prosiding seminar nasional 2016 mengawal...
Post on 27-Aug-2018
329 Views
Preview:
TRANSCRIPT
iii
Prosiding
Seminar Nasional 2016
Mengawal Pelaksanaan SDGs (Sustainable
Development Goals)
P e n u l i s
Peserta Seminar Nasional
E d i t o r
Dr. Ari Wahyudi, M.Si. Ali Imron, S.Sos,M.A.
Moh. Mudzakkir,S.Sos.,M.A. Arief Sudrajat,S.Ant.,M.Si.
Pambudi Handoyo,S.Sos,M.A.
Penerbit
Unesa University Press
iv
Prosiding
Seminar Nasional 2016
Mengawal Pelaksanaan SDGs (Sustainable
Development Goals)
Penata Letak : Unesa University Press
Desain Sampul : Unesa University Press
Diterbitkan :
UNESA UNIVERSITY PRESS
Anggota IKAPI No. 060/JTI/97
Anggota APPTI No. 133/KTA/APPTI/X/2015
Kampus Unesa Ketintang
Gedung C-15 Surabaya
Telp. 031 – 8288598; 8280009 ext. 109
Fax. 031 – 8288598
Email: unipressunesa@yahoo.com
unipress@unesa.ac.id
vii, 236 hal., Illus, 21 x 29
ISBN: 978-979-028-859-1
copyright © 2016, Unesa University Press
All right reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara apapun baik cetak,
fotoprint, microfilm, dan sebagainya, tanpa izin
tertulis dari penerbit.
iii
PENGANTAR KETUA PANITIA
Agenda rutin tahunan Forum Pimpinan Fakultas Ilmu Sosial eks-IKIP Negeri seluruh
Indonesia tahun 2016 diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH)
Universitas Surabaya. Pelaksanaannya disimultankan dengan kegiatan seminar nasional yang
diprakarsai oleh prodi sosiologi dengan mengambil tema “Mengawal Pelaksanaan SDGs”.
Agenda Forum Pimpinan secara intensif diselenggarakan di Hotel Ibis pada tanggal 27 Juli
2016 dengan berbagai pembahasan di tingkat pimpinan mulai dari dekan, jurusan, prodi,
laboratorium, dan jurnal. Sedangkan pelaksanaan seminar tanggal 28 Juli 2016 di Bank Jatim.
Wujud tanggung jawab panitia seminar adalah memberikan layanan pada peserta berupa
prosiding.
Prosiding dikemas berdasarkan Tema dan subtema, yang diterbit secara berseri yaitu
seri A diberikan saat seminar karena artikel yang dipresentasikan telah siap sejak awal
sehingga proses edit dan cetak dipenerbitan dengan ber-ISBN dapat dilaksanakan. Namun
panitia masih memberikan kesempatan pada para peserta senimar (termasuk civitas
akademik) yang hanya memiliki gagasan yang dapat dipresentasikan akan diterbitkan pada
seri B dengan syarat melakukan revisi gagasan yang telah dibahas oleh reviewer dalam
bentuk makalah/ artikel.
Prosiding seri B yang diterbitkan ini dimungkinkan masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik yang konstruktif pada panitia sangat dibutuhkan untuk bahan evaluasi
kegiatan berikutnya. Kami panitia juga menyampaikan ucapan terima kasih pada semua
pihak atas kerjasamanya sehingga seminar dan prosiding dapat diwujudkan.
Demikian pengantar ini saya sisipkan di prosiding agar dapat memotivasi pada semua
pihak untuk dapat berperan aktif dalam forum-forum ilmiah ini. Atas jasanya disampaikan
banyak terima kasih.
Surabaya; 28 Juli 2016
Ttd ketua panitia
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua Panitia iii
Daftar Isi iv
Seri A
SUBTEMA 1 1 AKTUALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
TRADISI WIWITAN DI DESA JIPANG
Ulfatun Nafi’ah; Universitas Negeri Malang
1
2 CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY SEBAGAI SARANA
PENINGKATAN PENDIDIKAN DI DAERAH (PENELITIAN
PEMETAAN SOSIAL DI WILAYAH PANTA DEWA, KABUPATEN
PENUKAL ABAB LEMATANG ILIR (PALI)
Nanda Harda P.M.; Universitas Negeri Malang
15
3 GUBUK PUSTAKA SISWA PINTAR SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN MINAT BACA ANAK-ANAK DI DESA SLEROK
KECAMATAN LEDOKOMBO KABUPATEN JEMBER
Muhammad Masruro, Fajwatul Khoiriyah, Nikmatul Jazilah,
Widiyatus Zuniarti P. Dewi; Universitas Negeri Malang
23
4 KEMITRAAN PEMERINTAH, PERGURUAN TINGGI,
MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS
PELAYANAN PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL
Sri Untari; Universitas Negeri Malang
31
5 KOMPETENSI KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN APBDes
(ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA) UNTUK
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PADA
BIDANG PENDIDIKAN MENURUT UU No. 6 TAHUN 2014
Parlaungan Gabriel Siahaan; Universitas Negeri Medan
41
6 PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU UNTUK SEKOLAH
DASAR DI DAERAH TERTINGGAL
Muhammad Japar; Universitas Negeri Jakarta
51
7 MEMBANGUN SINERGI DAN KOLEGIALITAS GURU MELALUI
LESSON STUDY GUNA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI
DAERAH TERTINGGAL
Neni Wahyuningtyas; Universitas Negeri Malang
63
8 PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PADA KOMUNITAS ADAT
SENARU, LOMBOK, BERDASAR LATAR BELAKANG
ETNOGRAFINYA
Nur Hadi; Universitas Negeri Malang
73
9 POLA PENGEMBANGAN GURU GARIS DEPAN SEBAGAI
PEMBERDAYA MASYARAKAT DAN BERWAWASAN NASIONAL
PADA DAERAH TERTINGGAL
Arif Purnomo; Universitas Negeri Semarang
83
v
10 PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI DAERAH MADURA: POTRET
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
DI MADURA
NettyDyahKurniasari, Sulaiman, Wispandono; UniversitasTrunojoyo
Madura.
89
SUBTEMA 2 11 SUAMI SIAGA: PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM
KAITAN PENURUNAN KEMISKINAN SERTA ANGKA
KEMATIAN IBU DAN BAYI
Titis Puspita Dewi; Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan,
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
97
SUBTEMA 3 12 MODEL UKM PRODUSEN KRIPIK MELALUI OPTIMALISASI
PEMANFAATAN UMBI INFERIOR
Sukma Perdana Prasetya, Endryansyah, Retnani; Universitas Negeri
Surabaya
109
13 STRATEGI KOMUNIKASI CSR DAN PENINGKATAN
KEMANDIRIAN MASYARAKAT: STUDI DESKRIPTIF
KUALITATIF STRATEGI KOMUNIKASI PROGRAM CSR
KONSERVASI KAWASAN LAUT BADAK LNG DI KOTA
BONTANG
Miftah Faridl Widhagdha; Universitas Gadjah Mada
123
14 MEWUJUDKAN EKOWISATA BERBASIS NELAYAN TANGKAP
Heri Saputro; Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (Pupuk)
Surabaya.
133
15 MEMBANGUN DESA INKLUSIF MELALUI TEKNOLOGI
INFORMASI DAN KOMUNIKASISEBAGAI UPAYA MENCAPAI
TUJUAN SDGs
Luhung Achmad Perguna; Universitas Negeri Malang.
143
16 KONTRIBUSI EKOSISTEM MANGROVE DALAM MENDUKUNG
PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU KECIL
Heru Setiawan1; Dian Ayu Larasati; Universitas Negeri Surabaya;
153
17 CSR DAN UPAYA PEMBANGUNAN ALTERNATIF: REFLEKSI
ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI JAWA TIMUR
Abdul Kodir; Universitas Negeri Malang
163
18 MEMBANGUN WISATA PAHLAWAN KOTA SURABAYA
R.N. Bayu Aji, Sumarno; Universitas Negeri Surabaya
171
vi
19 INDUSTRI BATIK MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA
PINGGIRAN DI SOLO
Riyadi,Eko Satriya Hermawan, Agus Trilaksana; Universitas Negeri
Surabaya,
183
SUBTEMA 4 20 PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI WILAYAH PASCA
TAMBANG DENGAN PENGEMBANGAN WISATA BERBASIS
KOMUNITAS
Prof.Dr.Mukhlis R. Luddin, M.Si, dkk; Universitas Negeri Jakarta.
193
21 PEMBERDAYAAN EKONOMI OLEH BERBAGAI AKTOR DAN
PERAN PENTING ORGANISASI PENYANDANG DISABILITAS
Badrudin Kurniawan; Universitas Negeri Surabaya.
203
22 DOMESTIKASI PEREMPUAN DALAM PROGRAM PERCEPATAN
PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN (P2KP) DI
KABUPATEN SIDOARJO
Munari Kustanto; Peneliti Pertama Bappeda Kab. Sidoarjo.
215
23 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI KKN TEMATIK
POSDAYA (POS PEMBERDAYAAN KELUARGA) UNTUK
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
Dr. Mochamad Muchson, SE. MM; Universitas Nusantara PGRI Kediri.
227
24 OPTIMALISASI MODAL SOSIAL PADA KELUARGA DALAM
PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN
Anggaunitakiranantika; Universitas Negeri Malang.
237
25 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM MENANGGULANGI
KEMISKINAN DI WILAYAH PESISIR UTARA KECAMATAN
TUBAN, KABUPATEN TUBAN
Sri Musrifah, M.IP; Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.
249
26 PROGRAM PNPM PERKOTAAN DALAM PENGENTASAN
KEMISKINAN (Studi tentang Partisipasi Masyarakat Nelayan dalam
Pelaksanaan Program PNPM-Perkotaan di Kelurahan Malalayang
Dua Kota Manado)
Ferdinand Kerebungu; Universitas Negeri Manado.
259
27 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI KOPERASI
WANITA (Identifikasi Potensi dan Permasalahan dan Solusi di
Madura)
Netty Dyah Kurniasari, Moh Djasuli, Eni Sri Rahayu, Djulaeha,
Nikmah Suryandari, Farida Nurul Rahmawati; Universitas
Trunojoyo Madura.
269
vii
28 KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM
PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA
(PKL) DI KABUPATEN SUMEDANG PROVINSI JAWA BARAT
Fernandes Simangunsong dan Dede Ramadhan Nur
Fathun Alam; Institut Pemerintahan Dalam Negeri
277
29 WANITA DAN PEMBANGUNAN Thomas Nugroho Aji, Artono; Universitas Negeri Surabaya.
293
30 POLITIK KEBIJAKAN SOSIAL PENANGGULANGAN
KEMISKINAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Agus Machfud Fauzi, M.Si.; Universitas Negeri Surabaya
307
31 PERGESERAN RELASI GENDER DAN PENGASUHANA ANAK
BURUH MIGRAN PEREMPUAN PEDESAAN: KASUS PADA
KELUARGA MIGRAN PEREMPUAN KE ARAB SAUDI DI DESA
CIHERANG DAN PANYINGKIRAN JAWA BARAT
(The Shift of Gender Relation and Care of Children of Rural Female
Migrant Labours: The Case of Families of Female Migrants to Saudi
Arabia in Ciherang and Panyingkiran Villages, West Java)
Muhammad Zid; Universitas Negeri Jakarta.
317
32 STUDI PENGUATAN PEMBELAJARAN ‘SISTEM HUKUM
INDONESIA’ PADA JURUSAN PENDIDIKAN IPS DI
PERGURUAN TINGGI KHUSUSNYA DI UNIVERSITAS NEGERI
JAKARTA
Martini, SH.,MH.; Universitas Negeri Jakarta
331
viii
Seri B
SUBTEMA 1 1 EFISIENSI SUMBER BELAJAR SEBAGAI MEDIA BELAJAR
DI LINGKUNGAN DAERAH TERTINGGAL Septina Alrianingrum, SS, M.Pd; Universitas Negeri Surabaya
343
2 PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS
KKNI DAN BERWAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI
PROGRAM DUKUNGAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DI BIDANG PENDIDIKAN Dr. Deny Setiawan, M.Si; Universitas Negeri Medan
357
3 KURIKULUM 2013 (KURTILAS):
Praksis Kurikulum Emansipatoris, Pembebasan dari Penindasan
dan Penyadaran Diri Agus Suprijono; Universitas Negeri Surabaya
367
4 PENDEKATAN SISTEM AMONG SEBAGAI PEMECAHAN
MASALAH PENDIDIKAN DI DAERAH TERPENCIL DI
INDONESIA Corry Liana & Sri Mastuti P; Universitas Negeri Surabaya
385
5 PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
SEBAGAI UPAYA MENUMBUHKAN KESADARAN
PENGABDIAN DI DAERAH TERTINGGAL BAGI
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI
MALANG Fatiya Rosyida; Universitas Negeri Malang
393
6 PENGUATAN KOMITMEN PENDIDIKAN DI DAERAH
TERTINGGAL SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL
Siti Maizul Habibah, S.Pd, MA; Universitas Negeri Surabaya
M. Asif Nur Fauzi, S.Sos, M.Si ; STEBI Syaikhona Kholil Pasuruan
405
7 PENGUATAN NILAI INTEGRITAS DALAM KEGIATAN
KEMAHASISWAAN SEBAGAI WUJUD PENDIDIKAN
KARAKTER BERKESINAMBUNGAN DALAM
MEMBANGUN SDM UNGGUL DAN BERDAYA SAING Sarmini; Universitas Negeri Surabaya
415
8 KAJIAN SOSIO-LEGAL : KEBIJAKAN (LANJUTAN)
SERTIFIKASI DAN PERILAKU HUKUM PENDIDIK
MEMASUKI ERA SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS
(SDG’s) Tamsil ; Universitas Negeri Surabaya
439
SUBTEMA 2 9 RELASI KUASA PENGETAHUAN DALAM IMPLEMENTASI
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
445
ix
Ali Imron & Katon G. Setyawan; Universitas Negeri Surabaya
10 PROBLEMATIKA AKSES KESEHATAN PADA WILAYAH
TERPENCIL (Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Mentawai,
Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Teluk Wondama FX Sri Sadewo, Martinus Legowo & Farid Pribadi; Universitas Negeri
Surabaya
455
SUBTEMA 3 11 RENCANA AKSI DAERAH PENANGANAN PENYANDANG
MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN
NGANJUK
Ita Mardiani Zain; Universitas Negeri Surabaya
473
12 PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN BERBASIS
EKOLOGI (EKOWISATA) DALAM RANGKA
IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agus Sutedjo; Universitas Negeri Surabaya
483
13 STRATEGI PEMBANGUNAN DESA MENUJU GOOD
VILLAGE GOVERNANCE Meirinawati & Indah Prabawati; Universitas Negeri Surabaya
499
SUBTEMA 4 14 ASPEK HUKUM POLA KEMITRAAN BIDANG EKONOMI
KREATIF GUNA PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Rahmanu Wijaya; Universitas Negeri Surabaya
513
15 BAKUL SEMANGGI GENDONG DALAM PERSPEKTIF
SOSIOLOGI EKONOMI Rindawati; Universitas Negeri Surabaya
525
16 PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN
BERBASIS GENDER Refti Handini Listyani & Ari Wahyudi: Universitas
Negeri Surabaya
551
17 KEMISKINAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
PENGEMBANGAN KAWASAN Murtedjo & Suharningsih; Universitas Negeri Surabaya
567
18 PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGEMBANGAN
COMMUNITY BASED TOURISM (CBT) DI PANTAI
PAYANGAN JEMBER Akhmad Ganefo; Universitas Jember
583
16 PEMETAAN SOSIAL UNTUK PERENCANAAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA KEMANTREN,
LAMONGAN Pambudi Handoyo & Arief Sudrajat; Universitas Negeri Surabaya
595
17 EVALUASI PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN
MILENIUM/MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS TAHUN
2014 DI KABUPATEN NGANJUK Mochamad Arif Affandi & Diyah Utami ; Universitas Negeri Surabaya
613
x
18 PERLINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM UPAYA
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Indri Fogar Susilowati; Universitas Negeri Surabaya
635
19 MODEL PEMBANGUNAN PARTISIPATIF : PROGRAM
NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI
PERKOTAAN((PNPM MP) STUDI KASUS DI DESA
SEKARJALAK, KECAMATAN MARGOYOSO, KAB. PATI,
JAWA TENGAH Bambang Hariyanto; Universitas Negeri Surabaya
653
20 STRATEGI BERTAHAN HIDUP RUMAHTANGGA MISKIN
DI PERDESAAN Sugeng Harianto; Universitas Negeri Surabaya
669
21 POTENSI DAN HAMBATAN DESA PLUMBON GAMBANG,
GUDO, JOMBANG UNTUK DIKEMBANGKAN MENJADI
DESA WISATA Sri Murtini; Universitas Negeri Surabaya
699
xi
SUBTEMA
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI DAERAH
TERTINGGAL
1
SUBTEMA
PEMBANGUNAN KESEHATAN DI DAERAH
TERTINGGAL
2
SUBTEMA
PEMBANGUNAN INDUSTRI, INOVASI DAN
INFRASTRUKTUR DI DAERAH TERTINGGAL
3
SUBTEMA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN,
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN EKONOMI
KREATIF
4
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |343
EFISIENSI SUMBER BELAJAR SEBAGAI MEDIA BELAJAR
DI LINGKUNGAN DAERAH TERTINGGAL
Septina Alrianingrum, SS, M.Pd
Prodi Pendidikan Sejarah-Jurusan Pendidikan Sejarah-FISH Unesa
septi.unesa@yahoo.co.id
Abstrak
Agenda pembangunan SDGs menjadi prioritas pembangunan masa depan.
Pembangunan pendidikan dilakukan dengan berbagai cara seperti (1) peningkatan
kualitas pendidik dan tenaga kependidikan melalui pelatihan dan pendidikan; (2)
penyelesaian masalah-masalah pembelajaran dengan mengoptimalkan sumber belajar; (3)
memanfaatkan secara efisien sumber belajar sebagai media pembelajaran; dan (4)
melakukan efisiensi, pendekatan dan metode belajar sesuai dengan karakteristik peserta
didik. Berkenaan hal tersebut maka muncul suatu pemikiran alternatif untuk bagaimana
mengoptimalkan efisiensi sumber belajar sebagai media belajar di lingkungan daerah 3T.
Efisiensi sumber belajar sebagai media belajar dalam pembelajaran memerlukan
pendekatan pembelajaran, proses pembelajaran, dan kompetensi guru. Pendekatan
pembelajaran berpusat pada student centered approach supaya efisiensi sumber belajar
dapat optimal mendukung media belajar dalam proses pembelajaran. Efisiensi sumber
belajar sebagai previous experience mampu mengembangkan kognitifnya melalui 3
tahap yaitu (1) enaktif (aktivitas memahami lingkungan); (2) ikonik (memahami objek
melalui gambar/visualisasi verbal); dan (3) simbolik (lahir ide abstrak didukung
kemampuan berbahasa dan berlogika yang baik). Berdasarkan konteks belajar, efisiensi
memiliki pengertian untuk meningkatkan kualitas belajar dan penguasaan materi belajar,
walaupun dalam lingkungan belajar yang masih memiliki keterbatasan sarana prasarana.
Kata kunci: sumber belajar, media, efisiensi
PENDAHULUAN
Posisi Indonesia terletak diantara benua Asia dan Australia berbatasan
langsung dengan samudra Hinda dan Pasifik, sehingga menjadi sangat strategis
dalam segala aspek. Posisi silang Indonesia ini menjadikan tantangan untuk
menentukan masa depan bangsanya. Kemajemukan (unitax multipeks) Indonesia
nampak pada strata sosio-kultur, politik, ekonomi, geografis dan topografi alam.
Situasi ini menjadikan Indonesia berusaha memformulasikan pembangunan dari
berbagai aspek, khususnya pembangunan pendidikan.
344| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kondisi pendidikan Indonesia masih belum menunjukkan pemerataan
pendidikan. Hal ini terlihat dari segi sumber daya manusia (tenaga pendidik),
sarana dan prasarana, anggaran pendidikan di pusat maupun daerah, khususnya
daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Political will pemerintah pusat di
bidang pendidikan di daerah 3T perlu dioptimalkan.
Undang-Undang No. 20/2003 menjadi awal perbaikan pendidikan
Indonesia. Kurikulum 2013 menjadi alat operasional untuk penyamaan
keberhasilan pendidikan sehingga tujuan pendidikan nasional akan tercapai.
Tujuan perbaikan ini berbanding terbalik dengan kondisi pendidikan di daerah
tertinggal. Generasi muda di wilayah 3T (terjauh, terdepan, terluar-tertinggal) ini
masih banyak yang belum mengenal abjad. Situasi ini dikuatkan dengan kebijakan
pemerataan kebijakan pendidikan yang belum sempurna pada sistem dan
ketersediaan infrastruktur pendidikan di wilayah 3T. Kurikulum 2013 menjadi
tongkat estafet pembangunan pendidikan ini untuk meningkatkan (1) perubahan
proses pembelajaran peserta didik aktif; dan (2) Guru sebagai fasilitator dan
motivator. Hal ini juga masih ada permasalahan pada keterbatasan sarana
pendidikan di sekolah-sekolah daerah tertinggal yang masih terfokus di pusat
pemerintahan, sehingga membuat peserta didik di wilayah 3T tidak bisa terlibat
langsung dalam proses pendidikan ini dengan baik. Situasi ini ditambah
permasalahan timpangnya rasio kompetensi guru dan peserta didik, sehingga
proses transfer of knowledge dan transfer of value belum optimal dipahami peserta
didik. Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan (1) penyelenggaraan
pendidikan bukan untuk kebutuhan peserta didik; (2) pembelajaran bersifat
content transmission; (3) pengajaran tidak diarahkan kepada partisipasi aktif
peserta didik; (4) aspek afektif terabaikan; (4) diskriminasi penguasaan wawasan
mendorong sistem pendidikan ibarat sebuah bank saja.
Wajah pendidikan di daerah tertinggal masih terlihat suram karena fasilitas
kurang lengkap dan pengajar yang kurang profesional. Semua kekurangan ini
tidak membuat anak bangsa di wilayah 3T pupus harapan untuk belajar. Buktinya,
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |345
banyak peserta didik rela berjalan kaki puluhan kilo meter untuk berangkat
menimba ilmu di sekolah. Selain itu juga masih ada beberapa permasalahan
pendidikan di daerah 3T antara lain (1) keterbatasan kompetensi guru profesional;
(2) distribusi tidak merata antara kota dan daerah 3T; (3) insentif rendah; (4)
ketidaksesuaian kualifikasi pendidikan dengan bidangnya; (6) penerapan
kurikulum sekolah belum sesuai dengan mekanisme dan prosedur standar
nasional; dan (7) tingginya angka putus sekolah relatif tinggi karena berbagai hal.
Berangkat dari sejumlah permasalahan ini pendidikan di daerah 3T perlu
ditingkatkan agar sejajar dengan daerah lain. Kebijakan memperioritaskan
wilayah 3T ini mendukung ketahanan pendidikan nasional (www.kompasiana.
com). Hal mendasar peningkatan pendidikan di daerah 3T menurut Bahtiar Ali
Rambangeng adalah pendidikan yang mengarah untuk membuka kesadaran akan
kemajuan dan ketersediaan tenaga terampil dan terdidik untuk maju. Hasil riset di
wilayah 3T seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB dan
beberapa daerah tertinggal di Jawa dan Sumatra masih di wilayah 3T masih
kekurangan jumlah, distribusi tak seimbang, kualifikasi di bawah standar, kurang
kompeten, serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang
yang diampu.
Banyaknya problem pendidikan di daerah tertinggal baik kelas, fasilitas
sekolah, buku ajar, kualitas guru, rasio peserta didik dan guru, pemerataan
pembangunan sekolah. Diperlukan langkah konkrit pemerintah daerah, pusat dan
swasta membenahi pendidikan secara terintegrasi. Profesional guru terdidik
menjadi harapan agar proses pendidikan di wilayah 3T berfungsi memberi
perubahan dan inovasi pendidikan. Guru bantu profesional melalui beberapa
program seperti SM3T, Indonesia Mengajar dan Jatim Mengajar dari
kemendikbud/dinas provinsi/yayasan minimal dapat membantu mendukung
pembangunan pendidikan untuk melakukan transformasi pengetahuan,
346| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
keterampilan, dan sikap sesuai dengan karakteristik peserta didik melalui model
pembelajaran sederhana dan mengoptimalkan sumber belajar yang ada di
sekitarnya sebagai media belajar yang efisien.
Tahun 2015 menjadi tahun transisi berakhirnya Millennium Development
Goals (MDGs) dan tahun 2016 sebagai awal implementasi agenda pembangunan
Sustainable Developmet Goals (SDGs) sesuai kondisi negara masing-masing
secara terukur dan terkomunikasikan. Agenda pembangunan SDGs menjadi
prioritas pembangunan masa depan, khususnya di bidang pembangunan
pendidikan. Hal ini terlihat dari keberhasilan Indonesia mengurai perkembangan
pendidikan yang belum optimal di Indonesia melalui pengentasan buta huruf. Di
sektor pendidikan dasar, Indonesia telah mampu meningkatkan angka partisipasi
murni (APM) SD/MI/sederajat dari 88,70% di tahun 1990 menjadi 95,71% di
tahun 2012. Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun meningkat menjadi
99,08% di tahun 2012 (http://nasional.sindonews.com). Target pembangunan
universal SDGs membutuhkan dukungan semua elemen yaitu pemerintahan,
LSM, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat.
Upaya peningkatan mutu pendidikan ini diharapkan dapat mengawal SDGs
melalui berbagai cara seperti (1) peningkatan kualitas pendidik dan tenaga
kependidikan melalui pelatihan dan pendidikan; (2) penyelesaian masalah-
masalah pembelajaran dengan mengoptimalkan sumber belajar; (3) memanfaatkan
sumber belajar sebagai media pembelajaran; dan (4) melakukan efisiensi,
pendekatan dan metode belajar sesuai dengan karakteristik peserta didik.
Berkenaan hal tersebut maka disusun suatu pemikiran alternatif yang dapat
membantu menjadi wahana bagaimana mengoptimalkan efisiensi sumber belajar
sebagai media belajar peserta didik di wilayah 3T dengan baik. Sejalan dengan
rumusan ini diperlukan beberapa upaya mengefisiensikan aneka sumber belajar
sebagai faktor-faktor penunjang belajar menjadi media pembelajaran untuk
memahami materi yang sedang dipelajari tersebut.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |347
PEMBAHASAN
Arti penting pendidikan bagi sebuah bangsa adalah untuk memerdekakan
manusia melalui pendidikan berkelanjutan. Indonesia menggunakan 3 indikator
dokumen SDGs sebagai upaya mewujudkan pendidikan sebagai wahana
pembangunan manusia/human development. Pemerataan kualitas pendidikan,
pendidikan inklusif, pembelajaran seumur hidup untuk semua dan kesetaraan
gender merupakan tujuan ke-4 dari SDGs dalam menjamin kualitas pendidikan
yang adil dan inklusif serta meningkatkan kesempatan belajar seumur hidup untuk
semua. Target pembangunan universal SDGs membutuhkan dukungan semua
elemen yaitu pemerintahan, LSM, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat.
Rumusan SDGs merupakan sumber penting untuk menyelaraskan strategi dan
kebijakan demi membuat kehidupan di muka bumi menjadi lebih baik. Hal ini
dapat dilihat dari indikatornya yaitu (1) persentase anak yang mengikuti
pendidikan prasekolah; (2) angka kelulusan SD, SMP dan SMA; dan (3) APK
Pendidikan Tinggi (http://lilimulyatna.com) belum memadai.
Adapun strateginya meliputi upaya (1) melaksanakan wajib belajar 12
tahun; (2) meningkatkan akses layanan pendidikan, pelatihan, keterampilan untuk
meningkatkan kualitas lembaga pendidikan formal; (3) memperkuat quality
assurance melalui pelayanan pendidikan; (4) memperkuat kurikulum dan
pelaksanaannya; (5) memperkuat sistem penilaian pendidikan yang komprehensif
dan kredibel; (6) meningkatkan pengelolaan dan penempatan guru secara tepat;
(7) meningkatkan pemerataan akses pendidikan tinggi; (8) meningkatkan kualitas
pendidikan tinggi; (9) meningkatkan relevansi dan daya saing pendidikan tinggi;
dan (10) meningkatkan tata kelola kelembagaan perguruan tinggi.
Efisiensi sumber belajar sebagai media belajar menjadi salah satu upaya dan
strategi solutif untuk dapat mengawal implementasi SDGs ini agar mutu
pendidikan menjadi lebih baik. Efisiensi sumber belajar dalam pembelajaran
348| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
memerlukan pendekatan pembelajaran, proses pembelajaran, dan kompetensi guru
yang dapat menjembatani itu semua.
Pendekatan pembelajaran yang berpusat pada student centered approach
perlu dilihat bahwa setiap peserta didik memiliki keunikan yang perlu dipahami
oleh setiap guru profesional. Oleh karena itu, keunikan ini diberi tempat untuk
berkembang optimal dengan memberdayakannya. Dunia peserta didik adalah
dunia bermain, kreatif dan belajar aktif. Belum banyak guru yang mampu
mengaktifkan belajar peserta didiknya dengan memanfaatkan sumber belajar yang
ada di sekitarnya sebagai media belajar dalam proses pembelajaran. Penerapan
pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan perlu dilakukan agar
pengalaman belajar langsung melalui efisiensi dan optimalisasi sumber belajar
sebagai media belajar atau previous experience.
Efisiensi sumber belajar sebagai previous experience menurut Bruner,
mampu mengembangkan kognitifnya melalui 3 tahap proses yaitu (1) enaktif
(aktivitas memahami lingkungan); (2) ikonik (memahami objek melalui
gambar/visualisasi verbal); dan (3) simbolik (lahir ide abstrak didukung
kemampuan berbahasa dan berlogika yang baik). Berdasarkan konteks belajar,
efisiensi memiliki pengertian untuk meningkatkan kualitas belajar dan penguasaan
materi belajar; mempersingkat waktu belajar; meningkatkan kemampuan guru,
mengurangi biaya tanpa mengurangi kualitas belajar mengajar itu sendiri. Guru
menjadi pihak yang aktif dan peserta didik adalah pihak yang melaksanakannya
sebagai bentuk dari usaha belajar.
Konsep pendidikan alternatif seperti yang sudah dilakukan oleh Saur
Marlina “Butet” Manurung adalah salah satu upaya menerapkan efisiensi sumber
belajar sebagai media belajar. Butet Manurung telah memberi manfaat bagi
masyarakat di pedalaman suku kubu/anak dalam di pedalaman Jambi dengan cara
memanfaatkan apapun sumber belajar yang ada sebagai media pemahaman dan
transformasi pengetahuan. Pola pendidikan semacam ini pas untuk anak Indonesia
dan mulai diterapkan oleh sebagian besar guru-guru mengabdi di wilayah 3T
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |349
seperti guru SM3T, Indonesia mengajar, GGD, dan lainnya. Pendidikan yang
diterapkan ini mudah dilakukan untuk peserta didik di jenjang sekolah dasar dan
menengah karena bisa memahami dan memanfaatkan ilmu yang telah didapatnya
melalui aneka sumber belajar. Pola pendidikan ini sangat berbeda dengan proses
pembelajaran yang diterapkan guru kebanyakan di tanah air. Pola belajar ala
“Butet” Manurung yang dikembangkan lebih mengikuti mood dan minat peserta
didik sehingga jam belajar tidak terbatas dan tidak melupakan unsur bermain
(SBY, TIME Asia, 3 Oktober 2005). Proses belajar-mengajar sekarang
kebanyakan justru meninggalkan unsur bermain. Banyak pelajaran yang justru
diperoleh dari kearifan lokal ketika memanfaatkan sumber belajar di lingkungan
sekitar seperti bagaimana mengenali jejak, pengobatan tradisional yang tidak
pernah didapat ketika masih sekolah secara konvensional. Misalnya,
menggunakan biji karet untuk belajar berhitung dan mengenalkan huruf per huruf
berdasarkan bentuk dan cara mengeja. Lalu kalau ada peserta didik yang
menjawab benar diberi tepuk tangan, kalau salah didampingi untuk semangat
terus dalam belajar. Esensi pendidikan di Sokola Rimba ala Butet Manurung ini
bukan sekedar untuk mendapatkan nilai/hasil belajar di atas kertas seperti yang
selama ini menjadi tagihan utama belajar di sekolah, tetapi lebih mengacu untuk
memahami ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga dan melestarikan budaya yang
dipegang teguh masyarakat sebagai pilar kearifan lokal dan integritas NKRI.
Berkaca pada contoh permasalahan di atas maka efisiensi sumber belajar
menjadi salah satu faktor pendukung keterlaksanaan pembelajaran dari segala
aspek yang menjadi upaya alternatif mencerdaskan anak bangsa di wilayah 3T.
Sumber belajar dan media pembelajaran ibarat 2 sisi mata uang yang saling terkait
untuk menunjang proses pembelajaran formal maupun informal. Media
pembelajaran menjadi salah satu komponen penting memahami proses belajar
mengajar dan media belajar untuk peserta didik. Sedangkan sumber belajar
350| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
berpengaruh secara langsung dalam proses belajar mengajar dan keberhasilan
pembelajaran.
Dalam upaya mewujudkan masyarakat belajar (learning community) harus
diciptakan kondisi sedemikian rupa yang memungkinkan peserta didik memiliki
pengalaman belajar melalui berbagai sumber belajar, baik yang dirancang (by
design) maupun yang dimanfaatkan (by utilization). Di sisi lain tuntutan
pendidikan seperti kebutuhan akan kurikulum yang berbasis kompetensi, belajar
terbuka, belajar jarak jauh dan belajar secara luwes, mendorong dimanfaatkannya
berbagai sumber belajar secara luas (Wina Senjaya, 2007: 176). Sumber belajar
tidak harus mahal, mewah atau sulit didapat. Akan tetapi lebih kepada sejauhmana
kreativitas dan kemauan para guru berinovasi dan memanfaatkan sumber belajar yang ada
dengan efisien-optimal. Menurut praktisi pendidikan Eric Ashby ada beberapa ciri
sumber belajar yaitu (1) sumber belajar pra-guru, sumber belajar utamanya adalah
orang, lingkungan keluarga/kelompok, benda seperti dedaunan, kulit pohon dsb
agar pengetahuan yang diperoleh peserta didik lebih banyak dengan cara trial and
error. (2) Kedua, lahirnya guru sebagai sumber belajar utama. Perubahan terjadi
pada cara pengelolaan, isi ajaran, peran orang, teknik dan lainnya. (3) Ketiga,
sumber belajar bentuk cetak. Tugas guru relatif lebih ringan karena adanya
sumber belajar cetak. Sumber belajar cetak ini meliputi buku, majalah, modul,
makalah dan lainnya. (4) Keempat, sumber belajar produk teknologi
komunikasi/audio visual aids/AVA yaitu sumber belajar dari bahan audio (suara),
visual (gambar), kombinasi (Eveline Siregar, 11 Februari 2008). Menurut Nana
Sudjana menjelaskan bahwa pengertian sumber belajar juga dapat berupa (1)
sumber belajar tercetak yaitu buku, majalah, brosur, koran, poster, denah,
ensiklopedi, kamus dan booklet; (2) sumber belajar non cetak yaitu film, slides,
video, model, transparansi, objek langsung; (3) sumber belajar berbentuk faslitas
seperti perpustakaan, ruang belajar, studio, lapangan olah raga; (4) sumber belajar
sebagai kegiatan seperti wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi dan
permainan; (5) sumber belajar berupa lingkungan di masyarakat seperti taman,
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |351
terminal, pasar, toko, pabrik, museum dan lingkungan situs atau cagar budaya,
tradisi, masyarakat adat. Sedangkan sumber belajar menurut konsep teknologi
pendidikan meliputi (1) Orang (seperti guru, teman, tokoh, artis/selebritis, dll);
(2) Bahan (seperti buku teks, modul, CD-ROM pembelajaran, VCD
Pembelajaran, OHT, dll); (3) Alat (seperti komputer, LCD projector, peralatan
lab, dll); (4) Lingkungan (baik lingkungan fisik seperti tata ruang kelas atau non
fisik seperti nuansa, iklim belajar, hubungan antara guru dan siswa, dll); (5)
Pesan; (6) Tehnik.
Sumber belajar disesuaikan dengan kebutuhan dengan tujuan belajar
(Sutrisno: 2005, 90) meliputi (1) lingkungan alamiah di sekitar kita; (2) koleksi
perpustakaan; (3) media cetak, visual, audio, multimedia; (4) narasumber seperti
pedagang, polisi, militer, dan petani dan profesi lainnya; (5) karya siswa melalu
media belajar yang telah diciptakan peserta didik itu sendiri seperti lukisan, peta,
dsb; (6) media elektronik seperti komputer, radio, TV, dan internet; dan (7) nilai-
nilai budaya setempat.
Sumber belajar yang dirancang lebih eksplisit dan efektif dapat
menunjukkan efisiensi belajar peserta didik karena secara tidak langsung
berfungsi sebagai media belajar. Bentuk, format atau keadaan fisik sumber belajar
menyesuaikan pola dan tujuan pembelajaran sehingga pesan yang disampaikan
sebagai tujuan akhir pembelajaran dapat berlangsung secara optimal dan efisien
meningkatkan hasil belajar peserta didik. Bahan-bahan yang diperlukan sebagai
sumber belajar hendaknya disesuaikan dengan nilai budaya setempat karena
sangat berpengaruh sebagai media belajar. Sumber belajar sebagai media belajar
adalah proses pembelajaran melalui proses observasi, analisis, identifikasi untuk
membantu peserta didik memecahkan materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
baik dan efisien serta menunjang penguasaan materi pembelajaran secara efektif
(Munir: 2008, 13). Peranan sumber belajar sangat penting sebagai media belajar
352| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dan tranfering pengetahuan baik secara teoritis dan praktis agar pengetahuan yang
didapat bermanfaat secara optimal.
Faktor penunjang efisiensi belajar dalam proses pembelajaran adalah (1)
faktor internal yaitu kondisi jasmani/ fisiologis dan rohani/ psikologis peserta
didik; (2) faktor eksternal yaitu kondisi lingkungan di sekitar peserta didik; dan
(3) materi pelajaran serta pendekatan belajar dengan memanfaatkan sumber
belajar secara efisien. Sumber belajar (learning resources) merupakan semua
sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang digunakan peserta didik
dalam proses belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sebagai
media belajar. Seperti yang dilakukan Hariyati melakukan praktek mengajar mata
pelajaran IPS, salah satu kegiatannya adalah peserta didik diajak ke warung dekat
sekolah untuk memahami proses belajar tentang konsep dasar ekonomi yang
mempelajari materi distribusi, konsumsi, interaksi dan produsen. Peserta didik
diberi kebebasan dengan menanyakan berbagai jenis barang, harga beli dan harga
jual. Selain itu, belajar dari sesama peserta didik juga memiliki makna lebih besar
sebab siswa lebih mudah memahami bahasa dan isyarat yang diberikan oleh
temannya. Hal ini dilakukan guru sebagai pendidik yang ingin menyampaikan
materi melalui media belajar “pasar” dengan aneka sumber belajar yang efisien
untuk mengajarkan nilai, proses belajar dan pengalaman untuk menghagai orang
lain, mau menerima, bekerja sama, dan menikmati hidup bersama orang lain.
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai bagian dari layanan inat baca
masyarakat dapat menjadi sumber belajar melalui media belajar “buku” bagi
masyarakat serta informasi lainnya. Dilihat dari sisi pelayanan, TBM masih belum
dikelola profesional, koleksi bahan pustaka terbatas, belum lengkap ragam dan
jenisnya sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Namun, pentingnya keberadaan
TBM dalam menumbuhkan minat baca masyarakat mendorong TBM dapat
mengakomodir dan memfasilitasi kepentingan tersebut sebagai sumber belajar dan
media belajar.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |353
Banyaknya sumber belajar perlu dilestarikan serta dikelola, karena berperan
untuk mendorong efektifitas serta optimalisasi proses pembelajaran. Sumber
belajar berfungsi sebagai media belajar, meningkatkan efektifitas dan efisiensi
belajar. Menurut Ballard & Clanchy bahwa pendekatan belajar pada umumnya
dipengaruhi oleh attitude to knowledge yaitu (1) sikap conserving untuk
menghasilkan kembali fakta dan informasi; dan (2) sikap extending secara analitis
mampu memilah dan menginterpretasikan fakta dan informasi. Pendekatan belajar
ini perlu disesuaikan dengan pemanfaatan sumber belajar sebagai media belajar
agar peserta didik juga dapat memahami materi yang diberikan guru dengan
optimal tanpa merasa terbebani karena proses pembelajarannya disesuaikan.
Peranan sumber belajar sebagai media belajar menjadi sangat penting karena
memerlukan pola komunikasi pembelajaran seperti yang terlihat dalam gambar di
bawah ini:
Belajar sebagai suatu proses usaha untuk memperoleh perubahan tingkah
laku secara keseluruhan didasarkan pada pengalaman belajar dalam interaksinya
dengan lingkungan memerlukan media belajar yang tepat dengan jalan
mengoptimalkan dan mengefisienkan sumber belajar yang ada di sekitar
lingkungan itu sendiri. Fatah Syukur (2008: 94-95) mengemukakan ada 3
pengertian mengenai belajar yaitu “menemukan, mengingat dan menjadi efisien”.
Kegiatan belajar dapat dikatakan efisien, jika usaha belajar dapat memanfaatkan
sumber belajar sebagai media belajar untuk memberikan hasil dan prestasi belajar
354| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tinggi pada peserta didiknya sesuai dengan karakteristik lingkungan, budaya dan
kebutuhan belajar itu sendiri.
Pemanfaatan sumber belajar selain guru, sangat selektif di bawah petunjuk
dan kontrol guru. Media pembelajaran juga tidak luput dari wacana sumber
belajar agar pola komunikasi dalam belajar menjadi kunci utama guru sebagai
fasilitator dan motivator belajar. Manfaat dari sumber belajar yang efisien sebagai
media belajar dapat (1) memberi pengalaman belajar secara langsung dan konkrit;
(2) menyajikan sesuatu yang tidak mungkin; (3) menambah dan memperluas
cakrawala media belajar sederhana; (4) memberi informasi sesuai karakteristik
peserta didiknya; (5) memberi motivasi positif; (6) merangsang untuk berfikir,
bersikap dan berkembang. Hal inilah yang perlu kembali dipikirkan untuk
pembangunan pendidikan secara holistik agar mutu pendidikan dan kualitas
masyarakat Indonesia dapat berdaya saing secara global di masa yang akan datang
dengan optimal tanpa meninggalkan nilai budaya dan semangat menjaga NKRI.
SIMPULAN
Efisiensi belajar sebagai sebuah konsep ternyata mencerminkan
perbandingan terbaik antara usaha dengan hasil. Ada 2 macam efisiensi dalam
proses belajar yaitu efisiensi usaha belajar dan efisiensi hasil belajar. Juga ada 3
faktor yang dapat menjadi penunjang efisiensi dalam proses pembelajaran, yaitu
(1) faktor internal; (2) faktor eksternal; dan (3) materi pelajaran dengan
memanfaatkan sumber belajar sebagai media belajar. Efisiensi pemanfaatan
sumber belajar sebagai media belajar ternyata dapat menjadi salah satu solusi pola
pendidikan alternatif untuk menunjang proses transformasi dan transfering
pengetahuan dan pembelajaran bagi peserta didik sesuai dengan karakteristik
peserta didik itu sendiri secara optimal.
Pengalaman Butet Manurung dan sebagian besar guru adalah suatu inspirasi
bagi guru yang lain untuk memberikan suatu bentuk pola pendidikan yang
efisiensi dengan melakukan pendekatan dan metode belajar dan pemanfaatan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |355
sumber belajar sebagai media belajar sesuai dengan potensi dan karakteristik
peserta didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Bruner, J.S. 1962. The Process of Education. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Eveline Siregar. Pengembangan Belajar Berbasis Aneka Sumber (Resources-
based Learning), tanggal 11 Februari 2008.
Fatah Syukur. 2008. Teknologi Pendidikan. Semarang: Rasail.
Munif Chatib. 2013. Gurunya Manusia. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Munif Chatif dan Alamsyah Said. 2014. Sekolah anak-anak Juara. Bandung: PT.
Mizan Pustaka.
Munir.2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Cet.1
Bandung: Penerbit Alfabeta.
Nana Sudjana. 2003. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sutrisno. 2005. Revolusi Pendidikan di Indonesia, Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Soesilo Bambang Yudhoyono. 2005. The Making of a Hero, majalah TIME Asia,
edisi 3 Oktober 2005.
Wina Sanjaya, 2007. Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=17&date=2016-01-17Edisi 17-01-
2016/Potret Pendidikan di Daerah Tertinggal.
http://www.kompasiana.com/anisasholihat93/wajah-pendidikan-di-daerah terting-
gal_54f679a8a3331184118b4d59.
356| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Lepas MDGs, Songsong SDGs, Koran SINDO. Senin, 15 Juni 2015 − 07:49
WIB...., http://nasional.sindonews.com/read/1012602/149/lepas-mdgs-song-
song-sdgs-1434329380/2.
http://www.koran-sindo.com/news.php?r=0&n=17&date=2016-01-17Edisi 17-01-
2016/Potret Pendidikan di Daerah Tertinggal.
http://lilimulyatna.com/index.php/2015/12/12/strategi-pencapaian-target-dan-in-
dikator-sustainable-development-goals-sdgs-2030.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |357
PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN BERBASIS KKNI DAN
BERWAWASAN KEBANGSAAN SEBAGAI PROGRAM DUKUNGAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI BIDANG PENDIDIKAN
Dr. Deny Setiawan, M.Si
Dosen Jurusan PPKn FIS UNIMED Jl. Willem Iskandar Psr. V Medan-Estate Medan
20221 Email: geodeny@ymail.com
Abstrak
Globalisasi yang tengah bergulir membawa sejumlah tuntutan yang perlu di respon
oleh dunia pendidikan, tak terkecuali oleh perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pembelajaran untuk hidup dan kehidupan. Dalam rangka
memenuhi tuntutan, yakni menghasilkan lulusan yang memiliki sejumlah
kompetensi untuk dapat berdaya saing dalam kehidupan abad ke-21, diusulkan
adanya upaya revitalisasi LPTK melalui implementasi kurikulum yang berorientasi
KKNI dan berwawasan kebangsaan. Ouput dari pemberlakuan dari kurikulum ini,
diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi personal,
kompetensi sosial, dan kompetensi intelektual dengan karakter berwawasan
kebangsaan. Nation and Character Building tetap dijadikan landasan revitalisasi
untuk menghasilkan lulusan berwawasan kebangsaan dengan ciri memiliki: (1)
pandangan politic of recognition; (2) prinsip human dignity; (3) sense of social
consciousness; dan (4) rasa kebangsaan.
Kata kunci: kurikulum, wawasan kebangsaan, pembangunan keberlanjutan
PENDAHULUAN
Pada prinsipnya globalisasi merupakan suatu proses yang bergerak dengan
kecepatan berbeda di berbagai wilayah dan masyarakat di planet bumi. Sebagai
suatu proses, globalisasi menuntut adanya interaksi antar bangsa yang di
dalamnya terkandung fenomena untuk saling ketergantungan, saling mengisi dan
memberi bahkan persaingan dalam mencapai suatu tujuan. Fenomena ini
menunjukkan, di era global masyarakat dunia dituntut untuk memiliki daya saing
guna meraih berbagai peluang yang ada. Intinya dalam memasuki proses
globalisasi perlu dipersiapkan unsur dari pelaku globalisasi itu sendiri, yakni
manusia dengan pemilikan sumber daya manusia yang unggul (Micklethwait dan
Wooldridge, 2007).
358| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Masalah pengembangan sumber daya manusia di Indonesia telah menjadi
isu sentral di berbagai lembaga, tak terkecuali dalam lingkungan lembaga
pendidikan sejak beberapa dekade terakhir. Khusus untuk jenjang perguruan
tinggi, pemerintah telah mengeluarkan Kerangka Kulifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012, sebagai
pernyataan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang perjenjangan
kualifikasinya didasarkan pada tingkat kemampuan yang dinyatakan dalam
rumusan capaian pembelajaran (learning outcomes). Perguruan tinggi sebagai
penghasil sumber daya manusia terdidik perlu mengukur kelulusannya, agar
lulusan yang dihasilkan memiliki kompetensi yang setara dengan capaian
pembelajaran yang telah dirumuskan dalam jenjang kualifikasi KKNI dan standar
kompetensi yang ditetapkan.
