bab ii tinjauan pustaka 1.1 pengertian informasi dan ... · berdasarkan ketentuan umum dalam pasal...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 PENGERTIAN INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIKA (ITE)
Sebelum penulis menguraikan tentang prinsip pengaturan Undang-
Undang Informasi dan Teknologi Elektronika (ITE) terhadap pencemaran
nama baik. Penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai pengertian
informasi dan transaksi elektonika secara umum. Istilah telematika sendiri
berasal dari bahasa perancis yang merupakan asal kata telematique yang
menggambarkan berpadunya sistem jaringan komunikasi dan teknologi
informasi1.
Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 Bab I Undang - Undang
No.11 Tahun 2008, pada angka I, yang dimaksud dengan Informasi Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Elektronik Data Interchange
(EDI), surat elektronik (elektronik mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perfrasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
1 Edmon makarim, Komplikasi Hukum Telematika, 2004, rajagrafindo persada, Jakarta hal., 3.
memahaminy2. Teknologi informasi adalah suatu teknik atau cara elektronika
untuk megumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan,
menganalisa, dan meyebarkan informasi3. Sementara transaksi elektronika
adalah setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih melalui
jaringan komputer atau media elektronik lainnya, dengan menggunakan sistem
informasi elektroika yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada masing-
masig pihak yang bertransaksi4.
Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada
beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on
eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini
dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet
dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam
melakukan transaksi elektronik. Dengan kemajuan teknologi yang sangat
berkembang khususnya media sosial elektronika cyberspace sebagai ruang
aktivitas pengolahan data yang dilakukan oleh user. Perkembangan
teknologi informasi memberikan dampak bagi kehidupan manusia diantaranya
a. Dampak Positif
Perkembangan teknologi informasi memberikan kemudahan bagi
manusia dalam mengolah, menyimpan, membuat, memindah,
maupun mengirimkan data secara cepat dan efektif dan memberkan
2 Indonesia , Undang – Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
UU No. 11 Tahun 2008, LN Tahun 2008. 3 Hinca ip panjaitan., dkk., Membangun Cyberlaw Indonesia yang Demokratis ,2005, IMLPC,
cet., pertama, jakarta, hal., 87. 4 Ibid., hal., 91.
kemudahan dalam berkomunikasi dari satu wilayah kewilayah lain dan
dari sau negara dengan negara lainnya.
b. Dampak Negatif
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat berpotensi
menimbulkan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi. Kemudahan
dalam berkomunikasi melalui perangkat telekomunikasi modern
memungkinkan orang berinteraksi tanpa harus berada ditempat yang
sama sehingga teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana
terjadinya kejahatan.
2.2 LATAR BELAKANG MUNCULNYA UU ITE
Pembangunan nasional adalah suatu proses berkelanjutan yang
senantiasa harus tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di
masyarakat. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya
pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik
ditingkat nasional. Pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan
secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat guna
mencerdaskan kehidupan bangsa, perkembangan dan kemajuan.
Perkembangan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai
bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk
perbuatan hukum baru, penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi
harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh
persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
demi kepentingan nasional, pemanfaatan Teknologi Informasi berperan
penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah juga perlu mendukung
pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara
aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai
agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia5.
Dalam kaitan ini jika dilihat dalam peraturan perundang-undangan
yang konvensional, maka perbuatan pidana yang dapat digunakan dibidang
komputer dan siber adalah penipuan, kecurangan, pencurian, dan perusakan,
yang pada pokoknya dilakukan secara fisik dan pikiran oleh sipelaku6.
Departement komunikasi dan informasi mengeluarkan Undang-
Undang baru tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Hadirnya
Undang -Undang ini disambut positif berbagai kalangan masyarakat namun
tidak sedikit juga yang menentangnnya. Bagi yang tidak setuju, Undang-
Undang ITE dianggap sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan
berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreatifitas
seseorang didunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dinilai sebagai
langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan
5 naskah akademik, Undang-undang Republik Indonesia, No. 11 Tahun 2008, tentang Informasi
dan Transaksi Elektonika. 6 Niniek suparni, Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi Pengaturannya, fortun
mandiri karya, 2001, jakarta, cet., pertama, hal., 4-5.
penyalahgunaan internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang
lain7.
Namun uraian ini tidak bermaksud memihak salah satu kelompok yang
setuju dan tidak setuju, terhadap munculnya UU ITE tersebut melainkan ingin
memberikan suatu gambaran pemikiran mengapa payung hukum itu dikaitkan
dengan berbagai kasus penyalahgunaan internet yang berkembang belakangan
ini.
UU ITE ini terlambat disahkan, sementara kasus-kasus
penyalahgunaan internet sudah sering terjadi hingga pada taraf yang sangat
menghawatirkan masyarakat dan bangsa Indonesia. Walaupun terlambat,
kehadiran aturan hukum baru tersebut dapat dilihat sebagai bentuk respons
pemerintah untuk menjerat orang-orang yang tidak bertanggungjawab dalam
menggunakan internet hingga merugikan masyarakat, bangsa, dan negara
Indonesia. Menurut Menkominfo Muhammad Nuh, sedikitnya ada tiga hal
mendasar penyalahgunaan internet yang dapat menghancurkan keutuhan
bangsa secara keseluruhan yakni pornografi, kekerasan, dan informasi yang
mengandung hasutan sara8.
Kasus, melakukan akses-akses ke server tertentu atau ke internet yang
tidak diizinkan oleh peraturan organisasi atau penyusupan ke web server
sebuah situs kemudian mengganti halaman depan situs tersebut, tindakan
penyalahgunaan kartu kredit orang lain di internet, penerapan aplikasi dalam
7 Shinta, Cyberlaw Praktik Negara-negara Dalam Mengatur Privasi Dalam E-Commerce, Widya
Padjadjaran, 2009, hal., 2. 8 Ibid., hal., 10.
usaha membuka proteksi dan software atau sistem secara ilegal, pembuatan
program ilegal dengan maksud menyebarkan dan menggandakan diri secara
cepat dalam jaringan.
Biasanya melalui email liar dengan tujuan membuat kerusakan dan
kekacauan sistem. Contoh-contoh kejahatan internet di atas menggambarkan
bahwa teknologi internet mengalami pergeseran fungsi utamanya sebagai alat
penyebarluasan informasi dari segi positifnya. Internet telah beralih fungsi
menjadi media massa elektronik yang mampu membawa perubahan dalam
kehidupan manusia dalam berbagai aspek dari yang positif hingga negatif.
