sejengkal tanah setetes darah - gagakseta-2 · gambar sampul & gambar dalam ki adi suta tahun...
Post on 24-Nov-2020
95 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH
JILID 17
OLEH
PaneMbahan Mandaraka
Gambar sampul & Gambar dalam
Ki Adi Suta
Tahun 2019
Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas
i
Cerita ini ditulis
Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa
Yang telah menggali cerita
Dari bumi yang tercinta
Walaupun yang disajikan ini jauh dari
sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang
Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah
karya Untuk dilestarikan sepanjang masa
Sekar keluwih, November 2019
Terima kasih atas dukungan: Istri dan anak-anak tercinta
Serta handai taulan semua
ii
Dengan jantung yang semakin berdebaran Glagah Putih melalui
ketajaman pendengarannya terus mengikuti gerak yang sangat
lembut itu. Dan kini Glagah Putih dapat menduga bahwa orang
atau apapun itu pasti sekarang sudah berada di halaman belakang
banjar, beberapa tombak di belakangnya.
Menyadari orang yang berada beberapa tombak di belakangnya
bisa saja setiap saat berlaku curang, Glagah Putih pun akhirnya
memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya. Setelah
menambatkan tali senggot itu pada pathok di sebelah perigi,
Glagah Putih pun segera membalikkan badannya.
Dengan langkah satu-satu, anak laki-laki Ki Widura itupun
kemudian mendekati pohon-pohon serta gerumbul perdu yang
banyak tumbuh bertebaran di dekat dinding belakang banjar.
Ketika jaraknya kira-kira tinggal empat tombak dari dinding
belakang banjar, langkah Glagah Putih pun terhenti. Sejenak
dipandanginya gerumbul perdu dan batang-batang pohon yang
tampak masih remang-remang di ujung pagi. Sambil
mengetrapkan aji sapta pandulu setinggi-tingginya, pandangan
mata Glagah Putih pun segera menangkap sebuah bayangan yang
tampak hampir melekat pada sebatang pohon.
“Sudahlah Ki Sanak, tidak usah bermain petak umpet,” berkata
Glagah Putih kemudian sambil bergeser beberapa langkah
mendekat, “Kita bukan kanak-kanak lagi. Segera tunjukkan
dirimu dan sampaikan apa kepentingan Ki Sanak di pagi-pagi
begini memasuki banjar dengan cara yang tidak sewajaranya.”
Tidak terdengar jawaban sama sekali. Hanya terdengar kicau
burung yang bersahut-sahutan menyambut datangnya Matahari
pagi.
1
Kembali Glagah Putih menajamkan penglihatannya. Namun
alangkah terkejutnya adik sepupu Ki Rangga Agung Sedayu itu.
Ternyata bayangan yang terlihat beberapa saat tadi melekat pada
sebatang pohon beberapa tombak di hadapannya, kini sudah tidak
tampak lagi. Dengan jantung yang berdebaran Glagah Putih pun
berusaha untuk mengerahkan kemampuan aji sapta pandulu.
Diedarkan pandangan matanya ke sekeliling, namun usahanya
terlihat sia-sia.
“Gila!” geram Glagah Putih dalam hati dengan jantung yang
semakin berdebaran, “Begitu cepatnya dia berpindah tempat
tanpa sepengetahuanku. Agaknya orang ini memang sengaja
mempermainkan aku.”
Berpikir sampai disitu, Glagah Putih bermaksud untuk mencari
tempat yang lebih lapang. Jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan, dia harus siap untuk menghadapinya.
Dengan bergegas Glagah Putih segera membalikkan badan dan
kemudian berjalan ke tempat yang lebih lapang di belakang dapur.
Namun baru saja dia melangkah selangkah dua langkah, tiba-tiba
pendengaran Glagah Putih telah dikejutkan oleh suara tawa
perlahan dari arah belakangnya. Suara tawa itu terdengar sangat
perlahan-lahan namun bagi Glagah Putih yang mempunyai
pendengaran sangat tajam, segera dapat mengenalinya dengan
sangat jelas.
Dengan cepat Glagah Putih segera berbalik dengan kesiap-siagaan
yang tinggi. Namun terasa dadanya terguncang ketika melihat
sesosok bayangan yang muncul justru dari balik pohon tempatnya
semula bersembunyi.
2
“Hem!” desah Glagah Putih kemudian dalam hati sambil
memandang tajam ke arah bayangan yang bergerak mendekat,
“Aku tadi memang tidak melihat dia berpindah tempat dari pohon
itu ke tempat lain. Agaknya dia hanya bergeser dengan sangat
cepatnya ke belakang pohon sehingga pandangan mataku telah
tertipu. Sebuah permainan petak umpat yang lumayan bagus.”
Namun Glagah Putih tidak sempat berangan-angan lebih jauh
karena bayangan itu telah semakin dekat.
“Anak muda yang luar biasa!” terdengar bayangan itu berdesis
perlahan sambil melangkah mendekat.
Glagah Putih yang melihat bayangan itu semakin dekat segera
dapat melihat seraut wajah yang belum dikenalnya sama sekali.
Sebuah wajah yang terlihat belum seberapa tua dengan kumis
tipis dan tanpa jenggot sama sekali.
Ketika orang yang umurnya terlihat sudah melewati setengah
abad itu tinggal lima langkah saja dari Glagah Putih, dia segera
menghentikan langkahnya dan kemudian berdiri tegak dengan
kedua kaki yang renggang sambil menyilangkan kedua tangannya
di depan dada. Sebuah sikap yang sangat mendebarkan.
“Maafkan aku, Kiai,” Glagah Putihlah yang mendahului membuka
percakapan begitu dilihatnya orang tua itu hanya berdiri diam,
“Sepertinya kita belum pernah bertemu?”
“Memang,” jawab orang itu serta merta dengan suara yang datar,
“Kita berjumpa baru kali ini namun aku mengakui, engkau adalah
seorang anak muda yang lain dari pada yang lain,” orang itu
berhenti sebentar. Lalu, “Orang lain belum tentu dapat
mengetahui kehadiranku di belakang banjar padukuhan ini.
Namun engkau yang terhitung masih muda sudah dapat
3
menangkap getaran akan kehadiranku. Benar-benar seorang anak
muda yang luar biasa.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya tenyata
benar. Di ujung pagi ini ternyata ada seseorang yang telah
mencoba memasuki banjar padukuhan induk Matesih itu dengan
cara yang tidak sewajarnya, entah untuk tujuan apa.
“Kiai,” berkata Glagah Putih kemudian, “Aku memang dapat
mendengar langkah-langkah Kiai memasuki halaman belakang
banjar padukuhan ini. Itu mungkin bukan karena kemampuan
pendengaranku yang tajam, namun aku kira Kiai yang terlalu
ceroboh sehingga langkah-langkah Kiai dapat terdengar oleh
orang kebanyakan seperti aku ini.”
“Omong kosong!” terdengar orang itu menggeram, “Jangan
mencoba meremehkan pengamatanku. Engkau mencoba
mengelabuhi aku dengan cerita ngayawara itu. Aku tahu, engkau
pasti mempunyai kepercayaan diri yang tinggi sehingga sampai
saat ini engkau masih berani berdiri di hadapanku tanpa berteriak
memanggil pengawal yang sedang bertugas jaga untuk meminta
pertolongan.”
Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar
ucapan orang itu. Sementara Matahari belum benar-benar terbit.
Masih ada beberapa saat untuk benar-benar Matahari
memancarkan sinarnya ke muka bumi.
“Kiai,” berkata Glagah Putih kemudian, “Aku sampai saat ini
masih berdiri di sini bukan berarti aku merasa orang yang berilmu
tinggi, namun sebagai seorang tamu yang telah diberi tempat
berteduh oleh Ki Gede, aku berkewajiban ikut menjaga keamanan
di banjar ini.”
4
“He? Apa katamu?” seru orang itu dengan wajah keheranan,
“Engkau hanya salah seorang tamu di sini?”
“Benar, Kiai,” jawab Glagah Putih cepat, “Kami rombongan
berlima memang telah menjadi tamu Ki Gede dan dipersilahkan
untuk menginap di banjar ini.”
Untuk sejenak tampak kerut-merut di kening orang. Namun
kemudian justru tawanya yang terdengar berkepanjangan.
Katanya kemudian setelah tawanya reda, “Alangkah bodohnya,
aku. Ternyata engkau adalah salah satu rombongan Ki Rangga
Agung Sedayu yang telah berhasil membantu Ki Gede Matesih dan
pasukan pengawalnya menghancurkan padepokan Sapta
Dhahana. Pantas engkau memiliki kepercayaan diri yang begitu
tinggi.”
Sekarang giliran kening Glagah Putih yang berkerut-merut. Bertanya Glagah Putih kemudian, “Maafkan aku Kiai. Dari mana Kiai mengetahui kalau rombongan Ki Rangga bermalam di sini?”
“Ah, semua orang di perdikan Matesih ini mengetahuinya!”
potong orang itu cepat, “Hampir setiap mulut di perdikan Matesih
ini dengan bangganya membicarakan pahlawan-pahlawan mereka
yang telah berhasil menghancurkan padepokan Sapta Dhahana,
dan mereka juga mengetahui bahwa kalian sedang bermalam di
banjar ini.”
Kembali Glagah Putih menarik nafas panjang. Orang ini agaknya
memang dengan sengaja telah mendatangi banjar padukuhan
induk untuk menjumpai rombongan Ki Rangga, entah untuk
tujuan apa.
“Nah, anak muda. Jika memang benar engkau adalah bagian dari
rombongan Ki Rangga, sebut namamu dan juga peranmu dalam
5
rombongan itu. Sebagai juru dang atau justru hanya sebagai
seorang pekatik yang mengurusi kuda,” berkata orang itu
kemudian dengan nada yang setengah mengejek.
Seleret warna merah menghiasi wajah Glagah Putih, namun hanya
sebentar. Jawab Glagah Putih kemudian, “Memang aku bekerja
serabutan dalam rombongan Ki Rangga ini. Kadang mengurusi
makanan, kadang juga memandikan kuda dan sekalian
merumput,” Glagah Putih berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian,
“Namun yang jelas, aku menjadi bagian dari rombongan Ki
Rangga karena Ki Rangga memang mengajak aku untuk ikut
serta.”
“He? Ki Rangga mengajakmu?” kembali orang itu bertanya
dengan nada heran. Lanjutnya kemudian, “Memangnya ada
hubungan apa engkau dengan Ki Rangga?”
Glagah Putih menarik nafas panjang sebelum menjawab. Ada
sedikit kejengkelan yang mulai merayapi hatinya menghadapi
sikap orang itu. Maka katanya kemudian dengan suara perlahan
namun cukup jelas di telinga orang itu, “Namaku Glagah Putih.
Aku adalah adik sepupunya dan sekaligus muridnya.”
“He?” untuk kesekian kalinya orang itu terkejut. Namun dengan
cepat dia kembali tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Luar biasa. Ternyata engkau
adalah adik sepupu sekaligus murid Ki Rangga,” orang itu
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Baiklah Glagah Putih.
Tadi aku sudah melihat sendiri kemampuanmu dalam
mengetrapkan panca indera mencari tempat persembunyianku.
Nah, sekarang aku ingin menguji kekuatan batinmu. Aku akan
melepaskan ilmuku untuk menguji katahanan jiwamu. Bersiaplah
jika tidak ingin engkau terkapar di atas tanah tanpa arti.”
6
Selesai berkata demikian orang itu segera menundukkan
kepalanya dengan kedua tangan tetap bersilang di dada. Hanya
sekejap dan orang itu sudah kembali ke sikapnya semula.
Glagah Putih sempat terheran-heran melihat sikap orang yang
bediri beberapa langkah saja di hadapannya itu. Dia belum dapat
merasakan akibat ilmu yang telah dilepaskan oleh orang itu.
Namun Glagah Putih tidak sempat berpikir lebih jauh ketika tiba-
tiba saja telinganya tidak mampu lagi dengan jelas mendengar
kicau burung yang ramai bersahut-sahutan menyambut sinar
Matahari pagi. Sementara rasa kantuk yang luar biasa dahsyat
telah menyergapnya dan hampir menghilangkan separo dari
kesadarannya.
“Gila!” tanpa sadar Glagah Putih berteriak sedikit keras sambil
menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk
mengusir rasa kantuk yang sedang mencengkeram otaknya, “Ilmu
sirep! Ini pasti ilmu sirep!”
Terdengar orang itu tertawa terkekeh kekeh. Katanya kemudian,
“Memang mirip dengan ilmu sirep. Pengaruh ilmu sirep akan
pudar sejalan dengan sinar Matahari yang pertama menyentuh
bumi, namun ilmuku ini tidak. Kapan saja aku menghendaki, aku
dapat melepaskannya untuk lawan-lawanku sehingga mereka
akan terkapar tanpa aku harus susah payah menundukkannya.”
Diam-diam Glagah Putih mengeluh dalam hati. Perasaan kantuk
itu memang terasa bagaikan melumpuhkan kesadarannya. Namun
dengan berbekal segala ilmu olah kanuragan jaya kawijayan yang
telah dipelajarinya dari aliran Ki Sadewa melalui kakak sepupunya
serta ilmu yang diperoleh dari gurunya Ki Jayaraga, Glagah Putih
masih mampu mempertahankan kesadarannya, walaupun tidak
sepenuhnya.
7
“Gila!” kembali Glagah Putih menggeram dalam hati, “Rasa-
rasanya angin yang bertiup lembut ini mulai menutup segenap
panca inderaku dan melumpuhkan syaraf kesadaranku.”
Namun Glagah Putih tetap bertahan. Dengan cepat dia berusaha
bergerak, bergeser dari tempatnya semula agar aliran darahnya
tidak membeku.
Melihat apa yang dilakukan oleh Glagah Putih, orang itu tertawa
pendek sambil berkata, “Sebuah usaha yang bagus untuk
memperlancar peredaran darahmu. Tapi tidak akan bertahan
lama, engkau segera terkapar tak sadarkan diri di halaman
belakang banjar ini.”
Namun Glagah Putih tidak menyerah mendapat serangan dahsyat
yang dapat merampas kesadarannya itu. Segera dipusatkan
segenap nalar dan budi untuk mengungkapkan tenaga cadangan
agar dapat melindungi seluruh panca indera dan kesadarannya.
Agaknya Glagah Putih mulai berhasil namun tidak sepenuhnya.
Pusat semacam ilmu sirep itu hanya beberapa langkah saja di
hadapannya sehingga kekuatan yang membelenggu kesadaran
Glagah Putih benar benar ngedab-edabi.
“Menyerahlah anak muda,” berkata orang itu kemudian sambil
tertawa terkekeh kekeh, “Aku tidak akan membunuhmu.
Percayalah, aku tidak akan membunuhmu, karena engkau adik
sepupu dan sekaligus murid Ki Rangga. Aku akan mebawamu ke
padepokanku di laut selatan dan akan kujadikan dirimu sebagai
barang taruhan.”
“Barang taruhan?!” ulang Glagah Putih dengan suara yang hampir
tenggelam. Namun Glagah Putih tidak putus asa. Sambil terus
berusaha meningkatkan tenaga cadangan untuk melawan
8
pengaruh rasa kantuk yang mencengkeram kesadarannya, Glagah
Putih terus memutar otak untuk mengatasi ilmu lawan yang tidak
kasat mata itu.
“Ya,” jawab orang itu kemudian sambil tertawa terkekeh-kekeh,
“Engkau akan kujadikan barang taruhan untuk memancing Ki
Rangga mendatangi goa Langse di laut selatan.”
Untuk sejenak wajah Glagah Putih menunjukkan keheranan.
Sambil tetap mengerahkan kemampuannnya bertahan dari rasa
kantuk yang rasa-rasanya semakin tak tertahannkan, dia bertanya
dengan suara yang terdengar sayup-sayup, “Untuk apa Kiai
mengharap Ki Rangga datang ke goa Langse?”
Kembali terdengar orang itu tertawa, kali ini lebih keras dan lebih
panjang. Jawabnya kemudian, “Untuk menggali liang kuburnya
sendiri. Karena aku akan membunuhnya.”
Gemetar sekujur tubuh Glagah Putih menahan kemarahan yang
tiada taranya. Tiba-tiba terbesit sebuah akal untuk memusnahkan
pengaruh sirep dari orang yang berdiri hanya beberapa langkah
saja di hadapannya. Tidak ada cara lain untuk memusnahkan
pengaruh sirep itu selain memadamkan sumbernya.
Berpikir sampai disitu, dengan sisa-sisa kesadarannya, segera saja
ditrapkan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga. Ilmu yang dapat
digunakan untuk menyerang pada jarak tertentu yang
berlandaskan pada inti kekuatan bumi, air, udara dan api.
Sejenak kemudian, tanpa ancang-ancang Glagah Putih segera
menghentakkan kekuatan ilmunya melalui kedua telapak tangan
yang terbuka dan terjulur ke depan. Namun karena kesadaran
Glagah Putih tinggal hampir separohnya saja, maka pemusatan
9
nalar dan budi Glagah Putih pun terganggu sehingga serangan
Glagah Putih pun tidak sampai ke puncak.
