bab 2 tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang (Musa paradisiaca)
Berdasarkan Soenarjono (1998), pisang (Musa paradisiaca) adalah tanaman
buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk
Indonesia) (Irma et al. 2010). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas ke
kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan, dan Amerika Tengah.
Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni
meliputi daerah tropik dan subtropik dimulai dari Asia Tenggara ke timur Lautan
Teduh sampai ke Hawaii, dan menyebar ke barat melalui Samudra Atlantik,
Kepulauan Kanari, sampai Benua Amerika (Suyanti & Supriyadi 2008).
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu jenis buah-buahan tropis
yang tumbuh subur dan mempunyai wilayah penyebaran merata di seluruh
wilayah Indonesia (Martiningsih 2007), dimana pisang termasuk salah satu
komoditas hortikultura unggulan di Indonesia (Direktorat Jenderal Hortikultura
2012).
Pisang raja (Musa paradisiaca var. Raja) atau pisang raja bulu rasanya manis,
dan aromanya kuat. Keunggulan pisang raja adalah pisang ini dapat digunakan
sebagai buah meja, dimana pisang dapat dimakan langsung setelah masak,
maupun menjadi bahan baku produk olahan, serta sebagai buah segar, pisang raja
memiliki nilai ekonomis yang tinggi terutama di pulau Jawa. Pisang raja juga
cocok untuk diolah menjadi sari buah, dodol dan sale (Martiningsih 2007;
Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Suyanti & Supriyadi 2008).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
11
Gambar 2.1 Pisang raja (Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008)
2.1.1 Taksonomi Pisang Raja (Musa paradisiaca var. Raja)
Berdasarkan taksonominya, tanaman pisang raja (Musa paradisiaca var.
Raja) diklasifikasikan sebagai berikut (Judd et al. 1999; Simpson 2006; Plantamor
2008):
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Ordo : Musales
Famili : Musaceae (suku pisang-pisangan)
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca var. Raja
2.1.2 Morfologi/Karakteristik Pisang (Musa paradisiaca)
2.1.2.1 Akar
Pohon pisang berakar rimpang dan tidak mempunyai akar tunggang yang
berpangkal pada umbi batang. Akar terbanyak berada di bagian bawah tanah.
Akar ini akan tumbuh menuju bawah sampai kedalaman 75-150 cm, sedangkan
akar yang berada di bagian samping umbi batang tumbuh ke samping dan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
12
mendatar. Dalam perkembangannya, akar samping bisa mencapai ukuran 4-5 m
(Suyanti & Supriyadi 2008).
2.1.3.2 Batang
Batang pisang sebenarnya terletak di dalam tanah, yakni berupa umbi
batang. Di bagian atas umbi batang terdapat titik tumbuh yang menghasilkan daun
dan pada suatu saat akan tumbuh bunga pisang (jantung), sedangkan yang berdiri
tegak di atas tanah dan sering dianggap sebagai batang merupakan batang semu.
Batang semu ini terbentuk dari pelepah daun panjang yang saling menutupi
dengan kuat dan kompak sehingga bisa berdiri tegak layaknya batang tanaman,
oleh karena itu, batang semu kerap dinggap sebagai batang tanaman pisang yang
sesungguhnya. Tinggi batang semu ini berkisar 3,5-7,5 meter, tergantung dari
jenisnya (Suyanti and Supriyadi 2008).
2.1.2.1 Daun
Helaian daun pisang terbentuk lanset memanjang yang letaknya tersebar
dengan bagian bawah daun tampak berlilin. Daun ini diperkuat oleh tangkai daun
yang panjangnya antara 30-40 cm (Suyanti & Supriyadi 2008).
2.1.2.3 Bunga
Bunga pisang disebut juga jantung pisang karena bentuknya menyerupai
jantung. Bunga pisang tergolong berkelamin satu, yakni berumah satu dalam satu
tandan. Daun penumpu bunga biasanya berjejal rapat dan tersusun secara spiral.
Daun pelindung yang berwarna merah tua, berlilin, dan mudah rontok berukuran
panjang 10-25 cm. Bunga tersebut tersusun dalam dua baris melintang, yakni
bunga betina berada di bawah bunga jantan (jika ada). Lima daun tenda unga
melekat sampai tinggi dengan panjang 6-7 cm. Benang dari yang berjumlah 5
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
13
buah pada bunga betina terbentuk tidak sempurna. Pada bunga betina terdapat
bakal buah yang berbentuk persegi, sedangkan pada bunga jantan tidak terdapat
bakal buah (Suyanti & Supriyadi 2008).
2.1.2.4 Buah
Biasanya setelah bunga keluar akan terbentuk satu kesatuan bakal buah yang
disebut sebagai sisir. Sisir pertama yang terbentuk akan terus memanjang
membentuk sisir kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada kondisi ini, sebaiknya
jantung pisang dipotong karena sudah tidak bisa menghasilkan sisir lagi (Suyanti
& Supriyadi 2008). Khusus pisang raja, pada waktu matang warna kulit buahnya
kuning berbintik coklat atau kuning merata, dengan warna daging buah kuning
kemerahan, tanpa biji, kulit agak tebal sehingga bagian yang dapat dimakan dari
pisang raja hanya 70-75%. Setiap tandan memiliki berat berkisar 4-22 kg, jumlah
sisir 6-7 sisir dan jumlah buah 10-16 buah setiap sisir, dengan berat per buah
pisang ini 92 g. Sebuah pisang memiliki panjang 12-18 cm dan diameter 3,2 cm
(Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Suyanti & Supriyadi 2008).
Gambar 2.2 Bagian-bagian buah pisang
Dokumentasi Penelitian 1 (2008) (Pradestiawan 2008)
Daging buah (Endocarp)
Kulit pisang bagian dalam (Mesocarp) Kulit pisang bagian luar (Ektocarp)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
14
2.1.3 Karakteristik Kematangan Buah Pisang (Musa paradisiaca)
Tabel 2.1 Deskripsi Kematangan Buah Pisang secara Umum Berdasarkan
Indeks Warna Kulit (Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008)
2.1.4 Syarat Tumbuh
Pisang termasuk tanaman yang gampang tumbuh, karena bisa tumbuh di
sembarang tempat, namun agar produktivitasnya optimal, sebaiknya ditanam pada
kondisi yang ideal (Suyanti & Supriyadi 2008).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
15
2.3.4.1 Ketinggian Tempat
Tanaman ini toleran akan ketinggian dan kekeringan, tapi sebaiknya
pisang ditanam di daerah dataran rendah. Ketinggian tempat yang ideal untuk
pertumbuhan pisang berada di bawah 1.000 meter dpl. Di atas kisaran tersebut,
produksi pisang cenderung kurang optimal, waktu berbuah menjadi lebih lama,
serta kulit buah menjadi lebih tebal (Prihatman 2008; Suyanti & Supriyadi 2008).
2.3.4.2 Iklim
1) Iklim tropis basah, lembab dan panas, dengan curah hujan merata sepanjang
tahun mendukung pertumbuhan pisang, sehingga tanaman pisang kerap
memberikan hasil yang baik pada musim hujan dan hasil yang kurang
memuaskan pada musim kemarau, namun hal ini bisa diatasi dengan
memberikan pengairan pada musim kemarau. Walaupun demikian pisang
masih dapat tumbuh di daerah subtropis. Pada kondisi tanpa air pisang masih
tetap tumbuh, karena air disuplai dari batangnya yang berair, tetapi
produksinya tidak dapat diharapkan (Prihatman 2008; Suyanti & Supriyadi
2008).
2) Pisang kurang optimal jika ditanam di daerah dengan angin yang kencang.
Angin dengan kecepatan tinggi seperti angin kumbang dapat merusak daun
pisang dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Prihatman 2008).
3) Curah hujan optimal adalah 1.520–3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering.
Variasi curah hujan harus diimbangi dengan ketinggian air tanah agar tanah
tidak tergenang (Prihatman 2008).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
16
2.3.4.3Media Tanam
1) Pisang dapat tumbuh di tanah yang kaya humus, kapur atau tanah berat
(Prihatman 2008). Jenis tanah yang disukai tanaman pisang adalah tanah liat
yang mengandung kapur atau tanah alluvial dengan pH antara 4,5-7,5 (Suyanti
& Supriyadi 2008). Tanah yang telah mengalami erosi tidak akan
menghasilkan panen pisang yang baik, serta tanah harus mudah meresapkan air
(Prihatman 2008).
2) Air harus selalu tersedia tetapi tidak boleh menggenang karena pertanaman
pisang harus diari dengan intensif. Ketinggian air tanah di daerah basah adalah
50-200 cm, di daerah setengah basah 100-200 cm dan di daerah kering 50-150
cm (Prihatman 2008). Di daerah beriklim kering, antara 4-5 bulan, tanaman
pisang masih tumbuh subur asalkan air tanah tidak lebih dari 150 cm di bawah
permukaan tanah. Akar tanaman ini memerlukan drainase dan sirkulasi udara
dalam tanah yang baik. Kedalaman air tanah yang sesuai untuk pisang yang
ditanam pada daerah beriklim biasa adalah 50-200 cm di bawah permukaan
tanah (Prihatman 2008; Suyanti & Supriyadi 2008).
2.1.5 Manfaat Tiap Bagian Tanaman Pisang
2.1.5.1 Bunga
Bunga pisang (jantung pisang), dimanfaatkan untuk membuat sayur,
karena kandungan protein, vitamin, lemak, dan karbohidrat yang tinggi. Selain
dibuat sayur, bunga pisang dapat pula diolah menjadi manisan, dan acar
(Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Suyanti & Supriyadi 2008; Irma et al.
2010).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
17
2.1.5.2 Daun
Masyarakat pedesaan memanfaatkan daun pisang sebagai bahan
pembungkus. Daun yang tua setelah dicacah, biasa digunakan untuk pakan ternak
seperti kambing, kerbau atau sapi, karena banyak mengandung unsur yang
diperlukan oleh hewan. Bila daun pisang berlebihan dapat pula dimanfaatkan
menjadi kompos (Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Suyanti & Supriyadi
2008). Studi oleh Sudarman & Harsono (1989) menyatakan kegunaan daun pisang
yang masih muda dapat digunakan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan
radang selaput lendir mata dan luka terbakar (Atun et al. 2007).
2.1.5.3 Batang
Batang pisang banyak dimanfaatkan masyarakat, terutama bagian yang
mengandung serat. Setelah dikelupas tiap lembar sering dimanfaatkan sebagai
pembungkus bibit sayuran, dan setelah dikeringkan digunakan untuk tali pada
pengolahan tembakau. Batang pisang ini juga dapat dijadikan makanan, dan dapat
pula digunakan sebagai kompos (Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008;
Prihatman 2008; Suyanti & Supriyadi 2008). Studi oleh Sudarman & Harsono
(1989) menyatakan bagian batang dan umbi pisang antara lain sebagai obat
tradisional untuk menyembuhkan demam nifas (teras batangnya), mencret,
disentri (getah batangnya), kena racun makanan (umbinya), maupun digigit ular
berbisa (umbi pisang raja) (Atun et al. 2007).
