bab i pendahuluan 1.1 latar belakangeprints.umm.ac.id/39693/2/bab i.pdf · perempuan) merupakan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan Sosial merupakan suatu kehidupan yang didalamnya
terdapat unsur-unsur sosial kemasyarakatan. Sebuah kehidupan disebut
sebagai kehidupan sosial jika di sana ada interaksi antara individu satu dengan
individu yang lainnya, dan terjadi komunikasi yang kemudian berkembang
menjadi saling membutuhkan kepada sesama. Realita kehidupan sosial
dilapangan sangat erat kaitannya dengan bagaimana bentuk kehidupan itu
berjalan di dalam masyarakat (Darman. 2015:46).
Kehidupan sosial pada masyarakat Jawa identik dengan sopan santun,
tindakan orang Jawa selalu berpegang pada filsafat hidupnya yang religius
dan mistis serta pada etika hidup yang menjunjung tinggi nilai moral dan
derajat hidup. Pandangan hidup masyarakat Jawa adalah selalu
menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah, mistis,
dan magis yang senantiasa menghormati nenek moyang, leluhur serta
kekuatan yang tidak tampak oleh indra manusia. Sehingga masyarakat Jawa
menjalani kehidupan ini dengan penuh rasa pengabdian (Herusatoto.
2001:79).
Sopan santun dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa tampak dalam
laku utomo, tindakan terpuji yang senantiasa berpedoman pada Hasta Sila,
yaitu eling (selalu mengingat Tuhan), pracaya (beriman), mituhu (setia), rila
(ikhlas), temen (tepat janji), sabar (tabah), dan budi luhur (menjunjung tinggi
nilai moral). Di samping berpedoman pada Hasta Sila, masyarakat Jawa juga
2
berpedoman pada ajaran tindakan laku simbolis Asta Brata, yaitu wanita
(kecantikan perempuan), garwa (istri, belahan jiwa/nyawa), wisma (rumah),
turangga (kuda), curiga (keris), kukilo (burung perkutut), waranggono
(sinden/penyanyi), dan pradonggo (penabuh gamelan) serta ajaran Panca
Kreti, yaitu trapsila (tingkah laku), ukara (ucapan), susila (susila), dan karya
(perbuatan) (Herusatoto. 2001:79).
Kehidupan sosial masyarakat Jawa selain itu ada yang bertentangan
dengan laku utomo, seperti masyarakat Jawa yang anomali terhadap agama,
Anomali agama Islam merupakan manusia yang memiliki perilaku
menyimpang dari aturan agama Islam, anomali bisa disebabkan oleh
beberapa kondisi seperti lemahnya iman, kurangnya perhatian kepada
pendidikan agama, maka akhlak pun akan rusak. Selain itu, pengaruh teman
yang buruk dan lingkungan sekitar juga mempengaruhi, bila tak memiliki
adab yang baik, maka seseorang tersebut tidak akan berbeda dengan
lingkungan dimana ia dibesarkan. Lingkungan bagi setiap orang seperti
induknya sendiri, seseorang hanya akan mengikuti dari apa yang dialami dan
dilihat. Seperti perilaku Molimo masyarakat, Molimo adalah singkatan kata
dari perilaku manusia yang anomali terhadap agama, yaitu maling, madon,
maen, mabuk, madat.
Molimo dalam tradisi raja-raja Jawa sebelum masuknya pengaruh
Islam, ada perilaku manjadi simbol penguasa bahkan sebagian perilaku
dijadikan sarana untuk upacara ritual. Seperti Perilaku madon (bermain
perempuan) merupakan simbol kekuatan dan keperkasaan lelaki. Oleh karena
itu, raja-raja Jawa di samping mempunyai seorang permaisuri juga
3
mempunyai puluhan garwa selir sebagai simbol keperkasaan sekaligus
sebagai pemuas hati. Main (berjudi), terutama permainan dadu juga menjadi
simbol permainan adu pintar sekaligus sebagai hiburan orang-orang di sekitar
istana. Madat (menghisap candu) dan, Minum (minum arak) sering dijadikan
menu dalam upacara persembahan, yaitu untuk mengantarkan pelaku untuk
mabuk, menghilangkan kesadarannya hingga mencapai puncak ekstase
(Soekmono. 1981: 66).
Masyarakat menilai perilaku Molimo sebagai perilaku yang dilarang
dalam ajaran agama Islam, kesadaran masyarakat tersebut membuat mereka
ingin memperbaiki perilaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Akhirnya
banyak masyarakat masuk dalam pondok pesantren, untuk ingin menjadi
santri dan memperbaiki perilaku. Seperti dalam santri jamaah telulasan,
kebanyakan santrinya adalah bekas Molimo. Mereka sadar bahwa kebiasaan
Molimo yang dilakukan adalah akibat dari anomali agama yang terkait pada
kesadaran subjek yang mampu meredifinisi, akhirnya mereka masuk dalam
jamaah telulasan salah satunya dengan ajakan teman. Para santri ini dibekali
nilai-nilai Islam oleh penanggungjawab jamaah telulasan, dibekali pengertian
dari agama, ngaji dan puasa. Santri bekas molimo sadar bahwa yang mereka
lakukan selama ini adalah hal-hal yang bersifat pada anomali nilai agama
Islam. Kesadaran muncul dari dalam diri santri bekas molimo tersebut untuk
tidak melakukan kehidupan molimo. Sehingga santri bekas molimo ini takut
untuk menjalani kehidupan molimo kembali.
Santri bekas molimo menjauhi kebiasaan molimo karena kesadaran
santri dari pembekalan agama yang dilakukan oleh jamaah telulasan. Jamaah
4
telulasan tidak hanya membekali santri bekas molimo tentang agama, selain
itu para santri dibekali tentang cara hidup bermasyarakat melalui kitab
kuning, melalui kitab kuning para santri bekas molimo sering dituntun oleh
penanggungjawab jamaah telulasan untuk berniat menjauhi kehidupan
molimo tersebut.
