bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Thorndike (1898-1901), seorang tokoh dalam lapangan psikologi
pendidikan yang amat besar pengaruhnya, mengeluarkan teori connectionism
atau bond psychology. Menurutnya, dalam eksperimennya, bentuk belajar
yang khas baik pada hewan maupun pada manusia disifatkan sebagai trial and
error atau learning by selecting and connecting. Keduanya dihadapkan pada
situasi yang mengandung problem untuk dipecahkan. Dalam eksperimen
inilah, Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah
dorongan (motivasi), hadiah (ganjaran, reward), dan hukuman (punishment).1
Punishment dalam istilah psikologi terjadi tatkala muncul situasi
deprivation (kehilangan) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan oleh
satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan kelompok lain
yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan oleh kelompok
pertama. Tingkah laku yang salah tersebut bisa berupa pelanggaran aturan,
hukum, undang-undang, perintah atau juga harapan-harapan bersama. Dari
Durkheim (1893), kita bisa memahami bahwa punishment terkadang juga
ditimpakan karena dan oleh individu sendiri tanpa melibatkan orang lain,
seperti bunuh diri atau yang disebut self-punishment. Apabila punishment
secara terminologi sudah disepakati, barangkali reward yang merupakan
lawan kata punishment tidaklah sulit didefinisikan, yaitu satu pemberian
penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi seseorang. Dalam
1 Lihat Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998),
hlm. 248-249. Istilah punishment dan reward dalam pendidikan Islam bukanlah istilah baru. Tepatnya, keduanya berasal dari pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike. Dari tokoh ini dapat dipahami bahwa dengan adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya dengan absennya reinforcement, tingkah lakunya semakin lemah. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 23.
2
dunia pendidikan, dua definisi di atas dapat difahami dan diterapkan tapi harus
selalu dengan tujuan dan cara-cara edukatif, paedagogis, atau mendidik.2
Dari segi perkembangan kesadaran moral pada anak, dalam
preconventional level, dalam tarap ini, seseorang memiliki responsif terhadap
aturan-aturan dan cap “baik” dan “buruk”. Hanya saja cap-cap itu
diinterpretasikan secara fisis dan hedonisti (berdasarkan enak atau tidak enak),
kalau jahat, dihukum; kalau baik diberi hadiah. Pada tarap ini juga
menafsirkan baik-baik dari segi kekuasaan fisis dari pengasal peraturan.3
Tarap ini menunjukkan ternyata rasa takut terhadap hukuman dan rasa
senang terhadap hadiah dapat menjadi sebuah orientasi, sehingga pada
gilirannya menumbuhkan kesadaran moral. Walaupun masih dalam tarap yang
paling rendah, preconventional, setidaknya dari sini adanya sinyalemen peran
yang ditimbulkan oleh hukuman dan hadiah terhadap tingkah laku.
Al-Ghazali menganjurkan siasat ganjaran dan hukuman dalam
merangsang anak untuk berbuat baik dan memperbaiki akhlak yang buruk.4
Karena anak selaku si terdidik adalah individu yang belum dewasa, tingkat
kesadarannya masih kurang, sehingga perilakunya seringkali berorientasi pada
sesuatu hal, belum memiliki perilaku otonom. Sebisa mungkin ia berusaha
untuk mendapatkan hadiah yang dirasakan lebih menyenangkan dan menjauhi
hukuman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan.
Dengan demikian ada indikasi yang ditimbulkan oleh reward dan
punishment terhadap penguatan tingkah laku, maka ketika keduanya dijadikan
sebagai suatu siasat, cara, metode, dalam pendidikan akhlak sangatlah relevan.
Dimana pendidikan akhlak adalah suatu usaha untuk pengembangan dan
penanaman nilai-nilai luhur yang mengandung unsur kebaikan.
Dalam kasus sederhana, dalam lingkungan keluarga, orang tua sering
memberikan motivasi berupa imbalan kepada anaknya yang berprestasi.
2 Abdurrahman Mas’ud, loc. cit. 3 Ronald Duska dan Mariellen Whelan, Perkembangan Moral, terj. Dwija Atmaka,
(Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 60. 4 Zainuddin, et. al., Seluk Beluk Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 85-86.
3
Sebaliknya tidak jarang menggunakan tindakan yang bersifat fisik, seperti
menjewer kuping si anak, ketika ia berbuat kesalahan.
