bab ii a. sadd adz-dzari’ah

24
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sadd adz-Dzari’ah 1. Pengertian Sadd adz-Dzari’ah Secara lughawi Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik ataupun buruk. Secara Etimologi, Dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu, dalam pengertian lain Dzari`ah berarti sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan 16 . Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzari’ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik, halal ataupun haram. Berarti apabila jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang haram maka hukumnya juga haram, jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang halal hukumnya juga halal, dan jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya menjadi wajib. Sebagian ulama mengkhusus kan pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa Dzari’ah tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan 17 16 Nasrun haroen, ushul fiqh hal 160 17 Syafe’I Rahman, Ilmu Ushul fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 132

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sadd adz-Dzari’ah

1. Pengertian Sadd adz-Dzari’ah

Secara lughawi Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada

sesuatu baik ataupun buruk. Secara Etimologi, Dzari’ah berarti jalan

yang menuju kepada sesuatu, dalam pengertian lain Dzari`ah berarti

sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung

kemudaratan16.

Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzari’ah adalah washilah

(jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik, halal ataupun haram.

Berarti apabila jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang haram

maka hukumnya juga haram, jalan yang menyampaikan kepada sesuatu

yang halal hukumnya juga halal, dan jalan yang menyampaikan kepada

sesuatu yang wajib maka hukumnya menjadi wajib.

Sebagian ulama mengkhusus kan pengertian Dzari’ah dengan

sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung

kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul

lainnya, di antaranya Ibnul Qayyim yang menyatakan bahwa Dzari’ah

tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang

dianjurkan17

16 Nasrun haroen, ushul fiqh hal 160 17 Syafe’I Rahman, Ilmu Ushul fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 132

Page 2: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

15

Kalimat sadd al-Dzari’ah berasal dari dua kata (frasa/idhofah),

yaitu sadd dan dzari’ah. Kata sadd, berarti: menutup cela, dan menutup

kerusakan, dan juga berarti mencegah atau melarang18. Sedangkan kata

dzari’ah secara bahasa berarti Artinya jalan yang membawa kepada

sesuatu, secara hissi dan maknawi (baik atau buruk)19.

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pengertian dzari’ah adalah apa

yang memberi perantara dan jalan kepada sesuatu. Oleh karena itu

menurut Ibnu Qayyim kata dzariah lebih baik dikemukakan yang

bersifat umum, sehingga dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu

yang dilarang, disebut sadd al dzari’ah dan yang dituntut untuk

dilaksanakan disebut fath al-dzari’ah20.

Imam al-Syathibi mendefinisikan Dzari’ah adalah melakukan

suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashalatan untuk menuju

kepada suatu kemafsadatan21. Maksudnya adalah perbuatan yang akan

dilakukan pada hakikatnya adalah boleh dilakukan karena mengandung

suatu kemaslahatan, namun dalam pencapaiannya berakhir pada suatu

kemafsadatan.

Dalam hukum takhlifi diuraikan tentang sesuatu yang

mendahului perbuatan wajib, yang disebut muqaddimah wajib. Karena

muqaddimah merupakan washilah (perantara) kepada suatu yang

18 Yusuf Abdurrahman Al farat, Al tat}biqat almu’as}irat lisaddi-l-dzari’at, qahirah, (Daru-l-fikri

al’arabi, 2003),9 19 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 398 20 Munawwaroh, H. (2018). Sadd al-Dzari’at dan Aplikasinya pada permasalahan Fiqih

Kontemporer. Ijtihad: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, 12(1), 63-84. 21 Nasrun haroen, ushul fiqh hal 161

Page 3: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

16

dikenai hukum, maka ia juga disebut dzari’ah22. Maka karena hal

tersebut ulama ushul fiqh memasukkan muqaddimah wajib kedalam

pembahasan tentang dzari’ah, karena sama-sama sebagai perantara

untuk melakukan sesuatu.

Badran dan zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib

dengan dzari’ah, perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan

pokok yang dituju dengan perantara atau washilah. Pada dzari’ah,

hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Contohnya

adalah zina, khalwat adalah perantara dalam melakukan zina, tetapi zina

bisa terjadi tanpa adanya khalwat pun zina bisa terjadi, karena itu

khalwat sebagai perantara disini disebut Dzari’ah.