Sejenak kemudian, dari kedua telapak tangan Glagah Putih yang
terbuka, meluncur seleret sinar kemerahan bagaikan tatit yang
meloncat di udara menerjang ke arah orang yang berdiri di
hadapannya.
Akan tetapi Glagah Putih tidak bermaksud curang. Dia hanya
mengarahkan serangannya itu ke arah tanah yang hanya sejengkal
di hadapan orang itu berdiri.
Orang itu terkejut bukan alang kepalang begitu mata batinnya
melihat selerat cahaya yang keluar dari kedua telapak tangan
Glagah Putih. Tanpa ancang-ancang tubuh orang itu seakan akan
berpidah begitu saja ke tempat yang lain. Sedangkan serangan
jarak jauh Glagah Putih yang menimpa tanah telah meledak
dengan dahsyatnya menyemburkan api bercampur tanah dan
kerikil serta uap panas.
“Iblis!” umpat orang itu sambil kembali meloncat mengambil
jarak. Sejenak pemusatan nalar dan budinya pun agak terganggu
sehingga Glagah Putih pun bagaikan telah keluar dari sebuah
himpitan yang mencengkeram otaknya.
“Benar-benar anak iblis!” geram orang itu kemudian. Bersamaan
dengan itu, cahaya Matahari yang pertama pun mulai menyentuh
bumi.
“Engkau berhasil anak muda,” berkata orang itu kemudian sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lanjutnya kemudian,
“Ternyata aku telah salah menilai. Engkau cukup pantas mengaku
sebagai murid Ki Rangga yang namanya kawentar kajala driya dari
ujung ke ujung tanah ini. Namun jangan harap aku silau melihat
10
ilmu serangan jarak jauhmu yang tidak seberapa itu. Aku
meloncat bukan karena aku takut terkena ilmumu, namun aku
meloncat karena gerak naluriah saja yang terkejut karena aku
sama sekali tidak menduga engkau masih mampu menyerang,”
orang itu berhenti sejenak. Lalu, “Jika engkau ingin menyerangku
sekali lagi dengan ilmumu itu, aku akan menyediakan diri untuk
tidak menghindar sama sekali. Namun aku tidak bertanggung
jawab jika ilmu kebanggaanmu itu justru nantinya akan berbalik
memukulmu sehingga engkau akan terluka parah atau justru mati
karena pokalmu sendiri.”
Berdesir dada Glagah Putih. Jika orang itu tidak punya bekal yang
lebih dari cukup untuk membetengi diri dari terjangan ilmunya,
tentu dia tidak akan berani mati menyombongkan diri. Namun
Glagah Putih membiarkan saja orang itu mendapatkan gambaran
yang salah tentang kekuatan ilmunya.
“Nah, Matahari sudah terbit,” berkata orang itu kemudian,
“Waktuku sangat sempit, aku akan segera kembali ke goa Langse.
Namun aku akan tetap menangkapmu dan membawamu ke goa
Langse untuk memancing Ki Rangga.”
“Kiai,” sela Glagah Putih kemudian dengan serta merta, “Rasa-
rasanya kita belum pernah berselisih jalan. Demikian juga dengan
kakak sepupuku. Aku masih berharap Kiai mengurungkan niat
Kiai untuk membuat persoalan di antara kita.”
“Jangan merajuk!” bentak orang itu sambil menggeleng gelengkan
kepalanya, “Sebagai saudara sepupu dan sekaligus murid Ki
Rangga, tunjukkan kemampuanmu. Jangan merengek seperti
kanak-kanak ditinggal biyungnya. Namun sekali lagi perlu aku
katakan, aku sama sekali tidak silau dengan ilmu kalian. Aku
mempunyai segudang ilmu serta berjenis-jenis ilmu yang kalian
11
belum pernah mengalaminya bahkan membayangkan pun belum
pernah.”
Kembali Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun tanyanya
kemudian, “Kiai, apakah Kiai sudah pernah mengenal Ki Rangga?”
Orang itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Itu tidak perlu.
Aku sudah mendengar agul-agulnya Mataram itu mengalahkan
lawan-lawannya dengan berbagai macam ilmu yang mereka
punya. Namun sekali lagi aku katakan, aku sama sekali tidak silau
dan siap kapan saja untuk membunuh kakak sepupumu dan
sekaligus gurumu itu.”
“Apakah itu memang perlu, Ki Sanak?” tiba-tiba terdengar sebuah
suara yang berat dan mantap dari arah samping dapur. Belum
hilang terkejutnya Glagah Putih dan orang itu, dari samping dapur
muncul Ki Rangga dan Ki Waskita.
Sejenak orang itu membeku di tempatnya. Matanya yang tajam
bagaikan burung hantu itu tidak berkedip mengawasi langkah Ki
Rangga dan Ki Waskita yang berjalan mendekat.
Glagah Putih yang melihat kemunculan Ki Waskita dan kakak
sepupunya itu telah menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam
hati anak muda itu terlintas sedikit rasa kecewa. Dia
sesungguhnya ingin menyelesaikan masalah itu tanpa campur
tangan Ki Rangga.
“Jika kakang Agung Sedayu mengijinkan, aku akan menghadapi
orang ini dalam sebuah perang tanding,” berkata Glagah Putih
dalam hati sambil bergeser beberapa langkah untuk memberi
tempat Ki Rangga dan Ki Waskita.
Dalam pada itu, orang yang mengaku dari goa Langse itu sejenak
termangu-mangu. Menilik kehadiran kedua orang itu yang tidak
12
mampu diketahuinya, tentu kemampuan ilmu keduanya tidak
dapat dipandang sebelah mata.
“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah keduanya berdiri
di samping Glagah Putih, “Akulah yang Ki Sanak cari. Ada
keperluan apakah Ki Sanak mencari aku sehingga Ki Sanak jauh-
jauh dari pesisir laut selatan telah datang ke perdikan Matesih
ini?”
Tampak orang itu terdiam beberapa saat. Terlihat dia sedang
mencoba menimbang-nimbang kekuatan yang tersimpan di dalam
diri orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu .
“Ki Sanak, apakah Ki Sanak mendengar pertanyaanku?” terdengar
Ki Rangga mengulangi pertanyaannya.
Tiba-tiba orang itu justru telah tertawa berkepanjangan sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Katanya kemudian seolah-olah
ditujukan kepada dirinya sendiri, “Sulit dipercaya, ternyata agul
agulnya Mataram yang namanya kondang kawentar kajaladriya
dari ujung ke ujung tanah ini tidak sebagaimana yang telah aku
bayangkan selama ini. Aku menjadi tidak yakin dengan
pengamatanku sendiri, ataukah memang nama besar Ki Rangga
itu terlalu dibesar-besarkan sehingga telah membuat orang-orang
salah menilai.”
Untuk sejenak Ki Rangga dan Ki Waskita saling berpandangan.
Namun hanya sesaat. Berkata Ki Rangga kemudian, “Ki Sanak,
aku sama sekali tidak memperdulikan nama besar. Apa yang telah
aku lakukan selama ini hanyalah menetapi kewajiban selaku
prajurit Mataram, tidak lebih dan tidak kurang. Jika keluarga atau
kerabat bahkan perguruan dari orang-orang yang telah aku
kalahkan dalam sebuah peperangan itu kemudian menjadi tidak
terima dan menarik setiap persoalan yang seharusnya berhenti di
13
medan peperangan menjadi sebuah persoalan pribadi, aku hanya
pasrah kepada Yang Maha Pemberi Hidup. KepadaNya lah aku
menyembah dan hanya kepadaNya lah aku memohon
perlindungan.”
“Omong kosong!” bentak orang itu dengan suara menggelegar
sehingga telah mengejutkan para pengawal yang sedang berjaga di
regol. Bahkan perempuan-perempuan yang baru saja datang dari
arah regol pun ikut terkejut dan menjadi ketakutan.
Dalam pada itu, pemimpin pengawal jaga yang kebetulan baru
saja keluar dari gandhok kanan telah berlari ke depan gardu
penjagaan.
“Salah satu dari kalian ikut aku!” berkata pemimpin pengawal jaga
itu kemudian sambil melangkah kembali menuju ke longkangan,
“Kita lihat halaman belakang banjar. Mungkin ada sesuatu yang
perlu mendapat perhatian.”
Pengawal yang mengikutinya tidak menjawab. Diikuti saja
langkah pemimpinnya itu menuju longkangan.
Dalam pada itu, tiga orang perempuan yang baru saja memasuki
regol dengan menjinjing beberapa barang belanjaan telah terhenti
di gardu. Sambil menahan rasa takut yang mulai menjalari hati
mereka, salah satu yang rambutnya sudah ubanan segera
bertanya, “Ada apakah, ngger? Apakah ada keributan di halaman
belakang banjar?”
Sejenak para pengawal yang ada di gardu itu saling pandang.
Namun salah seorang segera menjawab, “Kami belum tahu, mbok.
Kita tadi telah sama-sama mendengar seseorang membentak
dengan suara yang sangat keras sehingga suaranya sampai
terdengar ke tempat ini. Menilik arah suaranya memang dari arah
14
belakang banjar. Namun kami belum tahu pasti apa sebenarnya
yang sedang terjadi.”
“Jadi kami harus bagaimana?” bertanya perempuan satunya yang
terlihat masih cukup muda dan berparas cukup cantik dan manis.
Sejenak para pengawal yang berada di gardu itu kembali saling
pandang. Mereka terlihat agak ragu-ragu untuk memutuskan.
Bahkan seorang pengawal yang berbadan agak gemuk justru tak
henti-hentinya memandangi wajah perempuan itu yang memang
terlihat masih cukup muda dan manis.
Segera saja perempuan muda itu menundukkan wajahnya yang
menjadi kemerah-merahan seperti udang di rebus. Dia menjadi
sedikit salah tingkah. Pengawal yang bertubuh agak gemuk itu
baru menyadari perbuatannya ketika pengawal di sebelahnya
menggamit lambungnya.
“Begini saja,” akhirnya pengawal tadi menjawab, “Kalian ke dapur
lewat pintu depan saja. Kalian jangan lewat longkangan dan
kemudian langsung ke dapur. Sebaiknya kalian ke ruang tengah
melalui pringgitan sehingga jika terjadi hal-hal yang diluar
kendali. Kalian tetap di ruang tengah saja.”
“Bagaimana jika hal yang diluar kendali itu justru sedang terjadi
di dalam banjar, di ruang tengah banjar maksudku?” potong
perempuan yang sudah ubanan itu dengan serta-merta.
Kembali para pengawal itu saling pandang. Namun akhirnya salah
satu pengawal telah turun dari gardu dan melangkah sambil
berkata, “Aku antar kalian ke ruang tengah melalui pintu depan.”
Ketiga perempuan itu pun akhirnya menarik nafas dalam dalam
sambil mengikuti langkah pengawal itu.
15
“Apakah itu memang perlu, Ki Sanak?” tiba-tiba terdengar sebuah
suara yang berat dan mantap dari arah samping dapur.
16
Ketika mereka kemudian telah sampai di pringgitan, tiba-tiba
perempuan yang rambutnya sudah ubanan itu menjadi ragu-ragu
sehingga telah menghentikan langkahnya.
“Ada apa, mbok?” bertanya perempuan yang masih muda sambil
ikut menghentikan langkahnya. Akhirnya yang lain pun ikut
berhenti.
“Bukankah di ruang tengah ada beberapa tamu Ki Gede yang
sedang menginap?” bertanya perempuan tua itu kemudian begitu
melihat kawan-kawannya ikut berhenti.
“Ya,” jawab pengawal yang mengantar itu dengan serta merta,
“Mereka adalah orang-orang linuwih yang telah membantu Ki
Gede menghancurkan padepokan Sapta Dhahana.”
“Ah, aku jadi segan jika harus ke dapur melalui ruang tengah,”
berkata perempuan itu kemudian sambil menggelengkan
kepalanya.
“Jadi bagaimana? Kita lewat pintu butulan samping saja?”
perempuan yang lain menyahut.
Perempuan tua itu sejenak ragu-ragu. Namun terlihat dia
menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.
“Aku takut,” katanya kemudian dengan wajah yang pucat, “Lebih
baik kita duduk saja di dalam pringgitan ini.”
Pengawal yang mengantar ketiga perempuan itu menjadi heran.
Maka tanyanya kemudian, “Mbok, tidak ada yang perlu
ditakutkan. Aku akan mengantar kalian sampai ke dapur melalui
ruang tengah.”
17
“Tapi, bagaimana jika orang-orang yang sedang bertengkar itu
tiba-tiba memasuki dapur?”
“Kalian dapat menyelarak pintu dapur dengan kuat,” sahut
pengawal itu, “Selebihnya kalian memang harus memasak untuk
para tamu dan juga pengawal yang jaga.”
Untuk sejenak ketiga perempuan itu saling pandang. Berbagai
pertimbangan sedang bergolak di dalam dada mereka. Memang
mereka mempunyai kewajiban untuk memasak bagi para tamu
yang sedang menginap di banjar selain para pengawal jaga yang
memang setiap hari mendapat jatah makan.
“Bagaimana, mbok?” bertanya pengawal itu dengan nada tidak
sabar.
“Bagaimana, nduk?” perempuan tua itu tidak menjawab
pertanyaan pengawal justru malah balik bertanya kepada
perempuan yang masih muda.
“Aku juga takut, mbok!” bisik perempuan yang terlihat masih
muda itu sambil bergeser merapatkan tubuhnya kepada kawan di
sebelahnya.
“Ah, kalian memang penakut!” gerutu pengawal itu kemudian,
“Aku tidak bertanggung jawab jika Ki Gede mengetahui para
tamu-tamunya sepagi ini belum mendapat minuman hangat,
apalagi sarapan!”
“Ah, macam kau!” sela perempuan tua itu dengan nada kesal,
“Kami ini perempuan memang mempunyai keterbatasan. Jika Ki
Gede mengetahui kejadian yang sebenarnya, beliau pasti tidak
akan marah.”
18
“Tapi kami yang akan menjadi korban,” sahut pengawal itu
kembali dengan serta-merta, “Nanti sampai Matahari sepenggalah
pasti kami belum mendapat sarapan. Padahal saat Matahari
sepenggalah, pengawal lain akan datang untuk menggantikan
kami jaga.”
“Itu urursan kalian,” kembali perempuan tua itu menyela dengan
suara ketus, “Kalian dapat makan di rumah masing-masing.
Sementara setelah keributan ini selesai, baru kami akan memasak
untuk makan siang.”
“He?” pengawal itu berseru dengan suara sedikit keras, “Jadi kami
benar-benar tidak akan mendapat sarapan pagi?”
Perempuan tua itu baru akan menyahut ketika kembali terdengar
suara bentakan menggelagar dari arah belakang banjar. Kali ini
bahkan lebih keras.
“O,” para perempuan itu pun segera menjatuhkan diri berhimpit
himpitan di lantai pringgitan sambil saling berpelukan. Lutut
mereka rasa-rasanya menjadi lemas tak bertenaga sehingga tidak
mampu lagi untuk menyangga tubuh mereka.
Pengawal yang mengantarkan itu pun menjadi terkejut dan
berdebar-debar. Suara bentakan yang dilambari dengan ilmu yang
tinggi itu pun telah menciutkan nyalinya. Maka katanya kemudian
setengah berbisik, “Baiklah mbok, kalian tinggal di sini saja.
Lupakan masalah sarapan pagi. Aku akan kembali ke gardu
depan.”
“He! Jangan tinggalkan kami!” perempuan tua itu berusaha
berteriak untuk mencegah pengawal itu meninggalkan pringgitan.
Namun suaranya tersangkut di tenggorokan sehingga yang
terdengar hanya sebuah desahan memelas saja.
19
Pengawal itu tidak menghiraukan ketiga perempuan itu lagi.
Segera saja dia melangkah meninggalkan pringgitan untuk
kembali ke gardu depan.
Dalam pada itu di halaman belakang banjar padukuhan induk, Ki
Rangga segera bergeser selangkah kedepan. Katanya kemudian,
“Ki Sanak, sebaiknya kita saling mengenal jati diri kita terlebih
dahulu. Aku adalah Ki Rangga Agung Sedayu, sedangkan yang di
sebelahku ini adalah Ki Waskita, orang yang sangat aku hormati
dan sekaligus aku anggap sebagai guruku sepeninggal Kiai
Gringsing.”
Ki Rangga sengaja menyebut nama Ki Waskita sebagai orang yang
sangat dihormatinya agar orang itu berpikir seribu kali jika ingin
membuat onar di halaman belakang banjar padukuhan.
Setidaknya dia harus memperhitungkan kehadiran orang tua itu.
“Aku tidak peduli!” geram orang itu kemudian. Seolah-olah sama
sekali tidak terpengaruh dengan ucapan Ki Rangga. Lanjutnya
kemudian, “Aku, Pertapa dari goa Langse sama sekali tidak takut
dengan orang-orang macam kalian. Tujuanku ke sini hanya satu.
Aku ingin menjajagi nama besar Ki Rangga Agung Sedayu!”
Semua orang yang hadir di halaman belakang banjar itu telah
mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bahkan diam-diam
Glagah Putih mulai muak dengan kesombongan orang itu.
Namun selagi mereka yang berada di halaman belakang banjar itu
terdiam, tiba tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk kecil.
