bab ii tinjauan pustaka - universitas diponegoro
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan
berat.1, 2, 6
Tetanus dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot
yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot
menyeluruh tanpa penyebab lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan
sebelumnya.4
2.2 Etiologi Tetanus
C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah dan
kotoran binatang.2, 6
Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora, memberikan
gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini bisa tahan
beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani merupakan bakteri yang motil karena
memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan
memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan
terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani
dapat bertahan dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave
pada suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau
bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin. 2
Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas “drumstick” pada bagian bakteri
yang berbentuk bulat tersebut spora dari Clostridium tetani dibentuk. (dengan
pembesaran mikroskop 3000x).2
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika menempati
tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan melepaskan toksin tetanus.
Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat mengakibatkan penyakit tetanus
(dosis letal minimum adalah 2,5 ng/kg).2
2.3 Epidemiologi Tetanus
Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah kesehatan
publik yang sangat besar.21
Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia,
dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka kematian 300.000-
500.000 per tahun.2
Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan
penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut.4 Angka
mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan ventilator), membuktikan
bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat berguna dalam efektivitas
penanganan penyakit tetanus.4, 5, 9
Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53%.5
Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin buruknya
sistem kardiovaskuler paska tetanus ( 40%), pneumonia (15%), dan kegagalan
pernapasan akut (45%).20
Health Care Associated Pneumonia (HCAP) dalam beberapa
penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi, penelitian terbaru oleh
Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang tidak memberi perbedaan yang
bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus.22
Angka mortalitas
penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi bagi kelompok yang mempunyai risiko
tinggi terhadap kematian akibat penyakit ini. Infark miokard menjadi konsekuensi dari
disfungsi saraf otonom dan berperan besar terhadap angka mortalitas penyakit tetanus di
populasi usia lanjut.4, 20
2.4 Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk.2 Cara masuknya spora ini
melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet,
otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka
tersebut hampir tak terlihat.6
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob
sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda–benda
asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian berkembang.2 Kuman ini
tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak berhubungan dengan pathogenesis
penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin
yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.2, 6
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat
suasana anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan
memproduksi toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan
ditransportasikan secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut
bekerja. 2
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan neurotransmitter inhibisi dan secara
efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi khususnya toksin tersebut
menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik
menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi
dari sistem saraf motorik.2
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat,
sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat
yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat
menyebabkan komplikasi kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf
sudah tidak dapat dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.4
2.5 Gambaran Klinis Tetanus
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat atau
dapat lebih lama.2 Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya.
6 Terdapat
hubungan antara jarak tempat invasi C. tetani dengan susunan saraf pusat dan interval
antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi
makin panjang.4 Secara klinis tetanus ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local,
cephalic tetanus, dan tetanus neonatal
2.5.1 Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.6 Terjadinya
bentuk ini berhubungan dengan jalan masuk kuman.5 Biasanya dimulai dengan trismus
dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan opistotonus.23
Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke
ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka,
sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw.7 Selain kekakuan otot masseter, pada muka
juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan
yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke
bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang
menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala
kuduk kaku sampai opisthotonus.2, 19, 24
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara
spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi).20
Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam
posisi ekstensi.4
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot
laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan
sianosis.25
Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung kemih.4 Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga
harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa
takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia
jantung.2
2.5.2 Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada
bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka
kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.6
2.5.3 Cephalic Tetanus
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat
tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI,
dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa
hari bahkan berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Pada umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek.2, 6
2.5.4 Tetanus Neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak
yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama
kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta
menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang
tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai
dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.2
2.6 Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis serta
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C. tetani pada luka, hanya merupakan penunjang
diagnosis. Adanya trismus, atau risus sardonikus atau spasme otot yang nyeri serta
biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.2
Diagnosis tetanus dapat membingungkan, dan kelangsungan hidup tergantung
pada kecepatan pengobatan dengan antitoksin dan perawatan suportif yang memadai.
2.7 Komplikasi Tetanus
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas
sehingga pada tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator.2 Sekitar
kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya.26
Kejang yang
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang
panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.2, 4
Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang berkepanjangan.
Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di rumah sakit,
dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien
usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus,
ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi.27-30
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi
dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.2 Walaupun
demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan.31
Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.32
2.8 Scoring System untuk Mengetahui Probabilitas Kematian pada Pasien Tetanus
Seiring dengan majunya ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, perhatian
terhadap penyakit tropis dan infeksi semakin besar. Penyakit tetanus merupakan penyakit
yang telah banyak diteliti oleh para ahli di dunia dan memunculkan hasil-hasil penelitian
yang penting dalam membantu manajemen klinis. Salah satunya adalah scoring system
yang digunakan untuk memprediksi kematian pada penderita tetanus.
