bab i pendahuluanrepository.radenfatah.ac.id/6473/1/rasyid.pdf · bukan hanya hubungan (ibadah)...

46
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Islam adalah agama yang ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan nilai bagi kehidupan manusia, Islam telah berada dalam struktur kehidupan semenjak 14 Abad yang silam dengan ditandai oleh kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Awal babak baru bagi dunia kemanusiaan telah dimulai, Muhammad saw sebagai seorang yang revolusioner telah memberikan tatanan kehidupan yang baru dalam struktur kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan terarah pada satu fokus yaitu tatanan kehidupan yang disesuaikan dengan nilai- nilai serta hukum dalam ajaran Islam. Di antaranya dalam bidang muamalah yang dalam hal ini dikhusukan pada bidang asuransi Islam. 1 Sebagai umat Islam tentu harus berpegang kepada hukum agama Islam, bukan hanya hubungan (ibadah) kepada Allah tetapi mencakup juga bermuamalah kepada sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hukum Islam memiliki kemampuan berevolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-soal dunia Islam masa kini. Semangat dan prinsip umum agama Islam tetap berlaku baikdimasa lampau, masa kini dan masa yang akan datang, dalam banyak hal, pola hukum Islam menyerahkan soal-soal rincian kepada akal manusia. Tentu saja akal bertaut dan berpedoman kepada wahyu dan bidang yang luas yang telah ditetapkan 1 AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teorirtis, dan Praktis, (Jakarta : Prenada Media, 2004).

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Islam adalah agama yang ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan

    nilai bagi kehidupan manusia, Islam telah berada dalam struktur kehidupan

    semenjak 14 Abad yang silam dengan ditandai oleh kenabian dan kerasulan

    Muhammad saw. Awal babak baru bagi dunia kemanusiaan telah dimulai,

    Muhammad saw sebagai seorang yang revolusioner telah memberikan tatanan

    kehidupan yang baru dalam struktur kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan

    terarah pada satu fokus yaitu tatanan kehidupan yang disesuaikan dengan nilai-

    nilai serta hukum dalam ajaran Islam. Di antaranya dalam bidang muamalah yang

    dalam hal ini dikhusukan pada bidang asuransi Islam.1

    Sebagai umat Islam tentu harus berpegang kepada hukum agama Islam,

    bukan hanya hubungan (ibadah) kepada Allah tetapi mencakup juga bermuamalah

    kepada sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari. Hukum Islam memiliki

    kemampuan berevolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-soal dunia Islam

    masa kini. Semangat dan prinsip umum agama Islam tetap berlaku baikdimasa

    lampau, masa kini dan masa yang akan datang, dalam banyak hal, pola hukum

    Islam menyerahkan soal-soal rincian kepada akal manusia. Tentu saja akal bertaut

    dan berpedoman kepada wahyu dan bidang yang luas yang telah ditetapkan

    1AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis

    Historis, Teorirtis, dan Praktis, (Jakarta : Prenada Media, 2004).

  • 2

    sesuai fungsinya, Tidak adanya rincian inilah yang memberikan elastisitas luas

    kepada Islam.2

    Seiring berjalannya waktu, dan perubahan kondisi kehidupan manusia maka

    timbul permasalahan-permasalahan yang hukumnya tidak dijelaskan secara

    tersurat maupun tersirat baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang mana

    membuat para ulama Islam harus merumuskan hukum permasalahan tersebut

    berdasarkan pedoman-pedoman pokok dari Al-Qur’an maupun Hadits.3

    Asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk

    arisan untuk meringankan beban keungan seseorang. Secara sederhana konsep

    asuransi adalah persiapan yang dipersiapkan oleh sekelompok orang yang masing-

    masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga

    apabila kerugian tersebut menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi

    anggota kelompok itu, maka kerugian akan di tanggung bersama.4 Oleh karena

    itu masalah Asuransi ini dalam Islam termasuk bidang hukum ijtihad, artinya

    untuk menentukan hukumnya asuransi, halal atau haram masih dibutuhkan

    peranan akal pikiran para ulama fiqh melalui ijtihad.5

    Dikalangan umat Islam ada yang beranggapan bahwa asuransi tidak islami,

    orang yang melakukan asuransi sama saja mengingkari rahmat Allah swt, karena

    2 MA. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta : (Dana Bakti Prima Yasa,

    1997). hal 27 3 .Abdul Karim Zaidan,“Mudhal Liddirasaty Syariah Islamiyah“ Cet I (Beirut – Lebanon

    : Resalah Publishers, 2009) hal 65 4 Muhammad Muslehuddin, “Insurence In Islamic Law”, alih Bahasa Wardana, Cet.I

    (Jakarta : Bumi Aksara, 1995) hal 3 5 Warkum Sumitro. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait ( BMI dan

    Takaful ) Di Indonesia. Cet III (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002 ) hal 177

  • 3

    Allah swt lah yang telah menentukan segala-galanya dan yang memberi rezeki

    kepada makhluknya.

    Dikarenakan itulah terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama

    Islam dan cendikiawan muslim tentang hukum asuransi, setidaknya ada 3 (tiga)

    pendapat, yaitu :

    Pertama : pendapat yang mengharamkan asuransi, pendapat ini antara lain

    dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah,6 Yusuf al-

    Qaradhawi dalam bukunya al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Pengharaman

    didasari beberapa alasan antara lain yaitu bahwa pada hakikatnya sama saja

    dengan judi, kemudian asuransi juga dianggap mengandung unsur yang tidak jelas

    dan tidak pasti, juga karena asuransi mengandung unsur riba.7

    Kedua : Pendapat yang membolehkan asuransi, antara lain : Ahmad Zarqa

    dalam bukunya yang berjudul Aqdut Ta’min Wa mauqifus Syariah al-Islamiyah

    Minhu, Muhammad Yusuf Musa, Abdul Wahab Khalaf, dan Abdurrahman Isa,

    Pembolehan asuransi oleh pendapat kedua ini antara lain adalah karena tidak

    adanya nash Alquran maupun nash Hadits yang melarang asuransi juga karena

    kedua pihak yang berjanji (Perusahaan Asuransi dan Nasabahnya) dengan penuh

    kerelaan dan atas dasar saling meridhoi, serta merupakan perbuatan yang

    melayani kepentingan umum.8

    6 Sayyid Sabiq. Fiqhus Sunnah. (Beirut-Lebanon : Resalah Publishers, 2008) Jilid 3 hal

    246 - 247 7 Yusuf Qaradhawi. al-Halal wa al-haram fi al-Islam. (Darul Baydho – Mesir : Darul

    Ma’rifah 1985). hal 263 - 267 8 Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah (Life and General) Konsep Dan Sistem

    Operasional. (Jakarta : Gema Insani, 2004). hal 71-72 & 75

  • 4

    Ketiga : Pendapat yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan

    mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial, pendapat ini

    dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, Alasannya membolehkan asuransi

    yang bersifat sosial (Saling menolong) adalah halal dan sebagai perkara yang

    alami yang perlu diadakan; sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang

    bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama

    yaitu hakikatnya sama dengan judi, kemudian asuransi juga dianggap

    mengandung unsur yang tidak jelas dan tidak pasti, juga karena asuransi

    mengandung unsur riba.9

    Perbedaaan pendapat dikalangan para ulama dan cendikiwan muslim terkait

    boleh tidaknya asuransi dalam Islam sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad

    Syakir sula dalam bukunya10 bahwa “Sesungguhnya perbedaan pendapat

    dikalangan para ahli hukum Islam sekarang mengenai masalah hukum asuransi

    disebabkan mereka tidak mempunyai gambaran yang luas (utuh) tentang ta’min

    ‘asuransi’ itu sendiri, menurut yang dimaksud para ahli hukum syariah”, serta

    bagaimana konsep, sistem, operasional, serta kontrak-kontrak asuransi dalam

    praktiknya.

    Selain itu, dengan melihat fenomena pada masyarakat yang terjadi saat ini,

    kebutuhan akan asuransi terus bertambah malah berkembang dengan pesat

    seakan-akan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarat sekarang ini, dengan

    adanya perbedaan pemahaman diantara para ulama dan ahli hukum Islam tentang

    hukum asuransi, merupakan bukti bahwa ketentuan boleh dan tidaknya asuransi

    9 Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah. hal 62 10 Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah. hal 76

  • 5

    merupakan persoalan yang tidak tetap, yang mana masih ada kemungkinan untuk

    berubah seiring dengan perkembangan zaman.

    Bisa dilihat pendapatnya Yusuf Qaradhawi dalam bukunya al-Halal wa al-

    Haram fi al-Islam, walaupun dia termasuk dalam kelompok ulama yang

    mengharamkan asuransi, tapi sesungguhnya dalam bukunya dia tidak menolak

    asuransi secara mutlak. Tetapi dia memberikan solusi bahwa asuransi masih dapat

    diterima apabila disesuaikan dengan prinsip syari'at Islam.11

    Dari pernyataan diatas dapat dijadikan kerangka teori untuk lebih

    memahami tentang ketentuan hukum asuransi, oleh karena itu penulis tertarik

    untuk mengkaji pendapat Yusuf Qaradhawi tentang asuransi.

    B. RUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, terdapat

    beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini antara lain:

    1. Apa metode penetepan hukum asuransi menurut Yusuf Qaradhawi?

    2. Bagaimana telaah pemikiran Yusuf Qaradhawi tentang asuransi?

    C. TUJUAN PENELITAN

    Dengan melihat pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan dari

    penelitian ini adalah:

    1. Menganalisis pendapat metode penetapan hukum Asuransi menurut

    Yusuf Qaradhawi.

    11 Yusuf Qaradhawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Darul Baydho – Mesir : Darul

    Ma’rifah 1985), hal 263 - 267

  • 6

    2. Menganalisis pemikiran Yusuf Qaradhawi tentang asuransi termasuk

    asuransi jiwa.

