bab 5 teori kekerasan dalam rumah tangga

42
Remidial Legal Opinion Nama : Wira Irawan NIM : 010111041

Upload: sayyidahmad

Post on 15-Apr-2016

72 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Remidial Legal OpinionNama : Wira IrawanNIM : 010111041

Page 2: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB 5 TEORI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Pengertian Teori Kekerasan Dalam Rumah TanggaPada dasarnya, tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsep kebahagian dibagi menjadi dua

macam, yaitu kebahagiaan lahiriah dan kebutuhan spiritual. Namun, tidak selamanya tujuan

itu tercapai, hal ini disebabkan salah satu pihak melakukan kekerasan dalam rumah tangga

terhadap istri atau anak-anaknya atau sebaliknya, istri juga melakukan kekerasan terhadap

suaminya. Teori yang mengkaji tentang hal itu, disebut dengan teori kekerasan dalam

rumah tangga.

Istilah teori kekerasan dalam rumah tangga, berasal dari bahasa Inggris, yaitu violence

household theory, bahasa Belanda disebut dengan istilah geweld huishouden theorie,

sedangkan dalam bahasa Jerman disebut theorie der gewalt in der familie.

Sebelum dijelaskan pengertian teori kekerasan dalam rumah tangga, perlu

dikemukakan pengertian kekerasan dan ruang lingkup rumah tangga. Istilah kekerasan

sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu hardness atau violence, sedangkan dalam bahasa

Belanda disebut dengan istilah hardhead atau geweld. Dalam Kamus Bahasa Indonesia,

kekerasan diartikan sebagai:

“Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya

orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain”.1

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga dijumpai dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah:

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran

rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga".

Yang menjadi korban kekerasan dalam pengertian ini adalah perempuan. Tetapi ada

kalanya yang menjadi korban adalah laki-laki. Akibat adanya kekerasan itu, meliputi:

1. timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis; dan/atau

2. penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan:

a. perbuatan;

b. pemaksaan; atau

c. perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Ruang lingkup rumah tangga, meliputi:

1'Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989), hlm. 425.

Page 3: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. suami, istri, dan anak;

2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak

karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang

menetap dalam rumah tangga; dan/ atau

3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut.

Ruang lingkup ini, sangat luas, karena tidak hanya termasuk dalam keluarga inti, tetapi

juga keluarga lainnya. Keluarga inti terdiri dari:

1. suami;

2. istri; dan

3. anak.

Keluarga lainnya itu, meliputi:

1. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga; dan

2. orang-orang yang bekerja sebagai pembantu.

Dengan memerhatikan konsep kekerasan dalam rumah tangga, bentuk, serta akibat

perbuatan, maka dapat disajikan pengertian teori kekerasan dalam rumah tangga atau

violence household theory. Violence household theory adalah:

“Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah

tangga, faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan akibat

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban kekerasan dalam rumah

tangga".

Fokus teori ini, adalah pada:

1. subjek kekerasan dalam rumah tangga;

2. bentuk kekerasan dalam rumah tangga;

3. faktor penyebab terjadi kekerasan dalam rumah tangga; dan

4. akibat perbuatan kekerasan dalam rumah tangga.

Subjek kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

1. pelaku; dan

2. korban.

Pelaku, yaitu orang yang telah berumah tangga yang melakukan kekerasan terhadap

istrinya atau suami dan/atau anak-anaknya. Korban adalah orang yang mengalami

kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.2

Bentuk kekerasan dalam rumah tangga, meliputi:1. kekerasan fisik;

2. kekerasan psikis;

3. kekerasan seksual; atau

2Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Page 4: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

4. penelantaran rumah tangga.

Akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, meliputi:

1. cedera;

2. matinya orang lain;

3. kerusakan fisik; atau

4. barang orang lain.

B. Landasan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis Terhadap Kekerasan Dalam Rumah TanggaSecara filosofis, pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah untuk melindungi wanita atau ibu

rumah tangga dari kekerasan dalam rumah tangga, hal ini tertuang dalam pertimbangan

hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, yang berbunyi:

“Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala

bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

Dalam konsideran ini yang dilindunginya, yaitu warga negara. Warga negara termasuk

di dalamnya wanita. Hak warga negara adalah untuk mendapatkan rasa aman dan bebas

dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Landasan yuridis, pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah karena segala bentuk kekerasan,

terutama kekerasan dalam rumah tangga, meru- pakan pelanggaran hak asasi manusia dan

kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.3

Landasan sosiologis, pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah karena dalam kenyataannya kasus

kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia

belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.4

C. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah TanggaSecara yuridis, bentuk kekerasan dalam rumah tangga, dapat dibagi menjadi empat

bentuk. Keempat bentuk kekerasan itu, meliputi:

1. kekerasan fisik;

2. kekerasan psikis;

3. kekerasan seksual; atau

3Pertimbangan Hukum huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

4Pertimbangan Hukum huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Page 5: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

4. penelantaran rumah tangga.5

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka

berat. Akibat kekerasan fisik itu, meliputi:

1. rasa sakit;

2. jatuh sakit; atau

3. luka berat.

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau

penderitaan psikis berat pada seseorang. Akibat kekerasan psikis, meliputi:

1. ketakutan;

2. hilangnya rasa percaya diri;

3. hilangnya kemampuan untuk bertindak;

4. rasa tidak berdaya; dan/atau

5. penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan seksual adalah:

“setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan

seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual

dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu”.

Kekerasan seksual itu, meliputi:

1. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam

lingkup rumah tangga tersebut;

2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya

dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran rumah tangga merupakan kegiatan yang tidak memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang menurut hukum merupakan kewajiban

dari yang bersangkutan. Penelantaran rumah tangga, meliputi perbuatan yang tidak:

1. memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut;

2. berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara

membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah

sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah yang disajikan di atas, merupakan bentuk

kekerasan yang terdapat dalam norma hukum. Yang menjadi pertanyaan kini,

bagaimanakah kekerasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat? Berbagai penelitian

telah dilakukan oleh peneliti lain, yang mengungkapkan bentuk-bentuk kekerasan. Para

peneliti itu, meliputi Kristi E. Purwandari, Sanford, dan Fatahillah A. Syukur.

5Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Page 6: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kristi E. Purwandari mengemukakan lima bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yang

meliputi:

1. kekerasan fisik, seperti: memukul, menampar, mencekik dan sebagainya;

2. kekerasan psikologis, seperti: berteriak, menyumpah, mengancam, melecehkan dan

sebagainya;

3. kekerasan seksual, seperti: melakukan tindakan yang mengarah keajakan/desakan

seksual, seperti menyentuh, mencium, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan

korban dan lain sebagainya;

4. kekerasan finansial, seperti: mengambil barang korban, menahan atau tidak

memberikan pemenuhan kebutuhan finansial dan sebagainya;

5. kekerasan spiritual, seperti: merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban,

memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu”.6

Sanford, mengemukakan tiga bentuk-bentuk kekerasan. Ketiga bentuk kekerasan itu,

meliputi:

1. Emotional and instrumental violence;

2. random or individual violence; dan

3. collective violence.7

Emotional dan instrumental violence, berkaitan dengan kekerasan emosional dan alat

yang dipergunakan untuk melakukan kekerasan. Kekerasan brutal/sembarangan atau

kekerasan yang dilakukan secara individu/ perorangan (random or individual violence),

sedangkan collective violence terkait dengan kekerasan yang dilakukan secara

kolektif/bersama-sama. Contohnya, kejahatan kolektif, seperti perkelahian antargeng yang

menimbulkan kerusakan harta benda atau luka berat atau bahkan kematian.

Fatahillah A. Syukur mengemukakan tiga penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga, yang meliputi: (1) budaya patriarkhi, (2) kesalahpahaman terhadap ajaran agama

Islam, khususnya terhadap hak dan kewajiban suami istri, dan (3) ketidakseimbangan posisi

dan kekuatan yang dimiliki oleh pasangan suami istri.8

Budaya patriarkhi merupakan sistem sosial, di mana laki-laki memiliki kontrol dan

kekuasaan yang lebih tinggi, dengan perempuan berada di bawahnya (subordinat).

Kesalahpahaman dikonsepkan sebagai kekeliruan pandangan terhadap ajaran Islam.

