bab iii pengujian konstitusional oleh mahkamah agung · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara...

37
BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG Pada dasarnya UUD 1945 memang secara eksplisit menjelaskan wewenang Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, jadi yang menjadi dasar untuk pengujiannya adalah Undang-Undang, sedangkan yang memiliki peran untuk melakukan pengujian konstitusional yaitu Mahkamah Konstitusi, dengan memakai UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya. Namun akan terjadi kesulitan apa bila nanti di kasus yang dipegang oleh MA ternyata Undang-Undang yang menjadi dasar ternyata bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri. Ketika hal tersebut terjadi, sudah kewajiban MA sebagai lembaga yudikatif, dalam rangka menegakkan UUD 1945 harus melakukan tindakan dengan tidak memakai Undang-Undang tersebut karena inkonstitusional seperti pendapat John Marshall Undang-Undang buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land harus dinyatakan null and void. Untuk itu bab ini secara keseluruhan disusun untuk memberikan argumen penulis untuk mendukung pendapat diatas. Oleh karena itu untuk sampai pada hasil tersebut, bab ini akan membahas sebagai berikut, Pertama, perbandingan kewenangan MA dengan Supreme Court Amerika Serikat dalam melakukan pengujian peraturan

Upload: others

Post on 29-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

BAB III

PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG

Pada dasarnya UUD 1945 memang secara eksplisit menjelaskan wewenang

Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah

Undang-Undang terhadap Undang-Undang, jadi yang menjadi dasar untuk

pengujiannya adalah Undang-Undang, sedangkan yang memiliki peran untuk

melakukan pengujian konstitusional yaitu Mahkamah Konstitusi, dengan memakai

UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya. Namun akan terjadi kesulitan apa bila nanti

di kasus yang dipegang oleh MA ternyata Undang-Undang yang menjadi dasar

ternyata bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri. Ketika hal tersebut terjadi, sudah

kewajiban MA sebagai lembaga yudikatif, dalam rangka menegakkan UUD 1945

harus melakukan tindakan dengan tidak memakai Undang-Undang tersebut karena

inkonstitusional seperti pendapat John Marshall Undang-Undang buatan Kongres,

apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land

harus dinyatakan null and void.

Untuk itu bab ini secara keseluruhan disusun untuk memberikan argumen penulis

untuk mendukung pendapat diatas. Oleh karena itu untuk sampai pada hasil tersebut,

bab ini akan membahas sebagai berikut, Pertama, perbandingan kewenangan

MA dengan Supreme Court Amerika Serikat dalam melakukan pengujian peraturan

Page 2: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

perundang-undangan; Kedua, kewenangan MA melakukan pengujian konstitusional;

Ketiga, kelemahan mekanisme pengujian oleh MA.

A. Perbandingan Kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat Dengan

Indonesia Dalam Melakukan Pengujian Konstitusional

Dalam sub bab ini, pada intinya akan memaparkan mengenai perbandingan

kewenangan dalam melakukan praktik pengujian konstitusional yang dimiliki oleh

Supreme Court dengan MA, poin-poin yang menjadi perbandingan melihat dari

sistem hukum, posisi lembaga yudisial dalam sistem ketatanegaraan serta sistem

pengujian di kedua negara. Lalu dalam sub bab ini dipaparkan juga mengenai praktik

MA dan Supreme Court, dalam melakukan pengujian konstitusional.

1. Supreme Court Of The United States

Sebelum memasuki pembahasan mengenai kewenangan, akan dijelaskan terlebih

dahulu mengenai sistem atau tradisi hukum serta struktur ketatanegaraan di negara

Amerika Serikat (AS).

Supreme Court dengan Sistem hukum AS yang menganut tradisi “Common

Law”, dalam tradisi ini dikenal yang namanya “judge-made law”, atau hukum buatan

hakim1, dimana dianggap lazim jika seorang hakim Supreme Court dapat

mengesampingkan peraturan perundang-undangan apabila dianggap bertentangan

1 King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya, Thafa

Media, Yogyakarta, 2017, Hal. 127.

Page 3: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

dengan konstitusi, dikarenakan peraturan perundang-undangan bukan lah acuan

utama2.

Judge-made law menunjukan peranan hakim penting dalam proses pembentukan

hukum menurut Asas “precedent”. Asas “precedent” menekankan putusan-putusan

hakim tersebut telah berkekuatan hukum tetap sehingga bersifat mengikat bagi

pengadilan-pengadilan dibawahnya ataupun pengadilan-pengadilan yang

terkemudian3. Dengan demikian putusan hakim menjadi acuan bagi hakim

selanjutnya jika menemukan kasus yang sejenis.

Sebagai negara maju yang besar, negara republik yang berbentuk Federasi

(federal) dan teridiri dari 50 negara bagian, penganut sistem pemerintahan

presidensial dengan teori Trias Politika dari Montesquieu mengenai pemisahan

kekuasaan yang tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagaimana

tergambar dalam gambar dibawah

2 Ade Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal.

121. 3 Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, Hal.

152.

Page 4: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Gambar 3.1 (pembagian kekuasaan di AS menurut konstitusi)

Lembaga eksekutif sendiri dikepalai oleh Presiden seperti dalam konstitusi AS

Article II Section 1, ”kekuasaan eksekutif akan diberikan kepada seorang Presiden AS

bersama sama dengan Wakil Presiden”. Sedangkan kekuasaan legislatif, konstitusi

AS meletakkan kekuasaan untuk memberlakukan Undang-Undang pada kongres,

seperti yang dikatakan pada konstitusi AS Article I Section 1 “semua kekuasaan

legislatif diberikan kepada sebuah Kongres AS, yang terdiri dari Senat dan House Of

Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat)4.

Kekuasaan Yudikatif di AS dalam konstitusinya menyebutkan bahwa kekuasaan

peradilan dibawah satu atap Supreme Court, dan pada pengadilan-pengadilan lebih

rendah (District Courts; Courts of Appeals; Courts of Appeals for the Federal

Circuit; Courts of Military Appeals and Other Legislative Courts; State Courts of

Last Resort).

4 “Garis Besar Sistem Hukum Amerika Serikat”, Biro Program Informasi Internasional Departemen

Luar Negeri A.S, Washington, 2001, Hal. 8-10

Page 5: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Konstitusi AS membagi secara jelas kewenangan dari Supreme Court seperti

dalam Article III Section 2 “kekuasaan peradilan akan menjangkau semua Perkara

dalam Hukum dan Keadilan; …. Semua Perkara yang menyangkut Duta Besar; Duta

lain dan konsul semua perkara yang menyangkut hukum laut dan maritim; sengketa

yang salah satu pihaknya adalah Amerika Serikat; sengketa antar dua Negara Bagian

atau lebih; antara warga Negara-Negara Bagian; antara sesama warga sebuah Negara

Bagian yang mengklaim tanah di bawah hibah Negara-Negara bagian yang

berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”.

