukup sulit kau masih dapat mempertahankan

nyawamu. Bagus, bagus. Agaknya kini aku tengah menghadapi

beberapa orang murid dari sebuah perguruan yang cukup mempunyai

nama. Jika begitu, ini… Kau ambillah anak ini dan kemudian kita akan

bertempur secara jantan. Heh, bocah! Pergilah kau keluar. Ayo!”

“Adik Awuk, itu dia raden Purbaya.”

“Kemarilah, Raden. Cepat! Kemari Raden!”

Raden Saka Palwaguna melesat ke depan untuk menjemput raden

Purbaya. Akan tetapi belum juga dia sampai di samping raden

Purbaya, seutas tali yang panjang meluncur dari dalam goa dan

menyambar raden Purbaya yang sedang berlari. Dan beberapa saat

kemudian tubuh raden Purbaya melayang kembali ke dalam gua.

“Kasihan sekali. Kasihan anak-anak muda.” Sampar Angin

terkekeh mengejek.

“Orang tua gila, jika kau benar-benar jantan dan berani,

keluarlah dan hadapi aku.”

“Hehehehe, lucu. Lucu sekali anak muda. Agaknya kalian

adalah murid dari si tua Wanayasa dari Goa Larang. Gerakan kakimu

tadi ketika hendak menyambar bocah ini adalah jurus Kincir Metu

yang dibanggakan si tua Wanayasa. Ayo, kita teruskan permainan kita

ini. Ah, ayo bocah. Kau pergilah keluar lagi.”

“Tidak, aku tidak akan kelular dari sini.”

Page 183: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

175 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hey, benar kau tidak mau aku bebaskan?”

“Aku tidak mau kau permainkan dengan cara seperti tadi.

Lebih baik kau lemparkan aku keluar seperti kau menarikku tadi.”

“Eh? Eh? Kau… kau berani melawan perintahku?”

“Aku tidak taku pada siapapun juga!”

“Hemm, Guru… anak ini memang sangat keras kepala dan

sukar sekali ditundukkan, Guru.”

“Hehehe, bagus. Bagus sekali. Akan kulihat sampai dimana

kekerasan. He, benar kau tidak mau keluar dan tidak mau

kupermainkan seperti tadi? Jawab bocah setan!”

“Ya! Aku tidak mau keluar!”

“Hehehehe, baru kali ini aku Sampar Angin ditentang oleh

bocah sepertimu. Hey, perwira-perwira Karang Sedana pun tidak akan

berani berbuat sepertimu, anak setan. Eh akan kulihat sampai dimana

bukti kata-katamu.”

“Anak muda, ini kau terimalah bocah ini.”

“Adik Awuk, putuskan talinya!”

“Awas kakang, jarum beracun!”

“Hahaha, ayo anak muda. Ambillah bocah yang kalian

inginkan. Bocah itu sudah ada di hadapan kalian, hey apakah kau

begitu tega membiarkan anak itu terkapar di hadapanmu? Ayo…

ayo…”

Page 184: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

176 Api Berkobar di Karang Sedana

“Guru, berhati-hatilah jangan sampai anak itu lepas dari

tangan kita.”

“Diam kau murid bodoh! Percuma aku mendidikmu bertahun-

tahun jika hanya seperti ini hasilnya. Tolol !”

Melihat keadaan yang menguntungkan Saka Palwaguna segera

memanfaatkannya. Pisau kecil yang terselip dipinggangnya melesat

cepat bagaikan kilat memotong tali yang mengikat raden Purbaya.

Bersama Dampu Awuk dia melesat mendekati raden Purbaya.

“Kurang ajar! Rasakan jarumku ini !”

“Awas, kakang!”

“Setan, agaknya kalian berhasil memaksa aku keluar dari

guaku. Dan itu berarti kalian mencari mati sendiri.”

“Kakang, kau jaga anak ini. Biar aku yang akan mencoba

menghadapi orang itu.”

“Anak ini tidak apa-apa, adik Awuk. Dia hanya tertotok jalan

darahnya saja. Nah, duduklah di sana Raden.”

“Awuk, mari kita hadapi bersama-sama.”

“Kalian hebat sekali anak muda berhasil mengambil anak ini

dari tanganku. Sekarang kalian boleh mencoba bersama-sama

menghadapiku.”

“Adik Awuk kita coba menghadapinya dengan Barisan

Sepasang Kincir. Aku mengambil bagian kanan.”

“Wanayasa tua terlalu bangga dengan jurus Kincir Metunya.

Kincir Metunya tidak ada artinya dihadapanku.”

Page 185: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

177 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kincir Metu yang kami kuasai belum ada separuh nya dari

yang dimiliki Guru.”

Pertarungan yang terjadi antara Ki Sampar Angin dengan dua

pendekar dari Goa Larang sangat tidak seimbang. Serangan demi

serangan dari Kincir Metu hampir tak berarti sama sekali. Akan tetapi

pertarungan itu menjadi berlarut-larut karena Ki Sampar Angin

melayaninya sambil bermain-main. Sampai akhirnya pada suatu

ketika…

“Aah, agaknya kawan-kawanmu mulai berdatangan, anak

muda. Dandung! Kau boleh menangkap anak itu lagi !”

Kawan-kawan yang dikatakan oleh Ki Sampar Angin pada

Saka Palwaguna, ternyata adalah rombongan dari Pandan Sari yang

dipimpin oleh kakaknya Seta Keling dan Anting Wulan, membawa

serta Ki Pandan Sengkala dan Rara Angken beserta Cempaka.

“Raden, lari !”

“Berhenti, Ki Dandung!”

“Heey, mau kemana kau anak muda!?”

“Kakang, tinggalkan itu”

“Mau kemana kau?”

“Biarkan aku pergi!”

“Tunggu Dandung, hadapi aku saja! Lari raden Purbaya, lari

!”

“Ah, dimana anak iblis itu? Dimana kau Dandung.”

Page 186: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

178 Api Berkobar di Karang Sedana

“Celaka, itu ayahku. Siapa yang melepaskannya?”

“Heeh, kemari kau Dandung. Aku sendiri yang akan

memecahkan kepalamu. Tidak orang lain!”

“Hey, mau ke mana kau Dandung? Berhenti !”

“Guru,… aku… aku…”

“Hey, kau takut pada orang tua buta itu? Siapa itu?”

“Guru… aku…”

“Hahaha, tentu saja dia takut pada orang tua itu. Ki Pandan

Sengkala ini adalah ayahnya sendiri yang telah dibuatnya cacat!”

“Ooh, benar? Orang itu ayahmu Dandung? Hehehe, hey

kenapa tidak kau bunuh saja orang itu dengan tanganmu sendiri?”

“Heh! Setan tua, agaknya kaulah yang merusak anakku

Dandung, hingga jadi gila seperti ini. Ayoo, hadapi aku Pandan

Sengkala!”

“Hahaha, Pandan Sengkala jika kau ingin mati, matilah

ditangan anakmu sendiri.”

“Sebaiknya Ki Pandan beristirahat. Biar kami yang

menghadapi Ki Sampar Angin itu.”

“Ja-jadi… orang tua itu adalah Ki Sampar Angin?”

“Benar Ki Pandan. Biarlah kami berempat mencoba

menghadapinya.”

“Ooh, siapakah kalian? Apakah kalian sanggup menghadapi

Ki Sampar Angin?”

“Nanti Ki Pandan akan mengetahuinya. Sekarang mundurlah

beberapa tombak biar kami yang menghadapi nya.”

Page 187: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

179 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baik. Semoga kalian berhasil, anak muda.”

“Pergunakan pedang!”

Keempat murid dari eyang resi Wanayasa kemudian menggelarkan

barisan Empat Kincir Angin. Keempat pemuda yang hampir delapan

tahun berguru di padepokan Goa Larang kini masing-masing

menempatkan diri di empat sudut yang berbeda. Serangan demi

serangan dilancarkan nya secara bergantian. Barisan Empat Kincir ini

merupakan suatu barisan penyerangan dan sekaligus barisan

pertahanan yang sangat kuat. Oleh karena itu, Ki Sampar Angin kali

ini mengalami sedikit kesulitan menghadapi barisan Empat Kincir ini.

“Wulan, Awuk segera bersiaga. Adik Saka, jurus Bayang-

Bayang Mata Angin!”

“Barisan Kincir Metu ini makin hebat saja,” keluh Ki Sampar

Angin. Akhirnya dia mengakui tambahan dua orang pada formasi

Kincir Metu itu cukup membuatnya kewalahan, “Kalian hebat anak

muda! Sekarang kalian terpaksa aku layani dengan senjataku!”

“Mau kemana kau Ki Sampar?”

“Nah inilah yang akan hadapi sekarang, anak muda! Jagalah

kepala kalian! Bandul diujung rantaiku ini walaupun kecil tetapi telah

kuolesi dengan racun yang amat hebat!”

“Kali ini kalian tidak akan aku ampuni, anak muda. Kalian

telah membuat aku susah dengan semua ulah kalian.”

“Hati-hati kakang! Orang ini pandai sekali mempergunakan

permainan rantai !”

Page 188: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

180 Api Berkobar di Karang Sedana

“Desak terus dengan Bayangan Delapan Mata Angin, adik

Saka!”

Pertempuran antara Ki Sampar Angin dengan keempat remaja dari

Ning Sewu berjalan semakin serunya. Serangan-serangan yang

membadai dari rantai Ki Sampar Angin tak dapat masuk dan

menembus pertahanan dari barisan Empat Kincir yang kini sedang

menggelarkan jurus Bayang-Bayang Delapan Mata Angin. Kilatan

dan sambaran pedang dari Saka Palwaguna dan Seta Keling

membiaskan empat serangan ke arah yang berbeda membuat Ki

Sampar Angin harus benar-benar memikirkan lebih banyak

pertahanan daripada gerak serangan.

Sementara itu dipinggir arena pertempuran, raden Purbaya bertemu

kembali dengan ibundanya dan Ki Pandan Sengkala.

“Kau bocah kecil yang kutemui di ruang tahanan itu?”

“Benar, Kek. Saya adalah Purbaya.”

“Bagus, akhirnya kau selamat juga. Seandainya terjadi

sesuatu pada dirimu karena Dandung, aku akan semakin menyesali

nasib.”

“Perbuatan Ki Dandung adalah urusan Ki Dandung sendiri.

Kakek tidak usah menyesali diri dan merasa bersalah.”

“Iya… iya. Kau benar bocah kecil. Bagaimana dengan

pertempuran yang berlangsung? Apakah anak-anak muda yang

menolong kita itu dapat melayani Ki Sampar Angin?”

Page 189: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

181 Api Berkobar di Karang Sedana

“Agaknya demikian. Kulihat tadi Ki Sampar Angin terpaksa

mengeluarkan senjata untuk menghadapi mereka.”

“Ya-ya-ya, itu aku juga mendengarnya. Dimana Ki Dandung

berada? Tunjukkanlah padaku, bocah.”

“Dia ada di sebelah kiri kakek, kira-kira delapan tombak dari

sini, tepat di depan gua”

“Terima kasih, bocah.”

“Hey, Dandung! Layani aku!”

“Hmm, kembali ke Pandansari ! Aku akan memaaf-kanmu,

cepat!”

“Bocah gila! Setan Iblis! Kubunuh kau!”

Ki Dandung tidak menyadari serangan-serangan dari ayahnya dapat

dengan cepat mengarah ke tubuhnya. Dan setelah Ki Dandung terlibat

dalam pertempuran, Ki Pandan Sengkala berusaha terus dan beberapa

saat kemudian mulai terdesak hebat oleh serangan-serangan dari

ayahnya sendiri. Sampai akhirnya…

“Hmm, muridku Dandung dalam bahaya, aku harus segera

menolongnya.”

“Mampus kau orang tua buta!”

“Awas! Ki Pandan!”

“Ayo tinggalkan tempat ini, Dandung.”

“Biarkan orang itu.”

“Awas kau orang tua jahat!”

“Hehehehe, aku pun belum puas menjajal Kincir Metumu itu.

Kelak aku akan datang menjumpai kalian dan juga si tua Wanayasa.”

Page 190: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

182 Api Berkobar di Karang Sedana

“Terima kasih anak muda. Kau sudah menyelamat-kan

nyawaku. Kukira tadi ketika sambaran angin yang sudah kurasakan

mengarah ke tubuhku akan segera merenggut nyawaku, tapi lemparan

pedangmu itu tepat beberapa jari di depan dadaku menghadang senjata

Ki Sampar Angin. Terima kasih, anak muda… jika aku boleh tahu

siapakah kalian ini? Sayang sekali aku tidak dapat melihat wajah

tampan dan keperkasaan kalian.”

“Eeh, kami ini adalah kelompok Ning Sewu, Ki Pandan.”

“Ning Sewu?!”

“Ya…”

“Ooh, pantaslah kalian dapat menghadapi Ki Sampar Angin

kalian ternyata adalah murid padepokan Goa Larang.”

“Ah, aku juga mengucapkan terima kasih sekali lagi atas

pertolongan untuk anakku, tapi…”

“Ada apakah Tuanku? Mengapa Tuanku menangis seperti

ini?”

“Tidak…”

“Tuanku tidak usah khawatir. Untuk sementara ini Tuanku

dapat tinggal di tempat kami di Goa Larang. Disana Tuanku akan

aman, tidak ada yang mengganggu. Jika Tuanku berada di gunung

Sawal, saya khawatir mereka akan tetap mengganggu.”

“Ya, di gunung Sawal nanti sang Prabu menungguku, anak

muda.”

Page 191: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

183 Api Berkobar di Karang Sedana

“Biarlah nanti kami akan memberitahukan sang Prabu di sana,

setelah mengantarkan Tuanku berdua ke padepokan kami.”

“Baiklah, terima kasih anak muda. Aku telah menyusahkan

kalian semua.”

“Tidak apa, Tuanku”

Mata Seta Keling kemudian tertuju pada Ki Podang.

“Eh, Ki Podang dengarlah! Aku mengampuni kalian sekali

tapi ingatlah jika aku singgah di Pandansari, dan aku masih mendengar

kalian masih saja membuat ulah di sana… Aku benar-benar akan

mengampuni kalian lagi. Tinggallah kalian di sana. Bantulah Ki

Pandan Sengkala memerintah desanya. Nah, Ki Pandan… kami

permisi.”

“Oh, selamat jalan anak-anak muda, dan kau bocah.”

“Semoga kelak kita berjumpa lagi, Kek. Ayo Bunda. Eh, bibi

Cempaka bagaimana? Apakah luka bibi masih terasa sakit?”

“Eh, tidak Purbaya. Rasa sakit sudah jauh berkurang setelah

diberikan obat oleh Tuan penolong itu,” sahut Cempaka sambil

berusaha tersenyum.

“Eeh… jika sudah siap… Ayo kita berangkat.”

Raden Seta Keling yang memimpin rombongan ke Goa Larang

memutuskan untuk melalui jalan kota agar dapat lebih cepat tiba di

Goa Larang. Lain halnya dengan perjalanan yang semula Rara Angken

lakukan, kini bersama keempat pemuda perkasa mereka justru

Page 192: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

184 Api Berkobar di Karang Sedana

memacu kudanya ke arah kota Kancarupa yang ramai, di perbatasan

timur Karang Sedana dan Galuh.

Tiba-tiba Cempaka memegangi dadanya dan mulai mengeluh

kesakitan. Menyadari hal tersebut, Purbaya segera berseru, “Paman!

Paman Seta, berhenti sebentar. Bibi Cempaka lukanya terasa kembali

lagi.”

“Wulan, coba kau periksa kembali.”

“Baik, Kakang… Adik Cempaka bagian mana yang kau

rasakan sakit kali ini?”

“Ba-bagian yang tadi,… dadaku.”

“Ini kau telanlah lagi. Pil yang tadi aku berikan. Aku akan

mengobatimu nanti di penginapan kota.”

“Apakah luka bibi Cempaka berbahaya, bibi Anting?”

Anting Wulan tersenyum.

“Tidak. Tidak terlalu berbahaya. Luka itu akan sembuh jika

diobati dan banyak beristirahat.”

“Ayo, hari sudah hampir sore. Kita lanjutkan perjalanan kita.

Nanti kita beristirahat dan makan di sana.”

Ketika hari sudah menjelang sore, mereka tiba di Kota Kancarupa

sebuah kota yang ramai dengan pertemuan para pedagang dari Karang

Sedana dan Galuh. Rumah makan yang besar dan penginapan yang

bersih banyak dijumpai di setiap sudut kota Kancarupa.

Page 193: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

185 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, rumah makan ini cukup bersih dan juga disini

menyediakan kamar untuk penginapan. Mari Tuanku, hamba kira

tempat ini cukup baik untuk Tuanku.”

“Ah, dimanapun bagiku tidak apa. Tempat ini jauh lebih baik

dari pada hutan belantara yang beberapa hari ini kulalui. Eeh, tunggu

anak muda…”

“Ya, Tuanku?”

“Untuk menghindarkan kecurigaan orang, sebaiknya kau

jangan membahasakan diri seperti itu. Sebutlah aku dengan sebutan

Nyai atau apa saja.”

“Eh, benar Tuanku… Eh, Nyai. Saya harap Nyai pun mau

memanggil kami dengan sebutan nama saja.”

Rara Angken tersenyum, “Baiklah, Seta. Ayo kita masuk.”

“Bibi Anting, tolong turunkan bibi Cempaka.”

“Baiklah, Raden…. Mari adik Cempaka.”

“Kakang,… Aku merasakan sesuatu yang tidak wajar dengan

dua orang yang di sudut sana. Lihatlah, mereka selalu mencuri

pandang pada kita.”

“Iya, kau benar adik Wulan. Aku bahkan merasakan semua

ketidakwajaran ketika kita memasuki gerbang kota ini. Banyak mata

yang mencuri pandang seperti orang itu.”

“Biar aku coba tanyakan pada mereka apa maunya.”

“Jangan adik Awuk. Janganlah memancing keributan dalam

situasi kita yang seperti ini. Anting, kau naiklah ke kamar atas. Ajak

Page 194: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

186 Api Berkobar di Karang Sedana

Nyai dan Cempaka beristirahat. Biar Purbaya menghabiskan sisa-sisa

makannya di sini.”

“Eeh, mari Nyai… Cempaka.”

“Ayo, kau habiskanlah makananmu, Purbaya. Kita akan

segera beristirahat.”

“Aku sudah selesai, Paman. Paman ingin segera naik?”

Ketika mereka baru saja hendak bangkit meninggalkan tempat

duduknya, dari arah pintu rumah makan masuklah seorang pengemis

tua yang jalan tersaruk-saruk meminta sedekah kesetiap meja tamu

yang sedang makan. Raden Purbaya yang tidak melihat seorangpun

yang memberikan sedekah, segera memanggilnya.

“Kek, kakek pengemis… Kemarilah.”

“Ooh, iya-iya. Ada apa Tuan kecil?”

“Naah, bukan kau mencari makan?”

“Benar Tuan kecil. Apakah Tuan kecil hendak memberi saya

sedekah untuk makan hari ini?”

“Ah, kau lihat di mejaku banyak sisa makanan yang utuh dan

belum kami sentuh. Ambillah, kau bisa makan semua itu sepuas

hatimu.”

Kakek itu terkekeh senang, “Ah, iya. Terima kasih, terima

kasih Tuan kecil.”

“Oh iya, aku menginap disini malam ini. Besok pagi dan siang

kau dapat datang kembali ke mari. Kami akan memberimu makan lagi

bukankah begitu, paman Seta?”

Page 195: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

187 Api Berkobar di Karang Sedana

Raden Seta Keling tertawa kecil mendengar perkataan

Purbaya itu.

“Iya. Benar Purbaya. Kakek itu dapat datang kembali besok

saat kita makan di sini.”

“Aah, iya-iya. Terima kasih, Tuan.”

“Nah, Purbaya… Ayo, kita beristirahat di atas.”

“Mari, Paman.”

Malam harinya, suasana di sekitar penginapan tempat raden Seta

Keking dan rombongannya menginap dicekam oleh kesunyian yang

amat sangat. Akan tetapi di jalan raya yang lengang itu, pada setiap

jarak beberapa tombak tampak bayangan orang yang sedang berdiri.

Mereka kelihatan sedang dalam keadaan berjaga-jaga dan dalam

keadaan kewaspadaan tinggi. Suasana ketegangan yang menyelimuti

di sekitar penginapan kelihatan semakin memuncak. Dan hal itu pun

segera dirasakan oleh Raden Seta Keling dan kawan-kawannya.

“Adik Saka, adik Awuk. Aku merasakan suasana yang tidak

wajar yang tengah terjadi di sekitar kita.”

“Hmm, kesunyian ini, Kakak? Coba aku lihat keadaan di luar

dari jendela ini.”

“Kakang, lihat itu Kakang. Aku melihat dua orang yang

mencurigakan di sana dan di sana. Ooh, itu di sana aku melihat dua

orang lainnya.”

“Siapakah mereka? Kehadiran mereka sangat men-curigakan

sekali, Kakang.”

Page 196: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

188 Api Berkobar di Karang Sedana

“Oh,… beritahu Wulan di kamar sebelah agar berhati-hati,

adik Saka.”

“Baik, Kakang.”

“Dimana adik Wulan, Nyai?”

“Ada dibalik pintu itu. Adik Wulan sedang mengobati

Cempaka.”

“Ahh…hmm…”

“Ada apa adik Saka? Kelihatannya engkau bingung sekali…”

“Eeh, ti-tidak… Nyai. Biar saya permisi ke sebelah dahulu.”

“Tunggu, Kakang. Aku sudah selesai.”

“Aah,” Seta Keling merasa lega.

“Ada apa, Kakang?”

“Kakang Seta meminta kau untuk berhati-hati. Suasana di luar

sangat mencurigakan.”

“Oh ya? Aku… aku tidak dapat merasakannya. Aku sedang

mencurahkan perhatianku pada Cempaka.”

“Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Luka dalamnya

sudah jauh berkurang. Kubantu penyembuhan-nya dengan tenaga

dalamku, kakang.”

“Baiklah jika begitu.”

“Tunggu, Kakang.”

Anting Wulan bergerak cepat ke arah jendela, lalu berseru

keras, “Siapa kalian?”

Page 197: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

189 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eeh… Kau mendengar sesuatu, Wulan?”

“Ya, Kakang. Langkah beberapa orang diatas genteng kita.”

“Haah, gerakannya sangat hebat. Bayangannya pun tidak

sempat kita lihat.”

“Sudah tentu adik Awuk, karena kita kehilangan waktu untuk

membuka jendela.”

“Aaaww! Aaww!”

“Celaka Nyai Rara Angken.”

“Ada apa Nyai? Apa yang terjadi?”

“Itu… Itu, di dinding bilik itu.”

“Paser! Apa ada yang datang kemari?”

“Tidak, Paman. Paser itu ditimpukkan ke dalam sini ketika ibu

sedang mencoba melihat keluar melalui jendela itu.”

“Kakang,… lihat. Agaknya paser itu membawa pesan.”

“Tunggu, adik Wulan. Aku khawatir gulungan daun lontar di

paser itu dibubuhi racun. Biar aku melihatnya. Hmm, eh adik Saka,…

bagaimana pendapatmu?”

“Tidak Kakang, paser ini tidak beracun, juga daun lontar itu.”

“Hmm, pesan ini agaknya untuk kita. Entah apa artinya. Kau

bacalah adik Saka.”

“Iya…”

Mencari makan dengan bekal kaleng dan tongkat. Mencari

teman dengan bekal kejujuran dan niat. Sepotong daging, semangkuk

sayur dan sepiring nasi yang diberikan tanpa pamrih dan hati bersih,

Page 198: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

190 Api Berkobar di Karang Sedana

bernilai setinggi gunung dan sedalam lautan budi. Akan kami bayar

dengan taruhan nyawa kami.

Semua yang mendengar kalimat-kalimat yang dibacakan Saka

Palwaguna mengerutkan kening, mereka semua bertanya-tanya dalam

hati.

“Hihihi, aneh sekali. Seperti sajak seorang pengemis.”

“Hee? Pengemis ! Adik Saka…” seru Seta.

“Ya?”

“Eh… apakah?! Ah tapi tidak mungkin…”

“Kenapa kakang Seta? Ada apa?”

“Eeh, tadi sore ketika kau baru saja naik ke atas meninggalkan

meja makan,…”

“Ooh, pengemis yang saya beri makan itu, paman Seta?!” sela

Purbaya.

“Iya. Mungkin… Eeh, adik Wulan. Ketika kau baru saja naik,

raden Purbaya memberikan makan pada seorang pengemis tua yang

datang meminta sedekah.”

“Hmm, kakang… apakah mungkin pengemis itu adalah

seorang sakti yang sedang dalam penyamaran?” Anting Wulan

mengungkapkan dugaannya.

“Eh, aku tidak tahu. Mungkin saja…”

“Kakang, aku akan keluar dari sini. Kalian tunggulah, akan

kutanyakan pada orang-orang yang berjaga di sekitar penginapan ini.”

Page 199: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

191 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tunggu adik Wulan, biar kau kutemani. Adik Saka dan adik

Awuk, kau tunggulah di dalam sini, ya…”

“Baik, kakang Seta.”

“Marilah, Wulan.”

“Eh, sobat. Siapakah kalian? Dan sedang apakah kalian

berjaga-jaga disini?” sapa Anting Wulan pada seorang gadis muda.

“Saya adalah salah satu orang yang bertanggung jawab atas

kehadiran mereka. Hmm, kami mendapat perintah dari guru kami,

untuk mengamankan penginapan ini dari pengacau yang sebentar lagi

tiba.”

“Pengacau? Siapakah pengacau yang kalian maksudkan?”

“Ki Darpo dan para begundalnya malam ini akan datang

kemari untuk merebut pelarian dari Karang Sedana.”

“Ki Darpo? Lalu… lalu siapakah kalian ini?”

“Eeh, maaf. Dari pakaian yang kalian kenakan, agaknya

kalian dari perguruan Pengemis Tongkat Merah?”

“Benar, Tuan. Saya adalah salah seorang murid dari

perguruan Tongkat Merah.”

Pembicaraan mereka terputus saat gadis muda murid

perguruan Tongkat Merah itu mendengar suara kaleng dipukul

beberapa kali. Dia berseru pada Anting Wulan dan Saka Palwaguna,

“Masuklah, Tuan. Mereka kini sudah tiba.”

“Hey, tunggu! Berhenti pencuri busuk!”

“Huh! Siapakah kau? Mengapa kau menghalangi kami,

bocah!?”

Page 200: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

192 Api Berkobar di Karang Sedana

“Urungkanlah niatmu membuat kekacauan di sini. orang yang

kau cari kini berada dibawah lindungan kami.”

“Heh, bocah kecil, sungguh besar sekali mulutmu. Sadarkah

kau apa yang baru saja kau katakan?”

“Tinggalkan tempat ini. Sebelum kami melumatkan semua

begundal-begundalmu. Kami sudah tahu maksud kedatanganmu.”

“Hahaha, darimana kau tau rencana kami ini, bocah

sombong?”

“Tidak perlu kalian tahu! Kami hanya minta turunlah dari atas

atap penginapan ini.”