Dalam ajaran Islam, laki-laki mempunyai kedudukan sebagai kepala rumah tangga,

sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga, yang berperan untuk mengurus tugas domestik.

Ketidakseimbangan posisi dimaknakan sebagai tidak sama kedudukan antara suami

dengan istrinya. Posisi suami dalam rumah tangga sebagai orang yang mencari nafkah

6Ni Nyoman Sukerti, “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga (Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender)", Fakultas Hukum Universitas Udayana, tanpa tahun, hlm. 7-8.

7H. Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, (Bandung: Rafika Aditama, 2007), hlm. 66.8Fatahillah A. Syukur, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktik di Pengadilan,

(Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 25.

Page 7: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

untuk istrinya. Sedangkan istri tidak mempunyai penghasilan sendiri. Ini merupakan

kelemahan ekonomi bagi istri.

D. Teori-teori yang Mengkaji tentang Kekerasan Dalam Rumah TanggaTeori-teori yang menganalisis tentang kekerasan rumah tangga cukup banyak, namun

dalam sub-bab ini, hanya dikaji teori penyebab terjadinya kekerasan yang dikemukakan

oleh Zastrow & Browker, teori feminisme, dan teori kekerasan dalam rumah tangga dalam

kaitannya dengan keputusan dalam mengakhiri rumah tangga dikembangkan oleh Kathryn

M Bell and Amy E Naugle.

Teori tentang penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dikembangkan oleh

Zastrow & Browker. Zastrow & Browker menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang

mampu menjelaskan faktor penyebab terjadinya kekerasan, yaitu:

1. Teori biologis;

2. teori frustasi agresi; dan

3. teori kontrol”.9

Teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink

agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Teori frustasi agresi menyatakan bahwa kekerasan

sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini

berasal dari suatu pendapat yang masuk akal bahwa seseorang yang frustasi sering

menjadi terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber

frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Teori kontrol menjelaskan bahwa

orang-orang yang hubungannya dengan orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah

mudah untuk terpaksa berbuat kekerasan ketika usaha-usahanya untuk berhubungan

dengan orang lain menghadapi situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang

yang memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih

mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif

Teori lain yang menganalisis tentang kekerasan dalam rumah tangga, yaitu teori

feminisme. Teori feminisme merupakan teori yang mengkaji tentang kesetaraan kedudukan

antara laki-laki dan wanita, baik dalam hubungannya dengan rumah tangga maupun dalam

hubungan sosial. Jaggar dan Rothenberg mengemukakan empat kategori teori feminisme,

yang meliputi:

1. Feminis liberal (liberal feminism);

2. feminis marxis (marxist theories);

3. feminis sosialis (socialist feminism); dan

4. feminis radikal (radical theories).10

9Rochmat Wahab, Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif, tanpa tahun, hlm. 6-7.10Munandar Sulaeman dan Siti Homzah, Kekerasan terhadap Perempuan (Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus

Kekerasan, (Bandung: PT Reflka Aditama, 2010), hlm. 6.

Page 8: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Asumsi dasar pemikiran aliran feminisme liberal (liberal feminism) ini adalah paham

liberalisme, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan serasi dan seimbang (structural

fungsional), karena itu harusnya tidak terjadi penindasan antara satu dengan yang lainnya.

Penindasan terjadi karena rendahnya intelektual perempuan akibat kurangnya kualitas

pendidikan dan tidak meratanya kesempatan. Asumsi dasar pemikiran aliran feminis marxis

(marxist theories) ini adalah adanya penindasan berdasarkan kelas, khususnya dikaitkan

dengan cara kapitalisme menguasai perempuan dalam kedudukan yang direndahkan.

Ketertinggalan perempuan bukan karena disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja,

tetapi akibat struktur sosial politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan sistem

kapitalisme. Feminis sosialis (socialist feminism) merupakan sintesis antara feminis marxis

dan feminis liberal. Asumsi dasar pemikirannya adalah bahwa hidup dalam masyarakat

kapitalis bukan satu-satunya penyebab ketertinggalan perempuan. Aliran ini lebih

memerhatikan keanekaragaman bentuk patriarkhi dan pembagian kerja secara seksual

karena menurut mereka kedua hal ini tidak dapat dilepaskan dari aktivitas produksi. Asumsi

yang mendasari feminis radikal (radical theories) adalah pemikiran bahwa ketidakadilan

gender yang menjadi akar dari tindak kekerasan terhadap perempuan justru terletak pada

perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan itu. Jenis kelamin seseorang adalah

faktor paling berpengaruh dalam menentukan posisi sosial, pengalaman hidup, kondisi fisik,

psikologis, kepentingan, dan nilai-nilainya. Karena itu aliran ini menggugat semua lembaga

yang dianggap merugikan perempuan seperti institusi keluarga dan sistem patriarkhi,

karena keluarga dianggap sebagai institusi yang melahirkan dominasi sehingga perempuan

ditindas dan mengalami kekerasan.11

Teori kekerasan dalam rumah tangga dalam kaitannya dengan keputusan dalam

mengakhiri rumah tangga merupakan teori yang mengkaji tentang hasil pemutusan,

ketetapan atau kesimpulan yang akan diambil oleh istri untuk mengakhiri atau menyudahi

perkawinan yang telah dijalani oleh pasangan suami istri tersebut. Teori kekerasan dalam

rumah tangga dalam kaitannya dengan keputusan dalam mengakhiri rumah tangga

dikembangkan oleh Kathryn M Bell and Amy E Naugle. Ada empat teori yang mengkaji

tentang hal itu, yang meliputi:

1. Learned helplessness;

2. psychological entrapment;

3. investment theory; dan

4. choice and behavioral economics and Delay discountin.12

Teori learned helplessness berpendapat bahwa wanita yang teraniaya umumnya

berpendapat mereka tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perbuatan pasangannya,

11uIbid.12Kathryn M Bell and Amy E Naugle, “Understanding Stay/Leave Decisions In Violent Relationships: A Behavior Analytic

Approach”, (Chicago: Spring 2005. Vol. 14, Iss. 1), hlm. 21-45.

Page 9: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

dan akhirnya cenderung untuk menghentikan segala usaha untuk meninggalkan atau

mengubah kondisi kekerasan tersebut. Psychological entrapment menyatakan bahwa

tingkat komitmen dalam suatu hubungan meningkat seiring dengan jumlah investasi

terhadap hubungan tersebut. Misalnya, wanita yang menikah menghabiskan banyak waktu,

energi dan uang untuk pernikahannya. Meskipun, keadaan tidak sesuai dengan

harapannya, kondisi ini terus berlanjut, sehingga akhirnya dia telah berinvestasi terlalu

banyak untuk mengakhiri pernikahannya. Teori ini juga didukung oleh adanya harapan

bahwa tindakannya mempertahankan hubungan dapat mengubah sikap pasangannya ke

arah yang baik dan ketidakyakinan bahwa apakah suatu hubungan bisa bebas dari

kekerasan atau tidak. Investment theory menitikberatkan pada analisis perbandingan cost

(biaya) dan reward (penghargaan) untuk hubungan saat ini dengan perkiraan benefit

(manfaat) dan cost untuk hubungan alternatif (termasuk menjadi single atau seorang diri).

Ada empat kondisi yang mungkin terjadi, yang meliputi:

1. self-punishing response, terjadi pada individu dengan pay off (mengakhiri) rendah dalam

suatu pernikahan, dan memiliki pay off yang lebih rendah lagi untuk hubungan alternatif;

2. aggressive response, terjadi pada individu yang memiliki pay off (mengakhiri) tinggi

dalam suatu pernikahan, tetapi memiliki pay off (mengakhiri) yang rendah untuk

hubungan alternatif;

3. early disengagement response, terjadi pada individu dengan pay off rendah untuk

hubungan saat ini, tetapi memiliki pay off yang tinggi untuk hubungan alternatif; dan

4. reluctant mid-life disengagement response, terjadi pada individu yang memiliki pay off

tinggi baik untuk hubungannya saat ini maupun hubungan alternatif.

E. Penerapan Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Penelitian DisertasiTeori kekerasan dalam rumah tangga telah diterapkan oleh Hamidsyukrie ZM, Andi

Akram, Ulin Na'mah dan G. Widiartana di dalam penelitian disertasinya. Ada pun judul,

perumusan masalah, dan hasil penelitian disertasinya, disajikan berikut ini.

