bab ii tinjauan pustaka 2.1 2
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jalan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.38. Tahun 2004. Jalan adalah
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada
permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air,
serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. (UU RI
No. 38 Tahun 2004).
2.2 Sistem Jaringan Jalan
Sistem jaringan jalan adalah suatu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada
dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hubungan hierarkis. Sistem Jaringan Jalan
Primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang
dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan
pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat didalam kawasan perkotaan, ini
berarti sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai keperumahan.
(UU RI No. 38 Tahun 2004).
2.3 Ruas Jalan
Beberapa ruas jalan yang perlu diketahui antara lain panjang, jumlah jalur,
kecepatan, tipe antara kecepatan dan arus pada ruas tersebut. Setiap ruas jalan yang
harus gangguan simpang, kapasitas serta hubungan dikondifikasikan harus dilengkapi
dengan beberapa atribut yang menyatakan perilaku, ciri, serta kemampuan ruas jalan
untuk mengalirkan lalu lintas.beberapa atribut tersebut adalah panjang ruas, kecepatan
7
ruas (kecepatan arus bebas dan kecepatan sesaat), serta kapasitas ruas yang dinyatakan
dalam satuan mobil penumpang (smp) per jam. (Tamin, 2000).
2.4 Klasifikasi Jalan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2004 tentang jalan,
klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya dibedakan atas :
a) Jalan Arteri adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdayaguna.
b) Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-
rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c) Jalan Lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan
jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d) Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
Undang-Undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, klasifikasi jalan
berdasarkan status jalan dibagi menurut kewenangan pembinaannya, yaitu:
a) Jalan Nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, dan jalan strategis
nasional, serta jalan tol. Jalan nasional merupakan jalan yang pembinaannya
berada pada pemerintah pusat.
b) Jalan Provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota, atau
antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi. Jalan provinsi
merupakan jalan yang pembinaanya diserahkan kepada Pemerintah Daerah
Tingkat I.
c) Jalan Kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
8
tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan
lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten. Jalan
Kabupaten merupakan jalan yang pembinaanya diserahkan kepada Pemerintah
Daerah Tingkat II.
d) Jalan Kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayan dengan persil, menghubungkan antar pensil, serta menghubungkan
antar pusat pemukiman yang berada di dalam kota.
e) Jalan Desa merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau
antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
2.5 Simpang
Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua sistem
jalan. Persimpangan jalan dapat didefinisikan sebagai daerah umum dimana dua jalan
atau lebih bergabung atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk
pergerakan lalulintas didalamnya. (Khisty dan Lall, 2003).
Persimpangan merupakan bagian terpenting dari sistem jaringan jalan yang
secara umum kapasitas persimpangan dapat dikontrol dengan mengendalikan volume
lalulintas dalam system jaringan jalan tersebut.Pada prinsipnya persimpangan adalah
pertemuan dua atau lebih jaringan jalan. (Alamsyah, 2005)
2.5.1 Tipe – Tipe Simpang
Karakteristik utama dari transportasi jalan ialah bahwa setiap pengemudi bebas
untuk memilih rutenya sendiri didalam jaringan transportasi yang ada, karena itu perlu
disediakan persimpangan-persimpangan untuk menjamin aman dan efisiennya arus
lalu-lintas yang hendak pendah dari suatu ruas jalan ke ruas jalan yang lain.
Persimpangan jalan terdiri dari dua kategori utama, yaitu perimpangan sebidang dan
persimpangan tidak sebidang. (Morlok, 1978).
9
a) Persimpangan Sebidang
Menurut Morlok (1978) persimpangan sebidang adalah perimpangan
dimana berbagai jalan atau ujung jalan masuk kepersimpangan mengarahkan
lalu-lintas, masuk ke jalur yang dapat berlawanan dengan lalu-lintas lainnya,
seperti misalnya persimpangan pada jalan-jalan di kota. Pada dasarnya terdapat
empat pertemuan pergerakkan lalu-lintas pada simpang (Alamsyah, 2005) :
• Berpisah (Diverging)
• Pengabungan (Merging)
• Berpotong (Crossing)
• Bersilang (Weaving)
Persimpangan sebidang juga terbagi menjadi 2 jenis, yaitu simpang tak
bersinyal dan simpang sinyal.
• Simpang Bersinyal (Terkontrol)
Simpang bersinyal adalah simpang yang dikendalikan oleh lampu lalu-lintas.
Sinyal lalu-lintas adalah semua peralatan pengaturan lalu-lintas yang
menggunakan tenaga listrik, rambu dan marka jalan untuk mengarahkan atau
mepertimbangkan pengemudi kendaraan bermotor, sepeda dan pejalan kaki.
(Oglesby dan Hick, 1982).
Persimpangan bersinyal biasanya digunakan dengan beberapa alasan
tertentu (keuntungan), antara lain:
a. Untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik lalu
lintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat
dipertahankan, bahan selama kondisi jam puncak.
b. Untuk memberikan kesempatan pada kendaraan atau pejalan kaki dari
jalan minor untuk memotong jalan utama.
c. Untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara
kendaraan–kendaraan dari arah yang bertentangan.
10
Namun penggunaan sinyal pada persimpangan tidak hanya memberikan
keuntungan namun terdapat juga kerugiannya, yaitu:
a. Akibat dari penggunaan fase maka pada umumnya kapasitas
keseluruhan dari persimpangan akan berkurang.
b. Semakin banyak fase yang digunakan maka kapasitas simpang akan
semakin berkurang.
c. Diperlukan biaya yang lebih besar untuk pembuatan simpang bersinyal
dibandingkan dengan simpang tak bersinyal.
Beberapa cara mengatasi masalah–masalah kemacetan lalu lintas pada
persimpangan baik bersinyal maupun tak bersinyal sebagai berikut (Dirjen.
Bina Marga, 1997):
a. Dengan rambu lalu lintas atau marka jalan “STOP” pada jalan minor
dengan maksud memberikan memberikan prioritas bagi lalu lintas pada
jalan mayor.
b. Melalui penegakan aturan hak jalan lebih dulu dari kiri.
c. Pengaturan oleh polisi ada jam–jam tertentu saja, seperti pada jam–jam
sibuk.
d. Pulau–pulau lalu lintas dan bundaran, digunakan apabila lebar jalan
lebih dari 10 m untuk memudahkan pejalan kaki menyebrang, dapat
juga memisahkan titik–titik konflik arus lalu lintas sehingga pengendara
dapat secara cepat mengambil keputusan, mengikuti arah mana yang
akan diambil.
e. Dengan alat pemberi isyarat lalu lintas pada persimpangan.
• Simpang Tidak Bersinyal (Tidak Terkontrol)
Menurut Munawar (2006) jenis simpang jalan yang paling banyak dijumpai
diperkotaan adalah simpang jalan tak bersinyal. Jenis ini cocok diterapkan
apabila arus lalu-lintas di jalan minor dan pergerakkan membelok sedikit.