Muqaddimah adalah hukum perbuatan pokok tergantung pada

perantara, contohnya Shalat. Wudhu merupakan perantara shalat dan

kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu karenanya

wudhu disebut Muqaddimah bukan Dzari’ah menurut badran dan

Zuhaili. Ada juga yang membedakan antara Dzari’ah dan Muqaddimah

itu tergantung pada baik dan buruknya perbuatan pokok yang dituju.

Bila perbuatan pokok yang dituju merupakan perbuatan pokok

yang dianjurkan, maka washilahnya disebut Muqaddimah, sedangkan

bila perbuatan pokok yang dituju merupakan larangan maka wasilahnya

22 Muaidi, M. (2016). Saddu Al-Dzari’ah dalam Hukum Islam. TAFAQQUH: Jurnal Hukum

Ekonomi Syariah Dan Ahwal Syahsiyah, 1(2), 34-42.

Page 4: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

17

adalah Dzari’ah karena manusia harus menjauhi perbuatan yang

dilarang termasuk wasilahnya.

Imam al-Syathibi mengemukakan tiga syarat yang harus

dipenuhi sehingga suatu perbuatan itu dilarang yaitu23:

a. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada

kemafsadatan

b. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan dan

c. Dalam melakukan perbuatan yang di boleh kan unsur

kemafsadatannya lebih banyak.

2. Macam-macam Dzari’ah

Para ulama membagi dzariah menjadi dua macam:

a. Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatan

Imam al-Syathibi menjelaskan bahwa dari segi kualitas

kemafsadatannya, dzariah terbagi menjadi kepada empat

macam:24

- Perbuatan yang dilakukan membawa kepada kemafsadatan

secara pasti. Misalnya seorang menggali sumur di depan pintu

rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak

mengetahui. Maka kemafsadatan yang timbul sudah jelas bahwa

pemilik rumah akan terjatuh kedalam sumur karena pemilik

23 Ibid hal 162 24 Ibid hal 162

Page 5: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

18

rumah tidak tau kalau adanya sumur di depan rumah. Maka

penggali lubang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu

dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain

- Perbuatan yang dilakukan boleh dilakukan, karena jarang

membawa kepada kemafsadatan, misalnya menjual jenis

makanan yang biasanya tidak memberi mudarat kepada orang

yang memakannya. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum

asalnya, yaitu mubah (boleh), karena yang dilarang itu adalah

apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada

kemafsadatan. Sedangkan dalam kasus ini jarang sekali terjadi

kemafsadatan.

- Perbuatan yang dilakukan biasanya atau besar kemungkinan

membawa kepada kemafsadatan, menjual anggur kepada

produsen minuman keras, sangat mungkin anggur yang dijual

itu akan diproses menjadi minuman keras, perbuatan seperti ini

dilarang karena dugaan keras, bahwa perbuatan itu membawa

kepada kemafsadatan sehingga dijadikan patokan dalam

menetapkan larangan terhadap perbuatan itu

- Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena

mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga

perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, kasus

jual beli yang disebut bay’u al ajal. Jual beli seperti itu

cenderung berimplikasi kepada riba.

Page 6: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

19

Untuk menentukan hukum yang keempat ini terdapat

perbedaan pendapat dari para ulama. Ulama Hanafiah dan

Syafi'iyah mengatakan bahwa dzariah dalam bentuk yang

keempat ini tidak dilarang, karena terjadinya kemafsadatan

masih bersifat kemungkinan. Oleh sebab itu dugaan seperti

ini tidak bisa membuat perbuatan yang pada dasarnya

diperbolehkan menjadi dilarang, kecuali kemafsadatan itu

diyakini atau diduga keras terjadi.

Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa

jual beli seperti itu termasuk dalam perbuatan yang

membawa kepada kemafsadatan. Oleh sebab itu dilarang,

karena bagi mereka yang dijadikan patokan boleh atau

tidaknya transaksi (akad) tidak hanya dilihat dari niatnya saja

melainkan juga dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan

tersebut.

Dilihat dari segi niat, jual beli tersebut memang sulit

diduga bertujuan menghalalkan riba. Akan Tetapi, dari segi

akibat yang ditimbulkan, maka secara umum diduga keras

membawa kepada kemafsadatan. Dari sisi inilah menurut

ulama Malikiyah dan Hanabilah, jual beli seperti itu

dilarang.

