bab ii perceraian dalam perspektif hukum islam …eprints.unisnu.ac.id/438/3/bab ii.pdf · secara...
TRANSCRIPT
14
BAB II
PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
A. Pengertian Perceraian
1. Perceraian dalam Hukum Islam
Secara bahasa talak atau perceraian dalam hukum Islam menurut
Zainuddin al-Malibari berasal dari kata hallul qaid yakni “melepaskan
ikatan” sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan ikatan nikah
dengan lafadz yang akan disebut kemudian.1 Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofik dalam
bukunya Hukum Perkawinan Islam adalah Ikrar suami dihadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu putusnya perkawinan.2
Pada prinsipnya tujuan perkawinan sesuai dengan Kompilasi
Hukum Islam adalah untuk mewujudkan keluarga atau rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah, oleh karenanya untuk menggapai
tujuan tersebut dalam hukum perkawinan islam menganut prinsip
mempersukar terjadinya perceraian. 3
Sedangkan talak sebagaimana yang dikemukakan oleh
Soemiyati adalah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan
1 Zainudin al-Malibari, Fathul Mu’in, Alih Bahasa, Moch Muhtar, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2005, hal. 1346. 2 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal.
276. 3 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,
Yogyakarta: Teras, 2011. Hal 83.
15
oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim maupun perceraian yang jatuh
dengan sendirinya karena meninggalnya salah seorang dari suami atau
isteri.4 Sedangkan talak menurut Haifa Ahmad Jawwad dalam bukunya,
Otentitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender,
adalah pemutusan akad perkawinan oleh keputusan suami yang biasanya
dilakukan secara sepihak oleh suami tanpa disertai pengungkapan alasan
apa-apa.5
2. Perceraian dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan adalah menghindari
terjadinya perceraian. Adapun perceraian sebagaimana ditegaskan oleh
Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam dan Undang-
undang Perkawinan, mengartikan secara umum yaitu segala bentuk
perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya karena meninggalnya
salah satu dari pihak suami atau isteri.6
Selanjutnya untuk ketentuan tentang putusnya perkawinan diatur
dalam dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
sebagaimana dikutip oleh Wasman dan Wardah Nuroniyah yaitu:
(a) Karena kematian salah satu pihak,
4 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta:
Liberty, 1999. Hal. 103. 5 Haifa A. Jawwad. Otentitas Hak-hak Perempuan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2002. Hal 251-252. 6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta:
Liberty, 1999, hal. 103.
16
(b) Karena perceraian dan
(c) Atas keputusan pengadilan.7
Dalam Pasal 65 Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun
1989 juga dinyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di muka
sidang pengadilan setelah pihak pengadilan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan keduanya, adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai
berikut:
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak”.8
Menurut ketentuan Pasal tersebut ditegaskan bahwa peceraian
hanya dapat dilakukan di muka sidang pengadilan. Dengan demikian
perceraian yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan dianggap
tidak sah atau belum pernah terjadi ikrar talak (perceraian), karena
perceraian yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan diangap tidak
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Perceraian tersebut akan
berdampak negative pada keduanya apalagi pada pihak isteri bila
suaminya tidak memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh isteri
setelah perceraian terjadi.
Untuk ketentuan pemberian nafkah oleh suami setelah
perceraian telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
7 Wasm, dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam dalam Perbandingan Fiqh
dan Hukum Positif, Yogyakarta: Liberty, 2003, hal. 154. 8 Noto Susanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Gajah Mada, 1963, hal. 27.
17
1974 Pasal 41 huruf (c) termasuk pemeliharaan, perawatan serta
pendidikan bagi anak-anaknya, selanjutnya dalam undang-undang
perkawinan juga ditegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus
ada alasan yang kuat untuk menjadi dasar terjadinya perceraian.
Sementara ketentuan yang ada seperti diatur alam Pasal 39 ayat
(2) Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, sebagaimana dikutip
oleh Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam
“Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami
isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri”.9
Dengan adanya penegasan Pasal di atas apabila suami-isteri
sudah tidak ada lagi harapan untuk hidup bersama-sama dalam satu
ikatan perkawinan dengan damai dan rukun, karena menurut Ahmad
Rofik perceraian merupakan alternatife terakhir (pintu darurat) yang
boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat
dipertahankan lagi keutuhan dan kesinambunganya.10
B. Dasar Hukum Talak
Adapun dasar dasar hukum adanya talak atau perceraian adalah firman
Allah dalam surat At-Talaq ayat 1.11
أيهاٱلنبي إذاطلقتمي ٱلن ساءفطل قوهن لعدتهن وٱتقواٱلل وأحصواٱلعدة مكر
9 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII press, 2000, hal.94 10 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal.
269. 11 Yayasan Penerjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah
Munawwarah,, tt. Hal. 9
18
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu dapat menghadapi
iddahnya (yang wajar) dan hitungan waktu iddah itu serta bertawakalah
kepada Allah tuhanmu”.
Selanjutnya firman Allah dalm suarat Al-Baqarah ayat 227.12
قوإن إفعزمواٱلطل نٱلل ٢٢٢عليم سميع
Artinya: “Dan jika mereka ber ’azam (bertetap hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun dasar hukum talak yang lain adalah dari hadits Nabi
sebagaimana hadits yang dikutip oleh Ahmad Rofik.13
اهاوداودوانماجهوالحاكم(رو)الطالقالحاللالىهللاااغضمصهللاارسولقال
Artinya: Suatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah
talak (perceraian). (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim, dari
Ibnu Umar).
C. Hukum Perceraian dalam Islam
Perceraian dalam hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang jelek
dan sebisa mungkin untuk dihindari. Adapun untuk hukum perceraian dilihat
dari sisi kemaslahatan dan kemudharatannya Sulaiman Rasyid dalam bukunya
Fiqh Islam membagi hukum percerian menjadi empat bagian yaitu: Wajib,
makruh, sunat dan haram.14
12 Ibid,Surat Al-Baqarah, ayat 227. Hal. 675. 13 Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 268.
14 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1986, hal. 402.
