bab i pendahuluan 1.1 latar belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/bab i.pdf · perempuan) merupakan...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan Sosial merupakan suatu kehidupan yang didalamnya terdapat unsur-unsur sosial kemasyarakatan. Sebuah kehidupan disebut sebagai kehidupan sosial jika di sana ada interaksi antara individu satu dengan individu yang lainnya, dan terjadi komunikasi yang kemudian berkembang menjadi saling membutuhkan kepada sesama. Realita kehidupan sosial dilapangan sangat erat kaitannya dengan bagaimana bentuk kehidupan itu berjalan di dalam masyarakat (Darman. 2015:46). Kehidupan sosial pada masyarakat Jawa identik dengan sopan santun, tindakan orang Jawa selalu berpegang pada filsafat hidupnya yang religius dan mistis serta pada etika hidup yang menjunjung tinggi nilai moral dan derajat hidup. Pandangan hidup masyarakat Jawa adalah selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah, mistis, dan magis yang senantiasa menghormati nenek moyang, leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia. Sehingga masyarakat Jawa menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa pengabdian (Herusatoto. 2001:79). Sopan santun dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa tampak dalam laku utomo, tindakan terpuji yang senantiasa berpedoman pada Hasta Sila, yaitu eling (selalu mengingat Tuhan), pracaya (beriman), mituhu (setia), rila (ikhlas), temen (tepat janji), sabar (tabah), dan budi luhur (menjunjung tinggi nilai moral). Di samping berpedoman pada Hasta Sila, masyarakat Jawa juga

Upload: others

Post on 01-Nov-2019

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehidupan Sosial merupakan suatu kehidupan yang didalamnya

terdapat unsur-unsur sosial kemasyarakatan. Sebuah kehidupan disebut

sebagai kehidupan sosial jika di sana ada interaksi antara individu satu dengan

individu yang lainnya, dan terjadi komunikasi yang kemudian berkembang

menjadi saling membutuhkan kepada sesama. Realita kehidupan sosial

dilapangan sangat erat kaitannya dengan bagaimana bentuk kehidupan itu

berjalan di dalam masyarakat (Darman. 2015:46).

Kehidupan sosial pada masyarakat Jawa identik dengan sopan santun,

tindakan orang Jawa selalu berpegang pada filsafat hidupnya yang religius

dan mistis serta pada etika hidup yang menjunjung tinggi nilai moral dan

derajat hidup. Pandangan hidup masyarakat Jawa adalah selalu

menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah, mistis,

dan magis yang senantiasa menghormati nenek moyang, leluhur serta

kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia. Sehingga masyarakat Jawa

menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa pengabdian (Herusatoto.

2001:79).

Sopan santun dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa tampak dalam

laku utomo, tindakan terpuji yang senantiasa berpedoman pada Hasta Sila,

yaitu eling (selalu mengingat Tuhan), pracaya (beriman), mituhu (setia), rila

(ikhlas), temen (tepat janji), sabar (tabah), dan budi luhur (menjunjung tinggi

nilai moral). Di samping berpedoman pada Hasta Sila, masyarakat Jawa juga

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

2

berpedoman pada ajaran tindakan laku simbolis Asta Brata, yaitu wanita

(kecantikan perempuan), garwa (istri, belahan jiwa/nyawa), wisma (rumah),

turangga (kuda), curiga (keris), kukilo (burung perkutut), waranggono

(sinden/penyanyi), dan pradonggo (penabuh gamelan) serta ajaran Panca

Kreti, yaitu trapsila (tingkah laku), ukara (ucapan), susila (susila), dan karya

(perbuatan) (Herusatoto. 2001:79).

Kehidupan sosial masyarakat Jawa selain itu ada yang bertentangan

dengan laku utomo, seperti masyarakat Jawa yang anomali terhadap agama,

Anomali agama Islam merupakan manusia yang memiliki perilaku

menyimpang dari aturan agama Islam, anomali bisa disebabkan oleh

beberapa kondisi seperti lemahnya iman, kurangnya perhatian kepada

pendidikan agama, maka akhlak pun akan rusak. Selain itu, pengaruh teman

yang buruk dan lingkungan sekitar juga mempengaruhi, bila tak memiliki

adab yang baik, maka seseorang tersebut tidak akan berbeda dengan

lingkungan dimana ia dibesarkan. Lingkungan bagi setiap orang seperti

induknya sendiri, seseorang hanya akan mengikuti dari apa yang dialami dan

dilihat. Seperti perilaku Molimo masyarakat, Molimo adalah singkatan kata

dari perilaku manusia yang anomali terhadap agama, yaitu maling, madon,

maen, mabuk, madat.

Molimo dalam tradisi raja-raja Jawa sebelum masuknya pengaruh

Islam, ada perilaku manjadi simbol penguasa bahkan sebagian perilaku

dijadikan sarana untuk upacara ritual. Seperti Perilaku madon (bermain

perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena

itu, raja-raja Jawa di samping mempunyai seorang permaisuri juga

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

3

mempunyai puluhan garwa selir sebagai simbol keperkasaan sekaligus

sebagai pemuas hati. Main (berjudi), terutama permainan dadu juga menjadi

simbol permainan adu pintar sekaligus sebagai hiburan orang-orang di sekitar

istana. Madat (menghisap candu) dan, Minum (minum arak) sering dijadikan

menu dalam upacara persembahan, yaitu untuk mengantarkan pelaku untuk

mabuk, menghilangkan kesadarannya hingga mencapai puncak ekstase

(Soekmono. 1981: 66).