Namun apabila arus lalu-lintas di jalan utama sangat tinggi sehingga resiko
11
kecelakaan bagi kendaraan di jalan minor meningkat (akibat terlalu berani
gap yang kecil), maka pertimbangan adanya sinyal lalu-lintas.
Karakteristik simpang tak bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai
berikut:
a. Pada umumnya digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan
daerah pedalaman untuk persimpangan antar jalan setempat yang
arusnya rendah.
b. Untuk melakukan perbaikan kecil pada geomerik simpang agar dapat
mempertahankan tingkat kinerja lalu lintas yang diinginkan.
Dalam perencanaan simpang tak bersinyal disarankan hal sebagai
berikut:
a. Sudut simpang harus mendekati 900 , dan sudut yang lain dihindari
demi keamanan lalu lintas.
b. Harus disediakan fasilitas agar gerakan blokir kiri dapat dilepaskan
dengan konflik yang terkecil terhadap gerakan kendaraan yang lain.
c. Lajur terdekat dengan kerb harus lebih lebar dari yang biasa untuk
memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor.
d. Lajur membelok yang terpisah sebaiknya direncanakan “menjauhi”
garis utama lalu lintas, panjang lajur membelok harus cukup
mencegah antrian terjadi pada kondisi arus tertinggi yang dapat
menghambat lajur terus.
e. Pulau lalu lintas tengah harus digunakan bila lebar jalan lebih dari 10
m untuk memudahkan pejalan kaki menyebrang.
f. Jika jalan utama mempunyai median, sebaiknya paling sedikit
lebarnya 3– 4 m, untuk memudahkan kendaraan dari jalan kedua
menyebrang dalam dua langkah (tahap).
g. Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dan dengan lintasan yang
jelas bagi gerakan yang berkonflik.
12
b) Persimpangan Tidak Sebidang
Simpang tak sebidang biasanya menyediakan gerakan membelok tanpa
berpotongan, maka diperlukan tikungan yang besar dan sulit serta biaya yang
mahal. Ertemuan jalan tak sebidang juga membutuhkan daerah yang luas serta
penempatan dan tata letaknya sangat dipengaruhi oleh topografi. Contoh
keragaman tipe pertemuan jalan tak sebidang antara lain adalah bundaran dan
laying-layang atas pertigaan bentuk Y dimodifikasi satu jembatan, pertigaan
bentuk T dimodifikasi bentuk jembatan dan sebagainya. (Hobbs, 1979).
2.5.2 Kapasitas Persimpangan
Kapasitas persimpangan merupakan arus maksimum kendaraan yang dapat
melewati persimpangan menurut kontrol yang berlaku, kondisi lalu-lintas, dan kondisi
geometrik jalan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas dan tingkat pelayanan
simpang adalah:Kondisi fisik simpang dan operasi, Kondisi lingkungan, Karakteristik
gerakan lalu-lintas, Karakteristik lalu-lintas kendaraan berat. (Oglesby dan Hick 1982).
2.5.3 Kinerja Simpang Bersinyal
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) parameter umum perhitungan
kinerja simpang bersinyal adalah sebagai berikut:
2.5.3.1 Data Masukan
a) Kondisi Geometrik dan Lingkungan
Kondisi geometrik digambarkan dalam bentuk gambaran sketsa yang
memberikan informasi lebar jalan, lebar bahu dan lebar median serta
petunjuk arah untuk tiap lengan simpang.
b) Kondisi Arus Lalu-Lintas
Data lalu lintas dibagi dalam tipe kendaraan tidak bermotor (UM), sepeda
motor (MC), kendaraan ringan (LV) dan kendaraan berat (HV). Arus lalu
lintas tiap approach dibagi dalam tiap pergerakan, antara lain: gerakan belok
ke kanan, belok kiri dan lurus. Gerakan belok kiri pada saat lampu merah
(left turn on red, LTOR) diijinkan jika mempunyai lebar approach yang
13
cukup sehingga dapat melintasi antrian pada kendaraan yang lurus dan belok
kanan. Setiap approach harus dihitung perbandingan belok kiri (PLT) dan
perbandingan kanan (PRT), yang diformulasikan dibawah ini.
ρLT = LT/QTOTAL (2.1)
ρRT = RT/QTOTAL (2.2)
Ekivalen mobil penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat
terlindung dan terlawan. Ekivalen mobil penumpang (emp) berdasarkan
Tabel 2.1.
Tabel 2. 1. Nilai Konversi smp Kendaraan Untuk Simpang Bersinyal
Jenis Kendaraan Emp untuk tipe pendekat
Terlindung Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1.0 1.0
Kendaraan Berat (HV) 1.3 1.3
Sepeda Motor (MC) 0.2 0.4
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (1997)
2.5.3.1 Persinyalan
a) Fase Sinyal
Jumlah fase yang baik adalah fase yang menghasilkan kapasitas besar
dan rata- rata tundaan rendah. Bila arus belok kanan dari suatu pendekat
yang di tinjau dan atau arah berlawanan terjadi pada fase yang sama
dengan arus berangkat lurus dan belok kiri dari endekat tersebut maka arus
ini dinyatakan sebagai opposed. Sedangkan arus belok kanan yang
dipisahkan fasenya dengan arus lurus atau belok kanan tidak diizinkan
makan arus dinyatakan protected.
14
b) Waktu Antar Hijau
Untuk analisa operasional dan perencanaan, disarankan untuk membuat
suatu perhitungan rinci waktu antar hijau untuk waktu pengosongan dan
waktu hilang.Waktu antara hijau (intergreen) dapat dianggap sebagai nilai
normal berdasarkan nilai Tabel 2.2.
Tabel 2. 2. Waktu Antar Hijau Untuk Simpang Bersinyal Ukuran Simpang Rata-rata Lebar Jalan Nilai Normal Waktu antara Hijau
Kecil 6-9 m 4 detik / fase
Sedang 10-14 m 5 detik / fase
Besar >15 m > 6 detik / fase
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997.
Titik konflik pada masing fase (i) adalah titik yang menghasilkan
waktu merah semua terbesar yaitu:
CT = (2.3)
Dimana :
LEV, LAV = Jarak dari garis henti ketitik konflik masing-masing untuk
kendaraan yang berangkat dan yang datang (m).
IEV = Panjang kendaraan yang berangkat (m).
VEV, VAV = Kecepatan masing-masing untuk kendaraan yang
berangkat dan yang datang (m/det).
Nilai-nilai dari yang dipilih untuk VEV, VAV dan IEV tergantung dari
komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai
sementara berikut dapat dipilih dengan ketiadaan anturan di Indonesia
akan hal ini.
• Kecepatan kendaraan yang datangVEV, 10 m/det (kend. bermotor)
• Kecepatan kendaraan yang berangkat VEV, 10 m/det (kend. bermotor),3
m/det (kend. tak bermotor), 1,2 m/det (pejalan kaki).
• Panjang kendaraan yang berangkat IEV,5 m/det (LV danHV),2 m (MC,
15
UM). Periode allread antara fase harussama atau lebih besar dari
clearance time. Setelah waktu allread ditentukan, total waktu hilang
(LTI) dapat dihitung sebagai penjumlahan periode waktu antara hijau
(IG).
