bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah. bab i.pdf · dalam kontrak komersil, prenada media...

39
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Notaris merupakan pejabat umum yang menjalankan profesinya memberikan pelayanan hukum berupa pembuatan akta notaris kepada anggota masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan jabatannya notaris dapat melayani kepentingan orang banyak, membantu menciptakan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN). Notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta otentik, wajib secara mandiri dan tidak berpihak melindungi kepentingan anggota masyarakat yang meminta jasanya. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Akta otentik merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh serta mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum khususnya pada hukum pembuktian. Berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, membutuhkan pembuktian tertulis berupa akta otentik yang semakin meningkat kebutuhannya sejalan dengan berkembangnya

Upload: phungthuan

Post on 11-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Notaris merupakan pejabat umum yang menjalankan profesinya

memberikan pelayanan hukum berupa pembuatan akta notaris kepada anggota

masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan jabatannya notaris dapat

melayani kepentingan orang banyak, membantu menciptakan kepastian hukum

dan memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat berdasarkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya

disebut UUJN).

Notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta otentik, wajib secara

mandiri dan tidak berpihak melindungi kepentingan anggota masyarakat yang

meminta jasanya. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menyebutkan bahwa suatu akta

otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh

atau di hadapan pegawai-pegawai yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

dibuatnya.

Akta otentik merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh serta mempunyai

peranan penting dalam setiap hubungan hukum khususnya pada hukum

pembuktian. Berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan,

kegiatan sosial, dan lain-lain, membutuhkan pembuktian tertulis berupa akta

otentik yang semakin meningkat kebutuhannya sejalan dengan berkembangnya

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

2

tuntutan akan kepastian hukum pada berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik

pada tingkat nasional, regional, maupun global. Akta otentik dapat membedakan

secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus

diharapkan dapat menghindari dari terjadinya sengketa.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa

yang diberitahukan oleh para pihak kepada notaris. Namun, Notaris mempunyai

kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris

sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu

dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta notaris tersebut, serta

memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan

perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta. Dengan

demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak

menyetujui isi akta notaris yang akan ditandatanganinya.

Selain itu, hukum tanah nasional di Indonesia tidak mengijinkan Warga

Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) untuk memiliki hak milik atas tanah

di wilayah Indonesia. Hanya Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat

WNI) saja yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah

Indonesia. Kondisi tersebut membuat para pihak yang berkepentingan mencari

suatu cara untuk menyiasati hal dimaksud. Cara yang kemudian digunakan adalah

dengan melakukan Perjanjian Nominee antara WNA dan WNI, yaitu dengan

menggunakan nama pihak lain yang merupakan WNI yang ditunjuk sebagai

Nominee untuk didaftarkan sebagai pemilik atas tanah tersebut.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

3

Mengenai perjanjian nominee, meskipun perjanjian tersebut tidak diatur

dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya

disebut UUJN) maupun peraturan perundang-undangan lainnya, namun banyak

Notaris di Denpasar yang melayani pembuatan perjanjian nominee tersebut.

Notaris yang bersedia membuatkan perjanjian nominee dapat dikatakan melanggar

UUJN dan Kode Etik Notaris, sebab dalam kedua peraturan perundang-undangan

tersebut tidak ditemukan pasal yang secara tegas mengatur kewenangan notaris

untuk melayani pembuatan perjanjian nominee.

Di lihat dari segi hukum perdata, dalam KUH Perdata terdapat 3 (tiga) hal

yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan cacat kehendak,

yaitu: kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata), paksaan atau dwang

(Pasal 1323-1327 KUH Perdata) dan penipuan atau bedrog (Pasal 1328 KUH

Perdata).1 Dewasa ini penyelundupan hukum dengan akta notariil dianggap

sebagai jalan keluar untuk melewati batasan-batasan dalam beberapa tindakan

tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Penyelundupan hukum muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh

individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang

oleh peraturan perundang-undangan.

Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai upaya

penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk menguasai hak milik

atas tanah di Indonesia dengan instrumen perjanjian nominee secara notariil.

Dengan kata lain suatu perjanjian nominee merupakan perjanjian yang dibuat

1Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas

dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

4

antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah

tertentu (hak milik), dalam hal ini yaitu orang asing dengan WNI, dengan maksud

agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik secara de

facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut diatasnamakan

WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang asing (bertindak

selaku nominee).2

Suatu perjanjian nominee dibuat dengan maksud untuk memberi

kesempatan atau celah kepada WNA untuk menguasai dan memiliki bidang tanah

hak milik di Indonesia. Dimana orang asing/WNA membeli sebidang tanah hak

milik dengan menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang nyatanya

dibeli (dibayar) oleh orang asing/WNA tersebut namun didaftarkan menjadi/ke

atas nama WNI, sementara itu guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang

dibelinya tersebut antara orang asing/WNA dengan WNI dibuatkan dalam suatu

atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya

bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik

(sertipikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah orang asing/WNA tersebut

dan terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan masyakarat lazim disebut

dengan perjanjian nominee.