Ketika mereka kemudian berpaling ke arah suara itu berasal,
tampak Ki Jayaraga muncul dari pintu dapur yang terbuka.
“Maaf aku mengganggu perbincangan kalian,” berkata Ki Jayaraga
kemudian sambil melangkah mendekat, “Sebenarnyalah aku
20
menjadi penasaran dengan pengakuan Ki Sanak ini. Seingatku
orang yang disebut Pertapa dari goa Langse itu sudah sangat
sepuh ketika aku pernah lewat di pantai selatan berpuluh tahun
yang lalu. Aku sangat menghormati sang Pertapa itu yang
menurut pengamatanku tidak pernah meninggalkan Pertapaannya
dan sudah menjauhi segala urusan tetek bengek kehidupan.”
Tampak semburat warna merah menghiasi wajah orang yang
menyebut dirinya Pertapa goa Langse itu. Namun hanya sekejab.
Sejenak kemudian orang itu justru telah tertawa pendek sambil
bertolak pinggang. Katanya kemudian, “Memang guruku dan
sekaligus ayahku sudah terlalu tua dan sudah tidak mengurusi
urusan dunia lagi. Sekarang akulah penggantinya. Kalian tidak
akan menemukan sedikitpun perbedaan antara ayahku dan aku,
baik secara ilmu jaya kawijayan maupun guna kasantikan.”
“Aku percaya Ki Sanak,” sahut Ki Rangga dengan serta merta,
“Namun Ki Sanak lupa, ada perbedaan mendasar antara kalian
berdua yang dapat aku tangkap walaupun hanya sekilas.”
“Maksudmu?” geram Pertapa goa Langse itu dengan kerut merut
menghiasi keningnya.
Ki Rangga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Pandangan hidup.
Mungkin itulah perbedaan kalian.”
“Persetan!” geram Pertapa goa Langse itu kemudian sambil maju
selangkah. Jari telunjuknya pun kemudian mengarah kepada Ki
Rangga, “Nah, aku tantang agul-agulnya Mataram ini untuk
berperang tanding secara jujur. Perang tanding ini nantinya tidak
akan dapat dikatakan selesai sampai salah satu terbujur membeku
di atas tanah.”
21
Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di halaman belakang
banjar itu menarik nafas dalam-dalam. Kembali sebuah persoalan
yang tanpa ujung pangkal membelit Ki Rangga.
“Ki Sanak yang mengaku sebagai Pertapa goa Langse,” berkata Ki
Rangga kemudian, “Aku tidak akan melayani sebuah perang
tanding yang tidak ada alasan yang jelas dan dapat dipertanggung
jawabkan, baik di kehidupan bebarayan agung ini maupun di
kehidupan abadi kelak. Kubur dalam-dalam keinginan Ki Sanak
untuk menantang aku. Lebih baik kita sudahi saja permasalahan
yang tidak jelas ujung pangkalnnya ini.”
“Pengecut!” bentak Pertapa goa Langse itu kemudian sambil
kembali maju selangkah, “Aku akan menghitung sampai tiga kali,
bersiap ataupun tidak bersiap, aku akan melancarkan seranganku
pada hitungan ketiga!”
Terkejut orang-orang yang hadir di tempat itu. Agaknya orang
yang mengaku Pertapa dari goa Langse itu sangat keras hati. Jika
dia mempunyai kemauan, pantang untuk melangkah mundur.
“Ki Sanak,” kali ini Ki Jayaraga yang berbicara sambil menjajari Ki
Rangga, “Ki Sanak bagiku sangatlah aneh. Aku tidak yakin jika Ki
Sanak ini murid perguruan goa Langse. Aku mengenal betul
Pertapa goa Langse itu semasa mudaku. Dan lebih dari itu, saat
aku berkunjung ke goa Langse di pesisir laut selatan beberapa
puluh tahun yang lalu, Pertapa itu hidup sendirian, tidak ada
seorang pun yang menemaninya. Bagaimana mungkin tiba-tiba Ki
Sanak mengaku sebagai murid dan sekaligus anak dari Pertapa
goa Langse itu?”
“Tutup mulutmu! Itu bukan urusanmu!” kembali Pertapa goa
Langse itu membentak dengan suara yang menggelegar, “Yang
aku tantang berperang tanding adalah Ki Rangga, yang lain tidak
22
usah ikut campur. Jika memang yang lain sudah bosan hidup,
nanti akan tiba giliran kalian satu persatu aku bunuh setelah aku
menghancurkan nama besar agul-agulnya Mataram ini.”
“Tunggu dulu Ki Sanak,” sekarang Ki Waskita yang menyela,
“Sejauh pengetahuanku, goa Langse juga menjadi Pertapaan atau
katakanlah sebagai pilihan bagi para Wali untuk mencari
kesunyian diri. Aku mendengar Kanjeng Sunan Kali pernah
menggunakan goa Langse untuk tempat menggembleng
Panembahan Senapati ketika masih muda yang bercita-cita ingin
menyatukan negeri ini di bawah panji panji kebesaran Mataram.
Demikian juga konon kabarnya Syeh Lemah Abang pernah
mencari jati dirinya di goa Langse itu.”
“Ya, aku juga pernah mendengar cerita itu,” sahut Ki Jayaraga
dengan serta merta, “Dari cerita Pertapa goa Langse itulah aku
mendengar sebagian cerita itu. Namun cerita tentang Ki Sanak
yang sekarang berdiri di hadapan kita ini sama sekali belum
pernah aku dengar.”
“Apa perduliku!” geram orang yang mengaku Pertapa goa Langse
itu sambil menghentakkan salah satu kakinya ke tanah. Tanahpun
rasa-rasanya bergoncang dengan dahsyat. Berkata Pertapa goa
Langse itu selanjutnya, “Siapapun aku menurut kalian, tidak ada
masalah bagiku. Namun yang jelas aku menantang Ki Rangga
untuk berperang tanding. Ketahuilah, kedatanganku ke perdikan
Matesih ini adalah untuk bergabung dengan padepokan Sapta
Dhahana. Namun aku mendengar bahwa padepokan itu telah
kalian hancurkan dan Kiai Damar Sasangka telah terbunuh. Aku
yakin, jika tidak ada kecurangan, mustahil bagi Ki Rangga untuk
mengalahkan Kiai Damar Sasangka,” orang itu berhenti sejenak
untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Nah,
sekarang akan menjadi ajang pembuktian bagi Ki Rangga, apakah
dalam perang tanding dengan Kiai Damar Sasangka saat itu dia
23
berlaku jujur atau tidak, namun itu jika Ki Rangga masih
mempunyai keberanian untuk membuktikan!”
Ki Rangga dan kedua orang tua yang mendampinginya hanya
dapat saling pandang sambil menarik nafas setelah mengetahui
duduk permasalahan yang sebenarnya. Ternyata semua itu masih
terkait dengan jatuhnya padepokan Sapta Dhahana dan tewasnya
Kiai Damar Sasangka. Namun Glagah Putih yang masih berdarah
panas menjadi tidak sabar dan dengan segera dia meloncat dua
langkah ke depan.
Berkata Glagah Putih kemudian dengan suara yang tak kalah
menggelegarnya, “Kiai, siapapun Kiai dan alasan apapun yang Kiai
gunakan untuk menantang Ki Rangga, aku tidak peduli. Namun
yang jelas Kiai telah menyinggung harga diri kami, terutama aku
sebagai murid Ki Rangga. Apa yang telah terjadi semua itu adalah
dalam sebuah pertempuran dan sudah menjadi tanggung jawab
serta kesadaran pribadi bagi setiap orang yang terlibat dalam
pertempuran itu, membunuh atau dibunuh. Nah, jika Kiai tetap
bersikeras untuk menantang Ki Rangga berperang tanding apapun
alasannya, sebelum Kiai menyentuh guruku, hadapi dulu aku
sebagai muridnya!”
Ki Rangga terkejut bukan alang kepalang mendengar ucapan
Glagah Putih itu. Namun baru saja Ki Rangga akan mencegah, Ki
Jayaraga yang berdiri di sebelahnya telah menggamit sambil
berbisik, “Biarlah Glagah Putih menambah pengalamannya. Aku
tidak yakin jika orang ini benar-benar murid Pertapa goa Langse.”
Ki Rangga hanya dapat menarik nafas panjang mendengar bisikan
Ki Jayaraga. Betapapun, Glagah Putih adalah murid Ki Jayaraga
juga, sehingga pertimbangan orang tua itu harus menjadi
pertimbangannya pula.
24
Dalam pada itu, Pertapa dari goa Langse itu ternyata menjadi
heran begitu melihat Glagah Putih meloncat ke depan dan
menantangnya untuk menggantikan Ki Rangga Agung Sedayu.
Untuk beberapa saat Pertapa goa Langse itu justru telah berdiri
termangu-mangu di tempatnya. Tidak tahu harus berbuata apa.
“Nah, apakah Kiai menjadi ketakutan untuk melawan aku,”
berkata Glagah Putih kemudian sambil tersenyum mengejek,
“Tadi Kiai telah mencoba menyerangku dengan ilmu sirep yang
hanya dapat menidurkan kanak kanak di gendongan biyungnya.
Sekarang yang akan engkau hadapi adalah Glagah Putih
seutuhnya, adik sepupu Ki Rangga dan sekaligus muridnya.”
Namun Pertapa goa Langse itu ternyata telah menyadari
keadaannya sehingga telah tertawa terbahak-bahak. Katanya
kemudian, “Alangkah sombongnya engkau, anak muda! Aku tadi
hanya mengujimu dengan ilmuku yang sangat rendah dengan
pengerahan kemampuan tidak ada sepertiganya, dan kini engkau
telah berani mati menyombongkan diri untuk melawanku. Aku
benar-benar harus meminta maaf kepada gurumu jika hari ini
akan menjadi hari terakhirmu!”
Orang-orang yang hadir di tempat itu menjadi berdebar-debar
mendengar sesumbar orang yang menyebut dirinya Pertapa dari
goa Langse itu, namun Glagah Putih ternyata tidak.
Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya Glagah Putih segera
menimpali ucapan calon lawannya itu, “Terima kasih atas
kebaikan Kiai untuk memberi aku nasehat. Namun aku saranku,
Kiai supaya lebih berhati hati. Tidak menutup kemungkinan justru
hari ini adalah hari terakhir bagi Kiai. Jika memang Kiai
mempunyai pesan-pesan terakhir, segera saja disampaikan
kepada kami agar kami dapat menyampaikan pesan itu kepada
keluarga Kiai.”
25
“Tutup mulutmu!” bentak Pertapa goa Langse itu dengan suara
menggelegar, lebih dahsyat dari suara sebelumnya. Namun ke
empat orang yang berada di halaman belakang banjar itu sama
sekali tidak terpengaruh.
Dalam pada itu pemimpin pengawal dan kawannya yang telah
sampai di longkangan justru telah menghentikan langkah mereka
sambil terbungkuk bungkuk memegangi dada mereka yang serasa
mau pecah.
“Gila!” geram pemimpin pengawal itu. Ketika dirasa sakit dalam
dadanya telah berkurang, dia mencoba maju beberapa langkah
untuk mengintip dari longkangan ke arah halaman belakang.
Betapa hatinya bagaikan tersiram banyu sewindu ketika dia
melihat bayangan Ki Rangga Agung Sedayu ada di halaman
belakang banjar itu.
“Sudah ada Ki Rangga Agung Sedayu,” desis pemimpin pengawal
itu sambil melangkah mundur. Kawannya yang masih kesulitan
bernafas itu hanya dapat mengangguk-angguk sambil mencoba
melonggarkan dadanya dengan menghirup udara pagi sedalam-
dalamnya.
Demikianlah akhirnya kedua orang itu segera bergeser menjauh
dan kembali ke regol depan.
Dalam pada itu, Glagah Putih agaknya sudah bertekad untuk
menghadapi tantangan Pertapa dari goa Langse. Ketika dia
sempat berpaling ke arah kakak sepupunya itu, sekilas dia melihat
Ki Rangga menganggukkan kepalanya.
“Kakang Agung Sedayu tidak keberatan,” berkata Glagah Putih
dalam hati sambil melemparkan pandangan matanya ke arah Ki
26
Jayaraga. Ternyata Ki Jayaraga pun telah menggangguk dan
mengacungkan ibu jari tangan kanannya.
“Guru tentu mempunyai pertimbangan yang matang sehingga
mengijinkan aku menghadapi orang ini,” berkata Glagah Putih
kembali dalam hati, “Guru tentu mempunyai pengalaman dengan
Pertapa goa Langse yang sebenarnya sehingga tidak begitu
mengkhawatirkan keselamatanku.”
Berpikir sampai disitu Glagah Putih segera bergeser ke tempat
yang agak lebih lapang sambil berkata, “Marilah Kiai, kita tidak
usah berpanjang kata. Tadi engkau telah sempat menjajagi
kekuatan batinku. Sekarang marilah kita uji kekerasan tulang dan
keliatan kulit kita masing-masing!”
Pertapa goa Langse itu mengeram sambil mengikuti langkah
Glagah Putih. Jawabnya kemudian, “Agaknya aku harus
membunuhmu terlebih dahulu untuk meyakinkan Ki Rangga
bahwa ilmuku sudah pantas untuk berperang tanding
dengannya!”
“Bukan begitu Ki Sanak,” sahut Ki Rangga cepat sambil mengikuti
langkah kedua orang itu ke tempat yang lebih terbuka, “Aku
memang menolak setiap pertikaian yang tidak berujung pangkal.
Nah, barangkali Ki Sanak dapat mempertimbangkan kembali
keputusan Ki Sanak. Sapta Dhahana telah hancur dan para
pengikut Trah Sekar Seda Lepen telah tercerai berai. Tidak ada
gunanya lagi bagi Ki Sanak untuk membelanya.”
Untuk kesekian kalinya orang itu tertawa. Jawabnya kemudian,
“Sudah aku katakan, nama besarmulah yang membuat aku ingin
membuktikan kedahsyatan ilmumu. Persetan dengan Trah Sekar
Seda Lepen dan cita-citanya untuk membangun negeri ini.”
27
“Itu tidak menjelaskan persoalan yang sebenarnya, Ki Sanak,” sela
Ki Rangga dengan serta merta, “Jika hanya nama besar saja yang
menjadi persoalan, Ki Sanak dapat menggunakan nama atau gelar
apa saja untuk membuat orang ketakutan.”
Namun orang itu justru telah tersenyum masam. Katanya
kemudian, “Nama atau gelar yang aneh-aneh atau nggegirisi
hanya dapat menakuti kanak-kanak. Nama Ki Rangga Agung
Sedayu menjadi sangat terkenal di tanah ini dari ujung ke ujung
bukan karena nama atau gelar. Namun apa yang telah Ki Rangga
perbuat itulah yang menyebabkan hampir setiap orang di tanah
ini menyebut agul agulnya Mataram. Dan itu yang akan aku raih
pagi ini, di halaman belakang banjar ini.”
“O, tentu tentu, Kiai,” Glagah Putih yang sedikit banyak
terpengaruh sifat Ki Jayaraga itu menyahut cepat, “Setelah perang
tanding ini selesai, kami akan memberimu gelar yang akan
dikenang oleh seluruh kawula perdikan Matesih, Sekar Seda Ing
Banjar.”
“Bocah edaaan..!” bentak Pertapa goa Langse dengan serta merta.
Tanpa terlihat dia melakukan ancang-ancang tubuhnya demikian
saja meluncur menerjang Glagah Putih.
Namun Glagah Putih adalah bukan anak muda kebanyakan. Dia
sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian
serangan bagaikan kilat yang meloncat di udara itu meluncur ke
arahnya, anak laki-laki Ki Widura itu hanya bergeser selangkah ke
samping. Dengan mengerahkan tenaga cadangannya, justru
tangan kanannya deras menghantam kaki lawannya yang terjulur
lurus itu.
Pertapa itu ternyata tidak menarik kakinya. Dengan mengayunkan
kakinya yang lain ke arah yang berlawanan, kaki yang terjulur
28
lurus itu sekarang justru terayun deras menyambar wajah Glagah
Putih.
Glagah Putih sedikit terkejut melihat tandang lawannya. Dengan
cepat salah satu kakinya bergeser ke belakang. Ketika ayunan kaki
lawannya dengan deras menyambar wajah, Glagah Putih telah
menyilangkan kedua tangan di depan wajahnya.
Sebuah benturan keras pun terjadi. Tubuh Glagah Putih terdorong
beberapa langkah surut namun tidak sampai menjatuhkannya.
Sedang pertaopa goa Langse itu telah meloncat beberapa langkah
ke belakang.
“Hem!” geram Pertapa goa Langse sambil memandang tajam ke
arah Glagah Putih. Dia tidak mengira bahwa anak muda yang
mengaku saudara sepupu dan sekaligus murid Ki Rangga itu
mampu menandingi kekuatannya.
“Jangan terlalu berbangga diri dulu anak muda,” berkata Pertapa
goa Langse kemudian sambil bergeser selangkah ke depan, “Aku
belum benar-benar sampai ke puncak ilmuku. Aku hanya ingin
menjajagi kekuatanmu. Nah sekarang aku akan bersungguh-
sungguh, engkau harus bersiap jika tidak ingin terkapar tanpa
arti.”