Scoring system yang sudah mendunia dan sering digunakan oleh klinisi dalam
penanganan tetanus adalah Phillips score (1967), Ablett classification (1967), Dakar
score (1975).15-17
Tentunya masing-masing scoring system mempunyai variabel-variabel
yang berbeda dalam penentuan outcome klinis. Variabel inilah yang dapat menjadi
faktor-faktor risiko yang dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus.
Phillips score menggunakan variabel masa inkubasi, lokasi infeksi, riwayat
proteksi, dan complicating factors menurut ASA 1963 sebagai faktor-faktor risiko yang
dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus.15
Phillips score menghasilkan
akumulasi nilai yang nantinya dapat diprediksi kematian pada penderita tetanus. Jika
akumulasi nilai ≥14, maka penderita tetanus mengarah ke severe tetanus.5 Jika sudah
didapatkan fakta severe tetanus, maka semakin besar probabilitas kematiannya karena
menggambarkan prognosis penyakit yang memburuk.
Maksud dari riwayat proteksi adalah status imunisasi penderita. Jika belum
terproteksi, peluang terjadi kematian pada penderita tetanus semakin besar. Complicating
factors menurut ASA 1963 mengindikasikan kejadian pasien sebelum terkena penyakit
tetanus.33
Penilaiannya dapat berupa baik-baik saja, sudah ada penyakit ringan
sebelumnya, sudah ada penyakit sistemik, dan sudah ada penyakit yang mengancam
sebelumnya. Penilaian lebih lengkapnya bisa dilihat di tabel 2
Tabel 2. Phillips Score15
Factors Score
Dakar score menggunakan variabel masa inkubasi, periode onset, jalan masuk
kuman, adanya spasme, suhu badan, dan takikardia sebagai faktor-faktor risiko yang
dapat berpengaruh pada kematian penderita tetanus.17
Dakar score menghasilkan
akumulasi nilai yang nantinya dapat diprediksi kematian pada penderita tetanus. Jika
akumulasi nilai ≥3, maka penderita tetanus mengarah ke severe tetanus.5 Jika sudah
didapatkan fakta severe tetanus, maka semakin besar probabilitas kematiannya karena
menggambarkan prognosis penyakit yang memburuk.
Maksud dari masa inkubasi adalah waktu saat terjadi infeksi sampai terjadi gejala
awal (trismus). Tentunya semakin pendek masa inkubasinya, semakin buruk
prognosisnya. Periode onset adalah waktu saat gejala awal (trismus) sampai terjadinya
Incubation Time
<48 hours
2 – 5 days
5 – 10 days
10 – 14 days
>14 days
Site of Infection
Internal and umbilical
Head, neck, and body wall
Peripheral proximal
Peripheral distal
Unknown
State of Protection
None
Possibly some or maternal immunization in neonatal patients
Protected >10 years ago
Protected <10 years ago
Complete protection
Complicating Factors
Injury or life threatening illness
Severe injury or illness not immediately life threatening
Injury or non life threatening illness
Minor injury or illness
ASA Grade 1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
10
8
4
2
0
10
8
4
2
0
Total Score
kejang umum. Spasme artinya kejang, dapat berupa kejang umum maupun khusus. Jalan
masuk kuman meliputi lokasi yang dinilai dapat menjadi tempat masuk kuman dapat
berupa melewati suntikan atau injeksi dan lokasi lainnya. Tentunya interpretasi
keparahan akan berbeda jika lokasi jalan kumannya berbeda. Penilaian lebih lengkapnya
dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3. Dakar Score17
A
ble
tt
membagi tetanus menurut derajat keparahannya sehingga dapat diklasifikasikan menjadi
4, yaitu ringan (derajat 1), sedang (derajat 2), berat(derajat 3), dan sangat berat (derajat
4).16
Variabel yang digunakan merupakan gejala dan tanda klinis yang dialami pasien.
Semakin berat trismusnya, semakin jelek prognosisnya. Kekakuan disertai spasme yang
berlangsung terus menerus dan disfagia yang berat mengindikasikan tetanus berat. Selain
itu, frekuensi napas >40 kali/menit dan frekuensi nadi > 120 kali/menit juga
mengindikasikan ke arah tetanus yang berat. Semua gejala tetanus derajat 3 disertai
gangguan otonom mengindikasikan tetanus sangat berat.2, 16
Penilaian lengkap kriteria
Ablett bisa dilihat di tabel 4.
