bab 2 tinjauan teori 2.1 konsep spiritual
TRANSCRIPT
14
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Spiritual
2.1.1 Definisi spiritual
“Spiritualitas (spirituality) merupakan sesuatu yang dipercayai oleh
seorang dalam hubungan yang lebih tinggi (Tuhan), yang
menimbulkan suatu kebutuhan dan kecintaan terhadap Tuhan, dan
permohonan maaf atas segala kesalahan yang pernah diperbuat”
(Hidayat & Uliyah, 2016).
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha
Kuasa dan Maha Pencipta. Sebagai contoh seorang yang mempercayai
Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Burkhardt
(2009) dalam Mubarak, et al. (2015) spiritualitas meliputi aspek
antara lain :
2.1.1.1 Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam kehidupan.
2.1.1.2 Menemukan arti dan tujuan hidup.
2.1.1.3 Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan
kekuatan dalam diri sendiri.
2.1.1.4 Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan
dengan Yang Maha Tinggi.
Spiritualitas adalah faktor kultural penting yang memberi struktur dan
arti pada nilai manusia, perilaku dan pengalamannya Asy’arie, (2012:
50) dalam (Yusuf, et al. 2017).
15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan spiritualitas yaitu sebuah keyakinan
hubungan terhadap Tuhan yang menimbulkan sebuah kebutuhan mencari
arti dan tujuan hidup, kebutuhan mencintai dan dicintai serta rasa
keterikatan, kebutuhan memberikan maaf dan pengampunan.
2.1.2 Dimensi spiritual
Menurut Hamid (2009) dalam Uzzahra, S. (2020), Dimensi
spiritualitas bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan kesamarataan
terhadap dunia lain, berjuang untuk menjawab serta memperoleh
kekuatan saat sedang menghadapi stress emosional, masalah fisik,
bahkan kematian. Kekuatan yang timbul di luar kekuatan manusia.
Gambar 2.1 Dimensi Spiritual menurut Pasiak (2012) dalam (Yusuf,
et al. 2017).
2.1.2.1 Makna hidup
Spiritualitas merupakan penghayatan interpersonal yang bersifat
unik, ditunjukkan dalam hubungan sosial (interpersonal) yang
bermanfaat, menginspirasi dan mewariskan sesuatu yang bernilai
bagi kehidupan manusia.
16
2.1.2.2 Pengalaman spiritual
Manisfestasi spiritual didalam diri seseorang berupa pengalaman
spesifik dan unik terkait hubungan dirinya dengan Allah SWT
dalam berbagai tingkatannya.
2.1.2.3 Ritual
Manisfestasi spiritual berupa tindakan terstruktur, sistematis,
berulang, melibatkan aspek motoric, kognisi dan afeksi yang
dilakukan menurut suatu tata cara tertentu baik individual maupun
komunal.
2.1.2.4 Emosi positif
Manisfestasi spiritual berupa kemampuan mengelola pikiran dan
perasaan dalam hubungan intrapersonal sehingga seseorang
memiliki nilai kehidupan yang mendasari kemampuan bersikap
dengan tepat.
2.1.3 Karakeristik spiritual
Menurut Yusuf, et al. (2017) Karakteristik spiritual tergambarkan
pada hubungan dengan diri sendiri, orang lain, alam dan hubungan
dengan tuhan. Karakteristik spiritual menunjukkan bahwa pengenalam
yang tidak bisa dilihat dan tidak bisa diraba tetapi dapat
mempengaruhi pikiran serta perilaku. Karakteristik spiritual dibangun
oleh, agama, keyakinan, intuisi, pengetahuan, cinta yang tulus, rasa
memiliki, rasa berhubungan dengan alam semesta, penghormatan pada
kehiduapan dan pemberian kekuatan pribadi. Oleh karena itu akan
tercermin pada hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dengan alam
dan hubungan dengan Tuhan.
17
2.1.3.1 Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang, meliputi
pengetahuan dan sikap tentang diri. Pengetahuan diri yaitu
jawaban dari pertanyaan tentang siapa dirinya dan apa yang
dilakukannya. Sikap diri berkaitan dengan kepercayaan diri
sendiri dan kehidupan di masa depan. Hal tersebut dapat
membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, seperti
memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang
positif, kepuasan dalam menjalani hidup, optimis terhadap
masa depan dan tujuan hidup yang terarah dan semakin jelas.
Beberapa konsep karakteristik spiritual terkait hubungan
dengan diri sendiri menurut Yusuf, et al. (2017) antara lain;
a. Kepercayaan (faith)
Kepercayaan dapat memberikan arti hidup dan kekuatan
bagi individu ketika mengalami kesulitan dan stres.
Mempunyai kepercayaan berarti mempunyai komitmen
terhadap sesuatu, atau seseorang sehingga dapat
memahami kehidupan manusia dengan lingkungan yang
lebih luas.
b. Harapan (hope)
Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam
hidup dan merupakan suatu proses interpersonal yang
terbina melalui hubungan saling terbina dengan orang
lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting
bagi individu dalam mempertahankan hidup, tanpa
harapan banyak orang menjadi depresi, dan lebih
cenderung terkena penyakit.
c. Makna atau arti dalam hidup (meaning of life)
Perasaan mengetahui makna hidup, yang kadang
diidentikkan dengan perasaan dekat dengan Tuhan,
18
merasakan hidup sebagai sesuatu pengalaman yang
positif seperti membicarakan tentang situasi yang nyata,
membuat hidup lebih terarah, penuh harapan, tentang
masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang
lain.
2.1.3.2 Hubungan dengan orang lain
Karakteristik spiritualitas seseorang dalam berhubungan
dengan orang lain didasari oleh kepercayaan, harapan, dan
makna hidup yang terbangun dalam spiritualitas pribadi.
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan
keadilan dan kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan
orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan dihargai, dan
diperhatikan dan sebagainya. Beberapa sikap hidup yang
dapat dikembangkan dalam hubungan dengan orang lain
adalah memaafkan, mengembangkan kasih sayang dan
dukungan sosial. Tindakan memaafkan dilakukan dengan
menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan
kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa
bersalah, malu, bingung, meyakini bahwa Tuhan sedang
menghukum dan mengembangkan arti penderitaan untuk
meyakini hikmah dari suatu kejadian atau penderitaan.
Dengan pengampunan, seseorang dapat meningkatkan koping
terhadap cemas, stress, depresi dan tekanan emosional,
penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan
damai.
2.1.3.3 Hubungan dengan alam
Karakteristik spiritualitas seseorang dalam berhubungan
dengan alam lebih menekankan pada keselarasan dalam
mengetahui dan berkomunikasi dengan alam. Pengetahuan,
kepercayaan, keyakinan, tentang alam ; air, udara, warna,
aroma, tanaman, satwa dan lain-lain yang mencipakan pola
19
perilaku manusia terhadap alam. Rekreasi merupakan
kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan
keyakinan, rahmat, rasa terimakasih, harapan dan cinta kasih
terhadap alam yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Dengan
keindahan alam seseorang dapat merasakan betapa
menakjubkan ciptaan Tuhan. Keimanan akan bertambah,
seseorang akan berusaha untuk meningkatkan kesehatan
jasmani dan rohani sehingga menimbulkan perasaan
kesenangan dan kepuasan dalam memenuhi hal yang
dianggap penting dalam hidup.
2.1.3.4 Hubungan dengan tuhan
Hubungan manusia dengan Tuhan tampak pada sikap dan
perilaku agamis atau tidak agamis. Keadaan ini membangun
berbagai upacara ritual keagaamaan seperti bersyukur,
sembahyang, puasa atau berdo’a. Spiritualitas tidak
berhubungan langsung dengan agama, meskipun beberapa
kalangan cenderung menyamakan antara keduanya. Agama
(religion) lebih berkaitan dengan spiritualitas yang
menekankan pada aspek kesamaan keyakinan dan praktik
keagamaan yang dikembangkan oleh komunitas, terkait
kekuatan diluar dirinya. Dengan itu spiritualitas berkaitan
dengan hubungan individu dengan kekuasaan lain di luar
dirinya.
2.1.4 Isu teori spiritualitas
Menurut Mubarak, et al. (2015) Sebuah isu yang sering muncul dalam
konsep keperawatan adalah kesulitan dalam membedakan antara
spritualitas dengan aspek-aspek yang lain dalam diri manusia,
khususnya membedakan spritual dan agama. Selain itu perawat juga
perlu memahami perbedaan dimensi spritual dengan dimensi
psikologis, serta memperkirakan bagaimana kebudayaan dengan
20
spritual saling berhubungan.