Santri bekas molimo pada jamaah telulasan melakukan molimo karena
dahulu merasa senang dan pengen mencoba kembali. Kehidupan molimo
dianggap hal yang wajar untuk dilakukan, karena santri tersebut berinteraksi
dalam nilai-nilai yang berbeda dan diluar konteks dalam nilai Islam. Santri
melakukan molimo karena di dorong oleh diri sendiri untuk kepuasaan nafsu,
ekonomi dan ajakan teman. Santri sering melakukan molimo diluar
lingkungan masyarakat mereka sendiri, seperti di tempat diskotik, pinggir
jalan, penginapan dan warung. Karena jika ketahuan orang yang dikenal para
santri merasa malu melakukan hal tersebut, keluarga santi bekas molimo tidak
mengetahui kehidupan molimo yang santri lakukan.
Kumpulan Jamaah Telulasan berada di Desa Ngimbangan Kecamatan
Mojosari Kabupaten Mojokerto, jamaah ini merupakan sebuah kumpulan
orang-orang yang beragama Islam. Dari sejarahnya, sebelum setiap santri
yang tergabung dalam kumpulan Jamaah Telulasan tersebut, masih dalam
kondisi berinteraksi pada nilai-nilai yang berbeda dan dalam kondisi “Buta”
akan ilmu agama Islam. Kehidupan sehari-harinya santri jamaah Telulasan
sebelum masuk dalam kumpulan jamaah telulasan masih diselimuti dan
diwarnai dengan molimo (maling, madon, maen, mabuk, madat). Santri
5
banyak yang berlatar belakang kurang baik, seperti bekas narapidana,
preman, pemabuk, maling, pembalap liar, penjudi dan lainnya.
Kumpulan Jamaah Telulasan merupakan salah satu jamaah yang
mensosialisasikan nilai-nilai Islam untuk membentuk karakter yang
Islamisasi. Telulasan diambil dari bahasa Jawa yang artinya tiga belas,
kumpulan jamaah telulasan adalah perkumpulan jamaah yang tidak melihat
golongan kaya ataupun miskin, tua ataupun muda, laki-laki ataupun
perempuan. Semua berkumpul pada malam jumat di rumah pendiri jamaah
telulasan di desa ngimbangan. Rata-rata anggota jamaah telulasan ini adalah
anak-anak dan remaja, yang menjadi menarik disini adalah rata-rata yang
mengikuti jamaah telulasan berlatarbelakang anomali agama Islam. Seperti
bekas dari pemabuk, maling, pemain judi, balap liar, bahkan ada yang bekas
narapidana.
Gus merupakan panggilan kehormatan bagi anak kiai atau kiai muda,
Ada yang berpendapat Gus itu berasal dari Den Bagus. Gus juga identik
dengan NU. Maklum, Gus adalah sub kultur pesantren, terutama pesantren
Jawa. Di lingkungan pesantren, orang dengan mudah menyebut Gus kepada
seorang yang dihormati. Dan yang dipanggil Gus juga merasa dihargai karena
secara strata sosial panggilan Gus memang lebih tinggi dan mengandung
makna penghormatan, paling tidak secara cultural (Rosihan.2014:2).
Jamaah Telulasan dipimpin oleh seorang Gus, Jamaah telulasan ini
mulai berproses pada tahun 1999, yang dipimpin oleh seorang Gus yang
bernama Gus Abdul Jalil yang biasa disebut dengan Gus Jalil. Nama Jamaah
Telulasan diambil dari cerita nabi Muhammad SAW waktu perang badar,
6
karena Nabi Muhammad berangkat perang badar pada tanggal tiga belas. Jadi
Gus Abdul Jalil seolah-olah belajar perang, pada zaman ini yang dimaksud
adalah memerangi hawa nafsu manusia yang tidak mengenal batas. Seperti
manusia yang memiliki sifat anomali agama, mencuri, mabuk-mabukan, main
perempuan, mengkonsumsi narkoba, berjudi dan lainnya. Manusia yang
memiliki sifat seperti itulah yang dicari oleh pemimpin jamaah telusan untuk
dirubah sifatnya.
Gus Jalil selaku pemimpin Jamaah Telulasan mempunyai cara
mengumpulkan orang-orang bekas molimo dengan cara pintu ke pintu atau
secara gerilya. Proses pertama dalam pengumpulan jamaah telulasan adalah
secara gerilya, target pertama adalah orang-orang sudah dikenal dekat, proses
selanjutnya para jamaah yang sudah tergabung dalam jamaah telulasan
mengajak teman-temannya untuk bergabung dalam jamaah telulasan. Sampai
sekarang santri berjumlah kurang lebih tujuh ratus. Cara selanjtnya Gus
Abdul Jalil mengajak para santri bekas molimo tersebut dengan cara
mengajak makan, minum kopi dan merokok, dalam istilah orang Jawa sering
disebut dengan jagongan. Selain makan dan jagongan bersama, dari
perkumpulan tersebut disisipkan nilai-nilai agama oleh gus jalil. Seperti
diajak membaca doa buat sesepuh desa dan saudara-saudara yang telah
meninggal serta tahlil bersama. Seiring dengan perkembangan Jamaah
Telulasan, Gus Jalil selaku Pembina Jamaah Telulasan membekali para santri
melalui dakwah yang disampaikan oleh ahli kitab masing-masing. Kitab-kitab
yang sering digagas dalam dakwah para ahli kitab adalah kitab Al-Hikam,
Kitab Muhtaarul Ahadist Annabawiyyah, Kitab Fikih, dan Kitab Sulam
7
Munajah. Kitab-kitab tersebut sudah ada ahli kitab masing-masing dalam
menyampaikan dakwah kepada santri di Jamaah Telulasan. Kitab-kitab
tersebut sering disebut dengan Kitab Kuning, dengan inti pengajaran tentang
akhlak dalam kehidupan sehari-hari dan persatuan persaudaraan.