Selesai berkata demikian tanpa menunggu jawaban lawannya,
kembali tubuh Pertapa goa Langse itu melesat ke depan dengan
kecepatan yang hampir tidak kasat mata. Namun di dalam diri
Glagah Putih mengalir dua aliran ilmu yang berbeda, dari aliran
Ki Sadewa dan Ki Jayaraga. Selain itu pengalamannya bergaul
dengan Raden Rangga serta warisan ilmu yang didapatkan dari
Kiai Namaskara telah menjadikannya seorang anak muda yang
jarang ada tandingannya.
29
Demikianlah akhirnya kedua orang yang terpaut umur cukup jauh
itu segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Silih ungkih
Singa lena.
Dalam pada itu Matahari benar-benar telah terbit. Sinarnya yang
kuning keemasan jatuh di pucuk-pucuk pepohonan memberikan
warna garis-garis indah di setiap daunnya. Sedangkan burung-
burung liar telah berkicau dengan merdunya di dahan dahan
rendah sambil sesekali mengejar ulat-ulat yang terlambat bangun
dan sedang bersembunyi di bawah lindungan dedaunan dan
ranting-ranting pepohonan.
Di kediaman Ki Kamituwa, beberapa rumah dari banjar
padukuhan induk, Nyi Selasih tampak sedang melongok keluar
melalui pintu pringgitan yang terbuka sejengkal. Dipandanginya
langit sebelah timur yang sudah cerah, secerah wajahnya pagi ini
walaupun masih tersisa sedikit kegelisahan.
“Nyi Gede,” tiba-tiba terdengar suara lembut menyapanya dari
arah belakang.
Nyi Gede terkejut. Dengan cepat dia berpaling ke belakang.
Tampak beberapa langkah di belakanganya Nyi Kamituwa berdiri
termangu-mangu dengan sebuah senyum tersungging di bibirnya.
“O,” desis Nyi Gede sambil memutar tubuhnya, “Aku hanya ingin
melihat apakah Matahari sudah benar-benar terbit?”
Nyi Kamituwa tersenyum sambil mengangguk kecil. Katanya
kemudian, “Benar Nyi Gede, Matahari memang sudah terbit.
Namun aku rasa masih memerlukan waktu sejenak untuk
menunggu sampai Matahari benar-benar sepenggalah, sesuai
dengan janji Ki Gede semalam.”
30
“Silahkan Nyi Gede,” berkata Nyi Kamituwa kemudian
mempersilahkan. Kemudian kepada suaminya dia berkata, “Silahkan
diminum , Kakang. Mumpung masih hangat.”
31
Tampak Nyi Gede menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan melalui sela-sela
pintu pringgitan yang terbuka sejengkal. Tatapan mata yang
tampak sedikit meragu, ke arah titik-titik di kejauhan yang terlihat
masih sedikit remang di bawah siraman sinar Matahari pagi
bercampur kabut tipis yang mulai menghilang.
“Marilah Nyi Gede,” berkata Nyi Kamituwa kemudian
mempersilahkan Nyi Gede untuk duduk di pringgitan, “Biarlah
para pelayan menyiapkan minuman hangat serta beberapa potong
makanan.”
“Ah, sudahlah, Nyi,” sahut Nyi Gede cepat, “Jangan terlalu
merepotkan diri. Sejak kedatanganku di tempat ini, para
penghuninya menjadi kerepotan dan aku benar-benar merasa
ewuh pekewuh.”
“Ah,” Nyi Kamituwa berdesah sambil tertawa kecil. Katanya
kemudian, “Memang sudah sewajarnya jika kami seisi rumah ini
menjadi repot karena sedang menerima tamu agung. Tapi bagi
kami ini adalah sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri
bisa menjamu keluarga Ki Gede Matesih yang merupakan
pemimpin tertinggi di perdikan ini.”
“Ah, aku hanya orang kebanyakan, Nyi,” sahut Nyi Gede dengan
serta merta, “Aku hanyalah seorang janda beranak satu yang
kebetulan berkenan di hati Ki Gede Matesih dan diambil menjadi
pendamping hidupnya.”
Nyi Kamituwa kembali tersenyum simpul namun tidak
mengucapkan sepatah katapun. Dia segera mempersilahkan Nyi
Gede untuk duduk. Setelah Nyi Gede duduk di atas tikar pandan
yang putih bersih yang dibentangkan di tengah tengah ruangan,
barulah Nyi Kamituwa kemudian mengikuti duduk.
32
Sejenak suasana menjadi sunyi. Keduanya sedang tenggelam
dalam lamunan masing-masing yang mengasyikkan.
Ketika keduanya sedang dibuai lamunan, tiba-tiba pintu yang
menghubungkan pringgitan dan ruang dalam terdengar berderit
perlahan. Ketika keduanya kemudian berpaling, tampak Ki
Kamituwa sedang berdiri termangu-mangu di antara daun pintu
yang setengah terbuka.
“Ki Kamituwa,” sapa Nyi Gede sambil berusaha bangkit berdiri,
namun dengan cepat Ki Kamituwa memberi isyarat untuk
mencegahnya.
“Silahkan Nyi Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian sambil
melangkah mendekat. Sesampainya di samping istrinya, dia
segera ikut duduk.
“Masih cukup waktu sampai Matahari sepenggalah,” berkata Ki
Kamituwa selanjutnya sambil membenahi letak kain panjangnya,
“Tidak usah tergesa-gesa, Nyi Gede. Kita ikuti saja apa yang telah
diatur oleh Ki Gede. Semoga permasalahan yang sedang membelit
keluarga Nyi Gede segera berakhir.”
Tampak kepala kedua perempuan itu terangguk-angguk. Namun
sesungguhnya jauh di lubuk hati Nyi Gede, terasa pedih bagaikan
tertusuk sembilu. Jurang yang memisahkan antara dirinya dengan
anak tirinya bukannya semakin dekat, justru dirasakannya
semakin menjauh.
“Ratri benar-benar tidak mau melihat mukaku sama sekali,”
perempuan yang belum ada setengah abad itu merintih dalam
hati, “Sebenarnya tidak ada niat sebiji sawi pun dalam hatiku
untuk merebut perhatian ayahnya. Apa yang aku lakukan ini
justru untuk memberikan kebahagiaan kepada Ki Gede.
33
Kebahagiaan Ki Gede tentu saja seharusnya juga menjadi
kebahagiaannya, jika dia memang merasa sebagai anak yang
berbakti.”
Namun keluh kesah itu sama sekali tidak pernah diungkapkan.
Yang ada dalam kesehariannya adalah pasrah dan nrimo ing
pandum, menjalani sisa-sisa hidupnya ini dalam kepasrahan
kepada jantraning ngaurip yang telah digariskan oleh Yang Maha
Agung.
“Di manakah putera Nyi Gede?” tiba-tiba Ki Kamituwa
mengajukan sebuah pertanyaan yang memecah keheningan.
Nyi Gede tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian
sambil tetap tersenyum, “Tentu saja anak itu masih terlelap.
Biarlah nanti menjelang Matahari sepenggalah dia aku
bangunkan.”
Tampak kepala Ki Kamituwa terangguk-angguk. Tiba-tiba pintu
tengah kembali berderit dan dua orang pelayan perempuan
muncul sambil masing-masing membawa sebuah nampan yang
berisi makanan dan minuman. Sesampainya kedua orang itu di
samping Nyi Kamituwa, keduanya segera berjongkok bertumpu
pada kedua lutut mereka.
“Ah, merepotkan saja,” desis Nyi Gede sambil menarik nafas
dalam-dalam.
Nyi Kamituwa tidak menyahut. Dengan cekatan diturunkan
makanan dan minuman yang dibawa oleh dua orang pelayan
perempuan itu. Setelah semuanya selesai barulah kedua pelayan
itu mengundurkan diri.
34
“Silahkan Nyi Gede,” berkata Nyi Kamituwa kemudian
mempersilahkan. Kemudian kepada suaminya dia berkata,
“Silahkan diminum , Kakang. Mumpung masih hangat.”
Ki Kamituwa tersenyum sambil memandang penuh rasa kasih
sayang dan terima kasih kepada istrinya. Diraihnya cangkir berisi
minuman hangat itu dan kemudian diteguknya beberapa kali.
Semua gerak gerik suami istri itu tidak luput dari perhatian Nyi
Gede. Betapa jantung Nyi Gede terasa kembali pedih bagaikan
ditusuk duri kemarung. Suasana seperti itulah yang sudah lama
didambakan, namun tak kunjung tiba.
“Semoga hari ini menjadi awal kebahagiaan rumah tanggaku,”
membatin Nyi Gede sambil menjatuhkan pandangan matanya
menekuni garis-garis anyaman tikar pandan yang rumit dan
njlimet, “Biarlah Ratri menyingkir sementara ke Menoreh, itu
adalah atas kehendaknya sendiri, bukan aku yang mengusirnya.
Semoga di tanah perdikan Menoreh dia dapat mengendapkan
hatinya yang masih muda dan bergejolak itu sehingga pada
akhirnya dengan hati yang ikhlas akan menerima kehadiranku.”
“Silahkan Nyi Gede, mumpung masih hangat,” tiba-tiba terdengar
kembali suara Nyi Kamituwa membuyarkan lamunannya.
“O, terima kasih,” sahut Nyi Gede dengan suara sedikit tergagap.
Diambilnya cangkir berisi minumn hangat itu dan kemudian
diteguknya sedikit.
“Nyi Gede, di manakah Ki Prana dan Gandhung? Sebaiknya
mereka bergabung dengan kita menikmati minuman hangat dan
beberapa potong ketela rebus,” tiba–tiba Ki Kamituwa
menyeluthuk sambil tangannya mengambil sepotong ketela rebus
yang tampak masih mengepul hangat.
35
“Mereka tidur di gandhok kanan, Kakang, “ Nyi Kamituwa lah
yang menjawab, “Mungkin mereka sekarang ini masih tidur atau
bahkan sudah berjalan-jalan mengelilingi perdikan Matesih.”
“Ah, tentu tidak,” sahut Nyi Gede cepat, “Jika mencari Gandhung
di pagi-pagi begini, tentu dia ada di perigi sedang menimba air
mengisi pakiwan.”
“Ah,” sepasang suami istri itu tertawa. Bertanya Ki Kamituwa
kemudian, “Bagaimana dengan Ki Prana? Apakah Ki Prana juga
berada di halaman belakang?”
Nyi Selasih tersenyum. Jawabnya kemudian, “Ayah biasanya
selepas menunaikan kewajiban di pagi hari, meneruskan tidurnya
sampai Matahari terbit, bahkan kadang kadang sampai tengah
hari baru bangun.”
“He? Mengapa demikian?” sahut Ki Kamituwa keheranan,
“Apakah Ki Prana setiap malam jarang tidur dan sebagai gantinya
dia tidur di pagi hari sampai siang?”
“Ya, begitulah kira-kira, Ki,” jawab Nyi Gede sambil tersenyum,
“Ayah memang di malam hari jarang tidur. Beliau sering duduk-
duduk di teritisan sampai fajar. Entah apa saja yang
dilakukannya.”
“O, aku tahu,” sahut Ki Kamituwa cepat sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya, “Ki Prana mungkin sedang menjalani
sebuah laku. Jika seseorang mempunyai gegayuhan, biasanya dia
akan menjalani sebuah laku. Salah satunya adalah tidak tidur di
malam hari dan tidak masuk ke dalam rumah. Aku lupa apa nama
laku itu. Namun yang jelas, sebagai orang tua satu-satunya Nyi
Gede, Ki Prana tentu mempunyai gegayuhan ingin melihat anak
dan cucunya nggayuh kamukten di suatu hari nanti.”
36
“Dan agaknya permohonan Ki Prana sudah mulai terwujud,” sahut
Nyi Kamituwa sambil tersenyum dan menatap Nyi Selasih.
Perempuan yang terlihat masih muda itu tampak menundukkan
wajahnya. Tiba-tiba saja kedua pelupuk matanya menjadi panas.
Dengan sekuat tenaga ditahannya air mata yang hampir saja jatuh
berderai membasahi pipinya.
Sepasang suami istri itu menjadi terharu melihat perubahan
wajah Nyi Selasih. Mereka berdua menyadari betapa selama ini
Nyi Selasih sangat sabar dan nrima ing pandum atas nasib yang
menimpa dirinya.
“Nah, aku akan ke halaman belakang sebentar” berkata Ki
Kamituwa kemudian setelah sejenak mereka terdiam. Kemudian
sambil beringsut setapak dia melanjutkan, “Kemarin aku
menyuruh beberapa tukang batu untuk memperbaiki dinding
belakang yang terlihat agak miring. Jika dibiarkan, semakin lama
keadaannya akan semakin parah dan dapat membahayakan.”
“Silahkan Ki Kamituwa,” berkata Nyi Gede sambil tersenyum dan
mengangguk. Sejenak kemudian Ki Kamituwa pun segera berdiri
dan berjalan hilang di balik pintu ruang tengah.
Sepeninggal Ki Kamituwa, Nyi Gede pun kemudian berbincang-
bincang dengan Nyi Kamituwa sambil menunggu Matahari naik
sepenggalah.
Tiba-tiba dari arah ruang tengah terdengar tangisan seorang anak
kecil. Agaknya putera Nyi Gede telah terbangun dan sedang
mencari biyungnya.
“Ah, si kecil sudah bangun,” desis Nyi Gede sambil bangkit berdiri,
“Sebentar Nyi Kamituwa, aku akan memandikannya dan
37
kemudian akan aku ajak kemari sekalian menunggu waktu untuk
berangkat.”
“Silahkan, Nyi Gede,” sahut Nyi Kamituwa sambil ikut bangkit
berdiri, “Aku akan melihat dapur. Aku tadi sedang menanak nasi
dan ditunggui anak perempuanku yang besar.”
Nyi Gede tidak menjawab hanya tersenyum. Kedua perempuan itu
pun kemudian berjalan beriringan memasuki ruang dalam.
Dalam pada itu di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ki Bango
Lamatan sedang duduk terkantuk-kantuk di pendapa. Secangkir
minuman hangat dan beberapa potong penganan tampak
menemaninya.
Mataharai sudah mulai menampakkan sinarnya. Cahayanya yang
masih lemah namun berkilauan itu menimpa pucuk-pucuk
dedaunan dan embun-embun pagi yang masih bergelayutan
manja di ujung-ujung daun. Sementara embun-embun yang
bertebaran di atas rerumputan berkilauan bagaikan butiran
permata yang berserakan tertimpa sinar Matahari pagi.
Tiba-tiba tedengar pintu pringgitan berderit perlahan. Ketika Ki
Bango Lamatan kemudian berpaling, tampak seraut wajah muncul
sambil tersenyum.
“Apakah Ki Bango Lamatan berkenan sarapan pagi terlebih
dahulu?” bertanya Ki Gede yang kemudian melangkah keluar
menuju pendapa.
Ki Bango Lamatan tersenyum sambil berdiri menyambut
kedatangan Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Terima kasih Ki Gede,
aku tidak terbiasa makan terlalu pagi. Bahkan kadang-kadang
sehari aku makan hanya sekali dan itu waktunya tidak menentu,
tergantung keinginan dan seleraku.”
38
Ki Gede yang sudah sampai di hadapan Ki Bango Lamatan
tersenyum. Sambil mempersilahkan Ki Bango Lamatan duduk
kembali, Ki Gede pun kemudian ikut duduk bersila di atas
hamparan tikar pandan yang putih bersih bergaris-garis hijau dan
merah.
“Kadangkala aku juga berbuat demikian, Ki,” berkata Ki Gede
selanjutnya, “Kesibukan di perdikan ini seringkali menyita
perhatian dan memerlukan penangannan sesegera mungkin
sehingga aku pun lupa untuk memenuhi panggilan alami ini.”
Ki Bango Lamatan pun ikut tersenyum mendengar ucapan Ki
Gede. Selama hidupnya dia memang tidak begitu memperhatikan
kebutuhan tubuhnya baik berupa makanan maupun istirahat.
Orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya
Warastra itu memang sudah terbiasa laku tirakat seumur
hidupnya.
“Ki Gede,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian setelah sejenak
keduanya terdiam, “Sampai sejauh ini, apa yang kita khawatirkan
ternyata tidak terjadi. Matahari telah terbit dan aku tidak yakin
jika sisa-sisa cantrik padepokan Sapta Dhahana akan menyerang
perdikan Matesih di siang hari.”
“Aku juga berpendapat demikian,” sahut Ki Gede dengan serta
merta, “Namun kita tidak boleh lengah. Aku telah berpesan
kepada masing-masing pemimpin kelompok pengawal Matesih
untuk tetap menjaga kewaspadaan.”
“Ki Gede benar, setiap saat sisa-sisa laskar cantrik padepokan
Sapta Dhahana dapat menyergap Matesih,” menambahkan Ki
Bango Lamatan kemudian.
39
Sejenak suasana kembali menjadi sunyi, yang terdengar hanya
suara burung-burung yang bernyanyi dengan riang gembira
menyambut datangnya pagi.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak
mereka terdiam, “Jika memang Ki Bango Lamatan tidak berkenan
makan pagi terlebih dahulu, bagaimana jika kita segera ke banjar
padukuhan induk untuk mendengar berita terakhir dari kawan-
kawan di banjar? Terutama keberadaan Ki Wiyaga dan
pasukannya?”