“Adik Jagal Pati, saat ini dihadapanmu ada seorang gadis

manis memaksamu untuk segera mengurungkan niatmu. Nah, kini apa

yang akan kau lakukan?”

Jagal Pati menggeram, “Hmm, sebaiknya kita tidak

membuang-buang waktu, kakang Darpo. Aku khawatir mereka akan

segera pergi meninggalkan tempat ini. Heh, kau lah yang turu, bocah!”

Jagal Pati yang menjadi tidak sabaran melihat Ki Darpo yang melayani

bicara panjang lebar untuk itu dia pun membuka serangan dorongan

tenaga guna melempar Sariti dari atas atap. Akan tetapi yang terjadi

justru sebaliknya. Jagal Pati tidak berhasil memukul pengemis wanita

itu. Serangan yang dilancarkannya dengan lincah dielakkan oleh

murid dari perguruan Tongkat Merah. Malah tongkat merah

ditangannya kini berputar deras di sekeliling tubuhnya dan tanpa dapat

dicegah lagi…

“Kurang ajar, siapakah gadis ini sebenarnya?”

Page 201: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

193 Api Berkobar di Karang Sedana

“Adik Jagal Pati, jangan khawatir, kubantu kau!”

“Kakang Darpo, dimanakah Ki Sampar Angin dan Dandung

Amoksa?”

“Entahlah kemana orang tua gila itu.”

“Ki Jagal Pati, biar kita ubah rencana saja. Panggil semua

anak-anak, Ki Jagal !”

Siulan Ki Jagal Pati yang memecah kesunyian malam terdengar

hingga ke empat penjuru penginapan. Dan beberapa saat kemudian

puluhan bayangan berkelebat mendekat ke arah penginapan di mana

pelarian Karang Sedana berada. Di antara mereka tampak Jagal

Lanang dan Jagal Belo dan beberapa pimpinan begundal anak buah Ki

Darpo.

“Berapa banyak kawan yang kau siapkan, bocah bodoh? Kami

datang dengan empat puluh orang teman.”

“Kakang Darpo, cepat selesaikan bocah susah ini. Jika dapat

kita selesaikan jangan terlalu lama.”

“Kakang Seta, apakah kita akan berdiam diri saja sementara

mereka mengadu nyawa untuk kita?”

“Kau sabarlah Anting. Kau lihatlah, gadis itu kukira masih

dapat melayani Ki Darpo dan kawan-kawannya. Dan kawan-

kawannya yang lainpun kukira akan berhasil menahan tekanan dari

pasukan Karang Sedana.”

“Iya. Tapi kedua tanganku gatal sekali melihat keadaan ini,

Kakang.”

Page 202: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

194 Api Berkobar di Karang Sedana

“Sebaiknya kita disini saja, Wulan. Kita dapat segera kembali

ke kamar jika terjadi apa-apa dengan Nyai Angken dan Purbaya.”

Ketika sedang asyik berbincang sambil memperhatikan suasana

pertempuran, raden Seta Keling dan Anting Wulan tiba-tiba

dikejutkan oleh suara kecil dari atas pohon yang tak jauh dari

tempatnya.

“Enak sekali duduk disini, Kek. Kau pandai sekali melompat

setinggi ini.”

“Kakang, lihat! Itu di atas sana.”

“Ooh, celaka! Kenapa bisa sampai begitu? Tunggu… tunggu

adik Wulan. Jangan terburu nafsu. Aku percaya dengan orang tua itu.

Eeh, sebaiknya kita lihat ke dalam saja. Ayo.”

“Adik Saka… Eeh, mereka semua kena totok jalan darahnya.”

“Celaka Kakang, kakek itu membawa lari Purbaya.”

“Anakku !! Anakku dibawa oleh kakek pengemis. Tolonglah

adik Seta.”

“Tenanglah, Nyai. Anak itu kukira tidak akan kemana-mana.

Kakek itu tidak akan bermaksud jahat dengan Purbaya.”

“Tapi, dimanakah anakku sekarang?”

“Ada Nyai. Mereka ada di luar. Mari… mari kita semua ke

halaman samping. Adik Dampu Awuk, dampingi Nyai bersama

Anting Wulan!”

Untuk lebih menjaga keamanan, akhirnya raden Seta Keling mengajak

permaisuri prabu Aji Konda untuk bersama-sama dengan mereka

keluar sambil mempelajari keadaan. Akan tetapi baru saja mereka tiba

Page 203: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

195 Api Berkobar di Karang Sedana

di halaman samping, sebuah bayangan yang cepat meluncur dan

melancarkan serangan-serangan yang beruntun ke arah mereka.

“Hadapi dengan barisan Empat Bintang!”

Belum sempat barisan Empat Bintang digelar untuk menahan

maupun menyerang, tiba-tiba terdengar suara parau terkekeh-kekeh

berseru,

“Minggirlah anak-anak muda. Serahkanlah lawanmu itu

padaku. Sampar Angin… kenapa kau sekarang mulai kembali

menyibukkan dirimu dengan urusan anak-anak? Ayo, lepaskan

mereka Sampar Angin. Sore tadi anak ini sudah memberiku makanan.

Sepotong daging, semangkuk sayur dan sepiring nasi.”

“Ternyata kau adalah pengemis Dusta. Minggirlah Pungkur,

aku akan mengambil beberapa orang yang sangat kuperlukan di sini.”

“Sayang sekali, tongkatku ini masih tidak mengijinkan. Nah,

kau kepinggirlah bocah baik. Aku akan mengajar adat pada kakek

yang masih juga menyusahkan orang.”

“Ayolah Sampar Angin. Aku sudah siap melayanimu.”

“Eeh, pengemis rendah! Sampah kota, kuhancurkan kepalamu

dengan rantaiku ini.”

“Hebat! Hebat sekali Sampar Angin. Aku pun akan memutar

tongkatku seperti ini.”

“Hmm kakek pengemis itu benar-benar hebat. Ki Sampar

Angin dibuatnya tak berdaya dengan jurus-jurus Tongkat Merahnya.”

“He, Sampar Angin kuberikan waktu bagimu untuk segera

meninggalkan tempat ini. Dan jangan mengganggu mereka lagi. Saat

Page 204: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

196 Api Berkobar di Karang Sedana

ini aku masih belum berminat untuk bertempur. Ayo pergunakanlah

kesempatan ini, sebelum aku berubah pikiranku.”

“Kau… kau memang unggul kali ini, Pungkur. Tapi aku akan

menemuimu satu saat untuk membalas penghinaan ini.”

Ki Sampar Angin yang menyadari keadaan segera meninggalkan

arena pertempuran setelah memberi tanda pada Ki Dandung Amoksa

yang juga terlibat pertempurang dengan beberapa orang pengemis dari

tongkat merah.

Demikian pula dengan Ki Darpo dan Jagal Pati yang juga mendapat

kesulitan untuk mengalahkan Sariti segera meninggalkan arena

mengikuti Ki Sampar Angin.

“Heheheh, lunas sudah hutangku bocah. Sepotong daging,

semangkuk sayur dan sepiring nasi sudah lunas kubayar malam ini

juga.”

“Kakek tua,… saya mengucapkan banyak terima kasih atas

semua bantuan Kakek. Eh, tapi jika saya boleh tau, darimanakah

kakek mengetahui rencana mereka?”

“Hahaha, anak muda. Peristiwa apakah yang tidak dapat

diketahui oleh Parang Pungkur? Apapun yang terjadi di dunia

kependekaran di tanah Jawa dan Pasundan ini, pasti kuketahui.

Tanyakan saja pada gurumu, siapakah aku ini.”

“Eh, baiklah jika demikian. Tapi ada satu hal yang ingin saya

tanyakan pada Kakek…”

“Oh… cukup! Stop-stop-stop. Simpanlah dulu pertanyaanmu

itu. Kau kembalilah beristirahat ke dalam kamarmu. Tidurlah dengan

Page 205: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

197 Api Berkobar di Karang Sedana

tenang. Percayalah mereka tidak akan berani mengganggu kalian

untuk sementara.”

“Baiklah, Kek. Terima kasih. Eeh, Nona… Saya juga

mengucapkan banyak…”

“Eeh, cukup-cukup. Eh cukup kau mengucapkan terima kasih

padaku. Itu sudah cukup. Mereka semua muridku. Kau tidak perlu

mengucapkan terima kasih satu persatu pada mereka. Ah, sudah.

Pergilah sana, istirahatlah.”

“Eeh, iya Kek.”

“Marilah Kakang, kita kembali ke kamar. Mari Cempaka,

Purbaya.”

“Terima kasih, Kek.”

“Iya… iya.”

Malamnya mereka beristirahat dengan tenang mereka yakin bahwa

untuk malam ini mereka tidak akan mendapatkan gangguan lagi.

Keesokaan harinya mereka sarapan di rumah makan di bawah

penginapannya.

“Hey, dimana mereka Paman? Kemarin banyak berkeliaran

pengemis di luar rumah makan ini.”

“Ya, aneh sekali Kakang Seta. Kali ini diluar tidak ada

seorang pengemis pun. Apakah mereka semua sudah meninggalkan

kota ini, atau sedang berada di bagian lain dari kota ini?”

“Eeh, agaknya kedatangan rombongan mereka kemarin pun

sengaja untuk menolong kita. Bukannya karena sepotong daging yang

diberikan Purbaya.”

Page 206: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

198 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, tapi dari mana mereka mengetahui penyerangan Ki

Darpo dan kawan-kawannya?”

“Itulah yang menjadi dan membuat penasaran hatiku. Dan

juga apa maksud mereka membela kita sampai mempertaruhkan

nyawa banyak orang seperti itu?”

“Apakah benar dan mungkin guru dapat menjawab

pertanyaan ini?”

“Hmm, sudahlah. Kukira kita dapat meneruskan perjalanan

pagi ini juga, setelah makan kita selesai. Eeh, bagaimana Nyai?

Bukankah lebih cepat sampai, lebih baik?”

“Iya. Aku setuju. Lagi pula kelihatannya Cempaka sudah

pulih kembali kesehatannya. Ayo, Purbaya… percepat makanmu itu.”

“Iya Bunda… eh… Bu.”

“Kakang, apakah besok pagi kita akan sampai ke Goa Larang

dengan perjalanan seperti ini?”

“Sampai adik Wulan. Walaupun kita tidak jelas dengan arah

jalan daerah sini, aku yakin kita akan tiba di Goa Larang sebelum siang

hari.”

“Hey, apakah kalian tidak merasa sedang diikuti oleh

seseorang?”

“Hmm, ya. Seorang yang sedang berkuda di belakang kita.

Tapi apakah kakang Saka pasti orang itu mengikuti kita?”

“Aku yakin, Wulan. Orang itu mengikuti kita. Cobalah

hentikan kuda kalian.”

Page 207: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

199 Api Berkobar di Karang Sedana

“Nah, kalian lihat. Orang itu menghentikan kudanya, Kakang

Seta. Siapakah orang itu, apakah kau dapat melihat dengan jelas?”

“Eh… seperti… seperti… Ah, tidak. Bukan-bukan.”

“Eh, siapakah dia? Kakang mengenalnya?”

“Tidak Wulan. Aku tidak mengenalnya. Ayo, kita lanjutkan

saja perjalanan kita.”

“Apakah orang itu bermaksud jahat pada kita?”

“Saya kira tidak, Nyai. Orang itu mengikuti kita tanpa

sembunyi-sembunyi.”

“Iya, tapi apa maksud orang itu mengikuti kita? Kakang

Awuk, kita lihat orang itu, ayo?!”

“Tunggu, adik Wulan. Tunggu.”

Anting Wulan menjadi penasaran dan menjadi tidak sabar ingin segera

melihat dan mengetahui siapakah orang yang berani mengikuti mereka

akan tetapi kakangnya Seta Keling, mencegahnya.

“Untuk apakah kau merepot-repotkan diri kembali ke sana?

Orang itu jelas-jelas tidak bermaksud buruk pada kita.”

“Kakang, aku tak dapat menahan rasa penasaranku. Maaf…”

sahut Wulan berkeras. Dia segera menghampiri penunggang kuda

yang berada di belakang rombongan itu. Dampu Awuk pun

menyusulnya.

“Adik Awuk, jangan! Biarkan saja adik Wulan menemuinya

sendiri. Kita tunggu saja di sini.”

“Tapi Kakang, kita belum tau siapa orang itu. Bagaimana jika

terjadi sesuatu dengan adik Wulan?”

Page 208: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

200 Api Berkobar di Karang Sedana

“Percayalah, tidak akan terjadi sesuatupun dengan adik

Wulan. Lihatlah itu, mereka sudah berbicara.”

Dugaan kakaknya Seta Keling tak dipercayai sepenuhnya oleh Anting

Wulan. Untuk itu dara manis yang memiliki temperamen keras ini

melesat meninggalkan kudanya dengan aji Kidang Mamprung menuju

penunggang kuda yang jelas menujunya.

“Oh, kau… kau murid perguruan Tongkat Merah?”

“Eh, iya. Maafkan saya. Saya mengikuti kalian secara diam-

diam.”

“Hm, apa maksudmu mengikuti kami?” tanya Anting Wulan

dengan nada galak agar perempuan dihadapannya kalah gertak

sehingga tak sempat mengarang-ngarang cerita. “Apakah kau

bermaksud buruk?”

“Ah, sama sekali tidak Nona. Eh saya… saya menjalankan

perintah guru untuk menemani kalian sampai ke Goa Larang. Dan

menyampaikan surat beliau pada guru kalian.”

“Heh, aku tidak perlu kalian kawal. Dan tadi malam pun aku

tidak minta bantuan kalian.” sergah Anting Wulan ketus.

“Eh, saya tahu Nona. Tapi semua itu saya lakukan karena

melakukan perintah guru.”

“Apakah cara kau mengikuti kami ini atas perintah gurumu?

Heh, jika kau ingin pergi ke padepokan kami, jalanlah bersama-sama

kami. Ayo!”

“Eeh… maaf, terima kasih. Biarlah saya mengikuti kalian

dengan cara seperti ini…”

Page 209: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

201 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kau lihatlah akibat perbuatanmu ini. Kau sudah menghambat

perjalanan kami !”

“Oh, kau… kau gadis pengemis itu…”

“Kakang, dia akan ke Goa Larang menemui guru. Sekaligus

menemani dan mengawal kita dalam perjalanan.”

“Itu perintah guru,” sela perempuan pengemis itu segera.

“Jika begitu, baik sekali. Kita dapat bersama-sama. Mari…”

“Eeh, biarlah saya berjalan di belakang saja…”

“Tak baik melakukan perjalanan bersama dengan cara seperti

itu. Kukira gurumu pun akan kecewa melihat caramu itu.”

“Ah, kakang. Apakah kita akan memaksa orang yang tidak

suka dengan kita.”

“Ah, ayolah…. Nanti kawan-kawanku akan menilai lain

sikapmu itu. Oya, sudahlah jika kau tidak mau.”

“Baiklah, aku ikut. Maaf jika aku mengganggu perjalanan

kalian.”

“Ayo kakang, kita lanjutkan perjalanan kita.”

Beberapa saat kemudian, Sariti sudah beriringan menuju padepokan

Goa Larang bersama-sama rombongan raden Seta Keling.

Sementara itu di istana Karang Sedana, penasehat dalam Sentana kini

telah menobatkan dirinya menjadi Prabu Jaya Sentana. Saat ini sang

Prabu Jaya Sentana tengah berbincang dengan beberapa penasehatnya

dan juga ditemani Ki Demang Suwanda yang merupakan utusan

Page 210: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

202 Api Berkobar di Karang Sedana

khusus Ranghyang Prabu Sora dari Indraprasta untuk membantu Ki

Sentana dengan empat ribu pasukannya.

“Tuanku Prabu, Ki Darpo telah mengalami kegagalan untuk

menangkap kedua pelarian itu. Dan Aji Konda pun hingga saat ini

belum dapat kepasttian dimana berada. Dan siapakah orang bertopeng

yang menolongnya. Untuk itu saya menyarankan untuk sementara ini

pengejaran kita hentikan saja. Kita arahkan segala usaha kita untuk

mengumpulkan kekuatan.”

“Iya. Aku setuju dengan usulmu itu, Ki Demang. Akan tetapi

jika saja aku telah mempunyai kekuatan yang cukup, apakah mungkin

aku dapat mengambil kedua pelarian itu dari Goa Larang dan

melampiaskan dendamku pada anak-anak murid Goa Larang itu?”

“Kenapa tidak mungkin, Tuanku? Kenapa tidak mungkin?

Apakah Tuan khawatir karena padepokan Goa Larang itu dipimpin

oleh Resi Wanayasa, paman mahaprabu Sanna dari Galuh?”

“Benar Ki Demang. Hal itulah yang justru jadi bahan

pikiranku. Yang membuatku resah sejak kemarin, ketika kabar itu

kuterima.”

“Jangan khawatir, Tuanku. Percayalah baginda Ranghyang

Prabu Sora telah menjanjikan akan membantu apapun yang tuanku

inginkan, termasuk membalaskan dendam yang Tuanku katakan tadi.

Ah, asalkan mulai saat ini Tuanku harus mulai menyiapkan membina

sedikitnya sepuluh ribu prajurit untuk dipinjamkan pada Ranghyang

Prabu Sora.”

Page 211: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

203 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, ya. Aku mengerti Ki Demang. Hal itu telah aku

limpahkan pada Patih Darpo untuk segera dilaksanakan

pembinaannya.”

“Jika demikian halnya,… hamba kira, hamba sudah boleh

kembali dengan separuh pasukan hamba dahulu. Beberapa minggu

kemudian hamba akan kembali lagi kemari untuk mengambil pasukan

berikutnya.”

“Ya…”

“Dan tentu saja dengan membawa kabar tentang bantuan

khusus untuk membalaskan dendam Tuanku pada Goa Larang dan

pada pelarian itu.”

“Ya, bagus Ki Demang. Terima kasih atas semua

bantuanmu.”

Ternyata dibalik kebaikan dan bantuan yang diberikan Ranghyang

Prabu Sora dari kerajaan Indraprasta tersimpan pamrih besar, yaitu

persetujuan dari Ki Jaya Sentana yang kini telah bergelar prabu Jaya

Sentana untuk kelak menyediakan tentara sebanyak sepuluh ribu jiwa

kepada Indraprasta.

Sementara itu, rombongan remaja yang menuju ke Goa Larang telah

sampai pada batas desa terakhir sebelum tiba di padepokan mereka.

“Hey, berhenti sebentar!”

“Ada apa, Kakang? Kenapa kita berhenti disini?”

“Kita beristirahat sebentar. Di depan kita adalah desa Sumur

Opat. Desa itu adalah desa terdekat dengan padepokan kita. Cukup

Page 212: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

204 Api Berkobar di Karang Sedana

banyak orang yang kita kenal di sana. Aku tidak ingin kita masuk ke

sana dalam keadaan yang lusuh. Hal itu akan menimbulkan kesan

yang khusus pada rombongan ini. Kita beristirahat di sini saja.”

“Bibi, apakah kau murid dari kakek pengemis tadi?”

“Benar adik kecil. Ada apa?”

“Kakek itu baik sekali, Bi. Dia berkata padaku jika ada jodoh

dia ingin sekali mengangkatku menjadi muridnya. Dan…”

“Hey, adik kecil… dari mana kau mendapatkan kalung ini?

Dari mana? Katakan heh!”

“Heh, kenapa kau jadi marah seperti itu.”

“Hayo kembalikan kalung, Purbaya!”

“Tidak! Anak ini pasti… Hayo katakan!

“Kembalikan

“Purbaya! Dari mana kau mendapatkan kalung itu?”

Raden Purbaya menahan kekesalan hatinya mendapat tekanan dari kiri

dan kanan. Ingin rasanya anak itu berteriak memaki mereka, tapi

Ibundanya Roro Angken yang berdiri tak jauh darinya memandangnya

dengan perasaan cemas dan khawatir jika saja benar anaknya Purbaya

mendapatkan kalang itu dengan cara yang tidak terpuji.

Sementara itu Raden Seta Keling mengamati kalung tersebut. Kalung

yang terbuat dari kulit, yang diukir gambar lima bulan yang saling

bergandengan sedangkan kalung yang dikenakan Sariti nyaris tak

berbeda. Hanya saja bulan yang saling menempel hanya tiga buah.

Page 213: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

205 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hey, Purbaya! Kenapa kau tidak mau menjelaskan dari mana

kau mendapatkan kalung itu?” suara Seta Keling terdengar kesal.

“Ah… Kakek itu yang memberikan pada saya.”

“Guru? Yang memberikan padamu? Aah, kurasa tak masuk di

akal. Kalung ini sekaligus memberi tanda pada pemakainya sebagai

pimpinan atau anggota terhormat dari perguruan Tongkat Merah kami

!”

“Nah! Jika begitu, kenapa kau tidak menghormati pemegang

kalung itu? Kenapa kau berbuat kasar padanya? Apakah benar kau

murit murtad yang tidak berbakti pada perguruan?” dengan sengit

Anting Wulan membalikkan perkataan itu pada Sariti.

Sariti terhenyak. Dia terdiam sejenak.

“Eeh… Benar Nona katakan! Saya adalah murid murtad yang

harus di hukum. Ini kalungmu, Tuan kecil. Hukumlah saya murid

Tongkat Merah yang tak tahu diri.”

“Hey, apa ini? Sudah, bangunlah Bi. Aku bukanlah murid dari

perguruanmu. Kata kakek itu, nanti jika ada jodoh, aku akan menjadi

murid perguruanmu. Bangunlah!”

“Sudahlah, Nona. Beristirahatlah sebentar. Kita akan

melanjutkan perjalanan kita.”

Beberapa saat kemudian, ketika senja sudah mulai turun, rombongan

itu tiba di dusun yang sering dikunjungi. Dusun Sumur Opat adalah

sebuah dusun kecil yang terletak hanya beberapa jam perjalanan dari

Padepokan Goa Larang.

Page 214: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

206 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kakang, malam ini kita beristirahat di mana? Kita tidak dapat

tidur di rumah kepala desa. Rombongan kali ini banyak sekali.”

“Ya. Kita langsung ke bale desa saja. Disana kita bisa

menemui Aki Sura penjaganya yang telah kita kenal.”

“Eh, Kakang… lihat itu,… Made Ludira. Dari bagian

perpustakaan. Mau apa anak itu keluyuran sampai ke sini?”

“Hmm, iya. Melihat gerak-geriknya mencurigakan sekali.

Biar akan kutegur dia.”

“Jangan! Jangan ditegur adik Awuk. Memang agak

mencurigakan sekali anak itu. Eeh, adik Saka dan kau Anting, coba

kau ikuti anak itu dan perhatikan saja gerak-geriknya. Aku curiga

dengan bungkusan yang dibawanya itu.”

“Baik, kakang Seta. Mari adik Wulan. Kita jalan kaki saja.”

Padepokan Goa Larang sudah dihadapan mereka. Penduduk desa

Sumur Opat yang berlalu-lalang banyak yang mengenal mereka.

Karena itu Anting Wulan dan kakangnya Saka Palwaguna mengikuti

Made Ludira, salah seorang saudara seperguruannya dari Goa Larang

dengan sangat hati-hati. Sambil sekali-sekali mengangguk dan

menjawab sapaan setiap penduduk yang menegurnya.

“Hmm, mau kemana anak itu? Dia terus saja. Apakah dia

ingin keluar dari desa Sumur Opat ini?”

“Kukira tidak, adik Wulan. Jika dia keluar dari Sumur Opat,

untuk apa dia melalui pusat keramaian desa ini?”

Page 215: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

207 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kau betul Kakang. Lihat dia menuju rumah besar di ujung

desa ini. Aku curiga sekali dengannya, Kakang.”

“Betul. Terutama dengan bungkusan yang dipegangnya

dengan sangat hati-hati sekali.”

“Oh, rumah siapakah itu kakang?”

“Itu adalah lumbung padi yang tidak terpakai lagi adik Wulan.

Ayo kita coba dekati. Kita dapat mengintipnya dari samping itu, adik

Wulan. Ayo..!”

“Kurang ajar anak itu. Dia datang kemari ternyata untuk

melampiaskan nafsunya.”

“Hmm, mari Kakang kita beri pelajaran anak itu. Benar-benar

membuat malu nama eyang resi.”

“Sebentar adik Wulan. Aku ingin mengetahui lebih jauh lagi.

Aku masih merasa curiga dengan bungkusan yang dibawanya.”

“Kakang Made, Ayolah! Kenapa tidak ikut main dengan yang

lain?”

“Yaah… Aku saat ini tidak berselera untuk berjudi.”

“Kenapa? Apakah habis uang yang diberikan bapak Pendeta

itu? Minta saja. Bukankah bapak Pendeta itu menjanjikan akan

memberikan berapa saja yang kakang perlukan?”

“Yaa, justru itulah aku sedang menunggunya. Aku perlu uang

untuk duduk bersama kawan-kawan disana, dan juga untuk tidur

bersamamu.”

“Aah, kakang.”

Page 216: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

208 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tunggu bapak Pendeta itu, di dalam saja yuk?!”

“Asal jangan lupa saja kalau kakang sudah dapat uang.”

“Setan! Iblis bejat ! Kubunuh anak itu!” desis Anting Wulan

dengan mata berkilat-kilat.

Anting Wulan yang melihat ulah dari Made Ludira, salah seorang

saudara seperguruannya di Goa Larang menjadi menggelegak

emosinya. Dan ketika saja Gadis itu siap untuk melompat, Saka

Palwaguna yang berada di sampingnya mencegahnya. Sebelah

tangannya memeluk tubuh Anting Wulan dan tangan yang lain

menutup mulut gadis yang sedang kalap itu.

“Tenang! Agaknya disini telah terjadi suatu peristiwa yang

lebih dari sekedar perbuatan kotor Made Ludira.”

“Ah, kau…”

“Ada apa Wulan? Mengapa kau…”

“Tidak! Tidak apa-apa, kakang!”

“Apakah kau marah dengan caraku tadi? Tapi saat itu aku

tidak menemukan cara lain untuk mencegahmu. Wulan, maafkan aku

jika itu membuatmu marah.”

“Kakang, Aku pun tak tahu apakah aku harus marah atau…

Ahh, Kakang Saka… Aku tidak marah dan juga tidak benci karena

perbuatanmu tadi.”

Melihat Anting Wulan yang masih terdiam, Saka

melanjutkan, “Wulan, jika kau memang marah, tundalah sementara.

Aku bersedia kau hukum kelak setelah selesai tugas kita ini.”

Page 217: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

209 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tidak Kakang. Mari kita lihat apa yang akan terjadi dengan

anak bejat itu.”

“Awas! Merunduk Anting!”

Mereka berdua segera berindap merendahkan tubuh mereka.

Bersembunyi dengan memanfaatkan kegelapan situasi disekitar

lumbung bekas itu.

“Oh, agaknya itulah orang yang kita tunggu-tunggu.”

“Pendeta itu, Kakang? Kenapa dengan pendeta itu?”

“Pendeta itulah agaknya yang ditunggu Made. Dan lihatlah,

dia memasuki lumbung ini. Apakah kau pernah melihat, pendeta

memasuki tempat kotor seperti ini, Wulan?”

