bab i pendahuluan a. latar belakang...

19
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Thorndike (1898-1901), seorang tokoh dalam lapangan psikologi pendidikan yang amat besar pengaruhnya, mengeluarkan teori connectionism atau bond psychology. Menurutnya, dalam eksperimennya, bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun pada manusia disifatkan sebagai trial and error atau learning by selecting and connecting. Keduanya dihadapkan pada situasi yang mengandung problem untuk dipecahkan. Dalam eksperimen inilah, Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah dorongan (motivasi), hadiah (ganjaran, reward), dan hukuman (punishment). 1 Punishment dalam istilah psikologi terjadi tatkala muncul situasi deprivation (kehilangan) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan oleh satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan kelompok lain yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan oleh kelompok pertama. Tingkah laku yang salah tersebut bisa berupa pelanggaran aturan, hukum, undang-undang, perintah atau juga harapan-harapan bersama. Dari Durkheim (1893), kita bisa memahami bahwa punishment terkadang juga ditimpakan karena dan oleh individu sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti bunuh diri atau yang disebut self-punishment. Apabila punishment secara terminologi sudah disepakati, barangkali reward yang merupakan lawan kata punishment tidaklah sulit didefinisikan, yaitu satu pemberian penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi seseorang. Dalam 1 Lihat Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 248-249. Istilah punishment dan reward dalam pendidikan Islam bukanlah istilah baru. Tepatnya, keduanya berasal dari pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike. Dari tokoh ini dapat dipahami bahwa dengan adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya dengan absennya reinforcement, tingkah lakunya semakin lemah. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 23.

Upload: phamtu

Post on 07-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Thorndike (1898-1901), seorang tokoh dalam lapangan psikologi

pendidikan yang amat besar pengaruhnya, mengeluarkan teori connectionism

atau bond psychology. Menurutnya, dalam eksperimennya, bentuk belajar

yang khas baik pada hewan maupun pada manusia disifatkan sebagai trial and

error atau learning by selecting and connecting. Keduanya dihadapkan pada

situasi yang mengandung problem untuk dipecahkan. Dalam eksperimen

inilah, Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah

dorongan (motivasi), hadiah (ganjaran, reward), dan hukuman (punishment).1

Punishment dalam istilah psikologi terjadi tatkala muncul situasi

deprivation (kehilangan) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan oleh

satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan kelompok lain

yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan oleh kelompok

pertama. Tingkah laku yang salah tersebut bisa berupa pelanggaran aturan,

hukum, undang-undang, perintah atau juga harapan-harapan bersama. Dari

Durkheim (1893), kita bisa memahami bahwa punishment terkadang juga

ditimpakan karena dan oleh individu sendiri tanpa melibatkan orang lain,

seperti bunuh diri atau yang disebut self-punishment. Apabila punishment

secara terminologi sudah disepakati, barangkali reward yang merupakan

lawan kata punishment tidaklah sulit didefinisikan, yaitu satu pemberian

penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi seseorang. Dalam

1 Lihat Sumardi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998),

hlm. 248-249. Istilah punishment dan reward dalam pendidikan Islam bukanlah istilah baru. Tepatnya, keduanya berasal dari pembahasan reinforcement yang diperkenalkan oleh Thorndike. Dari tokoh ini dapat dipahami bahwa dengan adanya reinforcement tingkah laku atau perbuatan individu semakin menguat, sebaliknya dengan absennya reinforcement, tingkah lakunya semakin lemah. Lihat Abdurrahman Mas’ud, Reward dan Punishment dalam Pendidikan Islam, Media, Edisi 28/th. VI /Nov. /1997, hlm. 23.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

2

dunia pendidikan, dua definisi di atas dapat difahami dan diterapkan tapi harus

selalu dengan tujuan dan cara-cara edukatif, paedagogis, atau mendidik.2

Dari segi perkembangan kesadaran moral pada anak, dalam

preconventional level, dalam tarap ini, seseorang memiliki responsif terhadap

aturan-aturan dan cap “baik” dan “buruk”. Hanya saja cap-cap itu

diinterpretasikan secara fisis dan hedonisti (berdasarkan enak atau tidak enak),

kalau jahat, dihukum; kalau baik diberi hadiah. Pada tarap ini juga

menafsirkan baik-baik dari segi kekuasaan fisis dari pengasal peraturan.3

Tarap ini menunjukkan ternyata rasa takut terhadap hukuman dan rasa

senang terhadap hadiah dapat menjadi sebuah orientasi, sehingga pada

gilirannya menumbuhkan kesadaran moral. Walaupun masih dalam tarap yang

paling rendah, preconventional, setidaknya dari sini adanya sinyalemen peran

yang ditimbulkan oleh hukuman dan hadiah terhadap tingkah laku.

Al-Ghazali menganjurkan siasat ganjaran dan hukuman dalam

merangsang anak untuk berbuat baik dan memperbaiki akhlak yang buruk.4

Karena anak selaku si terdidik adalah individu yang belum dewasa, tingkat

kesadarannya masih kurang, sehingga perilakunya seringkali berorientasi pada

sesuatu hal, belum memiliki perilaku otonom. Sebisa mungkin ia berusaha

untuk mendapatkan hadiah yang dirasakan lebih menyenangkan dan menjauhi

hukuman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan.