19
1. Wajib .
Hukum melaksanakan perceraian menjadi wajib apabila atas
putusan hakim dalam hal terjadinya perselisihan yang berkepanjangan
antara suami isteri dan sudah diadakan upaya perdamaian oleh dua orang
hakim, selanjutnya kedua hakim sudah memandang perlu umtuk
mengadakan perceraian yang bersifat ba’in sughra’.15
2. Haram.
Adapun hukum talak menjadi haram apabila ikrar talak dilakukan
tanpa adanya alasan yang jelas.16 Karena tidak ada kemaslahatan yang akan
dicapai dari perbuatan tersebut.
3. Makruh.
Yaitu hukum asal dari talak itu sendiri.
4. Sunat
Adapun hukum talak bisa menjadi sunnat apabila suami tidak
sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibanya (nafkahnya) atau
perempuan tidak mampu kehormatan dirinya.17
15 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal.
133 16 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. VIII, Cet. I, Bandung: Al-Ma’arif, 1987, hal. 11 17 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1986, hal. 402.
20
D. Macam-Macam Perceraian
1. Perspektif Hukum Islam
Perceraian dalam hukum Islam atau putusnya hubungan
perkawinan selanjutnya disebutkan sebagai talak, perceraian atau putusnya
perkawinann dalam hukum Islam terjadi karena: Kematian, Talak, (ta’lik
talak) fasakh, khuluk dan syiqaq.18
1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian
Putusnya perkawinan karena adanya sebab kematiann salah satu
dari suami atau isteri, maka pihak lain bisa dan berhak mewarisi atas
harta peninggalan yang meninggal, karena adanya kesepakatan yang
umum dikalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab kewarisan yakni
karena adanya hubungan perkawinan,19 Bagi pihak isteri yang dengan
meninggalnya suami tidak dibolehkan segera melangsungkan perkawinan
yang baru dengan laki-laki yang lain karena harus menanggung masa
iddah. Berbeda dengan pihak suami yang bisa secara dapat langsung
melangsungkan perkawinan yang baru karena tidak adanya jangka waktu
tunggu bagi seorang suami yag ditinggal mati oleh isterinya. Adapun
ketentuan iddahnya adalah sebagaimana ditetapkan oleh firman Allah
dalam Surat Al-Baqarah ayat 234.
18 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum
Adat dan Agama, Ct. Kedua, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 166. 19 Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Raja
Grafindo Jakarta: Persada, 1997, hal.166.
21
يتوفونوٱلذين جاويذرونمنك أنفسهننيترصأزو رعةأ
افإذاروعشراهأش فيفعلنفيماعليكمفالجناحجلهنلغن أنفسهن
ماوٱللعروف مٱل ٢٣٢خبيرتعملون
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat”.20
2. Putusnya Perkawinan Karena Talak
Talak adalah suatu perbuatan yag dilakukan oleh suami berupa
menolak berlanngsunya perkawinan, adapun talak adalah cara yang
lazim digunakan untuk menghentikan perkawinan, sedangkan perceraian
yang dimaksud disini adalah perceraian dengan mengucapkan ikrar talak
yang langsung jatuh (munjas) yaitu ikrar talak yang diucapkan dan jatuh
tanpa adanya sarat apapun, juga tidak disandarkan pada waktu yang akan
datang maupun adanya penangguhan jatuhya talak.
Sedangkan ikrar talak yang di gantungkan dengan syarat atau
waktu yang akan datang (muallaq) adalah talak langsung tetapi
digantungkan dengan sesuatu yang menjadi syarat jatuhnya talak, atau
digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi dimasa yang
akan datang. Sedangkan talak yang disandarkan pada waktu yang akan
20 Yayasan penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 57.
22
datang (mudhaf) yaitu ucapan talak yang dikaitkan denggan waktu,
bahwa apabila waktu yang dimaksud itu tiba maka jatuh talaknya.
Sementara itu penyampaian talak dilhat dari sighatnnya dibagi
menjadi dua macam yaitu:
1. Talak Sharih
Makna sharih adalah tegas, yaitu kalimat yang terang tidak
ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan
perkawinan, seperti ucapan “engkau tertalak atau saya ceraikan engkau.21
2. Talak Kinayah
Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu
sehingga boleh dan dapat diartikan perceraian nikah atau yang lain,
contoh “pulanglah engkau kerumah orang tuamu” kata kinayah dalam hal
ini bermakna ganda yaitu talak dan selain talak, adapun yang menjadi
perbedaan adalah niatnya.22
Talak dapat jatuh dengan berbagai macam cara penyampaianya
yang bisa menunjukan berakhirnya hubungan perkawinan yaitu dengan
kata-kata atau dengan mengirim surat kepada isterinya atau dengan
isyarat bagi orang yang bisu atau dengan mengirim seorang utusan:
21 Ibrahim Muhamad, Fikih Wanita, Alih Bahasa Anshori Umar, Semarang: Assyifa, tt.
Hal. 398. 22 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam: Perbandingan Fiqh dan
Hukum Positif, Yogyakarta: Teras, 2011, hal. 95
23
a. Talak dilakukan dengan ucapan (ikrar talak)
Talak yang dilakukan dengan ucapan yang sharih (tegas atau
dapat difahami maknanya sebagaimana yang dikatakan Hamdana
dalam bukunya Risalah Nikah bahwa lafadz atau kata-kata cerai yang
sharih, ada tiga yaitu: talak, firaq (pisah) dan sara’ah (lepas).23
b. Talak disampaikan denganmengirim utusan
Apabila talak dapat jatuh dengan sharih dan kinayah dan
dapat pula jatuhnya dengan tulisan dan isyarat maka talakjuga dapat
jatuh dengan mengirim utusan yang dikirim suaminya untuk
menyampaikan kepada isterinya yang jauh bahwa ia telak ditalak oleh
suaminya.
