bab ii tinjauan pustaka a. remaja 1. definisi...

24
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku Stanley Hall mengenai remaja dipublikasikan di tahun 1904, buku ini sangat berperan dalam merestrukturisasi gagasan-gagasan mengenai remaja. Masa remaja disebut sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007). Masa remaja, menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, dalam Ali & Asrori, 2012). WHO (World Health Organization) mendefinisikan remaja secara konseptual, dibagi menjadi tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi (Sarwono, 2012). Secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut:

Upload: dangtu

Post on 06-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20, para ahli menemukan

suatu konsep yang sekarang kita sebut sebagai remaja (adolescence). Ketika buku

Stanley Hall mengenai remaja dipublikasikan di tahun 1904, buku ini sangat

berperan dalam merestrukturisasi gagasan-gagasan mengenai remaja. Masa remaja

disebut sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan

masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan

sosioemosional (Santrock, 2007).

Masa remaja, menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) berlangsung

antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai

dengan 22 tahun bagi pria. Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence,

berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai

kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya

memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik

(Hurlock, dalam Ali & Asrori, 2012).

WHO (World Health Organization) mendefinisikan remaja secara

konseptual, dibagi menjadi tiga kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial

ekonomi (Sarwono, 2012). Secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai

berikut:

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

18

a. Remaja berkembang mulai dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

sekundernya sampai mencapai kematangan seksual.

b. Remaja mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-

kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif

lebih mandiri.

Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa secara psikologis,

remaja adalah suatu usia ketika individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat

dewasa, suatu usia saat anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat

orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa remaja adalah suatu usia ketika individu mulai menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai mencapai kematangan seksual, mengalami

perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa,

terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif

lebih mandiri, menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, serta individu

tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua

melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar (WHO, dalam Sarwono, 2012;

Piaget, dalam Ali & Asrori, 2012).

2. Pembagian Usia Remaja

Sa’id (2015), membagi usia remaja menjadi tiga fase sesuai tingkatan umur

yang dilalui oleh remaja. Menurut Sa’id, setiap fase memiliki keistimewaannya

tersendiri. Ketiga fase tingkatan umur remaja tersebut antara lain:

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

19

1. Remaja Awal (early adolescence)

Tingkatan usia remaja yang pertama adalah remaja awal. Pada tahap ini,

remaja berada pada rentang usia 12 hingga 15 tahun. Umumnya remaja tengah

berada di masa sekolah menengah pertama (SMP). Keistimewaan yang terjadi

pada fase ini adalah remaja tengah berubah fisiknya dalam kurun waktu yang

singkat. Remaja juga mulai tertarik kepada lawan jenis dan mudah terangsang

secara erotis.

2. Remaja Pertengahan (middle adolescence)

Tingkatan usia remaja selanjutnya yaitu remaja pertengahan, atau ada

pula yang menyebutnya dengan remaja madya. Pada tahap ini, remaja berada

pada rentang usia 15 hingga 18 tahun. Umumnya remaja tengah berada pada

masa sekolah menengah atas (SMA). Keistimewaan dari fase ini adalah mulai

sempurnanya perubahan fisik remaja, sehingga fisiknya sudah menyerupai

orang dewasa. Remaja yang masuk pada tahap ini sangat mementingkan

kehadiran teman dan remaja akan senang jika banyak teman yang menyukainya.

3. Remaja Akhir (late adolescence)

Tingkatan usia terakhir pada remaja adalah remaja akhir. Pada tahap ini, remaja

telah berusia sekitar 18 hingga 21 tahun. Remaja pada usia ini umumnya tengah

berada pada usia pendidikan di perguruan tinggi, atau bagi remaja yang tidak

melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka bekerja dan mulai membantu

menafkahi anggota keluarga. Keistimewaan pada fase ini adalah seorang remaja

selain dari segi fisik sudah menjadi orang dewasa, dalam bersikap remaja juga

sudah menganut nilai-nilai orang dewasa.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

20

3. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan

sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan

bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa

remaja menurut Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) adalah berusaha:

1. Mampu menerima keadaan fisiknya.

2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.