Jual beli jenis ini dipergunakan untuk memiliki barang

yang masih dimiliki orang lain. Kredit (Penundaan

Page 7: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

20

pembayaran atau pengangsuran pembayaran) menjadi solusi

keterbatasan jumlah dana untuk memiliki barang yang

dibutuhkan. Penundaan harga tidak boleh digantungkan

dengan penundaan penyerahan barang. Penundaan

pembayaran diperbolehkan dalam rangka menolong orang

yang berhutang untuk memiliki barang. Persoalan menolong

orang yang berhutang menjadi terganggu ketika harga

dinaikkan oleh penjual, seiring tenggang waktu yang

diberikannya25

Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik

dan Imam Ahmad ibn Hanbal dalam mendukung

pendapatnya, yaitu:26

1) Dalam bay’u al-ajal perlu dipertimbangkan tujuan yang

membawa kepada riba, sekalipun sifatnya ghilbah al-

zhann (dugaan berat), karena dalam kasus syari’ sering

mengisyaratkan penentuan hukum atas dasar ghilbah al-

ahann. Bisa dijadikan dasar untuk melarang bay’u al-ajal

karena “Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih

didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”

2) Dalam bay’u al-ajal terdapat dua dasar yang

bertentangan, yaitu bahwa jual beli pada dasarnya jual

25 Fatoni, N. (2014). Kearifan Islam atas jual beli kredit (studi pada tukang kredit di Kec. Cepiring

Kabupaten Kendal). 26 Ibid hal 164

Page 8: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

21

beli diperbolehkan, selama rukun dan syaratnya

terpenuhi dan bahwa seseorang harus terhindar dari

segala bentuk kemudaratan.

Dalam hubungan ini imam Malik dan Imam Hanbal

menguatkan prinsip “pemeliharaan keselamatan orang lain dari

kemudhoratan” sedangkan bay’u al-ajal jelas-jelas membawa

kemafsadatan. Karenanya bay’u al-ajal dilarang sejalan dengan

prinsip sadd al-dzariah

3) Banyak nash yang menunjukkan dilarangnya

perbuatan-perbuatan yang membawa kepada

kemafsadatan, sekalipun perbuatan itu pada dasarnya

diperbolehkan.

b. Dzariah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah segi ini terbagi

kepada27

1) Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti

meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan

mabuk merupakan suatu kemafsadatan

2) Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang diperbolehkan atau

dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu

perbuatan uang haram, baik dengan tujuan disengaja atau tidak

27 Ibid hal 166

Page 9: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

22

disengaja. Misalnya seorang suami mentalak tiga istrinya

dengan tujuan istrinya dapat menikah kembali dengan mantan

suaminya

3. Kehujjahan Sadd adz-Dzari’ah

Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al-

dzariah sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara. Ulama

Malikiyah dan ulama Hanabilah menyatakan bahwa sadd al-dzariah

dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum

syara.28

Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah SWT dalam

surah al-An’am, 6:108:

“dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah

selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa

batas tanpa pengetahuan....

Dalam ayat ini Allah melarang untuk memaki sembahan kaum

musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan

makian yang sama, bahkan lebih29

Alasan lain yang dikemukakan ulama Malikiyah dan Hanabilah

adalah hadist Rasulullah SAW, di antaranya:

28 29 Ibid hal 167

Page 10: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

23

“sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang

melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah ditanya orang, “wahai

Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknati ibu bapanya?

Rasulullah menjawab “seseorang mencaci-maki ayah orang lain, maka

ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan seseorang mencaci maki

ibu orang lain maka ibunya juga akan dicaci maki orang itu”

Hadist diatas menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd

adz-dzari'ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum

syara’, karena sabda Rasulullah di atas, masih bersifat dugaan, namun

atas dasar dugaan itu Rasulullah SAW melarangnya.

Ulama Hanafiah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima sadd

adz-Dzariah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan

menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam syafi’i membolehkan

seseorang yang kerana uzur seperti sakit dan musafir untuk

meninggalkan sholat jumaat dan menggantinya dengan sholat dzuhur.