“Hm, ya. Kau benar Kakang. Tidakkah kau lihat tadi mata

pendeta itu tidak seperti halnya mata pendeta lainnya yang

memancarkan sinar welas asih.”

“Benar, adik. Aku melihat sinar yang kuat dan ganas yang

terpancar dari mata pendeta itu. Hati-hati, kita intai lagi !”

Pendeta bertubuh tinggi besar dengan tongkat besar yang ada di

tangannya, masuk ke dalam lumbung desa yang sudah tak terpakai

lagi. Dan ketika pendeta itu tiba di dalam, semua laki-laki bertampang

seram yang semula sibuk berjudi seketika tidak ada satu orang pun

yang berani mengeluarkan suara.

“Hemm, dimana Made Ludira? Aku mencari orang itu.

Apakah dia sudah datang?”

Page 218: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

210 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ah, tuan Pendeta sudah datang. Saya… saya sudah sejak tadi

menunggu di sini.”

“Sebaiknya kita bicara di tempat lain saja. Ayo, cepat.

Kutunggu kau di luar.” Selesai berkata, si Pendeta bertubuh tinggi

besar itu melangkah keluar. Tapi kemudian dia berhenti dan

membentak pada orang-orang di tempat itu, “Hah! Kenapa kalian

semua diam saja? Ayo teruskanlah permainan kalian!”

“Heey, cepat Made!”

“Iya Tuan, sebentar… sebentar.”

“Aku pergi dulu, Nyi. Nanti aku kemari lagi menemuimu dan

kita dapat bermain sepuas hati kita.”

“Hm, kenapa tidak disini saja, tuan Pendeta? Apakah tuan

tidak membawa uangnya? Maaf, jika tuan tidak membawa uangnya,

saya tidak akan memberikan kitab ini. Saya mendapatkan kitab ini

dengan resiko yang besar.”

“Jangan khawatir, aku akan memberikan imbalan sesuai

dengan yang kujanjikan. Tapi akan kulihat dahulu, apakah kau

membawa barang yang benar-benar aku butuhkan.”

“Tuan dapat melihatnya nanti, Tuan. Ayo… kemana kita akan

pergi?”

“Itu, ke pinggir sungai kering di sana itu. Ayo.”

Page 219: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

211 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, anak bejat itu agaknya membawa kitab dari

padepokan kita, Kakang.”

“Ya. Aku kira begitu.”

“Kakang, tahukah kakang siapa pendeta itu? Agaknya pendeta

itu bukan dari biara di sekitar sini.”

“Kau benar adik Wulan. Pendeta itu berasal dari Jawa bagian

tengah. Agaknya dia orang Mataram. Kau perhatikan ikat kepala yang

dikenakannya.”

“Oh, lihat kakang. Mereka berhenti di tepi sungai kering itu

!”

“Awas, hati-hati adik Wulan. Jangan terlalu dekat. Kukira

pendeta itu bukanlah orang sembarangan. Gunakan saja ilmu Empat

Arah Pembeda Gerak. Kita akan dapat mendengarkan semua

pembicaraan mereka dari sini.”

“Baik, Kakang…”

“Mana Made? Keluarkanlah kitab itu. Ayo…”

“Iya tuan… Iya. Tapi kuharapkan pendeta mau sedikit

menambah imbalan yang dijanjikan. Karena, yaa… seperti yang saya

katakan tadi, ini saya dapatkan benar-benar melalui perjuangan dan

resiko yang sangat besar, Tuan.”

“Sudah. Jangan kau khawatir! Keluarkan saja kitab itu,

mari…”

“Iya… iya… Ini Tuan,… ini.”

Page 220: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

212 Api Berkobar di Karang Sedana

“Huh, kurang ajar! Itu… itu kitab Kincir Metu, Kakang.

Pengkhianat !”

“Adik Wulan, tenang. Tenangkanlah dirimu. Kita masih

punya waktu. Kita lihat saja dulu. Aku ingin tahu lebih jauh siapakah

sebenarnya pendeta itu.”

“Huh,… baiklah Kakang. Tapi berjanjilah Kakang, bahwa

Kakang akan menyerahkan padaku pengkhianat itu.”

“Ah, adik Wulan… Tahanlah emosimu.”

“Aaah! Kitab apa yang kau berikan padaku ini, hah? Ini

bukanlah kitab Kincir Metu yang aku cari. Hey, ini kau ambil. Ayo!”

“Haaa, tuan Pendeta. Janganlah menghina kitab ini

sedemikian rupa, Tuan. Kitab inilah yang saya dan kawan-kawan

jadikan petunjuk untuk mempelajari Kincir Metu, Tuan.”

Pendeta itu terbahak-bahak dengan nada sangat mengejek,

“Hahaha, anak muda…. Anak muda. Jika hanya untuk kitab seperti

itu, buat apa aku jauh-jauh datang ke mari?”

“Tuan, bukankah semula tuan katakan pada saya bahwa Tuan

akan memenuhi undangan Guru dalam upacara sembahyang itu,

Tuan?”

Pendeta itu kembali tergelak, “Jadi kau pikir, aku benar-benar

akan ikut bersembahyang untuk keperluan Karang Sedana, ha? Untuk

keperluan orang lain? Aah, biarlah Karang Sedana mengalami

kemarau. Apa urusannya denganku? Jika memang si tua Wanayasa

gurumu itu ingin meminta hujan untuk mengembalikan kesuburan di

Page 221: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

213 Api Berkobar di Karang Sedana

Karang Sedana, biarlah dia meminta bersama pendeta-pendeta lain

yang kurang pekerjaan seperti gurumu itu.”

“Eeh, jadi tuan datang kemari benar-benar untuk…”

“Aah, dengar Made! Kitab yang kau bawa ini tidak lebih dari

salinan dasar dari ilmu Kincir Metu yang telah disederhanakan oleh si

tua Wanayasa. Untuk murid-murid bodoh sepertimu. Kau selamanya

tidak akan bisa jadi seorang yang tangguh jika kau mempelajari kitab

seperti itu!”

“Kau! Kau menghinaku, tuan Pendeta. Janganlah Tuan ulangi

perkataan-perkataan yang menyinggung seperti tadi, Tuan! Aku dapat

berbuat apapun dengan Tuan di tempat yang sepi ini…”

“Hahaha, anak bodoh! Apa yang dapat kau perbuat denganku

di tempat yang sepi ini, ha?”

“Meremukkan mulutmu yang lancang itu, sudah pasti ! Ini kau

rasakan pendeta lancang !”

“Lepaskan tanganku! Lepaskan tanganku!”

“Ayo, pukul aku! Remukkan mulutku, anak muda. Baik,…

baik… kau boleh ulangi lagi. Nah, seranglah aku. Kali ini aku akan

memuaskan hatimu.”

“Baiklah… baiklah… Hiyaat!!”

Made Ludira salah seorang murid dari Goa Larang yang juga

merupakan adik seperguruan dari raden Saka Palwaguna dan Anting

Wulan, kini menjadi bulan-bulanan dari pendeta tinggi besar itu.

Page 222: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

214 Api Berkobar di Karang Sedana

Pukulan-pukulan yang dilancarkan dengan tenaga dalam yang

sepenuhnya seakan kandas begitu menyentuh tubuh pendeta itu.

“Hahaha, apakah kau belum juga puas, anak muda? Dengarlah

Made, jika kau berhasil mendapatkan kitab itu, aku akan memberikan

ini untukmu…”

Pendeta itu dengan tenang merogoh kantungnya, dan

mengeluarkan sebuah kantung kain kecil. Kemudian dia

mengeluarkan beberapa batu permata berwarna-warni pada dampal

tangannya.

“Heh, kenapa kau terkejut melihat permata ini? Bukankah tadi

kau katakan tentang resiko besar? Jika kau berhasil mendapatkan kitab

yang asli, maka permata ini akan kuberikan padamu. Dengan batu-

batuan ini, kau akan dapat berjudi sepuas hatimu selama setahun tanpa

khawatir akan kehabisan uang!”

“Tapi… tapi… kitab… kitab yang kau maksudkan itu tak

kutemui dalam ruang kitab yang aku jaga.”

“Hahaha, sudah pasti. Bukankah sudah kukatakan, kitab itu

pasti disimpan langsung oleh si tua Wanayasa. Kau dapat mencarinya

di dalam kamar gurumu itu.”

“Baiklah, baiklah tuan Pendeta. Saya akan mencoba untuk

mendapatkan kitab itu.”

“Bagus! Bagus, anak muda.”

“Tapi jika saya sudah berhasil mendapatkannya, di mana saya

segera dapat bertemu dengan Tuan?”

Page 223: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

215 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ah, kau datanglah ke tempat ini. Aku akan berada di sekitar

sini. Bawalah kitab itu kembali, aku tidak memerlukan yang seperti

itu. Hmm, untuk sementara biarlah permata ini kupegang. Nanti akan

segera menjadi milikmu jika kitab itu sudah kau dapatkan.”

“Baiklah,… saya segera kembali saja ke padepokan.”

“Nah, berangkatlah anak muda.”

“Adik Wulan, kita ikuti pendeta itu.”

“Tapi kakang, Made akan mencuri kitab pusaka guru.”

“Kukira, dia tidak akan mungkin melakukannya malam ini.

Adik Wulan, hampir satu bulan sudah kita meninggalkan padepokan.

Agaknya eyang resi sudah hampir siap rencananya. Yang

direncanakannya dulu pada kita.”

“Eeh, rencana apa Kakang?”

“Ah, sebentar… pendeta itu pergi dari sana. Kita ikuti. Aku

ingin tahu, apakah dia masih punya kawan atau kelompok. Ayo…”

“Cepat adik Wulan, langkah pendeta itu benar-benar cepat.”

“Kakang, dia menuju ke gubuk kecil itu. Bagaimana kita

mendekat ke sana?”

“Jangan adik Wulan, di tempat yang sunyi ini gerak dan nafas

kita pasti mudah terdengar oleh pendeta itu.”

“Hmm jika demikian, kita coba dengan Empat Arah Pembeda

Gerak. Kita harus tahu dengan pasti apakah ada orang lain di gubuk

itu.”

Page 224: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

216 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah. Mari…”

“Kakang, agaknya tak ada seorang pun disekitarnya. Pendeta

itu hanya seorang diri, kakang. Kakang, aku ingin sekali berkenalan

dengan orang itu.”

“Jangan adik Wulan. Jika orang ini mempunyai kelompok,

aku ingin mengetahuinya secara tuntas.”

“Huh, aku akan keluar menjumpainya. Aku akan bertanya

pada orang itu tentang sesuatu yang tak ada hubungannya dengan kitab

itu, Kakang. Dan aku akan berusaha menyembunyikan ciri-ciri

perguruan kita.”

“Adik Wulan, tapi pendeta itu adalah orang yang amat

sakti…”

“Aah, percayalah Kakang. Mereka tidak akan mengetahui

siapa aku.”

“Yah,… pergilah sana. Aku menunggu di sini.”

“Terima kasih, Kakang. Aku akan pergi…”

Anting Wulan bergegas menuju gubuk kecil dimana Pendeta

tinggi besar tadi masuk. Dia lalu mengetuk pintunya seraya berseru-

seru.

“Kakang! Kakang Uday, apakah Kakang di dalam?”

“Hey, siapakah kau anak manis? Mengapa kau malam-malam

berkeliaran sampai ke tempat seperti ini?”

“Eeh, saya… saya sedang mencari suami saya. Saya adalah

penduduk desa di ujung sana itu, Tuan.”

Page 225: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

217 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ah? Mencari suamimu sampai ke sini? Hahaha, berterus

teranglah anak manis. Aku mencurigaimu!”

Pendeta tinggi besar itu cepat menyergap kedua lengan Anting

Wulan dan menguncinya ke arah atas.

“Aah, lepaskan! Lepaskan saya.”

Gadis manis dan cerdik murid padepokan Goa Larang itu sudah

menduga akan datangnya serangan si pendeta tinggi besar yang

bertujuan membongkar kebohongannya. Akan tetapi Anting Wulan

segera mengendorkan seluruh syaraf-syaraf kekuatannya yang berisi

cadangan tenaga dalamnya. Oleh karena itu Anting merasakan cekalan

tangan pendeta itu.

“Aduh, aduh… Apakah salah saya? Apakah salah saya?

Lepaskan saya, saya tidak bersalah. Lepaskan… Lepaskan. Lepaskans

saya.”

Hm, ternyata dia benar-benar seekor kelinci yang tersasar

mencari suaminya, pikir pendeta tinggi itu mulai ragu atas

kecurigaannya tadi.

“Pergilah sana, jangan ganggu aku.”

“Tapi… tapi apakah benar Tuan tidak melihat suami saya?”

tanya Anting Wulan yang masih berusaha agar dapat tetap di tempat

itu dan meneliti keadaaannya.

“Aah, apa suamimu itu kurang waras, hah? Sampai-sampai

kau paksa dia tinggal di rumah?”

“Iya, benar Tuan…”

Page 226: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

218 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hahaha, jika begitu kenapa kau harus susah dan repot

merawatnya, ha? Tinggalkan saja laki-laki seperti itu, hahaha. Kau

dapat mencari ganti laki-laki lainnya.”

“Oh, tidak mungkin tuan Pendeta. Saya begitu mencintainya.

Saya tidak mungkin meninggalkannya. Dia ayah dari satu-satunya

anak saya. Tuan,.. Tuan Pendeta apakah Tuan dapat menolong

menyembuhkannya? Jika Tuan dapat menolongnya, saya akan

mencarinya dan besok atau lusa, saya akan menyerahkan suami saya

itu pada Tuan.”

“Aah, aku tidak mempunyai banyak waktu, anak manis.

Besok sore mungkin aku sudah tidak berada di sini. Malam ini aku

sedang menunggu guruku.”

“Guru…? Guru Tuanku? Ah, tentu… tentu dia pandai

menyembuhkan orang seperti suamiku.”

“Sudahlah! Sudah cukup aku melayanimu, anak manis. Kau

lihat, aku sudah bosan dengan kehadiranmu. Ayo pergi !”

“Oh… oh, iya Tuan.”

Anting Wulan segera berlalu dari gubuk itu dengan langkah

yang dibuat seperti terseok-seok. Tak lama kemudian dia berbelok ke

gerumbul tempat Saka Palwaguna berjaga-jaga di sana.

“Wulan, kau benar-benar membuatku cemas ketika pendeta

itu mencengkram tanganmu.”

“Iya Kakang. Aku mengetahui dari pendeta itu, bahwa saat ini

dia sedang menunggu kedatangan gurunya.”

Page 227: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

219 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya. Aku sudah mendengar semuanya, Wulan. Aku melihat

sambil mengeterapkan aji Empat Arah Pembeda Gerak. Akan tetapi

sayang sekali, kau tidak berhasil mengorek keterangan tentang siapa

dia dan dari perguruan mana asalnya.”

“Aku tak dapat memaksanya, Kakang. Dia sudah terlanjur

kesan dan tak tahan dengan kehadiranku. Akan tetapi aku

mendapatkan sesuatu yang dapat melacak asal usul dari pendeta itu,

Kakang.”

“Ooh adik Wulan, apa itu ?” seru Saka kagum.

“Hmm, aku melihat di lengannya ada sebuah tanda yang

mungkin merupakan ciri perguruannya.”

“Gambar apa itu, Wulan?”

“Gambar seekor kelelawar yang digurat pada kulit lengannya,

Kakang.”

“Hm, kelelawar? Ya rasanya eyang Resi pun tidak pernah

bercerita tentang tanda-tanda itu, Wulan.”

“Kakang, kita harus segera tiba di padepokan…”

“Oh, iya. Kau benar Wulan. Aku khawatir kesibukan eyang

Resi esok hari akan dimanfaatkan anak bejat itu.”

“Akan kuhajar anak bejat itu!”

“Jangan Anting Wulan, kau tidak boleh serampangan dan

semberono. Made Ludira adalah saudara seperguruan kita. Kita tidak

dapat menangkapnya dan menuduhnya begitu saja.”

“Akan tetapi Kakang, jelas-jelas anak itu sudah melakukan

pencurian kitab Kincir Metu di ruang kitab padepokan!”

Page 228: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

220 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kita bisa dituduh memfitnah oleh saudara-saudara di

padepokan.”

“Kau yakin, eyang Resi dapat mempercayainya?”

“Hmm iya. Kau benar Wulan. Akan tetapi bukankah akan

lebih baik jika kita berhasil menangkap basah anak itu? Dengan

demikian seluruh padepokan tidak ada yang memiliki kesan bahwa

kita mengada-ada ataupun memfitnah.”

“Hmm, yah. Baiklah. Baiklah, Kakang.”

“Nah, jika demikian ayo kita segera kembali ke Sumur Opat.

Kakang Seta dan yang lainnya tentu bingung dengan kepergian kita

yang cukup lama ini. Ayo, Wulan.”

Kedua remaja yang telah berhasil menyelidiki gerak-gerik dari Made

Ludira akhirnya kembali ke Sumur Opat menemui rombongan

mereka. Mereka berniat untuk segera pergi mendahului rombongan

mereka ke padepokan, setelah membicarakannya dengan raden Seta

Keling, kakangnya.

“Hm, hal ini tidak bisa dibiarkan. Benar-benar gila anak itu.

Adik Saka, apakah kau dapat menerka gerakan pendeta itu, ketika

memberi hajaran pada Made Ludira?”

“Tidak, kakang Seta. Gerak yang dilakukan orang itu hanya

gerakan lumrah, akan tetapi berisi kekuatan yang hebat. Menghadapi

Made yang jauh tingkatannya, melihat sedikit pun tidak mengeluarkan

gerak maupun jurus-jurus perguruannya.”

Page 229: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

221 Api Berkobar di Karang Sedana

“Mudah-mudahan saja eyang Resi mengetahui ciri yang

kulihat di lengannya.”

“Kukira gambar itu hanyalah sekedar guratan biasa yang

sengaja dibuat, adik Wulan. Sebab selama ini kita tak pernah tahu

tentang tanda-tanda seperti itu.”

“Iya. Eyang Resi memang tidak pernah bercerita tentang ciri-

ciri perguruan yang seperti itu.”

“Ya, jadi bagaimana? Bukankah sebaiknya saya mendahului

kakang ke padepokan itu, bersama adik Anting Wulan?”

“Ya, mungkin itu satu-satunya jalan terbaik untuk

menyelamatkan kitab itu, adik Saka. Akan tetapi, kau tidak perlu

berangkat saat itu juga. Kau dapat beristirahat beberapa saat. Nanti

ketika fajar mulai menyingsing, barulah kau berangkat. Dengan

Kidang Mamprung kau akan dapat tiba di sana sebelum hari menjadi

terang betul dan eyang Resi belum meninggalkan kamar semadinya.”

“Ah, baik kakang. Ayo, adik Wulan, kita beristirahat.”

Semuanya tertidur dengan nyenyaknya, akan tetapi keempat remaja

dari Goa Larang yang kini dilibat oleh masalah baru yang secara

langsung melibat perguruannya tidak dapat beristirahat dengan

tenang. Mereka hanya duduk santai sambil menunggu waktu dan

ketika langit di sudut timur mulai memancarkan fajar merah, Raden

Seta Keling dan Dampu Awuk melepaskan kepergian kedua adik

seperguruannya untuk lebih dulu ke Goa Larang.

Page 230: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

222 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ayo kakang, percepat lari kita. Aku khawatir karena

terlambat dalam perjalanan ini, kita akan menyesal selama-lamanya.”

“Jangan khawatir Adik Wulan. Dengan Kidang Mamprung

kita akan tiba sebelum eyang Resi keluar dari kamar semadinya. Akan

tetapi, baiklah kita percepat perjalanan ini tidak ada salahnya jika kita

lebih cepat lagi.”

Padepokan Goa Larang adalah sebuah tempat di mana para anggota

dan murid-muridnya baik lahir maupun batin mereka telah dinyatakan

sebagai anggota atau murid-murid dari Padepokan tersebut adalah

yang telah menyatakan lulus dalam ujian saringan. Padepokan

mempunyai suatu keistimewaan yang sangat khusus yang tidak

dimiliki oleh padepokan-padepokan lain di tanah Jawa. Hampir setiap

tahun padepokan tersebut dikunjungi oleh Mahaprabu Sanna.

Maharaja besar di tanah Pasundan karena pimpinan nya adalah Eyang

Resi Wanayasa yang merupakan paman dari mahaprabhu Sanna.

“Oh, Kakang. Lihatlah itu padepokan kita.”

“Ya…”

“Rindu sekali Aku rasanya pada alam ini… Lihatlah

Kakang,… sungai kecil yang mengitari pagar padepokan kita. Dan

lihat, tanaman sayur mayur di sepanjang pagar dan sekitarnya, masih

dapat tumbuh walaupun kemarau melanda sampai ke tempat ini.”

“Iya Adik Anting. Semua itu dikarenakan karunia dewata,

yang masih menghidupi Sembilan Mata Air Dewa kita. Ayo adik

Wulan, kita temui Eyang Resi di kamarnya.”

Page 231: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

223 Api Berkobar di Karang Sedana

“Mari Kakang…”

“Eyang,… eyang… kami datang Eyang.”

“Ooh, masuklah anak-anakku.”

“Sembah dan rindu kami haturkan pada Eyang.”

“Ya ya ya, demikian juga dengan aku Wulan. Perjalanan

kalian yang cukup lama itu, membuat kami semua di padepokan

merasa rindu pada kalian. Tapi dimanakah kedua kakangmu yang lain,

Wulan?”

“Eh, anu guru… mereka…”

“Mereka masih di sekitar desa Sumur Opat bersama dengan

beberapa orang yang akan menuju kemari. Kami berdua yang sudah

rindu dan tak tahan lagi mendahului mereka yang berkuda.”

“Hmm ya. Siapakah orang-orang yang bersama dengan kedua

saudaramu di Sumur Opat?”

“Diantaranya adalah Tuanku Rara Angken dan Raden

Purbaya yang berhasil kami temukan, Eyang.”

“Oh, ya ya ya. Rara Angken,… permaisuri dari Aji Konda?

Eh, apa yang sebenarnya terjadi di Karang Sedana? Oh Sampar Angin

juga ikut mencampuri persoalan muridnya?”

“Benar Guru, kami berempat sangat kerepotan

menghadapinya, Guru.”

“Iya, tapi bukankah kau berhasil menghadapinya dengan

Barisan Empat Bintang?”

“Benar, Eyang. Tapi bagaimana Eyang bisa tahu?”

Page 232: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

224 Api Berkobar di Karang Sedana

“Yah, karena satu-satunya kepandaian kalian yang dapat

menghadapi tokoh setingkat denganku adalah dengan Barisan Empat

Kincir itu.”

“Eyang sebenarnya seperti apakah tokoh pengemis Parang

Pungkur itu?”

“Oh? Jadi kau bertemu dengan Ki… maksudku si gila

Pungkur itu?”

“Iya. Mungkin jika tidak ada pertolongan dari Kakek itu, kami

akan kerepotan menghadapi Ki Sampar Angin yang kembali mengejar

dan bergabung dengan tokoh-tokoh dari istana Karang Sedana.”

“Iya Eyang. Sebenarnya perjalanan kami cukup kami

rahasiakan. Begitu pula dengan penyerangan mereka. Tapi kakek itu

sudah mengetahui lebih dahulu.”

“Ya tentu saja dia akan dapat mengetahuinya. Dia adalah raja

pengemis di seluruh Jawa dan Pasundan. Murid-muridnya berkeliaran

diantara pengemis sungguhan di setiap wilayah. Jaringannya sangat

luas dan rapi, jadi kau tidak perlu heran jika dia mampu mengetahui

setiap kejadian besar di tanah Jawa dan Pasundan. Heeh, tapi kenapa

dia berkeliaran sampai kemari. Si Tua gila itu biasanya berada di

sekitar Mataram, di Jawa.”

“Oh ya? Ah, mungkin sebentar lagi pertanyaan Eyang itu

sebentar lagi akan terjawab. Seorang muridnya ikut bersama

rombongan kami. Dan menurutnya dia hendak menyampaikan surat

pada Eyang.”

Page 233: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

225 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah, kita tunggu saja anak itu. Mudah-mudahan si Tua

gila itu tidak datang pada upacara sembahyang nanti. Aku tentu akan

merasa kewalahan dengan ulahnya yang pasti merepotkanku.”

“Eyang, apakah orang itu dapat digolongkan pada kelompok

pendekar golongan putih?”

“Oh, tentu saja Wulan. Dia adalah seorang pendekar yang

baik, akan tetapi kelakukannya yang agak brutal dan gemar menggoda

orang dapat merepotkan aku. Pungkur… Pungkur… dia itu sangat

baik. Baik sekali padaku.”

“Dan juga pada setiap orang?”

“Ya, juga pada setiap orang. Memangnya kenapa? Ada apa

Wulan, hingga kau berkata demikian?”

“Mereka membantu kami saat itu, cuma karena hendak

membalas budi kebaikan Raden Purbaya yang telah menolongnya

memberi makan dan tidak merendahkannya yang saat itu sedang

mengemis di tempat makan kami.”

“Ya ya ya, memang demikianlah tabiat Pungkur, si Tua gila

itu. Ah, kebetulan sekali kalian sudah selesai dengan tugas itu. Aku

sangat memerlukan bantuan kalian nanti siang pada upacara

sembahyang untuk memohon hujan.”

“Apa yang dapat kami lakukan untuk membantu Eyang

nanti?”

“Begini, begini…” Resi Wanayasa kembali terbatuk. “Nanti,

mungkin pamanmu Jatis akan memberikan petunjuk. Aku kira yang

harus kalian lakukan adalah melayani keperluan tamu-tamu kita yang

Page 234: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

226 Api Berkobar di Karang Sedana

sudah datang sejak kemaren sore. Dan yang mungkin akan

berdatangan sebentar lagi. Nah, hari masih cukup pagi. Kalian dapat

beristirahat dulu sejenak.”

“Baik, Eyang. Kami pamit dulu ke belakang.”

“Kakang, kita akan mencari adik Made Ludira?” Anting

Wulan mengingatkan Raden Saka Palwaguna.

“Ya. Kita akan mencarinya, dan kemudian memperhatikan

gerak-geriknya.”

Baru saja kedua remaja hendak menuju ke belakang padepokannya,

dari arah samping kanan ruang utama terdengar teriakan beberapa

orang anggota padepokan.

“Paman Jatis, tolonglah paman Jatis. Di ruang tamu telah

terjadi sesuatu.”

“Ada apa? Ada apa? Pagi-pagi kau sudah berteriak seperti

orang gila.”

“Celaka paman, di kamar tamu kita ditemukan ada yang

meninggal.”

“Hah? Ada yang meninggal? Siapa yang meninggal?”

“Seseorang pendeta tamu kita…”

“Celaka, bagaimana itu bisa terjadi?”

“Saya tidak mengerti, paman Jatis. Tiba-tiba saja di ruang

tamu terjadi kegemparan ketika mereka menemukan seorang yang

Page 235: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

227 Api Berkobar di Karang Sedana

meninggal dengan tubuhnya dalam keadaan menghitam, paman.

Agaknya orang itu mati karena keracunan.”