2.1.4.1 Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan
spiritual anak. Hal yang penting bukan apa yang diajarkan
oleh orang tua pada anak tentang Tuhan, tetapi apa yang anak
pelajari mengenai Tuhan, kehidupan, diri sendiri dari perilaku
orang tua mereka. Oleh karena itu, keluarga merupakan
lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam
mempersepsikan kehidupan didunia ini, maka pandangan
anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka
dalam berhubungan dengan saudara dan orang tua.
2.1.4.2 Agama
Berdasarkan kamus, agama berarti suatu sistem kepercayaan
yang berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agama
sebagai suatu pencarian kebenaran tentang cara-cara
berhubungan dengan korban atau persembahan. Sering kali
kata spritual dan agama digunakan secara bertukaran, tetapi
sebenarnya ada perbedaan antara keduanya. Dari definisi
agama, dapat digunakan sebagai dasar bahwa agama
merupakan sebuah konsep yang lebih sempit dari pada
spritual. Mengingat spritual lebih mengacu kepada suatu
bagian dalam diri manusia, yang berfungsi untuk mencari
makna hidup melalui hubungan intra, inter dan transpersonal.
Jadi dapat dikatakan agama merupakan jembatan menuju
spritual yang membantu cara berpikir, merasakan dan
berprilaku serta membantu seseorang menemukan makna
hidup. Sementara itu, praktik religi merupakan cara individu
mengekspresikan spritualnya.
2.1.4.3 Kebudayaan
Kebudayaan adalah kumpulan cara hidup dan berpikir yang
dibangun oleh sekelompok orang dalam suatu daerah tertentu.
21
Kebudayaan terdiri atas nilai, kepercayaan, tingkah laku
sekelompok masyarakat. Kebudayaan juga meliputi perilaku,
peran dan praktik keagamaan yang diwariskan secara turun
temurun. Menurut Martsolf (1997) dalam Uzzahra, (2020) ada
tiga pandangan yang menjelaskan hubungan spritual dengan
kebudayaan, yaitu spritual dipengaruhi seluruhnya oleh
kebudayaan, spritual dipengaruhi pengalaman hidup yang
tidak berhubungan dengan kebudayaan, dan spritual dapat
dipengaruhi kebudayaan dan pengalaman hidup yang tidak
berhubungan dengan kebudayaan.
2.1.4.4 Dimensi psikologis
Oleh karena fisik, psikologis dan spritual merupakan aspek
yang saling terkait, sangat sulit membedakan dimensi
psikologis dengan dimensi spritual. Akan tetapi sebagai
perawat harus bisa mengetahui perbedaan keduanya. Dimensi
psikologi berhubungan dengan hubungan antar manusia
seperti berduka, kehilangan dan permasalahan emosional.
Sementara dimensi spiritual merupakan segala hal dalam diri
manusia yang berhubungan dengan pencarian makna, nilai-
nilai dan hubungan dengan Yang Maha Kuasa.
2.1.5 Spiritulitas dan proses penyembuhan
Gambar 2.2 Model Holistik dalam Keperawatan (Hidayat & Uliyah,
2014)
22
Gambar diatas adalah model bio-psoki-sosial-spiritual yang
diintegrasikan dalam keperawatan holistik. Keterkaitan spiritualitas
dengan proses penyembuhan dapat dijelaskan dengan konsep holistik
dalam keperawatan. Konsep holistik adalah sarana bagi petugas
kesehatan dalam membantu proses penyembuhan klien secara
menyeluruh. Pelayanan holistik yang dimaksud adalah, dalam
memberikan pelayanan kepada klien semua petugas harus
memperhatikan klien dari semua komponen seperti biologis, psikologis,
sosial, kultural bahkan spiritual.
Menurut Hamid (2010) keyakinan spritual sangat penting bagi perawat
karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku selfcare
klien. Beberapa pengaruh dari keyakinan spritual yang perlu untuk
dipahami diantaranya adalah :
2.1.5.1 Sumber dukungan
Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci, dan praktik
keagamaan lainya sering membantu memenuhi kebutuhan
spritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap
tubuh. Pada saat mengalami stress, individu akan mencari
dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat
diperlukan agar individu dapat menerima keadaan sakit yang
dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses
penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti.
2.1.5.2 Menuntun kebiasaan hidup sehari- hari
Praktik tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan
bagi klien. Contohnya : ada agama yang menetapkan
makanan diet yang boleh dan tidak boleh dimakan. Begitu
pula metode keluarga berencana ada agama yang melarang
23
cara tertentu untuk mencegah kehamilan, termasuk terapi
medik atau pengobatan.
2.1.5.3 Sumber konflik
Pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara keyakinan
agama dengan praktik kesehatan. Misalnya, ada orang yang
memandang penyakit sebagai bentuk hukuman atau azab
karena pernah berdosa. Ada agama tertentu yang menganggap
manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya dalam
mengendalikan lingkungan sehingga penyakit diterima
sebagai takdir, bukan sebagai sesuatu yang harus
disembuhkan.
2.1.5.4 Sumber kekuatan dan penyembuhan
Nilai dan keyakinan agama tidak dapat dengan mudah
dievaluasi. Walaupun demikian, pengaruh keyakinan
oleh tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa individu
cendrung dapat menahan distres fisik yang luar biasa karena
mempunyai keyakinan yang kuat. Keluarga klien akan
mengikuti semua proses penyembuhan yang memerlukan
upaya yang luar biasa karena keyakinan bahwa semua upaya
tersebut dapat berhasil.
2.1.6 Kebutuhan spiritual
Para ahli keperawatan menyimpulkan bahwa spiritualitas merupakan
konsep yang dapat diterapkan pada seluruh manusia. Spiritual juga
merupakan aspek yang menyatu dan juga universal bagi setiap manusia.
Fenomena yang menjadi objek studi ilmu keperawatan adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia mulai dari segi biologis,
psikologis, sosial dan spiritual. Pemenuhan kebutuhan biologis pasien
selama dirawat dirumah sakit sudah umum dijumpai menjadi pekerjaan
rutin harian perawat , tapi pemenuhan psikologis, sosial dan spiritual
24
pasien masih jarang ditemukan. Padahal spiritualitas juga memberikan
kontribusi yang sama dalam proses penyembuhan pasien.
Kepercayaan Spiritual dapat menimbulkan keyakinan dan harapan, hal
ini dapat mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan dan
mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Spiritualitas sebagai
sumber internal dalam diri manusia terutama tentang “Filosofi Hidup”
menjadi sangat penting dalam menentukan konsep sehat sakit, upaya
mencari pengobatan, harapan, bahkan keputusasaan yang harus
diterima kerena menderita penyakit kronis. Oleh karena itu, keyakinan
spiritual dapat menuntun dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
dapat menjadi sumber dukungan, atau bahkan menjadi sumber
konflik. Pemenuhan spititualitas sangat penting untuk dilakukan,
berikut beberapa indikator spiritualitas menurut (Koezier, 2012).
2.1.6.1 Diri sendiri
Kebutuhan untuk memiliki arti, makna dan tujuan hidup,
mengekspresikan kreatifitas dan harapan, tantangan hidup
yang lebih bermakna, memiliki martabat, penghargaan
personal, berterimakasih, memiliki visi hidup menyiapkan
dan menerima kematian.
2.1.6.2 Orang lain
Kebutuhan priritual dengan orang lain adalah kebutuhan
memberi maaf terhadap orang lain, beradaptasi utuk
mengatasi masalah baik kehilangan seseorang ataupun objek
lain, baik aktual maupun kehilangan yang dipersepsikan.
2.1.6.3 Kelompok
Kebutuhan spiritual terkait hubungan dengan kelompok
adalah kebutuhan untuk berkontribusi untuk kelompok,
menjunjung tinggi norma dan nilai kelompok, mengetahui
kapan harus menerima dan memberi dalam kelompok.
