bab iieprints.umm.ac.id/43070/3/jiptummpp-gdl-kathinades-51039-3-babii.pdf7 gambar 2. 1skema...

26
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Gastritis 2.1.1 Pengertian Gastritis Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Hirlan, 2009).Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronis, difus dan lokal. Ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis akut dan kronik (Price dan Wilson, 2005). 2.1.2 Epidemiologi Untuk memperoleh data tentang insiden gastritis dikalangan masyarakat banyak, merupakan hal yang sukar dan belum dapat dilaksanakan. Penelitian dan pengamatan yang dilakukan angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274.396 kasus dari 238.452.952 jiwa penduduk (Depkes, 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Malang, pada tahun 2013 jumlah penderita gastritis mengalami peningkatan sebesar 21.444 yang terdiri dari 7.024 laki-laki dan 14.420 perempuan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (Dinkes, 2013). 2.1.3 Etiologi Menurut Muttaqin (2011) Penyebab dari gastritis antara lain : (1) Obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid/ OAINS indometasin, ibuprofen, dan asam salisilat, sulfonamide, steroid, kokain, agen kemoterapi (mitosin, 5-fluora-2-deoxyuriine) dan digitalis bersifat mengiritasi mukosa lambung.

Upload: lyxuyen

Post on 08-Jun-2019

240 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Gastritis

2.1.1 Pengertian Gastritis

Gastritis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak dijumpai di

klinik penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari. Gastritis adalah proses inflamasi

pada mukosa dan submukosa lambung atau gangguan kesehatan yang disebabkan

oleh faktor iritasi dan infeksi. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan

adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut (Hirlan, 2009).Gastritis

adalah suatu keadaan peradangan atau peradangan mukosa lambung yang bersifat

akut, kronis, difus dan lokal. Ada dua jenis gastritis yang terjadi yaitu gastritis

akut dan kronik (Price dan Wilson, 2005).

2.1.2 Epidemiologi

Untuk memperoleh data tentang insiden gastritis dikalangan masyarakat

banyak, merupakan hal yang sukar dan belum dapat dilaksanakan. Penelitian dan

pengamatan yang dilakukan angka kejadian gastritis pada beberapa daerah di

Indonesia cukup tinggi dengan prevalensi 274.396 kasus dari 238.452.952 jiwa

penduduk (Depkes, 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Malang,

pada tahun 2013 jumlah penderita gastritis mengalami peningkatan sebesar 21.444

yang terdiri dari 7.024 laki-laki dan 14.420 perempuan dibandingkan dengan

tahun-tahun sebelumnya (Dinkes, 2013).

2.1.3 Etiologi

Menurut Muttaqin (2011) Penyebab dari gastritis antara lain :

(1) Obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid/ OAINS indometasin,

ibuprofen, dan asam salisilat, sulfonamide, steroid, kokain, agen

kemoterapi (mitosin, 5-fluora-2-deoxyuriine) dan digitalis bersifat

mengiritasi mukosa lambung.

6

(2) Infeksi bakteri seperti spesies, clostridium spesies, E.coli, tuberculosis, dan

secondary syphilis.

(3) Infeksi virus oleh Sitomegalovirus.

(4) Infeksi jamur seperti candidiasis, histoplasmosis, dan phycomycosis

(5) Stress fisik yang disebabkan oleh luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan,

gagal nafas, gagal ginjal, kerusakan sususan saraf pusat, dan refluks usus-

lambung.

(6) Makanan dan minuman yang bersifat iritan, makanan berbumbu dan minuman

denggan kandungan kafein dan alkohol merupakan agen-agen iritasi mukosa

lambung.

(7) Garam empedu, terjadi pada kondisi refleks garam empedu (komponen

penting alkali untuk aktivitasi enzim-enzim gastrointestinal) dari usus kecil ke

mukosa lambung sehingga menimbulkan respon peradangan mukosa.

(8) Iskemia, hal ini berhubung dengan akibat penurunan aliran darah ke lambung.

2.1.4 Patofisiologi

Proses terjadinya gastritisa atau mag yaitu awalnya karena obat-obatan,

alkohol, empedu atau enzim-enzim pankreas yang dapat merusak mukosa lambung

menggangu pertahanan mukosa lambung dan memungkinkan difusi kembali asam

dan pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respon

mukosa lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan

regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang

dengan sendirinya. Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang

dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa kuat yang

bersifat korosif dapat mengakibatkan peradangan pada dinding lambung (Priyanto,

2008).

7

Gambar 2. 1Skema Patofisiologi gastritis

(Diadaptasi dari : Lewis, Heitkemper & Dirksen, 2000)

2.1.5 Klasifikasi Gastritis

Berdasarkan tingkat keparahan gastritis dibagai menjadi dua jenis, yaitu :

↑ Faktor Ofensif

OAINS, Obat kortikosteroid, alkohol, radiasi, Helicobacter

pillory, Bile refluks , sekresi pankreas, merokok, stress

fisiologis, irritating food, dan stress psikologis.