Masyarakat menilai perilaku Molimo sebagai perilaku yang dilarang

dalam ajaran agama Islam, kesadaran masyarakat tersebut membuat mereka

ingin memperbaiki perilaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Akhirnya

banyak masyarakat masuk dalam pondok pesantren, untuk ingin menjadi

santri dan memperbaiki perilaku. Seperti dalam santri jamaah telulasan,

kebanyakan santrinya adalah bekas Molimo. Mereka sadar bahwa kebiasaan

Molimo yang dilakukan adalah akibat dari anomali agama yang terkait pada

kesadaran subjek yang mampu meredifinisi, akhirnya mereka masuk dalam

jamaah telulasan salah satunya dengan ajakan teman. Para santri ini dibekali

nilai-nilai Islam oleh penanggungjawab jamaah telulasan, dibekali pengertian

dari agama, ngaji dan puasa. Santri bekas molimo sadar bahwa yang mereka

lakukan selama ini adalah hal-hal yang bersifat pada anomali nilai agama

Islam. Kesadaran muncul dari dalam diri santri bekas molimo tersebut untuk

tidak melakukan kehidupan molimo. Sehingga santri bekas molimo ini takut

untuk menjalani kehidupan molimo kembali.

Santri bekas molimo menjauhi kebiasaan molimo karena kesadaran

santri dari pembekalan agama yang dilakukan oleh jamaah telulasan. Jamaah

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

4

telulasan tidak hanya membekali santri bekas molimo tentang agama, selain

itu para santri dibekali tentang cara hidup bermasyarakat melalui kitab

kuning, melalui kitab kuning para santri bekas molimo sering dituntun oleh

penanggungjawab jamaah telulasan untuk berniat menjauhi kehidupan

molimo tersebut.

Santri bekas molimo pada jamaah telulasan melakukan molimo karena

dahulu merasa senang dan pengen mencoba kembali. Kehidupan molimo

dianggap hal yang wajar untuk dilakukan, karena santri tersebut berinteraksi

dalam nilai-nilai yang berbeda dan diluar konteks dalam nilai Islam. Santri

melakukan molimo karena di dorong oleh diri sendiri untuk kepuasaan nafsu,

ekonomi dan ajakan teman. Santri sering melakukan molimo diluar

lingkungan masyarakat mereka sendiri, seperti di tempat diskotik, pinggir

jalan, penginapan dan warung. Karena jika ketahuan orang yang dikenal para

santri merasa malu melakukan hal tersebut, keluarga santi bekas molimo tidak

mengetahui kehidupan molimo yang santri lakukan.

Kumpulan Jamaah Telulasan berada di Desa Ngimbangan Kecamatan

Mojosari Kabupaten Mojokerto, jamaah ini merupakan sebuah kumpulan

orang-orang yang beragama Islam. Dari sejarahnya, sebelum setiap santri

yang tergabung dalam kumpulan Jamaah Telulasan tersebut, masih dalam

kondisi berinteraksi pada nilai-nilai yang berbeda dan dalam kondisi “Buta”

akan ilmu agama Islam. Kehidupan sehari-harinya santri jamaah Telulasan

sebelum masuk dalam kumpulan jamaah telulasan masih diselimuti dan

diwarnai dengan molimo (maling, madon, maen, mabuk, madat). Santri

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

5

banyak yang berlatar belakang kurang baik, seperti bekas narapidana,

preman, pemabuk, maling, pembalap liar, penjudi dan lainnya.

Kumpulan Jamaah Telulasan merupakan salah satu jamaah yang

mensosialisasikan nilai-nilai Islam untuk membentuk karakter yang

Islamisasi. Telulasan diambil dari bahasa Jawa yang artinya tiga belas,

kumpulan jamaah telulasan adalah perkumpulan jamaah yang tidak melihat

golongan kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, laki-laki ataupun

perempuan. Semua berkumpul pada malam jumat di rumah pendiri jamaah

telulasan di desa ngimbangan. Rata-rata anggota jamaah telulasan ini adalah

anak-anak dan remaja, yang menjadi menarik disini adalah rata-rata yang

mengikuti jamaah telulasan berlatarbelakang anomali agama Islam. Seperti

bekas dari pemabuk, maling, pemain judi, balap liar, bahkan ada yang bekas

narapidana.

Gus merupakan panggilan kehormatan bagi anak kiai atau kiai muda,

Ada yang berpendapat Gus itu berasal dari Den Bagus. Gus juga identik

dengan NU. Maklum, Gus adalah sub kultur pesantren, terutama pesantren

Jawa. Di lingkungan pesantren, orang dengan mudah menyebut Gus kepada

seorang yang dihormati. Dan yang dipanggil Gus juga merasa dihargai karena

secara strata sosial panggilan Gus memang lebih tinggi dan mengandung

makna penghormatan, paling tidak secara cultural (Rosihan.2014:2).

Jamaah Telulasan dipimpin oleh seorang Gus, Jamaah telulasan ini

mulai berproses pada tahun 1999, yang dipimpin oleh seorang Gus yang

bernama Gus Abdul Jalil yang biasa disebut dengan Gus Jalil. Nama Jamaah

Telulasan diambil dari cerita nabi Muhammad SAW waktu perang badar,

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

6

karena Nabi Muhammad berangkat perang badar pada tanggal tiga belas. Jadi

Gus Abdul Jalil seolah-olah belajar perang, pada zaman ini yang dimaksud

adalah memerangi hawa nafsu manusia yang tidak mengenal batas. Seperti

manusia yang memiliki sifat anomali agama, mencuri, mabuk-mabukan, main

perempuan, mengkonsumsi narkoba, berjudi dan lainnya. Manusia yang

memiliki sifat seperti itulah yang dicari oleh pemimpin jamaah telusan untuk

dirubah sifatnya.