B. Uang Panai’

1. Sejarah Uang Panai`

Sejarah awal mulanya Uang Panai’ yaitu pada masa Kerajaan

Bone dan Gowa-Tallo, di mana jika seorang lelaki yang ingin

meminang keluarga dari kerajaan atau kata lain keturunan raja maka dia

harus membawa sesajian yang menunjukkan kemampuan mereka untuk

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi isteri dan anaknya

kelak.

Page 11: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

24

Dengan kata lain bahwa lelaki tersebut diangkat derajatnya di

hadapan keluarga wanita dengan sesajian yang akan diberikan

kepada calon mempelai. Isi sesajian itu berupa Sompa / Sunrang,

Doe’ menre’ / doe Panai dan Leko’ atau alu’ / kalu’ atau erang-

erang/ tiwi’tiwi’ini menjadi syarat yang wajib dan mutlak untuk

mereka penuhi dan terkhusus Doe’ Menre’/ doe’Panai’ yang kita

kenal Uang Panai’ yaitu berupa uang yang telah ditetapkan

besarannya oleh pihak perempuan dalam hal ini pihak keluarga

kerajaan30

Seiring berjalannya waktu, uang panai’ digunakan oleh

seluruh masyarakat suku bugis, bukan hanya dari kalangan keluarga

kerajaan saja, melainkan dari suku lain yang ingin meminang wanita

suku bugis, hal ini dilakukan untuk mengangkat derajat wanita bugis

di hadapan lelaki yang ingin meminangnya

Hal itu dilakukan tidak lain untuk menghormati wanita yang

akan dinikahinya, uang panai’ sendiri merupakan simbol

penghargaan atau penghormatan, simbol pengikat, simbol strata

sosial, simbol keikhlasan dan ketulusan yang memiliki makna yang

merupakan bentuk penghargaan pihak laki-laki kepada pihak

perempuan31.

30 Elvira, Rika. "Ingkar Janji atas Kesepakatan Uang Belanja (Uang Panai’) dalam Perkawinan

Suku Bugis Makassar." Skripsi, Universitas Hasanuddin (2014). 31 Alimuddin, Asriani. "MAKNA SIMBOLIK UANG PANAI’PADA PERKAWINAN ADAT

SUKU BUGIS MAKASSAR DI KOTA MAKASSAR." Al Qisthi: Jurnal Sosial dan Politik 10.2

(2020): 117-132.

Page 12: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

25

Uang panai, juga konon diciptakan untuk melindungi

perempuan Bugis dari orang Belanda yang gemar menikahi

perempuan Bugis dengan mudah. Pada zaman penjajahan belanda,

para penjajah tersebut dengan sesuka hati mereka akan menikahi

wanita bugis pada saat itu, begitu pula apabila mereka ingin

mencampakkan wanita tersebut dan menikahi yang lain nya

lagi. Maka pada saat itu orang tua yang memiliki anak perempuan

berinisiatif bagi siapa saja yang akan menikahi putrinya maka harus

mengeluarkan uang belanja terlebih dahulu. Dengan kata lain uang

Panai akan mengangkat martabat dan perempuan Bugis-Makassar

pada saat itu32.

Dalam catatan lain disebutkan juga sejarah uang panai

bermula dari ada seorang anak bangsawan yang memiliki paras

rupawan dan ingin dinikahi oleh Seorang pemuda asal Belanda33,

namun sang bangsawan tidak rela jika anaknya disentuh oleh laki-

laki manapun. Yang akhirnya menerapkan syarat yang berat

dengan keharusan si lelaki membayar uang panai (belanja) secara

keseluruhan .

2. Prosesi Pernikahan Suku Bugis

Di Dalam suku Bugis sebelum prosesi pa’botingeng

(pernikahan), terdapat beberapa rentetan acara adat yang harus dilalui

oleh calon mempelai laki-laki. Di antaranya adalah assuro. Assuro

32 www.Etnis.id 33 www.paradase.id

Page 13: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

26

adalah proses peminangan dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki

kepada pihak calon mempelai wanita, sekaligus penentuan pemberian

uang panai yang akan diberikan oleh calon mempelai laki-laki kepada

pihak keluarga calon mempelai wanita apabila lamaran tersebut

diterima34.