Lebih jelasnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang isinya

tentang pengingkaran atas pemilikan tanah hak milik dari seseorang WNI yang

telah diberikan atau ditetapkan oleh negara kepada warga negaranya sebagaimana

ditulis dalam sertipikat tanahnya, dengan menyatakan bahwa ia bukanlah sebagai

2 Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara

Asing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia

(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

5

pemilik (de facto) dari tanah tersebut melainkan milik WNA yang memang

memberi uang dan selanjutnya menguasai tanah dimaksud untuk keperluan dan

keuntungannya. Namun dalam kenyataannya yang menguasai tanah hak milik

tersebut adalah WNA sementara yang atasnama adalah WNI.

Perjanjian nominee biasanya dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu dalam

bentuk akta notaris yakni akta yang dibuat oleh Notaris untuk para pihak

terutamanya oleh WNA dibuat dengan tujuan untuk mendapat kepastian hukum

dan dapat dijadikan alat bukti yang kuat tentang hak atas kepemilikan tanah

tersebut. Selain untuk dirinya sendiri juga untuk alat bukti di pengadilan apabila

terjadi permasalahan atau sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian

tersebut.

Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (selanjutnya disebut UUPA)

dengan jelas menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan

sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur

bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas

kembali dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yaitu disebutkan setiap jual beli,

penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain

yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik

kepada orang asing, kepada seorang warga negara disamping kewarganegaraan

Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan

tanahnya jatuh kepada negara.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

6

Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA apabila orang asing memperoleh

tanah hak milik karena warisan atau akibat percampuran harta, maka hak milik

tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya

hak tersebut. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka hak milik atas tanah

tersebut menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.3

Dari uraian diatas mengenai perjanjian nominee tidak terdapat peraturan

perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya, baik dalam Undang-Undang

No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang No 5 Tahun 1960

mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maupun perundang-undangan

lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, dapat dilihat adanya suatu kekosongan

norma mengenai perjanjian nominee, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai perjanjian nominee dalam tesis ini.

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan perjanjian nominee, yaitu:

1. Penelitian Miggi Sahabati dengan judul ”Perjanjian Nominee dalam Kaitannya

dengan Kepastian Hukum bagi Pihak Pemberi Kuasa Ditinjau dari Undang-

Undang Pokok Agraria, Undang-Undang tentang Penanaman Modal, dan

Undang-Undang Kewarganegaraan”. Tesis dari Program Studi Magister

Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2011. Rumusan masalah

dari tesis ini adalah sebagai berikut:

3 Gde Widhi Wiratama, Ida Bagus Rai Djaja, 2012, “Pengaturan Mengenai

Perjanjian Nominee Dan Keabsahannya (Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang

Universitas Udayana, hal. 3.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

7

a. Bagaimana pengaturan mengenai Perjanjian Nominee saat ini yang berlaku

di Indonesia?

b. Bagaimana pihak pemberi kuasa dapat terlindungi haknya apabila terjadi

wanprestasi?

c. Apakah keberadaan Perjanjian Nominee dapat menjadi alternatif yang

menguntungkan dalam pengembangan investasi di Indonesia?

Penelitian Miggi Sahabati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki

persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama

meneliti mengenai perjanjian nominee. Perbedaannya jika penelitian Miggi

Sahabati hanya meneliti perjanjian nominee saja, maka pada penelitian yang

akan dilakukan selain meneliti mengenai perjanjian nominee juga

dihubungkan dengan Pasal 1328 KUH Perdata.

2. Penelitian Safarni Husain dengan judul ”Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

yang dibuat secara Proforma”. Tesis dari Program Studi Magister Ilmu

Hukum, Universitas Mulawarman, Banjarmasin, Tahun 2013. Rumusan

masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana fungsi dan peran akta otentik yang dibuat secara proforma?

b. Bagaimana kekuatan hukum akta otentik yang dibuat secara proforma?

Penelitian Safarni Husain dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki

persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama

meneliti mengenai akta otentik yang dibuat secara proforma. Perbedaannya

jika penelitian Safarni Husain hanya meneliti akta otentik secara proforma

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

8

saja, maka pada penelitian yang akan dilakukan selain meneliti mengenai akta

otentik yang dibuat secara proforma juga meneliti tentang perjanjian nominee.

3. Penelitian Michael Wisnoe Barata dengan judul ”Kepemilikan Hak atas Tanah

bagi Warga Negara Asing dan Kewarganegaraan Ganda”. Tesis dari Program

Studi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2012.

Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana dengan kepemilikan hak-hak atas tanah beserta bangunan bagi

warga negara asing dan badan-badan hukum asing, menurut Undang-

Undang Pokok Agraria?

b. Bagaimana dengan status kepemilikan hak atas tanah yang dapat dimiliki

oleh anak hasil dari perkawinan campuran yang berstatus

kewarganegaraan ganda menurut Undang-Undang kewarganegaraan dan

Undang-Undang Pokok Agraria?

Penelitian Michael Wisnoe Barata dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-

sama meneliti mengenai kepemilikan tanah oleh WNA melalui perjanjian

nominee. Perbedaannya jika penelitian Michael Wisnoe Barata hanya meneliti

kepemilikan tanah oleh WNA melalui perjanjian nominee, maka pada penelitian

yang akan dilakukan juga meneliti kepemilikan tanah oleh WNA dan memasukan

Pasal 1328 KUH Perdata sebagai kajiannya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda substansinya dengan

penelitian sebelumnya. Kasus yang dibahas dalam kasus ini adalah kasus transaksi

pembelian sebidang tanah dan bangunan antara Franciano dengan Global Village

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

9

Complex dimana Franciano adalah nominee dari Carmen Van Ommeren seorang

berkewarganegaraan Belanda yang tinggal dan berdomisili di Viterdijk 14 4011

EV Zoelen dan kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Nomor:

12/PDT/2014/PT.DPS antara Saito Hiromi berkedudukan sebagai WNA

meminjam nama Choirul Anam yang berkedudukan sebagai WNI mengenai

peralihan hak milik atas tanah yang disebut dalam Perjanjian nominee.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan

judul ”Akibat Hukum dari Pembuatan Perjanjian Nominee Dikaitkan

dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk research questions sebagai

berikut:

1. Bagaimana akibat hukum dari pembuatan perjanjian nominee yang

dituangkan dalam bentuk akta otentik dikaitkan dengan Pasal 1328

KUHPerdata ?

2. Bagaimana tanggungjawab Notaris terhadap perjanjian nominee yang telah

dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal 1328 KUHPerdata ?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

10

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,

menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang

dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian

hukum ini adalah :

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk

pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai

proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan terhenti dalam penggalian

atas kebenaran, khususnya terkait dengan topik akibat hukum dari pembuatan

perjanjian Nominee dikaitkan dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan

khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari pembuatan

perjanjian nominee yang dituangkan dalam bentuk akta otentik dikaitkan

dengan Pasal 1328 KUHPerdata.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggungjawab Notaris terhadap

perjanjian nominee yang telah dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal

1328 KUHPerdata.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

11

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang

bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha turut

mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan pengaturan mengenai

pelaksanaan tertib hukum mengenai kepemilikan tanah oleh WNA.

2. Dapat dijadikan sebagai dasar acuan bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah :

1. Memberikan pandangan kepada masyarakat khususnya WNA mengenai

pengaturan yang seharusnya terhadap kepemilikan tanah dan bangunan

oleh WNA.

2. Memberikan pemahaman bagi Notaris-PPAT dalam rangka mencegah

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh WNA dalam penguasaan

atas tanah dan bangunan di wilayah indonesia.

1.5 Landasan Teoritis

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan

diatas, adapun teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian

tesis ini yaitu:

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

12

1.5.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi kebenaran umum. Menurut Karlinger4 sebuah teori adalah

seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu

pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan

variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan

konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.

1.5.1.1 Teori Perjanjian

Teori perjanjian pertama kali di Indonesia diperkenalkan oleh Subekti.5

Teori ini digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama yaitu

akibat hukum dari perjanjian nominee dikaitkan dengan Pasal 1328 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

Perjanjian Innominaat adalah Perjanjian yang tumbuh dan berkembang di

dalam praktik dan belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan.6 Dalam

ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata tersirat adanya dua jenis perjanjian, yaitu

Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat. Perjanjian Nominaat merupakan

Perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata karena diatur dan disebutkan dalam

beberapa pasal KUHPerdata. Salah satu contoh dari Perjanjian Innominaat adalah

Perjanjian Nominee.

4Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt,

Rinehart, hal. 16-17. 5 Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet.19, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 37.

6 Salim H. S., 2004, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di

Indonesia (b), cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

13

Pasal 1319 KUHPerdata mengatur bahwa semua Perjanjian tunduk pada

peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab kedua dan bab kesatu Buku III

KUHPerdata. Dengan demikian, meskipun Perjanjian Innominaat tidak dikenal

dalam KUHPerdata, namun dalam pelaksanaannya Perjanjian Innominaat harus

tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerdata termasuk asas-asas

yang terkandung di dalam KUHPerdata yang berkaitan dengan Hukum Perjanjian.