Dalam semua perkara yang menyangkut Duta Besar, Duta lain dan Konsul, dan yang

menyangkut sebuah Negara Bagian sebagai salah satu pihaknya. Dalam semua

perkara yang lain yang disebut tadi, Supreme Court akan memiliki Yurisdiksi asli,

baik mengenai hukum maupun fakta, dengan perkecualian, serta dibawah peraturan

yang dibuat oleh kongres.

Dijabarkan kembali Menurut U.S Code : Title 28 - Judiciary and Judicial

Procedure, Part IV Chapter 81 (1251), “Supreme Court harus memiliki yurisdiksi

asli dan eksklusif dari semua kontroversi antara dua atau lebih Negara;

Supreme Court memiliki yurisdiksi asli tetapi tidak eksklusif mencakup:

(1) Semua tindakan atau proses di mana para duta besar, menteri publik

lainnya, konsul, atau wakil konsul negara asing adalah pihak-pihak;

(2) Semua kontroversi antara Amerika Serikat dan Negara;

(3) Semua tindakan atau proses oleh suatu Negara terhadap warga Negara

lain atau terhadap orang asing”.

Page 6: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

2. Kewenangan Pengujian Konstitusional oleh Supreme Court of the United States

Memang secara eksplisit peraturan perundang-undangan dan konstitusi Amerika

Serikat tidak mengatur kewenangan Supreme Court untuk melakukan pengujian

konstitusional. Meski demikian, Article IV konstitusi 1787 menyatakan bahwa “the

constitutional, laws, and the treaties of United States merupakan Supreme Law of

Land….”. Hal demikian, menjadi landasan bagi hakim melakukan judicial review

untuk menjaga agar tidak ada pertentangan antara peraturan dengan the

constitutional, laws, and the treaties of United States. Article IV konstitusi 1787

menjadi landasan bagi kekuasaan yudikatif dalam melakukan judicial review untuk

menegakkan nilai-nilai Konstitusi 1787.

Dalam menjalankan praktik “judicial review” berdasarkan konstitusi 1787

Supreme Court menganut model ”unity of jurisdiction” dengan demikian antara

“judicial review” dan pemeriksaan perkara biasa dilaksanakan satu atap Supreme

Court, model “unity of Jurisdiction” dalam pelaksanaan kewenangan tersebut

Supreme Court membawahi pengadilan-pengadilan yang berada di negara bagian

AS5, maka dari itu pelaksanaan “judicial review” tidak hanya dilaksanakan oleh

Supreme Court tetapi memberikan kewenangan kepada pengadilan biasa dibawah

Supreme Court di setiap tingkat pengadilan atau biasa disebut dengan sistem

desentralisasi6.

5 King Faisal Sulaiman,Op.Cit, Hal. 87

6 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010, Hal. 191.

Page 7: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Sistem desentralisasi di AS membuat setiap hakim di pengadilan federal dan

negara bagian memungkinkan untuk melakukan Judicial Review, jadi memberikan

kompetensi absolut kepada setiap hakim dalam hal pemeriksaan suatu perkara secara

konkret untuk melakukan pengujian, tidak terbatas di satu lembaga saja7. Pemberian

kewenangan kepada semua organ yudisial untuk melakukan kontrol konstitusional

Undang-Undang dilakukan karena fungsi dasar dari lembaga peradilan memang

untuk menafsirkan hukum dan menerapkannya dalam kasus-kasus konkret, lalu

norma konstitusional berlaku atas norma legislatif biasa, setiap hakim dalam sistem

desentralisasi, memutuskan kasus dimana norma legislatif yang berlaku bertentangan

dengan konstitusi, harus mengabaikan Undang-Undangnya dan menerapkan yang

hukum yang seharusnya8.

Kemudian, pengujian yang dilakukan oleh hakim tingkat banding untuk menilai

vonis pengadilan tingkat pertama atau pengujian kasasi oleh Mahkamah Agung

terhadap putusan pengadilan di bawahnya juga disebut sebagai “judicial review”.

Begitu juga halnya dengan pengujian terhadap keputusan-keputusan administrasi

negara (beschikking) juga disebut “judicial review”9.

Seperti sudah disinggung di atas model pengujian peraturan perundang-undangan

yang diterapkan Amerika serikat merupakan sistem desentralisasi, semua paradigma

tersebut di prakasai dengan tulisan Alexander Hamilton yang pada intinya

7 Ibid, Hal. 191

8 Danielle Finck, 1997, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German

Constitutional Court, Boston College International and Comparative Law Review, 20(5): 126. 9 King Faisal Sulaiman, Op.Cit, Hal. 125.

Page 8: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

menyatakan “penafsiran Undang-Undang merupakan bagian khas dari lembaga

peradilan, lalu seorang hakim harus tahu bahwa konstitusi merupakan hukum dasar,

karena itu hakim harus menafsirkan Undang-Undang buatan legislatif untuk

memastikan makna dari konstitusi tetap ada dalam Undang-Undang tersebut” tulisan

tersebut memberikan inspirasi kepada Supreme Court pada kasus Madison v Marbury

(1803)10

.

“Dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, John Adams

dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic. Setelah kalah,

dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas

Jefferson, John Adams membuat keputusan-keputusan yang di antaranya, John

Marshall diangkat menjadi Ketua Supreme Court (Chief Justice). Bahkan sampai

menjelang detik-detik saat-saat menjelang jam 00:00 tengah malam tanggal 3 bulan

Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden baru, Presiden John Adams,

dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika itu sudah resmi menjadi Ketua

Supreme Court dengan tetap merangkap sebagai Secretary of State, masih terus

menyiapkan dan menandatangani surat-surat pengangkatan pejabat, termasuk

beberapa orang diangkat menjadi duta besar dan hakim. Sayangnya, copy surat

pengangkatan mereka tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya.

Pada keesokan harinya, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan.

Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari

10

Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi ke 2, Alumni, Bandung, 1997, Hal. 53.

Page 9: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

pertama, surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh Presiden

Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John Marshall.

Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dkk melalui kuasa

hukum mereka, mengajukan tuntutan langsung ke Supreme Court yang dipimpin oleh

John Marshall agar sesuai dengan kewenangannya memerintahkan Pemerintah

melaksanakan tugas yang dikenal sebagai “writ of mandamus‟ dalam rangka

penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan mereka menjadi

hakim telah mendapat persetujuan kongres sebagaimana mestinya.