Prognostic Factor Score 1 Score 0
Incubation Period
Period of Onset
Entry Site
Spasms
Fever
Tachycardia
<7 days
<2 days
Umbilicus, burn, uterine,
open fractures, surgical
wound, IM injection
Present
>38,4°C
Adult >120 beats/min
Neonate >150 beats/min
≥7 days or unknown
≥2 days
All others plus unknown
Absent
<38,4°C
Adult <120 beats/min
Neonate <150 beats/min
Total Score
Tabel 4. Kriteria Ablett16
Kriteria Ablett menunjukan kriteria kualitatif tanpa menggunakan akumulasi nilai
yang bersifat kuantitatif. Kriteria ablett banyak dipakai oleh klinisi yang ingin menilai
prognosis penyakit dari pasiennya karena variabel yang digunakan adalah gejala dan
tanda klinis tanpa data demografik, seperti trismus, frekuensi napas, dll. Anggapan
peneliti di penelitian ini, scoring system ini tidak cocok dijadikan dasar dalam penelitian
prognosis kematian karena tidak menyertakan akumulasi nilai sebagai hasil dari
penilaian. Di samping itu, scoring system lain sudah menyertakan akumulasi nilai dari
masing-masing variabel disertai interpretasinya dan hal itu sangat memudahkan peneliti.
Dakar score dan Phillips score lebih banyak digunakan untuk penelitian tentang tetanus.5
Namun, Phillips score dan Dakar score memiliki kekurangan yang cukup masif.
Keduanya mempunyai perbedaan yang mencolok dalam hal spesifisitas dan sensitivitas.
Tentunya setiap metode mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Phillips
score mempunyai kelebihan dalam memprediksi kematian penderita tetanus dengan
Grade Clinical features
I (mild)
II (moderate)
III (severe)
IV (very severe)
Mild trismus, general spasticity, no respiratory
embarrassment, no spasms, no dysphagia
Moderate trismus, rigidity, short spasms, mild
dysphagia, moderate respiratory involvement,
respiratory rate >30, mild dysphagia
Severe trismus, generalized spasticity, prolonged
spasms, respiratory rate >40, severe dysphagia, apneic
spells, pulse >30
Grade 3 plus severe autonomic disturbances involving
the cardiovascular system
tingginya sensitivitas scoring system tersebut, tetapi lemah dalam memprediksi survivors
atau orang yang selamat dari penyakit tetanus. Sedangkan Dakar score mempunyai
kelebihan dalam memprediksi survivors dengan tingginya spesifisitas scoring system
tersebut, tetapi lemah dalam memprediksi kematian penderita tetanus. Penelitian yang
dilakukan oleh Thwaites tahun 2006 di Vietnam mengemukakan hal tersebut. Phillips
score mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas hanya 20%, sedangkan Dakar score
mempunyai sensitivitas hanya 13 % dan spesifisitas mencapai 98%.5
Pada penelitian studi prospektif yang dilakukan Thwaites tahun 2006, beliau
menemukan scoring system baru yang mengevaluasi kedua scoring system tersebut.
Hasilnya adalah penemuan scoring system yang dinamakan Tetanus Severity Score
(TSS). Variabel yang ada di TSS terlihat menggabungkan variabel yang sudah tertera di
Dakar score dan Phillips score, dan menambah beberapa variabel berdasarkan penelitian
yang dilakukan timnya. Faktanya kedua scoring system tersebut telah digunakan oleh
para ahli di dunia tanpa validasi data selama lebih dari 40 tahun.5 Akhirnya di tahun
2006, Thwaites dan timnya berhasil mengevaluasi scoring system tersebut lewat
penelitian yang dilakukan oleh timnya bersama beberapa peneliti setempat di Vietnam.