Terdapat dua istilah dalam adat pernikahan suku bugis yaitu

sompa dan duik menre’. Sompa atau mahar adalah pemberian berupa

uang atau harta dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagai

syarat sahnya pernikahan menurut ajaran Islam35. Sedangkan dui’

menre’ atau uang panai/doik belanja adalah uang hantaran yang harus

diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada

keluarga calon mempelai wanita36

Uang Panai’ (Uang acara) adalah sejumlah uang yang akan

diserahkan oleh pihak laki-laki pada saat mappettu ada

(mappasienrekeng). Budaya Uang Panai’ dikeluarkan untuk menikahi

wanita Bugis Makassar. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa uang

panai’ diberikan pihak laki-laki kepada keluarga pihak wanita untuk

kelangsungan acara pernikahan.

34 BASRI, M., Ritonga, J., & Nur, M. (2017). MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG PANAI

DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU KABUPATEN

TANJUNG JABUNG TIMUR) (Doctoral dissertation, UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI). 35 Rusman, Rusman, M. Thahir Maloko, and Muh Saleh Ridwan. "PEMAHAMAN

MASYARAKAT BUGIS BONE TERHADAP MAHAR TANAH DAN KEDUDUKANNYA

DALAM PERKAWINAN." Jurnal Diskursus Islam 5.2 (2017): 303-320. 36 Ibid

Page 14: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

27

Jika jumlah uang naik yang diminta mampu dipenuhi oleh calon

mempelai pria, hal tersebut akan menjadi kehormatan bagi pihak

keluarga perempuan37. Kehormatan yang dimaksud di sini adalah rasa

penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada

wanita yang ingin dinikahinya dengan mengadakan pesta yang megah

untuk pernikahannya melalui Uang Panai’ tersebut

Jumlah uang panai ternyata ditentukan diluar dari sepengetahuan

calon mempelai laki-laki, dan itu semua ditentukan langsung oleh

keluarga calon mempelai wanita. Tidak jarang dengan tingginya uang

panai yang ditentukan dapat menghambat pernikahan antara keduanya.

Namun uang panai’ tidak selamanya berupa uang, dapat juga berupa

properti, namun pada hakikatnya, panai dipersiapkan untuk belanja

acara pernikahan, sampai penyewaan gedung38

Uang panai’ juga dijadikan ajang adu gengsi antar keluarga yang

ada di suku bugis, apabila suatu keluarga melangsungkan pernikahan

dengan mewah, maka akan menjadi perbandingan dalam strata sosial

mereka, dan keluarga tersebut akan mendapatkan citra yang bagus di

mata masyarakat. Maka akan menjadi aib apabila pernikahan di suku

bugis tidak dilangsungkan dengan mewah.

Maka melihat uang panai’ yang seperti itu menjadikan nilai luhur

dari uang panai’ luntur, bukan menjadi suatu persembahan karena

37 Daeng, R., Rumampuk, S., & Damis, M. (2019). TRADISI UANG PANAI’SEBAGAI

BUDAYA BUGIS (STUDI KASUS KOTA BITUNG PROPINSI SULAWESI

UTARA). HOLISTIK, Journal Of Social and Culture. 38 Hasil wawancara hakim pa kota Makassar

Page 15: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

28

menghargai kehormatan wanita yang akan dinikahinya namun menjadi

suatu bahan untuk terlihat baik di mata masyarakat. Konteks terlihat

baik dimata masyarakat itu menjadi nilai yang menghilangkan nilai

sakral lain nya.

3. Pandangan Ahli Mengenai Uang Panai

Jumlah uang panai yang bergantung dari tingkat strata sosial dan

pendidikan calon mempelai wanita dilihat dari sisi peran keluarga calon

mempelai wanita.39

Dalam adat Bugis, pencapaian derajat tinggi dalam sistem

stratifikasi sosial sangat penting (Pelras 2006). Lapisan sosial dalam

masyarakat Bugis memiliki tingkatan. Tingkatan tersebut antara lain

a. Bangsawan Tinggi

b. Bangsawan Menengah

c. Arung Palili

d. Todeceng

e. To Maradeka, dan

f. Ata (Hamba).

39 BASRI, MHD, Jago Ritonga, and Muhammad Nur. MAKNA DAN NILAI TRADISI UANG

PANAI DALAM PERNIKAHAN SUKU BUGIS (STUDI KASUS DI KECAMATAN SADU

KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR). Diss. UIN SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI, 2017.

