asbab al-nuzul (kontekstualisasi al-maidah 87) - pdf
TRANSCRIPT
Asbab al-Nuzul
KAJIAN KONTEKSTUALISASI;
* Al-Mâidah Ayat 87 *
Dosen Pembimbing :
Dr. Ahmad Khusnul Hakim, MA
Hasrul
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
FAKULTAS USHULUDDIN TAFSIR HADIS
TAHUN AKADEMIK 2012-2013
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
2 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
ASBAB AL-NUZUL;
Kajian Kontekstualisasi
* Al-Mâidah : 87 *
Fakultas Ushuluddin Semester VI
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN
JAKARTA SELATAN 2012-2013
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
3 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
BAB I
PENDAHULUAN
Para penyelidik ilmu-ilmu al-Quran menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan
asbab al-nuzul (alasan pewahyuan) karena memiliki peranan penting dalam memahami pesan
al-Quran sebagai suatu kesatuan. Pesan-pesan al-Quran tidak dapat dipahami secara utuh
jika hanya memahami bahasanya saja tanpa memahami konteks historisnya. Al-Quran harus
dicernah dalam konteks perjuangan Nabi dan latar belakang perjuangannya. Oleh sebab itu,
hampir semua literatur yang berkenaan dengan al-Quran menekankan pentingnya asbab
al-nuzul.1 Terkait hal ini, sejumlah ulama seperti Imam al-Wahidi, Ibnu Daqiqil I’ed dan Ibnu
Taimiyyah menghasilkan kesimpulan bahwa syarat utama memahami kandungan al-Quran
ialah dengan mengetahui asbab al-nuzul.2
Pemahaman asbab nuzul dari keterangan di atas menunjukkan pentingnnya dalam
menafsirkan al-Quran. Upaya sebuah penafsiran sangat dipengaruhi oleh ruang lingkup
waktu dan tempat. Oleh karena itu, kegiatan menafsirkan seyogyanya terus dihidupkan sesuai
dengan suasana dan keadaan. Pada sisi ini, pemahaman atas asbab nuzul sangat diperlukan
untuk dapat mengidentifikasi hakikat turunnya ayat agar dapat diterapkan dalam dinamika
kehidupan sekarang. Pesan-pesan al-Quran yang dipahami akan senantiasa berlaku dalam
setiap suasana dan keadaan, pada tataran praktiknya banyak kesalahpahaman. Hal ini terjadi
karena masih memandang al-Quran dan Tafsir secara absolut. Al-Quran adalah kalamullah
yang tidak mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Adapun yang mengalami
perubahan hanyalah pemahaman atas teks sesuai dengan konteksnya.
Sehubungan term di atas, dalam dunia kontemporer muncullah upaya kontekstualisasi
terhadap ayat-ayat al-Quran. Upaya ini berusaha memahami ayat-ayat al-Quran dan
mengeluarkan hukumnya berdasarkan kondisi kekinian. Kegiatan ini banyak disambut secara
positif oleh kalangan modernis, namun banyak juga yang menolaknya. Kaum modernis
beranggapan bahwa saat ini banyak konservatisme agama yang mulai ditinggalkan karena
desakan perkembangan zaman yang tidak dapat dielakkan lagi. Terlepas dari pertentangan
tersebut, permasalahannya bukanlah pada kegiatannya karena merupakan bagian dari upaya
penafsiran. Titik permasalahnnya hanyalah pada langkah dan cara kontekstualisasinya.
Upaya kontekstualisasi diharapkan dapat memberikan solusi terhadap problematika
kehidupan. Dinamika modern yang ditandai dengan kemajuan dalam berbagai bidang
memunculkan banyak problem baru yang membutuhkan pemecahan secara hukum. Dinamika
ini tidak dapat dihindari dan menjadi tugas kita untuk menyelesaikannya agar eksistensi Islam
tidak tenggelam terbawa arus zaman. Atas landasan ini, makalah ini kami susun dengan
beberapa kontektualisasi ayat yang terlebih dahulu menelaah dan memahami kajian historis
turunnya ayat tersebut. Hal ini senada dengan ugkapan Ahmad Khusnul Hakim, salah satu
pakar tafsir IPTIQ Jakarta bahwa “hari ini, upaya kontekstualisasi banyak dilakukan tetapi
melupakan konteks ayatnya sendiri ketika diturunkan”. Fokus kajian dalam makalah ini
ialah, Q.S. al-Maidah ayat 78 dan Q.S. al-Nur ayat 26.