Biaya dalam pengelolahan jamaah telulasan di tanggung oleh
pemimpin jamaah telulasan sendiri, pemimpin jamaah tersebut berpedoman
pada salah satu ayat allah. Dalam bahasa Jawa dikatakan “Sopo umatku seng
gelem ngramek-ngramekno agomoku, bakal tak rekso uripe lan tak
gampangno urusane”. Artinya dalam bahasa Indonesia “siapa umat Islam
yang mau meramaikan agama allah, pasti hidupnya terayomi dan allah
mudahkan urusannya”. Tujuan diadakan jamaah telulasan adalah menjerat
manusia yang anomali terhadap agama Islam untuk menjadi manusia yang
mampu meredifinisi nilai agama Islam, salah satu untuk mengumpulkan
jamaah dengan cara “loman”, artinya suka memberi dan tidak punya rasa
kekurangan. Loman sebagai kunci utama dalam melancarkan proses
internalisasi nilai islam pada santri bekas molimo agar santri mampu
meredifinisi nilai agama Islam dalam berperilaku.
Seiring dengan perkembangan Islam, maka kondisi saat ini sudah
mulai ada perubahan-perubahan dalam hal munculnya kesadaran
melaksanakan ajaran Agama Islam dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan
adanya kegiatan masyarakat yang bernuansa keagamaan dalam
mengembangkan pendidikan karakter di jamaah telulasan. Penyampaian nilai
agama islam ditekankan pada kewajiban agama umat Islam seperti sholat dan
puasa, serta diberikan pembekalan nilai agama Islam agar santri bekas
8
molimo bisa meredifinisi nilai agama Islam dan mampu mengaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari di dalam sistem sosial atau masyarakat. Seperti
ketaatan pada allah swt, kewibawaan, dan sopan santun.
Penelitian lebih memfokuskan pada kehidupan sosial santri bekas
molimo dengan Gus dalam Jamaah Telulasan, peneliti mencoba untul masuk
ke dalam dunia intersubjektif santri bekas molimo dan Gus Jalil selaku pendiri
Jamaah Telulasan. Bagaimana kehidupan sosial santri bekas molimo dengan
stock of knowledge-nya memutuskan untuk merubah dirinya menjadi santri
Jamaah Telulasan dan bertahan menjadi santri di Jamaah Telulasan, serta
bagaimana stock of knowledge dari seorang Gus Jalil yang ingin membentuk
Jamaah Telulasan dan berjuang dalam merubah moral santri bekas molimo
melalui Jamaah Telulasan. Selain itu tidak lupa dalam studi tersebut, peneliti
menggali bagaimana kehidupan sosial santri bekas molimo dalam Jamaah
Telulasan dengan Gus Jalil. Pengalaman-pengalaman hidup santri bekas
molimo sebagai santri, dan pengalaman-pengalaman Gus Jalil sebagai
pemimpin Jamaah Telulasan, hal tersebut sangat penting untuk digali, karena
berhubungan langsung dengan kehidupan sosial.
Peneliti agar bisa masuk dan mengetahui lebih dalam kehidupan sosial
santri bekas molimo dengan Gus, penelitian secara deskriptif saja tidak cukup.
Diperlukan metode khusus dalam mendalami kehidupan sosial seorang santri
bekas molimo dan Gus. Sosiologi telah menyiapkan fenomenologi sebagai
teori sekaligus metodelogi. Fenomenologi merupakan pandangan berfikir
yang menekankan pada focus kepada pengalaman-pengalaman subjektif
manusia dan interpretasi-interpretasi tentang dunia (Aryadi, 2012:63).
9
Fenomenologi menyatakan bagaimana individu memproduksi dunia bebas
dalam tingkatan kehidupan sehari-hari yang dialaminya (Dwi, 2008:155).
Melalui pendekatan fenomenologi, maka kehidupan intersubjektif santri
bekas molimo dan Gus dapat digali dan diketahui.
Pendekatan fenomenologi yang digunakan dalam penelitian ini akan
mengungkapkan kehidupan sehari-hari santri bekas molimo dan Gus dalam
Jamaah Telulasan. Alasan menggunakan perspektif fenomenologi dalam studi
kehidupan sosial tersebut karena selain mampu masuk ke dalam dunia
intersubjektif santri bekas molimo dan Gus, studi tersebut tentang kehidupan
sosial melalui pendekatan fenomenologi. Mencermati fenomena tersebut
maka penulis mengangkat judul “Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo
dengan “Gus” dalam Jamaah Telulasan”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus pada Kumpulan
Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan?
10
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui dan memahami
secara mendalam kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus pada
Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian akan lebih sempurna jika penelitian tersebut memiliki
manfaat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Manfaat yang dapat
dihasilkan dari penelitian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori
yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan salah satu
informasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya
kehidupan sosial, yang ada hubungannya dengan Program Studi
Sosiologi. Serta mengkaji metodologi Fenomenologi Alfred Schutz
tentang Kehidupan sehari-hari (common sense) Santri bekas molimo
pada Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan Kecamatan Mojosari
Kabupaten Mojokerto, untuk menambah wawasan tentang kehidupan
sosial.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat diterapkan oleh pihak-
pihak yang berkompeten dan memiliki wewenang seperti contohnya
pemerintah, dalam rangka untuk memberikan solusi dan
menyelesaikan permasalahan dalam karakter manusia, maupun juga
11
oleh kalangan akademisi sebagai penunjang referensi keilmuan.
Manfaat secara praktis tersebut dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1.4.2.1 Manfaat bagi pemerintah
Hasil penelitian tentang kehidupan sosial santri bekas
molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa
Ngimbangan ini dapat dijadikan rujukan, pertimbangan, dan
dasar bagi pemerintah selaku policy maker mulai dari
pemerintah desa, pemerintah kecamatan, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam melakukan analisis sosial terkait
perubahan perilaku. Bentuk penerapan hasil penelitian ini
misalnya dapat diwujudkan dalam jangka panjang untuk
menganalisis bentuk perubahan perilaku bagi orang-orang
yang menyimpang.