Gus Jalil selaku pemimpin Jamaah Telulasan mempunyai cara

mengumpulkan orang-orang bekas molimo dengan cara pintu ke pintu atau

secara gerilya. Proses pertama dalam pengumpulan jamaah telulasan adalah

secara gerilya, target pertama adalah orang-orang sudah dikenal dekat, proses

selanjutnya para jamaah yang sudah tergabung dalam jamaah telulasan

mengajak teman-temannya untuk bergabung dalam jamaah telulasan. Sampai

sekarang santri berjumlah kurang lebih tujuh ratus. Cara selanjtnya Gus

Abdul Jalil mengajak para santri bekas molimo tersebut dengan cara

mengajak makan, minum kopi dan merokok, dalam istilah orang Jawa sering

disebut dengan jagongan. Selain makan dan jagongan bersama, dari

perkumpulan tersebut disisipkan nilai-nilai agama oleh gus jalil. Seperti

diajak membaca doa buat sesepuh desa dan saudara-saudara yang telah

meninggal serta tahlil bersama. Seiring dengan perkembangan Jamaah

Telulasan, Gus Jalil selaku Pembina Jamaah Telulasan membekali para santri

melalui dakwah yang disampaikan oleh ahli kitab masing-masing. Kitab-kitab

yang sering digagas dalam dakwah para ahli kitab adalah kitab Al-Hikam,

Kitab Muhtaarul Ahadist Annabawiyyah, Kitab Fikih, dan Kitab Sulam

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

7

Munajah. Kitab-kitab tersebut sudah ada ahli kitab masing-masing dalam

menyampaikan dakwah kepada santri di Jamaah Telulasan. Kitab-kitab

tersebut sering disebut dengan Kitab Kuning, dengan inti pengajaran tentang

akhlak dalam kehidupan sehari-hari dan persatuan persaudaraan.

Biaya dalam pengelolahan jamaah telulasan di tanggung oleh

pemimpin jamaah telulasan sendiri, pemimpin jamaah tersebut berpedoman

pada salah satu ayat allah. Dalam bahasa Jawa dikatakan “Sopo umatku seng

gelem ngramek-ngramekno agomoku, bakal tak rekso uripe lan tak

gampangno urusane”. Artinya dalam bahasa Indonesia “siapa umat Islam

yang mau meramaikan agama allah, pasti hidupnya terayomi dan allah

mudahkan urusannya”. Tujuan diadakan jamaah telulasan adalah menjerat

manusia yang anomali terhadap agama Islam untuk menjadi manusia yang

mampu meredifinisi nilai agama Islam, salah satu untuk mengumpulkan

jamaah dengan cara “loman”, artinya suka memberi dan tidak punya rasa

kekurangan. Loman sebagai kunci utama dalam melancarkan proses

internalisasi nilai islam pada santri bekas molimo agar santri mampu

meredifinisi nilai agama Islam dalam berperilaku.

Seiring dengan perkembangan Islam, maka kondisi saat ini sudah

mulai ada perubahan-perubahan dalam hal munculnya kesadaran

melaksanakan ajaran Agama Islam dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan

adanya kegiatan masyarakat yang bernuansa keagamaan dalam

mengembangkan pendidikan karakter di jamaah telulasan. Penyampaian nilai

agama islam ditekankan pada kewajiban agama umat Islam seperti sholat dan

puasa, serta diberikan pembekalan nilai agama Islam agar santri bekas

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

8

molimo bisa meredifinisi nilai agama Islam dan mampu mengaplikasikan

dalam kehidupan sehari-hari di dalam sistem sosial atau masyarakat. Seperti

ketaatan pada allah swt, kewibawaan, dan sopan santun.

Penelitian lebih memfokuskan pada kehidupan sosial santri bekas

molimo dengan Gus dalam Jamaah Telulasan, peneliti mencoba untul masuk

ke dalam dunia intersubjektif santri bekas molimo dan Gus Jalil selaku pendiri

Jamaah Telulasan. Bagaimana kehidupan sosial santri bekas molimo dengan

stock of knowledge-nya memutuskan untuk merubah dirinya menjadi santri

Jamaah Telulasan dan bertahan menjadi santri di Jamaah Telulasan, serta

bagaimana stock of knowledge dari seorang Gus Jalil yang ingin membentuk

Jamaah Telulasan dan berjuang dalam merubah moral santri bekas molimo

melalui Jamaah Telulasan. Selain itu tidak lupa dalam studi tersebut, peneliti

menggali bagaimana kehidupan sosial santri bekas molimo dalam Jamaah

Telulasan dengan Gus Jalil. Pengalaman-pengalaman hidup santri bekas

molimo sebagai santri, dan pengalaman-pengalaman Gus Jalil sebagai

pemimpin Jamaah Telulasan, hal tersebut sangat penting untuk digali, karena

berhubungan langsung dengan kehidupan sosial.

Peneliti agar bisa masuk dan mengetahui lebih dalam kehidupan sosial

santri bekas molimo dengan Gus, penelitian secara deskriptif saja tidak cukup.

Diperlukan metode khusus dalam mendalami kehidupan sosial seorang santri

bekas molimo dan Gus. Sosiologi telah menyiapkan fenomenologi sebagai

teori sekaligus metodelogi. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir

yang menekankan pada focus kepada pengalaman-pengalaman subjektif

manusia dan interpretasi-interpretasi tentang dunia (Aryadi, 2012:63).

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

9

Fenomenologi menyatakan bagaimana individu memproduksi dunia bebas

dalam tingkatan kehidupan sehari-hari yang dialaminya (Dwi, 2008:155).

Melalui pendekatan fenomenologi, maka kehidupan intersubjektif santri

bekas molimo dan Gus dapat digali dan diketahui.

Pendekatan fenomenologi yang digunakan dalam penelitian ini akan

mengungkapkan kehidupan sehari-hari santri bekas molimo dan Gus dalam

Jamaah Telulasan. Alasan menggunakan perspektif fenomenologi dalam studi

kehidupan sosial tersebut karena selain mampu masuk ke dalam dunia

intersubjektif santri bekas molimo dan Gus, studi tersebut tentang kehidupan

sosial melalui pendekatan fenomenologi. Mencermati fenomena tersebut

maka penulis mengangkat judul “Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo

dengan “Gus” dalam Jamaah Telulasan”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya adalah:

Bagaimana kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus pada Kumpulan

Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

10

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui dan memahami

secara mendalam kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus pada

Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian akan lebih sempurna jika penelitian tersebut memiliki

manfaat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Manfaat yang dapat

dihasilkan dari penelitian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori

yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan salah satu

informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya

kehidupan sosial, yang ada hubungannya dengan Program Studi

Sosiologi. Serta mengkaji metodologi Fenomenologi Alfred Schutz

tentang Kehidupan sehari-hari (common sense) Santri bekas molimo

pada Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan Kecamatan Mojosari

Kabupaten Mojokerto, untuk menambah wawasan tentang kehidupan

sosial.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh pihak-

pihak yang berkompeten dan memiliki wewenang seperti contohnya

pemerintah, dalam rangka untuk memberikan solusi dan

menyelesaikan permasalahan dalam karakter manusia, maupun juga

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

11

oleh kalangan akademisi sebagai penunjang referensi keilmuan.