Hasil analisis multivariat Tetanus Severity Score, didapatkan beberapa variabel
yang menentukan probabilitas kematian pada penderita tetanus. Terdapat 9 variabel yang
akan diuji berdasarkan studi yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Variabel
tersebut adalah usia, waktu dari gejala awal sampai masuk RS, kesulitan bernapas saat
masuk RS, co-existing medical conditions (berdasarkan kriteria ASA 1963)33
, jalan
masuk kuman, tekanan darah sistolik tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit, heart
rate tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit, heart rate terendah saat hari pertama di
Rumah Sakit, dan suhu tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit. Penilaian scoring
system tersebut dapat dilihat di tabel 5 5
Hal yang menarik di TSS ini adalah penilaian tekanan darah sistolik yang tidak
dinilai di Dakar score maupun Phillips score. Penilaian variabel ini begitu penting,
mengingat pada tetanus yang sangat berat terjadi ketidakstabilan otonom dan ditandai
dengan tekanan darah yang tinggi di waktu tertentu. Apabila tidak ditangani di Rumah
Sakit berpotensi besar ke arah kematian penderita tetanus. Selain itu penilaian takikardia
bisa dilihat di variabel heart rate tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit dan heart
rate terendah saat hari pertama di Rumah Sakit. Hal itu menunjukan bahwa manajemen
takikardia harus diperhatikan.
Tabel 5. TetanusSeverity Score (TSS)5
Factors Score
Age (year)
≤70
71-80
>80
Time from first symptom to admission (days)
≤2
3-5
>5
Difficulty breathing on admission
No
Yes
Co-existing medical conditions
Fit and well
Minor illness or injury
Moderately severe illness
Severe illness not immediately life threatening
Immediately life threatening illness
Entry Site
Internal or injection
Other (including unknown)
0
5
10
0
-5
-6
0
4
0
3
5
5
9
7
0
Sebagaimana Phillips score, TSS menyertakan derajat keparahan penyakit
menurut ASA 1963.5 Selain itu suhu dan jalan masuk kuman juga masuk ke variabel
scoring system tersebut. Adanya riwayat sesak napas saat masuk RS mungkin sangat
berpengaruh karena rata-rata penderita tetanus yang meninggal karena komplikasi sistem
pernapasan.
Hal yang patut dipertimbangkan untuk menggunakan scoring system ini adalah
penilaian dari masing-masing kriteria dapat ditentukan pada hari pertama masuk RS.5
Artinya, scoring system ini sangat berguna dalam membantu manajemen klinis.
Harapannya klinisi dengan memahami scoring system ini, dapat waspada dan cepat
tanggap dengan tanda dan gejala klinis serta data demografi yang berpengaruh sehingga
jumlah kematian penderita tetanus dapat diminimalisir dengan manajemen klinis yang
tepat.
Highest systolic blood pressure recorded during first day in
hospital (mmHg)
≤130
131-140
>140
Highest heart rate recorded during first day in hospital (bpm)
≤100
101-110
111-120
>120
Lowest heart rate recorded during first day in hospital (bpm)
≤110
>110
Highest temperature recorded during first day in hospital (0C)
≤38.5
38.6-39
39.1-40
>40
0
2
4
0
1
2
4
0
-2
0
4
6
8
Interpretasi dari scoring system tersebut adalah jika ≥8 maka prognosis mortalitas
dapat diprediksi, demikian pula dengan sebaliknya.5
Alasan peneliti memilih TSS disamping Dakar score dan Phillips score adalah
spesifisitas dan sensitivitasnya. TSS memiliki sensitivitas 77%, spesifisitas 82%. Hal ini
sangat penting mengingat TSS mampu memprediksi jumlah kematian penderita tetanus
maupun pasien yang mampu hidup setelah terinfeksi tetanus sama baiknya dan tidak ada
perbedaan yang mencolok antara spesifisitas dan sensitivitasnya. Indikasi ini yang dipilih
oleh peneliti untuk meminimalisasi hasil yang bias terhadap hasil sebenarnya.
2.9 Faktor – Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kematian Pasien Tetanus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Blegur et al (2012) pada kurun waktu
Januari 2007 sampai April 2012 di RSUP Dr. Kariadi Semarang, ada korelasi signifikan
antara sepsis, komplikasi pernapasan & kardiovaskuler dengan angka mortalitas.
Kejadian kematian penderita tetanus pada waktu tersebut di RSUP dr. Kariadi Semarang
adalah 38,1% dengan komplikasi sistem pernapasan dan kardiovaskuler sebagai faktor
utama.12
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Thwaites et al (2006) di Vietnam,
didapatkan faktor-faktor prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian
pada penderita tetanus. Variabel tersebut adalah usia, jalan masuk kuman, kesulitan
bernapas, waktu saat gejala awal sampai masuk RS, co-existing medical conditions ASA
1963, tekanan darah sistolik, heart rate, dan suhu badan.5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Phillips pada tahun 1967, didapatkan
faktor-faktor prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian pada
penderita tetanus. Variabel tersebut adalah masa inkubasi, lokasi infeksi, riwayat proteksi
(imunisasi), dan complicating factors ASA 1963.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vakil et al (1975) didapatkan faktor-faktor
prognosis yang dijadikan variabel dalam memprediksi kematian pada penderita tetanus.