Internet bahkan digunakan sebagai alat propaganda politik untuk kepentingan
elite-elite politik tertentu atas nama hak asasi, kebebasan, dan demokrasi.9
Maka denngan demikian perkembangan internet sendiri sangat memberikan
dampak negatif bagi penggunanya.
2.3 Pencemaran Nama Baik dan Implikasi Hukumnya
2.3.1 Pengertian pencemaran nama baik dan jenis-jenisnya.
Pencemaran nama baik pada dasarnya terdiri dari dua unsur,
tindakan pencemaran dan objek tindakan berupa nama baik seseorang.
Kata pencemaran dapat dimaknai sebagai perbuatan/tindakan seseorang
terhadap suatu objek yang mengakibatkan perubahan kualitas terhadap
objek tersebut. Sedangkan nama baik dapat dimaknai sebagai suatu
9 Abraham A, dampak negatif jejaring media, pustaka media utama, 2010, jakarta, hal., 117-120.
keadaan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan eksistensi seseorang
dalam masyarakat. Eksistensi tersebut mencakup harkat dan martabat
seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Pencemaran terhadap
nama baik seseorang merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan
nama baik seseorang menjadi tercemar atau tidak lagi baik dalam
pandangan orang lain, menimbulkan opini secara umum mengenai reputasi
seseorang yang kurang baik, mengakibatkan kredibilitas seseorang
menjadi turun dan lain-lain.
Perbuatan pencemaran yang dilakukan terhadap nama baik
seseorang selalu didasari oleh niat pelaku untuk menimbulkan suatu akibat
terhadap orang lain, dalam hal ini reputasi/nama baik seseorang.
Pencemaran nama baik oleh KUHP diartikan sebagai serangan yang
ditujukan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang dengan
menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu
diketahui10
. Tindak pidana pencemaran nama baik dapat dikelompokkan
berdasarkan sarana yang digunakan, diantaranya :
1) Pencemaran nama baik yang dilakukan secara konvensional
Pencemaran nama baik seperti ini cenderung dilakukan dengan
cara-cara biasa, baik secara lisan maupun tertulis. Pencemaran nama baik
secara lisan dilakukan dengan mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan
untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang didepan orang
lain. Pencemaran nama baik secara tertulis dilakukan dengan membuat
10
Lihat Pasal 310 ayat (1) KUHP
tulisan atau gambar manual yang ditujukan untuk menyerang kehormatan
atau nama baik seseorang pada sebuah media yang kemudian di sebarkan
dengan maksud untuk diketahui oleh orang lain.
2) Pencemaran nama baik yang dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi.
Pencemaran nama baik seperti ini dilakukan dengan memanfaatkan
teknologi informasi secara lisan maupun tertulis. Pencemaran nama baik
secara lisan dapat dilakukan melalui telepon atau pentransmisian pesan
suara dengan mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan untuk menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang. Pencemaran nama baik tertulis
dilakukan dengan mentransmisikan tulisan atau gambar berupa dokumen
elektronik yang dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang. Tindak pidana pencemaran nama baik digolongkan
sebagai salah satu bentuk dari penghinaan sebagaimana diatur dalam
KUHP.
Jenis penghinaan diatur dalam Bab XVI KUHP tentang penghinaan
diantaranya :
1) Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Ketentuan Pasal 310 KUHP
mendefinisikan pencemaran sebagai perbuatan menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu
hal agar diketahui umum. Ketentuan Pasal 310 KUHP
membedakan pencemaran menjadi dua jenis, diantaranya :
a) Pencemaran nama baik yang dilakukan secara lisan
b) Pencemaran nama baik yang dilakukan melalui tulisan atau
gambar yang dipublikasikan
2) Pasal 311 KUHP tentang fitnah Ketentuan Pasal 311
mendefinisikan fitnah sebagai kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dengan menuduhkan suatu hal yang tidak
dapat dibuktikan kebenarannya.
3) Pasal 315 KUHP tentang Penghinaan ringan Ketentuan Pasal 315
KUHP mendefinisikan penghinaan ringan sebagai tiap-tiap
penghinaan yang dilakukan dengan sengaja tetapi tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap
seseorang.
4) Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah Ketentuan Pasal 317
KUHP mendefinisikan pengaduan fitnah sebagai kesengajaan
seseorang mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu
kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan,
tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya
terserang.
5) Pasal 318 KUHP tentang perbuatan yang menimbulkan
persangkaan palsu Ketentuan Pasal 318 KUHP mendefinisikan
persangkaan palsu sebagai perbuatan sengaja menimbulkan secara
palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu
perbuatan pidana.
6) Pasal 320 dan 321 KUHP tentang Pencemaran terhadap orang yang
sudah meninggal Ketentuan Pasal 320 dan Pasal 321 KUHP
mengatur mengenai perbuatan yang terkait dengan orang yang
sudah meninggal dan apabila orang tersebut masih hidup dapat
dikategorikan sebagai pencemaran atau pencemaran tertulis.
2.3.2 Karakteristik pencemaran nama baik
melalui media elektronik Tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media elektronik dapat dikenali dengan mencermati beberapa hal,
diantanya :
a) Perbuatan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi
b) Objek tindak pidananya berupa dokumen elektronik dan/atau
informasi elektonik
c) Objek tindak pidana tersebut didistribusikan atau
ditransmisikan, melalui jaringan dan dapat atau telah diakses
oleh orang lain
d) Isi dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik tersebut
bertujuan untuk menyerang kehormatan seseorang
e) Perbuatan tersebut telah melanggar kepentingan hukum orang
lain.
Pencemaran nama baik dikatakan sebagai cybercrime apabila
memenuhi kriteria tersebut di atas. Tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media elektronik tidak dapat dilepaskan dari peran teknologi
informasi sebagai sarana dalam melaksanakan tindak pidana. Pemanfaatan
teknologi informasi ini menimbulkan kosekuensi adanya perubahan objek
tindak pidana yang semula berupa nama baik/ kehormatan seseorang
menjadi dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik yang
mempunyai muatan pencemaran.
Perbedaan objek tindak pidana tersebut, mengakibatkan perubahan
cara pengungkapan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media
elektronik. Pengungkapan tindak pidana pencemaran nama baik melalui
media elektronik harus dilakukan dengan menggunakan metode tertentu
yang mendasarkan kepada teori telematika karena tindak pidana yang
terjadi dilakukan dengan teknik khusus dan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi.
