bab ii tinjauan pustaka 2.1 tanaman jambu biji...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava)
Tanaman jambu biji (Psidium guajava) dalam sistematika dunia tumbuhan
diklasifikasikan menjadi seperti di bawah ini:
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Familia : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spessies : Psidium guajava, L. ( Cronquist, 1981).
Tanaman jambu biji sering disebut jambu batu. Beberapa nama daerah untuk
tanaman tersebut antara lain glima breuen, glimeu beru, galiman, masiambu, jambu biawas
(Sumatra) dan kayawase, kayawusu, lainehatu, lutuhatu dan gayawa (Maluku)
(Wijayakusuma et al. 1994).
Tanaman jambu biji (Psidium guajava) merupakan tanaman yang berasal dari
Amerika tropis, banyak ditanam sebagai tanaman buah-buahan yang tumbuh pada
ketinggian 1-1.200 m diatas permukaan laut dan merupakan tanaman perdu atau pohon
kecil, tinggi tanaman umumnya 3-10 m. Kulit batangnya licin, terkelupas dalam potongan.
Ruas tangkai teratas segi empat tajam. Daun muda berbulu abu-abu, daun bertangkai pendek
dan bulat memanjang. Bunga terletak di ketiak daun. Tabung kelopak bunga berbentuk
lonceng atau bentuk corong, panjang 0,5 cm;pinggiran tidak rontok, panjang ± 1cm. Daun
mahkota bulat telur terbalik, panjang 1,5-2 cm, putih segera rontok. Benang sari pada
5
tonjolan dasar bunga yang berbulu, putih, pipih & lebar seperti halnya tangkai putik
berwarna seperti mentega. Bakal buah tenggelam beruang 4-5. Buah buni bundar dan
berbentuk pir (Steenis, 2008).
2.2 Kandungan Fitokimia Pada Daun Jambu Biji (Psidium guajava)
Menurut Taiz dan Zeiger (2002) metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan
merupakan bagian dari sistem pertahanan diri. Senyawa tersebut berperan sebagai pelindung
dari serangan infeksi mikroba patogen dan mencegah pemakanan oleh herbivora. Metabolit
sekunder dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu terpen, fenolik, dan senyawa
mengandung nitrogen terutama alkaloid.
Tanin pada tanaman jambu biji dapat ditemukan pada bagian buah, daun dan kulit
batang, sedangkan pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun tanaman jambu
biji selain mengandung tanin, juga mengandung zat lain seperti asam ursolat, asam lat, asam
guajaverin, minyak atsiri dan vitamin (Thomas, 1989). Daun-daun jambu biji memiliki
kandungan zat-zat penyamak (psiditanin) sekitar 9%, minyak atsiri berwarna kehijauan yang
mengandung eganol sekitar 0,4%, damar 3%, minyak lemak 6%, dan garam-garam mineral
(Kartasapoetra, 2004).
Menurut Direkbusarakom (1997) et al. dalam Sipahutar (2000) Tanaman jambu biji
banyak digunakan sebagai obat. Tanaman tersebut bersifat anti diare, anti radang
(inflamasi), dan menghentikan pendarahan (hemostatik). Daun segarnya dapat digunakan
untuk pengobatan luar pada luka akibat kecelakaan, pendarahan akibat benda tajam, dan
borok (ulcus) di sekitar tulang. Pengujian daun jambu biji pada beberapa patogen yang
menyerang ikan dan udang menunjukan bahwa daun jambu biji dapat digunakan untuk
pengobatan terhadap virus dan bakteri pada hewan yang hidup di air (akuatis) seperti infeksi
Yellow Head Virus (YHV) pada udang black tiger dan infeksi A.hydropila pada jenis ikan
lele. Hasilnya menunjukan bahwa daun jambu biji lebih efektif untuk pencegahan infeksi
bakteri pada jenis catfishdi bandingkan pencegahan infeksi YHV pada udang.