2.1.5.4 Bonggol
Bonggol pisang adalah umbi batang pisang, di beberapa daerah, bonggol
batang pisang yang muda dapat dimanfaatkan untuk sayur, dan olahan keripik
(Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Irma et al. 2010).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
18
2.1.5.5 Buah
Buah pisang dapat dimanfaatkan sebagai buah meja, juga dapat
dimanfaatkan menjadi produk olahan. Buah pisang mentah dapat diolah menjadi
gaplek, tepung, pati, sirop glukosa, tape, dan keripik, sedangkan buah pisang
matang dapat diolah menjadi sale, selai, dodol, sari buah, anggur, pure, saus,
nektar, pisang goreng, pisang epe, pisang rebus, kolak, getuk, ledre, pisang
panggang keju, dan sebagainya. Pisang raja terutama jika dimanfaatkan sebagai
produk olahan, cocok untuk diolah menjadi sari buah, dodol dan sale (Prabawati,
Suyanti, & Setyabudi 2008; Prihatman 2008; Suyanti & Supriyadi 2008; Irma et
al. 2010).
Buah pisang juga berkhasiat untuk menghilangkan dahak, penyembuhan
penderita anemia, menurunkan tekanan darah, memberikan tenaga untuk berpikir,
kaya serat, membantu menghilangkan pengaruh nikotin, mencegah stroke,
mengontrol temperatur badan terutama bagi ibu hamil, menetralkan asam
lambung, membantu sistem saraf, serta studi oleh Sudarman & Harsono (1989)
menyatakan biji buah pisang dapat digunakan untuk menyembuhkan radang
selaput lendir usus, ambein, sariawan (Atun et al. 2007; Prabawati, Suyanti, &
Setyabudi 2008; Suyanti & Supriyadi 2008). Dari literatur lain, diketahui sebagian
jenis pisang, yaitu buah dan bagian lain dari Musa paradisiaca L. dan Musa
sapientum L. (Musaceae) tersebut yang berdasarkan studi dari Ghani (2003);
Khare (2007), dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit pada manusia
dalam pengobatan tradisional. Kedua buah M. paradisiaca dan M. sapientum ini
secara tradisional digunakan untuk mengobati diare, disentri, lesi intestinal pada
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
19
kolitis ulseratif, diabetes, sariawan, uremia, nefritis, asam urat, hipertensi, dan
penyakit jantung (Imam & Akter 2011).
2.1.5.6 Kulit
Kulit buah pisang dapat dijadikan pakan ternak, membunuh larva
serangga, bahan campuran cream antinyamuk, arang pisang yang menjadi
alternatif sebagai bahan bakar memasak, selain itu kulit pisang dapat digunakan
dalam pembuatan pektin, nata, tepung, cuka melalui proses fermentasi alkohol dan
asam cuka, bahkan dapat dimanfaatkan untuk kesehatan mata, dan sebagai obat
gosok yang mengurangi ketajaman rasa sakit dan nyeri artritis (Anhwange 2008;
Prihatman 2008; Suyanti & Supriyadi 2008).
2.1.6 Produksi Pisang di Indonesia
Produksi buah pisang di Indonesia merata sepanjang tahun dan tidak bersifat
musiman, serta memiliki daerah sebaran buah pisang yang luas, hampir seluruh
wilayah merupakan daerah penghasil pisang, yang ditanam di pekarangan, ladang,
dan perkebunan (Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hortikultura 2005;
Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008). Produksi pisang hampir tersedia di
seluruh wilayah di Indonesia (terutama di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan,
Lampung, TT, dan Bali (Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hortikultura
2005). Hal ini yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara produsen
pisang dunia, selain itu juga didukung dengan sumber daya manusia petani atau
swasta yang cukup besar (Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil
Hortikultura 2005; Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Suyanti & Supriyadi
2008).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
20
Dari tahun ke tahun produksi pisang dunia terus mengalami peningkatan,
dan pada tahun 2005 tercatat produksi pisang dunia hingga mencapai 72,5 juta
ton. Sebagai salah satu negara produsen pisang dunia, Indonesia telah
memproduksi sebanyak 6,20% dari total produksi dunia dan 50% produksi pisang
Asia berasal dari Indonesia (Suyanti & Supriyadi 2008).
Produksi buah-buahan tahun 2010 dari seluruh provinsi di Indonesia
menunjukkan bahwa produksi buah pisang menduduki peringkat pertama
produksi buah di Indonesia, yakni sebanyak 5,755,073 ton (Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia 2010).
2.1.7 Kandungan Pisang (Musa paradisiaca)
Berdasarkan studi oleh Sudarman & Harsono (1989), buah pisang
mengandung protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, C, dan zat
metabolit sekunder lainnya, yang menyediakan energi yang cukup tinggi
dibandingkan dengan buah-buahan yang lain (Forster et al. 2003; Atun et al.
2007; Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008). Pisang kaya mineral seperti kalium,
magnesium, besi, fosfor dan kalsium, juga mengandung vitamin B, B6 dan C serta
01000000200000030000004000000500000060000007000000
Tabel 2.2 Produksi Buah di Indonesia 2010(Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. 2010)
Produksi Buah (Ton)
5,755,073 ton
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
21
serotonin yang aktif sebagai neutransmiter dalam kelancaran fungsi otak
(Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008).
Tabel 2.3 Kandungan Gizi Buah Pisang/100 g (Suyanti & Supriyadi 2008)
Kandungan Gizi Jumlah Kalori 90 kkal Karbohidrat 22,84 g Gula 12,23 g Serat 2,26 g Lemak 0,33 g Protein 1,09 g Vitamin A 3 µg 0% Tiiamin (vit B1) 0,031 mg 2% Riboflavin (vit B2) 0,073 mg 5% Niasin (vit B2) 0,665 mg 4% Asam Fantothanik (vit B5) 0,334 mg 7% Vitamin (vit B6) 0,367 mg 28% Folat (vit B9) 20 µg 5% Kalsium 8,7 mg 15% Besi 5 mg 1% Vitamin C 0,26 mg 2% Magnesium 27 mg 7% Fosfor 22 mg 3% Potasium 358 mg 8% Seng 0,15 mg 1%
Tabel 2.4 Kandungan menurut Varietas Pisang di Indonesia
(Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008)
Varietas Pisang
Kalori (kalori)
Karbohidrat (%)
Vitamin (mg)
Vitamin A (SI)
Air (%)
Bagian yang dapat
dimakan (%) Ambon 99 25,80 3 140 72 75 Angleng 68 17,20 6 76 80,30 75 Lampung 99 25,60 4 61,80 72,10 75
Emas 127 33,60 2 79 4,20 85 Raja Bulu 120 31,80 10 950 64,80 70 Raja Sere 118 31,10 4 112 67 85
Uli 146 38,20 75 75 59,10 75
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
22
Bila dibandingkan dengan jenis makanan lainnya, mineral pisang khususnya
zat besi dapat seluruhnya diserap oleh tubuh. Kandungan vitamin A tertinggi pada
buah pisang raja bulu dicirikan dengan warna daging buah kuning kemerahan.
Hanya buah pisang emas dan raja sere yang memiliki bagian yang dapat dimakan
sebesar 85% karena kulit buahnya yang tipis (Prabawati, Suyanti, & Setyabudi
2008).
2.1.7.1 Kandungan Kulit Pisang Raja (Musa paradisiaca var. Raja)
Kulit pisang mengandung berbagai jenis komponen yang dapat
dimanfaatkan, antara lain sebagai berikut:
Tabel 2.5 Komposisi Karbohidrat pada Kulit Pisang (Jamal, Saheed, & Alam 2012)
Sumber Karbon Konsentrasi Glukosa (nmol L-1) 2,4 Fruktosa (nmol L-1) 6,2
Sukrosa (nmol L-1) 2,6
Maltosa (nmol L-1) 0
Pati (nmol L-1) 1,2
Selulosa (nmol L-1) 8,4
Gula total (nmol L-1) 29
Lignin (%) 6-12 Pektin (%) 10-21 Hemiselulosa (%) 6,4-9,4
Tabel 2.6 Komposisi Mineral pada Kulit Pisang (Anhwange 2008)
Elemen Konsentrasi (mg g-1) Potasium 78.10±6.58 Kalsium 19.20±0.00 Sodium 24.30±0.12 Besi 0.61±0.22 Manganase 76.20±0.00 Bromin 0.04±0.00 Rubidium 0.21±0.05 Strontium 0.03±0.01 Zirkonium 0.02±0.00 Niobium 0.02±0.00
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
23
Tabel 2.7 Komposisi anti-nutrien dari kulit pisang (Anhwange 2008)
Parameter Konsentrasi Moisture (%) 06.70±02.22 Ash (%) 08.50±1.52 Organic matter (%) 91.50±0.050 Protein (%) 00.90±0.250 Minyak mentah (%) 01.70±0.100 Karbohidrat (%) 59.00±1.360 Serat kasar (%) 31.70±0.250 Hidrogen sianida (mg/g) 01.33±0.100 Oksalate (mg g-1) 00.51±0.140 Fitat (mg g-1) 00.28 ±0.06 Saponin (mg g-1) 24.00±0.270
Studi oleh Ciou et al. (2008), menyatakan kulit buah memiliki kandungan
non-nutrisi, termasuk polifenol, flavonoid (Lee et al. 2010). Senyawa polifenol
ditemukan di sebagian besar jaringan buah (Baskar et al. 2011). Studi oleh
Scalbert (1991); Cowan (1999) menyatakan bahwa polifenol adalah sekelompok
senyawa fenolik hidroksilasi tinggi dan hadir dalam beberapa tumbuhan (Karou et
al. 2005). Polifenol merupakan sumber potensial antioksidan dan antimikroba
terhadap sejumlah besar bakteri patogen, dan agen potensial untuk mencegah
penyakit (Karou et al. 2005; Baskar et al. 2011). Pada sebuah penelitian,
didapatkan kandungan polifenol pada kulit pisang kering, dengan menggunakan
pelarut air, metanol, aseton, dan etanol, dimana pelarut air memiliki efisiensi
paling tinggi sebagai pelarut, kemudian diikuti dengan metanol, aseton, dan etanol
(Ying et al. 2005). Bahkan, menurut hasil penelitian yang dilakukan Kanazawa &
Sakakibara (2000) dan Someya et al. (2002), kulit pisang memiliki kadar senyawa
fenolik yang jauh lebih tinggi daripada yang terkandung pada daging buahnya
(Humairani 2007).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
24
Flavonoid terdapat dalam berbagai bagian dari pisang (Imam et al. 2011).