Variabel tersebut adalah masa inkubasi, periode onset, jalan masuk kuman, spasme,
adanya demam, dan takikardia.
Berdasarkan Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Perhimpunan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), faktor-faktor sebagai indikator prognosis mortalitas
meliputi : Usia lebih dari 70 tahun; periode inkubasi <7 hari; waktu saat gejala awal
muncul sampai penanganan di Rumah Sakit; adanya luka bakar, luka bekas operasi yang
kotor; periode onset < 48 jam; frekuensi jantung > 140x/menit; tekanan darah sistolik >
140 mmHg; spasme yang berat; temperatur badan >38,50 C.
2
Pada penelitian studi retrospektif oleh Greco et al (2003), hasil analisis
multivariat menunjukan faktor-faktor risiko kematian penderita tetanus adalah usia > 51
tahun, time of illness < 48 jam, masa inkubasi < 168 jam, rigiditas leher, spasme,
opistotonus, suhu badan > 37,7 C, denyut nadi >111 bpm, hiperaktivitas simpatis, dan
pneumonia.19
Pada penelitian studi case series oleh Gibson et al (2009) menunjukan kematian
pasien tetanus disebabkan gagal napas, Cardiovascular collapse, dan ketidakstabilan
otonom.20
Pada penelitian studi retrospektif oleh Onwuchekwa et al (2009), hasil analisis
multivariat menunjukan faktor-faktor risiko kematian penderita tetanus adalah usia lebih
dari 40 tahun, masa inkubasi < 7 hari, masa hospitalisasi yang singkat, dan dosis
diazepam di atas rata-rata.9
Pada penelitian studi retrospektif oleh Patel et al (1999), hasil analisis multivariat
menunjukkan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus
adalah trismus, spasme, masa inkubasi <7 hari, interval antara trismus dan spasme <48
jam, suhu rektal > 38 C selama hari pertama di rumah sakit.34
Pada penelitian studi retrospektif oleh Andrade et al (1979), hasil analisis
multivariat menunjukan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita
tetanus adalah hipertonia umum.35
Pada penelitian studi retrospektif oleh Miranda-Filho et al (2000), hasil analisis
multivariat menunjukan faktor-faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita
tetanus adalah rigiditas leher.19
Pada penelitian studi retrospektif oleh Hamarstrom et al (1998) di Swedia, hasil
analisis multivariat menunjukan salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada kematian
penderita tetanus adalah keberadaan penyakit hematologi. Hal ini dibuktikan dengan
perbedaan yang signifikan pada tingkat seronegatif terhadap toksin tetanus pada pasien
penyakit hematologi maligna. Hasilnya 36 % pasien Acute Myelogenous Leukemia
(AML), 56% pasien Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL), 54% pasien limfoma, 31%
pasien myeloma, 18% pasien Chronic Myelogenous Leukemia (CML) tidak terimun
dengan baik terhadap kuman penyebab tetanus. 36
Pada penelitian case report oleh Kasher et al (2007), menunjukan salah satu
faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah riwayat operasi
gastrointestinal, salah satunya adalah tindakan haemorrhoid banding.37
Praktisi kesehatan
harus sadar manifestasi klinik dari penyakit ini.
Pada penelitian studi retrospektif oleh Parviz et al (1998), menunjukan bahwa
salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada kematian penderita tetanus adalah usia
yang semakin tua. Usia tua memperbesar kemungkinan terkena severe tetanus dan
komplikasi tersering penyebab kematian adalah gagal napas akut. Selain itu, penyakit ini
lebih sering mengenai kaum pria di segala umur, dengan hubungan umur dan jenis
kelamin tidak mempunyai efek yang jelas terhadap kematian akibat tetanus.38
Pada penelitian studi retrospektif oleh Bankole et al (2012), menunjukan bahwa
kejadian tetanus meningkat tiga kali lipat pada kaum pria dibanding kaum wanita.