    D. KEGUNAAN PENELITIAN

    1. Secara Teoritis :

    Sebagai bagian dari upaya pengembangan ilmu, terutama yang berkaitan

    dengan studi islam dalam hubungannya dengan ekonomi khususnya

    tentang asuransi.

    2. Secara Praktis :

    Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas akhir penulis guna

    memperoleh gelar Magister Ekonomi Syariah pada Program Studi

    Ekonomi Syariah di Program Pasca Sarjana UIN Raden Fatah Palembang

    dan Sebagai bahan masukan yang dapat digunakan oleh lembaga asuransi,

    terutama asuransi Islam.

    E. TINJAUAN PUSTAKA

    Pada masa sekarang ini banyak pemikir yang membahas persoalan tentang

    asuransi syariah. Sehingga tidak heran apabila banyak pemikir yang menuangkan

    ide pemikiranya ke dalam buku. Dalam memandang proses penulisan penelitian

    ini, penulis membutuhkan literatur-literatur buku yang berkaitan dengan

    permasalahan, sekaligus menjadikannya bahan referensi dalam penelitian ini,

    sedangkan dalam beberapa kajian penelitian/karya tulis berbentuk tesis, dari yang

    penulis temukan hasil penelitiannya tidak terfokus terhadap metode penetapan

  • 7

    hukum asuransi menurut Yusuf Qaradhawi serta tinjauan praktek asuransi yang

    ada saat ini bagaimana implementasinya dengan pendapat yang dikemukakan

    olehnya, diantaranya :

    Sri Wahyuningsih12 dalam tesisnya “Asuransi Syariah sebagai lembaga

    keuangan umat : Suatu tinjauan terhadap keberadaan asuransi syariah menurut

    UU.No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian” menjelaskan dalam Islam

    konsep dan perjanjian asuransi merupakan persoalan baru yang menimbulkan

    perdebatan dikalangan ulama tentang status hukumnya menurut syari’at Islam.

    Seiring dengan mulai dikembangkannya sistem ekonomi Islam modern, maka

    muncullah alternatif pengganti asuransi konvensional yang diperdebatkan ulama

    tersebut dengan asuransi yang didasarkan atas nilai-nilai Islam.

    Ahmad Bunyan Wahid13 dalam tesisnya “Asuransi dalam pandangan

    Muhamadiyah dan Nahdatul ulama” diuraikan bagaimana Fatwa majlis tarjih dan

    Lajnah bahsul masa’il memformalkan hukum asuransi. Bahwa asuransi yang

    diperbolehkan adalah asuransi yang bersifat sosial yang diselenggarakan oleh

    pemerintah.

    Kuat Ismanto14 dalam tesisnya “ Studi asas hukum Islam tentang asuransi “

    menjelaskan prinsip-prinsip hukum tentang asuransi. Kesimpulan yang dihasilkan

    bahwa sebenarnya prinsip-prinsip dasar asuransi tidak bertentangan dengan

    12Sri Wahyuningsih, “Asuransi Syariah sebagai lembaga keuangan umat : Suatu tinjauan

    terhadap keberadaan asuransi Syariah menurut UU NO.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian”. Thesis Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah, tidak dipublikasikan,

    Palembang, 2009. 13Ahmad Bunyan Wahid, “Asuransi dalam pandangan Muhamadiyah dan Nahdatul

    ulama” Thesis Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, tidak dipublikasikan,Yogyakarta, 2001. 14 Kuat Ismanto “Studi asas hukum Islam tentang asuransi “Thesis Program Pascasarjana

    UIN Sunan Kalijaga, dipublikasikan,Yogyakarta, 2005.

  • 8

    syariat Islam. Prinsip-prinsip itu ditempatkan sebagai syarat sahnya akad dan

    termasuk syarat yang diakui, bukan syarat yang bertentangan dengan akad.

    SITHA P.N., Nyanyu Verawaty15 Dalam tesisnya “Penerapan prinsip

    Mudharabah pada Asuransi Syariah : Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang

    Palembang” menjelaskan bahwa penerapan prinsip mudharabah pada PT Asuransi

    Takaful Cabang Palembang sudah sesuai dengan prinsip syariah yang diatur di

    dalam fatwa DSN dan telah memenuhi standar ketentuan yang ada.

    Deasita Diah susanti16 dalam tesisnya “Tinjauan Yuridis terhadap

    pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa syariah pada PT.Asuransi Takaful keluarga”

    tipe penelitian ini yuridis normatif dengan pendekatan perundangan-undangan,

    pendekatan konsep, serta analisis, penelitian ini meneliti apakah ketentuan tentang

    asuransi yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum perdata, kitab undang-

    undang hukum dagang dan undang –undang no 2 tahun 1992 tentang Usaha

    Perasuransian juga berlaku dan digunakan dalam perjanjian asuransi jiwa dengan

    prinsip syariah.

    F. KERANGKA TEORI

    Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia, manusia akan

    memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi,

    15 SITHA P.N., Nyanyu Verawaty, “Penerapan prinsip Mudharabah pada Asuransi

    Syariah :: Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang Palembang” Thesis Program Pascasarjana

    Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak dipublikasikan, Yogyakarta, 2008. 16Deasita Diah susanti, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa

    syariah pada PT.Asuransi Takaful keluarga” Thesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia

    (UI), dipublikasikan, Jakarta,2011.

  • 9

    baik dalam aspek material dan spiritual, dalam jangka pendek maupun dalam

    jangka panjang.

    Manusia menginginkan kebahagian dan kesejahteraan dalam hidupnya

    namun seringkali hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi,

    kenyataannya musibah dan bencana yang terjadi dalam kehidupan manusia baik

    berupa kehilangan materi atau non materi sewaktu-waktu pasti akan terjadi, oleh

    karena itu manusia mulai berfikir bagaimana cara untuk memperkecil resiko dan

    juga dampak keuangan yang mungkin timbul.

    Namun upaya tersebut seringkali tidak memadai, sehingga tercipta

    kebutuhan akan mekanisme mengalihkan resiko, Berbagai macam cara ditempuh

    manusia untuk mengatasi resiko antara lain dengan cara risk sharing (membagi

    resiko dengan pihak lain) atau biasa yang disebut dengan lembaga asuransi.

    Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit)

    yang sudah pasti sebagai pengganti (subsitusi) kerugian-kerugian besar yang

    belum pasti. 17

    Akan tetapi asuransi adalah hal yang baru yang belum dikenal baik pada

    masa nabi masih hidup ataupun pada masa-masa awal Islam. Al-Qur’an tidak

    menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti

    yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi

    atau al-ta’min secara nyata dalam Al-Qur’an. Walaupun begitu Al-Qur’an masih

    mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada

    dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong-menolong, kerja sama, atau

    17 AM. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam;, hal 104

  • 10

    semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian (peril) di masa

    mendatang18.

    Sehingga menjadikan perlunya dikaji hukum akan asuransi tersebut, dalam

    Islam pemahaman atas segala hukum agama yang berasal dari syariat Islam baik

    yang bersifat aqidah, akhlaq, ibadah atau mua’malah disebut juga atau termasuk

    dalam pengertian dari arti termologi fiqih19, dalam pengertian yang lain adalah

    pengetahuan atas hukum-hukum syariat dengan jalan berijtihad (mencari dalil-

    dalil syara’)20,

    Pada Dasarnya Tujuan dari Maqasid Syariah adalah mencari/mendatangkan

    manfaat/Maslahat (جلب المصالح) dan mencegah/menolak bahaya/Mafsadah

    berdasarkan hal ini maka teori yang digunakan untuk mencari atau ,(درع المفاسد)

    menentukan kemaslahatan dari asuransi bisa menggunakan salah satu kaidah usul

    fiqih yaitu Maslahatil Mursalah.

    Penggunaan Maslahatil Mursalah sebagai salah satu metode untuk

    menentukan atau mendapatkan hukum sudah berjalan sejak lama. Adalah Imam

    Malik dan pengikutnya yang mempelopori Maslahatil Mursalah sebagai sarana

    atau metode penetapan hukum.21

    Bahkan Imam Malik dan pengikutnya (Madzhab Maliki) ,termasuk juga

    Imam Ahmad dan pengikutnya mentakhshis nash Al-Qur’an dengan

    menggunakan Maslahat. Prinsip Maslahat yang dipegang oleh Imam Malik dan

    18 AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, hal 105

    19 Abdul Karim Zaidan, “Madhal Liddirasati Syariah Islamiyah” hal 61 20Abdul Malik Aljuwainiy, “Syarhul Waraqat” (Beirut-Lebanon : Muassasah Alkutub

    Assaqafiyah “tanpa tahun terbit”) hal 5 21 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh, ( Kairo-Mesir : Dar Al-Fikr Al-Arabi 1985)

    hal. 280

  • 11

    Imam Ahmad merupakan sarana yang produktif dalam menghasilkan ketetapan

    hukum-hukum fiqih, terutama dalam bidang muamalat.22

    Maslahat al-mursalah adalah salah satu kaidah dari dalil-dalil syar’i yang

    bertujuan untuk menentukan suatu hukum/ (من أدلة األحكام) , yang digunakan

    ketika suatu kemaslahatan yang terjadi tidak dijelaskan oleh nash-nash/dalil syar’i

    baik yang terdapat dari Al-Qur’an maupun dari Hadits yang membolehkannya

    atau yang melarangnya.23

    Maslahat al-mursalah digunakan untuk mendapatkan suatu hukum syar’i

    dari sebuah kemaslahatan atau permasalahan yang mana dari kemaslahatan ini

    jelas terdapat suatu manfaat yang berguna atau sangat dibutuhkan atau bisa juga

    jelas menolak atau menghilangkan suatu kemudharatan(bahaya).24

    Banyak permasalahan yang dibangun atas prinsip Maslahatil Mursalah

    contohnya pada masa Abu Bakar As-Shiddiq yaitu mengumpulkan Al-Qur’an

    dalam satu mushaf,25 termasuk Kemaslahatan yang dinilai jelas terdapat suatu

    manfaat yang berguna akan tetapi tidak terdapat nash/dalil syar’i baik yang

    mutlak membolehkannya atau yang melarangnya, maka disimpulkan untuk

    membolehkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, contoh lain dalam

    rangka mencegah kezhaliman adalah hukuman mati bagi sekelompok orang yang

    berkerjasama atau terlibat membunuh hanya satu orang dengan zhalim atau tanpa

    haknya, maka sekelompok orang tadi semuanya wajib qisas di bunuh.