Rumusan kompetensi oleh pemerintah, juga telah direspon oleh Lembaga
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk mendukung tercapainya visi
pendidikan Indonesia tahun 2025. Dalam rangka mewujudkan profil lulusan yang
profesional, LPTK memandang perlunya dirancang sebuah kurikulum yang
menjamin ketercapaian kompetensi lulusan sesuai standar nasional pendidikan
tinggi dengan membuat rencana dan pengaturan mengenai capaian pembelajaran,
bahan kajian, proses dan penilaian. Sekaitan dengan kurikulum, Kementerian
Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah meluncurkan program revitalisasi
LPTK pada tahun 2016 ini, dengan tujuan agar proses implementasi kurikulum
yang berbasis KKNI juga dapat diimplementasikan berbasis wawasan
kebangsaan. Program revitalisasi tersebut dinilai urgen agar lulusan tidak hanya
dibekali dengan sejumlah kompetensi baik personal, sosial, dan intelektual,
namun tetap mencirikan lulusan yang dapat menampilkan karakter berwawasan
kebangsaan.
Paparan di atas, menunjukkan pendidikan adalah hal yang mendasar
untuk mencapai tujuan berkelanjutan. Dalam kaitan tersebut, Indonesia seperti
banyak negara lainnya telah memasukkan konsep berkelanjutan sebagai salah satu
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |359
prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan nasional. Hal ini ditunjukkan pada
Undang-Undang Pendidikan Nasional yang menjadikan pendidikan untuk
perkembangan, pengembangan dan atau pembangunan berkelanjutan sebagai
salah satu paradigma pembangunan pendidikan nasional (Hatzopoulus, 2007).
Dalam upaya tersebut, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan perlunya dilakukan reorientasi terhadap sistem pendidikan saat ini
(UNESCO, 2006). Artinya, para pengambil kebijakan dan pendidik khususnya
pada tingkat pendidikan tinggi harus memahami perubahan-perubahan yang
dipersyaratka. Perubahan-perubahan yang dilakukan diharapkan mampu
membekali lulusannya dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip pendidikan
untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini penting karena lulusan perguruan
tinggi adalah salah satu pemangku kepentingan yang memegang peran penting
dalam upaya tersebut. Begitupun bagi LPTK sebagai bagian dari komunitas
pendidikan di Indonesia, memiliki kewajiban moral dalam mengadopsi prinsip-
prinsip pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem
pendidikannya.
PEMBAHASAN
Munculnya istilah pembangunan berkelanjutan adalah akibat dari
tumbuhnya kesadaran terhadap globalisasi. Pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan
kemampuan. World Commission on Environment and Development (dalam
McKoewn, 2002), memberikan deskripsi dari Pembangunan Berkelanjutan
sebagai : “Sustainable development is development that meets the needs of
present generations without compromising the ability of future generations to
meet their own needs“. Praktik-praktik keberlanjutan pada saat ini yang dilakukan
oleh lembaga pendidikan akan berdampak pada kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, untuk mengaktualisasi peran
360| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pendidikan tinggi dalam mengejar masa depan berkelanjutan, diperlukan perubahan yang
signifikan dalam pendidikan tinggi.
Pandangan dan kepercayaan terhadap masa depan dan berpikir holistik
dengan visi jangka panjang menjadi suatu tuntutan. Tuntutan ini tentu saja juga
menyentuh sumber daya manusia yang disediakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi tidak hanya mencetak mahasiswa yang berhasil dalam
kehidupannya, tetapi juga individu-individu yang dapat berpartisipasi dalam
membangun komunitas dan pembangunan berkelanjutan, dan kelompok-
kelompok profesional di masyarakat di berbagai sektor kehidupan yang tanggap
dan berkontribusi secara efektif pada pembangunan berkelanjutan. Kebutuhan
tersebut menuntut pendidikan tinggi untuk mengakui dan mengembangkan
pemahaman yang lebih baik terhadap praktik-praktik yang dapat menghasilkan
luaran yang terdepan, yang mampu mengupayakan untuk bergerak ke arah
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Depdiknas, 2009). Berdasarkan
pemikiran ini, LPTK sudah saatnya untuk mengedukasi dan melatih mahasiswa
sebagai guru profesional di masa datang dan menjadi warga negara yang
bertanggung jawab untuk berupaya keras memenuhi kebutuhan di atas. Bila
mahasiswa sebagai calon guru memahami paradigm berkelanjutan sebagai suatu
aspek dari tanggung jawab moralnya, mereka akan menjadi warga negara yang
melihat dirinya sebagai bagian dari alam dan manusia lainnya. Dengan demikian,
kelak mereka akan mempunyai kapasitas untuk memfasilitasi pengembangan
aktivitas-aktivitas pendidikan sebagai tanggung jawabya dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa.
LPTK dalam mengaktualisasikan pendidikan untuk pembangunan
berkelanjutan, perlu merancang program pembangunan berkelanjutan untuk: (1)
membantu mahasiswa belajar untuk berpartisipasi dalam membangun komunitas
dan pembangunan berkelanjutan; (2) mengambil langkah terbaik yang dapat
mengurangi dampak terhadap lingkungan; dan (3) mengusahakan keterampilan
dan atribut-atribut yang membantu kita berkontribusi pada keadilan sosial
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |361
(Cortese, 1999). Terkait dengan hal tersebut, LPTK harus menyiapkan lulusan
yang tidak hanya dengan kompetensi dasar terkait bidang pedagogik, tetapi juga
kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan untuk memahami bagaimana
mereka berinteraksi dan bekerja dengan masyarakat dan lingkungan lokal maupun
global dalam upaya untuk mengidentifikasi tantangan, risiko, dan dampak-
dampak potensial dari setiap tindakan manusia. Lulusan LPTK tidak hanya
memahami kontribusi pekerjaannya sebagai pendidik, tetapi juga dapat melakoni
perannya sebagai warga negara dalam berbagai kontek kehidupan budaya, sosial,
dan politik. Untuk itu, lulusan LPTK harus dapat bekerja dengan kompetensi: (1)
dapat bekerja dalam tim multidisiplin untuk mengadaptasikan bidang yang
ditekuni dengan kebutuhan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan;
(2) mampu mengaplikasikan pendekatan holistik dan sistemik untuk
menyelesaikan persoalan; (3) dapat mengambil peran serta dalam berbagai
kesempatan yang tersedia terkait pembahasan dan penentuan kebijakan ekonomi,
sosial-budaya, politik dan lingkungan untuk membantu masyarakat dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan; (4) dapat mengaplikasikan pengetahuan
profesionalnya dalam kaitannya nilai-nilai lokal (the core values) dan nilai-nilai
universal; dan (5) berwawasan kebangsaan.
Berdasarkan pemikiran di atas, LPTK perlu melakukan reorientasi
kurikulum dengan menekankan pada pengembangan pengetahuan secara nalar,
keterampilan intelektual dan keteramian sosial, perspektif dan nilai-nilai yang
menuntun dan memotivasi mahasiswa sebagai calon guru untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, kompetensi
pengetahuan, keterampilan, dan sikap harus ditekankan dalam melakukan re-
orientasi terhadap kurikulum formal dalam menunjang pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2006). Di bidang pengetahuan,
kompetensi difokuskan pada: (1) dimensi sosial dan ekonomi; (2) perlindungan
362| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dan pengelolaan sumber daya; (3) mem-perkuat peran kelompok-kelompok
utama; dan (4) cara-cara pengimplementasian pembangunan berkelanjutan
(United Nations, 1992). Sedangkan untuk kompetensi keterampilan menurut
McClaren (1989), jenis-jenis keterampilan yang diperlukan mahasiswa terkait
pembangunan berkelanjutan di antaranya: (1) kemampuan untuk berkomunikasi
secara efektif (baik lisan maupun tulisan); (2) kemampuan untuk berpikir dengan
pendekatan sistem; (3) kemampuan untuk mengelola waktu untuk
memperkirakan, berpikir ke depan, dan untuk merencanakan; (4) kemampuan
untuk berpikir secara kritis tentang isu-isu nilai; (5) kemampuan untuk
memisahkan kuantitas, kualitas, dan nilai; (6) kemampuan untuk bergerak dari
kesadaran ke pengetahuan dan diteruskan ke tindakan; dan (7) kemampuan untuk
bekerja secara kooperatif dengan orang lai. Pada kompetensi yang ketiga
berkaitan dengan sikap, yakni nilai-nilai yang perlu dibangun difokuskan pada
nilai dasar penghormatan, yang meliputi: penghormatan terhadap orang lain,
penghormatan terhadap generasi sekarang dan mendatang, dan penghormatan
terhadap planet dari apa yang disediakan untuk umat manusia (sumber daya,
fauna, dan flora). Oleh karena itu, nilai dan etika merupakan bagian sentral dari
pengajaran pada semua disiplin keilmuan (UNESCO, 2006). Paradigma sekaligus
tuntutan dalam mengaktualisasi pembangunan berkelanjutan sebagaimana
dipaparkan di atas, menjadi tantangan bagi LPTK sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pembelajaran untuk hidup dan kehidupan. Untuk memenuhi
tuntutan, terutama dalam menghasilkan lulusan yang adaptif dan partisipatif
dalam kehidupan abad ke-21, LPTK telah mengembangkan kurikulum pendidikan
berbasis KKNI. Standar kompetensi lulusan dalam kurikulum pendidikan
diorientasikan pada rumusan capaian pembelajaran lulusan yang mengacu pada
capaian pembelajaran lulusan KKNI, yang meliputi: (1) standar isi pembelajaran;
(2) standar proses pembelajaran; dan (3) standar penilaian. Bahkan pada program
revitalisasi LPTK yang baru saja diluncurkan, implementasi kurikulum
berorientasi KKNI juga aktualisasikan untuk menghasilkan lulusan berwawasan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |363
kebangsaan (Direktorat Pembelajaran Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kemenristek, 2016). Nation and Character Building tetap dijadikan landasan
revitalisasi untuk menghasilkan lulusan berwawasan kebangsaan dengan ciri
memiliki: (1) pandangan politic of recognition; (2) prinsip human dignity; (3)
sense of social consciousness; dan (4) rasa kebangsaan. Melalui pandangan politic
of recognition, diharapkan akan lahir generasi yang menghargai keperbedaan
dalam keberagaman (Setiawan, 2012). Mereka dapat menghayati, menerima dan
menghormati keperbedaan etnis dan lainnya sebagai anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa, dan menjadikannya sebagai modal kekayaan bangsa. Prinsip human
dignity dikembangkan, agar mereka dapat menghormati harkat dan martabat
manusia dalam berbagai konteks kehidupan. Sedangkan sense of social
consciousness, dihayati sebagai suatu kesadaran untuk dapat berkomunikasi,
berinteraksi dan bekerja sama atas dasar kepedulian dan kepemilikan (having)
bersama nilai-nilai asli (the core values) jatidiri bangsanya.
Terakhir, rasa kebangsaan, dijadikan juga sebagai ranah kompetensi dalam
menghasilkan lulusan berwawasan kebangsaan. Rasa kebangsanaan adalah
kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir karena adanya kebersamaan sosial
yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau,
serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini dan masa yang
akan dating. Unsur keberlanjutan, yakni dinamisasi rasa kebangsaan dalam
mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni
pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita
kehidupan dan tujuan nasional. Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan
suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai
bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai
penjelmaan kepribadian bangsa. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan
kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan
364| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa
dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa
menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham
kebangsaan. Atas dasar kedinamisan tersebut, revitalisasi LPTK dalam
mengimplementasikan kurikulum berbasis KKNI, perlu juga diorientasikan pada
basis berwawasan kebangsaan untuk menghasilkan lulusan dengan karakter: (1)
kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah
“Berdikari” (Basari, 1987). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian
diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan
penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang
dihadapinya; (2) sikap demokratis, sebagai sikap yang menghormati kedaulatan
rakyat dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung
dengan kepentingan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran (Huntington,
1991); (3) mendahulukan Persatuan Nasional (national unity), dalam konteks
aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk terwujudnya kebersamaan
dan toleransi; dan (4) partisipasi warga dalam memperoleh pengakuan martabat
internasional (bargaining positions), sebagai bentuk aktualisasi warga dalam
membangun Indonesia yang bermartabat.
SIMPULAN
Untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan dalam kehidupan abad ke-21, terutama
dalam pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, LPTK telah
mengembangkan kurikulum pendidikan berorientasi KKNI dengan penetapan
standar baik pada isi pembelajaran, proses pembelajaran dan standar penilaian.
Ouput dari pemberlakuan kurikulum ini, diharapkan dapat menghasilkan lulusan
yang adaptif dan partisipatif dalam proses kehidupan di era global dengan
pemilikan kompetensi pada ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Bahkan
pada program revitalisasi LPTK yang baru saja diluncurkan, implementasi
kurikulum berorientasi KKNI juga aktualisasikan untuk menghasilkan lulusan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |365
berwawasan kebangsaan. Nation and Character Building tetap dijadikan landasan
revitalisasi untuk menghasilkan lulusan berwawasan kebangsaan dengan ciri
memiliki: (1) pandangan politic of recognition; (2) prinsip human dignity; (3)
sense of social consciousness; dan (4) rasa kebangsaan. Program revitalisasi ini,
sekaligus merupakan aktualisasi LPTK dalam pembekalan lulusan untuk memiliki
life and career skills, learning and innovation skill dan information media and
technology skills. Lulusan LPTK, harus memiliki sejumlah kompetensi yang
dibutuhkan, terutama dalam menghadapi realitas kehidupan abad ke-21. Oleh
karena itu, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan perlu dijadikan isu
bersama bagi lembaga pendidikan tinggi, dikaji secara bersama guna
menghasilkan sejumlah kebijakan yang dapat memberikan kontribusi positif
dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di bidang pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Basari, H. 1987. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta : LP3ES. 1987.
Cortese, A. 1999. Education for Sustainability: The Need for a New Human
Perspective. Second Nature Boston. (Online), (http://www. Seconda-
ture.org, diakses pada 9 September 2010).
Direktorat Pembelajaran Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kemenristekdikti. 2016. Panduan Program Revitalisasi Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Kemenristekdikti.
Depdiknas. 2009. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun
2010-2024. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Gonggong, Anhar dalam “Diskusi Terbatas,” “Perspektif Sejarah atas Demokrasi
Indonesia,” 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik,
Komunikasi dan Informasi.
Hatzopoulos, J. N. 2007. Ideals and Modern Tools to Achieve Sustainability in
Higher Education, dalam W. L. Fihlo, E. L. Manolas, M. N. Sotirakou, & G.
A. Boutakis (Eds). Higher Edu-cation and the Challenge of Sustainability:
Problems, Promises and Good Practice. Greece: Environmental Education
Center of Soufli.
366| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Huntington, Samuel P. Democracy’s Third Wave, dalam Journal of Democracy,
Spring 1991.
McKoewn, R. 2002. Education for Sustainable Development Toolkit. Energy,
Environment and Resources Center University of Tennessee. (Online),
(http://www.esdtoolkit.org, diakses pada 15 Nopember 2010).
Micklethwait, J dan Wooldridge, A. 2007. A Future Perfect (Penerjemah:
Samsudin Berlian) Jakarta: Obor.
Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia.
McClaren. 1989. Education for Sustainable Development Toolkit. UNESCO
Education. Centre. (Online), (www.unesco.org/education/ desd, diakses
pada tanggal 2 Oktober 2010).
Setiawan, D. 2012. Integrasi dan Identitas Kebangsaan. Medan: Unimed Press.
United Nations. 1992. Agenda 21. United Nations Conference on Environment &
Development Rio de Janerio, Brazil, 3 to 14 June 1992.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |367
KURIKULUM 2013 (KURTILAS):
Praksis Kurikulum Emansipatoris, Pembebasan dari Penindasan dan
Penyadaran Diri
Agus Suprijono
Jurusan Pendidikan Sejarah FISH Unesa; email:agussuprijono@unesa.ac.id
Abstrak
Tulisan ini beraksentuasi pada kajian kurikulum sebagai struktur yang mempengaruhi
proses pembelajaran. Berdasarkan pengalaman sejarah kurikulum di Indonesia mulai
tahun 1968 hingga 2006 pembelajaran sangat diterministik terhadap kurikulum. Pendidik
dan peserta didik sebagai agen-agen pembelajar hanya menduplikasi dan merproduksi
konten, epistimogi pembelajaran, dan penilaian yang telah ditetapkan pemerintah. Praksis
kurikulum terdahulu memperlihatkan pedagogik dogmatis, pengajaran transaksional, dan
instrumental. Seiring dengan penegakan demokrasi pasca runtuhnya orde baru
pengembangan kurikulum pendidikan yang memerdekakan, memberdayakan, dan
menyadarkan tampak pada kurtilas atau Kurikulum 2013. Prinsip pembelajaran yang
diaksentuasikan baik pendidik maupun peserta didik sebagai subjek pembelajaran
menunjukkan praksis kurikulum yang emansipatoris. Begitu pula pendekatan
pembelajaran yang menekankan pada kontekstual, konstruktivistik, penemuan, dan
pembelajaran berbasis masalah memberikan ruang terjadinya proses dialektis antara agen
dan struktur, antara dunia objektif dan subjektif. Dalam proses ini terjadi reflection in
action. Praksis kurtilas merujuk pada pendidikan transformatif, pedagogik kritis sebagai
eksponen pendidikan emansipatoris.
Kata kunci: Praksis, kurikulum emansipatoris, pembebasan, penindasan dan
penyadaran diri
PENDAHULUAN
Kurikulum pendidikan merupakan anasir yang urgen bagi pendidikan
formal. Sekolah adalah institusi yang amat berkepentingan dengan kurikulum.
Kurikulum menjadi serperangkat instruksi bagi kepala sekolah dan guru
mengelola pembelajaran. Kurikulum menjadi pedoman perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian hasil pembelajaran di sekolah. Kurikulum pendidikan menjadi
landasan operasional bagi lembaga pendidikan formal untuk mendukung
tercapaianya tujuan pendidikan.
368| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Sejarah telah mencatat perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia
tidak pernah lepas dari politik penguasa. Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa
kurikulum pendidikan menjadi instrumen hegemoni untuk stabilitas nasional.
Kurikulum pendidikan di jaman itu merupakan kodifikasi tertib sosial. Mulai dari
materi yang dibelajarkan, bagaimana membelajarkan, hingga bagaimana menilai
semua sudah ditentukan pemerintah. Meminjam istilah Freire kurikulum
pendidikan di masa pemerintahan Soeharto adalah praktik pendidikan gaya bank
(banking concept of education).1 Selama hampir 32 tahun berlaku kurikulum
pendidikan transaksional, pembelajaran figuratif dan pembelajaran instrumental.
Seiring dengan runtuhnya rezim orde baru dan kekuasaan berpindah
tangan ke rezim orde reformasi sebagai orde penegakan demokrasi, dunia
pendidikan pun mengalami perubahan. Perubahan dari pendidikan transaksional
ke pendidikan transformatif, pembelajaran figuratif ke pembelajaran operatif, dan
pembelajaran instrumental ke pembelajaran emansipatoris. Responsif pemerintah
terhadap berbagai paradigma itu terformulasikan dalam kebijakan yang telah
diputuskannya yakni pemberlakuan kembali Kurikulum 2013 (Kurtilas) sebagai
Kurikulum Nasional yang sempat mengalami revisi. Kurtilas yang berlaku mulai
tahun ajaran 2016/2017 adalah Kurikulum 2013 versi 2016. Bagaimana praksis
sosial Kurtilas, apakah Kurtilas merupakan kurikulum pembelajaran
emansipatoris ?
PEMBAHASAN
Kegiatan belajar mengajar melibatkan interaksi peran sosial yakni peran
pendidik dan peserta didik. Proses ini dipengaruhi struktur yakni kurikulum.
Kurikulum sebagai aturan-aturan yang terbentuk dan ada dalam suatu ranah
mempengaruhi pembentukan habitus para agen (pendidik dan peserta didik).
Dalam perkembangan sejarah pendidikan di Indonesia, dominasi kurikulum
1 Freire, Paulo, 1999, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Agung P
dan Fuad (terj), Yogjakarta: Read dan Pustaka Pelajar. h.11
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |369
terhadap agen sudah terjadi. Pembelajaran sangat deterministik terhadap
kurikulum yang berlaku pada saat itu. Kurikulum 1975, Kurikulum 1984,
Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan Kurikulum 2006 melahirkan model
pendidikan berorientasi pada pengenalan realitas diri sendiri para agen dan dunia
sekitarnya. Pengenalan itu hanya bersifat dikotomis objektif atau subjektif, namun
tidak sampai pada praktik dialektik antara keduanya. Agen tidak bisa berperan
dalam mempengaruhi struktur (kurikulum) dalam kemasyarakatan (kegiatan
belajar mengajar). Lahirlah para agen berjiwa nekrofili, bukan berjiwa biofili.
Menurut Fromm nekrofili adalah rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki
jiwa kehidupan, sebaliknya biofili adalah kecintaan kepada segala yang memiliki
jiwa kehidupan yang manawiah.2 Implikasi dari nekrofili adalah baik pendidik
maupun peserta didik hanya menjadi duplikasi pengajar dan akan menjadi
penindas-penindas yang baru. Pendidikan hanya akan menjadi status-quo
sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah
perubahan dan pembaharuan.
Berpijak pada dialog pemikiran Bourdieu tentang struktur dikatakannya
bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat struktur sangat dominan dalam
mempengaruhi agen. Individu pada dasarnya sangat dominan dipengaruhi struktur
dalam kehidupannya. Namun, agen juga bisa berperan mempengaruhi struktur
dalam kemasyarakatan walaupun sepenuhnya tidak bisa lepas dari struktur yang
ada. Jadi adanya hubungan timbal balik yaitu struktur mempengaruhi agen dan
agen mempengaruhi struktur. Pemikiran Bourdieu menjadi pijakan proposisi
bahwa dalam kegiatan belajar mengajar di satu sisi kurikulum mempengaruhi
pendidik dan peserta didik, namun di sisi lain pendidik dan peserta didik dapat
mempengaruhi kurikulum. Ada proses dialektis antara struktur dan agen, antara
kurikulum dan pendidik serta peserta didik. Pembelajaran sebagai salah satu
2 Hall, Calvin dan dkk. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).Yogyakarta: Kanisius. h.27
370| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
bentuk dari pendidikan seharusnya berorientasi pada pengenalan dirinya sendiri
dan dunia sekitarnya secara dialektik. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat
objektif atau subjektif tetapi kedua-duanya. Kebutuhan objektif untuk merubah
keadaan yang tidak manusiawi selalu membutuhkan kemampuan subjektif
(kesadaran subjektif) mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi,
yang terjadi senyatanya yang objektif.
Kurtilas yang lahir di era penegakan demokrasi memperlihatkan praksis
sosial dialektika antara struktur dan agen, antara objektif dan subjektif. Setidaknya
hal itu dapat dipahami dari rumusan yang sudah dinyatakan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016.
Dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu ; dari guru
sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber
belajar ; dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju
pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi ; pembelajaran
yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai
pembelajar sepanjang hayat ; pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa
saja adalah guru, siapa saja adalah peserta didik, dan di mana saja adalah kelas3
Kuritilas mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan yang mencakup
pengetahuan, sikap, dan keterampilan menjadi suatu kompetensi. Ketiga ranah
kompetensi tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang
berbeda. Sikap diperoleh melalui aktivitas “menerima, menjalankan, menghargai,
menghayati, dan mengamalkan”. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas
“mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, mencipta”.
Keterampilan diperoleh melalui aktivitas “mengamati, menanya, mencoba,
menalar, menyaji, dan mencipta”. Karaktersitik kompetensi beserta perbedaan
lintasan perolehan turut serta mempengaruhi karakteristik standar proses. Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar
matapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan
pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning).
Untuk mendorong kemampuan peserta didik menghasilkan karya kontekstual,
3 Salinan Lampiran Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016, h.7
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |371
baik individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah
(project based learning).
Model-model pembelajaran yang dikembangkan pada Kurtilas
mengarahkan pada proses pembelajaran kritis. Pembelajar ditempatkan pada
subjek yang mengarah pada objek dengan penuh kesadaran. Sartre membedakan
antara kesadaran reflektif dan kesadaran pra‑reflektif. Kesadaran pra‑reflektif
adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek yang disadari. Ini berarti
bahwa dalam kesadaran pra-reflektif perhatian kita terarah pada objek (baik objek
dalam kehidupan sehari‑hari kita maupun objek dalam pemikiran kita), tanpa kita
sendiri berusaha untuk merefleksikannya. Misalnya, ketika saya membaca,
kesadaran saya tidak terarah pada perbuatan saya yang sedang membaca,
melainkan pada bahan (huruf, kata, kertas, atau layar komputer) yang sedang saya
baca. Oleh sebab itu, Sartre menyebut kesadaran pra‑reflektif itu sebagai
”kesadaran yang tidak‑disadari” (non‑conscious consciousness). Adapun
kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra‑reflektif
menjadi tematik, atau, dengan perkataan lain: kesadaran yang membuat kesadaran
yang tidak‑disadari menjadi ”kesadaran yang disadari”.4 Dalam kesadaran
reflektif kesadaran saya tidak lagi terarah pada bahan yang sedang saya baca,
melainkan pada perbuatan saya ketika saya membaca (kesadaran yang tidak-
disadari). Hidup keseharian kita, eksistensi kita sehari‑hari, adalah hidup dan
eksistensi melalui kesadaran pra‑reflektif. Dalam kesadaran pra‑reflektif, subjek
bukanlah subjek yang mengarahkan kesadarannya pada perbuatan‑perbuatannya
sendiri, melainkan pada sesuatu (objek) yang sedang diperbuatnya. Di samping
itu, kesadaran pra‑reflektif pun menopang kesadaran reflektif. Kesadaran reflektif
4Sartre, J.P. 1965. Being and nothingness. New York: Philosophical Library. (translated and
introduced by Hazel E. Barnes). h. 234
372| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tercapai berkat keterarahan kesadaran kita pada perbuatan‑perbuatan kita sendiri,
dalam hubungannya dengan objek (jadi, pada kesadaran pra‑reflektif kita).
Praksis sosial Kurtilas meletakkan kembali fitrah manusia sebagai subjek.
fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau
obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang
bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau yang mungkin
menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada
dengan sendirinya”, dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai
suatu takdir atau semacam nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia
harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya-cipta, dan
hal itu berarti atau mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan
pengembangan bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada
hakikatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan
dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praxis” -nya ia merubah dunia
dan realitas. Karena itulah manusia berbeda dengan binatang yang hanya
digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki naluri, tetapi juga memiliki
kesadaran (consciousness). Manusia memiliki kepribadian, eksistensi. Ini tidak
berarti manusia tidak memiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya
seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas (limit-situations) yang
mengekangnya. Jika seseorang yang menyerah pasrah pada situasi batas itu,
apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, maka sesungguhnya ia tidak
manusiawi lagi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi pencipta (the creator)
sejarahnya sendiri. Dan, karena seseorang hidup di dunia dengan orang-orang
lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu
harus dijalani dalam proses “menjadi” (becoming) yang tak pernah selesai. Ini
bukan sekedar adaptasi, tetapi integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, menjadi bebas. Ini adalah tujuan
akhir dari upaya humanisasinya yang berarti pemerdekaan atau pembebasan
manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Kaum
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |373
tertindas harus memerdekakan dan membebaskan diri mereka sendiri dari
penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka
dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan. Jika masih ada
perkecualian, maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai
secara penuh dan bermakna.
Praksis sosial Kurtilas menunjukan pendidikan untuk pembebasan, bukan
untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan memang harus menjadi proses
pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural
domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena itu
secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total yakni
prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan
lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat
untuk merubah kenyataan yang menindas itu. Inilah makna dan hakikat praxis
kurtilas itu, yakni:
Dalam perspektif psikologi praksis Kurtilas menekankan pada
pengembangan strategi kognitif hal ini dapat dilihat dari pengembangan
kompetensi pengetahuan metakognitif. Menurut Gagne strategi Kognitif ialah
kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu peserta didik dan
pendidik dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan
mengambil keputusan.5 Metacognition, yang melandasi strategi kognitif
5 Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan,(Bandung: Remaja
Rosdakarya,
374| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
merupakan keterampilan peserta didik dalam mengatur dan mengontrol proses
berpikirnya meliputi6 : (1) Keterampilan pemecahan masalah (problem solving),
yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk
memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta, analisis informasi, menyusun
berbagai alternatif pemecahan, dan memilih penyelesaian masalah yang efektif.
(2) Kemampuuan pengambilan keputusan (decision making), yaitu
keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk memilih
suatu keputusan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui
pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan setiap alternatif,
analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik berdasarkan alasan-
alasan yang rasional. (3) Kemampuan berpikir kritis (critical thinking), yaitu
keterampilan individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menganalisis
argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan persepsi yang sahih melalui
“logical reasoning” , analisis asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi logis.
(4) Keterampilan berpikir kreatif (creative thinking), yaiyu keterampilan
individu dalam menggunakan proses berpikirnya untuk menghasilkan suatu ide
yang baru dan konstruktif, berdasarkan konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang
rasional maupun persepsi dan intuisi individu. Keterampilan-Keterampilan
tersebut tidak terpisah melainkan terintegrasi satu dengan yang lain. Jadi pada saat
bersamaan ketika peserta didik menggunakan strategi kognitifnya untuk
memecahkan masalah, dia juga menggunakan keterampilannya untuk mengambil
keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif.
Praksis Kurtilas yang menyadarkan, membebaskan, dan memberdayakan
ditempatkan pada penerapan pembelajaran kontekstual dan konstruktivistik.
Dalam pembelajaran berdasarkan Kurtilas berbasis konstruktivistik, siswa belajar
dengan mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan
skemata berpikir terutama menggunakan informasi dan pengatahuan baru untuk
h.5 6 Preisseisen, B. 1985. Unlearning Lessons: Current and Past Reforms for School Improvement.
Philadelphia: Falmer Press
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |375
meraih kemajuan. Siswa belajar berinteraksi dengan lingkungannya. Siswa
menghubungkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan informasi dan
pengetahuan yang sedang dipelajarinya untuk mengkonstruk pemahaman dan
pengetahuan baru.
Menurut Santrock “asumsi pembelajaran konstruktivistik sosial adalah
situated cognition sebagai konsep yang menjelaskan bahwa pemikiran selalu
ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran
seseorang”.7 Pembelajaran berbasis konstruktivistik melibatkan siswa dalam
proses sosial yang dijalani dan dialami siswa-siswa untuk memahami dan
merefleksikan diri dan pikirannya pada kehidupan masyarakat di mana siswa
menjadi bagian terintegrasi dari masyarakat melalui upayanya mempelajari secara
langsung kehidupan di masyarakatnya.
Konsep situated cognition yang dikembangkan dalam pembelajaran
konstruktivistik menekankan pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada
konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jika demikian maka masuk
akal untuk menciptakan situasi pembelajaran yang semirip mungkin dengan
situasi dunia riil. Hal ini berarti konstruktivistik memberikan arah pemikiran
pentingnya pembelajaran berbasis kontekstual. Suparno menyatakan bahwa
“konstruktivisme bersifat kontekstual”. Siswa selalu membentuk pengetahuannya
dalam situasi dan konteks yang khusus.8
Johnson menyatakan yang dimaksud dengan pengajaran dan pembelajaran
kontekstual (CTL) adalah “…a system of instruction based on the philosophy that
students learn when they see meaning in academic material, and they see
meaning in schoolwork when they can connect new information with prior
7Santrock, John W. 2007, Psikologi Pendidikan. Terj. Tri Wibowo. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group. h.391 8 Suparno, Paul, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogjakarta: Kanisius. h.46
376| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
knowledge and their own experience”.9 CTL adalah suatu sistem belajar yang
didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila siswa
menangkap makna dalam materi akademis yang diterimanya, dan siswa
menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika siswa mampu menghubungkan
informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki
sebelumnya.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran
kontekstual merupakan prosedur pembelajaran yang bertujuan membantu siswa
memahami makna bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan cara
menghubungkannya dengan konteks kehidupan siswa sendiri dalam lingkungan
sosial dan budaya masyarakat. Essensi pembelajaran kontekstual adalah siswa
tidak hanya belajar untuk mendapatkan pengetahuan tetapi siswa juga belajar
mendapatkan pengalaman sebagai pengetahuan bermakna bagi kehidupannya.
Pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menekankan pada
penggalian makna maupun aktivitas pemaknaan pengetahuan. Johnson
menyatakan
Contextual teaching and learning enables students to connect the content of
academic subjects with the immediate context of their daily lives to discover
meaning. It enlarges their personal context, furthermore, by providing students
with fresh experiences that stimulate the brain to make new connection and,
consequently, to discover new meaning.10
CTL memungkinkan siswa mampu menghubungkan isi dari pokok-pokok bahasan
yang dipelajarinya dengan konteks kehidupan kesehariannya untuk menemukan
makna. Hal itu memperluas makna konteks pribadinya, kemudian dengan
9Johnson, Elaine B, (2002), Contextual Teaching and Learning, USA: Sage Publication Company.
h. vii
10 Ibid, h,24
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |377
memberikan pengalaman-pengalaman baru yang menstimuli otak membuat
hubungan-hubungan baru, guru membantu siswa menemukan makna baru.
Pembelajaran kontekstual melibatkan siswa secara pribadi dalam
pengalaman belajarnya. Dalam pembelajaran kontekstual pengetahuan harus
ditemukan siswa sendiri agar siswa memiliki makna atau dapat membuat distingsi
berbagi perilaku yang dipelajarinya. Dengan pembelajaran kontektual siswa harus
memiliki komitmen terhadap belajar dan berusaha secara aktif untuk
mencapainya.
Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa dalam belajarnya
membuat hubungan bermakna. Siswa mengidentifikasi hubungan yang
menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Siswa dapat mentargetkan
pencapaian standar akademik yang tinggi. Berdasarkan prinsip itu pula siswa
harus bekerjasama menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari
pemecahan masalah. Bekerjasama akan membantu siswa mencapai keberhasilan,
mengingat setiap siswa mempunyai kemampuan berbeda dan unik. Jika hal
tersebut dikolaborasikan dan kooperatif maka akan tersusun menjadi sesuatu yang
lebih besar daripada sekedar penjumlahan dari bagian-bagian itu sendiri.
Pembelajaran kontekstual yang menekankan pada pencarian makna
melalui koneksitas antara materi yang dipelajari dengan kehidupan di sekitarnya
memberikan pengalaman kepada siswa tentang adanya diferensiasi. Diferensiasi
ini merujuk pada entitas-entitas yang beranekaragam dari realitas kehidupan di
sekitar siswa. Keanekaragaman mendorong siswa berpikir kritis menemukan
hubungan di antara entitas-entitas yang beranekaragam itu. Siswa dapat
memahami makna bahwa perbedaan itu rahmat.
Pembelajaran kontekstual juga mencakup aspek pengaturan diri. Hal ini
mendorong pentingnya siswa mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Ketika siswa menghubungkan materi akademik dengan konteks keadaan
378| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pribadinya, siswa terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan
diri. Siswa menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilakunya sendiri,
memilih alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis
informasi dan secara kritis menilai bukti.
Pembelajaran kontekstual memusatkan pada bagaimana siswa mengerti
makna dari apa dipelajarinya, apa manfaatnya, bagaimana mencapainya dan
bagaimana siswa mendemonstrasikan hal yang telah telah dipelajarinya. Hal ini
menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual tidak hanya berorientasi pada
pencapaian standar akademik tetapi pembelajaran tersebut juga beraksentuasi
pada pencapaian standar performa. Mulyasa menyatakan
Standar akademik merefleksikan pengetahuan dan keterampilan essensial setiap
disiplin ilmu yang harus dipelajari oleh seluruh peserta didik. Standar performa
ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil kegiatan yang didemonstrasikan oleh
peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah
dipelajarinya.11
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran autentik (real world learning,
bukan artifisal. Pembelajaran autentik dimaksudkan sebagai pembelajaran yang
mengutamakan pengalaman nyata, pengetahuan bermakna dalam kehidupan,
dekat dengan kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan
pembelajaran aktif. Pembelajaran ini berpusat pada keaktifan siswa
mengkonstruksi pengetahuan. Belajar merupakan aktivitas penerapan
pengetahuan, bukan menghafal. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran
yang mengembangkan level kognitif tingkat tinggi. Pembelajaran ini melatih
siswa berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu
issue, dan memecahkan masalah. Pembelajaran kontekstual merupakan
pembelajaran yang memusatkan pada proses dan hasil, sehingga assesmen dan
evaluasi memegang peran penting untuk mengetahui pencapaian standar
11Mulyasa, E.2003., Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdarkarya. h.24
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |379
akademik dan standar performa atau kinerja. Berbagai strategi penilaian
dipergunakan untuk merefleksi proses dan hasil pembelajaran.
Strategi pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih yang dapat
memberikan fasilitas atau bantuan kepada siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Strategi berupa urut-urutan kegiatan yang dipilih untuk
menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan tertentu. Strategi
pembelajaran mencakup juga pengaturan materi pembelajaran yang akan
disampaikan kepada siswa. Menurut Center for Occupational Research and
Development (CORD) penerapan strategi pembelajaran kontekstual digambarkan
ebagai berikut:
Relating, belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata.
Experiencing, belajar adalah kegiatan ”mengalami”, peserta didik berproses secara
aktif dengan hal yang dipelajari dan melakukan eksplorasi, menemukan dan
menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya. Applying, belajar
mendemonstrasikan pengetahuan dan pemanfaatannya. Cooperating, belajar
berkelompok. Transferring, belajar menekankan kemampuan memanfaatkan
pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.12
Pembelajaran kontruktivistik dan pembelajaran kontekstual memiliki kaitan erat.
Kedunya menekankan pembelajaran bersifat generatif yaitu tindakan menciptakan
suatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang
memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara
stimulus respon. Kontruktivisme dan kontekstual lebih memahami belajar sebagai
kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi
makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang dilalui dalam kehidupan
manusia selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi
pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
12 Depdiknas RI, (2002), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah: Pembelajaran dan
Pengajaran Kontekstual, Jakarta: Direktorat Jenderal Dikdasmen Direktorat SLTP. h.20
380| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme dan kontekstual mempunyai beberapa
konsep umum di antaranya adalah siswa aktif membina pengetahuan berasaskan
pengalaman yang sudah ada. Dalam konteks pembelajaran, siswa membina
sendiri pengetahuannya. Pembinaan pengetahuan dilakukan secara aktif oleh
siswa melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru. Siswa membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan
cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Berkaitan dengan pembelajaran konstruktivistik dan kontekstual sebagai
model pembelajaran yang menekankan hubungan siswa dengan lingkungan
belajarnya, maka model pembelajaran tersebut mempunyai karakteristik sebagai
berikut (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan
dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan,
melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar
merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan
terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis. Dari
pemikiran konstruktivistik dan kontekstual dapat dipahami bahwa belajar adalah
suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri
siswa dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan
tingkah laku.
Prinsip pembelajaran dakan standar proses memberikan suatu deskripsi
praksis Kurtilas. Praksis dalam Kurtilas memperlihatkan penolakan terhadap
dominasi objektif maupun dominasi subjektif. Prinsip pembelajaran yang
dikembangkan pada Kurtilas menunjukkan pendidikan sebagai proses penyadaran
dan pembebasan. Hal ini sebagaimana pemikiran Boudieu tentang praktik sosial.
Bourdieu mengkritik tentang pandangan kaum objektivis yang menekankan
pandangannya bahwa struktur yang paling berkuasa dan menentukan tindakan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |381
aktor dan membentuk lingkungan sehingga tindakan agen tidak bebas melainkan
terbatas. Begitu juga Bourdieu menolak terhadap pandangan kaum subjektivis
yang menekankan bahwa agen dapat bertindak bebas tanpa dipengaruhi oleh
struktur. Menurut Bourdieu, seorang individu atau agen dipengaruhi oleh
strukturnya, tetapi juga agen tersebut bebas bertindak sesuai dengan
keinginannya. Dengan demikian yang menentukan praktek atau tindakan agen
adalah ranah dimana ia berada dan habitus masing-masing individu.13
Epistimologi pembelajaran melalui pendekatan saintifik, discovery.inquiry
learning, problem based learning, project based learning, pembelajaran
konstruktivistik dan kontekstual dalam Kurtilas memperlihatkan suatu proses
pendidikan transformatif14 yang menunjukkan pengembangan skemata atau
habitus. Model pembelajarn tersebut meunjukkan bahwa habitus menghasilkan
dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus adalah “struktur yang
menstruktur” (strukturing strukture); artinya, habitus adalah sebuah struktur yang
menstruktur kehidupan sosial. Di lain pihak, habitus adalah “struktur yang
terstruktur” (struktured strukture); yakni, habitus adalah struktur yang
distrukturisasi oleh dunia sosial. Dengan kata lain Bourdieu menjelaskan habitus
sebagai dialektika internalisasi dari eksternalitas dan eksternalisasi dari
internalitas.15 Jadi, di satu pihak, habitus diciptakan oleh praktik atau tindakan di
lain pihak, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial.
Habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang
dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam menentukan
13 Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press. h. 89 14 Pendidikan transformative merupakan kegiatan pembelajaran yang diorientasikan pada
perubahan frame of reference di mana frame of reference dipakai sebagai struktur asumi yang
digunakan seseorang untuk memandang, memahami, dan memaknai pengalaman hidup. Melalui
pendidikan transformative peserta didik diarahkan agar memiliki kesadaran kritis terhadap
asumsi dasar, nilai, atu keyikinan yang mendasari cara pandang yang dimiliki. Jack Meiziro
(Hardika), 2012, Pembelajaran Transformatif Berbasis Learning How To Learn. Malang:
UMM Press. h. 10. 15 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media, h. 524
382| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pilihan, agen menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran,
meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus.
Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh agen
dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam
kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable).
Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa aktor
bertindak, inilah yang disebut dengan logika tindakan. Logika tindakan Bourdieu
(logika praktis) berbeda dengan rasionalitas (logika formal). Terdapat konsep
relasionalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk menuntun individu untuk
mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tak dapat berubah, tetapi
diadaptasi oleh individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi yang
saling bertentangan di mana mereka berada.
Habitus adalah struktur mental atau kognitif, yang digunakan agen untuk
menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian
kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan
bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah,
sebagai warisan dari masa lalu yang di pengaruhi oleh struktur yang ada. Habitus
sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif
dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan
individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi
tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman
hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi
dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami,
menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan
pikiran dan pilihan tindakan individu). Habitus merupakan hasil dari keterampilan
yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari, etos misalnya), lalu
diterjemahkan menjadi kemampuan yang kellihatannya ilmiah dan berkembang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |383
dalam lingkugan sosial tertentu. Habitus juga berfungsi sebagai prinsip penggerak
dan mengatur praktik-praktik hidup dan merepresentasi masyarakat
Prinsip pembelajaran bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah
peserta didik, dan di mana saja adalah kelas menunjukkan suatu lingkungan
sebagai dunia tempat melakukan permainan-permainan atau disebut juga dengan
game. Lingkungan adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya.
Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia sosial, sebuah dunia penuh
kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri.
Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan
perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar
individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan
oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah
dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik
dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena.
Dalam ranah pendidikan, pada suatu kelas terjadi sebuah kompetisi antar individu,
yaitu sesama siswa Dalam ranah tersebut, seorang siswa yang memiliki
pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah
kelas tersebut, ia dapat mengerjakan ujian dengan lancar, dapat menjawab semua
pertanyaan guru, dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan
siswa lain yang kurang pengetahuannya.
SIMPULAN
Praksis Kurtilas (Kurikulum 2013) sebagai kurikulum nasional
memperlihatkan praktik pedagogik kritis, bukan pedagogik dogmatik. Praksis itu
beraksentuasi pada kesadaran reflektif, bukan sebatas kesadaran pra-reflektif.
Praksis Kurikulum 2013 mengembangkan proses dialektik antara dunia objektif
dan subjektif dan menunjukkan bahwa proses pendidikan tidak beraksentuasi pada
384| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pengajaran tetapi pada pembelajaran. Praksis Kurikulum 2013 menekankan pada
keterampilan metakongitif yang meliputi kemampuan berpikir kritis, berpikir
kreatif, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Pendekatan saintifik,
pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis projek maupun penemuan
merupakan epistimologi pembelajaran yang menunjukkan bahwa praksis
kurikulum 2013 adalah emansipatoris atau pemberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press
Freire, Paulo, 1999, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,
Agung P dan Fuad (terj), Yogjakarta: Read dan Pustaka Pelajar
George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media
Hall, Calvin dan dkk. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis).Yogyakarta: Kanisius.
Johnson, Elaine B, (2002), Contextual Teaching and Learning, USA: Sage Publication
Company.
Hardika. 2012, Pembelajaran Transformatif Berbasis Learning How To Learn. Malang: UMM Press
Kemdikbud.2016. Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Proses. Jakarta:
Biro Hukum Kemdikbud.
Mulyasa, E.2003., Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdarkarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan,Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Preisseisen, B. 1985. Unlearning Lessons: Current and Past Reforms for School
Improvement. Philadelphia: Falmer Press
Santrock, John W. 2007, Psikologi Pendidikan. Terj. Tri Wibowo. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Sartre, J.P. 1965. Being and nothingness. New York: Philosophical Library. (translated
and introduced by Hazel E. Barnes).
Suparno, Paul, 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogjakarta: Kanisius.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |385
PENDEKATAN SISTEM AMONG SEBAGAI PEMECAHAN
MASALAH PENDIDIKAN DI DAERAH TERPENCIL DI INDONESIA
Corry Liana & Sri Mastuti P
Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FISH Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Era globalisasi selalu menuntut adanya perubahan, khususnya perubahan dalam bidang
pendidikan. Pendidkan Nasional harus menghasilkan manusia Indonesia menjadi manusia
yang lebih baik dan mampu untuk bersaing dalam segala bidang dan mengharumkan
nama bangsa Indonesia. Cara yang dapat dilakukan bangsa Indonesia untuk menghadapi
perkembangan dunia di era globalisasi agar tidak semakin ketinggalan dari negara-negara
lain adalah dengan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikannya terutama di daerah-
daerah terpencil. Sistem among merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan dalam
sistem pendidikan nasional. Sistem among merupakan cara mendidik anak dengan dasar
kemerdekaan dan kebebasan agar anak didik dapat tumbuh sesuai dengan kodratnya.
Sistem ini merupakan hasil pemikiran dari Ki Hadjar Dewantara, yang mengacu pada
menciptakan jiwa merdeka, sehingga menjadikan siswa lebih berani atau percaya diri
dalam menentukan masa depannya.
Kata kunci: Pendekatan, system among, dan daerah terpencil
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan utama yang wajib dilaksanakan
oleh setiap manusia dimulai dari jenjang dasar, menengah hingga yang tertinggi. Di
Indonesia memang sudah diwajibkan pemerintah untuk wajib pendidikan 12 tahun,
namun tidak ada artinya apabila, mutu pendidikan dan fasilitasnya masih rendah atau
masih belum terlihat perubahan yang signifikan. Pendidikan memiliki peran utama
dalam pembangunan sebuah bangsa, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi,
maka akan semakin baik sumber daya manusia yang ada, dan pada akhirnya akan
semakin tinggi pula daya kreatifitas para pemuda Indonesia, dan akhirnya dapat
memberikan sumbangsih bagi pembangunan Negara Republik Indonesia. Namun di
Indonesia, untuk mewujudkan pendidikan yang baik dan berkualitas sesuai dengan
standar Nasional, masih sangat sulit. Pentingnya pendidikan membuat pemerintah
386| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, salah
satu cara nya adalah dengan merevisi Kurikulum 2013.