Difusi balik asam lambung dan pepsin ke mukosa

Me↓barrier lambung terhadap asam dan pepsin dan

Kerusakan mukosa lambung

↓ Faktor Defensif

Mukus bikarbonat, sel epitel mukosa dan mikrosirkulasi

darah

Stimulasi konversi pepsinogen → pepsin

Stimulasi histamin

Perdarahan

Pembengkakan jaringan dan kerusakan dinding kapiler

Episode berlanjut

Gastritis kronis

8

1. Gastritis Akut

Gastritis akut adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung

yang akut dengan kerusakan erosi pada bagian superfisial. Pada gastritis

ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil mukosa edema, merah dan terjadi

erosi kecil dan perdarahan (Price dan Wilson, 2005). Gastritis akut terdiri

dari beberapa tipe yaitu gastritis stres akut, gastritis erosif kronis, dan

gastritis eosinofilik. Semua tipe gastritis akut mempunyai gejala yang sama.

Episode berulang gastritis akut dapat menyebabkan gastritis kronik

(Wibowo, 2007).

2. Gastritis kronik

Gastritis kronik adalah suatu peradangan permukaan mukosa

lambung yang bersifat menahun sering bersifat multifaktor dengan

perjalanan klinik bervariasi (Wibowo, 2007). Gastritis kronik ditandai

dengan atropi progresif epitel kelenjar disertai hilangnya sel parietal dan

chief cell di lambung, dinding lambung menjadi tipis dan permukaan

mukosa menjadi rata. Gastritis kronik diklasifikasikan dengan tiga

perbedaan yaitu gastritis superfisial, gastritis atropi dan gastritis hipertropi

(Price dan Wilson, 2005).

(a) Gastritis superfisial, dengan manifestasi kemerahan, edema, serta

perdarahan dan erosi mukosa

(b) Gastritis atropi, dimana peradangan terjadi pada seluruh lapisan

mukosa. Pada perkembangannya dihubungkan dengan ulkus dan

kanker lambung, serta anemia pernisiosa. Hal ini merupakan

karakteristik dari penurunan jumlah sel parietal dan sel chief

(c) Gastritis hipertropi, suatu kondisi dengan terbentuknya nodul nodul

pada mukosa lambung yang bersifat irregular, tipis dan hemoragik.

2.1.6 Gejala gastritis

Severance dalam Anggita (2012) menyatakan bahwa walaupun banyakkondisi

yang dapat menyebabkan gastritis, gejala dan tanda–tanda penyakit ini sama satu

dengan yang lainnya. Gejala tersebut antara lain perih atau sakit seperti terbakar pada

9

perut bagian atas dan dapat menjadi lebih baik atau lebih buruk ketika makan, mual,

muntah, kehilangan selera makan, kembung, terasa penuh pada bagian atas setelah

makan, dan kehilangan berat badan.

Beberapa perbedaan gejala yang terjadi pada gastritis akut dan gastritis

kronik. Pada gastritis akut gejala yang sering terlihat adalah mual–mual dan rasa

terbakar di lambung serta adanya rasa tidak enak di lambung bagian atas. Sedangkan

pada gastritis kronik gejala yang sering terlihat adalah adanya rasaperih dan rasa

penuh di lambung serta kehilangan nafsu makan sehingga hanya mampu makan

dalam jumlah sedikit.

Pada beberapa kasus gastritis akan menyebabkan lambung berdarah, tetapi

tidak parah. Perdarahan lambung dapat dikeluarkan lewat mulut (muntah darah)

ataupun terjadi berak darah. Apabila pertolongan terlambat dilakukan maka hal fatal

akan terjadi (Yuliarti, 2009)

2.1.7 Manifestasi Klinik Gastritis

Menurut Dr.Ari Fajial Syam (2011), Gejala-gejala sakit gastritis yaitu rasa

perih pada lambung atau pada ulu hati yang disertai dengan mual atau kembung dan

sendawa atau cepat merasa kenyang dan rasa pahit yang dirasakan dalam mulut. Rasa

pahit ini timbul karena asam lambung yang berlebihan mendorong naik ke

kerongkongan sehingga kadang kala timbul rasa asam ataupun pahit pada

kerongkongan dan mulut (Erviana, 2013).

Walaupun banyak kondisi yang dapat menyebabkan gastritis, gejala dan tanda

penyakit ini sama antara satu dengan yang lainnya. Gejala-gejala tersebut antara lain

perih atau sakit seperti terbakar pada perut bagian atas yang dapat menjadi lebih baik

atau lebih buruk ketika makan, mual, muntah, kehilangan selera makan, kembung,

terasa penuh pada perut bagian atas setelah makan dan kehilangan berat badan

(Severance, 2001).

Banyak orang dengan gastritis yang tidak memiliki gejala. Namun, beberapa

orang juga mengalami gejala seperti:

10

(a) Ketidaknyamanan perut bagian atas atau sakit

(b) Mual

(c) Muntah

Gejala-gejala ini juga disebut dipepsia, gastritis erosif dapat menyebabkan

bisul atau erosi pada lapisan perut yang berdarah. Tanda-tanda pendarahan di perut

termaksud (NIDDK, 2010):

(a) Muntah darah

(b) Feses berwarna hitam

(c) Feses terdapat darah

2.1.7 Komplikasi

Menurut Mansjoer, 2001 komplikasi yang terjadi pada gastritis, yaitu :

1. Perdarahan saluran cerna bagian atas, yang merupakan kedarurat akut medis

terkadang perdarahan yang terjadi cukup dapat menyebabkan kematian.