4. Mencapai kemandirian emosional.

5. Mencapai kemandirian ekonomi.

6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan

untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat.

7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orangtua.

8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk memasuki

dunia dewasa.

9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan

kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan

sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya dengan

baik.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

21

B. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Ryan dan Deci (dalam Linley & Joseph, 2004) mendefinisikan kehidupan

yang baik adalah kesejahteraan yang muncul ketika individu berfungsi secara

optimal. Kesejahteraan tersebut ditandai dengan pengembangan dari pengembangan

fungsi yang sederhana hingga yang kompleks atau optimal. Mengacu pada konsep

Ryan dan Deci, kesejahteraan yang dimaksud mengarah pada konsep psychological

well-being. Menurut Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012)

psychological well-being adalah sebuah konstruksi terkait dengan fungsi optimal

dan positif seseorang.

Huppert (2009) mendefinisikan psychological well-being sebagai kehidupan

yang berjalan dengan baik, dan merupakan kombinasi dari perasaan baik dan

keberfungsian diri secara efektif. Konsep berfungsi efektif secara psikologis

melibatkan pengembangan potensi individu, memiliki kontrol terhadap

kehidupannya, memiliki tujuan hidup serta memiliki hubungan positif. Huppert

juga menambahkan bahwa keberfungsian individu secara efektif ini dalam

kehidupan sehari-hari berkembang melalui kemampuan individu mengelola emosi

negatif atau menyakitkan seperti kesedihan, kekecewaan, dan kegagalan.

Carol Ryff dan rekan-rekan sejawatnya mendasari dari cakupan para ahli

teori seperti Erikson sampai Maslow, telah mengembangkan sebuah model yang

mencakup enam dimensi kesejahteraan untuk mengukur psychological well-being

(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Menurut Ryff, orang-orang yang sehat secara

psikologis memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

22

keputusan sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk

lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup yang bermakna,

dan berjuang menjelajahi dan mengembangkan diri selengkap mungkin (Papalia,

Olds & Feldman, 2009).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa psychological well-being adalah suatu keadaan kehidupan yang berjalan

baik, ditunjukkan dengan kesejahteraan yang muncul ketika individu berusaha

untuk mengembangkan keberfungsian diri secara optimal dan positif seperti

memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, membuat keputusan

sendiri dan mengatur perilaku sendiri, memilih atau membentuk lingkungan yang

sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup yang bermakna, dan

mengembangkan diri selengkap mungkin (Huppert, 2009; Ryan & Deci, dalam

Singh, Mohan & Anasseri, 2012; Ryff, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009).

2. Aspek-Aspek Psychological Well-Being

Ryff (1989) mengusulkan aspek-aspek psychological well-being yang

terdiri dari 6 dimensi yang berbeda, yaitu: penerimaan diri (self acceptance),

hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi

(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup

(purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Keenam dimensi psychological well-being tersebut dapat didefinisikan sebagai

berikut:

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

23

a. Penerimaan diri (self acceptance)

Merupakan sikap memiliki perasaan positif terhadap diri sendiri, mampu

menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, perasaan positif

terhadap kehidupan di masa lalu, dan merupakan fitur utama dari kesehatan

mental, fungsi optimal, serta kematangan.

b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang hangat

dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan untuk mencintai

dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental. Psychological well-

being seseorang dikatakan tinggi apabila mampu bersikap hangat dan percaya

dalam berhubungan dengan orang lain, memiliki empati, afeksi kepada sesama

manusia, mampu memberi kasih yang lebih besar, persahabatan yang dalam,

serta keintiman yang kuat dalam suatu hubungan.

c. Kemandirian (autonomy)

Merupakan kemampuan individu dalam mengambil keputusan sendiri dan

mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap dengan

cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri,

tidak mencari penerimaan dari orang lain, mengevaluasi diri sendiri berdasarkan

standar personal.