Di Indonesia tidak sedikit anak-anak Indonesia, yang dapat meraih berbagai
prestasi di Dunia Internasional, sebagai contoh adalah (1) Nadya Almaas
Lutfiahardha Siswi SD Muhammadiyah Manyar Gresik ini, menciptakan gelas yang
berguna bagi para orang yang menyandang keterbatasan dalam penglihatan untuk bisa
membantu mereka saat minum air. Penemuan ini membawa Nadya menang dalam
International Exhibition for Young Inventors (IEYI) ke-12 yang diselenggarakan di
Thailand, (2) Agasha Kareef Ratam, memeangkan medali emas (Kategori tim) dan
perak (kategori individual) dalam 13thPrimary Mathematics World Contest (PMWC)
di Hongkong pada Juli 2010, (3) Melody Grace Natalie dan Mariska Grace,
mengikuti ajang International Conference of Young Scientists (ICYS) 2013 yang
diselenggarakan pada 15-22 April 2013 di Sanur, Denpasar, Bali. Pada ajang
bergengsi untuk ilmuwan muda tersebut, Melody Grace Natalie (Stella Duce I
Yogyakarta) berhasil meraih medali emas dalam kategori Life Science dengan
penelitiannya yang berjudul “Potential of Squid Eye Lenses as UV Absorbe”r.
Sedangkan, Mariska Grace (SMAK Cita Hati) yang sama-sama meraih medali emas
berhasil menjadi pemenang dalam kategori Environmental Science melalui
penelitiannya yang berjudul “A Novel Approach in Using Peanut Shella to Eliminate
Copper Content in Water”, dengan memanfaatkan kulit kacang untuk mengurangi
kadar ion tembaga di dalam air, dan (4) Joey Alexander Sila adalah pianis cilik
berbakat yang telah berhasil menorehkan prestasi InternasionalPrestasi yang berhasil
dia dapatkan juga tak tanggung-tanggung, dia berhasil meraih “Grand Prix 1st
International Festival Contest of Jazz Improvisation Skill” yang diselenggarakan pada
5-8 Juni 2013 di Odessa, Ukraina. Pada festival musik Jazz itu, Joey adalah peserta
termuda, dan berhasil mengalahkan 43 peserta dari berbagai dunia.
Hal ini membuktikan bahwa anak-anak Indonesia mampu bersaing, dengan
anak-anak dari negara maju yang tentu sistem pendidikannya lebih baik dari
Indonesia. Namun sangat disayangkan, dibalik kesuksesan tersebut dunia pendidikan
tercoreng dengan banyaknya pelajar dan para lulusan yang menunjukan sikap tidak
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |387
terpuji seperti, terlibat tawuran antar pelajar, terlibat tindakan kriminalitas, dan
penyalahgunaan obat-obat terlarang. Banyak permasalahan-permasalahan pendidikan
yang terjadi di Indonesia, mulai dari fasilitas pendidikan, kualitas pengajar,
kurikulum pendidikan dan biaya pendidikan yang terbilang mahal.
Berbagai permasalahan seperti yang sudah dijelaskan diatas, seringkali
menghambat peningkatkan mutu pendidikan Nasional, khususnya di daerah tertinggal
atau terpencil, yang ada di Indoensia. Di suatu daerah terpencil masih banyak
dijumpai kondisi di mana anak-anak belum terlayani pendidikannya, angka putus
sekolah yang masih tinggi, dan permasalahan kekurangan guru (terjadi pada sebagian
daerah), Berdasarkan Laporan UNESCO dalam Education For All Global
Monitoring Report (EFA-GMR), Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua
atau The Education for All Development Index (EDI) Indonesia tahun 2014 berada
pada peringkat 57 dari 115.
Fokus perbaikan mutu pendidikan khususnya di daerah pedalaman, ada pada
pemilihan sistem pembelajaran yang membuat anak merasa sekolah merupakan
sebuah kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat. Pembelajaran yang bermanfaat
dan menyenangkan dapat memperkecil tingkat putus sekolah di daerah pedalaman.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan pembelajaran yang tidak
terlalu banyak memerlukan fasilitas yang mewah adalah dengan melakukan
pendekatan sistem among yang berasal dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
PEMBAHASAN
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah tuntutan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak,
agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Jadi, pendidikan adalah segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok,
atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku
pendidikan. (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 : 16) Sehingga definisi pendidikan adalah
388| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
proses pengubahan sikap dan tatalaku seseorang atau kelompok orang, dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara,
perbuatan mendidik. ( ST.Sularto, 2016:81) Among, atau dalam Bahasa Jawa berarti
mengasuh, adalah sebuah sistem pendidikan yang mempercayai siswa didik untuk
bergerak tumbuh secara leluasa, tetapi bukan berarti dibiarkan begitu saja. Seorang
pendidik atau among harus menempatkan dirinya sebagai penuntun, pembimbing,
pengemong yang sepenuh jiwa mengabdikan hidupnya bagi kepentingan anak.
(Gunawan,1989:34)
Menurut Muchamad Tauchid, metode among, mendidik siswa menjadi
masusia merdeka hatinya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Among
sebagai sistem praksis Perguruan Taman Siswa, berarti pendidik memberikan
kebebasan agar siswa dapat bergerak menurut keinginannya sendiri. (Muchamad
Tauhid, 2015:24-28) Bagaimana caranya? Pertama, dalam konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara, beliau mengganti cara lama seperti perintah, hukuman, dan
paksaan, dengan cara baru yaitu guru atau pendidik berperan sebagai pemimpin yang
berdiri di belakang dengan semboyan Tut Wuri Handayani yaitu tetap mempengaruhi
namun memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |389
Dalam memberikan hukuman
kepada siswa, seorang pendidik harus
memperhatikan 3 macam aturan, yaitu :
(1) hukuman harus selaras dengan
kesalahan. Misalnya, kesalahannya
memecah kaca hukumnya mengganti kaca
yang pecah itu saja. Tidak perlu ada
tambahan pukulan atau hujatan yang
menyakitkan hati. Jika datangnya
terlambat 5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit, (2) hukuman harus adil. Adil
harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang
perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas, tetapi
ada siswa yang hanya duduk–duduk tak ikut bekerja. Maka hukumannya supaya ikut
bekerja, seluruh siswa diminta untuk membersihkan kelas, dan siswa yang terlambat,
waktunya ditambah sesuai dengan waktu keterlambatannya, dan (3) hukuman harus
segera dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari
kesalahannya, karena Pendidik menjelaskan pelanggaran apa yang diperbuat oleh
siswa, dengan harapan siswa segera tahu dan sadar untuk segera mempersiapkan
perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal dalam memberi hukuman sehingga
siswa bingung menanggapinya.
Kedua, adalah memerdekakan cara berpikir siswa. Bukan dengan cara
disuruh, atau mengakui buah pikira orang lain, namun agar anak-anak mencari sendiri
dengan buah pikirannya. Siswa diberi kesempatan untuk mencari sendiri pengetahuan
yang dibutuhkan, sehingga dapat membangun kesadaranya sendiri. Hal tersebut
sangat mungkin dilakukan di daerah pedalaman, karena minimnya fasilitas, dapat
membuat guru mengoptimalkan apa yang ada di lingkungan sekitar. Seperti dalam
pembelajaran sejarah, siswa dapat dibawa ke situs-situs bersejarah yang ada di
lingkungan sekitar, dengan menerapkan model pembelajaran langsung
(Direct Instruction) (Wina Sanjaya,2008:76). Model kedua, pendidik dapat
Gambar 1: Contoh miniature candi di pasir
390| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
menerapkan model Explicit Instruction, model ini pertama kali diperkenalkan oleh
Rosenshine dan Steven pada tahun1986. Explicit instruction menekankan strategi
demonstrasi oleh guru, strategi latihan terpadu, dan praktek mandiri atau penerapan
strategi belajar. (Abdul Majib,2009:34)
Pembelajaran di daerah pedalaman memang di fokuskan pada kemampuan
guru dalam mengolah pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Guru
memegang peran yang sangat dominan, melalui model ini guru menyampaikan materi
pembelajaran secara terstruktur, dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan
dapat dikuasai siswa dengan baik. Dalam model Pengajaran langsung juga dikenal
dengan sebutan whole Class Teaching ( pengajaran seluruh kelas), yaitu mengacu
pada gaya mengajar dimana guru terlibat aktif dalam menjelaskan materi, kepada
muridnya dengan mengajarkan secara langsung kepada seluruh kelas. Pembelajaran
langsung, apabila diterapkan di dalam kelas, memiliki kecenderungan membosankan,
oleh karena itu pembelajaran ini sangat tepat diajarkan di lingkungan terbuka yang
memang cocok untuk kondisi pendidikan di daerah pedalaman yang sangat minim
ruang kelas. Berikut tabel 1 adalah sintak atau langkah-langkah pembelajaran yang
dapat diterapkan di kelas.
Tabel 1. Sintaks Model Pengajaran Langsung
FASE PERAN GURU
1. Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan siswa
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, informasi latar
belakang pelajaran, pentingnya pelajaran,
mempersiapkan siswa untuk belajar
2. Mendemonstrasikan
keterampilan (pengetahuan
prosedural) atau
mempresentasikan pengetahuan
deklaratif
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar,
atau menyajikan informasi tahap demi tahap
3. Membimbing pelatihan Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan
4. Mengecek pemahaman dan
memberikan umpan balik
Guru mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan
tugas dengan baik, memberi umpan balik
5. Memberikan kesempatan untuk
pelatihan lanjutan dan penerapan
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan
lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan
kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari
Ketiga, adalah peran serta budaya bangsanya. Sekolah diminta untuk dapat
mengidentifikasi kearifan lokal yang ada di daerah, Dibutuhkan orientasi yang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |391
sesuai kodrat, kebutuhan dan budaya bangsanya, bukan budaya asing yang justru
semakin menjauhkan orang-orang terpelajar dari rakyatnya. Contoh implementasi
kecil yang dapat kita realisasikan di sekolah adalah, mengadakan kegiatan-kegiatan
kesiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal, seperti bermain peran
dengan cara memilih salah satu peristiwa bersejarah yang ada di daerah tersebut.
Siswa diminta untuk membuat sendiri property yang diperlukan, usahakan property
yang dicari berasal dari daerah tersebut. Selain property, siswa juga akan membuat
scenario, dan dipentaskan.
Pengadaan sanggar seni budaya di sekolah-sekolah sebagai sarana
merealisasikan bakat juga sebagai hiburan para pelajar, juga dipandang perlu untuk
meningkatkan pengetahuan dan kecintaan para pemuda pada kebudayaan lokal di
daerahnya sendiri. Permainan-permainan tradisional yang hampir punah juga
sebaiknya diekspos kembali. Gasing, misalnya. Sebagai permainan tradisional, gasing
dapat membawa banyak manfaat dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai
sejarah, dapat dijadikan simbol atau maskot daerah, dijadikan cabang olahraga yang
dapat diukur dengan skor dan prestasi dan mengandung nilai seni. Dan masih banyak
lagi permainan-permainan tradisional yang mengandung unsur kekompakan tim,
kejujuran, dan mengolah otak selain berfungsi sebagai hiburan juga untuk
menanamkan kecintaan pelajar pada budaya lokal di daerah.
Model pembelajaran lain yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan
awareness terhadap budaya, khususnya budaya local adalah dengan meningkatkan
budaya menulis. Siswa dapat diminta untuk membuat esai tentang budaya, kebiasaan
yang ada di daerahnya, sehingga siswa dapat menemukan sendiri bentuk-bentuk
kearifan local yang ada di daerahnya.
PENUTUP
"Mutu dan jenjang pendidikan berdampak besar pada ruang kesempatan
untuk maju dan sejahtera. Maka memastikan setiap manusia Indonesia
392| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mendapatkan akses pendidikan yang bermutu sepanjang hidupnya sama dengan
memastikan kejayaan dan keberlangsungan bangsa," (Anis Baswedan) Pidato
yang disampaikan Bapak Anis Baswedan dalam peringatan Hardiknas di jakarta
tanggal 2 mei 2016, merupakan, alarm bagi kita semua, khususnya bagi
pendidik bahwa perbaikan akses pendidikan di daerah pedalaman di Indonesia
merupakan suatu masalah yang harus dicari pemecahannya.
Sistem among yang coba kita uraikan diatas adalah salah satu cara
bagaimana kita, sebagi seorang pendidik memiliki konsep dan memiliki tujuan
dalam mengajar di kelas. Banyak pendidik yang ketika memasuki ruang
kelas,masih belum tahu bahwa tujuan pembelajaran apa yang akan disampaikan
dikelas. Dalam sistem Among terdapat beberapa unsur, yaitu mendidik siswa
menjadi masusia yang merdeka hatinya, memerdekakan cara berpikir siswa, dan
peran serta budaya bangsanya. Ketiga unsur tersebut akan menciptakan rasa merdeka
dan rasa bebas, yang nantinya akan menciptakan generasi muda yang memiliki jiwa
jasmani serta rohani yang merdeka untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya.
Apabila metode pembelajaran yang berfokus kepada ketiga hal diatas, maka kita
dapat memastikan bahwa kejayaan dan keberlangsungan bangsa Indonesia akan tetap
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan. Aktualisasi Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia di Gerbang XXXI, dalam Ki Hadjar
Dewantara dalam pandangan para cantrik dan Mantrinya. MLPTS.
Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta.
Jakarta.
Majid, Abdul, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: Rosda Karya, 2009)
Moch Tauhid. 1963. Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara, MLPTS.
Yogyakarta.
Sanjaya, Wina , Strategi Pembelajaran, (Bandung: Kencana Prenada Media Group,
2008)
ST. Sularto. 2016. Inspirasi Kebangsaan Dari Ruang Kelas. PT Kompas Media
Nusantara. Jakarta
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |393
PENERAPAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK SEBAGAI UPAYA
MENUMBUHKAN KESADARAN PENGABDIAN DI DAERAH
TERTINGGAL BAGI MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI
MALANG
Fatiya Rosyida
Jurusan Geografi FIS UM, fatiya.rosyida.fis@um.ac.id, 085646731266
Abstrak
Pembangunan pendidikan di daerah tertinggal memerlukan kontribusi dari segala pihak.
Salah satu masalah besar tidak tercapainya tujuan pembangunan di daerah tertinggal
adalah rendahnya kesediaan guru dan calon guru untuk mengabdi di daerah tersebut.
Salah satu penyebab rendahnya kesediaan guru dan calon guru adalah kurangnya
pemahaman mengenai kondisi sosial dan pendidikan yang ada di daerah tertinggal.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada mahasiswa program studi pendidikan
geografi UM angkatan 2015 off K hanya 5 orang yang bersedia mengabdi di daerah
terpencil, dan sisanya 34 orang tidak bersedia. Kondisi ini sangat memprihatikan karena
jika calon guru, tidak peduli terhadap pembangunan pendidikan di daerah tertinggal maka
pembangunan tersebut akan mengalami hambatan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya
menumbuhkan kesediaan mahasiswa dengan pembelajaran berbasis proyek. Metode
dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).
Subjek penelitian adalah Mahasiswa program studi pendidikan geografi angkatan 2015
off K pada matakuliah geografi sosial. Instrumen penelitian adalah pedoman wawancara
yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat
peningkatan jumlah mahasiswa yang bersedia mengabdi di daerah tertinggal. Semula
14,71 % menjadi 44,11% mahasiswa. Kesediaan mahasiswa untuk mengabdi di daerah
tertinggal perlu ditumbuhkan dengan menerapkan pembelajaran yang dapat
meningkatkan motivasi di semua matakuliah yang disajikan.
Kata kunci: Pembelajaran Berbasis Proyek, Kesadaran Pengabdian,
PENDAHULUAN
Salah satu masalah krusial bangsa Indonesia adalah pembangunan daerah
tertinggal. Daerah tertinggal di Indonesia memiliki jumlah cukup besar.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
melakukan identifikasi bahwa tahun 2004 terdapat 199 kabupaten tergolong
dalam daerah tertinggal. Berdasarkan data tersebut, sebanyak 123 kabupaten
394| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
(63%) berada di kawasan Timur Indonesia, sebanyak 58 kabupaten (28%) berada
di Pulau Sumatera, dan 18 kabupaten (8%) berada di Pulau Jawa dan Bali. Pada
tahun 2009 jumlah wilayah tergolong daerah tertinggal sebanyak 183 dan tahun
2015 sebanyak 122 kabupaten. Sebaran daerah tertinggal tertinggi tetap berada di
kawasan Timur Indonesia (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi, 2010 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun
2015).
Meskipun jumlah daerah tertinggal terus berkurang, tetapi masih perlu
dilakukan upaya untuk mengatasinya. Hal tersebut dilakukan karena munculnya
daerah tertinggal berarti menunjukkan bahwa kesenjangan pembangunan wilayah
di Indonesia masih besar. Dalam perspektif ekonomi politik, kesenjangan itu
muncul, sebagai akibat dari kapitalisme global, yang merasuk dan menguasai
hampir seluruh negera berkembang, tak terkecuali Indonesia (Halim, 2013).
Kesenjangan pembangunan yang terjadi berdampak pada tiga realitas yaitu
kemiskinan, pengangguran, dan ketetinggalan. Dampak lain dari ketimpangan yang
ekstrim antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta
ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro,2003).
Masalah ketimpangan pembangunan harus segera ditangani. Pemerintah telah
melakukan upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal yang tertuang dalam
RPJMN 2015-2019. Upaya tersebut meliputi 11 strategi pembangunan, yaitu:
1)mengembangkan perekonomian masyarakat di daerah
tertinggal; 2) meningkatan aksesibilitas yang menghubungkan
daerah tertinggal dengan pusat pertumbuhan melalui sarana dan
prasarana transportasi; 3) meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kapasitas tata
kelola kelembagaan pemerintahan daerah tertinggal; 4)
mempercepat pemenuhan Standar Pelayanan Minimal untuk
pelayanan dasar publik di daerah tertinggal; 5) memberikan
tunjangan khusus kepada tenaga kesehatan, pendidikan, dan
penyuluh pertanian serta pendamping desa di daerah tertinggal;
6) melakukan penguatan regulasi terhadap daerah tertinggal dan
pemberian insentif kepada pihak swasta dalam mengemban
iklim usaha di daerah tertinggal; 7) meningkatkan
pembangunan infrastruktur di daerah pinggiran, seperti
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |395
kawasan perbatasan; 8) melakukan pembinaan terhadap daerah
tertinggal yang sudah terentaskan melalui penguatan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah dan peningkatan kapasitas
sumber daya manusia; 9) mendukung pengembangan kawasan
perdesaan dan transmigrasi sebagai upaya pengurangan
kesenjangan antar wilayah; 10) meningkatkan koordinasi dan
peran serta lintas sektor dalam upaya mendukung pembangunan
daerah tertinggal; dan 11) mempercepat pembangunan Provinsi
Papua dan Papua Barat.
Salah satu poin pokok dalam strategi tersebut adalah peningkatan kualitas
sumberdaya manusia. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia adalah dengan pendidikan.
Pendidikan dapat mensukseskan kegiatan pembanguan di daerah
tertinggal. Pendidikan dapat menjadi indikator suksesnya kegiatan pembangunan
sekaligus sebagai katalisator agar pembangunan dapat berjalan lebih tepat dan
cepat. Pendidikan sebagai indikator pembangunan adalah sesuai dengan tujuan
Millenium Development Goals (MDGs) yang mentargetkan bahwa pendidikan
untuk semua (Education For All, EFA) dimanapun, tanpa mebedakan ras, suku,
agama, dan gender. Indikator yang digunakan tercermin dalam Human
Development Index (HDI). Hal itu berarti bahwa semakin tinggi Indeks
pembangunan manusia maka pembangunan akan semakin baik karena negara
mampu memenuhi hak-hak dasar warga negaranya.
Pendidikan sebagai katalisator pembangunan karena sebagai salah satu
bagian penting dari pembentukan modal manusia (human capital) (Nazamuddin,
2013). Sumber Daya Manusia merupakan faktor utama dalam pembangunan.
Semakin banyak jumlah sumber daya manusia yang dimiliki dalam proses
pembangunan akan mempertinggi tingkat produksi secara keseluruhan yang
selanjutnya juga akan mempertinggi laju pertumbuhan ekonomi. Sumberdaya
manusia yang maju harus memperhatikan faktor kualitas bukan sekedar kuantitas
yang terus dikejar. Di negara-negara maju faktor kualitas sudah menjadi prioritas
396| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
utama sedangkan pada negara-negara berkembang faktor kuantitas masih menjadi
arah pembangunan manusia (Purwanto, 2006).
Aspek pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam
menentukan kualitas manusia. Karena melalui pendidikan, manusia dianggap akan
memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat
membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik (life skills). Secara rasional
dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka kualitas
hidup manusia akan semakin baik, karena dengan ilmu pengetahuannya ia dapat
mengelola dirinya sendiri. Dalam lingkup makro ekonomi atau dengan
perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu
bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut
(Purwanto, 2006).
Pendidikan dapat mengubah sudut pandang dan perilaku seseorang dalam
menjalani hidupnya. Bahkan pendidikan dapat mengentaskan kemiskinan (Sachs,
2005 dan Sen, 2000). Pendidikan yang diperoleh memberikan bekal pengetahuan
dan keterampilan bagi seseorang. Dengan bekal dan pengetahuan yang dimiliki,
membuat individu tersebut mempunyai pilihan untuk mendapat pekerjaan dan
menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Dengan
demikian pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan menghilangkan
eksklusi sosial, untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan
kesejahteraan masyarakat (Ustama, 2009).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembangunan pendidikan di
daerah menjadi suatu hal yang mutlak dilakukan agar pembangunan secara
keseluruhan dapat tercapai. Pembangunan pendidikan di daerah tertinggal
memerlukan kontribusi dari segala pihak. Salah satu masalah besar tidak
tercapainya tujuan pembangunan di daerah tertinggal adalah rendahnya kesediaan
guru dan calon guru untuk mengabdi di daerah tersebut. Salah satu penyebab
rendahnya kesediaan guru dan calon guru adalah kurangnya pemahaman
mengenai kondisi sosial dan pendidikan yang ada di daerah tertinggal.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |397
Kondisi tersebut juga terjadi pada calon guru (mahasiswa) prodi
pendidikan geografi FIS UM. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada
mahasiswa angkatan 2015 off K hanya 5 orang yang bersedia mengabdi di daerah
terpencil, dan sisanya 34 orang tidak bersedia. Kondisi ini sangat memprihatikan
karena jika calon guru, tidak peduli terhadap pembangunan pendidikan di daerah
tertinggal maka pembangunan tersebut akan mengalami hambatan. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan upaya menumbuhkan kesediaan mahasiswa dengan pembelajaran
berbasis proyek.
Pembelajaran berbasis proyek dianggap dapat menumbuhkan kesadaran
dan kepedulian terhadap pendidikan di daerah tertinggal karena memberikan
kesempatan bagi mahasiwa untuk aktif dalam pembelajaran dan mampu
membangun pengetahuan sehingga dapat menumbuhkan sikap yang diinginkan.
Pembelajaran berbasis proyek melibatkan pebelajar dalam melakukan investigasi
pemecahan masalah, dan kegiatan tugas bermakna yang lain, memberi
kesempatan siswa bekerja secara otonom untuk mengkonstruk pengetahuan
mereka sendiri dan mengkulminasikannya dalam produk nyata (Mahanal, dkk,
2009). Model pembelajaran berbasis proyek melalui enam tahapan pembelajaran
yaitu: (1) start with the essential question, (2) design a plan for the project, (3)
create a schedule (4) monitor the student and the progress of the project (5) asses
the outcome, (6) evaluate the experiences (The George Lucas Educational 2005)
METODE
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action
Research). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) bertujuan untuk menumbuhkan
kesadaran pengabdian di daerah tertinggal bagi mahasiswa dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis proyek. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dilakukan
secara langsung mulai awal hingga akhir penelitian. Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) dilaksanakan dalam dua siklus hingga mencapai hasil yang diinginkan.
398| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Setiap siklus terdiri atas empat tahapan, yakni: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan,
(3) observasi dan (4) refleksi. Keempat tahapan dalam siklus penelitian tindakan
kelas digambarkan spiral sebagai berikut:
Model Visualisasi Bagan Penelitian Tindakan Kelas Kemmis dan Mc Taggart
(dalam Arikunto, 2006:93)
Subjek penelitian adalah mahasiswa off K angkatan 2015 sebanyak 39
mahasiswa yang terdiri 28 perempuan dan 11 siswa laki-laki. Tiga puluh sembilan
mahasiswa tersebut mengikuti matakuliah geografi sosial. Penelitian ini
menggunakan beberapa instrumen untuk memperoleh data yang diperlukan.
Adapun instrumen dalam penelitian ini antara lain: (1) pedoman wawancara,
wawancara dilakukan di akhir perkuliahan. Wawancara ini digunakan untuk
mengetahui kesadaran mahasiswa untuk mengabdi di daerah tertinggal. (2)
Lembar Observasi, pelaksanaan observasi dilakukan sebelum tindakan
berlangsung dan pada saat tindakan berlangsung. Observasi sebelum tindakan
dilakukan untuk mengetahui informasi tentang permasalahan yang dihadapi pada
kegiatan perkuliahan di kelas. Observasi saat tindakan dilakukan untuk
mendapatkan informasi kegiatan perkuliahan yang meliputi kegiatan dosen dan
mahasiswa selama perkuliahan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |399
Data yang diperoleh dari wawancara dalam penelitian ini akan dianalisis
secara kualitatif yang meliputi tiga alur yaitu reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Data ini digunakan untuk menganalisis keberhasilan tujuan
penelitian ini. Keberhasilan penelitian tindakan kelas yang dilakukan jika terdapat
Peningkatan jumlah mahasiswa yang memiliki kesadaran pengabdian di daerah
tertinggal.
PEMBAHASAN
Kesadaran mahasiswa prodi pendidikan geografi dalam kegiatan
pengabdian di daerah tertinggal meningkat setelah diterapkan pembelajaran
berbasis proyek (Project Based Learning). Peningkatan yang terjadi sebesar 29,4
%, dari yang hanya 14,7% hingga mencapai 44,11%. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan perkuliahan dengan model ini cukup berhasil, meskipun jumlah
mahasiswa yang memiliki kesadaran tidak sampai separuh dari kelas. Kondisi ini
dapat dijelaskan bahwa perubahan sikap seseorang memerlukan waktu lama.
Untuk itu perlu dilakukan upaya yang terus menerus tidak hanya pada matakuliah
geografi sosial ini, tetapi matakuliah yang lain agar tumbuh motivasi sehingga
akan lebih banyak lagi jumlah calon guru yang siap mengabdi di daerah
tertinggal.
Keberhasilan peningkatan jumlah mahasiswa yang bersedia mengabdi dan
mengaplikasikan ilmunya di daerah tertinggal dikarenakan mereka memiliki
informasi baru yang berbeda dari apa yang sebelumnya diyakini. Mereka dahulu
berpikir bahwa hidup di daerah tertinggal akan sulit karena fasilitas terbatas dan
tingkat kesejahteraan guru yang rendah. Selain itu, mereka harus beradaptasi
dengan kondisi lingkungan berbeda baik kondisi fisik maupun sosial budaya.
Kondisi fisik daerah yang terpencil sehingga aksesibilitas rendah sehingga
menyulitkan untuk berinteraksi dengan daerah lainnya. Kondisi sosial budaya
yang berbeda dari tempat asal, seperti perilaku dan bahasa yang dianggap lebih
400| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
keras dibandingkan suku mereka (jawa). Kekhawatiran mereka dipengaruhi juga
dengan terjadinya perang antar suku, misal di Papua.
Perubahan pandangan mereka terhadap kondisi daerah tertinggal diperoleh
dari pemberian tugas proyek untuk mengkaji masalah pendidikan daerah
tertinggal dan upaya untuk mengatasinya dalam prespektif geografi. Melalui,
model pembelajaran berbasis proyek ini mereka akhirnya mengetahui bahwa
masalah pendidikan daerah tertinggal, seperti terbatasnya fasilitas, minat siswa
untuk sekolah rendah ditandai dengan angka putus sekolah yang tinggi,
aksesibilitas sekolah rendah, rendahnya jumlah guru, kualifikasi pendidikan yang
tidak sesuai, dan rendahnya kesejahteraan guru. ”Pembenaran” atas persepsi yang
selama ini dimiliki oleh mahasiswa membuat mereka yang semula siap mengabdi
di daerah tertinggal menjadi tidak bersedia, Dari jumlah 5 orang menjadi hanya 2
yang bersedia. Ketiga mahasiswa yang tidak bersedia karena mereka merasa
khawatir tidak bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut. Kedua mahasiswa yang
tetap bersedia karena mereka memang putra daerah tertinggal tersebut. Akan
tetapi, terdapat 2 mahasiswa yang tersentuh hatinya dan bersedia mengabdi di
daerah tertinggal.
Pengetahuan mereka tentang upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut seperti program Indonesia Mengajar, SM3T, dan guru garis
depan. Ketiga program itu yang menginspirasi mereka untuk terlibat langsung
dalam pengabdian di daerah tertinggal. Apalagi dengan informasi tentang
kebijakan tentang pemberian tunjangan guru di daerah khusus Undang-undang
Guru dan Dosen pasal 18, berbunyi:
1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana pasal 15
ayat (1) kepada guru yang bertugas didaerah khusus. 2) Tunjangan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan
1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. 3) Guru yang dingkat
oleh pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak
atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |401
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2),dan ayat (3) diatur
dengan peraturan pemerintah.
Informasi tersebut membuat mereka yang semula tidak tertarik menjadi guru di
daerah tertinggal berubah menjadi tertarik. Semula hanya ada 10,26 % menjadi
20,51 %. ketertarikan mereka karena kesejahteraan terjamin, pengamalan
mengajar mungkin mereka dapat, merasa bahwa mereka lebih dibutuhkan, dan
kesempatan eksplorasi wisata yang menarik di daerah tujuan.
Proyek yang dikerjakan sekelompok mahasiswa dan dipaparkan di kelas
tentang kisah tentang keberhasilan beberapa orang untuk mengembangkan desa
terpencil. Setelah melihat tayangan tersebut mereka menjadi termotivasi untuk
mengabdi di daerah terpencil, jumlahnya menjadi 44,11 %. Mahasiswa yang
bersedia mengabdi berpendapat bahwa mereka bisa berkontribusi untuk
pembangunan, tentunya, mahasiswa juga dapat melakukannya. Mahasiswa juga
menyadari bahwa kondisi dan permasalahan adalah sebagai tantangan yang harus
dihadapi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi riil dan permasalahan
yang dihadapi, upaya yang harus dilakukan, dan kisah inspiratif dapat membuat
mereka mengubah pandangan terhadap kesediaan pengabdian di daerah tertinggal.
Model pembalajaran berbasis proyek yang diterapkan di perkuliahan ini dapat
berhasil karena topik yang disajikan dapat mengubah pandangan atau persepsi
mereka terhadap kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya daerah terpencil. Selain itu,
pembelajaran proyek ini memungkinkan mahasiswa menemukan persoalan dan berusaha
untuk mencari solusi pemecahaaannya. Project based learning tidak hanya mengkaji
hubungan antara informasi teoritis dan praktek, tetapi juga memotivasi siswa untuk
merefleksi apa yang mereka pelajari dalam pembelajaran dalam sebuah proyek
nyata (Handayani dkk., 2015).
Project based learning melibatkan mahasiswa dalam pemecahan masalah nyata
yang sedang dihadapi dengan melakukan investigasi secara kolaboratif diyakini relevan
402| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dalam upaya pemberdayaan sikap. Hal ini didukung oleh beberapa penemuan yang
menyatakan bahwa pembelajaran berbasis proyek berpengaruh terhadap
perubahan sikap (Mahanal dkk, 2009; Susanti, 2013; Widiarto, 2014; Al- Rawahi
dan Al-Mekhlafi, 2015; dan Adi dkk., 2016). Hal ini berarti bahwa perkuliahan
dengan menggunakan pembelajaran berbasis proyek dapat menumbuhkan sikap
mahasiswa karena melibatkan mereka secara aktif dalam proses kognitif serta memberi
pengalaman langsung. Dengan kata lain, pembelajaran berbasis proyek dapat
memberikan pengaruh terhadap sikap karena memungkinkan mahasiswa
mengkonstruk sendiri penge-tahuannya dan terlibat aktif dalam mencari
informasi. Informasi yang diperolehdapat dimanfaatkan untuk memecahkan
masalah dengan cara menghubungkan teori yang diperoleh dengan realita yang
ada di lingkungannya (Adi, dkk. 2016).
Informasi atau stimulus tersebut diorganisasi dan ditafsirkan dalam proses
kognitif yang kemudian muncul penilaian baik positif maupun negatif terhadap
suatu kondisi. Persepsi yang muncul ini menjadikan dasar seseorang mentukan
sikap dan perilakunya. Hal ini dapat diartikan bahwa persepsi dapat memengaruhi
sikap seseorang (Isyanto dkk., 2012: Kusdani, 2014; Adi dkk., 2016). Persepsi
negatif terhadap kondisi pendidikan di daerah tertingal akan membuat mahasiswa
enggan melakukan pengabdian di sana. Begitu sebaliknya, persepsi positif yang
dimiliki akan memunculkan kesadaran untuk melakukan pengabdian di daerah
tertinggal. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya menciptakan persepsi positif
terhadap pendidikan di daerah tertinggal sehingga jumlah guru dan calon guru
yang bersedia mengabdi di sana semakin tinggi.
SIMPULAN
Pembelajaran berbasis proyek dapat menumbuhkan kesadaran bagi
mahasiswa untuk pengabdian mengajar di daerah tertinggal. Hal tersebut terbukti
dengan peningkatan jumlah mahasiswa yang bersedia mengabdi di daerah
tertinggal. Semula 14,71 % menjadi 44,11% mahasiswa. Kesediaan mahasiswa
untuk mengabdi di daerah tertinggal perlu ditumbuhkan dengan menerapkan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |403
pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi di semua matakuliah yang
disajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rawahi, Sulaeman S. dan Abdu Mohammad Al – Mekhlafi. 2015. The effect of
online collaborative project - based learning on English as a Foreign
Language learners' language performance and attitude. Learning and
Teaching in Higher Education: Gulf Perspectives, 12(2).
http://lthe.zu.ac.ae.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Akshara
Halim. Abd. 2013. Model Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal Studi
Kasus di Kabupaten Supiori Provinsi Papua. Jurnal Humanity, ISSN
0216-8995. Volume 8 No2.
Handayani, I Dw A. Trisna, I Wayan Karyasa, dan I Nyoman Suardana. 2015.
Komparasi Peningkatan Pemahaman Konsep dan Sikap Ilmiah Siswa
SMA yang Dibelajarkan dengan Model Pembelajaran Problem Based
Learning dan Project Based Learning. e- Journal Program Pascasarjana
Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Pendidikan IPA (Volume 5 Tahun 2015).
Isyanto, Puji. Dkk. 2012. Kajian Persepsi dan Perilaku Pembelian Konsumen
pada Aflamart dan Indomart di Kecamatan Teluk Jambe Timur. Majalan
Ilmiah UNSIKA Karawang, ISSN 1412-86676 Vol. 10 No. 21 Ed.
Desember 2011-Februari 2012
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. (2010, 1
Februari). Bappenas: RI Punya 183 Kabupaten Daerah Tertinggal.
http://kemendesa.go.id/index.php/view/detil/994/bappenas-ri-punya-183-
kabupaten-daerah-tertinggal
Kusnadi, Dedi, 2014. Persepsi terhadap Sikap Dan Minat Pengguna Layanan
Internet Pada Perusahaan Jasa Asuransi. Jurnal Organisasi dan
Manajemen, Volume 10, Nomor 2, September 2014 ,97-112. Online.
http://jurnal.ut.ac.id/JOM/article/download/121/115
Mahanal, S. Dkk. 2009. Pengaruh Pembelajaran Project Based Learning pada
Materi Ekosistem terhadap Sikap dan Hasil Belajar Siswa SMAN 2
404| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Malang. Makalah disajikan dalam seminar nasional Pendidikan
Lingkungan Hidup dan Interkonferensi BKPSL. Universitas Negeri
Malang.
Nazamuddin. 2013. Kontribusi Pendidikan terhadap Pembangunan Ekonomi:
Kasus Provinsi Aceh. Jurnal Pencerahan Volume 7, Nomor 2,
(September) 2013 Halaman 90-100. ISSN: 1693 – 7775
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan
Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.
Purwanto, Nurtanio Agus. 2006. Kontribusi Pendidikan bagi Pembangunan
Ekonomi Negara. Jurnal Manajemen Pendidikan No. 02/Th
II/Oktober/2006
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Sach, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty. New York: Penguin Press.
Sen, Amartya Kumar. 2000. Development as Freedom. New York: Anchor
Books.
Susanti. 2003. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Proyek terhadap Kemampuan
Berpikir Kreatif dan Sikap Ilmiah Siswa Pada Materi Nutrisi. Jurnal
Pengajaran MIPA, Volume 18, Nomor 1, April 2013, hlm. 36-42.
The George Lucas Educational Foundation. 2005. Instructional Module Project
Based Learning.
http//www.edutopia.org.modules/PBL/whatpbl.php.2005
Todaro, Michael P, 2003, Economic Development, Eight Edition, Pearson
Education Limited, Eidenburg Gate, Harlow, Essex, England Tarigan, R.
2004. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. PT.Bumi Aksara, Jakarta.
Ustama, Dicky Djatnika. 2009. Peranan Pendidikan dalam Pengentasan
Kemiskinan.
”Dialoge” JIAKP, Vol. 6, No. 1, Januari 2009:1-12
Widiharto, Chr. Argo, dkk. 2015. Pembelajaran Berbasis Proyek Pada Mata
Kuliah Psikologi Kewirausahaan dalam Meningkatkan Sikap
Entrepreneur Mahasiswas Emester Vii Prodi BK. http://e-
jurnal.upgrismg.ac.id
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |405
PENGUATAN KOMITMEN PENDIDIKAN DI DAERAH TERTINGGAL
SEBAGAI UPAYA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Siti Maizul Habibah, S.Pd, MA (Dosen Prodi PKN UNESA) email:
sitihabibah@unesa.ac.id)
M. Asif Nur Fauzi, S.Sos, M.Si (Dosen STEBI Syaikhona Kholil Pasuruan)
Abstrak
Komitmen dalam pembangunan pendidikan yang berkualitas dalam hal ini ialah
menyambut generasi emas 2035 dimana indonesia akan mendapatkan generasi yang
produktif, berharga dan kompetitif. Apabila pendidikan di daerah tertinggal tidak dapat
dibangun dan ditingkatkan, maka yang terjadi generasi didaerah tersebut tidak akan
mampu bersaing dalam kompetisi pembangunan nasional yang akan berdampak pada
kualitas daerah maupun Sumber Daya manusia yang dimiliki. Komitmen dalam
membangun pendidikan tidak hanya dalam skup kebijakan saja melainkan adanya
perhatian yang menyeluruh seperti infrastruktur, sarana prasarana, jaminan keberlanjutan
pasca pendidikan, accesbilitas masyarakat untuk menunjang perkembangan pendidikan
dan sinkronisasi kepedulian sumberdaya manusia di sekitarnya. Dengan adanya
komitmen bersama yang diharapkan mampu mengangkat derajat daerah tersebut dari
tertinggal menjadi berkembang bahkan maju baik secara sumber daya manusia maupun
pengelolaan sumber daya alamnya. Persoalan yang terjadi diera saat ini
dalampembangunan pendidikan di daerah tertinggal adalah komitmen dalam
membangunnya. Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan
perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup
cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya
mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009).
penguatan komitmen pendidikan di daerah tertinggal sebagai upaya pelaksanaan
pembangunan nasional meliputi : a. Pembangunan infrastruktur, b. Pembangunan
Aksesbilitas, c. Peningkatan Sumber Daya Manusia Lokal
Kata kunci : Komitmen, Infrastruktur, Aksesbilitas, Sumberdaya manusia
PENDAHULUAN
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan Manusia Indonesia
seutuhnya, dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan Pancasila
sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional (GBHN 1998:44).
Pembangunan pada sektor pendidikan, merupakan salah satu pnontas dalam
pembangunan nasional untuk meningkatkan kualitas secara menyeluruh dan
406| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dalam upaya mewujudkan kualitas manusia Indonesia yang utuh. Hal ini
tercermin pada amanat GBHN yang dengan tegas menyatakan bahwa,
pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia serta kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperluas serta
meningkatkan kesempatan memperoleh pendidikan termasuk di daerah terpencil
(GBHN,1998:73).
Hal ini juga dijelaskan pada pasal 31 UUD 1945 bahwa seluruh warga
Indonesia berhak mendaptkan pendidikan yang layak. Berdasarkan penjelasan
pasal 31 tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan yang diterapkan di daerah
tertinggal sangat jauh dari kelayakan. Pendidikan yang belum layak menghambat
motivasi masyarakat tentang pentingnya pendidikan bagi dirinya.
Penyelenggaraan pendidikan sebenarnya telah dicanangkan oleh pemerintah
secara merata baik undang-undang maupun peraturan-peraturannya, akan tetapi
didalam pelaksanaanya kesenjangan masih terjadi khususnya di daerah – daerah
yang tertinggal.
Belum layaknya pendidikan di daerah tertinggal disebabkan beberapa
aspek, diantaranya minimnya jumlah sekolah yang dibangun, tidak layaknya
gedung sekolahan, infrastruktur jalan yang masih rendah, dan aksesbilitas
pendidikan lanjut masyarakat masih belum ada. Berdasarkan UU Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Berdasarkan beberapa kasus di atas jika diselaraskan dengan undang
sisdiknas, maka pengembangan pendidikan didaerah tertinggal harus mampu
ditingkatkan untuk dapat mewujudkan pendidikan yang merata.
Pendidikan yang merata dan berkelanjutan merupakan impian yang setiap
masyarakat. Apalagi pada masyarakat di daerah yang berkategori tertinggal.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |407
Untuk mewujudkan meratanya pendidikan yang diterima seluruh masyarakat
diperlukan suatu komitmen dari semua stakeholder tidak hanya
menyelenggarakan tanpa ada keberlanjutan dari pendidikan tersebut, namun
diperlukan komitmen yang tegas oleh semua lembaga pelaksana pendidikan.
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan
perilaku pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini
mencakup cara-cara mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi
yang intinya mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi
(Soekidjan, 2009). Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009),
komitmen dapat juga berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan
nilai-nilai organisasi, dan individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat
yang kuat untuk tetap bertahan di organisasi tersebut.
Komitmen dalam pembangunan pendidikan yang berkualitas dalam hal ini
ialah menyambut generasi emas 2035 dimana indonesia akan mendapatkan
generasi yang produktif, berharga dan kompetitif. Apabila pendidikan di daerah
tertinggal tidak dapat dibangun dan ditingkatkan, maka yang terjadi generasi
didaerah tersebut tidak akan mampu bersaing dalam kompetisi pembangunan
nasional yang akan berdampak pada kualitas daerah maupun Sumber Daya
manusia yang dimiliki.
Komitmen dalam membangun pendidikan tidak hanya dalam skup
kebijakan saja melainkan adanya perhatian yang menyeluruh seperti infrastruktur,
sarana prasarana, jaminan keberlanjutan pasca pendidikan, accesbilitas
masyarakat untuk menunjang perkembangan pendidikan dan sinkronisasi
kepedulian sumberdaya manusia di sekitarnya. Dengan adanya komitmen bersama
yang diharapkan mampu mengangkat derajat daerah tersebut dari tertinggal
menjadi berkembang bahkan maju baik secara sumber daya manusia maupun
pengelolaan sumber daya alamnya.
408| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
PEMBAHASAN
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku
pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara
mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya
mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009).
Menurut Meyer dan Allen (1991, dalam Soekidjan, 2009), komitmen dapat juga
berarti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, dan
individu berupaya serta berkarya dan memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan
di organisasi tersebut.
Meyer dan Allen (1991 dalam Soekidjan, 2009) membagi komitmen
organisasi menjadi tiga macam atas dasar sumbernya : (a) Affective commitment,
Berkaitan dengan keinginan secara emosional terikat dengan organisasi, identifikasi
serta keterlibatan berdasarkan atas nilai-nilai yang sama. (b) Continuance
Commitment, Komitmen didasari oleh kesadaran akan biaya-biaya yang akan
ditanggung jika tidak bergabung dengan organisasi. Disini juga didasari oleh tidak
adanya alternatif lain. (c) Normative Commitment, Komitmen berdasarkan perasaan
wajib sebagai anggota/karyawan untuk tetap tinggal karena perasaan hutang budi.
Disini terjadi juga internalisasi norma-norma.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen tidak
hanya dapat diselesaikan dengan adanya aturan atau kebijakan tetapi ada komitrmen
keberlanjutan untuk dapat mengukur keberhasilan suatu kebijakan yang telah
diimplementasikan. Komitmen adalah sikap maka diperlukan suatu dorrongan
motivasi untuk dapat mengaplikasikan suatu kebijakan yang telah diimplementasikan.
Di daerah tertinggal terutama pendidikan merupakan hal utama yang harus
ditingkatkan karena keserasian atara pendidikan dengan pembangunan nasional
berbanding lurus beriringan, tanpa pendidikan perkembangan suatu daerah akan
terhambat, maka diawali dari pendidikan maka perkembangan suatu daerah juga akan
cepat kemajuannya. Pendidikan juga merupakan wujud dari membangun kemandirian
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |409
suatu daerah. Kemandirian yang dimaksud adalah kemandirian dalam pengelolaan
sumber daya dan keuangan yang dimiliki.
Untuk mewujudkan kemandirian tersebut diperlukan komitmen berbagai
pihak (Stakeholder) dalam membangun dan mengembangkan pendidikan di daerah
tertinggal. Di era saat ini pembangunan pendidikan di daerah tertinggal hanya
mengandalkan kebijakan dan kerelaan pemerintah dalam mengatur kelangsungan
pendidikan selanjutnya. Berdasarkan informasi dari peserta Guru SM3T yang
merupakan tenaga pengajar di daerah tertinggal salah satu kasus pendidikan di daerah
tersebut ialah buku yang digunakan adalah masih buku tahun 1994 atau lebih tua 12
Tahun dari buku yang digunakan di daerah lain serta akses jalan menuju sekolah
masih cukup jauh dan masih jalan swadaya masyarakat. Selain itu kelangkaan listrik
juga menjadi problematika yang sampai saat ini masih ada didaerah tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut beberapa hal yang diperlukan dalam komitmen
pendidikan sebai upaya pelaksanaan pembangunan nasional diantaranya infrastruktur,
sarana prasarana, dan accesbilitas serta Sumber Daya Manusia (SDM).
a. Infrastruktur
Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah
suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial
ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang
kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat
Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan
penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan
daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial,
budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal
dengan daerah maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup
di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari
pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan program pembangunan daerah
tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang
410| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan
infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya. Kondisi tersebut pada
umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti
daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, serta
daerah rawan bencana. Di samping itu, perlu perhatian khusus pada daerah yang
secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan
sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik.
Pengertian Infrastruktur menurut American Public Works Association (Stone,
1974 Dalam Kodoatie,R.J.,2005), adalah fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan
atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam
penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-
pelayanan similar untuk memfasilitasi tujuan-tujuan sosial dan ekonomi. Jadi
infrastruktur merupakan sistem fisik yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia dalam lingkup sosial dan ekonomi.
Dilihat dari input - output bagi penduduk, komponen-komponen tersebut
dapat dikelompokkan menjadi tiga karakteristik, yaitu: (1) Komponen yang memberi
input kepada penduduk. Jenis infrastruktur yang termasuk dalam kategori ini adalah
prasarana air minum dan listrik; (2) Komponen yang mengambil output dari
penduduk. Jenis infrastruktur yang termasuk dalam kelompok ini adalah prasarana
drainase/pengendalian banjir, pembuangan air kotor/sanitasi, dan pembuangan
sampah; (3) Komponen yang dapat dipakai untuk memberi input maupun mengambil
output. Jenis infrastruktur yang termasuk dalam kelompok ini meliputi: prasarana
jalan dan telepon.