1.4.2.2 Manfaat bagi civitas akademika
Hasil dari penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi
referensi baru bagi mahasiswa maupun dosen, sebagai
penunjang keilmuan dan mempertajam analisis terkait topik-
topik yang diangkat dalam penelitian. Terutama dalam tema
kehidupan sosial dan Molimo melalui pendekatan
fenomenologi.
1.4.2.3 Manfaat bagi Santri, Gus dan Jamaah Telulasan
Hasil penelitian tentang kehidupan sosial santri bekas
molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa
Ngimbangan ini dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan
12
bagi santri terkait kehidupan Molimo yang pernah dilakukan,
sehingga santri bisa menilai kehidupan Molimo. dan bagi Gus
agar mengetahui proses kehidupan sosial dengan santri bekas
molimo. Serta bagi Jamaah Telulasan memiliki manfaat
sebagai pertimbangan bahwa Molimo sebagai kehidupan
masyarakat yang harus dijauhi.
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Kehidupan Sosial
`Kehidupan Sosial adalah suatu kehidupan yang didalamnya
terdapat unsur-unsur sosial kemasyarakatan. Sebuah kehidupan
disebut sebagai kehidupan sosial jika di sana ada interaksi antara
individu satu dengan individu yang lainnya, dan terjadi komunikasi
yang kemudian berkembang menjadi saling membutuhkan kepada
sesama. Realita kehidupan sosial dilapangan sangat erat kaitannya
dengan bagaimana bentuk kehidupan itu berjalan di dalam masyarakat
(Darman. 2015:46).
1.5.2 Santri
Santri berasal dari kata cantrik (dalam agama Hindu) yang
berarti orang-orang yang ikut belajar dan mengembara dengan empu-
empu ternama. Namun ketika diterapkan dalam agama Islam, kata
cantrik tersebut berubah menjadi santri yang berarti orang-orang yang
belajar kepada para guru agama. Santri dapat diartikan sebagai
kelompok sosio religius, yakni hubungan mendasar antara mayarakat
13
dengan agama. Bila hal ini terwujud, maka masyarakat akan terdorong
ke dalam perhimpunan tersebut (Madjid. 1997:20).
1.5.3 Molimo
Molimo dalam bahasa Jawa yaitu maling, madon, maen, mabuk,
madat, dalam bahasa Indonesia disebut Malima. Istilah ma lima
sebagaimana yang tergambar dalam Serat Ma Lima mengandung arti
lima perilaku yang yang diawali oleh suku kata ma atau bunyi m, yaitu
madat (menghisap candu), madon (melacur atau bermain perempuan),
minum (mabuk minuman keras), main (berjudi), dan maling
(mencuri). Lima perilaku tersebut sangat popular dan sangat bermakna
bagi masyarakat Jawa hingga sekarang, merupakan perilaku
pantangan yang harus dihindari karena akibat yang ditimbulkan
sangat merugikan diri sendiri dan orang lain (Asna. 2001:2).
1.5.4 Gus
Santri sering memanggil anak kyainya dengan panggilan “Gus”,
yang mempunyai arti “abang” atau “mas”. Jabatan Gus dalam
pesantren itu menunjukan adanya strata sosial dalam lingkungan
pesantren. “Gus” itu semacam deputi kyai, karena mereka adalah
harapan penerus pesantren.
Melihat gambaran itu, posisi Gus mempunyai nilai tawar yang
tinggi di mata masyarakat. Terkadang, apa yang dikatakan oleh “Gus”
itu dihormati oleh masyarakat. Sebenarnya panggilan “Gus” adalah
panggilan kehormatan yang diberikan masyarakat kepada anak kyai.
Hal itu secara otomatis melekat, tidak perlu orang itu menyebut
14
dirinya sebagai Gus di depan umum. Sangat lucu, ketika seseorang
mengenalkan dirinya dengan nama “Gus”.
Gus sudah terlanjur menjadi gelar kehormatan, sehingga banyak
orang yang juga pingin dipanggil dengan sebutan “Gus”. Jadi,
panggilan itu tidak datang secara alami, melainkan melalui rekayasa
sosial. Akan menjadi lelucon ketika orang tersebut menginginkan
gelar Gus, namun dia tidak bisa menjadi tokoh dan pengayom bagi
masyarakat itu sendiri. Jika tidak bisa menjadi pengayom bagi
masyarakat, maka secara otomatis gelar “gus” akan lengser dengan
sendirinya (Muhtar.2016:2-4).
1.6 Metode Penelitian
Penelitian merupakan bentuk aktivitas ilmiah untuk mengamati,
melihat, mencari, menggali data atau informasi secara ilmiah, yang
dilakukan oleh seorang ilmuwan. Ciri-ciri ilmiah yaitu, rasional, sistematis,
objektif dan realistis, sedangkan metode adalah suatu cara yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan suatu pekerjaan. Metode penelitian
mempunyai peran yang penting dalam pengumpulan data, merumuskan
masalah, analisis dan interpretasi data. Peneliti akan menggunakan metode
yang sesuai degan penelitian yang dilakukan, karena pemilihan metode
penelitian secara garis besarnya dilakukan dengan mempertimbangkan
kesesuain metode yang akan digunakan tersebut dengan obyek yang akan
diteliti (Koentjaraningrat, 1991:7-8), yaitu tentang kehidupan sosial santri
15
bekas molimo dengan Gus dalam kumpulan Jamaah Telulasan di Desa
Ngimbangan Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto.
1.6.1 Paradigma Penelitian
Sosiologi seperti yang dijelaskan oleh George Ritzer memiliki
tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial, definisi sosial dan
perilaku sosial. Paradigma yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah pardigma definisi sosial, paradigma tersebut lahir dari tradisi
keilmuan Max Weber yang merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang
berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative and
understanding) tindakan sosial dan hubungan sosial untuk sampai
kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep
dasarnya, pertama konsep tindakan sosial, kedua konsep tentang
penafsiran dan pemahaman (Ritzer, 2010:38). Konsep-konsep tersebut
menunjukkan metode untuk menerangkannya.