Perjanjian Innominaat sebagai jenis Perjanjian yang tidak dikenal dengan

nama tertentu juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan Perjanjian pada

umumnya, yaitu:7

1. adanya unsur kaidah hukum, baik kaidah Hukum Perjanjian tertulis

maupun yang tidak tertulis;

2. adanya unsur subjek hukum, yaitu para pihak dalam Perjanjian;

3. adanya unsur objek hukum, yaitu pokok prestasi dalam Perjanjian;

4. adanya unsur kata sepakat yang merupakan persesuaian pernyataan

kehendak para pihak mengenai substansi dan objek Perjanjian;

5. adanya unsur hak dan kewajiban bagi para pihak sebagai akibat hukum

yang timbul dari Perjanjian.

Tidak diaturnya Perjanjian Innominaat oleh KUHPerdata menyebabkan

ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Innominaat diatur sendiri oleh para

pihak berdasarkan kesepakatan bersama, dengan tetap memperhatikan asas-asas

yang berlaku dalam kebebasan berkontrak. Apabila dalam pelaksanaannya

kemudian ditemukan hal-hal yang tidak diatur secara khusus, atas hal tersebut

berlaku ketentuan dalam KUHPerdata mengenai Perjanjian.

7 Ibid, hal.5.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

14

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, syarat sahnya perjanjian

innominaat juga mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Dalam syarat yang pertama ini, kehendak dari para pihak

mempunyai kedudukan yang prinsipil, karena langsung berhubungan

dengan apa yang menjadi kemauan para pihak. Dalam kerangka pengertian

perjanjian, kehendak adalah apa yang benar-benar dimaui oleh kedua

belah pihak. Dengan kesepakatan yang dimaksudkan bahwa di antara

pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak,

artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula dikehendaki

yang lain.8

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini,

tetapi di dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Ditentukan syarat bahwa tidak

ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau

diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat

disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat di antara masing-masing pihak

tidak boleh dipaksakan pada pihak lainnya. Demikian juga apabila

kehendak yang satu didasarkan atas kekhilafan atau penipuan, maka akan

menyebabkan perjanjian tersebut dikemudian hari dapat dimintakan

pembatalannya.

8 R. Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni,

Bandung, hal. 3.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

15

Dengan adanya kesepakatan dari para pihak itu, maka kesepakatan

itu menimbukan kekuatan mengingat perjanjian sebagaimana layaknya

undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang

dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang

menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral,

tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.9

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Dalam membuat perjanjian, kedua belah pihak harus cakap atau

mempu untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1329 KUH Perdata.

Menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian

jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Dari ketentuan

pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya setiap orang

dianggap cakap atau mampu untuk membuat perjanjian, kecuali mereka

yang dianggap tidak cakap. Kecakapan bertindak ini menunjukkan kepada

kewenangan yang umum (kewenangan umum untuk menutup perjanjian)

dan sedangkan kewenangan bertindak menunjukkan kepada yang khusus

yaitu kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa khusus.10

Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dapat

disimpulkan bahwa yang dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap

membuat perjanjian adalah: (a) orang yang belum dewasa, (b) mereka

yang berada di bawah pengampuan/perwakilan, (c) perempuan yang

menikah atau berstatus sebagai istri. Namun dengan berlakunya Surat

9 Ridwan Khairandy, 2008, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,

Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 27. 10

Ibid, hal. 274-275.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

16

Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, yang menghimbau pada

para hakim Pengadilan Negeri untuk tidak memberlakukan Pasal 108 dan

110 KUH Perdata. Dipertegas dengan adanya Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 yang menyatakan bahwa setelah terjadi perkawinan istri

mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan suami. Sehingga istri

adalah cakap untuk melakukan hubungan hukum tanpa harus ada ijin dari

suami.

3. Suatu Hal tertentu

Syarat ketiga sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320

KUH Perdata adalah adanya suatu hal tertentu. Maksudnya hal tertentu ini

ditegaskan dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan

bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok

perjanjian, yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa tidak menjadi halangan bahwa

jumlah barang tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat

ditentukan atau dihitung.

Dari ketentuan di atas disimpulkan bahwa yang diperjanjikan

dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas

atau tertentu dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan. Syarat ini diperlukan agar dapat ditetapkan kewajiban debitur

apabila terjadi perselisihan. Hal atau barang yang diperjanjikan paling

tidak harus ditentukan jenis dan jumlahnya. Tetapi undang-undang tidak

mengharuskan barang itu harus ada atau sudah ada ditangan debitur pada

waktu perjanjian dibuat. Di samping itu undang-undang juga tidak

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

17

mengharuskan penyebutan jumlahnya, asalkan dikemudian hari dapat

ditentukan dan dihitung.