Pembangunan pendidikan merupakan proses pembangunan yang tidak hanya
berhenti pada sistemnya karena sistem bersifat umum dan menyeluruh yang digunakan
sebagai acuan seluruh satuan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi dalam
implementasinya masih belum menyeluruh dan merata karena beberapa daerah masih
tertinggal dalam kualitas pendidikannya.
Terhambatnya terwujudnya pendidikan berkualitas di daerah tertinggal karena
masih belum terpenuhinya beberapa infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah baik
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |411
pusat maupun daerah. Infrastruktur yang dimaksud ialah jalan, bangunan sekolah, dan
komunikasi dan informasi serta pemenuhan listrik.
Infrastur jalan merupakan jenis utama yang harus dibangun dan dipenuhi
karena itu bagian dari akses masyarakat menimbah pendidikan karena saat ini jalan di
daerah tersebut masih jauh dari kelayakan sehingga untuk menuju sekolah masih
menyeberang sungai, jembatan yang masih hampir putus sehingga terhambatnya
infrastruktur tersebut masih membutuhkan komitmen dari pemerintah dalam
membangun infrastruktur jalan tersebut.
Komunikasi dan informasi merupakan suatu komitmen yang juga penting
karena menyangkut kualitas pengetahuan masyarakat yang selalu update setiap
menitnya. Di daerah tertinggal masih belum dapat mencapai maksimal pengetahuannya
sehingga kebutuhan akan informasi tersebut masih kurang. Kekurangan informasi
dapat menghambat pembangunan nasional secara khususnya. Pengetahuan yang
terhambat juga mempengarui terhambatnya pendidikan yang saat ini diberikan menjadi
kedaluarsa.
Terhambatnya pembangunan komunikasi dan informasi tersebut tidak lepas
karena masih belum terpenuhinya listrik didaerah tersebut sehingga akses membangun
komunikasi dan informasi tentang pendidikan yang berkualitas menjaditerhambat,
sehingga diperlukan komitmen yang bersifat menyeluruh.
b. Accesbilitas
Pembangunan pendidikan pada daerah tertinggal seharusnya bersifat adil,
partisipatif dan terintegrasi, sehingga kesenjangan mutu yang ada pada daerah
perkotaan dan daerah tertinggal dapat diatasi dengan cepat. Beberapa kebijakan dan
program kerja yang sudah dan sedang diluncurkan pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, semestinya bertujuan pada upaya pencapaian tingkat kualitas
pendidikan. Walaupun pada satu sisi, untuk mengatasi ketertinggalan mutu pendidikan
pada daerah terpencil dan tertinggal menjadi tanggung jawab pemerintah daerah itu
sendiri, namun pemerintah pusat lebih berperan untuk melakukan fasilitasi dan
koordinasi.
412| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Terbangunnya kemitraan yang solid baik antara pemerintah daerah, pusat,
pihak swasta dan seluruh masyarakat diharapkan mempermudah terwujudnya
pemenuhan aksesibilitas dan pendidikan yang bermutu. Sarana dan prasarana serta
aksesibilitas dalam bentuk fisik dan non fisik minimal tidak lagi menjadi kendala
utama dalam pembangunan pendidikan menuju pendidikan yang maju dan berkualitas.
Blunden dan Black (1984) seperti dikutip Tamin (1997: 52) menyatakan bahwa
“Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan
secara geografis dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkannya.
Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi
tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan ‘mudah’ atau ‘susah’ nya lokasi tersebut
dicapai melalui sistem jaringan transportasi.”
Berdasarkan pengertian di atas menggambarkan bahwa pentingnya membangun
komitmen diantara stakeholder untuk membangun aksesbilitas masyarakat dengan
dunia luar. Pentingnya aksesbilitas ini karena pendidikan tidka hanya berada di kelas
melainkan membutuhkan akses untuk berinteraksi dengandaerah lain. Tetapi hal ini
masih belum dipenuhi oleh pemerintah, terhambatnya akses tersebut menjadikan
masyarakat kurang mendapatkan motivasi untuk membangun pendidikan di daerahnya
sendiri. Ketertinggalan suatu daerah membutuhkan kerjasama masyarakat lokal dan
pemerintah untuk dapat mengelola Sumber daya yang dimiliki termasuk pendidikan
yang harus berkualitas.
c. Sumber Daya Manusia
Kemampuan sumber daya manusia tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, namun
harus mencangkup keseluruhan dari daya pikir dan juga daya fisiknya. Sumber Daya
Manusia (SDM) semula merupakan terjemahan dari human recources. Namun ada pula
para ahli yang menyamakan SDM dengan manpower atau tenaga kerja, bahkan
sebagian orang menyetarakan pengertian SDM dengan personnel (personalia,
kepegawaian dan sebagainya).
Menurut Abdurrahmat Fathoni (2006, h 8) Sumber Daya Manusia merupakan
modal dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan manusia. Manusia sebagai
unsur terpenting mutlak dianalisis dan dikembangkan dengan cara tersebut. Waktu,
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |413
tenaga dan kemampuanya benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi
kepentingan organisasi, maupun bagi kepentingan individu. Sebagai faktor pertama dan
utama dalam proses pembangunan, SDM selalu menjadi subjek dan objek
pembangunan. Proses administrasi pun sangat dipengaruhi oleh manajemen sumber
daya manusia, dan ada empat macam klasifikasi sumber daya manusia sebagaimana
dikemukakan oleh Ermaya (1996 : 2).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku,
aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, dan aspek
kesehatan. Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki
oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek
jasmaniah selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari
dalam diri manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama
sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat
diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek
ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk
mewujudkannya.
Pembangunan sumber daya manusia untuk membangun pendidikan di daerah
tertinggal sebenarnya telah dilakukan pemerintah dengan program SM3T, Indonesia
Mengajar, dan Guru Garda Depan merupakan beberapa solusi yang diberikan
pemerintah untuk kualitas Sumber Daya Manusia. Komitmen membangun pendidikan
di daerah tertinggal tidak hanya bertumpu pada sistem pendidikan saja aspek yang lain
juga membutuhkan komitmen.
SIMPULAN
Komitmen adalah kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku
pribadi dengan kebutuhan, prioritas dan tujuan organisasi. Hal ini mencakup cara-cara
mengembangkan tujuan atau memenuhi kebutuhan organisasi yang intinya
mendahulukan misi organisasi dari pada kepentingan pribadi (Soekidjan, 2009).
414| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Penguatan komitmen pendidikan di daerah tertinggal sebagai upaya
pelaksanaan pembangunan nasional meliputi : (a) Pembangunan infrastruktur, (b)
Pembangunan Aksesbilitas, (c) Peningkatan Sumber Daya Manusia Lokal
DAFTAR PUSTAKA
Soekidjan, S., 2009. Komitmen Organisasi Sudahkah Menjadi Bagian Dari Kita. www.kesad.mil.id/category/berita/ditkesad, diakses tanggal 25 Juli 2015.
Kodoatie, Robert J. (2005). Pengantar management infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia.
Jakarta : Rineka Cipta.
Ermaya Suradinata, 1996, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ramadan Bandung.
Tamin. Ofyar. 1997. Perencanaan dan Permodelan Transportas. Bandung: Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung.
Maizir, R. P. (2015). PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KOMITMEN KARYAWAN. Jom FISIP Volume 2 No.2 , 3.
Priyanto, C. (2012, 04 06). http://cahyageo.blogspot.co.id. Retrieved Juni 2016, from Cahya Priyanto.
Yanto, B. (2013, 07). http://www.budhii.web.id. Retrieved 06 01, 2016
http://www.radarplanologi.com. (2015). Infrastruktur. Retrieved 2016, from.
Ketetapan MPR No.II/MPR/1998 tentang Garis-garis besar haluan Negara
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |415
PENGUATAN NILAI INTEGRITAS DALAM KEGIATAN
KEMAHASISWAAN SEBAGAI WUJUD PENDIDIKAN KARAKTER
BERKESINAMBUNGAN DALAM MEMBANGUN SDM UNGGUL DAN
BERDAYA SAING
Sarmini
Guru Besar Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) FISH Unesa
Abstrak
Tulisan ini mengungkapkan implementasi model pendidikan karakter untuk
penguatan nilai integritas melalui kegiatan kemahasiswaan. PKKMB yang
melibatkan semua unsur di fakultas dipilih menjadi subyek kegiatan. Sampel yang
dipilih adalah panitia dari unsur BEM fakultas, DPM, HIMA dan HMJ.
Menggunakan angket dan observasi data ini dikumpulkan. Model Pendekatan yang
dipilih adalah pendekatan komprehensig-integratif dalam kegiatan yang terdiskripsi
dalam jadwal kegiatan. Hasil penelitian ini secara umum menunjukkan bahwa nilai
integritas masih harus terus dipupuk dan diperjuangkan. Implementasi model
pendidikan karakter untuk memperkuat nilai integritas, terus harus diperjuangan.
Hal ini menjadi penting, mengingat penenanaman nilai karakter tidak dapat
diajarkan secara kognitif, tetapi harus dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan
sehingga mampu membangun internalisasi nilai dalam diri mahasiswa. Tulisan ini
menjadi pijakan awal bagi siapa saja yang tertarik mengeksplorasi tentang nilai
integritas.
Kata Kunci: Model Pendidikan Karakter, integritas, PKKMB
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN Tahun 2005–
2025 mengamanatkan bahwa upaya untuk membangun kualitas manusia tetap
menjadi perhatian penting. Kualitas manusia dalam konteks ini Sumber Daya
Manusia (SDM) merupakan subjek dan sekaligus objek pembangunan, yang
mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak di dalam kandungan hinggá akhir
hayat. Berbagai hal menunjukkan bahwa peningkatan SDM melalui bidang
pendidikan memang telah mengalami peningkatan. Meskipun demikian, kondisi
416| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat
pada masa depan (UURI No. 17/2007 Tentang RPJPN 2005–2025, h. 5).
Pentingnya suatu negara memiliki SDM yang unggul dari segi kualitas
sejalan dengan pemikiran Edward Deming dalam buku yang berjudul out of the
Crisis yang menyatakan bahwa kemakmuan suatu bangsa lebih banyak
ditentukan oleh SDM-nya, manajemen, dan pemerintahan daripada oleh
berlimpahnya sumber daya alam. Misalnya, kemajuan negara sebesar Singapura,
yaitu terletak pada faktor sumber daya manusia. Hal ini menjadi penting,
mengingat bagaimana mengelola, menata, mengolah, dan menjalankan negara
adalah tergantung pada sumber daya manusianya.
Di lain sisi, memasuki milenium ketiga yang ditandai dengan semakin
banyaknya kemajuan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan menimbulkan
perubahan dan berdampak dalam segala aspek kehidupan. Kemajuan teknologi
dan pengetahuan yang pesat menyebabkan negara dan bangsa yang maju
semakin melesat jauh meninggalkan negara dan bangsa lain. Bangsa-bangsa yang
tidak mampu menyesesuaikan dengan teknologi akan mengalami ketertinggalan
dengan bangsa-bangsa lain. Era baru dalam kehidupan manusia ini ditandai oleh
semakin banyaknya tantangan dan kesempatan untuk bersaing, saling berlomba
untuk mengalahkan pesaingnya.
Tantangan untuk berubah selalu muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan ini menuntut suatu persyaratan tertentu yaitu suatu kualitas yang
superior; dimana kualitas ini merupakan salah satu tuntutan yang harus dipenuhi.
Kualitas superior ini diharapkan dapat memotivasi dan memimpin dalam proses
perubahan disegala sudut kehidupan. Suyono (1996) menyebutnya dengan
revolusi kualitas. Perubahan yang drastis dalam hal kualitas menurutnya dapat
dicapai antara lain dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga
pada gilirannya dapat mengembangkan gagasan baru.
Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan jenjang terakhir dari
hirarki pendidikan formal memiliki peranan penting. Usaha pewarisan dan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |417
pengembangan ilmu pengetahuan oleh perguruan tinggi harus senantiasa memiliki
pijakan dan relevansi dengan kondisi masyarakat. Usaha memformulasikan peran
Perguruan Tinggi dalam dinamika masyarakat inilah yang lebih dikenal dengan
nama pengabdian masyarakat. Berdasarkan misi yang diembannya maka dapat
dikatakan bahwa Perguruan Tinggi mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga
kajian dan sebagai lembaga layanan.
Dalam posisi sebagai lembaga kajian dan lembaga layanan maka
Perguruan Tinggi memiliki tiga fungsi penting, yaitu: (1) sebagai konseptor; (2)
dinamisator; dan (3) evaluator pembangunan masyarakat baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Fungsi konseptor terwujud melalui produk ilmiah
yang dihasilkan, baik melalui kajian maupun penelitian. Melalui serangkaian
tindakan ilmiah yang dilaksanakan, Perguruan Tinggi hendaknya mampu
memprediksi kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan, tetapi
pada saat yang bersamaan juga memiliki kemampuan menyusun teori atau
konsep yang dibutuhkan pada masa kini.
Fungsi dinamisator secara langsung terlihat pada lulusan Perguruan
Tinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat berperan di
masyarakatnya, sebagai dinamisator dalam laju pembangunan masyarakat.
Lulusan Perguruan Tinggi yang terlibat dalam gerak pembangunan
dimungkinkan timbulnya pemikiran-pemikiran baru, langkah-langkah inovatif
yang konsepsional dan lahirnya aspirasi-aspirasi baru.
Selanjutnya fungsi evaluator dilakukan bersama-sama oleh segenap
warga civitas akademika di dalam Perguruan Tinggi, melalui penelitian terhadap
berbagai dampak pembangunan, Ia mampu bertindak sebagai pelopor
pembaharuan dan modernisasi. Kemudian bersamaan dengan itu Perguruan
Tinggi mampu pula bertindak sebagai agen perubahan sosial sekaligus sebagai
418| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pengawas sosial, sehingga dapat memberi warna terhadap arah laju perkembangan
dan pembangunan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan fungsi Perguruan Tinggi sebagaimana
tersebut di atas, maka mahasiswa menjadi penting untuk terus menerus
dibangun, diupayakan, dilatih dan dibiasakan proses berpikir kritis, inovatif dan
kreatif, baik dalam dimensi pembelajaran maupun penciptaan atmosfer akademik
di perguruan tinggi. Hal ini dipandang penting, mengingat mahasiswa sebagai
masyarakat intelektual dan sekaligus sebagai warganegara, dituntut bukan hanya
untuk cerdas dalam belajar dan harus kritis terhadap kenyataan sosial yang ada.
Kenyataan inilah yang memberikan label bahwa mahasiswa disebut sebagai agent
of change meminjam istilah Auguste Comte, atau agent of modernization dalam
istilah lain Ali Syariati.
Mahasiswa memiliki peran sebagai agent of change, social control,
dan iron stock. Mahasiswa dihaapkan mampu menjaga kestabilan negara,
membawa inovasi dan perubahan, serta benih pemimpin unggul. Tugas utama
yang sebenarnya dipikulkan kepada mahasiswa yaitu mempelajari bidang ilmu
yang dipilihnya, sehingga harapannya mampu menyelesaikan permasalahan yang
ada pada bangsa ini. Ada lima keunggulan yang dimiliki mahasiswa.
Pertama, deal with complexity. Mahasiswa terbiasa dengan urusan-urusan rumit.
Kedua, berpikir sistematis. Setiap mahasiswa selalu dibiasakan berpikir sistem
hingga memiliki system thinking kuat. Ketiga, kemampuan menghadirkan solusi
numerik, selalu ada bukti-bukti kongkret di lapangan yang mendukung setiap
alasan yang dikemukakan. Dan itu membutuhkan hasil statistik dari penelitian
yang dilakukan. Keempat, kepedulian tinggi. Kelima adalah taat asas dan taat
aturan. Dan Kenam, memiliki karakter kuat. Dengan keenam hal di atas,
mahasiswa akan lebih kuat mempertahankan prinsip idealisme yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka sosok mahasiswa ideal secara singkat
dapat dirangkum dalam tiga kata, yaitu berprestasi, berorganisasi, dan berbudi
pekerti. Di luar ketiga hal di atas ada satu hal yang sudah pasti harus dimiliki,
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |419
yaitu berpribadi religius. Religiusitas ini tidak perlu disebut lagi, karena
hakikatnya merupakan dasar dari inspirasi dan motivasi ketiga hal tadi. Dengan
kata lain, prestasi, keaktifan dalam organisasi dan budi pekerti tidak akan berarti
tanpa dilandasi oleh nilai-nilai religi. Ketiga kriteria ini hakikatnya tidak
terpisahkan bagi keberhasilan hidup mahasiswa di masa depan. Kaitan ketiga hal
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Prestasi mengantarkan lulus seleksi dalam
mendapatkan pekerjaan; (2) Pengalaman organisasi menjadikan sukses
melaksanakan pekerjaan; dan (3) Budi pekerti membuat diterima dalam setiap
pergaulan. Dalam ungkapan lain dinyatakan: Prestasi menjadikan orang bisa
melewati soal ujian; Pengalaman organisasi menjadikan orang bisa melewati
tantangan permasalahan; dan Budi pekerti menjadikan orang bisa melewati
penolakan dan permusuhan.
Inti dari prestasi adalah pencapaian standar nilai yang tinggi dalam
menyelesaikan perkuliahan. Prestasi mencerminkan penguasaan seseorang
terhadap sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan dan diujikan
kepadanya. Prestasi mahasiswa disimbolkan dengan nilai atau indeks prestasi (IP).
Pengalaman berorganisasi memberikan bekal kepada lulusan perguruan tinggi
dalam berbagai hal, antara lain: kemampuan berinteraksi, kemampuan
berkomunikasi, kemampuan perpikir logis-sistematis, kemampuan menyampaikan
gagasan di muka umum, kemampuan melaksanakan fungsi manajemen:
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi, kemampuan
memimpin, serta kemampuan memecahkan permasalahan. Dengan budi pekerti
yang baik, simpati teman mudah didapatkan, ketidaksukaan orang dapat
dihapuskan. Dengan budi pekerti yang baik, hati atasan dapat dibuat terkesan,
serta bantuan dan pertolongan orang lain mudah didapatkan.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu perilaku positif yang
dilakukan melalui kebiasaan. Artinya, seseorang diajarkan sesuatu yang baik
420| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan dan pembiasaan yang
dimulai sejak dalam lingkungan keluarga. Sementara itu Integritas16 dipandang
penting membangun budi pekerti dalam menghadapi persaingan di era global.
Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan
seseorang. Ciri seorang yang berintegritas ditandai oleh satunya kata dan
perbuatan, bukan seorang yang kata-katanya tidak dapat dipegang. Seorang yang
mempunyai integritas bukan tipe manusia dengan banyak wajah dan penampilan
yang disesuaikan dengan motif dan kepentingan pribadinya. Dapat dikatakan
bahwa integritas merupakan kompas yang mengarahkan perilaku seseorang, dan
sekaligus integritas merupakan gambaran keseluruhan pribadi seseorang
(integrity is who you are).
Lebih lanjut nilai yang membangun integritas adalah disiplin, jujur dan
tanggungjawab. Disiplin yakni sikap dan perilaku yang menunjukkan ketertiban
dan kepatuhan terhadap berbagai ketentuan dan peraturan. Jujur yakni sikap dan
perilaku seseorang yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya selalu dapat
dipercaya dalam perkataan dan perbuatannya. Tanggung jawab yakni sikap dan
perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana yang
seharusnya dilakukan, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara,
maupun Tuhan YME. Tulisan ini memfokuskan pada bagaimana membangun
integritas melalui implementasi model penguatan nilai integritas sebagai wujud
pendidikan karakter yang berkesinambungan dalam membangun Sumber Daya
Manusia (SDM) unggul dan berdaya saing.
METODOLOGI PENELITIN
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian pengembangan dan
desain penelitian tindakan. Penelitian pengembangan digunakan untuk
pengembangan model penguatan nilai integritas dalam kegiatan kemahasiswaan.
16 Integritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai
dan prinsip
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |421
Sedangkan penelitian tindakan digunakan untuk ujicoba model penguatan nilai
integritas dalam kegiatan kemahasiswaa Penelitian pengembangan yang dipilih
mengacu pendapat Borg and Gall (1983:772) mendefinisikan penelitian
pengembangan sebagai berikut:
Educational Research and development (R & D) is a process used to
develop and validate educational products. The steps of this process are
usually referred to as the R & D cycle, which consists of studying research
findings pertinent to the product to be developed, developing the products
based on these findings, field testing it in the setting where it will be used
eventually, and revising it to correct the deficiencies found in the filed-
testing stage. In more rigorous programs of R&D, this cycle is repeated
until the field-test data indicate that the product meets its behaviorally
defined objectives.
Sedangkan penelitian tindakan mengacu Kemmis (1983), menyatakan
bahwa penelitian tindakan merupakan upaya mengujicobakan ide-ide ke dalam
praktek untuk memperbaiki atau mengubah sesuatu agar memperoleh dampak
nyata dari situasi. Kemmis dan Taggar (1988) juga menyatakan bahwa penelitian
tindakan adalah suatu bentuk penelitian reflektif diri yang secara kolektif
dilakukan peneliti dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan
keadilan praktek pendidikan dan sosial mereka, serta pemahaman mereka
mengenai praktek dan terhadap situasi temapat dilakukan praktek-praktek tersebut
(Zuriah, 2003:54).
Sampel dalam tulisan ini Panitia kegiatan PKKMB yang teridiri atas:
Ormawa di tingkat Fakultas adalah Badan Ekesekutif Mahasiswa Fakultas
(BEMF) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas, sedangkan di tingkat
jurusan/prodi terdapat Himpunan Mahasiswa (HIMA) Jurusan/prodi. Subyek
kegiatan yang digunakan sebagai media ujicoba adalah Pengenalan Kehidupan
Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) 2016. Kegiatan ini dipilih karena
422| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
melibatkan seluruh mahasiswa baru dan organisasi mahasiswa (ormawa) di
tingkat fakultas. Indikator variabel seperti yang tertera dalam tabel berikut ini.
Tabel 01
Variabel dan Indikator Variabel
Variabel Indikator
Variabel
Sub Indikator Variabel
Integritas
Disiplin Pemahaman Konsep Disiplin
Konstruksi Konsep
Implementasi dalam diri
Implementasi dalam sikap dan perbuatan
Refleksi konsep
Jujur Pemahaman Konsep Jujur
Konstruksi Konsep
Implementasi dalam diri
Implementasi dalam sikap dan perbuatan
Refleksi konsep
Tanggungjawab Pemahaman Konsep Jujur
Konstruksi Konsep
Implementasi dalam diri
Implementasi dalam sikap dan perbuatan
Refleksi konsep
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuisioner, wawncara
dan observasi. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan mengacu Miles dan
Hubermen (1984), Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display) serta penarikan kesimpulan dan
verifikasi (conclusion drawing / verification).
MODEL PENGUATAN NILAI INTEGRITAS DALAM KEGIATAN
KEMAHASISWAAN
Penguatan nilai integritas menggunakan pendekatan komprehensif dan
integratif. Metode komprehensif meliputi dua metode tradisional, yaitu inkulkasi
(penanaman) nilai dan pemberian teladan serta dua metode kontemporer, yaitu
fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Inkulkasi
(penanaman) nilai memiliki ciri-ciri berikut ini: (1) mengkomunikasikan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |423
kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya; (2) memperlakukan orang lain
secara adil; (3) menghargai pandangan orang lain; (4) mengemukakan keragu-
raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan dan dengan rasa
hormat; (5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki; (6) menciptakan
pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki, tidak
secara ekstrem; (7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan
konsekuensi disertai alasan; (8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang
tidak setuju; dan (10) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-
beda, apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk
memberikan kemungkinan berubah.
Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subyek didik cara
yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi nilai melatih
subyek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagianyang terpenting dalam
metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subyek didik.Kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh subyek didik dalam pelaksanaan metode fasilitasi
nilai membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian (Kirschenbaum,
1995: 41).
Model pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif, terintegrasi
dalam kegiatan kemahasiswaan disajikan secara visual dalam gambar 01.
Subyek kegiatan yang digunakan sebagai ujicoba model pendidikan
karakter dalam kegiatan kemahasiswaan adalah kegiatan PKKMB 2016. Kegiatan
ini dipilih dengan pertimbangan, sebagai berikut: (1) kegiatan ini merupakan
kegiatan terbesar yang melibatkan semua mahasiswa baru, pimpinan fakultas dan
jurusan serta organisasi mahasiswa BEM Fakultas, DPM, HIMA dan HMJ; (2)
Kegiatan PKKMB merupakan kegiatan yang relevan dalam menyampaiakan visi
424| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
misi universitas, fakultas, jurusan dan prodi. Tema PKKMB FISH 2016 adalah
“siap menjadi mahasiswa yang Berkompetensi, Berorganisasi dan Berbudi
Pekerti”.
...
Gambar 01
Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Kegiatan Kemahasiswaan
Sedangkan orientasi penugasan yang diberikan mengacu kepada
kemampuan mahasiswa dalam menyusun Program Kreativitas Mahasiswa,
Penelitian Mahasiswa dan Penulisan Jurnal. Sedangkan materi PKKMB meliputi:
(1) Penyampaian visi, misi universitas, fakultas, jurusan dan prodi; (2)
Tujuan
kegiatan
kemahasis
waan dan
Nilai-nilai
target yang
diintegrasik
an
Pe
ndi
dik
an
Ka
rak
ter
Metode
Kompreh
ensif
Nilai
karakter
yg
ditanamk
an di
kegiatan
BEM
Nilai
karakter
yang ingin
ditanamk
an dikgt
HIMA
Nilai
karakter
yang ingin
ditanamka
n di kgt
DPM
Kegiatan 1
Kegiatan 2
Kegiatan 3
Kegiatan ..
Kegiatan 1
Kegiatan 2
Kegiatan 3
Kegiatan...
Kegiatan 1
Kegiatan 2
Kegiatan 3
Kegiatan ....
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |425
Penyelenggaraan Perguruan Tinggi; (3) Budaya Akademik dan Etika Keilmuan:
Budaya Literasi Kampus; (4) Struktur Kelembagaan, Keuangan (UKT), dan
Sarana Prasarana di Unesa; (5) Pilar-Pilar Kebangsaan. serta hak dan Kewajiban
mahasiswa; (6) Materi lainnya: Materi Antikorupsi, Materi Bahaya
Penyalahgunaan Narkoba (BNN Jatim), materi Motivasi Kuliah, Gerakan Aktivasi
PKM, Pengenalan PMW, Materi Pelestarian Ekosistem di Kampus dan Perekrutan
Eco Campus. Di setiap kegiatan ditanamkan penguatan nilai integritas, etos kerja
dan solidaritas17.
Ada tiga langkah ujicoba Model Pendidikan Karakter dalam
pembelajaran ini, meliputi: (1) Perencanaan; (2) Pelaksanaan; dan (3) Evaluasi.
Pertama, Perencanaan Tindakan. Pada tahap ini dilakukan beberapa hal, yaitu: (1)
Pembentukan panitia PKKMB tingkat fakultas; (2) Penguatan pemahaman tentang
nilai-nilai karakter yang akan diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran, yaitu
(a) integritas (disiplin, jujur dan tanggung jawab; (b) etos kerja, dan; (c)
solidaritas. Penguatan pemahaman dilakukan dengan memahami konsep-konsep
dari nilai karakter tersebut, berikut dengan bentuk-bentuk tindakan yang akan
dijadikan data dalam penelitian ini; (3) mempelajari kurikulum inti kegiatan
PKKMB pusat, yaitu kurikulum inti PKKMB yang ditetapkan oleh Wakil Rektor
Bidang Kemahasiswaan dan Alumni; (4) Penambahan kurikulum inti dengan
kurikulum muatan fakultas, yang terdistribusi dalam bentuk jadwal PKKMB; (5)
Pengintegrasian nilai karakter dalam kurikulum PKKMB; (6) Penyusunan
running sheat kegiatan PKKMB; (7) Penguatan pemahaman running sheat bagi
panitia PKKMB; (8) Sosialisasi running sheat bagi pihak-pihak yang terlibat.
Tahap Pelaksanaan. Pelaksanaan kegiatan PKKMB berpijak pada jadwal
kegiatan dan running sheat yang telah disusun. Kegiatan PKKMB sesungguhnya
17 Namun dalam tulisan ini hanya difokuskan pada nilai integritas.
426| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dilaksanakan pada tanggal 15 hingga tanggal 19 Agustus 2016. Namun untuk
mengkondisikan berbagai hal yang harus dipersiapkan dalam pelaksanaan
PKKMB, maka tanggal 12 Agustus 2016 mahasiswa baru hadir untuk melakukan
persamaan persepsi antara pimpinan fakultas, panitia dan peserta (mahasiswa
baru). Hal ini dipandang penting agar mahasiswa baru dapat mempersiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan dalam kegiatan PKKMB. Panitia PKKMB, dalam
hal ini terdiri atas Pimpinan Fakultas, Pimpinan Prodi dan dari unsur ormawa
meliputi BEM Fakultas, DPM dan HIMA maupun HMP, melaksanakan tugas
berdasarkan running sheat dan jadwal yang telah disusun.
Tahap Evaluasi. Tahap evaluasi dilakukan dengan mencermati aspek: (1)
Tingkat keketatan implementasi running seat dalam kegiatan; (2) Gambaran
materi PKKMB dalam setiap siswa; (3) pemahaman visi dan misi oleh setiap
peserta; (4) Implemenatsi tugas dan fungsi kepanitiaan dalam setiap kegiatan; (5)
Penggunaan anggaran; dan (6) Gambaran implementasi nilai integritas, etos kerja
dan solidaritas, dalam setiap kegiatan18.
DISKRIPSI NILAI INTEGRITAS MAHASISWA DALAM KEGIATAN
PKKMB
PKKMB merupakan kegiatan awal bagi setiap peserta didik yang
menempuh jenjang perguruan tinggi. Kegiatan ini merupakan pintu ilmu bagi
mahasiswa-mahasiswi yang akan dibuka dan dicermati atau dipelajari secara
saksama oleh mahasiswa-mahasiswi baru untuk memperdalam ilmunya. Kegiatan
ini merupakan kegiatan institusional yang menjadi tanggung jawab Universitas
untuk mensosialisasikan kehidupan di Perguruan Tinggi dan proses pembelajaran
yang pelaksanaannya melibatkan unsur pimpinan universitas, fakultas, mahasiswa
dan unsur-unsur lainnya yang terkait. Kegiatan ini juga merupakan sarana untuk
mencari bakat-bakat dari para calon mahasiswa yang masih tersembunyi. Selain
18 Gambaran komponen 1 hingga 5 terdapat dalam laporan kegiatan PKKMB.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |427
itu, ospek juga merupakan sarana untuk saling beradaptasi agar bisa mengatur
hidup mereka sendiri.
Ada beberapa tujuan yang akan digapai dari kegiatan ini, yaitu: (1)
Mengenal dan memahami lingkungan kampus sebagai suatu lingkungan akademis
serta memahami mekanisme yang berlaku di dalamnya; (2) Menambah wawasan
mahasiswa baru dalam penggunaan sarana akademik yang tersedia di kampus
secara maksimal; (3) Memberikan pemahaman awal tentang wacana kebangsaan
serta pendidikan yang mencerdaskan berdasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan;
(4) Mempersiapkan mahasiswa agar mampu belajar di Perguruan Tinggi serta
mematuhi dan melaksanakan norma-norma yang berlaku di kampus, khususnya
yang terkait dengan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa; (5) Menumbuhkan
rasa persaudaraan kemanusiaan di kalangan civitas akademika dalam rangka
menciptakan lingkungan kampus yang nyaman, tertib, dan dinamis; (6)
Menumbuhkan kesadaran mahasiswa baru akan tanggung jawab akademik dan
sosialnya sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi; dan (7)
Untuk bisa saling beradaptasi antar sesama mahasiswa.
Jika dicermati penyelenggaraan di tingkat fakultas, dari tahun ke tahun
Organisasi mahasiswa dalam hal ini BEM Fakultas, DPM, HIMA dan HMP
memegang peranan penting. Hal ini mengingat kepanitiaan di lapangan
didominasi oleh ormawa tersebut. Oleh karena itu apa yang ditampilkan oleh
panitia sekarang (2016) akan difungsikan sebagai pijakan bagi mahasiswa yang
akan tergabung dalam kepanitiaan yang akan datang (2017). Berikut akan
digambarkan penguatan nilai integritas, yaitu: (1) disiplin; (2) jujur; dan (3)
tanggungjawab.
1. Gambaran Nilai Disiplin dalam kegiatan PKKMB
Keith Davis (1985:366) mengemukakan bahwa “Dicipline is
management action to enforce organization standards”. Keith Davis
428| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
berpandangan bahwa disiplin kerja diartikan sebagai pelaksanaan manajemen
untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. Sementara itu, Cascio
(1992:512) menyatakan ”Employee discipline is the final area of contract
administration that we shall consider. Trifically the “management rights” clause
of the collective bargaining agreement retains for management the authority to
impose reasonable rules for workplace conduct and to discipline employees for
just cause.” Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa
disiplin berarti taat dan patuh terhadap aturan atau norma. Disiplin adalah
kemampuan menyatukan pola pikir dan perilaku dalam kehidupan. Disiplin
merupakan modal utama untuk mencapai tujuan seseorang baik untuk diri sendiri
maupun dalam kelompok organisasi.
Dalam konteks ini disiplin dicermati dari sisi pemahaman konsep,
konstruksi konsep, implementasi dalam diri, implementasi dalam sikap dan
perbuatan dan refleksi konsep. Secara rinci tingkat kedisiplinan panitia kegiatan
PKKMB, tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 02
Hasil Analisis Nilai Disiplin Panitia Kegitan PKKMB 2016
No. Instrumen Skala (Prosentase) Jumlah
1 2 3 4 5
1. Implementasi kegiatan
PKKMB telah sesuai
dengan running sheat
yang telah disusun
panitia
9% 35% 51% 5% 0% 100%
2. Mentaati substansi isi
dan jadwal PKKMB
yang tertera dalam
running sheat merupakan
langkah awal
keberhasilan PKKMB
28% 30% 42% 0% 0% 100%
3. Sebagai panitia PKKMB
saya telah menjalankan
tugas sesuai diskripsi
tugas yang disampaikan
25% 31% 44% 0% 0% 100%
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |429
oleh ketua panitia
4. Saya merasa jengkel jika
ada teman panitia yang
datang terlambat
sehingga tidak dapat
mengawal kegiatan
PKKMB dengan baik
24% 38% 42% 6% 0% 100%
5. Saya mengidolakan
teman-teman panitia
baik dari unsur BEM,
DPM, HIMA dan HMJ
yang datang tepat waktu,
baik pada saat rapat
maupun implementasi
kegiatan PKKMB
45% 21% 29% 5% 0% 100%
6. Menurut pengamatan
saya, smemua peserta
telah mentaati tata-tertib
PKKMB maupun
penugasan yang
diberikan kelompok
kepada mahasiswa baru
5% 10% 45% 40% 0% 100%
Jika dicermati dari tabel di atas, ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan. Pertama, Implementasi kegiatan PKKMB telah sesuai dengan
running sheat yang telah disusun panitia. Dari 100 mahasiswa yang menjadi
panitia, maka 51 orang (51%) menyatakan setuju bahwa pelaksanaan PKKMB
telah sesuai dengan running sheat, sedangkan 35 mahasiswa (35%) sangat setuju
dan 9 mahasiswa menyatakan sangat setuju. Tampaknya hal ini sedikit berbeda
dengan data yang observasi berikut ini
“....Secara umum kegiatan PKKMB berjalan lancar, meskipun ada beberapa
kegiatan tambahan yang sebelumnya belum tercatat pada running sheet.
Misalnya pada hari Jumat, atau hari terakhir PKKMB ada tambahan
kegiatan yaitu pengenalan Pedoman Sistem Penilaian Nonakademik (SPN)
dan pengenalan komunitas kemahasiswaan yang ada di FISH. Berikutnya
jadwal inagurasi pada hari terakhir juga molor dari yang dijadwalkan,
430| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
karena persiapan masing-masing kelompok untuk tampil lebih dari 10
menit...”
Terjadinya ketidaksesuaian ini menununjukkan ada kecenderungan bahwa
running sheat belum dipahami secara baik oleh panitia, baik pada tataran
substansi isi maupun kegunaannya. Pernyataan ini juga ditunjukkan tingkat variasi
jawaban atas instrumen “Mentaati substansi isi dan jadwal PKKMB yang tertera
dalam running sheat merupakan langkah awal keberhasilan PKKMB”, disini
terdapat jawaban yang seragam. Hanya 28 orang (28%) yang menyatakan bahwa
substansi isi dan jadwal PKKMB harus seuai dengan running sheat.
Kedua, terkait dengan implementasi disiplin dalam diri, sikap dan
tindakan. Ketiga komponen ini terdistribusi dalam instrumen nomor 3,4 dan 5.
Pemahaman akan tugas kepanitian menjadi dimensi penting dalam penegakan
disiplin dalam kegiatan. Dari 100 orang hanya 25 orang (2%) yang menyatakan
sangat setuju sekali bahwa panitia harus menjalankan tugasnya, 31 orang (31%)
menyatakan sangat setuju dan 44 orang (44%) setuju. Meski masih bervarian,
paling tidak mahasiswa telah memahami bahwa dalam kepanitiaan terdapat tugas
dan fungsi.
Namun tampaknya nilai disiplin ini belum menginternalisasi dalam diri
mahasiswa. Pernyataan ini didasarkan pada data yang muncul, ketika harus
memberikan sikap pada teman yang datang terlambat, 24 orang (24%)
menyatakan sangat setuju sekali, 38 orang (34%) menyatakan sangat setuju dan
42 % menyatakan setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat kedalaman tingkat
disiplin mahasiswa masih lemah. Mahasiswa ini juga berpandangan bahwa
mahasiswa baru belum mentaati tata tertib maupun menyerahkan tugas, data ini
ditunjukkan dengan 45% mengatakan sudah mentaati dan 40% belum mentaati
tata tertib. Meski begitu mereka tetep mengidolakan bahwa mahasiswa yang tepat
waktu menjadi idola bagi teman-temannya. Pernyataan ini ditunjukkan bahwa
terdapat data 45 orang (45%).
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |431
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa yang dapat disimpulkan bahwa
tingkat kedisiplinan mahasiswa (panitia) belum mengalami proses internalisasi
yang baik dalam diri seseorang (meminjam istilah Berger). Kedisiplinan yang
dimiliki baru pada tataran wacana, yang terus dicoba dipahami dan dinnternalisasi
dalam diri mahasiswa. Mahasiswa belum memiliki kesadaran bahwa kedisiplinan
merupakan kunci kesukssan dalam sebuah kegiatan. Mungkin kedisiplinan yang
dibangun, baru dipahami dari sisi ‘takut’ karena ada yang mengawasi.19
2. Gambaran Nilai Jujur dalam PKKMB
Jujur adalah sebuah sikap yang selalu berupaya menyesuaikan atau
mencocokan antara Informasi dengan fenomena atau realitas. Sikap merupakan
konsep yang paling penting dalam psikologi sosial dan yang paling banyak
didefinisikan. Ada yang menganggap sikap hanyalah sejenis motif sosiogenis
yang diperoleh melalui proses belajar (Sherif dan Sheriff, 2011:39). Adapula yang
melihat sikap sebagai kesiapan saraf (neural settings) sebelum memberikan
respons (Allport, 2010:355).
Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang cukup sulit untuk
diterapkan. Sifat jujur yang benar-benar jujur biasanya hanya bisa diterapkan oleh
orang-orang yang sudah terlatih sejak kecil untuk menegakkan sifat jujur. Dalam
tulisan ini Jujur dimaknai sikap dan perilaku seseorang yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan
perbuatannya. Sejak kecil telah diperkenalkan sikap ini oleh keluarganya, dalam
perspektif budaya masing-masing. Seperti halnya disiplin, karakter jujur dalam
tulisan ini juga dicermati dari aspek pemahaman konsep jujur, konsruksi konsep
jujur, implementasi jujur dalam diri, sikap dan tindakan serta refleksi konsep
tersebut.
19 Selama kegiatan PKKMB Panitia didampingi oleh Dosen Pendamping, Kajur dan
Kaprodi dan Pimpinan Fakultas
432| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Ketika instrumen ini diberikan ke 100 mahasiswa yang terlibat
kepanitiaan PKKMB, secara rinci hasilnya dapat dicermati dalam tabel berikut ini.
Tabel 03
Hasil Analisis Nilai Jujur Panitia dalam Kegitan PKKMB 2016
No. Instrumen Skala (Prosentase) Jumlah
1 2 3 4 5
1. Andai saja saya menjadi
panitia bagian konsumsi, saya
akan membeli barang dan
melaporkannya kepada panitia
sebagaimana adanya bukan
sebagaimana mestinya
34% 26% 40% 0% 0% 100%
2. Saya akan marah pada teman
saya yang kedapatan membeli
peralatan atau konsumsi dan
menaikkan harga untuk
keuntungan pribadi
46% 39% 15% 0% 0% 100%
3. Saya setuju ketika panitia
menjatuhi hukuman pada
mahasiswa baru maupun
panitia PKKMB yang datang
terlambat ataupun tidak
mengerjakan tugas sesuai
dengan ketentuan
49% 26% 25% 0% 0% 100%
4. Saya tidak segan-segan
memberikan kritik pada
teman-teman panitia PKKMB
yang tidak menjalankan
tugasnya sesuai dengan
ketentuan
25% 21% 49% 5% 0% 100%
5. Meski saya panitia, jika
melakukan kesalahan saat
menjalankan tugas maka saya
akan meminta maaf pada adik-
adik mahasiswa
39% 46% 15% 0% 0% 100%
6. Saya tidak merasa kesal, jika
ada panitia lain yang
memberikan kritik terhadap
sikap dan perbuatan saya
35% 29% 31% 0% 5% 100%
Jika dicermati dari tabel di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal.
Pertama, jujur dapat dipahami dari aspek sikap. Pencermatan dari aspek ini
menunjukkan bahwa terkait dengan kejujuran dalam penggunaan anggaran
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |433
menyatakan bahwa 34% menyatakan sangat setuju sekali, 26% sangat setuju dan
40% setuju, akan melaporkan penngunaan anggaran sebagaimana adanya. Hal
senada juga ditunjukkan pada “Saya akan marah pada teman saya yang kedapatan
membeli peralatan atau konsumsi dan menaikkan harga untuk keuntungan
pribadi”, 46% menyatakan sangat setuju sekali, 39% menyatakan sangat setuju
dan 15% setuju. Kedua hal tersebut memunculkan variasi jawaban, meski masih
dalam kategori “setuju”, hal ini menunjukkan bahwa kedalaman sikap terhadap
aspek jujur masih berada pada tataran permukaan.
Kedua, jujur dicermati dari aspek tindakan. Hal ini terkait dengan
hukuman yang diberikan pada saat tidak disilpin. Dari data menjukkan bahwa
49% menyatakan sangat setuju sekali adanya hukuman, 26% sangat setuju dan
25% menyatakan setuju. Pada tataran ini tampaknya menggembirakan bahwa
perlu ada hukuman bagi yang tidak disiplin. Berikutnya terkait dengan sikap
keterbukaan, baik kritik maupun permohonan maaf, juga memiliki variasi yang
beragam. Panitia yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan, maka
akan terkena kritik. Dari data yang ada terhadap sikap tersebut, 49% menyatakan
setuju, sedangkan 21 % menyatakan sangat setuju dan 25% menyatakan sangat
setuju sekali. Hal senada juga muncul saat sikap meminta maaf jika melakukan
kesalahan, variasi itu kembali muncul 46% menyatakan sangat setuju, 39% sangat
setuju sekali dan 15 % setuju.
Berdasarkan data di atas, ada beberapa interpretasi terhadap nilai jujur,
yaitu: (1) ada pandangan bahwa nilai jujur itu menjadi dimensi penting dalam
melaksanakan kegiatan; (2) jujur dimaknai beragam, tentu ini sangat diwarnai
dengan pembiasaan dan suri tauladan dari keluarga; (3) nilai jujur yang dimiliki
masih dalam tataran permukaan, belum terinternalisasi dalam diri seseorang; (4)
nilai jujur terus diupayakan dalam pembiasaan dan suri tauladan.
434| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
3. Diskripsi Nilai Tanggungjawab dalam PKKMB
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai wuju dan kesadaran akan kewajibannya. Manusia pada
hakikatnya adalah makhluk yang bertanggung jawab. Disebut demikian karena
manusia, selain merupakan makhluk individual dan makhluk sosial, juga
merupakan makhluk ‘I’uhan. Manusia memiliki tuntutan yang besar untuk
bertanggung jawab mengingat ia mementaskan sejumlah peranan dalam konteks
sosial, individual ataupun teologis.
Dalam tulisan ini tanggung jawab dimaknai sebagai sikap dan perilaku
seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana yang
seharusnya dilakukan, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan,
negara, maupun Tuhan YME. Terhadap panitia PKKMB ini, nilai tanggungjawab
dapat dicermati dari sisi pemahaman konsep, konstruksi konsep, implementasi
dalam diri, sikap dan tindakan, maupun refleksi konsep. Pemahaman konsep dan
implementasi tindakan yang mencerminkan nilai tanggungjawab dapat dicermati
dalam tabel berikut ini.
Tabel 04
Hasil Analisis Nilai Tanggungjawab Mahasiswa dalam Kegitan PKKMB
2016
No. Instrumen Skala (Prosentase) Jumlah
1 2 3 4 5
1. Sebagai panitia saya akan
menjalankan tugas sesuai
dengan uraian pekerjaan
yang disepakati
39% 26% 35% 0% 0% 100%
2. Menurut pendapat saya
semua panitia PKKMB ini
telah menjalankan
tugasnya sesuai dengan
kesepakatan
30% 20% 45% 5% 0% 100%
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |435
3. Sebagai panitia saya
belum menjalankan tugas
sesuai yang telah
disepakati dengan baik
5% 0% 26% 39% 30
%
100%
4. Tugas saya sebagai panitia
akan saya laksanakan
dengan baik, meski andai
saja kondisi badan saya
saat ini kurang sehat
30% 35% 30% 5% 0% 100%
5. Panitia PKKMB harus
datang ke lokasi kegiatan
paling lambat 15 menit
sebelum mahasiswa baru
30% 35% 36% 9% 0% 100%
6. Saya akan menegur teman-
teman panitia yang tidak
menjalankan tugas dan
tanggungjawabnya
20% 36% 41% 5% 0% 100%
Substansi isi tabel di atas sesungguhnya gambaran pelaksanaan tugas dan
kewajiban sesuai dengan uraian pekerjaan, sebagai panitia yang telah disepakati.
Tingkat kualitas tanggungjawab yang dimiliki oleh panitia, sebagaimana
tercantum dalam tabel di atas, dapat dicermati beberapa hal. Pertama, adanya
kesadaran dalam dirinya tentang tanngungjawab yang dimiliki. Dari data yang ada
39% menyatakan sangat setuju sekali, 26% menyatakan sangat setuju dan 35%
menyatakan setuju. Hal senada juga terjadi saat diminta menilai “apakah panitia
PKKMB menjalankan tugas sesuai kesepakan”, dari 100 mahasiswa menilai
bahwa 30% sangat setuju sekali, bahwa panitia telah melaksanakan tugas sesuai
dengan kesepakatan, 20% sangat setuju dan 45% setuju, dan 5% tidak setuju. Dari
kedua instrumen disini dapat dikatakan bahwa dalam diri mahasiswa belum
terdapat pemahaman yang mutlak akan pentingnya sebuah tanggungjawab.
Kedua, Kualitas tanggungjawab yang dimiliki. Besarnya rasa
tanggungjawab yang dimiliki juga ditunjukkan oleh panitia dalam menjalankan
436| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tugas, meski dalam kondisi badan yang kurang sehat. Pernyataan ini didasarkan
pada data 30% menyatakan sangat setuju sekali, 35% menyatakan setuju, dan
36% menyatakan setuju, dan 9 persen menyatakan tidak setuju. Hal ini
menunjukkan masih adanya keinginan dalam dirinya untuk minta pengampunan
tidak melaksanakan tugas, jika dalam kondisi sakit. Memang diakui bahwa dalam
instrumen tersebut tidak dijelaskan jenis sakit yang dialaminya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: (1)
mahasiswa sadar bahwa perlu ada tanggungjawab yang harus diemban sebagai
panitia; (2) mahasiswa dalam hal ini panitia memiliki tingkat pemahaman berbeda
antara satu dengan yang lain; (3) Mahasiswa masih memiliki tingkat
tanggungjawab pada tataran permukaan, belum sampai mendalam; (4) belum
terjadi internalisasi nilai tanggungjawab pada diri mahasiswa; (5) perlu
pendampingan dan pembiasaan terus-menerus dalam penanaman karakter
tanggungjawab; (6) perlu implementasi model terus-menerus untuk penguatan
nilai tanggungjawab.