2. Ulkus, jika prosesnya hebat.

3. Gangguan cairan dan elektrolit pada kondisi muntah hebat.

2.1.8 Faktor Resiko Gastritis

Menurut Brunner &Suddarth (2000) faktor-faktor resiko yang sering

menyebabkan gastritis diantanya :

1. Frekuensi makan

Orang yang memiliki frekuensi makan tidak teratur mudah terserang

penyakit gastritis. Menurut Rahmawati (2010) juga menyatakan bahwa sikap dan

tindakan makan, salah satunya frekuensi makan, berpengaruh signifikan terhadap

kekambuhan gastritis. Hal tersebut sejalan dengan Uripi (2001) yang

menyatakan bahwa kasus gastritis diawali dengan pola makan yang tidak teratur

sehingga asam lambung meningkat, produksi HCl yang berlebihan dapat

menyebabkan gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga timbul

nyeri epigastrum.

2. Rokok

11

Nikotin dalam rokok dapat menghilangkan rasa lapar, itu

sebabnyaseseorang menjadi tidak lapar karena merokok. Sehingga

akanmeningkatkan asam lambung dan dapat menyebabkan gastritis.

3. Kopi

Zat yang terkandung dalam kopi adalah kafein, kafein ternyata dapat

menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem

pernafasan, sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran

setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar,

bergairah, daya piker lebih cepat, tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein

dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan

aktivitas lambung dan sekresi hormone gastrin pada lambung dan pepsin. Sekresi

asam yang meningkatkan dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa

lambung sehingga menjadi gastritis.

4. Alkohol

Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung

dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asamlambung walaupun

pada kondisi normal.

5. Terlambat makan

Secara alami lambung terus memproduksi lambung setiap waktu dalam

jumlah yang kecil. Setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam

darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar

dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulus. Bila seseorang telat makan

2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih

sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri

disekitar epigastrium (Sediaoetama, 2004).

6. Makanan pedas

Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem

pencernaan, terutama lambung dan usus. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas

dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut

membuat penderita semakin berkurang nafsu makannnya. Bila kebiasaan

12

mengkonsumsi makanan pedas lebih dari 1x dalam seminggu selama minimal 6

bulan dibiarkanterus menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung yang

disebut dengan gastritis (Sediaoetama, 2004).

7. Makanan beresiko

Makanan beresiko yang dimaksud adalah makanan yang terbukti berhubungan

dengan kejadian gastritis, yaitu makanan asam, makanan yang digoreng, makanan

berlemak, dan makanan yang menggunakan bahan penyedap yang berlebihan.

Makanan beresiko ini dapat memperlambat pengosongan lambung karena susah

dicerna. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan peregangan di lambung yang

akhirnya dapat meningkatkan asam lambung. Selain itu makanan yang digoreng

dan berlemak dapat melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga

menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan (Sherwood, 2001).

8. Stress

Stres fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi

berat dapat menyebabkan gastritis, ulkus serta pendarahan pada lambung. Hal ini

disebabkan oleh penurunan aliran darah termasuk pada saluran pencernaan

sehingga menyebabkan gangguan pada produksi mukus dan fungsi sel epitel

lambung (Price & Wilson, 2003; Wibowo, 2007).

2.1.9 Penatalaksanaan Pengobatan Gastritis

Tujuan utama dalam pengobatan gastritis ialah menghilangkan nyeri,

menghilangkan inflamasi dan mencegah terjadinya ulkus peptikum dan komplikasi.

Berdasarkan patofisiologisnya terapi farmakologi gastritis ditujukan untuk menekan

faktor agresif (asam lambung) dan memperkuat faktor defensif (ketahanan mukosa).

Sampai saat ini pengobatan ditujukan untuk mengurangi asam lambung yakni dengan

cara menetralkan asam lambung dan mengurangi sekresi asam lambung. Selain itu,

pengobatan gastritis juga dilakukan dengan memperkuat mekanisme defensif mukosa

lambung dengan obat-obat sitoproteksi (Dipiro et al, 2008).

13

2.1.9.1 Terapi Non farmakologi

Terapi non farmakologi adalah bentuk pengobatan dengan cara pendekatan,

edukasi dan pemahaman tentang penyakit maag. Edukasi kepada pasien/ keluarga

bertujuan untuk meningkatakan pemahaman (mengenai penyakit maag secara umum

dan pola penyakit maag itu sendiri).

2.1.9.2 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi adalah terapi yang menggunakan obat. Obat -obat

yangdigunakan dalam terapi gastritis terdiri dari 4 golongan obat. Golongan pertama

yakni antasida yang bekerja menetralisir keasaman lambung yang terdiri dari

senyawa aluminium, magnesium, kalsium karbonat dan natrium bikarbonat (Tjay dan

Rahardja, 2008). Kedua adalah obat penghambat sekresi asam lambung meliputi

Antagonis-H2.Antagonis-H2 adalah senyawa yang mengahambat secara bersaing

interaksi histamin dengan reseptor H2sehingga dapat mengahambat sekresi asam

lambung. Ketiga yakni golongan analog prostaglandin E1 (Estuningtyas & Azalia,

2007). Keempat adalah golongan pelindung mukosa terdiri atas sucralfat yang

bekerja membentuk kompleks ulser adheren dengan eksudat protein seperti albumin

dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya dari asam lambung, membentuk

barier viskos pada permukaan mukosa di lambung dan duodenum, serta menghambat

aktivitas pepsin dan membentuk ikatan garam dengan empedu. Sucralfat sebaiknya

dikonsumsi pada saat perut kosong untuk mencegah ikatan dengan protein dan fosfat

(Hasanah, 2007).