Page 16: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

29

Tingkatan ini yang akan mempengaruhi dalil perjodohan, uang

belanja dan mahar. Sedangkan jumlah atau besaran uang panai untuk

mereka yang berlaku dimasa lalu adalah40:

a. Bangsawan Tinggi 88 real + satu orang hamba (ata) senilai 40

real + satu ekor kerbau senilai 25 real

b. Bangsawan Menengah 44 real

c. Arung Palili 40 real

d. Todeceng (orang baik-baik) 28 real

e. To Maradeka (orang biasa-biasa) 20 real

f. Hamba (ata) 10 real

Peran yang dimiliki keluarga calon mempelai wanita yang

semakin tinggi, maka nilai uang panai yang juga semakin tinggi adalah

perilaku yang dianggap pantas untuk kedudukan tersebut. Strata sosial

ini akan mempengaruhi sudut pandang dan cara hidup masyarakat. 41

Wade, C. dan Travis, C. (2007) menjelaskan bahwa peran

merupakan kedudukan sosial yang diatur oleh seperangkat norma yang

kemudian menunjukkan perilaku yang pantas. hal ini menunjukkan

bahwa secara sadar atau tidak sadar, mau tidak mau, masyarakat yang

berada dimanapun memang dibagi berdasarkan beberapa tingkatan

sosial

40 www.paradase.id 41 Ibid

Page 17: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

30

Parsons, seorang ahli sosiologi menyimpulkan adanya beberapa

sumber status seseorang yaitu42:

- Keanggotaan di dalam sebuah keluarga. Misalnya, seorang

anggota keluarga yang memperoleh status yang tinggi oleh

karena keluarga tersebut mempunyai status yang tinggi di

lingkungannya.

- Kualitas perseorangan yang termasuk dalam kualitas

perseorangan antara lain karakteristik fisik, usia, jenis kelamin,

kepribadian.

- Prestasi yang dicapai oleh seseorang dapat mempengaruhi

statusnya. Misalnya, pekerja yang berpendidikan,

berpengalaman, mempunyai gelar, dan sebagainya.

- Aspek materi dapat mempengaruhi status seseorang di dalam

lingkungannya. Misalnya, jumlah kekayaan yang dimiliki oleh

seseorang.

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, pernikahan bukan sekedar

mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai rumah

tangga, akan tetapi lebih daripada itu, pernikahan adalah momen

mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas dan status

sosial serta cara melestarikan garis silsilah dan posisi di tengah

masyarakat. Hal ini adalah warisan sosial feodal masa silam yang jejak-

42 Ibid

Page 18: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

31

jejaknya masih sangat biasa ditemukan pada masa kini, khususnya pada

momentum pernikahan43

C. Keharmonisan Rumah Tangga

1. Pengertian

Keharmonisan berasal dari kata harmonis yang memiliki arti

selaras, sepadan atau serasi.Keharmonisan lebih menitik beratkan pada

suatu keadaan tertentu, dimana keharmonisan adalah keadaan untuk

mencapai keselarasan atau keserasian dalam rumah tangga dengan

perlu dijaga untuk mendapatkan suatu rumah tangga yang bahagia

(KBBI, 1989)

Menurut Bouman keharmonisan adalah hal (keadaan) selaras

atau serasi antara anggota keluarga, antara lain: suami, istri, anak-anak,

dan cucu-cucu yang hidup bersama-sama pada suatu tempat yang

dikepalai oleh seorang kepala keluarga (ayah). Keharmonisan adalah

relasi personal dan kejiwaan yang selaras antara suami istri dan

menegaskan adanya suatu ikatan yang kuat serta janji yang kokoh antara

keduanya, yang membawa mereka untuk saling mengasihi dan

menyayangi serta melindungi mereka agar tidak saling bermusuhan.44

43 Kamal, R. (2016). Persepsi Masyarakat terhadap Uang Panai’di Kelurahan Pattalassang

Kecamatan Pattalassang Kabupaten Takalar (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri

Alauddin Makassar). 44 Ramadhan, R. A., & Nurhamlin, N. (2018). Pengaruh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

terhadap tingkat keharmonisan dalam keluarga di kelurahan Umban Sari Kecamatan Rumbai

Kota Pekanbaru (Doctoral dissertation, Riau University).