SIMPULAN
Ada tiga hal yang dapat disimpulkan terkait dengan implementasi model
dalam penguatan nilai integritas dalam kegiatan kemahasiswaan. Pertama, Nilai
Disiplin. Kedisiplinan mahasiswa (panitia) belum mengalami proses internalisasi
yang baik dalam diri seseorang (meminjam istilah Berger). Kedisiplinan yang
muncul, baru pada tataran wacana, yang terus dicoba dipahami dan perlu
diinternalisasi dalam diri mahasiswa, sehingga lambat laun akan menjadi kebiasan
yang melembaga dalam sebuah kultur.
Kedua, Nilai Jujur. Terkait dengan nilai jujur, ada beberapa hal yang
dapat disimpulkan, yaitu: (1) mahasiswa telah memandang bahwa nilai jujur itu
menjadi dimensi penting dalam melaksanakan kegiatan; (2) mahasiswa
memaknai jujur secara beragam, yang sangat diwarnai perspektif sosial-budaya
yang dimiliki; (3) nilai jujur yang dimiliki masih dalam tataran permukaan, belum
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |437
terinternalisasi dalam diri seseorang; (4) nilai jujur terus diupayakan dalam
pembiasaan dan suri tauladan.
Ketiga, Nilai Tanggungjawab. Terkait dengan implementasi model
terhadap nilai tanggungjawab, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu: (1)
mahasiswa sadar bahwa perlu ada tanggungjawab yang harus diemban sebagai
panitia; (2) mahasiswa dalam hal ini panitia memiliki tingkat pemahaman berbeda
antara satu dengan yang lain; (3) Mahasiswa masih memiliki tingkat
tanggungjawab pada tataran permukaan, belum sampai mendalam; (4) belum
terjadi internalisasi nilai tanggungjawab pada diri mahasiswa; (5) perlu
pendampingan dan pembiasaan terus-menerus dalam penanaman karakter
tanggungjawab; (6) perlu implementasi model terus-menerus untuk penguatan
nilai tanggungjawab.
Berdasarkan ketiga komponen diatas, dapat dikatakan bahwa nilai
integritas masih harus terus dipupuk dan diperjuangkan. Implementasi model
pendidikan karakter untuk memperkuat nilai integritas, terus harus diperjuangan.
Hal ini menjadi penting, mengingat penanaman nilai karakter tidak dapat
diajarkan secara kognitif, tetapi harus dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan
sehingga mampu membangun internalisasi nilai dalam diri mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Darmiyati Zuhdi, dkk. 2009. Pendidikan Karakter: Grand desain dan nilai-nilai
Target. Yogyakarta. UNY Press.
Friyatmi. 2011. Faktor-Faktor Penentu Perilaku Mencontek di Kalangan
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNP. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Sosial Budaya
dan Ekoonomi. Padang: Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi-Fakultas
Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Padang.
Fukuyama, F. (1995). Trust. The social Virtue and the creation of prosperity.
London: Hamish Hamilton.
438| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Gagne, F. 1993. Constructs and Models Pertaining to Exceptional Human
Abilities. dalam Heller, K.A., Monks, F.J. and Passow, H.A. (eds).
International Handbook of Research and Development of Giftedness and
Talent. Oxford: Pergamon.
John Jarolimek. 1982. Social Studies In Elementary Education. New York:
Macmillan Publishing Co
Kristin Fink & Linda Mckay.2003. Making Character Education Standart.
Washington,DC. : Jay Gaines@KayJay Publication
Lickona, T. (1991). Educational for Character: How Our Scholl Can Teach
Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland:
Bantam Books
--------------. (1993). The Return of Character education. Educational Leadership.
Lickona, T. Eric Schaps, and Catherine Lewis. 2007. Eleven Principles of
Effective Character Education. Washington,DC: Caharacter Education
Partnership
Lin, C. Y. (2009). An empirecal study on organizational determinants of RFID
Adoption in the logistics industry. Journal of Technology Management &
Innovation, 4 (1)
Nucci, Larry P. & Narvaes, D. (2008) Handbook of Moral and Character
Education. New York: Routledge.
Walter C Parker. 2001. Social Studies In Elemtary Education. Washington :
University Of Washiungton
Warsono. 2010. Pramuka Sebagai Alternatif Pendidikan untuk Membangun
Karakter Bangsa. Makalah Seminar. Makasar : Seminar Pendidikan
Karakter di Hotel Clarion Makasar 13-14 Juli 2010.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |439
KAJIAN SOSIO-LEGAL : KEBIJAKAN (LANJUTAN) SERTIFIKASI DAN
PERILAKU HUKUM PENDIDIK MEMASUKI ERA SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS (SDG’s)
Tamsil
Dosen Jurusan S-1 Ilmu Hukum FISH Unesa
Abstrak
Belasan item normatif yang dinilai dalam portofolio sebagai Pendidik, juga
belum sepenuhnya berorientasi pada realitas keseharian Pendidik itu sendiri.
Rendahnya apresiasi terhadap jerih payah Pendidik nonstruktural, seperti tugas
menjadi wali kelas atau kepantiaan sekolah, misalnya, tidak mendapat nilai.
Rentang waktu sosialisasi item pun amat singkat.
Kata kunci; Kebijakan, sertifikasi, dan perilaku pendidik
PENGANTAR
Baru-baru ini terdengar kabar bahwa Kemendikbud RI akan melanjutkan
Kebijakan Sertifikasi Pendidik, melalui jalur PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru). Hampir dapat dipastikan Kebijakan ini disambut dengan antusias oleh para
pendidik diseluruh plosok negeri . Sebagaimana diketahui, pada awal dimulainya
Kebijakan sertifikasi Pendidik, Sertifikasi dapat ditempuh melalui 3 jalur, yaitu Jalur
Portofolio, Jalur PLPG dan terakhir jalur PPG (Pendidikan Profesi Guru). Ketiga jalur
itu memiliki karakter problematiknya masing-masing.
Di Indonesia, pernah begitu marak pemberitaan tentang berbagai temuan
karya ilmiah dan dokumen portofolio para Pendidik yang tengah mengikuti
sertifikasi isinya tidak benar, diada-adakan atau palsu . Bak petir di siang hari,
tanyapun merebak. Bukankah para Pendidik itu sosok panutan yang (seharusnya)
berbudi luhur, bermoral serta perilaku ideal lain? rasanya, tidak mungkin berbohong,
apalagi sampai berbuat jahat (kriminal).
Jika benar, lalu bagaimana nasib dan masa depan anak didik mereka. Betapa
pula cemas para orang tua. Bukankah maksud sertifikasi, -selain meningkatkan
kesejahteraan-, agar pendidik di negeri ini menjadi lebih baik dan lebih bermutu?
440| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Fakta tidak bisa ditutupi. Beberapa asesor LPTK menemukan, ada Pendidik
yang ‘ndandani’ dan atau ‘meniru’ karya ilmiah orang lain atau karya temannya. Juga
ada yang ‘merubah’ tahun SK, atau mengganti nama di sertifikat agar bisa lulus. Joke
lain, ‘amplop’ berseliweran dalam berkas portofolio. Perilaku menyimpang itu, dalam
kacamata hukum modern dipandang sebagai tindak pidana. Kejahatan! Benarkah
demikian? Tapi, mengapa pelakunya tidak dilaporkan ke Polisi? Berapa banyak
Pendidik yang berbuat sama? Apa motif dibalik perilaku menyimpang itu?
Menggunakan perspektif hukum modern, bagaimana seharusnya perilaku oknum
Pendidik ini diselesaikan ?
HUKUM MODERN DENGAN PENYELESAIAN TRADISIONAL
Hukum modern memiliki Substansi, Struktur dan Kultur yang berbeda dengan
aturan atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat ‘tradisional’. Dari segi substansi,
aturan main dalam sertifikasi belum dirumuskan dengan jelas dan pasti. Apa yang
diharuskan dan apa yang dilarang. Apa sanksinya? Memang aturan umum-kodifikatif
sudah ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Masalahnya, apakah
peristiwa “pemalsuan” berkas oleh oknum Pendidik, dapat dikualifisir sebagai Tindak
Pidana “Memberikan keterangan palsu” seperti dimaksud dalam Pasal 263 KUHP?
Samakah, misalnya, sanksi yang mesti diterima pendidik dibanding pelaku tindak
pidana lain?
Dalam struktur Hukum modern, pelaku tindak pidana diperiksa oleh Polisi,
sebagai aparat penegak hukum. Prosedurnya, diatur dalam KUHAP. Pada tingkat
Penyidikan, tindakan diambil, atas dasar pengaduan/laporan, maupun inisiatif Polisi.
Setelah itu, ada tahap penuntutan (jaksa), dan pemeriksaan pengadilan ( keputusan
Hakim) guna menentukan apakah pelaku bersalah atau tidak.
Apabila perspektif ini dipakai, Polisi adalah aparat yang berwenang untuk
menangani kasus ini. Namun, faktanya oleh LPTK penyelenggara, pelaku dan
berkasnya dikembalikan ke instansi pengirim. Memang ada wacana diknas akan
membentuk tim Monitoring dan evaluasi (Monev) guna memberi sanksi untuk para
Pendidik. Namun hingga sekarang, tidak ada tanda-tanda pihak terkait melaporkan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |441
Pendidik ‘bermasalah’ itu ke Polisi. Sepertinya, mereka dihadapkan pada dilema
bahwa Pendidik itu bukan orang ‘biasa’. Jadi tidak bisa disamakan dengan pelaku
kriminal ‘jalanan’. Padahal semua unsur dalam KUHP terpenuhi. Seolah
membenarkan sinyalemen, ‘strata sosial’ Pendidik mempengaruhi kinerja hukum.
Perilaku yang semula ‘tindak pidana’, nampaknya bergeser menjadi ‘Dilema
‘moralitas’ antara kesejahteraan dan ‘perilaku menyimpang’ Pendidik.
Kultur hukum, dibentuk melalui proses sosialisasi dan edukasi, dalam rentang
waktu yang cukup. Teori fiksi yang menyesatkan bahwa ‘setiap orang dianggap tahu
aturan,’ harus diabaikan. Jika sertifikasi adalah ‘aturan’ baru, dengan seluk-beluk
yang belum dimengerti banyak orang, termasuk para pendidik, adilkah kesalahan
sepenuhnya ditimpakan kepada mereka. Disisi lain, banyak kalangan yang tidak yakin
bahwa Pendidik memiliki ‘niat’ dan sengaja melakukan tindak pidana “pemalsuan”.
Bagi Pendidik, LPTK penyelenggara sertifikasi adalah ‘kalangan’ sendiri.
Tidak akan terlintas di benak mereka diperlakukan seperti seorang kriminal murni.
Nampak jelas, konstruksi yang dipakai untuk menangani kasus Pendidik
agaknya bukanlah hukum modern. Perilaku Pendidik itu dianggap ‘bukan’ tindak
pidana kejahatan (Kriminal) sebagaimana dimaksud dalam KUHP, tetapi ‘hanya’
sekedar perilaku ‘menyimpang’. Padahal, semua tahu, selain Pendidik sebgai pelaku
(dader), ada pihak lain yang turut melakukan (mededader), membantu melakukan
(medeplichtig), menganjurkan melakukan (uitlokker) dan atau menyuruh lakukan
(doenpleger). Jika penyelesaian ditempuh secara ‘tradisional’, bagaimana dengan
para pelaku penyerta (deelneming) ? Jika kepada mereka tidak ada ‘punishment’,
bagaimana menjelaskannya pada kalayak ramai ?
PERILAKU HUKUM ‘MENYIMPANG’ PARA PENDIDIK
Banyak orang membaca aturan dan berpendapat bahwa mereka tahu
tindakannya harus begini dan atau harus begitu. Namun ternyata, yang terjadi tidak
sama atau tidak persis sama dengan yang dibaca dan diketahui orang itu. Itulah yang
terjadi pada para Pendidik. Mereka membuat dan menandatangani pernyataan, bahwa
442| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yang mereka nyatakan –termasuk karya ilmiah- adalah benar dan sesuai prosedur.
Tapi, yang terjadi sebaliknya. Temuan seperti pemalsuan dokumen dan karya ilmiah
adalah buktinya. Beberapa teman asesor, membaui bahwa pelanggaran yang sama
juga dilakukan Pendidik lain secara ‘berjamaah’, namun mereka tidak tersentuh.
Van Doorn (dalam Satjipto Rahardjo, 2006) mencoba menjelaskan, bahwa
aturan hukum adalah skema yang sengaja dibuat untuk menata (perilaku) orang. Tapi,
mereka cenderung terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya, karena
pengalaman, tradisi, pendidikan atau alasan lain yang secara konstruktivis
mempengaruhi dan membentuk perilaku orang itu.
O.W. Holmes mengatakan, bahwa kehidupan hukum itu tidak sekedar hanya
soal Logika, tapi juga soal pengalaman ( the life of the law has not been logic but
experience ) (idem, Satjipto Rahardjo, 2006). Perilaku ‘menyimpang’ Pendidik tidak
datang dari langit atau berasal dari ruang hampa. Bisa saja karena tidak terbiasa
dengan ‘karya ilmiah’, atau karena iming-iming tunjangan satu kali gaji. Hutang
yang menumpuk juga dapat mempengaruhi pilihan tindakan mereka. Atau, boleh jadi
‘bisikan’ atau ‘anjuran’ atasannya untuk segera melengkapi berkas, dimaknai sebagai
sinyal untuk ‘menghalalkan segala cara’, sekaligus ‘tanda’ perlindungan.
Bagi Pendidik, Sertifikasi adalah cara menggapai ‘mimpi’ guna menaikkan
mobilitas sosial (Social mobility) dari Pendidik biasa menjadi Pendidik
‘profesional’. Namun, sebagian dari mereka ‘kalah’ bersaing. Mereka inilah yang
meninggalkan “accepted ways” untuk mencapai tujuan. Ketidak-mampuan
memenuhi aturan main dalam sertifikasi, membuat mereka mengambil jalan pintas.
Meminjam istilah Robert K.Merton : “… its procedures intense pressure for
deviation.”(dalam Satjipto Rahardjo, 2006).
SERTIFIKASI MINUS IDEALITA
Mulanya, sertifikasi Pendidik hendak dilakukan secara ketat untuk mendekati
harapan banyak pihak agar mereka jadi profesional dan memenuhi standar kualifikasi
ideal. Diantaranya, Pendidik harus lulus uji kompetensi dan supervisi kinerja yang
cermat. Selain itu, mereka harus dapat penilaian atasan. Demikian juga bagi LPTK
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |443
penyelenggara, calon asesor harus S2-LPTK dan lulus diklat yang diadakan
departemen terkait. Demi obyektivitas, LPTK tidak boleh menugasi asesor, bagi
pendidik yang berasal dari prodi pada LPTK yang sama.
Ditengah jalan, aspek idealita itu ‘terlupakan’. Seperti diketahui, kualifikasi
Pendidik cukup ditentukan dari berkas portofolio. Beberapa asesor yang tidak lulus
atau tidak ikut diklat –dengan alasan jumlah yang tidak mencukupi- tetap dapat
menjadi asesor. Amat mungkin, dengan latar yang beragam antara sesama asesor
menafsirkan fungsi penilaian secara berbeda. Belasan item normatif yang dinilai
dalam portofolio sebagai Pendidik, juga belum sepenuhnya berorientasi pada realitas
keseharian Pendidik itu sendiri. Rendahnya apresiasi terhadap jerih payah Pendidik
nonstruktural, seperti tugas menjadi wali kelas atau kepantiaan sekolah, misalnya,
tidak mendapat nilai. Rentang waktu sosialisasi item pun amat singkat.
Sertifikasi Pendidik sudah lama dimulai. Sekali layar terkembang, sekali
kayuh diayun, pantang surut ke belakang. Kuota mereka yang disertifikasi, harus
tercapai. Dalam dua tahun kedepan, sekian ribu Pendidik di Jawa Timur, terutama di
Kota metropolis Surabaya harus dientas memasuki era sustaible Development
(SDG’s). Gayungpun bersambut. Seakan mengikuti mekanisme ‘pasar’, saat ini
Pendidikan dan Pelatihan (diklat) berbau ‘sertifikasi’ tumbuh bak jamur di musim
hujan.
Hanya sayang, diklat berubah menjadi ajang bertemunya permintaan
(Pendidik/MGMP) dan penawaran (Asesor). Diklat seolah pesanan ‘ekonomis’
tentang kiat atau cara untuk lolos dari portofolio. Padahal, para Pendidik dan
terutama Asesor tahu, bahwa portofolio hanya komponen ‘aanvulent’ dalam hajat
sertifikasi. Seakan semua pihak lupa pada esensi dan filosofi sertifikasi. Jika motif
transaksional itu bermuara pada Pendidik/MGMP dapat dimaklumi, tapi tidak pada
asesor. Asesor adalah parameter fungsional pemenuhan kualifikasi ideal guru, tempat
berhimpun para akademisi yang bergelar magister (S2) dan bahkan Doktor (S3)
bidang pendidikan. Mereka tidak boleh lupa pada aspek idealita sertifikasi. Diklat
harus dijadikan ajang ‘pembelajaran yang sebenarnya’ atau kawah untuk menggagas
444| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
‘pendidikan yang bermakna’ bagi para Pendidik-Guru (Muchlas Samani, dalam
Martadi dan Syirikit Sah, 2011). Bukan malah menjadikan mereka sebagai ‘korban’
yang terperangkap karena mimpi-mimpi yang hendak digapai. Sebagai proses
pembelajaran sejati, diklat dan juga para Asesor harus mampu ‘mencerahkan’ dan
atau menyadarkan guru-guru bahwa pemenuhan standar kualifikasi ideal, pada
galibnya, adalah entry point upaya memperbaiki mutu Pendidik dan pendidikan kita.
Apabila sebaliknya, dapat dipastikan, bahwa sertifikasi tidak memiliki idealita.
Pendek kata, banyak masalah yang harus diangkat kepermukaan untuk ditangani,
dibalik sertifikasi dan perilaku hukum Pendidik yang ‘menyimpang’ itu. Jika benar
demikian, mengapa hanya mereka yang disalahkan ?
DAFTAR PUSTAKA
Martadi, dan Syirikit Syah, 2011, Bunga Rampai Pendidikan Karakter : Strategi
Mendidik Generasi Masa Depan, Unesa University Press, Surabaya.
Ngani, Nico, 2012, Bahasa Hukum & Perundang-Undangan, Pustaka Yustisia,
Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1977, Pemanfaatan Ilmu- Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Tanya, Bernard L., 2012, Penegakan Hukum Dalam Terang Etika, Genta
Publishing, Yogyakarta.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 20105 Tentang Guru dan Dosen.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru dan Pedoman Pelaksanaan Sertifikasi Guru.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2010Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Peraturan Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Surat Edaran Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 13471 /B.BI.3/hk/2015 Tentang Linieritas Akademik Dalam Kepangkatan Guru.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |445
RELASI KUASA PENGETAHUAN DALAM IMPLEMENTASI
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
Ali Imron & Katon G. Setyawan
Universitas Negeri Surabaya, aimron8883@gmail.com, 081233552630
Abstrak
Sistem kesehatan di Indonesia mengalami perubahan mendasar sejak diberlakukannya
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS)
sebagai eksekutornya. Sasarannyapun semakin luas menjangkau seluruh lapisan
masyarakat. Tujuan utama JKN adalah mempermudah masyarakat untuk mengakses
layanan kesehatan yang bermutu menuju Universal Health Coverage. Namun, dalam
implementasinya, memunculkan polemik di masyarakat. Di level grass roots, terjadi
disparitas pengetahuan bahkan relasi kuasa pengetahuan dalam implementasi JKN.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi relasi kuasa pengetahuan yang terjadi dalam
implementasi JKN. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil
lokasi di wilayah kerja Puskesmas Omben, Kabupaten Sampang. Informan dipilih secara
purposive. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi,
wawancara mendalam, dan FGD. Temuan data kemudian dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif. Implementasi kebijakan jaminan kesehatan melalui skema JKN di
wilayah kerja Puskesmas Omben, Sampang, belum berjalan maksimal. Temuan lapangan
menunjukkan bahwa juknis yang jelas tentang pelaksanaan JKN sampai pada tingkat
puskesmas belum komprehensif. Permasalahan menggejala tidak hanya pada aspek
administrasi yang memunculkan terhambatnya pencairan dana klaim yang diajukan
puskesmas. Permasalahan serius justru mengenai pengetahuan masyarakat tentang JKN
masih kurang. Masyarakat desa belum memahami benar istilah baru yang diterapkan,
seperti JKN, BPJS, atau klaim. Masyarakat hanya sebatas memaknai sebagai pelayanan
kesehatan gratis. Masyarakat juga sering melakukan resistensi kepada petugas kesehatan
di puskesmas manakala dikenai biaya. Disparitas pengetahuan semakin tajam dan
berubah menjadi relasi kuasa pengetahuan ketika terjadi interaksi antara masyarakat
dengan tenaga kesehatan dalam transformasi pengetahuan (sosialisasi). Kekuasaan selalu
terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kekuasaan.
Kata-kata Kunci: sistem kesehatan; Universal Health Coverage; disparitas
PENDAHULUAN
Jaminan kesehatan sebenarnya bukanlah barang baru di Indonesia karena
sudah diberlakukan sejak era kolonial (1934) dengan nama Restitutie Regeling.
Pada masa orba (1985-1987) berganti istilah, yakni Asuransi untuk Tenaga Kerja
446| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
(ASTEK) dengan menggerakkan dana masyarakat melalui mekanisme Dana
Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM). Pada era yang sama pada tahun 1992,
pemerintah menerbitkan UU Nomor 2 tentang Asuransi, UU Nomor 3 tentang
Jamsostek, dan UU Nomor 23 tentang Kesehatan. Ketiga regulasi ini mengatur
tentang adanya jaminan kesehatan dengan mengikuti pola managed care yang
diterapkan di Amerika melalui mekanisme pembayaran prepaid berdasarkan
kapitasi dan pelayanan yang bersifat komprehensif, meliputi preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif (Djuhaeni, 2007: 40).
Usaha ke arah progresivitas dalam sistem kesehatan melalui mekanisme
jaminan kesehatan sebenarnya sudah muncul melalui PT. Askes (Persero) dan PT.
Jamsostek (Persero) yang melayani PNS, pensiunan, veteran, dan pegawai swasta.
Bagi kelompok masyarakat miskin juga sudah digulirkan Jamkesmas, Jamkesda,
sampai Jampersal. Pada tahun 2013, sistem kesehatan di Indonesia mengalami
perubahan mendasar sejak diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dengan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) sebagai eksekutornya melalui
dasar regulasi UU Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang resmi diimplementasikan pada 1 Januari 2014. Sasarannyapun semakin luas
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Tujuan utama JKN adalah
mempermudah masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan yang bermutu
menuju Universal Health Coverage.
Setelah dibentuknya BPJS Kesehatan per tanggal 1 Januari 2014,
diketemukan sejumlah masalah di berbagai daerah. Sampai diresmikannya BPJS
Kesehatan, masih banyak kalangan yang kurang paham dengan program yang
diselenggarakan BPJS Kesehatan, yaitu Program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Bukan hanya peserta, pihak pemberi layanan kesehatan juga banyak yang
tidak paham tentang program baru tersebut (Jawa Pos, 2014: 11). Di Sidoarjo,
Jawa Timur, misalnya, muncul masalah terkait pendataan Penerima Bantuan Iuran
(PBI). DPRD Sidoarjo menyebutkan saat ini masih ada 85.707 masyarakat miskin
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |447
yang belum diikursertakan asuransi BPJS Kesehatan. Para warga yang masuk
kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) itu luput karena belum masuk data base
jaminan kesehatan masyarakat (Jawa Pos, 2014: 29). Di sisi lain, cakupan
kepesertaan BPJS juga masih rendah. Meskipun sosialisasi tentang BPJS
Kesehatan sudah dilaksanakan sebelum beroperasinya BPJS Kesehatan pada
tanggal 1 Januari 2014, namun masyarakat yang menjadi peserta BPJS masih jauh
dari harapan. Di Kabupaten Minahasa Tenggara, misalnya, masyarakat yang telah
menjadi peserta BPJS Kesehatan sampai bulan Agustus 2014 baru berjumlah
53,215 Jiwa. Jumlah tersebut belum mencapai 50% dari jumlah penduduk yaitu
114,025 jiwa (Rolos, 2014: 3-7).
Beberapa hasil kajian lapangan menunjukkan masih lemahnya implementasi
program JKN dari berbagai lini, antara lain aspek pemenuhan fasilitas kesehatan,
pemerataan pelayanan, SDM (tenaga kesehatan), dan pembiayaan kesehatan.
Kajian Yandrizal et al. (2014), tentang “Analisis Ketersediaan Fasilitas Kesehatan
dan Pemerataan Pelayanan Pada Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di
Kota Bengkulu, Kebupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur”, menemukan fakta
menarik bahwa ketersediaan fasilitas kesehatan tingkat pertama saat ini di Kota
Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur belum mencukupi target yang
diinginkan menurut Peta Jalan Menuju JKN 2019. Fasilitas kesehatan rujukan di
Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur masih rendah dibandingkan target,
sedangkan Kota Bengkulu telah memenuhi target. Pemanfaatan fasilitas kesehatan
tingkat pertama di Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur
masih rendah. Masih rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan tingkat pertama
dan rujukan berdampak kepada ketidakadilan akses terhadap pelayanan peserta
BPJS karena ketersediaan fasilitas pelayanan tidak mencukupi. Pemenuhan
fasilitas pelayanan tingkat pertama dan rujukan diperlukan kebijakan bersama
antara BPJS, Pemerintan Kabupaten, Provinsi dan Kementerian Kesehatan untuk
448| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
memenuhi target peta jalan menuju JKN 2019 yaitu poin (3) paket manfaat medis
dan nonmedis sudah sama untuk seluruh peserta, dan poin (4) fasilitas kesehatan
telah tersebar memadai.
Maman Saputra et al. (2015) menemukan hasil temuan yang berbeda dari
implementasi program JKN di Kabupaten Tabalong. Hasil evaluasi input SDM
pelaksana pelayanan kesehatan, kuantitas SDM (tenaga kesehatan) masih
mengalami kekurangan sebanyak 136 orang. Penilaian kualitas SDM di
Puskesmas Kelua belum menggunakan standar Kepmenkes Nomor 857 Tahun
2009, sedangkan di RSUD H. Badaruddin masih menggunakan penilaian Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3). Hasil evaluasi proses, menunjukkan
kuantitas sudah meningkat namun masih mengalami kekurangan sebanyak 82
orang. Dari aspek distribusi SDM di Puskesmas Kelua tidak ada perubahan,
sedangkan distribusi di RSUD H. Badaruddin mengalami penambahan tenaga
keperawatan. Penilaian kualitas SDM di Puskesmas Kelua tidak ada perubahan,
sedangkan penilaian SDM di RSUD H. Badaruddin menggunakan Penilaian
Prestasi Kerja Pegawai (PKP). Dari sisi evaluasi output, menunjukkan belum ada
perubahan kuantitas, distribusi, dan kualitas dari hasil evaluasi proses.
Dari aspek pembiayaan kesehatan, implementasi program JKN juga masih
berimplikasi pada tingginya biaya kesehatan. Riset Hendarini et al. (2014),
menunjukkan bahwa puskesmas dengan besaran kapitasi
Rp.3.000,00−Rp.4.500,00 sebanyak 51,57% dan Rp.6.000,00 sebanyak 13,3%.
Besaran kapitasi berdampak tidak merata pembiayaan terutama di puskesmas
yang jauh dari perkotaan karena kekurangan tenaga. Nilai kontrak selama satu
tahun jumlah peserta yang memilih Puskesmas sebagai FKTP sebanyak 763.165
jiwa sebesar 82,03% dari nilai maksimal kapitasi Rp.6.000,00 atau kurang 9,87
M. Tarif rerata pada tujuh Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten dan Provinsi
untuk rawat jalan antara Rp.150.000−Rp.640.000,00 dan rawat inap
Rp.1.000.000,00−Rp.3.700.000,00 dibandingkan tarif berdasarkan Peraturan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |449
Menteri Kesehatan RI Nomor 69 Tahun 2013, rata-rata tarif pelayanan rawat jalan
dan rawat inap merupakan tarif tindakan medis sangat sederhana dan penyakit-
penyakit katagori ringan. Dukungan dana Pemerintah Kabupaten/Kota dan
Provinsi dalam bentuk program Jamkesda tahun 2014 sebesar 38,36 M untuk
membayar kapitasi masyarakat miskin bukan penerima bantuan iuran dan
menjamin pengobatan bagi kabupaten/kota yang tidak bekerja sama dengan BPJS.
Insentif dokter spesialis/residen antara 10 juta−30 juta per bulan terutama spesialis
empat besar dari pemerintah daerah kabupaten merupakan ketidakadilan
pembiayaan yang menjadi beban daerah.
Bahkan biaya tambahan harus dikeluarkan oleh pasien dan keluarga pasien
meskipun mereka telah menjadi peserta program JKN. Fenomena tersebut
terungkap melalui survei Novianti Br Gultom et al. (2015). Sebanyak 37
responden dari total 200 responden (18,5%) ditemukan membayar biaya
tambahan. Ironinya, biaya tambahan ini juga terjadi di Rumah Sakit milik
Pemerintah. Semua biaya tambahan di RS Pemerintah merupakan biaya tambahan
obat. Sedangkan biaya tambahan di RS Swasta dialami oleh 25 responden,
meliputi biaya tambahan obat, laboratorium, alat kesehatan, radiologi, tindakan,
dan biaya di poli. Biaya tambahan ini dialami oleh semua jenis kepesertaan,
termasuk peserta PBI, sebanyak 4 peserta PBI membayar biaya tambahan di RS
milik Pemerintah, 3 peserta PBI membayar di RS Swasta. Biaya tambahan pada
rawat inap lebih besar daripada biaya tambahan pada rawat jalan. Peruntukan
terbesar biaya tambahan adalah biaya tambahan obat karena obat tidak ditanggung
BPJS Kesehatan. Hal ini merupakan bumerang yang perlu ditindaklanjuti BPJS
Kesehatan.
Polemik yang muncul di masyarakat, terutama di level grass roots
dipengaruhi karena disparitas pengetahuan bahkan relasi kuasa pengetahuan
dalam implementasi JKN. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi relasi kuasa
450| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pengetahuan yang terjadi dalam implementasi JKN, terutama pada pelayanan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil lokasi di
wilayah kerja Puskesmas Omben, Kabupaten Sampang pada bulan Maret-Mei
2015. Informan dipilih secara purposive, antara lain ibu-ibu peserta program JKN
yang memiliki balita minimal berusia 2 (dua) tahun; tenaga kesehatan (bidan dan
dokter); dan pengelola JKN. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan
teknik observasi, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan
penelusuran data sekunder. Temuan data kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif.
PEMBAHASAN
Implementasi kebijakan jaminan kesehatan melalui skema JKN, terutama
untuk pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di wilayah kerja Puskesmas
Omben, belum berjalan maksimal. Berdasarkan hasil wawancara, informan masih
menghendaki sistem lama dalam pelayanan KIA, yakni melalui mekanisme
Jaminan Persalinan (Jampersal). Dimana dalam mekanisme Jampersal, siapapun
warga negara memiliki hak menerima layanan KIA, mulai dari prenatal, natal, dan
neonatus melalui bidan, baik di Polindes, Pustu, maupun Puskesmas terdekat.
Peserta yang melakukan pemeriksaan KIA tidak dipungut biaya (gratis) sesuai
mekanisme, seperti penuturan Fauziah (20) berikut: ”Enak pake Jampersal. Kalo
periksa gratis tidak dipungut biaya. Tidak ada iuran-iuran lain setiap bulan seperti
sekarang ini. Sekarang banyak sekali iuran yang harus dibayar. Sudah setiap bulan
bayar, ketika periksa juga bayar lagi”.
Hal senada juga disampaikan informan yang lain, Maemunah (19) dan
Sulaiha (20). Mereka menyampaikan perbandingan implementasi jaminan
kesehatan dengan sistem Jamkesmas dengan sisten JKN (BPJS). “Lebih enak
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |451
menggunakan Jamkesmas seperti yang lalu-lalu. Prosesnya tidak berbelit-belit,
semua gratis tidak dipungut bayaran. Sekarang dengan sistem baru….apa itu
namanya? Ya….BPJS malah tambah ribet pake bayar iuran bulanan juga”.
Informan di lapangan mengeluhkan sistem baru yang diberlakukan
pemerintah dalam implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),
terutama yang dialami informan dalam pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
Bahkan pada awal implementasi program JKN sampai dengan akhir tahun 2014,
informan yang berhasil diwawancarai mengaku sosialisasi yang dilakukan oleh
pihak pengelola JKN di level Puskesmas belum maksimal. Masyarakat masih
kebingungan dengan mekanisme sistem jaminan kesehatan yang baru ini.
Informasi yang diberikan belum sepenuhnya dipahami secara komprehensif.
Bahkan banyak istilah-istilah baru yang sulit dipahami oleh peserta yang notabene
hanya lulusan SD/SMP bahkan ada yang tidak lulus SD/SMP. Ibu-ibu muda di
wilayah Kecamatan Omben, Sampang adalah hasil pernikahan dini oleh
orangtuanya. Mereka rata-rata menikah pada usia 16-18 tahun sehingga pada usia
18-20 tahun sudah memiliki satu bahkan dua orang anak.
Informasi tentang mekanisme JKN (BPJS) yang disampaikan oleh petugas
JKN di level Puskesmas kepada peserta BPJS, menyebabkan masyarakat masih
belum pada satu pemahaman, bahkan untuk membedakan antara JKN dan BPJS
saja masih kesulitan. Masyarakat hanya mengenal istilah BPJS sebagai program
baru jaminan kesehatan ini. Kondisi ini dipengaruhi oleh informasi atau
pengetahuan yang sampai kepada masyarakat adalah BPJS bukan JKN. Padahal
yang benar adalah JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional sebagai sebuah
program, sedangkan BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah
eksekutor atau pelaksananya. Sehingga jelas sekali perbedaan antara JKN dan
BPJS. Apabila membahas tentang bentuk program atau kebijakan, maka yang
tepat adanya JKN bukan BPJS. Namun, karena informasi awal yang disampaikan
452| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
adalah dengan pengistilahan BPJS dan informasi tersebut disampaikan secara
terus menerus, maka akan muncul habituasi dari masyarakat. Kesadaran kognitif
masyarakat akan tetap pada informasi awal yang masuk karena sudah terbentuk
dalam struktur kognitif.
Ketidakpahaman masyarakat terhadap mekanisme JKN disebabkan karena
kesulitan dalam memahami mekanisme pengetahuan yang dibangun melalui
sistem pengetahuan dan sosialisasi pengetahuan. Kondisi seperti ini akan
memunculkan relasi kekuasaan dalam pengetahuan. Menurut Foucault, saat
pengetahuan bertemu dengan aspek kemanusiaan, maka akan memunculkan dua
kondisi. Pertama, dengan pengetahuannya sendiri, manusia merupakan mahluk
yang dibatasi oleh lingkungan sekitarnya. Kedua, rasionalitas dan kebenaran
selalu berubah sepanjang sejarah. Pengetahuan juga tidak bisa ditemukan
maknanya dalam dirinya sendiri. Pengetahuan baru bisa diketemukan maknanya
apabila berrelasi dengan makna yang lain (Danaher, 2001: 7). Dalam hal ini,
pengetahuan tentang JKN atau BPJS akan memunculkan relasi kuasa pengetahuan
karena ada dua makna pengetahuan, yakni makna yang dibangun oleh peserta
JKN dan makna yang dibangun oleh pengelola JKN.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa pada tahun pertama JKN
diimplementasikan, petunjuk teknis yang jelas tentang pelaksanaan JKN sampai
pada tingkat puskesmas belum komprehensif. Kondisi ini diakui oleh pengelola
JKN di level Dinas Kesehatan Kabupaten. “Petunjuk teknis tentang implementasi
JKN di daerah kami belum begitu lengkap. Juknis baru ada setelah ada kasus di
lapangan. Seolah-olah program ini uji coba karena di berbagai lini belum jelas,
terutama tentang mekanisme administratif klaim. Proses pengajuannya juga masih
berbelit-belit”.
Kondisi yang sama juga diakui oleh Kepala Puskesmas Omben. Menurutnya,
sosialisasi yang dilakukan pengelola JKN di tingkat kabupaten belum jelas, proses
administratif yang membingungkan, serta persyaratan klaim yang tidak jelas.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |453
Permasalahan menggejala tidak hanya pada aspek administrasi yang
memunculkan terhambatnya pencairan dana klaim yang diajukan puskesmas.
Permasalahan serius justru mengenai pengetahuan masyarakat tentang JKN masih
kurang. Masyarakat desa belum memahami benar istilah baru yang diterapkan,
seperti JKN, BPJS, atau klaim. Masyarakat hanya sebatas memaknai sebagai
pelayanan kesehatan gratis. Namun, ketika program JKN ini menjadi program
wajib yang dikonstruksi oleh negara (dalam hal ini Pemerintah), maka disitulah
muncul kekuasaan. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara
metafisis kepada negara yang memungkinkan negara dapat mewajibkan semua
orang untuk mematuhinya, termasuk dalam hal ini setiap warga negara wajib
menjadi peserta JKN. Namun menurut Foucault, kekuasaan bukanlah sesuatu
yang hanya dikuasai oleh negara. Kekuasaan ada di mana-mana, karena
kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Dimana ada relasi, di sana ada
kekuasaan (Bertens, 2001:307-310).
Menurut Foucault (2000: 144), kuasa itu ada dimana-mana dan muncul dari
relasi-relasi antara pelbagai kekuatan. Kekuasaan terjadi secara mutlak dan tidak
tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan adalah sebuah strategi yang
berlangsung dimana-mana, di dalamnya terdapat sistem, aturan, susunan, dan
regulasi. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan-hubungan dari
dalam sistem. Pengetahuan tentang JKN yang dikonstruksi oleh negara dapat
dimaknai sebagai diskursus. Foucault menunjukkan hubungan antara diskursus
ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan hendak
menemukan yang benar dan yang salah pada dasarnya dimotori oleh kehendak
untuk berkuasa. Ilmu pengetahuan dilaksanakan untuk menetapkan apa yang
benar dan mengeliminasi apa yang dipandang salah. Kehendak untuk kebenaran
adalah ungkapan dari kehendak untuk berkuasa. Tidak mungkin pengetahuan itu
netral dan murni karena akan terjadi korelasi (Gutting, 2005: 30).
454| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
SIMPULAN
Implementasi kebijakan jaminan kesehatan melalui skema JKN di wilayah
kerja Puskesmas Omben, belum berjalan maksimal. Disparitas pengetahuan
semakin tajam dan berubah menjadi relasi kuasa pengetahuan ketika terjadi
interaksi antara masyarakat dengan tenaga kesehatan dalam transformasi
pengetahuan (sosialisasi). Kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan
pengetahuan selalu mempunyai efek kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. (2014). Rakyat Miskin Berobat Gratis. Jawa Pos, 1 Januari.
Bertens, K. (2001). Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia, 2001.
Danaher, G. et al. (2001). Understanding Foucault. Delhi: Allen and Unwin.
Djuhaeni, H. (2007). Asuransi dan Managed Care: Modul Program Pascasarjana
Kesehatan Masyarakat. Bandung: Universitas Padjajaran.
Foucault, M. (2000). Seks dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia.
Gutting, G. (2005). The Cambridge Companion to Foucault. New York: Cambridge
University Press.
Hendarini et al. (2014). Analisis Pembiayaan Kesehatan Pada Pelaksanaan Jaminan
Kesehatan Nasional. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. 03 (04): 219-226.
Maman, S. et al. (2015). Program Jaminan Kesehatan Nasional Dari Aspek Sumber
Daya Manusia Pelaksana Pelayanan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
11 (1): 32-42.
Novianti, Br G. et al. (2015). Survei Pendahuluan Biaya Tambahan Peserta BPJS
Kesehatan Pada Rumah Sakit Faskes BPJS Kesehatan di Jabodetabek. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 04 (01): 3-10.
Rolos, W. (2014). Implementasi Program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan di Kabupaten Minahasa Tenggara. Makalah. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.
Yandrizal et al. (2014). Analisis Ketersediaan Fasilitas Kesehatan dan Pemerataan
Pelayanan Pada Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Bengkulu,
Kebupaten Seluma, dan Kabupaten Kaur. Jurnal Kebijakan Kesehatan
Indonesia. 03 (02): 103-112.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |455
PROBLEMATIKA AKSES KESEHATAN PADA WILAYAH TERPENCIL
Studi Kasus Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Tojo Una-una dan
Kabupaten Teluk Wondama
FX Sri Sadewo, Martinus Legowo & Farid Pribadi
Dosen Prodi Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial FISH Unesa
Abstrak
Salah satu kunci keberhasilan pembangunan adalah terbuka akses ke-
sehatan yang merata dan adil bagi warga masyarakat. Pembangunan
akses kesehatan ditandai dengan keberadaan fasilitas kesehatan berikut
sumber daya manusia yang mengembannya. Setelah itu, program-
program kesehatan mengikutinya. Salah satu program adalah promosi
kesehatan. Program ini berguna untuk membentuk kesadaran akan hidup
sehat. Persoalan ini menjadi tidak mudah di Indonesia yang memiliki
wilayah kepulauan dan daratan yang tidak selalu memiliki akses
transportasi. Artikel ini merupakan hasil studi lapangan di tiga Kabupaten
yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Tojo Una-Una dan
Kabupaten Teluk Wondama. Dari temuan di lapangan, setiap kabupaten
memiliki strategi dalam mengatasi masalah kemampuan akses kesehatan.
Masalahnya, implementasi strategi ini sering memperoleh hambatan,
baik dari provider kesehatan mapun dari masyarakat.
Kata Kunci : Pembangunan, Akses Kesehatan, Wilayah
Terpencil.
PENDAHULUAN
Status kesehatan yang berkualitas pada setiap warga negara menjadi
harapan dalam pembangunan. Status kesehatan ini menjadi salah satu tolok ukur
dari pembangunan. Dalam indeks pembangunan manusia (IPM), status kesehatan
dinilai untuk menunjukkan kualitas pembangunan. Hal itu bisa diukur dalam
Indeks Pembangunan Manusia (IPM).20 Ada tiga indikator dalam indeks tersebut,
yaitu: (1) angka harapan hidup, (2) lama sekolah, dan terakhir (3) pendapatan per
kapita. Angka harapan hidup yang ditandai dari berapa lama perkiraan orang
20 Indeks Pembangunan Manusia dikenal juga sebagai Human Development Index (HDI).
456| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
hidup mulai dari sejak kelahirannya di wilayah tersebut. BPS menghitung dengan
definisi angka harapan hidup adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan
dijalani oleh seseroang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun
tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.21
Angka harapan hidup menunjukkan status dan kualitas kesehatan warga di
wilayah tersebut. Sementara itu, lama sekolah menunjukkan kualitas pengetahuan
dimiliki warganya. Kualitas itu ditandai dengan angka harapan lama sekolah.22
Indikator terakhir adalah pendapatan per kapita yang menunjukkan standar hidup
layak seorang warga di negara tersebut.
Gambar 1.
Rasio Puskesmas per 30.000 penduduk di Indonesia Tahun 2013 (Kemenkes, 2015: 25)
21 https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=48 diakses tanggal 24 Juli 2016. 22 Sebelum tahun 2008, kualitas pengetahuan lebih diukur dengan angka melek huruf. Lihat
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/26 diakses tanggal 24 Juli 2016.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |457
Terkait dengan kualitas kesehatan, Balitbang Kementerian Kesehatan tidak
berhenti hanya mengukur angka harapan hidup. Angka harapan hidup memang
menjadi penanda akhir dari proses pembangunan kesehatan. Apabila
pembangunan kesehatan di suatu daerah berkualitas, maka angka harapan hidup
pun akan meningkat. Oleh karena itu, indikator angka harapan hidup ini dirinci
lagi menjadi 24 indikator yang dapat mengukur status kesehatan suatu masyarakat
pada tahun 2007/2008 (Balitbangkes Kemenkes RI, 2010). Tahun 2013 jumlahnya
diperluas menjadi 30 indikator. Ke-30 indikator itu digolongkan menjadi 7
rumpun, yaitu: (1) kesehatan balita, (2) kesehatan reproduksi, (3) pelayanan ke-
sehatan, (4) perilaku, (5) penyakit tidak menular, (6) penyakit menular dan (7)
kesehatan lingkungan (Balitbangkes Kemenkes RI, 2014).
Bila memperhatikan umur harapan hidup di Indonesia, dari tahun ke tahun
umur tersebut terus meningkat. Tahun 1990, umur harapan hidup hanya 63,45
tahun, lima tahun kemudian menjadi 65,47 (1995), begitu pula pada tahun 2000
(67,25 tahun), tahun 2005 (68,85 tahun), tahun 2010 (70,17 tahun) (Bank Dunia,
2012). Bila mencermati per propinsi, maka umur harapan hidup bervariasi.
Dengan IPKM, ketimpangan atau masalah pembangunan kesehatan lebih nampak.
IPM itu seperti orang mencermati dengan mata telanjang, sedangkan IPKM ibarat
sebagai mikroskop yang secara tajam. Melalui IPKM, permasalahan kesehatan
suatu daerah akan nampak. IPKM dihasilkan dari penghitungan hasil survai Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei
Potensi Desa (Podes) (Balitbang Kementerian Kesehatan, 2014: 2). Terkait
dengan pelayanan kesehatan, penjelasan indikator tersebut menjadi semakin kuat
bila dihubungkan dengan data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes).
Pelayanan kesehatan ini menjadi salah satu kunci dalam peningkatan
status atau kualitas kesehatan. Mengikuti teori HL Blum (1981), ada empat hal
yang berpengaruh pada status kesehatan masyarakat dan individu. Keempat itu
458| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
adalah (1) lingkungan (2) genetik, (3) perilaku (gaya hidup) dan terakhir (4)
pelayanan kesehatan masyarakat. Terkait dengan pelayanan kesehatan, persoalan
sebenarnya tidak saja pada masalah pembangunan fasilitas kesehatan, tetapi lebih
pada akses dan kemampuan untuk menggunakan akses. Akses kesehatan terkait
dengan pemerataan pembangunan fasilitasnya. Dalam pemerataan,
pembangunannya tidak saja menghitung perbandingannya dengan jumlah
penduduk, tetapi juga memperhatikan luas wilayah dan akses transportasinya. Bila
mencermati gambar 1, puskesmas di wilayah Indonesia bagian Timur menangani
lebih dari 30.000 atau lebih dari jumlah penduduk satu kecamatan. Tidak itu saja,
cakupan luas wilayahnya pun lebih besar dibandingkan di Indonesia bagian Barat,
apalagi Pulau Jawa. Belum lagi, sebagian besar wilayah tersebut merupakan
wilayah kepulauan. Oleh karena itu, tidak salah bila ada yang berpendapat bahwa
jumlah puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama di Indonesia masih
kurang. Hal itu sudah dinyatakan sejak tahun 201423
Di era otonomi dareah, tanggung jawab pembangunan tidak lagi bertumpu
pada pemerintah pusat. Masalah kesehatan tidak lagi menjadi monopoli urusan
pemerintah pusat. Pemerintah propinsi dan Kabupaten/kota bertanggung jawab
untuk melaksanakan pemerataan akses kesehatan dengan jalan membangun
fasilitas dan menyiapkan segala sumber daya manusia pula. Oleh karena itu,
menjadi menarik untuk mencermati bagaimana masalah akses kesehatan dan
strategi pemerintah Kabupaten dalam meningkatan status kesehatan melalui
pembangunan fasilitasnya. Hal-hal tersebut menarik bila mencermati daerah-
daerah terpencil, baik di Indonesia bagian Barat maupun di bagian TImur.
