bab 2 dasar teori - · pdf filemikro dengan rentang frekuensi 2-18 ghz ... wilayah perairan...
TRANSCRIPT
9
BAB 2
DASAR TEORI
2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri
Pengukuran pada satelit altimetri adalah pengukuran jarak dari altimeter satelit
ke permukaan laut. Pengukuran jarak dilakukan dengan memanfaatkan gelombang
mikro dengan rentang frekuensi 2-18 GHz (Chelton et al. 2001). Gelombang mikro
yang digunakan oleh teknologi satelit altimetri tersebut dapat dibagi dalam beberapa
band, yaitu S-band (1.55-4.20 GHz), C-band (4.20-5.75 GHz), X-band (5.75-10.9
GHz), dan Ku-band (10.9-22.0 GHz). Gelombang-gelombang mikro tersebut
kemudian dipancarkan oleh transmitter yang terdapat di altimeter satelit untuk
kemudian dipantulkan oleh permukaan laut dan ditangkap oleh receiver di satelit dan
dicatat waktu tempuhnya oleh jam berakurasi tinggi. Selanjutnya, waktu tempuh
gelombang untuk bolak-balik ke altimeter satelit digunakan oleh Ultra-Stable
Oscillator (USO) yang terdapat pada satelit untuk menghitung jarak antara satelit dan
permukaan laut dengan persamaan :
� = (����)/2 (2.1)
Di mana :
R = jarak antara satelit dengan muka laut sesaat
c = cepat rambat gelombang elektromagnetik
∆t = waktu yang dibutuhkan oleh gelombang untuk kembali ke receiver setelah
dipancarkan
10
Jarak hasil perhitungan tersebut bersama informasi tinggi orbit satelit
digunakan untuk menghitung tinggi muka laut dari bidang ellipsoid referensi.
Sebagai catatan, informasi tinggi orbit satelit diperoleh dari receiver GPS yang
terdapat di satelit (tinggi orbit satelit dinyatakan relatif terhadap ellipsoid referensi
WGS-84). Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan tinggi muka laut dari
ellipsoid referensi (SSH) adalah sebagai berikut :
��� = � � (2.2)
Dimana :
SSH = tinggi muka laut di atas ellipsoid referensi
h = tinggi orbit satelit di atas ellipsoid referensi
R = jarak antara satelit dengan muka laut sesaat
Sedangkan ilustrasi geometri pengukuran satelit altimetri tampak pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Ilustrasi geometri pengukuran satelit altimetri
(sumber: OSTM/Jason-2 Products Handbook)
11
2.2 Karakteristik Fisis Waveform Satelit Altimetri
2.2.1 Waveform satelit altimetri di laut lepas
Sebagaimana telah dipaparkan dalam sub-bab di atas, satelit altimetri
memancarkan gelombang mikro untuk kemudian ditangkap kembali gelombang
pantulannya. Bentuk gelombang pantul satelit altimetri atau waveform sangat
bergantung pada kondisi area pantulannya (footprint). Jika footprint satelit altimetri
berada di wilayah laut lepas, maka waveform altimetri akan menyerupai model
waveform Brown (Gambar 1.2). Sebagaimana tampak dalam Gambar 1.2, model
waveform Brown memiliki tiga bagian utama, yaitu :
a) Thermal noise
Merupakan bagian waveform yang terbentuk saat sinyal gelombang
mikro yang dipancarkan altimeter satelit belum menyentuh permukaan
laut. Thermal noise memberikan efek amplifikasi dengan nilai yang
sama pada kekuatan di seluruh badan waveform atau dengan kata lain
waveform tertranslasi secara uniform kearah vertikal (Khusuma, 2012).
b) Leading edge
Merupakan bagian waveform dimana sinyal gelombang mikro
altimeter pertama kali menyentuh muka laut pada t1 hingga footprint
berbentuk lingkaran penuh dengan luas maksimal pada t2 (Brooks, et
al., 1978). Bagian ini merepresentasikan jarak ukuran dari satelit ke
permukaan laut dihitung berdasarkan bagian tengah leading edge atau
LEP (Khusuma, 2012).
c) Trailing edge
Merupakan bagian waveform setelah mencapai kekuatan maksimal
(footprint berbentuk lingkaran penuh dengan luas maksimal). Bagian
ini berbentuk mendatar cenderung menurun dan merepresentasikan
kondisi permukaan air laut di sekitar titik nadir satelit dan kesalahan
bidik antena (Gommenginger, et al., 2011).