25
2.1.6.4 Tuhan
Kebutuhan spiritual terkait hubungan dengan Tuhan atau
kekuatan supranatural lainnya adalah kebutuhan untuk
mendapatkan kepastian adanya kekuatan Tuhan atau
kekuatan utama dalam alam, percaya bahwa Tuhan mencintai
dan menyayangi setiap ummatnya, serta kebutuhan dalam
melaksanakan ibadah (Hidayat & Uliyah, 2014)
Menurut Hidayat & Uliyah (2014) faktor- faktor yang
mempengaruhi Kebutuhan spiritual adalah sebagai berikut :
a. Perkembangan
Usia perkembangan dapat menentukan proses
pemenuhan kebutuhan spiritual, karena setiap tahap
perkembangan memiliki cara kepercayaan terhadap
tuhan.
b. Keluarga
Keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam
memenuhi kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki
ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Ras/suku
Ras/suku memiliki keyakinan/kepercayaan yang
beda, sehingga proses pemenuhan kebutuhan spiritual
pun berbeda sesuai dengan keyakinan yang dimiliki.
d. Agama yang dianut
Keyakinan pada agama tertentu yang dimiliki seseorang
dapat menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual
e. Kegiatan keagamaan
Adanya kegiatan keagamaan dapat selalu meningkatkan
hubungan dirinya dengan Tuhan dan selalu mendekatkan
diri kepada penciptaNya.
26
2.1.7 Masalah kebutuhan spiritual
Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual
menurut Hidayat & Uliyah (2014) adalah distres spiritual yaitu
keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko
mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang
memberikannya kekuatan, harapan, dan arti kehidupan, yang ditandai
dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya
keraguan dalam sistem kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan
dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian yang berlebih
pada kematian dan sesudah hidup, adanya keputusasaan, menolak
kegiatan ritual, dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri,
cemas, dan marah, kemudian gangguan nafsu makan, sulit tidur, dan
tekanan darah meningkat. Distres spiritual terditi atas :
2.1.7.1 Spiritual yang sakit
Spiritual yang sakit adalah kesulitan menerima kehilangan
dari seseorang yang dicintai atau dari penderitaan yang berat.
2.1.7.2 Spiritual yang khawatir
Spiritual yang khawatir adalah terjadinya pertentangan
kepercayaan dan sistem nilai seperti adanya aborsi.
2.1.7.3 Spiritual yang hilang
Spiritual yang hilang adalah adanya kesulitan menemukan
ketenangan dalam kegiatan keagamaan.
27
2.1.8 Pengukuran pemenuhan kebutuhan spiritualitas
2.1.8.1 Spiritual Health And Life Orientation Measure (SHALOM).
Menurut Ibrani SHALOM berarti "kelengkapan, keutuhan,
kesehatan, kedamaian, kesejahteraan, keselamatan,
kesehatan, ketenangan, kemakmuran, kepenuhan, istirahat,
harmoni, tidak adanya agitasi atau perselisihan. SHALOM
terdiri dari 20 item dengan lima item yang mencerminkan
kualitas hubungan setiap orang dengan diri mereka sendiri,
orang lain, lingkungan dan Tuhan. SHALOM telah
mengalami pengujian statistik yang ketat dalam beberapa
bahasa. SHALOM telah digunakan dengan pelajar dan
mahasiswa, guru, perawat, medis, dokter, gereja-attenders,
pengaturan industry dan kekerasan, pemuda bermasalah dan
pecandu alkohol. SHALOM menyediakan cara yang unik
untuk menilai spiritual kesejahteraan sebagai
membandingkan cita-cita setiap orang dengan pengalaman
hidup mereka, memberikan ukuran harmoni spiritual atau
disonansi di masing-masing empat domain.
28
Tabel 2.1 Empat domain spiritual kesejahteraan di
SHALOM
Individu Communal
a. rasa identitas
b. kesadaran diri
c. sukacita dalam hidup
d. kedamaian batin
e. yang berarti dalam hidup
a. cinta orang lain
b. pengampunan
terhadap orang lain
c. kepercayaan antara individu
d. menghormati orang lain
e. Kebaikan terhadap
orang lain
Lingkungan Transcendental
a. koneksi dengan alam
b. kagum pada
pemandangan
c. kesatuan dengan alam
d. selaras dengan
lingkungan
e. rasa 'ajaib' di lingkungan
a. hubungan pribadi
dengan Tuhan / Allah
b. menyembah Sang Pencipta
c. kesatuan dengan Tuhan
d. damai dengan Allah
e. kehidupan doa
20 item instrumen spiritual kesejahteraan tidak bisa menjadi
ukuran yang sempurna untuk semua orang. Namun
SHALOM telah menunjukan itu adalah valid, terpercaya
sebagai pengukur spiritual yang menyediakan indikasi
spiritual kesejahteraan untuk berbagai macam orang.
SHALOM telah menunjukan dirinya untuk menjadi alat yang
29
sah dan dapat diandalkan untuk menilai aspek kunci dari
spiritual kesejahteraan dalam beberapa bahasa, diberbagai
pengaturan dengan kelompok usia yang berbeda (Hasmi,
2014).
2.1.8.2 WHQOL Spirituality, Religiousness And Personal
Beliefs (WHQOL-SRPB)
Test WHOQOL-SRPB ada 32 pertanyaan, yang meliputi
kualitas aspek kehidupan terkait dengan spiritualitas,
keagamaan dan keyakinan pribadi (SRPB). Instrumen ini
telah dikembangkan dari uji coba ekstensif dari 105
pertanyaan di 18 pusat di seluruh dunia. Itu dihasilkan
instrumen 32-item mewakili versi selesai dari
WHOQOLSRPB yang akan digunakan untuk uji coba
lapangan. Pertanyaan-pertanyaan ini menanggapi definisi
Kualitas Hidup sebagai persepsi individu dari mereka posisi
dalam kehidupan dalam konteks sistem budaya dan nilai di
mana mereka hidup dan dalam kaitannya untuk tujuan
mereka, harapan, standar dan kekhawatiran. Pertanyaan-
pertanyaan ini dirancang untuk dapat diterapkan pada orang
yang datang dari berbagai budaya dan memegang berbagai
keyakinan spiritual, agama atau pribadi. Jika Anda mengikuti
agama tertentu, seperti Yahudi, Kristen, Islam atau agama
Buddha, Anda mungkin akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut dengan keyakinan agama Anda. Jika Anda
tidak mengikuti agama tertentu, tetapi masih percaya bahwa
sesuatu yang lebih tinggi dan lebih kuat ada di luar dunia fisik
dan material, Anda dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut dari perspektif itu. Misalnya, Anda mungkin percaya
dalam kekuatan spiritual yang lebih tinggi atau kekuatan
penyembuhan Nature atau, anda mungkin tidak memiliki
30
kepercayaan yang lebih tinggi, tetapi Anda mungkin
memiliki keyakinan pribadi yang kuat seperti keyakinan
dalam ilmiah teori, cara pribadi hidup, filosofi tertentu atau
kode moral dan etika (Hasmi, 2014).
2.1.8.3 Spirituality orientation inventory (SOI)
Elkin et al., (1988) membuat alat ukur spiritualitas yang
dinamakan dengan Spirituality Orientation Inventory.
Inventori ini dibuat berdasarkan pada model humanistik dan
tidak berafiliasi pada agama. Alat ukur ini menarik untuk
dikembangkan karena berangkat dari hasil studi literatur dari
pendapat para pionir di bidang psikologi. Alat ukur pada SOI
ini mengacu pada dimensi spiritualitas berdasarkan studi
literaur (Elkin et.al, 1998) dalam Uzzahra, (2020) yaitu :
a. Dimensi transeden
Orang spiritual memiliki kepercayaan/belief berdasarkan
eksperensial bahwa ada dimensi transenden dalam hidup.
Kepercayaan/belief disini dapat berupa perspektif
tradisional/agama mengenai. Tuhan sampai perspektif
psikologis bahwa dimensi transenden adalah eksistensi
alamiah dari kesadaran diri dari wilayah ketidaksadaran
atau greater self.
b. Dimensi makna dan tujuan hidup
Orang spiritual akan memiliki makna hidup dan tujuan
hidup yang timbul dari keyakinan bahwa hidup itu penuh
makna dan orang akan memiliki eksistensi jika memiliki
tujuan hidup.
c. Dimensi misi hidup
Orang spiritual merasa bahwa dirinya harus bertanggung
jawab terhadap hidup. Orang spiritual termotivasi oleh
31
metamotivated dan memahami bahwa kehidupan pada
diri individu hilang dan individu harus ditemukan.
d. Dimensi kesucian hidup
Orang spiritual percaya bahwa hidup diinfus oleh
kesucian dan sering mengalami perasaan khidmad,
takzim, dan kagum meskipun dalam setting nonreligius.
e. Dimensi kepuasan spiritual
Orang spiritual dapat mengapresiasi material good
seperti uang dan kedudukan, tetapi tidak melihat
kepuasan tertinggi terletak pada uang atau jabatan dan
tidak mengunakan uang dan jabatan untuk menggantikan
kebutuhan spiritual.
f. Dimensi altruisme.