Periode masa inkubasi 11,4 ± 4,8 hari, dan durasi onset adalah 72 ± 45,6 jam. Case
Fatality Rate adalah 16,3%. Sebesar 12% dari CFR tersebut meninggal dengan jangka
waktu onset yang panjang, sedangkan sebesar 43% meninggal dengan jangka waktu onset
yang singkat (P = 0,002). Pasien dengan komplikasi (78%) meninggal sementara hanya
8% meninggal dari mereka yang tidak komplikasi (P <0,0001).26
Pada penelitian studi retrospektif dan prospektif oleh Siddartha et al (2004) di
India, hasil analisis multivariat menunjukan bahwa terdapat korelasi linear antara masa
inkubasi, kekakuan umum, tanda disfungsi otonom, keperluan trakeostomi, keperluan
ventilasi mekanis, keperluan pemberian diazepam (batas normal 1500 mg per 24 jam,
diatas pemakaian 4000-5000 mg per 24 jam semakin buruk prognosisnya), dan durasi
tinggal di Intensive Care Unit (ICU) dengan kematian penderita tetanus. Hasil analisis
regresi logistik multivariat menunjukkan pasien di atas usia 50 tahun (P = 0,003) dan
keperluan ventilasi mekanik (P = 0,009) secara bermakna dikaitkan dengan kematian
yang tinggi.39
Pada penelitian studi retrospektif oleh Talan et al (2004) di Amerika Serikat, hasil
analisis multivariat menunjukan bahwa kelompok orang yang berusia diatas 70 tahun,
manusia yang berpendidikan rendah, dan imigran dari luar Amerika Utara & Eropa Barat
dan manusia dengan riwayat imunisasi tidak memadai mempunyai kadar seroprotection
terhadap tetanus lebih rendah.40
Fakta tersebut dapat menjawab pertanyaan mengapa
orang dengan faktor risiko tertentu dapat menjadi perhatian khusus bagi insidensi
penyakit tetanus.
Pada penelitian studi retrospektif yang dilakukan Moura-Filho et al (2008), hasil
analisis multivariat menunjukan bahwa terdapat peluang untuk mengalami komplikasi
Acute Renal Failure (ARF) akibat tetanus. Walaupun demikian, hanya 11,8% pasien
tetanus yang ditemukan ARF. Sekitar 8%-nya mengalami kematian (P>0,5). Oleh karena
itu, ARF tidak berhubungan dengan kematian pada pasien tetanus. Selain itu, peneliti
tersebut menemukan fakta bahwa hiperglikemia, hiperkalemia, dan trombositopenia
terlihat dapat menambah angka kematian dari tetanus.41
Pada penelitian studi prospektif yang dilakukan oleh Korber et al (2008) terhadap
100 pasien tetanus dengan riwayat ulserasi kaki (luka kronis). Hasilnya penderita tetanus
yang berusia ≥70 tahun dengan riwayat ulserasi kaki hampir pasti menderita tetanus.
Banyak hal yang terpengaruh, terutama status imun penderita terhadap toksin tetanus.
Oleh karena itu, status imun pasien tersebut terhadap tetanus harus diperbaiki dengan
vaksinasi kembali.42
Pada penelitian studi retrospektif yang dilakukan oleh Weng et al (2010) di
Taiwan menunjukan bahwa Umur ≥65 tahun secara bermakna dikaitkan dengan trismus,
disfagia, disarthria, dan pneumonia. Generalized tetanus dan pneumonia merupakan
faktor risiko yang signifikan untuk kegagalan pernafasan.43
2.10 Kerangka Teori
Penderita
Tetanus
Usia
Jenis kelamin
Pendidikan rendah
Riwayat imunisasi tidak
memadai
Pekerjaan
Jalan masuk kuman
Time of Illness
Masa inkubasi
Waktu saat gejala awal
muncul sampai
penanganan di Rumah
Sakit
Adanya luka bakar, kotor,
atau bekas operasi
Kesulitan bernapas saat
masuk RS
Riwayat operasi
gastrointestinal
Co-existing medical
Gejala & Tanda Klinis:
Trismus
Kekakuan otot
Spasme
Disfagia
Opistotonus
Risus sardonikus
Rigiditas leher
Heart Rate
Suhu badan
Tekanan darah
Frekuensi napas
Disarthria
Hipotonia umum
Pemeriksaan Laboratorium:
Hiperglikemia
Hiperkalemia
Trombositopenia
Gambar 2. Kerangka Teori
Peneliti mengumpulkan faktor-faktor risiko atau faktor prognosis yang
dapat berpengaruh terhadap kematian penderita tetanus berdasarkan textbook,
jurnal ilmiah dan sebagian artikel elektronik yang berlisensi. Sumber pustaka
sebagian besar dari jurnal luar negeri yang dapat diakses.
Hasilnya penderita tetanus sebelum masuk rumah sakit atau sebelum
terdiagnosis tetanus memiliki data demografik yang tidak dapat dianggap remeh.
Masing-masing data demografik menjadi data pasien di Rumah Sakit.