“Kau beritahu Eyang Resi ya, aku segera ke sana.”

“Adik Wulan, ayo kita lihat ke sana.”

“Maaf, maaf tuan-tuan Pendeta. Biar saya melihat

keadaaannya.” berkata Ki Jatis dengan sopan untuk menyibak

kerumunan para pendeta yang mengelilingi sesosok tubuh yang

menghitam dengan mulut berbuih.

“Celaka Wulan! Tentu kejadian ini berkaitan dengan Made

Ludira.”

“Maksud Kakang?”

“Ah, Eyang Resi pasti sedang menuju kemari. Meninggalkan

kamarnya dan…”

“Ayo kakang, kita lihat ke sana.”

“Ayo.”

Kedua remaja dengan cemas segera menuju ke ruang Gurunya,

dimana tadi mereka bertemu. Resi Wanayasa yang berpapasan dengan

kedua muridnya itu tidak lagi sempat memperhatikan kecemasan yang

membayang di wajah kedua muridnya. Dan ketika keduanya tidak tak

jauh dari ruang gurunya, mereka segera memperlambat gerak. Dengan

hati-hati mengendap-endap mendekati ruang Gurunya.

Page 236: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

228 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hati-hati adik Wulan. Jangan sampai … Aku yakin ini semua

adalah akibat ulahnya. Pasti Made akan mempergunakan waktu

secepatnya pada saat semua dalam keadaan panik dan cemas seperti

ini.”

“Lihat, itu dia orangnya Kakang!”

“Licik sekali orang ini, untung kita segera dapat... Lihat

kakang, Made mendekati kamar Eyang Resi.”

“Sabar adik Wulan, kita tunggu. Iya, kita tunggu sebentar

hingga masuk dan mengambil kitab itu.”

Made Ludira yang telah merasa aman dan yakin bahwa tidak ada

seorang pun yang melihat dan berada di sekitarnya segera membuka

dan masuk ke dalam ruang kamar resi Wanayasa, gurunya.

“Pasti kitab itu diletakkan di dalam peti-peti ini. Aku akan

membukanya.”

“Ini ada beberapa buah kitab, menurut pendeta itu pasti inilah

kitab yang dimaksud. Hmm, eh kepalang basah sebaiknya kuambil

saja semuanya. Empat buah kitab ini. Nah, aku harus segera

meninggalkan padepokan ini untuk menukarkan kitab ini dan segera

pergi jauh dari sini. Hmm, agaknya tak ada seorangpun di sekitar sini,

sebagaimana rencanaku semula, mereka semua berada di kamar tamu

sial itu.”

Page 237: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

229 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ayo kakang, anak itu sudah membawa keluar kitab-kitab itu

dari kamar Eyang Resi…”

“Baiklah, mari adik Wulan!”

“Tunggu adik Made!”

“Oh! Kakang Saka dan adik Wulan. Rupanya kalian sudah

kembali ke padepokan.”

“Baru saja adik Made. Apakah adik Made tidak mengetahui

baru saja ada pembunuhan di kamar tamu kita?”

“Eh, pembunuhan?”

“Iya.”

“Siapakah yang terbunuh kakang Saka?”

“Salah seorang pendeta, tamu kita. Ayolah kita melihat ke

sana, adik Made.”

“Lebih baik, kalian terlebih dahulu saja. Nanti aku menyusul

setelah mengambil peralatan persiapan upacara di belakang.”

“Adik Made… kenapa adik Made tidak tertarik?” Raden Saka

yang mulai kehabisan akal kemudian berseru pada beberapa orang,

“Paman Sanip, Paman Calung, kemarilah sebentar!”

Dalam hal ini diperlukan lebih banyak orang lagi untuk menjadi saksi

perbuatan Made Ludira. Melihat kedua orang yang dipanggil oleh

raden Saka Palwaguna itu mendekat ke arah mereka, maka Made

Page 238: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

230 Api Berkobar di Karang Sedana

Ludira tampak berusaha segera menjauh. Anting Wulan yang melihat

gerak-geriknya segera bergerak cepat menghadang dan membentak.

“Hmm, mau kemana kau maling? Ayo, keluarkan kitab-kitab

eyang Resi !”

“He? Aku tidak mempunyai urusan denganmu! Minggir!”

“Apakah kau ingin merasakan pukulan-pukulanku, Made?”

“Sabarlah Wulan, sabar. Kalian adalah saudara-saudara di

perguruan ini. Jika kalian mempunyai persoalan, selesaikanlah secara

baik-baik.”

“Minggir kau Wulan, biarkan aku lewat.”

“Wulan, sudahlah. Jangan kau ribut dalam suasana seperti

ini.”

“Kupecahkan dadamu!” Made Ludira memaki.

“Berhenti !” tiba-tiba terdengar suara Ki Jatis disela-sela

keributan itu. “Ada apa kalian ribut dalam keadaan seperti ini?”

Made Ludira kaget bukan main mendengar suara gurunya itu. Tapi

dengan cepat dia melemparkan kesalahan pada Anting Wulan yang

sedari tadi menghalang-halangi rencananya untuk segera

meninggalkan Goa Larang.

“Guru, Wulan memukulku guru. Dia menghalang-halangi

aku, yang hendak melihat kejadian di kamar tamu kita.”

Anting Wulan tertawa muak, “Manusia busuk! Kau kira, kau

dapat lepas dari tanganku?”

Page 239: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

231 Api Berkobar di Karang Sedana

“Wulan! Kenapa kau membuat keributan?” sergah Ki Jatis

dengan kesal.

“Paman akan menyesal kalau membiarkan anak setan ini pergi

meninggalkan tempat ini. Ayo, keluarkan isi bajumu sebelum aku

yang memaksanya!”

“Made Ludira, ada apa denganmu, hm? Apa yang telah kau

lakukan?”

“Saya… saya akan jelaskan pada paman semuanya. Nanti

paman. Setelah kedua orang itu sudah tidak ada lagi.”

Ki Jatis Pulut Sarumpa adik seperguruan Resi Wanayasa. Di

perguruan Goa Larang, dia dikenal dengan sebutan Mbah Jatis. Dia

adalah guru langsung dari Made Ludira. Maka tidak heran jika sang

guru berkeinginan untuk melindungi muridnya.

Ketika dia merasa bahwa dalam persoalan ini muridnya ingin

berbicara berdua saja, maka segera dia memerintahkan Saka

Palwaguna dan Anting Wulan untuk meninggalkan tempat itu.

“Hmm? Ah… Saka dan kau Wulan, kalian pergilah dari sini.

Tinggalkan tempat ini.”

“Ah, baiklah. Saya akan segera meninggalkan tempat ini.”

“Kau tidak akan kulepaskan, Made! Berhati-hatilah”

Dan kini masih tersisa dua orang lainnya di situ…

Page 240: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

232 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ah, kau juga tinggalkan tempat ini adik Calung…”

“Baiklah kakang Jatis.”

Ki Calung menggamit Ki Sanip berlalu dari tempat itu.

“Nah, katakanlah cepat padaku, Made. Apakah kau sudah

membuat suatu kesalahan? Janganlah membuat malu aku, Made. Kau

adalah salah satu murid asuhanku.”

“Iya paman. Kedua anak itu mencurigai aku, paman.

Dikiranya aku telah melakukan pencurian.”

“Tapi apa yang kau sembunyikan di balik bajumu itu?”

“Ah, aku berhasil menemukan sebuah benda berharga dan

mereka berdua berniat hendak merampasnya, paman. Inilah lihat…”

Dengan tenangnya, Made Ludira merogoh saku dalamnya untuk

mengambil dan menunjukkan sesuatu yang berharga. Mbah Jatis

mendekat. Dia penasaran ingin mengetahui sesuatu yang menjadi

bahan pertengkaran antara Made Ludira, Anting Wulan dan Saka

Palwaguna. Akan tetapi ketika tangannya dikeluarkan, segera

diayunkan ke wajah mbah Jatis yang merupakan gurunya sendiri.

Mbah Jatis tidak menyangka akan perbuatan Ludira seketika menjadi

gelagapan. Dia merasakan pandangan dan tubuhnya seakan-akan

menjadi kehilangan bobot.

Page 241: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

233 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kau gila, Made!”

“Maaf, guru! Selamat tinggal.”

“Tunggu! Mau lari kemana kau bocah setan!”

“Kakang Saka, kau serahkan bocah bejat ini padaku dan lihat

keadaan paman Jatis.”

“Minggir!”

“Agaknya tidak perlu lagi kau diberi hati anjing bejat!”

Anting Wulan segera melancarkan serangan, dan Made Ludira segera

terlempar. “Ayo bangun manusia busuk, manusia bejat. Bangun!”

“Hay, Tahan anakku Wulan! Apa yang terjadi sampai kau

menurunkan tangan sekejam itu pada saudaramu sendiri?”

“Oh, Eyang… Made Ludira telah membuat suatu kesalahan

besar yang tidak mungkin seisi padepokan ini bisa memaafkannya.”

“Hmm, apa yang telah dilakukan anak itu?”

“Itu… eyang dapat melihatnya sendiri. Apa yang terjadi

dengan paman Jatis. Dan apa yang kini disembunyikan oleh bajingan

ini di balik bajunya.”

“Hmm, Made Ludira… itu namamu bukan?”

“Benar, Eyang. Saya Made Ludira.”

“Apa yang sudah kau lakukan, anakku?”

“Saya… menemukan ini, Eyang.”

Made Ludira yang sudah merasa semakin terpojok dan putus asa tidak

melihat ada jalan lagi untuk menyelamatkan diri. Maka pemuda itu

Page 242: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

234 Api Berkobar di Karang Sedana

segera memasukkan tangannya ke balik bajunya, mengambil bubuk

racun yang didapatnya dari pendeta tinggi besar di desa Sumur Opat.

Akan tetapi serangan yang kali ini dilakukan pada resi Wanayasa yang

merupakan mahaguru dari padepokan Goa Larang yang baru saja

berhasil menguasai Aji Kincir Metu tingkat ke sembilan.

“Awas Eyang, bubuk beracun!” Anting Wulan berteriak

memperingatkan.

“Hmm, bubuk beracun? Berbahaya sekali bila kukibaskan,

banyak anak-anak murid disekitar arena ini.”

Mahaguru dari padepokan Goa Larang itu kemudian menghisap bubuk

yang bertebaran disekitarnya. Bubuk beracun itu pun tampak seperti

berlomba masuk ke dalam mulut dari resi Wanayasa. Dan segera

setelah udara disekitarnya menjadi bersih, resi yang arif itu pun segera

melenting melompat menjauhi murid-muridnya, dan mengeluarkan

bubuk yang dihisapnya tadi.

Sementara itu, Anting Wulan segera melancarkan serangannya pada

Made Ludira yang segera saja terjengkang roboh dengan keluhan

pendek, lalu pingsan.

Dengan senyum penuh kemenangan, Anting Wulan berkata pada Saka

Palwaguna yang sedari tadi tidak banyak beraksi apa-apa, “Kakang

Saka, bantu aku mengambil kitab eyang guru.”

Page 243: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

235 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh eh, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan anak itu,

Wulan?”

“Sebentarlah Eyang. Eyang akan segera tahu. Kakang, bawa

kemari kitab itu.”

“Ini Eyang,… kitab-kitab yang dicuri Made.”

“Oh, Kincir Metu dan… oh, kitab-kitab perguruan Goa

Larang. Oh iya ya… jadi anak itu telah memasuki kamarku dan

mengambil kitab-kitab ini.”

“Mana anak kurang ajar itu?!”

“Hey, Jatis! Kemarilah kau!”

“Ah, kakang Wanayasa. Hmm, anak itu… anak itu telah

berbuat kegilaan padaku, Kakang.”

“Ya, anak itu telah berbuat kesalahan pada seluruh isi

padepokan ini.”

“Pada seluruh isi padepokan? Apa maksud Kakang?”

“Made Ludira mencoba untuk membawa keluar kitab-kitab

ini. Dia telah berani memasuki kamarku dan mengambil kitab-kitab

perguruan kita.”

“Ah? Jadi… jadi anak itu benar-benar pencuri busuk?!”

“Bahkan, dia adalah pembunuh licik!”

“Hmm, apa maksudmu, Wulan?”

“Untuk berhasil masuk ke kamar Eyang, dia memancing

semua isi padepokan ini, termasuk Eyang untuk menjauhi dan

meninggalkan kamar ini.”

Page 244: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

236 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ah, kau jangan menuduh sembarangan, Wulan. Anak itu

memang telah melakukan kesalahan besar. Mencuri kitab perguruan

kita… tapi, tapi kau tidak dapat menjatuhkan tuduhan seenaknya.

Belum tentu… belum tentu anak itu yang melakukan pembunuhan

pada tamu kita.”

“Paman, kedatangan saya yang mendahului kakang Seta dan

kakang Awuk adalah guna membongkar kebusukan anak itu.”

“Yah, marilah Jatis dan kalian berdua ikut ke kamar ku. Kita

bicarakan semua itu di dalam sana.”

“Hmm, baik kakang. Saya akan menyusul nanti, setelah

sedikit memberikan pengarahan penyelenggaraan mayat itu.”

“Masuk, dan duduklah di sini Jatis. Kita akan segera

mendengarkan cerita dari kedua anak kita ini.” Kemudian resi

Wanayasa mengarahkan pandangannya pada Saka Palwaguna, “Eh

ayolah Saka. Berceritalah. Bukankah kau juga mengetahui semua

masalah ini.?”

“Benar Eyang. Sesungguhnya saya mengetahui niat buruk

dari Made Ludira itu. Akan tetapi saya tidak dapat datang dan

menuduhnya begitu saja. Saya bermaksud akan menangkap basah

Made Ludira. Malam itu, ketika saya baru saja sampai di desa Sumur

Opat, saya melihat Made berjalan sambil memeluk bungkusan kain

kecil. Setelah mendapat ijin dari kakang Seta Keling, kami berdua

kemudian mengikuti Made yang mencurigakan itu Eyang.”

Page 245: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

237 Api Berkobar di Karang Sedana

Kemudian Saka Palwaguna menceritakan semua pengalamannya

ketika mengintai perbuatan Made di desa Sumur Opat dan kemudian

mengintai pendeta tinggi besar yang ditemui Anting Wulan sampai

pada guratan gambar kelelawar di lengan pendeta itu.

“Hmm, jika kau memang mengetahui rencana dari anak busuk

itu, mengapa kau tidak menceritakannya pada kami. Sehingga terjadi

kejadian yang fatal seperti ini? Kakang dengan demikian kedua anak

ini juga turut bersalah.”

“Paman Jatis!” Anting Wulan berusaha menahan keras kata-

katanya. “Jika kami datang dan menuduh atau bahkan menangkap

anak itu, tentu kami akan dipersalahkan seisi padepokan ini. Dan kami

berdua akan dianggap memfitnah.”

“Ya! Tapi dengan caramu itu jadi berakibat seperti ini. Kau

dapat melaporkan perbuatan anak itu padaku, dan aku sebagai

pengasuhnya yang langsung akan mempertimbang kan hal itu.”

“Huh, mana mungkin hal itu dapat terjadi, paman Jatis?! Saya

tak dapat jika tanpa bukti. Peristiwa tadi saja sudah dapat dijadikan

contoh! Made yang sudah jelas-jelas tertangkap basah oleh saya, jelas-

jelas sudah terbukti. Saya masih tak dapat berbicara banyak. Paman

menyingkirkan saya!” Anting Wulan mendebat dengan sengit.

Mbah Jatis sudah ingin mendebat pula, tapi dia kehabisan kata-kata

dan alasan. Dia hanya bisa ber-ah-ih-uh dengan wajah berkemik-

kemik tegang.

Page 246: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

238 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ah, sudah. Sudahlah Jatis. Sudahlah Wulan. Kita memang

tidak dapat menolak apapun yang telah digariskan oleh Dewata.

Pembunuhan itu agaknya memang sudah harus terjadi. Sekarang yang

justru menjadi masalah adalah kehadiran tokoh yang amat benar-benar

merisaukan hatiku.”

“Eyang, siapakah mereka itu?” tanya Saka.“Apakah Eyang

dapat mengetahui ciri-ciri orang itu dari gambar kelelawar yang

berada di lengannya?”

Resi Wanayasa menghela nafas.

“Saat itu kira-kira tiga puluh tahun yang lalu… Pamanmu

Jatis juga belum masuk ke perguruannya. Perguruan kami yaitu…”

“Cakra Buana!” desis mbah Jatis dengan nada penuh

kebanggaan.

“Ya, Cakra Buana…” Resi Wanayasa terdiam sejenak, “Saat

itu hiduplah seorang tokoh yang amat buas dan ganas. Tak ada seorang

pun yang dapat mengatasi kesaktiannya. Namanya tak seorang pun

yang mengetahui, begitu juga asal usulnya. Dia hadir dengan begitu

saja di tanah Jawa ini. Malang melintang dan menjatuhkan semua

tokoh sakti di tanah Jawa dan Pasundan ini. Orang itu dikenal dengan

nama si Jerangkong Hidup karena bentuk tubuhnya saat itu bisa

dikatakan lebih mirip dengan mayat daripada manusia hidup.

Tubuhnya hanyalah terdiri dari tulang yang sedikit dibungkus kulit.”

“Lalu… apa hubungannya dengan pendeta yang saya temui

itu, Eyang?”

Page 247: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

239 Api Berkobar di Karang Sedana

“Begini Wulan, jurus Andalannya yang menjatuhkan tokoh-

tokoh sakti,… maksudku di dunia kependekaran tanah Jawa dan

Pasundan ini, adalah jurus Kelelawar Sakti. Iblis buas itu dapat

bertempur seakan-akan tidak menginjak dan menyentuh tanah. Dia

menyerang musuh-musuhnya bagaikan kelelawar sakti dari angkasa.”

“Ah, Eyang… apakah eyang menduga bahwa pendeta yang

kami jumpai adalah salah satu ahli warisnya?”

“Oh... aku… aku tidak mengharapkan begitu. Semoga saja

iblis itu menghilang tanpa mewarisi ilmu dan kebuasannya.”

“Tapi kemana iblis Jerangkong Hidup itu sekarang, Eyang?”

“Iblis itu berhasil dikalahkan oleh resi Sanatadarma, dan

diajak bersama-sama mengasingkan diri. Sejak itulah Jerangkong

Hidup yang amat menggemparkan itu tidak terdengar lagi

namanya…”

“Eeh, apakah saat itu Eyang tidak dapat mengalahkan nya?”

“Haah, saat itu guruku pun yang sudah menguasai Kincir

Metu sampai ke tingkat sembilan belum dapat mengalahkannya.

Bahkan jika resi Sanatadarma tidak menolongnya, guruku pasti akan

mati di tangan iblis itu. Oleh karena itu aku mendirikan padepokan ini

bersama-sama dengan Jatis pamanmu dengan maksud untuk dapat

berkonsentrasi menguasai Kincir Metu hingga ke tingkatan terakhir,

yaitu tingkat ke sepuluh. Aku yakin jika kita berhasil mempelajari

Kincir Metu hingga ke tingkatan ke sepuluh, padepokan kita akan

semakin disegani. Dan kita pun dapat membantu mengamankan tanah

Pasundan ini dari rongrongan iblis dari manapun.”

Page 248: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

240 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eyang, saya dengar dari paman Jatis, eyang sudah berhasil

menguasai tingkat ke sembilan dari Kincir Metu?”

“Ya ya, itu memang benar. Aku yang bodoh ini baru berhasil

membuka tabir rahasia jurus perguruanku sampai tingkat yang ke

sembilan.”

“Ooh, bagus sekali Eyang. Dengan jurus yang sekarang pun,

Goa Larang sudah disegani di dunia kependekaran Jawa dan

Pasundan. Apalagi Eyang telah meningkat hingga ke tingkat ke

sembilan.”

“Yah, untuk itulah aku ingin agar kau segera memiliki yang

kumiliki ini. Umurku sudah lanjut, mungkin tidak lama lagi aku akan

meninggalkan dunia ini.”

“Aah, eyang belumlah terlalu tua. Bukankah eyang pernah

cerita, umur dari guru eyang, Mamang Kuraya lebih dari seratus

tahun? Dibanding dengan guru eyang Mamang Kuraya, eyang masih

jauh lebih muda.”

“Hmm, hahaha iya... iya... itu memang benar, Wulan. Guruku

Mamang Kuraya adalah seorang yang sangat arif dan bijaksana. Oleh

karena itu dewata memberkahi umur panjang padanya.”

“Hmm, tetapi...”

“Ah, sudahlah Anting. Aku harus kembali menjenguk jenasah

tamuku. Dan mempersiapkan penyelenggaraan upacara nanti siang.

Kau belum lagi beristirahat sejak kedatanganmu tadi pagi. Sudahlah,

beristirahatlah dahulu.”

Page 249: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

241 Api Berkobar di Karang Sedana

Demikianlah akhirnya, setelah merasa tugasnya selesai kedua remaja

itu berpisah masing-masing masuk ke biliknya. Sedangkan Mbah Jatis

yang merasa terpukul dengan perbuatan muridnya Made Ludira

menjadi berang dan menemui Made di ruang khusus yang dijaga oleh

beberapa orang saudaranya.

“Anak bejat ! Merangkaklah kau ke dekatku sini. Ayo! Ayo

merangkak! Hmm kurang ajar, anak tidak tahu diri, rasakan ini.

Rasakan ini.”

“Ayo coba kau jelaskan, siapa pendeta kawanmu itu?!”

“Pendeta? Eeh,... Pendeta siapa yang guru maksudkan?”

“Aah, pasti kau berlagak bodoh lagi. Cepat katakan, siapa

pendeta yang kau temui di desa Sumur Opat? Yang akan mengupahmu

dengan butir-batir batu berharga itu?”

“Oh tidak, dari mana guru mengetahui semua itu?”

“Kedua anak itu melihatmu sedang mengadakan pertemuan

dengan pendeta itu. Ayo! Katakan siapa orang itu?”

“Saya,... saya... saya tidak tahu banyak tentang orang itu,

Guru.Saya bertemu dengannya ketika saya sedang...”

“Ah sedang main gila dengan wanita? Sedang berjudi di

pinggiran desa Sungai Opat?!”

“Be...benar guru. Am...ampunkan saya.”

“Perbuatanmu melakukan perjudian dan main gila dengan

wanita masih ada hukuman dan masa pertobatannya. Akan tetapi

untuk pencurian dan pembunuhan tak ada peraturan dalam perguruan

kita, karena selama ini Eyang Resi tidak pernah membayangkan akan

Page 250: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

242 Api Berkobar di Karang Sedana

mempunyai murid dan anggota yang dapat melakukan perbuatan

murtad dan biadab, seperti yang kau lakukan itu. Untuk itu aku

serahkan masalahmu ini pada kakang Wanayasa.”

“Ampunkan saya, Guru. Ampunkan. Saat itu saya serasa tidak

mempunyai pilihan lain, Guru. Ampunkan saya Guru, ampunkan.”

“Hmm, dimana orang itu sekarang berada? Pendeta yang

menyuruhmu melakukan perbuatan biadab itu?”

“Dia, dia berada disekitar sungai kering, Guru. Tidak jauh dari

pinggiran desa Sumur Opat.”

“Hmm, akan kuberi pelajaran pendeta biadab itu, dan kubawa

menghadap kakang Wanayasa.”

“Hati-hati Guru, pendeta itu mempunyai kesaktian yang

tinggi. Pukulan-pukulan yang kulancarkan dapat diterimanya dengan

dada terbuka.”

“Tentu saja, jika itu pukulan dari kau yang bodoh!” ketus

Mbah Jatis karena merasa direndahkan oleh muridnya sendiri, lalu

sesumbarnya “Akan kulihat apakah dia dan juga gurunya akan mampu

menahan amukanku, Jatis Sarumpa dari Goa Larang!”

Sekelompok pendeta atas undangan dari resi Wanayasa berkumpul

mengadakan upacara memohon datangnya hujan guna mengatasi

kemarau yang berkepanjangan. Mereka berkumpul mengitari

sembilan mata air dewa yang menjadi tempat suci mereka. Setelah

selesai dengan kidung-kidung pujian, kemudian mereka satu persatu

menciduk air yang mulai berkurang kederasaanya dari sembilan mata

Page 251: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

243 Api Berkobar di Karang Sedana

air dewa. Dan kemudian mereka berkeliling sambil memercikkan air

itu ke udara dan ketanah-tanah kering di sekitar mereka.

“Adik Wulan,...”

“Hmm?”

“Kenapa kakang Seta dan adik Awuk belum juga tiba dengan

rombongannya? Apakah mungkin telah terjadi sesuatu dengannya?”

“Aku kira, sebentar lagi juga mereka datang Kakang. Kita

tunggu saja.” Anting Wulan menjawab den

“Hmm, iya. Kita tunggu saja. Mudah-mudahan tidak terjadi

sesuatu apapun dengan rombongan itu.”

“Hey, lihat itu. Ada seorang penunggang kuda yang menuju

ke padepokan kita. Ayo kakang, kita tunggu di pintu pagar

padepokan.”

“Maaf sahabat, siapakah Anda? Dan apakah tujuan Anda

mengunjungi padepokan kami?”

Penunggang kuda tersebut sesaat terhenyak, akan tetapi ketika dia

menyadari di mana dia berada, segera saja dia melompat turun dari

kudanya.

“Kenapa padepokan ini kelihatan tidak seperti biasa? Sepi

sekali. Aku tidak banyak melihat murid dan penghuni padepokan ini

hilir mudik.”

“Kami sedang mengadakan upacara sembahyang di belakang

padepokan kami. Ada yang bisa kami bantu, kawan?”

Page 252: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

244 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, jika upacara itu sudah selesai aku ingin bertemu

dengan sang Resi. Aku datang membawa pesan dari sang mahaprabu

Sanna dari Galuh...”

“Kalau begitu, mari... silakan masuk dan menunggu sebentar

di dalam.”

“Hmm, baiklah...” sahut orang itu, lalu segera naik ke

kudanya dan menghelanya masuk ke padepokan. Kuda berjalan

lamban.

Sementara itu setelah selesai dengan upacara yang memohon

datangnya hujan, Resi Wanayasa segera memimpin penyelenggaraan

penguburan salah seorang pendeta tamunya.

“Kematian rekanku ini adalah akibat dari kekhilafan dan

kekurang mampuan kami untuk mendidik murid. Maka dengan ini,

aku Wanayasa menyatakan diri bertanggung jawab atas tewasnya

rekanku ini. Dan kelak aku akan datang mengunjungi biaranya

bersama dengan muridku sebagai pelaku pembunuhan ini.”

Tidak lama setelah penyelenggaraan penguburan oleh sang Resi para

undangan diminta untuk beristirahat. Dan kemudian resi Wanayasa

memanggil kedua muridnya, Saka dan Anting.

“Ada apa Eyang? Eyang memanggil saya?”

Page 253: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

245 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aku tidak melihat Jatis sejak upacara ini dimulai. Tahukah

kau dimana Pamanmu berada?”

“Tidak Eyang. Saya tidak melihat paman Jatis. Demikian pula

Wulan, juga tidak melihatnya.”