Manfaat secara praktis tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut:

1.4.2.1 Manfaat bagi pemerintah

Hasil penelitian tentang kehidupan sosial santri bekas

molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa

Ngimbangan ini dapat dijadikan rujukan, pertimbangan, dan

dasar bagi pemerintah selaku policy maker mulai dari

pemerintah desa, pemerintah kecamatan, dan pemerintah

kabupaten/kota dalam melakukan analisis sosial terkait

perubahan perilaku. Bentuk penerapan hasil penelitian ini

misalnya dapat diwujudkan dalam jangka panjang untuk

menganalisis bentuk perubahan perilaku bagi orang-orang

yang menyimpang.

1.4.2.2 Manfaat bagi civitas akademika

Hasil dari penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi

referensi baru bagi mahasiswa maupun dosen, sebagai

penunjang keilmuan dan mempertajam analisis terkait topik-

topik yang diangkat dalam penelitian. Terutama dalam tema

kehidupan sosial dan Molimo melalui pendekatan

fenomenologi.

1.4.2.3 Manfaat bagi Santri, Gus dan Jamaah Telulasan

Hasil penelitian tentang kehidupan sosial santri bekas

molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa

Ngimbangan ini dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

12

bagi santri terkait kehidupan Molimo yang pernah dilakukan,

sehingga santri bisa menilai kehidupan Molimo. dan bagi Gus

agar mengetahui proses kehidupan sosial dengan santri bekas

molimo. Serta bagi Jamaah Telulasan memiliki manfaat

sebagai pertimbangan bahwa Molimo sebagai kehidupan

masyarakat yang harus dijauhi.

1.5 Definisi Konsep

1.5.1 Kehidupan Sosial

`Kehidupan Sosial adalah suatu kehidupan yang didalamnya

terdapat unsur-unsur sosial kemasyarakatan. Sebuah kehidupan

disebut sebagai kehidupan sosial jika di sana ada interaksi antara

individu satu dengan individu yang lainnya, dan terjadi komunikasi

yang kemudian berkembang menjadi saling membutuhkan kepada

sesama. Realita kehidupan sosial dilapangan sangat erat kaitannya

dengan bagaimana bentuk kehidupan itu berjalan di dalam masyarakat

(Darman. 2015:46).

1.5.2 Santri

Santri berasal dari kata cantrik (dalam agama Hindu) yang

berarti orang-orang yang ikut belajar dan mengembara dengan empu-

empu ternama. Namun ketika diterapkan dalam agama Islam, kata

cantrik tersebut berubah menjadi santri yang berarti orang-orang yang

belajar kepada para guru agama. Santri dapat diartikan sebagai

kelompok sosio religius, yakni hubungan mendasar antara mayarakat

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

13

dengan agama. Bila hal ini terwujud, maka masyarakat akan terdorong

ke dalam perhimpunan tersebut (Madjid. 1997:20).

1.5.3 Molimo

Molimo dalam bahasa Jawa yaitu maling, madon, maen, mabuk,

madat, dalam bahasa Indonesia disebut Malima. Istilah ma lima

sebagaimana yang tergambar dalam Serat Ma Lima mengandung arti

lima perilaku yang yang diawali oleh suku kata ma atau bunyi m, yaitu

madat (menghisap candu), madon (melacur atau bermain perempuan),

minum (mabuk minuman keras), main (berjudi), dan maling

(mencuri). Lima perilaku tersebut sangat popular dan sangat bermakna

bagi masyarakat Jawa hingga sekarang, merupakan perilaku

pantangan yang harus dihindari karena akibat yang ditimbulkan

sangat merugikan diri sendiri dan orang lain (Asna. 2001:2).

1.5.4 Gus

Santri sering memanggil anak kyainya dengan panggilan “Gus”,

yang mempunyai arti “abang” atau “mas”. Jabatan Gus dalam

pesantren itu menunjukan adanya strata sosial dalam lingkungan

pesantren. “Gus” itu semacam deputi kyai, karena mereka adalah

harapan penerus pesantren.

Melihat gambaran itu, posisi Gus mempunyai nilai tawar yang

tinggi di mata masyarakat. Terkadang, apa yang dikatakan oleh “Gus”

itu dihormati oleh masyarakat. Sebenarnya panggilan “Gus” adalah

panggilan kehormatan yang diberikan masyarakat kepada anak kyai.

Hal itu secara otomatis melekat, tidak perlu orang itu menyebut

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

14

dirinya sebagai Gus di depan umum. Sangat lucu, ketika seseorang

mengenalkan dirinya dengan nama “Gus”.

Gus sudah terlanjur menjadi gelar kehormatan, sehingga banyak

orang yang juga pingin dipanggil dengan sebutan “Gus”. Jadi,

panggilan itu tidak datang secara alami, melainkan melalui rekayasa

sosial. Akan menjadi lelucon ketika orang tersebut menginginkan

gelar Gus, namun dia tidak bisa menjadi tokoh dan pengayom bagi

masyarakat itu sendiri. Jika tidak bisa menjadi pengayom bagi

masyarakat, maka secara otomatis gelar “gus” akan lengser dengan

sendirinya (Muhtar.2016:2-4).