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kematian pada tetanus ditinjau
dari data pasien saat masuk Rumah Sakit adalah usia, jenis kelamin, pekerjaan,
Indikasi Tindakan di RS:
Perawatan ICU
Trakeostomi
Dosis Diazepam
Komplikasi:
Cardiovascular collapse
Kegagalan respiratori akut
Infeksi nosokomial
Disfungsi otonom
Pneumonia
Syok Sepsis
HIDUP MATI
Komorbid:
Hipertensi
Sepsis
Pneumonia
Gagal ginjal akut
Infeksi saluran kemih
Pneumonia
Sepsis
Penyakit hematologi
Anemia
Dislipidemia
tingkat pendidikan, jalan masuk kuman (saat terjadi trauma,karena sebagian besar
tetanus terjadi karena infeksi luka), waktu saat gejala muncul sampai masuk RS,
riwayat imunisasi tidak memadai, riwayat operasi gastrointestinal, penyakit
hematologi, luka bakar/kotor/bekas operasi sebelum terjadinya penyakit tetanus,
dan co-existing medical conditions (ASA 1963).
Sedangkan terdapat faktor-faktor manifestasi klinis (tanda dan gejala)
tetanus yang dapat memunculkan keparahan suatu penyakit. Sebagai contoh
trismus. Jika trismusnya semakin berat, tentu prognosisnya semakin buruk. Tanda
dan gejala klinis lainnya yang dapat menjadi faktor penentu prognosis tetanus
adalah suhu, tekanan darah, spasme, kekakuan otot, disfagia, opistotonus, risus
sardonikus, rigiditas leher, heart rate, suhu badan, frekuensi napas, dysarthria,
dan adanya hipotonia umum.
Peneliti tidak boleh melupakan faktor-faktor masa perawatan di RS,
seperti perawatan di ICU, dosis diazepam (jika melebihi batas normal, maka
prognosisnya semakin buruk), trakeostomi (jika sudah memaksa klinisi
melakukan trakeostomi, maka prognosisnya semakin buruk). Karena rata-rata
pasien tetanus berada di ruang ICU, peneliti akan meninjau perawatan di ICU
dengan APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation) score.
Berdasarkan banyak penelitian yang dilakukan peneliti di dunia, kematian
penderita tetanus disebabkan karena komplikasinya. Derajat baik atau buruk
respons seseorang terhadap neurotoksin tetanus akan terlihat di komplikasinya.
Karena jika sudah sampai komplikasi, maka prognosisnya semakin buruk.
Adapun komplikasi yang dimaksud adalah gangguan sistem kardiovaskuler,
kegagalan napas, infeksi nosokomial, disfungsi otonom, dan pneumonia.
Dari komplikasi kemudian dilihat apakah penderita tetanus dapat
meninggal dunia atau tidak. Masa-masa saat komplikasi ini tentunya harus
menerapkan prosedur secara tepat dan cepat. Kemudian peneliti mengidentifikasi
faktor-faktor risiko yang dinilai dapat berpengaruh pada kematian penderita
tetanus berdasarkan outcome yang dialami oleh penderita, yaitu hidup atau mati
2.11 Kerangka Konsep
Pasien
Tetanus
Tanda Klinis:
Tekanan darah
Heart Rate
Suhu badan
Usia
Waktu saat gejala
awal muncul sampai
penanganan di
Rumah Sakit
Jalan masuk kuman
Kesulitan bernapas
saat masuk RS
Co-existing medical
conditions (ASA
1963)
Jenis kelamin
Pekerjaan
Luka kotor atau
luka bakar
Trismus
Spasme
Masa inkubasi
Periode onset
Gambar 3. Kerangka Konsep
Peneliti mengumpulkan semua faktor risiko yang dapat berpengaruh pada
kematian pasien tetanus berdasarkan jurnal-jurnal ilmiah hasil penelitian peneliti
sebelumnya. Peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-
faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit tetanus dengan outcome hidup
atau mati. Peneliti menyertakan semua faktor risiko yang berhubungan dengan
penyakit tetanus di kerangka teori.
Komplikasi:
Cardiovascular Collapse
Kegagalan respiratori akut
Infeksi Nosokomial
Pneumonia
Disfungsi Otonom
Syok Sepsis
HIDUP MATI
Komorbid:
Hipertensi
Sepsis
Pneumonia
Gagal ginjal akut
Infeksi saluran kemih
Pneumonia
Sepsis
Penyakit hematologi
Anemia
Dislipidemia
Lalu, peneliti memilah variabel-variabel tersebut untuk diteliti lebih lanjut.