LTI = ∑ (allread + kuning) I = ∑ IG I (2.4)
Periode waktu kuning untuk sinyal lalu-lintas daerah perkotaan di
indonesia biasanya diambil 3 detik.
2.5.3.2 Penentuan Waktu Sinyal
a) Lebar Efektif approach
Perhitungan lebar efektif (We) pada tiap approach didasarkan pada
informasi tentang lebar approach (WA), lebar entry (WENTRY) dan lebar
exit (WEXIT).
b) Arus Jenuh Dasar
Arus jenuh dasar (So) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan
faktor penyesuaian (F) untuk penyempitan dari kondisi sebenarnya, dari
suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan
sebelumnya.
S = 600 x We (smp/jam hijau) (2.5)
c) Penentuan tipe approach dengan tipe terlindung (Protected) atau
terlawan (Opposite).
d) Faktor Penyesuaian
• Penentuan faktor koreksi untuk nilai arus lalu-lintas dasar kedua tipe
approach.
1) Faktor penyesuain hambatan samping (FSF) di tentukan dengan
Tabel 2.3 dan Tabel 2.4, sebagai fungsi dari jenis lingkungan jalan
dan rasio kendaraan tak bermotor.
Tipe lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata
16
guna tanah dan diaksesibilitasi jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya.
Tipe Lingkungan Jalan Untuk Simpang Bersinyal disajikan pada Tabel
2.3.
Tabel 2. 3. Tipe Lingkungan Jalan Untuk Simpang Bersinyal
Komersial
Guna lahan komersial (misalnya pertokoan,
rumah makan, perkantoran) dengan jalan
masuk langsung bagi pejalan kaki dan
kendaraan.
Pemukiman
Guna lahan tempat tinggal dengan jalan
masuk langsung bagi pejalan kaki dan
kendaran.
Akses Terbatas
Tanpa jalan masuk atau jalan masuk
langsung terbatas (misalnya karena adanya
penghalang fisik, jalan samping dsb.)
Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997.
Tingkat hambatan samping dibedakan menjadi tiga, Tinggi yaitu
besar arus berangkat pada tempat masukan dan ke luar berkurang
olehkarena aktifitas disamping jalan pada pendekat seperti angkutan
umum berhenti, perjalan kaki berjalan sepanjang atau melintas
pendekat, keluar-masuk halaman disamping jalan tsb. Rendah yaitu
besar arus berangkat pada tempat pada tempat masuk dan keluar tidak
berkeluar tidak berkurang oleh hambatan samping dari jenis-jenis
yang disebut di atas. Faktor penyesuain lingkungan jalan (FRSU) untuk
simpang bersinyal disajikan pada Tabel 2.4.
17
Tabel 2. 4. Faktor Penyesuaian Lingkungan Jalan (FRSU) Untuk Simpang Bersinyal
Hambatan Samping
(SF) Tipe Fase
Rasio kendaraan tak bermotor
0 0.0
5 0.1
0.1
5 0.2 ≥ 0.25
Komersial
(COM)
Tinggi
Terlawan 0.9
3
0.8
8
0.8
4
0.7
9
0.7
4 0.70
Terlindun
g
0.9
3
0.9
1
0.8
8
0.8
7
0.8
5 0.81
Sedang
Terlawan 0.9
4
0.8
9
0.8
5 0.8
0.7
5 0.70
Terlindun
g
0.9
4
0.9
2
0.8
9
0.8
5
0.8
6 0.82
Rendah
Terlawan 0.9
5
0.9
0
0.8
6
0.8
1
0.7
6 0.72
Terlindun
g
0.9
5
0.9
3 0.9
0.8
9
0.8
7 0.83
Pemukima
n (RES)
Tinggi
Terlawan 0.9
6
0.9
1
0.8
6
0.8
1
0.7
8 0.72
Terlindun
g
0.9
6
0.9
4
0.9
2
0.9
9
0.8
6 0.84
Sedang
Terlawan 0.9
7
0.9
2
0.8
7
0.8
2
0.7
7 0.73
Terlindun
g
0.9
7
0.9
5
0.9
3
0.9
0
0.8
7 0.85
Rendah
Terlawan 0.9
8
0.9
3
0.8
8
0.8
3
0.7
8 0.74
Terlindun
g
0.9
8
0.9
6
0.9
4
0.9
1
0.8
8 0.86
Akses
Terbatas
(RA)
Tinggi/Sedang/Renda
h
Terlawan 1.0
0
0.9
5
0.9
0
0.8
5
0.8
0 0.75
Terlindun
g
1.0
0
0.9
8
0.9
5
0.9
3
0.9
0 0.88
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1997).
2) Faktor koreksi ukuran kota (Fcs) dapat ditentukan dari Tabel 2.5
sebagai fungsi dari ukuran kota.
18
Tabel 2. 5.Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS) Untuk Simpang Bersinyal
Ukuran Kota Penduduk (Juta) Faktor Penyesuian (Fcs)
Sangat Kecil
Kecil 0,1 – 0,5 0,88
Sedang 0,5 – 1,0 0,94
Besar 1,0 – 3,0 1,00
Sangat Besar > 3,0 1,05
Ukuran Kota Penduduk (Juta) Faktor Penyesuian (Fcs)
Sangat Kecil
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1997)
3) Faktor koreksi kelandaian (FG), adalah fungsi dari kelandaian
lengan samping ditentukan dari Gambar 1.
4) Faktor koreksi parkir (Fp), adalah jarak dari garis henti
kendaraan yang parkir pertama dan lebar approach ditentukan
dari formula di bawah ini atau diperlihatkan dalam Gambar 2.1.
Gambar 2. 1. Faktor Penyesuai untuk Kelandaian (FG) Untuk Simpang Bersinyal.
19
• Penentuan faktor koreksi untuk nilai arus jenuh dasar yang
hanya untuk tipe approach (Protected).
1) Faktor koreksi belok kanan (FRT), ditentukan sebagai fungsi
perbandingan kendaraan yang berbelok kanan (ρRT). Faktor ini
hanya untuk tipe approach (Protected). Untuk jalan dua lalur dan
diperlihatkan pada Gambar 3. Untuk jalan dua lajur tampa
median, kendaraan yang berbelok kanan terlindung tipe approach
(Protected), cenderung untuk melewati garis tengah sebelum
garis henti ketika mengkhari belokannya. Kasus ini akan
menambahkan arus jenuh dengan perbandingan tinggi di lalu-
lintas belok kanan.
2) Faktor koreksi belok kiri (FLT), ditentukan sebagai fungsi
perbandingan belok kiri (ρRT). Faktor ini hanya untuk tipe
approach tanpa LTOR. (Gambar 4).
Gambar 2. 2. Faktor Penyesuai Pengaruh parkir Untuk Simpang Bersinyal
20
Dalam approach yang terlindung, tampa pelengkapan untuk
LTOR, kendaraan yang berbelok kiri cenderung menurun pelan
dan dapat mengurangi arus jenuh pada approach. Pada umumnya
lebih pelan pada lalu-lintas dalam approach tipe (Opposed) dan
tidak ada koreksi yang dimasukkan pada perbandingan untuk
belok kiri.