Mengenai konsep reward dan punishment bukanlah istilah asing lagi
dalam pendidikan Islam. Ibn Miskawaih seorang tokoh ulama klasik, yang
hidup pada rentang masa kemunduran dinasti Abbasyiah, sangat respek
terhadap pendidikan akhlak. Dalam karyanya Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-
Araq, beliau menyajikan sebuah bab yang berjudul fi Tahzib al-Ahdats wa al-
Shibyan Hasanah, yang di dalamnya secara eksplisit memasukkan hadiah dan
hukuman dalam rangka mendidik anak.
Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,
hidup pada abad 20 dari Halab, buah pemikirannya sangat luas, tidak terbatas
dalam bidang pendidikan dan pengajaran, tetapi juga dalam bidang lain seperti
hukum dan fiqh.5 Pemikirannya yang disajikan via buku Tarbiyah al-Aulad fi
al-Islam, merupakan sumbangan yang amat berharga bagi dunia pendidikan
khususnya pendidikan Islam. Dalam buku ini pula, beliau mengupas tentang
hadiah dan hukuman dalam bab metode pendidikan dan teknik pendidikan.
Berangkat dari dua karya tokoh ini, penulis menganggap perlu adanya
penelaahan terhadap pemikiran keduanya tentang reward dan punishment,
yang selanjutnya mencari titik temu dan persimpangannya. Kemudian dari
kedua tokoh tersebut menunjukkan adanya indikasi terhadap perkembangan
kesadaran moral, pada gilirannya reward dan punishment sangat layak
dijadikan sebagai suatu metode pendidikan akhlak.
Secara fungsional, kedudukan metode dalam pengajaran menunjang
kelancaran dan keberhasilan.6 Pengajaran merupakan suatu sub kecil dari
5 Raharjo, “Dr. Abdullah Nashih Ulwan Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang
pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 53.
6 Zakiah Darajat juga memformulasikan didaktik dan metodik. Ibaratnya didaktik itu bergerak dalam lingkaran penghidangan bahan pelajaran sewaktu pelajaran sedang berlangsung, sedangkan metodik bergerak di dalam lingkaran penyediaan jalan atau siasat yang akan ditempuh. Lihat Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agana Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) hlm. 1-2.
4
pendidikan, pengajaran menekankan pada transfer of knowledge semata .7
Berbeda dengan pendidikan yang lebih mengejawatkan unsur-unsur
pembinaan, pembimbingan, pemeliharaan, dan pengembangan, dengan kata
lain memfokuskan kepada nilai tidak hanya ilmu pengetahuan an sich.
Akan tetapi, semakin banyak ilmu pengetahuan dimiliki oleh
seseorang, akan berimplikasi kepada kemantapan keberagamaannya. Hal ini
tidak bertentangannya ilmu pengetahuan dengan akhlak dalam satu jalan dan
satu tujuan.8 Seperti apa yang dikatakan oleh William James: “selama manusia
masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama
(berhubungan dengan Tuhan)”. Senada dengan yang dikatakan oleh Murtadha
Muthahari: “ilmu mempercepat anda sampai tujuan, agama menentukan arah
yang dituju”.9
Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah pengembangan kepribadian
menuju manusia paripurna yang memiliki akhlak yang mulia untuk
kebahagiaan di dunia dan akhirat, seperti yang telah dijanjikan oleh agama.
Sehingga dengan kata lain, pendidikan menumbuhkan peningkatan mutu
keberagamaan.
Di sisi lain, pendidikan akhlak memiliki peran besar terhadap
peradaban manusia. Membangun suatu kebudayaan dan peradaban akan
melestarikan atau mengharmonisasikan masyarakat itu sendiri. Namun
individu-individu penyusunnya tidak akan mampu mewujudkan semua
kebudayaan itu, tanpa diimbangi dengan pendidikan. Kalau mengambil ikhtiar
melalui pendidikan akhlak, maka akan membentuk dan mempertahankan
kepribadian yang dinamis. Kekuatan ini mengarahkan manusia untuk bangkit
7 Bandingkan dengan konsep ta’lim pada (QS. 1: 30) dan (QS. 96: 5), kedua ayat ini
mengindikasikan proses pengajaran kepada manusia sekaligus menunjukkan kelebihannya karena ilmu yang dimilikinya yang tidak diberikan Allah kepada makhluk lain. Berdasarkannya pula, lafal ta’lim (dari terma allama) itu condong pada aspek pemberian informasi atau ilmu pengetahuan. Lihat Musthofa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam Ismail SM. (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 59-60.
8 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 153. 9 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 376-377.