    22Romli SA, “Konsep Maslahat dan kedudukannya dalam pembinaan Tasyri”

    (Palembang : Rafah Press 2010), hal 157 23 Abdul Karim Zaidan, “ Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh “ (Beirut-Lebanon:Resalah Publishers

    2009) Cet I, hal 188 24 Abdul Karim Zaidan, “ Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh “hal 188 25 Romli SA, “Konsep Maslahat,” hal 157

  • 12

    G. METODE PENELITIAN

    Kajian penelitian yang diangkat dalam tesis ini digolongkan dalam bentuk

    kajian/ penelitian pustaka (Library Research), menurut Saifuddin Azmar,

    Penelitian (research) merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka

    pemecahan suatu persoalan. Hasil penelitian tidak pernah dimaksudkan sebagai

    suatu pemecahan (solusi) langsung bagi permasalahan yang dihadapi, karena

    penelitian merupakan bagian saja dari usaha pemecahan masalah yang lebih besar.

    Fungsi penelitian adalah mencarikan penjelasan dan jawaban terhadap

    permasalahan serta mencarikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat

    digunakan untuk pemecahan masalah.26

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif, yang

    berarti mengkaji permasalahan dengan cara menelusuri dan mencari dan menelaah

    bahan berupa data dari literatur- literatur yang berhubungan dengan judul

    penelitian, baik yang berupa buku, artikel, dan karangan.27

    2. Sumber Data

    a. Data primer adalah sumber data yang berkaitan langsung dengan

    kajian penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh

    langsung dari buku karangan Yusuf Qaradhawi yaitu al-Halal wa al-

    Haram fi al-Islam. Dengan sub judul Syirkatu Ta’min.

    b. Data Sekunder adalah jenis data yang dapat dijadikan sebagai

    pendukung data pokok, atau dapat pula didefinisikan sebagai sumber

    26Saifudin Azmar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), cet. II, hal. 1 27Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Ando Offset, 1990), hal. 9.

  • 13

    yang mampu atau dapat memberikan informasi atau data tambahan

    yang dapat memperkuat data pokok.28 Adapun sumber data

    pendukung berupa buku-buku, jurnal, majalah, internet dan pustaka

    lain yang berkaitan dengan tema penelitian.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Kajian ini adalah penelitian pustaka, maka yang digunakan adalah mengkaji

    dan mentelaah literatur sumber data primer yang mempunyai relevansi dengan

    penelitian ini, dalam hal ini bearti kitab Yusuf Qaradhawi, serta mengkaji dan

    mempelajari data sekunder yang berupa buku-buku referensi tentang asuransi baik

    itu undang-undang asuransi atau bahan-bahan tertulis seperti jurnal, surat kabar,

    majalah, internet dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan

    penelitian ini.

    4. Analisis Data

    Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode

    induktif yaitu metode berpikir yang berangkat dari fakta yang khusus, peristiwa

    yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus itu

    ditarik generalisasi yang mempunyai sifat umum.29

    Sebagaimana penelitian pustaka, maka dalam menganalisis data,

    penyusunannya menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu data yang

    dikumpulkan, dirumuskan, dijelaskan dan kemudian dianalisa. Selain itu, juga

    28 Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1998), hal

    85. 29 Sutrisno Hadi, Metodoogi Research, hal 42.

  • 14

    akan menjelaskan dan menafsirkan data-data yang ada, menjadi suatu rumusan

    yang sistematis dan analitis.30

    Dengan metode ini nantinya penyusun dapat menyimpulkan pemikiran atau

    pendapat Yusuf Qaradhawi tentang hukum asuransi dan menyimpulkan

    bagaimana implementasi praktek asuransi saat ini menurut pendapat Yusuf

    Qaradhawi.

    H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

    Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan terhadap permasalahan

    yang diangkat maka pembahasan ini disusun secara sistematis sesuai tata urutan

    pembahasan yang ada dan saling berhubungan satu sama yang lain.

    Diawali bab satu yang memuat tentang pendahuluan, yang berisi hal-hal

    yang melatar belakangi penelitian yang nantinya menjadi dasar dari perumusan

    pokok masalah dan tujuan dari penelitian ini. Kemudian tinjauan pustaka yang

    menunjukkan posisi penelitian ini dibanding penelitian yang lain. Selanjutnya

    ialah kerangka teoritik dan metode penelitian, yang menjelaskan perangkat teori

    yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dan metode yang tepat dalam

    menentukan pendekatan masalah tersebut serta sistematika pembahasan.

    Pada bab dua membahas landasan teori mengenai salah satu kaidah usul fiqh

    : Maslahatil Mursalah sebagai sarana atau metode penetepan hukum serta

    gambaran umum tentang kemaslahatan sebagai tujuan ditetapkannya suatu

    hukum syara’ atau lebih dikenal dengan istilah Maqashid al-Syariah.

    30 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), cet. III, hal. 63.

  • 15

    Pada bab ketiga membahas mengenai tinjauan umum tentang asuransi

    syariah yang meliputi antara lain: definisi atau pengertian dari asuransi syariah,

    sejarah kemunculan asuransi syariah, jenis dan macam- macam produk asuransi

    syariah serta pendapat ulama tentang praktik asuransi yang berkembang saat ini.

    Bab keempat mengenai biografi dari Yusuf Qaradhawi yang berisi profil,

    latar belakang pedidikan serta karier dan aktivitasnya hingga sekarang, berikut

    tentang karya-karyanya yang ditulis olehnya baik berupa kitab-kitab ataupun

    buku-buku kecil.

    Bab kelima yang merupakan pokok dari penelitian ini, berisi analisa

    pendapat atau istimbat hukum/metode penetapan hukum tentang asuransi menurut

    Yusuf Qaradhawi dan menganalisa bagaimana telaah pemikiran Yusuf Qaradhawi

    tentang asuransi, yang mana walaupun dia tidak membolehkan praktek asuransi

    tapi dia memberi pengecualian yang memungkinkan praktek asuransi ini

    diperbolehkan.

    Pada bab terakhir berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan

    merupakan jawaban dari pokok masalah yang ada. Saran-saran memuat masukan-

    masukan yang berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian ini.

  • 16

    BAB II

    ASURANSI DAN KEMASLAHATAN

    A. TEORI MASLAHAT AL-MURSALAH

    Menemukan hukum syar’i dalam syariat Islam untuk suatu kemaslahatan

    yang terjadi harus melalui sumbernya, dan itu tidak boleh berlandaskan hawa

    nafsu semata akan tetapi harus melalui metode atau kaidah yang telah diterima

    oleh semua ulama kaum muslimin atau sebagian dari mereka, diantara banyak

    metode penetapan suatu hukum tersebut ialah kaidah maslahatil mursalah.

    1. Al-adillat Al-ahkam dan pembagiannya

    Al-Quran dan Hadits adalah dua sumber pokok untuk menentukan suatu

    hukum atau syariat dalam agama Islam, semua permasalahan atau kemaslahatan

    yang terjadi harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh

    Al-Quran dan Hadits baik secara tersurat maupun tersirat.

    Telah disepakati oleh para ulama Islam dari seluruh mazhab bahwa segala

    tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan yang ada di dalam ibadah

    dan mu’amalah, atau berupa pidana dan perdata yang terjadi dalam

    perjanjian/aqad atau pengelolaan (al-Tasharruf) dalam syariat Islam, semuanya

    itu mempunyai hukum. Hukum-hukum itu sebagian telah dijelaskan didalam

    nash-nash Al-Quran dan Hadits/Sunnah, sebagiannya lagi belum dijelaskan,

    Namun demikian, syariat Islam telah membuat dalil dan tanda-tanda bagi hukum

    tersebut, sehingga seorang ulama Mujtahid dengan media dalil dan tanda-tanda itu

  • 17

    mampu melahirkan ketetapan dan penjelasan tentang hukum yang belum

    dijelaskan tersebut.31

    Selain Al-Quran dan Hadits yang menjadi sumber hukum Islam, para ulama

    Islam juga telah menetapkan beberapa cara atau pedoman dalam istinbath/

    menentukan suatu hukum, yang lebih dikenal disebut dalam syariat dalil-

    dalil/tanda yang bertujuan menentukan hukum (أدلة األحكام), para ulama telah

    membagi dalil-dalil ini ada yang disebut Mashadir Ashliyah (sumber pokok)

    yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya karena keberadaan dalil-dalil hukum

    disebutkan secara tekstual didalam nash, dan Mashadir Thabi’iyah (sumber yang

    dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yaitu : Dalil-dalil yang dirumuskan

    melalui ijtihad dengan menggunakan metode penalaran ra’yu (pemikiran) dan

    disebut pula dengan dalil aqli, yang disepakati oleh jumhur ulama dari bagian ini

    ialah: Ijma dan Qiyas. Adapun yang menjadi ikhtilaf/perbedaan ialah: Istihsan,

    Istishab, Maslahah Mursalah, Urf, Syar’u Man qablana, dan Mazhab as-Shahaby.