c. Talak dengan menggunakan isyarat
Bagi orang yang bisu isyarat adalah alat untuk membuat
orang lain memahami keinginannya, karenanya isyarat disamakan
dengan ucapan dalam hal menjatuhkan talak, akan tetapi sebagian
ulama mensyaratkan orang bisu tersebut tidak dapat membaca dan
menulis, karena apabila dapat membaca dan menulis, maka talaknya
tidak cukup hanya dengan isyarat, karena tulisan lebih jelas
menunjukan maksud, kecuali karena terpaksa atau memang tidak
dapat menulis.24
d. Talak disampaikan melalui tulisan
23 Hamdan, Risalah, Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hal. 212. 24 Sayyis Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung: Al Ma’arif, 1987, Jil. VIII, hal. 33.
24
Talak yang disampaikan melalui tulisan (surat) dapat
dianggap jatuh talaknya meskipun suami yang menjatuhkan talaknya
dapat berbicara dan dapat mengucapkan ikrar talak denag syarat
tulisanya jelas, dapat dibaca dan dalam lembaran kertas dan tertentu
(ditujukan kepada isterinya).
Sedangkan talak dilihat dari segi cara menjatuhkanya terbagi menjadi
dua yaitu:
a. Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang dilaksanakan sesuai dengann
ketentuan hukum Islam atau bersandar pada Al-Qur’an dan As-sunnah dan
talak yang dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci dan belum disetubuhi
kemudian dibiarkan sampai habis masa idahnya.25
b. Talak Bid’i
Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaaan suci tapi
sudah dicampuri dalam waktu suci tersebut.26
c. Talak Laa Sunni Wala Bid’i
Yaitu talak yang tidak termasuk dalam kategori sunni dan tidak
pula dalam kategori bid’i sementara yang masuk kategori ini adalah:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah haid
(menopause)
2. Talak yang dijatuhkan terhdap isteri yang sedang hamil.
25 Ibid, hal. 96 26 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, hal.38.
25
Sementara talak dilihat dari sisi bilangan talak yang dijatuhkan atau
dari segi pengaruhya serta cara terjadinya talak ddari keadaan isteri yang
ditalak, kita bisa melihat adanya dua macam talak yaitu:
1. Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang masih memungkinkan suami rujuk
kepada bekas isterinya selama dalam masa idah, atau berkurangya hak
talak yang dimiliki oleh seorang suami atau isterinya.27
2. Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada
isterinya dan suami tidak memiliki hak untuk kembali kepada.28
3. Talak Tebus atau Khulu’
Khulu’ secara berarti perpisahan isteri dengan imbalan harta dari
asal kata khalt’ust tsaub yang berarti melepas pakaian, karena isteri adalah
pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari isteri,29 sebagaimana
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat, 187.
هن وأنتملكملباس لهن لباس
Artinya: “Mereka itu (isteri-isterimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu
pun pakaian bagi mereka”.30
27 Bahder Johan dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju,
1997, hal. 31. 28 29 Ibrahim Muhammmad, Fiqh Muslimah, cet. III, Jakarta: Pustaka Amani, 1999, hal.
329. 30 Yayasan Penterjemah DEPAG R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal, 157.
26
Talak tebus atau khulu’ yaitu talak yang diucapkan oleh suami
dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami,31 dan talak tebus ini
boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun haid karena biasanya talak tebus
ini terjadi dari kehendak dan kemauan si isteri.32
4. Talak dengan sumpah ila’
Ila’ adalah suatu bentuk perceraian sebagai suatu akibat dari
sumpah suami yang menyatakan bahwa ia (suami) tidak akan menggauli
isterinya,33 baik dibatasi dengann ucapan, selamanya atau dibatasi dengan
tenggang waktu empat bulan atau lebih.
Beberapa contoh dari sumpah ila’ adalah sebagai berikut:
a. Demi Allah, saya tidak akan mengumpuli isteriku
b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri isteriku selama
lima tahun.
c. Demi Allah saya tidak akan mendekati isteriku selamanya.
Akibat dari sumpah ila’ tersebut sebagaimana dijelaskan Sulaiman
Rasjid bahwa apabila seoarang suami bersumpah dengan menggunakan ila’
hendaklah ditunggu hingga masa sampai empat bulan kalau dia kembali baik
kepada isterinya sebelum sampai empat bulan maka suami diwajibkan
membayar denda sumpah (kafarat).34 Akan tetapi kalau sampai empat bulan
suami tidak kembali baik dengan isterinya, maka hakim berhak menyuruhnya
memilih diantara dua perkara: membayar kafarat sumpah serta kembali baik
31 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994, hal. 409. 32 Ibid, hal, 409. 33 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. III , Jakarta: Rieneka Cipta, 2005, hal.
140. 34 Sulaiman Rajid, Fiqh islam, Bandung: Sinar baru Algensindo, 1994, hal. 410.
27
kepada isterinya atau menalak isterinya, kalau suami tidak mau menjalankan
salah satu dari dua perkara tersebut maka hakim berhak menceraikan dengan
paksa.35
Adapun dasar hukum dari pengaturan perceraian atau talak dengan
‘illa dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Bqarah, ayat, 226.
فإن أرعة ترص ن سائهم من يؤلون ل لذين ءوفإن أشهر حيم ٱلل فا ر ٢٢٢غفور
Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-illa kepada istreinya diberi
tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada
isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.36
Adapun ketentuan bagi suami yang melakukan illa’ terhadap
isterinya telah ditentukan batas waktunya empat bulan karena dengan
tenggang waktu itu akan terihat hikmah yang terkandung didalamnya baik
bagi suami ataupun isteri.