1 Rosihon Anwar, Ulum al-Quran (Bandung : CV Pustaka Setia, 2010), Cet. II, Hal. 59 2 Jalaluddin al-Suyuti, Samudera Ulum al-Quran “Terjemahan dari judul asli al-Itqan fi Ulum
al-Quran” (Surabaya : PT Bina Ilmu, 2006), Cet. I, Hal. 155
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
4 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
BAB II
PEMBAHASAN SURAH AL-MAIDAH AYAT 87
A. SURAH AL-MAIDAH AYAT 87
اا م ني نااعي م ااإوا اااح ي ااأيكاا ني نااع مايأااأم و ي ااح سااح ﴿يع اااحمينيااأييااااأينااآمينا ا ااح ﴾٧٨:يعأئح
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S.
al-Maidah : 87)
Pesan utama ayat di atas ketika diturunkan memuat peringatan kepada kaum muslimin
terhadap adat dan kebiasaan yang ada sebelum Islam datang. Terdapat beberapa kebiasaan
ketika itu yang menarik minat para sahabat guna mendekatakan diri kepada Allah tetapi
justru menyusahkan diri mereka sendiri. Kritik atas perbuatan beberapa sahabat itulah yang
menjadi salah satu motivasi turunnya ayat di atas yang akan di uraikan lebih lanjut dalam
bahasan asbab al-nuzul ayat ini.
Sebagian ulama tidak melihat adanya hubungan antara ayat di atas dengan ayat
sebelumnya. Tetapi al-Biqa’i menegaskan bahwa dalam ayat yang lalu, Allah memuji ruhbah
atau rasa takut kepada Allah yang mondorong upaya menjauhkan diri dari gemerlapan
duniawi, tetapi praktiknya sering kali pelakunya terlalu ketat sampai meninggalkan yang
mubah padahal manusia adalah makhluk lemah. Sehingga, seringkali kelemahan menghadapi
keketatan itu mengantar kepada kegagalan beragama. Itulah sebabnya, Islam datang melarang
pengetatan beragama seperti itu dengan mengajukan moderasi, tidak melebihkan dan tidak
mengurangi.3 Sementara Musthafa Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat
terdahulu, Allah memuji kaum Nasrani. Mereka adalah orang-orang yang paling dekat
kecintaannya kepada kaum muslimin. Disebutkan, salah satu penyebabnya karena di antara
mereka terdapat para Pendeta dan Rahib. Kemudian kaum muslimin mengira bahwa dalam
hal ini terdapat dorongan untuk melakukan ruhbaniyyah.4
Kaum muslimin ketika itu yang terdiri dari para sahabat yang cenderung
meninggalkan segala kesenangan dunia mengira bahwa ruhbaniyyah merupakan suatu
kedudukan yang akan mendekatkan mereka kepada Allah dan hal itu tidak akan tercapai
tanpa meninggalkan kesenangan yang berupa makanan, pakaian dan wanita. Dengan
demikian, jelaslah bahwa kebiasaan-kebiasaan yang banyak mempengaruhi sahabat dalam
tradisi keagamaan ialah ajaran kaum nasrani yang dijalankan oleh para Pendeta dan Rahib.
Ketika itu, para Pendeta dan Rahib hidup dalam biara yang bukanlah ajaran nabi Isa a.s.