12
Berikut ini adalah ilustrasi hubungan antara penjalaran sinyal gelombang mikro
altimeter, bentuk footprint dan perepresentasiannya dalam waveform satelit altimetri:
Gambar 2.2 Ilustrasi hubungan antara penjalaran sinyal gelombang mikro altimeter, footprint yang
terbentuk dan bagian waveform yang direpresentasikannya (Sumber : Chelton, et al. 1989)
Gambar 2.2 di atas menunjukkan pada saat gelombang altimeter pertama kali
menyentuh permukaan air (ditunjukkan dengan titik) menjadi awal dari bagian
leading edge. Pada gambar tersebut, penjalaran gelombang altimeter
direpresentasikan oleh waveform (Gambar 2.2 bagian bawah), di mana sumbu
vertikal adalah kekuatan dari pantulan gelombang dan sumbu horizontal adalah
waktu.
Thermal noise
Trailing edge
13
2.2.2 Waveform satelit altimetri di wilayah pesisir
Di wilayah pesisir, pemantulan gelombang altimeter tidaklah seperti yang
terjadi di laut lepas, disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a) Pengaruh keberadaan daratan
Adanya sebagian wilayah daratan yang turut memantulkan gelombang
altimeter membuat waveform berbentuk tidak sebagaimana mestinya,
disebabkan oleh bidang pantul daratan memiliki karakteristik khusus
yang berbeda dengan wilayah perairan. Karakteristik khusus tersebut
antara lain nilai reflektansi daratan terhadap gelombang mikro yang
berbeda dari nilai reflektansi lautan/perairan. Selain itu, wilayah daratan
juga memiliki kondisi atmosfer dan geofisik yang berbeda dengan
wilayah perairan sehingga turut mempengaruhi bentuk pantulan
gelombang mikro.
b) Kondisi permukaan laut di wilayah pesisir yang berbeda dengan kondisi
di laut lepas (Deng, 2004).
Kondisi perairan wilayah pesisir seperti perairan teluk dan estuari
cenderung lebih tenang sehingga mengakibatkan kekuatan pantulan
gelombang lebih besar dari kekuatan pantulan di perairan lepas dan
cenderung bersifat outlier. Hal ini tentu saja turut mengganggu
waveform yang terbentuk.
c) Efek kedalaman perairan
Wilayah pesisir pada umumnya memiliki nilai kedalaman perairan yang
relatif dangkal (kurang dari 1000 m). Hal ini mengakibatkan kekuatan
pantulan gelombang mikro yang dihasilkan berbeda (lebih besar
ataupun lebih kecil) dengan kekuatan pantulan di laut lepas pada
umumnya.
d) Geometri garis pantai dan topografi daratan
Bentuk pantai serta kondisi relief topografi daratan yang turut menjadi
bidang pantul gelombang altimetri akan mempengaruhi bentuk
waveform (Gommenginger, et al. 2011)
14
Selain 4 faktor di atas, arah lintasan satelit juga menentukan bentuk waveform
yang dihasilkan. Arah lintasan tersebut dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu :
a) Darat ke laut
b) Laut ke darat
Arah lintasan berpengaruh karena penjalaran pulsa altimeter sedemikian rupa
sehingga sebagian tubuh waveform adalah hasil pantulan daratan dan sebagian yang
lain adalah hasil pantulan dari permukaan air. Gambar 2.3 menunjukkan bagaimana
penjalaran pulsa gelombang elektromagnetik melewati sebagian tubuh air dan juga
daratan. Pada kasus arah lintasan altimetri dari laut ke darat, Gambar 2.3
menunjukkan semakin dekatnya nadir satelit ke garis pantai, semakin banyak gate
waveform yang terkontaminasi oleh pantulan-pantulan non perairan, dimulai dari
gate-gate di trailing edge dan perlahan ke bagian leading edge (Gommenginger, et al.
2011). Banyaknya gate waveform yang terkontaminasi akan bergantung pada
ketinggian muka daratan yang menjadi bidang pantul (Gommenginger, et al. 2011).
Gambar 2.3 Perambatan sinyal altimeter di area pantul yang sebagiannya adalah wilayah daratan,
dilihat dari samping (gambar atas) dan dari atas (gambar bawah). B merupakan nilai bandwidth
altimeter dan c adalah cepat rambat gelombang elektromagnetik.