Paradigma tersebut cenderung mempergunakan metode
observasi dalam penelitiannya. Alasannya adalah untuk dapat
memahami realitas intersubjektif dan intrasubjektif dari tindakan
sosial dan interaksi sosial. Namun meskipun begitu, menurut William
Snizek (1976 dalam Ritzer, 2012:153), metode kuesinoner-wawancara
adalah metode dominan dalam semua paradigm. Adapun teori-teori
yang ada dalam paradigma tersebut antara lain teori tindakan,
interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodelogi, dan
eksistensialisme.
16
1.6.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian tersebut menggunakan metode pendekatan
penelitian kualitatif dengan jenis fenomenologi. Penelitian kualitatif
merupakan sebuah pendekatan penelitian yang berakar dan
berdasarkan pada filsafat postpositivisme. Bogdan dan Taylor dalam
buku Zuriah Nurul mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sebuah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-
orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya (Zuriah. 2009:92).
Penggunaan pendekatan penelitian kualitatif relevan untuk
menggambarkan permasalahan penelitian yang diangkat persoalan
mengenai Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo pada Kumpulan
Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan, akan dapat dideskripsikan
dengan utuh apabila menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
sebagaimana karakteristik penelitian kualitatif yang mampu
menggambarkan sebuah fenomena secara holistic (menyeluruh).
1.6.3 Jenis Penelitian
Penelitian yang mengangkat tema Kehidupan Sosial Santri
Bekas Molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa
Ngimbangan ini merupakan penelitian dengan menggunakan
pendekatan kualitatif berjenis fenomenologi. Fenomenologi adalah
17
bagian dari metode pendekatan kualitatif yang hendak mendalami
suatu fenomena atau peristiwa berdasar pada pengalaman atau
endapan pengetahuan yang berada pada dimensi pemahaman individu.
Fenomenologi lebih memfokuskan diri pada konsep suatu
fenomena tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk melihat dan
memahami arti dari suatu pengalaman individual yang berkaitan
dengan suatu fenomena tertentu. Polkinghorne mendefinisikan
fenomenologi sebagai sebuah studi untuk memberikan gambaran
tentang arti dari pengalaman-pengalaman beberapa individu mengenai
suatu konsep tertentu (Herdiansyah. 2014:67).
Jenis penelitian fenomenologi yaitu peneliti berusaha
memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa
dalam situasi-situasi tertentu (Ikbar, 2012:65). Beberapa cirri pokok
fenomenologi yang dilakukan oleh peneliti fenomenologi, yaitu:
a. Fenomenologi cenderung mempertentangkannya dengan
“Naturalisme” yaitu yang sering disebut objektivisme dan
positivism, yang telah berkembang sejak zaman Renaissans
dalam ilmu pengetahuan modern dan teknologi.
b. Secara pasti, fenomenologi cenderung memastikan kognisi yang
mengacu pada apa yang dinamakan oleh Husserl, “Evidenz” yang
dalam hal ini merupakan kesadaran tentang sesuatu benda itu
sendiri secara jelas dan berbeda dengan yang lainnya, dan
mencakupi untuk sesuatu dari segi itu.
18
c. Fenomenologi cenderung percaya bahwa bukan hanya sesuatu
benda yang ada dalam dunia alam budaya (Moelong, 2013:15).
Creswell mengemukakan beberapa prosedur dalam melakukan
studi fenomenologi, yaitu :
a. Prosedur pertama, peneliti harus memahami prespektif dan
filosofi yang ada dibelakang pendekatan yang digunakan,
khususnya mengenai konsep studi “Bagaimana individu
mengalami suatu fenomena yang terjadi”. Konsep Epoche
merupakan inti ketika peneliti mulai menggali dan
mengumpulkan ide-ide mereka mengenai fenomena dan
mencoba memahami fenomena yang terjadi menurut sudut
pandang subjek yang bersangkutan. Epoche adalah
mengesampingkan atau menghilangkan semua prasangka
(judgement) peneliti terhadap suatu fenomena. Artinya, sudut
pandang yang digunakan benar-benar bukan merupakan sudut
pandang peneliti melainkan sudut pandang subyek penelitian.
b. Prosedur kedua, peneliti membuat pertanyaan penelitian yang
mengeksplorasi serta menggali arti dari pengalaman subyek
dan meminta subyek untuk menjelaskan pengalamannya
tersebut.
c. Prosedur selanjutnya adalah peneliti mencari, menggali, dan
mengumpulkan data dari subyek yang terlibat secara langsung
dengan fenomena yang terjadi.
19
d. Setelah data terkumpul, peneliti mulai melakukan analisis data
dan terdiri atas tahapan-tahapan analisis.
e. Prosedur terakhir, laporan penelitian fenomenologi diakhiri
dengan diperolehnya pengalaman yang lebih esensial dan
dengan struktur yang invariant dari suatu pengalaman individu,
mengenali setiap unit terkecil dari arti yang diperoleh
berdasarkan pengalaman individu tersebut (Herdiansyah.
2014:68-69).
Konsep berfikir fenomenologi memulai dengan diam,
sedangkan diam merupakan tindakan untuk menangkap
pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Mereka berusaha untuk
masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya
sedemikian rupa, sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana
suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar
peristiwa dalam kehidupan sehari-hari (Moelong, 2013:9).
Penelitian fenomenologi memiliki kecocokan dengan
tema penelitian yang diangkat yaitu peneliti tentang Kehidupan
Sosial Santri Bekas Molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan
di Desa Ngimbangan. Selain itu penggunaan fenomenologi
relevan dengan teori yang digunakan yaitu teori kehidupan
sehari-hari (Common sense) yang memiliki korelasi secara
keilmuan dengan metode fenomenologi.