Supreme Court menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar

Supreme Court mengeluarkan „writ of mandamus‟ sebagaimana ditentukan oleh

Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan, karena ketentuan

Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2

Konstitusi AS. Oleh karena itu, dalil yang dipakai oleh Supreme Court di bawah

pimpinan Chief Justice John Marshall untuk memeriksa perkara Marbury versus

Madison itu, bukanlah melalui pintu Judiciary Act tahun 1789 tersebut, melainkan

melalui kewenangan yang ditafsirkannnya dari dari konstitusi. Dari sinilah

kemudian berkembang pengertian bahwa Supreme Court pada pokoknya

merupakan lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the

United States of America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar

yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan dengan

sendirinya. Menurut John Marshall, segala undang-undang buatan Kongres, apabila

bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land harus

Page 10: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

dinyatakan null and void”11

. Dengan putusan Supreme Court di atas praktek tersebut

menunjukan telah dilakukannya pengujian konstitusional dengan membatalkan

Undang-Undang buatan kongres karena bertentangan dengan konstitusi AS itu

sendiri.

3. Mahkamah Agung Republik Indonesia

Indonesia menganut sistem hukum Civil Law, dengan prinsip dasar Civil Law

bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang

berbentuk Undang-Undang yang tersusun secara sistematis12

, jadi adanya

pengodifikasian peraturan perundang-undangan yang akan menjadi acuan hakim

dalam membuat putusan. Maka kekuasaan kehakiman tidak terlalu bebas dalam

menciptakan hukum baru, karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan

peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.

Dalam UUD 1945 telah menjelaskan secara jelas bentuk negara Indonesia,

seperti dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara kesatuan

yang berbentuk Republik”. Kemudian mengenai sistem pemerintahan, Indonesia

menerapkan sistem pemerintahan presidensial, dimana kepala negara menjadi kepala

pemerintahan, serta menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada

presiden13

.

11

Jimly Asshiddiqie. 2012. Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah

Konstitusi. Makalah. Dalam : The Three “E” Lecture Series, @america di Pasific Place level 3, 18

Juni, Hal. 2-3. 12

Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhalindo, Jakarta, 2001, Hal. 36. 13

Mahfud M D, Dasar &Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, Hal. 74.

Page 11: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Gambar 3.2 (Pembagian kekuasaan di Indonesia menurut UUD 1945)

Seperti yang dilakukan Amerika Serikat, Indonesia pun juga menganut konsep

Trias Politika dari Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan pemerintahannya. Di

kekuasaan Eksekutif dikepalai oleh Presiden, seperti dalam Pasal 4 ayat (1) UUD

1945 dapat diketahui bahwa, Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan

(Kepala Eksekutif), hal ini menyatakan bahwa “Presiden ialah kepala Eksekutif

dalam negara”14

itu semua menjelaskan kembali bahwa Presiden sebagai Kepala

Negara juga menjadi Kepala Pemerintahan dalam sistem Presidensial. Dalam

kekuasaan Legislatif sebagai pembentuk Undang-Undang, kekuasaan tersebut

dipegang oleh DPR, DPD serta MPR, seperti diterapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD

1945, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan

Rayat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”, lalu mengenai kewenangannya

sendiri dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1), “Majelis Permusyawaratan Rakyat

14

Ibid, Hal. 113.

Page 12: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”, serta Pasal 20 ayat

(1) “ Dewan Perwailan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Kekuasaan Yudikatif di Indonesia dijelaskan melalui Pasal 24 ayat (2) UUD

1945 “ kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang

berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi”, Jadi ada dua lembaga dalam kekuasan yudikatif di Indonesia,

yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

4. Kewenangan Pengujian Oleh MA dan MK

Terkait kewenangan MK dalam pengujian konstitusional, MK memiliki

wewenang yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1) bahwa MK menguji

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam Pasal 10 Ayat (1a) Undang-

Undang Nomor.24 Tahun 2003 tentang MK pun menyebutkan hal yang sama

terkhusus kewenangan MK dalam pengujian konstitusionalnya.

Dalam praktiknya MK sudah banyak melakukan pengujian konstitusional karena

memang kewenangan yang diberi oleh peraturan perundang-undangan memang

menguji konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan, menjadikan

konstitusi sebagai dasar pengujiannya, seperti pada yang telah disinggung diatas pada

putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, yang menyatakan Inkonstitusional beberapa

pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah,

dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945. Mekanisme dalam pengujian

Page 13: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

konstitusional oleh MK merupakan pengujian konstitusional melalui kasus abstrak

yang dimana pemohon yang merasa dirugikan karena suatu peraturan perundang-

undangan bertentangan dengan konstitusi, mengajukan permohonan dengan uraian

“pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945” seperti yang telah dituliskan dalam

Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2003 tentang MK.

MA kewenangannya diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, menguji

peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,

dalam Pasal 20 Ayat (2a) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 mengenai kekuasaan

kehakiman pun menyebutkan hal yang sama mengenai wewenang MA terkhususnya

dalam pengujian peraturan perundang-undangan.

Seperti yang telah dituliskan oleh konstitusi serta peraturan perundang-undangan,

MA memiliki wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-

Undang terhadap Undang-Undang, jadi dalam melakukan pengujian MA memakai

peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengujiannya. Namun pada praktiknya

MA pernah juga melakukan pengujian konstitusional, Memang peraturan perundang-

undangan dan konstitusi telah mengatur wewenang MA untuk menguji peraturan

perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, namun

ternyata ada praktik MA yang melakukan pengujian konstitusional, seperti yang

Supreme Court A.S lakukan.

Page 14: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 MA membatalkan hukuman

mati dalam suatu perkara psikotropika dan mengubah hukumannya menjadi 15 tahun

penjara, dalam satu pertimbangan MA berbunyi

“Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang

Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989

tentang HAM yang berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,

hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan dan oleh siapa pun15

”.

Yang pada intinya mengatakan hukuman mati untuk terpidana narkotika adalah

inkonstitusional, dimana sebelumnya dalam Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 telah

dinyatakan bahwa, ancaman pidana mati dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1997, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Praktik diatas menunjukkan MA telah melakukan pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945 melalui kasus konkrit yang dimana

kewenangan pengjian konstitusional merupakan kewenangan dari MK, karena dalam

putusan tersebut MA memutuskan tidak memakai dan menyatakan tidak sah Undang-

Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, jadi MA telah melakukan

praktik pengujian konsitusional.

Dengan adanya dua lembaga dalam kekuasaan yudikatif maka akan berbeda pula

jenis putusan yang dikeluarkan, jika kita melihat pembagian wewenang diatas bisa

disimpulkan bahwa Indonesia seperti pada beberapa negara yang menganut sistem

15

Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 K/Pid.Sus/2011, hal 53-54.

Page 15: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

hukum Eropa Kontinental (civil law), dilakukan oleh suatu lembaga sendiri yang

dikenal sebagai lembaga Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court. Tata cara

pengujian yang hanya dilakukan oleh satu Mahkamah dikenal sebagai sistem

sentralisasi16

.