2.3.3 Konsep aturan pencemaran nama baik
Melalui media elektronik dan perlindungan hukum bagi
masyarakat terhadap potensi pencemaran nama baik Pencemaran nama
baik melalui media elektronik merupakan perbuatan pencemaran nama
baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310
ayat (1) namun dilakukan dengan menggunakan media elektronik.
Pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur tersendiri
menggunakan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga kedua ketentuan
tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Unsur pidana dalam kedua pasal tersebut yang kemudian dijadikan
dasar untuk mengklasifikasikan apakah suatu perkara pencemaran nama
baik yang terjadi merupakan pencemaran nama baik biasa atau
pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik. Tahap
mengklasifikasikakn perkara harus dilakukan secara tepat agar tidak
terjadi kekeliruan menerapkan hukum.
Upaya penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik
melalui media elektronik merupakan bentuk perlindungan terhadap
kepentingan hukum individu. Kepentingan hukum individu meliputi11
. :
a. Jiwa manusia (leven);
b. Keutuhan tubuh manusia (lyf);
c. Kehormatan seseorang (eer);
d. Kesusilaan (zede);
e. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
f. Harta benda/kekayaan (vermogen)
2.4 TEORI HUKUM TERKAIT PENGATURAN UU ITE
Dalam skripsi ini penulis mengkaitkan beberapa toeri hukum yang
menurut penulis berhubungan dengan pengaturan UU ITE yakni.
1. Teori Perlindungan Hukum
11
Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa
PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, hal., 275-276.
Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat
penting untuk dikaji, karena fokus kajian ini pada perlindungan hukum
yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang disasarkan pada teori
ini, yaitu masyarakat yang berbeda posisi yang lemah, baik secara
ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis .
Secara gramatikal, perlindungan adalah tempat berlindung, atau hal
(perbutan) memperlindungi. Pengertian perlindungan dalam konsep ini
difokuskan kepada: Tujuan, pihak yang melindungi korban, dan sifatnya
Tujuan dari perlindungan adalah memberikan rasa aman bagi
korban. Rasa aman adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguan,
tenteram, tidak merasa takut atau khawatir terhadap sesuatu hal. Sementara
itu yang berhak memberikan perlindungan adala12
. Pihak keluarga,
advokad, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pihak
lainnya
Sifat perlindungan dibagi menjadi dua macam, yaitu;
1. Perlindungan sementara
2. Adanya perintah pengadilan
Perlindungan sementara adalah:
12
Salim dan erlies septiana nurbani, Penerapan TeoriHukum Pada Penelitian Thesis dan Disertasi,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal., 261.
“perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau
lembaga sosial atau pihak lain, sebeum dikeluarkannya penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan”13
.
Disamping rumusan itu, dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemrintah
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap korban dan saksi
dalam pelanggaran Hak AsasI Manusia yag berat telah disajikan rumusan
perlindungan. Perlindungan adalah:
“suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik
maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror
dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap
penyelidikan, penyidik, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan”14
.
Namun dalam kenyataannya dalam kasus yang dialami Prita sepertinya
para penegak hukum megesampingkan teori perindungan hukum ini yang mana
dalam perlindungan hukum dijelaskan agar penegak hukum memberikan
perlindungan hukum bagi mereka yang membuthkan bantuan namun dalam kasus
yang dialami oleh Prita teori ini tidak diterapkan sama sekali melainkan
memberatkat Prita atas perbuatannya.
13
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. 14
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
2.5 PEMAPARAN KASUS
Mengingat kembali kasus yang pernah terjadi di dunia maya yang
membuat gempar semua masyarakat Indonesia yaitu, kasus yang dialami oleh
Ibu Prita Mulyasari yang dituduh telah mencemarkan nama baik sebuah rumah
sakit di Jakarta yaitu rumah sakit OMNI Internasional. Yang kemudian
dihadapkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronika.
Telah menimbulkan suatu suasana disharmoni, dimana rasa keadilan
masyarakat kemudian terusik akibat adanya praktik ketidakadilan dalam
penegakan hukum atas kaasus yang dialami oleh, Prita Mulyasari terhadap
Rumah Sakit OMNI Internasional yang dituangkan dalam E-Mail, yang
dianggap telah mencemarkan nama baik RS OMI Internasional15
.
Kasus ini bermula dari surat elektronik Prita pada 7 Agustus 2008.
Yang mana dalam sosial media Prita mengirimkan Email berisi keluhannya
ketika dirawat di Omni. Surat yang semula hanya ditujukan ke beberapa
temannya itu ternyata beredar ke berbagai milis dan forum di Internet, dan
diketahui oleh manajemen Rumah Sakit Omni. PT Sarana Mediatama
Internasional, pengelola rumah sakit lalu merespon dengan mengirim jawaban
atas keluhan Prita ke milis dan memasang iklan di harian nasional.
Belakangan, PT Sarana juga menggugat Prita, baik secara perdata maupun
pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan perkara gugatan perdata
nomor 300/PDG/6/2008/PN-TNG. Prita, dibidik oleh jaksa penuntut umum
15
Log, op., cit., hal 106.
dengan tiga dakwaan alternatif. Pertama, penuntut umum menjerat dengan
Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Sementara dakwaan kedua dan ketiga, penuntut
umum menjerat dengan Pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1).
Sebagaimana diketahui, ketiga pasal tersebut dirancang untuk menjerat bagi
pelaku yang diduga melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan. Prita
kemudian dituntut oleh penuntut umum yang diketuai oleh jaksa Riyadi
selama enam bulan penjara.
Dalam tuntutannya, terdapat hal yang memberatkan. Bahwa perbuatan
Prita dengan mengirimkan surat elektronik (email) kepada 20 alamat dinilai
tidak akan hilang terkecuali dihapus oleh penerima. Alasan kedua, bahwa
tidak terjadi kesepakatan untuk berdamai di dalam persidangan meskipun ada
upaya dari pihak Walikota Tangerang Selatan HM Sholeh dengan manajemen
RS Omni.
Majelis hakim melihat unsur dalam dakwaan pertama. Untuk unsur
setiap orang, dinilai majelis terpenuhi karena Prita diajukan ke
persidangan dalam keadaan sehat. Lalu, unsur dengan sengaja, majelis
berpendapat, perbuatan Prita dengan mengirimkan email berbunyi: ” Saya
informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM
buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini” adalah
perbuatan yang dikehendaki. Sehingga, majelis berpendapat perbuatan Prita
telah tercapai alias terpenuhi. Ketiga, unsur mendistribusikan akses elektronik.