“Hmm, iya ya. Aneh sekali. Kemana adik Jatis? Hmm, jika

demikian kau bisa memerintah para murid dari padepokan agar

semuanya waspada. Perketat penjagaan. Aku khawatir jika kita

kedatangan tamu yang tidak diundang yang akan menyusahkan kita.”

“Ah, ya... Eyang. Hari ini kita kedatangan seorang tamu

khusus dari Galuh.”

“Dari Galuh?”

“Iya.”

“Siapakah dia?”

“Utusan dari kerajaan Galuh. Dari mahaprabu Sanna.”

“Oh iya, dari Sanna, kemenakanku. Hmm lalu dimana dia

sekarang? Suruh segera menghadapku. Dan kau Saka, laksanakan

perintahku tadi. Perketat penjagaan di sekitar padepokan.”

“Baik Eyang.” berbarengan Anting Wulan dan Saka

Palwaguna menjawab perintah guru mereka itu.

“Hamba menghaturkan sembah sujud pada Eyang Resi.”

“Bangkitlah Kisanak. Aku dengar dari kedua muridku, kau

adalah utusan dari Galuh. Dari anakku Sanna?”

“Benar Tuanku. Hamba adalah utusan sang Prabu untuk

menyampaikan pesannya.”

Page 254: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

246 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya ya ya, apa pesan darinya?”

“Sang Prabu memohon, agar sang Resi sudi mendidik dan

merawat raden Karmapala. Putra dari sang Prabu.”

“Maksudnya?”

“Sang Prabu hendak mengirimkan raden Karmapala untuk

belajar ilmu lahir dan batin di padepokan Eyang Resi.”

“Ah... Karmapala... Karmapala... siapakah dia itu? Adik dari

pangeran mahkota Sanjaya kah dia?”

“Raden Karmapala adalah putra dari sang Prabu dari seorang

selirnya.”

“Oh ya, baiklah. Katakan pada rajamu, aku menerima

Karmapala dengan senang hati di padepokan ini. Karmapala adalah

juga cucuku. Lalu kapan anak itu akan datang ke mari?”

“Sesegera mungkin, Tuanku. Dalam minggu-minggu ini

raden Karmapala akan berada di padepokan ini.”

“Hmm ya ya ya. Aku akan menunggu anak itu. Nah kau dapat

beristirahat beberapa hari di sini Kisanak. Baru kau berangkat kembali

ke Galuh.”

“Terima kasih Eyang Resi, akan tetapi saya harus segera

kembali ke Galuh.”

“Hmm, baiklah jika demikian sampaikanlah salamku pada

Tuanmu.”

“Saya akan sampaikan pesan Eyang. Saya permisi...”

Page 255: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

247 Api Berkobar di Karang Sedana

Pagi harinya, setelah ditinggalkan oleh Saka Palwaguna dan Anting

Wulan rombongan raden Seta Keling dan kawan-kawannya

beristirahat beberapa saat untuk segera melanjutkan perjalanananya.

Dan ketika matahari telah memancarkan panas paginya, raden Seta

Keling pun mengisyaratkan rombongannya untuk meninggalkan desa

Sumur Opat.

Akan tetapi ketika rombongan itu tiba di daerah bukit Hutan Kayu, di

sebuah jalan yang cukup sempit untuk dilalui oleh beberapa kuda

sekaligus, tiba-tiba...

“Berhenti ! Siapakah Kisanak yang mengganggu perjalanan

kami?”

“Keluarlah jangan bersembunyi seperti babi pengecut !”

“Kakang, kita lihat ke depan sana. Kita cari orang itu.”

“Jangan adik Awuk. Biarkan saja mereka yang datang ke

mari. Jangan tinggalkan rombongan ini. Aku khawatir mereka kembali

yang datang.”

“Setan ! Babi pengecut !”

“Hahaha, kau benar anak muda. Pohon-pohon besar ini

berhasil menutupi kelemahanmu. Kau tidak berhasil menemukan

kami. Kau salahkan pohon-pohon ini. Hahahaha!”

“Setan ! Jika kau memang ingin mencari perkara dengan

kami, keluarlah ! Keluarlah ! Rasakan pisau-pisau kecilku ini !”

Page 256: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

248 Api Berkobar di Karang Sedana

Dampu Awuk yang menjadi penasaran dengan orang yang mencari

perkara dengannya segera melemparkan pisaunya ke arah dimana

suara itu berasal. Dan demikian pula dengan Sariti yang segera meraih

dan melemparkan beberapa batu kecil ke beberapa tempat yang

dicurigainya.

“Hahaha, sia-sia saja seranganmu anak muda. Pengemis

cantik, seranganmu bisa aku hargai arahnya. Hahaha. Ayo Rakosa,

kita temui mereka.”

“Inilah aku anak muda. Akulah yang mengganggu perjalanan

kalian.”

“Heh, siapakah kalian berdua. Dan apakah maksud kalian

mengganggu perjalanan kami.”

“Kau benar Rakosa. Agaknya mereka adalah murid-murid

dari Goa Larang.”

“Saya semakin pasti ketika melihat arah perjalanannya.”

“Ah, kakang. Agaknya salah satu dari mereka adalah pendeta

maling itu.”

“Tuan pendeta, menyingkirlah dari hadapan kami ! Dan

biarkanlah kami melanjutkan perjalanan kami.”

“Guru, serahkanlah mereka semua pada saya. Saya akan

mencoba mengurus anak-anak sombong dari Goa Larang ini.”

“Hmm, silahkan Rakosa. Tapi hati-hatilah, mereka

kelihatannya cukup tangguh.”

“Jangan khawatir Guru, aku akan coba menjinakkannya.”

Page 257: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

249 Api Berkobar di Karang Sedana

“Heh, anak-anak muda. Dengarlah ! Aku sengaja

menghadang di sini ketika melihat dan mencurigai kalian ketika tadi

pagi di Sumur Opat.”

“Hemm, apa maksudmu?”

“Aku mencurigaimu adalah murid dari Goa Larang.”

“Ya, memang aku dan saudaraku ini adalah murid dari

padepokan Goa Larang. Lalu apa maksudmu menghadang kami di

sini?”

“Hahaha,” orang yang bernama Rakosa itu tertawa mengejek.

“Aku akan mencoba dan membuktikan sendiri kehebatan dari Kincir

Metu. Dan sekaligus saat ini aku akan menyatakan pada dunia

kependekaran Pasundan dan Jawa, bahwa Kincir Metu bukanlah

termasuk dalam jajaran ilmu kelas satu. Justru saat ini aku akan

membuktikannya sendiri, bahwa Kincir Metu bukanlah apa-apa

bagiku.”

“Hah, jika demikian apa maksudmu menghendaki kitab

Kincir Metu?” sengat Sariti segera.

Orang bernama Rakosa itu terhenyak. Begitu pula orang yang

disebutnya sebagai guru.

“Hee? Hei bagaimana bocah itu bisa mengetahui itu,

Rakosa?”

“Sa... saya juga tidak mengerti Guru.”

Dampu Awuk tergelak, katanya :

“Lihat Kakang, Nyai. Kedua pencuri itu kini saling ribut

sendiri.”

Page 258: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

250 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, bocah-bocah gila. Agaknya kalian telah mendapatkan

bisikan dari setan tentang maksud kedatanganku ke mari. Hm, baiklah

! Kuakui kedatanganku ke mari memang untuk mengambil kitab itu

dari padepokanmu.”

Dampu Awuk makin keras tawanya, “Pendeta edan! Kau kira

untuk mengambil kitab dari padepokan kami semudah mengambil

jagung di kebun petani ?”

“Rakosapala, beri hajaran mereka !”

“Baik, guru.”

Pendeta tinggi besar yang dipanggil dengan nama Rakosapala

menggeram hebat. Beberapa saat kemudian jubah panjang yang

dikenakannya menggelembung besar berisikan kekuatan yang amat

dahsyat. Dan kemudian dengan hentakan tongkat besar yang

dipegangnya, tubuhnya melayang naik ke angkasa.

“Serahkan pendeta busuk itu kepadaku, Kakang.”

“Hati-hati adik Awuk, layani dia dengan Kincir Ngapung13.”

“Ya, jangan khawatir Kakang.”

“Agaknya benar, gambar yang di lengannya merupakan ciri

dari perguruannya. Lihatlah Kakang, gerak dari pendeta itu. Serangan-

serangan yang dilancarkannya dari udara mirip dengan gerak

kelelawar.”

“Hm, ya kau benar, Nyai…”

13 Kincir Terbang

Page 259: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

251 Api Berkobar di Karang Sedana

Pertempuran antara Dampu Awuk dan Rakosapala berlangsung

dengan hebatnya. Serangan demi serangan saling mereka lancarkan.

Sengatan-sengatan ganas dari jurus Kelelawar Sakti dari pendeta

Rakosapala dengan kelincahan jurus Kincir Ngapung berhasil

dipunahkan. Dan demikian pula, Kincir Ngapung pun hingga saat ini

belum dapat mendesak Kelelawar Sakti.

“Hm, anak bodooh. Heh ayo, majulah kalian bersama-sama.

Hadapi aku Girindasana!”

“Kakang, biarlah aku membantumu menghadapi pendeta itu.”

“Baiklah Nyai, akan tetapi berhati-hatilah. Agaknya orang itu

sangat hebat kepandaiannya.”

“Aku akan berhati-hati, Kakang.”

Sariti segera berkelebat menghadang Girindasana.

“Kenapa berhenti tuan pendeta? Apakah kau mengaku kalah

dan bersedia untuk menyingkir?”

“Hahaha aku Girindasana mengaku kalah pada kalian? Huh,

benar-benar keterlaluan. Hei pengemis kecil, katakan apa

hubunganmu dengan si tua gila Parang Pungkur?”

“Aku adalah muridnya, murid dari perguruan pengemis

Tongkat Merah.”

“Hmm, jika begitu menyingkirlah kau. Aku tidak ada urusan

dengan kau.”

Page 260: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

252 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aku berada di tengah-tengah rombongan ini justru karena

perintah guruku. Bagaimana mungkin aku menyingkir??”

“Hm, anak gila ! jika memang kau tidak mau menyingkir,

jangan salahkan aku jika kau tidak dapat mengemis lagi.”

“Kaulah yang sebaiknya menyingkir tuan pendeta !”

“Lima tahun yang lalu boleh aku merasa takut dengan nama

besar perkumpulan Tongkat Merahmu dan Goa Larang, tapi saat ini?

Sekalipun kalian memusuhiku, aku tidak gentar sekalipun. Ayo,

bersiaplah kalian! Aku akan membuat kalian pulang dengan anggota

tubuh yang tidak lagi lengkap!”

“Hey, anak muda. Jika dalam beberapa jurus lagi aku tak

dapat mengalahkanmu, aku akan segera mengasingkan diri dari dunia

kependekaran ini.”

Demikianlah, pertempuran pun kini menjadi dua arena. Dampu Awuk

beserta Rakosapala. Raden Seta Keling bersama dengan pengemis

wanita murid Ki Parang Pungkur melawan pendeta Girindasana.

Angin pukulan yang berbahaya dan juga menerbangkan batu-batu itu,

membuat Rara Angken dan juga Raden Purbaya dan Cempaka

menyingkir jauhi arena.

“Hmm, aku masih memberikan kesempatan lagi padamu

pengemis cantik. Tinggalkanlah arena ini.”

“Aku lebih baik mati daripada harus meninggalkan arena ini.”

Page 261: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

253 Api Berkobar di Karang Sedana

Pendeta Girindasana yang melihat kekerasan dari pengemis murid dari

Parang Pungkur, akhirnya tidak sabaran lagi. Dan kini dia

melancarkan serangan-serangan ganasnya dari udara yang membuat

kedua anak muda itu menjadi kelabakan.

Sementara itu Rakosapala yang juga belum berhasil menundukkan

Dampu Awuk, kini melengkapi serangan-serangannya dengan paser-

paser kecil yang disembunyikan di balik jubahnya. Serangan-serangan

dari Rakosapala yang kian menjadi tidak sabaran dengan

pertempurannya yang kian berlarut-larut menjadi membabi buta.

Hingga akhirnya…

Dampu Awuk yang melihat serangan-serangan paser yang berhasil

dielakkannya mengenai Rara Angken, menjadi semakin kalap dan

membalas serangan-serangan dari Rakosapala dan tanpa

memperhitungkan lagi pertahanan dan keselamatan dirinya. Untuk

itulah serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya dan

mendesak Rakosapala. Sementara itu ditempat lain, raden Seta Keling

dan murid dari Ki Parang Pungkur terdesak hebat oleh serangan dari

pendeta Girindasana.

“Ibunda… Ibunda sadarlah… Ibunda”

“Agaknya ibumu pingsan akibat serangan dari racun pada

paser itu, Raden.”

“Bibi Cempaka, apa yang harus aku lakukan?”

Page 262: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

254 Api Berkobar di Karang Sedana

“Maaf Raden, Bibi pun tidak tahu apa yang sebaiknya kita

lakukan.”

“Apa sebaiknya kucabut saja paser ini, Bi?”

“Bibi… Bibi tak tahu, Raden.”

“Biar, akan kucabut saja paser ini.”

“Lihatlah,… lihatlah Bi. Di sekitar lengan ibunda yang

terkena paser itu terlihat hangus menghitam. Paser ini berbahaya, Bi.”

“Buanglah Raden, jika begitu…”

“Baiklah. Bunda… Bunda, sadarlah Bunda.”

“Ooh, tubuh ibumu panas sekali, Raden. Hm, akan kucoba

mengeluarkan racun itu dengan mengurut di sekitar lukanya yang

menghitam.”

“Lakukan terus, terus Bi. Lihatlah darah yang menghitam itu

keluar. Tentulah itu darah yang mengandung racun. Terus bibi

Cempaka !”

Cempaka, gadis remaja yang menjadi dayang pengasuh raden Purbaya

dengan memaksakan dirinya yang lemah dan takut akan darah

mencoba untuk terus memijat-mijat di sekitar luka Rara Angken untuk

mengeluarkan racun dari dalam tubuh majikannya.

Sementara itu di arena yang lain, raden Seta Keling beserta gadis

pengemis murid dari Aki Parang Pungkur terdesak hebat dan berada

dalam keadaan yang amat berbahaya.

“Hahaha, kini saatnyalah kalian kujatuhkan. Jangan khawatir

aku tidak akan membunuh kalian. Aku hanya ingin memberi pelajaran

Page 263: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

255 Api Berkobar di Karang Sedana

pada Goa Larang bahwa Kincir Metu bagiku sama sekali tidak ada

artinya.”

“Hooi, pendeta edan ! Jangan layani mereka ! Layanilah aku

!”

“Hmm, agaknya kalian adalah pendeta-pendeta pencuri itu…”

“Siapakah kau orang gila?! Mengapa kau mencampuri

urusanku?!”

“Hahaha, tentu saja aku harus mencampuri urusan ini.

Bukankah kau berniat untuk memberi pelajaran pada Goa Larang?

Seta… ”

“Ya?!”

“Coba kau lihat wanita yang terluka itu, biarkan pendeta ini

jadi urusanku.”

“Ya, paman!”

“Hmm, agaknya kau adalah Jatis Purut, adik seperguruan dari

si tua Wanayasa.”

“Hm, agaknya aku juga cukup mempunyai nama hingga

dikenal oleh pendeta-pendeta yang jauh dari Pasundan.”

“Bagus Jatis, kebetulan sekali kau datang ke mari. Marilah

kita lihat apakah Kincir Metu-mu sanggup menahan ilmuku ini.”

“Bagus, aku pun ingin mencoba kehebatan Kelelawar Sakti

dari Jerangkong Hidup.”

“He?! Agaknya kau sudah mengenal ilmuku ini, Jatis?”

Page 264: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

256 Api Berkobar di Karang Sedana

Mbah Jatis adik seperguruan dari resi Wanayasa, bukanlah seorang

resi yang saleh sebagaimana kakaknya resi Wanayasa. Jatis Purut

saudara dari pimpinan padepokan Goa Larang itu adalah seorang ahli

ilmu tangan kosong yang hebat dan telah menguasai Kincir Metu

sampai ke tingkat ke delapan. Satu tingkat diatas raden Seta Keling.

Jatis Purut yang juga merupakan maha guru dari padepokan Goa

Larang akhirnya mengeterapkan aji Kincir Metu tingkat ke delapan

berhasil menekan pendeta Girindasana.

“Heh, tinggalkan lawanmu itu Rakosa !” pendeta Girindasana

berseru lalu segera melesat meninggalkan mbah Jatis begitu tampak

olehnya kesempatan untuk keluar dari arena.

Mendengar seruan gurunya itu, Rakosapala pun segera

mencoba keluar dari pertarungannya dengan Dampu Awuk, akan

tetapi tidak semudah gurunya. Dampu Awuk masih melancarkan

beberapa serangan yang dengan sigap dielakkannya.

“Adik Awuk, biarkan orang itu pergi !” seru Seta Keling

“Pendeta palsu ! Pendeta bejat ! Ayoo, jangan lari ! Kita

selesaikan pertempuran kita ini !” maki Dampu Awuk.

“Sudahlah adik Awuk. Biarkan orang itu. Kemarilah…”

“Hmm, inikah gusti permaisuri dari gusti prabu Aji Konda?”

“Eh, benar paman. Apakah adik Saka dan adik Wulan sudah

menceritakan semua pengalaman kami ?”

“Iya, semuanya. Eh, bagaimana keadaannya?” jawabnya.

Ketika melihat ada perempuan asing disitu dia pun bertanya, “Hm,

siapakah gadis ini Seta?”

Page 265: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

257 Api Berkobar di Karang Sedana

“Saya adalah Sariti, paman. Murid kakek Pungkur dari

perguruan pengemis…”

“Ooh, bagaimana keadaaannya Sariti? Kulihat tadi agaknya

kau yang menolong wanita ini.”

“Saya hanya berhasil mengeluarkan racun yang berada di

sekitar lukanya, paman. Sedangkan yang sudah jauh mendekati

jantung dan otaknya belum dapat saya bersihkan. Akan tetapi agaknya

untuk sementara keadaannya tidak akan bertambah parah. Saya sudah

memberikan obat yang menghentikan daya racun itu untuk beberapa

saat.”

“Hm, ya. Kalau demikian, ayolah kalian segera berangkat.

Bawa wanita itu ke padepokan. Mudah-mudahan kakang resi dapat

menolongnya.”

“Ayo, kita berangkat Raden,… Cempaka… Biarkan ibumu

dibawa oleh… eeh, bibi Sariti.”

“Maaf Nyai…” ucap Sariti, lalu dengan gerakan yang sigap

segera mengangkat tubuh Rara Angken dan menaikkannya ke atas

kuda. “Ayo kita berangkat.”

Sesampainya di Goa Larang, mbah Jatis segera menyerahkan Rara

Angken yang sudah tak sadarkan diri pada resi Wanayasa. Melihat

keadaan dari Rara Angken yang mengkhawatirkan, sang resi segera

saja berusaha mengeluarkan racun yang telah jauh bersarang di tubuh

korbannya. Akan tetapi beberapa saat kemudian …

Page 266: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

258 Api Berkobar di Karang Sedana

“Racunnya telah jauh masuk ke dalam bagian-bagian yang

berbahaya. Amat sulit sekali untuk menolongnya. Sulit sekali…”

“Eh, apakah tak orang lagi yang dapat menyelamatkan

ibundaku, Kakek?”

“Aah, mungkin tidak ada raden…”

“Ada ! Ada Kek. Sahabat guru saya, Tabib Dewa pasti akan

dapat menyembuhkannya.”

“Ah? Oh iya iya iya. Kau benar. Kaukah murid dari sahabatku

Parang Pungkur?”

“Benar Kek. Saya Sariti, muridnya.”

“Oh ya ya ya. Kau benar. Ki Poho Sagala si Tabib Dewa itu

dapat menyembuhkan wanita ini. Aah, tapi bagaimana mungkin kita

dapat menemukan tempatnya di pesisir selatan?”

“Yah, jauh sekali di pesisir selatan. Untuk bisa ke sana bisa

memakan waktu setengah purnama.”

“Hmm, akan tetapi janganlah kau putus asa. Aku akan

menolong ibundamu sedapat mungkin. Begini saja, kau tinggalkan

ibumu disini. Biar aku yang merawatnya. Kau dapat beristirahat

dengan tenang di sini.”

“Ayolah Cempaka, ajak Purbaya beristirahat di luar.” berkata

Seta Keling. “Nanti aku akan carikan tempat untuk kalian

beristirahat.”

“Ah, tapi gusti hamba itu…”

“Biarkanlah disini saja. Eyang resi akan berusaha merawat

dan menolongnya.”

Page 267: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

259 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah, Tuan. Mari Raden, kita keluar.”

Cempaka menggamit tangan raden Purbaya dan keluar dari

bilik itu. Mereka berdua berjalan-jalan lambat memutari pondok.

“Tempat ini menarik sekali sebenarnya Raden. Lihatlah,

halaman yang luas di samping kamar ini. Lihatlah itu, undak-undakan

rumput yang indah, agaknya tidak kalah indah dengan taman di istana

Karang Sedana. Dan coba Raden, lihat di sebelah sana itu, air terjun

jatuh ke atas undak-undakan itu. Pecah berderai di setiap undakan

batu. Ah, bukankah indah sekali, Raden?”

“Ya, tempat ini memang indah Bibi Cempaka. Tapi,… kita ke

sana saja. Aku ingin melihat orang-orang yang sedang berkumpul itu.”

“Hm, kelihatannya orang-orang di sana itu sedang berlatih

olah kanuragan, Raden.”

“Marilah Bibi, kita melihat mereka.”

“Bibi, aku ingin sekali mempelajari ilmu kepandaian seperti

itu. Aku ingin pandai seperti paman Seta, agar kelak aku dapat

membalaskan sakit hati ibundaku yang telah dihina oleh orang-orang

jahat !”

“Benar, Raden harus menjadi seorang yang tangguh seperti

mereka, agar kelak dapat merebut kembali Karang Sedana dari tangan

orang-orang jahat itu.”

“Aku berjanji, jika aku mendapatkan kesempatan untuk

mempelajari ilmu kepandaian seperti mereka, aku akan belajar

sepenuh hati, Bi”

Page 268: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

260 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah, Raden. Bibi akan menyampaikan maksud Raden ini

pada ibunda, jika ibunda telah sembuh.”

“Bibi, darahku serasa bergolak. Dadaku berdebar kencang.

Keinginan itu semakin aku memperhatikan mereka berlatih, semakin

kuat.”

“Raden harus bersabar dan menunggu ibunda sembuh.”

“Tidak Bibi, aku akan menunggu kesembuhan ibunda sambil

mempelajari kepandaian berkelahi itu. Aku akan menemui paman

Seta, meminta agar aku diperkenankan belajar di sini.”

“Hmm, baiklah Raden. Mari… bibi antar menemui paman

Seta Keling.”

Mereka berdua kembali berjalan. Cempaka bertanya pada

seorang murid padepokan tentang keberadaan raden Seta Keling saat

itu. Dari murid padepokan itu, mereka menuju ke sebuah pondokan

yang ditunjukkan pada mereka. Cempaka mengetuk pintu bilik raden

Seta Keling.

“Siapa?”

“Saya Tuan, Cempaka.”

Pintu bilik terbuka.

“Oh, kau Cempaka… dan kau Raden. Ada sesuatu yang dapat

saya bantu?”

“Ah, Tuan… majikan saya Raden Purbaya berniat ingin

mempelajari ilmu olah kanuragan.”

“Oh ya?”

“Saya berharap agar Tuan dapat menolongnya.”

Page 269: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

261 Api Berkobar di Karang Sedana

“Bagus ! Bagus sekali Raden. Tapi apakah itu tidak tergesa-

gesa? Raden pasti akan mempelajari ilmu tersebut, tapi tentu tidak saat

ini. Raden masih akan menunggu dan melihat perkembangan dari

kesehatan ibunda Raden. Bukankah Raden akan tinggal di sini untuk

waktu yang lama?”

“Paman Seta benar. Tapi entahlah Paman. Saya tidak dapat

menahan lagi gejolak dalam dada saya yang menuntut untuk

mempelajari ilmu itu.”

“Aku hargai semangatmu, Raden. Akan tetapi olah kanuragan

sesuai dengan namanya adalah ilmu yang berkaitan erat dengan olah

atau gerak dari semua bagian tubuh kita yang sebenarnyalah terbatas

kekuatannya. Nah, untuk dapat menguasai ilmu itu dengan baik, kita

harus mempelajari ilmu itu dengan baik secara berurut dari dasar

dengan amat teratur. Raden tidak bisa mempelajari itu dengan tergesa

dan dipengaruhi kekalutan emosi dan dendam.”

“Ah, iya paman Seta saya akan mencoba untuk melakukan

semua yang Paman katakan. Tapi… apakah saya dapat segera

memulainya? Segera mempelajarinya sementara saya menunggu

kesembuhan dari ibunda…”

“Eh, tapi apakah Raden tidak meminta ijin dari ibunda Raden

dulu?”

“Sudah Paman. Ibunda sudah memberikan saya ijin untuk

mempelajari ilmu kepandaian berkelahi itu. Ibunda saya

menghendaki saya dapat menjadi pemuda yang tangguh seperti paman

Seta.”

Page 270: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

262 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baiklah jika demikian aku akan menyampaikan semua

keinginanmu itu pada Eyang Resi. Kau beristirahatlah, nanti aku akan

memberikan kabar padamu.”

“Terima kasih paman Seta. Mari bibi Cempaka, kita kembali

ke kamar untuk beristirahat.”

“Aku melihat sinar mata yang penuh dendam dalam diri bocah

itu. Agaknya penghinaan yang diterimanya dalam beberapa hari ini

benar-benar telah menggoncangkan jiwanya. Yah, aku akan

menyampaikan permintaan anak itu pada eyang Resi.”

Permohonan dari raden Purbaya diterima oleh resi Wanayasa. Dan

untuk persiapan dasar dari anak itu sebagaimana halnya murid baru

diberikan pada Ki Luminta, pelatih olah kanuragan padepokan yang

merupakan pembantu Mbah Jatis.

Untuk menyampaikan kabar itu maka Raden Seta Keling

mengunjungi raden Purbaya di sebuah bilik pondokan yang telah

disiapkan untuknya tinggal. Cempaka menemaninya.

“Hai Bibi, besok aku sudah bisa mempelajari ilmu kepandaian

itu ! Terima kasih paman Seta. Saya berjanji akan mentaati petuah dan

peraturan yang ada di padepokan ini.”

“Bagus, aku pun berharap kau akan menjadi murid utama dari

padepokan ini. Belajarlah yang baik dan lupakan dendam dalam

dadamu untuk dapat berhasil menguasai olah kanuragan itu dengan

baik.”

Page 271: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

263 Api Berkobar di Karang Sedana

“Saya akan mentaati semua kata-kata Paman.”

“Nah, ingatlah besok sebelum matahari terbit kau harus sudah

siap untuk berlatih. Paman Luminta yang akan memberikan dasar-

dasar ilmu dari padepokan ini, akan menjemputmu di sini. Mengerti?”

“Mengerti Paman. Saya akan bersiap pagi-pagi sekali sebelum

paman Luminta tiba.”