METODE
Tulisan ini didasarkan dari hasil penelitian lapangan selama tiga tahun
pada tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Tojo Una-
23 Lihat http://indonesia.ucanews/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-
kesehatan diakses tanggal 20 Juli 2016.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |459
una dan Kabupaten Teluk Wondama. Penelitian lapangan di Kabupaten
Kepulauan Mentawai dilakukan pada saat Riskesdas tahun 2013 selama 50 hari.
Penulis waktu itu menjadi penanggung jawab kabupaten (supervisor) yang
membawahi 15 enumerator (pewawancara). Selama penelitian, penulis
mempunyai kesempatan melakukan pengamatan dan wawancara dengan sejumlah
pegawai dinas kesehatan baik di kota kabupaten hingga di pelosok daerah.
Sementara itu, penelitian di Kabupaten Teluk Wondama dilakukan pada
pertengahan tahun 2014. Waktu itu, penulis terlibat dalam penelitian Riset
Etnografi Kesehatan yang didanai oleh Balitbang Kemenkes RI. Riset ini
diinisiasi oleh Pusat Humaniora Balitbang Kemenkes RI. Penelitian dilakukan
selama 2 bulan di salah satu kampung di Distrik Naikere. Jarak kampung tersebut
dengan pusat kabupaten kurang lebih 90 km dengan jalan darat.
Kabupaten Tojo Una-una yang terletak di Sulawesi Tengah ini dikunjungi
dan diteliti pada tahun 2015. Penelitian ini merupakan implikasi dari
penghitungan IPKM. Dari Riskesdas tahun 2010, wilayah ini termasuk daerah
bermasalah kesehatan, sehingga kementerian kesehatan melakukan
pendampingan. Namun demikian, berdasarkan penghitungan IPKM 2013 dengan
sumber data Riskesdas 2013, pendampingan itu tidak memberikan peningkatan
yang berarti. Oleh karena itu, Balibang Kemenkes RI mengkaji persoalan tersebut
secara kualitatif. Penulis merupakan salah satu anggota tim peneliti. Penelitian
dilakukan selama 25 hari. Kajiannya tidak mencakup wilayah daratan, tetapi juga
wilayah kepulauannya. Wawancara dilakukan pada masyarakat, provider
kesehatan dan pejabat dari instansi terkait, seperti Bappeda dan Pemerintah Desa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tiga Kabupaten dengan Tiga Wajah Senada. Meski berbeda dan
berjauhan, ketiga kabupaten ini memiliki karakteristik yang kurang lebih sama.
460| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Ketiga kabupaten berdiri sebagai akibat ephoria paska pemerintahan Suharto.
Kabupaten Kepulauan Mentawai berdiri pada tahun 1999 berdasarkan UU No. 49
tahun 1999. Sebelumnya, kabupaten ini merupakan bagian dari Kabupaten
Padang Pariaman. Jarak antara Kabupaten Kepulauan Mentawai dan daratan
kurang lebih 80 mil laut. Dengan kapal fery rutin hampir dua hari sekali dari
Pelabuhan Bungus, waktu tempuhnya sekitar 6 (enam) Jam. Kapal fery “Ambu-
ambu” berangkat pukul 8 malam dan sampai di pelabuhan Tuapejat, kecamatan
kota Kabupaten Mentawai. Saat ini, untuk menuju ke Tuapejat dari Padang dapat
menggunakan pesawat terbang milik maskapai Susi Air. Pesawatnya bermesin
baling-baling dengan kapasitas penumpang 10-15 orang. Dari Tuapejat, mereka,
calon penumpang, diantar dengan perahu boat ke Bandara Krokot. Waktu tempuh
dari Krokot ke Padang tidak lebih dari 30 menit. Untuk naik pesawat, berat pe-
numpang harus ditimbang terlebih dahulu. Setiap kelebihan berat per 10 kg akan
dikenakan biaya tambahan.
Kabupaten ini sempat menjadi pemberitaan nasional karena kasus gempa
bumi yang diikuti oleh tsunami. Kejadian itu terjadi pada tanggal 25 Oktober
2010. Gempa itu berskala 7,7 Richter, pusatnya berada di 150 mil laut (240 km)
di bawah Pulau Pagai Selatan. Setelah gempa, terjadi gelombang tsunami setinggi
3-10 m dan menghancurkan 77 desa. Kurban yang meninggal 286 jiwa dan hilang
252 jiwa.24 Desa-desa yang terkena berada di Pulau Pagai Selatan, salah satunya
Desa Maonai. Di desa itu, separuh lebih warganya meninggal, terutama orang-
orang dewasa. Anak-anak selamat karena telah diajar oleh guru-guru yang telah
dilatih tentang apa yang harus dilakukan bila terjadi gempa. Pelatihan guru
tentang ancaman tsunami dilakukan paska bencana Tsunami Aceh (26 Desember
2004).
Di awal bulan yang sama, tanggal 2 s/d 3 Oktober 2010, Kabupaten Teluk
Wondama mengalami bencana banjir bandang. Banjir bandang diakibatkan oleh
24 https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Kepulauan_Mentawai_2010 diakses tanggal 12 Juli
2016.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |461
hujan terus menerus, sehingga sungai Batang Salai yang berhulu di Pegunungan
Wondiboy meluap. Batang kayu dan batu besar pun meluncur dari gunung dan
merusak seluruh pemukiman dan fasilitas umum, termasuk puskesmas Wasior dan
lapangan terbang. Banjir bandang ini menelan kurban 158 orang tewas dan 145
orang masih dinyatakan hilang.25 Hal itu terulang lagi pada 13 November 2013
dengan kurban dua orang tewas.26 Sejumlah pakar menyebut penyebabnya adalah
kerusakan hutan akibat pembalakan liar, tetapi hasil kajian peneliti dari
Universitas Negeri Papua dan UGM menyebutkan bahwa hal itu tidak terlepas
dari struktur tanah pegunungan Wondiboy. Dataran Wasior hingga Raisey
merupakan hasil sendimentasi akibat longsor dari Pegugungan Wasior yang
berlangsung ratusan tahun. Sementara itu, salah seorang kepala suku mengatakan
bahwa dulu ada tradisi membersihkan sungai di hulu, tetapi sudah lama tidak
dilakukan. Dua penjelasan ini saling memperkuat. Akibat peristiwa itu, kabupaten
ini menjadi pembicaraan di tingkat nasional.
Kabupaten Teluk Wondama sebelumnya merupakan bagian dari
Kabupaten Manokwari. Setelah peristiwa berdarah Wasior (2001), berdasarkan
UU No. 26 tahun 2002, Kabupaten Manokwari dimekarkan menjadi 3 (tiga)
Kabupaten, salah satunya Kabupaten Teluk Wondama. Kabupaten ini memiliki
luas 14.953, 80 km2 dengan 26.321 jiwa, sehingga tingkat kepadatan hanya 1,76
jiwa/km2. Kabupaten ini memiliki wilayah kepulauan dan daratan. Di wilayah
daratan, sebagian besar kampung memiliki akses transportasi yang minim,
khususnya di Distrik Naikere yang wilayahnya sangat luas. Di wilayah kepulauan,
seperti Distrik Rumperpon juga mengalami kesulitan. Jaraknya lebih dekat ke
Manokwari daripada ke Wasior. Dari Wasior, ia harus menempuh lebih dari
25 https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Wasior_2010 diakses tanggal 12 Juli 2016. 26 http://www.tribunnews.com/regional/2013/11/13/banjir-bandang-terjang-wasior-dua-orang-
hilang diakses tanggal 12 Juli 2016.
462| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
empat jam lamanya dan harus menyewa perahu bermesin dengan harga yang tidak
murah.
Pola wilayah ini sama seperti di Kabupaten Tojo Una-una. Kabupaten ini
lahir paska kerusuhan Poso. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2003, Kabupaten
Poso yang memiliki wilayah yang luas akhirnya dipecah menjadi beberapa
kabupaten, salah satunya Kabupaten Tojo Una-una. Dalam sejarahnya, kabupaten
ini memiliki dua wilayah besar, yaitu: wilayah Tojo di daratan dan kepulauan
Togean dan Walea di Teluk Tomini. Di wilayah daratan, akses transportasinya
mengikuti jalur Trans-Sulawesi. Namun demikian, dari Trans-Sulawesi tidak ada
akses jalan yang layak pada wilayah pedalaman. Sementara itu, di kepulauan
masyarakat mengandalkan kapal motor yang berkeliling seminggu 3 kali dan
kapal fery yang menuju ke Kabupaten Gorontalo. Ada dua kapal fery, pertama
kapal yang menuju ke Utara dengan memotong kepulauan Togean (Ampana-
Wakai-Gorontalo) dan kedua dari Kabupaten Banggai melalui Kepulauan Walea
Besar dan Walea Kepulauan (Ampana-Pasokan-Dolong-Gorontalo).
Pembangunan Fasilitas Kesehatan yang Belum Memadai. Untuk
menuju pemerataan akses, langkah pertama adalah membangun fasilitas
kesehatan. Langkah berikutnya adalah penyediaan tenaga kerja. Dengan kedua hal
ini, promosi kesehatan akan berjalan. Sinergitas antara petugas kesehatan dan
tokoh masyarakat menjadi kunci keberhasilan dari promosi kesehatan. Setiap
masyarakat sudah barang tentu memiliki tokoh masyarakat yang berkedudukan
khusus dalam sistem kebudayaannya terkait masalah kesehatan. Pandangan yang
salah bila berpikir bahwa masalah kesehatan tidak pernah dipikirkan oleh
masyarakat lokal yang sederhana.27 Mereka memiliki dukun (shaman) yang
menangani masalah-masalah kehidupan sehari-hari, termasuk kesehatan di
dalamnya. Ada masyarakat membagi secara khusus berdasarkan fungsinya, ada
pula menjadikan dukun sebagai orang pintar yang serba tahu dan serba bisa.
27 Orang seringkali secara kasar menyebutnya sebagai orang primitif. Pernyataan ini sangat
menghina. Mereka menggunakan teknologi yang sederhana, tetapi tatanan nilai tidak jarang
harus diterapkan oleh masyarakat modern.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |463
Keberhasilan menggandeng tokoh ini menguatkan promosi kesehatan dan
implementasi programnya.
Berdasarkan kriteria dari WHO (World Health Organization), pemerintah
mmiliki patokan dalam pengembangan fasilitas kesehatan, misalnya satu
puskesmas melayani maksimal 30.000 jiwa atau sekitar satu kecamatan. Di dalam
puskesmas tersebut, tenaga kesehatan lengkap, seperti: dokter umum, dokter gigi,
bidan, perawat, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi dan tenaga lingkungan,
serta tenaga farmasi. Puskesmas juga menyediakan kamar rawat inap. Terkait
dengan luas wilayah, di bawah puskesmas ada dua atau tiga puskesmas pembantu
dan puskesmas keliling. Pemerintah juga mengembangkan partisipasi masyarakat
lokal dengan mendirikan UKBM (Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat),
seperti: posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), Polindes (Pos Bersalin Desa) dan
Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Masyarakat loka menyediakan lahan dan
rumah, sedangkan pemerintah menyediakan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan
juga bisa dilakukan secara berkeliling bertemu masyarakat pada hari-hari tertentu.
Hal itu terjadi pada posyandu.
Bila mencermati tabel 1, maka nampak pembangunan fasilitas kesehatan
di ketiga daerah itu belum maksimal. Ketiga daerah itu memiliki wilayah yang
luas dengan hambatan fisik yang berat. Masyarakat Kabupaten Kepulauan
Mentawai harus menghadapi wilayah kepulauan. Selain itu, ketika di lapangan,
hubungan antar desa di dalam satu kecamatan dalam satu pulau pun bukanlah hal
yang mudah. Orang harus menaiki perahu berjam-jam. Hal yang serupa terjadi
pada wilayah kepulauan di Kabupaten Tojo Una-una dan Kabupaten Teluk
Wondama. Bila dibandingkan dengan jumlah kecamatan, puskesmas didirikan
hampir pada setiap ibukota kecamatan, kecuali di Kabupaten Teluk Wondama.
Kabupaten Teluk Wondama memiliki 13 distrik (setingkat kecamatan). Tahun
2013 data BPS-nya sebenarnya menunjukkan jumlah puskesmas sebanyak 7 buah,
464| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dengan demikian hanya 6 distrik tanpa puskesmas. Pada kenyataan di lapangan,
satu puskesmas tidak berfungsi, yaitu di Distrik Naikere (Sadewo, 2014)
Tabel 1
Jumlah Fasilitas dan Tenaga Kesehatan di Tiga Kabupaten
No. Uraian
Kabupaten
Kepulauan
Mentawai
Kabupaten
Tojo Una-una
Kabupaten
Teluk
Wondama
1. Luas Wilayah (km2) 6.011,35 5.726 14.953,80
2. Penduduk (jiwa) 68.807 137.810 26.321
3. Kepadatan (jiwa/km2) 11, 45 24,07 1,76
4. Karakteristik Kepulauan Kepulauan dan
Daratan
Kepulauan dan
Daratan
5. Kualitas Akses Trans. Sulit Sedang Sulit
6. Varian Etnik Rendah Sedang Tinggi
7. Fasilitas Kesehatan
a) Rumah Sakit 1 2 1
b) Puskesmas 10 13 6
1) Rawat Inap 4 6 3
2) Non-Rawat Inap 6 7 3
c) Pus. Pembantu 14 46 33
8. Tenaga Kesehatan
a) Dokter Spesialis 0 0 0
b) Dokter Umum 7 22 1
c) Dokter Gigi 3 5 0
d) Bidan 38 93 10
e) Perawat 187 203 44
f) Tenaga Ahli Gizi 6 7 4
g) Tenaga Ahli Kes.Ling. 4 25 1
Sumber : Kemenkes RI (2014a, 2014b, 2014c)
Tenaga kesehatan, khususnya dokter umum tidak selalu ada di setiap
puskesmas, kecuali di Kabupaten Tojo Una-una. Di Kabupaten Kepulauan
Mentawai, tiga puskesmas tidak ada dokter, sedangkan di Kabupaten Teluk
Wondama dokter hanya ada satu puskesmas saja. Dokter itu pun berada di eks
ibukota kabupaten, yaitu: Distrik Wasior, tetapi hingga tahun 2014 puskesmas
yang dibangun baru paska bencana belum berfungsi. Orang lebih memilih ke
RSUD Kabupaten Teluk Wondama di Distrik Raisei, sekitar 15 km dari Distrik
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |465
Wasior. Data BPS Kabupaten Teluk Wondama (2013) menunjukkan bahwa
jumlah dokter sebanyak 9 orang di puskesmas (Sadewo, 2014). Masalahnya,
dokter-dokter itu hanya sebagai tenaga PTT sebagai kewajiban yang harus
dipenuhi. Mereka bertugas selama kurang lebih 2 tahun. Hal serupa juga dialami
oleh Kabupaten Tojo Una-una (Pramono,et.al, 2014).
Tabel 2
Proporsi Jumlah Fasilitas dan Tenaga Kesehatan berdasarkan
Luas Wilayah dan Penduduk di Tiga Kabupaten
No. Uraian
Kabupaten
Kepulauan
Mentawai
Kabupaten Tojo
Una-una
Kabupaten Teluk
Wondama
Wilayah Penduduk Wilayah Penduduk Wilayah Penduduk
1 Rumah
Sakit 6.011,35 68.807,00 2.863,00 68.905,00 14.953,80 26.321,00
2 Puskesmas 601,14 6.880,70 440,46 10.600,77 2.492,30 4.386,83
3 Pus.
Pembantu 429,38 4.914,79 124,48 2.995,87 453,15 797,61
4 Dokter
Spesialis t.a. t.a. t.a. t.a. t.a. t.a.
5 Dokter
Umum 858,76 9.829,57 260,27 6.264,09 14.953,80 26.321,00
6 Dokter
Gigi 2.003,78 22.935,67 1.145,20 27.562,00 t.a. t.a.
7 Bidan 158,19 1.810,71 61,57 1.481,83 1.495,38 2.632,10
8 Perawat 32,15 367,95 28,21 678,87 339,86 598,20
Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka pelayanan kesehatan di
ketiga kabupaten belum memadai. Dalam ketentuannya, puskesmas selayaknya
hanya melayani 30.000 jiwa, maka ketiga kabupaten ini sangat rendah. Kabupaten
Tojo Una-una yang tertinggi dibandingkan lainnya, puskesmasnya hanya
melayani 10.600 jiwa. Angka lebih mengerikan bila mencermati jumlah penduduk
yang harus dilayani oleh dokter umum. Seorang dokter seharusnya hanya
melayani 2.500 jiwa atau 500 KK, 5.000 jiwa untuk dokter gigi, dan 1.000 jiwa
untuk bidan dan perawat (lihat Depkes, 2003). Di Kabupaten Kepulauan
466| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Mentawai, seorang dokter harus melayani hampir 10.000 jiwa dan paling tidak
seimbang di Kabupaten Teluk Wondama hingga lebih dari 25.000 jiwa. Di
kabupaten tersebut, dokter gigi juga tidak ada di puskesmas. Untuk
memeriksakan, pasien harus pergi berobat ke rumah sakit di Distrik Raisei. Yang
memadai, hanya proporsi perawat. Singkat kata, pada setiap puskesmas di ketiga
kabupaten ada perawat. Mereka juga bertindak sebagai “dokter”, mendiagnosa
dan memberi obat (lihat tabel 2).
Kondisinya lebih mengerikan lagi apabila membandingkan dengan luas
wilayahnya. Di Kepulauan Mentawai, seorang dokter memiliki wilayah kerja
9.829,57 km2. Di Kabupaten Teluk Wondama, wilayah kerja dokter lebih luas
lagi. Tidak itu saja, di Kabupaten Kepulauan Mentawai, wilayah kerjanya penuh
resiko. Untuk berangkat bertugas, mereka harus menggunakan perahu motor
untuk mengarungi Samudera Hindia. Resiko paling besar di Puskesmas Betaet,
gelombang lautnya besar, apalagi pada waktu musim badai. Ketinggian
gelombang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Kalau sudah demikian, pasokan
barang kebutuhan dari Tuapejat (ibukota kabupaten) terhenti. Harga-harga barang
pun menjadi mahal. Untuk mengunjungi desa-desa, tim puskesmas harus menaiki
perahu kecil (ketinting) menelusuri sungai berjam-jam lamanya. Setelah itu, tim
puskesmas melanjutkan berjalan menembus hutan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |467
Kondisi yang serupa terjadi di Kabupaten Tojo Una-una. Di wilayah
kepulauan, kunjungan tim puskesmas untuk melakukan pelayanan posyandu,
khususnya imunisasi, harus menggunakan kapal motor. Kapal itu disediakan oleh
pemkab, namun pencairan anggaran bahan bakarnya tidak ajeg setiap tahunnya.
Di wilayah daratan, mereka harus berhadapan dengan kondisi alam pegunungan.
Ketidakadaan jalan yang memadai menyulitkan mereka untuk mencapai daerah-
daerah permukiman. Kualitas jalur jalan buruk, apalagi pada waktu musim hujan,
tidak saja menyulitkan pelayanan kesehatan, tetapi juga menyulitkan mereka,
khususnya para transmigran, menjual hasil panennya. Selain itu, mereka juga
menghadapi suku pedalaman (To Wana) yang masih nomaden. Dinas Sosial telah
berusaha memukimkan secara permanen, namun hal tersebut bukanlah mudah.
Perjuangan tenaga kesehatan lebih berat pada Kabupaten Teluk Wondama,
khususnya bila harus memberikan pelayanan di Distrik Naikere. Distrik ini
merupakan wilayah yang terluas Distrik ini berbatasan dengan Kabupaten Teluk
Bintuni dan Nabire. Beberapa kampung harus ditempuh dengan jalan kaki. Dari
Gambar 1 Di Kabupaten Teluk Wondama, Bidan harus berjalan menembus hutan dan bertemu Ibu
dan Bayi
(Dokumentasi Suster Rita, Dinkes Teluk Wondama)
468| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Distrik Wasior, orang dapat menempuhnya dengan kendaraan sejah 90 km atau
melalui jalur laut sekitar 1,5 jam lamanya dari Distrik Wondiboi ke Logpon (tempat
penimbunan kayu tebangan). Dari Logpon, bila tidak ada truk perusahaan kayu, maka
harus berjalan ke kampung terdekat, Wosimo (Wombu), sekitar 25 km dan kurang
lebih 100 km ke Kampung Oyaa (terjauh). Sebelum ada jalan, mereka menelusuri
sungai Wosimo hingga ke Kampung Wombu. Untuk kembali ke Wasior, mereka
biasanya harus menyewa helikopter. Sekali terbang, satu jamnya harus membayar Rp.
54 juta dan minimal 3 jam (Sadewo, 2014).
Berbagai Kebijakan untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan.
Bila memperhatikan masing-masing RPJMD, maka pemerintah daerah ketiga
kabupaten tersebut secara kasat mata telah berusaha membangun bidang kesehatan.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai telah mengusahakan pembangunan
fasilitas kesehatan di setiap kecamatan. Bekerja sama dengan warga masyarakat,
khususnya kepala desa, mereka mengembangkan pustu (puskesmas pembantu).
Rumah Pustu dikerjakan oleh penduduk setiap pustu terdapat seorang perawat. Hal
yang serupa juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan Pemkab Tojo Una-una dan Pemkab
Teluk Wondama. Pemerintah Kabupaten Tojo Una-una menempatkan minimal satu
orang perawat setiap pustu dan sebagian besar lainnya telah diisi juga dengan bidan.
Dinas Kesehatan Pemkab Teluk Wondama berkoordinasi dengan kepala-kepala suku
kampung dan kepala suku besar untuk menyiapkan lahan untuk didirikan pustu.
Karena lahan milik suku, bukanlah hal yang mudah untuk memperolehnya, apalagi
dengan dana terbatas. Kesadaran akan arti kesehatan kepala suku telah
memudahkannya.
Untuk penyediaan dokter, ada beberapa strategi yang berbeda pada ketiga
pemKabupaten Karena otonomi daerah, Pemkab Kabupaten Kepulauan Mentawai
berani mengkontrak dokter di luar program PTT dari Kementerian Kesehatan,
terutama dokter spesialis. Pada tahun 2013, dokter spesialis dikontrak dengan gaji di
atas 15 juta dan 10 juta untuk dokter umum. Untuk memotivasi pelayanan, pemkab
membuat standar perjalanan dinas yang berbeda. Mengingat resiko yang harus
ditanggung, maka lumpsum bisa mencapai 500 ribu per hari. Hal ini tidak dilakukan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |469
oleh Pemkab Tojo Una-una dan Pemkab Teluk Wondama. Kedua pemkab ini lebih
bergantung pada program PTT. Pemkab Teluk Wondama juga memberikan tunjangan
kemahalan pada petugas di wilayah terpencil.
Persoalan transportasi diatasi dengan berbagai strategi. Pemkab Kepulauan
Mentawai memberikan subsidi pada kapal motor yang melayani transportasi antar
pulau secara massal. Hal itu juga dilakukan pada pemkab Teluk Wondama. Hal yang
berbeda bahwa kapal motor di Kepulauan Mentawai berjalan secara ajeg, tidak
demikian di Kabupaten Teluk Wondama. Akibat bencana alam, kedua kabupaten
(Mentawai dan Teluk Wondama) memperoleh bantuan kapal layanan Puskesmas
yang canggih. Sayang, di Kabupaten Teluk Wondama hal itu tidak bisa dioperasikan
karena ketidakadaan dana pendamping dari pemKabupaten Untuk jalur darat, ketiga
pemkab hingga saat ini masih belum bisa mengatasinya.
Namun demikian, ada beberapa kebijakan yang kurang tepat. Dalam rangka
peningkatan kualitas tenaga kesehatan, Pemkab Kepulauan Mentawai memberikan
beasiswa bagi tenaga kesehatan atau pemuda-pemudi untuk bersekolah di Kota
Padang. Kenyataannya, informasi ini hanya diterima oleh orang-orang pendatang
(sasareu), hanya sedikit penduduk asli Mentawai. Akibatnya, anak-anak pendatang
pula yang menikmati. Celakanya, setelah lulus, mereka tidak kembali mengabdi di
Kepulauan Mentawai, tetapi memilih kembali ke wilayah daratan. Sementara itu,
tenaga kesehatan yang berasal dari penduduk asli enggan berdinas di permukiman
perdalaman. Mereka lebih suka tinggal di pusat kecamatan yang lebih ramai. Selain
itu, kebijakan peningkatan biaya perjalanan lebih digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga daripada untuk menjalankan tugas dengan penuh tanggung
jawab. Perjalanan yang sehari sering ditulis beberapa hari dan selebihnya beristirahat
di rumah. Pada awal bulan, ketika menerima gaji mereka lebih memilih untuk pergi
ke Padang. Ada satu pengalaman yang tidak menyenangkan dari peneliti. Ketika
salah satu jari tangan terkena abses (infeksi), ia tidak bisa berobat dan harus menahan
rasa sakit karena bidan pergi ke Padang selama lebih dari satu minggu.
470| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kebijakan yang tidak tepat juga terjadi pada Kabupaten Tojo Una-una.
Rekruitmen tenaga kesehatan yang sebagian besar dari luar propinsi, khususnya dari
Sulawesi Selatan, mengakibatkan kesulitan pemenuhannya. Para bidan dan perawat
yang berasal dari Sulsel itu sering mengajukan pindah mengikuti suami setelah
menjadi pegawai negeri. Di pihak lain, ketika bekerja, mereka tidak bisa menjalankan
fungsinya secara maksimal karena berbeda secara budaya, khususnya dalam bahasa.
Kesulitan berkomunikasi juga dialami oleh para dokter yang mengikuti program PTT
di kabupaten tersebut. Untuk mengatasi itu, lima tahun terakhir ini pemkab
memberikan beasiswa pada pemuda-pemudi penduduk asli, meski belum
memberikan hasil senyatanya. Hal itu terjadi karena mereka lebih memilih tinggal di
Ampana, pusat kabupaten daripada ke wilayah kepulauan atau pedalaman.
Kesulitan-kesulitan ini juga dialami oleh pemkab Teluk Wondama. Kualitas
pendidikan yang rendah menyulitkan mengirim tenaga asli untuk mengikuti
pendidikan kesehatan. Sama seperti Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten
Tojo Una-una, setelah selesai pun mereka lebih memilih bertugas di pusat kabupaten
daripada berdinas di tempat asalnya. Kesulitan kedua adalah terkait dengan budaya.
Apabila tenaga kesehatan merupakan orang pendatang, maka akan terkait dengan
budaya. Apabila merupakan orang pendatang, maka pada beberapa kampung
kehadirannya dianggap sebagai bencana dan harus mengganti sanksi adat bila terjadi
kematian. Oleh kepala suku, mereka biasanya diminta untuk keluar. Terakhir, ketika
tidak melakukan musyawarah dengan kepala-kepala suku setempat, pembangunan
fasilitas kesehatan menjadi sia-sia. Kasus pembangunan puskesmas di Distrik Naikere
merupakan contoh yang baik. Kepala-kepala suku kampung telah mengingatkan
bahwa tempat tersebut bukan hal yang tepat untuk pusat pelayanan kesehatan karena
jauh dari kampung. Hal itu diabaikan karena pertimbangan harga tanah yang lebih
murah. Akibatnya, hingga saat ini tempat tersebut tidak berfungsi.
PENUTUP
Ketiga kabupaten yakni Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Tojo
Una-una dan Kabupaten Teluk Wondama memiliki karakteristik yang kurang lebih
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |471
sama. Diantarannya terbentuk akibat peristiwa politik seperti akibat ephoria paska
pemerintahan Suharto dan kerusuhan akibat suhu politik di daerah.
Sementara itu pembangunan fasilitas kesehatan di tiga kabupaten belum
memadai sehingga dibutuhkan upaya membangun fasilitas kesehatan. Berikutnya
adalah penyediaan tenaga kerja. Dengan kedua hal ini, promosi kesehatan akan
berjalan. Sinergitas antara petugas kesehatan dan tokoh masyarakat menjadi kunci ke-
berhasilan dari promosi kesehatan dengan cara menjalin sinergitas dengan tokoh
masyarakat yang berkedudukan khusus dalam sistem kebudayaannya terkait masalah
kesehatan.
Berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terus
diupayakan oleh pemerintah daerah setempat. Diantaranya pemerintah daerah ketiga
kabupaten tersebut telah berusaha membangun bidang kesehatan. Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Mentawai telah mengusahakan pembangunan fasilitas
kesehatan di setiap kecamatan. Bekerja sama dengan warga masyarakat, khususnya
kepala desa, mereka mengembangkan pustu (puskesmas pembantu). Rumah Pustu
dikerjakan oleh penduduk setiap pustu terdapat seorang perawat. Hal yang serupa
juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan Pemkab Tojo Una-una dan Pemkab Teluk
Wondama.
Untuk penyediaan dokter, ada beberapa strategi yang berbeda pada ketiga
pemerintah kabupaten karena otonomi daerah, Pemkab Kabupaten Kepulauan
Mentawai berani mengkontrak dokter di luar program PTT dari Kementerian
Kesehatan, terutama dokter spesialis.
Meski demikian, kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan program kesehatan di
tiga kabupaten tersebut tentu ada diantaranya adalah persoalan transportasi, kualitas
pendidikan tenaga kesehatan dan budaya.
472| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
DAFTAR PUSTAKA
Indikator Indonesia Sehat.2010. Jakarta : Kemenkes RI
Indikator Indonesia Sehat. 2014. Jakarta : Kemenkes RI
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai. 2013. Kepulauan Mentawai
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Rasio Puskesmas di Indonesia Tahun 2013. 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI.
Survei Potensi Desa (Podes). 2014. Jakarta : Kemenkes RI
https://sirusa.bps.go.ig/imdex.php?r=indikator/view&id=48 diakses tanggal 24 Juli
2016
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/26 diakses tanggal 24 Juli 2016
http://indonesia.ucanews/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-
kesehatan diakses tanggal 20 Juli 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Kepulauan_Mnetawai_2010 diakses
tanggal 12 Juli 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Wasior_2010 diakses tanggal 12 Juli 2016
https://www.tribunnews.com/regional/2013/11/13/banjir-bandang-terjang-wasior-
dua-orang-hilang diakses tanggal 12 Juli 2016
http://indonesia.ucanews/2013/01/23/62-juta-warga-indonesia-tidak-memiliki-akses-
kesehatan diakses 20 Juli 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_Kepulauan_Mentawai_2010 diakses 12
Juli 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Wasior_2010 diakses 12 Juli 2016
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |473
RENCANA AKSI DAERAH PENANGANAN PENYANDANG MASALAH
KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN NGANJUK
Ita Mardiani Zain
Dosen Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas
Negeri Surabaya
Abstrak
Rencana aksi daerah diharapkan terjaminnya suatu perlindungan sosial bagi kelompok
yang rentan dan kurang beruntung atau PMKS. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan cara survey primer dan survey sekunder. Kondisi masyarakat yang
masih banyak tergolong pada PMKS mengharuskan negara hadir ke tengah-tengah
masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Stakeholder harus dilibatkan
semua untuk menangani PMKS. Kegiatan yang dihadirkan juga harus mendapatkan
monitoring dan evaluasi yang berkala sehingga ada pelaporan kemajuan setiap saat.
Kata kunci: PMKS, kesejahteraan, kemiskinan
PENDAHULUAN
Sebagaimana Undang-undang No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, menyatakan bahwa pembangunan kesejahteraan sosial merupakan usaha
berbagai bentuk intervensi dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan
manusia dalam mencegah dan mengatasi permasalahan sosial serta memperkuat
institusi-institusi yang bergerak dibidang kesejahteraan sosial. Pembangunan
kesejahteraan sosial lebih menekankan pada keberfungsian sosial manusia dengan
focus utama pada kelompok yang kurang beruntung atau mengalami masalah
sosial dalam kehidupan masyarakatnya.
Beberapa permasalahan penyandang masalah sosial di Kabupaten Nganjuk
seperti fakir miskin, lanjut usia, penyandang disabilitas, anak terlantar, korban
bencana alam, pengemis, gelandangan, anak jalanan dll masih memerlukan
pendekatan secara struktural dan model penanganan masalah kesejahteran sosial
yang situasional, parsial, residual yang dilakukan oleh organisasi – organisasi
474| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
sosial selama ini masih diperlukan akan tetapi masih belum memenuhi
harapan/belum memadai. Terhadap permasalahan tersebut diatas, diperlukan
pemahaman yang mendalam terhadap (1) perkembangan situasi lingkungan
strategis baik lokal, nasional, regional, maupun global, (2) kondisi dan
permasalahan sosial yang dihadapi (3) kemampuan dan realisasi pembangunan
kesejahteraan sosial, serta (4) tantangan ke depan dan tindak lanjut yang harus
dilakukan.
Pembangunan kesejahteraan sosial di Kabupaten Nganjuk dipandang
sebagai bagian tidak terlepaskan dari komitmen pemerintah daerah dalam rangka
implementasi Visi dan Misi Kabupaten Nganjuk sebagaimana tertuang dalam
RPJMD Kabupaten Nganjuk Tahun 2014-2018 masih cukup tingginya angka
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dimana pembangunan
kesejahteraan sosial merupakan agenda penting di dalam pembangunan di
Kabupaten Nganjuk.Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Nganjuk harus terus
berupaya memacu pembangunan kesejahteraan sosial dengan sasaran
meningkatkan kualitas dan jangkauan palayanan sosial melalui berbagai program
yang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan kesejahteraan sosial dapat terlaksana dengan efektif jika memiliki
arah yang jelas dan terukur kinerjanya. Oleh karena itu dipandang perlu menyusun
Rencana Aksi Daerah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten
Nganjuk 2016-2018.
Penyusunan RAD-PMKS akan dijadikan dokumen operasional yang
menyatukan pembangunan kesejahteraan sosial dalam rangka mewujudkan SDM
berkualitas sebagai modal sosial pembangunan. Selanjutnya dokumen ini
diharapkan dapat menjadikan panduan dan acuan bagi para pemangku
kepentingan baik instansi pemerintah di Kabupaten Nganjuk, swasta,
BUMN/BUMD, perguruan tinggi, serta masyarakat.
A. PMKS dan Pembangunan di Kabupaten Nganjuk
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |475
Menurut Permensos No. 08 tahun 2012 tentang Pedoman pendataan dan
pengelolaan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu
hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya,
sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun
sosial secara memadai dan wajar.
PMKS juga mendapat perhatian khusus untuk penanggulangannya dalam
program PBB yang disebutMillenium Development Goals (MDGs). Program
MDGs merekomendasikan adanya hak-hakdasar manusia yang harus terpenuhi
secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hal ini juga sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai MDG’s yaitu:
1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan
2. Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua
3. Mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan
4. Mengurangi tingkat kematian anak
5. Meningkatkan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lain
7. Menjamin kelestraian lingkungan
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
Pembangunan Kabupaten Nganjuk Tahun Anggaran 2016 -2018, pada
bidang sosial diprioritaskan untuk peningkatan kualitas SDM dan aparat bidang
kesejahteraan kemandirian para PMKS, peningkatan profesionalisme pembinaan
potensi dan sumber kesejahteraan sosial, peningkatan pengetahuan dan
keterampilan penanganan masalah kesejahteraan sosial, serta peningkatan
kepedulian sosial.
476| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Pada bidang tenaga kerja di prioritaskan untuk perluasan kesempatan kerja
melalui penyebaran informasi dan perencanaan tenaga kerja, penempatan tenaga
kerja, perluasan kesempatan berusaha, pemagangan dan pelatihan, kelembagaan,
pengawasan dan perlindungan serta peningkatan kesejahteraan tenaga kerja.
Pelaksanaan pembangunan di bidang sosial tenaga kerja dan transmigrasi di
daerah disesuaikan dengan sumberdaya serta kondisi lingkungan setempat secara
terpadu sehingga dari hasil pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan
sosial, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kuantitas dan kualitas
dalam rangka pengembangan kegiatan ekonomi di Kabupaten Nganjuk.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara survey
primer yaitu diskusi terfokus dan penyebaran form masalah PMKS bersama
SKPD terkait dan diskusi bersama tim teknis yang sudah terbentuk. Yang kedua
adalah survei sekunder dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang
tidak dapat diperoleh dengan menggunakan survey primer. Sumber data berasal
dari literature berupa buku, jurnal, maupun artikel pada internet yang dapat
dipercaya. Sedangkan sumber data dan survey intansi diperlukan untuk
mendapatkan data mengenai kondisi wilayah studi.
Metode analisis data menggunakan analisis kependudukan, analisis rasio
sumber daya manusia dalam penanganan PMKS, analisis peningkatan kualitas
hidup dan perlindungan bagi PMKS, analisis peningkatan sarana dan prasarana
pelayanan kesejahteraan sosial, analisis pemberdayaan usaha ekonomi produktif
bagi PMKS, analisis manajemen modal penanganan PMKS, analisis pelayanan
bantuan dasar dan pemberdayaan PMKS, analisis SWOT penyandang masalah
kesejahteraan sosial di Kabupaten Nganjuk, analisis IFAS-EFAS PMKS
Kabupaten Nganjuk.
PEMBAHASAN
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |477
Kondisi masyarakat Kabupaten Nganjuk yang sebgaian besar
bermatapencaharian petani masih banyak yang tergolong sebgai masyarakat
miskin. Pengentasan hal tersebut diperlukan adanya komitmen pemerintah untuk
membantu memberdayakan secra ekonomi masyarakat miskin, penyandang cacat,
fakir miskin, anak terlantar, anak jalanan dan kelompok rentan sosial lainnya dan
meningkatkan prakarsa dan peran aktif masyraakat termasuk masyrakat mamapu,
dunia usaha, perguruan tinggi dan organisasi sosial/LSM dengan memberikan
bantuan sosial, bantuan permodalan dan bantuan pendidikan dan pelatihan
ketrampilan agar mampu dan mandiri. Indikator yang dapat digunakan untuk
melihat kondisi sosial masyarakat salah satunya adalah keberadaan sarana sosial
dan PMKS (penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).
Populasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di
Kabupaten Nganjuk Tahun 2013 berjumlah 84.531 jiwa. Berdasarkan data Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Nganjuk persentase penyandang
masalah kesejahteraan masyarakat terus mengalami peningkatan sejak tahun
2008-2012. Jenis PMKS dengan populasi terbanyak yaitu fakir miskin sebanyak
63.657 jiwa, lanjut usia terlantar sebnayak 9.829 jiwa. Berikut tabel 1 jenis PMKS
di Kabupaten Ngajuk Tahun 2013.
Upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran akan lebih
mempunyai kemampuan untuk optimal dan lestari apabila stakeholder ditingkat
basis dilibatkan secara optimal. Pelibatan stakeholder ini sangat penting untuk
memberikan keterjaniman ketepatan sasaran dan kontrol pelaksanaan program
sekaligus optimalisasi sumber-sumber lokal. Pelembagaan dalam arti yang lebih
dalam adalah diperlukanya suatu pihak yang merupakan kelompok peduli yang
terdiri dari berbagai pihak mewakili unsur pemerintah (kelurahan) tokoh
masyarakat dan lembaga masyarakat (LPMK/PKK dan lembaga keagamaan atau
sosial) dan pelaku usaha yang memdudukan diri sebagai pihak peduli dalam
478| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
rangka penangglangan kemiskinan dan penganguran. Fungsi kelembagaan
ditingkat basis ini idengtik dengan kelembagaan TKPK ditingkat Kabupaten
Nganjuk.
Tabel 1. Jenis PMKS di Kabupaten Ngajuk Tahun 2013
Pelembagaan kelompok keluarga atau penduduk miskin dengan
ikatankebersamaan usaha merupakan syarat mutlak untuk pemberdayaan ekonomi
No. Jenis PMKS Jumlah
1 Anak balita terlantar 708
2 Anak terlantar 1605
3 Anak yang berhadapan dengan hukum 4
4 Anka jalanan 23
5 Anak dengan kedisabilitas 742
6
Anak yang menjadi korban tindak kekerasan /
perlakuan salah 9
7 Anak yang memerlukan perlindungan khusus 12
8 Lanjut usia terlanatar 9829
9 Penyandang disabilitas 4347
10 Tuna susuila 53
11 Gelandangan 65
12 Pengemis 96
13 Pemulung 47
14 Kelompok minoritas 4
15 Bekas warga binaan lemabga pemasyarakatan 188
16 Orang dengan HIV/AIDS 5
17 Korban penyalahgunaan NAPZA 30
18 Korban trafficking 0
19 Korban tindak kekerasan 23
20 Pekerja migran bermasalah sosial 3
21 Korban bencana alam 24
22 Fakir miskin 122
23 Perempuan Rawan Sosial Ekonomi 2786
24 Fakir miskin 63657
25 Keluarag bermasalah sosial psikologis 149
26 Komunitas adat terpencil 0
Jumlah 84531
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |479
keluarga miskin. Kelompok-kelompok ditumbuhkan dalam basis komunitas
sehingga dalam masing-masing kelurahan dimungkinkan ditumbuhkan beberapa
kelompok usaha.
Bagan 1. Kerangka Penyebab PMKS
Untuk menanggulangi berbagai PMKS yang terjadi di Kabupaten Nganjuk
tersebut maka perlu adanya mekanisme pelaksanaan rencana aksi daerah.
Pelaksanaan kegiatan RAD-PMKS di Kabupaten Nganjuk didasarkan atas adanya
kerjasama antara stageholder antara pemangku kebijakan, instansi terkait, dan
partisiasi dari masyarakat. Unsur yang terpenting dalam mekanisme pelaksanaan
adalah hubungan kerjasama, koordinasi, serta intergrasi pada setiap elemen
terkait. Secara umum mekanisme kerja adalah sebagai berikut.
480| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
1. Dilakukan pertemuan koodinasi perencanaan sebagai awal dari pelaksanaan;
2. Dilakukan pertemuan penentuan prioritas baik prioritas daerah, sasaran,
maupun jenis kegiatan; dan
3. Dilakukan pertemuan koordinasi untuk membahas tantangan, proses, dan
sebagi factor yang terjadi pada saat pelaksanaan.
Berikut merupakan peran serta tugas yang digunakan sebagai acuan bagi
SKPD dalam pelaksanaan tugasnya.
Tabel 2. Logical Framework RAD PMKS Kabupaten Nganjuk
No. Pelaksanan Input Output
1. Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil
Pendataan penyandang masalah kesejahteraan social Tersedianya informasi dan teknologi
bagi Dinas Sosial Kependudukan dan
Catatan Sipil, memudahkan
memperoleh akses terhadap informasi
global.
2. Dinas Sosial, Tenaga
Kerja, dan Transmigrasi
Pembinaan organisasi social Adanya sarana, prasarana serta
anggaran honor pendamping
sehingga memudahkan pelaksananaan
pemberian pelayanan kepada PMKS
Pemberdayaan karang taruna
Pemantapan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)
Pemberdayaan kelembagaan sosial atau tenaga
kesejahteraan social
Program kemsyarakatan produktif melalui
peningkatan pelayanan panti sosial
3. Dinas Perindustrian,
Perdagangan, dan
Koperasi
Pelaksanaan kelompok usaha bersama(KUBE)
Peningkatan kemitraan antara
pemerintah dengan swasta,
masysrakat dalam pelayanan
sosialkelompok sosial ekonomi Memberikan sarana informasi seluas-luasnya bagi
pendamping untuk mitra kerjasama/pelatihan
teknis/pembinaan dari dinas/instansi terkait
Menggerakkkan kegiatan ekonomi yang berpeluang
menciptakan lapangan kerja baru
4. Dinas Kesehatan,
Badan Pemberdayaan
Perempuan dan
Perlindungan Anak
Jumlah anak balita terlantar yang medapatkan
bantuan kesehatan
Pengoptimalan kualitas hidup
masyarakat penyandang masalah
social mealui peningkatan kualitas
hidup selaras dengan kebijakan
pemerintah terkait ketentuan pokok
ksejahteraan sosial
Jumlah anak terlantar , anak yang berhdapan dengan
hokum, anak jalanan, anak tindak kekerasan, dan
anak yang memerlukan perlindungan khusus yang
mendapatkan pembinaan dan pendidikan
Jumlah masyarakat penyandang disabilitas yang
mendapatkan bantuan kesehan dan alat bantu
kecacatan
Jumlah gelandangan, pengemis, pemulung,
kelompok minoritas, lanjut usia terlantar yang
mendpaatkan bantuan
Jumlah masyarakat ODHA dan korban
penyalahgunaan NAPZA yang mendapatkan
bimbingnan dan penyuluhan
Jumlah korban bencana alam yang mendapatkan
bahan makanan
Jumlah korban trafficking, tindak kekerasan, dan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |481
No. Pelaksanan Input Output
pekerja migran bermasalah social yang mendapatkan
bantuan
Jumlah fakir miskin dan perempuan rawan social
ekonomi yang mendapatkan bantuan
Jumlah warga binaan lembaga kemasyarakatan,
kelurga bermasalah social psikologis, dan komunitas
adat terpencil yang mendapatkan pembinaan
Jumlah panti asuhan yang mendapatkan pembinaan
(18 panti asuhan)
Jumlah kecamatan yang akan dikembangkan
kelembagaan pada Kabupaten Nganjuk
5. Dinas Koperasi dan
UKM
Jumlah masyarakat yang menjadi sasaran usaha
ekonomi produktif
Peningkatan pemberdayaan
perekonomian masyarakat kecil
menegah dalam rangka peningkatan
kulitas hidup masyarakat sesuai
ketentuan peraturan perundang
undangan terkait kesejahteraan sosial
Jumlah masyarakat dalam mengikuti pelatihan
ketrampilan pengrajin
Jumlah IKM yang mendapatkan pembinaan
Jumlah masyarakat yang mendapatkan pelatihan
dalam bidang kemasan produksi
Jumlah masyarakat yang mengikuti pelatihan
pembenahan
Untuk menjamin tercapainya target kinerja yang akan ditetapkan dalam
RAD-PMKS 2016-2018 Kabupaten Nganjuk, maka perlu dilakukan pemantau dan
evaluasi. Pemantauan difokuskan pada kegiatan yang sedang dilaksanakan agar
secepatnya dapat diketahui kelemahan untuk segera diantisipasi. Sedangkan
evaluasi dilakukan untuk melihat hasil yang dicapai dengan rencana target yang
telah ditentukan.
Tujuan pemantauan dan evaluasi sebagai berikut: (1) Memberikan masukan
terhadap pelaksana untuk mengatasi hambatan yang dihadapi oleh pelaksana kegiatan; (2)
Menyediakan sumber informasi tentang pelaksanaan pencapaian target PMKS; dan (3)
Sebagai salah satu dasar dalam perumusan kebijakan dibidang PMKS.
Pemantauan dan evaluasi merupakan kegiatan rutin dan dapat dilakukan
secara berjenjang dan terjadwal oleh tim khusus.Pemantauan dan evaluasi internal
dilaksanakan melalu pendekatan partisipatif berbasiskan program dan kegiatan
untuk menilai perkembangan dan capaian pelaksanaan kegiatan
482| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Indikator utama yang dikukur adalah indicator yang telah dihasilkan dari
tahap awal perencanaan dan menjadi tolak ukur efektifitas pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan dan evaluasi dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, bilaman asetia
SKPD hendaknya menyiapkan beberapa kelengkapan yaitu evaluasi SKPD,
Rencana Strategis (Renstra), rencana program, kegiatan, dan anggaran, serta
pelaporan hasil kegiatan selama satu periode tertentu.
PENUTUP
Rencana Aksi Daerah (RAD) ini disusun sebagai acuan dalam rangka
melaksanakan penangulangan PMKS yang diharapkan dapat menjadi panduan
bagi para pengelola dan pelaksana program dengan instansi terkait yang dilakukan
secara bersama dan berkesinambungan untuk kurun waktu yang telah ditentukan.
Berhasilnya penanggulangan PMKS di Kabupaten Nganjuk diperlukan
komitmen yang kuat konsisten dan konsekuen dari semua pihak baik dari unsur
Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Rencana Aksi Daerah PMKS ini akan
dijabarkan dan dilaksanakan melaui program dan kegiatan tahunan dari masing-
masing SKPD.