5
dan bersemangat dalam membangun kebaikan serta menjadikannya sebagai
ajang perlombaan.10
Peran pendidikan akhlak dalam memajukan peradaban dan kebudayaan
berupa penghiasan jiwa individu-individu (dalam wujud kebaikan) memotivasi
individu tersebut untuk mengaktualisasikan segenap potensinya dalam bentuk
inovasi-inovasi baru. Inovasi ini, selain untuk dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari, juga ditujukan untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.11
Imam Mawardi berkata mengenai masalah ketidakadilan12 yang
merusak kehidupan manusia. “Tiada sesuatu hal yang lebih cepat dapat
menghancurkan dunia dan sangat merusak perasaan jiwa mahluk, selain
kelaliman”. Pendapat ini diamini oleh Qastaf Labun bahwa sebab-sebab
keruntuhan suatu bangsa pada dasarnya disebabkan oleh kerusakan akhlak.13
Dengan demikian dapat difahami secara mendasar bahwa dekadensi moral
akan menghancurkan kebudayaan dan peradaban manusia. Oleh karena itu,
pendidikan akhlak mempunyai peran besar dalam penegakan dan
pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan realitas-realitas dalam latar belakang masalah yang telah
dikemukakan, penulis melihat adanya gejala-gejala yang menarik untuk
dicermati lebih mendalam. Sebenarnya banyak sekali celah dari sana yang
mengandung permasalahan yang beragam dan kompleks.
10 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf
Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003), hlm. 99-100. 11 Ibid..., hlm. 77. 12 Menegakkan keadilan merupakan bagian dari akhlak yang mulia dan akhlak mulia
sendiri merupakan bagian dari amal saleh. Yang disebut terakhir ini membawa menuju ke kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Ini karena amal saleh atau tindakan manusia yang baik itu serasi dengan keseluruhan lingkungan baik di dunia maupun di akhiratnya. Dalam keserasian dunia itu diliputi pula oleh keserasian dunia lingkungan alam dan sosial sesama manusia. Dalam rangka keserasian sosial itulah cita-cita keadilan sosial berada. Kehidupan yang saleh atau serasi antara manusia itu ialah kehidupan yang diliputi oleh kedamaian, kesejahteraan, kesehatan, dan semacamnya. Dengan kata lain, kehidupan yang diliputi oleh salam, suatu kata Arab yang juga satu akar kata Islam. Pengertian kata ini meliputi keseluruhan pengertian tentang nilai-nilai hidup yang tinggi dan mulia. Lebih lanjut lihat Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: KPP Kelompok Paramadina, 2004), hlm. 84.
13 Miqdad Yaljan, op. cit., hlm. 75-76.
6
Akan tetapi, karena keterbatasan waktu dan cakrawala pengetahuan
yang dimiliki, penulis merasa perlu membatasinya agar pembahasan skripsi ini
tidak mengalami perluasan dan melebar dari arah permasalahan yang akan
dicari pemecahannya. Oleh karena itu, stressing masalah dianggap perlu, agar
pembahasan lebih cermat dan terarah.
Secara spesifik, skripsi ini memfokuskan permasalahan kepada:
1. Bagaimanakah konsep reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan
Abdullah Nashih Ulwan serta adakah persamaan dan perbedaan?
2. Bagaimanakah konsep reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan
Abdullah Nashih Ulwan sebagai metode pendidikan akhlak?
C. Penegasan Istilah
Ada beberapa istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini, yang
perlu diadakan pemaparan untuk ketegasan apa sebenarnya yang dimaksud
oleh penulis dengan istilah-istilah tersebut. Hal ini agar tidak terjadi bias dan
absurditas makna.
Diantara istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Reward dan Punishment
Reward merupakan noun (kata benda) yang berasal dari bahasa
Inggris, berarti tanda jasa, penghargaan.14 Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, padanan kata reward semakna dengan hadiah, yang berarti
pemberian, ganjaran.15
Merunut pengertian tersebut, menurut penulis reward berhubungan
dengan pendidikan, sesuatu pemberian penghargaan yang dirasakan
menyenangkan dan memuaskan bagi si terdidik, Karena prestasi atau
14 Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern
English Press, 2000), hlm. 1265 15 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Ed. 2,
Cet. 4, hlm. 333. Merupakan sesuatu yang memuaskan diberikan atau diperoleh untuk suatu perilaku. Dalam pendidikan ganjaran digunakan sebagai alat didik untuk meneguhkan perilaku-perilaku yang dikembangkan pada seorang anak didik oleh pendidik atau pengasuhnya. Ganjaran biasanya digunakan sebagai suatu sistem bersama-sama dengan hukuman. Ganjaran dapat berupa bermacam-macam, umpamanya kedudukan tinggi dalam suatu struktur kekuasaan, pandangan, dan penilaian positif lingkungan terhadap diri. Lihat Anton M. Moeliono (eds.), Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, (Jakarta: Delta Pamungkas, 1997), Cet. III, hlm. 53.