Kulit buah pisang masak yang berwarna kuning kaya akan senyawa flavonoid,
serta mengandung senyawa fenolik lainnya (Atun et al. 2007; Lee et al. 2010).
Studi oleh De Sousa et al. (2004); Galati & O‟Brien (2004); Rajendra et al.
(2004); dan Wei et al. (2004) menyatakan flavonoid dan senyawa fenolik
merupakan senyawa bioaktif yang menunjukkan berbagai aktivitas yang berguna,
seperti antioksidan, antidermatosis, kemopreventif, antikanker, maupun antiviral,
selain itu berdasarkan studi oleh Yen et al. (1993) fenol merupakan metabolit
sekunder pada tanaman dan diketahui memiliki berbagai kegunaan terapeutik,
seperti aktioksidan, antimutagenik, antikarsinogenik, mengangkut radikal bebas,
dan juga menurunkan komplikasi kardiovaskular (Atun et al. 2007; Lee et al.
2010; Baskar et al. 2011). Adanya flavonoid dan senyawa fenolik lainnya pada
kulit pisang perlu diidentifikasi dan diuji aktivitasnya, sehingga dapat
meningkatkan pemanfaatan limbah buah pisang lebih optimal (Atun et al. 2007).
Berdasarkan penelitian lain, komposisi antioksidan dan anti-nutrien dari
kulit pisang (per 100 g), antara lain adalah: karoten, β-karoten, vitamin C, tanin,
oksalat, oksalat yang larut dalam air, asam fitat, serat diet tidak larut, serat diet
larut (Nagarajaiah & Prakash 2011). Kandungan tanin pada kulit, bertindak
terhadap ketersediaan protein yang menurun selama pematangan sebagai
akibat dari migrasi polifenol dari kulit ke buah dan degradasi fenol oksidatif oleh
oksidase dan peroksidase polifenol (Emaga et al. 2011).
Studi oleh Ketiku (1973); Emaga et al. (2007) menunjukkan, pada kulit
pisang terdapat selulosa, hemiselulosa, arinin, asam aspartat, treonin (Imam &
Akter 2011). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa profil protein pada pisang
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
25
sangat kekurangan lisin, metionin dan triptofan, tetapi kulit pisang mengandung
sejumlah besar senyawa seperti dopamin (80-560 mg per 100 g dalam kulit)
(Emaga et al. 2011).
Sebuah penelitian yang melakukan skrining fitokimia pada Musa
paradisiaca, menunjukkan bahwa kulit Musa paradisiaca mengandung tanin,
alkaloid, steroid, saponin, flavonoid dan karbohidrat (Okorondu et al, 2010).
Berdasarkan studi dari Chandler (1995), Baiyeri (2000), Baiyeri &
Unadike (2001), nilai nutrisi dari buah spesies Musa bervariasi, tergantung
daripada kultivar, tingkat kematangan, tanah, dan kondisi iklim dimana buah
dibudidayakan (Adeniji et al. 2007).
2.1.8 Penggunaan Ekstrak Kulit Pisang Raja (Musa paradisiaca var. Raja)
sebagai Antibakteri
Studi oleh Ushimari et al. (2007) menyatakan tanaman obat menghasilkan
sejumlah metabolit sekunder dengan efek antimikroba patogen. Semua bagian dari
tanaman secara individual atau dengan kombinasi menunjukkan sifat antimikroba.
Keragaman kandungan kimia yang dihasilkan oleh tanaman diduga melindungi
tanaman melawan mikroba patogen (Chanda et al. 2010), selain itu olahan dari
tanaman telah menarik perhatian dunia, karena efek samping mereka lebih sedikit
dan toksisitas yang lebih rendah dibandingkan obat sintetis (Jain et al. 2011).
Menurut Kaneria et al. (2009); Aref et al. (2010); Rajaei et al. (2010), unsur
antimikroba dapat hadir pada semua bagian tanaman, seperti kulit kayu, batang,
daun, buah, akar, bunga, biji, kulit (Chanda et al. 2010). Jayaprakasha et al.
(2001); Mokbel & Hashinaga (2005); Okonogi et al. (2007); Sulaiman et al.
(2011) mengungkapkan, umumnya kulit merupakan bagian buah yang sering
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
26
menjadi limbah. Menariknya, fraksi kulit dan biji dari beberapa buah ditemukan
menunjukkan aktivitas antimikroba dan antioksidan lebih tinggi dibandingkan
buahnya (Jain et al. 2011). Penelitian oleh Jayaprakasha et al. (2003)
mengungkapkan bahwa kulit dan biji, seperti kulit dan biji anggur, Singh et al.
(2002) kulit delima, Kabuki et al. (2000) inti biji mangga, berpotensi memiliki
sifat antimikroba (Chanda et al. 2010), termasuk kulit pisang.
Pisang (Musa paradisiaca) merupakan tanaman buah-buahan yang tumbuh
dan tersebar di seluruh Indonesia (Hanifah 2004). Sebagai salah satu negara
produsen pisang dunia dan terbesar di Asia, disertai dengan manfaat pisang yang
beragam membuat banyak masyarakat Indonesia mengolah dan memproduksi
pisang (Hanifah 2004; Prabawati, Suyanti, & Setyabudi 2008; Suyanti &
Supriyadi 2008). Dari pemanfaatan buah pisang tersebut dapat menyebabkan
permasalahan limbah pisang, terutama kulitnya (Atun et al. 2007). Sangat
disayangkan, karena 40% dari total berat buah pisang merupakan kulitnya, yang
umumnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal dan kadang hanya digunakan
sebagai pupuk atau dibuang (Pradestiawan 2008; Lee et al. 2010; Nagarajaiah &
Prakash 2011). Bila ditinjau berdasarkan data produksi buah pisang di Indonesia
menurut Departemen Pertanian (2006) bahwa sejak tahun 1997-2003 produksi
pisang cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 7,5% per tahunnya.
Jumlah produksi buah pisang sekitar 3.057.087 ton naik menjadi 4.384.384 ton
(Pradestiawan 2008), dan pada tahun 2010 menurut data dari Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia, produksi pisang di Indonesia sebanyak 5,755,073
ton (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2010). Diperkirakan bila jutaan
kulit pisang untuk setiap tahunnya dibuang dan dibiarkan begitu saja menjadi
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
27
limbah tanpa adanya tahapan lanjut dalam segi pemanfaatkan dan pengolahan
limbah tersebut secara optimal, maka dapat menyebabkan pencemaran lingkungan
(Pradestiawan 2008). Limbah yang terdapat dalam jumlah besar selama proses
industri merupakan masalah serius, karena memberikan pengaruh terhadap
lingkungan, sehingga perlu dikelola atau dimanfaatkan (Chanda et al. 2010).
Berdasarkan studi oleh Hasanah (2007), para peneliti berusaha mengantisipasi
terjadinya masalah tersebut dengan cara memanfaatkan limbah kulit pisang
menjadi salah satu produk ekonomis (Pradestiawan 2008).
Studi oleh Mokbel & Hashinaga (2005); Sulaiman et al. (2011) menyatakan
bahwa pisang merupakan salah satu buah yang paling popular dan dengan
berkembangnya zaman peneliti menemukan bahwa buah dan kulit pisang
mengandung komponen antibakteri dan antioksidan (Jain et al. 2011). Kulit
pisang yang dibuang sebagai limbah, ternyata kaya akan komponen bioaktif, yang
dianggap memiliki efek pada kesehatan yang menguntungkan (Chanda et al.
2010). Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh National Cancer Standard
Institute, ekstrak kulit pisang tidak toksik terhadap sel manusia normal; sehingga
dapat dengan aman digunakan (Lee et al. 2010). Sejak dekade terakhir, telah
dilakukan upaya untuk meningkatkan metode dan cara untuk penggunaan kembali
limbah buah dan sayur. Hingga saat ini limbah industri umumnya digunakan
sebagai pakan atau pupuk, tetapi menggunakan limbah ini sebagai terapi menjadi
ide baru yang perlahan-lahan mendapatkan popularitas (Chanda et al. 2010).
Kulit pisang yang awalnya adalah limbah, jika dapat dimanfaatkan sebagai
antimikroba, akan menjadi suatu produk terapi yang ekonomis, ramah lingkungan,
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
28
dan mengurangi polusi, sehingga aspek baru dengan mengolah limbah buah
menjadi bahan terapi sangat bermanfaat (Chanda et al. 2010).
Pisang memiliki beragam aktivitas farmakologi, diantaranya aktivitas
antidiare, antiulseratif, antimikroba, hipoglikemik, hipokolesterolemik,
antihipertensi, dan efek pada aterosklerosis, antioksidan, diuretik, penyembuhan
luka, antialergi, antimalaria, efek pada otot, antivenom ular, dan mutagenecity.
Pada berbagai macam aktivitas yang dimiliki buah ini, aktivitas antiulserasi,
antimikroba, efek pada aterosklerosis, antioksidan, diuretik, dan mutagenecity
dimiliki spesifik oleh kulit pisang (Imam & Akter 2011).
Adanya aktivitas antibakteri pada kulit pisang dibuktikan pada beberapa
penelitian berikut ini. Sebuah penelitian terhadap aktivitas antibakteri kulit
Musa paradisiaca, menunjukkan pada uji zona hambat (zone of inhibition test
(ZIT)) ekstrak kulit pisang ini dapat menghambat beberapa bakteri patogen,
seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus
dan Salmonella typhi. Aktivitas antibakteri paling tinggi didapatkan dari ekstrak
metanol, kemudian diikuti ekstrak etanol dan kloroform, namun ekstrak air tidak
menunjukkan hambatan pada organisme yang diuji. Sampel kering menghasilkan
ekstrak dan aktivitas antibakteri yang lebih banyak dibandingkan ekstrak sampel
segar (basah) (Okorondu et al, 2010).
Penelitian lain pada kulit Musa paradisiaca, menunjukkan aktivitas
antibakteri terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis,
dan Pseudomonas aeruginosa pada uji zona hambat dengan metode disc diffusion
(Karadi et al, 2001).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
29
Sebuah penelitian lainnya, menunjukkan kulit Musa sapientum (Musaceae)
dapat bekerja sebagai antimikroba terhadap beberapa bakteri yang menyebabkan
penyakit infeksi. Kulit Musa sapientum ini diekstrak dengan kloroform, etil asetat,
dan aqueous, dimana terbukti memiki aktivitas antimikroba terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Salmonella enteritidis,
dan Escherichia coli (Chanda et al. 2010).
Pada suatu penelitian yang menggunakan kulit pisang mentah, ekstrak air
dari kulit pisang mentah, M. paradisiaca var. sapientum menunjukkan aktivitas
antimikroba melawan spesies Staphylococcus dan Pseudomonas pada uji
dehidrogenase. Pada penelitian ini ekstrak kulit pisang lebih aktif dalam melawan
spesies Staphylococcus (Gram positif) daripada Pseudomonas (Gram negatif)
(Imam & Akter 2011).