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Adalah kemampuan seseorang untuk memilih atau menciptakan lingkungan

yang sesuai dengan kondisi psikis individu, kemampuan untuk memanipulasi

dan mengendalikan lingkungan yang kompleks, mampu mengambil keuntungan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

24

dari peluang yang ada di lingkungan, serta partisipasi yang aktif dalam

penguasaan lingkungan.

e. Tujuan hidup (purpose in life)

Kesehatan mental didefinisikan mencakup kepercayaan-kepercayaan yang

memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini memiliki tujuan dan

makna. Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, misi, dan arah

yang membuatnya merasa hidup ini memiliki makna. Termasuk keyakinan

bahwa memberikan satu perasaan ada tujuan dan arti hidup. Berbagai

perubahan seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi

emosional di kemudian hari, memiliki tujuan, niat, dan rasa arah, yang

semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup ini bermakna.

f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Fungsi psikologis yang optimal membutuhkan tidak hanya untuk mencapai satu

karakteristik, tetapi juga salah satu yang terus mengembangkan potensi

seseorang untuk tumbuh dan berkembang sebagai pribadi. Kebutuhan untuk

mengaktualisasikan diri dan menyadari satu potensi seseorang merupakan pusat

perspektif pada pertumbuhan pribadi. Keterbukaan terhadap pengalaman,

merupakan karakteristik kunci dari orang yang berfungsi sepenuhnya.

Memberikan penekanan untuk terus bertumbuh dan konfrontatif terhadap

tantangan baru atau tugas pada periode yang berbeda dari kehidupan.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

25

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Singh, Mohan, dan Anasseri (2012) dalam bukunya, mengungkapkan

bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological-well

being seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain:

a. Usia (age)

Semakin tua usia seseorang, pertumbuhan pribadi yang dialami individu juga

juga akan berkurang. Individu di usia tua menunjukkan bahwa penguasaan

lingkungan serta otonomi justru meningkat. Penguasaan lingkungan cenderung

lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia dari pada usia muda, tetapi tampak

lebih stabil dari usia menengah ke usia yang lebih tua. Individu yang berusia

muda menganggap diri mereka telah membuat kemajuan yang signifikan sejak

masa remaja. Individu yang berusia muda memiliki harapan besar untuk masa

depan, sehingga nilai dalam aspek tujuan hidup (purpose of life) dan

pertumbuhan pribadi (personal growth) lebih tinggi. Individu di usia dewasa

akhir konsisten menganggap diri mereka berhubungan dengan masa lalu dan

tidak berkembang menuju masa depan. Bagi individu yang bertambah usia pada

dewasa akhir, pandangan antara cita-cita mereka dan persepsi mereka tentang

realitas tampaknya berkurang. Dari perspektif positif, kelompok usia dewasa

akhir cenderung menguasai lingkungan lebih baik daripada kelompok usia lain.

b. Jenis kelamin (gender)

Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam Singh,

Mohan & Anasseri, 2012) peserta mulai dari remaja sampai usia tua,

menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological well-being antara

jenis kelamin. Dalam beberapa kasus, self-esteem dan psychological well-being

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

26

ditemukan sedikit lebih tinggi di kalangan pria daripada wanita. Penjelasan lain

yang mungkin untuk perbedaan antara jenis kelamin dalam sumber

psychological well-being menurut Whitbourne & Power (dalam Singh, Mohan

& Anasseri, 2012) adalah wanita lebih berhubungan dekat dengan peristiwa di

dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan

profesional mereka. Penelitian lain yang dilakukan di Australia, menilai tingkat

kepuasan dan variabel lainnya selama satu periode kehidupan, mereka

menemukan bahwa psychological well-being perempuan meningkat ketika

memasuki tahap akhir transisi menopause.

c. Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level)

Penelitian oleh Ryff (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) tentang dampak

tingkat ekonomi pada psychological well-being menunjukkan hubungan yang

jelas antara tingkat sosial ekonomi dan beberapa dimensi psychological well-

being, seperti penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, juga ditemukan secara

jelas terkait dengan tujuan individu dan tujuan hidup. Hasil beberapa penelitian

menunjukkan bahwa orang dengan tingkat sosial ekonomi rendah, ditentukan

baik oleh karakteristik pendidikan (tingkat studi) dan dengan aktivitas kerja

seseorang, memiliki tingkat yang lebih rendah dalam psychological well-being.