Untuk ketentuan kafarat akibat dari sumpah ila’ diantaranya
dijelaskan oleh Soemiyati dalam bukunya hukum Perkawinan Islam dan
Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Menjamin makan 10 orang miskin, atau
b. Memberi pakaian kepada 10 orang miskin,atau
c. Memerdekakan seorang budak, atau
35 Ibid, hal. 411. 36 Yayasan Penterjemah, DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Baqarah, ayat
226, hal. 55.
28
d. Dapat diganti dengan puasa selama tiga hari berturut-turut.37
5. Dzihar
Yang dimaksud dengan dzihar yaitu seorang laki-laki
menyerupakan isterinya dengan ibunya sehingga isterinya itu menjadi
haram untuknya dan bila seorang laki-laki mengatakan demikian dan tidak
diteruskanya dengan talak, maka ia wajib membayar kafarat dan haram
bercampur dengan isterinya sebelum membayar kafarat itu.38
Adapun orang yang bisa melakukan dzihar adalah seorang suami
yang sudah baligh, sehat akalnya, dan muslim sedangkan perempuan yang
ditalak dengan cara dzihar adalah yang sudah menikah dan masih sah
menjadi isterinya.
6. Putusnya Perkawinan Karena fasakh
Pengerian fasakh secara bahasa berarti mencabut atau membatalkan
yang didalamnya mengandung pengertian bahwa falsafah ini
memperlihatkan kewenangan qadli (hakim Pengadilan Agama) untuk
membatalkan suatu perkawinan atas permintaan pihak isteri.39 Jadi fasakh
adalah perceraian dengan keputusan hakim atas permintaan dari pihak isteri.
Dengan kata lain fasakh merupakan peluang atau jalan yang bisa ditempuh
37 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta:
Liberty, 1999, hal. 118. 38 Sulaiman Rajid, Fiqh islam, Bandung: Sinar baru Algensindo, 1994, hal. 412. 39 Sudarsono, Hukum Kelurga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hal. 63
29
oleh isteri untuk memperoleh perceraian dengan suamuniya dari segi
hukum, sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat, 35.40
ن ينهما شقاق خفتم وإن يريدا إن أهلها وحكمامن هلهأ فٱعثواحكمام
حا ٱ يوف ق إصل لل ٱ إن ينهما ٣٣عليماخبيرا كان لل
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari seorang perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud
mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal”.
Seluruh ulama sepakat bahwa ikatan perkawinan dapat diputuskan
dengan fasakh, tetapi mereka berbeda pendapat tentang alasan-alasan yang
bisa dipergunakan untuk minta fasakh.
Pada garis besarnya ada enam hal yang dapat dijadikan alasan oleh
seorang isteri untuk minta fasakh yaitu:
a. Suami sakit gila
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak bisa diharapkan
kesembuhanya.
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuannya untuk berhubungan
kelamin.
d. Suami miskin atau jatuh miskisehingga tidak mampu untuk memenuhi
memberikan kewajiban nafkah terhadap isterinya.
40Ibid,hal. 908.
30
e. Isteri merasa tertipu baik mengenai nasab, atau keturunan suami,
kekayaan atau kedudukan suami
f. Suami mafqud atau hilang tanpa adanya keterangan yang jelas dalam
jangka waktu yang lama minimal empat tahun.41
7. Putusnya perkawinan dengan sumpah li’an
Putusnya perkawinan dengan sumpah li’an dapat terjadi karena
adanya tuduhan dari suami kepada isterinya melakukan perbuatan zina atau
suami mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari
isterinya,42 adapun li’an berarti sumpah atau mengutuk karena seseorang
yang melakukan perceraian dengan cara li’an pada sumpahnya yang kelima
dia bersedia meminta kutukan Allah apabila ternyata sumpahnya adalah
dusta, sesuai dengan firman Allah Surat An-Nur, ayat, 6-7 yaitu43:
جهم يرمون وٱلذين شهداء لهم يكن ولم أزو دةفش أنفسهم إل أرع أحدهم ه
ت د شه دقين ۥلمن إنه ٱللمسة٢ٱلص لعنت أن وٱلخ ذينا من كان إن عليه ٱلل لك
٢
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,
sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah
41 Ahmad Azhar Baasyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, hal. 86. 42 Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Hal. 154 43 Yayasan Penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat An-Nuur ayat,
6-7, hal. 54.
31
yang kelima: Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta”.
Sebagai akibat dari sumpah li’an ini maka:
a. Suami bebas dari hukuman dera juga bebas dari hukuman menuduh zina.
b. Dilakukannya hukuman zina terhadap isterinya.
c. Suami isteri bercerai selama-lamanya.
d. Isteri menjadi haram selamanya terhadap suami
e. Anak yang lahir bukan anak suami dan dinasabkan kepada ibunya.44
Perceraian dengan cara li’an sedangkan suami tidak punya saksi
atasnya kecuali dirinya sendiri, adapun pembuktian dalam kasus zina adalah
pengakuan, bukti-bukti atau keterangan yang kuat dan persaksian, akan
tetapi pihak isteri bisa memberikan sangahan atau enolakan dengan
kesedianya melakukan sumpah li’an pula isteri terlepas dari hukuman zina,
karena sumpah li’an dari pihak isteri adalah menyatakan persaksian kepada
Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya termasuk orang yang berdusta,
dan sumpah yang kelima adalah bersedia menerima murka Allah apabila
suaminya termasuk orang yang benar dengan tuduhanya.
8. Putusnya Perkawinan Karena Nusyuz
9. Putusnya Perkawinan Karena Syiqaq
Syiqaq adalah tahap perselisihan atau pertengkaran berkepanjangan
antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga, baik karena adanya
44 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996, hal. 412.
32
nusyuz diantara keduanya atau karena sebab lain yang bisa menyebabkan
terjadinya pertengkaran, Syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh kedua pihak
suami atau isteri atau salah satu dari keduanya, dalam hal syiqaq yang
benar-benar sudah tidak dapat diatasi sehinga menurut pertimbangan para
hakim yang mengurusnya perlu diadakan perceraian, karena dengan
perceraian diangap lebih menjamin kemaslahatan keduanya setelah
perceraian.