2.1.9 Aktivitas Antibakteri yang dimiliki Ekstrak Kulit Pisang Raja (Musa
paradisiaca var. Raja)
Berdasarkan tinjauan di atas, disimpulkan dari keseluruhan kandungan yang
dimiliki oleh kulit pisang, bahwa kandungan yang secara empiris memiliki sifat
antimikroba/antibakteri, dan diduga dapat memberikan efek antibakteri terhadap
polibakteri ulser RAS, antara lain adalah polifenol (flavonoid, tanin), saponin, dan
alkaloid.
2.1.9.1 Polifenol
Menurut Geissman & Crout (1969), salah satu kelas terbesar dari senyawa
alami polifenol adalah flavonoid (Bylka, Matlawska & Pilewski 2004).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
30
1) Flavonoid
Flavonoid adalah subgrup dari kelas senyawa polifenol. Flavonoid merupakan
senyawa polifenolik yang memiliki 15 atom karbon; dua cincin benzene yang
bergabung dengan 3-rantai karbon (Kar et al, 2006).
Flavonoid merupakan senyawa fenolik terhidroksilasi (Ciocan & Bara 2007).
Menurut Markham (1982), dan Havsteen (1983), flavonoid merupakan salah satu
senyawa fenol alami yang tersebar luas pada tumbuhan, yang disintesis dalam
jumlah sedikit dan dapat ditemukan pada hampir semua bagian tumbuhan.
Penelitian oleh Sabir (2003) secara in vitro maupun in vivo, Pepeljnjak et al.
(1985), dan Mirzoeva et al. (1997), menunjukkan aktivitas biologis dan
farmakologis dari senyawa flavonoid sangat beragam, salah satu diantaranya
yakni memiliki aktivitas antibakteri (Sabir 2005). Flavonoid memberikan respon
terhadap infeksi mikroba, dan secara in vitro flavonoid menjadi senyawa
antimikroba yang efektif terhadap berbagai macam mikroorganisme, termasuk
bakteri Gram positif dan Gram negatif (Bylka, Matlawska, & Pilewski 2004;
Ciocan & Bara 2007).
Aktivitas antibakteri yang dimiliki flavonoid, menurut Mori et al.(1987)
flavonoid mampu untuk menghambat sintesis asam nukleat, dimana flavonoid
berperan dalam interkalasi atau pengikatan hidrogen dengan basis asam nukleat,
dan menyebabkan penghambatan pada sintesis DNA serta RNA. Flavonoid juga
mampu menghambat fungsi membran sitoplasma, dimana membran ini dilintasi
oleh gradien elektrokimia proton yang sangat penting bagi sel bakteri untuk
mempertahankan kapasitas sintesis ATP, transportasi membran, dan motilitas
(Cushnie & Lamb 2005). Mirzoeva et al. (1997), menunjukkan bahwa flavonoid
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
31
dapat meningkatkan permeabilitas dari membran bakteri, sehingga akan
mengganggu atau bahkan menghilangkan fungsi membran tersebut. Flavonoid
dapat menghambat metabolisme energi, dimana menurut Haraguchi et al. (1998)
energi dibutuhkan untuk penyerapan metabolit dan untuk biosintesis
makromolekul. Berdasarkan studi oleh Salvatore et al. (1998) flavonoid mampu
membentuk kompleks dan menghambat sintesis protein ekstraselular serta dinding
sel bakteri (Cushnie & Lamb 2005; Ciocan & Bara 2007).
Studi oleh Harborne (1987) menyatakan bahwa berbagai kerusakan yang dapat
terjadi pada sel bakteri disebabkan karena adanya kandungan flavonoid yang
merupakan senyawa fenol. Menurut Dwidjoseputro (1994), senyawa fenol dapat
bersifat koagulator protein, dimana protein yang menggumpal tidak dapat
berfungsi lagi, sehingga akan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri.
Menurut Morin & Gorman (1995), dinding bakteri gram positif maupun gram
negatif terdiri atas peptidoglikan. Proses perakitan dinding sel bakteri diawali
dengan pembentukan rantai peptida yang akan membentuk jembatan silang
peptida yang menggabungkan rantai glikan dari peptidoglikan pada rantai yang
lain sehingga menyebabkan dinding sel terakit sempurna. Jika ada kerusakan pada
dinding sel atau ada hambatan dalam pembentukannya dapat terjadi lisis pada sel
bakteri sehingga bakteri segera kehilangan kemampuan membentuk koloni dan
diikuti dengan kematian sel bakteri (Ajizah, Thihana, & Mirhanuddin 2007),
sehingga dapat menyebabkan gangguan keberangsungan hidup polibakteri RAS.
Mekanisme yang berbeda dikemukakan oleh Estrela et al. (1995) dan Di Carlo
et al. (1999) yang menyatakan bahwa gugus hidroksil yang terdapat pada struktur
senyawa flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik dan transpor
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
32
nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap bakteri
(Sabir 2005).
Berdasarkan studi oleh Bae et al. (1999) dinyatakan bahwa flavonoid
menunjukkan perlawanan yang aktif terhadap Helicobacter pylori, dimana pada
penelitiannya bakteri diisolasi dari pasien dengan gastritis kronis. Helicobacter
pylori menghasilkan urease yang menghidrolisis urea menjadi karbon dioksida
dan ammonia, sehingga menyebabkan gastritis dan ulser pada lambung. Pada
kasus ini, flavonoid berperan dalam menghambat produksi urease Helicobacter
pylori (Bylka, Matlawska, & Pilewski 2004).
Berdasarkan studi oleh Narayana et al. (2001) flavonoid merupakan senyawa
yang tidak toksik atau memiliki toksisitas yang rendah, sehingga aman dalam
berbagai penggunaannya (Bylka, Matlawska, & Pilewski 2004).
2) Tanin
“Tanin” adalah istilah untuk sekelompok zat fenolik polimer, yang mampu
mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal dengan astrigensi.
Menurut Scalbert (1991), tanin ditemukan pada hampir setiap bagian tanaman,
seperti pada kulit kayu, kayu, daun, buah, dan akar (Ciocan & Bara 2007).
Menurut Miranda (1996), tanin banyak ditemukan pada tanaman herba (Akiyama
et al. 2001). Berdasarkan studi oleh Scalbert (1991), tanin diklasifikasi dalam dua
kategori, tanin terhidrolisa dan tanin terkondensasi (tanin non-terhidrolisa)
(Akiyama et al. 2001; Ciocan & Bara 2007). Tanin terhidrolisa didasari oleh asam
galat, yang umumnya sebagai ester berganda dengan glukosa-D, sedangkan tanin
terkondensasi (proantosianidin/oligomeric proanthocyanidins (OPCs)) sebagian
besar berasal dari monomer flavonoid. Menurut Scalbert (1991), tanin dapat
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
33
menjadi toksik bagi bakteri, jamur, dan ragi berfilamen. Senyawa tanin diteliti
oleh Serafini et al. (1994) dapat menyembuhkan atau mencegah berbagai penyakit
(Ciocan & Bara 2007; Wikipedia 2012).
Berdasarkan studi oleh Miranda (1996), pada kelas tanin terhidrolisa, terdapat
kandungan asam tannat. Chung et al. (1993), menyatakan asam tannat hadir pada
berbagai jenis bahan makanan, dan umumnya dikenal sebagai tambahan makanan
yang aman (bahan makanan „generally recognized as safe‟ (GRAS)) (Akiyama et
al. 2001). Menurut Okuda (2004) tanin berpotensi menjadi antibakteri (Arianto et
al. 2008). Chung et al. (1993) telah menelaah bahwa tanin memiliki aktivitas
bakteriostatik atau bakterisidal melawan Staphylococcus aureus. Chung et al.
(1998) menemukan asam tannat mampu menghambat pertumbuhan bakteri
intestinal, seperti Bacteroides fragilis, Clostridium perfringens, Escherichia coli,
dan Enterobacter cloacae (Akiyama et al. 2001). Penelitian Mulyadi (1996)
membuktikan bahwa tanin mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan bakteri seperti Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Arianto
et al. 2008).
Menurut Bagchi et al. (1997), tanin terhidrolisa atau proantosianidin secara
alami terkandung pada banyak tanaman, seperti pada buah-buahan, sayuran,
kacang-kacangan, biji-bijian, bunga, dan kulit kayu (Fine 2000). Proantosianidin
merupakan salah sat senyawa yang memiliki sifat antivirus atau antibakteri
terhadap mikroorganisme prokariotik dan eukariotik (Buzzini et al. 2007).
Berdasarkan Bagchi et al. (1997), dan Bagchi et al. (1998), proantosianidin
ditelaah memiliki aktivitas antibakteri, antivirus, antikarsinogenik, antiinflamasi,
antialergi, dan tindakan vasodilatasi (Fine 2000).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
34
Berdasarkan studi oleh Chung et al. (1998), menyatakan bahwa mekanisme
antimikroba dari tanin adalah sebagai berikut: (1) Komponen astringen dari tanin
menginduksi pembentukan kompleks enzim atau substrat. Banyak enzim mikroba
dalam filtrat kultur mentah atau dalam bentuk dimurnikan terhambat bila
dicampur dengan tanin (Akiyama et al. 2001). Menurut Trease & Evans (1992)
tanin dapat menurunkan proliferasi bakteri dengan memblok enzim metabolisme
dari bakteri (Ciocan & Bara 2007; Mungole & Chaturvedi 2011), selain itu tanin
juga dapat menginaktivasi adesin, dan transport protein selubung sel (Ciocan &
Bara 2007). (2) Toksisitas tanin berkaitan terhadap membran mikroorganisme
(Akiyama et al. 2001), karena menurut Ajizah (2004) tanin diduga dapat
mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas
sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan
aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati (Juliantina
et al. 2007). (3) Kompleks ion metal tanin dapat berkaitan terhadap toksisitas
tanin. Asam tannat mungkin bekerja dengan membuat zat besi tidak tersedia untuk
mikroorganisme, dimana mikroorganisme tumbuh dibawah kondisi aerob, dan
membutuhkan zat besi untuk berbagai fungsinya, termasuk reduksi prekursor
ribonukletida DNA, pembentukan haem, meningkatkan toksisitas tanin itu sendiri,
dan berbagai manfaat penting lainnya (Akiyama et al. 2001; Juliantina et al.
2007). Diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik, dimana
senyawa fenol dapat bersifat koagulator protein. Protein yang menggumpal tidak
dapat berfungsi lagi, sehingga akan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri
(Ajizah, Thihana, & Mirhanuddin 2007).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
35
2.1.9.2 Saponin
Saponin adalah glikosida yang terdapat secara luas pada tanaman. Saponin
diklasifikasi menjadi dua kelompok, yaitu saponin steroid dan saponin
triterpenoid (Soetan et al. 2006; Adeniji et al. 2007). Menurut studi oleh Merck &
Index (1976), saponin tidak toksik untuk manusia (Adeniji et al. 2007).