• Perhitungan penilaian arus jenuh
Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus
jenuh dasar
Gambar 2. 3. Faktor Penyesuai Belok Kanan Untuk Simpang Bersinyal
Gambar 2. 4. Faktor Penyesuai Belok Kiri Untuk Simpang Bersinyal
21
(S0
) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F)
untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya.
S = S0
x FCS
x FSF
x FG
x FP
x FLT
x FRT
(2.6)
Dimana :
S = arus jenuh (smp/waktu hijau efektif)
S0
= arus jenuh dasar (smp/waktu hijau efektif)
FSF
= faktor koreksi arus jenuh akibat adanya gangguan samping
FCS
= faktor koreksi arus jenuh akibat ukuran kota (jumlah penduduk)
FG
= faktor koreksi arus jenuh akibat kelandaian jalan
FP
= faktor koreksi arus jenuh akibat adanya kegiatan perparkiran
FLT
= faktor koreksi arus jenuh akibat adanya pergerakan belok kiri
FRT
= faktor koreksi arus jenuh akibat adanya pergerakan belok kanan
e) Perbandingan Arus dengan Arus Jenuh
Rasio Arus (FR) Merupakan rasio arus terhadap arus jenuh. Rasio arus
jenuh masing-masing pendekat dapat diketahui dengan persamaan
berikut: (Direktorat Jenderal Bina Marga: 1997) .
FR = Q/S (2.7)
Dimana :
FR = Rasio Arus
Q = Arus lalu-lintas (smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/waktu hijau efektif)
Rasio arus simpang sebagai jumlah rasio arus kritis dari nilai-nilai FR
(tertinggi) untuk semua fase sinyal yang berurutan dalam suatu siklus.
IFR dapat dihitung dengan persamaan berikut: (Direktorat Jenderal Bina
Marga: 1997).
IFR = Σ (FR)crit (2.8)
22
Dimana :
(FRcrit) = Rasio arus tertinggi
IFR = Rasio arus simpang
Rasio Fase (PR) Merupakan rasio arus kritis dibagi dengan rasio arus
simpang. Rasio Fase dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(Direktorat Jenderal Bina Marga: 1997).
PR = FRCRIT
/IFR (2.9)
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) menjelaskan, waktu
siklus yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap
(yaitu antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama)
Cua = (1.5 x LTI + 5) / (1-IFR) (2.10)
Dimana :
cua = Waktu siklus (detik)
LTI = Jumlah waktu hilang (detik)
IFR = Rasio arus simpang
FRCRIT = Nilai FR tertinggi
Waktu hijau yang lebih pendek dari 10 detik harus dihindari karena
berakibat munculnya pelanggaran lampu merah dan kesulitan bagi
pejalan kaki dan penyebrangan jalan.
gi = (cua – LTI) x PRi (2.11)
Dimana:
gi = Tampilan waktu hijau pada fase I (detik)
cua = Waktu siklus (detik)
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) waktu siklus yang
disesuaikan (c) berdasarkan pada waktu hijau yang diperoleh dan
dibulatkan dan waktu hilang LTI. Waktu siklus disesuaikan dapat
23
dihitung menggunakan persamaan berikut:
c = ∑ g + LTI (2.12)
2.5.3.3 Kapasitas Simpang Bersinyal
Kapasitas pendekat diperoleh dengan perkalian arus jenuh dengan rasio
hijau pada masing-masing pendekat dinyatakan dalam persamaan berikut :
C = S x g/c (smp/jam) (2.13)
Dimana :
C = kapasitas (smp/jam)
S = arus jenuh (smp/jam)
g = waktu hijau efektif (detik)
c = waktu siklus
Derajat kejenuhan adalah rasio dari arus lalu lintas terhadap kapasitas.
Derajat kejenuhan (DS) dapat diperoleh dengan rumus dibawah ini:
DS = Q/C = (Q x c) / (S x g) (2.14)
Dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus lalulintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
g = waktu hijau efektif c = waktu siklus
Batasan DS yang harus dilakukan modifikasi adalah 0,85. Jadi apabila
didapat DS yang melebihi 0,85 maka harus diadakan modifikasi (perbaikan).
Tingkat kejenuhan (DS) dirumuskan sebagai berikut: (Direktorat Jenderal Bina
Marga: 1997).
2.5.3.4 Tingkat Performasi Simpang Bersinyal
Tingkat perfomansi suatu simpang antara lain; pajang antrian kendaraan
terhenti dan tundaan. Dalam perhitungan ini beberapa persiapan antara lain
24
persiapan waktu yang semula diganti detik dan hitungan nilai hijau GR= g/c.
1. Panjang antrian (QL)
Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) Untuk DS >0.
NQ1 (2.15)
Untuk DS ≤ 0.5, NQ1 = 0
Jumlah antrian smp yang datang selama fase merah (NQ2) dihitung
dengan formula berikut :
NQ2 = c (2.16)
NQ = NQ1 + NQ2 (2.17)
Dimana :
NQ1 = jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya
NQ2 = jumlah smp yang datang selama fase merah
DS = derajat kejenuhan GR = rasio hijau
c = waktu siklus (det)
C = kapasitas(smp/jam) = arus jenuh kali rasio hijau ( S x GR)
Q = arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/det)
Untuk menentukan NQmax dapat dicari dari Gambar 5, dengan
menghubungkan nilai NQ dan probabilitas overloading PoL (%). Untuk
merencanakan dan desain disarankan nilai PoL < 5 % sedangkan untuk
operasional disarankan PoL 5 – 10%.
25
Perhitungan panjang antrian (QL) didapat dari perkalian antara
NQmax dengan rata-rata area yang ditempati tiap smp (20 m²) dan dibagi
lebar entry (Wentry), yang dirumuskan dibawah ini.
QL = (meter) (2.18)
2. Kendaraan terhenti
Angka henti (NS) adalah jumlah rata-rata berhenti per smp, termasuk
berhenti berulang dalam antrian. Angka henti pada masing-masing
pendekat dapat dihitung berdasarakan rumus berikut ini.
NS =0.9 x (3600) (2.19)
Dimana :
c = waktu sikus (detik)
Q = arus lalulintas (smp/jam)
Jumlah kendaraan yang berhenti (Nsv) pada masing-masing pendekat
dapat dihitung dengan rumus.
Nsv = Q x NS (smp/jam) (2.20)
Angka henti seluruh simpang didapat dengan membagi jumlah
Gambar 2. 5. Perhitungan jumlah antrian (NQmax) dalam smp untuk simpang bersinyal
26
kendaraan terhenti pada seluruh pendekat dengan arus simpang total Q
dalam kend/jam.
NSTOT= (2.21)
3. Tundaan
Tundaan lalulintas rata-rata tiap approach ditentukan dengan formula
berikut.