(Sumber: Gommenginger, et al. 2011)
15
2.3 Satelit Jason-2
2.3.1 Penjelasan umum satelit Jason-2
Satelit Jason-2 adalah misi satelit altimetri yang diluncurkan pada tanggal 20
Juni 2008 dan menjadi bagian dari Ocean Surface Topography Mission (OSTM).
OSTM/Jason-2 merupakan misi kerjasama internasional dari 4 organisasi, yaitu:
a) National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
b) National Aeronautics and Space Administration (NASA)
c) France’s Centre National d’Études Spatiales (CNES)
d) European Organisation for the Exploitation of Meteorological
Satellites (EUMETSAT)
Gambar 2.3.4 Konfigurasi Satelit Jason-2
(Sumber: http://www.altimetry.info/html/missions/jason2/instruments/welcome_en.html)
Satelit ini mengorbit bumi pada ketinggian 1336 km dengan tipe orbit non-sun-
synchronous. Besar sudut inklinasi satelit ini adalah 66° di khatulistiwa dengan
bentuk lintasan seperti pada Gambar 2.5. Hal ini memungkinkannya untuk
mengamati 95 % lautan non-beku di seluruh permukaan bumi. Satelit Jason 2
melintas di atas sebuah titik tertentu di muka bumi setiap 10 hari sekali.
16
Tabel 2.1 Parameter-parameter Jason-2
Parameter-parameter misi Jason-2
Sponsor NASA, CNES, Eumetsat, NOAA
Masa operasi satelit 5 tahun
Aplikasi utama Oseanografi dan perubahan iklim
Tanggal peluncuran 20 Juni 2008
Altimeter Poseidon 3 Altimeter 2 frekuensi :
13,575 GHz (Ku-band) dan 5,3 GHz (C-band)
Semi-major axis 7714,4278 km
Reflektor Kubus 9 sudut
Inklinasi 66 °
Eksentrisitas 0
Perigee orbit 1336 km
Periode orbit 112 menit
Bobot 500 kg (terisi bahan bakar)
Jumlah pass setiap cycle 254
Kecepatan orbit 7.2 km/s
Kecepatan pindai 5.8 km/s
Sumber : http://ilrs.gsfc.nasa.gov/satellite_missions/list_of_satellites/jas2_general.html
Gambar 2.3.5 Lintasan orbit Jason-2
(Sumber: http://www.altimetry.info/html/missions/jason2/orbit_en.html)
17
Satelit ini memiliki fungsi utama untuk mengamati sirkulasi lautan global,
menemukan keterkaitan antara samudera dan atmosfer, meningkatkan prediksi
perubahan iklim global serta mengamati fenomena-fenomena alam seperti El Nino
dan eddies samudera. Satelit ini merupakan kelanjutan dari misi
TOPEX/POSEIDON dan Jason-1, yang memiliki fungsi yang serupa sebagaimana
yang disebutkan di atas.
Satelit Jason-2 membawa beberapa instrumen (Gambar 2.4) untuk menunjang
keberjalanan misi, yakni sebagaimana berikut :
a) CNES Poseidon-3 altimeter b) NASA Advanced Microwave Radiometer (AMR), tiga frekuensi c) CNES DORIS receiver d) NASA GPS receiver e) NASA etroreflector array f) Time Transfer by Laser Link (T2L2) payload
2.3.2 Klasifikasi bentuk waveform satelit Jason-2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gommenginger dkk dengan
menggunakan metode Neural Networks, bentuk waveform satelit Jason-2 dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kelas (Gommenginger, et al. 2011) sebagaimana
tampak dalam Gambar 2.6. Dalam gambar tersebut terdapat beberapa kelas bentuk
waveform yang merepresentasikan kondisi perairan di mana footprint altimetri
terbentuk. Sebagai contoh, bentuk waveform kelas 2 adalah akibat dari pantulan di
air yang relatif tenang seperti teluk, estuari, pelabuhan dan pada perairan pedalaman
(danau, waduk). Contoh lainnya adalah kelas 12, 13, 21 dan 24. Kelas-kelas tersebut
lazim muncul saat satelit altimetri secara simultan merekam suatu wilayah yang
terdapat perairan dan daratan sekaligus. Penggolongan bentuk waveform dalam
kelas-kelas tertentu bermanfaat untuk menentukan metode retracking yang sesuai
dengan waveform tersebut.
18
Gambar 2.36 Klasifikasi bentuk waveform satelit Jason-2
(Sumber: Gommenginger, et al. 2011)