Sistem sentralisasi dikenal dengan ciri khasnya yaitu dalam pelaksanaan

pengujian Konstitusional memiliki lembaga tersendiri di luar dari peradilan umum

yang ada17

. Sistem sentralisasi memiliki lembaga-lembaga pelaksana pengujian

bersifat Independen, dan didirikan diluar peradilan biasa, kemudian mekanisme

dalam penyelesaian perkara-perkara yang menyangkut “Constitutional Complaint”

dilakukan dengan mengadakan pemisahan antara mekanisme “Constitutional

Review” dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa18

.

Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini memiliki hakim-hakim

khusus yang mempunyai keahlian di bidang ini, dalam menjalankan wewenangnya

MK melakukan pengujian konstitusional tertutama atas norma-norma yang bersifat

abstrak, sistem sentralisasi mengkhususkan tersendiri hakim dan juga lembaganya

dalam melakukan kontrol konstitusional Undang-Undang dikarenakan pandangan

bahwa untuk menjamin nilai dari kepastian hukum konstitusi apabila semua lembaga

yudisial dapat melakukan kontrol konstitusional Undang-Undang maka akan

menimbulkan resiko pertentangan putusan pengadilan satu dengan yang lain lebih

16

Fatmawati, Hak Menguji (TOETSINGSRECHT), Cetakan 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005,

Hal. 37. 17

Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hal. 80 18

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press,

Jakarta, 2006, Hal. 55

Page 16: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

banyak, jika hal tersebut terjadi dampaknya membuat hukum menjadi tidak pasti

untuk masyarakat dan juga untuk otoritas pemerintah, sebaliknya jika memiliki

lembaga khusus dalam pelaksanaan kontrol konstitusional Undang-Undang maka

tidak akan ada resiko pertentangan kontrol konstitusional Undang-Undang, dan lebih

menjamin kepastian hukumnya19

.

Dengan demikian, praktik MA di atas lah yang menjadi starting point dalam

pembahasan kewenangan MA untuk melakukan judicial review Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar.

B. Kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia Melakukan Pengujian

Konstitusional

1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Pengujian Konstitusional

Sebelum mengenal lebih jauh tentang pengujian konstitusional, perlunya

kejelasan peristilahan antara constitutional review atau pengujian konstitusional

dengan Judicial Review, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula

dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga

mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya, kemudian dalam konsep

judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup

legalitas peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, sedangkan

constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu

19

Victor Ferreres, 2004, THE CONSEQUENCES OF CENTRALIZING CONSTITUTIONAL REVIEW

IN A SPECIAL COURT. SOME THOUGHTS ON JUDICIAL ACTIVISM, Yale Law School SELA

Papers, 1(1) : 1-2.

Page 17: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

terhadap UUD. Jadi berkenaan dengan hal tersebut, bisa kita katakan jika ukuran

pengujian itu dilakukan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka

kegiatan pengujian semacam itu dapat disebut sebagai constitutional review atau

pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma

hukum yang sedang diuji20

. Pengujian konstitusional itu perlu untuk dilakukan dalam

rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik

sehari-hari, mengingat juga bahwa konstitusi sendiri merupakan hukum dasar,

tertinggi, sebuah Supreme Law of the Land21

.

Dalam sistem pengujian konstitusionalitas (Constitutional Review), terkandung

pengertian bahwa yang supreme itu adalah konstitusi, bukan parlemen22

. Dikatakan

sebagai Supreme atau Supreme Law of the Land dikarenakan pertama dilihat dari

posisi “konstitusi” sebagai “hukum dasar” (basic law), mengandung norma-norma

dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan

mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam kedudukan sebagai

basic law, konstitusi dapat dijadikan instrumen efektif mencegah timbulnya

penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, segi hirarki peraturan perundang-undangan,

konstitusi sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat”, artinya produk hukum

lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus

dibatalkan. Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik (politico-legal

20

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, KonPress, Jakarta,

2006, Hal. 6-7. 21

Ibid, Hal.8 22

Ibid, Hal. 31

Page 18: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

document) menempati kedudukan “istimewa”, selain subtansi atau materi muatannya

memuat norma hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu negara baru, inspirasi

merealisasi cita-cita negara dan cita-cita hukum, karena itu norma konstitusi juga

mengendalikan norma-norma lainnya.23

Di Indonesia dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya, menjadi dasar segala

peraturan perundang-undangan , dijelaskan oleh Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang -undangan”, kemudian

dijabarkan kembali melalui hirarki peraturan perundang-undangan, di Pasal 7 ayat 1

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Kemudian sistem hirarki tersebut dijabarkan kembali pada penjelasan umum

Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, “penjenjangan setiap jenis

peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi”, yang menjelaskan bahwa peraturan

perundang-undangan tidak dimungkinkan untuk bertentangan dengan peraturan yang

23

Dewa Gede Atmaja, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, 2010, Hal.39-40.

Page 19: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

susunan hirarkinya berada diatasnya, yang dapat di simpulkan juga bahwa tidak boleh

ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, lalu pada

Pasal 7 ayat 2 berbunyi UU No. 12 Tahun 2011 : “Kekuatan peraturan perundang-

undangan sesuai dengan hierarki…” dikarenakan UUD 1945 merupakan yang paling

puncak di susunan hirarki peraturan perundang-undangan, maka paling kuat lah

kekuatan untuk mengikat seluruh lembaga negara, maka dari itu sudah seharusnya

hakim dan lembaga negara lain menjunjung supremasi UUD 1945 yang merupakan

kedudukan peraturan perundang-undangan tertinggi serta konstitusi negara Indonesia.

Keuntungan secara eksplisit dari penerapan hirarki peraturan perundang-

undangan tersebut adalah adanya kepastian hukum secara jelas mana peraturan

perundang-undangan yang paling tinggi atau paling mendasar, sehingga jikalau ada

dua peraturan perundang-undangan yang bermateri muatan bertentangan satu dengan

yang lain, jelas mana yang harus dipakai sebagai dasar pegangan pengujiannya.

Dibandingkan dengan negara yang tanpa konstitusi tertulis, seperti inggris, akan lebih

sulit untuk menentukan mana peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar,

karena dilihat dari materi muatan peraturan perundang-undangannya, ada lebih dari

satu peraturan perundang-undangan di Inggris yang materi muatannya merupakan

Basic Law 24

.

Dalam rangka menjunjung supremasi konstitusi, menjamin kedudukan tertinggi

konstitusi, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

24

Lutfi Ansori, Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Setara Press, Malang, 2018, Hal.37

Page 20: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa secara hierarkis kedudukan UUD

1945 lebih tinggi dari Undang-Undang, oleh karenanya setiap ketentuan dari Undang-

Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam

Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka hal tersebut dapat

dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme Judicial Review, seperti diatur dalam

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan

perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”, lalu ada

pula di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar” memang secara umum mekanisme

pengujian ada 2, seperti yang telah dijelaskan diatas, di Indonesia menerapkan sistem

Judicial Review, dan Constituional Review, yang perbedannya ada pada dasar

pengujiannya.