    Secara rinci disebutkan oleh Abdul Karim Zaidan32 pembagian dalil-dalil ini

    sebagai berikut :

    Bagian pertama : yang disepakati bersama dan yang terdapat perbedaan

    pendapat. Ini terbagi menjadi 3 macam bentuk :

    1. Dalil yang disepakati seluruh ulama-ulama muslimin, yang termasuk

    bagian ini adalah al-Qur’an dan Hadits/as-Sunnah,

    31 Abdul Wahab Al-Khallaf “ Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Ilmu Ushulul Fiqh)/

    penerjemah, Noer Iskandar al-barsany,Moh.Tolchah Mansoer, Cet 7 (Jakarta: PT RajaGrafindo

    Persada) 2000, hal : 1 32 Abdul Karim Zaidan “Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh“ Cet I, (Beirut-Lebanon : Resalah

    Publishers 2009) hal 115

  • 18

    2. Dalil yang disepakati oleh sebagian besar ulama-ulama muslimin, yang

    termasuk bagian ini adalah Ijma’ dan Qiyas. (yang menyelisihi Ijma’

    sebagian dari kelompok Mu’tazilah dan sebagian kelompok khawarij33,

    dan yang menyelisihi Qiyas adalah Mazhab Ja’fariyah34 dan Mazhab

    Adzahiriyah35),

    3. Dalil yang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama muslimin,

    yang termasuk bagian ini adalah al-Urf Muktabarah, al-Istishab, al-

    Istihsan, al-Mashalihul Mursalah, Syar’u Man qablana, dan Mazhab as-

    Shahaby.

    Bagian Kedua : Dalil-Dalil yang bersumber kepada Nash (Naqliyah) dan

    pendapat/hasil dari pemikiran(Ar-Ra’yu/Aqliyah). Ini terbagi menjadi 2 macam

    bentuk :

    1. Dalil Naqliyah : yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Sunnah (Hadist), dan

    yang termasuk juga dari bagian ini adalah : Ijma’, Mazhab as-Shahaby, dan

    Syar’u Man Qablana (Syariat umat-umat terdahulu),

    2. Dalil Aqliyah : yaitu dalil yang bersumber dari hasil penelitian (النظر) atau

    hasil pemikiran, dan itu adalah Qiyas, dan yang termasuk juga dari bagian ini

    adalah : al-Istihsan, al-Istishab, dan al-Mashalihul Mursalah.

    Dengan kata lain, dalil-dalil yang disepakati ulama itu mencakup Al-Qur'an,

    as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, karena Ijma dan Qiyas hampir seluruh mazhab

    33 Muhammad Zapzaap “ Muzakarat Fi usul Fiqh” hal 63 (Dikutip oleh Abdul Karim

    Zaidan di kitab AL-Wajiz Fi Usulil Fiqh hal 115) 34 Al-Alamah Sayyid Ali haidary “ Usul Al Istimbat “ Juz 2 hal 258 (Dikutip oleh Abdul

    Karim Zaidan di kitab AL-Wajiz Fi Usulil Fiqh hal 115) 35 Ibnu Hazm Adzahiri “ Al-Ihkam Fi Usulil Ahkam “ Juz 7 hal 53 (Dikutip oleh Abdul

    Karim Zaidan di kitab AL-Wajiz Fi Usulil Fiqh hal 115)

  • 19

    mempergunakannya, meskipun derajatnya tidak sama ketika digunakan dalam

    mengistinbathkan hukum.

    Setelah apa yang telah disebutkan diatas ada dalil yang disepakati dan ada

    yang terdapat perbedaan, akan tetapi urutan untuk mengetahui suatu hukum syar’i

    harus pertama kali merujuk kepada Al-Qur’an, karena nash-nash Al-Qur'an

    merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw menjadi

    rujukan utama dalam istinbath hukum, apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an

    kembali ke as-Sunnah, Karena as-Sunnah merupakan sabda Nabi saw, di mana di

    samping berfungsi sebagai penjelas dari apa yang terdapat dalam nash Al-Qur'an

    juga menetapkan hukum-hukum yang tidak dijelaskan oleh Al-Qur'an. Apabila

    masih tidak ditemukan juga maka merujuk kepada Ijma’, karena Ijma’ sejatinya

    bersandar dari apa yang terdapat dalam nash Al-Qur’an atau Sunnah, apabila

    belum juga ditemukan juga merujuk kepada Qiyas.

    Apabila dari keempat sumber tadi masih belum ditemukan juga maka

    digunakan lah metode-metode penetapan melalui ijtihad dengan menggunakan

    metode penalaran ra’yu (pemikiran) diantaranya ialah al-Mashalihul Mursalah

    walaupun keberadaannya menimbulkan perdebatan (ikhtilaf) di kalangan ulama

    mazhab ushul. Hal ini disebabkan karena sebagian mereka memandang dan

    menjadikannya sebagai dalil dalam istinbath hukum, sementara yang lain

    menolaknya.

    2. Kajian maslahat

    Kajian tentang tujuan hukum yang dalam istilah usul fiqh disebut dengan

    Maqashid al-syari’ah ( مقاصد الشريعة) tidak lain adalah menyangkut pembahasan

  • 20

    tentang maslahat36. Abu Ishaq al-Syatibi37 mengatakan bahwa ditinjau dari segi

    maksud Syari’, sesungguhnya penetapan hukum syariah tidak lain ialah untuk

    mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia baik didunia maupun diakhirat.

    Begitu juga apa yang dijelaskan oleh Izzuddin Bin Abdi Salam38 Sesungguhnya

    syariah keseluruhannya adalah Mashalih (Kemaslahatan), baik itu menolak

    keburukan atau mencari kemanfaatan.

    Lebih terperinci lagi dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan39 bahwa

    sesungguhnya tujuan dari Maqashid al-syari’ah tidak lain adalah merealisasikan

    kemaslahatan umat manusia dan menjaga kemaslahatan tersebut serta

    menghindarkan meraka dari kerusakan atau marabahaya, akan tetapi yang

    dimaksud kemaslahatan ini (tujuan dari Maqashid al-syari’ah) bukanlah

    kemaslahatan yang dipandang menurut pendapat manusia itu sendiri, yang

    bermanfaat baginya berdasarkan hawa nafsu belaka, melainkan kemaslahatan

    yang berdasarkan timbangan syariat bukan berdasarkan pertimbangan hawa nafsu

    dan syahwat. Para ulama ushul memahami bahwa Allah swt tidaklah

    mensyari’atkan hukum-hukumNya kecuali untuk kemaslahatan bagi seluruh umat

    36 Maslahat atau kemaslahatan yang semula berasal dari bahasa arab yang selanjutnya

    diserap menjadi bahasa Indonesia mengandung makna yang sama dengan arti asalnya, yaitu

    sesuatu yang mendatangkan kebaikan, berguna dan bermanfaat atau kepentingan. Pengertian ini

    selanjutnya dapat dilihat dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia” disusun oleh W.J.S

    poerwadarmita diolah kembali oleh pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, edisi ketiga,

    Penerbit PT Balai Pustaka (Persero), 2011, hal 750 37 Abi Ishaq al-Syatibi, “Al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah” (Darul Hadist:Al-

    Qahirah/Mesir) 2006, Juz 2 hal 262 38 Izzudin Bin Abdi Salam, “Qowaidul Ahkam” Juz 1 hal. 9 (Dikutip Abdul Karim Zaidan

    dalam Kitab “Madhal Liddirasaty Syariah Islamiyah” hal 45) 39 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 299

  • 21

    manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan serta membebaskan dunia ini

    dari kemaksiatan dan perbuatan dosa.40

    Said Ramadhan al- Buthy41 menjelaskan dengan panjang lebar kriteria

    maslahah menurut syari’ah. Beliau menyimpulkan bahwa maslahat mempunyai

    tiga kriteria:

    Pertama : Maslahat harus mengandung dua dimensi masa, yaitu dunia dan

    akhirat. Dalam istilah singkatnya bisa disebut sebagai maslahat yang berwawasan

    dunia dan akhirat. Bagi orang-orang yang tidak beriman, kehidupan akhirat

    dipandang absurd atau kadang-kadang dipahami sebagai kehidupan yang

    fatamorganik. Untuk itu mereka sering mengabaikan maslahah yang bersifat

    ukhrawi. Bagi orang-orang yang beriman, kehidupan akhirat dipandang sebagai

    kelanjutan dari kehidupan dunia. Karenanya mereka meyakini adanya maslahat

    atau manfaat yang bersifat ukhrawi, sebagaimana halnya mereka merasakan

    maslahat duniawi.

    Kedua : Maslahat tidak hanya terbatas pada sisi dan norma material semata,

    tetapi juga harus mengandung norma spiritual agar maslahat tersebut bisa

    memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Sebagian Filosof menentang adanya

    maslahat rohaniah (yang bersifat spiritual). Karena maslahat rohani menurut

    pandangan mereka akan terwujud dengan sendirinya jika kebutuhan jasmani

    terpenuhi., Kebanyakan filosof tidak mempercayai maslahat yang bersifat spiritual

    ini. Karena itu setiap maslahat atau manfaat yang tidak bisa dinikmati secara

    40 Romli SA.” Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri’” hal 77 41 Said Ramadhan Al-Buthy, “Dhawaabith al-Maslahah,” Cet V, ( Daar al-Muttahidah

    1990) hal.45

  • 22

    material tidaklah disebut sebagai maslahat. Sejak jaman dulu semua orang

    mengerti bahwa riba itu tidak dilegalkan oleh agama. Tapi setelah mereka tahu

    bahwa ternyata riba mendatangkan keuntungan (kemaslahatan material), maka

    akhirnya mereka membolehkan riba demi untuk memenuhi kebutuhan jasmani

    yang bersifat material.

    Ketiga : Norma maslahat yang ditetapkan oleh agama merupakan dasar

    pijakan bagi maslahat-maslahat lainnya. Semua maslahat harus menginduk pada

    norma agama. Dan apabila pertentangan antara suatu kemaslahatan (baca:

    maslahat yang mutlak) dengan kemaslahatan agama, maka maslahat agama harus

    didahulukan demi menjaga dan melestarikan eksistensi agama. Pertentangan

    dimaksud tentunya berupa pertentangan antar norma. Norma atau nilai yang

    terdapat dalam maslahat agama berorentasi pada pandangan-pandangan yang telah

    digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedang norma kemaslahatan non

    agama tentu terlepas dari pandangan-pandangan keagamaan.