Ketidakpuasan Prita atas pelayanan dan tidak transparansinya dokter yang
merawat menjadi pemacu mengirimkan keluhan melalui email kepada
sejumlah temannya. Namun majelis justru mempertanyakan apakah isi dari
keluhan email tersebut berupa muatan pencemaran dengan judul “Penipuan
RS Omni Internasional”. Majelis hakim tentu menelaah dengan tidak
sepotong kalimat. “Tapi harus dilihat hubungan hukum terdakwa dengan dr
Hengki dan dr Grace,” ujarnya Arthur. Dalam uraian pertimbangannya,
majelis berpendapat Prita mengirimkan email kepada sejumlah temannya
bukan pencemaran, melainkan sebatas kritikan kepada dokter Hengki dan
dokter Grace. Setelah berpidah ke RS Bintaro Internasional, hasil deteksi
menyatakan Prita menderita penyakit Gondongan dan menular. karena
diagnosis itu Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi. Setelah tiga hari, Prita
kembali ke rumah. Dengan demikian, pernyataan Prita dalam email hanya
sebatas kritikan kepada sang dokter. “Kalimat terdakwa merupakan satu cara
agar masyarakat terhindar dan tidak mendapat pelayanan medis dari dokter
yang tidak baik. Demikian halnya kalimat terdakwa terhadap dr. Grace adalah
kritikan sebagai customer service,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut pendapat hakim, perbuatan dr Grace dapat
dikatakan tidak profesional. Bahkan tidak menghargai hak seorang pasien
yang berharap sembuh dari penyakit. Berdasarkan uraian unsur ketiga, majelis
berpendapat bahwa email terdakwa Prita Mulya Sari tidak bermuatan
penghinaan atau pun pencemaran nama baik. “Dalam kalimat tersebut adalah
kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktek-
praktek dari rumah sakit dan dokter yang tidak memberikan pelayanan medis
yang baik,” ujarnya.
Dalam pertimbangannya, majelis tidak sependapat dengan penuntut
umum, bahwa jika terdakwa tidak puas atas pernyataan dokter, pasien dapat
mengadukan dokter bersangkutan ke majelis kehormatan kedokteran. Sebab,
sambung Arthur, kasus ini telah menjadi perhatian publik. Namun sayangya,
belum adanya tindakan dari majelis kehormatan kedokteran disiplin.
Dalam pertimbangannya, lantaran salah satu unsur dakwan pertama
tidak terpenuhi, maka Prita tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama. “Oleh karena itu
terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut,” ujarnya.
Sedangkan pada dakwaan kedua dan ketiga, yakni Pasal 310 ayat (2)
dan Pasal 311 ayat (1) KUHP, dalam pertimbangan majelis pada pokoknya
sama yakni tindak pidana menyerang kehormatan orang lain dengan tulisan.
Sedangkan Dalam Pasal 310 ayat (2) menyerang kehormatan dengan tulisan
dan gambar. Dalam Pasal 310 ayat (3), sambung Arthur, menyebutkan “Tidak
termasuk pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
Majelis berpendapat perbuatan terdakwa semata-mata demi
kepentingan umum. Majelis merujuk pada Pasal 310 ayat (3) KUHP.
Sehingga, perbuatan Prita Mulya Sari tidak secara sah dan meyakinkan
sebagaimana dakwaan kedua dan ketiga. “Oleh karena itu terdakwa harus
dibebaskan dari kedua dakwaan tersebut,” ujarnya.
Akhirnya, Prita Mulyasari terdakwa dalam kasus pencemaran nama
baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera Tangerang, dapat
menghirup udara bebas. Prita mendengarkan dengan seksama ketika Arthur
membacakan putusan. “Menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik.
Membebaskan terdakwa Prita Mulyasari dari dakwaan,” ujar Arthur, di
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang16
.
2.6 PEMBAHASAN
2.6.1 Tinjauan Umum Tindak Pidana Teknologi Informasi
Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia
tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh tentang
berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh ativitas yang bersifat
fisik belaka. Lahirnya internet mengubah paradigm komunikasi manusia dalam
bergaul, berbisnis, dan juga berasmara. Internet mengubah konsep jarak dan
waktu secara drastis sehingga seolah-olah dunia menjadi kecil dan tidak terbatas.
Setiap orang bisa berhubungan, berbicara, dan berbisni dengan orang lain yang
berada ribuan kilometer dari tempat dimana ia berada hanya dengan menekan
tutstuts keyboard dan mouse komputer yang berada di hadapannya17
.
Pada Masa Awalnya, tindak pidana siber didefinisikan sebagai kejahatan
komputer. Mengenai definisi dari kejahatan computer sendiri, sampai sekarang
para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan
16
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b3ac59e39184/pn-tangerang-vonis-bebas-prita-
buka-perdamaian-dengan-rs-omni, di kunjungi pada tanggal 3 maret, 2016, pukul 14.30. 17
Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal., 59.
komputer18
. Bahkan penggunaan istilah untuk kejahatan komputer dalam bahasa
Inggris pun masih belum seragam. Namun para sarjana pada waktu itu, pada
umumnya menggunakan istilah “computer crime” oleh karena dianggap lebih
luas dan biasa digunakan dalam hubungan internasional.
The British Law Comission misalnya, mengartikan “computer fraud”
sebagai manipulasi komputer dengan cara apa pun yang dilakukan dengan itikad
buruk untuk memperoleh uang, barang, atau keuntungan lainnya atau
dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mandell membagi
“computer crime” atas dua kegiatan, yaitu :
a. Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan,
pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh
keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan, atau pelayanan;
b. Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat
keras atau lunak, sabotase dan pemerasan19
.
Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga
memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukm di Indonesia. Hukum
di Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang
terjadi.perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak
selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan
hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari
masyarakat serta kebudayaan atau mungkin hal yang sebaliknya.
18
Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi
Pengaturan dan Celah Hukumnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal., 19. 19
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, naskah akademik Kejahatan
Internet (Cybercrimes), 2004, hal., 10.
Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
tidak ada kejahatan tanpa masyarakat atau seperti ucapan lacassagne bahwa
masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita
mengetahui banyak tentang faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun
yang pasti adalah bawa kejahatan merupakan salah satu bentuk perkembangan
perilaku manusia yang perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu
fakta, baik pada masyarakat yang paling sederhana (primitive) maupun pada
masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat20
.