Page 19: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

32

Keharmonisan rumah tangga akan terwujud apabila masing-

masing individu dalam keluarga dapat berfungsi dan berperan

sebagaimana mestinya. Selain daripada itu yang paling penting juga

tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, maka interaksi sosial yang

harmonis dalam keluarga itu akan dapat diciptakan.

Dalam kehidupan berkeluarga suami dan istri dituntut adanya

hubungan yang baik dalam arti diperlukan suasana yang harmonis

yaitu dengan menciptakan saling pengertian, saling terbuka, saling

menjaga, saling menghargai dan saling memenuhi kebutuhan.

Persepsi keharmonisan keluarga adalah persepsi terhadap

situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta

kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling

menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan

diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga

memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara

seimbang45

2. Aspek Keharmonisan Rumah Tangga

Lodro mengemukakan terdapat enam aspek hubungan perkawinan

menjadi bahagia46:

45 Hadori, M., & Minhaji, M. (2018). Makna kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga dalam

perspektif psikologi. Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 12(1), 5-

36. 46 Lodro, W. Keharmonisan Keluarga Dengan Perkawinan Bahagia.

http://www.kainsutera.com/info-remaja/keharmonisan-keluarga-dengan-perkawina-bahagia.html,

2010).

Page 20: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

33

a. Menciptakan kehidupan yang beragama dalam keluarga.

Dalam sebuah keluarga apabila sudah ditanamkan nilai-nilai

agama maka akan menimbulkan keluarga yang harmonis. Karna dalam

agama terdapat nilai dan moral juga etika dalam kehidupan. Segalanya

sudah diatur dalam agama, dari bagaimana menggauli pasangan, berbuat

baik dengan pasangan sampai hal terkecil dalam keluarga juga diatur

dalam agama.

Bisa dikatakan siapa yang menanamkan kehidupan beragama

dalam keluarganya maka akan sangat berpotensi menjadikan

keluarganya menjadi keluarga yang harmonis.

Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa keluarga

yang tidak religius yang penanaman komitmennya rendah atau tanpa

nilai agama sama sekali cenderung terjadi pertentangan konflik dan

percekcokan dalam keluarga

1. Mempunyai waktu bersama keluarga,

Dalam keadaan yang seperti ini waktu sangatlah berharga

dalam sebuah keluarga, hanya untuk meluangkan sedikit waktu

untuk makan bersama, atau sekedar bercengkrama dengan anak-

anak dan mendengarkan ocehan mereka, mendengarkan

keseharian istri atau suami akan menjadi sesuatu yang sangat

berharga untuk memupuk rasa cinta kasih antar anggota

keluarga dan akan sangat berpotensi menjadi keluarga yang

sangat harmonis.

Page 21: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

34

Namun apabila tidak memiliki sedikit waktu bersama

keluarga maka akan menimbulkan permasalahan antar anggota

keluarga, suami, istri dan anak akan hidup di dunia nya masing-

masing tanpa memperdulikan anggota keluarga yang lain, karna

bermula dari tidak adanya waktu bersama keluarga, dan itu

menjadi suatu konflik yang menimbulkan ketidakharmonisan

keluarga

2. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga

Komunikasi merupakan salah satu dasar dari terbentuknya

keluarga yang harmonis, komunikasi yang baik dimulai dari

adanya waktu luang bersama keluarga, komunikasi yang

dimaksud adalah membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan

dengan anggota keluarga

Keluarga saat ini sudah tidak membutuhkan kata-kata

romantis saja melainkan tindakan kecil yang akan membuat

perubahan besar dalam keluarga, semua permasalahan keluarga

bermula dari komunikasi yang tidak baik antar anggota

keluarga. Apabila komunikasi antar keluarga sudah tidak baik

maka segala bentuk konflik akan muncul dalam keluarga

tersebut

3. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga.

Menghargai disini maksudnya adalah menghadirkan mereka

sebagai orang yang penting di hidup kita, segala bentuk

perubahan dalam keluarga diterima dengan baik, bukan tanpa

Page 22: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

35

alasan namun untuk menghargai kehadiran mereka dalam hidup

kita, setiap perubahan yang terjadi apabila tidak

dikomunikasikan dengan baik antar sesama keluarga maka akan

menimbulkan konflik antar keluarga.