Orang spiritual memahami bahwa semua orang
bersaudara dan tersentuh oleh penderitaan orang lain.
g. Dimensi idealisme.
Orang spiritual adalah orang yang visioner, memiliki
komitmen untuk membuat dunia menjadi lebih baik lagi.
h. Dimensi kesadaran akan adanya penderitaan
Orang spiritual benar‐benar menyadari adanya
penderitaan dan kematian. Kesadaran ini membuat
dirinya serius terhadap kehidupan karena penderitaan
dianggap sebagai ujian.
i. Dimensi hasil dari spiritualitas
Spiritualitas yang dimiliki oleh seseorang akan mewarnai
kehidupannya. Spiritualitas yang benar akan berdampak
pada hubungan individu dengan dirinya sendiri, orang
lain, alam, kehidupan dan apapun yang menurut individu
akan membawa pada Ultimate. hasil uji validitas
konstruk dengan bukti homogenitas dan bukti adanya
32
perbedaan skor pada 2 kelompok yang berbeda pada alat
ukur spiritual orientation inventory yang dikembangkan
ini menunjukkan tidak ada dimensi spiritualitas yang
gugur. Hal ini menunjukkan bahwa item‐item yang
dibuat berdasarkan preeliminary mampu mencerminkan
kesembilan dimensi spiritualitas. Selain itu, hasil ini juga
menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan konsep
yang multidimensional seperti yang dikemukakan oleh
Johnstone & Yoon (2009) dan Ho & Ho (2007) dalam
Uzzahra, (2020). Hasil uji reliabilitas skala ini sebesar
0,934. Hal ini menunjukkan skala ini dapat digunakan
untuk asesmen maupun untuk mengambil data penelitian
mengenai spiritualitas. Meskipun demikian, alat ukur ini
memiliki keterbatasan. Alat ukur hanya dapat digunakan
pada subyek yang beragama Islam. Selain itu, alat ukur
ini mungkin perlu dikembangkan lagi dengan subyek
yang berbeda‐beda karakteristik, misalnya terkait dengan
usia subyek.
2.1.8.4 Daily Spiritual Experience Skala (DSES)
Sebuah laporan dengan 16 item ukuran pengalaman spiritual.
Secara khusus bertujuan untuk mengukur pengalaman
spiritual biasa atau harian, bukan pengalaman mistik
(misalnya mendengar suara-suara) dan bagaimana keadaan
kehidupan individu sehari-hari. Alat ukur ini pada awalnya
dikembangkan dibidang kesehatan, tetapi telah semakin
banyak digunakan, yang secara luas dalam ilmu-ilmu sosial,
program penilaian dan untuk memeriksakan perubahan dalam
percobaan agama/spiritual dari waktu kewaktu.
Prosedur ini untuk menghasilkan model 2 faktor :
faktor 1 ditetapkan sebagai hubungan vertikal (Tuhan/
Transenden), yang terdiri dari 12 item (misalnya, pertemuan
33
pada agama atau spiritualitas), faktor 2 dicirikan sebagai
hubungan horizontal (manusia/orang lain) yang terdiri dari 3
item (misalnya, saya merasa peduli tanpa pamrih dengan
orang lain). 15 item pertama kuesioner diukur pada 6
point skala likert : banyak sekali, setiap hari, hampir setiap
hari, beberapa hari, sesekali dan tidak pernah atau hampir
tidak pernah. Item 16 diukur pada skala 4 point : tertutup
semua, agak tertutup, sangat dekat dan sedekat mungkin.
Pengukuran mungkin sangat berguna untuk studi kesehatan
pada populasi lanjut usia, dimana keterlibatan agama lebih
tinggi. Pengukuran diujikan diperwakilan nasional tahun
1998 survey umum sosial dengan nilai N=1.445 (Hasmi,
2014).
2.2 Konsep Kecemasan
2.2.1 Definisi kecemasan
Kecemasan yaitu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan
perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam bahkan
berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas,
kepribadian masih tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih
dalam batas-batas normal (Hawari, 2010)
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam,
dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan,
perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta
dalam menemukan identitas dan arti hidup (Stuart, 2010).
Kecemasan pra-operasi merupakan suatu respon antisipasi terhadap
suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman
terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh atau bahkan
34
kehidupannya itu sendiri. (Brunner & Suddarth, 2013)
Dengan uraian di atas dapat disimpulkan kecemasan adalah suatu
respon atau perasaan yang membuat seseorang individu merasa
khawatir dengan keadaannya sendiri.
2.2.2 Tanda dan gejala kecemasan
Kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan
fisiologis dan perilaku yang secara tidak langsung melalui timbulnya
gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan
timbulnya kecemasan (Kaplan & Sadock’s 2015).
Menurut Stuart, G & Sundeen (2007) dalam Munif, (2017) pada orang
yang cemas akan muncul beberapa respon yang meliputi :
2.2.2.1 Respon fisiologis
a. Kardiovaskular : palpitasi, tekanan darah meningkat,
tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.
b. Pernafasan : nafas cepat dan pendek, nafas dangkal dan
terengah-engah
c. Gastrointestinal : nafsu makan menurun, tidak nyaman
pada perut, mual dan diare.
d. Neuromuskular : tremor, gugup, gelisah, insomnia dan
pusing.
e. Traktus urinarius : sering berkemih.
f. Kulit : keringat dingin, gatal, wajah kemerahan.
2.2.2.2 Respon perilaku
Respon perilaku yang muncul adalah gelisah, tremor,
ketegangan fisik, reaksi terkejut, gugup, bicara cepat,
menghindar, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan
interpersonal dan melarikan diri dari masalah.
35
2.2.2.3 Respon kognitif
Respon kognitif yang muncul adalah perhatian terganggu,
pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan
berfikir, kesadaran diri meningkat, tidak mampu
berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan,
menurunnya lapangan persepsi dan kreatifitas, bingung,
takut, kehilangan kontrol, takut pada gambaran visual dan
takut cedera atau kematian.
2.2.2.4 Respon afektif
Respon afektif yang sering muncul adalah mudah terganggu,
tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, waspada, gugup, mati
rasa, rasa bersalah dan malu.
2.2.3 Faktor-faktor penyebab kecemasan
Beberapa penyebab kecemasan menurut Rochman, (2010) dalam
Manurung, (2016) yaitu :
2.2.3.1 Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang
mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat rasa takut,
karena sumbernya terlihat jelas di dalam pikiran.
2.2.3.2 Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena
melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau
hati nurani. Kecemasan ini sering pula menyertai gejala-
gejala gangguan mental, yang kadang-kadang terlihat dalam
bentuk yang umum.
2.2.3.3 Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam bentuk.
Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak
berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan
perasaan takut yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian
penderitanya. Kecemasan hadir karena adanya suatu emosi
yang berlebihan. Selain itu, keduanya mampu hadir karena
36
lingkungan yang menyertai, baik lingkungan keluarga,
sekolah, maupun penyebab.
2.2.4 Faktor pencetus kecemasan
Menurut Stuart (2007) dalam Rahayu, (2017) Stresor pencetus dapat
berasal dari sumber internal atau eksternal dapat dikelompokkan
dalam dua jenis :
2.2.4.1 Ancaman pada intergritas diri seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan terjadi atau
menurunkan kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup
sehari-hari. Pada ancaman ini, stressor yang berasal dari
sumber eksternal adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan gangguan fisik. Sedangkan yang menjadi
sumber internalnya adalah kegagalan mekanisme fisiologis
tubuh.
2.2.4.2 Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat
membahayakan identitas, harga diri dan fungsi sosial yang
terintegrasi seseorang, Ancaman yang berasal dari sumber
eksternal yaitu kehilangan orang yang berarti dan ancaman
yang berasal dari sumber internal berupa gangguan hubungan
interpersonal dirumah, tempat kerja, atau menerima peran
baru
2.2.5 Jenis-jenis kecemaan
Kecemasan merupakan suatu perubahan suasana hati, perubahan di
dalam dirinya sendiri yang timbul dari dalam tanpa adanya rangsangan
dari luar. Mustamir Pedak (2009) dalam Manurung, (2016) membagi
kecemasan menjadi tiga jenis kecemasan yaitu :
2.2.5.1 Kecemasan Rasional
Merupakan suatu ketakutan akibat adanya objek yang
memang mengancam, misalnya ketika menunggu hasil ujian.