Adapun perceraian akan lebih bisa menyelamatkan suami isteri dari
penderitaan-penderitaan batin yang akan diderita apabila keduanya tetap
bersaa. Jadi syiqaq adalah menjadi alasan perceraian yang dilakukan dan
atas adanya putusan hakim.
2. Perspektif Undang-undang
Macam-macam perceraian atau putusnya perkawinan menurut
undang-undang perkawinan bisa terjadi sebab kematian, perceraian dan atas
keputusan pengadilan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 huruf
a, b dan c Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974.
Adapun penjelasan sebab-sebab perceraian adalah sebagai berikut:
1. Kematian
Putusnya perkawinan sebab kematian dari salah satu suami atau isteri,
maka pihak lain bisa dan berhak untuk mewarisi harta peninggalan yang
ditingalkan sesuai dengan Pasal 35 ayat 1 undang-undang perkawinan.
Walaupun dengan kematian salah satu dari suami atau isteri perceraian
33
secara langsung terjadi dan tidak dimugkikan hubungan mereka disambung
lagi namun bagi pihak isteri tidak bisa segera melangsungkan perkawinan
yang baru dengan laki-laki lain, karena bagi isteri berlaku masa tunggu.
Sebagaimana ketentuan pasal tersebut diatas Hilman Hadikusuma
menjelaskan dalam bukunya Hukum Perkawinan Di Indonesia, bahwa
akibat hukum dari harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing,
yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain.45
Adapun bagi isteri yang cerai karena kematian suaminya
ditentukan jangka waktu masa tunggu selama 130 hari hal ini sesuai dengan
penjelasan pasal 39 ayat (1) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
yang berbunyi “Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan selama 130 (seratus tiga puluh hari).46
Ketentuan masa iddah di atas sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah surat al-Baqarah ayat 234.
وٱلذين يتوفون منكم ويذرون جا أزو يترصن أنفسهنأ رعة
أشهروعشر ا
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber´iddah) empat bulan sepuluh hari”.47
45 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Agama dan Adat, Cet. II, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 189. 46 Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arloka, 2002, hal. 55 47 Yayasan penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 57.
34
Selain menjalankan ‘iddah menurut Zainudin al-Malibari isteri yang
ditinggal mati juga mempunyai kewajiban untuk berbela sungkawa. Dengan
kata lain, disamping beriddah sang isteripun harus berbela sungkawa selama
itu, tanpa memandang apapun keadaan dirinya, (yakni baik dia sebagai isteri
yang dalam talak raj’i ataupun belum baligh atau keadaan lainya).48
2. Perceraian
Perceraian atau putusnya hubungan perkawinan yang dimaksudkan di
atas adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak suami atau isteri yang
diajukan dan dilakukan atas adanya izin setelah melalui proses persidangan
dan disaksikan oleh pihak pengadilan, apabila terdapat alasan-alasan
perceraian yang dimaksudkan.
Adapaun mengenai prosedur dan tata cara perceraian diatur dalam
Pasal 20 ayat (1) peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975 bahwa putusnya
perkawinan dengan jalan perceraian dapat terjadi dengan dua cara dan
pengajuan yaitu: perceraian yang diajukan oleh pihak suami ataupun pihak
isteri ataupun kuasa hukum dari suami atau isteri tersebut dan selanjutnya
perceraian yang diajukan oleh pihak suami disebut dengan cerai talak dan
yang diajukan oleh pihak isteri disebut cerai gugat.
E. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-undang
48 Zainudin al-Malibari, Fathul Muin, Alih Bahasa Mochtar Anwar, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2005, hal. 1410.
35
Pada prinsipnya asas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah
menghindari untuk terjadinya perceraian atau pemutusan hubungan
perkawinan. Ahmad Rofik menegaskan dalm bukunya Hukum Islam Di
Indonesia, bahwa untuk melakukan perceraian harus dengan adanya alasan-
alasan tertentu serta dilakukan dimuka sidang pengadilan.49 Hal ini sejalan
dengan ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974
mengharuskan ikrar talak dilakukan dimuka sidang pengadilan. Adapun alasan
yang di maksud adalah sebagaimana diatur dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah No.9 Thun 1975.
Adapun alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam PP No.9 Tahun
1975 tersebut adalah:
1. Salah satu pihak tersebut berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan lain yang sah.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan pekerjaanya sebagai suami atau iseri.
5. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.50
49 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hal.
268 50 Ibid,hal. 87.
36
F. Tata Cara Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974
Putusnya perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974,
pasal 38 huruf (b), dapat terjadi dengan perceraian setelah suami mendapat izin
untuk menceraikan isterinya dengan mengucapkan ikrar talaknya dimuka
sidang Pengadilan Agama, Maka pada saat itulah terjadi perceraian
sebagaimana disebutkan dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974.
Adapun tata cara perceraian menurut Undang-undang Perkawinan
tahun 1974, dibedakan menjadi dua bagian yaitu perceraian yang terjadi atas
kehendak pihak suami yang kemudian disebut cerai talak dan yang kedua
perceraian atas kehendak pihak isteri atau yang kemudian disebut cerai gugat.
Cerai talak dan cerai gugat tersebut hanya dapat dilakukan dimuka sidang
pengadilan sesuai dengan peraturan pemerintah yang surat permohonanya
harus diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
daerah hukum tergu atau isteri atau kuagat, sebgagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 20 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Untuk bunyi Pasal
tersebut adalah sebagai berikut:
37
“Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
tergugat”.51
Adapun pemohon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 PP No.9
Tahun 1975 mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya seperti dimaksud dalam pasal 66 Undang-Undang No.7 Tahun 1989
Yaitu:
1. Pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
2. Apabila termohon bertempat tinggal diluar negeri maka permohonan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
pemohon.
3. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri permohonan
diajukan kepada pengadilan yang meliputi tempat perkawinan mereka
dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Selanjutnya tata cara pengajuan permohonan perceraian juga
prosesperceraian itu sendiri. Adapun tata cara prosedurnya sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
atas Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
menyatakan bahwa formulasi gugatan permohonan dalam perkara cerai talak
51 Sastro Atmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hal
123.
38
dan cerai gugat dan berpedoman pada pasal 67 tahun 1989, bahwa ketentuan-
ketentuan termuat adalah:52
a. Identitas para pihak, yaitu: Nama, umur, dan tempat kediaman pemohonan,
yaitu suami dan termohon yaitu isteri.
b. Alasan-alasanyang menjadi dasarcerai talak atau sering disebut dengan
istilah posita gugat.
Adapun formulasi dari proses perceraian diatas adalah formulasi dari
cerai gugat yang bersifat murni. Disini di ingatkan mengenai alasan perceraian
yang disebutkan diatasadalah alasan alternatif, yaitu pemohon pemohon dapat
meminta salah satu dari alasan-alasan cerai sesuai dengan fakta yang ada.
1. Pemanggilan pihak-pihak
Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai talak dilakukan
menurut ketentuan Pasal 26, 27, 28 dan 29 peraturan pemerintah No.9 tahun
1975 tentang pelaksanaan atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974.
Adapun bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian baik permohonan dan termohon atau kuasa hukumnya, mereka
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
b. Bagi Pengadilan Negeri pangilan dilakukan oleh juru sita, bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh
hakim ketua Pengadilan Agama, yaitu juru sita penganti.
52 Soedarho Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata, Jakarta:
Sinar Grafika, 2001,hal. 29.
39
c. Pangilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila yang
bersangkutan tidak dapat menjumpainya pemanggilan disampaikan
kepada lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
d. Panggilan sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan dan disampaikan
secara patut dan sudah diterima baik oleh suami atau isteriatau kuasa
hukum mereka selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dibuka.
e. Panggilan kepada tergugat dilakukan dengan salinan surat gugatan.
Selanjutnya apabila kediaman termohon tidak jelas atau tidak
diketahui atau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, panggilan
dilakukan dengan cara:
a. Menempelkan surat permohonanatau surat panggilan pada papan
pengumuman di Pengadilan Agama.
b. Mengumumkan melalui surat kabar atau media masa cara tersebut
dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara
pengumuman pertama dan kedua.
c. Tenggang waktu antara panggilan akhir tersebut diatas dengan persidangan
ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
d. Dalam hal sudah dilakukan panggilan tersebut tergugat dan kuasanya tidak
hadir, permohonan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila
gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
e. Apabila termohon bertempat tinggal diluar negeri, panggilan disampaikan
melalui KBRI setempat dengan cara sebagai berikut:
40
1. Panggilan tersebut dikirim lewat DEPLU RI di Jakarta yang akan ke
KBRI yang dituju.
2. Sidang pemeriksaan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
terhitung sejak dimasukanya perkara di kepaniteraan Pengadilan
Agama.
3. Apabila termohon telah dipanggil, namun tetap tidak hadir di
persidangan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek dengan
berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1974.53
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan cerai talak pada umumnya diatur dalam BAB IV
bagian kedua paragraf kedua Undang-undang No.7 Tahun 1989, hampir
sama dengan yang diatur dalam BAB V Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975. Adapun tahapanya sebagai berikut:
a). Pemeriksaan oleh Majlis Hakim
Menurut ketentuan pasal 68 (1) Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 berbunyi “Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh
majlis hakim”.54
Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa hakimlah yang berhak
melakukan pemeriksaan. Hakim yang melakukan pemeriksaan diatur
dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 50 yang menjelaskan
53 M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
kencana, 2005, hal 144. 54 Undang-Undang Peradilan Agama (U.U No.7Th. 1989), hal.28.
41
bahwa sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim, kecuali
apabila, kecuali undang-undang menentukan lain.55
b.) Pemeriksaan dalam sidang tertutup untuk umum
Yang dimaksud sidang tertutup untuk umum adalah bahwa
selain daripada yang berkepentingan langsung atau yang diijinkan oleh
hakim harus meningalkan ruang sidang.56
3. Tenggang waktu pemeriksaan dari pendaftaran
Tanggang waktu antara pendaftaran perkara dengan persidangan
diatur dalam pasal 68 (1) Undang-undang Peradilan Agama agar dilakukan
persidangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
pendaftaran, hal ini bertujuan untuk memenuhi asas perdilan sederhana,
cepat dan biaya ringan.
Ketentuan waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pendaftaran itu berlaku untuk keadaan normal.
Dalam keadaan tidak normal berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Sekurang-kurangnya 4 (empat) bulan, yaitu apabila termohon tidak
diketahui tempat kediamanya di Indonesia. Pasal 27 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
b) Sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, yaitu apabila termohon bertempat
kediaman di luar negeri sebagaimana dalam pasal 29 (3) Peraturan
Pemerintah No. 9 Thun 1975.57
55 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. 56 Roihan A. Rosyid, HukumAcara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998, hal.96. 57 Muchsin, Hukum Islam dalam Perspektif dan Prospektif, hal. 110.