Dengan demikian ada indikasi yang ditimbulkan oleh reward dan

punishment terhadap penguatan tingkah laku, maka ketika keduanya dijadikan

sebagai suatu siasat, cara, metode, dalam pendidikan akhlak sangatlah relevan.

Dimana pendidikan akhlak adalah suatu usaha untuk pengembangan dan

penanaman nilai-nilai luhur yang mengandung unsur kebaikan.

Dalam kasus sederhana, dalam lingkungan keluarga, orang tua sering

memberikan motivasi berupa imbalan kepada anaknya yang berprestasi.

2 Abdurrahman Mas’ud, loc. cit. 3 Ronald Duska dan Mariellen Whelan, Perkembangan Moral, terj. Dwija Atmaka,

(Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 60. 4 Zainuddin, et. al., Seluk Beluk Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),

hlm. 85-86.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

3

Sebaliknya tidak jarang menggunakan tindakan yang bersifat fisik, seperti

menjewer kuping si anak, ketika ia berbuat kesalahan.

Mengenai konsep reward dan punishment bukanlah istilah asing lagi

dalam pendidikan Islam. Ibn Miskawaih seorang tokoh ulama klasik, yang

hidup pada rentang masa kemunduran dinasti Abbasyiah, sangat respek

terhadap pendidikan akhlak. Dalam karyanya Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-

Araq, beliau menyajikan sebuah bab yang berjudul fi Tahzib al-Ahdats wa al-

Shibyan Hasanah, yang di dalamnya secara eksplisit memasukkan hadiah dan

hukuman dalam rangka mendidik anak.

Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

hidup pada abad 20 dari Halab, buah pemikirannya sangat luas, tidak terbatas

dalam bidang pendidikan dan pengajaran, tetapi juga dalam bidang lain seperti

hukum dan fiqh.5 Pemikirannya yang disajikan via buku Tarbiyah al-Aulad fi

al-Islam, merupakan sumbangan yang amat berharga bagi dunia pendidikan

khususnya pendidikan Islam. Dalam buku ini pula, beliau mengupas tentang

hadiah dan hukuman dalam bab metode pendidikan dan teknik pendidikan.

Berangkat dari dua karya tokoh ini, penulis menganggap perlu adanya

penelaahan terhadap pemikiran keduanya tentang reward dan punishment,

yang selanjutnya mencari titik temu dan persimpangannya. Kemudian dari

kedua tokoh tersebut menunjukkan adanya indikasi terhadap perkembangan

kesadaran moral, pada gilirannya reward dan punishment sangat layak

dijadikan sebagai suatu metode pendidikan akhlak.

Secara fungsional, kedudukan metode dalam pengajaran menunjang

kelancaran dan keberhasilan.6 Pengajaran merupakan suatu sub kecil dari

5 Raharjo, “Dr. Abdullah Nashih Ulwan Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang

pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 53.

6 Zakiah Darajat juga memformulasikan didaktik dan metodik. Ibaratnya didaktik itu bergerak dalam lingkaran penghidangan bahan pelajaran sewaktu pelajaran sedang berlangsung, sedangkan metodik bergerak di dalam lingkaran penyediaan jalan atau siasat yang akan ditempuh. Lihat Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agana Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) hlm. 1-2.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

4

pendidikan, pengajaran menekankan pada transfer of knowledge semata .7

Berbeda dengan pendidikan yang lebih mengejawatkan unsur-unsur

pembinaan, pembimbingan, pemeliharaan, dan pengembangan, dengan kata

lain memfokuskan kepada nilai tidak hanya ilmu pengetahuan an sich.

Akan tetapi, semakin banyak ilmu pengetahuan dimiliki oleh

seseorang, akan berimplikasi kepada kemantapan keberagamaannya. Hal ini

tidak bertentangannya ilmu pengetahuan dengan akhlak dalam satu jalan dan

satu tujuan.8 Seperti apa yang dikatakan oleh William James: “selama manusia

masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama

(berhubungan dengan Tuhan)”. Senada dengan yang dikatakan oleh Murtadha

Muthahari: “ilmu mempercepat anda sampai tujuan, agama menentukan arah

yang dituju”.9

Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah pengembangan kepribadian

menuju manusia paripurna yang memiliki akhlak yang mulia untuk

kebahagiaan di dunia dan akhirat, seperti yang telah dijanjikan oleh agama.

Sehingga dengan kata lain, pendidikan menumbuhkan peningkatan mutu

keberagamaan.