“Bagus! Nah, teruskanlah istirahatmu. Sebentar lagi kau akan

diberitahukan untuk makan bersama-sama di ruang makan, di ruang

besar itu.”

“Baik Paman.”

Raden Purbaya melonjak kegirangan dan menari-nari setelah raden

Seta Keling meninggalkan kamarnya. Berita yang dibawa raden Seta

Keling baginya seakan-akan menobatkannya menjadi seorang

pendekar yang tangguh.

***

Demikianlah, keesokan harinya ketika fajar belum lagi menyingsing

Raden Purbaya telah siap dengan semangat tinggi untuk mempelajari

jurus-jurus ilmu kesaktian yang kelak akan dipergunakannya untuk

membalaskan dendam ibundanya.

“Jika Raden ingin berlajar bersama kakak-kakak angkatan

pertama di sini, raden harus giat untuk mengejar mereka. Mengejar

Page 272: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

264 Api Berkobar di Karang Sedana

ketinggalan Raden. Mereka sudah mulai sejak dua bulan yang lalu,

Raden.”

“Yah, saya mengerti paman Luminta. Saya akan mencoba

untuk berlatih sungguh-sungguh.”

“Bagus. Nah sekarang marilah kita mencoba melatih daya

tahan tubuh. Ayo kita berlari mengitari padepokan ini, Raden.”

Dengan semangat tinggi yang bergejolak di dalam dada, raden

Purbaya mengikuti Aki Luminta yang merupakan salah seorang

pelatih murid angkatan pertama di padepokan Goa Larang. Sang

mentari belum lagi terbit dan memancarkan sinarnya yang gemilang.

Suasana di sekitar padepokan serasa sangat dingin mencekam. Akan

tetapi dalam suasana yang demikian dinginnya titik-titik keringat telah

memenuhi seluruh tubuh raden Purbaya dan mereka masih saja terus

berlari.

“Ayo terus Raden! Raden harus terus berusaha hingga

melampaui batas akhir kekuatan Raden agar nanti Raden mendapatkan

tambahan kekuatan baru. Ayo Raden!” seru Ki Luminta sambil

tersenyum memberikan semangat.

“Baik, baik… baik Paman.”

“Cukup Raden. Kita beristirahat. Eit… eit, jangan Raden.

Jangan langsung duduk. Bergeraklah. Santai saja. Yaa beberapa saat

dulu, begitu… naah baru Raden dapat duduk.”

Page 273: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

265 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya… iya Paman.” jawab raden Purbaya dengan terengah-

engah.

“Nah, kita dapat beristirahat beberapa saat. Lihatlah, agaknya

hari telah cukup terang. Sebentar lagi kita akan melanjutkan latihan

kita dengan berlari-lari kembali Raden. Akan tetapi tidak di tanah

datar seperti tadi, tapi di tengah sungai kering itu.”

“Paman, kenapa Paman tidak mengajarkan saya ilmu

kepandaian seperti yang dilakukan semua murid padepokan ini?

Kenapa paman hanya mengajarkan saya berlari-lari, seperti permainan

anak-anak saja.”

“Raden, yang saya ajarkan sekarang ini adalah merupakan

dasar dari setiap ilmu olah kanuragan. Olah kanuragan sesuai dengan

namanya adalah ilmu yang berdasarkan pada gerak tubuh. Walaupun

nanti akan berkembang hingga ke olah batin. Akan tetapi Raden,

semuanya harus memiliki dasar. Yaitu tubuh yang telah terbina. Jadi

jika Raden ingin menguasai ilmu olah kanuragan, yang sekarang saya

ajarkan adalah dasar yang sangat penting, Raden. Apa Raden sudah

mengerti?”

“Ah, iya Paman.”

“Nah, lihatlah. Lihatlah itu ada sungai kering. Kita sekarang

akan mencoba berlari di tengah sungai itu.”

“Tapi Paman, sungai itu dipenuhi oleh batu-batu besar

maupun kecil. Bagaimana saya bisa berlari di tengah sana?”

Page 274: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

266 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, lakukanlah nanti sedapat Raden. Memang yang kali

ini kita lakukan adalah sedikit berbeda dengan yang baru saja kita

lakukan.”

“Ah… lalu kapan saya dapat berlatih ilmu kanuragan yang

sebenarnya. Seperti yang dilakukan oleh murid-murid padepokan ini

di dalam sanggar besar itu.”

“Raden, nanti jika Raden sudah memiliki daya tahan tubuh

yang cukup dan keterampilan gerak yang akan kita lakukan sekarang.”

“Jika demikian, ayolah kita segera mencobanya Paman.”

“Ah, bagaimana Raden? Apakah Raden sudah tidak merasa

capai?”

“Iya Paman. Saya sudah merasa segar kembali. Ayo kita

lanjutkan latihan kita.”

“Baiklah, mari Raden.”

Ki Luminta memulai mendahului Purbaya berlari dan

meloncat-loncat di atas batu-batu besar dan kecil di sungai kering.

“Ayo Raden, ikutilah Paman!”

“Baik, Paman.”

“Awas, berhati-hatilah Raden. Jangan tergesa-gesa.

Pelajarilah situasinya dahulu, Raden. Ayo…”

“Hahaha, mudah sekali paman Luminta.” seru Purbaya

kegirangan.

“Hey, awas Raden !”

Purbaya yang tampak sangat girang karena mampu

mengimbangi lompatan-lompatan yang dilakukan guru barunya itu,

Page 275: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

267 Api Berkobar di Karang Sedana

menjadi kurang berhati-hati. Dan akibatnya lompatan berikutnya dia

menginjak batu yang berguncang saat dihinggapinya. Akibatnya

tubuhnya limbung sesaat kemudian jatuh terjerembab.

“Aduh !... Aduh… Aduh…”

“Bagaimana Raden? Apakah ada yang terluka?”

“Ah…Ah… tidak Paman. Mari kita teruskan latihan ini.”

“Mari Raden.”

Dengan semangat yang dipaksakan, raden Purbaya terus berlari

mengikuti petunjuk dari Ki Luminta. Beberapa kali raden Purbaya

terpeleset terjatuh, akan tetapi hal itu tidak menjadikannya putus asa.

Purbaya berlatih terus dan terus berlatih.

***

Pintu bilik pondokan tempat Resi Wanayasa tinggal diketuk,

sang Resi yang tengah membolak-balik kitab catatan Aji Kincir Metu

mendongak, lalu berseru.

“Ya? Masuklah.”

Pintu pun perlahan terbuka. Seorang perempuan muda

berparas cantik tapi kusam dengan baju penuh tembelan memasuki

ruangan itu.

“Oh kau rupanya Sariti, murid dari aki Pungkur. Ada apa kau

datang ke mari, Nak?” sambil tersenyum ramah sang Resi

menyapanya.

“Saya… saya hendak menyampaikan surat dari guru saya.”

Page 276: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

268 Api Berkobar di Karang Sedana

“Surat dari gurumu? Hmm apakah kau telah bertemu

dengannya di sekitar sini?” Resi Wanayasa yang tidak mengetahui

bahwa Sariti memang ditugaskan untuk menyampaikan surat dari

gurunya menjadi kebingungan. Disangkanyalah bahwa Ki Parang

Pungkur berada di sekitar Goa Larang dan memerintahkan muridnya

itu untuk menyampaikan pesan. Akan tetapi, mengapa tidak dia saja

sendiri yang menyampaikannya?

“Surat ini ada pada saya sejak kedatangan saya tiga hari yang

lalu.”

Resi Wanayasa manggut-manggut. Kebingungannya

terjawab.

“Tapi guru berpesan untuk memberikan surat ini pada saat

yang tepat, yaitu pada saat Eyang dalam keadaan tenang dan tidak

sibuk.”

Resi Wanayasa tersenyum, “Oh begitu. Tua gila Pungkur

gurumu itu memang ada-ada saja.”

“Eh, ini suratnya Eyang.”

Sariti menyerahkan kain bungkusan putih yang tergulung rapi pada

resi Wanayasa. Dan kemudian setelah membuka dan membaca

lembaran daun lontar yang berada di dalam bungkusan kain resi

Wanayasa tersenyum.

“Sudah berapa lama kau mengenal murid-muridku?”

“Baru beberapa hari ini saja, Eyang Resi.”

“Ooh… Apakah kau sudah mengetahui isi surat ini?”

Page 277: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

269 Api Berkobar di Karang Sedana

“Belum Eyang. Apakah saya boleh mengetahui dan perlu

mengetahuinya?”

Mendengar pertanyaan Sariti itu, resi Wanayasa tergelak.

“Benar-benar tua gila Pungkur itu. Tidak waras dan sangat

usilan.”

“Eh, kenapa Eyang berkata seperti itu pada guru saya?” tanya

Sariti penasaran dan tidak senang.

Sang Wanayasa masih terkekeh sambil bertanya lagi,

“Sekarang siapakah di antara muridku yang kau kenal baik, hm?”

“Eh? Apa maksud eyang Resi?”

“Eh maksudku, siapa diantara ketiga orang murid laki-lakiku

itu yang kau kenal dengan baik?”

“Ah, saya… saya baru mengenal mereka Eyang. Kenapa?”

“Hm, gurumu menghendaki agar aku dan dia dapat mengikat

tali kekeluargaan, begitu…”

“Ah?! Jadi… jadi… jadi guru saya…”

“Heheheh, iya… iya. Dia ingin agar kau dapat menikah

dengan salah seorang muridku, begitu.”

“Ah, keterlaluan. Guru benar-benar telah keterlaluan telah

mempermainkan aku seperti ini.” Sariti tampak geram dan gusar kali

ini.

“Eeh, sebentar. Dengarlah dulu, Nak. Aku tidak menolak dan

juga tidak menerima permintaan gurumu itu. Tapi kau sampaikanlah

bahwa masalah itu aku serahkan pada kalian sendiri, ya… karena ini

memang adalah hak dan urusan kalian.”

Page 278: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

270 Api Berkobar di Karang Sedana

“Saya permisi Eyang. Saya akan segera kembali.”

“Eh, iya. Baiklah. Sampaikanlah salamku pada gurumu itu.”

“Baik Eyang,…” sahut Sariti dengan suara bergetar menahan

gejolak perasaannya saat itu. Malu, marah, sedih, dan kecewa

tergetarkan pada suaranya saat itu.

Sariti murid dari perguruan pengemis tongkat merah segera berlari

menginggalkan ruang resi Wanayasa. Gadis perkasa ini merasa amat

tersinggung, karena merasa telah dipermainkan oleh gurunya yang

memang gemar membuat ulah. Raden Seta Keling dan saudara-

saudaranya merasa terkejut ketika melihat sikap dari gadis yang

memang sangat pendiam itu.

“Hey, tunggu Sariti. Ada apakah? Kenapa kau tiba-tiba

menjadi seperti ini?” sapa Seta Keling.

“Oh, maaf. Aku akan segera kembali. Eh… terima kasih

kakang semua, dan juga kau Wulan.”

“Iya, tapi kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini?” bertanya

Anting Wulan. “Eh, apa yang terjadi denganmu?”

“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Hanya saja saya harus segera

kembali. Pesan guru pun telah kusampaikan pada eyang Resi…

Permisi, dan sekali lagi, terima kasih.” cepat jawaban Sariti dengan

penuh keengganan dan tampak sekali ingin segera berlalu dari tempat

itu.

Tergesa-gesa Sariti menuju kudanya, dan kuda itu pun tak

lama kemudian telah berderap meninggalkan padepokan Goa Larang.

Page 279: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

271 Api Berkobar di Karang Sedana

“Pastilah telah terjadi sesuatu dalam pembicaraannya dengan

eyang Resi.” gumam Anting Wulan.

“Hmm, aku akan menanyakannya,” Seta Keling berkata pula.

“Kau ikutlah, adik Saka.”

“Ah, biarlah. Aku saja yang menanyakannya pada eyang Resi

bersama-sama dengan Kakang Seta. Kalian tunggu saja di sini.”

“Eh, sebenarnyalah masalah ini tidak ada hubungannya

denganmu. Maslaah ini adalah masalah kakang-kakangmu.”

“Tapi masalah kakang-kakangku adalah masalahku juga.”

Resi Wanayasa terbatuk-batuk kecil, “Iya ya ya. Sudahlah,

kau boleh mengetahuinya.”

Resi Wanayasa mendesah.

“Parang Pungkur sahabatku itu menghendaki agar muridnya

itu, Sariti menikah dengan salah seorang muridku.”

“Hm, jadi… Maksud eyang Guru?” raden Seta Keling tiba-

tiba bertanya dengan wajah memerah. Resi Wanayasa cukup

menyadari hal itu.

“Yaah, aku tidak langsung menerima dan tidak juga

menolaknya. Semua aku serahkan pada Sariti dan juga pada kalian

murid-muridku.”

“Lalu kenapa Sariti jadi bersikap seperti itu, eyang Guru?”

Page 280: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

272 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ooh, anak itu jelas-jelas merasa malu dan dia jadi merasa

amat tersinggung dengan sikap gurunya yang tidak menjelaskan dan

membicarakan dulu isi surat itu.”

“Oh?! Jadi Sariti tidak mengetahui isi surat itu?”

“Ya. Karena itulah dia amat terkejut ketika kujelaskan

maksud dari gurunya.”

“Tapi kenapa dia harus jadi bersikap seperti itu? Bukankah itu

sama saja dia menghina Kakang Seta?”

“Wulan !” raden Seta Keling menegur ucapan Anting Wulan

itu.

“Iya Kakang. Sikapnya yang langsung pergi meninggalkan

padepokan kita, seakan-akan dia tidak setuju dengan isi surat itu. Dan

itu sama saja dengan menghina Kakang Seta.”

“Lalu apa hubungannya denganku?”

“Bukankah Aki Parang Pungkur suka dan setuju dengan

Kakang?”

“Tidak, Wulan. Ki Parang Pungkur tidak menyebut nama

salah seorang pun dari kakangmu. Aku tidak akan memaksa

Kakangmu.”

“Hmm, maaf Eyang… saya belum memikirkan masalah itu.

Saya merasa belum siap untuk membina rumah tangga.”

“Aku tidak akan memaksamu, Seta. Tapi aku hanya

mengingatkan bahwa hal itu sudah seharusnya kau pikirkan. Umurmu

sudah cukup untuk itu. Oleh karena itu aku memberikan kesempatan

ini padamu dahulu.”

Page 281: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

273 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh, maaf Eyang. Saya kira, saya belum dapat

melakukannya…”

“Hmm, yah… Baiklah jika memang demikian. Aku akan

menanyakan hal ini pada adikmu, Saka Palwaguna.”

“Aih, Sariti itu cantik sekali Kakang. Apalagi yang kakang

pilih dan kakang cari?”

Anting Wulan sebenarnya sangat terkesiap dengan ucapan

gurunya tersebut. Perempuan cerdik itu pun segera mencoba

mengalihkan pembicaraan dan membujuk agar Seta Keling segera

mengiyakan untuk berjodoh dengan Sariti. Tidak lain, tidak bukan

agar Sariti terhalangi dari Saka Palwaguna, pemuda idamannya

Mendengar ucapan Anting Wulan itu, Seta Keling termenung.

“Anting, agaknya kau tidak menyadari betapa aku sangat

mencintai mu. Akan tetapi agaknya kau… kau justru lebih

memperhatikan adik Saka,” keluh hati raden Seta Keling.

“Bagaimana Kakang, kami di padepokan ini sudah ingin

sekali mengadakan suatu perayaan besar.”

“Aah, sudahlah Wulan. Aku akan memberikan waktu bagi

kakangmu untuk memikirkannya. Akan tetapi ingatlah, Seta…

Janganlah hal tersebut sampai mengganggu konsentrasi latihan kalian,

ya. Aku akan segera menurunkan Kincir Metu tingkat ke delapan

padamu. Nah, dalam beberapa hari ini aku akan mencoba

menyempurnakan dahulu tingkat ke sembilan yang baru aku kuasai.

Nah,… tinggalkanlah aku sendirian disini.”

Page 282: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

274 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh, Raden masih berada di sini? Belum berangkat latihan?

Bukan kah tadi pagi Raden katakan sore ini akan latihan lagi?”

“Ah, bibi Cempaka dari mana?”

“Dari menengok ibunda Raden. Emm, menurut Ibunda

mungkin besok Ibunda Raden sudah dapat dipindahkan ke dalam

kamar kita ini.”

“Ohh, benarkah itu Bi? Tadi pagi sehabis latihan, ibu tidak

bilang apa-apa pada saya.”

Cempaka tersenyum.

“Ketika Bibi tiba di kamarnya, eyang Resi baru saja selesai

mengobatinya lagi. Mungkin Ibunda baru saja mendengar dari Eyang

Resi. Wajah Ibunda Raden kelihatan sudah cerah… ”

Sampai disitu kata-kata Cempaka terpotong oleh suara

ketukan dan panggilan dari luar. Ki Luminta memanggil Purbaya.

“Raden, ayolah. Nanti hari menjadi semakin sore dan kita

tidak akan dapat berlatih di sungai itu, Raden. Kita harus cukup

berlatih di sungai itu sebelum hari menjadi gelap.”

“Paman Luminta, sebentar. Raden Purbaya tertidur dan saya

lupa membangunkannya. Tapi kini dia sedang bersiap. Sebentar

Paman…”

“Ooh, ya ya…”

“Ayolah Raden, Raden harus berlatih. Janganlah kecewakan

Ibunda Raden. Bukankah Ibunda menghendaki Raden menjadi

seorang pemuda yang tangguh, seperti paman Seta Keling.”

Page 283: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

275 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aah, baiklah. Saya akan pergi.”

***

“Iya, iya. Cukup Raden. Beristirahatlah. Hari sudah mulai

senja, Raden. Sebentar lagi kita lanjutkan berlatih mengelilingi

padepokan ini. Untuk latihan melompat tak dapat kita lanjutkan,

Raden. Karena Raden sudah tidak dapat melihat dengan jelas lagi

batu-batuan yang ada di sungai itu.”

“Ah, paman… sampai kapankah saya harus berlatih seperti

ini? Kapan saya bisa diberikan ilmu pukulan untuk menyerang

lawan?”

“Ah, nanti. Jika daya tahan tubuh Raden sudah cukup.”

“Akan tetapi sampai kapankah itu, Paman?”

“Nanti Raden. Jika Raden sudah dapat mengelilingi

padepokan ini hingga sepuluh kali putaran tanpa henti. Dan kini Raden

baru saja dapat enam kali putaran.”

“Oh? Benarkah Paman? Jadi jika saya dapat mengelilingi

padepokan ini hingga sepuluh kali putaran, paman akan mulai

memberikan saya ilmu untuk menyerang lawan? Seperti yang dilatih

oleh kakak-kakak seperguruan saya?”

“Iya. Iya Raden. Paman akan memberikannya, asalkan Raden

mampu mengelilingi padepokan ini hingga sepuluh kali putaran.”

“Saya akan mencobanya saat ini, Paman !”

Page 284: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

276 Api Berkobar di Karang Sedana

Raden Purbaya tidak merasa puas hanya diberikan latihan ketahanan

tubuh oleh Ki Luminta. Raden Purbaya yang telah melihat kesempatan

untuk mempelajari ilmu olah kanuragan segera saja menyatakan

hendak mencobanya. Dia bertekat untuk dapat melaksanakan

persyaratan yang diajukan oleh Ki Luminta.

“Kau belum mampu, Raden. Janganlah memaksakan diri.

Mungkin jika Raden rajin berlatih setiap pagi dan sore, sepuluh hari

lagi Raden akan dapat melakukannya.”

“Saya dapat melakukannya sekarang, Paman!”

“Ooh, baiklah. Kalau begitu dapat mencobanya.

Beristirahatlah dahulu.”

“Tidak Paman, saya tidak merasa lelah lagi.”

“Tapi Raden baru saja berlatih melompat di atas batu sungai

itu…’

“Sudahlah Paman, hitunglah. Saya akan memulai putaran

pertama saya.”

Raden Purbaya yang telah melihat kesempatan untuk mempelajari

ilmu olah kanuragan segera saja bangkit dan berlari mengelilingi

padepokannya.

Putaran demi putaran dilakukan oleh raden Purbaya, telah lima

putaran berhasil dilaluinya.

“Hmm, luar biasa sekali semangat anak itu. Agaknya

keinginannya yang besar untuk mempelajari olah kanuragan membuat

tenaganya menjadi berlipat ganda. Sudah lima putaran dilaluinya

Page 285: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

277 Api Berkobar di Karang Sedana

sedikitpun tidak terlihat tanda- tanda kelelahan. Padahal baru saja dia

berlatih di tengah sungai ini.”

Putaran ketujuh dan kedelapan dapat dilaluinya dengan lari yang

cukup tegar. Akan tetapi ketika anak yang baru berusia dua belas tahun

ini tiba pada putaran ke sembilan…

“Oh, aku harus dapat menyelesaikannya! Hingga ke putaran

ke sepuluh… Esok pagi aku sudah harus dapat mempelajari ilmu

pukulan itu.”

“Sudahlah Raden! Raden tidak perlu menyelesaikan sampai

ke putaran terakhir. Jangan memaksakan dirimu, Raden !”

“Tidak, Paman. Aku harus menyelesaikan sepuluh putaran

ini.”

Dengan langkah yang semakin limbung, raden Purbaya terus

memaksakan langkahnya hingga ke putaran terakhir. Dan segera dia

menemui Ki Luminta dengan langkah yang limbung.

“Ba… bagaimana Paman? Saya… saya berhasil, bukan?!”

“Iya. Raden berhasil. Dan mulai besok pagi saya akan mulai

mengajarkan… Oh! Raden! Raden!”

Raden Purbaya yang tak dapat lagi menahan rasa kegembiraan dan

rasa kelelahan yang luar biasa yang sekaligus menyerangnya menjad

pingsan tak sadarkan diri. Ki Luminta segera menyambar tubuh putera

dari prabu Aji Konda itu. Dan setelah mengurut dan memijat beberapa

jalan darahnya, raden Purbaya pun segera sadarkan diri.

Page 286: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

278 Api Berkobar di Karang Sedana

“Raden terlalu memaksakan diri hingga membuat paman

cemas. Ayo, sekarang marilah pulang dan raden harus benar-benar

beristirahat malam ini. Malam baru saja tiba. Pergunakanlah malam

yang masih penuh ini untuk beristirahat sebaik-baiknya.”

“Mari, mari kita kembali Paman.”

***

“Bagaimana Raden, apakah sudah hilang kelelahan yang

Raden paksakan semalam?”

“Sudah Paman. Hanya saja otot-otot saya masih terasa kaku

karena belum digerakkan. Semalam-malaman saya tidur, Paman.”

“Baiklah, jika demikian. Nanti juga hilang semua kekakuan

itu. Nah, sekarang perhatikanlah Raden. Jurus pertama yang akan

Paman ajarkan adalah merupakan jurus pertama dari Aji Kincir Metu

yang merupakan tingkatan pertama. Perhatikanlah,… ini adalah

gerakan pembuka dari Aji Kincir Metu.”

Aki Luminta mulai bergerak perlahan-lahan. Tubuhnya

merendah membentuk kuda-kuda, lalu tak lama kemudian kedua

tangannya mulai bergerak melancarkan gerak berupa pukulan dan

tangkisan secara beruntun. Empat gerakan masing-masing ke empat

arah mata angin.

“Nah, itulah Raden… Itu adalah jurus pertama yang diberi

nama Gerbang Dewata. Ayo, sekarang ikuti Paman.”

Page 287: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

279 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya.. iya. Kaki… kaki nya dalam posisi kuda-kuda sejajar

tubuh ya. Dan keduanya agak ditekuk sedikit. Ya bagus. Nah,

sekarang lihat gerak dari kedua tangan yang berada disamping

pinggang itu… hmm iya begitu. Diangkat tinggi ke atas, dan putar !”

“Hupp! Hiyaah!!”

“Iya, bagus! Sekarang lihatlah gerak dari serangannya. Hiat,

hiyah!”

“Hup hup hait hait haiit hup hait hait”

“Bagaimana paman?”

“Bagus Raden, akan tetapi Raden baru… yah, hanya sampai

tahap menghapalkan gerak. Raden belum lagi mengisi gerak serang

tadi dengan tenaga Raden. Raden bisa mencobanya perlahan-lahan,

jangan terburu-buru.”

“Saya akan mencobanya lagi, Paman. Paman duduklah di sana

saja.”

Purbaya kembali memperagakan jurus Gerbang Dewata yang

baru saja dipelajarinya, kali ini dengan gerakan yang lebih perlahan-

lahan akan tetapi setiap pukulan dan hentakan yang dilakukannya

dengan menambahkan tenaganya.

“Hahaha, bagus Raden!”

“Ah, kau raden Seta…”

“Oh, Paman. Betulkah saya telah melakukannya dengan

baik?”

Page 288: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

280 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, kau telah melakukannya dengan baik. Berlatihlah terus,

dan gerakanmu itu pasti akan semakin menjadi baik.” Raden Seta

Keling menyemangati Purbaya. Lalu katanya pada Ki Luminta, “Eh

maaf paman Luminta, saya mengganggu latihan Paman. Raden

Purbaya, saya membawa kabar gembira untukmu.”

“Oh, ada apa Paman?”

“Ibundamu, sudah ada di kamarmu. Dan kini sedang bersama

Cempaka.”

“Oh, paman Luminta bisakah saya meminta waktu untuk

melihat keadaan Ibu?”

“Hmm,” Ki Luminta tersenyum dan memb elai kepala murid

barunya itu. “Pergilah Raden. Jenguklah ibumu.”

“Oh, terima kasih paman Luminta, paman Seta.”

Sambil membungkuk cepat pada keduanya, raden Purbaya

segera bergegas berlari ke pondok yang dia tempati di padepokan itu.

Sebentar saja dia sudah berada di biliknya, dan langsung menemui

Rara Angken.

“Oh, Ibunda… Ibunda sudah sembuh?!”

“Oh, ya… Purbaya. Bunda sudah tidak lagi merasakan rasa

sakit seperti waktu-waktu yang lalu.”

“Ah… tapi… ah, Ibunda… apa tidak dapat bangun dari

tempat tidur ini?”

“Iya. Bunda masih belum dapat menggerakkan anggota tubuh.

Kedua tangan dan kaki Bunda seakan-akan tidak ada.”

“Oh… apakah akan selamanya seperti ini keadaan Ibunda?”

Page 289: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

281 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tentu saja tidak, Purbaya. Nanti jika eyang Resi berhasil

menemukan obatnya, pasti racun yang masih tersisa di dalamnya akan

dapat dipunahkan. Oh ya, bagaimana dengan latihanmu Purbaya?

Apakah kau berlatih giat?”

“Jangan khawatir, Bunda. Nanda akan berlatih siang-malam

agar dapat menjadi seorang yang tangguh. Dan kelak dapat

membalaskan penghinaan yang telah kita terima selama ini.”

“Ah, Cempaka… kini aku benar-benar membutuhkan

pertolonganmu sepenuhnya untuk merawat dan memperhatikan

Purbaya anakku.”

“Jangan khawatir Gusti. Itu memang sudah menjadi tugas dan

kewajiban saya. Beristirahatlah Gusti. Bukankah tadi eyang Wanayasa

juga menyarankan agar Gusti banyak beristirahat?”