42
4. Hakim mendamaikan para pihak
Sebelum dimulai persidangan biasanya hakim berupaya menasehati
para pihak agar memikirkan kembali perkawinan mereka. Bila dipandang
perlu hakim dapat meminta bantuan lembaga penasehat perkawinan,
semacam Badan Penasihat dan Penyelesaian Perkawinan (BP. 4).58 Kalau
masih bisa diteruskan perkawinannya, maka hakim memberi kesempatan
kepada pemohon untuk mencabut kembali surat permohonannya. Apabila
pemohon tida jadi bercerai dan terjadi perdamaian maka hakim membuat
“penetapan” yang isinya mengabulkan permohonan untuk mencabut
kembali perkaranya menyatakan perkara dicabut dan diberi Register Induk
Perkara yang bersangkutan, serta menyertakan bahwa kedua belah pihak
(suami-isteri) masih terikat dalam perkawinan serta tidak bisa mengajukan
perceraia baru dengan alasan yang sama.59 Upaya ini dilakukan dalam
setiap awal persidangan sampai putusan dijatuhkan. Dalam sidang
perdamaian, suami isteri harus datang secara pribadi tidak boleh diwakilkan
kepada kuasa hukum sperti yang dijelaskan dalam Pasal 82 Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang kekuasaan kehakiman.
5. Pembuktian
Karena yang harus dibuktikan adalah peristiwa hukum bukan
hukumnya, maka menurut Sodikno Mertokusumo yang dinamakan
pembuktian berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
58Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal.131 59Muchsin, Hukum Islam dalam pespektif dan Prospektif, Surabaya: Al-Ikhlas, hal. 16.
43
peristiwa-peristiwa tertentu,. hal ini dikarenakan hakimlah yang harus
mengkonstatir peristiwa, mengkwalisirnya, dan kemudian mengkonstitutir.60
Pembuktian dalam perkara perceraian dilakukan dengan cara
melihat alasan-alasan yang digunakan, baik pemohon dan termohon diberi
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti yang berupa saksi,
alat bukti surat maupun alat bukti lain yang dibenarkan oleh undang-undang
yang antara lain adalah sebagai berikut: akta nikah, surat-surat lain,
pengakuan, dan saksi-saksi yang mengetahui terjadinya perkawinan
kemudian terjadinya perselisihan suami isteri.61 Adapaun tujuan dari
pembuktian itu sendiri adalah untuk untuk menetapkan hubungan hukum
antara kedua belah yang sedang berperkara.62
6. Musyawarah Majlis Hakim
Setelah tahap pembuktian dianggap cukup/selesai, hakim
memerintahkan kepada semua pihak yang ada dalam sidang untuk
meninggalkan ruang sidang, adapun karena jabatanya Majelis Hakim wajib
bermusyawarah atas perkara tersebut dan mencukupkan alasan-alasan
hukum yang tidak boleh kedua belah pihak dikemukakan.63
Musyawarah Majelis Hakim merupakan tahap dimana Majelis
Hakim bermusyawarah untuk menyelesaikan pokok perkara yang nantinya
60 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009,
hal. 138. 61 Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005, hal. 119. 62 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009,
hal. 140. 63 M. Faozan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2005, hal. 57.
44
akan diputuskan. Untuk bahan pertimbangan hakim dalam rangka
mengabulkan atau tidaknya permohonan perceraian Majelis Hakim
diperintahkan untuk menyimpulkan fakta-fakta yang telah terungkap di
persidangan yang hasilnya:
a. Kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan
b. Telah cukup alasan perceraian.64
7. Putusan
Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan
berdasarkan adanya dua pihak yang bersengketa, yaitu penggugat dan
tergugat.65 Selain itu putusan ini juga dikenal sebagai produk peradilan yang
sesungguhnya (yurisdictio contentiosa)
Karena ini merupakan perkara cerai talak yang termasuk
permohonan, maka putusan dari pengadilan adalah penetapan, yang amar
putusanya berisi tentang dikabulkanya permohonan gugatan cerai talak.
Apabila termohon tidak puas atas putusan pengadilan dapat melakukan
upaya hukum dengan mangajukan banding kepada Pengadilan Tinggi
Agama, sebelum keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
selanjutnya dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
64 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradila Agama, Bandung: Alumni, 1996,
hal. 60-61. 65 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2000, hal. 255.
45
Adapun untuk prosedur upaya banding dijelaskan oleh Idris
Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam,66 sebagai berikut:
a. 14 hari putusan diucapkan apabila pada waktu putusan pihak pemohon
banding hadir sendiri di persidangan atau 30 hari setelah keputusan
diumumkan di papan pengumuman Pengadilan Agama.
b. Membayar biaya perkara banding
c. Pembanding atau kuasanya menyerahkan memori banding ke Pengadilan
Agama untuk diteruskan ke Pengadilan Tinggi Agama.
Jadi upaya banding dilakukan setelah 14 hari seperti ketentuan
diatas, upaya banding tidak dapat diterima setelah melebihi 14 hari karena
penetapan putusan Pengadilan atas cerai talak sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
8. Sidang Pengucapan Ikrar Talak
Tata cara pengucapan ikrar talak diatur dalam Pasal 70, 71 dan 72
Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 yaitu:
a. Menentukan hari sidang pengucapan ikrar talak
Setelah penetapan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,
pengadilan menentukan hari untuk melakukan sidang untuk menyaksikan
ikrar talak.
b. Dihadiri pemohon dan termohon
Adapun tentang kehadiran pemohon dan termohon sebagaimana
diatur dalam Pasal 70 ayat 3 undang-undang No. 7 Tahun 1989 .
66 Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal.207.
46
“Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan
memanggil suami isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut”.67
Dengan demikian berarti kedua belah pihak diharapkan untuk hadir
dalam persidangan. Namun apabila suami atau isteri tidak bisa hadir mereka
dapat mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Apabila isteri tidak hadir atau
tidak mewakilkan kuasa hukumnya maka pengadilan dapat melanjutkan
persidangan tanpa hadirnya isteri. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 70 ayat 5
Undang-Undang No.7 Tahun 1989, adapun bunyi pasal tersebut adalah:
“Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi
tidak datang menghadap sendiriatau tidak mengirim wakilnya, maka suami
atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau
wakilnya.”68
Dalam sidang ini hakim berfungsi sebagai saksi dalam pengucapan
ikrar talak dan membuat penetapan penyaksian ikrar talak. Dari keterangan
diatas dapat disimpulkan bahwa sidang pengucapan ikrar talak merupakan
eksekusi dari penetapan cerai talak.