2.2 Swamedikasi

2.2.1 DefinsiSwamedikasi

Pengobatan sendiri atau swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat

modern, herbal maupun tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit

atau gejala penyakit (Hermawati, 2012). Swamedikasi juga didefinisikan sebagai

penggunaan obat oleh pasien atas keinginan sendiri tanpa konsultasi petugas medis.

Swamedikasi harus dilakukan dengan tepat dan terkontrol karena banyak

permasalahan terkait swamedikasi seperti meningkatnya angka resistensi pada

penggunaan antibotik (Verma, 2010).Sedangkan menurut The International

14

Pharmaceutical Federation (FIP) swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan

penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas inisiatifnya sendiri

tanpa konsultasi dari petugas medis (Nita et.al, 2008).

Tujuan swamedikasi adalah untuk peningkatan kesehatan, pengobatan sakit

ringan dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah perawatan dokter. Sementara itu,

peran pengobatan sendiri adalah untuk menanggulangi secara cepat dan efektif

keluhan yang memerlukan konsultasi medis, serta meningkatkan.

2.2.2 Faktor- faktor yang Mempengaruhi Tindakan Swamedikasi

Menurut WHO ( 1988) , Praktek swamedikasi dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain :

1. Faktor Sosial Ekonomi

Dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan kemudahan akses dalam

mendapatkan informasi, dipadu dengan meningkatnya kepentingan individu

dalam menjaga kesehatan diri, akan meningkatkan pemberdayaan masyarakat

untuk berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan terhadap masalah

perawatan kesehatan.

2. Gaya Hidup

Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak dari gaya hidup

tertentu seperti menghindari merokok dan pola diet yang seimbang untuk

memelihara kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit.

3. Kemudahan Memperoleh Produk Obat

Konsumen lebih nyaman memeilih obat yang bisa diperoleh dengan

mudah dibandingkan dengan harus menunggu lama di klinik ataupun di tempat

fasilitas kesehatan lainnya.

4. Faktor Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat

Dengan menjaga kebersihan, pemilihan nutrisi yang tepat, tersedianya air

bersih dan sanitasi yang baik, akan memberikan kontribusi dalam membangun

dan menajaga kesehatan masyarakat serta mencegah terjangkitnya penyakit.

15

5. Ketersediaan Produk Baru

Saat ini telah banyak dikembangkan produk baru yang dirasa lebih efektif

dan dianggap sesuai untuk pengobatan sendiri.

2.2.3 Penggunaan Obat Rasional

Batasan pengunaan obat rasional adalah bila memenuhi beberapa kriteria ,

antara lain (Kemenkes RI, 2011) :

1. Tepat diagnosis, penggunaan obat disebut rasional jika diberian untuk

diagnosis yang tepat.

2. Tepat indikasi penyakit, setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik

sehingga dalam pengenalan penyakit yang dialami harus tepat.

3. Tepat obat, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap

individu memilih obat yang sesuai dengan keluhan yang dialami dan

mengetahui indikasi dari obat yang diminum.

4. Tepat dosis, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap

individu tahu dengan benar cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat

yang digunakan. Hal ini dapat berpengaruh pada efek terapi yang ingin

dicapai. Pemberian dosis yang berlebihan beresiko timbulnya efek samping

khususnya obat yang memiliki rentang terapi yang sempit.

5. Tepat masa terapi, dalam penggunaan obat secara swamedikasi mengetahui

waktu kapan untuk menggunakan dan menghentikan penggobatannya bisa

dengan meminta bantuan dari tim medis apabila dirasa keluhan tidak

berkurang.

6. Tepat cara pemberian, setiap obat dengan bentuk sediaan yang berbeda

memiliki cara pemberian yang berbeda. Misalnya obat antasida yang

seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru ditelan, antibiotik yang tidak boleh

diminum dengan susu karena dapat menurunkan efektivitasnya.

7. Tepat interval waktu pemberian, obat hendaknya dibuat sesederhana

mungkin dan praktis, agar pasien patuh dalam mengkonsumsi obat.

16

8. Tepat lama pemberian, lama pemberian obat harus disesuikan dengan

penyakit masing- masing, hal ini dikarenakan akan berpengaruh pada hasil

pengobatan.

9. Waspada terhadap efek samping, pemberian obat potensial menimbulkan

efek samping atau efek yang tidak diinginkan timbul pada pemberian dosis

terapi.

10. Tempat penilaian kondisi pasien, respon setiap individu terhadap efek obat

sangat beragam sehingga ada beberap kondisi khusus yang harus

dipertimbangkan sebelum pemberian atau penggunaan obat, misalnya pada

ibu hamil, anak- anak, lansia, dll.

11. Tepat informasi, meruapakan salah satu penunjang keberhasilan terapi

sehingga informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat

penting.

12. Obat yang diberikan efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau,

untuk nilai efektif, aman serta terjangkau pemilihan obat dalam daftar obat

esesnial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan

harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Sedangkan untuk

jaminan, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara

Pembuatan Obat yang Baik).

13. Tepat tindak lanjut, apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit

berlanjut atau timbul efek samping segera berkonsultasi ke dokter.