Dualisme pengujian tersebut secara kasat mata, terdapat perbedaan dalam dasar

pengujiannya, tetapi walaupun seperti itu, sebetulnya itu merupakan satu kesatuan

yang dimana untuk menerapkan tertib hukum, tertib hirarki hukum, yang dimana

UUD 1945 sebagai puncaknya dan terus kebawah, dilakukan berjenjang agar

peraturan perundang-undangan satu dengan yang lain saling bergantung, saling

berkaitan, dan tidak bertentangan, seperti peraturan dibawah Undang-Undang

diujikan kepada Undang-Undang, agar peraturan dibawahnya bisa bergantung kepada

Undang-Undang dan tidak terjadi pertentangan, dan lebih lagi, seluruh peraturan

Page 21: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

perundang-undangan di bawah Undang-Undang diujikan dan ditafsirkan serta di

batasi semua dengan UUD 1945 yang merupakan hirarki tertinggi.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut dualisme

praktik pengujian peraturan perundang-undangan, praktik Judicial Review yang

menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-

Undang adalah pada putusan uji materil No. 10 P/HUM//2012, MA menyatakan

bahwa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Nomor 07 Tahun

2012, bertentangan dengan beberapa pasal, di Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sehingga membatalkan Peraturan

Menteri tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa yang menjadi dasar pengujian MA

pada saat itu adalah Undang-Undang No, 4 Tahun 2009 jadi ada beberapa pasal

dalam Peraturan Menteri yang bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya, maka

dari itu dilakukan pengujian materiil terhadap peraturan menteri tersebut, berbeda

dengan Constitutional Review, yang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945

seperti contoh yang terdapat pada putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, yang

menyatakan Inkonstitusional beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 Tentang Pemerintah Daerah, dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945, di

kasus ini hakim memakai UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya, di kasus ini

menandakan adanya beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang

bertentangan dengan UUD 1945 sehinga dilakukanya praktik Constitutional Review

dalam rangka menegakan UUD 1945 itu sendiri.

Page 22: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

UUD 1945 sebagai suatu dokumen yang mengandung aturan-aturan dan

ketentuan-ketentuan yang pokok-pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan

suatu negara yang lazim kepadanya diberikan sifat luhur dan kekal dan apabila akan

mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau

dibandingkan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan

ketetapan lainnya, sebagai sumber hukum formil, UUD 1945 memiliki arti,

merupakan sebuah hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan,

kemudian merupakan hukum dasar bagi pengembangan peraturan, undang-undang

atau penetapan-penetapan lainnya mengenai suatu yang khusus yang berkaitan

dengan kepentingan negara dan masyarakat harus berintikan pada UUD 1945 atau

pasal-pasalnya25

, terlebih lagi UUD 1945 merupakan cerminan langsung dari hasrat

rakyat untuk mengendalikan tingkah laku penguasa, serta mempertahankan hak-

haknya sebagai masyarakat sebuah negara26

oleh karena itu jelaslah bahwa UUD

1945 menjadi inti, menjadi sumber hukum-hukum lainnya dengan kata lain UUD

1945 merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang memuat

ketentuan pokok dan menjadi dasar semua peraturan perundang-undangan dalam

negara, serta menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan27

.

Dengan demikian, karena UUD 1945 dapat menjadi dasar pengujian maka,

secara eksplisit tertulis pun UUD 1945 merupakan hukum tertinggi, maka dari itu

25

Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara Indonesia, Permata Aksara, Jakarta, 2014, Hal. 19- 18. 26

Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 63. 27

Nomensen Sinamo, Op.Cit, Hal. 19- 18

Page 23: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

lembaga Yudisial haruslah menjunjung tinggi UUD 1945 dengan menjaga tiada

peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, terlebih lagi

UUD 1945 lah yang merupakan konstitusi di Indonesia.

2. “Prinsip Departementalisme” sebagai Legitimasi Praktik Constitutional Review

oleh MA Melalui Kasus Konkrit

Dikarenakan Indonesia menganut asas supremasi konstitusi, maka di Indonesia

diwajibkan bahwa setiap lembaga negara berhak untuk menafsir konstitusi, tidak

mengamini apa yang Undang-Undang katakan begitu saja, karena itu dalam rangka

menjunjung supremasi konstitusi, Indonesia menganut prinsip departementalisme

yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, yang membuat setiap lembaga negara

memliki wewenang untuk menafsirkan konstitusi.

Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai prinsip departementalisme yang akan

digunakan sebagai landasan argumen untuk menjustifikasi kewenangan pengujian

konstitusional Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui kasus konkrit, akan

dijelaskan mengenai posisi hakim dalam memandang supremasi konstitusi yaitu

kepada UUD 1945. Lalu dilanjutkan mengenai argument bahwa UUD 1945

menghendaki penafsiran konstitusional berdasarkan prinsip departementalisme yakni

penegasan bahwa tidak hanya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dapat

menafsir UUD, sehingga membuka kemungkinan penafsiran konstitusional oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Page 24: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Paradigma hakim dalam caranya melakukan intepretasi hukum ada 2, ada cara

berhukum yang mengikuti bunyi pasal-pasal teks Undang-Undang atau biasa disebut

menjadi corong dari Undang-Undang, tetapi ada juga yang bukan sebagai corong

Undang-Undang, jadi tidak menelaah secara langsung bunyi dari Undang-Undang,

melainkan menafsirkan hukumnya seperti apa. Pilihan-pilihan ini perlu dimanfaatkan,

negara hukum Indonesia menjadi terlalu mahal kalau hanya menjadi negara yang

menerapkan kalimat Undang-Undang belaka28

.

Hakim sebagai corong Undang-Undang menganggap pernyataan “Undang-

Undang yang tidak konstitusional karena bertentangan dengan konstitusi” adalah

tidak sah atau tidak berlaku, hal ini yang dinamakan sebagai “asas praduga

konstitusional”, dasar pemikiran validitasnya adalah Undang-Undang tersebut telah

dibuat menurut suatu cara yang diterapkan oleh konstitusi29

. Jadi pendapat diatas bisa

disimpulkan bahwa tiada Undang-Undang yang inkonstitusional, tidak ada Undang-

Undang yang bertentangan dengan Konstitusi, jika ada, maka Undang-Undang

tersebut pasti belum terbentuk, atau belum dijadikan sebuah Undang-Undang,

dikarenakan validitas suatu Undang-Undang dinyatakan konstitusional karena telah

dibuat sesuai dengan apa yang konstitusi telah terapkan.