1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Budaya Maja Labo Dahu Orang BimaHamidsyukrie ZM, telah melakukan penelitian disertasi tentang: “Kekerasan dalam

Rumah Tangga dalam Budaya Maja Labo Dahu Orang Bima”, disertasi Program Doktor

Departemen Antropologi Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI, 2009.

Permasalahan dalam penelitian ini, adalah bagaimanakah bentuk kekerasan dalam rumah

tangga (KDRT) dalam budaya maja labo dahu (MLD) orang Bima dengan fokus etnografi

pada pengalaman dan pandangan perempuan sebagai korban.

Penelitian ini hendak menjelaskan tentang:

a. konstruksi gagasan;

Page 10: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

b. nilai-nilai dan norma-norma apa yang memungkinkan dan mendorong suami melakukan

kekerasan terhadap istri;

c. relasi kuasa yang terbangun antara suami dan istri;

d. pemahaman dan pemaknaan kekerasan menurut perspektif budaya MLD; dan

e. resistensi dan respons korban, masyarakat, negara terhadap kekerasan yang dialami

istri.

Penelitian yang dilakukan di Kota Bima yang bermotto “maja labo dahu" menggunakan

metode kualitatif dengan analisis kritis terhadap kasus-kasus keributan dan kekerasan yang

diperoleh melalui pengamatan, dokumen dan wawancara dengan korban (istri) dan pelaku

(suami) KDRT.

Ada tiga hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hamidsyukrie ZM, yang meliputi:

1. pemahaman tekstual keagamaan dan nilai-nilai maja labo dahu (MLD) cenderung

menempatkan istri sebagai pihak yang subordinatif, yang posisinya rendah sebagai

dampak dari relasi kuasa yang timpang dan kuat. Relasi kuasa ini dapat terbentuk

dan didasari oleh konsep rangga (perkasa, maskulin), qawwam (pemimpin), fu'u

mori (pilar kehidupan), co'i (mahar/harga), mitos penciptaan perempuan, dan

pemahaman konsep kodrat yang simplistis dapat mendorong dan memberi

kontribusi bagi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga;

2. peristiwa-peristiwa kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri terjadi karena dipicu

oleh hal-hal yang terkategori dalam persoalan ekonomi, sosial, dan personal.

Kekerasan dilihat sebagai hal yang biasa dan dipraktikkan dalam kehidupan rumah

tangga yang dilatarbelakangi oleh pemahaman dan gagasan yang legitimatif, karena

itu, kekerasan dalam rumah tangga bersifat ekskalatif dan repetitif;

3. maja labo dahu (MLD) melegitimasi subordinasi dan kekerasan terhadap istri dalam

rumah tangga karena diabsahkan oleh pemahaman keagamaan, pemahaman atas

konsep laki-laki sebagai rangga (perkasa/maskulin), sebagai qawwam (pemimpin),

sebagai fu'u mori (pilar kehidupan), perempuan sebagai properti, dan mitos

penciptaan perempuan yang semuanya menekankan istri sebagai subordinasi dari

suami. Kepatuhan istri terhadap suami merupakan bentuk ibadah. Bias penafsiran

dan pemahaman yang bersifat patriarkal pada gilirannya memungkinkan pula istri

menerima saja perlakuan suami sebagai kodrat, dan tidak melakukan resistensi

yang nyata terhadap perlakuan suami, meskipun dalam kondisi-kondisi tertentu istri

mampu melakukan resistensi. Adanya resistensi mencerminkan bahwa budaya maja

labo dahu (MLD) tidak mampu memberi perlindungan terhadap keselamatan,

kenyamanan, dan keadilan bagi istri sehingga mereka mencari dan mengakses

keadilan di luar, yaitu undang-undang kekerasan dalam rumah tangga, pranata yang

Page 11: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

disediakan pemerintah.13

Ada tiga hal yang disajikan oleh Hamidsyukrie ZM, yang meliputi:

a. nilai-nilai maja labo dahu (MLD);

b. faktor penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga; dan

c. legitimasi budaya maja labo dahu (MLD).

Nilai-nilai maja labo dahu (MLD) cenderung menempatkan istri sebagai:

a. pihak yang subordinatif, yang posisinya rendah sebagai dampak dari relasi kuasa yang

timpang dan kuat; dan

b. relasi kuasa ini dapat terbentuk dan didasari oleh konsep:

1) rangga (perkasa, maskulin);

2) qawwam (pemimpin);

3) fu'u mori (pilar kehidupan);

4) co'i (mahar/harga);

5) mitos penciptaan perempuan; dan

6) pemahaman konsep kodrat yang simplistis dapat mendorong dan memberi kontribusi

bagi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Ada empat faktor penyebab terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga di Bima, yang

meliputi:

a. ekonomi;

b. sosial;

c. personal; dan

d. pemahaman dan gagasan yang legitimatif, karena itu kekerasan dalam rumah tangga

bersifat ekskalatif dan repetitif.

Budaya maja labo dahu (MLD) melegitimasi subordinasi dan kekerasan terhadap istri

dalam rumah tangga karena:

a. diabsahkan oleh pemahaman keagamaan; dan

b. pemahaman atas konsep laki-laki sebagai:

1) rangga (perkasa/maskulin);

2) qawwam (pemimpin);

3) fu’u mori (pilar kehidupan);

4) perempuan sebagai property;

5) mitos penciptaan perempuan yang semuanya menekankan istri sebagai subordinasi

dari suami;

6) kepatuhan istri terhadap suami merupakan bentuk ibadah; dan

7) istri menerima saja perlakuan suami sebagai kodrat, dan tidak melakukan resistensi

13Hamidsyukrie ZM, “Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Budaya Maja Labo Dahu Orang Bima”, Disertasi Program Doktor Departemen Antropologi Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UI, 2009, hlm. x.

Page 12: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

yang nyata terhadap perlakuan suami, mes- kipun dalam kondisi-kondisi tertentu istri

mampu melakukan resistensi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya maja labo dahu (MLD) tidak

mampu memberi perlindungan terhadap keselamatan, kenyamanan, dan keadilan bagi istri.

Hal ini disebabkan kedudukan suami lebih tinggi dibandingkan istri.

2. Studi Hukum Kritis atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah TanggaAndi Akram telah melakukan penelitian disertasi, dengan judul: “Studi Hukum Kritis atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga", disertasi Program Doktor Pascasarjana UIN Bandung, 2012. Ada tiga masalah

yang dikaji dan dianalisis oleh Andi Akram, yang meliputi:

a. bagaimanakah kedudukan dan konsekuensi dari legislasi Undang- Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga?

b. bagaimanakah perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga?

c. bagaimanakah perbedaan pengaturan kekerasan dalam rumah tangga dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga dengan Hukum Islam?

Teori yang digunakan disajikan berikut ini. Grand theory, yaitu negara hukum. Grand

theory ini untuk mengkaji kedudukan dan konsekuensi dari legislasi Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004. Middle theory yang digunakan adalah teori perundang-undangan yang

menempatkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai undang-undang yang

disusun secara sistematis sesuai dengan teknik menyusun perundang-undangan yang baik.

Sementara aplikasi teori adalah teori maslahah untuk mengkritisi sejauh mana UU PKDRT

memiliki nilai-nilai maslahah bagi kehidupan manusia berdasarkan teori maslahah dalam

hukum Islam.

Ada tiga temuan hasil penelitian disertasi yang dilakukan Andi Akram, yang meliputi:

1. Kehadiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga merupakan bentuk perwujudan perlindungan negara terhadap

warga negara agar terhindar dari perilaku kekerasan dalam rumah tangga;

2. perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga bersifat edukatif, preventif,

kuratif dan represif;

3. perbedaan pengaturan kekerasan dalam rumah tangga dalam undang-undang ini

dengan hukum Islam. Dalam undang-undang ini, kekerasan dalam rumah tangga

didefmisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

Page 13: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. Di sini memperlihatkan bahwasanya faktor

yang melandasi adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah karena gender.