Pada kulit pisang terkandung saponin, yang mana berdasarkan studi oleh
Tschesche & Wulff (1973), Oakenfull & Fenwick (1981), Zhang & Hu (1985),
Jun et al. (1989), Price & Fenwick (1990), Okubo et al. (1994), Arao et al. (1998),
Chao et al. (1998), dan Just et al. (1998), menyatakan saponin memiliki beragam
aktivitas farmakologis, seperti aktivitas antibiotik/antimikroba, antifungal,
antiviral, antiprotozoa, antiinflamasi hepatoprotektif, dan anti ulser (Soetan et al.
2006; Patra 2012). Berdasarkan studi oleh Robinson (1995), aktivitas antibakteri
saponin berkaitan dengan kemampuannya untuk dapat meningkatkan
permeabilitas membran sel bakteri, sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi
membran, menyebabkan denaturasi protein membran, kemudian mengakibatkan
terjadinya kerusakan membran sel dan hemolisis sel (Wiryawan et al. 2007;
Kristanto 2010).
2.1.9.3 Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa organik yang terdapat pada tumbuhan, bersifat
basa, dan struktur kimianya mempunyai sistem lingkaran heterosiklis dengan
nitrogen sebagai hetero atomnya (Sumardjo 2008). Alkaloid merupakan salah satu
zat tumbuhan yang paling efisien dan secara terapeutik signifikan. Menurut Stary
(1996), umumnya alkaloid toksik, meskipun mereka memiliki efek terapi yang
nyata (Ciocan & Bara 2007).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
36
Berdasarkan studi oleh Zuo et al. (2008), kandungan alkaloid yang
terdapat kulit pisang berkontribusi dalam aktivitas antibakterinya (Zafar et al.
2011). Alkaloid tanaman yang diisolasi dan turunan sintetiknya digunakan sebagai
agen obat dasar di seluruh dunia karena memiliki efek analgesik, efek
antispasmodik, dan bakterisida (Ciocan & Bara 2007).
Berdasarkan studi oleh Lisgarten et al. (2002); Sawer et al. (2005),
aktivitas antimikroba alkaloid disebabkan kemampuan mereka untuk menghambat
topoisomerase (pada fase S (sintesis)) untuk berinterkalasi (menyisip) pada DNA
dan untuk menghambat sintesis DNA, perubahan morfologis, mengganggu
komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel
tidak terbentuk secara utuh atau lisis sel, dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Juliantina et al. 2007; Zafar et al. 2011).
Menurut Jawetz et al (2001), pertumbuhan bakteri yang terhambat atau
kematian bakteri akibat suatu zat antibakteri dapat disebabkan oleh penghambatan
terhadap sintesis dinding sel, penghambatan terhadap fungsi membran sel,
penghambatan terhadap sintesis protein, atau penghambatan terhadap sintesis
asam nukleat (Ajizah, Thihana, & Mirhanuddin 2007).
Adanya kandungan-kandungan yang diduga bertanggung jawab terhadap
aktivitas antibakteri yang dimiliki kulit pisang, seperti polifenol (flavonoid, tanin),
saponin, dan alkaloid, yang secara empiris bekerja melawan bakteri dengan cara
menghambat sintesis asam nukleat, DNA, RNA, menghambat fungsi membran
sitoplasma, mengganggu atau menghilangkan fungsi membran bakteri,
menghambat metabolisme energi, mengganggu pembentukan dinding sel bakteri,
menimbulkan efek toksik terhadap bakteri, menurunkan proliferasi bakteri,
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
37
mengganggu permeabilitas sel, perubahan morfologis, menyebabkan kematian sel
bakteri (Cushnie & Lamb 2005; Sabir 2005; Ajizah, Thihana, & Mirhanuddin
2007; Ciocan & Bara 2007; Juliantina et al. 2007; Wiryawan et al. 2007;
Kristanto 2010; Mungole & Chaturvedi 2011; Zafar et al. 2011).
Menurut Synder (1997), meskipun aktivitas antimikroba dari tanaman obat
telah didokumetasikan, aktivitas antimikroba mereka sangat bervariasi, tergantung
dari jenis herba, medium uji, dan mikroorganisme (Fagbemi et al. 2009).
2.2 Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)/Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)
2.2.1 Definisi Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)/Aphthae/Recurrent
Aphthous Ulcers/Canker Sores (Scully & Felix 2005; Springer Reference
2012)
Berdasarkan studi Rennie et al (1958) istilah “aphthous” berasal dari kata
Yunani "aphtha", yang berarti ulserasi, dan menurut Jurge et al (2006) pertama
kali disebutkan oleh Hippocrates (460-370 SM) untuk mendeskripsikan suatu
gangguan pada mulut (Volkov et al. 2009; Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012).
Suatu studi oleh Rennie et al (1958) dan Ship et al (2000) menyatakan bahwa
recurrent aphthous stomatitis merupakan salah satu lesi mukosa oral menyakitkan
yang paling umum diderita pasien, dan paling umum dijumpai pada perawatan
primer, sehingga menurut Akintoye & Greenberg (2005) menjadikan diagnosis
dan tata laksana dari lesi oral berulang ini menjadi masalah umum pada praktek
gigi umum dan khusus (Volkov et al. 2009; Preeti et al. 2011; Chavan et al.
2012).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
38
Berdasarkan studi oleh Jurge et al (2006) Recurrent Aphthous Stomatitis
(RAS) adalah suatu kondisi umum dengan tanda khas ulser rekuren pada mukosa
mulut berupa ulser kecil, bulat atau ovoid dan berbatas, dengan pinggiran yang
eritematus disebut halo appearance, dasar berwarna kuning atau abu-abu,
biasanya ulser RAS tertutup selaput kuning keputihan, dan tanpa tanda-tanda
adanya penyakit lain (DeLong & Burkhart 2008; Greenberg, Glick, & Ship 2008;
Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012). RAS umumnya meliputi mukosa bukal dan
labial, dan lesi jarang ditemukan pada bagian yang berkeratin seperti palatum
keras dan gingiva, selain itu juga dapat terjadi pada mukosa orofaring (DeLong &
Burkhart 2008; Greenberg, Glick, & Ship 2008).
Meskipun hanya tampak sebagai ulser yang terjadi secara berulang-ulang,
RAS dapat menjadi sangat mengganggu kenyamanan dan kehidupan normal serta
aktivitas sehari-hari penderita, dimana RAS menimbulkan rasa nyeri, yang
menyebabkan pasien mengalami kesulitan bicara, makan, dan minum (Zunt
2001).
Berdasarkan studi Shafer et al (1997) dan Natah et al (2004), gambaran
mikroskopis ulser aftosa tidak spesifik, sehingga diagnosis juga harus berdasarkan
pada riwayat dan pemeriksaan klinis yang cermat (Preeti et al. 2011). Gambaran
histopatologi RAS berupa limfosit mononuklear yang menginfiltrasi epitel dan
terjadi papula, fase ini disebut fase preulserasi. Rasa nyeri akan timbul dan
semakin parah, papula karena infiltrasi limfosit mononuklear akan bertambah
banyak, kemudian papula tersebut pecah dan menjadi ulser (Jurge et al. 2006).
Berdasarkan studi Shafer et al (1997) dan Natah et al (2004) ulser dikelilingi oleh
membran fibrous, membran mukus dari ulser aftosa menunjukkan nekrosis
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
39
jaringan superfisial dengan membran fibrinopurulen yang menutupi daerah
ulserasi. Epitel diinfiltrasi oleh limfosit, sedikit neutrofil, dan sel plasma, terutama
neutrofil didapatkan langsung di bawah ulser, dan limfosit mononuklear terlihat di
daerah yang berdekatan (Jurge et al. 2006; Preeti et al. 2011).
2.2.2 Epidemiologi Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
Frekuensi ulser aftosa pada populasi umum mencapai sekitar 20%-25%,
dengan tingkat kekambuhan dalam 3 bulan mencapai persentase rata-rata 50%
(Greenberg, Glick, & Ship 2008; Volkov et al. 2009).
Berdasarkan studi oleh Miller et al (1980), penelitian epidemiologi telah
menunjukkan bahwa prevalensi RAS dipengaruhi oleh populasi yang diteliti,
kriteria diagnostik, dan faktor lingkungan. Pada anak-anak, prevalensi RAS
mungkin mencapai 39% dan dipengaruhi oleh adanya RAS pada satu atau kedua
orang tua (Chavan et al. 2012). RAS bisa terjadi pada anak-anak dan frekuensinya
menurun seiring meningkatnya usia (DeLong & Burkhart 2008). Berdasarkan
studi oleh Ship et al (2000) onset RAS biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun,
dimana onset puncak RAS antara usia 10 dan 19 tahun sebelum menurun seiring
dengan usia lanjut, jika pada usia yang lebih lanjut penderita baru mengalami
RAS, maka patut dicurigai adanya faktor sistemik sebagai predisposisi (Zunt
2001; Chavan et al. 2012).
Wanita memiliki kecenderungan terkena RAS lebih tinggi dibandingkan
pria (Zunt 2001; DeLong & Burkhart 2008). Orang kulit putih memiliki
kemungkinan terkena RAS tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan orang
kulit hitam (Jurge et al. 2006).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
40
2.2.3 Etiologi dan Patogenesis Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
RAS merupakan keadaan idiopatik pada sebagian besar pasien (Volkov et
al. 2009). Meskipun banyak etiologi RAS terbaru yang dinyatakan, tetapi tidak
ada satupun faktor etiologi tunggal yang teridentifikasi (Jordan & Lewis 2005),
namun beberapa faktor telah diusulkan sebagai faktor penyebab, antara lain:
2.2.3.1 Infeksi Mikroba
Hipotesis terbaru menyatakan bahwa RAS merupakan respon dari reaksi
autoimun terhadap epitel oral. Reaksi autoimun dapat merupakan reaksi silang,
yang diaktivasi oleh pelepasan heat-shock protein oleh bakteri. Infeksi bakteri
merupakan salah satu faktor yang memiliki keterkaitan dengan RAS, melalui
infeksi sekunder terhadap lesi RAS (Jurge et al. 2006), dan umumnya adalah
bakteri golongan streptococcus, seperti Streptococcus mitis, Streptococcus
pneumonia, Streptococcus sanguis, selain itu terdapat Gemella haemolysans serta
Helicobacter pylori (Filiz et al. 2002; Marchini et al. 2007; Greenberg, Glick, &
Ship 2008; Chavan et al. 2012; Ozturk et al. 2012). Populasi bakteri dari ulser
RAS didominasi oleh bakteri Gemella haemolysans, Streptococcus mitis dan
Streptococcus pneumonia (Marchini et al. 2007).