14. Tepat penyerahan obat, penggunaan obat yang rasional melibatkan

penyerahan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke

apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya

dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.

15. Kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang diberikan,

ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat terjadi pada keadaan tertentu,

misalnya: jenis sediaan obat beragam, jumlah obat terlalu banyak, frekuensi

pemberian obat per hari terlalu sering, pemberian obat dalam jangka panjang

17

tanpa informasi, pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai

cara menggunakan obat, dan timbulnya efek samping.

2.2.4 Penggolongan Obat yang Digunakan dalam Swamedikasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 949/

Menkes/ Per/ 2000, penggolongan obat berdasarkan keamanannya meliputi Obat

Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Wajib Apotek, Obat Keras, Obat Psikotropika dan

Obat Narkotika. Namun, obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi atau sering

disebut sebagai obat-obatan over-the-counter (OTC) yang diperoleh tanpa resep

dokter adalah Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat Wajib Apotek.

2.2.4.1 Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas dan tidak membahayakan bagi

pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan, diberi tanda lingkaran bulat berwarna

hijau dengan garis tepi berwarna hitam (Syamsuni, 2006).

Gambar 2. 2 Obat Bebas (Depkes 2008)

2.2.4.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras, tetapi

masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda

peringatan. Obat golongan ini relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan

pakai yang ada. Penandaan obat golongan ini adanya lingkaran.

Gambar 2. 3 Obat Bebas Terbatas (Depkes, 2008)

Terdapat pula tanda peringatan “P” dalam labelnya. Disebut .terbatas karena

ada batasan jumlah dan kadar isiny. Label “P” ada beberapa macam :

P no. 1

Awas! Obat Keras

Bacalah aturan memakannya

P no. 4

Awas! Obat Keras

Hanya untuk dbakar

P no. 5

Awas! Obat Keras

Tidak boleh ditelan

P no. 2

Awas! Obat Keras

Hanya untuk kumur, jangan

ditelan

18

Gambar 2. 4Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas (Depkes, 2006 )

2.2.4.3 Obat Wajib Apotek

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh

apotekerkepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Menurut Kepmenkes Nomor

347/Menkes/SK/VII/1990, Pada penyerahan obat wajib apotek ini oleh Apoteker

terdapat kewajiban-kewajiban sebagai berikut (Hermawati, 2012) :

1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan Obat

Wajib Apotek yang bersangkutan,

2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan,

3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek

samping, dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

2.3 Antasida

2.3.1 Definisi Antasida

Antasida berasal dari kata antiyaitu lawan, dan acidusyaitu asam. Antasida

adalah basa-lemah yang digunakan untuk mengikat secara kimiawi dan menetralkan

asam lambung. Efeknya adalah peningkatan pH, yang mengakibatkan berkurangnya

kerja proteolitis dari pepsin jika pH diatas 4 (optimal pada pH 2) (Tjay dan Rahardja,

2010).

2.3.2 Penggolongan Antasida

Secara klinis antasida dapat dibagi menjadi 2 golongan :

1. Antasida kuat, yaitu antasida yang mempunyai aktivitas netralisir asam yang

efektif, termasuk : Natrium bikarbonat, Kalsium karbonat dan Magnesii oksida.

2. Antasida tidak kuat, karena mempunyai kapasitas netralisasi asam lambung

relatif kecil, termasuk : semua antasida selain diatas, terutama Alumunium

P no. 3

Awas! Obat Keras

Hanya untuk bagian luar badan

P no. 6

Awas! Obat Keras

Obat wasir, jangan ditelan

19

hidroksida gel. Pemberian antasida dalam dosis yang cukup kuat mempercepat

proses pemnyebuhan pada ulkus peptikum (Munaf,1994)

Berdasarkan pengaruhnya terhadap keseimbangan asam basa dan elektrolit dalam

tubuh, antasida dibagi menjadi 2 yaitu :

(a) Antasida sistemik,yaitu antasida yang tidak membentuk kompleks yang tidak

larut dan ion-ionnya dapat diserap oleh usus halus sehingga dapat merubah

keseimbangan asam basa dan elektrolit dalam tubuh dan dapat menimbulkan

alkalosis.Misalnya natrium bikarbonat (Anwar,2000)

(b) Antasida nonsistemik, yaitu antasida yang mempunyai kation yang

membentuk senyawa-senyawa yang tidak larut dalam usus dan tidak dapat

diabsorbsi, sehingga tidak mempengaruhi kemasaman cairan dalam saluran

cerna. Contoh antasida nonsistemik adalah sediaan magnesium, aluminium,

dan kalsium (Estuningtyas dan Arif, 2007)

2.3.3 Indikasi Antasida

1. Pemberian antasida dapat mengurangi rasa nyeri pada ulkus peptikum

2. Menguragi hiperasidasi

3. Mengobati rasa panas di uluh hati

4. Mencega pembentukan batu fosfat dalam ginjal

5. Mencegah pembentukan batu /kristal obat-obat yang menyebabkan pH urin

menjadi asam

6. Efek samping antasida dapat mengobati penyakit diare (Munaf, 1994)

2.3.4 Efek Samping

Pemberian antasida dalam dosis besar secara terus menerus dapat memberikan

efek samping sebagai berikut :

1. Alkalosis ( karena dapat diserapnya kation-kation antasida ), retensi caran dan

gejala keracunan Mg dengan depresi SSP( karena diserapnya Mg) dapat

terjadi pada pemakaina antasida

2. Perubahan fungsional usus besar, dapat berupa konstipasi pada pemakaian

Ca-Carbonat ,diare paada pemakain preparat Mg, susah buang air besar akibat

pemakain hidrat garam-garam alumunium yang terdapat di dalam usus besar

20

terpisah dari tinja dan mejadi keras sehingga susah dikeluarkan. Untuk

mencegah efek samping diatas dianjurkan untuk menggunakan kombinasi

(Anwar, 2000).