Pengertian ini juga menjadi rancu manakala disinkronkan dengan Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang menjelaskan siapa saja yang termasuk dalam

lingkup rumah tangga, yang intinya korban tidak hanya perempuan. Sementara itu,

dalam hukum Islam, suatu tindak kekerasan (jarimah) dimaknai sebagai perbuatan

telah melanggar hukum Syara. Bagi yang melakukan pelanggaran tersebut sangat

tegas dan mampu membuat pelaku jera. Selanjutnya dijelaskan bahwa pelaku

maupun korban kekerasan bisa laki-laki dan/atau perempuan. Keduanya memiliki

peluang yang sama. Sehingga syariat Islam tidak menyudutkan salah satu pihak

sebagai pihak yang bersalah, akan tetapi lebih bijaksana dan objektif dalam

menetapkan aturan hukumnya. Hukum Islam melarang kekerasan fisik, baik dalam

rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Hulcuman bagi suami istri yang

melakukan kekerasan fisik menurut hadis adalah Qishas. Jika disebutkan Qishas

maka tidak bisa dilepaskan dari lembaga pemaafan dan diyat yang harus dibayarkan

pelaku tindak kekerasan terhadap korban. Hal ini berdasarkan pada Al-Qur'an surat

al Maidah ayat 45. Dari ayat di atas jelas bahwa sanksi hukuman adalah Qishas.

Diyat bukan kepada negara akan tetapi diserahkan kepada korban, tidak seperti

yang disebutkan dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dalam hal yang dituntut adalah

pembayaran diyat, keluarga korban yang memaafkan supaya menagih pembayaran

diyat dengan cara yang baik dan sebaliknya. Kekerasan psikis dalam Pasal 7 dapat

berupa penghinaan, ancaman, perselingkuhan, caci maki, ejekan, domestifikasi

peran/larangan istri keluar rumah dan Pasal 49 menyebutkan sanksi pidana penjara

paling lama tiga tahun atau denda 9 juta rupiah. Sanksi ini perlu dikaji ulang masih

dimungkinkan bagi suami istri bersangkutan untuk melanjutkan rumah tangga

mereka. Tetapi jika kekerasan psikis itu mengakibatkan timbulnya penyakit atau

halangan untuk melakukan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan

sehari-hari, maka terhadap suami istri bersangkutan tetap diberlakukan sanksi

pidana dalam Pasal 45 ayat 1, yaitu pidana penjara paling lama tiga tahun atau

pidana denda paling banyak sembilan juta rupiah. Dan pembayaran denda ini

bukanlah pada korban melainkan pada negara, permasalahannya adalah siapa yang

akan menanggung atas biaya perawatan dan pengobatan korban kekerasan psikis.

Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting mengingat

tujuan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang salah satunya adalah melindungi korban dari

Page 14: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

kekerasan dalam rumah tangga. Kalimat pemaksaan hubungan seksual masih

belum jelas dan hanya dijelaskan secara sangat global. Baik di pasal lainnya

ataupun di bab penjelasan, tidak ditemukan keterangan lebih mendalam tentang

kata pemaksaan. Akibatnya kata itu mengandung banyak pengertian: kekerasan itu

terjadi apakah karena istrinya enggan melakukan hubungan, kecapekan atau karena

ada faktor lain. Pengertian di atas bisa jadi sangat bias. Dengan begitu,

berpegangan dengan ketentuan itu, seorang istri bisa saja menolak setiap ajakan

suami untuk berhubungan dengan alasan macam-macam atau tidak syari. Jika

suami memaksa istri dan istri tak berkenan, maka seorang istri berdasarkan

Undang-undang tersebut bisa mengajukan suaminya ke meja hijau”.14

Penelitian disertasi ini, fokus utamanya pada perbedaan dan persamaan kekerasan

dalam rumah tangga antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan hukum Islam. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga, bahwa faktor yang melandasi adanya kekerasan dalam rumah tangga

adalah karena adanya gender, sedangkan dalam hukum Islam, suatu tindak kekerasan

(jarimah) dimaknai sebagai perbuatan telah melanggar hukum Syara. Bagi yang melakukan

pelanggaran tersebut sangat tegas dan mampu membuat pelaku jera.

Di samping itu, Andi Akram juga menyajikan rekomendasi di dalam penelitian

disertasinya, yang meliputi:

a. pentingnya dibangun sarana pendukung untuk pelaksanaan UU PKDRT ini, seperti

anggaran bagi pemulihan korban sehingga tidak ditanggungkan pada korban KDRT

yang umumnya sangat jauh dari akses ekonomi keluarga;

b. ruang yang sensitif terhadap korban KDRT;

c. petunjuk pelaksanaan peraturan yang sensitif gender dan mudah dipahami oleh aparat

penegak hukum dalam hal ini polisi, jaksa dan hakim;

d. penyedia layanan medis, rumah aman, pendamping, psikolog, dan lain-lain;

e. perlu revisi materi undang-undang khususnya yang termuat dalam pasal-pasal

berkaitan dengan sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga

3. Makna Cerai Talak Bagi Istri di Kabupaten Tuban, Jawa TimurUlin Na’mah telah melakukan penelitian disertasi, dengan judul: “Makna Cerai Talak

bagi Istri di Kabupaten Tuban, Jawa Timur", disertasi Program Pascasarjana IAIN Sunan

Ampel Surabaya, 2011. Adapun masalahnya, yaitu:

a. bagaimana gambaran cerai talak di PA Kabupaten Tuban?

14Andi Akram, ”Studi Hukum Kritis atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga”, disertasi Program Doktor Pascasarjana UIN Bandung, 2012.

Page 15: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

b. mengapa para suami dan bukannya istri, yang mengajukan gugatan perceraian dengan

menggunakan alasan tekanan ekonomi?

c. bagaimana para istri yang dicerai talak itu memaknai cerai talak yang diajukan oleh

suami mereka dengan menggunakan alasan tekanan ekonomi?

Adapun perangkat metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

fenomenologi yang digagas oleh Clark Moustakas dengan menggunakan beberapa teori

konflik.

Hasil penelitian, disajikan berikut ini. Pola pemaknaan istri terhadap cerai talak karena

alasan tekanan ekonomi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Pengajuan atau permohonan cerai talak di PA Kabupaten Tuban dengan

menggunakan alasan ekonomi atau tuntutan nafkah cenderung dilakukan oleh para

suami dengan alasan:

a. tanggung jawab laki-laki (suami) kepada istri;

b. suami merasa tertantang oleh istri;

c. ketidakkuatan suami untuk tinggal bersama di rumah mertua dalam rangka

“ngawulo” (mantu dherek morotuwo);

d. cerai talak (divorce) ini dilakukan oleh suami ketika datang musim panen karena

baru mampu membayar biaya panjar perkara, dengan sebelumnya telah

menempuh pisah rumah (separation) sebelum datangnya musim panen;

e. dalam hal pisah rumah, suamilah yang pergi meninggalkan pasangannya (istri),

karena masyarakat Tuban telah menganut tradisi matrilocal residence atau

setelah menikah pasangan suami istri bertempat tinggal bersama di rumah

keluarga (orang tua) istri;

f. meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan terdapat juga pasangan yang

bertempat tinggal bersama di rumah suami atau keluarga suami, maka pada

kondisi demikian ini pihak yang pergi meninggalkan pasangan lawan jenisnya

adalah istri; dan

g. rentang waktu pisah tempat tinggal atau perpisahan/ separation (untuk tidak

menyebut perceraian/divorce) sebelum diajukan sebagai bentuk perceraian

sangat bervariasi, adakalanya selama 1, 2, 3, 4, dan bahkan hingga selama 9

tahun sebagaimana telah dialami oleh istri bernama MP;