Kemudian hakim-hakim yang sebagai corong dari Undang-Undang memandang

hukum sebagai apa yang sudah ditetapkan (diperintahkan, diputuskan, dilaksanakan,

28

Sajtipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, Hal. 168 29

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung, 2016, Hal. 223

Page 25: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

dsb), yang mengandalkan legalitas (keabsahan) dari suatu objek atau situasi hukum

semata-mata pada pembacaan dan intepretasi naskah-naskah regulasi, mulai dari

konstitusi sampai kepada peraturan yang tertulis30

. Aliran seperti ini sudah ada dari

Era Montesqieu, dengan pernyataan “para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan

kata-kata Undang-Undang, mereka adalah mahluk yang tidak bernyawa yang tidak

boleh melemahkan kekuatan dan kekerasan Undang-Undang”, kemudian pengaruh

legisme ini terasa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu

perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar peraturan berkekuatan Undang-Undang

yang terlebih dahulu ada dari perbuatan tersebut”31

.

Di sisi lain, terdapat perspektif bahwa hakim bukanlah corong Undang-Undang,

dimana penelitian ini akan menerapkan perspektif tersebut. Hakim bukan sebagai

corong Undang-Undang berprinsip, bahwa tidak semua yang ada dan legal itu benar,

semua yang ada dan sah sekarang tidak menjamin kebenaran absolut dan/atau

terakhir, serta mengkritisi segala produk hukum yang ada sehingga mendapatkan

apakah hukum yang seharusnya, apa hukum yang harus diterapkan32

, hakim dalam

paradigma ini bisa dikatakan mencari hukum tidak hanya pada dokumen dokumen

yang ada melainkan lebih dari itu, hakim dalam paradigma ini akan mencari hukum

yang seharusnya bukan yang hanya terdapat pada Undang-Undang saja karena tidak

semua yang pada Undang-Undang saja dianggap benar.

30

Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum, Yrama Widya, Bandung,2016, Hal. 36 31

Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivsme Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,

2011, Hal.27 32

Ibid, Hal. 94

Page 26: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Selain itu, tidak ada satupun Undang-Undang yang sempurna. Mungkin pada saat

Undang-Undang itu dibuat, orang berpendapat bahwa Undang-Undang tersebut baik

dan sempurna, akan tetapi tidak lama setelah diundangkan akan dihadapkan pada

masalah konkret yang tidak terpikirkan pada saat Undang-Undang tersebut dibahas di

parlemen, dan ada kalanya pula ketentuan Undang-Undang menimbulkan akibat yang

tidak layak karena Undang-Undang tersebut terlampau formalistik, tidak sederhana

dan tidak mudah dipahami, sehingga tidak dapat memberi kepastian33

. Maka dari itu

Hakim sebagai penegak hukum sangat dituntut untuk mencari hukum yang

sebenarnya seperti apa, bukan peraturannya seperti apa, karena itu jika hakim telah

mengerti seperti apa hukumnya, telah mencari hukumnya seperti apa, maka hakim

tidak akan menelaah Undang-Undang begitu saja, terlebih lagi tidak ada Undang-

Undang yang sempurna. Kemudian karena hakim MA bukanlah sebagai corong

Undang-Undang, maka seharusnya hakim MA tidak langsung menelaah semua

Undang-Undang yang di hadapannya adalah konstitusional, hal seperti itu tidak

seharusnya berlaku bagi hakim yang melakukan interpretasi konstitusi dikarenakan

Undang-Undang tidak ada yang sempurna dan hakim memiliki kewenangan untuk

melakukan intepretasi konstitusi.

Dengan demikian Hakim MA, seharusnya bukanlah sebagai corong dari Undang-

Undang, dikarenakan seorang hakim harus menggali lebih dalam apa hukum yang

seharusnya, dengan cara mengkritisi peraturan perundang-undangan yang ada,

33

Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Cetakan 1, Prenada Media, Jakarta, 2012, Hal. 210

Page 27: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

mencari hukum yang tertinggi bukan hanya peraturan perundang-undangan saja

dalam rangka untuk menyatakan “seperti apakah hukumnya”, ”hukum yang

seharusnya itu apa”.

Dalam rangka pencarian hukum oleh seorang hakim, hakim dituntut mencari ke

dalam hukum yang bersifat dasar-dasar atau Basic Law nya, karena di dalam Basic

Law mengandung dasar-dasar dari materi muatan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, sehingga dapat mengurangi pertentangan antar peraturan perundang-

undangan, karena hakim mencari hukum hingga ke dasarnya34

.

Hakim dapat mencari hukum yang seharusnya dengan cara melakukan

Interpretasi Konstitusi, hakikat dari pengujian yudisial konstitusionalitas Undang-

Undang, seperti ajudikasi yudisial pada umumnya, adalah ketika memberikan judicial

reasoning terhadap putusannya, dengan makna ketentuan-ketentuan konstitusi

sebagai dasar dalam pengujian yudisialnya35

. Jadi apabila MA melakukan pengujian

konstitusionalitas, melalui interpretasi konstitusi seharusnya sah sah saja, dikarenakan

dalam melakukan interpretasi konstitusi, MA akan mencari apa hukum yang

sebenarnya, yang seharusnya dan seperti yang telah dikatakan Pasal 24 ayat 1 UUD

1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, jadi bisa

dikatakan apa yang MA lakukan merupakan penegakan hukum, pencarian hukum,

34

Tanto Lailam, Teori & Hukum Perundang-Undangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2017, Hal. 28 35

Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, Hal. 103

Page 28: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

yang seharusnya diperbolehkan dalam rangka kemerdekaan menyelenggarakan

peradilan untuk menegakkan hukum serta keadilan.

Interpretasi Konstitusi adalah proses melakukan interpretasi terhadap ketentuan-

ketentuan konstitusi. Sebagai proses, interpretasi konstitusi pada hakikatnya tidak

berbeda dengan interpretasi pada secara umum, perbedaannya hanya berkenaan

dengan aspek ontologisnya sebagai Interpretandum36

. Jadi seperti yang telah

dijelaskan diatas dalam rangka menegakan hukum, mencari hukumnya seperti apa,

bukan Undang-Undangnya seperti apa, melalui interpretasi konstitusi MA juga

berhak untuk melakukan pengujian konstitusional, bukan hanya MK saja walau tidak

dituliskan wewenangnya secara eksplisit.

Dikarenakan sistem hukum di Indonesia menganut sistem sentralisasi dalam

praktik pengujiannya, maka Indonesia memiliki MK sebagai lembaga yang

berwenang dalam melakukan pengujian konstitusional, sehingga munculah pendapat

bahwa “MK sebagai penafsir tunggal konstitusi”, seharusnya dalam hal menafsirkan

konstitusi, tidak hanya MK saja yang bisa menafsir, untuk menjaga nilai-nilai

fundamental dalam konstitusi haruslah setiap lembaga negara mengambil peran

dalam menjunjung konstitusi, terlebih lagi MA sebagai lembaga yudisial37

.