Di sisi lain, pendidikan akhlak memiliki peran besar terhadap

peradaban manusia. Membangun suatu kebudayaan dan peradaban akan

melestarikan atau mengharmonisasikan masyarakat itu sendiri. Namun

individu-individu penyusunnya tidak akan mampu mewujudkan semua

kebudayaan itu, tanpa diimbangi dengan pendidikan. Kalau mengambil ikhtiar

melalui pendidikan akhlak, maka akan membentuk dan mempertahankan

kepribadian yang dinamis. Kekuatan ini mengarahkan manusia untuk bangkit

7 Bandingkan dengan konsep ta’lim pada (QS. 1: 30) dan (QS. 96: 5), kedua ayat ini

mengindikasikan proses pengajaran kepada manusia sekaligus menunjukkan kelebihannya karena ilmu yang dimilikinya yang tidak diberikan Allah kepada makhluk lain. Berdasarkannya pula, lafal ta’lim (dari terma allama) itu condong pada aspek pemberian informasi atau ilmu pengetahuan. Lihat Musthofa Rahman, “Pendidikan Islam dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam Ismail SM. (eds.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 59-60.

8 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 153. 9 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 376-377.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

5

dan bersemangat dalam membangun kebaikan serta menjadikannya sebagai

ajang perlombaan.10

Peran pendidikan akhlak dalam memajukan peradaban dan kebudayaan

berupa penghiasan jiwa individu-individu (dalam wujud kebaikan) memotivasi

individu tersebut untuk mengaktualisasikan segenap potensinya dalam bentuk

inovasi-inovasi baru. Inovasi ini, selain untuk dimanfaatkan dalam kehidupan

sehari-hari, juga ditujukan untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan.11

Imam Mawardi berkata mengenai masalah ketidakadilan12 yang

merusak kehidupan manusia. “Tiada sesuatu hal yang lebih cepat dapat

menghancurkan dunia dan sangat merusak perasaan jiwa mahluk, selain

kelaliman”. Pendapat ini diamini oleh Qastaf Labun bahwa sebab-sebab

keruntuhan suatu bangsa pada dasarnya disebabkan oleh kerusakan akhlak.13

Dengan demikian dapat difahami secara mendasar bahwa dekadensi moral

akan menghancurkan kebudayaan dan peradaban manusia. Oleh karena itu,

pendidikan akhlak mempunyai peran besar dalam penegakan dan

pengembangan kebudayaan dan peradaban manusia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan realitas-realitas dalam latar belakang masalah yang telah

dikemukakan, penulis melihat adanya gejala-gejala yang menarik untuk

dicermati lebih mendalam. Sebenarnya banyak sekali celah dari sana yang

mengandung permasalahan yang beragam dan kompleks.

10 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral: Aspek Pendidikan yang Terlupakan, terj. Yusuf

Maulana, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2003), hlm. 99-100. 11 Ibid..., hlm. 77. 12 Menegakkan keadilan merupakan bagian dari akhlak yang mulia dan akhlak mulia

sendiri merupakan bagian dari amal saleh. Yang disebut terakhir ini membawa menuju ke kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Ini karena amal saleh atau tindakan manusia yang baik itu serasi dengan keseluruhan lingkungan baik di dunia maupun di akhiratnya. Dalam keserasian dunia itu diliputi pula oleh keserasian dunia lingkungan alam dan sosial sesama manusia. Dalam rangka keserasian sosial itulah cita-cita keadilan sosial berada. Kehidupan yang saleh atau serasi antara manusia itu ialah kehidupan yang diliputi oleh kedamaian, kesejahteraan, kesehatan, dan semacamnya. Dengan kata lain, kehidupan yang diliputi oleh salam, suatu kata Arab yang juga satu akar kata Islam. Pengertian kata ini meliputi keseluruhan pengertian tentang nilai-nilai hidup yang tinggi dan mulia. Lebih lanjut lihat Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, (Jakarta: KPP Kelompok Paramadina, 2004), hlm. 84.

13 Miqdad Yaljan, op. cit., hlm. 75-76.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

6

Akan tetapi, karena keterbatasan waktu dan cakrawala pengetahuan

yang dimiliki, penulis merasa perlu membatasinya agar pembahasan skripsi ini

tidak mengalami perluasan dan melebar dari arah permasalahan yang akan

dicari pemecahannya. Oleh karena itu, stressing masalah dianggap perlu, agar

pembahasan lebih cermat dan terarah.

Secara spesifik, skripsi ini memfokuskan permasalahan kepada:

1. Bagaimanakah konsep reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan

Abdullah Nashih Ulwan serta adakah persamaan dan perbedaan?

2. Bagaimanakah konsep reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan

Abdullah Nashih Ulwan sebagai metode pendidikan akhlak?

C. Penegasan Istilah

Ada beberapa istilah yang terdapat dalam judul penelitian ini, yang

perlu diadakan pemaparan untuk ketegasan apa sebenarnya yang dimaksud

oleh penulis dengan istilah-istilah tersebut. Hal ini agar tidak terjadi bias dan

absurditas makna.