2.3 Ekstraksi Daun Jambu Biji
Ekstraksi adalah kegiatan dalam pembuatan ekstrak, yaitu kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut
dengan pelarut yang sesuai (Depkes RI, 1986). Metode yang dikenal antara lain: dengan cara
dingin yaitu maserasi, perkolasi atau dengan cara panas yaitu refluks, soxlet, digesti, infus,
dekok (Depkes RI, 2000).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).
Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik adalah teknik dengan dilakukan pengadukan yang kontinyu
(terus-menerus). Remaerasi adalah teknik dengan dilakukan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000).
Menurut Depkes RI (1986) ekstraksi daun jambu biji bisa dengan cara perkolasi
menggunakan pelarut etanol encer hingga cairan yang menetes terakhir tidak berasa.
Ekstrak daun jambu biji setelah diujikan terhadap bakteri Vibrio cholerae pada
Minimum Inhibitor Consentrate (MIC) menunjukan bahwa ekstrak tersebut bersifat
bakterisida dan bukan bakteriostatik ( Rahim et al., 2010). Menurut Qa’dan et al. (2005)
ekstrak daun jambu biji terdapat senyawa tanin, triterpen, dan flavonoid glikosida yang
mempunyai aktivitas antimikroba. Menurut Metwally et al. (2010), flavonoid yang
terkandung pada ekstrak daun jambu biji meliputi 5 macam yaitu quercetin, quercetin-ɜ-0-α-
L-arabinofuanoside, quercetin-ɜ-0-β-D-arabinopyranoside, quercetin-ɜ-0-β-D-glucoside, dan
quercetin-ɜ-0-β-D-galactoside.
2.4 Identifikasi Golongan Senyawa Dengan Kromatografi
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fitokimia. Lapisan
yang memisahkan terdiri dari fase diam yang ditempatkan pada penyangga yang berupa
pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan,
ditotolkan berupa bercak atau noda. Pelat atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat
yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama
perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus
ditampakkan (dideteksi). KLT merupakan suatu sistem kromatografi yang pemakaiannya
paling luas pada fitokimia karena dapat diterapkan hampir pada setiap golongan senyawa,
kecuali pada kandungan yang sangat atsiri (Stahl, 1985).
Beberapa keuntungan dari metode KLT antara lain: hanya membutuhkan penyerap
dalam jumlah yang sedikit dan noda-noda yang terpisah dilokalisir pada pelat seperti pada
lembaran kertas dan hanya membutuhkan waktu yang lebih cepat serta diperoleh pemisahan
yang lebih baik. Waktu rata-rata untuk KLT dengan jarak pengembangan 10 cm pada silika
gel adalah sekitar 20-30 menit tergantung pada sifat fase gerak. Pemisahan yang sama
dengan kertas memerlukan waktu sekitar lima menit (Sastrohamidjojo (1985) dalam
Restiyono, 2006).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram besarnya dinyatakan dengan angka
Rf atau hRf.
Rf= awal titik daridepan garisJarak
awal titik daribercak pusat k Jarak titi
(Harborne, 1987).
Angka Rf berjangka antara nol koma nol dan hanya ditentukan dua desimal. hRf
adalah angka Rf dikalikan factor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka nol sampai 100,
tetapi karena angka Rf mempunyai fungsi sejumlah faktor, angka ini dianggap sebagai
petunjuk saja, harga hRf lah yang dicantumkan untuk menunjukan letak suatu senyawa pada
kromatogram (Stahl, 1985).
2.5 Bakteri Aeromonas hydrophila
2.5.1 Klasifikasi Bakteri Aeromonas hydrophila
Klasifikasi bakteri A. Hydrophila menurut Holt et al. (1998):
Phylum : Protophyta
Classis : Schizomycetes
Ordo : Pseudomonadales
Family : Vibrionaceae
Genus : Aeromonas
Species : Aeromonas hydrophila
2.5.2 Patogenitas Bakteri Aeromonas hydrophila
Menurut Swan & White (1989) dalam Grandiosa et al. (2009) bakteri A. hydrophila
menyebabkan penyakit pada ikan air tawar yang dikenal dengan Motile Aeromonas
Septicemia (MAS), Hemorrhagic Septicemia, penyakit ulcer atau Red-Sore Disease.