Tingkat yang lebih rendah dari segi psikologis, dikaitkan dengan status yang

lebih rendah. Hasil ini juga tampak konsisten apabila dilihat dari situasi

keuangan. Secara keseluruhan, ketika situasi keuangan berada dalam posisi

yang lebih menguntungkan, serta diwakili oleh keseimbangan ekonomi yang

positif, psychological well-being juga akan tampak meningkat. Ketika situasi

keuangan menjadi lebih buruk, dan dengan itu jumlah pendapatan juga menurun,

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

27

tingkat psychological well-being juga menjadi lebih buruk. Faktor lain dengan

dampak penting pada tingkat sosial ekonomi adalah rumah seseorang atau

tempat tinggal. Dampak dari daerah perumahan seseorang, pada psychological

well-being semakin diakui. Kepuasan daripada perumahan yang dimiliki

individu, menentukan psychological well-being seseorang. Psychological well-

being tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal akomodasi (karakteristik kamar,

kelayakhunian, kenyamanan) dan juga dengan kondisi eksternal seperti

lingkungan.

d. Relasi sosial (social relations)

Salah satu dimensi psychological well-being adalah kemampuan untuk

mempertahankan hubungan positif dengan orang lain (Ryff, 1995). Individu

harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-teman yang

dapat mereka percayai. Kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan

hubungan interpersonal. Menurut Bianco dan Diaz (dalam Singh, Mohan &

Anasseri, 2012) hal tersebut juga telah terbukti berhubungan dengan kontak di

masyarakat, pola aktif persahabatan dan partisipasi sosial. Ada hubungan antara

kesejahteraan, dan hubungan positif dengan orang lain. Singkatnya, kita dapat

menyimpulkan bahwa tingkat interaksi yang ada antara faktor sosial dan

psikologis mempengaruhi psychological well-being seseorang. Demikian pula,

penelitian oleh Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012), menunjukkan

pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang pada well-

being nya. Tingkat individualisme dan kolektivisme masyarakat adalah variabel

budaya yang dapat mempengaruhi hubungan antara kesejahteraan dan variabel

sosiologis. Meskipun ada beberapa data yang jelas tentang hal ini, kemungkinan

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

28

dalam budaya kolektivis terdapat rasa yang lebih baik dalam hal kohesi

kelompok dan dukungan sosial, sehingga dapat meningkatkan psychological

well-being seseorang.

e. Faktor kepribadian (personality factors)

Secara keseluruhan, konsep psychological well-being terkait dengan persepsi

subjektif seseorang yang memiliki prestasi sendiri dan sejauh mana ia puas

dengan masa lalunya, masa sekarang dan masa depannya. Dalam hal ini,

mengacu pada pendapat serta konstruktif pikiran positif yang dimiliki seseorang

terhadap dirinya. Costa dan McCrae (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012)

menyatakan bahwa ada bukti selama beberapa dekade terakhir bahwa variabel

kepribadian berkaitan erat dengan kesejahteraan psikologis. Umumnya, orang-

orang dengan kecenderungan neurotik akan cenderung lebih tertekan.

Sebaliknya, ekstroversi mempengaruhi emosi positif, sedangkan neurotisisme

mempengaruhi emosi negatif. Oleh karena itu, individu yang sering

mengungkapkan perasaan kesejahteraan akan cenderung ditandai dengan

stabilitas emosional dan ekstroversi. Penjelasan umum telah diusulkan dan

mengasumsikan bahwa ekstrovert lebih sensitif daripada introvert terhadap

sinyal reward. Ekstrovert belajar untuk menjadi bahagia lebih cepat, tapi tidak

begitu mudah menjadi sedih, sebaliknya dapat diamati pada orang dengan

kecenderungan neurotik mereka akan cepat menjadi sedih tapi merasa lebih

sulit untuk bahagia. Individu dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi

memiliki penguasaan yang lebih baik akan tugas-tugas dan memiliki

pengalaman hasil dengan tingkat yang lebih tinggi untuk psychological well-

being. Kemampuan untuk mengelola emosi yang memadai, dikaitkan dengan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

29

penyesuaian yang lebih baik secara psikologis terhadap lingkungan. Sehingga,

individu dengan kemampuan mengelola emosi yang memadai, dapat berpotensi

memperoleh psychological well-being yang lebih tinggi.

C. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

Dibandingkan dengan perilaku prososial, ilmuwan sosial telah

menginvestasikan lebih banyak waktu dan usaha ke dalam studi perilaku antisosial

(Bierhoff, 2002). Bierhoff juga menambahkan bahwa berdasarkan dari periode

sejarah, jumlah publikasi dalam kategori antisosial adalah sekitar sepuluh kali lebih

tinggi bila dibandingkan dengan kategori prososial. Hal tersebut dapat digunakan

sebagai indikasi bahwa topik perilaku prososial kurang diminati untuk diteliti di

masa lalu, meskipun “Bapak” yang berpengaruh dalam ilmu sosial seperti

Durkheim dan Smith sangat menyadari pentingnya perilaku prososial dalam

kehidupan manusia.

Menurut Watson (1984) perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki

konsekuensi positif bagi orang lain. Sejalan dengan Watson, menurut Eisenberg

dan Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial didefinisikan dalam suatu hal

yang mereka maksudkan memiliki konsekuensi untuk orang lain dan melakukannya

secara sukarela dan bukan di bawah paksaan. Eisenberg dan Mussen juga

menambahkan bahwa perilaku prososial mengacu tindakan sukarela yang

dimaksudkan untuk membantu atau menguntungkan individu lain atau kelompok

individu. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

30

prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah

keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih

baik, dalam arti secara material maupun psikologis.

Batson (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) menjelaskan perilaku

prososial dalam kategori yang lebih luas, yakni mencakup setiap tindakan yang

membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong.

Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan

yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi. Lebih tandas, Hinde dan

Groebel (1991) menjelaskan bahwa perilaku prososial mungkin melibatkan dua

atau lebih individu yang sebelumnya tidak kenal satu sama lain, kemudian perilaku

membantu terjadi dalam interaksi dengan jangka waktu yang relatif pendek.

Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menambahkan bahwa ada tiga

indikator yang menjadi tindakan perilaku prososial, yaitu:

1) Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada

pihak pelaku

2) Tindakan itu dilahirkan secara sukarela

3) Tindakan itu menghasilkan kebaikan

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang dapat membantu,

menguntungkan, dan memberikan konsekuensi positif bagi individu atau kelompok

yang menerima bantuan, baik itu bantuan dalam bentuk materi, fisik, maupun

psikologis (Watson, 1984; Mussen & Eisenberg, 1989; William, dalam Dayakisni

& Hudaniah, 2006).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

31

2. Aspek-Aspek Perilaku Prososial

Perilaku prososial yang dimiliki oleh seorang individu terdiri dari beberapa

aspek. Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006),

aspek-aspek perilaku prososial adalah:

a. Berbagi (sharing), yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain

dalam suasana suka maupun duka.

b. Menolong (helping),yaitu kesediaan untuk memberikan bantuan kepada orang

lain, baik berupa moril maupun materiil.

c. Berderma (donating), yaitu kesediaan untuk memberikan secara suka rela

sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.

d. Kerjasama (cooperating), yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain

demi tercapainya suatu tujuan.

e. Jujur (honesty), yaitu kesediaan untuk melakukan seperti apa adanya dan tidak

berbuat curang terhadap orang lain.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Ketika seseorang diminta untuk memberikan pertolongan, keadaan

psikologis mereka memegang peranan penting dalam menentukan apakah mereka

akan menolong atau tidak. Meskipun dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang sama,

dua orang individu dapat memberikan respon dengan cara yang berbeda dalam

suatu situasi.

Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa ada faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Beberapa faktor

tersebut, antara lain:

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

32

1. Karakteristik Situasi, meliputi:

a. Kehadiran Orang Lain

Kehadiran banyak orang mungkin menyebabkan kurangnya pertolongan.