“Baik, Ki Gede,” jawab Ki Bango Lamatan sambil mengangkat
cangkir dan menghabiskan sisa minuman di dalamnya. Setelah
meletakkan cangkir yang kosong itu kembali ke tempatnya, Ki
Bango Lamatan melanjutkan, “Semakin cepat semakin baik.
Mungkin Ki Rangga mempunyai rencana berikutnya untuk
menyikapi keadaan yang sedang berkembang ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menegakkan
punggungnya, Ki Gede kemudian berkata, “Namun ada satu hal
yang sedang membebani hatiku. Aku mohon maaf sebesar-
besarnya jika di saat seperti ini aku telah mencampur adukkan
kepentingan perdikan Matesih ini dengan kepentingan pribadiku.”
Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Dipandanginya raut
wajah orang tua itu yang tiba-tiba saja menjadi buram, seburam
langit di musim penghujan.
Bertanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Maaf Ki Gede, jika aku
diperbolehkan mengetahui, kepentingan pribadi manakah yang Ki
Gede maksud?”
40
Untuk beberapa saat Ki Gede termenung. Ingatannya segera
melayang kepada permintaan Ratri, anak perempuan satu-satunya
untuk mengantarkannya ke tanah perdikan Menoreh.
“Ki Gede?” desis Ki Bango Lamatanan kemudian membangunkan
pemimpin tanah perdikan Matesih itu.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Gede kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam. Seolah olah ingin melonggarkan dadanya
yang terasa pepat, “Mungkin aku ini tidak bisa menjadi seorang
ayah yang baik, aku tidak dapat mengendalikan anak
perempuanku yang sedang tumbuh menjelang dewasa.”
Ki Bango Lamatan menjadi berdebar-debar. Walaupun tidak
mengetahui secara keseluruhan permasalahan anak perempuan Ki
Gede yang bernama Ratri itu, namun beberapa saat yang lalu,
bersama dengan Glagah Putih dan Ki Jayaraga dia melihat sendiri
Ratri sedang menemui kekasihnya, Raden Mas Surengpati di
sebuah pategalan kosong.
“Tapi bukankah Sapta Dhahana sudah jatuh?” bertanya Ki Bango
Lamatan dalam hati, “Dan seharusnya Ratri menyadari sejak
peristiwa di pategalan itu, laki-laki adik Trah Sekar Seda Lepen itu
bukanlah seorang lelaki yang dapat diharapkan akan menjadi
suaminya kelak.”
Namun Ki Bango Lamatan tidak berani menduga-duga lebih jauh.
Dia hanya berdiam diri saja menunggu Ki Gede melanjutkan
ucapannya.
Dalam pada itu Ki Gede yang melihat Ki Bango Lamatan hanya
berdiam diri segera melanjutkan kata-katanya, “Sejak Sapta
Dhahana jatuh ke tangan kita, dia kelihatannya sudah menyadari
akan kesalahannya berhubungan dengan adik Trah Sekar Seda
41
Lepen itu. Namun yang kemudian menjadikan aku pusing tujuh
keliling adalah permintaannya untuk mempelajari olah
kanuragan.”
“Ah,” tanpa sadar Ki Bango Lamatan berdesah sambil menarik
nafas dalam-dalam. Jika persoalananya hanya menyangkut
keinginan Ratri untuk belajar olah kanuragan, bukankah Ki Gede
seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan?
“Ki Gede,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian setelah berpikir
sejenak, “Aku kira permintaan puteri Ki Gede itu adalah wajar.
Ditengah ketidak pastian dan mungkin pengalaman yang telah
dialaminya sendiri barangkali, tidaklah aneh jika puteri Ki Gede
ingin mempelajari olah kanuragan selangkah dua langkah. Justru
itu menunjukkan bahwa dirinya ingin mandiri, tidak tergantung
oleh orang lain,” Ki Bango Lamatann berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Selain itu, saat ini sudah tidak asing ataupun aneh
bagi perempuan untuk belajar olah kanuragan.”
“Persoalannya tidak sesederhana itu, Ki,” sahut Ki Gede
kemudian, “Yang menjadi persoalan adalah, Ratri ingin berguru
kepada Nyi Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu.”
Sejenak kening Ki Bango Lamatan terlihat berkerut merut, namun
itu hanya sekejap. Segera saja tampak sebuah senyum tersungging
di bibirnya. Berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Ki Gede, aku
kira keinginan puteri Ki Gede itu tidaklah terlalu sulit. Nanti
setelah Ki Gede bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu di
banjar padukuhan induk, Ki Gede dapat menyampaikan keinginan
puteri Ki Gede itu.”
Namun wajah Ki Gede tetap terlihat buram, seolah olah untuk
menyampaikan hal itu kepada Ki Rangga adalah suatu
permasalahan yang sangat berat.
42
Ki Bango Lamatan yang melihat raut wajah Ki Gede tetap
menunjukkan kegalauan hatinya menjadi heran. Namun untuk
bertanya lebih jauh dia merasa sedikit segan, justru karena
persoalan itu menyangkut keluarga Ki Gede.
Dalam pada itu selagi kedua orang yang duduk di pendapa itu
terdiam beberapa saat, tiba–tiba pendengaran mereka yang tajam
telah mendengar langkah-langkah dari samping rumah induk.
Sepertinya langkah seekor kuda yang sedang dituntun oleh
penunggangnya.
Namun mereka berdua tidak perlu menunggu lama. Tiba-tiba dari
halaman samping di sebelah gandhok kanan, muncul seekor kuda
yang terlihat cukup tegar dengan seorang pemuda yang sangat
tampan memegang kendalinya.
Ki Bango Lamatan terkejut melihat kuda dan penuntunnya itu
langsung menuju ke depan pendapa. Ada perasaan aneh yang
menyelinap di sudut hati Ki Bango Lamatan begitu
memperhatikan anak muda yang wajahnya terlalu tampan dan
halus untuk ukuran seorang laki-laki.
Namun Ki Gede sama sekali tidak terkejut. Dia justru telah
menarik nafas dalam-dalam sambil berdiri. Melihat Ki Gede
berdiri, Ki Bango Lamatan pun kemudian mengikutinya.
“Apakah engkau sudah benar-benar siap untuk berangkat pagi ini,
Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian sambil melangkahkan
kakinya.
Ki Bango Lamatan yang mendengar Ki Gede menyebut nama Ratri
segera menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pemuda yang sangat
tampan itu adalah Ratri, putri Ki Gede yang mengenakan pakaian
kebanyakan kaum laki-laki.
43
Tiba-tiba dari halaman samping di sebelah gandhok kanan, muncul
seekor kuda yang terlihat cukup tegar dengan seorang pemuda yang..
44
“Aku benar-benar tidak mampu mengenalinya,” berkata Ki Bango
Lamatan dalam hati sambil mengikuti langkah Ki Gede menuruni
tlundak pendapa, “Tetapi untuk apa dia berpakaian seperti itu?
Dan akan berangkat kemanakah Ratri?”
Pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Bango Lamatan.
Namun ternyata dia segera mendapat jawabannya ketika Ratri
kemudian telah menghentikan kudanya tepat di depan pendapa.
Berkata Ratri kemudian, “Ayah, bukankah ayah telah berjanji
kepadaku untuk mengantarkan aku ke Menoreh pagi ini? Aku
sudah siap dan paman Pekatik telah memberiku kuda yang pernah
aku gunakan untuk belajar berkuda beberapa saat yang lalu.
Ternyata kuda ini masih ingat kepadaku dan sangat penurut
ketika aku mencoba di halaman belakang tadi.”
Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Bango Lamatan menarik nafas
panjang. Tanpa sadar Ki Gede berpaling ke arah orang yang
pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastro itu.
Dan agaknya Ki Bango Lamatan pun segera tanggap persoalan
yang sebenarnya tentang keinginan Ratri untuk berguru kepada
Nyi Sekar Mirah, istri Ki Rangga Agung Sedayu.
”Akan tetapi mengapa begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Bango
Lamatan dalam hati tak habis pikir, “Bukankah keadaan perdikan
Matesih belum menentu dan setiap saat dapat saja sisa-sisa laskar
cantrik padepokan Sapta Dhahana menyerbu Matesih.”
Namun pertanyaan itu hanya disimpan dalam hati. Ki Bango
Lamatan hanya dapat menunggu apa yang selanjutnya akan
dilakukan oleh Ki Gede untuk memenuhi permintaan putri satu-
satunya itu.
45
“Jangan khawatir, Ratri,” sahut Ki Gede kemudian dengan suara
yang berat dan tenang, “Ayahmu pasti menepati janji. Namun
perjalanan ke Menoreh cukup jauh dan aku akan meninggalkan
Matesih barang dua atau tiga hari. Sehingga aku harus yakin
bahwa selama aku tinggal Matesih dalam keadaan baik-baik saja.”
“Terima kasih ayah,” berkata Ratri kemudian sambil memandang
ke arah ayahnya yang masih berdiri di tlundak pendapa, “Nah,
bagaimana dengan ayah sendiri? Apakah sudah siap? Tadi aku
melihat ada empat pengawal yang sedang mempersiapkan kuda-
kuda mereka di halaman belakang. Apakah mereka akan ikut
serta?”
“Engkau benar Ratri,” jawab ayahnya kemudian sambil turun dari
tlundak dan kemudian mendekati kuda yang kendalinya sedang
dipegang anak perempuan satu-satunya itu. Lanjut Ki Gede
sesampainya dia di hadapan Ratri, “Kita perlu pengawal agar
segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana kita.”
Ki Bango Lamatan yang melihat Ki Gede turun dari pendapa
segera mengikutinya dari belakang. Tanpa sadar dia mengamat-
amati kuda Ratri yang cukup tegar walaupun tidak begitu besar.
Namun ukuran kuda itu memang cukup sesuai untuk seorang
penunggang perempuan.
“Kuda yang cukup bagus,” tiba-tiba tanpa sadar Ki Bango Lamatan
memuji sambil mengelus-elus suri kuda itu. Kuda itu pun tampak
senang sehingga telah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ki Gede yang melihat apa yang dilakukan Ki Bango Lamatan itu
ikut mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya kemudian,
“Baiklah. Aku akan berkemas. Akan tetapi sebelum kita
meninggalkan Matesih, kita akan mampir sebentar di banjar
padukuhan induk.”
46
Tampak wajah Ratri diliputi keheranan mendengar ucapan
ayahnya. Tanpa sadar sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari
birinya yang mungil, “Untuk apa ayah?”
Ki Gede menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan
putrinya. Tanpa sadar kepala tanah perdikan Matesih itu
berpaling sekilas ke arah Ki Bango Lamatan. Namun orang yang
pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu
tidak sedang memandang ke arahnya.
“Ratri,” jawab Ki Gede kemudian dengan suara sesareh mungkin,
“Kita akan meninggalkan Matesih barang dua atau tiga hari.
Selama itu aku harus yakin bahwa Matesih dalam keadaan baik-
baik saja. Untuk itulah aku akan meminta bantuan Ki Rangga dan
kawan-kawannya untuk menjaga perdikan ini selama aku tinggal.”
“Bukankah ada para bebahu dan para pengawal Matesih?” sahut
Ratri dengan serta merta sambil memandang tajam ke arah
ayahnya.
“Ratri, tadi malam hampir semalam suntuk aku telah mengelilingi
perdikan Matesih ditemani Ki Bango Lamatan. Para bebahu dan
pemimpin kelompok pengawal telah aku beri pesan dan arahan
yang jelas,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian,
“Namun para bebahu dan pengawal Matesih saja tidak cukup. Aku
akan meminta Ki Rangga dan kawan-kawannya untuk tinggal
barang dua atau tiga hari sambil menunggu kepulanganku dari
Menoreh.”
Ratri yang belum banyak berpengalaman dalam dunia olah
kanuragan itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bagi
dirinya, jumlah pengawal yang cukup banyak serta para bebahu
perdikan Matesih sudah lebih dari cukup untuk menjaga
keamanan perdikan Matesih selama ayahnya tidak ada di tempat.
47
Ki Gede yang melihat kerut merut di dahi putrinya itu justru telah
mengajukan pertanyaan kepada Ki Bango Lamatan, “Bagaimana
Ki Bango Lamatan? Bukankah memang sebaiknya aku meminta
pertolongan kepada Ki Rangga?”
Ki Bango Lamatan yang tidak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu sejenak justru membeku. Namun dengan
cepat dia segera dapat menyesuaikan diri. Jawabnya kemudian,
“Ki Gede benar. Memang seharusnya demikian, dan aku kira Ki
Rangga tidak akan keberatan. Keadaan perdikan Matesih belum
dapat dikatakan benar-benar aman. Ancaman balas dendam dari
para cantrik padepokan Sapta Dhahana masih menghantui para
kawula Matesih.”
Tampak Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian sambil berpaling kearah putrinya, “Nah, engkau dengar
sendiri betapa keadaan di Matesih benar-benar belum dapat
dikatakan aman,” Ki Gede berhenti sebentar. Lanjutnya
kemudian, “Sebaiknya kuda ini engkau tambatkan dulu di patok di
sebelah pendapa. Kita masih perlu menyiapkan bekal selama
perjalanan dan bekalmu tentu lebih banyak karena sesuai rencana
engkau akan tinggal di Menoreh cukup lama.”
Tampak wajah Ratri terlihat masih diliputi keragu-raguan. Ketika
dia kemudian berusaha memandang wajah ayahnya, tampak
betapa wajah yang terlihat sangat letih itu berusaha tersenyum
sareh. Hati Ratri yang paling dalam pun bagaikan terkethuk.
“Ya, ayah,” jawab Ratri pada akhirnya sambil menghela nafas
panjang. Sebenarnyalah bagi Ratri semakin cepat meninggalkan
Matesih semakin baik. Hatinya benar-benar belum siap untuk
bertemu dengan ibu tirinya itu.
48
Demikianlah akhirnya, sambil menundukkan wajahnya Ratri pun
kemudian menghela kudanya menuju ke samping pendapa.
Sementara Ki Bango Lamatan dan Ki Gede kembali ke pendapa.
“Silahkan jika Ki Gede ingin berbenah terlebih dahulu,” berkata Ki
Bango Lamatan kemudian sesampainya mereka berdua di
pendapa.
Sejenak Ki Gede memandang ke arah Ratri yang sudah hilang di
balik pintu pringgitan. Katanya kemudian sambil mempersilahkan
tamunya, “Silahkan menunggu sebentar Ki Bango Lamatan. Jika
memang tidak berkenan sarapan pagi, aku akan memberitahu
para pelayan untuk menambah minuman hangat lagi dan
beberapa penganan yang mungkin dapat untuk sekedar
mengganjal perut.”
“O, terima kasih, Ki Gede. Yang ini saja belum habis. Aku kira
tidak usah ditambah lagi,” sahut Ki Bango Lamatan cepat sambil
kembali duduk di atas tikar yang dibentangkan di tengah-tengah
pendapa.
Ki Gede tersenyum. Katanya kemudian, “Baiklah, Ki. Aku akan
berbenah. Apakah Ki Bango Lamatan berkenan ikut ke Menoreh?”
“Aku kira tidak, Ki Gede,” jawab Ki Bango Lamatan dengan serta
merta, “Masih banyak tugas yang harus diselesaikan. Tapi jika Ki
Rangga yang memerintahkan untuk menemani Ki Gede, aku tidak
akan berkeberatan.”
“Syukurlah. Kami akan senang sekali mempunyai teman
seperjalanan seperti Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Gede kemudian.
“Namun Ki Gede harus menyiapkan bekal dua kali lipat,” berkata
Ki Bango Lamatan kemudian, “Aku memang jarang makan,
49
namun jika sudah lapar, satu jodang makanan pun aku mampu
menghabiskannya.”
“Ah,” Ki Gede tertawa pendek. Dia tahu Ki Bango Lamatan hanya
bercanda. Maka lanjutnya kemudian, “Sudahlah Ki, aku akan
berkemas.”
Ki Bango Lamatan tidak menjawab. Hanya tampak anggukan
kepalanya serta isyarat tangannya untuk mempersilahkan Ki
Gede. Semetara Ki Gede dengan bergegas segera melangkah
menuju pintu pringgitan.
Dalam pada itu Putut Acarya yang sedang menyusul gurunya
berjalan dengan tergesa-gesa di ujung pagi. Matahari baru saja
menampakkan sinarnya. Sepanjang jalan tak henti-hentinya putut
Acarya berpikir keras.
“Apa maksud guru sebenarnya ke perdikan Matesih?” berkata
dalam hati putut tertua peguruan goa Langse itu sambil
mengayunkan langkahnya, “Jika hanya ingin mencoba
kedahsyatan ilmu agul-agulnya Mataram itu, bukankah saat ini
bukan waktu yang tepat? Sapta Dhahana telah jatuh dan
keberadaan sisa-sisa laskar itu belum diketahui. Menurut
pemikiranku, lebih baik mencari dan sekaligus bergabung dengan
mereka dari pada menantang perang tanding dengan Ki Rangga
Agung Sedayu.”