7
perilaku yang sesuai dengan yang diinginkan. Adapun bentuk dan
macamnya sangat luas dan fleksibel, bisa berupa benda, verbal, atau yang
lainnya.
Punishment sebagai lawan katanya juga berbentuk noun, yang
berasal dari bahasa Inggris, berarti hukuman.16 Punishment merupakan hal
yang tidak menyenangkan diberikan karena tindakan atau perilaku yang
menyimpang atau tidak diterima adanya pada anak didik, bentuk dan
macamnya bermacam-macam pula.
Prospek tentang reward dan punishment ini hanya timbul bila anak
dituntut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perilaku
tertentu yang berbeda dengan keinginannya pada saat tersebut.
2. Perspektif
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan perspektif dengan
“sudut pandangan”,17 karena penelitian ini menelaah dua tokoh, yaitu Ibn
Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan, maka perspektif yang dimaksud di
sisi adalah pandangan, pemikiran kedua tokoh tersebut, dalam hal ini
mengenai reward dan punishment.
3. Klasik dan Kontemporer
Merujuk pada pembagian zaman Islam yang dikemukakan oleh
Harun Nasution, terbagi pada sejarah periode klasik, pertengahan, dan
periode modern. Periode klasik sendiri terbagi dalam masa kemajuan Islam
I dan masa disintegrasi. Masa kemajuan Islam I dimulai pada tahun 650-
1000 M. dan masa disintegrasi dari tahun 1000-1250 M. pada periode ini,
selain terjadi perluasan kekuasaan, banyak sekali Islam menelurkan tokoh-
tokoh ilmuan bukan hanya dalam bidang agama semata.18 Diantaranya al-
16 Peter Salim, op. cit., hlm. 1178. Merupakan hal yang tidak menyenangkan yang
diberikan atau diperoleh untuk suatu perilaku. Bila perilaku yang terjadi adalah yang tidak diharapkan atau diinginkan adanya pada anak didik, hukuman diberikan. Lihat Anton M. Moeliono (eds.), op. cit., hlm. 489.
17 Tim Penyusun, op. cit., hlm. 679. 18 Lebih lanjut lihat Harun Nasution, ISLAM: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,
(Jakarta: UI Press, 1985), Cet. 5, hlm. 56-79.
8
Farabi, al-Raji, Ibn Sina, Ibn Bajjah, dan tokoh-tokoh lain termasuk Ibn
Miskawaih yang hidu pada rentang tahun 940-1030 M.
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan
Khulafaur Rasyidin hingga awal imperialisme Barat. Rentang waktu
tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Umayah, zaman keemasan Islam
dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad 19.19
pada masa ini banyak sekali karya-karya klasik pendidikan Islam, semua
sumbernya dari bahasa Arab dan Persia. Sejarah menunjukan bahwa
perkembangan kegiatan pendidikan pada masa klasik Islam telah membawa
Islam sebagai jembatan pengembangan keilmuan dari keilmuan klasik ke
keilmuan modern.
Adapun kontemporer, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
berarti “pada waktu yang sama”, “semasa”, “sewaktu”, “pada masa kini”,
“dewasa ini”.20
Menurut harun Nasution periode modern dimulai pada tahun 1800
M. merupakan zaman kebangkitan Islam kembali. Berbeda dengan periode
klasik, kontak yang terjadi antara Islam dan Barat, pada masa ini Islam
sedang menaik sedangkan Barat dalam kegelapan. Sebaliknya pada periode
modern, Islam yang ingin belajar dari Barat. Selanjutnya timbullah
pemikir-pemikir dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam.21
Hal ini ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh pembaharuan dalam
Islam baik di kawasan Asia, Timur Tengah, maupun Afrika. Mukti Ali
dalam bukunya yang berjudul Alam Pikiran Islam Modern menyebutkan
beberapa tokoh termasuk Muhammad Ibn Abdul Wahab (1703-1791 M.),
Muhammad Ibn Ali as-Sanusi (1787-1859 M.), Midhat Pasya (1822-1883
M.), Khairuddin Pasya al-Tunisi (1810-1879 M.), Ali Pasya Mubarak
(1823-1893 M.), Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M.), Abdullah Nadim
Pasya (1845-1896 M.), Abdurrahman al-Kawakibi (1848-1903 M.),
19 Jalaluddin dan Utsman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999), hlm. 125. 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 522. 21 Lebih lanjut lihat Harun Nasution, op. cit., hlm. 88-89.