Latane dan Darley (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) menyebut ini

sebagai by stander effect (efek orang sekitar). Semakin banyak orang yang

hadir, semakin kecil kemungkinan individu akan memberikan bantuan, dan

semakin lama jeda sebelum bantuan diberikan.

b. Kondisi Lingkungan

Setting fisik juga mempengaruhi tindakan menolong. Studi menunjukkan

bahwa ukuran kota dimana orang tinggal tidak terkait dengan tindakan

membantu, yang berpengaruh adalah setting lingkungan dimana kebutuhan

itu muncul. Cuaca memengaruhi tindakan seseorang untuk menolong.

Ahmed (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) menunjukkan bahwa orang

lebih mungkin membantu pengendara motor yang jaruh pada cuaca cerah

ketimbang pada cuaca hujan dan pada siang hari ketimbang pada malam

hari. Tindakan menolong juga lebih sering terjadi di kota dengan kepadatan

penduduk rendah (lebih sedikit orang per mil persegi) dan dengan tingkat

kejahatan yang rendah.

c. Tekanan Waktu

Eksperimen yang dilakukan oleh Darle dan Batson (dalam Taylor, Peplau,

& Sears (2009) menunjukkan bahwa terkadang orang merasa terlalu

terburu-buru untuk menolong. Tampaknya subyek juga mempertimbangkan

untung dan rugi dalam menolong korban sebelum mengambil keputusan.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

33

2. Karakteristik Penolong, meliputi:

a. Mood dan Menolong

Perasaan positif akan menaikkan kesediaan untuk bertindak secara prososial.

Kemungkinan lainnya adalah keadaan mood positif mungkin menyebabkan

kita punya pikiran yang lebih positif. Robert Cialdini, dkk (dalam Taylor,

Peplau, & Sears (2009) mengemukakan negative-state relief model (model

peredaan keadaan negatif) untuk menjelaskan mengapa mood negatif justru

meningkatkan tindakan membantu. Menurut pendapat ini, orang dalam

keadaan mood buruk lebih termotivasi untuk meredakan

ketidaknyamanannya. Jika ada kesempatan untuk membantu dan kita

menganggap itu sebagai cara untuk memperbaiki mood kita, maka kita lebih

mungkin untuk menawarkan bantuan. Meskipun demikian, mood negatif

tidak selalu membuat orang mau membantu orang lain.

b. Motif Pemberian Pertolongan: Empati dan Kesedihan Personal

Personal distress (kesedihan personal) adalah reaksi emosional kita

terhadap penderitaan orang lain. Kesedihan personal terjadi ketika

seseorang yang menyaksikan suatu kejadian menjadi tenggelam dalam

reaksi emosionalnya sendiri. Sebaliknya, empathy (empati) berarti perasaan

simpati dan perhatian kepada orang lain, khususnya pada orang yang

menderita. Empati terjadi ketika pengamat berfokus pada kebutuhan dan

emosi dari korban. Kesedihan personal menyebabkan kita cemas dan

prihatin, empati menyebabkan kita merasa simpati dan sayang.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

34

c. Karakteristik Personal

Tampaknya ada ciri tertentu dari personalitas orang dalam membantu pada

situasi spesifik. Misalnya. satu studi menemukan bahwa orang dewasa

dengan kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial lebih mungkin

untuk menyumbangkan uang ketimbang individu dengan kebutuhan

persetujuan sosial yang rendah. Tetapi mereka ini menyumbang hanya jika

ada orang lain yang melihatnya. Orang yang berkebutuhan tinggi untuk

mendapat persetujuan sosial mungkin termotivasi oleh keinginan mendapat

pujian dari orang lain dan karenanya bertindak prososial hanya ketika

tindakan baik itu dilihat oleh orang lain.

d. Gender dan Tindakan Menolong

Kekuatan fisik dan training olahraga mungkin memengaruhi perbedaan

jenis kelamin ini. Dalam setting yang lebih umum, lelaki juga lebih

mungkin ketimbang perempuan untuk membantu orang asing yang sedih

atau tertekan. Lelaki lebih senang membantu korban perempuan, apalagi

jika ada yang melihat aksinya. Tetapi dalam hal lain, pria dan wanita sama-

sama menunjukkan keberanian luar biasa dalam membantu orang lain.