Peneliti menentukan variabel-variabel yang akan diteliti adalah variabel yang
tertera dalam scoring system yang dipilih peneliti, yaitu Tetanus Severity Score
(TSS).
Kemudian, peneliti menentukan faktor-faktor risiko mana yang mungkin
akan mempengaruhi outcome dan mempengaruhi kematian penderita tetanus.
Faktor-faktor tersebut harus dalam kontrol peneliti agar tidak menimbulkan bias
hasil penelitian ini. Karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi outcome
dan tidak ada dalam variabel TSS, peneliti bisa menyebut faktor-faktor tersebut
sebagai variabel perancu.
Variabel perancu penelitian ini adalah jenis kelamin, pekerjaan, riwayat
luka kotor/luka bakar, spasme, trismus, periode onset, dan masa inkubasi. Jenis
kelamin berdasarkan beberapa penelitian, sebagian besar penderita tetanus
merupakan seorang pria. Tetapi, sumber lain mengatakan bahwa tidak ada
korelasi antara jenis kelamin dengan insidensi penyakit tetanus. Penderita tetanus
sebagian besar pria karena pekerjaan pria yang relatif berisiko terhadap terjadinya
luka. Lalu luka tersebut tidak ditangani sebagaimana mestinya. Oleh karena itu,
jenis kelamin dan pekerjaan harus dikontrol.
Riwayat luka kotor/bekas operasi dapat menjadi faktor risiko kematian
tetanus. Penting bagi peneliti membedakan luka injeksi/internal (faktor risiko
menurut TSS) dengan luka kotor/luka bakar. Selain itu, trismus dan spasme yang
berat dapat menjadi variabel perancu karena dua gejala tersebut jika tidak
dikontrol akan mempengaruhi hasil akhir penelitian.
Banyak penelitian yang menyertakan masa inkubasi dan periode onset
sangat berpengaruh kepada kematian penderita tetanus. Peneliti sebenanrnya
belum sepenuhnya mengerti mengapa Thwaites dan timnya tidak menyertakan
variabel ini di TSS. Asumsi peneliti faktor yang sangat berpengaruh pada
kematian tetanus adalah pertolongan rumah sakit berdasarkan gejala dan tanda
klinisnya yang sudah ada dalam makna variabel yang lain, yaitu waktu yang
dibutuhkan saat terjadi gejala pertama sampai pertolongan di rumah sakit. Dengan
memperhatikan hal ini, dua variabel perancu ini terkontrol dengan baik. Namun,
peneliti tetap memasukkan periode onset dan masa inkubasi sebagai variabel
penelitian.
Variabel bebas yang akan diteliti adalah usia, waktu dari gejala awal
sampai masuk RS, kesulitan bernapas saat masuk RS, co-existing medical
conditions (berdasarkan ASA 1963), jalan masuk kuman, tekanan darah sistolik
tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit, heart rate tertinggi saat hari pertama
di Rumah Sakit, heart rate terendah saat hari pertama di Rumah Sakit, suhu
tertinggi saat hari pertama di Rumah Sakit.
Alasan peneliti tidak menyertakan faktor-faktor risiko lainnya yang ada
dalam kerangka teori, tetapi tidak ada di variabel perancu adalah faktor-faktor
tersebut sulit untuk diobservasi dan membutuhkan perlakuan khusus. Selain itu,
variabel tersebut tidak ada dalam variabel yang ada dalam TSS. Peneliti akan
memasukkan variabel selain yang terdapat dalam TSS yang mungkin berpengaruh
pada kematian penderita tetanus berdasarkan jurnal ilmiah lainnya jika memenuhi
syarat dan peneliti mampu menilainya dari catatan medik.
Faktor-faktor yang termasuk variabel bebas akan dihubungkan dengan
variabel terikat dari penelitian ini, yaitu kematian penderita tetanus.
Setelah variabel-variabel dari catatan medik diidentifikasikan, datanya
disesuaikan dengan TSS. Lalu, diharapkan akan diketahui faktor-faktor risiko
yang berperan paling besar pada kematian pasien tetanus.
2.12 Hipotesis
1. Usia, waktu dari gejala awal sampai masuk RS, kesulitan bernapas saat masuk
RS, co-existing medical conditions (berdasarkan kriteria ASA 1963), jalan masuk
kuman, tekanan darah sistolik, heart rate, dan suhu tubuh berpengaruh terhadap
kejadian kematian pada penderita tetanus di RSUP dr. Kariadi Semarang.