1.6 Metode Penelitian

Penelitian merupakan bentuk aktivitas ilmiah untuk mengamati,

melihat, mencari, menggali data atau informasi secara ilmiah, yang

dilakukan oleh seorang ilmuwan. Ciri-ciri ilmiah yaitu, rasional, sistematis,

objektif dan realistis, sedangkan metode adalah suatu cara yang digunakan

sebagai pedoman dalam melakukan suatu pekerjaan. Metode penelitian

mempunyai peran yang penting dalam pengumpulan data, merumuskan

masalah, analisis dan interpretasi data. Peneliti akan menggunakan metode

yang sesuai degan penelitian yang dilakukan, karena pemilihan metode

penelitian secara garis besarnya dilakukan dengan mempertimbangkan

kesesuain metode yang akan digunakan tersebut dengan obyek yang akan

diteliti (Koentjaraningrat, 1991:7-8), yaitu tentang kehidupan sosial santri

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

15

bekas molimo dengan Gus dalam kumpulan Jamaah Telulasan di Desa

Ngimbangan Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto.

1.6.1 Paradigma Penelitian

Sosiologi seperti yang dijelaskan oleh George Ritzer memiliki

tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial, definisi sosial dan

perilaku sosial. Paradigma yang digunakan dalam penelitian tersebut

adalah pardigma definisi sosial, paradigma tersebut lahir dari tradisi

keilmuan Max Weber yang merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang

berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative and

understanding) tindakan sosial dan hubungan sosial untuk sampai

kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep

dasarnya, pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang

penafsiran dan pemahaman (Ritzer, 2010:38). Konsep-konsep tersebut

menunjukkan metode untuk menerangkannya.

Paradigma tersebut cenderung mempergunakan metode

observasi dalam penelitiannya. Alasannya adalah untuk dapat

memahami realitas intersubjektif dan intrasubjektif dari tindakan

sosial dan interaksi sosial. Namun meskipun begitu, menurut William

Snizek (1976 dalam Ritzer, 2012:153), metode kuesinoner-wawancara

adalah metode dominan dalam semua paradigm. Adapun teori-teori

yang ada dalam paradigma tersebut antara lain teori tindakan,

interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodelogi, dan

eksistensialisme.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

16

1.6.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian tersebut menggunakan metode pendekatan

penelitian kualitatif dengan jenis fenomenologi. Penelitian kualitatif

merupakan sebuah pendekatan penelitian yang berakar dan

berdasarkan pada filsafat postpositivisme. Bogdan dan Taylor dalam

buku Zuriah Nurul mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sebuah

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dalam ilmu pengetahuan sosial

yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap

manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-

orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya (Zuriah. 2009:92).

Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif relevan untuk

menggambarkan permasalahan penelitian yang diangkat persoalan

mengenai Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo pada Kumpulan

Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan, akan dapat dideskripsikan

dengan utuh apabila menggunakan pendekatan penelitian kualitatif

sebagaimana karakteristik penelitian kualitatif yang mampu

menggambarkan sebuah fenomena secara holistic (menyeluruh).

1.6.3 Jenis Penelitian

Penelitian yang mengangkat tema Kehidupan Sosial Santri

Bekas Molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa

Ngimbangan ini merupakan penelitian dengan menggunakan

pendekatan kualitatif berjenis fenomenologi. Fenomenologi adalah

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

17

bagian dari metode pendekatan kualitatif yang hendak mendalami

suatu fenomena atau peristiwa berdasar pada pengalaman atau

endapan pengetahuan yang berada pada dimensi pemahaman individu.

Fenomenologi lebih memfokuskan diri pada konsep suatu

fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk melihat dan

memahami arti dari suatu pengalaman individual yang berkaitan

dengan suatu fenomena tertentu. Polkinghorne mendefinisikan

fenomenologi sebagai sebuah studi untuk memberikan gambaran

tentang arti dari pengalaman-pengalaman beberapa individu mengenai

suatu konsep tertentu (Herdiansyah. 2014:67).

Jenis penelitian fenomenologi yaitu peneliti berusaha

memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa

dalam situasi-situasi tertentu (Ikbar, 2012:65). Beberapa cirri pokok

fenomenologi yang dilakukan oleh peneliti fenomenologi, yaitu:

a. Fenomenologi cenderung mempertentangkannya dengan

“Naturalisme” yaitu yang sering disebut objektivisme dan

positivism, yang telah berkembang sejak zaman Renaissans

dalam ilmu pengetahuan modern dan teknologi.

b. Secara pasti, fenomenologi cenderung memastikan kognisi yang

mengacu pada apa yang dinamakan oleh Husserl, “Evidenz” yang

dalam hal ini merupakan kesadaran tentang sesuatu benda itu

sendiri secara jelas dan berbeda dengan yang lainnya, dan

mencakupi untuk sesuatu dari segi itu.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

18

c. Fenomenologi cenderung percaya bahwa bukan hanya sesuatu

benda yang ada dalam dunia alam budaya (Moelong, 2013:15).

Creswell mengemukakan beberapa prosedur dalam melakukan

studi fenomenologi, yaitu :

a. Prosedur pertama, peneliti harus memahami prespektif dan

filosofi yang ada dibelakang pendekatan yang digunakan,

khususnya mengenai konsep studi “Bagaimana individu

mengalami suatu fenomena yang terjadi”. Konsep Epoche

merupakan inti ketika peneliti mulai menggali dan

mengumpulkan ide-ide mereka mengenai fenomena dan

mencoba memahami fenomena yang terjadi menurut sudut

pandang subjek yang bersangkutan. Epoche adalah

mengesampingkan atau menghilangkan semua prasangka

(judgement) peneliti terhadap suatu fenomena. Artinya, sudut

pandang yang digunakan benar-benar bukan merupakan sudut

pandang peneliti melainkan sudut pandang subyek penelitian.

b. Prosedur kedua, peneliti membuat pertanyaan penelitian yang

mengeksplorasi serta menggali arti dari pengalaman subyek

dan meminta subyek untuk menjelaskan pengalamannya

tersebut.

c. Prosedur selanjutnya adalah peneliti mencari, menggali, dan

mengumpulkan data dari subyek yang terlibat secara langsung

dengan fenomena yang terjadi.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

19

d. Setelah data terkumpul, peneliti mulai melakukan analisis data

dan terdiri atas tahapan-tahapan analisis.

e. Prosedur terakhir, laporan penelitian fenomenologi diakhiri

dengan diperolehnya pengalaman yang lebih esensial dan

dengan struktur yang invariant dari suatu pengalaman individu,

mengenali setiap unit terkecil dari arti yang diperoleh

berdasarkan pengalaman individu tersebut (Herdiansyah.