“Yah, baiklah Cempaka.”

“Ya, benar. Tidurlah Bunda. Biar saya akan menjaga Bunda

di sini.”

“Kau bermainlah di luar. Bunda dapat beristirahat sendiri.”

“Ah, tapi bukankah…”

“Sudahlah, Raden. Biarkanlah ibunda Raden beristirahat

sendiri. Ayo kita bermain di luar.”

“Ah, baiklah. Saya akan bermain di luar.”

“Eh, kemarilah Raden. Saya ingin bicara sebentar…”

“Ada apakah Bi? Kenapa kita harus bicara di sini?”

Page 290: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

282 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm,… Raden tadi eyang Wanayasa berpesan pada saya

agar dapat menjaga ibunda dengan baik. Keadaaan Ibunda saat ini

masih dalam keadaan serius. Eyang Resi hanya berhasil menahan

gerakan dari racun itu, sedangkan untuk mengeluarkannya beliau

belum dapat. Oleh sebab itu ibunda Raden tidak dapat menggerakkan

anggota tubuhnya.”

“Jadi, Ibunda sekarang masih dalam keadaan yang kritis?”

“Selama ibunda Raden dapat beristirahat dengan tenang, dia

akan selamat.”

“Baiklah, segalanya kuserahkan pada eyang Resi. Mudah-

mudahan atas perkenan Dewata, Ibunda dapat diselamatkan… Ah,

saya akan kembali berlatih di tepi sungai sana. Mudah-mudahan saja

paman Luminta masih menunggu di sana.”

Di sisi lain dari padepokan Goa Larang, raden Seta Keling

tengah melatih kembali gerakan-gerakan ilmu Kincir Metu-nya.

Sebelum akhirnya suara dari resi Wanayasa menghentikan gerakan-

gerakannya yang perlahan tapi penuh tenaga itu.

“Berhentilah sebentar, anakku. Kau sendiri saja disini?

Dimana saudara-saudaramu yang lain?”

“Mereka semua sejak pagi tadi turun ke desa, Eyang.”

“Hmm ya ya ya. Duduklah Seta, ada yang ingin kusampaikan

pada kalian sebenarnya. Tapi biarlah kusampaikan saja hal ini

padamu, dan nanti dapat kau sampaikan pada saudara-saudaramu yang

lain.”

Page 291: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

283 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya. Eh, berita apakah itu Eyang?”

“Hmm, begini. Dalam surat yang dibawa oleh Sariti yah,

disamping membicarakan urusan perjodohan, Aki Pungkur juga

mengabarkan bahwa golongan hitam di daerah Jawa bagian tengah

sedang mempersiapkan suatu pertemuan untuk menggalang persatuan

diantara mereka.”

“Jadi, apa yang akan Eyang lakukan sekarang?”

“Ya, mempersiapkan diri kalian. Aku menghendaki kelak

kalianlah yang dapat mewakiliku. Mewakili Goa Larang untuk

menggagalkan rencana mereka. Oleh karena itu aku ingin sesegera

mungkin mempersiapkan kalian. Katakanlah jika nanti saudara-

saudaramu kembali. Aku akan memulainya besok pagi.”

“Baiklah, Eyang. Akan segera saya sampaikan begitu mereka

kembali. Oh ya, Eyang saya mendengar banyak dibicarakan oleh

seluruh penghuni padepokan ini bahwa kita akan kedatangan tamu

dari Galuh. Siapakah dia Eyang?”

Resi Wanayasa yang arif itu tersenyum.

“Ooh, itu … Itu adalah cucuku. Raden Karmapala.”

“Raden Karmapala putera dari mahaprabu Sanna di Galuh?”

“Iya-iya-iya, benar. Dia adalah putera dari Sanna. Dan dia

datang ke mari untuk mempelajari lahir-batin di padepokan ini. Akan

tetapi dia akan tetap mengirimkan sejumlah pengawal walaupun

yah… secara sembunyi-sembunyi.”

“Haah, padepokan kita akan menjadi semakin semarak

dengan kehadiran raden Karmapala.”

Page 292: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

284 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, tentu saja. Mudah-mudahan saja kita dapat menjaganya.

Karmapala adalah seorang anak yang sangat nakal.”

“Masih cukup pantas Eyang. Bukankah raden Karmapala

masih sangat muda sekali?”

“Oh iya-ya. Masih sangat muda sekali. Umurnya… hmm,

baru empat belas tahun. Kira-kira dua tahun lebih tua dari raden

Purbaya.”

“Ya, itulah Eyang. Karmapala masih pantas berlaku nakal

dalam usianya yang semuda itu.”

“Ya ya, semoga saja anak itu tidak terlalu manja dan

menyusahkan kita. Nah, teruskanlah latihanmu Seta. Aku akan

kembali ke bilikku.”

“Eeh, orangnya itu sangat tampan lho.”

“Iya, saya sudah tahu banyak tentang pangeran dari Galuh itu.

Mbah Jatis semalam bercerita tentang raden Karmapala.”

“Emm, kapan menurut beritanya raden Karmapala akan

datang?” tanya Cempaka.

“Kalau menurut mbah Jatis semalam, katanya dalam waktu

dekat ini dia akan datang. Mungkin hari ini atau mungkin juga besok.

Yah, yang jelas kita semua di padepokan ini sudah mengadakan

persiapan untuk menyambutnya. Eh, hei… ayo makannya ditambah,

Raden.”

“Raden, mau ditambah nasinya?” tawar Cempaka.

Page 293: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

285 Api Berkobar di Karang Sedana

“Sudahlah Bi. Saya sudah cukup kenyang. Terima kasih Bi

Parmi.”

“Eh, bagaimana tentang kesehatan Ibunda Raden? Bibi dengar

kemarin sudah dipindahkan ke bilik Raden?!”

“Iyah, benar Bi. Keadaan Ibunda saya sudah semakin

membaik.”

“Nah, ini airnya Bibi tambahkan.”

“Terima kasih, Bi… Tentang raden Karmapala, Bi Parmi…

apakah dia masih sangat muda?”

“Eeh, malah Bibi dengar raden Karmapala itu berumur hampir

tidak berbeda dengan Raden sendiri, yaah sekitar empat belas tahun

menurut Mbah Jatis.”

“Ooh, jadi Raden dapat memanggilnya Kakang. Dia dua tahun

lebih tua dari Raden.” berkata Cempaka.

“Aah, dua pangeran kecil yang tampan tinggal di padepokan

ini. Ah, Cempaka kau hanya mengurus raden Purbaya seorang

pangeran. Tapi aku sebentar lagi akan mengurus dua orang pangeran.

Raden Purbaya itu dan juga raden Karmapala yang sebentar lagi akan

tiba.”

“Ah, terima kasih Bi Parmi. Saya akan segera kembali.”

“Nah, ini Cempaka… makanan untuk Gusti-mu.”

Cempaka segera menerima sebuah nampan makanan yang

bertutupkan daun pisang dari Nyai Parmi, pengurus dapur padepokan

Goa Larang. Raden Purbaya membungkuk menghaturkan terima

kasihnya.

Page 294: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

286 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, terima kasih Bi Parmi. Hm, saya permisi. Mari

Raden…”

Demikianlah raden Purbaya terus berlatih tanpa menyia-nyiakan

sedikitpun waktunya untuk bermain-main. Dengan ataupun tanpa Ki

Luminta dia berlatih tanpa mengenal lelah.

***

Padepokan Goa Larang yang asri dan memiliki udara segar di

pagi hari, selalu dipecahkan keheningannya dengan bentakan-

bentakan orang-orang yang berlatih olah kanuragan. Bentakan-

bentakan itu memanglah hal yang biasa dalam olah kanuragan.

Bentakan maupun teriakan itu dimaksudkan untuk menaikkan

semangat, memompa tenaga pada setiap pukulan dan tendangan, dan

juga pada gilirannya memungkinkan untuk mengagetkan dan

menciutkan nyali lawan.

Demikianlah pada pagi itu, Ning Sewu tengah berlatih dengan

diperhatikan oleh resi Wanayasa.

“Cukup! Cukup anak-anak! Duduklah, aku kini sudah tahu

sejauh mana perkembangan ilmu kalian,” seru resi Wanayasa.

“Saya yang bodoh tidak berhasil mengembangkan lebih jauh

dari ilmu Kincir Metu kebanggaan kita,” Anting Wulan menjura.

“Demikian pula saya, Eyang. Saya adalah satu-satunya yang

paling bodoh. Hingga saat ini saya tidak berhasil untuk menyerap dan

Page 295: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

287 Api Berkobar di Karang Sedana

menyamai ilmu dari kakang-kakang saya. Bahkan adik Wulan sendiri

sudah mengatasi saya.”

“Hmm, yah… sudahlah Awuk. Aku mengerti kenapa kau bisa

sampai seperti itu. Semata-mata bukanlah karena kau bodoh. Kau

mempunyai kemampuan yang sama dengan kakang-kakangmu. Akan

tetapi sikapmu dalam mempelajari ilmu banyak mempengaruhi

keberhasilanmu itu. Ketergesaan dalam menyerap ilmu dapat

mengakibatkan hal seperti yang kau alami itu. Nah, dalam pertemuan

ini aku akan mencoba membuka lebih banyak tentang Kincir Metu.”

Resi Wanayasa terbatuk sesaat.

“Ahh, Kincir Metu adalah termasuk salah satu ilmu kelas satu

dunia. Dan ilmu ini terdiri dari sepuluh tingkatan. Kau Awuk sudah

berhasil mempelajari hinggga tingkatan ke lima... Anting ke enam...

Saka ke enam… dan kakangmu Seta sudah berhasil pada tingkatan

khusus, tingkatan ke tujuh. Untuk dapat menguasai ke tingkatan tujuh,

delapan, sembilan dan sepuluh… kalian tidak dituntut hanya sekedar

mempelajari dan berlatih saja. Akan tetapi pada tingkatan ini kalian

harus benar-benar menghayati dan mengadakan satu bentuk tirakat.

Untuk itu kalian bisa langsung menanyakan pada Seta kakangmu itu

yang telah berhasil tingkatan ke tujuh.”

“Eyang guru, bukankah Eyang sudah menguasai ilmu ini

hingga ke tingkatan ke sembilan. Kenapa Eyang tidak bisa

mengajarkannya pada kami?”

“Eeh, Seta… coba kau jelaskan hal itu pada adikmu Wulan.”

Page 296: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

288 Api Berkobar di Karang Sedana

“Adik Wulan, baik aku maupun eyang Resi tidak dapat

menjabarkan Kincir Metu pada tingkatan ke tujuh ini, seperti yang

pernah aku katakan. Tingkatan ke tujuh itu hanyalah berupa

pengulangan dari tingkatan sebelumnya, akan tetapi dengan pecahan-

pecahan gerakan khusus yang kita dapatkan melalui gerak otomatis

hal itu tidak akan terbayangkan oleh adik sekalian jika tanpa

pendalaman seperti yang dikatakan eyang Resi.”

“Nah, ini kuberikan salinan dari tiap-tiap tingkatan pada

kalian. Dan untukmu Awuk, tingkatan ke enam dapat kau mintakan

pada Mbah Jatis di ruang kitab. Nah, kini kalian dapat meninggalkan

tempat ini. Jika aku memerlukan kalian, aku akan menghubungi kalian

ke bukit Batu Larang di sebelah padepokan kita.”

“Eh, jadi kami harus di sana mempelajari kitab ini, Eyang?”

tanya Anting Wulan meminta kejelasan.

“Ya, bahkan disanapun kalian tidak boleh sering

berhubungan. Penguasaan ilmu itu kelak akan lahir dari tirakat kalian

masing-masing dan tidak akan mungkin dari pengarahan kakangmu.

Kalian dapat mengambil masing-masing satu gua untuk tempat kalian.

Aku memberikan waktu kalian tiga bulan. Nah, kita akan bertemu

kembali setelah kalian berhasil menguasai ilmu itu.”

“Baiklah Eyang. Jika demikian kami akan bersiap-siap untuk

segera pergi,” kata Raden Seta Keling sebelum berpamitan.

“Berangkatlah anakku. Do’aku menyertai kalian.”

***

Page 297: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

289 Api Berkobar di Karang Sedana

Beberapa saat setelah raden Seta Keling berangkat meninggalkan

padepokannya untuk mendalami Kincir Metu pada tingkatan khusus,

jauh di sebelah timur gerbang Goa Larang tampak debu mengepul.

Serombongan penunggang kuda bergerak cepat menuju padepokan

dari resi Wanayasa.

“Hey, rombongan itu datang!” seru Nyai Parmi sambil

tergopoh-gopoh memasuki padepokan, “raden Karmapala datang!”

Nyaris seisi padepokan bergegas berkerumun di sekitar

gerbang padepokan. Resi Wanayasa sendiri pun tampak sudah berada

di gerbang utama padepokannya. Tak lama kemudian lima orang

penunggang kuda memasuki padepokan dan menghentikan kudanya.

“Selamat datang cucuku, Karmapala. Apakah kau masih

mengenalku, eyangmu?” sambut sang Resi pada orang termuda dari

para penunggang kuda itu.

“Ooh, engkaukah eyang Wanayasa?”

Resi Wanayasa terkekeh.

“Hehehehe, benar cucuku. Akulah Wanayasa.”

Raden Karmapala turun dari kudanya lalu berlutut dan

menjura dengan khidmat, “Eyang Wanayasa, saya menghaturkan

sembah bakti pada Eyang.”

“Ya, bangunlah Karmapala cucuku. Bagaimana keadaan

ayahandamu selama ini?”

“Ayahanda prabu selama ini berada dalam keadaan sehat-

sehat saja, Eyang.” jawab Karmapala dengan suara tegas.

Page 298: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

290 Api Berkobar di Karang Sedana

“Bagus, bagus. Ngger, tahukah kau kenapa dan untuk apa kau

dikirim kemari. Ke padepokan yang sunyi ini?”

“Ayahanda prabu menghendaki saya kelak dapat menjadi

seorang pemuda yang kuat lahir dan batin.”

“Ya-ya-ya. Bagus, bagus sekali cucuku. Nah, untuk sementara

ini kau boleh beristirahat dahulu cucuku. Nanti kita akan dapat bicara-

bicara lagi.”

Resi Wanayasa menoleh pada para penghuni padepokan yang

berkerumun itu. Lalu berkata dengan suara lebih keras agar terdengar

oleh orang yang dimaksudkan.

“Jatis! Uruslah rombongan pengantar dari Galuh itu. Dan…

Hey, Parmi!”

“Ya, saya Eyang?!”

“Kau antarkanlah cucuku ke tempatnya untuk beristirahat.”

“Baik Eyang. Eeh.. marilah Raden, ikuti saya…”

“Hey, paman Rimbun kemarilah!” raden Karmapala berseru

pada seseorang, “Bawa semua perlengkapanku!”

“Baik, baik Raden.”

“Oh iya Eyang, saya nanti akan tinggal bersama-sama dengan

paman Rimbun di sini.”

“Iya tuan Resi, saya mendapat perintah untuk menemani

raden Karmapala dari mahaprabu Sanna, ayahandanya.”

“Hm, ya-ya. Jagalah junjunganmu itu sebaik-baiknya.”

“Oho, iya-iya-iya. Iya tuan Resi. Akan saya lakukan dengan

sebaik-baiknya tuan Resi.”

Page 299: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

291 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ayolah paman Rimbun, kita segera beristirahat.”

“Baik Den,… eh mari tuan Resi.”

Sambil terbatuk-batuk resi Wanayasa bergumam, “Heeh,

semoga anak itu tidak merepotkanku. Sikapnya yang manja sewaktu-

waktu dapat saja membuat ramai padepokan ini. Aku akan bertindak

tegas jika sampai anak itu berbuat ulah di padepokan ini.”

“Nah, inilah kamar untuk tuanku. Silahkan Den.”

“Tunggu, Bi… Hoh, siapa namamu?”

“Parmi, Den. Nama saya Parmi. Orang-orang di padepokan

ini semua memanggil saya dengan sebutan Bi Parmi.”

“Heh, Bi apakah kamar ini sudah dibersihkan betul-betul?”

“Sudah, sudah Den. Bahkan kain alas kasurnya pun sudah

kami ganti dengan yang baru, Den. Seluruh lantai kamar ini dua kali

sudah kami sikat.”

“Hm, baiklah. Paman Rimbun, masukkan barang-barangku ke

dalam sana !”

“Ya? Ya, baik Den.”

“Eh, jika Raden sudah tidak memerlukan saya, saya segera

akan kembali Den.”

“Hm, baiklah kau boleh pergi. Oh, tapi sebentar… dimana

letak kamar mandi? Aku hendak membasuh mukaku sebelum

beristirahat.”

“Eh, di ujung sana itu Den. Di sana, di bawah sana. Di bawah

Sembilan Mata Air Dewa, Den.”

Page 300: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

292 Api Berkobar di Karang Sedana

“Jadi aku harus berjalan sekian jauh, setiap kali aku akan

membasuh muka atau mandi?”

“Eh,.. emm iya. Iya Den. Tetapi jika hanya untuk membasuh

muka, saya dapat membawakan airnya Den.”

“Nah, cepat. Aku tunggu di sini.”

“Hey, paman Rimbun. Paman Rimbun! Paman Rimbun!?”

“Eh, iya. Iya Den. Iya Raden”

“Sedang apa Paman di dalam?”

“Anu… anu setelah merapikan perlengkapan Raden,

paman… paman tertidur di bawah amben, Den.”

“Ah, paman. Tahukah paman, kenapa Ayah sampai

membawaku ke padepokan ini?”

“Ya tentu saja tahu, Den. Ayahanda Raden ingin agar Raden

mempelajari ….”

“Stop! Sudah Paman. Aku tahu semuanya. Aku akan

mempelajari semua ilmu sakti dari padepokan Eyangku ini… Heeh,

Paman. Lihatlah, ada anak sebaya denganku di padepokan ini.

Panggillah, aku ingin bertemu dan bermain dengannya.”

“Oh, baik Den.”

“Hee! Bocah, bocah kecil, tunggu dulu !”

“Ada apakah Paman memanggil saya?”

“Heh, itu lihatlah pangeran Karmapala ingin berjumpa

denganmu.”

Page 301: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

293 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tapi saya hendak pergi ke pancuran untuk membasuh tubuh

saya yang kotor ini…”

“Heh, kau gila apa? Junjunganmu pangeran Karmapala

memanggil mu! Ayo, ayo cepat ke sana!”

“Baiklah Paman.”

“Den Karmapala, anak gunung ini benar-benar tidak tahu

sopan-santun, Den. Dia hendak menolak panggilan Raden.”

“Hee? Benarkah kau menolak panggilanku.”

“Ah, sama sekali tidak Raden. Saya hendak lebih dahulu

membasuh tubuh dan wajah saya.”

“Siapakah namamu?”

“Purbaya, Raden.”

“Nah, Purbaya… aku ingin sekali berkawan denganmu. Mulai

saat ini aku akan tinggal di padepokan Eyangku ini.”

“Baik Raden. Ah, maaf jika sudah tidak ada yang Raden

perlukan dengan saya, saya hendak ke pancuran sana untuk membasuh

tubuh saya.”

“Heh, jika demikian marilah kita bersama-sama ke sana. Aku

pun ingin melihat pancuran itu. Mari, kau pun ikut Paman Rimbun!”

“Eh, baik Den.”

Mereka pun keluar ruangan pondok itu. Di tangga, tampak

Nyai Parmi membawakan wadah berisi air dengan wajah

kebingungan.

“Loh? Den… Raden… ini airnya sudah Bibi bawakan.”

Page 302: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

294 Api Berkobar di Karang Sedana

“Saya akan ke pancuran sana, Bi.”

“Hehehehe, pakai saja air itu untuk membasuh mukamu, Bi.”

kekeh Ki Rimbun dengan tampang yang menyebalkan.

“Huuh, bagaimana raden Karmapala ini. Sudah jauh-jauh

aku bawakan air dari pancuran, eeh malah dia kini pergi ke pancuran.

Huuh dasar anak raja!” gerutu Nyai Parmi kesal.

“Heii, sejuk sekali tempat ini Purbaya.”

“Mari Raden kita ke bawah sana. Hup!” Purbaya melompat

ke bawah dari sebuah tebing tanah dan hinggap ke sebuah undak batu.

“Mari Raden, melompatlah kemari.”

“Jangan Raden,” Ki Rimbun memperingatkan, “Awas, undak

batu itu terlampau tinggi. Sebaiknya Raden melalui tangga batu sana

itu.”

“Oh iya, jika Raden takut jatuh, raden bisa melalui tangga batu

di sebelah sana itu.”

“Hee? Masakkan aku takut melompati tebing yang rendah

ini?”

“Oh, jangan Raden. Nanti kaki Raden dapat terkilir. Tempat

ini terlampau tinggi Den!” seru Ki Rimbun berkeras.

“Heii, Paman! Kau ini ingin membuatku malu? Minggir!”

“Oh, iya. Baiklah, saya akan menunggu di bawah Den.” Lalu

Ki Rimbun segera melompat seperti Purbaya, lalu dia berseru, “Raden

dapat menjejak pada batu kecil itu, baru melompat kemari. Ayo!”

“Lihatlah paman! … Eit, aaahh… Aahh…”

Page 303: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

295 Api Berkobar di Karang Sedana

Ki Rimbun segera menangkap Karmapala yang terpeleset

sebelum dia sempat jatuh terjungkal.

“Hey, kenapa kau menangkapku Paman?”

“Ampun Raden, tadi saya melihat Raden goyah memijak

cadas itu. Saya khawatir Raden akan jatuh terguling ke bawah sini.”

“Kurang ajar! Kau menghinaku paman.!”

“Ampuun, ampun Raden. Ampunkan hamba… Paman…”

“He, Paman! Awas jika sampai kau sekali lagi menghinaku!”

“Ayo kita ke pancuran itu Purbaya.”

“Ohh, sejuk sekali air ini. Lihatlah Purbaya kita seakan-akan

berada di dunia lain. Lihatlah, beberapa belas tombak disekeliling kita

matahari seakan-akan hendak membakar padepokan ini. Sedangkan di

sini, cahayanya yang buas itu seakan-akan tidak berdaya menembus

keperkasaan pohon-pohon perkasa yang masih dilindungi

kesegarannya oleh Mata Air Dewa ini.”

“Iya, Raden. Saya selalu melakukan latihan bersama paman

Luminta di sekitar sini.”

“Latihan? Latihan apa Purbaya?”

“Latihan lompatan seperti yang saya lakukan tadi. Dari sungai

kering di sana itu hingga ke mari. Dan saya selalu beristirahat di

tempat ini.”

“Hmm, latihan lompatan?!”

“Itu hanyalah sekedar latihan keterampilan gerak dan daya

tahan tubuh,” jelas Purbaya kemudian.

Page 304: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

296 Api Berkobar di Karang Sedana

“Apakah kau tidak diajarkan ilmu olah kanuragan di sini?”

“Ah, saya baru mendapatkan satu jurus serangan.”

“Satu jurus serangan?! Ahahahaha! Satu jurus serangan itu

yang baru kau dapatkan di sini?”

“Yah, karena saya pun belum lama belajar di sini.”

“Hee?! Belum lama? Jadi kau bukan berasal dari padepokan

ini?”

“Iya Raden, saya bukan berasal dari padepokan ini.”

“Hmm, lalu dari manakah kau berasal? Dari desa di sekitar

Karang Sedana ini ataukah dari Galuh sana?”

“Eh.. ehh, saya….”

Belum sempat raden Purbaya menjawab karena dia masih

berpikir harus menjawab seperti apa pada pangeran yang tampak

tinggi hati itu, tiba-tiba terdengar suara perempuan dari arah atas

mereka.

“Radeeeen! Raden diminta untuk segera kembali. Eyang

Wanayasa ingin segera bertemu.” suara Nyai Parmi menyeru-nyeru.

“Katakan saja nanti, Bi !” balas Karmapala. “Aku masih ingin

bermain-main di sini.”

“Tapi Raden, Eyang Wanayasa…”

“Sudahlah ! Katakan saja nanti aku akan menjumpainya!

Pergilah ke sana, kau!”

“Baiklah...” sahut Nyai Parmi.

Nyai Parmi kemudian berseru pada Purbaya, “Raden, jika

begitu nanti tolong antarkan Raden Karmpala ke bilik Eyang Resi.”

Page 305: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

297 Api Berkobar di Karang Sedana

“Baik, bi Parmi.” balas Purbaya.

“Hee? Kau memanggil Raden pada Purbaya? Pada bocah

ini?”

Raden Karmapala dan juga Ki Rimbun menjadi terkejut ketika Bi

Parmi memanggil Purbaya dengan sebutan Raden.

“Eh, iya Raden…”

“Heeh, siapakah sesungguhnya bocah ini?”

“Aku adalah putera dari ayahanda Aji Konda dari Karang

Sedana, yang kini telah tersingkir.”

“Ooh, jadi kau adalah putera mahkota dari kerajaan Karang

Sedana? Kerajaan kecil yang menguasai wilayah sekitar sini?”

“Benar, Raden. Karang Sedana adalah sebuah kerajaan kecil

yang berada di bawah kekuasaan Galuh dan menjunjung tinggi

kebesaran ayahanda Raden, mahaprabu Sanna di Galuh.”

“Aah, bagus. Bagus. Jadi tidak salah agaknya aku memilihmu

sebagai kawanku, Purbaya.”

“Ah, Raden… sebaiknya Raden segera menemui eyang Resi.

Eyang Resi pasti akan kebingungan jika Raden tidak segera datang

menemuinya.”

“Hm, ah baiklah. Katakan saja pada eyang Resi aku akan

segera ke sana setelah aku membasuh wajahku di pancuran itu. Mari

Purbaya…”

“Heii, ayo kau cepat tinggalkan tempat ini, Bi ! Aku nanti

akan pergi bersama Purbaya.”

Page 306: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

298 Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh, baik. Baik Raden…”

***

Sementara itu di Karang Sedana, sang Prabu Jaya Sentana sedang

berbincang dengan Ki Suwanda dan beberapa orang tamu

undangannya.

“Tuanku, mereka inilah yang telah berjanji akan membantu

rencana kita itu. Ini Ki Sampar Angin dan muridnya.”

“Hm, apakah kau sudah mengerti semua rencana yang akan

kami jalankan, hmm?”

“Sudah Tuanku, melakukan suatu gerakan khusus ke

padepokan Goa Larang.”

“Hm, baiklah. Apakah kira-kira akan berhasil gerakan yang

akan kau pimpin itu Ki Sampar? Apakah kau cukup mengerti kekuatan

yang akan kau hadapi di sana?”

“Ya. Hamba sudah jelas dengan kekuatan yang akan hamba

hadapi di sana. Untuk melakukan gerakan ini, Ki Demang sudah

menjanjikan dana yang cukup untuk kami. Dengan dana yang

disediakan itu, hamba yakin akan dapat mengerahkan kawan-kawan

dari dunia hitam.”