DT = c + (2.22)
Dimana :
DT = Tundaan lalulintas rata-rata (det/smp)
c = waktu siklus (det)
GR = Rasio Hijau (g/c) DS = Derajat kejenuhan
NQ1 = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
C = Kapasitas (smp/jam)
Tundaan geometrik rata-rata masing-masing approach (DG) akibat
perlambatan dan percepatan ketika menunggu giliran pada suatu simpang
dan dihentikan oleh lampu lalulintas dihitung berdasarkan formula berikut
ini.
DGj = (1 – Psv) x PT x 6 + (Psv x 4) (2.23)
Dimana :
DGj = Tundaan geometri rata-rata pada pendekatj (dek/smp)
Psv = Rasio kendaraan pada suatu pendekat
PT = Rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat Tundaan
geometrik rata-rata LTOR diambil sebesar 6 detik.
Tundaan rata-rata (det/smp) adalah penjumlahan dari tundaan lalu-
lintas rata-rata dan tundaan geometrik rata-rata.
D = DT + DG (2.24)
27
Tundaan total (smp.det) adalah perkalian antara tundaan rata-rata
dengan arus lalu- lintas (DxQ).
Tundaan rata-rata untuk seluruh simpang (DI) di dapat dengan
membagi jumlah nilai tundaan dengan arus total.
DI = (det/smp) (2.25)
Tundaan rata-rata dapat digunakan sebagai indikator tingkat
pelayanan dari masing-masing approach, demikian juga dari suatu
simpang secara keseluruhan.
2.5.4 Kinerja Simpang Tak Bersinyal
Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga (1997) parameter umum perhitungan
kinerja simpang tak bersinyal adalah sebagai berikut:
2.5.4.1 Kondisi Geometri
Kondisi geometri digambarkan dalam bentuk gambar sketsa yang memberian
informasi lebar jalan, batas sisi jalan, lebar bahu, lebar median dan petunjuk arah.
Approach untuk jalan minor harus diberi notasi A dan C, sedangkan Approach untuk
jalan mayor harus diberi notasi B dan D. Berikut ini adalah data masukan geometri
yang dibutuhkan untuk analisis kapasitas persimpangan.
a) Lebar Pendekat (W)
Lebar pendekat diukur pada jarak 10 m dari garis imajiner yang
menghubungkan tepi perkerasan dari jalan yang berpotongan yang dianggap
mewakili lebar pendekat efektif untuk masing-masing pendekat. Dengan
mengasumsikan ruas jalan A,C sebagai pendekat minor dan B,D sebagai
pendekat mayor maka lebar masing-masing pendekat adalah WA, WB, WC,
WD. Untuk perhitungannya adalah sebagai berikut :
WAC = (WA + WC)/2 (2.26)
WBD = (WB + WD)/2 (2.27)
28
Sebagai lebar rata-rata dari seluruh pendekat tersebut adalah :
WA = (WA + WC + WB + WD)/4 (4= jumlah lengan) (2.28)
dimana:
WA = a/2 (m)
WB = b/2 (m)
WC = c/2 (m)
WD = d/2 (m)
b) Tipe Simpang (IT)
Tipe simpang diklasifikasikan berdasarkan jumlah lengan, jumlah
lajur jalan mayor dan minor disajikan pada Tabel 2.6.
Tabel 2. 6. Kode Tipe Simpang
Kode IT Jumlah lengan
Simpang
Jumlah lajur jalan
minor Jumlah lajur jalan utama
322 3 2 2
324 3 2 4
342 3 4 2
422 4 2 2
424 4 2 4
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1997)
2.5.4.2 Arus Lalu-Lintas
Arus lalu lintas yang diberikan dalam LHRT (Lalu-lintas Harian Rata-Rata
Tahunan) didapatkan dari hasil konversi kend/jam menjadi smp/jam, dengan terlebih
dahulu mengalikan dengan faktor smp.
QDH = k x LHRT (2.29)
Dimana :
QDH = Arus total rata-rata per tahun (smp/jam)
K = Faktor pengali ke dalam LHRT
LHRT = Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan
29
Besarnya nilai konversi seperti pada Tabel 2.7 berikut ini :
Tabel 2. 7. Nilai konversi smp Kendaraan Pada Simpang Tak-bersinyal
Jenis Kendaraan Nilai Konversi
Ringan (Light Vehicle) 1,0
Berat (Heavy Vehicle) 1,3
Motor (Motor Cycle) 0,5
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga
Data masukan lain yang diperlukan untuk analisis adalah perhitungan rasio
belok dan rasio arus jalan. Rasio ini dihitung dengan rumusan sebagai berikut :
PLT = = (2.30)
PRT = = (2.31)
PMI = = (2.32)
QTOT = A + B + C + D (2.33)
Dimana :
PLT = Rasio belok kiri
PRT = Rasio belok kanan
PMI = Rasio arus jalan minor
A,B,C,D menunjukkan lalu lintas dalam smp/jam
2.5.4.3 Kapasitas
Kapasitas total untuk seluruh lengan simpang adalah hasil perkalian antara
kapasitas dasar (Co) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor – faktor
penyesuaian (F), dengan memperhatikan pengaruh kondisi lapangan terhadap
kapasitas. Data masukan untuk penentuan kapasitas adalah sebagai berikut :
a) Kapasitas Dasar (Co)
Kapasitas dasar merupkan kapasitas persimpangan jalan total untuk
suatu kondisi tertentu yang telah ditentukan sebelumnya (kondisidasar).
Kapasitas dasar simpang tak bersinyal (smp/jam) ditentukan berdasarkan tipe
30
simpang disajikan pada Tabel 2.8.
Tabel 2. 8. Kapasitas Dasar Simpang Tak Bersinyal Menurut Tipe Simpang
Tipe Simpang Kapasitas Dasar (smp/jam)
322 2700
342 2900
324 atau 344 3200
422 2900
424 atau 444 3400
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga, 1997.
b) Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (FW)
c) Faktor Penyesuaian Median Jalur Utama (FM)
Besarnya faktor penyesuaian median dapat dilihat pada Tabel 2.9. :
Tabel 2. 9. Faktor Penyesuaian Median
Uraian Tipe median Faktor penyesuaian Median
(Fw)
Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1,00
Ada median jalan utama < 3m Sempit 1,05
Ada median jalan utama ≥ 3 m Lebar 1,20
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga, 1997.
d) Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)
Faktor ini hanya dipengaruhi oleh variabel besar kecilnya umlah penduduk
Gambar 2. 6. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (FW)
31
dalam juta, seperti tercantum dalam Tabel 2.10 berikut :
Tabel 2. 10. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS) Untuk Simpang Tak Bersinyal
Ukuran Kota (CS) Penduduk (juta) Faktor Penyesuaian
Ukuran Kota (FCS)
Sangat kecil < 0,1 0,82
Kecil 0,1 – 0,5 0,88
Sedang 0,5 – 1,0 0,94
Besar 1,0 – 3,0 1,00
Sangat besar > 3,0 1,05
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga, 1997.
e) Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan, Kelas Hambatan Samping dan
Kendaraan Tak-bermotor (FRSU). Faktor penyesuaian lingkungan dapat dilihat
pada Tabel 2.11 berikut:
Tabel 2. 11. Tipe Lingkungan Jalan Untuk Simpang Tak Bersinyal
Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1997)
Faktor penyesuain lingkungan jalan (FRSU) untuk simpang tak bersinyal
disajikan pada Tabel 2.12.