2014:68-69).

Konsep berfikir fenomenologi memulai dengan diam,

sedangkan diam merupakan tindakan untuk menangkap

pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Mereka berusaha untuk

masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya

sedemikian rupa, sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana

suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar

peristiwa dalam kehidupan sehari-hari (Moelong, 2013:9).

Penelitian fenomenologi memiliki kecocokan dengan

tema penelitian yang diangkat yaitu peneliti tentang Kehidupan

Sosial Santri Bekas Molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan

di Desa Ngimbangan. Selain itu penggunaan fenomenologi

relevan dengan teori yang digunakan yaitu teori kehidupan

sehari-hari (Common sense) yang memiliki korelasi secara

keilmuan dengan metode fenomenologi.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

20

1.6.4 Lokasi Penelitian

Penelitian tersebut dilaksanakan pada pondok Jamaah Telulasan

di Desa Ngimbangan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto dan

di rumah Santri bekas Molimo. Alasan dipilihnya lokasi tersebut,

karena jamaah telulasan mempunyai pondok yang berada di Desa

Ngimbangan. Pondok tersebut digunakan sebagai sarana internalisasi

nilai agama islam bagi santri-santri jamaah telulasan bekas dari

molimo untuk pembentukan karakter, kegiatan internalisasi

dilaksanakan di pondok tersebut karena seluruh kegiatan dan tempat

berkumpul santri setiap harinya ada di pondok tersebut. Serta

penelitian dilakukan di rumah dan pondok Jamaah Telulasan santri

bekas molimo untuk mengetahui langsung kegiatan sehari-hari santri

bekas molimo.

1.6.5 Teknik Penentuan Subjek Penelitian

Salah satu aktivitas dalam proses pengumpulan data adalah

menentukan subyek penelitiannya. Hal tersebut penting agar tidak

terjadi kesalahan dalam menentukan informan, sebab dari informan

diharapkan informasi dapat terkumpul sebagai upaya untuk menjawab

pertanyaan penelitian yang diajukan. Penentuan subjek penelitian

yang tepat, memungkinkan diperolehnya data dan informasi yang

valid serta akurat karena subjek penelitian merupakan salah satu

sumber data dalam penelitian kualitatif.

Penentuan subjek dalam penelitian tersebut menggunakan teknik

purposive sampling yaitu atas dasar tujuan dan pertimbangan tertentu

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

21

terlebih dahulu, Purposive dapat diartikan sebagai maksud, tujuan

atau kegunaan (Yusuf, 2013:328). Kemudian menentukan kriteria

informan atau subjek penelitian yang dianggap memiliki kecakapan

informasi. Dalam hal tersebut peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data purposive sampling agar tidak terjadi pelebaran

atau dapat dikatakan agar pernyataan dan data yang diberikan sesuai

dengan tujuan peneliti.

Adapun subjek penelitian yang dipilih dengan menggunakan

teknik purposive sampling dalam penelitian ini adalah:

a. Pemimpin jamaah telulasan (Gus jalil) berstatus sebagai Pembina

jamaah telulasan. Pemilihan subyek penelitian tersebut

dikarenakan atas pertimbangan bahwa pemimpin jamaah telulasan

adalah garda terdepan dalam melakukan perubahan moral dalam

kehidupan sosial santri bekas dari molimo.

b. Kyai dan ustad pada jamaah telulasan yang berstatus sebagai

penyampai internalisasi kajian kitab Islam klasik untuk santri

molimo. Terkait tugas kyai yang sebagai penyampai pesan nilai-

nilai Islam bagi santri bekas molimo.

c. Santri bekas molimo yang berjumlah enam sebagai subyek

kesadaran terhadap anomali agama Islam, terutama untuk

memahami kehidupan sosial santri bekas molimo.

Alasan dipilihnya subyek penelitian tersebut karena subyek

penelitian yang telah ditentukan tersebut memiliki relevansi dan

informasi untuk mendukung diperolehnya data penelitian secara

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

22

holistic dan komprehensif berkaitan dengan permasalahan

penelitian yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu Kehidupan

Sosial Santri Bekas Molimo dengan Gus pada Kumpulan Jamaah

Telulasan di Desa Ngimbangan.

1.6.6 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dapat dikelompokkan ke

dalam dua klasifikasi, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara

langsung oleh peneliti tanpa melalui perantara ataupun sumber

lainnya. Data primer didapatkan dengan menggunakan teknik

pengumpulan data yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti.

Adapun data primer dalam penelitian ini didapatkan melalui

pengamatan atau observasi secara langsung dan wawancara

mendalam tentang Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo dengan

Gus pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh oleh peneliti

secara tidak langsung dari obyek penelitian ataupun merupakan

data yang diperoleh melalui perantara media tertentu maupun

sumber lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat berupa

hasil penelitian terdahulu, jurnal, buku, foto-foto, dan juga

dokumen resmi baik dari pemerintah maupun pribadi yang ada

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

23

kaitannya dengan persoalan Kehidupan Sosial Santri Bekas

Molimo dengan Gus pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa

Ngimbangan.

1.6.7 Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi Partisipatoris

Observasi menurut S. Margono diartikan sebagai

pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang

tampak pada obyek penelitian. Pengamatan dan pencatatan ini

dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya

peristiwa. Observasi dapat dilakukan secara langsung maupun

secara tidak langsung (Zuriah. 2009:173).

Observasi partisipatoris merupakan kegiatan pengamatan

yang dilakukan oleh peneliti kepada subjek yang merupakan fokus

penelitian, yang ikut serta dalam mengambil peran di dalamnya

yaitu sebagai santri Jamaah Telulasan.