2. alasan ekonomi atau tuntutan nafkah yang layak dari istri tidak dijadikan alasan istri

untuk mengajukan cerai gugat, karena ketiadaan biaya, masih menghargai kelaki-

lakian suami atau tradisi Jawa dengan budaya patriarkhinya, dan karena takut akan

menuai dendam dari suami, seperti dalam bentuk guna-guna ketika nanti istri

menikah lagi; dan

3. perempuan (istri) yang telah dicerai talak oleh suaminya, dengan menggunakan

Page 16: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

alasan tekanan ekonomi atau adanya tuntutan nafkah yang layak dari istri dalam

pengajuan surat permohonan cerai talaknya tersebut tidak dapat membenarkan

alasan yang digunakan suaminya. Menurut para istri, pemaknaan yang benar atas

alasan cerai talak yang digunakan oleh suami mereka adalah sebagai berikut:

a. istri merasa ditelantarkan oleh suami. Dalam hal ini, selain minta diceraikan, istri

juga menuntut nafkah kepada suaminya, karena merasa telah ditelantarkan

dengan tidak diberi nafkah hingga sekian lama, sebab suami malas bekerja. Di

samping itu, sebenarnya perceraian memang sangat diinginkan istri karena ia

merasa tidak dianggap sebagai layaknya seorang istri. Menurutnya, menjadi

selayaknya seorang istri ialah dengan senantiasa menerima nafkah dari suami,

meskipun sebenarnya dirinya juga mampu memperolehnya melalui tangannya

sendiri dengan susah payah, tanpa pemberian suami. Namun, justru adanya

konsep laki-laki sebagai penanggung jawab dan pencari nafkah keluarga telah

menyebabkan istri menuntutnya dan lebih jauh menuntut adanya perceraian

sebagai pilihan terakhir. Dengan demikian, cerai talak dimaknai oleh istri sebagai

bentuk resistensi mereka terhadap kemalasan suami untuk bekerja dan

berusaha keras dalam rangka mendapatkan kemuliaan dan kehormatan

keluarga dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat;

b. istri merasa tidak adanya titik temu antara dirinya dan suami tentang tempat

tinggal setelah pernikahan. Sedangkan sering kali konsep “mantu dherek

morotuwo” yang dipergunakan oleh kaum perempuan Tuban untuk menyokong

kuasanya sebagai perempuan Jawa justru telah menuai konflik. Sebenarnya

konsep tersebut telah menjadi tradisi masyarakat Tuban yang sangat diupayakan

oleh kaum perempuan, agar mereka tetap berada dalam bingkai matrilocal

residence. Namun, seiring arus transformasi yang terus bergulir, perjuangan atau

upaya tersebut telah menghadapi tantangan yang cukup berat dari kaum laki-

laki, hingga menyebabkan konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian.

Meskipun demikian, konflik yang berujung pada perceraian ini tetap bisa

dimaknai positif sebagai upaya untuk mempertahankan kultur masyarakat Tuban

dengan tradisi mantu dherek morotuwo atau ngawulonya. Dengan demikian,

cerai talak dimaknai oleh istri sebagai bentuk resistensi suaminya terhadap

tradisi matrilocal residence;

c. istri merasa suaminya telah berselingkuh dengan wanita idaman lain dan

bermaksud untuk berpoligami (memadunya). Di sini, kehendak poligami—untuk

tidak menyebut perselingkuhan telah dianggap oleh istri sebagai sesuatu yang

tidak sesuai dengan role expectation dan “kekayaan" yang di bawanya. Di

samping itu, istri sangat mengharapkan perlakuan eksklusif suami dengan

Page 17: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

menjadikannya sebagai satu-satunya istri sah. Lebih dari itu, dalam hal ini, istri

telah mengalami kekerasan psikis atau psikologis yang lebih berat daripada

kekerasan fisik yang mereka terima ataupun perselingkuhan itu sendiri. Dengan

kata lain, istri masih mampu bertahan pada kondisi di mana suami telah

berselingkuh dengan perempuan idaman lain daripada suami harus berpoligami

atau mengutarakan kehendak poligaminya. Dengan demikian, ketika niat atau

kehendak poligami itu diutarakan, maka istri lebih memilih diceraikan, yang

selanjutnya dapat disebut dengan istilah “resistensi psikologis istri terhadap

kehendak poligami".15

Fokus penelitian disertasi Ulin Na'mah, yaitu makna cerai talak bagi istri. Makna itu,

meliputi:

a. istri merasa ditelantarkan oleh suami;

b. istri merasa tidak adanya titik temu antara dirinya dan suami tentang tempat tinggal

setelah pernikahan. Sedangkan sering kali konsep “mantu dherek morotuwo" yang

dipergunakan oleh kaum perempuan Tuban untuk menyokong kuasanya sebagai

perempuan Jawa justru telah menuai konflik; dan

c. istri merasa suaminya telah berselingkuh dengan wanita idaman lain dan bermaksud

untuk berpoligami (memadunya).

4. Ide Keadilan Restoratif pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Hukum PidanaG. Widiartana telah melakukan penelitian disertasi, dengan judul: “Ide Keadilan

Restoratif pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan

Hukum Pidana”, ringkasan disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Semarang, 2011. Ada tiga masalah yang dikaji oleh G. Widiartana, yang meliputi:

a. mengapa ide keadilan restoratif penting untuk dijadikan sebagai dasar bagi kebijakan

hukum pidana pada penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia?

b. apakah kebijakan formulatif hukum pidana yang berkaitan dengan penanggulangan

kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia saat ini sudah mencerminkan ide keadilan

restoratif?

c. bagaimanakah kebijakan hukum pidana dengan muatan ide keadilan restoratif

diformulasikan sebagai upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di

Indonesia?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Keadilan restoratif mempunyai arti penting untuk dij adikan sebagai dasar kebijakan

15Ulin Na’mah, ”Makna Cerai Talak bagi Istri di Kabupaten Tuban, Jawa Timur”, disertasi Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011, him. 71-73.

Page 18: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga dengan hukum pidana di

Indonesia berdasarkan argumentasi sebagai berikut:

a. kesesuaian ide keadilan restoratif dengan Pancasila sebagai cita hukum

bangsa dan negara Indonesia. Kesesuaian antara ide keadilan restoratif

dengan Pancasila tersebut terutama karena terdapatnya prinsip-prinsip

kekeluargaan yang mengandung nilai humanistik;

b. keadilan restoratif dapat memberikan rasa keadilan yang lebih substantif pada

korban tindak pidana;

c. kekerasan dalam rumah tangga terjadi di antara orang-orang yang memiliki

relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat dekat, baik karena

perkawinan maupun hubungan darah;

d. korban atau keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga lebih sering

memilih untuk tidak melanjutkan proses penyelesaian kasusnya menurut jalur

hukum pidana;

e. penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan restoratif pada dasarnya

dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan harmoni dalam rumah tangga

dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat;

f. kecenderungan perkembangan internasional untuk memerhatikan faktor

korban dalam penyelesaian tindak pidana;

g. konsep RUU KUHP sendiri sudah mulai mempertimbangkan faktor korban

dalam pemidanaannya. dan

2. undang-undang perlindungan anak serta UUPKDRT sebenarnya sudah

mengakomodasi ide keadilan restoratif. Tetapi diakomo- dasinya ide keadilan

restoratif dalam kedua undang-undang tersebut tidak diletakkan dalam konteks

penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan hukum pidana atau kebijakan

hukum pidana. Sedangkan kebijakan hukum pidana pada penanggulangan

kekerasan dalam rumah tangga dalam KUHP dan KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981),

ternyata belum mencerminkan keadilan restoratif. Indikasi belum tercerminnya

keadilan restoratif dalam kebijakan hukum pidana pada aturan-aturan hukum yang

dijadikan sebagai pegangan/acuan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah

tangga di Indonesia itu, terlihat dari hal-hal sebagai berikut.

a. proses dan prosedur penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga

pada dasarnya belum melibatkan korban untuk secara aktif ikut serta dalam

proses penyelesaian perkaranya;

b. ketentuan pemidanaan, khususnya yang berkaitan dengan ancaman sanksi

pidana yang terdapat dalam KUHR Undang- Undang Perlindungan Anak, dan

Undang-Undang Peng- hapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak ada

Page 19: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

satu pun yang bersifat restoratif;

c. kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah

tangga yang bermuatan ide keadilan restoratif diformulasikan dengan

merumuskan/mencantumkan hal-hal sebagai berikut:

1) dalam kebijakan hukum pidana materiil, yang berbunyi:

a) merumuskan/mencantumkan ancaman sanksi pidana yang berorientasi

untuk menggugah rasa tanggung jawab pelaku atas perbuatannya dan

sekaligus berorientasi pada pemulihan penderitaan korban sebagai

alternatif dari pidana penjara yang diancamkan UUPKDRT. Secara

konkret ancaman sanksi pidana demikian itu berupa sanksi pidana yang

bertitik tolak dari kewajiban-kewajiban yang muncul sebagai akibat adanya

hubungan keluarga dalam lingkup rumah tangga, misalnya kewajiban

untuk memberikan nafkah dan kewajiban untuk melakukan perawatan

atau pemeliharaan terhadap anggota keluarga yang lain.

b) merumuskan/mencantumkan tindakan-tindakan rehabilitatif yang

dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya setelah terjadinya kekerasan

sebagai hal yang meringankan pidana; dan

c) merumuskan/mencantumkan dilaksanakannya hasil-hasil mediasi di antara

pelaku dan korban sebagai alasan penghapus penuntutan.