Shumaker & Hill (dalam Taylor, Peplau, & Sears (2009) juga

menambahkan bahwa secara umum wanita lebih mungkin ketimbang pria

untuk memberikan dukungan sosial. Dengan kata lain, meski ada banyak

pengecualian, pria dan wanita cenderung terspesialisasi dalam tipe

pemberian bantuan yang berbeda-beda.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

35

Watson (1984) juga menambahkan bahwa faktor-faktor lain yang juga

mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku prososial adalah sebagai

berikut:

a. Karakteristik Orang yang Terlibat

Karakteristik pribadi orang yang membutuhkan bantuan memang penting, tetapi

mereka juga akan berinteraksi dengan sifat situasi dan karakteristik pribadi dari

penolong.

b. Kesamaan Korban dan Penolong

Semakin mirip orang yang membutuhkan pertolongan dengan penolong, maka

pertolongan tersebut akan semakin diberikan.

c. Daya Tarik Korban

Orang yang menarik lebih cenderung dibantu daripada orang yang tidak

menarik. Dengan demikian, kita bisa berteori bahwa kita lebih cenderung untuk

membantu orang yang kita sukai.

d. Orang yang Meminta Bantuan

Orang tersebut hams memutuskan apakah ia harus meminta bantuan atau tidak.

Beberapa variabel yang sama yang mengenai keputusan penolong juga

mempengaruhi keputusan orang yang membutuhkan pertolongan apakah ia

akan meminta bantuan atau tidak

D. Hubungan Antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being

Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin

adolescere yang artinya tumbuh untuk mencapai kematangan. Kematangan disini tidak

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

36

hanya berarti kematangan fisik dan kognitif, tetapi terutama kematangan sosial dan

psikologis (Ali & Asrori, 2004). WHO (World Health Organization) menetapkan batas

usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja (Sarwono, 2012). Ada yang menyatakan

masa remaja usianya berkisar antara 12 hingga 23 tahun (Hall, dalam Santrock, 2007).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia

pemuda (youth) dalam rangka keputusan untuk menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun

Pemuda Internasional (Sanderowitz & Paxman, dalam Sarwono, 2012). Di Indonesia,

batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 15-24

tahun (Sarwono, 2012).

Proses kematangan yang dialami remaja ini, merupakan wujud transisi individu

dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam proses transisinya tersebut, remaja

dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang sesuai dengan usianya. Tugas

perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku

kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku

secara dewasa (Ali & Asrori, 2012). Tugas-tugas perkembangan tersebut harus

diselesaikan oleh remaja, agar remaja siap untuk menghadapi tugas-tugas serta peran

barunya sebagai orang dewasa (Agustiani, 2006). Havighurst (dalam Ali & Asrori,

2012) menjelaskan bahwa jika remaja berhasil menuntaskan tugas-tugas perkembangan,

maka akan menimbulkan fase bahagia dan membawa ke arah keberhasilan bagi remaja

dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya.

Remaja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangan di periode

remaja diharapkan akan mampu mencapai kesejahteraan secara psikologis.

Kesejahteraan psikologis atau yang lebih dikenal dengan istilah psychological well-

being dapat diperoleh apabila individu berupaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

37

hidupnya hingga dapat mengembangkan diri selengkap mungkin, serta mampu

mewujudkan kebahagiaan yang disertai dengan pemaknaan hidup (Muslihati, 2014;

Ryff, dalam Papalia, Olds, Feldman, 2008). Psychological well-being digunakan untuk

menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan fungsi

psikologi positif (Ryff, 1995). Psychological well-being yang dapat dicapai individu

juga dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya individu itu sendiri. Diener dan

Diener (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menunjukkan pentingnya konteks

sosial dan budaya dalam penilaian seseorang terhadap well-being nya. Budaya

individualisme atau kolektivisme pada masyarakat merupakan faktor yang

mempengaruhi hubungan antara kesejahteraan dan variabel sosiologis.