Penelitian ini menggunakan observasi secara langsung

dimana peneliti berada bersama dengan obyek yang diteliti atau

dalam suatu peristiwa tersebut. Observasi dalam penelitian ini

dilakukan untuk mengamati aktivitas kehidupan sehari-hari santri

molimo diluar dan di dalam pondok, ikut serta aktivitas pondok

dengan Kyai dan pemimpin Jamaah Telulasan (Gus Jalil) dalam

proses Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo dengan Gus pada

Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

24

Observasi dilakukan dengan cara bertemu Pemimpin

Jamaah Telulasan (Gus Jalil) di pondok pada Hari Jumat malam

setelah aktivitas pengajian, bertemu Kyai sebagai penyampai

pesan nilai Islam pada Hari Jumat setelah pengajian di pondok,

dan bertemu Santri bekas Molimo di pondok Jamaah Telulasan.

Tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh data berkaitan

dengan apa saja Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo sebelum

dan sesudah mengikuti jamaah telulasan.

b. In-dept Interview (wawancara mendalam)

Esterberg mendefinisikan interview sebagai berikut. “a

meeting if two persons to exchange information and idea through

question and responses, resulting in communication and joint

construction of meaning about a particular topic”. Wawancara

adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan

makna dalam suatu topic tertentu (Sugiyono. 2012:317).

Wawancara mendalam dangat dibutuhkan dalam penelitian

fenomenologi kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus.

Dalam penelitian tersebut, wawancara yang dilakukan

menggunakan model tidak terstruktur. Wawancara tidak

terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara

sistematis dan lengkap. Pedoman wawancara dilakukan hanya

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

25

berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan sehingga

bisa berkembang sesuai dengan jawaban informan (Bungin,

2014:45). Hal ini dimaksudkan agar subjek atau informan bebas

menceritakan segala pengalamannya dan mengkontruksi makna-

makna yang ada di dalamnya selama menjadi santri bekas molimo

pada Jamaah Telulasan dan Gus sebagai pemimpin Jamaah

Telulasan. Artinya santri bekas molimo dengan Gus tidak akan

dibatasi dengan pertanyaan-pertanyaan baku yang telah tersusun.

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian

ini dilakukan untuk mewawancarai narasumber penelitian yang

telah ditentukan sebelumnya. Informan yang dimaksud ialah

pemimpin jamaah telulasan (gus jalil), kyai penyampai kajian nilai

kitab Islam klasik, dan santri bekas molimo.

Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dengan tujuan

agar pertanyaan dapat mengalir sesuai dengan pembicaraan yang

dilakukan. Hal ini juga untuk membangun kesan bahwa antara

peneliti dengan informan tidak ada jarak atau berstatus sama.

Metode wawancara dilakukan secara mendalam, dimana

wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab

sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau

orang yang diwawancarai, dengan tanpa menggunakan pedoman

wawancara, dimana pewawancara dan informan terlihat dalam

kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, ciri khas

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

26

wawancara mendalam adalah keterlibatan dalam kehidupan

informan (Bungin. 2010:108).

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau film.

Dokumen digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena

dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat

dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk

meramalkan. (Lexy J Moleong. 2002:161)

Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah

untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data

tentang berbagai hal yang berhubungan dengan proses Kehidupan

Sosial Santri Bekas Molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di

Desa Ngimbangan. Foto-foto dokumenter model dan aktivitas

Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo, dan kegiatan santri bekas

molimo di pondok jamaah telulasan, serta kegiatan Jamaah

Telulasan Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk

mendapatkan informasi dan data-data sekunder yang berhubungan

dengan fokus penelitian.

Selain teknik umum diatas, karena penelitian tersebut

menggunakan pendekatan fenomenologi, maka disetiap tahap

metode wawancara dan observasi yang dilakukan selalu

berpedoman pada teknik khusus fenomenologi. Pengumpulan data

yang dilakukan dalam pendekatan fenomenologi menggunakan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

27

beberapa teknik khas, diantaranya Epoche, Reduksi

Fenomenologi, Variasi Imajinasi, Sintesis Makna dan Esensi.

a) Epoche

Epoche adalah cara untuk melihat dan menjadi

sikap mental yang bebas. Epoche memberikan cara

pandang yang sama sekali baru terhadap informan.

Menggunakan epoche peneliti dapat menciptakan ide,

perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche

membuat peneliti masuk ke dalam dunia internal yang

murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan

diri dan orang lain. Tantangan terbesar ketika

melakukan epoche ini adalah terbuka atau jujur dengan

diri sendiri. Terutama ketika informan yang ada di

depan kesadaran memasuki area kesadaran peneliti, dan

membuka dirinya sehingga peneliti dapat membuat

kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi segala

hal yang ada dalam diri peneliti dan orang lain

(Kuswarno, 2008:48-49). Epoche digunakan peneliti

baik dalam proses wawancara maupun observasi atau

pengamatan.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

28

b) Reduksi Fenomenologi

Epoche adalah langkah awal untuk memurnikan

informan dari pengalaman dan prasangka awal. Maka

tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan

dalam susunan bahasa bagaimana informan itu terlihat.

Tidak hanya term informan secara eksternal, namun

juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman,

ritme dan hubungan antara fenomena dengan “aku”,

sebagai subjek yang mengamati. Fokusnya terletak pada

kualitas dari pengalaman sedangkan tantangan ada pada

pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari

pengalaman. Dengan demikian proses ini terjadi lebih

dari satu kali. Tahap-tahap yang terjadi pada reduksi

fenomenologi ini adalah:

a. Bracketing, atau proses menempatkan fenomena

dalam tanda kurung, dan memisah hal-hal yang

dapat menggangu untuk memunculkan

kemurniannya.

b. Horizonalizing, atau membanndingkan dengan

persepsi orang lain mengenai fenomena yang

diamati, sekaligus mengkoreksi atau melengkapi

proses Bracketing.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

29

c. Horizon, yakni proses menemukan esensi dari

fenomena yang murni, atau sudah terlepas dari

persepsi orang lain.