Streptococcus oral telah dianggap sebagai agen mikroba pada patogenesis
RAS, terutama L-form dari dari α-hemolitik Streptoccocus, yaitu Streptococcus
sanguis, yang selanjutnya diketahui sebagai Streptococcus mitis merupakan agen
penyebab dari penyakit ini. Organisme ini secara konsisten diisolasi dari lesi ulser
aftosa, dan secara histologis morfologi mikroorganisme konsisten dengan bentuk
L-form Streptoccocus dalam sebagian besar lesi aftosa (Shafer, Hine, & Levy
2009; Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012). Mereka mikroorganisme yang secara
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
41
langsung terlibat dalam patogenesis lesi atau sebagai agen yang berfungsi
merangsang produksi antibodi yang akan bereaksi silang dengan mukosa oral, dan
berdasarkan studi Lehner et al (1991) diduga terdapat reaksi silang antara heat
shock protein (hsp) 65-kDa streptokokus dan hsp mitokondria 60-kDa manusia,
hal ini menunjukkan terdapat dasar molekuler dari hubungan antara RAS dan S.
sanguis. Dengan demikian, sesuai dengan studi oleh Porter et al (1998), bahwa
RAS merupakan respon yang dimediasi sel-T terhadap antigen S. sanguis yang
bereaksi silang dengan hsp mitokondria dan menyebabkan kerusakan mukosa oral
(Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012).
Berdasarkan studi oleh Leimola et al (1995) dan Victoria et al (2003),
Helicobacter pylori, bakteri gram negatif, berbentuk S diduga terlibat dalam
etiopatogenesis RAS, karena merupakan faktor risiko umum dari ulser gaster dan
duodenum (Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012). Telah ditemukan penelitian
yang bertentangan, dimana studi yang dilakukan oleh Shimoyama et al (2000),
dan Mravak-Stipetic M et al (1998) menunjukkan bahwa tidak ada frekuensi lokal
H. pylori telah terdeteksi pada individu dengan RAS (Chavan et al. 2012).
2.2.3.2 Faktor Genetik/ Herediter
Berdasarkan studi oleh Sircus et al (1957) dan Scully & Porter (2008),
minimal 40% penderita RAS memiliki riwayat terjadinya RAS pada keluarga
(Jurge et al. 2006; Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012).
Penelitian berdasarkan Ship (1972), bahwa ketika pasien memiliki riwayat
keluarga positif RAS, mereka cenderung untuk terkena RAS pada usia dini,
dengan dimana anak-anak dengan orang tua yang positif RAS memiliki peluang
terkena RAS sebesar 90%, sedangkan peluang terkena RAS dari anak-anak
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
42
dengan orang tua yang negatif RAS hanya 20% (Greenberg, Glick, & Ship 2008;
Chavan et al. 2012). Berdasarkan studi oleh Miller et al (1977), mengenai kembar
identik menunjukkan sifat herediter dari gangguan ini (Chavan et al. 2012).
2.2.3.3 Hormonal
Onset RAS dari sejumlah subjek penelitian juga dipublikasikan terjadi
pada saat pubertas dan 85% berhenti pada saat kehamilan (Zunt 2001). Pada
wanita di masa pra menstruasi bahkan banyak yang mengalami RAS. Keadaan ini
diduga berhubungan dengan faktor hormonal yaitu estrogen dan progesteron. Dua
hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara
mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah
sehingga suplai darah utama ke daerah perifer menurun dan terjadinya gangguan
keseimbangan sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi
sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan
terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi RAS (Adhwa 2009).
Terdapat laporan yang saling bertentangan mengenai hubungan perubahan
hormonal pada wanita dan RAU. Studi dilakukan mengenai hubungan ulserasi
oral dengan onset mestruasi atau pada fase luteal dari siklus mestruasi. Mc Cartan
et al (1992) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara stomatitis aftosa
periode pramenstruasi, kehamilan, atau menopause (Preeti et al. 2011).
2.2.3.4 Stres
Berdasakan studi oleh McCartan et al (1996) dan Soto et al (2004), stres
dan ketidakseimbangan psikologis dikaitkan dengan RAS (Chavan et al. 2012).
Berdasarkan studi oleh Gallo et al (2009) diduga bahwa stres dapat menyebabkan
trauma pada jaringan lunak rongga mulut dengan menyebabkan kebiasaan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
43
parafungsional seperti menggigit bibir atau mukosa pipi dan trauma ini dapat
menyebabkan kerentanan terhadap ulserasi. Studi menunjukkan bahwa kurangnya
korelasi langsung antara tingkat stres dengan tingkat keparahan RAS dan
menunjukkan bahwa stres psikologis dapat bertindak sebagai faktor pemicu atau
modifikasi dibandingkan sebagai faktor etiologi pada pasien yang rentan RAS
(Preeti et al. 2011). Telaah lain yang didapatkan adalah, aktifnya hormon
glukokortikoid pada orang yang mengalami stres dapat menyebabkan
meningkatnya katabolisme protein sehingga sintesis protein menurun, akibatnya
metabolisme sel terganggu dan menyebabkan rentan terhadap rangsangan (Adhwa
2009).
2.2.3.5 Merokok/Tembakau
Menghentikan aktivitas merokok terbukti meningkatkan prevalensi RAS,
pada sebuah penelitian menyatakan bahwa merokok menurunkan frekuensi RAS
sebesar 64% (Zunt 2001). Berdasarkan studi oleh Bookman (1960), Shapiro et al
(1970), dan Grady et al (1992), mekanisme yang mungkin terjadi adalah
kandungan kimia dalam rokok dapat menyebabkan keratinisasi mukosa rongga
mulut, sehingga berfungsi sebagai penghalang mekanik dan protektif terhadap
trauma dan mikroba (Zunt 2001; Preeti et al. 2011). Berdasarkan studi oleh Floto
& Smith (2003), nikotin dianggap menjadi faktor protektif karena merangsang
produksi steroid adrenal oleh aksinya pada aksis adrenal hipotalamus dan
mereduksi produksi tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1 dan 6
(IL-1 dan IL-6) (Preeti et al. 2011).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
44
2.2.3.6 Obat-obatan
Berdasarkan studi oleh Natah et al (2004) dan Akintoye & Greenberg
(2005), obat-obatan tertentu telah dikaitkan dengan perkembangan, meliputi
angiotensin converting enzyme inhibitor captopril, gold salts, nicorandil,
phenindione, phenobarbital, dan sodium hypochloride, terutama NSAIDS dan b-
blockers. NSAID, seperti propionic acid, diclofenac, piroxicam, juga dapat
menyebabkan ulserasi oral yang mirip dengan RAS (Preeti et al. 2011; Chavan et
al. 2012).
2.2.3.7 Hipersensitivitas/Alergi
Berdasarkan studi oleh Akintoye & Greenberg (2005), alergi telah diduga
sebagai penyebab RAS, dan hipersensitivitas terhadap zat makanan tertentu, dan
terhadap mikroba, seperti Streptococcus sanguis, dan heat shock protein mikroba
telah diusulkan menjadi faktor penyebab yang mungkin, meskipun tidak ada bukti
kuat bahwa alergi dan/atau hipersensitivitas merupakan penyebab utama dari
gangguan ini (Chavan et al. 2012).
Berdasarkan studi oleh Eversole et al (1982) dan Nolan et al (1991) reaksi
hipersensitivitas dapat terjadi terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam
pasta gigi, obat kumur, lipstik, atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan
tambalan serta bahan makanan (Pratiknyo & Hendarmin 2007; Chavan et al.
2012). Terutama efek denaturasi dari sodium lauryl sulfate (SLS) yang umum
ditemukan dalam pasta gigi diduga dapat mengikis lapisan mucin oral,
menyebabkan tereksposnya epitel dibawahnya, sehingga membuat individu lebih
rentan terhadap RAS, tetapi berdasarkan studi oleh Akintoye & Greenberg (2005),
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
45
penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan pasta gigi bebas SLS tidak
mempengaruhi perkembangan lesi baru pada RAS pasien (Chavan et al. 2012).
2.2.3.8 Defisiensi Nutrisi
Berdasarkan studi oleh Natah et al (2004) dan Scully & Porter (2008),
defisiensi nutrisi seperti asam folat, zat besi, vitamin B12 ditemukan meningkatkan
prevalensi ulser rongga mulut sebesar dua kali lipat (Jurge et al. 2006; Preeti et al.
2011), selain itu berdasarkan Nolan et al (1991), pada pasien RAS juga ditemukan
kandungan seng, vitamin B1, B2, B6, pada kadar rendah (Chavan et al. 2012).
Temuan bertentangan dalam berbagai studi antara defisiensi hematinic dengan
RAS diakibatkan variasi latar belakang genetik dan kebiasaan diet dari populasi
penelitian (Preeti et al. 2011).
2.2.3.9 Penyakit Sistemik
RAS dapat menjadi penanda dari penyakit sistemik yang ada, seperti
celiac disease (Volkov et al. 2009). Berdasarkan studi dari Orme et al (1990),
Imai et al (1997), Ramos-Gomez et al (1999), Kerr & Ship (2003), Akintoye &
Greenberg (2005), dan Jurge et al (2006), beberapa penyakit berikut ini menjadi
faktor predisposisi RAS; pada Behcet’s disease, ulserasi seperti RAS merupakan
salah satu manifestasi penyakit ini. Berdasarkan Orme et al (1990) dan Imai et al
(1997), pada Magic syndrome yang merupakan varian Behcet’s syndrome juga
ditandai dengan ulser pada mulut dan genital. Berdasarkan studi oleh Jurge et al
(2006), pada pasien dengan Sweet’s syndrome (dermatosis neutrofilik akut)
memiliki ulserasi superfisial yang mirip dengan RAS. Pada PFAPA syndrome,
juga ditandai dengan demam periodik, ulserasi mukosa oral yang mirip dengan
aphthae, faringitis, dan adenitis servikal. Menurut Akintoye & Greenberg (2005),
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
46
pada neutropenia siklik, yang merupakan gangguan langka yang terjadi masa
kanak-kanak, juga terkait dengan ulser oral rekuren selama periode tertentu. Studi
oleh Ramos-Gomez et al (1999), dan Kerr & Ship (2003), pada penderita HIV,
juga terkadang ditemukan adanya ulserasi mirip dengan aphthae, tetapi hal ini
masih belum bisa dipastikan. Berdasarkan Akintoye & Greenberg (2005), ulserasi
mirip dengan aphthae juga dapat menandai penyakit radang usus seperti Crohn’s
disease dan kolitis ulserativa (Chavan et al. 2012).
2.2.4 Klasifikasi Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
Berdasarkan studi oleh Shulman (2004) dan Scully & Porter (2008), RAS
ditandai dengan serangan berulang soliter atau multipel ulser dangkal, dan
menyakitkan pada interval beberapa bulan sampai beberapa hari, pada pasien yang
dinyatakan kondisi kesehatan yang baik (Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012).