DAFTAR PUSTAKA
Kabupaten Nganjuk Dalam Angka 2015
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 111 / HUK / 2009 Tentang
Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Pola Dasar Pembangunan Kesejahteraan Sosial Jawa Timur
Policy Brief Standar SDM Kesos-Staf Ahli Bidang Dampak Sosial
Profil Daerah di Jawa Timur 2007-2011
Rekapitulasi Jumlah Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kabupaten
Nganjuk Tahaun 2013
RPJMD Kabupaten Nganjuk 2014-2018
RPJMD Provinsi Jawa Timur
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |483
PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN BERBASIS EKOLOGI
(EKOWISATA) DALAM RANGKA IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Agus Sutedjo
Dosen ProdiPendidikan Geografi FISH Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Objek-objek wisata yang mempunyai daya tarik tinggi dengan segenap potensinya perlu
dikembangkan lebih lanjut dalam rangka peningkatan aktivitas ekonomi yang selanjutnya
untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat. Dalam pengembangannya, diperlukan
langkah-langkah tertentu untuk mempertahankan kondisi objek wisata agar tetap lestari
keberadaannya. Kondisi yang tetap lestari berdampak pada kelangsungan kesejahteraan
masyarakat yang berkesinambungan pula.Kepariwisataan yang berkembang dapat
dipastikan akan berdampak positip ataupun negatip pada lingkunganya baik fisik
maupun non fisik sebagai akibat dari perubahan lingkungan, aktivitas wisatawan
maupun interaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Dampak negatip sedapat
mungkin diperkecil agar supaya kerusakan lingkungan yang terjadi tidak bertambah
parah. Setelah tahap pembangunan diperlukan pengelolaan yang tepat dan selalu
dilakukan evaluasi secara rutin mengingat situasi dan kondisi yang terus berkembang.
Pengembangan kepariwisataan meliputi berbagai aspek dengan menggunakan model
tertentu dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Untuk pengembangan dengan tujuan
kelestarian lingkungan objek wisata yang berkelanjutan sangat tepat apabila
pengembangannya berbasis ekologi, atau sering dinamakan ekowisata. Pengembangan
ekowisata pada prinsipnya menerapkan konservasi untuk meminimalkan kerusakan
lingkungan, membatasi jumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu periode tertentu
dan adanya pelibatan masyarakat lokal.
Kata Kunci: Ekowisata, Daya Dukung, Pengembangan, Masyarakat Lokal
PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN
Pariwisata sebagai industri memerlukan arah pengembangan yang tepat
agar supaya tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Objek wisata
sebagai modal utama dalam pengembangan industri pariwisata perlu dijaga
kelestariannya. Kerusakan yang terjadi pada objek wisata akan mengurangi
dayatarik wisatanya sehingga dapat berpengaruh negatip terhadap jumlah
wisatawan yang berkunjung.
484| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Unsur paling mendasar dalam pengembangan kepariwisataan adalah
Daerah Tujuan Wisata (DTW) yaitu lokasi objek wisata dengan segala
pendukungnya juga sumberdaya manusia sebagai pelaku. Banyak sekali definisi
tentang DTW namun dari banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa DTW
merupakan suatu tempat yang dijadikan oleh wisatawan untuk melakukan
kegiatan wisatanya dan dapat memberi kepuasan, kesenangan, dan kegembiraan.
DTW merupakan lokasi yang cukup menarik karena situasinya, atraksinya dan
hubungannya dengan lalulintas dan fasilitas kepariwisataannya sehingga
menyebabkan lokasi tersebut menjadi kebutuhan wisatawan.
Pengembangan kepariwisataan dalam hal ini dapat diartikan untuk
meningkatkan aspek kualitas maupun kuantitas atraksi dengan segala
pendukungnya baik faktor potensi fisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di
sekitar DTW. Umumnya faktor-faktor tersebut merupakan kondisi dan atraksi di
suatu daerah tujuan wisata, sementara itu terdapat hal lain yang masih diperlukan
untuk pengembangannya yakni sarana akomodasi dan transportasi. Pendit (2006)
menjelaskan bahwa terdapat 3 kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh suatu
daerah untuk menjadi Daerah Tujuan Wisata, yaitu: 1) memiliki atraksi dan objek
wisata yang menarik, 2) mudah dicapai dengan alat-alat kendaraan, dan 3)
tersedianya tempat untuk tinggal sementara.
Model pengembangan kepariwisataan bermacam-macam, dan untuk
memilih salah satu model merupakan pilihan yang tidak mudah untuk
menentukannya. Apabila menginginkan pengembangan kepariwisataan dengan
tujuan mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya dengan memperoleh
keuntungan besar biasanya berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan atau
sebaliknya dengan membatasi jumlah kunjungan wisatawan sehingga keuntungan
terbatas tetapi kondisi objek wisata akan tetap lestari. Berbagai pertimbangan
diperlukan untuk memilih salah satu model pengembangan kepariwisataan yang
diinginkan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |485
DAMPAK PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN
Seiring dengan kepariwisataan yang berkembang di suatu lokasi kawasan
objek wisata, yang berarti manusia telah mengubah lingkungan yang ada
sebelumnya, maka perlu dipelajari segala macam akibat terjadinya perubahan
lingkungan tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk menghasilkan langkah-langkah
tertentu, selanjutnya untuk memperkecil dampak negatip yang muncul. Akan
tetapi sebelum dikembangkan dapat dipelajari dampak yang mungkin timbul
akibat perlakuan yang direncanakan terhadap alam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sesuai dengan usaha pengembangan
kepariwisataan di suatu lokasi kawasan objek wisata, sedikit atau banyak akan
timbul dampak terhadap alam dan atau penduduk di sekitarnya. Dampak yang
timbul bersifat positip atau negatip, berskala besar atau kecil akibat adanya suatu
kegiatan dan kontak langsung atau tidak langsung antar wisatawan dengan
masyarakat yang menjadi mitra wisatawan. Dengan adanya kegiatan dan kontak
tersebut dapat menimbulkan perubahan terhadap lingkungan alam dan sosial
budaya masyarakat setempat akibat pengaruh wisatawan.
Kegiatan atau usaha baru yang muncul, akan membuka lapangan kerja
baru pula, dan memerlukan tenaga kerja untuk mengisi peluang tersebut. Kegiatan
ini merupakan hal yang baik apabila dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat,
dan berakibat sebaliknya apabila tidak dapat memenuhinya. Dampak negatip yang
mungkin timbul misalnya keresahan dan kecemburuan masyarakat akibat
masyarakat hanya menjadi penonton dan memungkinkan memicu timbulnya
gangguan keamanan yang berakibat lebih lanjut terhadap kelangsungan kegiatan
kepariwisataan di suatu tempat.
Bagi masyarakat yang bersikap positip, peluang kerja ada di berbagai
sektor maupun pada berbagai tingkat kualifikasi, akan disikapi dengan cara
menambah maupun meningkatkan keahliannya dengan berbagai cara untuk
486| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
menangkap peluang yang ada. Jika hal ini terjadi, di satu sisi dapat meningkatkan
kesejahteraan mereka dengan bekerja di sektor pelayanan pariwisata, namun di
sisi lain dapat meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena kemungkinan tidak
cukup menjanjikan hasilnya. Dengan berpindahnya pekerjaan yang lebih banyak
ke sektor pariwisata, dimungkinkan terjadi persaingan usaha yang menjurus tidak
sehat dan akan merugikan mereka. Sementara bidang pekerjaan yang ditinggalkan
mereka makin tidak diminati. Hal ini sangat merugikan apabila pekerjaan yang
ditinggalkan adalah bidang penghasil bahan pokok yang berdampak pada
ketergantungan mereka pada daerah lain.
Seni tradisional, musik tradisional, adat kebiasaan maupun adat istiadat
dapat berkembang apabila masyarakat mampu berperan dalam kegiatan industri
pariwisata untuk menjadikan atraksi yang lebih menarik bagi wisatawan.
Sebaliknya akan terjadi kepunahan apabila masyarakat setempat tidak mampu
mengembangkan menjadi hal yang menarik justru tertarik pada sesuatu yang
berasal dari luar lingkup mereka.
Pariwisata telah berkembang menjadi salah satu kegiatan yang cukup
besar karena melibatkan industri pariwisata, seperti perusahaan transportasi,
akomodasi, katering, jasa, dsb. Perkembangan yang cukup pesat sering
menimbulkan masalah dengan munculnya dampak negatip secara ekologis, sosial
ekonomi dan budaya yang disebabkan karena pariwisata yang berkembang lebih
bersifat masal, tidak ramah lingkungan dan tidak melibatkan penduduk lokal.
Ditinjau dari aspek ekologi, dampak negatip yang mungkin timbul adalah
kerusakan atau perubahan bentang darat (landscape), perubahan ekosistem
maupun keanekaragaman hayati karena hanya menitikberatkan pada keuntungan
ekonomi. Hal ini terjadi pada pariwisata masal (konvensional), yakni terjadi
peningkatan jumlah kedatangan wisatawan yang berarti peningkatan keuntungan
ekonomi sehingga mendorong pembangunan fasilitas wisata untuk memenuhi
kebutuhan wisatawan yang selelu meningkat. Namun kadang-kadang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |487
pembangunan tidak ramah terhadap lingkungan penduduk lokal dan dapat
menimbulkan tekanan yang berat bagi lingkungan di lokasi wisata (Fennel,1999).
Pada lokasi objek wisata yang berkembang, transportasi dan jumlah
wisatawan akan meningkat sehingga dapat menimbulkan perubahan kualitas
udara, tanah, air, maupun kesehatan manusia melalui polusi yang terjadi. Aktivitas
wisatawan dapat mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga terjadi perubahan
habitat dan populasi jenis kehidupan. Dimungkinkan pula terjadi proses urbanisasi
yang akan merubah struktur penduduk di tempat tersebut yang berakibat daya
dukung lingkungan terlampaui sehingga memerlukan berbagai tambahan sumber
energi, pangan, air, maupun tanah. Dengan demikian, industri pariwisata yang
melibatkan banyak aspek kegiatan dapat menimbulkan dampak negatip terhadap
lingkungan, baik lingkungan biotik mapupun abiotik. Untuk mengatasi hal itu
diperlukan langkah-langkah tertentu dalam pengembangan kepariwisataannya.
Aktivitas dari wisatawan yang berjumlah banyak seringkali melebihi
kapasitas daya dukung lingkungan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan,
terlebih lagi dengan adanya polusi udara, air dan tanah akibat sampah dan
transportasi. Kerusakan lingkungan ini akan menurunkan keindahan objek wisata
yang akhirnya akan mengurangi kemampuan lokasi wisata dalam memberikan
keuntungan ekonomi melalui berkurangnya wisatawan yang berkunjung
(Lindberg, 2002).
Pada aspek ekonomi, banyak devisa yang digunakan untuk pengembangan
pariwisata dengan mengimport berbagai kebutuhan untuk fasilitas wisata bagi
keperluan wisatawan asing, ini banyak terjadi di negara berkembang. Namun
secara makro, keuntungan yang diterima hanya semu karena valuta asing yang
masuk dan belanja wisatawan asing lebih kecil daripada untuk mengimpor
barang-barang kebutuhan wistawan (Hitchcock, 1999).
488| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Penyerapan tenaga kerja tidak menguntungkan bagi penduduk lokal,
karena ketidak sesuaian antara kebutuhan dengan persediaan. Sektor pariwisata
lebih mengutamakan tenaga kerja siap pakai dengan standar pendidikan,
ketrampilan dan pekerjaan tertentu. Akibatnya masyarakat lokal akan sulit terlibat
dalam kegiatan pariwisata (Pearche & Buttler, 1999).
Hilangnya mata pencaharian penduduk lokal secara permanen akibat
lahan-lahan yang sebelumnya digunakan untuk bekerja beralih fungsi untuk
kegiatan wisata dan hal itu tidak mutlak bagi penduduk lokal untuk beralih
pekerjaan. Sektor pariwisata hanya aktif pada musim liburan, hal ini membuat
penduduk lokal menganggur pada musim sepi pengunjung (bukan musim liburan).
Pada aspek sosial budaya, terjadi pengaruh budaya asing ke dalam budaya
lokal yang kadang-kadang tidak sesuai sehingga terjadi perubahan kebiasaan
hidup masyarakat yang buruk akibat interaksi antara penduduk lokal dengan
wisatawan.
EKOWISATA
Akhir-akhir ini telah berkembang dan banyak dikaji dalam dunia
kepariwisataan yaitu ekowisata. Pada dasarnya ekowisata merupakan kegiatan
wisata yang berhubungan dengan alam namun berbeda dengan wisata alam,
sifatnya juga berbeda dengan jenis pariwisata yang lain yaitu pariwisata yang
bersifat tidak masal. Aktivitas pada ekowisata hanya melibatkan wisatawan dalam
jumlah terbatas dengan maksud untuk menghindari dampak negatip dari aktivitas
wisatawan terhadap lingkungan objek wisata.
Wisata alam pada dasarnya merupakan kegiatan pariwisata yang
atraksinya adalah alam, dalam hal ini wisatawan melakukan sesuatu maupun
menyaksikan sesuatu terhadap alam tanpa memperhatikan akibat yang mungkin
timbul dari kegiatannya. Untuk dapat membedakan wisatawan alam dengan
ekowisata dapat diketahui dari karakteristik ekowisatanya, yakni: 1) memberikan
dampak negatif yang paling minimum bagi lingkungan dan masyarakat lokal, 2)
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |489
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan baik pada pengunjung maupun
penduduk lokal, 3) berfungsi sebagai lahan untuk pendidikan dan penelitian baik
untuk penduduk lokal maupun pengunjung, 4) semua elemen yang terlibat harus
memberi dampak positip berupa konstribusi langsung untuk kegiatan konservasi,
5) memaksimalkan partisipasi masyarakat local dalam pengelolaannya, 6)
memberi manfaat ekonomi bagi penduduk lokal berupa kegiatan ekonomi
tradisional.
Ekowisata sebagai wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus
pada pengalaman pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan
tertentu dan memberikan dampak negatip paling rendah pada lingkungannya,
tidak konservatif dan berorientasi lokal (Fennel, 1999).
PENGEMBANGAN EKOWISATA.
Sehubungan dengan dampak negatip yang muncul, perlu diciptakan
pariwisata yang dapat memberi manfaat kepada penduduk lokal. Pengembangan
wisata alternatif yang dapat memenuhi tuntutan secara ekonomis, sosiokultural
pada penduduk lokal maupun tuntutan secara ekologis adalah kegiatan pariwisata
berkelanjutan.
Konsep pariwisata berkelanjutan menurut World Tourism Organization
(2002) memfokuskan sebagai kegiatan wisata yang mempertemukan kepentingan
pengunjung dan penerima dengan menjaga kesempatan bagi generasi mendatang
untuk dapat pula menikmati wisata ini. Untuk itu diperlukan adanya sebuah
pengelolaan tertentu atas lingkungan dan sumberdaya yang tersedia agar dapat
memenuhi kepentingan ekonomi, sosial dan estetika dan tetap menjaga integritas
budaya, proses ekologis yang penting, keanekaragaman hayati dan sistem
pendukung kehidupan.
490| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Didapati banyak konsep tentang pariwisata berkelanjutan dan secara
umum mempunyai kesamaan. Hidayati (2003) menjelaskan bahwa kegiatan
wisata dianggap berkelanjutan apabila memenuhi syarat: 1) Secara ekologis
berkelanjutan, yakni pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatip
bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus
diupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatip
kegiatan wisata. 2) Secara sosial dapat diterima yaitu mengacu pada kemampuan
penduduk lokal untuk usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial. 3)
Secara kebudayaan dapat diterima, yakni masyarakat lokal mampu beradaptasi
dengan budaya wisatawan yang berbeda. 4) Secara ekonomis menguntungkan,
yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan atau pembangunan kawasan wisata berwawasan
lingkungan adalah aspek lain yang memperhatikan pengembangan berkelanjutan.
Cara tersebut sering dinamakan pengembangan ekowisata. Pada prinsipnya,
pengembangan ekowisata memperhatikan kelestarian lingkungan dan berorientasi
pada masyarakat lokal, atau memperkecil efek negatip dari kegiatan wisata baik
secara ekologis maupun yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat lokal,
selain itu juga tidak mengurangi atau merusak sumberdaya alam.
Untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan dan berbasis
masyarakat diperlukan adanya sistem pengelolaan terpadu. Sistem ini melibatkan
adanya sistem perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang mampu
mengintegrasikan semua kepentingan stake holders seperti pemerintah,
masyarakat lokal, pelaku bisnis pariwisata, peneliti, akademisi, wisatawan,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan sebagainya.
Pada sistem pengelolaan terpadu diperlukan sinergi antara pengelola
wisata dengan wisatawan (Fennel, 1999). Sisi pengelola terdiri dari operator
wisata, pengelola sumberdaya dan pemberdayaan masyarakat, sedangkan dari sisi
wisatawan meliputi pemasaran, pengelolaan wisatawan dan perilaku wisatawan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |491
Selanjutnya Fennel (1999) menjelaskan bahwa operator wisata harus
menyediakan semua keperluan wisatawan dan menyampaikan semua informasi
yang berkaitan dengan kegiatan ekowisata, memastikan terdapat kegiatan
konservasi yang dapat dilakukan wisatawan. Pengelola sumberdaya bertugas
mengelola secara profesional atas sumberdaya yang ada di kawasan wisata
sehingga lingkungan alam dan budaya terlindungi, memperkecil dampak negatif
dalam pengembangannya. Pemberdayaan masyarakat yang merupakan pengelola
wisata bertujuan meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat lokal melalui
berbagai cara sehingga masyarakat lokal mampu membuat keputusan sendiri
dalam pengembangan ekowisata.
Dari sisi wisatawan, pemasaran kepada wisatawan perlu menyampaikan
informasi secara tegas bahwa kawasan wisata yang disampaikan merupakan
kawasan ekowisata yang berbeda dengan kawasan wisata konvensional. Hal ini
otomatis dapat digunakan sebagai filter bagi wisatawan yang datang, yakni hanya
wisatawan yang peduli pada kelestarian lingkungan sehingga lingkungan dapat
terjaga kelestariannya. Pengelolaan wisatawan dimaksudkan untuk membatasi
jumlah wisatawan sehingga tidak melampaui daya dukung lingkungannya.
Mengingat pola jumlah kunjungan wisatawan yang bersifat musiman, maka perlu
pengelolaan sumberdaya masyarakat perlu dilakukan. Pada saat liburan dapat
disajikan atraksi budaya lebih sering, namun pada saat itu pembatasan jumlah
wisatawan tetap dilakukan. Dengan pengaturan seperti itu masyarakat lokal dapat
bekerja di sektor lain di luar bidang kepariwisataan pada saat sepi pengunjung.
Perilaku wisatawan dapat berpengaruh terhadap kelestarian lokasi ekowisata,
dalam pengelolaannya perlu ditekankan kepada wisatawan bahwa kegiatan wisata
yang dilakukan hanya kegiatan yang telah ditentukan dalam paket kegiatan
ekowisata yakni mencintai dan melindungi lingkungan serta memperhatikan
kesejahteraan masyarakat lokal. Perilaku positip wisatawan pada lingkungan
492| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
berpengaruh terhadap pemahaman penduduk lokal karena dalam kegiatan
ekowisata akan terjadi interaksi antara wisatawan denga masyarakat lokal.
Pengembangan ekowisata akan memberdayakan masyarakat lokal melalui
kegiatan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh aktivitas
ekowisata. Pola ekowisata akan secara simultan melestarikan flora, fauna, sosial
budaya masyarakat lokal dan secara ekonomi sangat menguntungkan. Dari sisi
ekonomi kekayaan flora dan fauna serta keberadaan kawasan konservasi akan
menciptakan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja. Keuntungan ekonomi yang
besar dapat digunakan untuk upaya konservasi sumberdaya alam. Sedangkan
keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekowisata akan menjamin keamanan dan
keberadaan sumberdaya alam tersebut.
Wood (2002) mengatakan bahwa pengembangan lokasi kawasan wisata
menjadi lokasi kawasan ekowisata dikatakan berhasil apabila masih menunjukkan
karakter : 1) keaslian alam terpelihara dengan pemanfaatan yang terjaga, 2)
pengembangan landscape tidak mendominasi, 3) pemanfaatan bisnis lokal dalam
skala kecil (warung makanan atau kerajinan tangan), 4) pembuatan zonasi untuk
kegiatan rekreasi dapat dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan wisatawan, 5)
pengembangan berbagai events dan atrkasi yang menampilkan budaya lokal, 6)
pembanguan fasililitas umum yang bersih dan terjaga baik yang dapat
dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan wisatawan, 7) interaksi bersahabat antara
pengunjung dan penduduk lokal di lokasi wisata.
Untuk melaksanakan pengembangan ekowisata diperlukan adanya
operator wisata yang harus memastikan bahwa terdapat kegiatan konservasi baik
langsung maupun tidak langsung yang dilakukan wisatawan dan pemerintah.
Wisatawan dapat melakukan kegiatan konservasi langsung seperti penanaman
pohon atau penyebaran bibit di lokasi ekowisata, sedangkan secara tidak langsung
dapat dilakukan dengan membayar tiket masuk yang telah ditetapkan atau
memberi sumbangan /donasi yang dipergunakan untuk konservasi di lokasi
tersebut. Pemerintah sebagai otoritas pemegang kebijakan menyediakan dana
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |493
konservasi untuk kelangsungan pengembangan ekowisata, karena kadang-kadang
dalam jangka waktu lama merupakan usaha yang belum ekonomis atau belum
menguntungkan.
Keberhasilan pengembangan ekowisata tergantung pada beberapa hal yang
dapat dibagi menjadi 3 faktor utama, yaitu faktor internal, faktor eksternal, dan
factor struktural. Faktor internal dapat diklasifikasikan seperti potensi untuk
pengembangan ekowisata, pengetahuan operator tentang pelestarian lingkungan,
partisipasi penduduk lokal. Faktor eksternal merupakan faktor kunci yang berasal
dari luar lokasi ekowisata seperti kesadaran wisatawan akan kelestarian
lingkungan dan masyarakat lokal. Faktor struktural adalah faktor yang
berhubungan dengan kelembagaan, kebijakan regulasi pengeloaan kawasan wisata
tingkat lokal, regional, nasional/internasional (Hidayati, 2013).
Berhubung dalam pengembangan ekowisata melibatkan banyak pihak,
kemungkinan terjadi kendala amatlah besar, kerjasama yang baik dari ke 3 faktor
utama di atas merupakan kunci keberhasilan pengembangannya. Pada satu sisi ke
3 faktor tersebut dapat menunjang keberhasilan, pada sisi yang lain dapat
menghambat pengembangan ekowisata sehubungan dengan kendala-kendala yang
muncul sehubungan dengan kondisi masing-masing faktor.
TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA.
Potensi sumberdaya yang sangat besar, yakni potensi alam dan budaya,
merupakan peluang yang sangat prospektif untuk pengembangan ekowisata,
namun kemampuan untuk merubah potensi yang dimiliki tersebut menjadi potensi
ekonomi belum dapat dilakukan secara optimal. Tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis (dan politis) tersebut
menjadi keunggulan kompetitif di pasar bebas.
494| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Tantangan lainnya dalam pengembangan ekowisata adalah lemahnya
kemampuan dalam pengelolaan data dan informasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Data dan informasi tentang jumlah, jenis, perilaku serta ekosistem
flora dan fauna masih sangat terbatas. Padahal data tersebut merupakan dasar
untuk merancang dan menyususn program ekowisata di suatu kawasan. Selain itu
sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekowisata juga masih
terbatas, sementara masih rendahnya Sumberdaya Manusia dari segi pendidikan
masih merupakan kenyataan yang masih harus dihadapi.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan masih
sangat tertingal juga merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan
ekowisata. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan umumnya terbelakang dalam
pendidikan dan ekonominya, sehingga mereka tidak atau kurang paham terhadap
kaidah konservasi.
Potensi keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, sebagai tempat
kegiatan ekowisata, akan lestari jika dapat mengatasi berbagai kendala yang
terjadi di lapangan. Sementara itu secara kelembagaan yang ada sebagai alat
manajemen belum efektif. Selain itu penanganannya masih bersifat sentralistik
sementara pada setiap kawasan ekowisata sangat spesifik sifatnya. Hal ini
menyebabkan manajemen pengelolaan tidak akan berfungsi secara efektif.
Mengingat masih besarnya kendala dalam pelaksanaannya di lapangan,
maka peran berbagai stake holder, dan semua pihak yang terkait harus bekerja
secara sinergis untuk menyelesaikan permasalahan tersebut di atas. Pembangunan
sistem informasi manajemen konservasi sumberdaya alam merupakan suatu hal
yang sangat diperlukan. Secara makro diperlukan tindakan penyempurnaan
kebijakan dan institusi, serta penguatan institusi.
Pengembangan suatu kawasan menjadi tujuan ekowisata memerlukan
perencanaan yang matang, waktu yang cukup lama dan upaya kerja keras agar
tujuan ekowisata dapat terpenuhi. Mengembangkan kegiatan ekowisata memang
bukan kegiatan yang mudah, memerlukan keahlian dari berbagai disiplin ilmu dan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |495
melibatkan berbagai stake holder. Hal itu disebabkan karena kegiatan ekowisata
yang tidak terencana dengan baik akan mempunyai resiko besar, bukan saja
mengakibatkan kegagalan tetapi yang lebih berbahaya adalah dampak negatip
yang ditimbulkannya justru lebih besar daripada dampak positipnya, berupa
rusaknya sumberdaya tersebut.
CARYING CAPASITY
Untuk mengatasi dampak negatip yang ditimbulkan, maka sejak awal
proses perencanaan, penerapan dan pengelolaannya harus mempertimbangkan
aspek lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Secara strategik carrying capasity
(daya dukung) harus menjadi ukuran baku dalam mengukur jumlah pengunjung,
jenis kegiatan, dan waktu kunjungan serta pembanguna fasilitas wisata.
Akibat kepariwisataan yang berkembang, dampak negatip pasti muncul
dan tidak dapat dihilangkan, namun dengan berbagai usaha dapat diperkecil.
Dengan memperkecil dampak negatip yang timbul akibat kegiatan industri
pariwisata dan menyesuaikan dengan daya dukung lingkungan, maka
pengembangan lokasi objek wisata tidak akan menimbulkan banyak kerugian atau
kerusakan yang besar di masa mendatang. Dengan demikian ada hubungan timbal
balik yang serasi antara manusia dengan lingkungan dan kelestarian lingkungan
dapat terjagadengan baik secara terus menerus.
Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai tingkat kehadiran
wisatawan yang membawa dampak terhadap masyarakat lokal, lingkungan dan
ekonomi yang masih dapat di toleransi oleh wisatawan dan masyarakat dan
menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang. Disini pentingnya
mengatur jumlah kehadiran wisatawan pada periode waktu tertentu yang
ditentukan oleh beberapa faktor yaitu lamanya tinggal, karakteristik wisatawan,
konsentrasi wisatawan saat berkunjung, dan musim-musim liburan.
496| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Konsep daya dukung disamping dapat mencegah kerusakan lingkungan
juga dapat mencegah penurunan nilai ekonomi dari lokasi wisata. Dengan konsep
daya dukung kondisi lingkungan kawasan wisata akan lestari sehingga keunikan
dan keindahan alam sebagai daya tarik wisata akan tetap terjaga. Dengan
demikian akan menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang.
Daya dukung mempertimbangkan aspek fisik, ekologi, psikologi dan
sosial sehingga dalam penerapannya bervariasi menurut tempat dan kondisi yang
berbeda pula, artinya setiap nilai daya dukung lingkungan di suatu tempat tidak
dapat diterapkan di tempat lain. Dengan demikian daya dukung bukan konsep
yang tetap tetapi keputusan manajemen yang bersifat spesifik dan dinamis.
Untuk pengembangan lokasi objek wisata, kajian daya dukung lingkungan
belum banyak dikembangkan karena tidak mudah mengingat unsur-unsur
lingkungan dari satu tempat dengan tempat lain tidak sama. Pada dasarnya daya
dukung lingkungan digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu kawasan
objek wisata untuk menampung sejumlah wisatawan dalam jangka waktu tertentu
dan wisatawan memperoleh apa yang menjadi tujuan melakukan wisata dengan
perasaan senang, puas dan nyaman. Kondisi tersebut akan akan tercapai apabila
lokasi objek wisata dalam kondisi tetap baik atau tidak mengalami kerusakan.
Kemampuan kawasan objek wisata untuk menampung sejumlah
wisatawan ada batasnya, pada kondisi sedikit wisatawan kawasan objek wisata
masih mampu memberi rasa senang, puas dan nyaman terhadap wisatawan.
Dalam jangka waktu tertentu, apabila jumlah wisatawan bertambah terus, pada
saat tertentu dimana jumlah wisatawan terlalu banyak, maka rasa senang, puas
dan nyaman tidak akan diperoleh wisatawan. Hal ini merupakan reaksi yang
diberikan oleh lingkungan wisata terhadap wisatawan karena adanya perubahan
situasi akibat kepadatan wisatawan, bahkan aksi wisatawan yang sulit dikontrol
sehingga merusak lingkungan.
Tidak mudah untuk mengetahui daya dukung lingkungan di suatu kawasan
objek wisata, dan dimungkinkan akan diperoleh angka yang berbeda untuk setiap
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |497
jenis objek wisata yang sama. Hal itu dapat terjadi karena lingkungan lokasi objek
wisata berbeda ditambah dengan karakter wisatawan yang berbeda pula, unsur-
unsur lingkungan yang membentuknya berbeda maka hasil interaksi antara
manusia dengan lingkungannya berbeda antara lokasi kawasan wisata yang satu
denga lainnya.
PENUTUP
Keparwisataan dengan segala aspeknya merupakan salah satu sektor
unggulan dalam meningkatkan perekonomian suatu negara, oleh karena itu
pembangunan dan pengembangan kepariwisataan perlu diupayakan.
Pembangunan kepariwisataan dikembangkan untuk dijadikan sarana menciptakan
kesadaran akan identitas nasional dan kebersamaan dalam keragaman disamping
untuk memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan
penerimaan devisa, serta memperkenalkan alam dan budaya bangsa.
Pengembangan kepariwisataan meliputi banyak aspek yaitu atraksi atau
objek wisata, akomodasi, infrastruktur, transportasi, fasilitas penunjang
kepariwisataan, sumberdaya manusia, dan wisatawan sebagai konsumen objek
wisata. Salah satu model pengembangan kepariwisataan dapat diterapkan dari
beberapa model yang sudah dikembangkan tergantung dari potensi dan tujuan
yang diinginkan. Kerjasama dari semua pihak akan mempengaruhi tingkat
keberhasilan pengembangan kepariwisataan yang ingin dicapai.
Pembangunan dan pengembangan kepariwisataan memerlukan arah yang
benar agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan terhadap budaya bangsa
maupun kondisi alam di sekitar objek wisata. Pengembangan ekowisata
merupakan arah yang tepat, pengembangan ini pada dasarnya akan mengurangi
dampak negatip yang mungkin muncul dan mempertahankan kondisi alam dan
masyarakat agar tettap lestari. Pembatasan jumlah wisatawan yang berkunjung
498| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
sesuai dengan daya dukung lingkungannya dan pelibatan masyarakat lokal
merupakan hal yang utyama dalam pengembangan ekowisata ini.
DAFTAR PUSTAKA
Darsoprajitno, H.S., 2012. Ekologi Pariwisata. Tatalaksana Pengelolaan Objek
dan Daya Tarik Wisata. Bandung: Angkasa
Fennel, D.A., 1999. Ecotourism: An Introduction. London: Rouledge
Hall, L.M., and Page, S.J., 1999. The Geography of Tourism and Recreation
Environtment, Place and Space. London: Routledge
Hidayati, D., 2013. Ekowisata. Pembelajaran Dari Kalimantan Timur. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Hitchcock, R.K., 1999. Toward Self-sufficiency. Cultural Survival Quarterly.
17(2):51-52
Karsidi, A., 2012. Informasi Geospasial Mangrove Di Indonesia. Jakarta: Pusat
Pemetaan dan Integrasi Tematik Badan Informasi Geospasial.
Lindberg, K., 2002. Policies for Maximising NatureTourism's Ecological and
Economic Benefits. Washingtin DC: World Resources Institute.
Pendit, N.S., 2006. Ilmu Pariwisata. Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT
Pradnya Paramita.
Sumarmi dan Amirudin., 2014. Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan
Lokal. Malang: Aditya Media Publishing
Sutedjo, A., Murtini, S., 2007. Geografi Pariwisata. Surabaya: Unesa University
Press .
Gunn, C.A., 2012. Tourism Planning. Basics, Concepts, Cases. New York:
Routledge
Wood, M.E., 2002. Ecotourism: Principles, Practices, and Policies for
Sustainability. UNEP
WTO (World Tourism Organization), 2002. Sustainable Development of
Ecotourism. Web Conference.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |499
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA
Meirinawati, Indah Prabawati
Jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Surabaya
meirinawati91@yahoo.co.id
prabawatiindah@yahoo.co.id
Abstrak
Pembangunan desa merupakan seluruh kegiatan yang berlangsung di pedesaan,
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, dilaksanakan secara terpadu dengan
mengembangkan swadaya gotong-royong masyarakat. Dalam rangka pembangunan desa,
diperlukan pengorganisasian yang dapat menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan desa, serta melaksanakan administrasi pemerintahan desa
Dalam penyelenggaraan pembangunan desa, masyarakat memiliki hak untuk
berpartisipasi. Partisipasi merupakan peran serta warga desa baik dalam merencanakan,
melaksanakan, mempertanggungjawabkan maupun dalam menerima hasil-hasil
pembangunan Partisipasi merupakan peran serta warga desa baik dalam merencanakan,
melaksanakan, mempertanggungjawabkan maupun dalam menerima hasil-hasil
pembangunan. Partisipasi masyarakat bisa juga dianggap sebagai tolok ukur dalam
menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan desa atau
bukan.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh tiga unsur
utama, yaitu 1). Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk ikut
berpartisipasai,2). Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, 3) Adanya
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Adapun bentuk partisipasi masyarakat
dalam sebagai berikut : 1)Partisipasi dalam bentuk pengambilan keputusan, 2).
Partisipasi dalam bentuk pelaksanaan kegiatan, 3). Partisipasi dalam bentuk
pemanfaatan hasil, 4) Partisipasi dalam bentuk penilaian atau evaluasi.
Kata Kunci: partisipasi masyarakat, pembangunan desa
PENDAHULUAN
Pembangunan pedesaan dewasa ini mampu membawa Bangsa
Indonesia meraih keberhasilan dalam pembangunan fisik.. Dalam
penyelenggaraan pembangunan desa, masyarakat memiliki hak untuk
berpartisipasi. Masyarakat dapat memanfaatkan potensi desa maupun peluang
500| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Masyarakat desa dianggap dapat
memahami permasalahan dan kebutuhan mereka. Akan tetapi seringkali yang
terjadi masyarakat kurang peduli terhadap pembangunan desanya. Selain itu,
pembangunan pedesaan di Indonesia dipandang kurang didasarkan pada upaya
untuk mengembangkan kapasitas penduduk sebagai individu dan bagian dari
suatu komunitas.
Kondisi masyarakat pedesaan yang semakin berkembang seperti
sekarang ini, pemerintah desa merupakan penggerak utama pembangunan
pedesaan. Dalam rangka mempercepat pembangunan pedesaan, tidak hanya
mengandalkan peran pemerintah desa tetapi juga dibutuhkan kerjasama
dengan masyarakat. Dengan partisipasi aktif masyarakat desa, pembangunan
desa di Indonesia dapat dilakukan secara optimal
PARTISIPASI MASYARAKAT
Perkembangan kehidupan manusia yang makin meningkat membawa
akibat berkembangnya pembangunan yang merupakan sarana manusia untuk
mencapai tujuan hidupnya. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
pembangunan bersifat berhubungan satu sama lain sebagai satu kesatuan.
Untuk itu perlu diusahakan oleh pemerintah bagaimana mengupayakan dan
mengembangkan suatu pola pembangunan daerah yang makin meluas dan
melibatkan semua kekuatan yang ada dalam masyarakat, karena potensi-
potensi yang ada dalam masyrakat tersebut akan merupakan salah satu
kekuatan yang dapat menunjang keberhasilan pembangunan di era otonomi ini.
Istilah partisipasi menurut Mardikanto dan Poerwoko Soebiato (2013)
adalah keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam
suatu kegiatan. Keikutsertaan tersebut dilaksanakan sebagai akibat adanya
interaksi sosial antara individu dengan anggota masyarakat yang lain (Raharjo,
2004). Sebagai suatu kegiatan, menurut Verhangen dalam Mardikanto dan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |501
Poerwoko Soebiato (2013) partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari
interaksi dan komunikasi yang berhubungan dengan pembagian kewenangan,
tanggung jawab dan manfaat. Adanya interaksi dan komunikasi didasarkan
pada kesadaran yang dipunyai yang bersangkutan tentang :
1. Kondisi yang tidak memuaskan yang harus diperbaiki
2. Perbaikan kondisi tersebut melalyu kegiatan manusia atau masyarakat
sendiri
3. Kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan yang bisa dilaksanakan
4. Adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan bantuan yang
berguna untuk kegiatan yang bersangkutan
Sedangkan Hoofsteede dalam Khairuddin (2003) menjelaskan bahwa
partisipasi didefinisikan ambil bagian dalam satu tahap atau lebih dari suatu
proses pembangunan. Hal ini berarti bahwa terdapat tiga hal pokok, yaitu:
1. Partisipasi merupakan keterlibatan mental emosional;
2. Partisipasi menghendaki adanya konstribusi terhadap kepentingan atau
tujuan kelompok;
3. Partisipasi merupakan tanggungjawab terhadap kelompok.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
partisipasi merupakan peran serta warga desa baik dalam merencanakan,
melaksanakan, mempertanggungjawabkan maupun dalam menerima hasil-
hasil pembangunan. Partisipasi masyrakat bisa juga dianggap sebagai tolok
ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek
pembangunan desa atau bukan.
502| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Wilcox dalam Mardikanto dan Soebiato (2013) mengemukakan tentang
tingkatan atau tahapan partisipasi masyarakat, yang terdiri dari:
1. Memberikan informasi (information)
2. Konsultasi (consultation), yaitu menawarkan pendapat sebagai pendengar
yang baik untuk memberikan umpan balik tetapi tidak terlibat dalam
implementasi ide dan gagasan tersebut.
3. Pengambilan Keputusan bersama (deciding together) dalam arti
memberikan dukungan terhadap ide, gagasan, pilihan-pilihan serta
mengembangkan peluang yang diperlukan guna pengambilan keputusan.
4. Bertindak bersama (acting together), hal ini tidak sekedar ikut dalam
pengambilan keputusan tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam
pelaksanaan kegiatannya.
5. Memberikan dukungan (supporting independent community interest),
dalam hal ini kelompok-kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat,
dan dukungan lain untuk mengembangkan agenda kegiatan.
Keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembangunan,
terdapat kseukarelaan masyarakat untuk melibatkan diri dalam pembangunan.
Dusseldorp dalam Mardikanto dan Soebiato (2013) membedakan beberapa
jenjang kesukarelaan yaitu:
1. Partisipasi spontan, ialah peran serta yang tumbuh karena motivasi
intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinan sendiri
2. Partisipasi terinduksi, ialah peran serta yang tumbuh karena terinduksi
oleh adanya motivasi ekstrinsik, yang berupa bujukasn, pengaruh,
dorongan dari luar, walaupun mempunyai kebebasan untuk berpartisipasi
3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peran serta yang tumbuh karena
adanya tekanan yang dirasakan masyarakat pada umumnya, atau peran
sera dalam mematuhi kebiasaan, nilai dan norma yang dianut dalam suatu
masyarakat
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |503
4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial ekonomi ialah peran serta yang
dilaksanakan karena takut akan kehilangan status social atau menerima
kerugian
5. Partisipasi tertekan oileh peraturan, adalah peran serta yang dilaksanakan
karena takut mendapat hukuman atas peraturan yang berlaku
Pendapat lain dikemukakan oleh Raharjo (2004) yang mengatakan bagwa
ada tiga variasi bentuk partisipasi, adalah sebagai berikut :
1. Partisipasi terbatas adalah partisipasi yang hanya digerakkan untuk
kegiatan tertentu yang dianggap menimbulkan kerawanan bagi stabilitas
nasional dan kalangan pembangunan
2. Partisipasi penuh, yaitu partisipasi seluas-luasnya dalam aspek kegiatan
pembangunan.
3. Mobilisasi tanpa partisipasi, artinya partisipasi yang dibangkitkan oleh
pemerintah tetapi masyarakat tidak diberi kesempatan untuk
mempertimbangkan kepentingan pribadi dan tidak diberi kesempatan turut
mengajukan tuntutan maupun mempengaruhi penyelenggaraan kebijakan
PEMBANGUNAN DESA
Berjalannya suatu kegiatan sangat dipengaruhi oleh pengorganisasian,
sistem kerja, dan unsur-unsur pendukungnya, termasuk personilnya baik
secara kuantitas maupun kualitasnya.serta sarana dan prasarana yang
diperlukan. Bila hal tersebut dapat dipenuhi maka akan dapat tercapai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisian.
Pembangunan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
manusia. Hal ini seperti pendapat Kartasasmita dalam Mardikanto dan
Poerwoko Soebiato (2013) yang mengatakan bahwa pembangunan pada
504| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam arti
yang luas. Pendapat lain menurut Raharjo (2004) mengungkapkan bahwa
pembangunan mempunyai arti perubahan yang disengaja atau direncakan
dengan tujuan untuk merubah keadaan yang tidak dikehendaki menjadi
keadaan yang dikehendaki.
Tidak berbeda dengan pembangunan desa yang berdasar dari, oleh dan
untuk seluruh masyarakat desa dengan melibatkan masyarakat desa. Menurut
pendapat Sumpeno (2011) pendekatan menyeluruh yang dipakai dalam
pelaksanaan pembangunan , meliputi :
1. Perumusan kebijakan dan pendekatan pembangunan yang berupaya
untuk meletakkan kembali format, tatanan serta kelembagaan
masyarakat desa.
2. Menggunakan pengalaman pembangunan dimasa lalu untuk
memaksimalkan upaya menyelesaikan masalah pembangunan melalui
penyusunan suatu kebijakan perencanaan yang bersdifat umum serta
dilaksanakan seraca sama.
Menurut Nasikun (2000) prinsip dalam pembangunan yang utama
dilaksanakan atas dasar inisiatif dan dorongan kepentingan masyarakat, dalam
hal ini masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat didalam
pembangunan.Pendapat Tjokrowinoto dalam Mardikanto dan Poerwoko
Soebiato (2013) mengatakan ciri-ciri pembangunan yang berpusat pada rakyat
yaitu :
1. Prakarsa dan proses pengambilan kjeputusan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan
padamasyarakat sendiri
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |505
2. Fokus utama adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang terdapat di
komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka
3. Mentoleransi variasi lokal dan bersigat fleksibel menyesuaikan dengan
komndisi local
4. Menekankan proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi
kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses
perencanaan sampai evaluasi proyek dengan berdasar pada saling
belajar.
5. Proses pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan lembaga
swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang
mandiri, merupakan basgian integral dari pendekatan ini, baik untuk
meningkatkan kemampuan mereka menbgidentifikassi danmengelola
perbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur
vertical maupun horizontal.
Menurut Marbun (2002) bahwa pembangunan desa adalah seluruh
kegiatan yang berlangsung di pedesaan dan meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya
gotong-royong masyarakat. Dalam konteks pembangunan desa, diperlukan
pula pengorganisasian yang nantinya dapat menggerakkan masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan desa, serta melaksanakan administrasi
pemerintahan desa
Pembanguan desa merupakan upaya mempercepat pembangunan
pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana dalam rangka
pemberdayaan masyarakat desa serta mempercepat pembangunan
506| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
perekonomian daerah yang efektif dan kokoh (Adisasmita, 2006). Pendapat
Adisasmita (2006) menjelaskan prinsip-prinsip pokok dalam pembangunan
desa, adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan dan langkah-langkah pembangunan disetiap desa mengacu
pada pencapaian sasaran pembangunan berdasarkan trilogi
pembangunan. Trilogi pembanguan tersebut yaitu :
a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
c. Stabilitas yang sehat dan dinamis diterapkan disektor termasuk desa
dasn kota. Di setiap wilayah dan antar wilayah secara saling terkait,
serta dikembangkan secara selaras dan terpadu
2. Pembangunan desa dilaksanakan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Penerapan prinsip berkelanjutan mensyaratkan setiap daerah lebih
mengutamakan sumber-sumber alam yang terbaharui sebagai sumber
pertumbuhan. Setiap desa menggunakan sumber daya manusia secara
luas, memanfaatkan modal fisik, prasarana mesin-mesin dan peralatan
dengan secara efisien.
3. Meningkatkan efisiensi masyarakat melalui kebijakan deregulasi,
debirokratisasi dan desentralisasi dengan sebaik-baiknya.
Penyelenggaraan pembangunan desa diarahkan untuk menggunakan
secara optimal sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang tersedia.
Potensi sumber daya alam merupakan kekayaan alam yang terdapat di lokasi
dimana desa tersebut berada sedangkan pemanfaatan potensi sumber daya
manusia dapat dikembangkan melalui peningkatan kualitas hidup,
peningkatan keterampilan, peningkatan prakarsa, dengan mendapatkan
bimbingan dan bantuan dari pemerintah, sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |507
Penerapan pembangunan desa dibutuhkan kerjasama yang erat antar
daerah satu dengan daerah lainnya dalam satu wilayah dan antar satu wilayah.
Pembangunan desa dilaksanakan dengan pendekatan secara multisektoral,
partisipatif, berkelanjutan serta melakukan pemanfaatan sumber daya
pembangunan secara serasi dan selaras serta sinergis yang akan tercapai
optimalisasi.
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA
Partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkan
dalam proses pembangunan desa. Agar tercipta partisipasi masyarakat maka
pemerintah dalam hal ini harus memberikan kepercayaan kepada
masyarakatnya untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan desa.
Menurut pendapat Slamet dalam Mardikanto dan Poerwoko Soebiato (2013)
mengatakan bahwa untuk tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh tiga unsur utama, yaitu :
1. Adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk ikut
berpartisipasai
Berbicara kesempatan adalah sebagai berikut :
a. Kemauan politik dari penguasauntuk mengikutsertakan masyarakat
dalam pembangunan
b. Kesempatan untuk mendapatkan informasi pembvangunan
c. Kesempatan menggunakan seumber daya untuk pelaksanaan
pembangunan
d. Kesemptana mendapat dan memakai teknologi yang sesuai
e. Kesempatan berorganisasi
508| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
f. Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang dapat
menumbuhkan, menggerakkan dan mengembangkan serta
memelihara partisipasi masyarakat
2. Adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi
Kemauan merujuk pada pada :
a. Sikap untuk meniunggalkan nilai-nilai yang menghambat
pembangunan
b. Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada
umumnya
c. Sikap untuk sekaku ingin memperbaiki kualitas hidup serta tidap[
cepat puas diri
d. Sikap kebersamaan untukn memecahkan masalah dan tercapainya
tujuan pembangunan
e. Sikap mandiri atau percaya diri atas kemampuan untuk
memperbaiki kualitas hidupnya
3. Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
Kemampuan mengandung arti :
a. Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan untuk
membangun atau mempunyai pengetahuan untuk memperbaiki
kualkitas hidup)
b. Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan
c. Kemampuan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi dengan
memanfaatkan sumberdaya dan peluang yang tersedia secara
optimal
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |509
Berdasarkan pendapat diatas maka menurut Mardikanto dan Poerwoko
Soebiato (2013) upaya yang dilakukan dalam tumbuh dan berkembangnya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian kesempatan yang dilandasi pengertian bahwa masyarakat
memiliki kemampuan dan kearifan tradisional berkaitan dengan
pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidupnya
2. Penyuluhan yang intensif dan berkelanjutan
3. Penjelasan kepada masyarakat tentang besarnya manfaat ekonomi dan
non ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung.