4. Kausa atau sebab yang halal

Pengertian mengenai kausa yang halal ini tidak dapat diperoleh

pengertiannya dalam undang-undang. Namun pengertian sebaliknya, yaitu

kausa yang tidak hal dapat ditemukan di dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Pasal tersebut menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila

dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan

atau ketertiban umum.

Pasal 1337 KUH Perdata tersebut dapat diinterprestasikan secara

contrario menjadi kausa yang halal, yaitu kausa yang tidak bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, artinya isi

perjanjian harus halal atau tidak terlarang.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam

perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta

sun servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas

kepribadian.

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat

penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian

sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

18

undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan

pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya

perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada

seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan

perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:11

1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin

kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari

sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur

sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali

terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.12

b. Asas konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338

KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan

dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah ”semua.” Kata-kata

semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan

11

Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 12

Ibid, hal. 4.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

19

keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas

ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.13

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat

(consensus) diantara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas

lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas

bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu

hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian.

Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis

atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu

undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa

macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut

tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti

perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara

tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut

dengan perjanjian formil.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam

kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"

pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat

secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-

undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di

13

Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I,

Alumni, Bandung, (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I), hal. 113.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

20

dalamnya “hakim” untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara

sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas

kepastian hukum.

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;

2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi

debitur maupun bagi kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum

benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang

diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian obyektif).14

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang

pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui

tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam

arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian

harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

14

Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.

42.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

21

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan

kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan

sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang

terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUHPerdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun

dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu

janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan

bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada

pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317 KUHPerdata.

Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan

tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

1.5.1.2 Teori Pertanggungjawaban

Teori pertanggungjawaban digunakan dalam penelitian ini untuk

menjawab rumusan masalah kedua yaitu tanggungjawab notaris terhadap

perjanjian nominee yang telah dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal 1328

KUHPerdata. Pertanggungjawaban seseorang ada seimbang dengan kerugian yang

diakibatkan oleh perbuatannya yang bertentangan dengan hukum dari orang lain.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

22

Hal ini disebut tanggung jawab kualitatif, yaitu orang yang bertanggungjawab

karena orang itu memiliki suatu kualitas tertentu.15

Kranenburg dan Vegtig mengemukakan bahwa mengenai persoalan

pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang melandasi, yaitu Teori Fautes

Personalles dan Teori Fautes de Servuces yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Teori Fautes Personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap

pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah

menimbulkan kerugian. Menurut teori ini, beban tanggungjawab ditujukan

pada manusia selaku pribadi.

b. Teori Fautes de Servucesyaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini tanggungjawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula

apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau

kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.16

Dalam suatu negara hukum, setiap tindakan jabatan yang dilakukan oleh

suatu perwakilan (vertegenwoordiger) yaitu pejabat (ambtsdrager) harus

berdasarkan pada asas legalitas, artinya setiap tindakan jabatan harus berdasarkan

pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh

15

W. Sommermeijer, 2003, Tanggung Jawab Hukum, Pusat Studi Hukum

Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 23. 16

Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 365.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

23

karenannya, penggunaan wewenang untuk melakukan tindakan hukum harus

dapat dipertanggungjawabkan.17

Hans Kelsen mengemukakan dalam teorinya mengenai

pertanggungjawaban bahwa: “Seseorang bertanggungjawab secara hukum

terhadap suatu perbuatan tertentu atau karena ia memikul tanggungjawab hukum

tersebut yang berarti ia bertanggungjawab apabila ia melakukan suatu perbuatan

yang bertentangan dengan hukum”.18

Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa

pertanggungjawaban sangat erat kaitannya dengan sanksi, selain itu ia juga

menyatakan bahwa pertanggungjawaban dibagi menjadi: Pertanggungjawaban

individu, pertanggungjawaban kolektif, pertanggungjawaban berdasarkan

kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute

responsibility).19

Menurut teori tradisional pertanggungjawaban dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault)

dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).20

Pertanggungjawaban

berdasarkan kesalahan yaitu seorang individu yang bertanggungjawab atas

pelanggaran yang dilakukannya dengan sengaja dan diperkirakan memiliki tujuan

untuk menimbulkan kerugian. Pertanggungjawaban mutlak artinya seorang

17

Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Di Daerah Yogyakarta, FH UII

Press. Yogyakarta, hal. 114. 18

Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law And State, Teori Umum

Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum

Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, hal. 81. 19

Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien,

Nuansa & Nusamedia, Bandung, hal. 140. 20

Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law And State, terjemahan

Andrew Wedberg, Russel & Russel, New York, hal. 65.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

24

individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak

sengaja dan tidak diperkirakan.21

Beberapa prinsip-prinsip yang terkait dengan tanggungjawab yang

sering diterapkan dalam upaya perlindungan hukum:

1. Prinsip Tanggungjawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

based on fault) adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan

seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika

terdapat unsur kesalahan yang dilakukan.22

Berdasarkan prinsip ini

konsumen diberikan tanggungjawab untuk membuktikan adanya unsur

kesalahan pelaku usaha yang tentunya berdampak memberatkan

konsumen.23

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab

(presumption of liability principlep), sampai ia dapat membuktikan ia

tidak bersalah. Jadi beban pembuktian diletakkan pada tergugat (pelaku

usaha).