9
Muhammad Abduh (1849-1905 M.). Abdullah Nashih Ulwan, seorang
pemikir Islam pada abad 20, tepatnya lahir pada tahun 1928 M. buah
karyanya sangat luas, tidak hanya terbatas pada bidang agama, akan tetapi
juga dalam bidang-bidang lain, salah satunya bidang pendidikan.
Dengan demikian klasik dan kontemporer ini berkaitan dengan
pengsekatan waktu atau masa, serta periode, dimana Ibn Miskawaih
dilahirkan pada periode klasik, sedangkan Abdullah Nashih Ulwan
dilahirkan pada periode modern atau kontemporer.
4. Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani metodos, yang berarti “cara”
atau “jalan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan
kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.22
Mahmud Yunus, yang dikutip oleh Armai Arief, mengatakan
metode adalah jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya sampai
kepada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan,
maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan yang lainnya.23
5. Pendidikan Akhlak
Akhlak adalah budi pekerti, watak kesusilaan (kesadaran etika dan
moral) yaitu kelakuan yang baik yang merupakan refleksi dari sikap jiwa
yang benar terhadap Tuhan dan sesama manusia.24
Menurut Ulwan, pendidikan akhlak adalah serangkaian prinsip
moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan
dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi
seorang mukallaf yakni siap mengarungi lautan kehidupan.
22 Tim Penyusun, op. cit., hlm. 652-653. 23 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), Cet. 1, hlm. 87. 24 Soegarda P dan H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981),
hlm. 12.
10
Pendidikan terkait dengan menghilangkan moral tercela dan
menghiasi dengan akhlak terpuji.25 Dengan demikian, pendidikan akhlak
merupakan serangkaian usaha untuk menanamkan akhlak tepuji, agar si
terdidik bisa mengaktualisasikan dirinya mengahadapi masa depan. Yang
harus difahami bahwa pendidikan akhlak adalah bukan sekedar mengetahui
tentang akhlak, karena mengetahui akhlak tidak hanya menanamkan
seseorang itu berakhlak. Mengetahui berakhlak hanyalah salah satu aspek
dari akhlak itu sendiri, yakni aspek kognitif. Namun lebih dari itu, aspek
afektif dan psikomotor juga tidak kalah penting.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sudah hal yang lumrah, dalam tindakan mesti ada motif yang melatar
belakanginya. Begitu pula dengan penelitian yang sangat sederhana ini,
setidaknya ada tujuan yang dijadikan sebagai background.
Sebenarnya dengan melihat permasalahan yang telah dijelaskan, tujuan
penelitian ini sudah dapat diprediksi. Namun, sesuatu yang bersifat prediktif,
kiranya hanya sesuatu yang samar, perlu penjabaran agar lebih jelas.
Setidaknya tujuan penelitian ini meliputi:
1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai konsep reward
dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan serta
mengetahui persamaan dan perbedaannya.
2. Untuk mengetahui reward dan punishment sebagai metode pendidikan
akhlak.
Berangkat dari ketiga tujuan tersebut dan keyakinan bahwa segala
sesuatu memiliki manfaat di dalamnya. Dan merupakan harapan penulis
semoga penelitian ini mempunyai nilai guna dan bermanfaat terutama sebagai
berikut:
a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih yang berharga bagi literatur
ilmu pengetahuan, terutama di bidang pendidikan.
25 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz II, (Beirut: Masyahadul Husaini, t. th.), hlm. 34.
11
b. Memecahkan masalah terkait dengan pendidikan Islam terutama mengenai
konsep metode pendidikan akhlak.
c. Menambah pemahaman, terutama bagi mereka yang mempunyai perhatian
besar terhadap pendidikan akhlak.
E. Tinjauan Pustaka
Mengenai reward dan punishment banyak sekali dokumen datanya,
baik berupa teks-teks dalam bentuk buku, artikel, dan lainnya. Berkaitan
dengan penelitian ini, mengenai studi tentang kedua tokoh ini dan pembahasan
tentang reward dan punishment sudah banyak dilakukan, diantaranya sebagai
berikut:
1. Pemikiran Ibn Miskawaih mengenai pendidikan sangat menarik untuk
diteliti. Diantaranya banyak sekali yang sudah menelitinya, salah satunya
adalah Maemonah dalam tesisnya yang berjudul Reward dan Punishment
Sebagai Metode Pendidikan Anak Menurut Ulama Klasik: Studi Pemikiran
Ibn Miskawaih, al-Ghazali, dan al-Zarnuji.