2.3.5 Kandungan Antasida

Tabel II. 1 Kandungan Antasida

Nama Obat Bentuk Sediaan Efek Samping Keterangan

Alumunium

fosfat

Suspensi 4-5 %

Dosis : 15-45 mL

Anorexia

Mual

Muntah

Hipokalsemi

Ataksia

Pengikat fosfat:

mengikat fosfat

dalam saluran GI

untuk

membentuk

kompleks yang

tidak larut dan

mengurangi

penyerapan

fosfat

Alumunium

Hidroksida

30 mL PO antara

makanan dan sesuai

petunjuk

Mual

Muntah

Sembelit

Impkasi feses

Menetralkan HCl

dalam perut

untuk

membentuk

alumunium

klorida

Kalsium

Karbonat

300 mg dosis 300-600

mg.

Dosis 2-3 g/ hari tablet

0,5-0,6 g

Anorexia

Sembelit

Perut Kembang

Mual

Hiperkalsemia

Hipofosfatemia

Menetralkan

keasaman

lambung

Magnesium

Trisilikat

Taablet kekuatan

Reguler : Kunyah 2-4

tablet PO : tidak

melebihi 16 tablet

Diare

Hypermagnesemia

Mual

Muntah

Sakit kepala

Pusing

Menetralkan

keasaman

lambung,

meningkatkkan

pH lambuing.

Simetichon Dosis dewasa umumnya

40-125 mg, 4x sehari

Mual

Kelelahan

Diare

Mengurangi

gelembung gas

uadara pada

lambung

(Medscape, 2011)

21

2.3.6 Sediaan Antasida

Tabel II. 2 Sediaan Antasida di Pasaran

Nama Obat Komposisi Indikasi Dosis

Antasida Doen Alumunium

Hidroksida yang setara

dengan Alumunium

Hidroksida 200 mg dan

Magnesium Hidroksida

200 mg.

Obat sakit maag untuk

mengurangi nyeri

lambung yang

disebabkan oleh

kelebihan asam

lambung dengan gejala

speperti mual dan perih

Dewasa : sehari 3-4x

sehari 1-2 tablet

Anak-anak : 6-12

tahun sehari : 3-4x ½

tablet

Aludonna D Al- Hidroksida 200

mg, Mg-Hidroksida

200 mg dan simetikon

20 mg

Mengatasi kelebihan

asam lambung gastritis

dan menghilangkan

perut yang kembung

Dewassa: 1-2 tablet/

sendok takar

Anak-anak: 6-12 tahun

½ tablet/ sendok takar

Mylanta Hidroksida gel kering

200 mg, Mg

Hidroksida 200 mg dan

simetikon 20 mg

Mengurangi gejala yang

berhubungan dengan

kelebihan asam

lambung

Dewassa: 1-2 tablet,

sehari 3-4x sehari

Anak-anak: ½ tablet,

sehari 3-4x diminum 1

jam setelah makan

Neosanmag Fast Famotidin 10 mg, Ca-

Carbonat 800 mg,

Mg (OH)2 165 mg

Meredakan gejala yang

berhubungan dengan

kelebihan asam

lambung

Dewassa dan anak-

anak : 1 tablet

dikunyah Maksimal 2

tablet/hari

Promag Hidrotalsik 200 mg,

Mg-Hidroksida 15 mg

Simetikon

Mengatasi kelebihan

asam lambung, perut

kembung, sakit perut

dan kolik , tukak

lambung

Dewasa: 3-4x sehari

(masing-masing 2

tablet sehari)

Anak-anak: 3-4x

sehari (masing-masing

½ tablet)

Promag Double Action Famotidin 10 mg, Caa-

Carbonat 800 mg

Meredakan gejala maag Dewasa: sehari 1 tablet

2x sehari

Progastric Al- Hidroksida koloida

kering 250 mg, Mg

Hidroksida 120 g, Mg-

Trisilikat 120 mg,

simetikon 40 mg

Sehubungan dengan

hiperasiditas tukak

lambung dan duodenum

Dewasa : sehari 1-2

tablet 3x sehari

sebelum makan

Tomag Al(OH)3 200 mg

Mg(OH)2 200 mg,

simetichon 75 mg

actived

Mengurangi gejala

asam yang berlebih

Dewasa: sehari 3-2x 1-

2 kapsul.