sendiri. Melainkan suatu tardisi agama yang terpengaruh dengan ajaran Paulus. Para Pendeta
dan Rahib hidup di Biara sebagai upaya memencilkan diri karena selalu ditindas dan
dikejar-kejar oleh mazhab Kristen lain yang di akui oleh kerajaan Romawi.5
3 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. IX, Volume 3, hal. 186 4 Mustahfa Maraghi, Tafsir Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1992), Cet. II, JIlid 7, hal. 11 5 Hamka, Tafsir al-Azhar (Singapura: PTE LTD, 2003), Cet. V, Juz 3, hal. 1846
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
5 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
B. ASBAB AL-NUZUL SURAH AL-MAIDAH AYAT 87
Adapun sekilas riwayat-riwayat terkait asbab al-nuzul dari surah al-Maidah ayat 87,
sebagai berikut:
1) Pertama:
آي هعنبنعأأس:ي جاليوىياأيص ىهللع اعس إفقاأ : ىيا ساح هلل ياي ياأغا اااع اايي ااإ )فاازي هلليصااأاي ااإيالااي اخااأييوااآوايتاااحويف يااأيياااأيااآينا اااح
ماأأ أيك هلليإ ح .آلية(و Artinya: Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan lainnya yang bersumber dari Ibnu Abbas
bahwa ada seorang laki-laki datang menghadap nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah,
apabila aku memakan daging timbullah ransangan syahwatku kepada wanita. Oleh karena
itu, daging haram bagiku”. Maka Allah menurunkan ayat ini ( موا طيبوا تحرمووا ال آمنوا الذين أيها يا
...لكم هللا أحل ).6
2) Kedua:
يبنيوج يق نج اح ظغاح بنعثعأ ااإ:يص أبة ن جأي :عأأسبنعني حفيم كي إياخأي هإياقط حيلفأ يوآييفخاإع ى غحعاحهإيلاح واقطعي آكا ،ي أأد ياف.فا يا
Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Jarir dari jalan al-Aufi yang bersumber dari Ibnu
Abbas bahwa beberapa orang sahabat Nabi Saw termasuk di antaranya Usman bin Mazh’un
telah mengharamkan wanita dan daging terhadap diri mereka sendiri. Mereka mengambil
pisau untuk memotong zakar mereka agar syahwat mereka putus dan segala umur di
curahkan untuk beribadah. Maka turunlah ayat tersebut di atas.7
3) Ketiga:
ياق اانوأ يخاعفايعخاأكبانيواج :قااأ عأاأسبانعانصاأي يباايي أايعانيصاغايخاحيمبنع يععبيبح ااإيص أبة ن هطفيآليةهآهي يا يعقاحد ظغح بنعثعأ خ حد
فقاحكآيفاةيبي حيىسأيإألسحدبن ي عاأدساعأياخاأيي ا ياحييفخااإيجأاحي وح يازك حيعخحح هأأ كاائةأل ضفييخا حي قحوأ يط أم نيزك ح ي أخح .فا يا،ي
Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab tarikhnya dari jalan al-Suddi
al-Saqir dari al-Kalbi dari ABi Shalih yang bersumber dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ayat ini
diturunkan berkenaan dengan segolongan sahabat nabi Saw, diantaranya Abu Bakar, Umar,
Ali, Ibnu Mas’ud, Utsman bin Mazh’un, al-Miqdad, bin al-Aswad dan Salim maula Abi
Huzaifa, mereka tidak memakan daging dan gajih, memakai pakaian seorang Pendeta, tidak
mau makan kecuali hanya sekedar untuk kekuatan badan dan mereka akan berdakwah
keliling bumi seperti yang dilakukan oleh para Pendeta. Maka turunlah ayat di atas yang
tidak membenarkan sikap seperti itu.8
6 Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut : Darr al-Kitab al-Araby, 2011), Cet.
V, hal. 102 7 Ibid, hal. 102 8 Ibid, hal. 102-103
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
6 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
Keterangan asbab al-nuzul ayat di atas menunjukkan teguran atas beberapa tindakan
sahabat yang melenceng dan melampaui batas dalam menjalankan ajaran Islam. Berdasarkan
analisa kami dari asbab nuzul ayat ini, ayat ini mencakup semua dari beberapa tindakan
sahabat yang keliru dalam agama. Yaitu, mula-mula mengharamkan apa yang di halalkan
berupa tidak menikmati makanan lezat dan meninggalkan istri mereka. Selanjutnya mereka
giat beribadah sehingga melupakan kesehatannya dan melanggar fitrahnya sendiri.
Sehubungan hal ini, Rasul mengingatkan mereka:
Anas bin Malik berkata: Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi Saw dan
bertanya tentang ibadah. Setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal
itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding
Rasululla, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang
akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam
selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan
berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata,
“Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah
Rasulullah kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku,
demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling
bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita.
Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku”.9
Kemudian yang terakhir, para sahabat banyak yang ingin mencontoh prilaku hidup
para Pendeta dan Rahib.10
Pada titik terakhir inilah, Allah memberikan peringatan dengan
menurunkan surah al-Maidah ayat 87 untuk melenyapkan pemahaman itu. Pada tataran ini
juga sehubungan ayat di atas, Rasulullah menegaskan dalam sabdanya:
ثااأ مسعأعما ،كحن يانأماييصا ىهللع ااعكحن ،عانم ياا ،عنيبميه جم ألع ثامي أيمك،عنيبميي ييأدم،عنميمامإواامالفمامإع اىييأمااأئم ا إبمخ كاأ قااأا إ مينعاأه اك ان كا يااااس إقأ :دع حيمي أوا إامإفام ا
أساط ا إ. اع م فزو ح إبمز و هيأخأ ي﴿عنتييفأجاامأ حه ، م ي ﴾
Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, bahwasanya orang-orang sebelum kalian
binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang
kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka
kerjakanlah semampu kalian”.11
Demikianlah beberapa keterangan sekilas latar belakang historis turunnya ayat di atas.
Penegasan dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman agar tidak
menghalangi diri dengan jalan bernazar, sumpah atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang
baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan. Di samping itu, jangan melampaui
batas kewajaran walaupun berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepadanya,
sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang mengharamkan apa yang halal.12
9 Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1987), Cet. I, JIlid 7, hal. 2 10 Kamal Faqih, Tafsir Nurul Quran (Jakarta: Al-Huda, 2004), Cet. I, Jilid V, hal. 3 11 Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1987), Cet. I, Jilid. 9, hal. 117 12 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. IX, Volume 3, hal. 186-187
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
7 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
C. KONTEKSTUALISASI SURAH AL-MAIDAH AYAT 87
Setelah mengetahui asbab al-nuzul dan memahami konteks ketika turunnya ayat di
atas, uraian berikut berupaya menjelaskan upaya kontekstualisasinya dalam kondisi kekinian.
Terkait ayat di atas, penulis menyimpulkan terlebih dahulu beberapa motivasi konteks
ayatnya ketika diturunkan, diantaranya:
1) Banyak di antara sahabat yang mengharamkan terhadap apa yang dibolehkan atau
dihalalkan dalam menjalankan agama;
2) Beberapa sahabat memasakan diri mereka dalam menjalankan ajaran agama yang
hakikatnya justru bertentangan dengan kodrat manusia;
3) Diantara sahabat ada yang fokus pada kehidupan ukhrawi sehingga melupakan kehidupan
duniawi dan tanggung jawab sosialnya;
4) Beberapa praktik agama sebelum Islam datang yang menarik minat sahabat karena
menekankan pengucilan diri dari kehidupan duniawi.
Itulah beberapa pesan utama yang dijadikan landasan dalam upaya kontekstualisasi
ayat tersebut. Hal ini sangat perlu dan signifikan agar dapat menetukan hukum secera tepat
dan proporsional. Berangkat dari pemahaman ayat di atas, penulis melihat peran penting
asbab al-nuzul untuk memahami ayat tersebut, apalagi usaha untuk
mengkontekstualisasikannya. Tanpa pemahaman asbab ap-nuzul, sekilas terbayang dalam
benak kita bahwa cakupan kata ( بوا طي ) dalam ayat ini hanya terbatas pada makanan dan
minuman saja. Apalagi ayat setelah disebutkan perintah untuk makan hal-hal yang halal
dan baik. Namun dengan mengetahui konteks historis turunnya, jelaslah maksud
kandungan dan pesannya. Berikut beberapa analisa kami terkait upaya kontekstualisasi Q.S.
al-Maidah ayat 87:
a) Mengharamkan Apa yang Dihalalkan Allah
Terlihat jelas bahwa pesan ini sangat ditekan dalam ayat tersebut. Hal ini terlihat
dengan ungkapan ayat setelahnya:
معن مايأاأك ح كالا إ ي نع ما ح بمعميياا إينآميي نعوانق حأ زق ﴾٧٧:يعأئح سح ﴿
Artinya:Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari rezeki Allah dan
bertakwalah kepada-Nya yang kamu beriman kepada-Nya. (Q.S. al-Maidah : 88)
Dalam kondisi sekarang, nampak hal ini masing terdapat sekarang dan
mungkin menjelma dengan bentuk yang berbeda-beda. Menurut pendapat kami,
berbagai reaksi dalam memvonis tentang halal/haramnya sesuatu tampa mengetahui
dalihnya termasuk pesan ayat ini. Term ini mencakup orang-orang yang yang selalu
membid’akan syi’ar-syi’ar agama, seperti maulidan, ziarah kubur dan lain-lain.