Anak sejak awal pertumbuhannya telah mengenal dan mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, kebanyakan
buruk, ini dikarenakan lebih banyak hal-hal yang buruk terjadi di depan
mata mereka, di sisi lain imitasi yang menjadi “ruh” mereka dalam
bertindak ikut seakan memberi jalan. Ini dikarenakan mereka belum
memiliki sifat, kepribadian, pengetahuan, lengkap dan memadai seperti
orang dewasa. Oleh karena itu, mereka masih memerlukan arahan dan
bimbingan.
Pada prinsipnya, Ibn Miskawaih dalam menerapkan ganjaran dan
hukuman selalu memperhatikan bagaimana kondisi anak pada saat itu, yang
masih sangat polos. Oleh karena itu, harus selalu mengedepankan kasih
sayang dan lemah lembut serta menghindari ejekan dan celaan langsung.
Ganjaran bisa berupa pujian dan pemberian rasa hormat, agar anak
termotivasi dan berperilaku.
12
Dalam menghadapi kesalahan anak sekiranya pendidik
memposisikan sebagai seorang dokter. Pertama mendiagnosis sebab-sebab
kesalahan tersebut, selanjutnya memberikan resep dimulai dari yang lunak
sampai terakhir paling keras.
2. Kajian komprehensif tentang penelitian terhadap Abdullah Nashih Ulwan,
sudah dilakukan oleh Ahmad Muzani dalam tesisnya dengan judul Metode
Pendidikan Anak dalam Islam Menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam
Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam.
Dalam analisisnya (bab IV), dia mengomentari dan mengkritisi
semua metode yang dikeluarkan oleh Ulwan, salah satunya mengenai
hukuman.
Metode ini, sekiranya harus tetap dicantumkan, jika metode
keteladanan, pembiasan, nasehat, dan pengawasan tidak mampu, maka pada
saat itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di
tempat yang benar. Tindakan tegas itulah yang dinamakan dengan
hukuman.
Dengan demikian hukuman menjadi metode alternatif, ketika
metode-metode yang lain tidak sanggup lagi mengubah perilaku buruk,
menyimpang anak didik. Sebisa mungkin pendidik menghindari metode ini,
atau pun memang harus diberikan harus tetap dengan prinsip-prinsipnya.
3. Abdurrahman Mas’ud, dalam artikel yang berjudul Reward dan
Punishment dalam Pendidikan Islam, menurutnya reward dan punishment
dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan
pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang bertakwa selalu menjadi salah
satu kunci dalam rumusan tujuan pendidikan Islam. Karena pada dasarnya
pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan individu, maka
memasukkan kata kamil sesungguhnya juga tidak kalah penting.
Muhammad saw. sebagai insan kamil dan sekaligus sebagai model
paripurna telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan demikian sikap-sikap
Nabi, dan cara-cara beliau dalam mendidik umat Islam merupakan rujukan
13
penting setelah al-Qur’an. Muhammad saw. adalah insan al-kamil,
sekaligus guru terbaik, Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi juga
menunjukkan jalan. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan
inspirasi sehingga manusia mentransfer nilai-nilai luhur darinya hingga
menjadi manusia-manusia baru. Sejarah kehidupannya yang ditulis oleh
para sejarawan sejak abad 8 seperti Ibn Ishaq sangat mempesona,
menggema, dan aktual hingga kini. Karena itu setiap muslim selama ini
senantiasa mengakrabinya dan menjadikannya sebagai a beloved role
model.
F. Metode Penelitian
Dalam perspektif paradigma yang dianut, penelitian dibagi menjadi
dua macam, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yang disebutkan
terakhir, pada dasarnya mengacu pada context of discovery, karena kerja
penelitian ini mengharapkan penemuan sesuatu melalui kerangka berfikir
induktif. Berkaitan dengan penelitian yang diajukan oleh penulis, perlu
dijabarkan beberapa hal mengenai signifikasi metode penelitian yang
digunakan. Karena pemilihan metode yang tepat dapat menjadi jaminan
kevalidan suatu penelitian.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi tokoh, karena perlu mengetahui
kehidupan Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan dalam hubungannya
dengan masyarakat, sifat watak, serta implikasi internal dan eksternal yang
membentuk pemikirannya.26 Hal ini juga untuk mengungkap konsep
reward dan punishment dari kedua tokoh tersebut.
2. Jenis Pendekatan
Penggunaan pendekatan sosio-historis sangat berguna untuk
memeriksa secara kritis peristiwa, latar belakang eksternal yaitu keadaan
khusus masa yang dialami subyek dan latar belakang internal yaitu biografi,
26 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Dalia Indonesia, 1990), hlm. 62.
14
pengaruh-pengaruh (khususnya tradisi intelektual) yang diterima,
selanjutnya ditindaklanjuti dengan mengadakan interpretasi terhadap
sumber-sumber informasi yang didapatkan terutama mengenai kedua tokoh
tersebut.27 Sehingga mempermudah untuk menganalisis secara kritis
terhadap pemikiran Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan mengenai
reward dan punishment.