Penyakit tersebut menyebabkan kerusakan pada permukaan tubuh ikan dan organ dalam
ikan. Bakteri A. hydrophila merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang
umumnya ditemui pada organ saluran pencernaan ikan.
Menurut Swann & White (1989) dalam Grandiosa et al. (2009) infeksi pada tubuh
ikan dapat terjadi di bagian permukaan tubuh dan organ dalam ikan.Organ tersebut yang
dapat diserang oleh bakteri A. hydrophila diantaranya adalah ginjal, insang, pankreas,
maupun otot tulang. Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh bakteri A. hydrophila sangat
bervariasi diantaranya dapat disebabkan oleh faktor virulensi dari bakteri, keberadaan
septicemia dan bacteremia, resistensi ikan terhadap luka, dan faktor lain yang seperti
kondisi stress pada ikan.
A. hydrophila merupakan bakteri bersifat patogen oportunistik yang ditemukan di
perairan dan menyerang ikan pada waktu ikan lemah. Bakteri tersebut, selain dapat hidup
di air tawar juga dapat hidup diperairan payau dan laut yang mempunyai jangkauan suhu
yang luas (Farmer et al. 2000).
2.6 Uji Aktivitas Antibakteri
Menurut Jawetz et al. (2005) pengukuran tingkat patogenitas bakteri terhadap
antimikroba dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode pokok yaitu
metode dilusi dan difusi.
1. Metode Dilusi
Metode dilusi merupakan metode pengukuran tingkat patogenitas bakteri
menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap pada media
cair maupun padat. Selanjutnya media diinokulasikan bakteri uji dan didiamkan. Pada
tahap akhir antimikroba dilarutkan dengan menggunakan kadar yang menghambat atau
mematikan. Uji tingkat kepekaan menggunakan cara dilusi cair dilakukan dengan
menggunakan tabung reaksi yang mana tidak praktis dan jarang digunakan, namun pada
saat ini terdapat cara yang lebih sederhana yaitu menggunakan microdilution plate.
Keuntungan menggunakan microdilution plate adalah uji ini memberikan hasil yang
bersifat kuantitatif yang menunjukan jumlah antimikroba yang diperlukan untuk
mematikan bakteri.
2. Metode Difusi
Metode difusi merupakan metode yang paling sering dilakukan, dengan
kebanyakan menggunakan difusi agar. Pada metode difusi tersebut memerlukan cakram
kertas saring yang berisi obat atau ekstrak dalam jumlah tertentu yang ditempatkan
pada suatu medium padat yang sebelumnya telah diinokulasikan menggunakan bakteri
uji pada bagian permukaannya. Setelah perlakuan inkubasi maka diameter zona bening
sekitar area cakram dapat digunakan sebagai alat ukur kekuatan hambatan obat atau
ekstrak terhadap bakteri uji. Metode difusi ini dapat terpengaruh oleh beberapa faktor
fisika dan kimia, selain faktor antara obat dengan bakteri.
2.7 Mekanisme Antimikroba
Menurut Jawetz (2005) mekanisme senyawa antimikroba, di antaranya sebagai
berikut:
1. penghambatan sintesis dinding sel
2. merubah permeabilitas membran sel atau transpor aktif melalui membran
3. penghambatan sintesis protein (penghambatan penerjemahan dan transkripsi material
genetik)
4. penghambatan sintesis asam nukleat.
2.8 Ikan Gurame ( Osphronemus gouramy )
Menurut Febrian (2011), ikan gurame banyak diminati dan dikonsumsi sehingga
harganya mahal dan merupakan komoditas penting perikanan air tawar di Indonesia. Ikan
gurame (O. gouramy) merupakan salah ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di
Indonesia. Ikan gurame mempunyai nilai ekonomis yang cukup mahal karena harga jual di
pasarannya paling baik dibandingkan dengan ikan air tawar lainnya dan fluktuasi harganya
relatif stabil. Sebagai protein hewani, ikan gurame mengandung gizi yang baik, rasa
dagingnya lezat, gurih dan tekstur dagingnya tidak lembek (Resapti & Santoso 1993).