Kategori ini juga mencakup orang-orang yang mengharamkan sesuatu karena
terpengaruh pandangan nalarnya karena belum adanya kepastian padanya. Sebagai
contoh, nabi sendiri pernah mengharamkan madu atas dirinya karena menganggap
bahwa lebah madu tidak selektif dalam mengumpulkan sari-sari bunga.13
Allah pun
menegur nabi atas tindakan tersebut. Terkait hal ini, ilmuwan mutakhir
membuktikan bahwa lebah adalah serangga yang sangat bersih dan selektif serta
tidak suka dengan bunga yang membusuk.
13 [Lihat Shahih Bukhari, No. Hadis 5268], Bab “ م ل م أحل ما تحر لك هللا ”
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
8 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
b) Menjalani Hidup Sesuai Kodrat Penciptaan
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki bentuk paling
sempurna. Manusia terdiri dari ruh dan jasad yang satu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Artinya, manusia seharusnya menjalani hidup ini sesuai dengan kodrat
penciptaanya. Manusia adalah makhluk rohani, namun jangan sampai sisi ini
membuatnya untuk mengorbankan kehidupan dunianya, seperi tidak menikmati
makanan lezat, atau bahkan memotong zakarnya dan lain-lain. Inilah salah satu
motivasi turunnya ayat 78 dari surah al-Maidah untuk mengingatkan beberapa
sahabat. Namun, manusia juga adalah makhluk jasmani yang membutuhkan
makanan dan minuman serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Pada konteks kekinian,
manusia justru berlomba-lomba dalam urusan jasmani tanpa memperdulikan sisi
rohaninya yang menjerit kesakitan. Situasi ini tentu bertentangan dengan pesan
surah al-Maidah ayat 78.
c) Meraih Kehidupan Akhirat tanpa Memperdulikan Hak dan Kewajibannya
Salah satu asbab al-nuzul surah al-Maidah ayat 78 yang telah disebutkan di
atas ialah terdapat sahabat yang memfokuskan untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Bahkan mereka mengharamkan daging dan wanita yang dinilai dapat
membuatnya lalai. Upaya mereka tersebut kemudian ditegur dengan turunnya ayat
ini dan beberapa hadis Rasulullah Saw, dianataranya:
إ م ن ياف خم إ م نكقأألم عا ام إ م نكقأألم ه م ص ح ح،يأ حفص ح،كقأألم انأفا اس،يفطم ن مك اأي ا إن:فاقأي ح،س اناااأوا قا ".ينس ح م عييا يا أوانأا اأصحن
Artinya: Sesungguhnya diri kalian mempunyai hak, mata kalian mempunyai
hak dan keluarga kalian mempunyai hak. Sebab itu, lakukanlah shalat, jalanilah
puasa dan berbukalah. Sebab, tidak termasuk dalam umat kami orang yang
meninggalkan sunnah kami. Mereka berkata, “Ya Allah, kami membenarkan dan
mengikuti apa yang Engkau turunkan bersama Rasul”.14
Dalam konteks kekinian, tidak sedikit orang yang berdaliah atas nama
agama tetapi justru bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Bahkan lebih
dari itu, banyak aliran dalam Islam sendiri yang mengatasnamakan dakwa, tetapi
melupakan kewajibannya dan tanggung jawab sosialnya, Nauzu bi al-Lillah !!!
Singkatnya, usaha dan aktifitas adalah suatu keharusan hidup. Kita tidak
akan pernah memetik panen jika kita mengasingkan diri dari kehidupan. Allah telah
menyatakan ( موووواتح ال أحووول موووا طي بوووا ر لكوووم هللا ), jika kita melanggar ayat ini berarti kita
telah mengambil alih tugas pensyariatan dan kita telah melanggar hak-hak Allah
dalam menentukan mana yang halal dan mana yang haram. Bukankah orang yang
ingin berkonsentrasi dalam ibadah juga membutuhkan makanan sebagai sumber
kekuatan dan energi. Misalanya, kita makan nasi dan dan tahukah kita sumber nasi
itu? Benar bahwa seorang untuk mendapatkan beras yang kemudian menjadi nasi
cukup datang ke toko. Tapi sebenarnya, nasi itu berasal dari proses yang panjang.15
Semua dinamika ini mununtut kita agar tidak menafikan kehidupan duniawi.
14 Mustahfa Maraghi, Tafsir Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1992), Cet. II, JIlid 7, hal. 13 15 Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi (Medan: Duta Azhar, 2006), Cet. I, Jilid 4, hal.