    Selanjutnya, Abdul Karim Zaidan42 menyebutkan bahwa yang dimaksud

    dengan maslahat adalah :

    المصلحة هي جلب المنفعة و دفع المضرة, أي : المفسدة

    Artinya : Maslahat adalah meraih manfaat dan menolak kemudharatan atau

    kerusakan.

    Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwasanya yang termasuk kategori

    maslahat apabila permasalahan itu memberi sebuah kemanfaatan atau untuk

    menghilangkam kerusakan. Abdul Karim Zaidan43 menjelaskan bahwa dilihat dari

    42 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187 43 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187

  • 23

    sisi positif/keharusan adanya kemaslahatan ( إيجابي ) yaitu keharusan terwujudnya

    manfaat, sedangkan dari sisi negatif/keharusan peniadaan atau penolakan

    kerusakan ( سلبي ) yaitu menghilangkan dan menghindarkan kerusakan.

    Senada dengan itu, al-Ghazali44 menjelaskan pula bahwa yang dimaksud

    dengan Maslahat ialah memelihara maksud atau tujuan syara’ dalam pengertian

    meraih manfaat dan menolak kerusakan. Lebih jelasnya dia berkata : " yang saya

    maksudkan bukan maslahat zhahir yaitu menarik suatu manfaat dan menolak

    kemudharatan, karena itu merupakan tujuan seluruh manusia dalam mencapai apa

    yang mereka inginkan, akan tetapi yang saya maksudkan dengan maslahat adalah

    menjaga tujuan syariat. Adapun tujuan syariat ada lima, menjaga agama

    menjaga ,(حفظ العقل) menjaga akal ,(حفظ النفس) menjaga jiwa ,(حفظ الدين)

    keturunan (حفظ النسل), dan menjaga harta (حفظ المال). Dari sini, maka segala

    sesuatu yang mengandung penjagaan terhadap lima asas tersebut disebut

    maslahat, sebaliknya segala sesuatu yang menghilangkan lima prinsip dasar

    syariat ini disebut mudharat dan menolaknya merupakan kemaslahatan.45

    Defenisi yang lebih rinci dikemukakan oleh Quthub Musthafa Sanu46

    sebagai berikut :

    المحافظة على مقصود الشرع المتمثل كل ما فيه منفعة و درع كل ما فيه مفسدة .

    مقصود الشرع من الخلق عند اكثر العلماء األصول : أن يحفظ عليهم دينهم و نفو سهم و و

    عقولهم و عرضهم و أموالهم, و هذه األمور الخمسة تعرف بالكليات الضروريات الخمس.

    44 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul”Juz 1, Cet I, ( Beirut-Lebanon : Resalah

    Publishers ) 1997, hal 416 45 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 417 46 Quthub Musthafa Sanu.”Mu’jam Musthalahat Ushul al-Fiqh” hal 415 (Dikutip oleh

    Romli SA dalam “Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri’” hal 80)

  • 24

    Artinya : (Maslahat) ialah memelihara maksud syara’ yang terkait dengan

    semua apa saja yang bermanfaat dan menghilangkan (menolak) segala apa saja

    yang bisa menimbulkan kerusakan.

    Maksud syara’ disini dikalangan Ulama Ushul adalah menyangkut

    melindungi / memelihara kepentingan manusia baik yang berhubungan dengan

    agama, jiwa, akal, kemuliaan / martabat dan harta mereka. Dan hal ini yang

    kemudian dikenal dengan istilah lima kepentingan umum yang utama.

    Dari beberapa arti dan pengertian yang telah disebutkan, dapat dipahami

    bahwa setiap sesuatu, apa saja yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk

    memperolah kemanfaatan kebaikan, maupun untuk menolak kemudharatan

    (keburukan), maka semua itu disebut dengan Maslahat.47

    3. Pembagian maslahat

    Maslahat ditinjau dari segi maksud Syari’ terbagi menjadi 3 tingkatan :48

    a. Maslahah al- Darûriyah

    Maslahah al-darûriyah ialah suatu kemaslahatan yang harus terpenuhi

    berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia didunia dan di akhirat.

    Demikian penting kemaslahatan ini, apabila luput dalam kehidupan

    manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap tatanan

    kehidupan manusia, dan di akhirat hilangnya kemenangan, kenikmatan

    (mendapat surga), malah kembali dengan kerugian (siksa neraka). Dan

    dimaksud dengan Maslahah al-darûriyah : menjaga agama ( حفظ الدين),

    menjaga jiwa ( ) menjaga akal,( حفظ النفس menjaga keturunan,( حفظ العقل

    ( ) dan menjaga harta ,( حفظ النسل Senada dengan apa yang .( حفظ المال

    47 Romli SA,” Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri” hal 81 48 Abi Ishaq al-Syatibi, “Al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah” hal 265 - 267

  • 25

    diungkapkan oleh al-Ghazâlî,49 bahwa al-Usulul khomsa harus benar-

    benar dijaga dalam tingkatan darûriyah yang mana ia adalah tingkatan

    kemaslahatan yang paling kuat.

    Ditambahkan oleh Abdul Karim Zaidan50 yang dimaksud dengan

    tujuan syar’i ialah : pertama merealisasikan umat manusia untuk

    mencapainya, kedua untuk menjaga keberlangsungannya, beliau

    mencontohkan : agama (tujuan syariat mencapainya) iman dan rukun-

    rukunnya, pokok-pokok ibadah seperti sholat, puasa , haji , zakat, ini

    semua harus ada dan tercapai dalam kehidupan umat manusia, (sedangkan

    tujuan syariat menjaga keberlangsungannya) menyeru kepada perkara-

    perkara tersebut, mewajibkan jihad bagi yang ingin menghalangi atau

    membatalkannya. Jiwa : dengan adanya pernikahan, (menjaga

    keberlangsungannya) kewajiban makan dan minum dan mengharamkan

    bunuh diri. Akal : dengan anugerah dari Allah swt kepada semua manusia

    (menjaga keberlangsungannya) mengharamkan apa saja yang merusaknya

    missalkan hal-hal yang memabukkan. Keturunan : dengan pernikahan

    syar’i, (menjaga keberlangsungannya) mengharamkan Zina, dan

    mengharamkan menggugurkan bayi bagi yang hamil kecuali dalam

    keadaan darurat (menurut syar’i). Harta : dengan membolehkan

    bermua’malah dan mewajibkan berusaha mendapatkannya (kerja),

    (menjaga keberlangsungannya) mengharamkan mencuri, mengambilkan

    hak orang lain secara zhalim.

    49 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 417 50 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 299 - 300

  • 26

    b. Maslahah al- Hâjiyah

    Maslahah al-Hajiyah adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia

    untuk menyempurnakan atau memberi kemudahan dalam kemaslahatan

    pokok mereka dan menghilangakan kesulitan yang dihadapi. Jika tidak

    dapat diwujudkan maka tidak sampai menghancurkan tatanan kehidupan

    manusia akan tetapi dapat mendatangkan kesusahan, kesulitan dan

    kesempitan. Contoh dalam ibadah ada yang disebut dengan rukhsoh

    (keringanan). Menurut al-Ghazâlî51 maslahah al-hajiyah adalah

    kemaslahatan hidup manusia yang tidak pada tingkat pokok (darûri).

    Bentuk kemaslahatannya tidak langsung bagi pemenuhan kebutuhan

    pokok yang lima, tetapi secara tidak langsung menuju kearah yang sama

    seperti dalam memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup

    manusia, apabila tidak dipenuhi maka tidak sampai secara langsung

    menyebabkan rusaknya lima unsur pokok itu.

    Sesuai dengan firman Allah swt :

    ) : ١٨٥البقرة) Artinya : (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak

    menghendaki kesukaran bagimu. bersyukur. (Q.S Al-Baqarah : 185 )

    c. Maslahah al-Tahsîniyah

    Maslahah al-tahsîniyah adalah mempergunakan semua yang layak dan

    pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik, dan menjauhi

    keadaan-keadaan yang tidak pantas, dan ini mencakup dalam wilayah budi

    51 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 418

  • 27

    pekerti yang baik (Makarimul Akhlaq), ditambahkan oleh Abdul Karim

    Zaidan52 ” kalaupun ini tidak dapat direalisasikan, tidaklah akan merusak

    sendi tatanan kehidupan manusia atau mendatangkan kesulitan, kesusahan

    bagi umat manusia, melainkan menjadikan kehidupan mereka menyelisihi

    kemuliaan dan budi pekerti yang baik. Contohnya dalam ibadah : syariat

    memerintahkan menutup aurat, memakai pakaian yang indah ketika pergi

    ke masjid, dalam mua’malah : melarang jual-beli barang najis/kotor,

    melarang berlebih-lebihan, dalam adab : adab makan dan minum, makan

    dengan menggunakan tangan kanan, dalam hukuman : melarang

    membunuh wanita dan anak-anak ketika dalam perang.

    Kemudian maslahah yang ditinjau dari segi eksistensinya/pandangan syariat dan

    ada tidaknya dalil yang langsung mengaturnya, maslahah ini dibagi menjadi tiga

    macam:53

    1. Maslahah al-Mu'tabarah adalah suatu kemaslahtan yang dijelaskan dan

    diakui keberadaannya secara langsung oleh nash . Untuk memelihara dan

    mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, seperti menjaga agama,

    jiwa, akal, keturunan, dan harta. Syariat Islam telah mewajibkan berjihad

    untuk menjaga agama :

    52 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 301 53 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187

  • 28

    Artinya “Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu

    adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu,

    Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai

    sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu

    tidak mengetahui. (Q.S Al-Baqarah :216 )

    Syariat Islam juga mewajibkan qisas untuk menjaga keselamatan jiwa :

    Artinya “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas54

    berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan

    orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka

    Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,

    hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan

    hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi

    ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu

    keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang

    melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”

    (Q. S. Al-Baqarah : 178)

    Syariat Islam juga mengharamkan minuman keras dan memberlakukan

    hukuman bagi pemabuk untuk menjaga kesehatan akalnya :

    54 Qisas ialah hukuman yang semisal dengan kejahatan yang dilakukan atas diri manusia.

    Misalkan menghilangkan jiwa seseorang (membunuh) dibalas dengan jiwanya (dibunuh).