Sebagai contoh, seperti dalam kasus Henky Gunawan dimana hakim dalam dasar

putusannya tidak memakai Undang-Undang yang dianggapnya inkonstitusional,

36

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2015, Hal. 11 37

Tanto Lailam, Op.Cit, Hal. 218

Page 29: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mengenal adanya hukuman

mati, praktik tersebut seharusnya sah saja dikarenakan hakim MA mencari hukum

yang tertinggi, melakukan interprertasi konstitusi dalam rangka mencari hukumnya

seperti apa, dikarenakan MA yang bukan sebagai corong Undang-Undang, serta

bukan sebagai penganut asas praduga konstitusi walau sudah ada putusan yang MK

keluarkan, yang menyatakan Undang-Undang tersebut konstitusional

Maka dari itu hakim dalam menemukan sebuah hukum sampai penyelesaian

sebuah kasus seharusnya bukanlah sebagai corong dari Undang-Undang dalam

melandasi putusan atau penemuan hukum tersebut, dikarenakan tidak semua hukum

dapat ditemukan dalam Undang-Undang, karena bukan corong dari Undang-Undang

seharusnya hakim mempunyai kebebasan yang luas dalam menemukan hukum, tidak

sekedar menerapkan Undang-Undang38

, sehingga bilamana seorang hakim

memandang ada sesuatu Undang-Undang yang dianggap inkonstitusional, sudah

sewajarnya tidak memakai Undang-Undang tersebut, serta hakim dapat menemukan

hukum dan keadilan tertinggi.

Dalam rangka untuk menegakan supremasi konstitusi di Indonesia, yang dimana

konstitusi merupakan sebuah hukum tertinggi, setiap lembaga negara di Indonesia,

harus menegakan konstitusi itu apabila ada sesuatu Undang-Undang dianggap

inkonstitusional, seperti ada pengertian bahwa konstitusi mempunyai kedudukan

tertinggi dalam tertib hukum suatu negara, dikarenakan dibentuk atas nama rakyat,

38

Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar Penemuan Hukum Hakim,Prenadamedia, 2018, Hal. 38.

Page 30: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

berasal dari rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk

kepentingan mereka, superioritas konstitusi mempunyai daya ikat bukan saja bagi

rakyat/warga negara tetapi termasuk juga bagi penguasa dan bagi badan pembuat

konstitusi itu sendiri, setiap penyelenggara negara, lembaga negara, wajib menjamin

pelaksanaan peraturan perundang-undangan secara konstitusional, sejalan dengan

konstitusi, sebab bagaimanapun baiknya konstitusi tetapi apabila penyelenggaranya

tidak mempunyai kesadaran dalam penegakkan konstitusi itu sendiri dapat

mengurangi kedudukan supremasi konstitusi dalam arti haikatnya39

.

Kemudian setiap sumpah jabatan pejabat negara, pejabat pemerintahan, termasuk

hakim, hakim MA, antara lain berisi kewajiban memegang teguh UUD,seperti pada

Pasal 9 Ayat (3) Undang-Undang nomor 3 tahun 2009 mengenai Mahkamah Agung,

pada bagian sumpah pengaktan Hakim Agung menyebutkan:

“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim

agung atau Ketua Muda Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan seadil-

adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-

lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

serta berbakti kepada nusa dan bangsa”

yang mengandung makna, UUD 1945 harus senantiasa menjadi sumber pertama

pembentukan, penerapan dan penegakan hukum, lalu mengembangkan UUD 1945

agar menjadi the living constitution, sebagai konstitusi yang hidupartinya tetap aktual

sehingga senantiasa mampu tetap menjadi dasar pengelolaan negara, bangsa dan

39

Ibid, Hal.59-60

Page 31: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

masyarakat40

. Menurut Prof. Bagir Manan sendiri hakim dalam mengadili dan

memutus perkara harus senantiasa memperhatikan asas, kaidah, dan pandangan-

pandangan yang mendasari UUD 1945, lalu tidak ada perkara yang tidak bersentuhan

dengan UUD 194541

.

Memang UUD 1945 tidak menuliskan wewenang MA dalam melakukan

pengujian konstitusional, tetapi sebagai bagian lembaga Yudikatif yang menegakkan

hukum sudah seharusnya menjadi penjaga konstitusi, yang berarti menegakkan UUD

1945, tidak hanya MK saja yang hanya boleh menafsirkan Konstitusi, seperti

pernyataan diatas tadi, MA jika dihadapkan dengan Undang-Undang yang

bertentangan dengan UUD 1945 sudah seharusnya menolak memakai dan

menyatakan tidak sah Undang-Undang tersebut melalui putusan hakim dalam kasus

konkrit, dikarenakan UUD 1945 yang merupakan Supreme Law of the Land,

konstitusi negara Indonesia, tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk,

konstitusi menempatkan posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan

suatu negara, UUD 1945 merupakan pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus

tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan42

. Karena kedudukan

konstitusi dalam negara merupakan kedudukan tertinggi, dasar dan krusial, dalam

menegakkan konstitusi itu sendiri seharusnya tidak hanya dimiliki oleh satu lembaga

saja, melainkan seharusnya semua penyelenggara negara, termasuk MA, dan apabila

40

Bagir Manan, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014

Hal. 164 41

Ibid 42

Jazim Hamidi, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, 2013, Hal. 56

Page 32: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

MA tidak boleh untuk menegakan konstitusi sama saja untuk membatasi MA dalam

menafsirkan hukum dan sebagai lembaga yudisial di persulit untuk menegakan

hukum, yang dimana mandat dari Pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman yang

merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan.

Dengan demikian, praktik MA dalam melakukan pengujian konstitusional

merupakan praktik yang legal, karena praktik tersebut dalam maksud menjunjung

supremasi konstitusi dengan cara melakukan intepretasi konstitusi, walau akibat

hukum yang dikeluarkan berbeda dengan MK.

MA dalam praktiknya melakukan pengujian konstitusional selain dikarenakan

memang kewajiban untuk menjunjung supremasi konstitusi sebagai hukum dasar,

dalam desain UUD 1945 tidak menganut asas supremasi parlemen ataupun yudisial

supremasi oleh MK, sehingga memang membuat MA dapat memutus suatu perkara

lebih luas, mencari hukum lebih dalam lagi, dan berpendapat seperti MK walau

berbeda kewenangan yang diberikan.

UUD 1945 tidak menganut yudisial supremasi oleh MK ataupun parlemen, tidak

seperti konstitusi Belanda yang sangat jelas menulis pada Art. 120 UUD Belanda

yang ketentuannya menyatakan: “The constitutionality of Acts of Parliament and

treaties shall not be reviewed by the courts”, yang pada intinya ketentuan ini

menyatakan bahwa “Undang-Undang tidak boleh di ganggu-gugat”43

. Atau bisa

43

Titon Slamet Kurnia, “Peradilan Konstitusional Oleh Mahkamah Agung Melalui Mekanisme

Pengujian Konkret”, Jurnal Konstitusi. Vol.16. No. 1, Maret 2019, Hal. 67.