Diantara istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reward dan Punishment

Reward merupakan noun (kata benda) yang berasal dari bahasa

Inggris, berarti tanda jasa, penghargaan.14 Dalam kamus besar bahasa

Indonesia, padanan kata reward semakna dengan hadiah, yang berarti

pemberian, ganjaran.15

Merunut pengertian tersebut, menurut penulis reward berhubungan

dengan pendidikan, sesuatu pemberian penghargaan yang dirasakan

menyenangkan dan memuaskan bagi si terdidik, Karena prestasi atau

14 Peter Salim, Salim’s Ninth Collegiate English Indonesia Dictionary, (Jakarta: Modern

English Press, 2000), hlm. 1265 15 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Ed. 2,

Cet. 4, hlm. 333. Merupakan sesuatu yang memuaskan diberikan atau diperoleh untuk suatu perilaku. Dalam pendidikan ganjaran digunakan sebagai alat didik untuk meneguhkan perilaku-perilaku yang dikembangkan pada seorang anak didik oleh pendidik atau pengasuhnya. Ganjaran biasanya digunakan sebagai suatu sistem bersama-sama dengan hukuman. Ganjaran dapat berupa bermacam-macam, umpamanya kedudukan tinggi dalam suatu struktur kekuasaan, pandangan, dan penilaian positif lingkungan terhadap diri. Lihat Anton M. Moeliono (eds.), Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, (Jakarta: Delta Pamungkas, 1997), Cet. III, hlm. 53.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

7

perilaku yang sesuai dengan yang diinginkan. Adapun bentuk dan

macamnya sangat luas dan fleksibel, bisa berupa benda, verbal, atau yang

lainnya.

Punishment sebagai lawan katanya juga berbentuk noun, yang

berasal dari bahasa Inggris, berarti hukuman.16 Punishment merupakan hal

yang tidak menyenangkan diberikan karena tindakan atau perilaku yang

menyimpang atau tidak diterima adanya pada anak didik, bentuk dan

macamnya bermacam-macam pula.

Prospek tentang reward dan punishment ini hanya timbul bila anak

dituntut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perilaku

tertentu yang berbeda dengan keinginannya pada saat tersebut.

2. Perspektif

Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan perspektif dengan

“sudut pandangan”,17 karena penelitian ini menelaah dua tokoh, yaitu Ibn

Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan, maka perspektif yang dimaksud di

sisi adalah pandangan, pemikiran kedua tokoh tersebut, dalam hal ini

mengenai reward dan punishment.

3. Klasik dan Kontemporer

Merujuk pada pembagian zaman Islam yang dikemukakan oleh

Harun Nasution, terbagi pada sejarah periode klasik, pertengahan, dan

periode modern. Periode klasik sendiri terbagi dalam masa kemajuan Islam

I dan masa disintegrasi. Masa kemajuan Islam I dimulai pada tahun 650-

1000 M. dan masa disintegrasi dari tahun 1000-1250 M. pada periode ini,

selain terjadi perluasan kekuasaan, banyak sekali Islam menelurkan tokoh-

tokoh ilmuan bukan hanya dalam bidang agama semata.18 Diantaranya al-

16 Peter Salim, op. cit., hlm. 1178. Merupakan hal yang tidak menyenangkan yang

diberikan atau diperoleh untuk suatu perilaku. Bila perilaku yang terjadi adalah yang tidak diharapkan atau diinginkan adanya pada anak didik, hukuman diberikan. Lihat Anton M. Moeliono (eds.), op. cit., hlm. 489.

17 Tim Penyusun, op. cit., hlm. 679. 18 Lebih lanjut lihat Harun Nasution, ISLAM: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I,

(Jakarta: UI Press, 1985), Cet. 5, hlm. 56-79.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

8

Farabi, al-Raji, Ibn Sina, Ibn Bajjah, dan tokoh-tokoh lain termasuk Ibn

Miskawaih yang hidu pada rentang tahun 940-1030 M.

Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan

Khulafaur Rasyidin hingga awal imperialisme Barat. Rentang waktu

tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Umayah, zaman keemasan Islam

dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga ke awal abad 19.19

pada masa ini banyak sekali karya-karya klasik pendidikan Islam, semua

sumbernya dari bahasa Arab dan Persia. Sejarah menunjukan bahwa

perkembangan kegiatan pendidikan pada masa klasik Islam telah membawa

Islam sebagai jembatan pengembangan keilmuan dari keilmuan klasik ke

keilmuan modern.

Adapun kontemporer, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

berarti “pada waktu yang sama”, “semasa”, “sewaktu”, “pada masa kini”,

“dewasa ini”.20

Menurut harun Nasution periode modern dimulai pada tahun 1800

M. merupakan zaman kebangkitan Islam kembali. Berbeda dengan periode

klasik, kontak yang terjadi antara Islam dan Barat, pada masa ini Islam

sedang menaik sedangkan Barat dalam kegelapan. Sebaliknya pada periode

modern, Islam yang ingin belajar dari Barat. Selanjutnya timbullah

pemikir-pemikir dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam.21

Hal ini ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh pembaharuan dalam

Islam baik di kawasan Asia, Timur Tengah, maupun Afrika. Mukti Ali

dalam bukunya yang berjudul Alam Pikiran Islam Modern menyebutkan

beberapa tokoh termasuk Muhammad Ibn Abdul Wahab (1703-1791 M.),

Muhammad Ibn Ali as-Sanusi (1787-1859 M.), Midhat Pasya (1822-1883

M.), Khairuddin Pasya al-Tunisi (1810-1879 M.), Ali Pasya Mubarak

(1823-1893 M.), Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M.), Abdullah Nadim