  • 29

    Artinya “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)

    khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah

    adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu

    agar kamu mendapat keberuntungan” ( Q.S. Al-Maidah : 90 )

    Demikian pula untuk untuk memelihara kehormatan manusia, Islam

    melarang melakukan qazaf55 dan zina. Misalnya larangan zina ditemukan dalam

    surat Al-Isra’ ayat 32:

    Artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

    adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

    Untuk memelihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, Islam

    menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian :

    Artinya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah

    tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

    sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

    ( Q.S. Al-Maidah : 38 )

    Atas dasar inilah maka Maslahah al-Mu'tabarah yang diakui

    keberadannya menurut syariat maka ia sebagai hujjah/dalil, yang hasilnya

    55 Qazaf : menuduh wanita baik-baik/muslimah dengan tuduhan berzinah tanpa disertai

    bukti ( tuduhan palsu )

  • 30

    dikembalikan kepada Qiyas56, maka setiap kejadian/permasalahan yang tidak

    adanya nash tentang hukum hal itu, akan tetapi permasalahan tersebut sama

    illat57nya dengan permasalahan yang ada nash dan telah ditetapkan hukumnya

    dalam syariat, maka hukum permasalahan tadi dihukumi dengan hukum yang

    sama, dikarenakan memiliki illat yang sama.58 Contohnya : diharamkan minum

    khomr atas dasar memabukkan, jadi setiap apa saja baik itu berupa minuman atau

    makanan yang memabukkan, maka makanan dan minuman tadi diharamkan. Ini

    diqiyaskan kepada khomr.

    2. Maslahah Al-Mulghâh

    Maslahah al-mulghâh adalah suatu kemaslahatan yang bertentangan

    dengan ketentuan nash yang ada. Karenanya, segala bentuk kemaslahatan

    seperti ini tidak diakui keberadaannya oleh Syara’, contohnya :

    menyamakan bagian anak perempuan dengan anak laki-laki dalam hal

    warisan, jelas ini bertentangan dengan nash yang telah ditetapkan dalam

    Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 :

    Artinya “Allah mensyari'atkan ( mewajibkan) bagimu tentang (pembagian

    warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama

    dengan bagaian dua orang anak perempuan59 “

    Contoh lain, dalam menentukan kafarat orang yang melakukan hubungan

    suami-istri dengan sengaja pada siang hari bulan ramadhan. Berdasarkan

    56 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 415 57 Sesuatu yang menjadi dasar dibangunnya suatu hukum Syar’i 58 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 187 59 Bagian laki-laki dua kali dari bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat

    dari perempuan,seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah ( lihat Q.S An-Nisa

    ayat 34)

  • 31

    hadîts Nabi, orang yang melakukan demikian maka kafaratnya adalah

    memerdekakan budak, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan

    berturut jika masih belum mampu juga memberi makan 60 orang fakir

    miskin. Dan dalam kasus ini jumhur ulama mengatakan hukum kafaratnya

    sesuai urutan ketentuan yang disebutkan dalam hadits60. Dan ini terjadi

    ada orang yang melakukan hubungan suami istri dengan sengaja pada

    siang bulan ramadhan, Mengingat orang ini adalah raja / penguasa, maka

    ulama menetapkan kafarat bagi penguasa ini berpuasa 2 bulan berturut-

    turut. Ketentuan ini dengan pertimbangan apabila kafaratnya

    memerdekakan budak tentu ia dapat membayar dengan mudah karena

    banyak hartanya dan kembali melakukan pelanggaran dengan mudah pula.

    Atas dasar kemaslahatan inilah mewajibkan baginya puasa untuk

    mencegahnya mengulangi perbuatannya, dan jelas ini adalah pendapat

    yang keliru, karena menyelisihi Nash yang ada. Dan jika ini dibiarkan

    maka akan mengubah semua ketentuan/batasan-batasan yang telah

    ditetapkan dalam syariat dan Nash yang ada, disebabkan oleh perubahan

    keadaan.61

    3. Maslahah Al-Mursalah

    Maslahah Al-Mursalah ialah maslahah yang tidak ada dalil/nash hukum

    dari Syariat yang mengingkarinya atau pun yang mengakuinya.

    Dikalangan para ulama ushul juga disebut dengan al-Istislah62., Ia

    60 Abdullah bin Abdurrahman A~li Bassam. “Taysiir al-A’lam Syarhu Umdatul Ahkam”.

    Juz I (Maktabah Imam Al-Wadi’I : Sana’a/Yaman) 2009 , hal 314-316 61 Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 416 62 Romli SA,” Konsep Maslahat dan Kedudukannya dalam pembinaan Tasyri’ hal 85

  • 32

    dikatakan maslahah karena mendatangkan kebaikan dan menolak

    keburukan, dan dikatakan mursalah, kerana tiada dalil khas dari Syariat

    yang mengakuinya atau yang mengingkarinya.

    Tujuan umum pembentukan hukum Islam adalah untuk mewujudkan

    kemaslahatan umat manusia, disatu pihak, kemaslahatan manusia itu

    secara faktual terus berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan

    manusia itu sendiri dan laju modernisasi di segala lapangan kehidupan.

    Sementara di pihak lain, nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun

    as-Sunnah terbatas, sehingga tidak mungkin lagi kemaslahatan manusia

    yang tidak terbatas itu secara lahir seluruhnya ada ketentuan hukumnya.

    Oleh karena itu tidak jarang didapati kasus-kasus yang tidak diketahui

    status hukumnya baik dari nash Al-Qur’an, as-Sunah maupun Ijma’, untuk

    menempuh jalan qiyas erat sekali hubungannya dengan nash dan

    senantiasa terikat dengan ketentuan-ketentuan yang tidak mudah dipenuhi,

    padahal kasus-kasus tersebut membutuhkan pemecahan dengan segera.

    jika kasus-kasus yang tidak terselesaikan dengan dalil-dalil tersebut di atas

    dibiarkan begitu saja tanpa adanya penyelesaian seterusnya, niscaya

    pembentukan hukum hanya akan terkunci dan kemaslahatan manusia yang

    dibutuhkan di setiap masa dan tempat menjadi terabaikan. Berarti

    pembentukan hukum tidak memperhatikan kemaslahatan manusia, hal

    tersebut tidaklah sesuai dengan maksud dan tujuan Syariat yang selalu

    ingin mewujudkan kemaslahatan manusia.

  • 33

    Oleh karena itu dasar menjadikan Maslahah Al-Mursalah sebagai hukum

    Islam adalah penelitian terhadap nash-nash, baik dari Al-Qur’an maupun

    as-Sunnah telah membuktikan bahwa semua hukum Islam yang ditetapkan

    oleh Allah dan RasulNya atas hambanya, baik dalam bentuk perintah

    maupun larangan, pastilah mengandung kebaikan, manfaat, serta faedah

    yang nyata bagi kehidupan manusia dan tidak ada satupun hukum syara’

    yang sepi dari kemaslahatan, manfaat atau faedah tersebut. Meskipun bagi

    sebagian orang yang tidak cakap atau yang memiliki akal pikiran yang

    kotor, hukum syara’ tersebut dirasakan tidak membuahkan kemaslahatan,

    akan tetapi bagi orang yang cerdas yang memiliki akal pikirannya yang

    bersih tentunya dapat menemukan dan merasakan kemaslahatan dan

    manfaat serta faedah yang nyata dari hukum syara’ tersebut dalam

    kehidupannya.63

    Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa Maslahah Al-Mursalah adalah suatu

    kemaslahatan atau kejadian yang mana tidak terdapat dalam Nash-Nash

    Syar’i yang menetapkan hukumnya dan tidak ada pula illat yang menjadi

    dasar syar’i untuk menetapkan suatu hukum, tetapi kemaslahatan ini atau

    kejadian ini mengandung suatu kebaikan atau mendatangkan suatu

    manfaat.

    B. MASLAHATUL AL-MURSALAH SEBAGAI LANDASAN

    HUKUM.

    63 Muhammad Abu Zahra, Ushul Al-Fiqh, hal 277

  • 34

    Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama, sesungguhnya semua praktik

    kegiatan seputar peribadatan tidak akan menjadikan Maslahah Al-Mursalah

    sebagai sumber untuk menetapkan hukum. Dikarenakan semua urusan seputar

    peribadatan berdasarkan ketentuan dalil/Nash yang telah ditetapkan oleh syariat.

    Lain halnya jika dalam praktik dalam hal mua’malah, para ulama berbeda

    pendapat tentang Maslahah Al-Mursalah dijadikan sumber atau landasan untuk

    menetapkan suatu hukum syar’i. dapat kita klasifikasikan menjadi 2 pendapat64 :

    1. Yang menolak Maslahah Al-Mursalah sebagai sumber hukum adalah

    ulama Mazhab Az-Zhahiriyah, mereka menolak Qiyas sebagai sumber

    penetapan hukum, maka begitu pula mereka menolak Maslahah Al-

    Mursalah.

    Ulama Mazhab Syafi’iyah dan Mazhab Hanafiyah mereka juga

    menolak Maslahah Al-Mursalah sebagai landasan hukum, akan tetapi

    banyak ditemukan dalam menentukan ijtihad/pendapat hukum fiqih

    dalam mazhab mereka berdasarkan dan dilandasi oleh maslahat.

    2. Yang menerima Maslahah Al-Mursalah sebagai landasan hukum serta

    menetapkan dan mengakuinya sebagai salah satu dari sumber tasyri’(

    penetapan hukum syariat) adalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin

    Hambal. Dan adapula dari golongan ulama yang membolehkan

    Maslahah Al-Mursalah sebagai landasan hukum dengan syarat

    64 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 188

  • 35

    maslahat tersebut harus memiliki sifat : al-darûriyah, Qat’iyah65,

    kulliyah66. diantaranya Al-Ghazali67.

    Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para ulama seputar boleh

    tidaknya menjadikan Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu dari sumber

    tasyri’, tidak terlepas dari perbedaan hujjah/dalil yang mereka yakini.

    a. Hujjah/dalil pendapat ulama yang menolak Maslahah Al-Mursalah68

    1. Sesungguhnya Syariat Islam yang agung, telah mensyariatkan kepada

    umat manusia apa-apa yang akan mewujudkan semua kamaslahatan

    mereka, dan tidak mungkin terjadi atau sesuatu yang tertinggal dari

    sebuah kemaslahatan kecuali telah disyariatkan ketentuannya.

    Menetapkan hukum syariat berdasarkan maslahah mursalah berarti

    menganggap syari’at Islam meninggalkan suatu kemaslahatan yang

    belum terselesaikan ketentuan dan hukumnya, Hal ini bertentangan

    dengan firman Allah yang berbunyi sebagai berikut:

    Artinya “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu

    saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Q.S. Al-Qiyamah : 36)

    2. Maslahah Al-Mursalah menimbulkan keraguan didalamnya

    dikarenakan ia terletak diantara Maslahah al-Mu'tabarah dan Maslahah

    al-mulghâh. dan tidaklah ia disamakan dengan Maslahah al-

    Mu'tabarah lebih utama, daripada disamakan dengan Maslahah al-

    65 . Perkara yang sudah pasti jelas bukan prasangka atau hanya persepsi semata. 66 . bersifat menyeluruh bukan sebagian. 67. Al-Ghazali, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul” hal 421 68 . Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 189

  • 36

    mulghâh. Jika kemaslahatan itu tidak memiliki dalil/nash yang

    mengakuinya dengan sendirinya termasuk dalam kemaslahatan yang

    ditolak.

    3. Pembentukan hukum syara’ berdasarkan Maslahah Al-Mursalah berarti

    membiarkan orang-orang bodoh untuk menentukan hukum dalam

    syariat, maka akan terjadi ketidak jelasan dalam hukum syariat itu

    sendiri, demikian juga membuka pintu hawa nafsu para pemimpin,

    atau para hakim untuk menetapkan hukum Islam menurut selaranya

    atau kemauannya sendiri dengan alasan kemaslahatan.

    b. Hujjah/dalil pendapat ulama yang menerima Maslahah Al-Mursalah69

    1. Sesungguhnya syariat Islam bertujuan untuk merealisasikan

    kemaslahatan bagi umat manusia, sesuai dengan apa yang ada pada

    nash-nash/hukum-hukum syariat, maka menerima Maslahah Al-

    Mursalah sebagai metode menetapkan hukum tidaklah menyalahi tabiat

    dasar syariat (merealisasikan kemaslahatan bagi umat manusia).

    2. Sesungguhnya kemaslahatan pada kehidupan manusia akan selalu

    berjalan mengikuti gerak zaman oleh karena itu kemaslahatan manusia

    juga akan berganti dan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi

    yang melingkupinya. Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-

    hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan

    selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi

    umat manusia.

    69 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 190

  • 37

    3. Para Mujtahid dikalangan para sahabat dan orang2 yang datang setelah

    mereka, para tabi’in menjadiakan pendapat dari ijtihad mereka adalah

    keberlangsungan akan kemaslahatan bagi umat manusia. Yang tidak

    lain hal ini menjadikan kemaslahatan sebagai landasan penetepan suatu

    hukum dalam syariat.

    C. SYARAT-SYARAT PENERAPAN MASLAHAH

    Walaupun terdapat perbedaan dalam menetapkan Maslahah Al-Mursalah

    sebagai salah satu dari adillatul ahkam, akan tetapi para ulama mazhab maliki

    yang menerima Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu sumber penetapan

    hukum, tetap memberikan beberapa syarat suatu kemaslahatan termasuk dalam

    Maslahah Al-Mursalah diantaranya:70

    1. Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at,

    yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-

    prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau

    dalil-dalil yang qath’i. Baik dari Al-Qur’an, hadits atau Ijma’, dengan

    kata lain bahwa kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan

    syari’at yaitu mendatangkan manfaat dan menolak bahaya, dan juga

    merupakan bagian keumumannya, maka tidak sah menganggap suatu

    kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara hak laki-laki

    dan perempuan. Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena

    bertentangan dengan nash Al-Qur’an.

    70 Abdul Karim Zaidan, “Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh” hal 191

  • 38

    2. Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya

    secara rasional/bisa diterima oleh akal manusia, bukan suatu hal yang

    mustahil sehingga terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap

    penerapan hukum.

    3. Kemaslahatan itu harus dilakukan untuk menjaga perkara al-

    Darûriyah. Baik dalam perkara primer maupun kebutuhan yang

    sifatnya sekunder, dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi,

    Dengan pengertian seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu

    tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.

    4. maslahah itu harus memiliki hakikat/ada manfaat yang jelas , bukan

    khayalan semu, bukan hanya semata-mata dugaan, atau prediksi yang

    kosong belakang. Dengan hanya mempertimbangkan adanya

    kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya.

    misalnya yang anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu

    berada di tangan wanita bukan lagi ditangan pria adalah maslahat yang

    palsu.

    5. mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersifat umum

    atau universal , bukan bersifat khusus, kepentingan individu atau kelompok

    tertentu. Hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus para

    pimpinan atau pembesar saja, Kemaslahatan itu harus untuk mayoritas

    umat. contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah

    orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang

    membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang

  • 39

    membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka

    akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum

    muslimin memerangi orang Islam yang membentengi orang kafir maka

    tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi

    orang kafir tersebut. Demi memelihara kemaslahatan kaum muslimin

    seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh

    mereka.

    BAB VI

    PENUTUP

    A. KESIMPULAN

    Pada dasarnya Yusuf Qaradhawi tidak secara mutlaq menolak asuransi,

    dikarenakan ide dan tujuan dari asuransi tidak bertentangan dengan prinsip-

    prinsip syariat, akan tetapi yang menjadi penolakannya ialah praktik kerja dan

    sistem yang terdapat didalamnya yang sangat jauh dari aturan yang telah

    ditetapkan dalam syariat, hal inilah yang menjadikan asuransi haram bagi umat

    Islam, tetapi karena kebutuhan dan kemaslahatannya sangat besar maka harus

    dicari penggantinya, jika tidak ada minimal menggubah praktik dan sistem dalam

    asuransi kedalam aturan yang sesuai ajaran Islam. Oleh karena itu metode yang

    digunakan oleh Yusuf Qaradhawi dalam menentukan hukum perasuransian adalah

    berpegang pada prinsip bahwa dalil (nas) kulli (berlaku umum) selama tidak ada

  • 40

    petunjuk bahwa dalil itu berlaku khusus, serta mempertimbangkan akan tujuan

    dan kemanfaatannya dengan menggunakan analogi atau pemikiran yang benar

    tanpa didasari hawa nafsu, dan juga selama maslahat tersebut tidak bertentangan

    dengan prinsip-prinsip syariat yang Qath’i.

    Sedangkan pendapat Yusuf Qaradhawi terhadap asuransi yang

    berkembang saat ini tidak diperbolehkan jika dalam praktiknya terdapat unsur

    ketidakjelasan, riba, penipuan dan kezhaliman. Lain halnya dengan asuransi

    Syariah, semua produk dan jenis asuransi yang ditawarkan (pendidikan,

    kesehatan, kerugian materi dll), termasuk asuransi jiwa walaupun diharamkan,

    tetapi karena alasan ataupun dalil yang digunakan tidak dijelaskan secara

    terperinci dan juga bertolak belakang dengan metode penetapan hukum yang

    menjadi landasannya dalam mengambil kesimpulan, belum lagi ini sudah masuk

    dalam kategori maslahah al-hajiyat/kemaslahatan untuk menghilangkan

    kesusahan atau meringankan beban, maka semua produk asuransi syariah dapat

    disesuaikan dengan pendapat Yusuf Qaradhawi, jika dalam praktiknya konsep

    yang digunakan adalah sebagai mitra usaha (investasi modal), akad at-

    ta’awuni/tabarru’ (tolong-menolong), atau akad ( عُ بَِشْرِط اْلِعَوِض (التَبَرُّ

    “sumbangan untuk mendapatkan ganti”.

    SARAN

    Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan adalah pertama : kepada

    lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahan asuransi harus menerapkan konsep

    dan sistem yang benar-benar sesuai dengan aturan syariat, sehingga umat tidak

  • 41

    ragu-ragu untuk berpartisipasi didalamnya., Kedua : ajakan dan anjuran kepada

    setiap umat muslim untuk lebih berhati-hati dalam berasuransi, kalau pun harus

    berpartisipasi didalamnya hendaklah dipelajari betul sistem dan konsep pada

    perusahaan asuransi tersebut, dan pilihlah perusahaan asuransi yang benar-benar

    menerapkan sistem dan aturan syariat.

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Perwataatmadja, Karnaen, Membumikan Ekonomi Islam, (Usaha kami:Depok),

    1996.

    Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan

    Analisis Historis, Teorirtis, dan Praktis, Jakarta : Prenada Media, 2004, Ed.