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya, dimana pihak

yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu terdapat pada

21

Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, loc. cit. 22

Lukman Santoso AZ, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank,

Pustaka Yustisia, Jakarta, hal. 130. 23

Erman Rajagukguk, et. Al., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV

Mandar Maju, Bandung.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

25

konsumen. Konsumen dianggap selalu bertanggungjawab, sampai ia dapat

membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

4. Prinsip Tanggungjawab Mutlak

Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) adalah prinsip

tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan, tetapi masih terdapat suatu pengecualian yang

memungkinkan dibebaskannya dari tanggungjawab, yaitu keadaan force

majeure. Prinsip tanggungjawab mutlak ini secara umum dipergunakan

untuk menjerat pelaku usaha, khususnya pelaku usaha yang memasarkan

produk dan merugikan konsumen. Dalam perlindungan konsumen

penerapan prinsip tanggungjawab mutlak ini dikenal dengan product

liability.

5. Prinsip Tanggungjawab Dengan Pembatasan

Prinsip tanggungjawab dengan pembatasa ini (limitation ability principle)

sangat disenangi pelaku usaha, karena pelaku usaha dapat membatasi

secara maksimal tanggungjawabnya.

6. Product Liability, Professional Liability

Tanggungjawab produk (product liability) merupakan tanggungjawab

produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran yang

menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada

produk tersebut. Melalui prinsip ini, dasar gugatan untuk tanggungjawab

produk dapat dilakukan atas landasan adanya:

1) pelanggaran jaminan;

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

26

2) kelalaian; dan

3) tanggungjawab mutlak.

Teori tanggungjawab memberikan pengertian bahwa setiap orang harus

bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Dalam penulisan

tesis ini menekankan pada pembahasan menganai pertanggungjawaban notaris

terhadap perjanjian nominee yang telah dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal

1328 KUHPerdata.

1.5.1.3 Konsep Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang

telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,

yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang

berkepentingan, Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang

menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihatnya dihadapannya.24

Di dalam HIR akta otentik diatur dalam Pasal 165 (Pasal 1868 KUH

Perdata) yang berbunyi sebagai berikut: “akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat

oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti

yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat

hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang

tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir

24

Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata,

Alumni, Bandung, hal. 36.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

27

ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok

daripada akta”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, akta otentik dapat dibagi menjadi 2

(dua) macam yaitu:25

1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat atau yang dinamakan akta relaas

atau akta pejabat (ambtelijke akten).

Akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten) merupakan suatu

akta yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan

atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris selaku

pembuat akta. Dengan kata lain, akta yang dibuat sedemikian dan yang

memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialami notaris

dinamakan akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat yang berwenang.

2. Akta yang dibuat dihadapan notaris atau yang dinamakan akta partij

Akta partij adalah akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang

terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris,

artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan

jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di

hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan

itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh

notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang seperti itu dinamakan akta

25

G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,

Jakarta, hal. 51.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

28

yang dibuat dihadapan notaris. Contohnya perjanjian hibah, wasiat, kuasa

dan lain sebagainya.26

Pada akta partij selalu terdapat kekuatan bukti materiil dan merupakan alat

bukti sempurna sebab dalam akta partij kebenaran dari isi akta tersebut ditentukan

oleh pihak-pihak dan diakui pula oleh pihak-pihak dan pejabat yang menerangkan

seperti apa yang dilihat, diketahuinya dari para pihak itu. Tetapi pada akta Relaas

tidak selalu terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat

menyangkal kebenaran isi akta otentik itu asal dapat membuktikannya, sebab apa

yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan.27

Dari 2 (dua) macam akta tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa notaris

tidak berada di dalamnya, tetapi yang melakukan perbuatan hukum itu adalah

pihak-pihak yang berkepentingan. Inisiatif dalam pembuatan akta notaris atau akta

otentik itu ada pada para pihak. Dengan demikian, akta notaris atau akta otentik

tidak menjamin bahwa pihak-pihak tersebut berkata benar, tetapi yang dijamin

oleh akta otentik adalah para pihak benar-benar berkata atau melakukan perbuatan

hukum seperti yang termuat dalam akta tersebut.