Page 33: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

dikatakan karena menganut asas supremasi parlemen, maka konstitusi bukanlah

bahan konsumsi dari lembaga Yudikatif, itu merupakan khusus untuk parlemen,

karena khusus untuk parlemen maka hal itu menghasilkan makna bahwa Undang-

Undang produk parlemen sudah pasti konstitusional sebagai produk dari parlemen

yang supreme dan tidak boleh dinyatakan inkonstitusional oleh lembaga yudisial44

.

Demikian juga dengan prinsip yudisial supremasi oleh MK, konstitusi Indonesia tidak

menganut prinsip tersebut, yang membuat MA dapat memberi keputusan yang

berbeda dengan MK namun dapat berpendapat seperti MK walau memang

mekanisme pengujian yang dilakukan berbeda.

Karena asas demikian tidak dianut dalam konstitusi Indonesia, maka MA sebagai

badan peradilan tentu saja dapat menganut konstitusi sebagai sumber hukum dalam

menjalankan proses peradilan45

, bisa dikatakan tidak menganut seperti belanda dan

tidak menganut supremasi MK, dikarenakan pada Pasal 24 Ayat (1) yang berbunyi

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan", dalam pasal

tersbut konstitusi dengan jelas memberi kewenangan yang luas kekuasaan kehakiman

dalam menegakkan hukum dan keadilan, bisa dikatakan bahwa dalam peradilan

konstitusional Indonesia menganut prinsip departementalisme, dibanding supremasi

parlemen ataupun yudisial supremasi oleh MK.

44

Ibid 45

Ibid, Hal. 68

Page 34: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

Prinsip Departementalisme ini praktiknya sudah pernah dilakukan di Indonesia,

seperti dalam kasus Henky Gunawan, MK sudah memberikan putusan dalam

pengujian konstitusionalnya bahwa sanksi hukuman mati merupakan sanksi yang

legal untuk pidana narkotika, tetapi MA pada tingkat kasasi saat mengadili kasus

tersebut menyatakan bahwa sanksi pidana narkotika yang merupakan hukuman mati

merupakan tidak sah serta tidak memakai Undang-Undang narkotika tersebut menjadi

dasar putusan dan mengkonversi vonis kepada terpidana menjadi penjara. Praktik MA

tersebut selaras dengan pandangan departementalisme yang dimana setiap cabang

kekuasaan berhak untuk mengintepretasi konstitusi, setiap lembaga wajib

menegakkan konstitusi walaupun melalui mekanismenya masing-masing yang telah

diberikan konstitusi itu sendiri.

Kemudian praktik pengujian konstitusional melalui kasus konkrit oleh MA

tersebut merupakan praktik yang legal, memang putusan MK bersifat “final and

binding” namun tidak berarti bahwa putusan tersebut niscaya benar. Untuk

menjunjung supremasi konstitusi, melalui prinsip departementalisme, badan-badan

pemerintahan yang lain, termasuk MA dalam menyikapi peraturan perundang-

undangan dapat melakukan penafsiran konstitusi dengan mengesampingkan peraturan

yang bertentangan dengan konstitusi46

.

46

Titon Slamet Kurnia, “Peradilan Konstitusional Oleh Mahkamah Agung Melalui Mekanisme

Pengujian Konkret”, Jurnal Konstitusi. Vol.16. No. 1, Maret 2019, Hal. 76

Page 35: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

C. Kelemahan Mekanisme Oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia

Seperti yang sudah di singgung sebelumnya, dalam kekuasaan Yudikatif di

Indonesia memiliki 2 lembaga, yaitu MA dan MK, dikarenakan berbeda lembaga dan

berbeda wewenangnya, maka berbeda pula jenis putusan dan pengaruh yang akan

dikeluarkan serta diberikan MA dan MK terkhusus sehubungan dengan kewenangan

hak menguji yang dimiliki kedua lembaga tersebut. kewenangan dalam melakukan

pengujian konstitusional memang dimiliki MK yang dalam pelaksanaannya

melakukan pengujian konstitusional terutama atas norma norma bersifat abstrak, yang

dimaksud abstrak ialah norma-norma yang bersifat umum mengandung kurang atau

lebih aturan-aturan abstrak yang ditujukan kepada subjek hukum secara umum

misalnya dalam bentuk Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, ataupun peraturan

perundang-undangan lainnya47

dengan jenis putusan erga omnes, dan memberikan

akibat “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, yang menandakan Undang-

Undang tersebut dari muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-Undang

bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan mengikat, serta berlaku

untuk umum48

.

Berbeda dengan MK, model pengujian yang dilakukan MA tidak bersifat

institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam

perkara lain yang sedang diperiksa di pengadilan, atau bisa dikatakan melalui kasus

47

Jimly Asshiddiqie 17, Op.Cit, Hal. 52. 48

Fatmawati, Op.Cit, Hal.103.

Page 36: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

konkrit dalam pengujiannya49

, MA mengeluarkan jenis putusan Inter Parties, dan

memberikan akibat “tidak sah” terhadap suatu Undang-Undang melalui kasus

konkrit, yang berarti Undang-Undang yang inkonstitusional dinyatakan tidak berlaku

dan putusan tersebut berakibat untuk pada pihak yang berperkara saja50

. Memang

berbeda sifat putusan MA dan MK, , walau memiliki kelemahan di dalam aibat

putusan yang dikeluarkan MA tetapi kembali lagi, dalam hal menegakkan supremasi

konstitusi, menjalankan tertib hukum, merupakan kewajiban penting oleh MA untuk

menolak memakai Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi.

Jadi pada intinya seharusnya MA, tidak seharusnya menjadi corong Undang-

Undang apabila menemukan Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi

dalam kasus konkritnya, seharusnya MA dapat menolak memakai Undang-Undang

tersebut, dan mencari hukum dasarnya seperti apa, dengan melakukan intepretasi dan

mencari hukumnya ke konstitusi yang dimana di dalam konstitusi berisi basic law di

Indonesia. Memang negara Indonesia menganut sistem sentralisasi dalam sistem

pengujian konstitusionalnya, ada lembaga khusus untuk melakukan pengujian

konstitusionalnya yaitu MK, peraturan perundang-undangan pun jelas mengatur

kewenangan-kewenangan yang dimiliki MK dan MA, tetapi dalam rangka

menegakan supremasi konstitusi MA harus bisa mengambil tindakan apabila ada

peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945 yang

49

Jimly Asshiddiqie 17, Op.Cit, Hal. 48 50

Fatmawati, Op.Cit, Hal. 105

Page 37: BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang

merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dan merupakan konstitusi negara

Indonesia.