Pasya (1845-1896 M.), Abdurrahman al-Kawakibi (1848-1903 M.),

19 Jalaluddin dan Utsman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 1999), hlm. 125. 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 522. 21 Lebih lanjut lihat Harun Nasution, op. cit., hlm. 88-89.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

9

Muhammad Abduh (1849-1905 M.). Abdullah Nashih Ulwan, seorang

pemikir Islam pada abad 20, tepatnya lahir pada tahun 1928 M. buah

karyanya sangat luas, tidak hanya terbatas pada bidang agama, akan tetapi

juga dalam bidang-bidang lain, salah satunya bidang pendidikan.

Dengan demikian klasik dan kontemporer ini berkaitan dengan

pengsekatan waktu atau masa, serta periode, dimana Ibn Miskawaih

dilahirkan pada periode klasik, sedangkan Abdullah Nashih Ulwan

dilahirkan pada periode modern atau kontemporer.

4. Metode

Metode berasal dari bahasa Yunani metodos, yang berarti “cara”

atau “jalan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa

metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan

kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.22

Mahmud Yunus, yang dikutip oleh Armai Arief, mengatakan

metode adalah jalan yang hendak ditempuh oleh seseorang supaya sampai

kepada tujuan tertentu, baik dalam lingkungan perusahaan atau perniagaan,

maupun dalam kupasan ilmu pengetahuan dan yang lainnya.23

5. Pendidikan Akhlak

Akhlak adalah budi pekerti, watak kesusilaan (kesadaran etika dan

moral) yaitu kelakuan yang baik yang merupakan refleksi dari sikap jiwa

yang benar terhadap Tuhan dan sesama manusia.24

Menurut Ulwan, pendidikan akhlak adalah serangkaian prinsip

moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan

dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga ia menjadi

seorang mukallaf yakni siap mengarungi lautan kehidupan.

22 Tim Penyusun, op. cit., hlm. 652-653. 23 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat

Press, 2002), Cet. 1, hlm. 87. 24 Soegarda P dan H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981),

hlm. 12.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

10

Pendidikan terkait dengan menghilangkan moral tercela dan

menghiasi dengan akhlak terpuji.25 Dengan demikian, pendidikan akhlak

merupakan serangkaian usaha untuk menanamkan akhlak tepuji, agar si

terdidik bisa mengaktualisasikan dirinya mengahadapi masa depan. Yang

harus difahami bahwa pendidikan akhlak adalah bukan sekedar mengetahui

tentang akhlak, karena mengetahui akhlak tidak hanya menanamkan

seseorang itu berakhlak. Mengetahui berakhlak hanyalah salah satu aspek

dari akhlak itu sendiri, yakni aspek kognitif. Namun lebih dari itu, aspek

afektif dan psikomotor juga tidak kalah penting.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sudah hal yang lumrah, dalam tindakan mesti ada motif yang melatar

belakanginya. Begitu pula dengan penelitian yang sangat sederhana ini,

setidaknya ada tujuan yang dijadikan sebagai background.

Sebenarnya dengan melihat permasalahan yang telah dijelaskan, tujuan

penelitian ini sudah dapat diprediksi. Namun, sesuatu yang bersifat prediktif,

kiranya hanya sesuatu yang samar, perlu penjabaran agar lebih jelas.

Setidaknya tujuan penelitian ini meliputi:

1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai konsep reward

dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan serta

mengetahui persamaan dan perbedaannya.

2. Untuk mengetahui reward dan punishment sebagai metode pendidikan

akhlak.

Berangkat dari ketiga tujuan tersebut dan keyakinan bahwa segala

sesuatu memiliki manfaat di dalamnya. Dan merupakan harapan penulis

semoga penelitian ini mempunyai nilai guna dan bermanfaat terutama sebagai

berikut:

a. Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih yang berharga bagi literatur

ilmu pengetahuan, terutama di bidang pendidikan.

25 Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz II, (Beirut: Masyahadul Husaini, t. th.), hlm. 34.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

11

b. Memecahkan masalah terkait dengan pendidikan Islam terutama mengenai

konsep metode pendidikan akhlak.

c. Menambah pemahaman, terutama bagi mereka yang mempunyai perhatian

besar terhadap pendidikan akhlak.

E. Tinjauan Pustaka

Mengenai reward dan punishment banyak sekali dokumen datanya,

baik berupa teks-teks dalam bentuk buku, artikel, dan lainnya. Berkaitan

dengan penelitian ini, mengenai studi tentang kedua tokoh ini dan pembahasan

tentang reward dan punishment sudah banyak dilakukan, diantaranya sebagai

berikut:

1. Pemikiran Ibn Miskawaih mengenai pendidikan sangat menarik untuk

diteliti. Diantaranya banyak sekali yang sudah menelitinya, salah satunya

adalah Maemonah dalam tesisnya yang berjudul Reward dan Punishment

Sebagai Metode Pendidikan Anak Menurut Ulama Klasik: Studi Pemikiran

Ibn Miskawaih, al-Ghazali, dan al-Zarnuji.