Anak 6-12 tahun

sehari 3-4x 1/2 -1

kapsul

(ISO, 2013)

22

2.3.6 Mekanisme Kerja Antasida

Antasida adalah senyawa dasar yang menetralkan asam klorida dalam sekresi

lambung. Antasida digunakan dalam pengobatan gejala gangguan pencernaan yang

terkait dengan hyperacidity lambung seperti dispepsia, penyakit gastroesophageal

reflux, dan penyakit ulkus peptikum (Sweetman, 2009). Antasida bekerja

meningkatkan pH lumen lambung. Peningkatan tersebut meningkatkan kecepatan

pengosongan lambung, sehingga efek antasida menjadi pendek. Pelepasan gastrin

meningkat dan, karena hal ini menstimulasi pelepasan asam (Neal, 2006). Antasida

mempercepat penyembuhan tukak dengan menetralisasikan asam hidroklorida dan

mengurangi aktivitas pepsin (Kee, 1996). Antasida adalah basa lemah yang bereaksi

dengan asam klorida lambung untuk membentuk garam dan air. Sehingga berfungsi

mengurangi keasaman lambung dan karena pepsin tidak aktif dalam larutan dengan

pH di atas 4,0 maka bisa mengurangi aktivitas peptik (Katzung, 2002).

2.4 Landasan Teori

2.4.1 Teori Lawrence Green (1980)

Berangkat dari analisis penyebab masalah kesehatan, Green membedakan

adanya dua determinan masalah kesehatan tersebut, yakni behavioral factors (faktor

perilaku), dan non-behavioral factors atau faktor nonperilaku (Notoatmodjo, 2010).

Dalam menganalisis faktor – faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, konsep

umum yang sering digunakan dalam berbagai kepentingan program dan beberapa

penelitian yang dilakukan adalah teori yang dikemukakan oleh Green (1980). Ia

menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor

prediposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat. Faktor predisposisi (predisposing

factors). Faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seseorang. Faktor ini termasuk karateristik, pengetahuan, sikap, kepercayaan,

keyakinan, kebiasaan, nilai – nilai, norma sosial-budaya, dan faktor sosio-demografi.

Faktor pendorong ( enabling factors ). Faktor yang memungkinkan atau yang

memfasilitasi terjadinya perilaku atau tindakan. Hal ini berupa lingkungan fisik,

sarana dan prasarana atau sumber – sumber khusus yang mendukung dan

23

keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan. Faktor penguat ( reinforcing factors )

sebagai faktor yang memperkuat terjadinya perilaku. Faktor – faktor yang

termasukfaktor penguat adalah sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan

tokoh masyarakat (Maulana, 2009).

2.5 Konsep Dasar Tingkat Pengetahuan

2.5.1 Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalu

panca indera manusia, yakni indra pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan

raba. Melalui peroleh Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui telinga

dan mata. Pengetahuan merupakan hal yang penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behaviour). Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah

kemampuan seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam

bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan (Notoatmodjo,2003)

2.5.2 Tingkat Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan mempunyai 6 tingkatansebagai

berikut:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah

2. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan

materitersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau

materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.

24

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

4. Analisis (Analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

suatu objek keadaan komponen-komponen tapi masih di dalam struktur

organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan,

membuat diagram dan bagan terhadap pengetahuan atas obyek tersebut.

5. Sistesis (Syntesis)

Menunjukan pada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-

bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dariformulasi-formulasi yang

ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat

sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar dan apat membuat

kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.

6. Evaluasi ( Evaluation)

Berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap

suatu materi. Penilaian-penilaian itu berdasarkan kriteria yang ditentukan atau

menggunakan kriteria yang telah ada.

2.5.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan yaitu :

1. Faktor Internal

(a) Pendidikan

Pendidikan diperlukan untuk mendapat informasi misalnya hal-hal

yang menunjang kesehatan sehingga dapat meingkatkan kualitas hidup.

Menurut YB Mantra yang dikutip Notoatmodjo (2003), pendidikan dapat

mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup

terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan

25

(Nursalam,2003) pada umumnya pengetahuan sangat erat kaitannya dengan

pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka

orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya.

(b) Usia

Menurut Elisahbet BH yang dikutip Nursalam (2003), usia adalah

umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai berulang tahun.

Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih

matang dalam berfikir dan bekerja.

(c) Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang

n kehidupannya dan kehidupan keluaraga ( Menurut Thomas yang dikutip

oleh Nursalam (2003) )

2. Faktor Eksernal

(a) Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan suatu kondisi yang ada disekitar manusia dan

pengaruhnhayang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang

atau kelompok (Menurut Ann.Mariner yang dikutip dari Nursalam (2003) )

(b) Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi

dari sikap dalam menerima informasi.

2.5.4 Pengukuran Pengetahuan

Untuk mengukur pengetahuan dapat dilakukan dengan mengajukan

beberapa pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-

pertanyaan secara tertulis atau angket mengenai isi materi yang ingin diukur dari

subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Arikunto (2010), pengukuran pengetahuan ada dua kategori yaitu

menggunakan pertanyaan subjektif misalnya jenis pertanyaan essay dan pertanyaan

objektif misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choise), pertanyaan betul salah

dan pertanyaan menjodohkan.