20
1.6.4 Lokasi Penelitian
Penelitian tersebut dilaksanakan pada pondok Jamaah Telulasan
di Desa Ngimbangan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto dan
di rumah Santri bekas Molimo. Alasan dipilihnya lokasi tersebut,
karena jamaah telulasan mempunyai pondok yang berada di Desa
Ngimbangan. Pondok tersebut digunakan sebagai sarana internalisasi
nilai agama islam bagi santri-santri jamaah telulasan bekas dari
molimo untuk pembentukan karakter, kegiatan internalisasi
dilaksanakan di pondok tersebut karena seluruh kegiatan dan tempat
berkumpul santri setiap harinya ada di pondok tersebut. Serta
penelitian dilakukan di rumah dan pondok Jamaah Telulasan santri
bekas molimo untuk mengetahui langsung kegiatan sehari-hari santri
bekas molimo.
1.6.5 Teknik Penentuan Subjek Penelitian
Salah satu aktivitas dalam proses pengumpulan data adalah
menentukan subyek penelitiannya. Hal tersebut penting agar tidak
terjadi kesalahan dalam menentukan informan, sebab dari informan
diharapkan informasi dapat terkumpul sebagai upaya untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang diajukan. Penentuan subjek penelitian
yang tepat, memungkinkan diperolehnya data dan informasi yang
valid serta akurat karena subjek penelitian merupakan salah satu
sumber data dalam penelitian kualitatif.
Penentuan subjek dalam penelitian tersebut menggunakan teknik
purposive sampling yaitu atas dasar tujuan dan pertimbangan tertentu
21
terlebih dahulu, Purposive dapat diartikan sebagai maksud, tujuan
atau kegunaan (Yusuf, 2013:328). Kemudian menentukan kriteria
informan atau subjek penelitian yang dianggap memiliki kecakapan
informasi. Dalam hal tersebut peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data purposive sampling agar tidak terjadi pelebaran
atau dapat dikatakan agar pernyataan dan data yang diberikan sesuai
dengan tujuan peneliti.
Adapun subjek penelitian yang dipilih dengan menggunakan
teknik purposive sampling dalam penelitian ini adalah:
a. Pemimpin jamaah telulasan (Gus jalil) berstatus sebagai Pembina
jamaah telulasan. Pemilihan subyek penelitian tersebut
dikarenakan atas pertimbangan bahwa pemimpin jamaah telulasan
adalah garda terdepan dalam melakukan perubahan moral dalam
kehidupan sosial santri bekas dari molimo.
b. Kyai dan ustad pada jamaah telulasan yang berstatus sebagai
penyampai internalisasi kajian kitab Islam klasik untuk santri
molimo. Terkait tugas kyai yang sebagai penyampai pesan nilai-
nilai Islam bagi santri bekas molimo.
c. Santri bekas molimo yang berjumlah enam sebagai subyek
kesadaran terhadap anomali agama Islam, terutama untuk
memahami kehidupan sosial santri bekas molimo.
Alasan dipilihnya subyek penelitian tersebut karena subyek
penelitian yang telah ditentukan tersebut memiliki relevansi dan
informasi untuk mendukung diperolehnya data penelitian secara
22
holistic dan komprehensif berkaitan dengan permasalahan
penelitian yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu Kehidupan
Sosial Santri Bekas Molimo dengan Gus pada Kumpulan Jamaah
Telulasan di Desa Ngimbangan.
1.6.6 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dapat dikelompokkan ke
dalam dua klasifikasi, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara
langsung oleh peneliti tanpa melalui perantara ataupun sumber
lainnya. Data primer didapatkan dengan menggunakan teknik
pengumpulan data yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti.
Adapun data primer dalam penelitian ini didapatkan melalui
pengamatan atau observasi secara langsung dan wawancara
mendalam tentang Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo dengan
Gus pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh oleh peneliti
secara tidak langsung dari obyek penelitian ataupun merupakan
data yang diperoleh melalui perantara media tertentu maupun
sumber lainnya. Data sekunder dalam penelitian ini dapat berupa
hasil penelitian terdahulu, jurnal, buku, foto-foto, dan juga
dokumen resmi baik dari pemerintah maupun pribadi yang ada
23
kaitannya dengan persoalan Kehidupan Sosial Santri Bekas
Molimo dengan Gus pada Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa
Ngimbangan.
1.6.7 Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi Partisipatoris
Observasi menurut S. Margono diartikan sebagai
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang
tampak pada obyek penelitian. Pengamatan dan pencatatan ini
dilakukan terhadap obyek di tempat terjadi atau berlangsungnya
peristiwa. Observasi dapat dilakukan secara langsung maupun
secara tidak langsung (Zuriah. 2009:173).
Observasi partisipatoris merupakan kegiatan pengamatan
yang dilakukan oleh peneliti kepada subjek yang merupakan fokus
penelitian, yang ikut serta dalam mengambil peran di dalamnya
yaitu sebagai santri Jamaah Telulasan.
Penelitian ini menggunakan observasi secara langsung
dimana peneliti berada bersama dengan obyek yang diteliti atau
dalam suatu peristiwa tersebut. Observasi dalam penelitian ini
dilakukan untuk mengamati aktivitas kehidupan sehari-hari santri
molimo diluar dan di dalam pondok, ikut serta aktivitas pondok
dengan Kyai dan pemimpin Jamaah Telulasan (Gus Jalil) dalam
proses Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo dengan Gus pada
Kumpulan Jamaah Telulasan di Desa Ngimbangan.
24
Observasi dilakukan dengan cara bertemu Pemimpin
Jamaah Telulasan (Gus Jalil) di pondok pada Hari Jumat malam
setelah aktivitas pengajian, bertemu Kyai sebagai penyampai
pesan nilai Islam pada Hari Jumat setelah pengajian di pondok,
dan bertemu Santri bekas Molimo di pondok Jamaah Telulasan.
Tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh data berkaitan
dengan apa saja Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo sebelum
dan sesudah mengikuti jamaah telulasan.
b. In-dept Interview (wawancara mendalam)
Esterberg mendefinisikan interview sebagai berikut. “a
meeting if two persons to exchange information and idea through
question and responses, resulting in communication and joint
construction of meaning about a particular topic”. Wawancara
adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan
makna dalam suatu topic tertentu (Sugiyono. 2012:317).
Wawancara mendalam dangat dibutuhkan dalam penelitian
fenomenologi kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus.
Dalam penelitian tersebut, wawancara yang dilakukan
menggunakan model tidak terstruktur. Wawancara tidak
terstruktur adalah wawancara yang bebas di mana peneliti tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap. Pedoman wawancara dilakukan hanya
25
berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan sehingga
bisa berkembang sesuai dengan jawaban informan (Bungin,
2014:45). Hal ini dimaksudkan agar subjek atau informan bebas
menceritakan segala pengalamannya dan mengkontruksi makna-
makna yang ada di dalamnya selama menjadi santri bekas molimo
pada Jamaah Telulasan dan Gus sebagai pemimpin Jamaah
Telulasan. Artinya santri bekas molimo dengan Gus tidak akan
dibatasi dengan pertanyaan-pertanyaan baku yang telah tersusun.
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian
ini dilakukan untuk mewawancarai narasumber penelitian yang
telah ditentukan sebelumnya. Informan yang dimaksud ialah
pemimpin jamaah telulasan (gus jalil), kyai penyampai kajian nilai
kitab Islam klasik, dan santri bekas molimo.
Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dengan tujuan
agar pertanyaan dapat mengalir sesuai dengan pembicaraan yang
dilakukan. Hal ini juga untuk membangun kesan bahwa antara
peneliti dengan informan tidak ada jarak atau berstatus sama.
Metode wawancara dilakukan secara mendalam, dimana
wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab
sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan tanpa menggunakan pedoman
wawancara, dimana pewawancara dan informan terlihat dalam
kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, ciri khas
26
wawancara mendalam adalah keterlibatan dalam kehidupan
informan (Bungin. 2010:108).
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis atau film.
Dokumen digunakan dalam penelitian sebagai sumber data karena
dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data dapat
dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk
meramalkan. (Lexy J Moleong. 2002:161)
Penggunaan data dokumentasi dalam penelitian ini adalah
untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan data-data
tentang berbagai hal yang berhubungan dengan proses Kehidupan
Sosial Santri Bekas Molimo pada Kumpulan Jamaah Telulasan di
Desa Ngimbangan. Foto-foto dokumenter model dan aktivitas
Kehidupan Sosial Santri Bekas Molimo, dan kegiatan santri bekas
molimo di pondok jamaah telulasan, serta kegiatan Jamaah
Telulasan Teknik dokumentasi ini juga digunakan untuk
mendapatkan informasi dan data-data sekunder yang berhubungan
dengan fokus penelitian.
Selain teknik umum diatas, karena penelitian tersebut
menggunakan pendekatan fenomenologi, maka disetiap tahap
metode wawancara dan observasi yang dilakukan selalu
berpedoman pada teknik khusus fenomenologi. Pengumpulan data
yang dilakukan dalam pendekatan fenomenologi menggunakan
27
beberapa teknik khas, diantaranya Epoche, Reduksi
Fenomenologi, Variasi Imajinasi, Sintesis Makna dan Esensi.
a) Epoche
Epoche adalah cara untuk melihat dan menjadi
sikap mental yang bebas. Epoche memberikan cara
pandang yang sama sekali baru terhadap informan.
Menggunakan epoche peneliti dapat menciptakan ide,
perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche
membuat peneliti masuk ke dalam dunia internal yang
murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan
diri dan orang lain. Tantangan terbesar ketika
melakukan epoche ini adalah terbuka atau jujur dengan
diri sendiri. Terutama ketika informan yang ada di
depan kesadaran memasuki area kesadaran peneliti, dan
membuka dirinya sehingga peneliti dapat membuat
kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi segala
hal yang ada dalam diri peneliti dan orang lain
(Kuswarno, 2008:48-49). Epoche digunakan peneliti
baik dalam proses wawancara maupun observasi atau
pengamatan.
28
b) Reduksi Fenomenologi
Epoche adalah langkah awal untuk memurnikan
informan dari pengalaman dan prasangka awal. Maka
tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan
dalam susunan bahasa bagaimana informan itu terlihat.
Tidak hanya term informan secara eksternal, namun
juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman,
ritme dan hubungan antara fenomena dengan “aku”,
sebagai subjek yang mengamati. Fokusnya terletak pada
kualitas dari pengalaman sedangkan tantangan ada pada
pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari
pengalaman. Dengan demikian proses ini terjadi lebih
dari satu kali. Tahap-tahap yang terjadi pada reduksi
fenomenologi ini adalah:
a. Bracketing, atau proses menempatkan fenomena
dalam tanda kurung, dan memisah hal-hal yang
dapat menggangu untuk memunculkan
kemurniannya.
b. Horizonalizing, atau membanndingkan dengan
persepsi orang lain mengenai fenomena yang
diamati, sekaligus mengkoreksi atau melengkapi
proses Bracketing.