Komersial
Guna lahan komersial (misalnya pertokoan, rumah makan,
perkantoran) dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan
kendaraan.
Pemukiman Guna lahan tempat tinggal dengan jalan masuk langsung bagi
pejalan kaki dan kendaran.
Akses Terbatas Tanpa jalan masuk atau jalan masuk langsung terbatas (misalnya
karena adanya penghalang fisik, jalan samping dsb.)
32
Tabel 2. 12. Faktor enyesuaian Lingkungan Jalan (FRSU) Untuk Simpang Tak
Bersinyal
Kelas Tipe Lingkungan
Jalan RE
Kelas
Hambatan
Samping SF
Rasio Kendaraan Tak Bemotor PUM
Komersial
Tinggi 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25
Sedang 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70
Rendah 0,94 0,80 0,85 0,80 0,75 0,70
Pemukiman
Tinggi 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,71
Sedang 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72
Rendah 0,97 0,92 0,87 0,82 077 0,93
Akses Terbatas Tinggi/Sedang/
Rendah
0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74
0,99 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75
f) Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
Faktor ini merupakan koreksi dari presentase seluruh gerakan lalu-lintas
yang belok kiri pada persimpangan. Rumus yang digunakan dalam pencarian
faktor penyesuaian belok kiri ini adalah:
FLT = 0,84 + 1,61 PLT (2.34)
Faktor ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
g) Faktor Penyesuaian belok kanan (FRT)
Faktor penyesuaian belok kanan merupakan koreksi dari presentase seluruh
gerakan lalu-lintas yang belok kanan pada persimpangan. Faktor ini dapat
Gambar 2. 7. Faktor Penyesuaian Belok kiri (FLT)
33
dilihat dari gambar dibawah ini:
h) Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor (FMI)
Pada faktor ini yang banyak mempengaruhi adalah rasio arus pada jalan
minor (PMI) dan tipe simpang (IT) pada persimpangan jalan tersebut. Faktor
ini dapat dilihat dari Gambar 9.
Kapasitas persimpangan secara menyeluruh dapat diperoleh dengan
rumus sebagai berikut:
C = Co x FW x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI (2.35)
Dimana :
C = Kapasitas (smp/jam) Co = Kapasitas dasar
FW = Faktor penyeuaian lebar masuk
FM = Faktor penyesuaian tipe median jalan utama
FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU = Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan dan hambatan samping
kendaraan tak bermotor
FLT = Faktor penyesuaian belok kiri FRT = Faktor penyesuaian belok kanan
Gambar 2. 8. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)
34
FMI = Faktor penyesuaian rasio jalan minor
Gambar 2. 9. Faktor Penyesuaian Arus Jalan Minor
35
2.5.4.4 Perilaku Lalu-lintas
Perilaku lalu-lintas adalah ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi
operasional fasilitas lalu linta. Perilaku lalu-lintas umumnya dinyatakan dalam
kapasitas, derajat kejenuhan, tundaan dan peluang antian.
a) Derajat Kejenuhan (DS)
Derajat kejenuhan untuk seluruh simpang, (DS) dihitung sebagai berikut:
DS = QTOT/C (2.36)
Dimana :
Qsmp : Arus total (smp/jam) dihitung sebagai berikut:
C : Kapasitas (smp/jam)
b) Tundaan
Tundaan merupakan waktu tempuh tambahan untuk melewati simpang bila
dibandingkan dengan situasi tanpa simpang, yang terdiri dari tundaan lalu lintas
dan tundaan geometrik. Tundaan lalu lintas (Degree of Traffic) merupakan
waktu menunggu akibat interaksi lalu lintas dengan gerakan yang lain dalam
simpang sedangkan tundaan geometri (Degree of Geometry) akibat
perlambatan dan percepatan kendaraan yang terganggu dan tidak terganggu.
Tundaan lalu lintas terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1) Tundaan Lalu-lintas Simpang (DT1)
Tundaan lalu lintas simpang adalah tundaan lalu-lintas rata-rata untuk
semua kendaraan bermotor yang masuk simpang. Untuk mendpatkan
nilai tundaan lalu lintas simpang dapat digunakan rumus berikut :
Untuk DS ≤ 0,6
DT1 = 2 + 8,2078 x DS – (1-DS) x 2 (2.37)
Untuk DS > 0,6
DT1 = 1,0504 / (0,2742 – 0,2042 x DS) - (1-DS) x 2 (2.38)
36
2) Tundaan Lalu-lintas Jalan Utama (DTMA)
Tundaaan ini merupkan tundaan lalu-lintas rata-rata semua kendaraan
bermotor yang masuk persimpangan dari jalan utama. DTMA ditentukan
dari rumus berikut: (Direktorat jenderal Bina Marga: 1997)
Untuk DS ≤ 0,6
DTMA = 1,8 + 5,234 x DS – (1-DS) x 1,8 (2.39)
Untuk DS > 0,6
DTMA = 1,05034 / (0,346 – 0,2042 x DS) - (1-DS) x 1,8 (2.40)
Gambar 2. 10. Tundaan Lalu-lintas Simpang (DT1)
Gambar 2. 11. Tundaan Lalu-lintas Simpang (DTMA)
37
3) Tundaan Lalu-lintas Minor (DTMI)
Tundaan lalu-lintas minor rata-rata ini ditentukan berdasarkan tundaan
simpang rata-rata dan tundaan jalan utama rata-rata.
DTMI = (QTOT x DT1 – QMA x DTMA)/QMI (2.41)
Dimana :
QMI = Besarnya arus rata-rata pada jalan minor (smp/jam) QTOT
= Besarnya arus total pada persimpangan (smp/jam) QMA
= Besarnya arus rata-rata pada jalan mayor (smp/jam) DT1
= Nilai tundaan lalu lintas simpang (det/smp)
DTMA = Nilai aktu tundaan lalu lintas pada jalan mayor (det/smp)
4) Tundaan Geometrik (DG) dihitung dengan rumus :
Untuk DS < 1,0
DG = (1-DS) x (pT x 6 + (1 – pT) x 3 ) + DS x 4 (det/smp) (2.42)
Untuk DS ≤ 1,0 DG = 4 dimana:
DS : Derajat kejenuhan
pT : Rasio arus belok terhadap arus total
6 : Tundaan geometrik normal untuk kendaraan belok yang tak
terganggu (det/smp)
4 : Tundaan geometrik normal untuk kendaraan belok yang
terganggu (det/smp)
5) Tundaan Simpang (D)
Tundan simpang dihitung dengan rumus sebagai berikut:
D = DG + DT1 (det/smp) (2.43)
Dimana :
DG = Tundaan geometrik simpang (det/smp)
DT1 = Tundaan lalu lintas simpang (det/smp)
38
c) Peluang Antrian
Peluang antrian ditentukan dari kurva peluang antrian dan derajat
kejenuhan (DS) secara empiris. Variabel masukan adalah derajatkejenuhan.