37
Ketakutan ini dianggap sebagai suatu unsur pokok normal
dari mekanisme pertahanan dasariah kita.
2.2.5.2 Kecemasan Irrasional
Yang berarti bahwa mereka mengalami emosi ini di bawah
keadaan-keadaan spesifik yang biasanya tidak dipandang
mengancam.
2.2.5.3 Kecemasan Fundamental
Kecemasan fundamental merupakan suatu pertanyaan tentang
siapa dirinya, untuk apa hidupnya, dan akan ke manakah
kelak hidupnya berlanjut. Kecemasan ini disebut sebagai
kecemasan eksistensial yang mempunyai peran fundamental
bagi kehidupan manusia.
2.2.6 Karakteristik kecemasan
Menurut Sheila, (2011) mengemukakan beberapa teori membagi
kecemasan menjadi 4 tingkatan :
2.2.6.1 Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan
peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lapangan
persepsi meningkat dan individu akan berhati-hati serta
waspada. Individu terdorong untuk belajar tentang hal-hal
yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
2.2.6.2 Kecemasan Sedang
Pada tingkat ini lapangan persepsi terhadap lingkungan
menurun. Individu lebih menfokuskan pada hal penting saat
itu dan mengesampingkan hal lain.
2.2.6.3 Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lapangan persepsi menjadi sangat
menurun. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja
dan mengabaikan hal yang lain. Individu tidak mampu
38
berfikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan, untuk
dapat memusatkan pada area lain.
2.2.6.4 Panik
Pada tingkat ini lapangan persepsi sangat sempit sehingga
individu tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat
melakukan apa-apa walaupun sudah diberi
pengarahan/tuntunan. Pada keadaan panik terjadi peningkatan
aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan
dengan orang lain dan kehilangan pemikiran yang rasional.
2.2.7 Gangguan kecemasan
Gangguan kecemasan merupakan suatu gangguan yang memiliki ciri
kecemasan atau ketakutan yang tidak realistik, juga irrasional, dan
tidak dapat secara intensif ditampilkan dalam cara-cara yang jelas.
Fitri & Julianti, (2007) dalam Manurung, (2016) membagi gangguan
kecemasan dalam beberapa jenis, yaitu :
2.2.7.1 Fobia spesifik
Yaitu suatu ketakutan yang tidak diinginkan karena kehadiran
atau antisipasi terhadap obyek atau situasi yang spesifik.
2.2.7.2 Fobia sosial
Merupakan suatu ketakutan yang tidak rasional dan menetap,
biasanya berhubungan dengan kehadiran orang lain. Individu
menghindari situasi dimana dirinya dievaluasi atau dikritik,
yang membuatnya merasa terhina atau dipermalukan dan
menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau menampilkan
perilaku lain yang memalukan.
2.2.7.3 Gangguan panik
Gangguan panik memiliki karakteristik terjadinya serangan
panik yang spontan dan tidak terduga. Beberapa simtom yang
dapat muncul pada gangguan panik antara lain : Sulit
39
bernafas, jantung berdetak kencang, mual, rasa sakit di dada,
berkeringat dingin, dan gemetar. Hal lain yang penting dalam
diagnosa gangguan panik adalah bahwa individu merasa
setiap serangan panik merupakan pertanda datangnya
kematian atau kecacatan.
2.2.7.4 Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder)
Generalized Anxiety Disorder (GAD) adalah kekhawatiran
yang berlebihan dan bersifat pervasif, disertai dengan
berbagai simtom somatik, yang menyebabkan gangguan
signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada
penderita, atau menimbulkan stres yang nyata.
2.2.8 Faktor yang menyebabkan kecemasan sebelum melahirkan
Menurut Robbin, (2011) hampir sebagian ibu hamil sering mengalami
kecemasan, yang membedakan adalah tingkat kecemasan yang
berbeda-beda. Dan ada faktor yang menyebabkan kecemasan sebelum
melahirkan diantaranya :
2.2.8.1 Umur
Hasil beberapa penelitian menunjukan bahwa usia muda
(<20tahun) dikaitkan dengan tingkat kecemasan yang lebih
tinggi.
2.2.8.2 Pendidikan
Ibu hamil dengan latar belakang pendidikan tinggi cenderung
mengalami tingkat kecemasan lebih rendah dibandingkan ibu
hamil dengan latar belakang pendidikan rendah.
2.2.8.3 Paritas
Ibu Multigravida tingkat kecemasan lebih rendah
dibandingkan ibu primigravida. Pengalaman bersalin
sebelumnnya dapat menurunkan kecemasan dalam menjalani
persalinan berikutnya, dalam penelitian 1.400 ibu di
40
Finlandia menunjukkan bahwa ibu primigravida cenderung
mengalami kecemasan menjelang persalinan (Rouble, et al.
2009) dalam Rahayu, (2017).
2.2.8.4 Pendapatan
Pendapatan berupa uang yang mempengaruhi daya beli
seseorang untuk membeli sesuatu. Pendapatan merupakan
faktor yang paling menentukan kuantitas maupun kualitas
kesehatan sehingga ada hubungan yang erat antara
pendapatan seseorang yang baik tidak menjamin suatu
kondisi yang selalu dapat menunjang semua kebutuhan bagi
keadaan kesehatan seseorang menjadi memadai atau
tercukupi (Sumarah, 2009) dalam Rahayu, (2017).
2.2.8.5 Dukungan suami
Dukungan dari suami akan menurunkan tingkat kecemasan
pada ibu hamil, tambahan studi menunjukkan bahwa ibu yang
mendapatkan dukungan dari suami dan keluarga memiliki
tingkat kecemasan lebih rendah dibandingkan ibu yang tidak
mendapatkan dukungan (Sastro,2008), dalam Rahayu (2017).
2.2.9 Cara pengukuran kecemasan
2.2.9.1 Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) merupakan skala
penilain dibuat oleh Max Hamilton tahun 1959 untuk
mengukur tingkat keparahan gejala kecemasan yang
dirasakan. Terdiri dari 14 pertanyaan dengan menggunakan
skala likert. Pertanyaan-pertanyaan yang disusun terdiri dari
perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, intelektual, suasana
hati yang tertekan, gejala somatik, sensorik, kardiovaskuler,
pernafasan, gastrointestinal, genitorium, otonom dan perilaku
yang diamati saat wawancara (Thompson, 2015).
41
2.2.9.2 Skala State-Trait Anxiety Inventory (STAI)
State-Trait Anxiety Inventory (STAI) merupakan skala
penilain yang dibuat oleh Charles D. Spielberger pada tahun
1983 untuk menilai kecemasan sebagai gangguan klinik.
Terdiri dari 40 pertanyaan dengan menggunakan skala likert.
Terdiri dari dua skala kecemasan yaitu 20 pertanyaan untuk
mengukur kecemasan sebagai keadaan emosional (A-State)
dan 20 pertanyaan untuk mengukur kecemasan berdasarkan
ciri-ciri cemas (A-Trait). (Wiley & Sons, 2009) dalam (Putri,
2020).
2.2.9.3 Skala Amsterdam Preoperative Anxiety and Information
Scale (APAIS) Amsterdam Preoperative Anxiety and
Information Scale (APAIS) merupakan skala penilain yang
digunakan untuk mengukur kecemasan yang dikhususkan
untuk gejala kecemasan operasi dan anastesi pada pasien pra-
operasi. Terdiri dari 6 pertanyaan dengan menggunakan skala
likert. Skala likert yan g digunakan pada Amsterdam
Preoperative Anxiety and Information Scale (APAIS) yang
diberi nilai 1 berarti sangat tidak setuju hingga nilai 5 berarti
sangat srtuju. Nilai > 22 kategori cemas berat, nilai 14-22
cemas sedang, < 14 cemas ringan. Terdapat 4 pertanyaan
untuk kecemasan operasi dan 2 pertanyaan kebutuhan
informasi, rata-rata waktu yang diperlukan untuk mengisi
kuesioner ini kurang dari 2 menit. Dua subskala APAIS
(anastesi dan kecemasan pre operasi) memiliki korelasi yang
tinggi dengan STAI dengan r 0,715 sehingga mendukung
validitas kuesioner APAIS untuk mengukur kecemasan pre
operasi. Kuesioner Amsterdam Preoperative Anxiety and
Information Scale (APAIS) telah handal sebagai alat ukur
42
kecemasan pada pasien pre operasi sehingga peneliti
menggunakan alat ukur ini untuk penelitian. Penelitian yang
dilakukan oleh Zakariah, et al. (2015) di Malaysia hasil
cronbach’s alpha dari pertanyaan kecemasan 0,93 dan
cronbach’s alpha dari pertanyaan kebutuhan informasi 0,90.