Menurut Sitanggang & Sarwono (2006) dalam Rahman (2008) ikan gurame (O.
gouramy) merupakan ikan konsumsi dan hias yang sudah dikenal orang sejak tahun 1802.
Publikasi tentang ikan gurame berlangsung pada tahun 1985. Darimana asal gurame yang
asli belum diketahui, namun menurut The Complete Aquarist’s Guide to Freshwater yang
diedit oleh John Gilbert, dikemukakan bahwa ikan gurame berasal dari kepulauan Sunda
Besar. Wilayah persebaran ikan gurame sebagai ikan budidaya meliputi wilayah yang sangat
luas yang meliputi Kepulauan Indonesia (Madura, Sulawesi utara, Sumatera Barat, Sumatera
Utara) dan negara tetangga seperti Filipina.
Klasifikasi gurame menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phyllum : Chordata
Classis : Pisces
Ordo : Labyrinthici
Sub-Ordo : Anabantoidei
Familia : Anabantidae
Genus : Osphronemus
Species : Osphronemus gouramy, Lac.
Tubuh ikan gurame (Osphronemus gouramy) memanjang dan pipih ke samping dan
pada umumnya mempunyai warna tubuh biru keperakan dengan bagian warna pada
punggung yang lebih gelap dan hijau kebiruan. Namun, warna tubuhnya tersebut bervariasi
tergantung habitatnya. Pada bagian perut berwarna putih, bagian bawah pada punggungnya
dan batang ekornya terdapat bintik hitam yang sangat jelas. Ikan gurame mempunyai sirip
punggung berjari-jari keras sebanyak 12-13 buah dan jari-jari lemah sebanyak 11-13 buah.
Sirip duburnya mempunyai jari-jari keras sebnyak 9-11 buah dan jari-jari lemah sebanyak
13-14 buah dan sepasang sirip perutnya yang mempunyai jari-jari keras 1 buah dan jari-jari
lemah sebanyak 5 buah yang mengalami perubahan bentuk menjadi sepasang benang
panjang yang berfungsi sebagai alat peraba. Letak garis rusuk menyilang di bagian bawah
sirip punggung, jumlah sisik pada garis rusuk 30-33 (Saanin, 1968).
Menurut Susanto dalam Rahman (2008) ikan gurame memiliki alat pernafasan
tambahan yaitu labirin seperti pada ikan lele. Labirin merupakan alat pernafasan tambahan
pada ikan yang berupa lipatan-lipatan epithelium pernafasan yang berfungsi untuk
mengambil oksigen secara langsung dari udara. Alat tambahan (labirin) tersebut merupakan
turunan dari lembar insang pertama.
Ikan seperti pada makhluk hidup pada umumnya memiliki mekanisme pertahanan
diri terhadap patogen. Sistem pertahanan tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya : umur, jenis kelamin, dan lingkungan. Sistem pertahanan tubuh yang dimiliki
ikan terdiri atas dua macam, yaitu sistem pertahanan spesifik dan sistem pertahanan non-
spesifik (Irianto, 2005).
Sistem pertahanan spesifik merupakan sistem pertahanan yang responnya
memerlukan rangsangan terhadap penyakit tertentu. Sistem tersebut dibagi kedalam dua
macam yaitu sistem pertahanan seluler dan sistem pertahanan humoral. Sistem pertahanan
seluler dihasilkan oleh aktivitas limfosit T (sel-sel T) pada kelenjar timus. Sistem pertahanan
humoral dihasilkan oleh aktivitas limfosit B (sel-sel B). Sel-sel T dapat bekerja apabila ada
antigen yang masuk, selanjutnya mengadakan interaksi langsung dengan antigen tersebut
untuk merusaknya. Sel-sel B akan bekerja apabila diaktivasi oleh pengenalan suatu benda
atau substansi asing, selanjutnya sel-sel B menjadi sel-sel plasma yang memproduksi
antibodi.
Sistem pertahanan non-spesifik merupakan sistem pertahanan yang mempunyai
fungsi untuk melawan berbagai penyakityang dihasilkan dari sel induk yang bersifat
permanen dan dalam pembentukannya tidak memerlukan sebuah rangsangan.