Mengapresiasikan segala bentuk kejadian yang terjadi juga

merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap sesama

keluarga, misalnya anak mendapatkan nilai yang baik ataupun

jelek, dengan kita mengapresiasi apa yang mereka dapatkan

maka akan menimbulkan kesan keharmonisan dalam keluarga

tersebut.

4. Kualitas dan kuantitas konflik yang minim

Faktor ini adalah faktor tidak sangat penting dalam

menciptakan keharmonisan keluarga, perselisihan dan

pertengkaran tidak dapat dibendung dalam suatu hubungan

keluarga, sesuatu yang tidak mengenakan hati pun sering terjadi.

Apabila dalam suatu keluarga sudah menerapkan bahwa

setiap permasalahan yang ada ataupun konflik yang terjadi harus

diselesaikan secara kepala dingin dan dibicarakan dengan baik-

baik tanpa emosi ataupun sampai adanya perlakuan yang tidak

baik kepada sesama anggota keluarga, setiap permasalahan

dapat diselesaikan dengan kepala dingin dan dengan baik-baik

5. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga.

Hubungan erat antar anggota keluarga tercipta dari

penanaman rasa cinta kasih sedini mungkin, ana-anak akan

Page 23: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

36

mengikuti pola hidup orangtuanya, apabila orang tuanya

memberi contoh saling cinta dan kasih sesama maka akan

memberi sinya baik juga ke anak-anak, rasa kebersamaan yang

tinggi, dan saling menghargai satu sama lain menimbulkan

adanya ikatan yang kuat antar keluarga

3. Faktor yang mempengaruhi keharmonisan rumah tangga

Pertama Komunikasi interpersonal47 Komunikasi interpersonal

merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keharmonisan keluarga,

karena dengan adanya komunikasi antar suami istri, atau orang tua anak

maka akan menjadikannya mampu untuk mengemukakan apa yang

dirasakan dan mengetahui pandangannya terhadap suatu hal, sehingga

akan memudahkan untuk memahami anggota keluarga dan dalam hal

sebaliknya tanpa adanya komunikasi dalam keluarga kemungkinan

besar akan terjadi kesalahpahaman dalam suatu keluarga dan

menyebabkan terjadinya konflik

Kedua, Tingkat ekonomi keluarga. Menurut beberapa penelitian,

tingkat ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan

keharmonisan keluarga. Semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan

mendukung tingginya stabilitas dan kebahagian keluarga, tetapi bukan

berarti dengan rendahnya tingkat ekonom keluarga menjadikan faktor

47 Hadori, M., & Minhaji, M. (2018). Makna kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga dalam

perspektif psikologi. Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran Dan Kebudayaan, 12(1), 5-

36.

Page 24: BAB II A. Sadd adz-Dzari’ah

37

utama tidak keharmonisan keluarga. tingkat ekonomi keluarga hanya

mendukung salah satu faktor keharmonisan rumah tangga

Ketiga Sikap orangtua. Sikap orangtua juga berpengaruh

terhadap keharmonisan keluarga terutama hubungan antara orangtua

dengan anak-anak. Sikap orang tua menjadi salah satu faktor dari

keharmonisan rumah tangga karena orang tua menjadi contoh awal

kepada anak-anak nya bentuk dari keluarga yang harmonis, maka anak

akan mencontohkan sikap dan perilaku orang tuanya, jika orangtua

bersikap saling mengasihi satu sama lain, maka anak pun akan

mengikuti hal tersebut, maka apabila sudah menanamkan hal tersebut

sejak dini maka potensi untuk menjadi keluarga yang harmonis akan

sangat besar.

Keempat ukuran keluarga. Jumlah anak dalam satu keluarga

sangat menentukan cara orangtua mengontrol perilaku anak dalam

tumbuh kembang, menetapkan aturan dalam keluarga, mengasuh anak

dan perlakuan yang efektif orang tua terhadap anak. Namun bukan

berarti banyak anak maka potensi keharmonisan keluarga menjadi

berkurang, tergantung bagaimana orang tua mengontrol perilaku anak,

menetapkan aturan dalam keluarga cara mengasuh dan memberi

perlakuan yang efektif terhadap anak.