    1, Cet. 1

    Ali Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. “Taysiirul A’lam Syarhu Umdatul

    Ahkam”. Juz I , Maktabah Imam Al-Wadi’I : Sana’a/Yaman, 2009

    Ali, Zainuddin, Hukum Asuransi Syariah (Sinar Grafika:Jakarta), 2008.

    Azmar, Saifuddin “ Metode Penelitian “,Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1999.cet II.

    Al - Buthy, Said Ramadhan, “Dhawaabith al-Maslahah,” Cet V, Daar al-

    Muttahidah, 1990 .

    Dahlan, Abdul Aziz, (ed.), “Al-Qaradawi, Yusuf, Einsklopedi Hukum Islam,

    (Jakarta: PT. Ichitiar Baru Van Hoeve, 2006).Jilid 5, cet. Ke-7

  • 42

    Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : PT Syaamil

    Cipta Media, 2005.

    Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Umum Bahasa Indonesia” edisi ketiga,

    Penerbit PT Balai Pustaka (Persero), 2011

    Diah susanti, Deasita. Thesis “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan perjanjian

    asuransi jiwa syariah pada PT.Asuransi Takaful keluarga” Universitas

    Indonesia.

    Fatawa Lajnah Daimah Untuk Riset Ilmiah Dan Fatwa 15/268-269 , Hukum

    Asuransi Dalam Islam,Terj. Muhammad Iqbal A.qhazali, 2010.

    Al - Ghazali, Muhammad, “Al-Mustasfa Min ‘Ilm al-ushul”Juz 1, Cet I, Beirut-

    Lebanon : Resalah Publisher, 1997.

    Hadi, Sutrisno, “Metodologi Research”, Yogyakarta : Andi Offset, 1990.

    Hafidhuddin, Didin, dan Masyhuril Khamis., “Takaful dan Kemajuan Umat”,

    Republika 16 Januari 2001.

    Ibnu Katsir , Imaduddin Abi al-Fida’ Ismail, “Tafsir al-Qur’an al-Adzim” Dar al-

    Afaq al-Arabiyah : Al-Qahirah, Mesir ,2006, jilid I

    Ismanto, Kuat. Thesis “Studi asas hukum Islam tentang asuransi “UIN Sunan

    Kalijaga.

    Al- Juwainy, Abdul Malik. “ Syarhul Waraqa t”, Beirut – Lebanon :

    Muassasah al-kutubu as-saqafiyah ( tanpa tahun terbit).

    Kasmir, Bank dan Lembaga keuangan Lainnya, (Jakarta: Rajawali Press), 2008

  • 43

    Al - Khallaf , Abdul Wahab. “ Kaidah-Kaidah Hukum Islam : ( Ilmu Ushulul

    Fiqh)”, Terj. Noer Iskandar al-barsany, Moh.Tolchah Mansoer, Jakarta :

    PT RajaGrafindo Persada, 2000, Cet 7.

    Mannan,Muhammad Abdul., “Teori dan Praktek Ekonomi Islam “, Yogyakarta :

    Dana Bakti Prima Yasa, 1997.

    Muslehuddin, Muhammad “Insurence In Islamic Law”, Alih Bahasa Wardana,

    Jakarta : Bumi Aksara, 1995 , Cet.I

    An-Nawawi, Muhyiddin, , “al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim”,( Dar al-Marefah :

    Beirut/Lebanon ) Cet 15, jilid 11-12

    An-Nawawi, Muhyiddin, “Syarhu Hadist Arbain An-Nawawi ”,( Dar Ibnu hazem :

    Beirut/Lebanon ), 1997.

    Nazir, Moh.”Metode Penelitian”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Cet. III.

    Qaradhawi, Yusuf. “Al-Halal wa Al- Haram Fil Islam” Darul Baydho – Mesir :

    Darul Ma’rifah, 1985.

    Qaradhawi, Yusuf. “Hukum Zakat” terj. Salman Harun, Didin

    Hafidhuddin,Hasanuddin. Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa, 2004,

    Cet VII

    Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, ( Jakarta: Zikrul

    Hakim)

    SA, Ramli. “Konsep Maslahat dan kedudukannya dalam pembinaan Tasyri”

    (Palembang : Rafah Press 2010) .

    Sabiq, Sayyid. “ Fiqhus Sunnah”. Beirut - Lebanon : Resalah Publishers, 2008.

    Cet.I

  • 44

    Sudarsono, Heri.“Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,( Yogyakarta: Ekonisia ).

    Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : PT Rajagrafindo Persada )

    Sula, Muhammad Syakir. “Asuransi Syariah (Life and General) Konsep Dan

    Sistem Operasional”. Jakarta: Gema Insani. 2004.

    Sumitro, Warkum. “Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait (

    BMI dan Takaful ) Di Indonesia”. Jakarta : Raja Grafindo Persada,2002.

    Cet III

    Suryabrata, Suryadi. “Metodologi Penelitian” Jakarta: Raja Grafindo

    Persada,1998.

    Al- Syatibi, Abi Ishaq. “Al-Muwafaqat fi Usul al-Syariah” , Darul Hadist : Al-

    Qahirah/Mesir, 2006, Juz 2

    Talimah, Ishom, “Manhaj Fikih Yusuf Qaradhawi”, Terj.Samson Rahman, Jakarta

    : Pustaka Al-Kautsar, 2001

    Training & Development Department, Basic Training Modul 2002, (Training &

    Development Department Asuransi Syariah Takaful:Jakarta),2002.

    Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain,

    ( Jakarta: Salemba Empat ).

    Verawaty, SITHA P.N., Nyanyu, Tesis “Penerapan prinsip Mudharabah pada

    Asuransi Syariah :: Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang Palembang”

    Wahid, Ahmad Bunyan. Thesis “ Asuransi dalam pandangan Muhamadiyah dan

    Nahdatul Ulama” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

  • 45

    Wahyuningsih, Sri. Thesis “Asuransi Syariah sebagai lembaga keuangan umat :

    Suatu tinjauan terhadap keberadaan asuransi Syariah menurut UU NO.2

    Tahun 1992 tentang usaha perasuransian”. IAIN Raden Fatah Palembang.

    Wirdyaningsih,dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, ( Jakarta : Kencana

    Prenada Media ).

    Zahrah, Abu Muhammad, “ Ushul Al-Fiqh “ ( Kairo-Mesir : Dar Al-Fikr Al-

    Arabi 1985).

    Zaidan, Abdul Karim, “ Mudhal Liddirasaty Syariah Islamiyah “, beirut-lebanon :

    Resalah Publishers, 2009, Cet. I.

    Zaidan, Abdul Karim, “al-Wajiz Fi Syarhi al-Qawaidul al-Fiqhiyah”, Resalah

    Publishers : Beirut/Lebanon, 2006, Cet I

    Zaidan, Abdul Karim, “Al-Wajiz Fi Usulil Fiqh “, beirut-lebanon : Resalah

    Publishers, 2009, Cet.I.

    (( Internet ))

    Aji, “Definisi dan Fungsi Asuransi”, Asuransi Mobil, diakses dari

    http://www.asuransi-mobil.com/asuransi-definisi.htm pada tanggal 12

    September 2015 Jam 23:08.

    http://www.asuransi.dkt-news.com/2014/08/sejarah-asuransi.html diakses pada

    tanggal 30 September 2015.

    http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-murni-al-khairat/

    diakses tanggal 30 september 2015.

    http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-falah/ diakses

    tanggal 30 september 2015. http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-dana-pendidikan-fulnadi/

    diakses tanggal 30 september 2015.

    http///:Wikipedia.com/biografi-Yusuf-Qaradawi/- diakses tanggal 26 Januari 2016

    http://www.asuransi-mobil.com/asuransi-definisi.htmhttp://www.asuransi.dkt-news.com/2014/08/sejarah-asuransi.htmlhttp://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-murni-al-khairat/http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-jiwa-falah/http://asuransitakaful.net/produk-asuransi-syariah/asuransi-dana-pendidikan-fulnadi

  • 46

    http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-

    islam-bagian-ke-1 diakses pada tanggal 09 November 2015. Jam 11:00

    http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-islam-bagian-ke-1http://www.dakwatuna.com/2010/01/25/5441/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-islam-bagian-ke-1

    SITHA P.N., Nyanyu Verawaty Dalam tesisnya “Penerapan prinsip Mudharabah pada Asuransi Syariah : Studi kasus pada Asuransi Takaful cabang Palembang” menjelaskan bahwa penerapan prinsip mudharabah pada PT Asuransi Takaful Cabang Palembang sudah sesuai...C. SYARAT-SYARAT PENERAPAN MASLAHAHWalaupun terdapat perbedaan dalam menetapkan Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu dari adillatul ahkam, akan tetapi para ulama mazhab maliki yang menerima Maslahah Al-Mursalah sebagai salah satu sumber penetapan hukum, tetap memberikan beberapa sy...1. Bentuk mashlahah tersebut harus selaras dengan tujuan-tujuan syari’at, yakni bahwa kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasarnya, dan juga tidak menabrak garis ketentuan nash atau dalil-dalil yang qath’i. Baik dari Al-Qur...2. Kemashlahatan tersebut adalah kemashlatan yang rasional, maksudnya secara rasional/bisa diterima oleh akal manusia, bukan suatu hal yang mustahil sehingga terdapat peruntutan wujud kemashlahatan terhadap penerapan hukum.3. Kemaslahatan itu harus dilakukan untuk menjaga perkara al- Darûriyah. Baik dalam perkara primer maupun kebutuhan yang sifatnya sekunder, dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi, Dengan pengertian seandainya maslahat yang dapat diterima a...4. maslahah itu harus memiliki hakikat/ada manfaat yang jelas , bukan khayalan semu, bukan hanya semata-mata dugaan, atau prediksi yang kosong belakang. Dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbu...5. mashlahah yang menjadi acuan penetapan hukum haruslah bersifat umum atau universal , bukan bersifat khusus, kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hukum tidak di tetapkan demi kemaslahatan khusus para pimpinan atau pembesar saja, Kemaslahata...