Begitu eratnya pengaruh perkembangan teknologi dengan kejahatan
terkadang membuat hukum seakan terpana melihat pesatnya perkembangan
tersebut. Seingga terkadang hukum terlambat untuk mengimbangi perkembangan
teknologi. Dalam tindak pidana teknologi informasi ini juga, hukum seakan
sempat tertinggal dalam pesatnya kemajuan internet. Sehingga seperti telah
diuraikan di awal bab I dimana dunia internet atau dunia maya akan menjadi
hutan belantara yang tak bertuan bila terus dibiarkan tanpa hukum yang mengatur
secara khusus. Karena memang meskipun dunia tersebut virtual, tetap ada suatu
kehidupan di dalamnya yang sempat belum ada aturan yang mengatur di
dalamnya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, jelas diperlukan tindakan legislatif
yang cermat dengan mengingat suatu hal, yakni jangan sampai
perundangundangan menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga
membuat peraturan menjadi overlegislate, yang pada gilirannya justru akan
20
Agus Raharjo, Op., Cit., hal., 29-30.
membawa dampak negatif, baik di bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial
ekonomi.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara
khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Undang-undang ini memiliki
sejarah tersendiri dalam pembentukan dan pengundangannya.
Rancangan undangundang ITE mulai dibahas sejak maret 2003 oleh
Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dengan nama Rancangan
Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik. Kemudian pada
tanggal 5 September 2005 naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR
RI. Pada tanggal 21 April 2008, undang-undang ini disahkan; dengan demikian
proses pengundangan undangundang ITE ini berlangsung selama 5 tahun. Oleh
karena itu undang-undang ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini
merupakan undang-undang yang relatif baru baik dari segi waktu
pengundangannya maupun segi materi yang diatur.
Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam
undangundang ITE ini, yang menjadi sorotan penulis adalah “Penggunaan
Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pencemaran Nama
Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.” Sehingga
pembahasan lebih lanjut pengenai tindak pidana dalam pasal ini akan membahas
secara rinci bagaimana undang-undang ini mengatur tindak pidana pencemaran
nama baik. Tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang ini diatur
dalam pasal 27 ayat (3).
Dalam penerapannya, pasal 27 ayat (3) ini telah memberikan kekhuatiran
kepada masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa adanya pengaturan ini hanya
menjadikan kebebasan berekspresi dari masyarakat menjadi terkekang.
Sebagaimana yang telah dilakukan oleh aktivis blogger, Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta
Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mengajukan permohonan uji materiil
terhadap pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE ini kepada Mahkamah Konstitusi
(MK). MK sendiri telah menyatakan bahwa pengaturan tersebut konstitusional
sebagaimana tertera dalam putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor
2/PUU-VIII/2009.
Esensi penghinaan baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia siber
adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk
diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu unsur
“mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam
pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber
yang dapat mencapai pemenuhan unsur “di muka umum” atau “diketahui umum”.
Tindakan “mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau mebuat dapat
diaksesnya” dilakukan dalam rangka atau agar informasi dan atau dokumen
elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian unsur “di muka umum”
atau “diketahui umum” yang penjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh
dalam pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE, sehingga haus tetap dibuktikan
terpenuhinya unsur tersebut.
2.6.2 Pegaturan pencemaran nama baik dalam UU ITE
Permasalahan yang terdapat dalam kasus yang dialami oleh Prita
mulyasari tersebut, dapat mengakibatkan ketidak efektifannya Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008.
Pada hakekatnya maksud dan tujuan pemerintah dan DPR membentuk
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
elektronik (UU ITE) adalah untuk memberikan dampak positif terhadap
masyarakat. Sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang tersebut, yaitu21
.
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia.
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan public.
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab; dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi
pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
21
http://www.lawangpost.com, “asas-asas dan tujuan UU Nomor 11 tahun 2008 internet dan
transaksi elektronik”, dikunjungi pada tanggal, 27 april, 2016, Pukul 13.00.
Selanjutnya maksud dan tujuan dari Undang-undang tersebut dijelaskan
lebih lanjut didalam Pasal 4 yang berisikan tujuan dari Informasi dan Transaksi
Elektronik yang memberikan keleluasaan dalam bidang pendidikan, ekonomi,
sosial dan lain – lain. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam bidang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu pemerintah juga menjamin
untuk memberikan rasa aman bagi pengguna dan penyelenggara teknologi
informasi.
Kemajuan teknologi tidak hanya memberikan dampak positif tapi juga
menimbulkan dampak negatif. Dampak negatifnya, yaitu membuka ruang
terjadinya perdagangan gelap, penipuan dan pemalsuan, dapat merusak moral
bangsa melalui situs-situs tertentu, menurunkan rasa nasionalisme,
penyalahgunaan yang tidak memandang nilai-nilai agama dan sosial budaya
dapat menimbulkan perpecahan serta terjadinya tindak pidana Pencemaran
Nama Baik dan sebagainya.
Pasal 27, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) menjelaskan larangan mengenai perbuatan yang nantinya dapat dianggap
sebagai tindak pidana melalui media internet antara lain, pencemaran nama
baik, melakukan perjudian secara online dan penghinaan22
. Contohnya, tindak
pidana melalui media internet yang sering kita dengar diberita yaitu,
pencemaran nama baik atau penghinaan orang di jejaring sosial.
Menurut Prof. Muladi definisi Pencemaran nama baik adalah pihak
yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya
22
http://www.lawangpost.com, “asas-asas dan tujuan UU Nomor 11 tahun 2008 internet dan
transaksi elektronik”, dikunjungi pada tanggal, 26 april, 2016, Pukul 20.30.
menjadi tercela di depan umum23
. sehingga, Pencemaran nama baik secara
umum dapat diartikan sebagai tindakan mencemarkan nama baik seseorang
dengan cara menyatakan sesuatu baik melalui lisan ataupun tulisan.
Sifat melawan hukum perbuatan menyerang nama baik atau
kehormatan orang terletak pada dua hal, ialah24
.
a. Secara subjektif, terletak pada “maksud terang supaya diketahui
umum”.
b. Secara objektif terletak pada “menuduhkan melakukan
perbuatan tertentu” yang memalukan orang dan yang diketahui
umum yang dilakukan melalui tulisan.
Pencemaran nama baik memuat 3 catatan penting didalamnya, yakni :
1. Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang
bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran
sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya25
.
Oleh karenanya, delik dalam pencemaran merupakan delik aduan
yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada
pengaduan dari korban pencemaran.
2. Pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran26
. Yang
dimaksud dengan delik penyebaran dalam hal tersebut adalah
23
http://www.hukumonline.com, “ancaman pencemaran nama baik mengintai”, dikunjungi
pada tanggal 27 april 2016, pukul 23.00. 24
http://www.hukumonline.com, “ancaman pencemaran nama baik mengintai”, dikunjungi pada
tanggal, 27 april 2006, pukul 22.00. 25
Wawan Tunggul Alam, Pencemaran Nama Baik di Kehidupan Nyata dan Dunia Internet, Warta
Pena, 2012, Hal., 85. 26
Ibid., Hal., 85.
yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau
dilakukan di depan umum oleh pelaku.
3. Orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh
suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau
pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan
itu. Bagi bangsa Indonesia, Pasal pencemaran nama baik dianggap
sesuai dengan karakter bangsa ini yang menjunjung tinggi adat
dan budaya timur, pencemaran nama baik dianggap melanggar
norma sopan santun bahkan bisa melanggar norma agama jika
yang dituduhkan mengandung unsur fitnah.
Pencemaran nama baik sangat erat kaitannya dangan suatu kata
penghinaan dimana penghinaan itu sendiri memiliki pengertian perbuatan
menyerang nama baik dan kehormatan seseorang. Sasaran dalam pencemaran
nama baik pun dapat digolongkan menjadi27
.
a. Terhadap pribadi perorangan.
b. Terhadap kelompok atau golongan.
c. Terhadap suatu agama.
d. Terhadap orang yang sudah meninggal.
e. Terhadap para pejabat yang meliputi pegawai negeri, kepala negara
atau wakilnya dan pejabat perwakilan asing.
27
Pasal 310-Pasal 320 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-
hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan kita
publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar
yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan kita tersebut
sehingga kita bisa mempertanggung jawabkannya.
Selain Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur
pencemaran nama baik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga
telah mengatur tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-
pasal pidana mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang
sudah ada di dalam dunia hukum sejak dahulu.
Untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama
baik, suatu perbuatan harus memenuhi beberapa unsur agar dapat dikatakan
Tindak pidana pencemaran nama baik. Unsur-unsur tersebut yaitu28
. Adanya
kesengajaan, tanpa hak (tanpa izin), bertujuan untuk menyerang nama baik
atau kehormatan, agar diketahui oleh umum.
Kejahatan di dunia maya merupakan kejahatan modern yang muncul
seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kejahatan di
dunia maya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kejahatan-kejahtan
28
Pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 ayat (3) Undangundang
Informasi dan Transaksi Eektronik (UU ITE).
konvensional yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
Menurut R.Soesilo penghinaan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) ada 6 macam29
. Menista secara lisan, menista secara tertulis,
memfitnah, penghinaan ringan, menyadu secara memfitnah, tuduhan secara
memfitnah.
Aspek pidana yang terdapat dalam Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) menimbulkan banyak permasalahan. Hal
tersebut tentu saja memunculkan ketidakefektifan Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam pelaksanaannya. Permasalahan
tersebut muncul dari substansi dan struktur hukumnya.
Berdasarkan substansi hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) , ada beberapa permasalahan antara lain30
.
1. Adanya pengelompokan perbuatan yang dilarang yang berbeda-beda
ke dalam satu Pasal. Padahal, dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) perbuatan yang dilarang itu diatur sendiri-sendiri.
Hal ini salah satunya bisa terlihat pada Pasal 27 Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ditemukan juga
bahwa dalam satu pasal, antara ayat yang satu dengan yang lainnya
terlihat berdiri sendiri (parsial) dan seperti tidak ada keterkaitannya
29
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, bogor, 1996, Hal., 225. 30
Ibid, Hal., 226-227.
sama sekali (Vide Pasal 30 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
2. Adanya inkonsistensi dalam penulisan pada Pasal 31 Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun tidak
memberikan pengaruh besar terhadap ketidakefektifan Undang-
undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun tentu
saja memberikan preseden buruk dalam penulisan suatu Peraturan
Perundang-undangan.
3. Pasal 32 dan Pasal 34 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), dapat menimbulkan kesulitan dalam hal
pembuktian. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan unsur-unsur yang
harus dibuktikan pada kedua Pasal tersebut. Pasal 32 Undang-
undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), apakah
pembuktiannya harus semua unsur cara atau cukup salah satunya
saja. Padahal kalau salah satu unsur saja tidak terbukti, maka
tersangka harus dibebaskan dari segala tuduhan hukum. Sedangkan
pada Pasal 34 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE), pengecualian Pasal 34 ayat (1) apakah hanya berlaku
terhadap kegiatan penelitian atau pengujian sistem elektronik
ataukah kegiatan penelitian dan pengujian sistem elektronik, untuk
perlindungan sistem elektronik itu sendiri.
4. Adanya Pasal khusus yang mengatur tentang “mengakibat kerugian
bagi orang lain”. Pasal 36 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) hanya mengatur jika terdapat Pasal 27–34
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang
dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Serta Pasal 35
Undangundang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak
termasuk dalam Pasal 36 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), sehingga tertutup kemungkinan
mengakibatkan kerugian bagi orang lain
5. Adanya Pengelompokan Ketentuan Pidana Dalam Satu Pasal
Tertentu untuk Sejumlah Jenis Perbuatan yang Dilarang yang
Berbeda-Beda (Vide Pasal 45 Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
6. Adanya Penyamarataan Sanksi Pidana Terhadap Delik yang
Sebenarnya Berbeda Satu Sama Lain (Vide Pasal 45 ayat (1)
Undangundang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Adanya Pemberatan Pidana dari Pidana Pokok yang tidak mengikuti
model pemberatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
pidana pokok ditambah sepertiganya (Vide Pasal 52 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut pemerintah telah mengaturnya
dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Unsur-unsur perbuatan yang dilarang menurut Undang-
undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)31
.
1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.
2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan perjudian.
3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Selain untuk menanggulangi agar tidak terjadinya unsur-unsur yang
dilarang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga
mengatur peran pemerintah dan peran serta masyarakat dalam menunjang
31
Pasal 27 Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
penerapan keefektifitasan Peraturan tersebut. Peran pemerintah dalam
menunjang penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE), yaitu32
.
a. Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
b. Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
c. Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data
elektronik strategis yang wajib dilindungi. 67 Pasal 27 Undang-
undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. 68 Pasal 40 Undang-Undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
d. Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya
serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan
pengamanan data.