26

Rumus Pengukuran Pengetahuan:

P

Keterangan :

P = Nilai Presentase

F = Jawaban Benar

n = Jumlah soal

Pengkategorian pengetahuan yang digunakan antara lain:

1. Kategori baik dengan nilai 76-100 %

2. Kategori cukup dengan nilai 56-75 %

3. Kategori kurang dengan nilai 40-55 %

4. Kategori tidak baik dengan nilai < 40 %.

2.6 Tinjauan Tentang Ketepatan

2.6.1 Definisi Ketepatan

Ketepatan didefenisikan sebagai seberapa jauh perilaku seseorang (dalam hal

menggunakan obat, mengikuti diet, atau mengubah gaya hidup) sesuai dengan

nasehat medis atau saran kesehatan, sehingga tidak terjadi hal yang membahayakan

hasil terapi pasien. Karena ketidaktepatan akan menyebabkan sejumlah akibat yang

tidak diinginkan, seperti sakit bertambah lama atau kondisi medis memburuk

sehingga pasien perlu perawatan di rumah sakit atau rawatan timbul biaya sangat

besar yang harus ditanggung oleh masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan yaitu

tidak hanya biaya yang dikeluarkan untuk mengobati akibat ketidaktepatan yang

membahayakan, tetapi juga biaya obat-obatan yang terbuang percuma dan kehilangan

waktu kerja (Rantucci, 2009).

Ada lima masalah yang berkaitan dengan ketidaktepatan, yaitu:

1. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu sedikit.

2. Menggunakan atau mendapatkan obat yang benar, tetapi terlalu banyak.

3. Frekuensi minum obat yang tidak sesuai.

4. Tidak menggunakan atau mendapatkan obat yang diresepkan.

5. Cara minum obat yang tidak benar

27

2.6.2 Penggunaan Obat Rasional

Batasan pengunaan obat rasional adalah bila memenuhi beberapa kriteria ,

antara lain (Kemenkes RI, 2011) :

1. Tepat diagnosis, penggunaan obat disebut rasional jika diberian untuk

diagnosis yang tepat.

2. Tepat indikasi penyakit, setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik

sehingga dalam pengenalan penyakit yang dialami harus tepat.

3. Tepat obat, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap

individu memilih obat yang sesuai dengan keluhan yang dialami dan

mengetahui indikasi dari obat yang diminum.

4. Tepat dosis, dalam penggunaan obat secara swamedikasi hendaknya setiap

individu tahu dengan benar cara pemakaian, aturan pakai dan jumlah obat

yang digunakan. Hal ini dapat berpengaruh pada efek terapi yang ingin

dicapai. Pemberian dosis yang berlebihan beresiko timbulnya efek samping

khususnya obat yang memiliki rentang terapi yang sempit.

5. Tepat masa terapi, dalam penggunaan obat secara swamedikasi mengetahui

waktu kapan untuk menggunakan dan menghentikan penggobatannya bisa

dengan meminta bantuan dari tim medis apabila dirasa keluhan tidak

berkurang.

6. Tepat cara pemberian, setiap obat dengan bentuk sediaan yang berbeda

memiliki cara pemberian yang berbeda. Misalnya obat antasida yang

seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru ditelan, antibiotik yang tidak boleh

diminum dengan susu karena dapat menurunkan efektivitasnya.

7. Tepat interval waktu pemberian, obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin

dan praktis, agar pasien patuh dalam mengkonsumsi obat.

8. Tepat lama pemberian, lama pemberian obat harus disesuikan dengan

penyakit masing- masing, hal ini dikarenakan akan berpengaruh pada hasil

pengobatan.

9. Waspada terhadap efek samping, pemberian obat potensial menimbulkan efek

samping atau efek yang tidak diinginkan timbul pada pemberian dosis terapi.

28

10. Tempat penilaian kondisi pasien, respon setiap individu terhadap efek obat

sangat beragam sehingga ada beberap kondisi khusus yang harus

dipertimbangkan sebelum pemberian atau penggunaan obat, misalnya pada

ibu hamil, anak- anak, lansia, dll.

11. Tepat informasi, meruapakan salah satu penunjang keberhasilan terapi

sehingga informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat

penting.

12. Obat yang diberikan efektif, aman, mutu terjamin, dan harga terjangkau,

untuk nilai efektif, aman serta terjangkau pemilihan obat dalam daftar obat

esesnial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan

harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Sedangkan untuk

jaminan, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara

Pembuatan Obat yang Baik).

13. Tepat tindak lanjut, apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit

berlanjut atau timbul efek samping segera berkonsultasi ke dokter.

14. Tepat penyerahan obat, penggunaan obat yang rasional melibatkan

penyerahan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke

apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya

dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.

15. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan.

Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :

a. Jenis sediaan obat beragam

b. Jumlah obat terlalu banyak

c. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

Kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang diberikan,

ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi obat terjadi pada keadaan tertentu, misalnya:

jenis sediaan obat beragam, jumlah obat terlalu banyak, frekuensi pemberian obat per

hari terlalu sering, pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi, pasien

29

tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat, dan

timbulnya efek samping.

2.6.3 Kriteria Obat yang Digunakan dalam Swamedikasi

Jenis obat yang digunakan dalam swamedikasi meliputi: Obat Bebas, Obat

Bebas Terbatas, dan OWA (Obat Wajib Apotek). Sesuai dengan permenkes Nomor

919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang diserahkan tanpa resep:

(a) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

(b) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada

kelanjutan penyakit.

(c) Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan

oleh tenaga kesehatan.

(d) Penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

(e) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat di

pertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.

2.6.4 Masalah -masalah Pada Swamedikasi

a. Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen

bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi.

b. Maraknya penyebaran iklan obat -obatan melalui media televisi dan media

- media lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat untuk

memilih obat tanpa resep.

c. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan

masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian

obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah

apotek dan toko obat di Indonesia yang meni ngkat.

d. Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini

apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga

buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan

30

semacam ini juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri

(Kartajaya, 2011).