Anak sejak awal pertumbuhannya telah mengenal dan mampu

membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, kebanyakan

buruk, ini dikarenakan lebih banyak hal-hal yang buruk terjadi di depan

mata mereka, di sisi lain imitasi yang menjadi “ruh” mereka dalam

bertindak ikut seakan memberi jalan. Ini dikarenakan mereka belum

memiliki sifat, kepribadian, pengetahuan, lengkap dan memadai seperti

orang dewasa. Oleh karena itu, mereka masih memerlukan arahan dan

bimbingan.

Pada prinsipnya, Ibn Miskawaih dalam menerapkan ganjaran dan

hukuman selalu memperhatikan bagaimana kondisi anak pada saat itu, yang

masih sangat polos. Oleh karena itu, harus selalu mengedepankan kasih

sayang dan lemah lembut serta menghindari ejekan dan celaan langsung.

Ganjaran bisa berupa pujian dan pemberian rasa hormat, agar anak

termotivasi dan berperilaku.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

12

Dalam menghadapi kesalahan anak sekiranya pendidik

memposisikan sebagai seorang dokter. Pertama mendiagnosis sebab-sebab

kesalahan tersebut, selanjutnya memberikan resep dimulai dari yang lunak

sampai terakhir paling keras.

2. Kajian komprehensif tentang penelitian terhadap Abdullah Nashih Ulwan,

sudah dilakukan oleh Ahmad Muzani dalam tesisnya dengan judul Metode

Pendidikan Anak dalam Islam Menurut Abdullah Nashih Ulwan dalam

Kitab Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam.

Dalam analisisnya (bab IV), dia mengomentari dan mengkritisi

semua metode yang dikeluarkan oleh Ulwan, salah satunya mengenai

hukuman.

Metode ini, sekiranya harus tetap dicantumkan, jika metode

keteladanan, pembiasan, nasehat, dan pengawasan tidak mampu, maka pada

saat itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di

tempat yang benar. Tindakan tegas itulah yang dinamakan dengan

hukuman.

Dengan demikian hukuman menjadi metode alternatif, ketika

metode-metode yang lain tidak sanggup lagi mengubah perilaku buruk,

menyimpang anak didik. Sebisa mungkin pendidik menghindari metode ini,

atau pun memang harus diberikan harus tetap dengan prinsip-prinsipnya.

3. Abdurrahman Mas’ud, dalam artikel yang berjudul Reward dan

Punishment dalam Pendidikan Islam, menurutnya reward dan punishment

dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan

pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang bertakwa selalu menjadi salah

satu kunci dalam rumusan tujuan pendidikan Islam. Karena pada dasarnya

pendidikan adalah proses menuju kesempurnaan individu, maka

memasukkan kata kamil sesungguhnya juga tidak kalah penting.

Muhammad saw. sebagai insan kamil dan sekaligus sebagai model

paripurna telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan demikian sikap-sikap

Nabi, dan cara-cara beliau dalam mendidik umat Islam merupakan rujukan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

13

penting setelah al-Qur’an. Muhammad saw. adalah insan al-kamil,

sekaligus guru terbaik, Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi juga

menunjukkan jalan. Kehidupannya demikian memikat dan memberikan

inspirasi sehingga manusia mentransfer nilai-nilai luhur darinya hingga

menjadi manusia-manusia baru. Sejarah kehidupannya yang ditulis oleh

para sejarawan sejak abad 8 seperti Ibn Ishaq sangat mempesona,

menggema, dan aktual hingga kini. Karena itu setiap muslim selama ini

senantiasa mengakrabinya dan menjadikannya sebagai a beloved role

model.

F. Metode Penelitian

Dalam perspektif paradigma yang dianut, penelitian dibagi menjadi

dua macam, yaitu penelitian kuantitatif dan kualitatif. Yang disebutkan

terakhir, pada dasarnya mengacu pada context of discovery, karena kerja

penelitian ini mengharapkan penemuan sesuatu melalui kerangka berfikir

induktif. Berkaitan dengan penelitian yang diajukan oleh penulis, perlu

dijabarkan beberapa hal mengenai signifikasi metode penelitian yang

digunakan. Karena pemilihan metode yang tepat dapat menjadi jaminan

kevalidan suatu penelitian.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi tokoh, karena perlu mengetahui

kehidupan Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan dalam hubungannya

dengan masyarakat, sifat watak, serta implikasi internal dan eksternal yang

membentuk pemikirannya.26 Hal ini juga untuk mengungkap konsep

reward dan punishment dari kedua tokoh tersebut.