Terhadap hal-hal yang disampaikan kepada notaris, apakah itu

mengandung suatu kebenaran atau tidak, hal itu bukanlah kewenangan notaris

karena notaris tidak memiliki kewenangan investigatori. Apabila akta notaris itu

mengandung kebohongan atau kepalsuan dimana keterangan yang diberikan

26

Ibid, hal. 46 27

Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 136.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

29

kepada notaris tidak benar maka tidak menjadikan akta tersebut sebagai akta

palsu, sepanjang notaris tersebut tidak mengetahui bahwa keterangan yang

diberikan padanya adalah tidak benar atau palsu.

Dari uraian di atas, maka antara akta otentik yang dibuat “oleh” dan yang

dibuat “dihadapan” pegawai umum terdapat perbedaan pokok antara lain:

1. Pada akta otentik yang dibuat “oleh” pegawai umum, inisiatif datang dari

pihaknya, pihaknya mengetahui benar tentang hal-hal yang dikemukakan

dalam akta (isi akta); sedangkan pada akta otentik yang dibuat

“dihadapan” pegawai umum yaitu notaris, notaris tidak pernah memulai

inisiatifnya, notaris tidak tahu benar kebenaran dari hal-hal yang

dikemukakan oleh kedua belah pihak yang hadir dihadapannya (isi dari

akta), ia hanya membantu merumuskan kehendak para pihak.

2. Akta otentik yang dibuat “dihadapan” pegawai umum biasanya disebut

juga dengan akta para pihak, dalam hal ini notaris pasif artinya notaris

menunggu sampai ia diperlukan oleh pihak lain untuk membuatkan akta.

Jadi, tidak ia dengan sendirinya tanpa dipanggil membuat akta. Akta para

pihak juga tidak berarti hanya berisikan keterangan dari pihak saja,

melainkan juga berisikan keterangan dari notaris itu sendiri.

3. Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum terhadap ketiadaan tanda tangan

tidak mengakibatkan akta tersebut kehilangan otensitasnya. Sebagai

contoh sering kali orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat

sebelum akta itu ditandatangani dan oleh notaris cukup hanya

menerangkan dalam akta tersebut bahwa para pihak yang hadir telah

meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan akta itu tetap

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

30

merupakan akta otentik. Pada akta yang dibuat “dihadapan” pejabat

umum, keharusan adanya tanda tangan para pihak adalah untuk

mempertahankan otentisitasnya. Jika akta tersebut tidak ditandatangani

maka akta tersebut harus diterangkan apa yang menjadi alasan tidak

ditandatanganinya akta itu, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta

huruf atau tangannya lumpuh. Keterangan notaris mengenai hal tersebut

adalah sebagai ganti tanda tangan (surrogaat). Dengan demikian dalam

akta partij penandatanganan oleh para pihak adalah merupakan suatu

keharusan.28

Suatu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya dapat

menjadi akta otentik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam

Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu:

a. Akta harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seseorang pejabat umum.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-

undang.

c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu.

Berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata jo Pasal 16 ayat (8) UUJN, apabila

salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata itu tidak

terpenuhi maka akta yang dibuatnya tidak otentik, hanya mempunyai kekuatan

sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.

28

Teguh Samudera, Op.Cit, hal.42

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

31

1.5.1.4 Konsep Pertanggungjawaban Notaris

Pengertian Notaris berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN adalah sebagai

berikut: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-

undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Tanggungjawab adalah

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, sehingga bertanggungjawab dapat

diartikan berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala

sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggungjawab

merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku perbuatannya yang disengaja

maupun yang tidak disengaja.

Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan

kewajibannya Selanjutnya menurut Habib Adjie terkait kedudukan Notaris dalam

mengemban tanggung jawabnya adalah sebagai berikut:

Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang

terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta

tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat

konkret, individual, dan final dan tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi

seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan

atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang

dibuat di hadapan atau oleh Notaris dan bukan kehendak Notaris.29

Tanggung

jawab Notaris dapat dilihat dari kewajiban dan wewenang Notaris yang diatur

dalam UUJN.

Dikaitkan dengan perjanjian nominee, notaris bertanggung jawab atas

pelanggaran 2 (dua) peraturan, yaitu UUJN dan Kode Etik.

1. UUJN

Pembuatan akta nominee agreement oleh notaris dapat digolongkan

melanggar pasal-pasal UUJN sebagai berikut:

a. Pasal 4 ayat (2) yaitu sumpah/ janji jabatan notaris

Notaris wajib mengucapkan sumpah/ janji di hadapan Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia sebelum menjalankan jabatannya.