2.6 Lampu Lalu Lintas
2.6.1 Fungsi lampu lalu lintas
Lampu lalu lintas menurut Oglesby dan Hicks (1982) adalah semua peralatan
pengatur lalu lintas yang menggunakan tenaga listrik kecuali lampu kedip, rambu, dan
marka jalan untuk mengarahkan atau memperingatkan pengemudi kendaraan bermotor,
pengendara sepeda atau pejalan kaki. Setiap pemasangan lampu lalu lintas bertujuan
untuk satu atau lebih fungsi-fungsi sebagai berikut :
a) Mendapatkan gerakan lalu lintas yang teratur,
b) Meningkatkan kapasitas lalu lintas pada perempatan jalan,
c) Mengurangi frekuensi jenis kecelakaan tertentu,
d) Mengkoordinasikan lalu lintas dibawah kondisi jarak sinyal yang cukup baik,
sehingga aliran lalu lintas tetap berjalan menerus pada kecepatan tertentu,
e) Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyeberangan
kendaraan lain atau pejalan kaki,
Gambar 2. 12. Rentang Peluang Antrian (QP %) terhadap Derajat Kejenuhan (DS)
39
f) Mengatur penggunaan jalur lalu lintas,
g) Sebagai pengendali pertemuan jalan pada jalan masuk menuju jalan bebas
hambatan,
h) Memutuskan arus lalu lintas bagi lewatnya kendaraan darurat (Ambulance) atau
pada jembatan gerak.
Untuk mencapai tujuan diatas, lampu lalu lintas harus dirancang dan
dioperasikan dengan benar. Apabila tidak maka akan menimbulkan hal berikut.
a) Terjadinya kelambatan/tundaan (delay) yang tidak perlu.
b) Tundaan yang tidak perlu menyebabkan dilanggarnya pengaturan lampu lalu
lintas pengemudi.
c) Meningkatnya kecelakaan seperti kecelakaan rear-end dan tabrakan yang
melibatkan kendaraan belok kanan apabila lampu panah hijau tidak ada.
d) Kapasitas pertemuan jalan berkurang akibat dari meningkatnya rasio antara
waktu siklus dan waktu hijau yang dikarenakan bertambah banyaknya fase
lampu lalu lintas.
e) Kelambatan/tundaan dan antrian kendaraan yang panjang merugikan pemakai
jalan, memboroskan energi dan meningkatkan polusi maupun kebisingan.
2.6.2 Ciri – ciri fisik lampu lalu lintas
Ciri – ciri fisik lampu lalu lintas yang disebutkan oleh Oglesby dan Hicks
(1982) adalah :
a) Sinyal modern yang dikendalikan oleh listrik,
b) Setiap unit terdiri dari lampu merah, kuning dan hijau yang terpisah dengan
diameter 8-12 inch (20,4-30,4 cm),
c) Lampu lalu lintas dipasang diluar batas jalan atau digantung diatas
persimpangan jalan. Tinggi lampu lalu lintas yang dipasang pada tiang adalah
8-15 ft (2,4-4,6 cm) diatas trotoar atau diatas perkerasan bila tidak ada trotoar.
Sedangkan sinyal yang digantung harus diberi kebebasan vertikal 15-9 ft (4,6-
5,8 cm),
40
d) Sinyal modern dilengkapi dengan sinyal pengatur untuk pejalan kaki atau
penyeberang jalan.
2.6.3 Lokasi lampu lalu lintas
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) letak lampu lalu lintas diisyaratkan apabila
dipasang menggunakan tiang berlengan atau digantung dengan kabel, diberi jarak
12,19-36,8 m (40-120 ft) dari garis henti. Bila sinyal kedua dipasang pada tonggak
sebaiknya dipasang disisi sisi jalan yaitu satu sisi kanan dan satunya disisi kiri atau
diatas median. Syarat sudut yang terbentuk antara sinyal dengan garis pandang
pengemudi tidak lebih dari 20°.
2.6.4 Pengoperasian lampu lalu lintas
Menurut MKJI 1994 terdapat 3 macam pengoperasian lampu lalu lintas sebagai
berikut.
a) Pretimed Operation, yaitu pengoperasian lampu lalu lintas dalam putaran
konstan dimana tiap siklus sama dan panjang serta fase tetap.
b) Semi Actuated Operations, pada operasi isyarat lampu lalu lintas ini, jalan
utama (mayor street) selalu berisyarat hijau sampai alat deteksi pada jalan
samping (side street) menentukan bahwa terdapat kendaraan yang datang pada
satu atau sisi samping jalan tersebut.
c) Full Actuated Operations, pada operasi isyarat lampu lalu lintas ini semua fase
lampu lalu lintas dikontrol dengan alat detektor, sehingga panjang siklus untuk
tiap fasenya berubah-ubah tergantung dari permintaan yang dirasakan oleh
detektor.
Menurut Morlok (1991) bahwa sinyal lampu lalu lintas terdiri dari tiga macam,
yaitu hijau untuk berjalan, kuning berarti memperbolehkan kendaraan memasuki
pertemuan apabila tidak terdapat kendaraan lainnya sebelum lampu merah muncul
dan merah untuk berhenti.
41
2.7 Kapasitas dan Tingkat Pelayanan pada Persimpangan
2.7.1 Kapasitas persimpangan
Menurut MKJI 1994, kapasitas persimpangan adalah arus maksimum
kendaraan yang dapat melewati persimpangan menurut kontrol yang berlaku, kondisi
lalu lintas, kondisi jalan dan kondisi isyarat lampu lalu lintas. Interval waktu yang
digunakan untuk analisa kapasitas adalah 15 menit dengan mempertimbangkan sebagai
interval waktu terpendek selama arus stabil. Anggapan yang dipakai definisi ini adalah
bahwa kondisi perkerasan jalan dan cuaca sangat baik.
2.7.2 Tingkat pelayanan
Menurut MKJI 1994, tingkat pelayanan pada persimpangan jalan dengan lampu
lalu lintas (traffic Light) didefinisikan sehubungan dengan tundaan (delay). Tundaan
ini mengakibatkan kegelisahan bagi pengemudi, meningkatnya frustasi pengemudi,
kebutuhan bahan bakar kendaraan dan hilangnya waktu perjalanan. Kriteria tingkat
pelayanan ditetapkan dalam bentuk waktu berhenti rerata (average stopped delay) tiap
kendaraan dalam periode analisis selama 15 menit.