2. Jenis Pendekatan

Penggunaan pendekatan sosio-historis sangat berguna untuk

memeriksa secara kritis peristiwa, latar belakang eksternal yaitu keadaan

khusus masa yang dialami subyek dan latar belakang internal yaitu biografi,

26 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Dalia Indonesia, 1990), hlm. 62.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

14

pengaruh-pengaruh (khususnya tradisi intelektual) yang diterima,

selanjutnya ditindaklanjuti dengan mengadakan interpretasi terhadap

sumber-sumber informasi yang didapatkan terutama mengenai kedua tokoh

tersebut.27 Sehingga mempermudah untuk menganalisis secara kritis

terhadap pemikiran Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan mengenai

reward dan punishment.

Di sisi lain, penulis juga menggunakan pendekatan

fenomenologis,28 dengan memposisikan dalam tempat khusus kemampuan

manusia untuk berfikir reflektif dan deduktif, serta logika materiil dan

probabilistik (mengamati kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada

masa hidup kedua tokoh tersebut). Pendekatan ini juga mengangkat makna

etika dalam berteori dan berkonsep.29 Obyek ilmunya tidak terbatas pada

yang empirik (sensual), akan tetapi mencakup fenomena yang tidak lain

dari pada konsepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang

sesuatu di luarnya, transenden, di samping aposteriorik.30

Untuk mendapatkan natijah, kesimpulan yang akurat, maka akan

digunakan kerangka berfikir deduktif, suatu pola pemahaman yang dimulai

dengan mengambil kaidah-kaidah umum untuk mendapatkan kesimpulan

berupa pengetahuan yang bersifat khusus. Serta alur pemikiran induktif,

suatu pemikiran yang berawal dari pengambilan kasus-kasus khusus dalam

27 Lihat Komarudin, Metodologi Research I, Jilid. 1, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990),

hlm. 9. Baca juga Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian Ilmiyah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 94.

28 Fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl, Alfred Schultz, dan Weber yang memberi tekanan pada Verstehen yaitu pengertian interpretative terhadap pemahaman manusia. Fenomenologis tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti (dalam hal ini Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan). Yang ditekankan adalah aspek subyektif dari perilaku keduanya, dan berusaha masuk dalam dunia konseptual, sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti apa dan bagaimana suatu pengertian itu dikembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan demikian, ada kepercayaan bahwa pada mahluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. 17, hlm. 9.

29 H. Noeng Muhdjir, Metode Penelitian Kualitatif, Ed. III, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), hlm. 84.

30 Ibid., Ed. II, 1992, hlm. 24.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

15

permasalahan yang ada untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat

umum.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam rangka membahas dan memecahkan permasalahan yang ada

dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode library research,

dengan jalan mengumpulkan dokumen-dokumen, teks, dan data yang

relevan dengan permasalahan tersebut.31 Menjadikan pustaka sebagai

sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori dan konsep

yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu mengikuti perkembangan

penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas

mengenai topik yang dipilih, dan memanfaatkan data skunder serta

menghindari duplikasi penelitian.32 Kemudian di telaah dan dikritisi, serta

mengadakan interpretasi secara cermat dan mendalam.

Secara garis besar data tersebut terbagi dua macam, sebagai berikut:

a. Data Primer

Data ini merupakan data utama yaitu berupa karya-karya yang

dikarang oleh kedua tokoh tersebut. Diantaranya buku Tahzib al-Akhlaq

karya Ibn Miskawaih dan Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam karya Abdullah

Nashih Ulwan.

b. Data Skunder

Data ini berupa buku-buku, artikel, dan naskah yang bukan karya

Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan, akan tetapi berisi tentang

hal-hal yang dengan permasalahan yang diajukkan oleh penulis. Serta

secara fungsional berguna untuk menunjang kelengkapan data primer.

4. Metode Analisis Data

31 Sutrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 9. 32 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3S,

1988), hlm. 70.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

16

Usaha terakhir yang dilakukan setelah pengumpulan data adalah

menganalisisnya. Dalam rangka memecahkan permasalahan dan untuk

ketepatan dalam menganalisis, penulis menggunakan metode-metode

tertentu. Di antaranya ada beberapa metode analisis yang digunakan, yaitu:

a. Descriptive Analysis

Metode ini berusaha untuk mendeskripsikan fenomena yang

diselidiki dengan cara melukiskan dan mengklasifikasikan fakta atau

karakteristik fenomena tersebut secara faktual dan cermat. Hal ini bias

mengenai kondisi, pendapat, proses, akibat atau efek yang terjadi atau

kecenderungan baik berkenaan dengan masa kini atau juga

memperhitungkan peristiwa masa lampau dan pengaruhnya terhadap

kondisi masa kini. Penelitian ini digunakan untuk menjawab pertanyaan

tentang apa atau bagaimana keadaan sesuatu (fenomena, kejadian

tersebut) dan melaporkan sebagaimana adanya. Karena sifatnya alamiah,

deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji teori hingga tidak ada

manipulasi perlakuan terhadap subjek maupun variabel.33

Data yang diperoleh tidak dituangkan dalam bentuk angka

statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif yang memiliki arti

lebih kaya daripada sekedar angka atau frekuensi. Penulis segera

melakukan analisis data dengan memberikan pemaparan gambaran

mengenai situasi yang diteliti dalam bentuk uraian naratif. Hakikat

pemaparan adalah seperti orang merajuk, setiap bagian ditelaah satu

persatu dengan menjawab pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana

suatu fenomena itu terjadi dalam konteks lingkungannya. Subjektivitas

penulis dalam membuat interpretasi dapat dihindari.