32
Pasal 40 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE).
e. Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat
Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai
dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
f. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Jadi, maksud dari Pasal 40 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) agar pemerintah dan instansi atau institusi terkait dapat
memberikan kenyamanan terhadap dalam masyarakat dalam penggunaan
teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Peran masyarakat yang dimaksud dalam Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE)33
.
1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi
Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem
Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini.
2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.
3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi
konsultasi dan mediasi.
33
Pasal 41 Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE).
Berdasarkan Pasal 41 tersebut diharapkan masyarakat dapat
memanfaatkan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan
yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE). Pasal 41 Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
2.6.3 Analisis tindak pencemaran nama baik dalam UU No 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronika di kaitkan dengan kasus Prita Mulyasari
Berkaitan dengan aktivitas dan kegiatan bisnis masyarakat pengguna
transaksi atau perdagangan elektronik (e-commerce), UU ITE merupakan
Payung Hukum yang melingkupi kegiatan transaksi atau perdagangan
elektronik di dunia maya (cyberspace) tersebut. Namun sejak kelahiran
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tersebut, permasalahan dalam undang-undang tersebut dan pasal-
pasal pencemaran nama baik atau delik reputasi pada undang-undang tersebut
memiliki banyak cacat bawaan, kesimpang siuran rumusan, dan inkonsistensi
hukum pidana.
Sebenarnya undang-undang tersebut, khusus diperuntukkan mengatur
perdagangan elektronik di internet, akan tetapi ternyata undang-undang ini ikut
mengatur hal-hal yang sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), khususnya tentang penghinaan dan pencemaran nama
baik.hal ini mengindikasikan adanya penduplikasian tindak pidana yang justru
rentan terhadap terjadinya ketidak pastian hukum sehingga menimbulkan
gejolak dalam masyarakat. Duplikasi ini akhirnya dapat merugikan masyarakat
sendiri karena tidak tahu perbuatan mana yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan dilakukan menurut hukum. Khususnya yang dilakukan aparat
hukum atas kasus pencemaran nama baik.
Seperti halnya kasus Prita Mulyasari pada tanggal 3 Juni 2009
Undang–Undang No.11 Tahun 2008 digunakan untuk membawa Prita
Mulyasari terkena kasus masalah Informasi dan Transaksi Elektronik. Prita
Mulyasari didakwa melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni
Internasional, Prita dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun
2008 dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda
maksimal 1 milyar rupiah. Tragisnya, terhadap Prita diberlakukan
penahanan oleh pihak kejaksaan. Pihak kejaksaan mendasarkan penahanan
Prita pada dakwaan tersier dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut dan subsidier
Pasal 311 KUHP. Sesungguhnya tidak akan ada menyeret Prita untuk
merasakan kurungan.
Prita kemudian dilepaskan karena penahananya yang didasarkan pada
Undang -Undang No.11 Tahun 2008 dianggap berlebihan. Paling tidak
ada dua alasan untuk menjelaskannya. Pertama kata “tanpa hak” dimaknai
sangatlah sempit. Padahal, seorang Prita sebagai salah satu konsumen rumah
sakit, dia memiliki hak untuk menyampaikan apa yang dikeluhkannya melalui
email yang dibuatnya hak sebagai konsumen. Itu pun dijamin di dalam Undang
– Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, dalam
Undang – Undang No.11 Tahun 2008 pada Pasal 43 ayat 6 dijelaskan
secara nyata dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik
melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri
setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Sedangkan dalam
kasus Prita tidak ditempuh cara - cara yang sudah ditetapkan dalam Undang
– Undang No.11 Tahun 2008.
Menurut Ronny, M.Kom, Keterangan Ahli Judicial Review di
Mahkamah Kontitusi Undang – Undang No.11 Tahun 2008 di Mahkamah
Konstitusi, dalam kaca mata hukum, penafsiran dan pemberlakuan Undang –
Undang No.11 Tahun 2008 mutlak berpegangan pada putusan Mahkamah
Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review Undang –
Undang No.11 Tahun 2008 terhadap Undang – Undang Dasar 1945, salah
satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27
ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tidak dapat dipisahkan dari
norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.
Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan penafsiran Pasal 27
ayat (3) Undang–Undang No.11 Tahun 2008 merujuk pada pasal–pasal
penghinan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan pasal 311 yang berbunyi :
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang maksudnya
terang supaya hal itu diketahui umum diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika
perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena
terpaksa untuk membela diri.
Dan Pasal 311 yang berbunyi :
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran
tertulis diperbolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan
itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
(2) Pencabutan hak – hak berdasarkan Pasal 35 No 1 sampai
dengan 3 dapat dijatuhkan.
Namun dalam hal ini prita yang mengekspresikan berkumpul dan
berpendapat dianggap sebagai sebuah penghinaan, maka hal ini jelas
merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan :”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,ditetapkan
dengan undang-undang”.
Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menentukan :
”Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media
cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,
ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa”.
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :
”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik”34
.
Sedangkan ketentuan Pasal 45 ayat(1) Undang-Undang No.11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :
”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.
Dalam ketentuan pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 Undang-Undang
ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), tidak terdapat definisi secara jelas
apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Jika email
Prita yang berjudul ”Rumah Sakit Omni International Telah Melakukan
Penipuan” hal tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik (penghinaan)
bagi dokter dan rumah sakit, sebagaimana ditentukan pasal 27 ayat 3 UU ITE,
perlu diingat bahwa email Prita tersebut bersifat pribadi dan ditujukan hanya
kepada teman-teman terdekatnya. Artinya, Prita tidak bermaksud
menyebarluaskan tuduhan itu kepada umum. Dengan demikian, unsur
penyebar-luasan sebagaimana disyaratkan pada pasal dimaksud tidak
terpenuhi.
Perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut mungkin tanpa motif
sengaja mencemarkan nama baik, hanya bersifat keluhan pribadi, kecuali kalau
teman-temannya sengaja mengirim kembali email tersebut kemudian
menambah-nambahi, maka yang harus bertanggungjawab dalam permasalahan
34
Gradien Mediatama. Undang-Undang Internet & Transaksi Elektronik. Transmedia Pustaka ,
Jakarta, 2009, Hal., 53.
ini seharusnya tidak hanya Prita tapi juga teman-temannya tersebut. Pasal 27
ayat (3) UU ITE ini cukup sulit pembuktiannya, oleh karena orang yang
melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik.