29
c. Horizon, yakni proses menemukan esensi dari
fenomena yang murni, atau sudah terlepas dari
persepsi orang lain.
d. Mengelompokkan horizon-horizon kedalam tema-
tema tertentu, dan mengorganisasikannya ke dalam
deskripsi terkstural dari fenomena yang relevan
(Kuswarno, 2008:49-50)
c) Variasi Imajinasi
Variasi fenomenologi adalah mencari makna-
makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi,
kerangka rujukan, pemisah dan pembalikan, dan
pendekatan fenomenologi dari persperktif, posisi,
peranan dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain
untuk mencapai deskripsi structural dari sebuah
pengalaman (bagaimana fenomena berbicara mengenai
dirinya). Variasi imajinasi, dunia dihilangkan, segala
sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung dijauhkan
dari fakta dan entitas yang dapat diukur, dan diletakan
pada makna dan hakikatnya. Kondisi seperti ini, intuisi
tidak lagi empiris namun murni imajinatif. Variasi
imajinasi yang memungkinkan peneliti mengambil
structural pengalaman dari deskripsi tekstural, yang
30
diperoleh dalam reduksi fenomenologi. Berikut ini
adalah langkah-langkah dalam tahap variasi imajinasi:
a. Sistematisasi struktur makna yang mungkin, dengan
mendasarkan pada makna tekstural.
b. Menggali tema-tema pokok dan konteks ketika
fenomena muncul.
c. Menyadari struktur universal yang mengedepankan
perasaan dan fikiran dalam rangka rujukan
fenomena.
d. Mencari dan mengilustrasikan tema struktur ivarian,
dan memfasilitasi pembangunan deskripsi structural
dari fenomena (Kuswarno, 2008:52-53).
d) Sintesis Makna dan Esensi
Tahap terakhir dalam penelitan fenomenologi
adalah integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural
dan structural ke dalam suatu pertanyaan yang
menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.
Dengan demikian tahap ini adalah penegakan
pengetahuan mengenai hakikat. Esensi tidak pernah
terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural
yang fundamental mewakili esensi ini dalam waktu dan
tempat tertentu, dari sudut pandang imajinatif dan studi
reflektif seseorang terhadap fenomena (Kuswarno,
2008:53).
31
1.7 Metode Pengolah Data
Data yang terkumpul dianalisis secara induktif dan berlangsung
selama pengumpulan data di lapangan dan dilakukan secara terus menerus.
Reduksi data adalah proses pengolahan data dari lapangan dengan memilah
data yang penting, Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal
yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya serta membuang yang tidak perlu. Dengan demikian, data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya,
dan mencari yang bila diperlukan kembali. Kriteria reduksi yang digunakan
adalah:
a. Mengarahkan perhatian langsung kepada fenomena dari
pengalaman, sebagaiman ia menampakkan diri.
b. Mendeskripsikan pengamatan itu dan peneliti dilarang
menerangkan.
c. Men-horizontalkan memberikan bobot yang sama terhadap
fenomena-fenomena secara langsung menampakan diri.
d. Mencari dan meneliti struktur dasar yang tidak beraneka dari
fenomena itu (Suharsaputra. 2012:218).
1.8 Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian fenomenologi
adalah sebagai berikut (Hasbiansyah, 2005:9):
a. Tahap awal: peneliti mendeskripsikan sepenuhnya fenomena yang
dialami oleh kehidupan sosial santri bekas molimo dengan Gus.
32
Seluruh rekaman hasil wawancara mendalam dengan santri bekas
molimo dan Gus di deskripsikan kedalam bahasa tulisan.
b. Tahap Horizonalizartion: dari hasil deskripsi peneliti
menginventarisasi pertanyaan-pertanyaan penting yang relevan
dengan topik. Pada tahap ini, peneliti harus bersabar untuk
menunda penilaian (Bracketing atau Epoche): yang artinya,
unsure subjektivitasnya jangan sampai mencampuri upaya merinci
poin-poin penting, sebagai data penelitian yang diperoleh dari
hasil wawancara.
c. Tahap Cluster of meaning: selanjutnya peneliti mengklarifikasi
pertanyaan-pertanyaan tadi ke dalam tema-tema unit makna, serta
menyisihkan pertanyaan yang tumpang tindih atau berulang-ulang.
Pada tahap ini dilakukan textural description (Deskripsi tekstural),
peneliti menuliskan apa yang dialami oleh santri bekas molimo
dan Gus. Selain itu dilakukan pula structural description
(deskripsi struktural), yaitu menuliskan bagaimana fenomena itu
dialami oleh faktor kehidupan sosial santri bekas molimo dengan
Gus di dalam Jamaah Telulasan. Peneliti juga mencari segala
makna yang mungkin berdasarkan refleksi peneliti sendiri berupa
opini, penilaian, perasaan, harapan, subyek penelitian tentang
fenomena yang dialaminya selama berada di Jamaah Telulasan.
33
1.9 Uji Keabsahan Data
Pembuktian validitas data penelitian ini ditentukan oleh kredibilitas
penemuan dan interpretasinya dengan mengupayakan temuan dan
penafsiran yang dilakukan sesuai dengan kondisi yang senyatanya dan
disetujui oleh subjek penelitian. Kondisi diatas dapat dipenuhi
memperpanjang observasi, pengamatan yang terus menerus, triangulasi, dan
membicarakan hasil temuan dengan orang lain, dan menggunakan bahasa
referensi. Sedangkan reabilitas dapat dilakukan dengan pengamatan
sistematis, berulang, dan dalam situasi yang berbeda (Moelong, 2013:34).
Keabsahan data penelitian kualitatif dapat dibuktikan dengan
melakukan uji kredibilitas data. Uji kredibilitas sebagaimana merujuk pada
pendapat Sugiyono, dapat dilakukan melalui perpanjangan pengamatan,
peningkatan ketekunan, trianggulasi, diskusi dengan teman, analisis kasus
negatif dan juga member check.
a. Perpanjangan Pengamatan
Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke
lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber
data yang pernah ditemui maupun yang baru. Dengan
perpanjangan pengamatan ini berarti hubungan peneliti dengan
narasumber akan semakin terbentuk rapport, semakin akrab (tidak
ada jarak lagi), semakin terbuka, saling mempercayai sehingga
tidak ada informasi yang disembunyikan lagi.
34
b. Meningkatkan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan
secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut
maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam
secara pasti dan sistematis. Dengan meningkatkan ketekunan itu,
maka peneliti dapat melajukan pengecekan kembali apakah data
yang telah ditemukan itu salah atau tidak. Demikian juga engan
meningkatkan ketekunan maka, peneliti dapat memberikan ekripsi
dayta yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati.