bab ii tinjauan umum tentang akta otentik, hak … 2.pdf · pernyataan dari fakta atau ... jika ada...

36
1 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA OTENTIK, HAK TANGGUNGAN DAN ROYA 2.1 Tinjauan Tentang Akta Otentik 2.1.1. Pengertian Akta Otentik Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acteatau ”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Akta menurut Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 1 Menurut subekti, akta berbeda dengan surat, yaitu suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. 2 Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akta, adalah: 1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling) 2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada pembuktian sesuatu. 3 Pada Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 dijelaskan pengertian tentang akta yaitu sebagai berikut: 1 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya ditulis Sudikno Mertokusumo II), hlm.149 2 Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm.25 3 Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, 1993, hal 26

Upload: lyhanh

Post on 24-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA OTENTIK, HAK TANGGUNGAN

DAN ROYA

2.1 Tinjauan Tentang Akta Otentik

2.1.1. Pengertian Akta Otentik

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau

”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Akta menurut

Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang diberi tanda tangan yang memuat

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.1 Menurut subekti, akta berbeda

dengan surat, yaitu suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk

dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.2 Berdasarkan pendapat

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akta, adalah:

1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling)

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti

perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada

pembuktian sesuatu.3

Pada Pasal 165 Staatsblad Tahun 1941 Nomor 84 dijelaskan pengertian

tentang akta yaitu sebagai berikut:

1Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta

(selanjutnya ditulis Sudikno Mertokusumo II), hlm.149 2Subekti, 2005, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, hlm.25

3Victor M.Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam pembuktian dan

Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, 1993, hal 26

42

Akta adalah surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai yang

berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah

pihak dan ahli warisnya maupun berkaitan dengan pihak lainnya sebagai

hubungan hukum, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai

pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.

Akta mempunyai 2 (dua) fungsi penting yaitu akta sebagai fungsi formal

yang mempunyai arti bahwa suatau perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap

apabila di buat suatu akta. Fungsi alat bukti yaitu akta sebagai alat pembuktian

dimana dibuatnya akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu

perjanjian di tujukan untuk pembuktian di kemudian hari.4

2.1.2. Jenis akta

Akta adalah suatu surat yang ditandatangani, memuat keterangan tentang

kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu perjanjian. Pasal

1867 KUH Perdata menyatakan:

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik

maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terdapat dua macam akta yaitu akta

otentik dan akta di bawah tangan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.1.2.1. Akta Otentik

Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang

untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik

dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang

dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan, akta otentik

terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang

4Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta

(selanjutnya ditulis Sudikno Mertokusumo III), hlm.121-122

43

dilakukannya dan dilihat di hadapannya. Dalam Pasal 165 HIR dan Pasal 285

Rbg, akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan

para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang

tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi

yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan dengan perihal pada akta

itu. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah Notaris, Panitera, Jurusita,

Pegawai Pencatat Sipil, Hakim dan sebagainya.

Akta otentik menurut ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata) yaitu ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Menurut R. Soergondo, akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan

dalam bentuk hukum, oleh atau dihadapan pejabat umum, yang berwenang untuk

berbuat sedemikian itu, ditempat dimana akta itu dibuat.5

Irwan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar

terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:6

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.

3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

5R.Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,hal 89

6Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola,

Surabaya, hal 148

44

Demikian pula menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:7

a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan

dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut

ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang

bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat

yang berwenang.

c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut

mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat

ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu

tulisan, nama dan kedudukan atau jabatan pejabat yang membuatnya).

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk – independence) serta tidak

memihak (onpartijdigheid – impartiality) dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah

hubungan hukum didalam bidang hukum privat.

Akta Otentik adalah produk yang dibuat oleh seorang notaris. Dari

beberapa pendapat diatas maka dapat diketahui bahwa bentuk akta yang dibuat

oleh notaris ada 2 (dua) macam yaitu:

7Herlien Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka,

Surabaya, hal 148

45

1. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau

akta pejabat (ambtelijke akte) merupakan akta yang dibuat oleh pejabat

yang diberi wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan apa yang

dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari

orang/pihak yang namanya diterangkan didalam akta tersebut. Ciri khas

dalam akta ini adalah tidak adanya komparisi dan Notaris bertanggung

jawab penuh atas pembuatan akta.

2. Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan

akta partij (partij-acteri) adalah akta yang dibuat dihadapan para pejabat

yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan dari

pihak-pihak yang berkepentingan. Ciri khas pada akta ini adalah adanya

komparisi yang menjelaskan kewenangan para pihak yang menghadap

Notaris untuk membuat akta.8

Perbedaan akta tersebut diatas sangat penting dalam kaitannya dengan

pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta, dengan demikian terhadap

kebenaran isi akta pejabat (ambtelijke akte) atau akta relaas tidak dapat digugat,

kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada akta partij

dapat digugat isinya, tanpa menuduh bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi

dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan

yang diuraikan dalam akta itu tidak benar. Pembuatan akta, baik akta relaas

maupun akta partij yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta

otentik, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan

8Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam

Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal 109

46

dari para pihak,, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka pejabat

umum tidak akan membuat akta yang dimaksud.9

2.1.2.2. Akta Dibawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani oleh

para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang

berkepentingan saja. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah tangan adalah

akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari

seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.10

Pasal 1874 KUH Perdata menyebutkan bahwa: “yang dianggap sebagai

tulisan dibawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat,

daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa

perantaraan seorang pejabat umum”. Didalam Pasal 1902 KUH Perdata

dikemukakan mengenai syarat-syarat bilamana terdapat bukti tertulis, yaitu:

a. Harus ada akta

b. Akta itu harus dibuat oleh orang terhadap siapa dilakukan tuntutan atau dari

orang yang diwakilinya

c. Akta itu harus memungkinkan kebenaran peristiwa yang bersangkutan.

Akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna

terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang

yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah

tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. Oleh

9G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Op.Cit., hlm.51-52.

10Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,

hal 125.

47

karena itu dikatakan bahwa akta dibawah tangan merupakan bukti tertulis (begin

van schriftelijk bewijs).

2.1.3. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Kekuatan pembuktian akta otentik dalam hal ini terdapat 3 (tiga) aspek

yang harus diperhatikan ketika akta dibuat, aspek-aspek ini berkaitan dengan nilai

pembuktian, yaitu11

:

1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri

untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari luar

(lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah

ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta

otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa

akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian

ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk

menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris

yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta

(mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.

Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus

dilihat apa adanya yang secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat

bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak

memenuhi syarat sebagai akta otentik, maka yang bersangkutan wajib

membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

11

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 72.

48

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris

sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus

didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian

semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke Pengadilan. Penggugat

harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan

bukan akta Notaris.

2. Formil (formele bewijskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan

fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh

pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan

prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk

membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul

(waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para

pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat,

disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan

mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus

dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran

hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran

mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,

disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan

ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang

diberikan/disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para

49

pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak

dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus

melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris.

Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus

diterima oleh siapapun.12

3. Materiil (materiele bewijskracht)

Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang

tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang

membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali

ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang

dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para

pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai

benar. Perkataan yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai

yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang

kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar

berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut

menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris

terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai

kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk / di antara para

pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

12

Ibid, hal. 73

50

Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan

harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan

yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan

Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik

untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. Dalam praktik pembuatan akta

Notaris, ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Namun

aspek-aspek tersebut harus dilihat secara keseluruhan sebagai bentuk penilaian

pembuktian atas keotentikan akta Notaris.

2.1.4. Akta Notaris sebagai Akta Otentik

Akta otentik selalu dianggap benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya

dimuka pengadilan. Pembuktian diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata.

Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata tersebut, alat bukti yang sah atau yang

diakui oleh hukum terdiri dari:13

a. Bukti tulisan;

b. Bukti dengan saksi-saksi;

c. Persangkaan-persangkaan;

d. Pengakuan;

e. Sumpah.

Alat bukti tulisan terletak pada urutan pertama karena jenis surat atau akta

memiliki peran yang sangat penting dalam perkara perdata. Pembuktian dengan

tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan

dibawah tangan. Dalam kegiatan yang berhubungan dengan bidang hukum

perdata, maka sengaja dicatatkan atau dituliskan dalam suatu surat atau akta. Hal

ini dilakukan dengan tujuan yaitu surat atau akta tersebut dapat dipergunakan

13

M.Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum

Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, Hal 157

51

sebagai alat bukti yang kuat dan sah apabila terjadi suatu sengketa antara para

pihak dikemudian hari. Berdasarkan hal tersebut maka dalam perkara perdata alat

bukti yang dianggap paling dapat diterima adalah alat bukti surat atau tulisan. Hal

ini disebabkan karena dalam hukum acara perdata yang dicari adalah kebenaran

formil, adapun yang dimaksud dengan kebenaran formil tidak lain adalah

kebenaran yang didasarkan pada apa yang dikemukakan oleh para pihak dimuka

pengadilan.

Secara khusus diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 UUJN bahwa:

“Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat

oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

undang-undang ini”. Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda

tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang

dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Untuk dapat digolongkan

dalam pengertian akta maka surat harus ditandatangani. Keharusan untuk

ditandatanganinya surat untuk dapat disebut sebagai akta berasal dari Pasal 1869

KUH Perdata14

.

Tiap-tiap akta notaris memuat catatan atau berita acara (verbaal) dari apa

yang oleh Notaris dialami atau disaksikannya, antara lain apa yang dilihatnya,

didengarnya atau dilakukannya. Apabila akta hanya memuat apa yang dialami dan

disaksikan oleh Notaris sebagai pejabat umum, maka akta tersebut disebut verbaal

akte atau akta pejabat (ambtelijke akte). Misalnya pada berita acara dari suatu

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam suatu Perseroan Terbatas (PT).

14

Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan

Etika, UII. Pers, Yogyakarta, hlm.18.

52

Selain memuat berita acara dari apa yang dialami dan disaksikan oleh Notaris,

mengandung juga apa yang diterangkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan

dikehendaki oleh mereka supaya dimasukkan dalam akta notaris untuk mendapat

kekuatan pembuktian yang kuat sebagai akta otentik. Apabila suatu akta selain

memuat catatan tentang apa yang disaksikan dan dialami, juga memuat apa yang

diperjanjikan atau ditentukan oleh para pihak yang menghadap, maka akta

tersebut disebut akta partij atau akta pihak-pihak (partij acte).

Pasal 1868 KUH Perdata merupakan sumber untuk otentisitas akta notaris,

yang juga merupakan legalitas eksistensi akta notaris. Suatu akta notaris dapat

dikatakan sebagai akta otentik apabila akta tersebut memenuhi kriteria yang

tercantum dalam Pasal 1868 KUH Perdata tersebut. Dari penjelasan pasal ini, akta

otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat

umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang

atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata, akta tersebut tidak

sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karena itu tidak

dapat diperlakukan sebagai akta otentik. Akta yang demikian mempunyai

kekuatan sebagai akta dibawah tangan dengan syarat apabila akta tersebut

ditandatangani para pihak15

.

Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta

otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Hal ini sejalan

15M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.566.

53

dengan pendapat Philipus M. Hadjon yang dikutip oleh Habib Adjie, bahwa syarat

akta otentik yaitu16

:

1. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku),

2. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.

Ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik,

yaitu sebagai berikut17

:

1. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

2. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;

3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk

itu dan ditempat dimana akta itu dibuat.

Akta yang dibuat oleh seorang Notaris disebut dengan akta notaris. Akta

notaris sebagai sebuah akta otentik mempunyai fungsi yang penting dalam

kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan akan pembuktian tertulis, berupa akta

otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan adanya

suatu kepastian hukum yang merupakan salah satu prinsip dari negara hukum.

Akta notaris itu sendiri merupakan alat pembuktian yang sempurna, terkuat dan

terpenuh sehingga selain dapat menjamin kepastian hukum, akta notaris juga

dapat menghindari terjadinya suatu sengketa dikemudian hari.

Dalam hal menuangkan suatu perbuatan, perjanjian, ketetapan dalam

bentuk akta notaris dianggap lebih baik dibandingkan dengan menuangkannya

dalam surat dibawah tangan. Hal ini meskipun akta notaris maupun akta dibawah

tangan ditandatangani diatas meterai, yang juga diperkuat oleh tanda tangan para

16

Habib Adjie I, Op.Cit., hlm.126.

17

Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arloka,

Surabaya, hlm.148.

54

saksi. Otentik itu berarti sah, harus dibuat dihadapan pejabat yang berwenang,

oleh karena Notaris itu merupakan pejabat yang berwenang dalam membuat akta,

maka akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris merupakan akta otentik atau

akta itu sah. Pasal 1870 KUH Perdata kemudian menegaskan bahwa akta otentik

memberikan suatu bukti yang sempurna (terkuat) tentang apa yang termuat

didalamnya, sepanjang berhubungan langsung dengan pokok isi akta.

Ada 2 (dua) jenis/golongan akta notaris, yaitu: akta yang dibuat oleh

(door) Notaris, biasa disebut dengan istilah akta relaas atau berita acara, akta

yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris, biasa disebut dengan istilah akta

pihak atau akta partij18

. Akta notaris dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai

akta otentik apabila akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris tersebut

telah sesuai dengan bentuk yang telah ditetapkan. Dalam hal ini bentuk akta

notaris diatur berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN yaitu sebagai berikut:

(1) Setiap Akta terdiri atas:

a. awal Akta atau kepala Akta;

b. badan Akta; dan

c. akhir atau penutup Akta.

(2) Awal Akta atau kepala Akta memuat:

a. judul Akta;

b. nomor Akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan

d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

(3) Badan Akta memuat:

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan,tempat tinggal para penghadap dan/atau orang

yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. isi Akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

18Habib Adjie I, Op.Cit., hlm.45.

55

(4) Akhir atau penutup Akta memuat:

a. uraian tentang pembacaan Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16

ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penerjemahan Akta jika ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi Akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan

Akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa

penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

(5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),

juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat

yang mengangkatnya.

Disamping telah memenuhi ketentuan Pasal 38 UUJN tersebut, suatu akta

notaris dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai akta otentik apabila akta notaris

tersebut telah sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah ditetapkan, yaitu

berdasarkan ketentuan Pasal 39 UUJN sampai dengan Pasal 53 UUJN. Pasal 39

UUJN berbunyi sebagai berikut:

(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;

dan

b. cakap melakukan perbuatan hukum.

(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh

2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan

belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum

atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas

dalam Akta.

2.2. Tinjauan Tentang Hak Tanggungan

2.2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

Hak Tanggungan menurut St. Remy Syahdeni menyatakan bahwa UUHT

memberikan definisi yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang

56

berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan.19

Sedangkan

menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah

Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu-kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap

Kreditur yang lain.20

Secara yuridis ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 UUHT

memberikan pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut:

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan

tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lain.

Dengan berlakunya UUHT maka amanah dari Pasal 51 UUPA yaitu “Hak

Tanggugan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, hak guna usaha dan hak guna

bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang”

telah terpenuhi, sehingga tidak diperlukan lagi penggunaan ketentuan-ketentuan

tentang hipotik dan creditverband. Dengan demikian hak tanggungan merupakan

satu-satunya hak jaminan atas tanah. Sejak UUHT dinyatakan berlaku, maka

19

St. Remy Sjahdeni,1999, Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan

Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Bandung, Alumni, hal. 10 20

E. Liliawati Muljono,2003, Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, Harwarindo,

Jakarta, hal. 2

57

lembaga jaminan hipotik dan credietverband sepanjang menyangkut tanah,

berakhir masa tugas serta peranannya.21

Hak Tanggungan jelas merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan,

yang meskipun tidak dinyatakan dengan tegas adalah jaminan yang lahir dari

suatu perjanjian. Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri

sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut

perjanjian pokok. Salah satu perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan

adalah Perjanjian Kredit yang menimbulkan utang yang dijamin.

Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada

suatu piutang tertentu yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau

perjanjian lain maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh piutang yang

dijamin pelunasannya. Selain itu menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT bahwa

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak

Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam

dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang

bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulakan utang tersebut” dan

Pasal 18 ayat (1) huruf a UUHT menentukan Hak Tanggungan hapus karena

hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

Hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat harus

mengandung ciri-ciri:

21

Maria S.W. Sumardjono, 1997, Kredit Perbankan Permasalahannya Dalam Kaitannya

dengan Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, Jurnal Hukum (Ius Quia Iustum), No.7

Vol. 4, hlm. 85

58

1. Memberikan kedudukan diutamakan diutamakan (droit de preference)

atau mendahulu kepada pemegangnya.

2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun berada (droit de

suite).

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas.

4. Mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya.22

Sebelum berlakunya UUHT, peraturan yang mengatur tentang

pembebanan Hak atas tanah adalah Bab XXI Buku II KUH Perdata, yang

berkaitan dengan hyphoteek dan creditverband dalam Staatsblad 1908-542

sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Kedua ketentuan tersebut

sudah tidak berlaku lagi karena tidak sesuai dengan kebutuhan perkreditan di

Indonesia. Hal-hal yang diatur dalam UUHT adalah :

1. Ketentuan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 3 UUHT);

2. Objek Hak Tanggungan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT);

3. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9

UUHT);

4. Tata Cara Cara Pemberian, Pendaftaran, Peralihan dan Hapusnya Hak

Tanggungan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 19 UUHT);

5. Eksekusi Hak Tanggungan (Pasal 20 sampai dengan Pasal 21 UUHT);

6. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 UUHT);

7. Sanksi Administrasi (Pasal 23 UUHT);

8. Ketentuan Peralihan (Pasal 24 sampai dengan Pasal 26 UUHT);

22

Maria. S.W Sumardjono, 1996, Prinsip Dasar dan Beberapa Isu Di Seputar Undang-

Undang Hak Tanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67

59

9. Ketentuan Penutup (Pasal 27 sampai dengan Pasal 31 UUHT).23

2.2.2. Asas, Subyek dan Obyek Hak Tanggungan

- Asas Hak Tanggungan

Terdapat beberapa asas-asas hukum kebendaan yang melekat atau hak

tanggungan sebagai hak kebendaan yang bersifat terbatas yang membedakan hak

tanggungan dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan utang yang lain, asas-asas

tersebut antara lain:

a. Hak tanggungan mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur

pemegang hak tanggungan

Asas ini tercermin dalam Pasal 1 angka 1 UUHT yang menyebutkan

bahwa pemegang hak tanggungan diberikan kedudukan yang diutamakan terhadap

kreditur lainnya. Yang dimaksud dengan kalimat kedudukan yang diutamakan

kepada kreditor tertentu kepada kreditor lain, hal ini tidak dijumpai dalam

ketentuan Pasal 1 maupun penjelasannya, namun kalimat tersebut dapat

diketemukan dalam penjelasan umum UUHT dinyatakan bahwa:

Jika debitur cedera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak

menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak

mendahului daripada keditor-kreditor lain. Kedudukan diutamakan

tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang

negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Selain dalam penjelasan umum UUHT ditemukan pengertian mengenai

kalimat "kedudukan yang diutamakan tertentu terhadap kreditor lain, juga dapat

ditemukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT ketentuan yang berbunyi bahwa:

23

H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta, PT Raja

Grafindo Persada, Hal 102

60

Apabila debitor cedera janji, maka berdasarkan: (a) hak pemegang Hak

Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6; atau (b) titel eksekutorial yang terdapat dalam

sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat

(2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata

cara yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan untuk

pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu

daripada kreditor-kreditor lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, walaupun kreditor tertentu lebih didahulukan

dibandingkan dengan kreditor lainnya, akan tetapi tetap mengalah kepada piutang-

piutang negara.

b. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dibagi-bagi, hal ini

sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UUHT, dinyatakan bahwa “hak Tanggungan

mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Yang

dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah

bahwa Hak Tanggungan itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah.

Pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya

sama dengan nilai masing-masing ha katas tanah yang merupakan bagian dari

objek hak tanggungan tersebut, sehingga kemudian hak tanggungan itu hanya

membebani sisa objek hak tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum

dilunasi.24

Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat

(1) untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan. Sesuai

24

Sutan Remy sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, asas-asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok

dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak

Tanggungan), Cetakan I, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 11.

61

ketentuan ayat ini apabila Hak Tanggungan itu dibebankan pada beberapa hak atas

tanah yang terdiri dari beberapa bagian yang masing-masing merupakan suatu

kesatuan yang berdiri sendiri dan dapat dinilai secara tersendiri, asas tidak dapat

dibagi-bagi ini dapat disimpangi asal hal itu diperjanjikan secara tegas dalam Akta

Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan

c. Hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada

Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada objek hak tanggungan

yaitu hak atas tanah yang telah ada. Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (2)

dinyatakan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek

Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran

Hak Tanggungan.25

Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah

yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak

tanggungan tidak dapat dilakukan pada hak-hak atas tanah yang belum ada

ataupun yang akan ada.

d. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda

yang berkaitan dengan tanah tersebut

Dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT menyatakan bahwa “hak tanggungan dapat

juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya

yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang

pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan yang bersangkutan.” Yang dapat dijadikan jaminan selain benda-

25

Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit, hal 25

62

benda yang berkaitan dengan tanah, juga benda-benda yang bukan dimiliki oleh

pemegang hak atas tanah tersebut.

e. Hak tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan

dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari

Pada Pasal 4 ayat (4) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas benda-benda

yang berkaitan dengan tanah objek hak tanggungan sekalipun benda-benda

tersebut belum ada tetapi baru akan ada di kemudian hari. Bahwa dalam

pengertian "yang baru akan ada" ialah benda-benda yang pada saat Hak

Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah)

yang dibebani Hak Tanggungan tersebut.

f. Perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Accessoir

Asas accesoir ini dijelaskan dalam poin 8 penjelasan UU Nomor 4 Tahun

1996 yang menyatakan bahwa “Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya

merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan

pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan

keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.”

Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri,

akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yang disebut perjanjian

induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian

utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin.

g. Hak tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada

63

Hak Tanggungan adalah diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan

ada berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan

bahwa:

Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa

utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu

atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan

diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau

perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang

bersangkutan.

h. Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang

Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Hal ini sesuai

ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa “Hak Tanggungan dapat

diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk

satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.” Peraturan ini

memberikan kesempatan kepada pemberi hak tanggungan untuk membebankan

hak tanggungan lebih dari satu pada satu objek hak tanggungan dengan memenuhi

persyaratan kredit dari pemegang hak tanggungan maupun kreditur lainnya.

i. Hak tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek hak

tanggungan itu berada

Hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu

beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini,

pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan

siapa pun benda itu berpindah. Asas ini didasai oleh Pasal 7 UUHT yang

menyatakan bahwa „hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan

siapapun objek tersebut berada.”

64

j. Hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan

Hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Tujuan dari hak tanggungan

adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi

pemegang hak tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor-kreditor lain.

apabila hak tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan

mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditor

pemegang Hak Tanggungan.

k. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu

Asas yang berlaku terhadap Hak Tanggungan yang hanya dapat

dibebankan hanya atas tanah tertentu. Dalam Pasal 8 UUHT menyatakan bahwa

“Pemberi Hak Tanggungan adalah orang-perseorangan atau badan hukum yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak

Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk meletakkan perbuatan

hukum terhadap objek Hak Tanggungan, harus ada pada pemberi Hak

Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.” Selanjutnya

dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT menyatakan bahwa Di dalam APHT wajib

dicantumkan uraian jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin

untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila

objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya.

l. Hak tanggungan wajib didaftarkan

Pendaftaran yang dilakukan merupakan pemenuhan syarat publisitas,

sebagaimana disyaratkan dalam hukum kebendaan. Hak tanggungan berlaku asaa

publisitas atau asas keterbukaan sesuai ketentuan Pasal 13 UUHT “bahwa

65

pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak

Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang

bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan

membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah

hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan

tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.”

m. Hak tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu

Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT itu bersifat

fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan

atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak

limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang

telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.

n. Hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh

pemegang hak tanggungan apabila cedera janji

Pasal 12 UUHT menyatakan bahwa ketentuan ini diadakan untuk

melindungi kepentingan debitor dan pemberi hak tanggungan lainnya, terutama

jika nilai objek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin.

Pemegang Hak Tanggungan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik

objek Hak Tanggungan karena debitor cedera janji. Walaupun demikian tidaklah

dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli objek Hak

Tanggungan asalkan melalui prosedur yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.

66

Larangan pencantuman janji dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam

kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditor (bank) karena dalam keadaan

sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan

yang berat dan merugi kannya.

o. Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti

Asas hak tanggungan ini berkaitan dengan mencegah terjadinya cedera

janji yang dilakukan pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, apabila terjadi

cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan prioritas pertama

menjual objek Hak Tanggungan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 UUHT

dinyatakan bahwa “Apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan

sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari

hasil penjualan tersebut.” Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas

kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan

yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan.

Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak

Tanggungan bahwa apabila debitor cedera janji, pemegang Hak Tanggungan

berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa

memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya

mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada

kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak

Tanggungan.

- Subyek Hak Tanggungan

67

Subyek hak tanggungan terdiri dari pemberi dan penerima

(pemegang) hak. Pada Pasal 8 UUHT menyebutkan pemberi hak tanggungan

dapat berupa orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai

kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak

tanggungan yang harus ada pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan.

Sedangkan pemegang hak tanggungan juga dapat berupa orang-perorang

atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur).

Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak

tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan

untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan

ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak

tanggungan, Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat

didaftarkannya hak tanggungan yang bersangkutan.

- Objek Hak Tanggungan

Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) jenis hak atas tanah yang dapat

dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu :

a. Hak Milik;

b. Hak Guna Usaha;

c. Hak Guna Bangunan;

d. Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas Negara;

e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang

telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang

68

pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta

pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.26

Disamping itu hak-hak atas tanah berupa hak pakai atas tanah Negara

yang telah terdaftar dan menurut sifatnya dapat dialihkan dapat pula dibebani hak

tanggungan. Hak tanggungan juga dapat dibebankan pada hak atas tanah

berikut bangunannya, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakan milik

pemegang hak yang pembebanannya dinyatakan dengan tegas.Satu objek hak

tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan untuk menjamin

pelunasan lebih dari satu hutang.

1.2.3. Akibat Hukum Hak Tanggungan

Dalam Pasal 10 UUHT dijelaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan

didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan

pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak

terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian

lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan

dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2) UU Hak Tanggungan). Di dalam

APHT wajib dicantumkan:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan

apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,

26

H.Salim.HS, Ibid, hal 105

69

baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di

Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan,

kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan

dianggap sebagai domisili yang dipilih;

c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);

d. nilai tanggungan;

e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.

APHT yang telah ditandatangani tersebut beserta warkah lain yang

diperlukan akan dikirimkan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan guna pendaftaran

pemberian hak tanggungan (Pasal 13 ayat (2) jo. Pasal 13 ayat (1) UU Hak

Tanggungan). Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan

dengan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku

tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan

tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 13 ayat (3) UU

Hak Tanggungan).

Pendaftaran hak tanggungan ini diperlukan karena hak tanggungan lahir

pada tanggal buku tanah hak tanggungan (Pasal 13 ayat (5) UU Hak

Tanggungan). Yang mana tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari

ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi

pendaftarannya (Pasal 13 ayat (4) UU Hak Tanggungan). Oleh karena itu, jika

atas jaminan tersebut tidak dibuatkan APHT, maka objek jaminan tersebut tidak

dapat didaftarkan sebagai objek jaminan hak tanggungan. Jika tidak didaftarkan,

70

maka hak tanggungan tersebut tidak pernah lahir/tidak pernah ada. Jika jaminan

hak tanggungan tersebut tidak pernah lahir, maka kreditur tidak berkedudukan

sebagai kreditur yang didahulukan (kreditur separatis) untuk mendapatkan

pelunasan utang debitur.

Berbeda halnya jika APHT tersebut dibuat dan didaftarkan ke Kantor

Pertanahan. Jika hak tanggungan tersebut telah didaftarkan, maka apabila pemberi

hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang

melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini

(Pasal 21 UU Hak Tanggungan).

Selain akibat hukum seperti diatas akibat hukum hak tanggungan dalam

hal ini pemberian hak tanggungan yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah

sebagai debitur terhadap kreditur dalam suatu perjanjian kredit adalah terhadap

kedudukan atau keberadaan daripada hak milik atas tanah yang dijadikan

anggunan tanah tersebut, dalam hal demikian keberadaan hak milik atas tanah

yang dimiliki oleh debitur secara yuridis tergredadasi akibat terbebani sesuatu hak

yakni hak tanggungan. Tergredadasi yang dimaksud adalah keberadaan hak dari

yang mempunyai hak tidak lagi dapat melakukan perbuatan hukum terhadap

tanahnya seperti sebelum terjadinya pembebanan hak tanggungan. Yaitu adalah

pemegang hak tidak lagi mempunyai hak sepenuhnya atas tanah yang dijadikan

jaminan tersebut sebagaimana yang diberikan dalam pasal 22 UUPA bahwa hak

milik adalah hak turun temurun dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah.

71

Ketentuan pasal diatas secara normative memberikan hak terkuat terpenuh

turun temurun terhadap pemegang hak dalam artian pemegang hak dapat

melakukan tindakan perbuatan hukum atas tanahnya tanpa boleh dihalangi atau

dibatasi oleh sebab apapun juga. Dalam hal suatu tanah hak milik yang

dibebankan suatu tanggungan pemegang hak tidak lagi mempunyai kewenangan

yang penuh sebagaiman dimaksud ketentuan diatas, karena pemegang hak tidak

dapat lagi mekakukan perbuatan hukum atas tanahnya baik mengadaikan atau

menjaminkan kembali, mengalihkan hak nya kepada pihak lain dalam hal jual

beli, hibah, warisan, wasiat, lelang dan bahkan pemegang hak tidak lagi

mempunyai hak sepenuhnya untuk memperbaiki bangunan diatas tanah tersebut

atau menyewakan kepada pihak lain tanpa ijin dari kreditur.

1.3. Tinjauan Tentang Roya

2.3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Roya

Istilah roya dalam ketentuan perundang-undangan mengenai tanah dapat

ditemukan dalam penjelasan umum UUHT :

Pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan

catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya

ditiadakan. Pencatatan serupa, yang disebut pencoretan atau lebih

dikenal sebagai "roya", dilakukan juga pada buku tanah dan

sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat

hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan

kembali kepada pemegang haknya.

72

Berdasarkan penjelasan umum UU Hak Tanggungan tersebut, dapat

diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah roya adalah pencoretan hak

tanggungan pada Buku Tanah Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan karena Hak

Tanggungan telah hapus dengan cara sebagaimana diatur Pasal 18 UUHT.

Mengenai pencoretan Hak Tanggungan (roya) ini, Kartini Muljadi dan Gunawan

Widjaja berpendapat bahwa Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat

dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah

dikeluarkan. Dalam hal Sertifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal

tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan.

Pada dasarnya pencoretan dapat dilakukan oleh debitor sendiri,

sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU

Hak Tanggungan. Dengan demikian jelaslah bahwa pencoretan Hak Tanggungan

adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan (debitor)

setelah Hak Tanggungan yang diberikan olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal

18 UU Hak Tanggungan.

Untuk keperluan pencoretan Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan

diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang diperbolehkan

(termasuk permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri), dan

karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang

membuktikan telah hapusnya Hak Tanggungan tersebut. Selain itu, pelaksanaan

roya ini dapat dilakukan untuk sebagian utang yang dijaminkan yang disebut

dengan roya partial.

73

Mengutip artikel APHT (Akta Pemberian hak Tanggungan),dasar adanya

roya partial diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan. Praktik

pelaksanaan roya partial mengacu antara lain pada Surat Edaran Badan

Pertanahan Nasional Nomor 600-1610 Tahun 1995 tentang Pelaksana Roya

Partial (Sebagian), tertanggal 16 Juni 1995 (“Surat Edaran”). Roya partial

merupakan kelembagaan hukum baru, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,

yang memungkinkan penyelesaian secara praktis terhadap bagian benda jaminan

apabila telah dilunasi sebagian, sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan

lainnya.

2.3.2. Akibat Hukum Roya

Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18,

Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah

hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat

Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak

Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.

Sejalan dengan roya di atas, maka sebelum dilakukannya pencoretan,

harus didahului dengan mengajukan pemohonan oleh para pihak kepada Kantor

Pertanahan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dinyatakan bahwa:

Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak

yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah

diberikan catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang

yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau

pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena

74

piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan telah lunas atau

karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) di atas, bagaimana

kalau ada pihak yang berkepentingan tidak mau melakukan pencoretan terhadap

Hak Tanggungan. Permasalahan ini dijawab oleh Pasal 22 ayat (5), (6), dan ayat

(7) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut. Apabila kreditor tidak bersedia

memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), pihak yang

berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut

kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak

Tanggungan yang bersangkutan didaftar.

Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang

sedang diperiksa oleh pengadilan lain, permohonan tersebut harus diajukan

kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan

(Pasal 6). Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah

Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan

kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau

putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (ayat (7)).

2.3.3. Tata Cara Roya

Roya dalam UUHT ditemukan dalam penjelasan umum butir 8 dan

penjelasan Pasal 22 ayat (1) undang-undang ini. Pengaturan tata cara pencoretan

hak tanggungan terdapat dalam Pasal 22 UU Hak Tanggungan yang berbunyi

sebagai berikut:

75

(1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18,

Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah

hak atas tanah dan sertifikatnya.

(2) Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang

bersangkutan ditarik dan bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan

tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.

(3) Apabila sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu

sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada

buku tanah Hak Tanggungan.

(4) Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan

oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan

yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena

piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau

pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena

piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau

karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.

(5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan

permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang

daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar.

(6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang

sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus

76

diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang

bersangkutan.

(7) Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah

Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan

kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau

putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

(8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan

menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7).