Tanpa terasa langkahnya telah mendekati banjar padukuhan
induk Matesih. Sejenak langkahnya menjadi ragu-ragu. Dia belum
dapat memutuskan lewat di depan banjar ataukah justru
mengambil jalan belakang dan kemudian memasuki banjar dari
arah belakang.
50
“Aku akan melewati banjar dari arah depan terlebih dahulu,”
membatin putut Acarya sambil melangkah terus, “Aku akan
mencoba membaca keadaan di banjar terlebih dahulu sebelum
memutuskan untuk memasukinya dari arah manapun.”
Berpikir sampai disitu, putut Acarya pun kemudian membulatkan
tekatnya untuk lewat banjar dari arah depan.
Ketika langkahnya tinggal dua tombak saja dari regol banjar
padukuhan induk Matesih, tiba-tiba saja putut Acarya dikejutkan
oleh suara tawa yang menggelegar merobek udara pagi.
“Guru?” tanpa sadar putut Acarya berdesis perlahan dengan
jantung yang berdebaran. Langkahnya pun semakin dipercepat.
Ketika Putut Acarya sudah benar-benar di depan regol banjar,
sejenak dia menjadi ragu-ragu. Memang ada keinginan memasuki
banjar untuk melihat langsung apa yang sedang terjadi. Namun
beberapa orang pengawal yang sedang berjaga dengan senjata
terhunus di sebelah menyebelah regol telah membuatnya berpikir
seribu kali.
“Aku adalah murid pertama padepokan goa Langse,” tiba-tiba
sudut hatinya menggeram, “Mengapa aku harus takut dengan
pengawal-pengawal dungu itu? Mereka hanya mengerti selangkah
dua langkah ilmu kanuragan, sedangkan aku sudah menimba ilmu
goa Langse bertahun-tahun.”
Namun sudut hatinya yang lain menjawab, “Apa yang akan
engkau andalkan Acarya? Ilmu loncat-loncatan atau sekedar ilmu
memukul gedebok pisang itu? Engkau akan menjadi pengewan-
ewan oleh para pengawal perdikan Matesih yang sudah terbukti
berhasil menghancurkan padepokan Sapta Dhahana.”
51
Hati putut Acarya yang sudah mengembang itu tiba-tiba menciut
kembali menjadi sebesar menir. Dengan jantung berdebaran
diamat-amatinya regol banjar padukuhan Matesih dengan
pandangan yang nanar.
Namun justru sikapnya yang mencurigakan itulah yang telah
menarik perhatian beberapa pengawal penjaga regol.
Seorang pengawal yang berkumis tipis tampak mengerutkan
keningnya sambil berbisik ke arah kawan di sebelahnya, “He!
Lihat! Orang itu sedari tadi mengamat-amati tempat ini!”
“Ya, aku juga sedang memperhatikan dia,” bisik kawan di
sebelahnya tanpa berpaling. Pandangan matanya tajam lurus-
lurus ke arah putut Acarya yang sedang berdiri termangu mangu
beberapa langkah dari regol.
Agaknya pengawal yang berkumis tipis itu tidak dapat menahan
diri lagi. Maka katanya kemudian sambil melangkah, “Akan aku
tanya apa maksud orang itu mengawasi tempat ini.”
Kawan di sebelahnya tampak hanya menganggukkan kepala tanpa
menjawab. Namun pandangan matanya tetap tidak lepas dari
putut Acarya.
Dalam pada itu putut Acarya yang melihat salah satu pengawal
berjalan mendekatinya menjadi terkejut bagaikan disengat
kalajengking. Dengan cepat dia berusaha untuk menghilangkan
kesan. Segera diayunkan langkahnya kembali sambil
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Namun pengawal berkumis tipis itu tidak dapat dikelabuhi begitu
saja. Dengan mempercepat langkahnya dia segera menyusul putut
Acarya dan kemudian memotong langkah murid perguruan goa
Langse itu.
52
“Sebentar Ki Sanak!” berkata pengawal itu kemudian sambil
berhenti menghadang beberapa langkah di hadapan putut Acarya,
“Apakah Ki Sanak tidak berkeberatan jika aku mengajukan satu
dua pertanyaan kepada Ki Sanak?”
Putut Acarya yang mendapat perlakuan seperti itu jantungnya
menjadi berdegub semakin kencang. Namun dicobanya untuk
tetap tenang menghadapi keadaan yang sama sekali diluar
perhitungannya itu.
Sambil menghentikan langkah dan tersenyum, putut Acarya pun
kemudian balik bertanya, “O, ada kepentingan apakah Ki Sanak?
Aku sangat tergesa-gesa dan tidak mempunyai banyak waktu
untuk menjawab pertanyaan Ki Sanak.”
Pengawal yang sudah banyak pengalaman itu tidak begitu
mudahnya dikecoh oleh putut Acarya. Maka katanya kemudian,
“Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan banyak bertanya kepada Ki
Sanak. Yang ingin aku ketahui hanyalah sedikit jati diri Ki Sanak,”
pengawal berkumis tipis itu berhenti sejenak. Lanjutnya
kemudian, “Di manakah Ki Sanak tinggal? Di perdikan Matesih ini
ataukah Ki Sanak berasal dari luar Matesih?”
“Ah pertanyaan Ki Sanak terlampau banyak,” jawab putut Acarya
sambil tersenyum kembali untuk menutupi kegugupannya.
Lanjutnya kemudian, “Aku tinggal di dukuh Klangon. Nah, aku
kira keteranganku sudah cukup dan aku akan meneruskan
perjalananku.”
Namun pengawal berkumis tipis itu ternyata tidak juga beranjak
dari tempatnya. Sambil menampakkan wajah ramah dia
menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku banyak
mempunyai kenalan di dukuh Klangon. Bahkan salah satu
saudaraku ada yang tinggal di dukuh Klangon,” pengawal itu
53
berhenti sebentar untuk sekedar mengamat-amati wajah putut
Acarya, namun wajah itu tampak datar-datar saja. Lanjutnya
kemudian, “Ki Sanak ini memang asli penduduk dukuh Klangon
ataukah hanya kebetulan sedang berkunjung ke dukuh Klangon,
ke sanak saudara barangkali?”
Putut Acarya mulai merasa sedikit jengkel menghadapi pengawal
itu. Maka jawabnya kemudian, “Ki Sanak terlalu mencampuri
urusan pribadiku. Tapi baiklah, sekali ini aku jelaskan. Aku
sedang mengunjungi saudaraku yang sedang sakit di dukuh
Klangon. Nah, aku kira tidak ada lagi yang perlu aku jelaskan, dan
sekarang menepilah, aku akan melanjutkan perjalananku.”
Pengawal berkumis tipis itu tampak masih akan menahan putut
Acarya, namun tiba-tiba kepala pengawal jaga yang sedari tadi
memperhatikan kedua orang itu segera berkata cukup keras
sambil melangkah mendekat, “Sudahlah Darta, biarkan Ki Sanak
itu melanjutkan perjalanannya. Engkau sama sekali tidak punya
hak untuk mengganggunya.”
Putut Acarya tanpa sadar berpaling ke arah pemimpin pengawal
jaga yang melangkah mendekat.
“Terima kasih,” berkata putut Acarya kemudian sambil
menggerakkan kakinya untuk melangkah ketika dilihatnya
pengawal yang bernama Darta itu menepi.
Namun baru saja dia maju selangkah, tiba-tiba pemimpin
pengawal jaga itu berdesis perlahan, “Maaf Ki Sanak, jika aku
tidak salah, aku pernah melihat Ki Sanak di depan pasar Klangon
beberapa hari yang lalu. Apakah saudara Ki Sanak itu saudagar
kaya raya yang tinggal di depan pasar Klangon, Ki Windardi?”
54
Putut Acarya yang sama sekali belum mengenal dukuh Klangon
sejenak tertegun. Namun tiba-tiba terbersit niat di dalam hatinya
untuk membuat pengawal yang bernama Darta itu menjadi segan
dan malu jika dia mengaku sebagai saudara Ki Windardi, saudagar
kaya raya seperti yang dimaksud pemimpin pengawal itu. Maka
jawabnya kemudian sambil tersenyum dan mengangguk, “Ya Ki
Sanak. Memang benar Ki Windardi dengan aku masih terhitung
sepupu.”
Namun tanggapan pemimpin pengawal jaga itu justru diluar
dugaan. Sambil menggeram dia membentak, “Bohong!
Mengakulah bahwa Ki Sanak sedang mematai-matai banjar
padukuhan ini. Ki Sanak sama sekali tidak mengenal Ki Windardi,
karena nama Ki Windardi itu hanya karanganku saja. Nah!
Sekarang mengakulah sejujurnya, siapa sebenarnya Ki Sanak dan
untuk apa Ki Sanak menyelidiki banjar padukuhan induk
Matesih.”
Selesai berkata demikian, pemimpin pengawal itu segera bertepuk
tangan dua kali. Tanpa menunggu waktu, dua orang pengawal
yang bediri di sebelah menyebelah regol segera meloncat
mendekat setelah menyarungkan senjata mereka terlebih dahulu.
Berdesir dada putut Acarya. Dia sama sekali tidak mengira jika
pertanyaan bernada sangat ramah dan bersahabat itu ternyata
hanyalah sebuah jebakan. Melihat gelagat yang tidak
menguntungkan itu, putut Acarya segera meloncat ke depan untuk
melarikan diri dari tempat itu.
Namun ternyata Darta sama sekali tidak lengah. Dengan sangat
cerdiknya salah satu kakinya segera dikaitkan ke arah salah satu
kaki putut Acarya yang sedang berlari.
55
Akibatnya sangat menyakitkan. Tubuh Acarya terpelanting ke
depan dan kemudian jatuh tersungkur. Namun murid perguruan
goa Langse itu dengan sangat cekatan segera melenting berdiri.,
Namun alangkah terkejutnya putut Acarya, begitu dia berdiri
tegak di atas kedua kakinya yang renggang, empat orang pengawal
telah mengurungnya.
“Jangan lari pengecut!” geram Darta sambil melangkah mendekat
dengan pandangan tajam, setajam ujung belati yang dapat
merobek jantung, “Kami tidak akan berlaku kasar jika Ki Sanak
bersedia dengan suka rela mengaku jati diri Ki Sanak serta untuk
tujuan apa Ki Sanak mengamat-amati banjar ini.”
Putut Acarya tidak menjawab. Pandangan matanya menyapu
keempat pengawal yang kini dengan langkah satu-satu
merapatkan kepungan mereka.
“Tidak ada cara lain selain jalan kekerasan,” geram putut Acarya
dalam hati. Dia mulai menilai di antara keempat pengawal itu,
siapakah yang paling lemah sehingga dapat dijadikan jalan untuk
lolos dari tempat terkutuk itu.
Ketika keempat pengawal itu semakin dekat, tiba-tiba saja putut
Acarya berteriak nyaring sambil menerjang ke salah satu pengawal
yang bertubuh paling kecil.
Namun pengawal yang bertubuh kecil itu sama sekali tidak
terkejut. Dia sudah menduga jika putut Acarya pasti akan
menggunakan jalan kekerasan untuk l;olos dari tempat itu.
Dengan tenangnya serangan putut Acarya itu disambut dengan
kaki yang terjulur ke depan serta tangan yang menyilang di depan
dada.
56
Putut Acarya terkejut melihat cara lawan memyambut
serangannya. Namun murid goa Langse itu tidak menjadi
bingung. Sambil memiringkan tubuhnya yang sedang meluncur
itu, kaki lawannya lewat hanya setebal ibu jari dari perutnya.
Sementara tangannya tetap deras menghantam wajah.
Ketika kepalan tangan putut Acarya hampir menyentuh hidung
pengawal yang bertubuh kecil itu, tiba-tiba dari arah samping
terasa sesuatu menghantam lambungnya sehingga tubuhnya
terputar ke kiri. Belum sempat dia memperbaiki kedudukannya,
sebuah hantaman yang cukup keras melanda dagunya.
Putut Acarya mengumpat keras sambil berusaha meloncat ke
belakang sejauh-jauhnya. Namun kembali sebuah tendangan
terasa menyentuh punggungnya. Ternyata keempat pengawal
yang mengeroyoknya itu dapat bekerja sama dengan sangat baik,
sehingga hampir tidak ada celah baginya untuk melakukan
serangan balasan.
“Pengecut!” geram putut Acarya sambil terhuyung ke depan.
Dengan cepat dia segera memperbaiki kedudukannya. Sementara
keempat lawannya agaknya membiarkan saja dirinya untuk
berdiri tegak.
“Nah, menyerahlah Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal itu
dengan nada yang dalam, “Kami dapat berbuat lebih dari yang
engkau bayangkan, namun kami para pengawal perdikan Matesih
tetap menjunjung tinggi paugeran. Kami tidak akan berbuat
sewenang-wenang sebelum mengetahui duduk permasalahan
yang sebenarnya.”
“Kalian memang hanya segerombolan pengecut!” geram putut
Acarya sambil memasang kuda-kuda. Kini dia menyadari bahwa
57
untuk lolos dari tempat itu dia harus mengerahkan segala
kemampuan ilmunya.
“Ternyata para pengawal ini memiliki sedikit kemampuan olah
kanuragan,” membatin putut Acarya kemudian sambil menggeser
kuda-kudanya selangkah ke depan, “Aku tidak akan gegabah lagi
menyerang mereka.”
“Menyerahlah, Ki Sanak!” seru pemimpin pengawal itu sambil
memberi isyarat kawan-kawannya untuk semakin merapatkan
kepungan. Namun sekarang putut Acarya sudah menemukan jati
dirinya sebagai murid goa Langse.
“Jika kalian memang jantan, ayo lawan aku dalam perang tanding
yang jujur! Belajarlah menjadi seekor elang, jangan hanya bangga
karena menjadi seekor ayam!” teriak putut Acarya berusaha
memancing kemarahan serta harga diri keempat pengawal itu.
Namun pemimpin pengawal itu ternyata sama sekali tidak
tersinggung. Dengan langkah yang mantap dia maju selangkah.
Jawabnya kemudian tak kalah kerasnya, “Ki Sanak, buka mata
dan telingamu lebar-lebar. Kami adalah pengawal perdikan
Matesih yang sedang menjalankan tugas. Apa yang sedang kami
kerjakan ini adalah sesuai dengan petunjuk Ki Wiyaga, kepala
pengawal perdikan Matesih serta telah mendapat restu Ki Gede
selaku pemimpin tertinggi di tanah perdikan ini,” pemimpin
pengawal itu berhenti sejenak lanjutnya kemudian, “Dalam
menjalankan tugas tidak ada istilah jantan atau tidak jantan.
Keamanan dan ketertiban di tanah pedikan ini adalah taruhannya.
Nah, suka atau tidak suka, Ki Sanak akan kami tangkap dan kami
serahkan kepada Ki Wiyaga untuk mendapat keputusan. Namun
jika Ki Sanak dengan suka rela menyerahkan diri, kami akan
perlakukan Ki Sanak sesuai paugeran.”
58
Putut Acarya sejenak tertegun namun hanya sekejap. Yang
terdengar kemudian adalah sebuah tawa berkepanjangan yang
terdengar sangat memuakkan.
“Diam!” tiba-tiba Darta membentak keras sehingga membuat
Putut Acarya terdiam seketika.
“Jangan berlagak gila di hadapan para pengawal Matesih!” geram
Darta selanjutnya, “Kami sudah kenyang dengan segala polah
tingkah orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha
mengelabuhi kami. Sekarang ikutlah ke gardu. Ki Sanak harus
menjawab beberapa pertanyaan sebelum kami yakin bahwa Ki
Sanak tidak bersalah.”
Namun putut Acarya yang sudah merasa bahwa dirinya tidak
mungkin lolos dengan cara baik-baik telah membulatkan
tekadnya. Dia tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Kini dia
telah siap bertempur berlandaskan ilmu goa Langse.
“Baiklah,” jawab Putut Acarya kemudian sambil menegakkan dan
membusungkan dadanya, “Kita tidak usah berpanjang kata. Terus
terang aku menolak untuk kalian tangkap. Aku akan melawan
dengan sekuat tenaga. Jika kalian akan mengeroyok,
mengeroyoklah. Panggil semua pengawal yang ada di regol untuk
membantu kalian menangkapku.”
Merah padam wajah keempat pengawal itu mendengar
kesombongan putut Acarya. Tanpa menunggu waktu, keempatnya
segera bergerak mengepung putut Acarya dari segala penjuru.
Putut Acarya yang menyadari bahwa para pengawal itu ternyata
telah dibekali dengan ilmu olah kanuragan kini tidak lagi bergerak
dengan gegabah. Dipusatkan segala nalar dan budinya untuk
menghadapi keempat pengawal itu.
59
Demikianlah akhirnya, ketika keempat pengawal itu bergerak
perlahan memutari putut Acarya, murid pertama goa Langse itu
secepat kilat meloncat ke arah pengawal yang berdiri paling dekat.
Kakinya terjulur mengancam lambung.
Melihat Putut Acarya menyerang salah satu pengawal, kawan-
kawannya serentak bergerak menyerang Putut Acarya dari segala
arah.
Namun putut Acarya kali ini tidak menjadi gugup dan bingung.