Di sisi lain, penulis juga menggunakan pendekatan
fenomenologis,28 dengan memposisikan dalam tempat khusus kemampuan
manusia untuk berfikir reflektif dan deduktif, serta logika materiil dan
probabilistik (mengamati kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada
masa hidup kedua tokoh tersebut). Pendekatan ini juga mengangkat makna
etika dalam berteori dan berkonsep.29 Obyek ilmunya tidak terbatas pada
yang empirik (sensual), akan tetapi mencakup fenomena yang tidak lain
dari pada konsepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang
sesuatu di luarnya, transenden, di samping aposteriorik.30
Untuk mendapatkan natijah, kesimpulan yang akurat, maka akan
digunakan kerangka berfikir deduktif, suatu pola pemahaman yang dimulai
dengan mengambil kaidah-kaidah umum untuk mendapatkan kesimpulan
berupa pengetahuan yang bersifat khusus. Serta alur pemikiran induktif,
suatu pemikiran yang berawal dari pengambilan kasus-kasus khusus dalam
27 Lihat Komarudin, Metodologi Research I, Jilid. 1, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990),
hlm. 9. Baca juga Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian Ilmiyah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 94.
28 Fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl, Alfred Schultz, dan Weber yang memberi tekanan pada Verstehen yaitu pengertian interpretative terhadap pemahaman manusia. Fenomenologis tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti (dalam hal ini Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan). Yang ditekankan adalah aspek subyektif dari perilaku keduanya, dan berusaha masuk dalam dunia konseptual, sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian itu dikembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian, ada kepercayaan bahwa pada mahluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. 17, hlm. 9.
29 H. Noeng Muhdjir, Metode Penelitian Kualitatif, Ed. III, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 84.
30 Ibid., Ed. II, 1992, hlm. 24.
15
permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
umum.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka membahas dan memecahkan permasalahan yang ada
dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode library research,
dengan jalan mengumpulkan dokumen-dokumen, teks, dan data yang
relevan dengan permasalahan tersebut.31 Menjadikan pustaka sebagai
sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori dan konsep
yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu mengikuti perkembangan
penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas
mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan data skunder serta
menghindari duplikasi penelitian.32 Kemudian di telaah dan dikritisi, serta
mengadakan interpretasi secara cermat dan mendalam.
Secara garis besar data tersebut terbagi dua macam, sebagai berikut:
a. Data Primer
Data ini merupakan data utama yaitu berupa karya-karya yang
dikarang oleh kedua tokoh tersebut. Diantaranya buku Tahzib al-Akhlaq
karya Ibn Miskawaih dan Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam karya Abdullah
Nashih Ulwan.
b. Data Skunder
Data ini berupa buku-buku, artikel, dan naskah yang bukan karya
Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan, akan tetapi berisi tentang
hal-hal yang dengan permasalahan yang diajukkan oleh penulis. Serta
secara fungsional berguna untuk menunjang kelengkapan data primer.
4. Metode Analisis Data
31 Sutrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 9. 32 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3S,
1988), hlm. 70.
16
Usaha terakhir yang dilakukan setelah pengumpulan data adalah
menganalisisnya. Dalam rangka memecahkan permasalahan dan untuk
ketepatan dalam menganalisis, penulis menggunakan metode-metode
tertentu. Di antaranya ada beberapa metode analisis yang digunakan, yaitu:
a. Descriptive Analysis
Metode ini berusaha untuk mendeskripsikan fenomena yang
diselidiki dengan cara melukiskan dan mengklasifikasikan fakta atau
karakteristik fenomena tersebut secara faktual dan cermat. Hal ini bias
mengenai kondisi, pendapat, proses, akibat atau efek yang terjadi atau
kecenderungan baik berkenaan dengan masa kini atau juga
memperhitungkan peristiwa masa lampau dan pengaruhnya terhadap
kondisi masa kini. Penelitian ini digunakan untuk menjawab pertanyaan
tentang apa atau bagaimana keadaan sesuatu (fenomena, kejadian
tersebut) dan melaporkan sebagaimana adanya. Karena sifatnya alamiah,
deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji teori hingga tidak ada
manipulasi perlakuan terhadap subjek maupun variabel.33
Data yang diperoleh tidak dituangkan dalam bentuk angka
statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti
lebih kaya daripada sekedar angka atau frekuensi. Penulis segera
melakukan analisis data dengan memberikan pemaparan gambaran
mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif. Hakikat
pemaparan adalah seperti orang merajuk, setiap bagian ditelaah satu
persatu dengan menjawab pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana
suatu fenomena itu terjadi dalam konteks lingkungannya. Subjektivitas
penulis dalam membuat interpretasi dapat dihindari.