Hubungan antara tingkat pelayanan dan tundaan dapat digolongkan dalam
beberapa tingkat pelayanan, seperti berikut.
a) Tingkat pelayanan A
Menggambarkan operasi tundaan sangat rendah kurang dari 0,5 detik tiap
kendaraan. Hal ini terjadi jika gerak maju kendaraan sangat menguntungkan
dan kebanyakan kendaraan yang datang pada waktu fase hijau serta berhenti
sama sekali. Panjang putaran yang terjadi juga dapat mengurangi waktu
penundaan.
b) Tingkat Pelayanan B
Menggambarkan pengoperasian dengan tundaan yang sangat rendah dalam
interval 5,1-15 detik tiap kendaraan. Hal ini terjadi dengan adanya gerak maju
kendaraan yang baik atau gerak putar yang pendek dan kendaraan yang berhenti
42
lebih banyak dari tingkat pelayanan A yang menyebabkan tingkat penundaan
rerata lebih tinggi.
c) Tingkat Pelayanan C
Menggambarkan pengoperasian yang lebih tinggi dalam interval 15,1-25 detik
tiap kendaraan. Hal ini disebabkan oleh gerak maju kendaraan yang sedang saja
dan panjang putaran yang panjang.
d) Tingkat Pelayanan D
Menggambarkan pengoperasian dengan kisaran waktu 25,1–40 detik tiap
kendaraan. pengaruh kemacetan sudah terlihat jelas. Penundaan yang lebih
lama, mungkin disebabkan oleh kombinasi gerak maju yang tidak
menguntungkan, waktu putaran yang lama atau perbandingan V/C yang tinggi.
Banyak kendaraan yang tidak berhenti jumlahnya menurun serta kegagalan
individu mulai terlihat.
e) Tingkat pelayanan E
Menggambarkan pengoperasian dengan tundaan kisaran waktu 40,1-60 detik
tiap kendaraan dan dianggap sebagai batas penundaan yang dapat diterima.
Nilai tersebut menunjukkan gerak maju tiap kendaraan yang tidak baik, waktu
putaran yang panjang dan perbandingan V/C yang tinggi serta kemacetan
individual yang terjadi.
f) Tingkat Pelayanan F
Menggambarkan tingkat pengoperasian dengan tundaan lebih dari 60 detik tiap
kendaraan. Ini dianggap sebagai penundaan yang tidak dapat diterima oleh
pengemudi. Kondisi tersebut sering terjadi bersamaan dengan keadaan terlalu
jenuh, yaitu pada saat angka arus kedatangan melebihi kapasitas persimpangan
jalan. Hal ini terjadi pada perbandingan V/C yang lebih dari satu dengan
beberapa kemacetan individual. Gerak maju kendaraan yang tersendat dan
waktu putaran yang panjang merupakan penyebab utama dari tingkat
penundaan yang demikian.
43
Tabel 2. 13 Tingkat Pelayanan Simpang Bersinyal (Berdasrkan Nilai Tundaan)
Indeks
Tingkat
Pelayanan
(ITP)
Tundaan
Kendaraan
(detik/kend)
Kondisi
A ≤ 5,0 Arus tetap
B 5,1 - 15,0 Arus stabil (untuk merancang jalan antar
kota)
C 15,0 - 25,0 Arus stabil (untuk merancang jalan
perkotaan)
D 25,1 - 40,1 Arus mulai tidak stabil
E 40,1 60,0 Arus tidak stabil (tersendat-sendat)
F ≥ 60 Arus terlambat (berhenti,antrian,macet)
Sumber: Tamin (2000)
Gambar 2. 13. Grafik Tingkat Layanan (LOS)
44
2.7.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi kapasitas dan tingkat pelayanan
Menurut Oglesby dan Hicks (1982), faktor-faktor yang mempengaruhi
kapasitas dan tingkat pelayanan pada persimpangan adalah sebagai berikut.
a) Kondisi fisik dan operasi, yaitu ukuran atau dimensi jalan, kondisi parkir dan
jumlah arah.
b) Kondisi lingkungan, yaitu faktor jam sibuk pada persimpangan.
c) Karakteristik lalu lintas gerakan membelok dan kendaraan berat yang melewati
persimpangan.
2.8 Waktu Hijau Efektif
Menurut MKJI 1997, waktu hijau efektif adalah waktu yang dapat digunakan
untuk melewatkan kendaraan dalam fase, terdiri atas waktu hijau dan sebagian waktu
kuning. Permulaan arus berangkat menyebabkan terjadinya “kehilangan awal” dari
waktu hijau efektif, arus berangkat setelah akhir waktu hijau menyebabkan suatu
“tambahan akhir” dari waktu hijau efektif. Jadi besarnya waktu hijau efektif, dapat
dihitung sebagai :
Waktu hijau efektif = tampilan waktu hijau - kehilangan awal + tambahan akhir.
2.9 Manajemen Lalu Lintas
Manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan pengendalian arus lalu lintas
dengan melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada untuk memberikan
kemudahan kepada lalu lintas secara efisien dalam penggunaan ruang jalan serta
memperlancar sistem pergerakan (Dep.PU, 1990).Hal ini berhubungan dengan kondisi
arus lalu lintas dan sarana penunjangnya pada saat sekarang dan bagaimana
mengorganisasikannya untuk mendapatkan penampilan yang terbaik.
45
2.9.1 Tujuan Manajemen Lalu Lintas
Tujuan dilaksanakannya manajemen lalu lintas adalah :
a) Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh
dengan tingkat aksesbilitas (ukuran kenyamanan) yang tinggi dengan
menyeimbangkan permintaan pergerakan dengan sarana penunjang yang ada.
b) Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh
semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik mungkin.
c) Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana arus lalu
lintas tersebut berada.
d) Mempromosikan penggunaan energi secara efisien.
2.9.2 Sasaran Manajemen Lalu Lintas
Sasaran manajemen lalu lintas sesuai dengan tujuan diatas adalah :
a) Mengatur dan menyederhanakan arus lalu lintas dengan melakukan manajemen
terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk
meminimumkan gangguan untuk melancarkan arus lalu lintas.
b) Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menambah kapasitas atau
mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan. Melakukan optimasi ruas jalan
dengan menentukan fungsi dari jalan dan terkontrolnya aktifitas-aktifitas yang
tidak cocok dengan fungsi jalan tersebut.
2.9.3 Manajemen Kapasitas
Langkah utama dalam manajemen lalu lintas adalah membuat penggunaan
kapasitas dan ruas jalan seefektif mungkin, sehingga pergerakan lalu lintas yang lancar
merupakan syarat utama.Dalam manajemen kapasitas terdapat banyak teknik yang
dapat digunakan dalam mengatasi masalah dari berbagai sisi.Manajemen kapasitas
adalah hal yang termudah dan teknik manajemen lalu lintas yang paling efektif untuk
diterapkan.
46
2.9.4 Manajemen Prioritas
Terdapat ukuran yang dapat diperhatikan untuk menentukan prioritas pemilihan
moda transportasi yaitu, keberadaan pengendara sepeda motor memerlukan perhatian,
baik dari sesama pengguna jalan, produsen, maupun dari pemerintah sendiri. Selain
dari aspek pengendara (manusia) dan kendaraan sepeda motor, perhatian hendaknya
juga diberikan pada aspek prasarana jalan. Pemisahan pergerakan sepeda motor dari
kendaraan roda 4, yang memang tidak kompatibel apabila dicampur, dapat
dipertimbangkan untuk dikembangkan di Indonesia (Dephub, 2009).