Penelitian yang dilakukan oleh Romero, et al. (2017) di
Spanyol hasil cronbach’s alpha dari kuesioner APAIS
diperoleh nilai 0,84. Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus
(2014) di Indonesia hasil cronbach’s alpha dari pertanyaan
kecemasan 0,825 dan cronbach’s alpha dari pertanyaan
kebutuhan informasi 0,863 (Thompson, 2015).
2.3 Konsep Pra-Operasi
2.3.1 Definisi pra-operasi
Pra-operasi dimulai ketika pasien ditetapkan untuk melakukan operasi
sampai pasien berada di meja operasi tanpa melihat klasifikasi atau
riwayat operasi (Maryunani, 2015).
Pra-operasi merupakan akses awal bagi pasien untuk melakukan
konseling mengenai operasi, konseling antara tenaga kesehatan
dengan pasien, konseling mengenai anastesi (Blitz, et al. 2016).
Tindakan operasi merupakan pengobatan yang menggunakan cara
invasif dengan pembedahan dengan membuat sayatan pada tubuh
pasien kemudian dilakukan tindakan yang diperlukan dan terakhir
sayatan pada tubuh ditutup kembali Sjamsu Hidayat,(2008) dalam
(Nisa & Arisdiani. 2019). Dari uraian di atas dapat disimpulkan
tindakan pra operasi adalah tahapan awal pasien ketika akan menjalani
operasi hingga dipindahkan ke ruang operasi untuk dilakukan
pembedahan.
43
2.3.2 Faktor yang mempengaruhi pra-operasi
Faktor-faktor yang dapat mepengaruhi prosedur pra-oprasi pada
pasien menurut Potter & Perry, (2012) adalah :
2.3.2.1 Usia
Pasien lanjut usia memiliki resiko untuk manjalani operasi
karena mengalami penurunan status fisiologi. Mundurnya
beberapa fungsi tubuh seperti sistem kardiovaskuler, sistem
integumen, sistem pulmonal, sistem ginjal, system neurologis
dan sistem metabolik dapat menghambat adaptasi fisik pasien
terhadap stres operasi.
2.3.2.2 Nutrisi
Nutrisi pada pasien operasi perlu diperhatiakan karena dapat
mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Zat besi, vitamin
A dan vitamin C, protein dapat mempercepat penyembuhan
luka operasi, namun berbeda dengan pasien yang mengalami
malnutrisi dan obesitas. Pasien malnutrisi biasanya akan
mengalami infeksi setelah operasi dan penyembuhan luka
kurang bagus. Pasien yang mengalami obesitas akan
terkendala dalam melakukan aktifitas setelah operasi,
penyembuhan luka kurang baik, suplai darah yang buruk
menyebabkan infeksi, luka sulit menutup karena lapisan
adiposa yang tebal dan risiko garis luka jahitan terbuka.
2.3.2.3 Merokok
Perokok aktif berisiko lebih besar mengalami komplikasi
paru-paru serta jumlah sekresi lendir yang diproduksi oleh
paru-paru meningkat. Sekresi pulmonal dan iritasi jalan nafas
akan meningkat setelah dilakukan anastesi. Hal tersebut akan
menggangu vaskuler dan dapat meningkatkan tekan darah
sistemik.
44
2.3.2.4 Alkohol dan obat-obatan
Pasien yang mengkonsumsi alkohol memerlukan dosis yang
tinggi ketika dilakukan anastesi dan obat analgesik post
operasi. Biasanya pasien yang mengkonsumsi alkohol akan
mengalami malnutrisi, ganguan hati, gangguan ginjal
sehingga risiko operasi meningkat. Pasien yang
mengkonsumsi obat-obatan terlarang dapat mempengaruhi
pengontrolan nyeri post operasi dan pemberian obat secara
intravena akan mengganggu sistem vaskuler.
2.3.3 Persiapan pra-operasi
Persiapan yang perlu dilakukan kepada pasien pre operasi untuk
memperlancar tindakan perioperatif meliputi :
2.3.3.1 Edukasi pra-operasi
Edukasi pra-operasi dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
menjelaskan tentang sensasi yang akan dialami ketika
perioperatif dan mendiskripsikan langkah-langkah prosedur.
Informasi yang disampaikan meliputi pemeriksaan yang
dilakukan sebelum operasi, tindakan operasi, alat-alat yang
akan digunakan, pemindahan ke kamar operasi dan
pemindahan ke ruang pemulihan (Hidayat dan Uliyah, 2014).
Tenaga kesehatan juga dapat mengajarkan cara menejemen
nyeri, latihan pernafasan, latihan batuk, dan perubahan posisi
(Smeltzer & Bare, 2002) dalam (Putri, 2020)
2.3.3.2 Persiapan saluran pencernaan
Pasien sebelum menjalani operasi harus melakukan puasa.
Puasa makanan dilakukan 8 jam sebelum tindakan operasi,
dan puasa minum dilakukan 4 jam sebelum tindakan operasi.
Hal ini dilakukan karena makanan dan minuman yang berada
di dalam lambung akan mengakibatkan terjadinya aspirasi
45
(Hidayat & Uliyah, 2014).
2.3.3.3 Persiapan personal hygine
Persiapan fisik yang dilakukan seperti pencukuran rambut
yang dapat menggagu proses operasi dan membersihkan kulit
dengan sabun heksaklorofin agar daerah yang akan dioperasi
terbebas dari mikroorganisme (Hidayat & Uliyah, 2014).
2.3.3.4 Latihan mobilisasi
Pemberian latihan mobilisasi pra-operasi bertujuan untuk
mencegah dekubitus, merangsang peristaltik, mencegah
komplikasi sirkulasi dan mengurangi nyeri. Latihan yang
dapat dilakukan pasien pra-operasi seperti duduk tegak
dengan kaki menggantung ditempat tidur, dan duduk di
pinggir tempat tidur (Hidayat & Uliyah, 2014).
2.3.3.5 Persiapan psikologi
Perasaan takut dan cemas sering dialami oleh pasien pra-
operasi. Banyak hal yang menyebabkan pasien merasa
kecemasan seperti takut mati, nyeri, takut dengan proser
anastesi dan citra tubuh setelah operasi (Smeltzer & Bare,
2002) dalam (Putri, 2020).
2.3.3.6 Informed concent
Informed concent merupakan pernyataan ketersediaan
melakukan tindakan operasi yang dibuat secara sadar dan
sukarela. Informed concent sebagai syarat utama dapat
dilakukannya operasi kecuali pada tindakan emergensi untuk
menyelamatkan nyawa tetapi juga harus berusaha untuk
menghubungi kerabat yang bersangkutan. Pasien dapat
menandatangani informed concent setelah ahli operasi
memberikan penjelasan mengenai operasi, risiko-risiko,
kemungkinan kecacatan, kemungkinan perubahan bentuk,
kemungkinan komplikasi, bagian tubuh yang diangkat dan
kemungkinan yang terjadi setelah operasi. Jika pasien masih
46
dibawah umur, tidak sadar maka izin bisa diperoleh dari
keluarga (Smeltzer & Bare, 2002) dalam (Putri, 2020).
2.3.4 Proses keperawatan pra-operasi
Menurut Muttaqin & Sari, (2013) Proses keperawatan pra-operasi
yaitu :
2.3.4.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan secara menyeluruh oleh perawat untuk
menggali informasi dari pasien sehingga perawat dapat
mengambil intervensi sesuai dengan keadaan pasien.
Pengkajian pra-operasi secara komperhensif dapat dilakukan
perawat ketika berada di Unit Gawat Darurat, rawat inap,
bagian operasi sehari atau poliklinik dan juga pengkajian
klarifikasi dilakuakan pada kamar operasi oleh perawat pra-
operasi. Pengkajian pra-operasi yang dilakukan yaitu
pengkajian secara umum, riwayat kesehatan, pengkajian
diagnostik dan pengkajian psikososio spiritual.