33 Lihat Ibnu Hadjar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. 2, hlm. 274. dan John W. Best, Metodologi Penelitian dan Pendidikan, dalam Sanapiah Faisal dan Mulyadi Guntur Waseso, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 119. Kebanyakan metode ini digunakan dalam ilmu-ilmu tingkah laku, behavioural sciences, karena berbagai bentuk tingkah laku yang menjadi pusat perhatian peneliti tidak dapat sengaja “diatur” dalam latar, setting realistis.
17
Kaitannya dengan penelitian ini, metode ini dipakai dalam
pengertian umum segi teknik untuk mendeskripsikan konsep reward dan
punishmet menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan, serta
kedudukannya sebagai metode pendidikan akhlak.
b. Content Analysis
Merujuk pengertian yang diuraikan oleh Paulin V. Young
merumuskan “content analysis is a research technique for the
systematic, objective, and quantitative, schedules, and other linguistic
axpressions, writen or oral”.34 Berangkat dari definisi ini, kegunaan
content analysis untuk keperluan mendeskripsikan secara objektif,
sistematis tentang isi dan manifestasi konsep reward dan punishment
menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan.
c. Historical Analysis
Metode historis dalam penelitian adalah prosedur pemecahan
dengan mempergunakan data atau informasi masa lalu yang bernilai
sebagai peninggalan. Dengan metode ini dapat diungkapkan kejadian
atau keadaan sesuatu yang terjadi di masa lalu terlepas dari keadaan pada
masa sekarang. Di samping itu, dapat pula diungkapkan kondisi sesuatu
pada masa sekarang dihubungkan dengan peristiwa yang berkenaan
dengan masa lampau.35 Kegunaannya dalam penelitian ini menjadi
jembatan untuk menganalisis data yang bermuatan sejarah.
d. Comparative Analysis
Penulis juga menggunakan Comparative Analysis, Menurut
Aswarni Sudjud, penelitian komparasi akan dapat menentukan
persamaan dan perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide,
34 Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 12-13. 35 H. Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1996), hlm. 214.
18
kritik terhadap orang, kelompok, atau membandingkan kesamaan dan
perubahan-perubahan pandangan orang, group atau negara, terhadap
kasus, orang, peristiwa, ataupun ide. Senada dengan Van Dalen yang
mengatakan bahwa penelitian komparasi adalah suatu penelitian yang
ingin membandingkan dua atau tiga kejadian dengan melihat penyebab-
penyebabnya.36
Analisis ini berguna untuk membandingkan, dan menemukan
persamaan dan perbedaan pemikiran Ibn Miskawaih dan Abdullah
Nashih Ulwan mengenai reward dan punishment.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan dalam penyusunan penulisan skripsi ini, penulis
membaginya dalam lima bab dengan beberapa pokok dan sub pokok bahasan.
Pada bagian muka berisi data akademik dan data pribadi penulis. Secara
terperinci memuat halaman sampul, halaman judul, persetujuan pembimbing,
pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi, deklarasi dan
abstrak.
Adapun bab-bab yang menguraikan isi garis besar penelitian ini
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, dalam bab ini dijelaskan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan signifikasi penelitian. Yang isinya terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah,
manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
sistematika penulisan skripsi.
BAB II Menguraikan mengenai landasan teori, diantaranya reward dan
punishment, metode pendidikan akhlak, dan beberapa hal yang
berhubungan dengan keduanya serta pandangan Islam mengenai
reward dan punishment.
36 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), hlm. 241-248.
19
BAB III Mengilustrasikan secara singkat biografi, latar belakang pemikiran,
dan karya-karya Ibn Miskawaih dan abdullah Nashih Ulwan. Serta
mengungkap konsep reward dan punishment menurut kedua tokoh
ulama tersebut.
BAB IV Menganalisis reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan
Abdullah Nashih Ulwan sebagai metode pendidikan akhlak. Dalam
bab ini diuraikan persamaan dan perbedaan konsep reward dan
punishment menurut kedunya, serta reward dan punishment dalam
pendidikan Islam dan pembentukan akhlak.
BAB V Berisi penutup, yang medeskripsikan kesimpulan dari penelitian
yang telah dilakukan. Dalam bab ini juga tercantum kritik dan
saran yang muncul setelah penelitian dilakukan, serta penutup
sebagai kata terakhir dari penelitian ini.