Jika hanya bersifat keluhan pribadi, tidak dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum. Sama halnya, ketika kita mengirimkan sms keseseorang
yang isinya bahwa si A telah melakukan penipuan. Terkecuali jika memang
ada motif tertentu dalam mengirim email atau sms, maka harus dibuktikan
motif tersebut, sedangkan membuktikan adanya motif tertentu sangatlah sulit
dilakukan. Sehingga tidak segampang itu menerapkan pasal 27 ayat (3) UU
ITE tersebut, oleh karena dunia maya sangat jauh berbeda dengan dunia nyata,
setiap orang bisa dengan sangat mudah mengaku dia Prita, atau orang lain.
Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa pihak OMNI
International Hospital telah memberikan klarifikasi dan hak jawabnya pada
milis yang sama dengan Prita, namun ia masih tetap memproses permasalahan
ini melalui jalur hukum pidana dan perdata, dan gugatan perdatanyapun
dikabulkan. Pasal 45 ayat (1) UU ITE memang menjerat pelaku pasal 27 ayat
(3) UU ITE dengan hukuman pejara diatas 5 (lima) tahun, namun jika
permasalahan ini dikenakan pasal-pasal tersebut, maka betapa lemahnya posisi
konsumen (pasien), dan ini jelas merupakan kesulitan warga negara untuk
berpendapat. Jika hal ini dibenarkan, maka akan banyak korban seperti Prita,
karena di era keterbukaan seperti ini, betapa banyak konsumen yang mengikuti
rubrik surat pembaca di massmedia maupun di blog untuk berkeluh kesah dan
berdiskusi.
Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 mempunyai
syarat pembuktian yang cukup sulit. Seseorang yang melanggar harus
dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik. Oleh karenanya
penyidik jangan gegabah menggunakan pasal tersebut jika belum
mempunyai alat bukti yang cukup karena dunia maya sangat berbeda dengan
dunia nyata.
2.6.4 PRINSIP PENGATURAN UU ITE
Membahas aturan hukum cyber crime merupakan satu hal yang
memiiki tantangan tersendiri. Hal ini dikarenakan peraturan Perundang-
Undangan yang mengatur tentang kejahatan siber di Indonesia masih
“termasuk baru” aturan perundang-undanga telah dituangkan dalam Undang-
Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transakai Elektronika.
Oleh karena itu, dengan usia UU yang masih sangat dini, maka
dibutuhkan waktu untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang yang
dimaksut, hal ini dikarenakan sebagai suatu UU baru, dibutuhkan waktu untuk
mempelajari dan menganalisis keseluruhan pasal dalam proses penegakan
hukum. Berikut maap cyber crime di Indonesia untuk menggambarka
kompleksitas dan kebutuhan aturan hukum prinsip umum pengaturan tentang
kebijakan telematika, cyber crime35
.
a. Prinsip transparansi.
35
Maskun, op., cit., hal., 58.
Prinsip transparansi artinya, proses pembuatan kebijakan harus
dilakukan secara transparan dan terbuka. Setiap warga negara sebaiknya
memeliki akses baik melalui media cetak atau iternet kepada semua peraturan
dan perundangan, termasuk draft rancangan Undang-Undang dan peraturan
pelaksanaanya yang sedang diproses oleh Pemerintah dan DPR. Peraturan dan
perundangan tidak dipublikasikan dapat dianggap tidak sah, dan oleh
karenanya tidak seorang pun dapat dikenai sanksi bila melanggar peraturan
yang tidak dipublikasikan tersebut.
Dalam prinsip ini jelas dikatakan bahwa proses perbuatan harus
dilakukan secara transparan dan terbuka namun dalam hal kasus yang dialami
oleh Prita mulyasari prinsip ini sepertinya tidak diterapkan karena dalam hal
ini Prita yang menyampaikan keluhannya di sosial media yang dianggap
mencemarkan nama baik RS OMNI oleh pihak kejaksaan melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap Prita sementara jelas dikatakan dalm
pasal 43 ayat 6 UU No 11 Tahun 2008 dijelaskan secaranyata dalam hal
melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum
wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu
kali dua puluh empat jam. Namum dalam hal ini Prita belum di putuskan oleh
pengadilan dia sudah ditahan.
b. Prinsip liberalisasi telekomunikasi.
Hal ini ditandai dengan jaminan privatisasi dan kompetisi. Privatisasi
merupakan dorongan global yang menghendaki agar kebijakan telekomunikasi
mendorong proses privatisasi untuk menghentikan kepemilikan oleh negara.
Sedangkan kompetisi merupakan persyaratan terjadinya persaingan sehat dan
medorong turunya harga, mempromosikan investasi dan meingkatkan
tersedianya pelayanan-pelayanan bar yang terjangkau oleh sebagian besar
masyarakat. Kompetisi sehat ini hendaknya tidak hanya untuk jenis pelayanan
tertentu saja, namun mencaup semua jenis pelayanan telekomunikasi seperti
sambungan telepon lokal, saluran sewa, jaringan backboan, jaringan wirelles
dan antar ISP.
Dalam prinsip ini dikatakan jaminan privasi namun dalam hal kasus
yang di alami Prita sepertinya prinsip ini tidak dihiraukan oleh pihak
pengadilan maupun jaksa karena dalam hal ini jelas-jelas prita menyampaikan
keluhannya itu dimedia sosial dengan maksud untuk menyampaikan
keluhannya bukan bermaksut menghina atau mencemarkan nama baik dari
pihak yang melaporkan namun dia dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama
baik. Padahal jelas-jelas keluhan yang dibuat prita hanya untuk privasi sendiri
bukan untuk umum.
c. Prinsip jaminan Undang-Undang tentang internet.
Untuk mencegah kerugian bagi masyarakat, hukum harus selalu
menjadi pegangan dalam pemamfaatan telematika. Jika peraturan dan
perundangan yang mengatur pemamfaatan telematika belum tersedia beberapa
isu berikut dinggap sebagai isu universal yang harus tercantum dalam undang-
undang internet/ITC, antara lain;
a. Hak kekayaan intelektual, yakni dengan adanya perlindungan
yang memadai bagi kekayaan itelektual untuk mejamin terus
munculnya inovasi dan pengembangan teknologi.
b. Perlindungan konsumen, yakni jaminan perlindungan terhadap
konsumen dalam bentuk pemenuhan hak-hak konsumen dalam
transaksi ekonomi menggunakan internet atau media
elektronika lainnya dalam jangka panjang menjamin
tumbuhnya perekonomian yang sehat.
c. Perlindungan privasi, yakni adanya jaminan kebebasan untuk
memiliki dan mengelola informasipribadi harus dihormati36
36
Hinca ip panjaitan, dkk, Op, Cit.,hal., 27-34.