Berdasarkan studi oleh oleh Akintoye & Greenberg (2005), lesi terbatas pada
mukosa mulut dan mulai dengan gejala prodromal, yaitu rasa terbakar pada
rentang waktu 2-48 jam sebelum ulser muncul. Dalam hitungan jam, timbul
bentuk papula putih kecil, kemudian ulserasi, dan secara bertahap meluas selama
48-72 jam berikutnya (Chavan et al. 2012).
Tidak semua RAS mempunyai tanda-tanda klinis yang sama. Terlihat
adanya variasi pada ukuran, kedalaman, dan rentang waktu terjadinya ulser
(Greenberg, Glick, & Ship 2008). RAS didiskripsikan menjadi tiga varian klinis
yang berbeda seperti yang diklasifikasikan oleh Stanley pada tahun 1972, yaitu
recurrent aphtous stomatitis tipe minor, recurrent aphtous stomatitis tipe mayor,
dan recurrent aphtous stomatitis tipe herpetiformis (Greenberg, Glick, & Ship
2008; Preeti et al. 2011).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
47
2.2.4.1 RAS Minor (Minor RAS/MiRAS)/Mikuliz’s aphthae/Canker sores
Sebagian besar pasien RAS menderita bentuk minor (MiRAS), yaitu 75%
sampai dengan 85% dari keseluruhan RAS (Jordan & Lewis 2005; DeLong &
Burkhart 2008). Berdasarkan studi oleh Porter et al (1998) dan Akintoye &
Greenberg (2005), MiRAS ditandai dengan satu atau beberapa ulkus dangkal yang
kecil, berbentuk lingkaran atau oval, dengan diameter sekitar 5 mm atau kurang,
dan memiliki pseudomembran berwarna abu-abu/kuning dengan tepi berwarna
merah. MiRAS mengenai bagian nonkeratinisasi pada mulut, seperti mukosa
labial, mukosa bukal, atau dasar mulut. Mukosa berkeratin jarang terlibat dan oleh
karena itu MiRAS jarang ditemukan pada palatum durum, attached gingival, atau
pada dorsum lidah. Ulser MiRAS umumnya akan sembuh 10-14 hari tanpa
jaringan parut, jika dipertahankan dalam keadaan bersih (Cawson, Odel, & Porter
2002; Jordan & Lewis 2005; Chavan et al. 2012).
Gambar 2.3 (A) MiRAS dengan ulser berbentuk lingkaran kecil pada mukosa
labial; (B) MiRAS dengan ulser berbentuk lingkaran dan oval kecil
pada palatum molle (Jordan & Lewis 2005).
A B
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
48
2.2.4.2 RAS Mayor (Mayor RAS/MaRAS)/Periadenitis Mukosa Nekrotika
Rekuren/Sutton's disease
Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita RAS, sesuai dengan
namanya, ciri klinis MaRAS lebih parah daripada MiRAS. MaRAS ditandai
dengan ulser dalam, berbentuk seperti kawah dan berbatas irregular berdiamater
sekitar 1-3 cm, dapat tunggal atau dua hingga tiga disaat yang bersamaan dan
umumnya berlangsung selama 4 hingga 6 minggu (Jordan & Lewis 2005; DeLong
& Burkhart 2008), serta berdasarkan Porter et al (1998) dan Akintoye &
Greenberg (2005), kadang sembuh dengan jaringan parut, karena keparahan dan
sifatnya yang lama (Jordan & Lewis 2005; Chavan et al. 2012). Semua bagian
mulut dapat terkena MaRAS, termasuk pada bagian berkeratin, tapi berdasarkan
Porter et al (1998), Akintoye & Greenberg (2005), dan Cawson & Odell (2008),
RAS umumnya terkena pada bibir, palatum molle, dan tenggorokan, serta mukosa
pengunyahan seperti dorsum lidah atau gingiva dapat sesekali terlibat (Jordan &
Lewis 2005; Preeti et al. 2011; Chavan et al. 2012).
Pengerutan luka mempunyai peranan penting dalam pengurangan volume
jaringan untuk diperbaiki. Sel fibroblast saling melekat satu dengan yang lain,
serta pada bahan dasar disekitarnya, sehingga secara keseluruhannya jaringan
granulasi mengerut dan bersamaan menarik jaringan di sekitarnya. Pada saat yang
bersamaan diproduksi kolagen sehingga terbentuk jaringan parut pada jaringan
yang rusak itu (Underwood & Cross 2009).
Dalam waktu tidak lebih dari 1 bulan, RAS mayor akan terulang kembali.
Karena interval pengulangan yang cukup cepat, maka RAS mayor sering
menimbulkan diskontinuitas dari mukosa rongga mulut penderita dan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
49
ketidaknyamanan dalam aktivitas berbicara dan makan (Cawson, Odel, & Porter
2002). Berdasarkan studi oleh Rogers (1997), demam, disfagia, dan malaise
terkadang dapat terjadi pada awal proses penyakit ini (Scully, Gorsky, & Lozada-
Nur 2003).
Gambar 2.4 MaRAS dengan ulser berbentuk lingkaran besar pada mukosa bukal
(Jordan & Lewis 2005)
2.2.4.3 Herpetiform Aphthous Ulceration (HAU)
Istilah „herpetiformis‟ telah digunakan sejak presentasi klinis ulser
herpetiformis yang mungkin menyerupai herpetik gingivostomatitis, tetapi saat ini
virus golongan herpes belum ditemukan terlibat pada dua bentuk RAS yang ada
(Jordan & Lewis 2005).
RAS tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari semua
kasus RAS (DeLong & Burkhart 2008). Berdasarkan Akintoye & Greenberg
(2005) dan Porter et al. (1998), HAU ditandai dengan ulser multipel rekuren,
dimana ulser memiliki ukuran kecil dengan diameter 2-3 mm, menyakitkan, dan
tersebar luas hingga dapat mencapai 100 ulser, dan dapat bergabung membentuk
ulser besar yang ireguler (Chavan et al. 2012; DeLong & Burkhart 2008). HAU
dapat mengenai mukosa berkeratin dan tidak berkeratin (bagian manapun)
(Cawson, Odel, & Porter 2002; Jordan & Lewis 2005).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
50
Setiap ulser berlangsung selama satu minggu sampai dua bulan dan tidak
akan meninggalkan jaringan parut ketika sembuh (DeLong & Burkhart 2008),
tetapi gabungan dari beberapa ulser yang besar dapat sembuh dengan
meninggalkan jaringan parut. Dalam waktu tidak lebih dari 1 bulan, ulser
herpetiformis akan terulang kembali. Sama seperti RAS mayor, HAU sering
menimbulkan ketidaknyamanan bagi penderita. Berdasarkan Porter et al. (1998)
dan Akintoye & Greenberg (2005), HAU umumnya mengenai wanita, dan onset
dari ulser herpetiformis dapat terjadi pada usia yang lebih lanjut daripada ke dua
tipe RAS yang sebelumnya (Cawson, Odel, & Porter 2002; Chavan et al. 2012).
Gambar 2.5 Ulser herpetiformis dengan ulser lingkaran dan oval kecil multipel
ada palatum molle (Jordan & Lewis 2005).
Tabel 2.8 Klasifikasi Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
(Field & Allan 2003; Field & Longman 2003; Chavan et al. 2012)
Jenis RAS MiRAS MaRAS Ulser Herpetiformis
Usia Onset (dekade)
pertama pertama dan kedua Ketiga
Jumlah 1-5 1-3 5-100 Ukuran < 10 mm > 10 mm 1-2 mm Bentuk oval oval ireguler oval Durasi 7-14 hari 14-90 hari 7-14 hari
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
51
Lokasi utama
mukosa nonkeratinisasi khususnya mukosa bukal, mukosa bibir, ventral lidah, palatum molle, dan pada vestibulum
mukosa nonkeratinisasi, berkeratin, seperti palatum molle, tenggorokan, lidah, mukosa bukal dan labial
mukosa nonkeratinisasi, bagian anterior mulut, ujung lidah, lateral lidah, dan ventral lidah, serta dasar mulut
Jaringan parut
tidak ada ada tidak ada
(kecuali lesi bergabung)
2.2.5 Diagnosis dan Differential Diagnosis Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
Karena etiologi RAS tidak diketahui, diagnosis seluruhnya dilakukan
berdasarkan riwayat dan manifestasi klinis. Tidak ada prosedur labolatoris yang
dilakukan untuk memastikan diagnosis (Volkov et al. 2009). Penyebab lain
ulserasi oral rekuren harus dikesampingkan (Preeti et al. 2011). RAS umumnya
timbul tunggal atau sekelompok ulser yang terasa sakit dengan batasan
eritematous. Lesi sembuh dalam 1-2 minggu, tetapi dapat terjadi berulang dalam
sebulan atau beberapa kali dalam setahun (Volkov et al. 2009).
Dengan mengetahui riwayat kesehatan yang mendetail dan pemeriksaan
klinis, dapat dibedakan RAS dengan lesi akut primer lainnya (contoh: stomatitis
viral), atau dari lesi multipel kronik (contoh: pemfigus atau pemfigoid), atau pada
kondisi yang berhubungan dengan riwayat ulser yang terjadi berulang-ulang,
seperti penyakit yang menyerang jaringan ikat, reaksi obat, atau penyakit
dermatologi. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan klinis umum juga harus
diperhatikan, seperti adanya gejala diskrasia darah, HIV, penyakit yang
menyerang jaringan ikat, seperti lupus, keluhan pencernaan-penyakit radang usus,
lesi kulit, mata, genital, atau rektal yang berhubungan (Greenberg, Glick, & Ship
2008). Hal ini dikarenakan terdapat beragam penyakit sistemik yang
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
52
bermanifestasi dalam rongga mulut berbentuk ulser sehingga sering diidentikkan
dengan RAS, seperti erythema multiforme, lichen planus, mucous membrane
pemphigoid, pemphigus vulgaris, Reiter syndrome, Behcet syndrome, Sprue,
Crohn’s disease, systemic lupus erythematosus, periodic syndrome with fever and
pharyngitis (PFAPA) syndrome (DeLong & Burkhart 2008), Sweet’s syndrome,
cyclic neutropenia, benign familial neutropenia, MAGIC syndrome,
immunodefisiensi primer dan sekunder, acute febrile neutrophilic dermatosis
(Zunt 2001; Jurge et al. 2006).
2.2.6 Perawatan Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
Tidak ada perawatan spesifik terhadap ulser aphtous recurrent, walaupun
selama bertahun-tahun banyak obat telah dianjurkan (Shafer, Hine, & Levy 2009).