29

Habib Adjie, Op.Cit, hal.163-164.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

32

Dalam sumpah/janji jabatan notaris, ketika diambil sumpahnya notaris

mengucapkan “bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara

Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang tentang Jabatan

Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.”30

Berdasarkan

kata-kata bahwa notaris akan patuh pada peraturan perundang-

undangan lainnya, dapat disimpulkan bahwa notaris dalam

menjalankan jabatannya juga harus mematuhi peraturan perundang-

undangan lainnya. Jadi Notaris tidak diperbolehkan membuat

perjanjian nominee dimana perjanjian dan/atau pernyataan tersebut

menegaskan bahwa kepemilikan suatu barang/benda untuk dan atas

nama orang lain.

b. Pasal 15 ayat (2) huruf e

Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan atau

tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan

aturan hukum yang berlaku.31

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e

mengenai kewenangan Notaris ini, sudah seharusnya Notaris

memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada para pihak yang

datang kepadanya dengan maksud membuat perjanjian nominee yang

dilarang.

Notaris harus memberikan penyuluhan hukum atau memberi

penjelasan kepada para pihak, bahwa perjanjian atau pernyataan yang

31

Ibid.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

33

hendak mereka buat, yang di dalamnya menegaskan bahwa

kepemilikan barang atau benda untuk dan atas nama orang lain, adalah

melanggar hukum, para pihak seharusnya tidak membuat perjanjian

atau pernyataan tersebut karena akan mengakibatkan perjanjian atau

pernyataan tersebut menjadi batal demi hukum. Akta notaris yang batal

demi hukum, mulai terjadinya pembatalan adalah sejak saat akta

tersebut ditandatangani dan tindakan hukum yang tersebut dalam akta

dianggap tidak pernah terjadi dan tanpa perlu adanya putusan

pengadilan.

c. Pasal 16 ayat (1) huruf a

Pada Pasal 16 ayat (1) huruf d mengenai kewajiban Notaris ini,

disebutkan bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib

bertindak jujur. Dalam hal ini Notaris harus jujur memberitahukan

kepada para pihak yang datang kepadanya untuk membuat perjanjian

nominee dilarang oleh hukum. Apabila perjanjian atau pernyataan

tersebut dibuat, maka akan mengakibatkan perjanjian atau pernyataan

tersebut menjadi batal demi hukum. Hal ini juga dimaksudkan untuk

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum,

dalam hal ini para pihak yang datang kepada Notaris, agar para pihak

tidak dirugikan dengan dibuatnya perjanjian atau pernyataan tersebut.

d. Pasal 16 ayat (1) huruf d

Pelayanan Notaris kepada masyarakat yang memerlukan bukti otentik

wajib diutamakan sesuai dengan UUJN, tetapi dalam keadaan tertentu

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

34

notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-

alasan tertentu.

2. Kode Etik

Pasal 3 angka 4

“Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan

notaris.”32

Berdasarkan pasal tersebut, Notaris harus bertindak jujur kepada para

pihak, yaitu memberitahukan kepada para pihak bahwa kepemilikan

barang atau benda oleh hukum untuk dan atas nama orang lain terbatas.

Oleh karena itu, Notaris juga harus menjelaskan kepada para pihak, bahwa

perjanjian yang hendak mereka tuangkan dalam akta notaris itu adalah

melanggar isi sumpah jabatan Notaris, yang apabila perjanjian tersebut

tetap dibuat maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal

demi hukum.

32

Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu

Penjelasan, Rajawali, Jakarta, hal. 98.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

35

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang

mengkaji dan menganalisis bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dengan pembuatan

perjanjian nominee. Penelitian hukum normatif (normative legal research)

merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum

tertentu.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu

penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan

dan bahan pustaka.33

Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang

difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum

positif.34

Dalam peneltian normatif, hukum dipandang identik dengan norma-

norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang

berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom,

mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.35

33

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida

Media, Jakarta, hal. 34. 34

Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Banyumedia, Malang, hal. 295. 35

Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan

Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

36

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan

memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu

hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan

yaitu:36

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabungkan sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

permasalahan yang diteliti adalah mengenai akibat hukum dari pembuatan

perjanjian nominee dikaitkan dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

36

Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

37

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.37

1. Bahan hukum primer

Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

dikaji, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

d. Undang-undang Nommor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

2. Bahan hukum sekunder

Merupakan bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: hasil

penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,

bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat

dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder ini

sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.38

37

Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit

Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 38

Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

38

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode

pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan

tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi

peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum sekunder dan tersier

dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diperoleh

melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya

secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel

ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian

dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan

memahami dari masing-masing bahan informasi yang didapatkan baik dari bahan

hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian

kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya.

Jadi, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka

atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum sekunder mengenai obyek

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,

dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan bahan hukum sekunder

mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan

menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I.pdf · dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172. 4 antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi

39

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,

melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat

kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan

hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara

interpretatif, evaluatif, argumentatif dan deskriptif.39

1. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran historis, sistematis dan lain-lain. Selanjutnya bahan

Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif, sistematis

dan argumentatif.

2. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,

proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam baik

dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

3. Teknik sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau

konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak

sederajat.

4. Teknik argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

39

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi

Magister Hukum, Universitas Udayana. hal. 14.