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
9 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
BAB III
ANALISIS DAN KESIMPULAN
A. ANALISIS
Surah al-Maidah ayat 87 di atas secara garis besar menyampaikan du pesa utama,
yaitu larangan mengharamkan yang baik-baik dan berlebihan dalam menggunakannya, serta
larangan melampaui yang baik-baik sampai kepada yang diharamkan. Sesungguhnya
pengharaman hal-hal yang baik dan penyiksaan diri termasuk peribadatan yang pernah di
lakukan oleh orang-orang Yahudi dan Yunani Kuno. Kemudian, hal itu ditiru oleh ahli kitab,
terutama kaum Nasrani. Mereka telah mengharamkan secara keras dan ekstrim atas dirinya
atas apa-apa yang tidak diharamkan oleh kitab-kitab suci.16
Tat kala Islam datang dan Allah mengutus nabi-Nya, Muhammad Saw sebagai
penutup para nabi. Allah membolehkan melalaui lisan nabi-Nya untuk mengenakan
perhiasan, dan memakan yang baik-baik, membimbing mereka supaya memberikan hak
kepada badan dan ruh sekaligus. Karena itu harus ada keseimbangan antara keduanya.
Perlu dicatat bahwa larangan yang terdapat dalam ayat di atas bukan berarti larangan
secara mutlak. Boleh saja seseorang menghalangi dirinya memakan makanan atau melakukan
aktivitas yang menyenangkan selama dalam batas-batas yang tidak berlebihan atau selama
bukan dimaksudkan sebagai bagian dari ajaran agama. Mungkin boleh saja dimaksudkan
sebagai upaya dalam rangka menghadapi masa datang yang boleh jadi suram. Dan tentu lebih
boleh lagi menghalangi diri untuk makan makanan yang halal lagi enak atau melakukan
aktivitas halal yang menyenangkan jika hal tersebut berdampak negatif terhadap kesehatan
atau jiwa seseorang.17
B. KESIMPULAN
Hikmah yang terdapat dalam larangan ini bahwa Allah menyukai bila hamba-Nya
menggunakan nikmat-nikmat yang dilimpahakn kepada mereka, lalu mereka bersyukur
kepada-Nya atas semua itu. Allah tidak menyukai bila hamba-Nya menjadi pengecut terhadap
syari’at yang telah digariskan bagi hamba-Nya sehingga mereka melampaui batas dengan
mengharamkan apa-apa yang tidak diharamkan-Nya. Berikut beberapa kesimpulan dari
uraian di atas:
Islam ialah agama fitrah yang melarang pengasingan diri dan kependetaan atau
melakukan perbuatan berlebih-lebihan (ifrath) dan kekeurangan (tafrith);
Seorang muslim harus tunduk kepada perintah Allah SWT. Kaum muslimin
diharamkan mengubah sesuatu yang halal menjadi haram, begitu pula
sebaliknya;
Makanan, pakaian dan semua kesenangan yang dihalalkan telah dibuat untuk
keperluan umat manusia;
Perintah untuk berhati-hati dalam setiap sesuatu agar jangan sampai berlebihan
atau melampaui batas; dan
Kaul, janji dan sumpah yang bertentangan dengan larangan yang sudah jelas
yang dertdapat dalam ayat al-Quran, tidaklah berharga dan tidak sah.
16 Mustahfa Maraghi, Tafsir Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1992), Cet. II, JIlid 7, hal. 13 17 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. IX, Volume 3, hal. 186-187
Kajian Kontekstualisasi Ayat al-Quran | Asbab al-Nuzul
10 Oleh : Hasrul – NPM : 10.31.0264
REFERENSI
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kairo: Darr al-Sya’ab, Cet. I, 1987
Al-Suyuti, Jalaluddin. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Beirut: Darr al-Kitab al-Araby,
Cet. V, 2011
Al-Suyuti, Jalaluddin. Samudera Ulum al-Quran “Terjemahan dari judul asli al-Itqan
fi Ulum al-Quran”, Surabaya: PT Bina Ilmu, Cet. I, 2006
Anwar, Rosihon. Ulum al-Quran, Bandung : CV Pustaka Setia, Cet. II, 2010
Faqih, Kamal. Tafsir Nurul Quran, Jakarta: Al-Huda, Cet. I, 2004
Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura: PTE LTD, Cet. V, 2003
Maraghi, Mustahfa. Tafsir Maraghi, Semarang: Toha Putra, Cet. II, 1992
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. IX, 2007