2) dalam kebij akan hukum pidana formil, yaitu dengan

merumuskan/mencantumkan ketentuan-ketentuan mengenai proses

penyelesaian perkara yang melibatkan korban secara aktif, khususnya untuk

perkara kekerasan fisik atau psikis yang ringan; kekerasan seksual di antara

suami/ istri; dan penelantaran rumah tangga. Dilibatkannya korban secara

aktif dalam proses penyelesaian kasus tersebut adalah dengan cara mediasi

yang juga melibatkan keluarga dekat para pihak dan tokoh masyarakat/tokoh

agama”.16

Fokus utama penelitian disertasi ini, yakni pada restorasi kebijakan hukum pidana pada

penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga dalam KUHP dan KUHAP (UU No. 8

Tahun 1981). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata kebijakan hukum pidana pada

penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga dalam KUHP dan KUHAP (UU No. 8

Tahun 1981) belum mencerminkan keadilan restoratif. Indikasi belum tercerminnya keadilan

restoratif dalam kebijakan hukum pidana pada aturan-aturan hukum yang dijadikan sebagai

pegangan/acuan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia itu,

terlihat dari hal-hal sebagai berikut.

16G. Widiartana, ”Ide Keadilan Restoratif pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Hukum Pidana”, ringkasan disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2011, hlm. 61-63.

Page 20: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a. proses dan prosedur penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga pada

dasarnya belum melibatkan korban untuk secara aktif ikut serta dalam proses

penyelesaian perkaranya; dan

b. ketentuan pemidanaan, khususnya yang berkaitan dengan ancaman sanksi pidana

yang terdapat dalam KUHR Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak ada satu pun yang bersifat

restoratif.

Keadilan restoratif merupakan keadilan yang memusatkan perhatiannya pada upaya

restorasi atau memperbaiki/memulihkan kondisi atau keadaan yang rusak sebagai akibat

terjadinya tindak pidana. Ada pun yang akan direstorasi/diperbaiki/dipulihkan adalah

korban, pelaku tindak pidana, serta kerusakan-kerusakan lain akibat tindak pidana dalam

masyarakat.

F. Penerapan Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Penelitian TesisTeori kekerasan dalam rumah tangga telah diterapkan oleh Lamber Missa, Sukerti,

Heriyono, Ahdiat Pramono, Sri Wahyuningsih, dkk., Pepi Hendrya, dan Ni Putu Trisna Dewi

dalam melakukan penelitian tesisnya. Adapun judul, perumusan masalah, dan hasil

penelitian tesisnya, disajikan berikut ini.

1. Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara TimurLamber Missa telah melakukan penelitian tesis, dengan judul: “Studi Kriminologi

Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Kota Kupang Provinsi Nusa

Tenggara Timur", Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2010.

Ada tiga masalah yang diteliti oleh Lamber Missa, yang meliputi:

a. bagaimana fenomena kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga di Kota Kupang?

b. bagaimana fenomena kekerasan dalam rumah tangga ditinjau dari aspek kriminologi?

c. bagaimana perspektif masyarakat Kota Kupang terhadap fenomena kekerasan dalam

rumah tangga dan pola penyelesaiannya?

Ada tiga kesimpulan, yang disajikan oleh Lamber Missa, yang meliputi:

1. Fenomena KDRT di Kota Kupang sebenarnya merupakan fenomena yang setua

dengan umur perkawinan itu sendiri. Hanya saja secara formal baru terkuak

kepermukaan sejak adanya pengundangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Padahal bagi masyarakat

Kota Kupang dan masyarakat Atoin Meto yang merupakan populasi terbesar di Kota

Kupang (60%), membicarakan tentang seks saja tabu apalagi persoalan dalam

rumah tangga diungkap keluar. Presentase KDRT di Kota Kupang sebenarnya

secara kuantitatif berada pada posisi yang fluktuatif/tidak selalu berada pada garis

Page 21: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

linear sebagaimana tindak pidana lainnya. Hanya secara kualitatif, KDRT yang

terkait dengan kekerasan fisik dan psikis mendapatkan tempat teratas;

2. fenomena KDRT di Kota Kupang secara kriminologis/etiologi kriminal disebabkan

oleh faktor-faktor:

a. ekonomi yang terkait dengan sumber penghasilan;

b. cemburu yang terkait dengan relasi dengan lawan jenis baik pada tempat kerja

ataupun kehidupan bermasyarakat pada umumnya;

c. miras (minuman keras). Miras ini berhubungan dengan kebiasaan masyarakat

dalam menikmati hidup, tetapi dalam takaran yang over, maka KDRT bisa saja

terjadi; dan

3. persepsi masyarakat Kota Kupang bahwa KDRT masih merupakan urusan internal

keluarga, namun Undang-Undang PKDRT telah mengubah sedikit persepsi

mengenai KDRT itu sendiri. Sebagian masyarakat yang telah sadar akan HAM-nya,

mulai memproses kasus KDRT itu, sebaliknya sebagian masih sangat hati-hati

dalam menyikapi KDRT itu. Pola penyelesaian KDRT secara adat dilakukan dengan

pelaku memberikan denda (opat) kepada pihak korban sebagai ekspresi

penyesalannya. Sementara penyelesaian secara negara dilakukan oleh pihak

kepolisian dengan memproses hukum pelakunya hingga pengadilan menjatuhkan

vonis. Hanya saja kendalanya bahwa masih begitu sulitnya masyarakat mela-

porkan suami kepada polisi karena dianggap akan meruak perkawinan itu sendiri”.17

Ada dua hal yang menjadi fokus penelitian tesis Lamber Missa, yaitu:

a. faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga; dan

b. pola penyelesaiannya.

Ada tiga penyebab terjadinya KDRT di Kota Kupang, yaitu karena ekonomi, cemburu,

dan minuman keras. Peneliti sendiri tidak menganalisis penyebab utama terjadinya

kekerasan di Kota Kupang. Sementara itu, ada dua cara untuk mengakhiri sengketa yang

timbul di antara para pihak, yaitu menggunakan hukum adat dan hukum negara. Namun,

dalam realitasnya cara penyelesaian sengketa yang digunakan menggunakan denda (opat).

2. Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga: Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus di Kota Denpasar)Sukerti menerapkan teori kekerasan dalam rumah tangga di dalam penelitian tesisnya.

Hasil penelitian Sukerti telah menyajikan bentuk dan penyebab terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga. Ia mengemukakan tiga bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga

bentuk kekerasan itu, meliputi:

1. Kekerasan fisik, seperti dipukul dengan tangan, dipukul dengan sendok, ditentang,

17Lamber Missa, ”Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur”, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2010, hlm. 151-152.

Page 22: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

dicekik, dijambak, dicukur paksa, kepala dibenturkan ke tembok;

2. kekerasan psikologis, seperti diancam, disumpah, pendapat korban tidak pernah

dihargai, dilarang bergaul, tidak pernah diajak berunding, direndahkan dengan

mengucapkan kata-kata yang sifatnya merendahkan posisi perempuan; dan

3. kekerasan ekonomi, seperti membebankan biaya rumah tangga sepenuhnya

kepada istri (istri yang bekerja secara formal) atau tidak memberikan pemenuhan

fmansial kepada istri. Jadi mene- lantarkan rumah tangga".18

Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana

dikemukakan oleh Sukerti, meliputi:

a. Suami cemburu;

b. suami merasa berkuasa;

c. suami mempunyai selingkuhan dan kawin lagi tanpa izin;

d. ikut campurnya pihak ketiga (mertua);

e. suami memang suka berlaku kasar (faktor keturunan); dan

f. suami suka berjudi".19

Kelemahan penelitian tesis ini, yaitu peneliti tidak menjelaskan tentang faktor penyebab

yang paling dominan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum IslamHeriyono telah melakukan penelitian tesis, tentang: “Kekerasan dalam Rumah Tangga

Sebagai Alasan Terjadinya Perceraian Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam”, tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas

Diponegoro, 2009. Hal-hal yang diteliti, meliputi:

a. bagaimanakah konsep kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menjadi alasan

terjadinya perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam?

b. bagaimanakah proses pembuktian dalam perkara perceraian dengan alasan adanya

kekerasan dalam rumah tangga di Pengadilan Agama?

c. apa yang menjadi dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam

memutus perkara perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga?