Serangan pertamanya tadi hanyalah sebuah pancingan. Dengan
cepat dia segera mengurungkan serangannya dengan menarik
tangannya sejajar lambung. Kakinya yang terjulur telah
ditahannya dengan cara ditekuk kemudian kaki lainnya digunakan
sebagai tumpuan untuk berputar. Sejenak kemudian kaki yang
ditekuk itupun terjulur kembali dan berputar menebas serangan
lawan-lawannya.
Dua orang pengawal memang sempat mengurungkan serangannya
dan meloncat mundur, namun salah seorang pengawal tidak
sempat menghindar. Tidak ada jalan lain baginya selain
menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian sebuah benturan yang cukup keras terjadi.
Putut Acarya yang sudah memutuskan lolos dari tempat itu
dengan jalan kekerasan tidak mengekang diri lagi. Dengan
segenap kekuatan kakinya membentur tangan yang bersilang itu.
Akibatnya ternyata telah membuat pengawal yang lain terkejut.
Tubuh kawan mereka terlempar ke belakang bagaikan layang-
layang putus sebelum akhirnya terbanting ke tanah dengan cukup
keras. Sejenak pengawal itu mengumpat keras-keras sambil
menggeliat memegangi punggungnya yang rasa rasanya mau
60
patah. Untuk beberapa saat dia mengalami kesulitan untuk
bangkit berdiri.
Ketiga pengawal yang melihat salah satu kawannya telah
dijatuhkan oleh orang asing itu menjadi marah. Serentak
ketiganya segera meloncat menyerang.
Demikianlah pertempuran di depan regol banjar padukuhan
induk itu semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa
pengawal yang berada di regol telah mendekat dan mengurung
tempat itu walaupun sejauh itu mereka belum melibatkan diri.
Sementara pengawal yang terjatuh beberapa saat tadi dengan
tertatih-tatih segera dipapah oleh salah seorang pengawal dibawa
memasuki gardu yang terletak di belakang regol.
“Orang itu kekuatannya ngedab-edabi,” geram pengawal yang
terjatuh itu sambil memegangi punggung dengan salah satu
tangannya, “Sebaiknya kalian segera mengepungnya agar dia tidak
dapat lolos. Jika dia sempat lolos, kita semua akan dipermalukan
dan tidak tahu harus menjawab apa jika Ki Wiyaga bertanya.”
Pengawal yang memapahnya tidak menanggapi, hanya saja ketika
dia sempat berpaling, dia melihat pengawal yang bertubuh kurus
itu yang sekarang terpelanting jatuh, namun masih bisa bangkit
kembali.
“Gila!” geram pengawal yang memapah kawannya itu.
“Ada apa?” bertanya pengawal yang terjatuh itu tanpa berpaling.
“Si Suta terjatuh, tapi masih mampu bangkit lagi.”
“Kalian harus menambah jumlah pengawal, jika hanya bertiga aku
tidak yakin orang itu dapat dilumpuhkan.”
61
Namun ternyata pemimpin pengawal yang sedang bertempur
dengan dua pengawal yang lain itu sudah memikirkan akibat yang
akan ditanggung jika mereka hanya bertiga. Maka ketika keadaan
keseimbangan pertempuran itu sudah semakin buruk, dia segera
bersuit nyaring. Dua orang pengawal muda yang menonton di
pinggir arena itu pun segera meloncat ke dalam arena
pertempuran.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru dan kisruh.
Dua pengawal yang masih muda itu agaknya kurang dapat
menempatkan diri selaras dengan kawan-kawannya. Pengalaman
yang masih sedikit serta bekal yang dikuasainya juga masih
sedikit, justru telah membuat kawan-kawannya bingung sendiri.
Melihat kekisruhan dalam pertempuran yang sedang berlangsung
itu, pemimpin pengawal segera meloncat mundur sambil berteriak
nyaring, “Semua pengawal yang ada di gardu! Kepung orang ini!”
Serentak pengawal yang tersisa sekitar empat orang segera
bergerak maju. Sekarang yang mengeroyok putut Acarya menjadi
sembilan orang.
Menyadari pengeroyoknya semakin banyak, putut Acarya sudah
tidak mampu menahan diri lagi. Segera saja sebilah golok yang
besar tergenggam di tangan kanannya.
Terkejut para pengawal yang sedang mengepungnya. Serentak
mereka segera melangkah mundur sambil tangan kanan mereka
meraba hulu senjata masing-masing.
“Ki Sanak,” berkata pemimpin pengawal itu kemudian sambil
memberi isyarat kawan-kawannya untuk tidak mencabut senjata
terlebih dahulu, “Aku tidak ingin permasalahan ini berujung pada
raja pati. Kami semua pengawal hanya menjalankan tugas.
62
Menyerahlah, kami tidak akan keluar dari paugeran yang berlaku.
Jika Ki Sanak memang tidak bersalah dan tidak mempunyai niat
apapun untuk menyelidiki banjar ini, kami dengan senang hati
akan melepaskan Ki Sanak. Namun Ki Sanak kami minta jujur
memberikan keterangan tentang jati diri Ki Sanak.”
“Omong kosong!” geram putut Acarya sambil memutar
senjatanya. Bilah senjata di tangannya berkilat-kilat tertimpa
sinar Matahari pagi, “Sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku
sedang mengunjungi sanak keluargaku yang ada di dukuh
Klangon, akan tetapi kalian tidak percaya dan memaksa aku untuk
berkata lain dan sengaja ingin mencari perkara!”
“Ki Sanak,” potong pemimpin pengawal itu cepat, “Bukan maksud
kami mencari perkara, namun keterangan Ki Sanak yang tidak
sesuai kenyataan telah membuat kami bercuriga,” pemimpin
pengawal itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, kami
akan melepas Ki Sanak namun dengan syarat, Ki Sanak harus
berkata jujur. Sebutkan siapa kerabat Ki Sanak di dukuh Klangon
yang sedang Ki Sanak kunjungi.”
Putut Acarya benar-benar telah dibuat waringuten dengan para
pengawal itu. Namun sebelum dia menjawab, tiba-tiba tanah
bagaikan bergetar disertai suara tawa yang menggelegar
memekakkan telinga dari arah belakang banjar.
Orang-orang yang sedang berada di depan regol banjar itu terkejut
bukan alang kepalang. Namun putut Acarya justru telah tertawa
sambil bertolak pinggang. Maka katanya kemudian dengan
lantang, “Dengarlah! Itu adalah suara kedahsyatan ilmu guruku,
Pertapa dari goa Langse. Kami berlima datang tengah malam tadi
mengantar putera Ki Dukuh Klangon yang menjadi salah satu
murid goa Langse. Ketahuilah kalian orang-orang bodoh, guruku
sekarang sedang bertempur dengan Ki Rangga Agung Sedayu di
63
belakang banjar. Sebentar lagi kalian akan dimusnahkan dengan
ilmunya yang tinggi, setelah guruku menghancurkan nama besar
Ki Rangga Agung Sedayu!”
Bergetar jantung para pengawal itu. Agaknya orang ini ada
hubungannya dengan kedatangan seseorang di penghujung pagi
tadi di halaman belakang banjar. Dan kini agaknya pertempuran
sedang berlangsung dengan dahsyatnya.
“Apakah Ki Rangga mampu mengatasi orang yang disebut Pertapa
goa Langse itu?” pertanyaan itu berputar-putar di dalam benak
setiap pengawal. Mereka tidak mengetahui perkembangan
keadaan di belakang banjar dan mengira Ki Rangga sendiri yang
menghadapi orang yang disebut Pertapa goa Langse itu.
“Nah, sekarang kalianlah yang harus menyerah kepadaku,”
berkata putut Acarya kemudian dengan nada suara sedikit
mengejek, “Atau kalian akan aku babat habis seperti membabat
rumput ilalang dengan sebilah pedang yang tajam. Tubuh-tubuh
kalian yang bersimbah darah akan tumpang tindih di depan regol
ini.”
Para pengawal menjadi berdebar debar mendengar sesumbar
orang yang mengaku murid goa Langse itu. Untuk beberapa saat
mereka hanya diam termangu tanpa mengetahui harus berbuat
apa.
Di tengah–tengah keragu-raguan itu, tiba tiba telinga mereka yang
berada di depan regol banjar padukuhan induk itu lamat-lamat
mendengar suara derap kaki-kaki kuda yang sedang dipacu
menuju ke tempat itu. Semakin lama suara derap kaki-kaki kuda
itu pun semakin jelas.
64
Dalam pada itu di depan regol banjar padukuhan induk, Ki Gede
Matesih sama sekali tidak mengalami kesulitan…………….
65
Ketika derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin keras, sejenak
kemudian dari kelokan jalan muncul tujuh penunggang kuda yang
dipacu tidak seberapa kencang.
“Ki Gede Matesih!” hampir bersamaan para pengawal yang berada
di depan regol itu berseru.
Putut Acarya terkejut mendengar seruan para pengawal itu. Jika
yang datang adalah Ki Gede Matesih sendiri, dia menjadi ragu-
ragu untuk meloloskan diri dari tempat itu hanya dengan berbekal
kemampuannya. Apalagi Ki Gede datang tidak sendiri, ada enam
orang yang mengiringinya.
Dalam pada itu Ki Gede yang berkuda paling depan berjajar
dengan Ratri terkejut bukan alang kepalang melihat
pemandangan di depan regol. Menilik tanah yang bagai di bajak
serta sisa sisa debu yang mengepul menandakan bahwa di tempat
itu baru saja terjadi sebuah pertempuan.
Segera saja orang-orang berkuda itu menarik tali kekang masing-
masing. Dengan tangkasnya orang-orang berkuda itu kemudian
meloncat turun kecuali Ratri, dia tetap duduk di atas punggung
kudanya. Sementara Ki Bango Lamatan yang berwajah tegang
tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil mengangkat
kepalanya memandang jauh ke arah belakang banjar.
“Ada sesuatu yang sedang terjadi di belakang banjar,” berkata Ki
Bango Lamatan dalam hati sambil mengerahkan aji sapta
pangrungu, “Sepertinya dua orang berilmu tinggi sedang
berperang tanding.”
Dalam pada itu Ki Gede sambil menuntun kudanya dengan
langkah tergesa gesa segera mendekat. Sementara beberapa
pengawal justru tertarik memandangi wajah Ratri dalam pakaian
66
laki-laki. Wajah itu terlihat sangat tampan, bahkan terlalu tampan
dan halus untuk ukuran seorang laki-laki.
“Siapakah pemuda tampan yang bersama Ki Gede itu?” hampir
setiap orang yang ada di depan regol banjar padukuhan induk itu
telah bertanya-tanya dalam hati.
Namun perhatian para pengawal itu pun segera beralih ketika Ki
Gede telah semakin dekat.
“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Gede kemudian sesampainya dia
beberapa langkah dari pengawal yang terdekat. Pengawal itu tidak
menjawab pertanyaan Ki Gede. Justru dengan tergopoh gopoh dia
segera menyambut tali kendali kuda Ki Gede.
Tanpa meninggalkan kewaspadaan, pemimpin pengawal jaga pada
hari itu segera maju beberapa langkah menyambut Ki Gede.
Setelah mengangguk hormat terlebih dahulu, barulah dia
menyampaikan laporannya.
“Ki Gede, kami mencurigai seseorang sedang mengawasi banjar
padukuhan induk ini,” pemimpin pengawal jaga itu memulai
laporannya, “Kami berusaha menangkapnya namun dia melawan.
Kemampuan ilmunya cukup tinggi sehingga kami belum berhasil
menangkapnya.”
Kerut merut tampak di kening Ki Gede. Dengan sekali pandang
saja Ki Gede segera mengetahui siapa orang yang dimaksud oleh
pemimpin pengawal itu. Seseorang yang berdiri di tengah tengah
kepungan pengawal sambil memegang sebilah senjata yang cukup
mendebarkan.
“Aku akan berbicara dengan orang itu,” berkata Ki Gede pada
akhirnya sambil melangkah. Para pengawal pun segera menyibak
memberikan jalan.
67
Sesampainya di hadapan Putut Acarya, Ki Gede segera
menghentikan langkahnya. Sambil menganggukkan kepala, Ki
Gede pun segera mengajukan sebuah pertanyaan yang jelas dan
tegas, “Ki Sanak, sebut namamu dan asal usulmu!”
Berdesir dada Putut Acarya. Orang yang disebut Ki Gede Matesih
itu di matanya terasa sangat berbeda dengan para pengawal.
Betapa wibawa yang besar terpancar dari sepasang mata itu.
Namun putut Acarya berusaha menekan perasaannya. Katanya
kemudian dengan suara lantang, “Aku adalah Putut Acarya, murid
tertua dari goa Langse. Aku datang bersama guruku. Sekarang
guru sedang berperang tanding dengan Ki Rangga Agung Sedayu
di belakang banjar. Nah! Segeralah kalian meminta ampun kepada
guruku agar guruku tidak bertambah marah sehingga setelah
membunuh Ki Rangga, kalian akan di sapunya seperti angin
puting beliung yang menyapu daun-daun kering!”
Terkejut Ki Gede mendengar pengakuan putut Acarya. Tanpa
sadar dia segera berpaling ke belakang ke arah Ki Bango Lamatan.
Ki Bango Lamatan yang berdiri beberapa langkah di belakang Ki
Gede itu pun terkejut. Dengan segera diserahkannya kendali
kudanya kepada seorang pengawal di dekatnya.
“Aku akan melihatnya Ki Gede,” berkata Ki Bango Lamatan
kemudian sambil melangkah tergesa-gesa meninggalkan tempat
itu.
“Aku ikut paman!” tiba –tiba terdengar suara merdu mengejutkan
mereka yang berkerumun di depan regol banjar padukuhan induk
itu.
“Ternyata dia seorang perempuan!” para pengawal itu pun
akhirnya menyadari siapa sebenarnya pemuda tampan itu.
68
“Ratri,” bisik pengawal yang berkumis tipis itu kepada pengawal di
sebelahnya.
Kawannya tidak menyahut. Hanya tampak kepalanya saja yang
terangguk-angguk. Sementara itu, semua pandangan mata para
pengawal pun tertuju ke arah Ratri yang sedang berusaha turun
dari kudanya.
Begitu turun dari kudanya, tanpa memperhatikan pandangan para
pengawal di sekitarnya, Ratri segera bergegas menyusul Ki Bango
Lamatan yang tampak berdiri menunggunya.
“Hati-hatilah, nduk,” pesan ayahnya begitu Ratri berjalan
melewati Ki Gede.
“Ya ayah,” jawab Ratri pendek tanpa berpaling. Langkahnya yang
kecil-kecil namun trengginas itu benar-benar mempesona. Bahkan
Putut Acarya yang nasibnya sedang di ujung tanduk itu pun
sejenak lupa akan segalanya. Keindahan langkah dan gemulainya
tubuh ramping Ratri yang sedang berjalan melintas beberapa
langkah di hadapannya seolah telah membawanya ke alam mimpi
yang sangat indah.
“Nah, Ki Sanak! Lebih baik engkau sarungkan terlebih dahulu
senjatamu!” tiba-tiba suara Ki Gede yang berat dan dalam telah
membangunkan mimpinya.
Putut Acarya terkejut. Namun dengan gerak naluriah, senjatanya
justru telah diangkatnya tinggi-tinggi. Katanya kemudian dengan
suara menggelegar, “Senjataku telah keluar dari sarungnya. Dia
tidak akan kembali ke tempatnya sebelum meminum darah. Nah,
silahkan siapa yang akan menjadi korbanku yang pertama.”
Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam. Agaknya orang
yang mengaku murid Pertapa goa Langse ini tidak dapat diajak
69
berbicara lagi. Maka Ki Gede pun segera memberi isyarat kepada
salah satu pengawal yang mengiringinya.
Pengawal itu ternyata tanggap. Dengan cepat dia segera
mengambil sebuah tombak bermata tiga yang disangkutkan di
pelana kuda Ki Gede.
“Kiai Singkir Geni,” desis para pengawal yang berada di depan
regol itu dengan jantung yang berdebaran. Agaknya Ki Gede akan
melumpuhkan murid Pertapa goa Langse itu dengan senjata
kebanggaan perdikan Matesih.
Putut Acarya yang mendengar desis para pengawal itu pun
menjadi berdebar-debar. Jika Ki Gede akan turun tangan sendiri
untuk menangkapnya, tentu kesempatan lolos dari tempat itu
semakin kecil.
Ketika tombak bermata tiga itu telah berada di tangan Ki Gede,
sejenak ayah Ratri itu menimang-nimang senjata pusakanya
beberapa saat. Seolah olah Ki Gede ingin mengetahui letak
keseimbangan senjata pusakanya itu.
“Nah, Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil menyilangkan
senjatanya di depan dada, “Kita akan segera mulai. Sekali lagi ini
bukan sebuah perang tanding, namun adalah sebuah kehormatan
bagiku untuk menjajagi ilmu murid goa Langse. Sementara guru
Ki Sanak sekarang mungkin sedang bertempur dengan Ki
Rangga.”
“Guru tidak akan memerlukan waktu lebih dari sepenginang
sirih,” sahut Putut Acarya cepat, “Sudah menjadi kebiasaan
guruku untuk menuntaskan setiap persoalan tanpa pandang bulu,
tanpa menunda-nuda apalagi berbelas kasihan.”