Perawatan yang bervariasi telah direkomendasikan untuk tata laksana simptomatik
dari RAS. Untuk meningkatkan perawatan untuk mengurangi rasa sakit dan
membantu menyembuhkan lesi ini, dapat dilakukan identifikasi faktor
predisposisi, seperti penyakit gastrointestinal, menstruasi, dan stres. Tetapi adanya
pengecualian pada penderita dengan defisiensi hematologi, terutama jika pasien
memiliki gejala gastrointestinal, kehilangan darah yang berat saat menstruasi, atau
diet vegetarian. Penyelidikan darah harus dilakukan dengan pemeriksaan darah
lengkap dan vitamin B12, seluruh folat darah, dan level feritin. Selain itu, dapat
juga dikaitkan hubungan antara onset dari ulser dan periode stres fisiologis pasien
(Jordan & Lewis 2005).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
53
2.2.6.1. Terapi Topikal
1) Tindakan Umum dan Diet
Berdasarkan Zouboulis (2003), beberapa jenis makanan harus dihindari, karena
dapat menjadi pemicu aphthae baru, dan memperpanjang durasi lesi (misalnya,
makanan yang keras, asam, asin, atau pedas, serta kacang-kacangan, coklat, jeruk,
minuman yang beralkohol/berkarbonasi). Produk yang mengandung sodium laurel
sulfat dihindari, karena dapat menyebabkan iritasi (Altenburg & Zouboulis 2012).
2) Terapi Fisik
Terapi fisik, seperti debridemen, ultrasound, dan kauterisasi kimia (Jurge et al.
2006). Kauterisasi lokal, dengan aplikasi larutan hydrogen peroxide 0.5%, larutan
silver nitrate 1%-2% merupakan beberapa metode terapi yang digunakan untuk
mereduksi durasi dari aphthae soliter (Altenburg & Zouboulis 2012). Kauterisasi
kimia dapat mengurangi sakit, tetapi tidak memiliki efek menguntungkan lainnya
(Shafer, Hine, & Levy 2009)
3) Anestesi Lokal
Nyeri dapat ditangani menggunakan lidocaine 2% topikal gel, spray, pasta gigi
polidocanol adesif, atau tablet hisap benzokain (Altenburg & Zouboulis 2012).
4) Antiseptik dan Anti-inflamasi
Menurut Piccione (1979), dapat digunakan obat kumur yang kandungannya
diketahui menghambat inflamasi, seperti larutan ekstrak chamomile. Penelitian
juga menunjukkan penggunaan obat kumur chlorhexidine (CHX) pada RAS juga
membantu. Berdasarkan studi oleh Saxen (1999), CHX juga dikemas dalam
bentuk gel atau spray. Triclosan, agen antibakteri spektrum luas juga memiliki
efek antiseptik, anti-inflamasi, dan analgesik, serta didapat dalam bentuk pasta
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
54
gigi, obat kumur. Penelitian mengenai aplikasi topikal diclofenac 3% pada
hyaluronan 2.5% menunjukkan reduksi rasa nyeri yang signifikan (Altenburg &
Zouboulis 2012).
5) Tetracycline
Peneliti menemukan obat kumur tetracycline (250 mg per 5 ml), digunakan
empat kali sehari selama 5-7 hari, menghasilkan respon yang baik, dengan
menghilangkan rasa sakit, mengurangi ukuran lesi dan mengurangi waktu
penyembuhan (Shafer, Hine, & Levy 2009). Menurut Henricsson dan Axell
(1985), karena pH yang asam, pasien dapat mengalami burning sensation
(Altenburg & Zouboulis 2012).
6) Sucralfate
Sucralfate topikal efektif dalam menangani ulserasi RAS (5mL, 4 kali/hari).
Sucralfate memberi efek yang nyaman pada lesi dengan melekat pada jaringan
membran mukus dan membentuk lapisan pelindung pada daerah tersebut
(Altenburg & Zouboulis 2012).
7) Steroid Topikal
Aplikasi dari kortikosteroid topikal dapat dipergunakan, seperti
hydrocortisone, triamcinolon, beclomethasone, atau betamethasone (Jordan &
Lewis 2005), selain itu steroid topikal lainnya seperti triamcinolone acetonide dan
prednisolone (2 kali/hari), diformulasikan sebagai pasta oral, dan umumnya
digunakan untuk perawatan RAS. Manfaat terapeutik juga didapatkan dari obat
kumur yang mengandung betamethasone (Altenburg & Zouboulis 2012). Salep
steroid, 1,5% kortison asetat, diaplikasi secara lokal, dan tablet hisap antibiotik-
hidrokortison asetat menunjukkan sejumlah efektivitas tetapi tidak sebesar
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
55
efetivitas tetracycline (Shafer, Hine, & Levy 2009). Terapi kombinasi dengan
anestesi topikal pada siang hari dan pasta steroid pada malam hari secara luas
dapat diterima sebagai regimen perawatan yang optimal. Injeksi intralesi
triamcinolone (0.1-0.5mL/lesi) juga dapat digunakan (Altenburg & Zouboulis
2012).
8) Penemuan Baru
Berdasarkan Collier et al. (1992), aplikasi dari krim 5-aminosalicylic acid 5%
(3 kali/hari), atau menggunakan pasta gigi yang mengandung amyloglucosidase
dan glucose oxidase dapat mengurangi nyeri dan durasi aphthae. Studi oleh
Taylor et al. (1993), menyatakan penelitian mengenai gel topikal prostaglandin E2
gel dapat mencegah timbulnya aphthae baru pada sejumlah pasien. Menurut
Ussher et al. (2003) dan Kalayciyan et al. (2007), berdasarkan pengalaman
beberapa pasien, putih telur mentah dapat membantu mengurangi ketajaman rasa
sakit RAS. Menariknya, jumlah aphthae dan frekuensi rekurensi menurun selama
merokok dibandingkan dengan fase puasa, data eksperimental menunjukkan efek
anti-inflamasi dari nikotin dan biochanin A pada keratinosit. Berdasarkan Bittoun
(1991), terdapat remisi dari aphthosis selama terapi dengan tablet kunyah nikotin
(Altenburg & Zouboulis 2012).
2.2.6.2. Terapi Sistemik
1) Colchicine
Berdasarkan Fontes et al. (2002), colchicine telah terbukti mengurangi jumlah
dan durasi lesi hingga 63% pada pasien RAS. Direkomendasikan perawatan lebih
dari 6 minggu, diikuti perawatan jangka panjang (tahun) (1-2mg/hari) (Altenburg
& Zouboulis 2012).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
56
2) Pentoxifiline (Scully, Gorsky, & Lozada-Nur 2003; Greenberg, Glick, & Ship
2008).
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik digunakan untuk pengobatan pada pasien dengan
eksaserbasi akut dan pada pasien yang memiliki respon inadekuat pada terapi
colchicine dan pentoxifylline. Prednisolone oral, dapat diberikan 10-30mg/hari
sampai dengan 1 bulan (Altenburg & Zouboulis 2012).
4) Dapsone
Menurut Altenburg et al. (2007), dapsone (100mg/hari) dapat digunakan pada
aphthae oral, namun kekambuhan dapat dengan cepat timbuh setelah pengobatan
dihentikan (Altenburg & Zouboulis 2012).
5) Thalidomide
Thalidomide dosis dibawah standar (100-300mg/hari atau 50mg/hari) dapat
diberikan (Scully, Gorsky, & Lozada-Nur 2003; Greenberg, Glick, & Ship 2008;
Altenburg & Zouboulis 2012).
6) Azathioprine (Scully, Gorsky, & Lozada-Nur 2003)
7) Interferon-alpha (IFN-á) (Scully, Gorsky, & Lozada-Nur 2003)
8) Biologics
Berdasarkan studi oleh Sfikakis et al. (2007), infliximab (5mg/kg) dapat
diberikan secara IV pada interval waktu yang berbeda. Pada beberapa hari awal
setelah dosis pertama, penyembuhan terjadi dengan cepat (Altenburg & Zouboulis
2012).
Pada dasarnya, terapi yang biasa diberikan untuk penderita RAS yaitu terapi
fisik dengan debridemen, ultrasound, kauterisasi kimia, obat kumur antiseptik,
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
57
kortikosteroid topikal, antibiotik, analgesik/anestesi topikal, immunomodulator
sistemik, dan vitamin. Untuk kasus ringan, bisa diberikan antiseptik topikal dan
anestesi yang melindungi ulser dari gesekan dalam rongga mulut saat berfungsi
dan melindungi agar tidak berkontak langsung dengan makanan untuk
mengurangi rasa perih. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan salep yang
mengandung kortikosteroid topikal, dan bila penderita tidak merespon terhadap
obat topikal dapat diberikan obat sistemik (Jurge et al. 2006).
2.2.7 Efek Samping Perawatan Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
Masing-masing obat memiliki efek samping, dan dokter harus
mempertimbangkan manfaat dan resiko pengobatan (Greenberg, Glick, & Ship
2008).
Tabel 2.9 Terapi Recurrent Aphtous Stomatitis yang Perlu Diperhatikan (Scully,
Gorsky, & Lozada-Nur 2003; Scully 2006; Gorsky et al. 2007;
Greenberg, Glick, & Ship 2008; Altenburg & Zouboulis 2012)
Obat Rute Pemberian
Contoh Preparat
Efek Samping Merugikan, Kontraindikasi
Mild disease
Anestesi topikal
Topikal Obat kumur benzydamine Gel lidocaine
Sesekali mati rasa atau terasa menyengat, terkadang timbul reaksi hipersensitivitas
Protektif bioadesif
Topikal Carmellose
(kemungkinan adanya penolakan dari suatu agama terhadap penggunaan gelatin pada carmellose)
Kortikosteroid
Topikal, dalam basis adesif (carmellose), sebagai spray, krim, atau pellet
Pasta gigi triamcinolone hydrocortisone, pellets Krim fluocinonide
Kandidiasis oral (kemungkinan adanya penolakan dari suatu agama terhadap penggunaan gelatin pada carmellose)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA
58
Obat kumur antimikroba
Topikal
Obat kumur chlorhexidine gluconate aqueous/gel chlorhexidine gluconate
Staining pada bagian superfisial gigi
Amlexanox Topikal Preparat pada basis adesif
Terasa menyengat
Tetracycline Topikal Obat kumur
Jika tertelan pada dosis tinggi, tetracycline sistemik menimbulkan perubahan pigmentasi kulit, akumulasi pada tulang dan gigi yang berkembang, gangguan gastrointestinal, alergi, kandidiasis oral, nodosum eritema.
Severe disease
Colchicine Sistemik Gejala gastrointestinal yang nyeri, diare, infertilitas pria
Pentoxifylline Sistemik Nausea
Kortikosteroid Sistemik Tablet/kapsul Peningkatan tekanan darah, hiperglikemia
Dapsone Sistemik Metemoglobinemia
Thalidomide
Sistemik Tablet
Teratogenesitas (kontraindikasi pada kehamilan); neuropati perifer; keluhan gastrointestinal; rasa kantuk; perubahan suasana hati.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI DAYA HAMBAT EKSTRAK ... STACLYN ONGELINA