2.3.4.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan menggunakan sistem head
to toe sampai pendekatan per sistem. Pemerikasaan ini
meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital,
pengkajian kesadaran, pengkajian nutrisi, kepala dan leher,
sistem syaraf, dada dan tulang belakang, sistem pernafasan,
sistem kardiovaskular, keseimbangan cairan dan elektrolit,
abdomen dan panggul, integumen dan muskuloskeletal,
pemeriksaan diagnostik, pemeriksaan skrining tambahan.
2.3.4.3 Diagnosis keperawatan pra-operasi
Diagnosis keperawatan pra-operasi ditegakkan guna
menentukan arah perawatan yang diberikan pada sebagian
atau seluruh tahapan operasi sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan pasien. Diagnosa yang sering muncul pada fase
47
pra-operasi diantaranya kecemasan, koping individu tidak
efektif, dan kurangnya pengetahuan tentang implikasi
operasi.
2.3.4.4 Rencana keperawatan pra-operasi
Dalam pembuatan rencana keperawatan pra-operasi di ruang
inap atau ruang emergensi, pasien perlu diikutsertakan. Hal
ini dapat meminimalkan komplikasi pasca operasi dan risiko
operasi. Selama merencanakan keperawatan pra-operasi,
perawat menentukan tujuan perawatan dan hasil akhir guna
memastikan pemulihan dan mempertahankan status post
operasi pasien.
2.3.4.5 Transportasi ke ruangan pra-operasi
Brankar dan kursi roda adalah transportasi untuk
memindahkan pasien dari ruang rawat inap ke ruang operasi.
Di ruang pra-operasi biasanya pasien menunggu 15-30 menit
sebelum dilakukan anastesi. Setelah medikasi pra-operasi
pasien berada di brankar dan dipasang sabuk pelindung.
2.4 Konsep Sectio Caesarea
2.4.1 Definisi sectio caesarea
Operasi Caesar atau sering disebut seksio sesarea adalah melahirkan
janin melalui sayatan dinding perut (abdomen) dan dinding rahim
(uterus). Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500
gram. Sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi
dengan berat badan diatas 500 gram, melalui sayatan pada dinding
uterus yang masih utuh (Jitowiyono, 2017).
48
Sectio caesarea adalah suatu proses persalinan buatan yang dilakukan
melalui pembedahan dengan cara melakukan insisi pada dinding perut
dan dinding rahim ibu, dengan syarat rahim harus keadaan utuh, serta
janin memiliki bobot badan diatas 500 gram. Jika bobot janin dibawah
500 gram, maka tidak perlu dilakukan tindakan persalinan section
caesarea (Solehati, 2017).
Sectio caesarea adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan
dimana irisan dilakukan di perut ibu dan rahim untuk mengeluarkan
bayi (Oxorn, 2012).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea
adalah suatu cara persalinan dengan cara pembedahan pada dinding
abdomen dan uterus, dimana janin dilahirkan melalui penyayatan pada
dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta janin diatas 500 gram. Operasi sectio caesarea ini
digunakan untuk membantu persalinan ketika ada masalah yang tidak
terduga terjadi selama persalinan.
2.4.2 Indikasi operasi sectio caesare
Persalinan merupakan upaya melahirkan janin yang ada di dalam
rahim ibunya. Menurut buku Obstetrics and Gynecology ada empat
faktor yang menjadi alasan dilakukan operasi section caesarea yaitu
untuk keselamatan ibu dan janin ketika persalinan harus berlangsung,
tidak terjadi kontraksi, distosia (persalinan macet) sehingga
menghalangi persalinan alami, dan bayi dalam keadaan darurat dan
harus segera dilahirkan tetapi jalan tidak mungkin dilalui janin
(Kasdu. 2003) dalam (Rahayu, 2017).
49
Menurut Kasdu (2003) dalam Rahayu, (2017) penyebab dilakukan
operasi sectio caesarea antara lain yaitu :
2.4.2.1 Faktor Janin
Tindakan operasi sectio caesarea dari faktor janin antara lain :
a. Bayi terlalu besar
Berat bayi lahir (BBL) sekitar 4000 gram atau lebih
(giani baby). menyebabkan bayi sulit keluar dari jalan
lahir. Pada umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan
(makrosomia) karena ibu menderita diabetes melitus,
keadaan ini dalam ilmu kedokteran disebut dengan bayi
besar objektif.
b. Kelainan letak bayi
Ada dua letak janin dalam rahim, yaitu letak sungsang
dan letak lintang, Letak sungsang yaitu Sekitar 3-5%
atau 3 dari 100 bayı terpaksa lahir dengan posisi
sungsang. Keadaan janin sungsang apabila letak janin
didalam rahim memanjang dengan kepala berada di
bagian atas rahim dan pantat dibagian bawah rongga
rahim. Sedangkan yang dimaksud dengan posisi adalah
keadaan bagian terendah bayi Sedangkan letak lintang
atau miring (oblique) menyebabkan poros janin tidak
sesuai dengan arah jalan janin Pada keadaan ini, letak
kepala pada posisi yang satu dan bokong pada sisi yang
lain. Biasanya letak bokong berada sedikit lebih tinggi
dari pada kepala janin. sementara bahu berada pada
bagian atas panggul Kelainan letak janin dapat
disebabkan karena faktor baik dari janin maupun dari ibu
diantaranya, terdapat tumor dijalan lahir, panggul sempit,
kelainan dinding rahim, kelainan bentuk rahim, plasenta
previa, cairan ketuban yang banyak, kehamilan kembar,
dan ukuran janin.
50
c. Ancaman gawat janin (fetal distress)
Adanya gangguan pada ari-ari (akibat ibu menderita
tekanan darah tinggi atau kejang rahim ). serta gangguan
pada tali pusat terjepit (akibat tali pusat terjepit antara
tubuh bayi) maka oksigen yang disalurkan ke bayi pun
menjadi berkurang dan kondisi ini janin dapat
mengalami kerusakan otak dan dapat meninggal dalam
rahim. Keadaan kekurangan oksigen janin dapat
diketahui dari bentuk denyutan jantung yang dapat
dilihat pada perekaman alat kardiotokografi (CTG)
maupun aliran darah tali pusat yang di pantau dengan
alat doopler sonografi.
d. Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal yaitu janin yang mengalami
gangguan Rhesus, kerusakan genetik, dan hidrosephalus
(kepala besar karena otak berisi cairan)
2.4.2.2 Faktor plasenta
Ada beberapa kelainan plasenta yang menyebabkan keadaan
gawat darurat pada ibu atau janin antara lain :
a. Plasenta previa
Plasenta previa adalah salah satu gangguan tali pusat
yang posisi plasenta terletak dibawah rahim dan
menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir.
b. Plasenta lepas (solustio plasenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang terlepas
lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Proses
terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang
banyak, yang keluar melalui vagina tetapi bisa juga
tersembunyi di dalam rahim.
c. Plasenta accrete
Palsenta accreta merupakan keadaan menempelnya sisa
51
plasenta di otot rahim. Pada umumnya dialami oleh ibu
yang berulang kali mengalami persalinan, ibu berusia
rawan untuk hamil diatas 35 tahun, dan ibu yang pernah
operasi.
d. Vasa previa
Keadaan pembuluh darah di bawah rahim yang apabila
dilewati janin dapat menimbulkan perdarahan banyak
yang membahayakan ibu. Untuk mengurangi resiko
maka persalinan dilakukan dengan operasi.
e. Kelainan tali pusat
Kelainan tali pusat terdiri dari :
1) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Prolapsus tali pusat adalah keadaan penyembulan
sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini
tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.
2) Terlilit tali pusat
Tali pusat didalam rahim ikut berenang bersama
janin dalam kantung ketuban. Saat janin bergerak.
letak dan posisi tali pusat biasanya ikut bergerak dan
berubah. Akibat gerak janin dalam rahim, letak dan
posisi tali pusat membelit tubuh janin, baik di bagian
kaki, paha, perut. lengan ataupun leher.
f. Bayi kembar (multiple pregnancy)
Tidak semua bayi kembar dilahirkan secara caesarea,
hanya pada persalinan bayi kembar yang memiliki resiko
komplikasi lebih tinggi dari pada kelahiran satu bayi
dilakukan sectio caesarea seperti bayi kembar yang
mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga
sulit untuk dilahiran secara alami. Hal ini dikaitkan janin
kembar dan cairan ketuban yang berlebihan sehingga
membuat janin mengalami kelainan letak.