“Carilah tenaga lebih banyak lagi. Aku tak ingin rencanaku

kali ini masih gagal juga. Dan ingat, serangan ini adalah serangan dari

musuh-musuh Ki Wanayasa yang mendendam padanya. Dan juga

pada Ning Sewu. Jadi bukan dari aku, prabu Jaya Sentana.”

Page 307: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

299 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hamba mengerti, Tuanku. Pemerintah di Galuh hamba jamin

tidak akan mengetahui semua rencana Tuanku ini.”

“Bagus! Bagus Ki Sampar. Nah, jika rencana berhasil aku

akan memberikan hadiah khusus bagimu.”

“Terima kasih, Tuanku. Ah, tapi… ampun Tuanku… Tuanku

jangan khawatir peristiwa penyerangan ini akan diketahui oleh prabu

Sanna di Galuh. Lalu bagaimana dengan gerakan yang telah Tuanku

laksanakan di sini? Apakah sang prabu di Galuh tidak

mengetahuinya?”

“Apa yang kulakukan di sini? Semua yang terjadi di sini

memang sudah menjadi kehendak rakyat Karang Sedana. Mereka

sudah tidak senang lagi dengan kepemimpinan yang dilakukan Aji

Konda. Untuk itulah aku membantu usaha rakyat Karang Sedana. Dan

prabu Sanna di Galuh telah ku kirimkan laporan semua kejadian yang

terjadi di sini.”

“Semua yang Tuan katakan adalah benar semata. Hamba juga

menyaksikan sendiri selama beberapa tahun terakhir ini. Kekacauan

terjadi di seluruh bagian Karang Sedana.”

“Bagus, bagus Ki Sampar. Agaknya engkau sudah mengerti

siapa Aji Konda dan siapa aku. Heheheh, baiklah. Aku kira sudah

cukup pertemuan kita kali ini. Ki Darpo, antarkan Ki Sampar ke ruang

istirahat. Nah, Ki Sampar, beristirahatlah sementara di sini. Dan jika

engkau sudah merasa segar, lanjutkanlah tugas dan rencanamu.”

“Terima kasih. Hamba permisi, Tuanku.”

Page 308: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

300 Api Berkobar di Karang Sedana

***

“Hmm, aku harus segera menemui muridku, Dandung. Semua

tugas menghubungi kawan-kawanku dan juga kakangku Prabangkara

akan kuserahkan pada Dandung. Dan aku akan bersenang-senang di

kotaraja Karang Sedana sampai semua tamuku tiba.”

“Dimana anak bodoh itu? Kemarin ku suruh dia menunggu di

sini.”

“Hueh, aku mendengar suara orang bertempur di ujung sana,

coba kulihat.”

Kuda berderap kembali.

“Haah, suara Dandung muridku. Dengan siapakah dia

bertempur?”

“Haah, kurang ajar. Siapakah pendeta itu? Dia mampu

mempermainkan muridku.”

“Guru! Pendeta ini sudah menghina kita…”

“Mundurlah kau Dandung bodooh, kau bukanlah lawan

pendeta itu.”

“Hahahaha, sekarang gurunya sudah datang. Kau kelihatan

gagah kembali gendut ! Bukankah tadi, kau sudah meminta ampun

padaku?!”

“Heh! Siapakah kau pendeta murtad?!”

“Benar, kau memang benar Aki Tua. Aku memang pendeta

murtad. Mengapa kau kelihatan marah padaku? Apakah kau kecewa

berjumpa denganku?”

Page 309: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

301 Api Berkobar di Karang Sedana

“Kaulah yang akan menyesal bertemu denganku kepala

gundul !”

“Baiklah. Akan kulihat sampai dimana kepandaianmu Aki

Tua. Nah, cobalah kau terima batu ini. Hup!!!”

Pendeta tinggi besar dan berkepala gundul itu ternyata adalah

Rakosapala, murid dari pendeta Girindasana. Batu sebesar anak

kerbau yang berada di sampingnya dengan sekali sentak telah diangkat

hingga ke atas kepalanya. Dengan ringan sekali batu tersebut

diayunkannya hingga meluncur cepat ke arah Ki Sampar Angin.

Ki Sampar Angin yang melihat batu besar meluncur ke arahnya segera

saja dia melompat meninggalkan kudanya dan bersamaan dengan itu

tangannya meraih rantai kecil dari balik jubahnya. Dan beberapa saat

kemudian batu besar yang meluncur kearahnya telah berada di ujung

talinya dan berputar-putar siap untuk dikembalikannya.

“Anak sombong, tertawalah. Sebentar lagi kepalamu akan

pecah berkeping-keping.”

“Oh… Ternyata orang ini ilmunya luar biasa sekali. Tidak

kusangka.”

“Ayolah mana tawamu tadi? Ayo, bangun. Bersiaplah, aku

akan menyerangmu lagi.”

“Hmm, akan kucoba dengan kelelawar saktiku.”

“Ah, kelelawar sakti… hee! Tunggu, tunggu kepala gundul.”

Page 310: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

302 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ada apa Aki Tua? Apakah kau mengenal ilmuku ini dan

takutkah engkau ?”

“Apa hubunganmu dengan si gundul Girindasana?”

“Heh, kenapa kau tanyakan nama itu, apakah kau takut?”

“Jangan membuatku marah kepala gundul. Aku hanya tidak

ingin kesalahan tangan membunuh murid kawanku.”

“Oh, agaknya kau mengenal guruku.”

“Tentu saja! Dimana dia?”

“Dia berada tak jauh dari sini. Di desa sebelah barat sana!”

“Heh, lalu masalah apa yang terjadi dengan muridku?”

“Murid Aki si gendut itu keterlaluan sekali. Dia

menghadangku dan hendak merampas kudaku. Hahaha, ya tentu saja

dia aku beri pelajaran.”

“Heemmm,” Dandung Amoksa menggeram marah.

“Heh, ayolah Dandung. Kita temui kawanku dulu,

Girindasana. Untung saja dua tahun yang lalu dia mempertunjukkan

Kelelawar Sakti-nya padaku. Jika tidak tentu aku sudah kesalahan

tangan padamu, gundul”

Kuda berderap.

***

“Cukup Paman. Cukup. Aku tidak mau lagi menuruti perintah

gilamu ini. Aku kemari untuk mempelajari ilmu-ilmu sakti dari

perguruan ini. Janganlah kau ajarkan aku berlari-lari seperti ini !”

Page 311: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

303 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tapi Raden, yang paman berikan ini merupakan…”

“Dasar dari ilmu olah kanuragan. Itu kan yang akan Paman

ucapkan? Saya sudah tahu! Saya tidak butuh itu. Saya bukanlah

Purbaya yang bodoh yang mau saja Paman perdayai dengan

permainan anak-anak seperti ini. Janganlah perlakukan saya seperti

anak-anak.”

“Raden tidak akan dapat dengan baik menguasai ilmu sakti

jika tidak memiliki daya tahan tubuh yang baik, Raden.”

“Aku tidak percaya! Berikan aku jurus-jurus ilmu sakti saja.

Janganlah menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang tidak berarti.”

“Tapi Den…”

“Ataukah Paman tidak percaya dengan kata-kataku? Paman

boleh coba. Daya tahan yang dimiliki Purbaya itu tidak akan berarti

padaku. Ayo Purbaya, seranglah aku dengan jurus yang telah kau

lengkapi dengan daya tahan tubuhmu.”

“Sudahlah Raden, biarlah nanti hal ini akan Paman bicarakan

dengan Mbah Jatis.”

“Mbah Jatis? Siapakah dia?”

“Mbah Jatis adalah pengasuh semua murid padepokan. Dia

adalah adik seperguruan dari eyang Resi.”

“Hee? Kenapa harus menanyakan pada Mbah Jatis segala?

Bukankah eyang Resi kemarin telah memerintahkan Paman untuk

melatih saya?”

“Iya, benar. Tapi permintaan Raden adalah diluar kebiasaan.

Semula raden Purbaya juga berpendapat seperti Raden.”

Page 312: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

304 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hee? Ayo Purbaya, kita coba saja. Seranglah aku dengan

ilmu yang kau miliki itu, dan dengan daya tahan tubuh yang

dibanggakan paman Luminta.”

“Jangan Raden.”

“Sudahlah Paman. Aku juga ingin sekali membuktikan ilmu

yang baru kupelajari ini. Hupp!!”

“Naah, bagus. Ayo serang aku.”

“Hait, hiyaah… hiyaah!”

Purbaya pun mulai menyerang Karmapala dengan Gerbang

Dewata yang selama ini dilatihnya. Dengan mudah Karmapala

mengelakkan serangan itu dan segera membalaskan beberapa pukulan

pada Purbaya yang langsung terbanting jatuh dan mengaduh

kesakitan.

“Mana paman? Mana daya tahan tubuh yang akan Paman

banggakan itu? Ilmu itupun tak ada artinya buatku.”

“Hoo, Raden… agaknya Raden sudah mendapatkan beberapa

jurus ilmu olah kanuragan.”

“Benar Paman. Bukankah tidak ada artinya jika aku kemari

hanya mempelajari ilmu-ilmu yang justru jauh lebih rendah dari yang

kumiliki sekarang?”

Purbaya meringis bangkit.

“He, bagaimana Purbaya? Bukankah tidak ada artinya ilmu

lompat-lompatan dan permainan lari yang kau pelajari itu.”

“Aku akan mencobanya lagi, Raden. Hupp! Hiyaah!”

Page 313: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

305 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ini aku tambahkan agar kau dapat lebih jelas mengetahui

siapa yang unggul di antara kita.”

Jurus-jurus yang dilancarkan Purbaya tidak ada artinya sama sekali

untuk menghadapi raden Karmapala yang sudah terlatih. Raden

Purbaya menjadi bulan-bulanan pukulan dari raden Karmapala.

Sampai pada suatu saat raden Purbaya menjadi nekat menyerang raden

Karmapala dengan membabi buta dan berhasil menyergap raden

Karmapala.

“Lepaskan! Lepaskan Purbaya! Purbaya, jangan memeluk

seperti ini.” jerit raden Karmapala yang menjadi tidak berkutik dengan

sergapan itu, sementara Purbaya terus menyerang sambil berteriak-

teriak riuh.

Raden Purbaya yang kini berhasil memeluk tubuh raden Karmapala

yang hampir tak berbeda besarnya, terus merangkulnya dan sedikitpun

tidak memberi kesempatan pada raden Karmapala melancarkan

pukulan. Malah kini raden Purbaya yang merangkulnya, membanting

tubuh Karmapala ke tanah berkali-kali.

“Sudah… Sudah… Cukup Raden, cukup!! Cukup sudah

lepaskan raden Karmapala. Ayo lepaskan Purbaya. Sudah… sudah!”

Mendengar perintah dari gurunya itu, Purbaya pun menyudahi

bergumul dengan raden Karmapala.

“Anak itu curang sekali. Dia memeluk tubuhku dan

menyerangku tidak dengan aturan.” sungut raden Karmapala.

Page 314: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

306 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hahahah, dalam suatu perkelahian banyak macam cara

dipergunakan orang, Raden. Yang dilakukan oleh raden Purbaya tadi

pun banyak dipergunakan oleh jago-jago berkelahi dari seberang

lautan.”

“Hee?! Tapi yang dipergunakan oleh Purbaya adalah cara

berkelahi anak-anak kampung!”

“Raden memang benar. Tapi mana ilmu yang sudah selama

ini raden kuasai? Mana? Bukankah tidak ada artinya dibandingkan

pelukan raden Purbaya? Raden tidak berdaya sama sekali.”

“Tapi, mengapa saya mengalahkan dia dengan jurus yang

bukan menjadi jurus kebanggaan saya, kebanggaan padepokan Goa

Larang? Mengapa saya harus mengalahkan dia dengan gerakan yang

dikatakannya sebagai gerakan anak kampung?” tanya Purbaya.

“Hmm, itu karena Raden belum mempelajari Aji Kincir Metu

dengan baik. Dan yang baru Raden dapatkan itu memang hanyalah

baru gerak pembuka yang kurang berarti dari Kincir Metu.”

Ketika Ki Luminta sedang memberikan pengarahan pada raden

Purbaya, tiba-tiba telinganya yang cukup peka mendengarkan

dengusan tawa yang mengejek padanya.

“Heheheheheheheeheh…”

“Hm, siapa itu? Ayo keluar, jangan sembunyi. Heeh, siapakah

Kisanak? Tempat ini hanyalah rimbunan beberapa pohon, Kisanak

tidak akan dapat bersembunyi dengan baik. Ayo keluarlah!”

Page 315: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

307 Api Berkobar di Karang Sedana

Aki Luminta yang merasa penasaran dengan tawa yang dirasakan

asing itu segera melompat ke beberapa tempat yang diduga tempat

persembunyian orang misterius yang mentertawakannya itu. Akan

tetapi beberapa kali dia mencari ke setiap tempat yang dicurigainya

tidak juga dapat dia menemuinya.

“Bagaimana Paman?”

“Tidak ada. Mungkin orang itu sudah meninggalkan tempat

ini. Sudahlah, ayo kita lanjutkan saja latihan.”

“Ahh, baik Paman.”

“Coba kau buka lagi jurus Gerbang Dewata-mu”

“Baik.”

“Bagus, bagus Raden. Eeh, sekarang lihatlah. Paman akan

memberikan jurus berikutnya.”

“Oh?! Terima kasih Paman. Terima kasih.”

“Nah, lihatlah.”

Ki Luminta memperagakan jurus berikutnya dari Gerbang

Dewata.

“Sekarang kau coba tirukan itu…”

“Hup! Hiyaah!”

“Bagus, tetapi gerak kakimu harus benar-benar bersamaan

dengan serangan tangan kiri ke dada lawan. Perhatikan lagi…”

***

Page 316: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

308 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, jika begitu biar anak itu aku yang tangani saja

Luminta. Kau boleh mengurus raden Purbaya saja. Aku akan berusaha

mengendalikan anak itu.”

“Terima kasih, Guru. Jika demikian saya kembali ke sanggar,

melihat anak-anak yang lain.”

“Aah, tunggu dulu Luminta. Ada yang sedikit akan kuminta

penjelasan darimu.”

“Apakah itu, Guru?”

“Tadi kau katakan bahwa raden Karmapala sudah memiliki

jurus-jurus dari luar padepokan ini. Apakah kau bisa mengenali jurus

itu?”

“Oh, maaf Guru, saya tidak bisa mengenalnya. Akan tetapi

menurut penglihatan saya, bukanlah aji atau ilmu yang termasuk

dalam ilmu kelas satu dunia.”

“Hmm, yayaya. Oh ya… Lalu sampai mana kau memberikan

bimbingan pada raden Purbaya?”

“Kemarin saya baru saja memberikan jurus kedua dari

tingkatan pertama dari Kincir Metu.”

“Hmm, apakah anak itu cukup rajin berlatih?”

“Oh, luar biasa sekali Guru. Semula saya mengira karena dia

adalah seorang anak yang masih kecil, saya merencanakan hendak

memberikan latihan ketahanan tubuh dan keterampilan tubuh untuk

waktu yang panjang. Akan tetapi saya melihat ketahanan dan

semangatnya amat luar biasa. Jadi saya percepat pemberian jurus

pembukaan dari Kincir Metu.”

Page 317: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

309 Api Berkobar di Karang Sedana

“Hmm, bagus… bagus. Berikan terus sesuai dengan

kebutuhannya. Jangan paksakan anak itu dan juga jangan terlampau

lamban.”

“Baik Guru.”

“Hmm, bagus. Bagus Luminta. Kira-kira demikianlah yang

dikehendaki eyang Resi. Nah, jika kau sudah mengerti dan jelas, kau

boleh segera pergi.”

“Sudah jelas semuanya, Guru. Jika demikian saya mohon

pamit.”

***

“Ooh, apakah jurus Gerbang Dewata ini cukup bagus, Mbah?

Purbaya dapat dengan mudah kukalahkan, kupatahkan serangannya?”

“Jika jurus itu hanya berdiri sendiri, memang tidak berarti

Raden. Tapi jika digabung dengan jurus dan serangan berikutnya,

Gerbang Dewata ini akan menjadi satu dasar gerak yang baik. Hmm,

Mbah dengar Raden sudah pernah mempelajari ilmu kanuragan di

istana Galuh?”

“Benar Mbah. Banyak pengawal-pengawal Ayahanda yang

memberi petunjuk pada saya.”

“Coba Raden tunjukkan ilmu-ilmu apa saja yang telah Raden

pelajari itu?!”

“Baik Mbah…”

Page 318: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

310 Api Berkobar di Karang Sedana

“Aah, tunggu… tunggu… tunggu dulu. Stop Raden. Siapa

yang mengajarkan Raden ilmu itu? Melihat gerakan Raden, tentu yang

mengajarkan Raden berasal dari seberang lautan.”

“Oh, benar Mbah. Ini saya dapatkan dari paman Pakih Sulung

yang berasal dari tanah Melayu. Dia adalah salah seorang pengawal

Ayahanda prabu.”

“Hmm, coba Raden perlihatkan lagi yang lain. Yang Raden

dapatkan dari guru yang lain.”

“Baik, Mbah.”

“Nah, bagaimana Mbah? Apa Mbah juga mengenal ilmu yang

baru saja saya mainkan?”

“Hmm, ya ya ya. Itu adalah Kepalan Sakti dari selatan.”

“Hee?! Hebat sekali Mbah. Mbah tahu nama… nama aji-aji

yang saya miliki. Tapi… eh, apakah aji yang Mbah miliki lebih baik?

Lebih hebat dari aji yang saya ini?”

Mbah Jatis tertawa.

“Hm, mungkin ya tapi mungkin juga tidak.”

“Ah? Apa maksud Mbah?”

“Setiap aji atau ilmu itu memiliki kekhasan dan keragaman

daya serang yang berbeda-beda. Kehebatan sebuah aji, daya serang

sebuah aji akan tergantung sekali pada orang yang menerapkannya.”

“Ah, maksud Mbah?!”

“Kepalan Sakti Selatan mu itu jelas kehebatannya akan

berbeda jika gurumu sendiri yang mempergunakannya. Jadi jika

Page 319: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

311 Api Berkobar di Karang Sedana

Raden ingin menjadi seorang yang tangguh, persiapan dasar Raden

harus benar-benar sempurna.”

“Saya akan mencoba menuruti segala petunjuk Mbah.”

“Bagus jika demikian. Untuk selanjutnya, dilarang untuk

mempelajari lagi segala bentuk atau aji kanuragan dari luar padepokan

ini. Dan untuk yang sudah Raden miliki itu, Raden dilarang untuk

mempergunakannya apalagi mengembangkan ilmu itu.”

“Ooh, tapi apakah tidak sayang Mbah? Justru jurus Kepalan

Sakti Selatan saya ini jauh lebih baik dari jurus yang dimiliki Purbaya.

Jurus yang didapatkannya dari padepokan ini.”

“Hmm, hehehe. Jika Purbaya telah memiliki tiga jurus saja,

pasti Raden sudah bisa dikalahkannya. Kemaren Raden mengalahkan

nya karena raden Purbaya baru memiliki jurus pembukaannya saja.”

“Ooh? Apakah Mbah dapat membuktikannya?”

“Boleh, bagaimana caranya Raden?”

“Saya akan menyerang Mbah dengan ilmu dan aji yang telah

saya miliki. Dan Mbah melawan dengan aji Kincir Metu jurus satu dan

dua seperti yang Mbah katakan hebat itu. Tapi Mbah tidak boleh

mempergunakan tenaga Mbah yang kuat.”

Mbah Jatis terbahak.

“Hahahaha! Boleh. Boleh Raden. Hmm, Mbah akan menutup

kedua mata ini. Hmm, ikat kepala ini cukup tebal… Nah, ayo. Ayo

silakan Raden serang Mbah.”

“Ah, Mbah sungguh-sungguh?!”

Page 320: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

312 Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya, ayo seranglah Mbah. Jangan ragu-ragu Raden. Mbah

tidak akan mempergunakan tenaga Mbah yang kuat seperti yang kau

katakan tadi. Nah, Ayo… Lihat Mbah akan duduk di batu ini agar

mudah kau pukul.”

“Baiklah!”

Raden Karmapala yang masih merasa besar kepala dengan ilmu dan

aji yang dimilikinya segera menyerang Mbah Jatis dengan Kepalan

Saktinya. Akan tetapi, mahaguru dari padepokan Goa Larang ini

hanya sedikit menggerakkan tubuhnya. Serangan dari raden

Karmapala luput dan tangan kirinya mendorong sambil mencubit

perut dari raden Karmapala.

“Hup! Hup! Hiyaaah!!”

“Hahahaha. Bagaimana Raden? Ayo. Ayolah serang terus

Mbah ini.”

“Hoo, aku akan mencoba menyerang orang tua sombong ini

dari belakang. Biar dia tahu rasa!”

“Ayo Raden, serang Mbah. Ayo, kenapa diam saja? Hey, ayo.

Ayo seranglah.”

“Ayo tertawalah, sebentar lagi Kepalan Saktiku akan

menghantam tengkukmu.” raden Karmapala tertawa dalam hatinya.

“Hupp! Hiyaaah!”

“Hup! Hahahaha, Hey… bagaimana Raden?”

“Ah, kenapa Mbah menggunakan ilmu sihir?”

“Ilmu Sihir? Hahaha, mana ilmu sihirnya Raden? Ini adalah

salah satu ilmu padepokan Goa Larang. Bukan ilmu sihir.”

Page 321: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

313 Api Berkobar di Karang Sedana

“Tapi bagaimana mungkin Mbah bisa mengetahui serangan

saya dengan mata tertutup bila itu bukan ilmu sihir?”

“Ah, bukan Raden. Ini bukanlah ilmu sihir. Mbah mengetahui

serangan dan gerakan Raden dengan mempergunakan ilmu Empat

Arah Pembeda Gerak. Raden boleh pergi kemana pun, ke arah

manapun. Mbah dapat menunjuknya, bahkan menangkap Raden.”

“Oh, baiklah.”

Raden Karmapala bergerak.

“Coba dimana saya sekarang ini Mbah?”

“Ah itu, bukankah Raden berada di sana?!”

“Setan betul dia dapat menunjuk dengan tepat dimana aku

berada.”

“Tunggu dulu Mbah, sebentar.”

“Raden tidak usah bicara, saya akan menunjuk dimana Raden

berada… Hmm, di sana. Raden kini sudah berada di atas pohon itu.”

“Hee, hebat sekali Mbah. Ajarkan saya ilmu Mbah yang

hebat-hebat.”

“Ah, bagus. Bagus Raden. Sekarang kita mulai berlatih lagi.

Ayo, ulangi gerakan yang Mbah ajarkan tadi. Jurus Gerbang Dewata.”

Dengan semangat yang tinggi, kini raden Karmapala mengikuti ajaran

dan perintah dari Mbah Jatis. Hari demi hari raden Karmapala berlatih

dan berlatih.

“Ayolah Raden, satu putaran lagi.”

“Baiklah akan saya coba lagi, Mbah.”

Page 322: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

314 Api Berkobar di Karang Sedana

Sementara itu raden Purbaya yang menerima didikan dari Ki Luminta

kini sudah menginjak jurus ketiga dari Kincir Metu tingkat pertama.

Untuk itu kini latihannya sudah di gabungkan dengan rombongan

murid tingkat dasar padepokan Goa Larang.

“Hup hiya hiya hup hup hiya hiya hup heit hiya heit hiya”

“Ya ya, cukup. Cukup sudah latihan kita hari ini.”

“Ah kemari Raden. Paman ingin bicara sebentar.”

“Ya, ada apa Paman?”

“Mulai hari ini, setiap kali Raden sudah bisa terus latihan

bersama-sama di sini. Dan Raden bisa juga latihan sendiri

menggunakan tempat ini. Nah, tanpa harus ke pinggir sungai kering

sana itu, ya.”

“Tapi saya kira saya masih membutuhkan latihan di pinggir

kali sana itu Paman. Saya akan latihan di sana sendiri, sebelum atau

sesudah latihan bersama di sini.”

“Ya, itu terserah padamu. Jika kau memang suka di sana. Tapi

harus kau ingat dulu, aku memberi latihan di pinggir sungai sana

karena khusus mempersiapkanmu agar dapat mengejar dan dapat

bersama-sama latihan dengan kakak-kakakmu yang beberapa saat

sudah mendahuluimu.”

“Saya mengerti, Guru. Tapi biarlah, saya tetap memperguna

kan pinggiran sungai itu untuk berlatih.”

“Hey, sudah selesai latihannya?”

“Ada apakah? Apakah Raden ingin melihatnya?”

Page 323: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

315 Api Berkobar di Karang Sedana

“Ya, sayang sekali. Aku ingin melihat perkembangan ilmu

olah kanuragan sahabatku Purbaya.”

“Yah, sayang sekali. Besok Raden datanglah lebih pagi jika

Raden ingin melihat latihan di sini.”

“Hee? Mana mungkin? Mbah mengajarku dari pagi-pagi baru

selesai sekarang ini. Apakah kau tidak bisa latihan lebih siang sedikit

agar aku dapat melihat kalian berlatih?”

“Apalagi yang hendak Raden lihat? Aji yang mereka latih

sedikitpun tidak berbeda dengan yang Raden dapatkan dari Guru.”

Raden Karmapala tidak mengacuhkan ucapan Ki Luminta itu.

Dia malah mendekati Purbaya.

“Hey Purbaya. Sudah sejauh mana kau dapatkan aji-aji dari

paman Luminta?”

“Sudah sampai pada jurus tiga, tingkatan dasar Kincir Metu.”

“Aah, hanya baru jurus tiga? Aku yang lebih akhir datang

kemari sudah mendapatkan empat jurus dari Kincir Metu dasar. Hey

untung aku tidak belajar dengan paman Luminta.”

“Aku harus memiliki lima jurus dari tingkat dasar Kincir

Metu. Aku ingin sekali ikut dalam pesta pendadaran14 itu. Ya, aku

harus memiliki lima jurus itu.”

14 Penentuan tingkatan.

Page 324: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

316 Api Berkobar di Karang Sedana

Raden Purbaya bertekat untuk mendapatkan dan menguasai lima jurus

dari Kincir Metu. Untuk itu setiap selesai berlatih bersama kakak-

kakak seperguruannya secara diam-diam dia memperhatikan dan

mencatat setiap gerakan jurus keempat dan kelima dari Kincir Metu.

“Hup hait hup hup hait hiyat hiyat,… Oh, ada yang

mengintipku. Siapa yaa?”

Purbaya berhenti dan berdiri.

“Paman siapa yang mengintip latihanku? Keluarlah. Semua

ini aku lakukan karena aku ingin ikut pesta pendadaran itu. Aku tidak

bermaksud sedikitpun mencuri belajar untuk maksud yang buruk.

Sungguh paman!”

“Heheheheheheeh!!!”

Raden Purbaya tersentak ketika mendengarkan suara tawa yang

sebenarnyalah bukan tawa dari murid padepokan Goa Larang. Tawa

yang pernah didengarnya ketika dia sedang berlatih bersama Ki

Luminta.

Bersambung.

… Kisah Sepasang Anak Harimau.

Page 325: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

317 Api Berkobar di Karang Sedana

Page 326: BABAD TANAH LELUHUR - Universitas Padjadjaran

318 Api Berkobar di Karang Sedana