d. Mengelompokkan horizon-horizon kedalam tema-

tema tertentu, dan mengorganisasikannya ke dalam

deskripsi terkstural dari fenomena yang relevan

(Kuswarno, 2008:49-50)

c) Variasi Imajinasi

Variasi fenomenologi adalah mencari makna-

makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi,

kerangka rujukan, pemisah dan pembalikan, dan

pendekatan fenomenologi dari persperktif, posisi,

peranan dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain

untuk mencapai deskripsi structural dari sebuah

pengalaman (bagaimana fenomena berbicara mengenai

dirinya). Variasi imajinasi, dunia dihilangkan, segala

sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung dijauhkan

dari fakta dan entitas yang dapat diukur, dan diletakan

pada makna dan hakikatnya. Kondisi seperti ini, intuisi

tidak lagi empiris namun murni imajinatif. Variasi

imajinasi yang memungkinkan peneliti mengambil

structural pengalaman dari deskripsi tekstural, yang

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

30

diperoleh dalam reduksi fenomenologi. Berikut ini

adalah langkah-langkah dalam tahap variasi imajinasi:

a. Sistematisasi struktur makna yang mungkin, dengan

mendasarkan pada makna tekstural.

b. Menggali tema-tema pokok dan konteks ketika

fenomena muncul.

c. Menyadari struktur universal yang mengedepankan

perasaan dan fikiran dalam rangka rujukan

fenomena.

d. Mencari dan mengilustrasikan tema struktur ivarian,

dan memfasilitasi pembangunan deskripsi structural

dari fenomena (Kuswarno, 2008:52-53).

d) Sintesis Makna dan Esensi

Tahap terakhir dalam penelitan fenomenologi

adalah integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural

dan structural ke dalam suatu pertanyaan yang

menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.

Dengan demikian tahap ini adalah penegakan

pengetahuan mengenai hakikat. Esensi tidak pernah

terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural

yang fundamental mewakili esensi ini dalam waktu dan

tempat tertentu, dari sudut pandang imajinatif dan studi

reflektif seseorang terhadap fenomena (Kuswarno,

2008:53).

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

31

1.7 Metode Pengolah Data

Data yang terkumpul dianalisis secara induktif dan berlangsung

selama pengumpulan data di lapangan dan dilakukan secara terus menerus.

Reduksi data adalah proses pengolahan data dari lapangan dengan memilah

data yang penting, Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal

yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan

polanya serta membuang yang tidak perlu. Dengan demikian, data yang

telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan

mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya,

dan mencari yang bila diperlukan kembali. Kriteria reduksi yang digunakan

adalah:

a. Mengarahkan perhatian langsung kepada fenomena dari

pengalaman, sebagaiman ia menampakkan diri.

b. Mendeskripsikan pengamatan itu dan peneliti dilarang

menerangkan.

c. Men-horizontalkan memberikan bobot yang sama terhadap

fenomena-fenomena secara langsung menampakan diri.

d. Mencari dan meneliti struktur dasar yang tidak beraneka dari

fenomena itu (Suharsaputra. 2012:218).

1.8 Metode Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian fenomenologi

adalah sebagai berikut (Hasbiansyah, 2005:9):

a. Tahap awal: peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang

dialami oleh kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

32

Seluruh rekaman hasil wawancara mendalam dengan santri bekas

molimo dan Gus di deskripsikan kedalam bahasa tulisan.

b. Tahap Horizonalizartion: dari hasil deskripsi peneliti

menginventarisasi pertanyaan-pertanyaan penting yang relevan

dengan topik. Pada tahap ini, peneliti harus bersabar untuk

menunda penilaian (Bracketing atau Epoche): yang artinya,

unsure subjektivitasnya jangan sampai mencampuri upaya merinci

poin-poin penting, sebagai data penelitian yang diperoleh dari

hasil wawancara.

c. Tahap Cluster of meaning: selanjutnya peneliti mengklarifikasi

pertanyaan-pertanyaan tadi ke dalam tema-tema unit makna, serta

menyisihkan pertanyaan yang tumpang tindih atau berulang-ulang.

Pada tahap ini dilakukan textural description (Deskripsi tekstural),

peneliti menuliskan apa yang dialami oleh santri bekas molimo

dan Gus. Selain itu dilakukan pula structural description

(deskripsi struktural), yaitu menuliskan bagaimana fenomena itu

dialami oleh faktor kehidupan sosial santri bekas molimo dengan

Gus di dalam Jamaah Telulasan. Peneliti juga mencari segala

makna yang mungkin berdasarkan refleksi peneliti sendiri berupa

opini, penilaian, perasaan, harapan, subyek penelitian tentang

fenomena yang dialaminya selama berada di Jamaah Telulasan.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

33

1.9 Uji Keabsahan Data

Pembuktian validitas data penelitian ini ditentukan oleh kredibilitas

penemuan dan interpretasinya dengan mengupayakan temuan dan

penafsiran yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang senyatanya dan

disetujui oleh subjek penelitian. Kondisi diatas dapat dipenuhi

memperpanjang observasi, pengamatan yang terus menerus, triangulasi, dan

membicarakan hasil temuan dengan orang lain, dan menggunakan bahasa

referensi. Sedangkan reabilitas dapat dilakukan dengan pengamatan

sistematis, berulang, dan dalam situasi yang berbeda (Moelong, 2013:34).

Keabsahan data penelitian kualitatif dapat dibuktikan dengan

melakukan uji kredibilitas data. Uji kredibilitas sebagaimana merujuk pada

pendapat Sugiyono, dapat dilakukan melalui perpanjangan pengamatan,

peningkatan ketekunan, trianggulasi, diskusi dengan teman, analisis kasus

negatif dan juga member check.

a. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke

lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber

data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan

perpanjangan pengamatan ini berarti hubungan peneliti dengan

narasumber akan semakin terbentuk rapport, semakin akrab (tidak

ada jarak lagi), semakin terbuka, saling mempercayai sehingga

tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/BAB I.pdf · perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena itu, raja-raja Jawa di samping

34

b. Meningkatkan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan

secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut

maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam

secara pasti dan sistematis. Dengan meningkatkan ketekunan itu,

maka peneliti dapat melajukan pengecekan kembali apakah data

yang telah ditemukan itu salah atau tidak. Demikian juga engan

meningkatkan ketekunan maka, peneliti dapat memberikan ekripsi

dayta yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.