52
2.4.2.3 Faktor Ibu
Faktor ibu yang menyebabkan janin harus dilakukan sectio
caesarea yaitu :
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk yang pertama kali pada usia
sekitar 35 tahun memiliki resiko melahirkan dengan
operasi sectio caesarea sedangkan pada ibu yang berusia
40 tahun keatas berindikası dilakukan operasi sectio
caesarea karena memiliki riwayat penyakit yang
beresiko, misalnya tekanan darah tinggi, penyakit
jantung, kencing manis, dan preeklamsia. Eklamsia
(keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang
sehingga persalinan dengan operasi sectio caesarea.
b. Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran
lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar
kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat
melahirkan secara alami.
c. Persalinan sebelumnya dengan operasi sectio caesarea
Riwayat persalinan sectio caesarea dapat dilakukan
persalinan secara sectio caesarea jika ada indikasi yang
mengharuskan dilakukan tindakan pembedahan, seperti
bayi terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir
tidak mau membuka operasi sectio caesarea dapat
dilakukan lagi jika persalinan sebelumnya menggunakan
sayatan vertikal (corporal) namun operasi kedua dengan
teknik sayatan melintang, tetapi ada hambatan pada
persalinan pervaginam. seperti janin tidak maju tidak
bisa lewat panggul atau letak lintang.
d. Faktor hambat jalan lahir
Gangguan pada jalan lahir misalnya jalan lahir yang
53
kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan,
adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali
pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e. Kelainan kontraksi rahim
Kelainan kontraksi rahim adalah kontraksi rahim lemah
dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action) atau
tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar
pada proses persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak
terdorong dan tidak dapat melewati jalan lahir dengan
lancar.
f. Ketuban pecah dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat
menyebabkan bayi harus segera dilahirkan. Kondisi ini
membuat ketuban merembes keluar sehingga tinggal
sedikit atau habis.
g. Rasa takut kesakitan
Pada umumnya seorang wanita yang melahirkan secara
alami akan takut mengalami proses rasa sakit, yaitu
berupa rasa mulas disertai rasa sakit dipinggang dan
pangkal paha yang semakin kuat. Hal ini terjadi karena
ketika berkontraksi, otot-otot rahim mengerut sebagai
upaya membuka mulut rahim dan mendorong kepala
bayi ke arah panggul. Kondisi ini menyebabkan seorang
wanita merasa takut, khawatir, dan cemas menjalaninya
sehingga mereka berfikir melahirkan dengan operesi
section caesarea.
2.4.3 Kategori sectio caesare
Berdasarkan waktu dan pentingnya dilakukan sectio caesarea, maka
dikelompokkan 4 kategori menurut Edmonds, (2007) dalam (Rahayu,
2017) :
54
2.4.3.1 Kategori 1 atau emergency
Dilakukan segera mungkin untuk menyelamatkan ibu atau
janin. Contohnya Abrupsio Plasenta atau penyakit parah
janin dan lainnya.
2.4.3.2 Kategori 2 atau urgent
Dilakukan segera karena adanya penyulit namun tidak terlalu
mengancam jiwa ibu ataupun janinnya. Contohnya distosia.
2.4.3.3 Kategori 3 atau scheduled
Tidak terdapat penyulit.
2.4.3.4 Kategori 4 atau elective
Dilakukan sesuai keinginan dan kesiapan tim operasi.
2.4.4 Prosedur tindakan sectio caesare
Berikut prosedur tindakan section caesarea menurut Juditha (2009)
dalam (Rahayu, 2017).
2.4.4.1 Izin keluarga
Pihak rumah sakit memberikan surat yang akan ditanda
tangani oleh keluarga, yang isinya izin pelaksanaan operasi.
2.4.4.2 Pembiusan
Pembiusan dilakukan dengan bius epidural atau spinal.
Dengan cara ini ibu akan tetap sadar tetapi ibu tidak dapat
melihat proses operasi karena terhalang tirai.
2.4.4.3 Sterilisasi
Bagian perut yang akan di bedah, disterilkan dengan alkohol
70%, kemudian dengan betadine sehingga diharapkan tidak
ada bakteri yang masuk selama operasi.
2.4.4.4 Pemasangan alat
Alat-alat pendukung seperti infus dan kateter dipasangkan.
Macam peralatan yang dipasang disesuaikan dengan kondisi
ibu.
55
2.4.4.5 Pembedahan
Setelah semua siap, dokter akan melakukan sayatan demi
sayatan sampai mencapai rahim dan kemudian selaput
ketuban dipecahkan. Selanjutnya dokter akan mengangkat
bayi berdasarkan letaknya.
2.4.4.6 Mengambil plasenta
Setelah bayi lahir, selanjutnya dokter akan mengambil
plasenta.
2.4.4.7 Menjahit
Langkah terakhir adalah menjahit sayatan selapis demi
selapis sehingga tertutup semua.
2.4.5 Komplikasi
Menurut Solehati, (2017) beberapa komplikasi persalinan sectio
caesarea, antara lain
2.4.5.1 Infeksipuerperal
Komplikasi ini bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu
selama beberapa hari dalam masa nifas, bersifat berat seperti
peritonitis, sepsis dan sebagainya.
2.4.5.2 Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang-cabang arteri ikut terbuka, atau karena atonia arteri.
2.4.5.3 Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih,
embolisme paru-paru dan sebagainya sangat jarang terjadi.
2.4.5.4 Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak, ialah kurang
kuatnya parut pada dinding uterus sehingga pada kehamilan
selanjutnya bisa terjadi rupture uteri, kemungkinan peristiwa
ini lebih banyak ditemukan sesudah caesarea klasik.
56
2.5 Kerangka teori
penyebab dilakukan operasi sectio caesarea
a. Factor janin : Bayi terlalu besar,
Kelainan letak bayi, ancaman
gawat janin.
b. faktor plasenta, kelainan tali
pusat,
c. Factor ibu : Usia, tulang panggul,
persalinan sebelumnya dengan
SC, faktor hambat jalan lahir,
ketuban pecah dini.
Persiapan Pra-Operasi :
a. Edukasi Pra-Operasi
b. Persiapan saluran
pencernaan
c. Persiapan personal Hygine
d. Latihan mobilisasi
e. Persiapan psikologi
f. Inform concent
Smeltzer & Bare, (2002)
dalam Putri, (2020).
Menurut Stuart, G &
Sundeen (2007) dalam
Munif, (2017) tanda dan
gejala kecemasan :
a. Respon Fisiologi
b. Respon Kognitif
c. Respon Afektif
Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan sebelum melahirkan
(Robbin, 2011).
a. Umur
b. Pendidikan
c. Paritas
d. Pendapatan
e. Dukungan suami
Dimensi spiritualitas :
a. Makna hidup
b. Emosi positif
c. Pengalaman
spiritual
d. Ritual
Pasiak, (2012). Dalam
Yusuf, et al. (2017).
Faktor yang mempengaruhi
spiritualitas :
a. Perkembangan
keluarga
b. Ras/suku
c. Agama yang dianut
d. Kegiatan
keagamaan
( Hidayat dan Uliyah (2014)
Dalam Syifa,U (2020).
Pra-Operasi
Kecemasan
Spiritualitas
57
Sumber : Kasdu (2003) dalam Rahayu, (2017). Smeltzer & Bare, (2002) dalam
Putri, (2020). (Robbin, 2011). Stuart, G & Sundeen (2007) dalam Munif, (2017). Pasiak,
(2012) Dalam Yusuf, et al. (2017 ). ( Hidayat dan Uliyah (2014) Dalam Syifa,U (2020).
Keterangan :
Diteliti :
Tidak diteliti :
2.6 Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
2.7 Hipotesis
Ada hubungan antara pemenuhan kebutuhan spiritualitas dengan
tingkat kecemasan pada Pasien Pra-Operasi Sectio Caesarea di RSUD
Pambalah Batung Amuntai Kab.Hulu Sungai Utara.
Pemenuhan
Kebutuhan
Spiritualitas
Tingkat kecemasan
Pada Pasien Pra Operasi
Sectio Caesarea