70
“Terima kasih atas penjelasan Ki Sanak,” berkata Ki Gede
kemudian sambil mulai memutar senjatanya, “Aku harap Ki Sanak
sebagai murid goa Langse mempunyai sikap yang tidak jauh
berbeda dengan gurumu, apalagi kemampuan ilmunya.”
“Engkau akan segera melihatnya!” geram putut Acarya sambil
bergeser setapak demi setapak. Diputarnya senjata itu sekali di
atas kepalanya, kemudian dengan cepat dijulurkan lurus-lurus ke
depan, seakan ingin mematuk dada Ki Gede.
Demikianlah akhirnya, sejenak kemudian dengan didahului
sebuah bentakan nyaring, tubuh Putut Acarya bagaikan terbang
menerjang ke depan. Senjatanya dengan deras membabat leher
lawannya.
Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar suara desir senjata
lawan yang meluncur ke arahnya. Dengan melangkah setapak Ki
Gede kemudian menyambut babatan senjata lawan itu dengan
ujung tombaknya yang bermata tiga. Agaknya Ki Gede bermaksud
menangkap senjata itu dengan ujung trisulanya dan kemudian
memutarnya agar terlepas dari genggaman lawan.
Namun Putut Acarya bukanlah anak kemarin sore yang baru
belajar loncat-loncatan dalam dunia olah kanuragan. Walaupun
gurunya terlalu pelit untuk menurunkan ilmu, namun berbekal
ilmu yang telah dikuasainya, Putut Acarya berusaha
mengembangkan sendiri gerak dan langkah yang telah
dipelajarinya.
Senjata yang meluncur menebas leher itu tiba-tiba berbelok dan
sekarang mengarah ke pinggang. Sebenarnya serangan ke arah
leher tadi hanyalah sebuah pancingan. Kini serangan yang
sebenarnya meluncur deras mengancam lambung.
71
Menyadari arah serangan lawan telah berubah, Ki Gede tidak
menjadi kaget. Dengan tenangnya serangan itu disambut dengan
ayunan landeyan tombaknya.
Benturan pun tidak dapat dielakkan lagi. Terdengar suara
dentingan bilah pedang yang beradu dengan landeyan tombak
yang terbuat dari kayu berlian. Putut Acarya pun merasakan
kekuatan yang besar menghantam senjatanya sehingga hampir
saja hulu senjatanya terlepas dari genggaman.
Sedangkan Ki Gede merasakan tenaga yang besar telah
mendorong landeyan tombaknya. Namun Ki Gede yang
merupakan anak murid perguruan Pandan Alas dari cabang
gunung kidul itu sama sekali tidak terpengaruh.
Denag cepat Putut Acarya meloncat ke belakang. Dengan sangat
teliti diperiksa senjatanya kalau-kalau terjadi kerusakan ketika
berbenturan dengan senjata lawan.
Namun Putut Acarya segera bernafas lega. Senjatanya sama sekali
tidak mengalami kerusakan. Namun ketika putut Acarya
kemudian memandang ke depan, tampak Ki Gede dengan tombak
bersilang di dada tetap tegak di tempatnya sambil tersenyum ke
arahnya.
Mendidih darah murid goa Langse itu melihat senyum Ki Gede.
Seolah-olah Ki Gede ingin mengatakan bahwa kekuatan murid goa
Langse itu belum sampai menggetarkan bulu-bulu di kulitnya.
“Baiklah Ki Gede,” geram Putut Acarya kemudian sambil bersiap
menyerang kembali, “Jangan berbangga dulu. Aku belum
mengerahkan segenap kemampuanku. Sekarang aku tidak akan
bermain-main lagi. Bersiaplah, Ki Gede!”
72
Dengan tetap tersenyum Ki Gede pun menjawab, “Aku sudah siap
sedari tadi, menunggu serangan Ki Sanak yang paling dahsyat
sekali pun.”
Putut Acarya tidak menjawab. Dipusatkan segala nalar dan
budinya untuk menyerang lawannya kembali.
Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang berjalan dengan tergesa-
gesa ke belakang banjar terpaksa sesekali harus menunggu Ratri
yang mengikutinya dengan langkah-langkah kecil. Ki Bango
Lamatan tidak sampai hati jika harus memaksa Ratri untuk
berlari-lari.
Ketika mereka berdua kemudian sampai di longkangan, suara
deru angin serta benturan ilmu itu terdengar semakin jelas. Ratri
yang belum terbiasa melihat sebuah pertempuran yang
sebenarnya hatinya menjadi kecut, sehingga langkahnya pun telah
terhenti.
“Paman..!” seru Ratri kemudian dengan suara tercekat di
tenggorokan.
Ki Bango Lamatan yang berada dua langkah di depannya
berpaling. Betapa terkejutnya orang yang pernah menjadi
kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu begitu melihat
wajah Ratri yang sedikit pucat.
“Apa ada, Ratri?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sambil
berhenti dan kemudian memutar tubuhnya.
Unuk sejenak Ratri tertegun. Ada rasa segan untuk mengatakan
suasana hatinya yang sebenarnya. Namun suara perkelahian itu
terdengar begitu dahsyatnya.
73
“Baiklah,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Kita tidak usah
mendekat. Kita mengintip dari pintu longkangan ini saja.”
Mendengar itu hati Ratri menjadi agak tenang. Ketika Ki Bango
Lamatan kemudian bergeser ke dekat pintu longkangan dan
membukanya beberapa jengkal, Ratri pun kemudian ikut
mengintip jalannya pertempuran.
Dalam pada itu, Ki Rangga dan kedua orang tua yang sedang
memperhatikan perang tanding itu sejenak berpaling.
Pendengaran mereka yang sangat tajam segera mendengar
langkah-langkah di longkangan dan kemudian suara derit pintu
longkangan yang dibuka.
Ketika ketiga orang itu kemudian menajamkan pandangan mata
mereka, segera saja mereka mengenali seraut wajah yang sudah
tidak asing bagi mereka, Ki Bango Lamatan.
Namun ketika Ratri kemudian ikut mendekat dan melihat
jalannya perang tanding dari samping Ki Bango Lamatan, ketiga
orang itu hampir bersamaan telah mengerutkan kening.
“Siapakah anak muda yang bersama Ki Bango Lamatan itu,
ngger?” bisik Ki Waskita kemudian kepada Ki Rangga. Sementara
Ki Jayaraga juga ikut menduga-duga walaupun tidak mempunyai
gambaran tentang anak muda itu sama sekali.
“Sepertinya dia seorang gadis dalam pakaian laki-laki, Ki
Waskita,” sahut Ki Rangga kemudian tak kalah lirihnya. Ki
Jayaraga pun akhirnya menyadari bahwa yang di belakang Ki
Bango Lamatan itu adalah seorang gadis yang sedang beranjak
dewasa.
“Sudahlah, biarlah itu nanti menjadi urusan Ki Bango Lamatan,”
berkata Ki Jayaraga kemudian sambil mengalihkan perhatian ke
74
arena perang tanding, “Glagah Putih harus berhati-hati dengan
ilmu Pertapa goa Langse itu.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita berpaling ke arah
Ki Jayaraga. Mereka berdua belum tahu maksud ucapan Ki
Jayaraga itu.
Ki Jayaraga yang menyadari Ki Rangga dan Ki Waskita sedang
menunggu keterangannya lebih lanjut segera berkata, “Jika benar
orang ini ada hubungannya dengan Pertapa goa Langse yang
sebenarnya, ada sebuah ilmu nggegirisi yang dikuasai oleh
perguruan itu. Sebuah ilmu yang mampu membuat telapak tangan
mereka menempel layaknya seekor cicak di dinding. Tidak hanya
menempel lekat, namun juga dapat menghisap tenaga lawan
sampai habis. Bahkan darah akan keluar dari pori-pori lawan
sehingga lawan akan mati kehabisan darah.”
Berdesir dada Ki Rangga. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki
Waskita. Orang tua yang telah dianggap sebagai pengganti
gurunya sepeninggal Kiai Grinsing itu pun menampakkan wajah
tegang.
“Tidak perlu dirisaukan,” berkata Ki Jayaraga melanjutkan
keterangannya begitu menyadari kedua orang itu menjadi gelisah,
“Asalkan Glagah Putih pandai menjaga jarak dan tidak terpancing
untuk membenturkan kekuatannya, tentu lawannya tidak akan
mampu mengetrapkan ilmunya yang aneh dan langka itu.”
Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Jayaraga menarik nafas
panjang. Ketika kedua orang itu kemudian melemparkan
pandangan ke medan perang tanding, tampak betapa Pertapa goa
Langse itu berusaha bertempur pada jarak dekat dengan kedua
telapak tangan yang terbuka lebar.
75
“Semoga Glagah Putih menyadari jebakan lawannya yang selalu
berusaha bertempur dengan jarak pendek,” membatin Ki Rangga
sambil terus mengawasi medan pertempuran.
“Ki Jayaraga,” tiba-tiba terdengar Ki Waskita bertanya dengan
suara rendah, “Apakah ada cara untuk melepaskan diri jika
telapak tangan lawan sudah terlanjur melekat di bagian tubuh
kita?”
Untuk sejenak Ki Jayaraga berpikir. Namun orang yang telah
malang melintang di dunia hitam maupun putih itu pun kemudian
menjawab, “Semua tergantung dari kekuatan tenaga cadangan
yang kita miliki. Jika tenaga cadangan kita lebih kuat, kita dapat
menggunakan tenaga cadangan itu untuk melepaskan diri. Namun
jika tenaga cadangan kita lebih lemah atau seimbang, sangatlah
sukar untuk melawan ilmu itu.”
Ki Rangga dan Ki Waskita menjadi berdebar-debar mendengar
keterangan Ki Jayaraga. Pandangan mata kedua orang itu pun tak
pernah lepas dari medan pertempuran.
Dalam pada itu di depan regol banjar padukuhan induk, Ki Gede
Matesih sama sekali tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti
untuk menjinakkan lawannya. Beberapa kali Putut Acarya harus
berloncatan surut setiap kali senjata Ki Gede mematuk-matuk dan
menyambar-nyambar. Putut Acarya benar-benar telah
mengeluarkan segenap kemampuannya namun tetap tidak
mampu mengimbangi permainan Ki Gede.
“Menyerahlah!” berkata Ki Gede kemudian ketika ujung
senjatanya menggores lengan lawannya. Goresan itu memang
tidak terlalu dalam namun darah sudah mulai menitik.
76
“Persetan!” geram Putut Acarya sambil memutar senjatanya.
Dihentakkan segenap kekuatannya untuk menyerang lawan,
namun sebagai murid perguruan Pandan Alas, Ki Gede tidak
mengalami banyak kesulitan menghindari serangan lawannya.
Sebenarnyalah jika Ki Gede ingin melumpuhkan lawannya dengan
cepat, dia mampu. Namun Ki Gede tidak ingin melukai terlalu
parah atau pun bahkan sampai membunuhnya. Ki Gede
memerlukan keterangan tentang tujuan orang-orang dari goa
Langse itu mendatangi Matesih.
“Mungkinkah ada hubungannya dengan Trah Sekar Seda Lepen?”
pertanyaan itu berputar putar dalam benak Ki Gede. Sambil terus
bertemppur Ki Gede berusaha memeras tenaga lawannya sehingga
murid goa Langse itu akan kehabisan tenaganya dan dapat
dilumpuhkan tanpa mencederainya.
Demikianlah Ki Gede pun kemudian menyerang dengan lebih
dahsyat. Tombak bermata tiga di tangannya berputar putar
mengerikan. Kadang menebas mendatar, kadang menukik dan
kemudian mematuk dari segala arah. Semua serangan itu
membuat putut Acarya harus bekerja keras menghindarinya.
Ketika segores luka kembali menghiasi tubuh Putut Acarya,
terdengar murid goa Langse itu mengumpat keras. Tenaganya
benar-benar sudah terperas. Tubuhnya sudah basah kuyup oleh
keringat dan darah yang mengalir dari luka-lukanya.
“Iblis laknat jahanam! Kubunuh kau!” teriak Putut Acarya sambil
mengayun-ayunkan senjatanya tak tentu arah. Tenaganya benar
benar sudah habis, namun semangatnya masih membara dalam
dada.
77
Tidak ada jalan lain bagi Ki Gede untuk melumpuhkan lawannya.
Namun Ki Gede tidak sampai hati untuk melukainya terlalu parah.
Maka Ki Gede pun telah menyerang lawannya dengan cara yang
tidak sewajarnya, cara yang tidak pernah dipakai dalam
pertempuran yang sebenarnya.
Ketika Putut Acarya yang sudah berputus asa itu meloncat dengan
sisa-sisa tenaganya menyerang Ki Gede, pemimpin tanah perdikan
Matesih itu dengan mudahnya bergeser ke samping. Ketika tubuh
lawan yang terhuyung-huyung itu lewat sedepa di sampingnya,
dengan menggunakan landeyan tombak, Ki Gede memukul
tengkuk lawannya.
Pukulan landeyan tombak itu tidak begitu keras karena Ki Gede
takut akan mematahkan tulang lehernya. Namun sentuhan di
tengkuk itu ternyata cukup untuk membuat Putut Acarya
kehilangan keseimbangan dan akhirnya jatuh tersungkur.
Senjatanya pun terlepas dari tangannya dan terlempar beberapa
langkah di depannya.
Terdengar umpatan yang sangat kotor dari mulut Putut Acarya.
Dengan kemarahan yang membakar jantung dia berusaha bangkit
berdiri, namun tidak berhsil. Tubuhnya justru telah tersungkur
kembali.
Dua orang pengawal yang terdekat segera tanggap. Keduanya
dengan cekatan telah meloncat maju dan kemudian menubruk
Putut Acarya yang tengkurap. Salah seorang segera melepas ikat
kepala putut Acarya sedangkan yang lain menelikung kedua
tangannya ke belakang punggung.
“Gila! Lepaskan! Jika tidak kalian lepaskan, akan aku bunuh
kalian!” teriak Putut Acarya kemudian sambil meronta-ronta
namun tenaganya sudah sangat lemah sehingga dengan mudah
78
kedua pengawal itu kemudian meringkusnya. Dengan
menggunakan ikat kepala Putut Acarya, salah seorang pengawal
segera mengikat kedua tangan murid goa Langse itu.
Ketika kedua kaki Putut Acarya yang masih bebas itu kemudian
berusaha menendang kesana kemari membabi buta, pengawal
yang lain segera melepas kain panjangnya dan kemudian
digunakan untuk mengikat kedua kakinya.
Putut Acarya benar benar merasa terhina diperlakukan seperti itu.
Harga dirinya sebagai murid perguran goa Langse bagaikan
diinjak-injak. Namun bagaimanapun juga tenaganya benar-benar
sudah habis.
“Persetan! Aku bunuh kalian! Aku bunuh kalian!” teriaknya
berkali kali, namun perlawanannya hanyalah sia sia belaka.
“Angkat dan bawa ke gandhok kiri!” perintah Ki Gede kemudian,
“Masukkan ke dalam salah satu bilik dan ikat yang kuat pada salah
satu tiang yang ada. Tutup bilik itu dan selarak dari luar kuat-
kuat. Dua atau tiga pengawal menjaga secara bergiliran. Aku akan
menengok pertempuran di belakang banjar.”
Selesai berkata demikian sambil menjinjing tombak Kiai Singkir
Geni, Ki Gede bergegas menuju belakang banjar. Sementara
empat pengawal segera menjunjung tubuh Putut Acarya yang
masih saja berusaha meronta-ronta sambil mengumpat umpat.
“Sumbat saja mulutnya dengan ikat kepala,” perintah pemimpin
pengawal itu sambil melepas ikat kepalanya sendiri.
Pengawal yang berdiri di sampingnya segera menerimanya dan
kemudian mengikat mulut Putut Acarya yang sudah diangkat itu.
79
Dalam pada itu, perang tanding di belakang banjar padukuhan
induk semakin lama menjadi semakin dahsyat. Keduanya
bergerak dengan kecepatan yang hapir tidak kasat mata. Debu
berhamburan dan tanah tempat keduanya bertempur luluh lantak
bagaikan telah dibajak berpuluh-puluh ekor kerbau.
“Ki Jayaraga,” bisik Ki Rangga sambil pandangan matanya tetap
ke arah medan perang tanding, “Bagaimana jika serangan Glagah
Putih yang justru mengenai bagian tubuh dari lawannya? Apakah
ilmu yang menghisap tenaga lawan itu akan mempengaruhinya?”
“Tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Ilmu dari perguruan goa
Langse yang nggegirisi itu hanya terpusat pada kedua telapak
tangannya, bagian tubuh yang lain tidak. Maka yang harus
dihindari oleh Glagah Putih adalah benturan dengan kedua
telapak tangan yang selalu terbuka itu.”
Tampak kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Berbagai macam
ilmu memang pernah didengarnya baik dari gurunya Kiai
Gringsing maupun yang pernah dialaminya sendiri. Namun ilmu
yang mampu menghisap tenaga lawan ini benar-benar baru
didengarnya.
-------------------------0O0-------------------------
Bersambung ke jilid 18
80
top related