33 Lihat Ibnu Hadjar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan,

(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. 2, hlm. 274. dan John W. Best, Metodologi Penelitian dan Pendidikan, dalam Sanapiah Faisal dan Mulyadi Guntur Waseso, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 119. Kebanyakan metode ini digunakan dalam ilmu-ilmu tingkah laku, behavioural sciences, karena berbagai bentuk tingkah laku yang menjadi pusat perhatian peneliti tidak dapat sengaja “diatur” dalam latar, setting realistis.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

17

Kaitannya dengan penelitian ini, metode ini dipakai dalam

pengertian umum segi teknik untuk mendeskripsikan konsep reward dan

punishmet menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan, serta

kedudukannya sebagai metode pendidikan akhlak.

b. Content Analysis

Merujuk pengertian yang diuraikan oleh Paulin V. Young

merumuskan “content analysis is a research technique for the

systematic, objective, and quantitative, schedules, and other linguistic

axpressions, writen or oral”.34 Berangkat dari definisi ini, kegunaan

content analysis untuk keperluan mendeskripsikan secara objektif,

sistematis tentang isi dan manifestasi konsep reward dan punishment

menurut Ibn Miskawaih dan Abdullah Nashih Ulwan.

c. Historical Analysis

Metode historis dalam penelitian adalah prosedur pemecahan

dengan mempergunakan data atau informasi masa lalu yang bernilai

sebagai peninggalan. Dengan metode ini dapat diungkapkan kejadian

atau keadaan sesuatu yang terjadi di masa lalu terlepas dari keadaan pada

masa sekarang. Di samping itu, dapat pula diungkapkan kondisi sesuatu

pada masa sekarang dihubungkan dengan peristiwa yang berkenaan

dengan masa lampau.35 Kegunaannya dalam penelitian ini menjadi

jembatan untuk menganalisis data yang bermuatan sejarah.

d. Comparative Analysis

Penulis juga menggunakan Comparative Analysis, Menurut

Aswarni Sudjud, penelitian komparasi akan dapat menentukan

persamaan dan perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide,

34 Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan,

(Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 12-13. 35 H. Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,

1996), hlm. 214.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

18

kritik terhadap orang, kelompok, atau membandingkan kesamaan dan

perubahan-perubahan pandangan orang, group atau negara, terhadap

kasus, orang, peristiwa, ataupun ide. Senada dengan Van Dalen yang

mengatakan bahwa penelitian komparasi adalah suatu penelitian yang

ingin membandingkan dua atau tiga kejadian dengan melihat penyebab-

penyebabnya.36

Analisis ini berguna untuk membandingkan, dan menemukan

persamaan dan perbedaan pemikiran Ibn Miskawaih dan Abdullah

Nashih Ulwan mengenai reward dan punishment.

G. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memudahkan dalam penyusunan penulisan skripsi ini, penulis

membaginya dalam lima bab dengan beberapa pokok dan sub pokok bahasan.

Pada bagian muka berisi data akademik dan data pribadi penulis. Secara

terperinci memuat halaman sampul, halaman judul, persetujuan pembimbing,

pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi, deklarasi dan

abstrak.

Adapun bab-bab yang menguraikan isi garis besar penelitian ini

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini dijelaskan mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan signifikasi penelitian. Yang isinya terdiri dari

latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah,

manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,

sistematika penulisan skripsi.

BAB II Menguraikan mengenai landasan teori, diantaranya reward dan

punishment, metode pendidikan akhlak, dan beberapa hal yang

berhubungan dengan keduanya serta pandangan Islam mengenai

reward dan punishment.

36 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1998), hlm. 241-248.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1... · Di lain pihak, Abdullah Nashih Ulwan, seorang ulama kontemporer,

19

BAB III Mengilustrasikan secara singkat biografi, latar belakang pemikiran,

dan karya-karya Ibn Miskawaih dan abdullah Nashih Ulwan. Serta

mengungkap konsep reward dan punishment menurut kedua tokoh

ulama tersebut.

BAB IV Menganalisis reward dan punishment menurut Ibn Miskawaih dan

Abdullah Nashih Ulwan sebagai metode pendidikan akhlak. Dalam

bab ini diuraikan persamaan dan perbedaan konsep reward dan

punishment menurut kedunya, serta reward dan punishment dalam

pendidikan Islam dan pembentukan akhlak.

BAB V Berisi penutup, yang medeskripsikan kesimpulan dari penelitian

yang telah dilakukan. Dalam bab ini juga tercantum kritik dan

saran yang muncul setelah penelitian dilakukan, serta penutup

sebagai kata terakhir dari penelitian ini.