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Konsep kekerasan dalam rumah tangga yang dapat menjadi alasan terjadinya

perceraian di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam, yakni terdiri dari:

18Sukerti, 2005, "Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga: Kajian dari Perspektif Hukum dan Gender (Studi Kasus di Kota Denpasar)”, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, hlm. 70.

19Ibid, hlm. 84.

Page 23: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

a. kekerasan psikis, yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut penj elasannya juncto Pasal 116 huruf a

dan f Kompilasi Hukum Islam;

b. kekerasan fisik, yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut penj elasannya juncto Pasal 116 huruf d

Kompilasi Hukum Islam; dan

c. penelantaran ekonomi, yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut penjelasannya juncto Pasal 116

huruf b Kompilasi Hukum Islam;

2. proses pembuktian dalam perkara perceraian dengan alasan adanya kekerasan

dalam rumah tangga di Pengadilan Agama, yaitu:

a. dengan alasan salah satu pihak melakukan perbuatan zina, maka proses

pembuktiannya dilakukan.dengan sumpah sebagaimana ditentukan dalam

Pasal 87 juncto Pasal 88 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;

b. dengan alasan syiqaq, maka proses pembuktiannya didahului dengan

mengangkat hakam dari masing-masing pihak, ditentukan dalam Pasal 76

ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juncto Pasal 134 Kompilasi

Hukum Islam;

c. dengan alasan selain tersebut di atas, maka proses pembuktiannya sesuai

dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang

menyatakan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan

Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan

Umum, maka proses pembuktiannya merujuk pada Hukum Acara yang diatur

dalam HIR dan RBG, maka secara otomatis ketentuan alat-alat bukti dan

pembuktian yang diberlakukan adalah ketentuan hukum acara yang terikat

Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 BW serta Pasal 70 Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006;

3. dasar pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara

perceraian dengan alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 berikut penjelasannya, juncto

Pasal 19 sub f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975juncto Pasal 116

sub f Kompilasi Hukum Islam mengenai alasan perceraian;

b. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf (f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

juncto Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto

Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam;

c. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut Penjelasannya, juncto

Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Pasal 116

Page 24: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

huruf f Kompilasi Hukum Islam; dan

d. Pasal 19 huruf b dan f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto

Pasal 116 huruf b dan f Kompilasi Hukum Islam”.20

Penelitian ini difokuskan pada proses pembuktian dalam perkara perceraian dengan

alasan adanya kekerasan dalam rumah tangga. Pada prinsipnya tidak semua alasan

perceraian didasarkan proses pembuktian yang sama, namun tergantung alasan-alasanya.

Kesimpulan peneliti, bahwa:

a. alasan salah satu pihak melakukan perbuatan zina, maka proses pembuktiannya

dilakukan dengan sumpah;

b. alasan syiqaq, maka proses pembuktiannya didahului dengan meng- angkat hakam dari

masing-masing pihak;

c. alasan selain tersebut zina dan syiqaq, maka proses pembuktiannya sesuai dengan

ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

4. Akibat Perceraian yang Disebabkan Tindak Kekerasan Penganiayaan terhadap Istri (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)Ahdiat Pramono telah melakukan penelitian tesis tentang: “Akibat Perceraian yang

Disebabkan Tindak Kekerasan Penganiayaan terhadap Istri (Studi Kasus di Pengadilan

Agama Surakarta)", Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro Semarang, 2007. Perumusan masalahnya, meliputi:

a. apakah faktor-faktor yang menyebabkan tindak kekerasan penganiayaan terhadap istri

sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Surakarta?

b. bagaimanakah akibat dari perceraian yang disebabkan tindak kekerasan penganiayaan

terhadap istri di Pengadilan Agama Surakarta?

Ada dua hasil temuan, yang disajikan Ahdiat Pramono dalam penelitian tesisnya,

Kedua hasil temuan itu, meliputi:

1. Faktor penyebab adanya perceraian yang diakibatkan tindak kekerasan adalah

adanya tindak kekerasan fisik yang dilakukan terhadap istri oleh suami selama kurun

waktu yang berlangsung lama. Kekerasan tersebut berupa penganiayaan dan

pemukulan terhadap diri sang istri yang menyebabkan luka fisik dan derita batin.

Selain itu faktor kekerasan tersebut juga dikarenakan lcarena adanya faktor pemicu

lainnya, yaitu:

a. suami yang suka cemburu terhadap istri;

b. suami yang suka mabuk-mabukan dan sukar disembuhkan/ dihilangkan;

c. suami yang sering melakukan tindak kekerasan sebelum melakukan

20Heriyono, "Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam", Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, 2009, him. 169-171.

Page 25: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

hubungan biologis (seksual); dan

2. akibat hukum dari adanya perceraian yang diakibatkan tindak kekerasan adalah

putusnya jalinan hubungan pernikahan akibat putusan dari Hakim Pengadilan

Agama, sehingga sudah tidak ada lagi hubungan suami istri antara kedua belah

pihak. Adanya ketentuan siapa yang berhak untuk mengasuh anak yang lahir dari

hubungan pernikahan tersebut, serta pembagian harta gono-gini, yaitu harta

kekayaan yang diperoleh selama pernikahan mereka berlangsung”.21

Penelitian Ahdiat Pramono difokuskan pada kajian tentang faktor penyebab terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga dan akibat hukum dari adanya perceraian. Ada dua faktor

penyebab utama terjadinya kekerasan dalam rumah, yang meliputi:

a. penganiayaan; dan

b. pemukulan terhadap istri.

Akibat hukum dari adanya perceraian yang diakibatkan tindak kekerasan adalah

putusnya hubungan pernikahan suami istri. Yang memutuskan hubungan perkawinan itu,

adalah Hakim Pengadilan Agama.

5. Persepsi dan Sikap Penegakan Hukum Terhadap Penanganan Kasus- kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sesuai dengan Undang- Undang Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa TimurSri Wahyuningsih, dkk telah melakukan penelitian tentang: “Persepsi dan Sikap

Penegakan Hukum Terhadap Penanganan Kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga

(KDRT) Sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 di

Jawa Timur”. Hal-hal yang diteliti dalam penelitian ini, meliputi:

a. persepsi dan sikap penegak hukum tentang KDRT telah sesuai dengan UU

Penghapusan KDRT atau tidak;

b. dasar hukum yang digunakan;

c. faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum tersebut;

d. upaya-upaya konkret yang diperlukan agar penegak hukum dapat menegakkan UU

Penghapusan KDRT secara lebih optimal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Walaupun kebanyakan penegak hukum yang paham akan KDRT cukup banyak,

yakni sekitar 2/3 (dua pertiga), tapi 1/3-nya (sepertiga) masih dipengaruhi oleh

budaya masyarakat yang patriarkis, sehingga sikap mereka masih menganggap

bahwa KDRT bukan kejahatan, melainkan hanya merupakan problem keluarga,

masih cukup banyak. Dengan sikap tersebut, mereka sering mendamaikan pelaku

21Ahdiat Pramono “Akibat Perceraian yang Disebabkan Tindak Kekerasan Penganiayaan Terhadap Istri (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta)”, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2007, hlm. 77-78.