Remaja yang mampu mencapai psychological well-being diharapkan untuk

dapat menunjukkan kemampuan-kemampuan seperti menerima keadaan diri,

mengembangkan otonomi, mampu mengembangkan hubungan yang positif terhadap

orang lain, dapat menguasai lingkungan sesuai dengan kebutuhan remaja,

mengembangkan tujuan hidup, serta merealisasikan pertumbuhan diri. Kemampuan-

kemampuan tersebut sesuai dengan keenam aspek-aspek dari psychological well-being

yang diungkapkan oleh Ryff (1995) antara lain yaitu: penerimaan diri (self acceptance),

hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), kemandirian

(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in

life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Psychological well-being dapat dicapai oleh remaja apabila remaja

mengembangkan perilaku-perilaku yang positif selama transisi menuju masa dewasa.

Marheni (dalam Soetjiningsih, 2004) menegaskan bahwa di dalam perjalanan menuju

kedewasaan, remaja harus berusaha untuk mengisi masa remajanya dengan hal-hal

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

38

yang positif yang dapat mengembangkan dirinya. Salah satu perilaku positif yang

penting untuk dikembangkan selama masa remaja yakni perilaku prososial. Perilaku

prososial lebih banyak dilakukan di masa remaja dibandingkan di masa kanak-kanak

(Santrock, 2007). Perilaku prososial lebih banyak dilakukan pada remaja, karena pada

masa remaja perkembangan moral pada remaja sedang terbentuk (Ali & Asrori, 2012).

Perilaku prososial merupakan segala bentuk perilaku yang memberikan

konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun

psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya (Dayakisni &

Hudaniah, 2006). Perilaku prososial banyak melibatkan altruisme, yaitu suatu minat

untuk menolong orang lain dan tidak memikirkan diri sendiri (Santrock, 2007).

Menurut Eisenberg dan Mussen (dalam Hudaniah & Dayakisni, 2006) perilaku

prososial memiliki lima aspek-aspek yaitu sebagai berikut: berbagi (sharing),

menolong (helping), berderma (donating), kerjasama (cooperating), dan jujur (honesty).

Kelima aspek perilaku prososial yang telah dijabarkan oleh Eisenberg dan

Mussen tersebut, apabila dikembangkan oleh remaja diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang positif dalam perkembangan remaja menuju kedewasaan. Lebih dari itu,

dengan mengembangkan perilaku positif seperti berperilaku prososial diharapkan

remaja juga akan mampu untuk mencapai psychological well-being secara lebih

optimal di usianya.

Berikut disajikan bagan yang menunjukkan hubungan antara perilaku prososial

dengan psychological well-being:

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

39

Keterangan Gambar:

Psychological Well-Being Perilaku Prososial

- berbagi (sharing)

- menolong (helping)

- berderma (donating),

- kerjasama (cooperating)

- jujur (honesty)

- penerimaan diri (self acceptance)

- hubungan positif dengan orang lain

(positive relations with others)

- kemandirian (autonomy)hhgh

- penguasaan lingkungan (environmental

mastery)

- tujuan hidup (purpose in life)

- pertumbuhan pribadi (personal growth)

: garis hubungan variabel yang akan diteliti

: garis aspek variabel yang diteliti

: variabel yang akan diteliti

: aspek variabel yang diteliti

Gambar 1. Bagan Hubungan Antar Variabel

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remajaerepo.unud.ac.id/10466/3/7a669216a809ac71e6096f3b703b438d.pdf · BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja Pada akhir

40

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan maka hipotesis yang diajukan

peneliti pada penelitian ini sebagai jawaban sementara atas permasalahan yang diajukan

adalah:

Ha : Ada hubungan yang signfikan dan positif antara perilaku prososial dengan

psychological well-being pada remaja.

Ho : Tidak ada hubungan yang signfikan dan positif antara perilaku prososial dengan

psychological well-being pada remaja.