67 Undang-Undang Peradilan Agama (U.U No. 7 Tahun 1989), hal. 29. 68 Ibid, hal. 29.
47
G. Akibat-Akibat yang Ditimbulkan Karena Perceraian Menurut Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara seoarang suami-
isteri, yang sudah berang tentu akan mengakibatkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban bagi kedua belah pihak.69 Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 adalah sebuah ikatan batin antara seorang laki-laki
dan perempuan sebagai suami isteri yang keduanya bertujuan untuk
membentuk sebuah keluarga dalam sebuah rumah tangga yang kekal abadi.70
Perkawinan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ternyata putusnya perkawinan atau terjadi
perceraian akibat meninggalnya salah satu pihak, atau karena sebab perceraian
dan putus atas putusan pengadilan dapat menimbulkan persoalan baru,
persoalan yang ada tidak hanya sampai pada berpisahnya suami isteri tapi
membawa konsekuensi hukum tersendiri.
Untuk ketentuan lebih lanjut tentang akibat yang ditimbulkan dari
putusnya perkawinan atau perceraian terutama dalam hal putusnya perkawinan
karena sebab perceraian tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No.1
Tahun 1974 Pasal 41 huruf( a).
Adapun bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
69 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta:
Liberty, 2007, hal. 87. 70 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2002,
hal.
48
“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata atas kepentingan anak bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberikan kepuitusan”.71
Melihat ketentuan dari isi pasal di atas jelas hanya bersifat global.
Adapun pengaturan pelaksanaaan selanjutnya tercantum dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai tata pelaksanaan dari Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang mana lebih membahas spesifik tentang
ketentuan-ketentuan yang ditimbulkan sebagai akibat hukum dari putusnya
perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada prinsipnya
benar-benar mempersulit terjadinya perceraian, apabila telah diperoleh
keturunan dalam perkawinan, ketentuan mengenai pembiayaan penghidupan
anak termasuk pendidikan anak adalah tetap menjadi tanggung jawab kedua
orang tuanya. Adapun tanggung jawab orang tua sebagaiman ketentuan dalam
Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan 1974 ditegaskan oleh Ahnad
Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam.72karena
bagaimanapun putusnya hubungan perkawinan dapat menimbulkan dampak
negatif bagi suami isteri itu sendiri, akan tetapi dampak yang paling buruk dari
putusnya perkawinan yang terjadi karena perceraian adalah perkembangan
mental anak-anaknya, yang karenanya pihak pengadilan baru mengabulkan
permohonan Ikrar talak kalau memang sudah cukup alasan untuk terjadinya
perceraian.
71 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arloka, hal 18. 72 Ahnad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2000, hal. 112
49
H. Rukun dan Syarat Sahnya Talak
Mengingat karena talak merupakan salah satu macam tindakan
hukum, maka tidak dibenarkan apabila tidak terpenuhinya syarat dan rukun
yang dijadikanya sah dalam pandagan hukum itu sendiri. Abdurrahman Al-
Jaziri sebagaimana dikutip oleh Djaman Nor menjelaskan bahwa talak bisa
jatuh dan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat sahnya talak, yaitu: Ada
suami yang mentalak, isteri yang ditalak, sighat talak dan ada kemauan untuk
mentalak (al-qasdu).73
Sedangkan untuk syarat sahnya menjatuhkan talak74 adalah sebagai
berikut:
a. Yang berkaitan dengan suami
1. Berakal
2. Baligh
3. Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa)
b. Yang berkenaan dengan isteri
1.Isteri masih dalam perlindungan kekuatan suami
2. Isteri yang terikat debgan perkawinan yang sah dan belum
habis masa iddahnya dalam talak raj’i.
c. Yang berkenaan dengan sighat talak
73 Djaman Nor, Fiqh Munakahat, Dimas, Semarang, 1993, hal. 142-143. 74 Zakiyah Drajat, Ilmu Fiqh, jilid II, hal. 180-181.
50
Ucapan atau kata-kata dimaksudkan suami terhadap
isterinyauntuk menyatakan keinginanya menjatuhkan talak, baik
sharih (jelas) atau kinayah bukan karena keliru.
d. Yang berkenaan dengan persaksian dalam talak
Kesaksian seseorang dipandang sebagai suatu bentuk
pemberian kuasa dari seseorang yang mengalami suatu peristiwa
kepada seseorang yang turut menyaksikan peristiwa tersebut.
Jumhur ulama sependapat bahwa talak dapat jatuh tanpa adanya saksi
karena talak adalah hak mutlak suami, dengan alasan talak menjadi hak bagi
orang yang menikahinya karena itu dia pula yang berhak menentukan untuk
mentalak atau merujuk isterinya, suami tidak memerlukan persaksian untuk
menggunakan haknya.75 Sebagaimana firman Allah Surat Al-Baqarah, ayat,
231.
أ ٱلن ساء وإذاطلقتم معروف فأمسكوهن جلهن فبلغن
حوهن أوسر ومنل تعتدواضراراولتمسكوهنمعروف لكيفعل ذ فقدظلم
نفسه اء خذو تۥ ولتت اي وٱذكروانعمتٱلل هزوا عليكموماأنزلعليكمٱلل
بوٱلحكمةنٱلكت هيعظكمم اأنۦ وٱتقواٱلل وٱعلمو عليم كل ٱلل شيء ٢٣٢
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka
karena kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka
Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh mereka sudah berbuat dzalim
terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah
sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu dan apa yang telah
75 Djaman Nor, Fikih Munakahat, Semarang: Dhimas, 1993, hal. 165.
51
Allah turunkan padamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (as-
Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-
Nya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”.76
76 Yayasan Penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat Al-Baqarah,
ayat 231, hal. 56.