Page 26: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

dengan memberikan nasihat terlebih dahulu. Adapun persepsi dan sikap penegak

hukum terhadap kriminologi, viktimologi dan penologi berurutan, tentang krimi-

nologi masih banyak yang tahu dan paham, sehingga sikapnya terhadap pelaku

lebih jelas, tidak demikian dengan viktimologi jumlah yang mengetahui dan

memahami lebih sedikit dan penologi paling kecil jumlahnya. Dari jumlah responden

yang lebih kecil tersebut, sikap mereka terhadap kasus-kasus yang diujicobakan

dalam kuesioner senada dengan pengetahuan dan pemahamannya tersebut;

2. dasar hukum yang digunakan dalam menangani kasus-kasus KDRT:

a. empat dari enam lokasi penelitian masih menggunakan KUHP dalam

menangani kasus-kasus KDRT; dan

b. dua lokasi lainnya, Pemekasan dan Tulungagung, sudah menggunakan UU

PKDRT;

3. faktor-faktor yang mendorong penegak hukum menggunakan dasar hukum

sebagaimana yang tercantum dalam data sekunder tersebut:

a. karena UU PKDRT masih tergolong baru, penegak hukum kebanyakan masih

mengalami kesulitan untuk mengumpulkan bukti dari saksi maupun saksi

korban atau alat bukti yang lain;

b. berbeda dengan KUHP yang sudah lama mereka pakai, penegak hukum

kebanyakan sudah memahami betul kekurangan dan kelebihan KUHP, cara

mencari bukti yang cepat dan mudah;

c. kelanjutan ekonomi keluarga merupakan pertimbangan dalam menggunakan

Pasal 10 sebagai dasar dakwaan bagi pelaku maupun membuat putusan

tentang hukuman apa (penjara, percobaan, dan lain-lain) dan berapa lama

pelaku harus menjalani hukuman;

d. sebagian kecil dari penegak hukum mengemukakan alasan tidak

menggunakan UU Penghapusan KDRT adalah informasi tentang undang-

undang baru selalu terlambat di wilayah mereka.

4. upaya-upaya konkret yang diperlukan untuk menegakkan UU PKDRT secara

optimal:

a. pelatihan penegak hukum di mana fokus perhatiannya ber- beda satu dengan

lainnya. Kepada polisi yang penting adalah pengetahuan penunjangnya

(gender, kriminologi, viktimologi, penologi dan KDRT); sedangkan untuk jaksa

dan hakim lebih pada menggugah perubahan perspektif gendernya dan

implikasinya terhadap KDRT;

b. penyamaan persepsi antarinstansi penegak hukum.

c. koordinasi antarpenegak hukum, perlu digalakkan dengan menggunakan

wadah PPT atau LPA yang sudah ada di Jawa Timur maupun di beberapa

Page 27: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

kabupaten/kota”.22

Penelitian ini, difokuskan pada persepsi dan sikap penegakan hukum terhadap

penanganan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam penerapan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penegak hukum tidak menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan KDRT dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah

tangga, hal ini disebabkan karena:

a. penegak hukum kebanyakan masih mengalamf kesulitan untuk mengumpulkan bukti

dari saksi maupun saksi korban atau alat bukti yang lain;

b. penegak hukum kebanyakan sudah memahami betul kekurangan dan kelebihan KUHP,

cara mencari bukti yang cepat dan mudah;

c. kelanjutan ekonomi keluarga merupakan pertimbangan dalam menggunakan Pasal 10

sebagai dasar dakwaan bagi pelaku maupun membuat putusan tentang hukuman apa

(penjara, percobaan, dan lain-lain) dan berapa lama pelaku harus menjalani hukuman;

dan

d. sebagian kecil dari penegak hukum mengemukakan alasan tidak menggunakan UU

Penghapusan KDRT adalah informasi tentang undang-undang baru selalu terlambat di

wilayah mereka.

6. Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam Perspektif Ketahanan Individu, Studi Kasus Perempuan Korban KDRT Klien P2TP2A DKI JakartaPepi Hendrya telah melakukan penelitian tesis, dengan judul: “Pemberdayaan

Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam Perspektif Ketahanan

Individu, Studi Kasus Perempuan Korban KDRT Klien P2TP2A DKI Jakarta", Program Studi

Pengkajian Ketahanan Nasional, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2011.

Adapun masalahnya, meliputi:

a. apa saja faktor penyebab terjadinya KDRT dan apa dampaknya terhadap perempuan

secara psikologis?

b. bagaimana pelaksanaan pemberdayaan psikologis yang dilakukan oleh P2TP2A DKI

Jakarta terhadap perempuan korban KDRT dalam meningkatkan ketahanan individu?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik wawancara

mendalam (indepth interview), observasi dan studi dokumentasi, di mana informannya

adalah lima orang perempuan korban KDRT dan tiga orang Petugas Pendamping/Konselor

dan Psikolog yang bertugas pada Lembaga P2TP2A DKI Jakarta.

22Sri Wahyuningsih, dkk., “Persepsi dan Sikap Penegakan Hukum Terhadap Penanganan Kasus-kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan KDRT Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa Timur”. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Science), Volume, 18, Agustus 2006, hlm. 9-10.

Page 28: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang paling banyak ditemui adalah

kekerasan ganda (fisik, psikis, seksual & ekonomi), yang berdampak buruk pada

kondisi fisik dan psikis korban sehingga akhirnya akan mengganggu Ketahanan

Individu korban; dan

2. bentuk pemberdayaan psikologis yang dilakukan oleh Psikolog yang bertugas di

P2TP2A DKI Jakarta adalah dengan cara memberikan konseling psikologis,

membentuk kelompok dukungan (support group) dan rujukan ke rumah aman

(Shelter). Pemberdayaan psikologis yang dilakukan oleh P2TP2A ini bermanfaat

dalam mendukung dan membantu korban agar kembali berdaya dan tidak terpuruk

dalam kekerasan sehingga mampu bangkit dan menggunakan kembali mekanisme

psikologiknya secara optimal dalam rangka menanggulangi permasalahan yang

dimilikinya sebagai proses menuju ketahanan individu yang lebih baik agar dapat

berpartisipasi di segala bidang kehidupan khususnya dan pembangunan nasional

pada umumnya”.”23

Fokus penelitian ini, yaitu pada bentuk pemberdayaan psikologis terhadap korban

kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk pemberdayaan psikologis yang dilakukan oleh

Psikolog yang bertugas di P2TP2A DKI Jakarta adalah dengan cara:

a. memberikan konseling psikologis;

b. membentuk kelompok dukungan (support group); dan

c. rujukan ke rumah aman (shelter),

Pemberdayaan psikologis yang dilakukan oleh P2TP2A ini bermanfaat dalam

mendukung dan membantu korban agar kembali berdaya dan tidak terpuruk dalam

kekerasan sehingga mampu bangkit dan menggunakan kembali mekanisme psikologiknya

secara optimal dalam rangka menanggulangi permasalahan yang dimilikinya sebagai

proses menuju ketahanan individu yang lebih baik agar dapat berpartisipasi di segala

bidang kehidupan khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.

7. Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)Ni Putu Trisna Dewi telah melakukan penelitian tesis, dengan judul: 'Analisis Kebijakan

Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004)”, tesis pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2011. Permasalahan yang dibahas, yaitu

mengenai formulatif tindak pidana dan perumusan sanksi dalam Undang-undang

23Pepi Hendrya, "Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam Perspektif Ketahanan Individu, Studi Kasus Perempuan Korban KDRT Klien P2TP2A DKI Jakarta", Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2011, hlm. viii.

Page 29: Bab 5 Teori Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Metode penulisan yang digunakan, yaitu metode normatif berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

1. Tindak pidana yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga baik

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran dalam

rumah tangga merupakan delik aduan yang jangka waktu pencabutan

pengaduannya diatur dalam Pasal 75 KUHP; dan

2. kebijakan hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi pidana terhadap tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga menurut ketentuan Undang-Undang

Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) menggunakan jenis sistem

perumusan alternatif. Pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara atau denda

dengan aturan minimum dan maksimum. Dalam Pasal 44 (kekerasan fisik), Pasal 45

(kekerasan psikis), dan Pasal 49 (penelantaran) tidak ditentukan batas minimal

pidana hanya menyebut batas maksimal saja. Sedangkan untuk Pasal 46 dan Pasal

47 tentang kekerasan seksual disebutkan dalam Pasal 48 ditentukan dengan jelas

batas minimal dan batas maksimal penjatuhan pidana penjara dan pidana

dendanya”.24

Fokus penelitian ini, yaitu pada kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan hukum

pidana dalam perumusan sistem sanksi pidana terhadap tindak pidana kekerasan dalam

rumah tangga menurut ketentuan Undang- Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga

(UUPKDRT) menggunakan jenis sistem perumusan alternatif, yaitu kata atau, bukan dan.

24Ni Putu Trisna Dewi, “Analisis Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (Undang-Undang No. 23 Tahun 2004)”, Tesis pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 201, hlm. vii-viii.