Ndraha (2002) menyebutkan terdapat beberapa bentuk partisipasi
dalam pembangunan, yaitu:
1. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai salah satu
titik awal perubahan sosial;
2. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan
terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi,
melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam
arti menolaknya;
3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan
keputusan. Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan
sedini mungkin di dalam masyarakat;
4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan;
5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil
pembangunan
510| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat
dalam menilai sejauhmana pelaksanaan pembangunan sesuai rencana
dan sejauhmana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
Sementara itu menurut Uphoff et al dalam Nasution (2009),
menjelaskan bentuk partisipasi sebagai berikut :
1. Partisipasi dalam bentuk pengambilan keputusan.
Partisipasi masyrakat dalam pengambilan keputusan dimaksudkan
untuk keputusan yang menyangkut rencana desa yang dapat dilihgat
dalam empat aspek, yaitu :
a. Frekuensi menghadiri rapat desa yang khususnya membicarakan
masalah rencana pembangunan masyarakat desa.
b. Tindakan yang dilakukan masyarakat dalam rapat-rapat desa, yang
dapat berwujud mengikuti jalannya rapat dengan baik,
menyumbangkan ide, gagasan, mengajukan usul atau saran dalam
rapat desa, memberi tanggapan atau kritik terhadap masalah yang
dibicarakan serta ikut memberikan suaranya dalam pengambilan
keputusan.
c. Memberikan data atau informasi dalam setiap pertemuan rapat
pembangunan.
d. Keikutsertaan msyarakat dalam proses atau rumusan pembuatan
keputusan.
1. Partisipasi dalam benrtuk pelaksanaan kegiatan.
Partisipasi dalam bentuk pelaksanaan kegiatan ini dapat dilihat dalam
dua aspek, yaitu:
a. Keikutsertaan secara langsung dalam pelaksanaan pembangunan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |511
b. Keikutsertaan secara tidak langsung tetapi membantu secara
sepenuhnya dalam pelaksanaan pembangunan melalui sumbangan
material, dan sumbangan dana atau biaya.
2. Partisipasi dalam bentuk pemanfaatan hasil.
Partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan serta menikmati hasil
pembangunan desa, yakni:
a. Ikut serta dalam memanfaatkan fasilitas umum seperti fasilitas
sekolah, fasilitas klinik dan lain sebagainya.
b. Ikut serta dalam menikmati manfaat secara pribadi seperti merasa
puas terhadap hasil pembangunan yang telah tercapai, merasa aman
didalam hidup bermasyarakat, serta memperoleh kehidupan masa
depan yang lebih baik.
3. Partisipasi dalam bentuk penilaian atau evaluasi.
Partisipasi dalam bentuk penilaian hasil pembangunan desa dapat
dilihat dalam tiga aspek, yaitu :
a. Tanggapan masyarakat terhadap tindakan hasil-hasil pelaksanaan
pembangunan dan rumusan keputusan desa.
b. Tanggapan masyarakat terhadap tindakan pembangunan dengan
rencana yang telah ditentukan baik dari segi waktu, biaya dan
tempat.
c. Keterlibatan dalam menangani sesuai kebutuhan masyarakat desa.
KESIMPULAN
Dalam pembangunan desa, partisipasi masyarakat merupakan
perwujudan dari adanya kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab
512| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
masyarakat terhadap pentingnya pembangunan desa. Tujuan pembangunan
desa tersebut untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat desa dalam arti
masyarakat mempunyai kesadaran bahwa kegiatan pembangunan bukan hanya
kewajiban dari pemerintah saja tetapi juga dituntut keterlibatan masyarakat
untuk perbaikan kualitas hidupnya. Partisipasi masyarakat bisa juga dianggap
sebagai tolok ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan
merupakan proyek pembangunan desa atau bukan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan.
Yogyakarta. Graha Ilmu
Khairuddin. 2003. Pembangunan Masyarakat.Yogyakarta. Liberty
Marbun, B.N. 2002. Proses Pembangunan Desa. Jakarta. Erlangga
Mardikanto, Totok dan Poerwoko Soebiato. 2013. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung. AlfaBeta
Nasikun. 2000. Globalisasi dan Paradigma Baru Pembangunan Pariwisata
Berbasis Komunitas dalam Fandell, C dan Mukhlison (eds),
Pengusahaan Ekowisata, FakultasKehutanan UGM dan Pustaka Pelajar
Nasution, M. 2009. Sistem Ekonomi Kerakyatan. Jakarta. Sajadah Net
Ndraha, Taliziduhu. 2002. Pembangunan Masyarakat. Jakarta. Rineka Cipta
Rahardjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta.
Gajah Mada University Press
Sumpeno, Wahjudin. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Aceh.
The World Bank
Sumpeno, Wahjudin. 2011. Perencanaan Desa Terpadu. Aceh. Read
Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta. PT Raja Grafinda Persada
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |513
ASPEK HUKUM POLA KEMITRAAN BIDANG EKONOMI KREATIF
GUNA PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Rahmanu Wijaya
Dosen PPKn Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Unesa. rahmanu_wijaya@yahoo.com
Abstrak
Beragam penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia merupakan
permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara menyeluruh. Negara selaku aktor
yang memiliki kewajiban untuk mengentaskan kemiskinan telah banyak melaksanakan
program-program, diantaranya : Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Penanganan
Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Pada prinsipnya karakter
beragam program tersebut adalah sebagai bantuan atau sebagai kredit usaha kepada
masyarakat, dimana menyisakan hambatan baik dari segi hukum maupun pada
keberhasilan terhadap pengentasan kemiskinan.
Ekonomi kreatif merupakan bidang usaha yang relatif mampu bertahan dengan stabil,
karenanya perlu mendapat dukungan dalam perkembangannya. Berkaitan dengan
kedudukannya sebagai pelaku usaha mikro, maka bentuk dukungan untuk
mengembangkan ekonomi kreatif adalah melalui kemitraan dengan pelaku usaha
menengah dan besar. Agenda selain modal yang dapat diperoleh dengan adanya
kemitraan adalah akses terhadap sumber daya alam di Indonesia pada umumnya selalu
dapat dijangkau oleh pelaku usaha besar, sehingga agar pelaku usaha mikro dapat
menikmati sumber daya alam maka penting untuk dikembangkan kemitraan. Bila
ekonomi kreatif berkembang, maka dapat linear dengan penanggulangan kemiskinan.
Kata kunci : Pelaku usaha, Ekonomi kreatif, Kemitraan.
PENDAHULUAN
Pembahasan tentang kemiskinan di Indonesia baik mengenai definisi maupun
upaya-upaya penanggulangan atau pengentasannya telah banyak dilakukan, dan
seolah menjadi pembahasan yang sulit untuk berakhir. Hal ini tidak lepas dari
kedudukan Indonesia sebagai bagian dari negara dunia ketiga, dalam sejarah dan
proses pembangunannya belum pernah bebas dari persoalan kemiskinan (Muslim
Kasim, 2006:26). Pembahasan tersebut selama ini menjadi lebih semarak misalnya
ketika masa pemilihan umum dan kepentingan-kepentingan lainnya, banyak pihak
514| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yang seolah menjadi ahli dalam bidang pengentasan atau penanggulangan
kemiskinan. Oleh karena korelasi antara kepentingan dan pembahasan tersebut, maka
kemiskinan seakan menjadi suatu komoditas yang justru penting untuk dipertahankan
keberadaannya. Tanpa ada kemiskinan maka tidak akan ada pembahasan, bila tidak
ada pembahasan maka kepentingan yang diantaranya adalah bagi calon dalam
pemilihan umum menjadi terkendala. Bila sudah menjadi demikian, maka mengenai
definisi serta upaya penanggulangan atau pengentasan kemiskinan hanya akan
menjadi pembahasan menarik tanpa menimbulkan dampak yang signifikan terhadap
berkurangnya angka kemiskinan. Sehingga berbicara mengenai pengentasan
kemiskinan diperlukan kesamaan persepsi yaitu dalam hal mengurangi angka
kemiskinan, dan bukan hanya sekedar menjadikan kemiskinan sebagai komoditas
pembahasan yang tidak kunjung berakhir.
Beragam upaya penanggulangan atau pengentasan kemiskinan baik dengan
model pemberdayaan atau model bantuan telah dilakukan, diantaranya adalah
Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) dan melalui Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB). Namun upaya tersebut belum cukup mampu untuk
menanggulangi atau mengentaskan kemiskinan, bahkan sebagaimana pengalaman
pribadi penulis ketika menjadi penasihat hukum perkara dugaan tindak pidana korupsi
atas Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) maka cukup
membuktikan bahwa program-program penanggulangan atau pengentasan kemiskinan
selama ini memiliki potensi terjadinya pelanggaran hukum. Sehingga justru jauh dari
semangat untuk menghilangkan adanya kemiskinan.
Beranjak dari kelemahan-kelemahan upaya penanggulangan atau pengentasan
kemiskinan tersebut, maka perlu ditelusuri upaya lain yang tepat secara hukum.
Upaya tersebut adalah tidak lepas dari model pemberdayaan yang merupakan salah
satu tipe penanggulangan kemiskinan selain model pemberian bantuan. Model
pemberdayaan pada intinya adalah memiliki langkah berupa pemberian sesuatu
kepada orang miskin dengan tujuan agar menjadi berdaya atau tidak lagi miskin.
Sesuatu yang diberikan tersebut adalah dapat berupa modal bagi pelaku usaha mikro,
sehingga orang miskin didorong menjadi pelaku usaha mikro kemudian diberi modal.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |515
Selama ini model pemberdayaan dengan pemberian modal sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya adalah bukan tanpa memiliki persoalan, diantaranya adalah
persoalan dalam pengembalian serta kemajuan usaha. Maka pemberian modal sebagai
kunci pemberdayaan guna penanggulangan kemiskinan tersebut dapat berbentuk lain
yaitu dilakukan dengan pola kemitraan, yaitu serupa namun tidak identik dengan
pemberian modal. Oleh karenanya rumusan masalah dalam penulisan ini adalah
“Apakah bentuk dan karakter pola kemitraan terhadap pelaku usaha ekonomi kreatif
telah sesuai dengan hukum ?”
Kemiskinan dan Penelitian Terdahulu Terhadap Upaya Penanggulangannya
Beragam definisi mengenai kemiskinan telah banyak dikemukakan dalam
masyarakat, dengan kata lain setiap orang dapat dengan mudah memunculkan
pendapat yang berbeda untuk menjelaskan mengenai definisi kemiskinan. Bahkan
lebih lanjut untuk menentukan parameter siapa yang dapat dikatakan miskin juga
tidak kalah beragamnya. Beberapa ahli juga mengemukakan pandangan yang
bermacam-macam tentang kemiskinan, dimana perbedaan pandangan tersebut adalah
terkait dengan luasnya parameter untuk dapat dikualifikasikan miskin. Soekanto
mendefinisikan kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soerjono
Soekanto, 1987:349). Sedangkan Suryawati memberikan definisi mengenai
kemiskinan yang umum yaitu sebagai kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam
mencukupi kebutuhan pokok, sehingga kurang mampu untuk menjamin kelangsungan
hidup (Suryawati, 2005:122). Sehingga makna kemiskinan menurut Suryawati secara
sederhana adalah memiliki relasi dengan pendapatan yang rendah, dimana ukuran
pendapatan tersebut adalah berfungsi guna mencukupi kebutuhan pokok berdasarkan
ukuran tertentu. Memahami definisi kemiskinan yang demikian sederhana, maka
berdampak pada sederhananya pula dalam menentukan siapa yang dikatagorikan
miskin. Mengukur kemiskinan yaitu dengan menentukan nilai kebutuhan pokok,
kemudian bila seseorang memiliki pendapatan yang kurang dari nilai kebutuhan
516| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pokok tersebut maka terkualifikasi miskin. Ukuran kemiskinan menurut Suryawati
tersebut adalah bersesuaian dengan pola yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS)
(sebagaimana dimuat dalam https://www.bps.go.id/ Subjek/view/id/23) dimana untuk
mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis
kemiskinan. Sedangkan yang dimaksud dengan garis kemiskinan mengandung
konsep yaitu :
1. Garis kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah Garis kemiskinan dikatagorikan
sebagai penduduk miskin;
2. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran minimum
makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket
komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian,
umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan,
minyak, lemak, dan lainnya);
3. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non
makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
pedesaan.
Kriteria garis kemiskinan menurut BPS ini adalah lebih rendah dari kriteria menurut
Bank Dunia yang menentukan US$2 per kapita per hari, namun lebih tinggi dari
ukuran menurut Sajogyo yaitu 320 kg beras per kapita per tahun. Perbedaan dalam
penentuan ukuran tersebut menyebabkan terjadinya yang disebut oleh Ali Khomsan,
dkk. sebagai misklasifikasi orang miskin (Ali Khomsan, dkk, 2015:7).
Kemiskinan dapat dimaknai secara kualitatif dan kuantitatif, secara kualitatif
kemiskinan adalah suatu kondisi yang di dalamnya hidup manusia tidak layak sebagai
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |517
manusia. Sedangkan secara kuantitatif, kemiskinan adalah suatu keadaan dimana
hidup manusia serba kekurangan atau dengan bahasa yang tidak lazim “tidak berharta
benda” (Mardimin, 1996:20). Beranjak dari pembidangan kemiskinan secara
kualitatif dan kuantitatif ini kemudian memunculkan paradigma bahwa kemiskinan
tidak hanya dipandang dari aspek ekonomi berupa pendapatan semata, namun lebih
luas adalah ukuran yang dikatakan layak sebagai manusia. Luasnya parameter
kemiskinan dari sekedar kuantitatif ini yang disebut oleh Cahyat bahwa muncul
pengertian terbaru yaitu kemiskinan berwajah majemuk atau bersifat multi dimensi.
Maknanya adalah kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan,
dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness), hal ini sehingga
lekat dengan dimensi pengambilan keputusan publik (Cahyat, 2004:2). Selanjutnya
menggali luasnya aspek kualitatif dari kemiskinan adalah dapat ditelusuri dari
pendapat Edi Suharto dalam Abdul Hakim (2002:219), dimana kemiskinan adalah
ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial yaitu
meliputi :
1. Sumber keuangan (mata pencaharian, kredit, modal);
2. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, kesehatan, alat produksi);
3. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa;
4. Organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama;
5. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup;
6. Pengetahuan dan ketrampilan.
Selanjutnya Supriatna (1997:90) menyatakan bahwa kemiskinan adalah situasi yang
serba terbatas dan terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Suatu
penduduk dikatakan miskin bila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,
produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta kesejahteraan hidupnya,
yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan.
Jika makna kemiskinan adalah ketidakberdayaan terhadap dimensi-dimensi di
atas, maka penanggulangan atau pengentasan kemiskinan adalah dapat dilakukan
518| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dengan pemberdayaan. Secara sederhana pemberdayaan tersebut dikenali dari
program Pemerintah Kota Surabaya yaitu ditujukan terhadap warga masyarakat
kampung setempat agar dapat meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan
lingkungannya secara mandiri dan berkelanjutan (Suhartini, 2005:13). Selanjutnya
terkait dengan sasaran penanggulangan ditujukkan terhadap orang miskin yang
mempunyai usaha ekonomi, maka dapat ditentukan bahwa permasalahan utama bagi
pengusaha mikro menurut Ismawan (2003:103) adalah persoalan permodalan. Oleh
karena itu pemberian permodalan berupa kredit pada orang miskin yang mempunyai
usaha ekonomi menjadi perlu keberadaannya guna menanggulangi kemiskinan.
Namun pemberdayaan dengan pola pemberian pinjaman tersebut telah banyak
dilakukan oleh pemerintah, dan banyak pula menyisakan permasalahan yang
utamanya adalah penyaluran dan pengembalian pinjaman. Hal ini sebagaimana
dikemukakan Oksiana Jatiningsih dalam kesimpulan penelitiannya tentang Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB) yaitu : kelemahan pelaksanaan LKNB diantaranya
adalah ketidaktegasan aturan pengembalian dana, penggunaan dana yang tidak sesuai
(Oksiana Jatiningsih, 2015:148). Pengembalian dana tersebut dapat menjadi salah
satu parameter untuk menilai keberhasilan program, maknanya adalah bila debitur/
debitor yang menerima fasilitas kredit dari LKNB tidak mengembalikan dana
pinjaman maka patut diduga bahwa usaha orang tersebut belum berhasil atau orang
tersebut masih dalam kemiskinan. Bila usahanya belum berhasil, maka secara
sederhana dikualifikasikan bahwa orang miskin tersebut belum berdaya dan
karenanya sasaran program belum tercapai. Lebih lanjut Oksiana Jatiningsih
menyebutkan dalam saran penelitiannya yaitu secara sederhana agar pemberdayaan
masyarakat melalui LKNB berhasil maka perlu pendampingan yang tidak saja
berhenti pada saat awal, tetapi juga dilanjutkan pada saat menerima dan
mengimplementasi bantuan. Hal itu dapat berbentuk pelatihan mulai dari produksi
hingga pemasaran (Oksiana Jatiningsih, 2015:150).
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |519
Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU RI No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, disebutkan jika pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Mencermati pengertian dalam Ketentuan Umum Undang-undang tersebut, maka
dapat dikenali bahwa subyek hukum yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi adalah naturlijke persoon dan recht persoon (R. Subekti,
2003:14). Guna melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi tidak harus
berbentuk badan hukum, namun dapat berupa perorangan pribadi maupun kumpulan
orang-perorangan yang disebut sebagai badan usaha non badan hukum. Oleh karena
tidak ada keharusan mengenai bentuk subyek hukumnya, maka masyarakat yang
hendak melakukan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi dapat memilih salah satu
bentuk yaitu dapat melakukan usaha sendiri atau berkumpul dengan orang lain atau
menjadikan kumpulan tersebut sebagai sebuah badan hukum. Perbedaan dalam
bentuk-bentuk tersebut sesungguhnya adalah memiliki akibat hukum pada perbedaan
pertanggungan jawab, dimana pada intinya bentuk usaha yang berbadan hukum
memiliki pertanggungan jawab yang terbatas (Abdulkadir Muhammad, 1993:28).
Makna terbatas dalam pertanggungan jawab oleh badan usaha yang berbentuk badan
hukum tersebut adalah bagi organ badan hukum tidak akan dikenakan pertanggungan
jawab pribadi sepanjang melaksanakan usaha sesuai dengan anggaran dasarnya. Hal
ini tidak terlepas adanya pemisahan harta kekayaan, yaitu antara harta sebagai pribadi
organ-organ badan hukum dengan harta badan hukum. Konkritnya bila dalam
menyelenggarakan usaha kemudian menimbulkan resiko terhadap pihak ketiga, maka
dilihat bentuk subyek hukum usahanya. Bila usaha tersebut dilakukan oleh
perseorangan atau kumpulan orang-orang dan tidak berbadan hukum, maka nilai
penggantian resiko adalah hingga pada harta pribadinya. Namun bila usaha ekonomi
520| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tersebut adalah berbentuk badan hukum, maka nilai penggantian resiko adalah
terbatas hanya pada harta atau kekayaan badan hukum.
Selanjutnya berkaitan dengan harta atau kekayaan pelaku usaha, dapat
diadakan klasifikasi berdasarkan jumlah atau besarnya. Dimana berdasarkan
ketentuan Pasal 6 UU RI Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (selanjutnya disingkat UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), klasifikasi
tersebut adalah :
1. Usaha mikro: memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,. (lima
puluh juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
2. Usaha kecil : memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,. (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,. (lima ratus juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
3. Usaha menengah: memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,. (lima
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,. (sepuluh
milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Sedangkan klasifikasi yang dimaksud dengan usaha besar dijelaskan dalam
ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yaitu usaha
ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha
nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan
kegiatan ekonomi di Indonesia. Makna lebih besar dalam Udang-undang tersebut
kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 46/ M-DAG/PER/9/2009 Tentang Surat Izin Usaha Perdagangan,
pada intinya makna lebih besar dari usaha menengah adalah memiliki kekayaan bersih
lebih dari Rp. 10.000.000.000,. (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha. Hal ini bersesuian dengan batas atas kekayaan bersih yang
dikatagorikan sebagai usaha menengah dalam UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
yaitu paling banyak Rp. 10.000.000.000,. (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha. Sehingga dimaknai bila dalam Pasal 1 angka 4 UU Usaha
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |521
Mikro, Kecil, dan Menengah bahwa yang dimaksud usaha besar adalah lebih besar dari
usaha menengah, maka angkanya adalah lebih dari yang ditentukan dalam Pasal 6.
Sementara berkaitan dengan macam kegiatan usaha dalam bidang ekonomi
yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha pada intinya adalah setiap kegiatan atau
aktivitas dengan orientasi pada hasil berupa keuntungan (profit oriented). Sehingga
tidak terdapat ketentuan mengenai kegiatan usaha apa saja yang harus dilakukan oleh
setiap pelaku usaha baik perorangan maupun berkelompok yang berbadan hukum dan
tidak berbadan hukum, ketentuan hukum hanya membatasi barang dan jasa yang
dilarang diperdagangkan serta larangan dalam perbuatan tertentu dalam perdagangan
atau usaha. Sebagai contoh mengenai kegiatan usaha apa yang dapat dilakukan oleh
pelaku usaha, dikenal adanya kegiatan usaha yang disebut sebagai ekonomi kreatif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif,
bidang ekonomi kreatif adalah terdiri dari; (1) Bidang aplikasi dan game developer; (2)
Bidang arsitektur; (3) Bidang desain interior; (4) Bidang desain komunikasi visual; (5)
Bidang desain produk; (6) Bidang fashion; (7) Bidang film; (8) Bidang animasi dan
video; (9) Bidang fotografi; (10) Bidang kriya; (11) Bidang kuliner; (12) Bidang
musik; (13) Bidang penerbitan; (14) Bidang periklanan; (15) Bidang seni pertunjukan;
(16) Bidang seni rupa; (17) Bidang televisi dan radio.
Memang ketentuan Pasal tersebut adalah mengenai tugas Badan Ekonomi Kreatif,
yaitu membantu Presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan
sinkronisasi kebijakan ekonomi kreatif. Namun penelusuran terhadap macam ekonomi
kreatif adalah dapat diperoleh dari bidang-bidang mengenai kebijakan ekonomi kreatif
di atas.
Pemberdayaan Pelaku Usaha Mikro Bidang Ekonomi Kreatif Melalui Pola
Kemitraan
Pemberdayaan merupakan tema besar dalam UU Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah, hal ini sebagaimana ditegaskan Ketentuan Penjelasan Umum UU tersebut
522| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
yaitu usaha mikro, kecil, dan menengah perlu diberdayakan dengan cara : (1)
Penumbuhan iklim usaha yang mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan
menengah; dan, (2) Pengembangan dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Sedangkan tujuan dari pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 5 UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yaitu: (1)
Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan
berkeadilan; (2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha mikro, kecil,
dan menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan, (3) Meningkatkan peran
usaha mikro, kecil, dan menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan
kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari
kemiskinan.
Hal ini membuktikan bahwa pemberdayaan terhadap usaha mikro salah satunya adalah
secara hukum berkorelasi terhadap pengentasan kemiskinan, sehingga tepat bila
sasaran subyek yang diberdayakan demi penanggulangan atau pengentasan kemiskinan
adalah pelaku usaha kecil termasuk yang memiliki kegiatan usaha bidang ekonomi
kreatif.
Selanjutnya teknis memberdayakan usaha mikro, berdasarkan ketentuan
Pasal 25 UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah dengan pola kemitraan.
Dimana dapat dipahami pada intinya kemitraan tersebut adalah didasarkan pada
kondisi dimana terdapat ketimpangan antar pelaku usaha. Macam ketimpanganya
disebutkan dalam Pasal 25 ayat (2) UU, yaitu dalam hal; (1) Proses alih keterampilan
di bidang produksi dan pengolahan; (2) Pemasaran; (3) Permodalan; (4) Sumber daya
manusia; dan (5) Teknologi.
Maknanya adalah pelaku usaha tingkat di atasnya selalu lebih unggul dalam lima
macam jenis di atas dibandingkan dengan pelaku usaha tingkat di bawahnya, contoh :
pelaku usaha besar akan lebih menguasai atau unggul dalamm hal permodalan
dibandingkan dengan usaha kecil bahkan usaha mikro. Karakteristik pola kemitraan
secara sederhana adalah adanya pola hubungan adanya pelaku usaha antar tingkat,
misalnya antara pelaku usaha mikro dengan pelaku usaha besar. Targetnya adalah
pelaku usaha mikro dapat berdaya dengan cara menyerap keunggulan pelaku usaha
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |523
besar. Maka kemitraan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah adalah dapat dilaksanakan dengan pola : (1) Inti plasma; (2)
Subkontrak; (3) Waralaba; (4) Perdagangan umum; (5) Distribusi dan keagenan; (6)
Bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti : bagi hasil, kerjasama operasional, usaha
patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourching).
Pola inti plasma pada intinya adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan di
atasnya yang usaha di atasnya tersebut bertindak sebagai inti, dan usaha kecil selaku
plasma. Usaha inti melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi
hingga pemasaran hasil produksi. Sedangkan pola subkontrak adalah hubungan
kemitraan dimana usaha mikro memproduksi komponen yang diperlukan usaha tingkat
di atasnya sebagai bagian dari inti produksinya. Kemudian waralaba yaitu usaha mikro
menerima hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi pelaku usaha
tingkat di atasnya dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Pola perdagangan
umum adalah hubungan kemitraan dimana usaha besar memasarkan hasil produksi
usaha mikro atau usaha mikro memasok kebutuhan yang diperlukan pelaku usaha
tingkat di atasnya. Selanjutnya pola distribusi dan keagenan pada intinya pelaku usaha
mikro atau lainnya diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan/ atau jasa usaha
besar.
SIMPULAN
Sasaran tepat dalam model pemberdayaan guna penanggulangan atau
pengentasan kemiskinan adalah pelaku usaha mikro, kemudian pemberdayaan dapat
dilakukan dengan pola kemitraan sebagaimana telah sesuai dengan UU Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah.
524| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mardimin, Yohanes, Kritis Protes Pembangunan di Indonesia, Yogyakarta:Kanisius,
1996
Kasim, Muslim, Karakteristik Kemiskinan di Indonesia dan Strategi
Penanggulangannya, Jakarta : Indomedia, 2006
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:Rajawali Pers, 1987
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti,
1993
Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta:Intermasa, 2003
Khomsan, Ali, Dkk., Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin,
Jakarta:Pustaka Obor Indonesia, 2015
Mardimin, Johanes, Dimensi Kritis Proses Pembangunan di Indonesia,
Yogyakarta:Kanisius, 1996
Halim, Abdul, Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah,
Jakarta:Salemba Empat, 2002
Supriatna, T., Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan,
Bandung:Humaniora Utama Press, 1997
A., Suhartini, Dkk., Model-model Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta:Pustaka
Pesatren, 2005
Jurnal, Penelitian
“Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional”, Suryawati, Chriswardani, Jurnal
Manajemen Pembangunan dan Kebijakan, Volume 08, No. 03, Edisi
September 2005
“Bagaimana Kemiskinan Diukur ? Beberapa Model Penghitungan Kemiskinan di
Indonesia”, Cahyat, A., CIFOR-BMZ, November 2004
“Peran Lembaga Keuangan Mikro”, Ismawan, Bambang, Journal of Indonesian
Economy and Business, FE UGM, 2003
“Penanggulangan Feminisasi Kemiskinan Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Model Pengembangan Lembaga Keuangan Non Bank Sebagai
Pendukung Usaha Ekonomi Perempuan di Perdesaan Jawa Timur”, Oksiana
Jatiningsih, Dkk., Laporan Akhir Penelitian, Balitbang Prov. Jawa Timur
dengan Universitas Negeri Surabaya, 2015
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |525
BAKUL SEMANGGI GENDONG DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI
EKONOMI
Rindawati
Dosen pada Departemen Pendidikan Geografi, FISH, Universitas Negeri Surabaya
(UNESA); email :rindasuhardi@gmail.com, rindawati@unesa.ac.id
Abstrak
Studi ini mengangkat tentang realitas bakul semanggi gendong di Kota Surabaya yang
tetap eksis di tengah menjamurnya selera kuliner global. Eksistensi bakul semanggi
gendong tersebut didukung adanya keterlekatan kelembagaan baik dari internal bakul
semanggi gendong sendiri maupun eksternal lingkungan dan pelanggan, salah satunya
adalah dengan melakukan migrasi khas untuk menjajakan kuliner semanggi. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode
fenomenologi. Subjek penelitiannya adalah bakul semanggi gendong dan pelanggannya.
Temuan penelitian ini adalah: Terdapat konstruksi sosial bakul semanggi gendong bahwa
menjadi bakul semanggi gendong itu merupakan pilihan bagi perempuan di kampung
Kendung untuk melanjutkan tradisi keluarganya, dan harus melakukan migrasi sirkuler
karena pelanggannya. Implikasi temuan penelitian ini adalah: pertama, eksistensi bakul
semanggi gendong didukung oleh proses pelembagaan bakul semanggi gendong sendiri;
kedua, proses pelembagaan yang terjadi pada bakul semanggi gendong di antaranya:
budaya genetik, dan melakukan migrasi sirkuler untuk menjajakan semanggi ke Kota
Surabaya; ketiga, bakul semanggi gendong dimaknai oleh pelanggan sebagai suatu
budaya kuliner yang harus dipertahankan yang dikaitkan dengan orientasi masa lampau,
sekarang dan masa depan.
Kata-kata Kunci : bakul semanggi gendong, sosiologi ekonomi dan makna sosial.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Bakul semanggi gendong dan kuliner semanggi adalah salah satu pedagang
dan kuliner khas Kota Surabaya. Keberadaannya pada jaman modern ini sudah
jarang ditemui, namun masih ada yang tetap bertahan dengan tidak merubah
sama sekali dari cara bakul semanggi gendong yang sudah dilakukan oleh
generasi pendahulunya.
526| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kata bakul (dalam bahasa Jawa) artinya pedagang, sedangkan semanggi
adalah sekelompok paku air (Salviniales dari marga Marsilea), yang di Indonesia
mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Secara morfologi
bentuk tumbuhan ini sangat khas, karena bentuk daunnya menyerupai payung,
tersusun dari empat kelopak anak daun yang berhadapan. Kuliner khas kota
Surabaya ini disajikan di atas wadah yang terbuat dari daun pisang (pincuk),
terdiri dari beberapa jenis sayuran seperti daun semanggi dan kecambah, ditaburi
bumbu yang terbuat dari ubi jalar dan kacang tanah, serta sambal yang terbuat
dari gula jawa, terasi, petis udang, dan cabe. Ini merupakan cara kearifan lokal
yang dikedepankan oleh bakul semanggi dengan kuliner semangginya.
Bakul semanggi gendong artinya pedagang atau penjaja semanggi yang
memasarkan kuliner semanggi dengan cara menggendong. Istilah penjaja
diartikan sebagai pedagang atau bakul (Bahasa Jawa). Bedanya dengan pedagang
yang lain adalah, istilah penjaja bagi bakul semanggi gendong karena
memasarkannya dengan cara berjalan kaki, berkeliling, menggendong semanggi
yang ditempatkan pada wadah yang terbuat dari anyaman bambu, yang biasa
disebut besek (Bahasa Jawa). Dalam menjajakan juga sambil berteriak menyebut
nama “semanggi”, “semanggi”, di setiap perjalanan kelilingnya. Oleh karena
itulah masyarakat Kota Surabaya banyak menyebutnya sebagai penjaja semanggi,
selain bakul semanggi gendong.
Keberadaannya di Kota Surabaya yang metropolis, karena bakul dan kuliner
semanggi tersebut hanya ditemui di Kota ini. Oleh karena itu kuliner yang unik
dan langka itu merupakan kuliner khas yang harus dilestarikan. Keunikan bakul
semanggi gendong dapat dicirikan, antara lain:1). Semua bakul semanggi gendong
adalah seorang perempuan yang rata-rata berusia paroh baya sampai tua. 2).
Pakaian yang dikenakannya adalah dengan memakai kain batik bermotif pesisir,
baju kebaya, selendang untuk menggendong semanggi dan setumpuk krupuk puli.
3). Cara menjajaknnya berjalan kaki, berkeliling dari kampung satu ke kampung
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |527
yang lain dengan meneriakkan kata semanggi, semanggi.4). Dijajakan hanya di
Kota Surabaya dengan melakukan migrasi sirkuler.
Melihat ciri-ciri bakul semanggi gendong tersebut, maka eksistensi bakul
semanggi gendong merupakan fenomena sosial ekonomi yang langka dan belum
terkontaminasi pengaruh kuliner lain. Walau jaman sekarang ini begitu beragam
kuliner yang ada, baik modern maupun tradisional yang berusaha menampilkan
kreativitas baru dan menarik, namun kuliner semanggi masih tetap sama seperti
dahulu sejak pertama kali dikenal (1950), tanpa ada perubahan apapun.
Eksistensi bakul semanggi gendong juga didukung oleh hubungan baik
yang terjalin antara bakul semanggi dengan pelanggan di kota Surabaya. Bakul
semanggi gendong dan kuliner semanggi sebagai bagian dari romantisme masa
lalu, sehingga masih ada keseimbangan antara bakul semanggi gendong sebagai
supplyer dan pelanggan sebagai demand/pasar.
Dilihat dari aspek sosial dan ekonomi, bakul semanggi gendong melakukan
mobilitas keluar dari desa mereka yang berada di Kendung, Kecamatan Benowo,
Kota Surabaya, yaitu suatu kampung yang terletak di wilayah Kecamatan
Benowo, Surabaya Barat, dan berbatasan dengan Kabupaten Gersik. Mereka
setiap hari menjajakan kuliner semanggi menuju ke kota Surabaya, yang berjarak
antara 25-45 km, dengan cara sirkuler, sehingga peneliti sebut sebagai migrasi
sirkuler.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dikemukakan bahwa fenomena
bakul semanggi gendong Surabaya yang unik dan tradisional sangat layak untuk
diteliti. Demi mengembangkan khasanah dan wawasan budaya daerah, khususnya
budaya kuliner Kota Surabaya yang tradisional, semakin langka, tetapi masih
tetap eksis di tengah maraknya kuliner yang modern saat ini, tidak menyurutkan
semangat bakul gendong semanggi tetap menjajakan dagangannya ke Kota
Surabaya. Bagaimana mereka masih tetap eksis, makna apa dibalik yang
528| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dilakoninya (bakul semanggi gendong) serta bagaimana para pelanggan di Kota
Surabaya memaknainya.
Permasalahan yang dikemukakan tersebut semakin menguatkan peneliti
untuk mengungkap makna bakul semanggi gendong di Kota Surabaya dengan
berbagai simbol yang disandangnya.
Tinjauan Pustaka
Kajian Sosiologi Ekonomi
Sosiologi ekonomi sebagai sebuah kajian yang mempelajari hubungan
antara masyarakat, yang didalamnya terjadi interaksi sosial dengan ekonomi.
Sosiologi ekonomi mengkaji masyarakat, yang didalamnya terdapat proses dan
pola interaksi sosial, dalam hubungannya dengan ekonomi. Hubungan dilihat dari
sisi saling pengaruh-mempengaruhi. Masyarakat sebagai realitas eksternal-
objektif akan menuntun individu melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan apa
yang dimiliki atau diproduksi.
Sosiologi ekonomi mempelajari berbagai macam kegiatan yang sifatnya
kompleks dan melibatkan produksi, distribusi, pertukaran dan jasa yang bersifat
langka dalam masyarakat. Jadi, fokus analisis untuk sosiologi ekonomi adalah
pada kegiatan ekonomi, dan mengenai hubungan antara variabel-variabel
sosiologi yang terlihat dalam konteks non-ekonomis.
Konsep keterlekatan diajukan oleh Granovetter (1985) untuk menjelaskan
perilaku ekonomi dalam hubungan sosial. Konsep keterlekatan merupakan
tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan
sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Adapun yang
dimaksud dengan jaringan hubungan sosial ialah sebagai “suatu rangkaian
hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama di antara individu atau
kelompok”(Granovetter dan Swedberg,1992:9).
Tindakan yang dilakukan oleh anggota jaringan adalah “terlekat” karena ia
diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. Ini tidak hanya terbatas pada
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |529
tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku yang lebih luas,
seperti penetapan harga dan institusi-institusi ekonomi yang lebih luas, yang
semuanya terpendam dalam suatu jaringan sosial.
Cara seorang terlekat dalam jaringan hubungan sosial adalah penting dalam
penentuan banyaknya tindakan sosial dan jumlah dari hasil institusional. Misalnya
apa yang terjadi dalam produksi, distribusi dan konsumsi sangat banyak
dipengaruhi oleh keterlekatan orang dalam hubungan sosial. Tindakan ekonomi
menurut ahli sosiologi dan ekonomi umumnya oversocialized-undersocialized,
nilai dan norma tindakan ekonomi keuntungan pribadi.
Granovetter melihat bahwa dikothomi oversocialized-undersocialized
bukanlah suatu penggambaran yang tepat terhadap realitas tindakan ekonomi.
Kenyataannya, tindakan ekonomi melekat pada setiap jaringan hubungan sosial
baik tindakan ekonomi yang termasuk dalam oversocialized-undersocialized.
Orang yang berorientasi pada self interest pada kenyataanya juga mengantisipasi
tindakan orang lain. Misalnya seorang pedagang akan mempertimbangkan
pengambilan tingkat keuntungan yang berbeda terhadap pembeli yang menjadi
langganan dengan yang tidak langganan. Apabila pedagang tidak melakukan hal
tersebut maka ia akan kehilangan pelanggan.
Penerapan Konsep Keterlekatan
Dalam perilaku ekonomi telah melekat konsep kepercayaan (trust).
Pendekatan aktor teratomisasi yang berakar dari pendekatan ekonomi neo-klasik
yakin bahwa kepercayaan merupakan institusi sosial yang berakar dari hasil
evolusi kekuatan-kekuatan politik, sosial, sejarah, dan hukum, dipandang sebagai
solusi yang efisien terhadap fenomena ekonomi tertentu.
Pendekatan aktor yang lebih tersosialisasi memandang bahwa
kepercayaan merupakan moralitas umum dalam perilaku ekonomi. Oleh karena
530| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
itu semua tindakan actor haruslah merujuk, tunduk dan patuh secara otomatis
terhadap moralitas tersebut, dalam hal itu menjunjung tinggi nilai-nilai
kepercayaan.
Pendekatan sosiologi ekonomi baru atau juga sering disebut pendekatan
“keterlekatan” mengajukan pandangan yang lebih dinamis, yaitu bahwa
kepercayaan tidak muncul dengan seketika tetapi dari proses hubungan antar
pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara
bersama. Kepercayaan bukanlah barang baku (tidak berubah), tetapi sebaliknya, ia
terus menerus ditafsirkan dan dinilai oleh para aktor yang terlibat dalam hubungan
perilaku ekonomi.
Granovetter telah menegaskan bahwa keterlekatan perilaku ekonomi
dalam hubungan sosial dapat dijelaskan melalui jaringan sosial yang terjadi dalam
kehidupan ekonomi. Bagi sosiolog, studi tentang jaringan sosial dihubungkan
dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan bagaimana
ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang
dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna pada
kehidupan sosial.
Keterlekatan Kelembagaan Bakul Semanggi Gendong
Teori Granoveter yang telah dijabarkan tersebut di depan bertolak
belakang dengan keterlekatan bakul semanggi gendong yang sedang penulis teliti
kali ini. Dengan demikian penelitian yang dilakukan oleh Granovetter dan
penelitian yang penulis lakukan walaupun terkait dengan
embeddednes/keterlekatan, namun terdapat perbedaan yang mendasar, terutama
pada kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berbeda.
Perbedaan kondisi masyarakat di negara yang sudah maju dan negara
berkembang tentulah tidak sama, namun meminjam logika Granovetter tentang
embedednes, penulis ingin menggali keterlekatan kelembagaan dari fenomena
bakul semanggi gendong yang konsisten dan eksis dengan pilihannya. Kenapa
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |531
mereka masih mau menjual dan menjajakan semanggi, padahal kuliner ini tidak
semua orang mengetahui dan menggemari, terutama generasi muda, ditambah
lagi harus bersaing dengan kuliner-kuliner lain yang lebih modern. Menurut
penulis, bakul semanggi gendong memiliki keterlekatan kelembagaan terhadap
eksistensi dan konsistensinya menjadi bakul semanggi.
Keterlekatan relasional merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan
secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung
diantara para aktor dalam suatu aktifitas ekonomi yang berhubungan dengan
orang lain dikaitkan dengan individu lain.Tindakan ekonomi dalam hubungan
pelanggan dengan bakul semanggi gendong merupakan suatu bentuk keterlekatan
relasional. Dalam hubungan tersebut terjadi hubungan interpersonal antara bakul
semanggi gendong sebagai penjual dan pelanggan sebagai pembeli yang
melibatkan berbagai aspek.
Hubungan langganan bermula dari pencaríannya terhadap kepastian dan
keakuratan informasi kuliner semanggi. Proses itu berlangsunng terus menerus
sampai ada kepastian dan kepercayaan dari kedua belah pihak bahwa berbagi
informasi itu telah terjadi dan telah menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan
yang saling menguntungkan tersebut akan melekat, hingga terjalin romantisme
masa lalu tentang kuliner khas semanggi Surabaya. Hubungan antara bakul
semanggi gendong dan pelanggan tidak hanya meliputi tindakan ekonomi, tetapi
juga bisa meluas kedalam aspek sosial, budaya, bahkan politik.
Selain keterlekatan relasional, bakul semanggi gendong juga terlekat pada
kelembagaan struktural. Menurut penulis, keterlekatan kelembagaan bakul
semanggi gendong antara lain:
1. Keterlekatan yang berasal dari diri bakul gendong sendiri, diantaranya:
Makanan/ kuliner semanggi itu sendiri, bahan-bahan, cita rasa, dan
pengemasannya.
532| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Cara memperoleh bahan-bahan semanggi
Cara berpakaian bakul semanggi.
Cara memasarkan kuliner semanggi
2 Keterlekatan antara bakul semanggi gendong dan pelanggan – bermigrasi
sirkuler
3. Keterlekatan antara bakul semanggi gendong dengan juragan
Menurut pendapat Soeratmo (1995), bahwa aspek kehidupan sosial
ekonomi meliputi antara lain: Aspek sosial demografi, yaitu: pembaharuan sosial,
tingkah laku, motivasi masyarakat, serta kependudukan dan migrasi. Aspek
ekonomi meliputi antara lain: kesempatan kerja, tingkat pendapatan dan pemilikan
barang. Aspek pelayanan sosial meliputi antara lain: sarana pendidikan, sarana
kesehatan, sarana olahraga dan sarana transportasi. Dalam strategi penjualan yang
dilakukan oleh bakul semanggi gendong agar bisa tetap bertahan diwujudkan
dalam tindakan social oleh bakul sendiri. Menurut Weber, tindakan sosial adalah
tindakan individu sepanjang tindakan tersebut mempunyai makna atau arti bagi
dirinya.
Memahami tindakan ekonomi sebagai bentuk dari tindakan sosial menurut
konsep tindakan sosial dari Weber, bahwa tindakan ekonomi dapat dipandang
sebagai suatu tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah
laku orang lain. Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan
berdasarkan atas pengalaman, pemahaman, persepsi atas suatu objek stimulus dan
situasi tertentu. Tindakan individu merupakan tindakan sosial yang rasional yaitu
untuk mencapai tujuan atau sarana-sarana yang paling tepat (Ritzer, 1983).
Weber (Doyle, 1986:131), menyatakan bahwa tindakan sosial berkaitan
dengan interaksi sosial, suatu tindakan dikatakan tindakan sosial jika individu
tersebut mempunyai tujuan dalam melakukan tindakannya. Weber menggunakan
konsep rasionalitas dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial.
Tindakan Sosial Weber di sini yaitu tindakan yang melibatkan orang
lain atau tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |533
lain. Tindakan sosial merupakan tindakan individu sepanjang tindakan itu
mempunyai makna bagi dirinya sendiri dan diarahkan kepada orang lain.
Tindakan yang dilakukan para perempuan bakul semanggi gendong disini
merupakan tindakan ekonomi dan sosiologi, karena dalam tindakan ekonomi
bakul semanggi gendong tersebut terdapat hubungan saling ketergantungan antara
bakul semanggi sebagai supplier (pedagang) dan masyarakat pelanggan sebagai
demand (pembeli). Tindakannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri,
tetapi juga ditujukan kepada orang lain yaitu kelembagaan keluarga bakul
semanggi gendong sendiri dan pelanggannya. Dengan demikian tindakan
ekonomi bakul semanggi gen d o n g tersebut dikategorikan dalam kajian
sosiologi ekonomi.
Keberadaan bakul semanggi gendong di Kota Surabaya merupakan sebuah
fenomena sosial yang langka dan masih dibutuhkan oleh sekelompok masyarakat
Kota Surabaya, penggemar kuliner tradisional. Konsistensi dan eksistensi mereka
mencerminkan kemandirian dari seorang bakul semanggi gendong. Kenyataan
bahwa keberadaan mereka sampai sekarang masih bisa bertahan juga sangat
bergantung dari strategi adaptif yang dilakukan dan tetap menjaga hubungan baik
dengan pelanggannya. Masing-masing berfungsi untuk memenuhi kebutuhan,
baik dari sisi bakul semanggi gendong sebagai supplayer/penjual yang bertujuan
untuk mendapatkan hasil dan pelanggan sebagai demand/pembeli untuk
memenuhi seleranya.
Setiap orang sesungguhnya dapat menemukan cara untuk menghadapi
tantangan agar tetap bertahan hidup. Hal ini berkaiatan dengan strategi bertahan,
sebagaimana dikutip oleh Ibrahim dan Murni Baheram, (2009), menyebutkan tiga
jenis strategi bertahan, yaitu:1). Strategi bertahan sebagai strategi untuk
memenuhi kebutuhan hidup pada tingkat minimum agar dapat bertahan hidup;2).
Strategi konsolidasi yaitu strategi untuk memenuhi hidup, yang dicerminkan dari
534| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial;3). Strategi akumulasi, yaitu strategi
pemenuhan kebutuhan hidup untuk mencapai kebutuhan pokok, sosial, dan
pemupukan modal.
Strategi yang dilakukan oleh bakul semanggi gendong merupakan strategi
ke tiga-tiganya, alasannya adalah bahwa dilihat dari kacamata ekonomi, bakul
semanggi gendong tetap bertahan sampai saat ini berarti mereka sudah bisa
memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi
dari sisi sosial budaya mereka juga menjalin dan menjaga hubungan baik dengan
pelanggannya, sehingga terjalin suasana keakraban diantara ke duanya yang
peneliti sebut sebagai romantisme masa lalu.
Transaksi pertukaran yang dilakukan oleh bakul semanggi gendong
dengan pelanggannya merupakan kerjasama yang saling menguntungkan karena
merupakan bagian dari romantisme masa lalu yang ingin dikenang kembali.
Ketika jalinan tersebut sudah berlangsung lama, maka diantara mereka selalu ada
hadiah/ganjaran yang diberikan agar kerjasama tersebut terus berlanjut.
Ganjaran itu bisa berupa perlakuan tersendiri kepada pelanggan yang
sudah lama berlangganan dengan memberi harga lebih rendah dibanding dengan
pembeli yang baru. Selain itu ganjaran diberikan kepada pelanggan yang lama
dengan memberi tambahan kerupuk puli, demikian sebaliknya terkadang
pelanggan memberikan hadiah berupa pakaian bekas atau makanan, bahkan ada
yang memberi saat lebaran. Inilah yang terjadi pada bakul semanggi gendong di
Kota Surabaya dan pelanggannya, yang rata- rata mereka sudah berusia tua.
Bakul semanggi gendong tidak hanya terjalin hubungan baik dengan
pelanggan, tetapi juga terjalin keterlekatan dengan juragan. Dalam jaringan sosial
terdapat kelompok sosial yang terbentuk secara tradisional berdasarkan garis
keturunan (lineage). Pengalaman sosial secara turun-temurun (repoted social
experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ke Tuhanan (religius
belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi (Hasbullah, 2006:63), seperti
yang terjadi pada bakul semanggi gendong.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |535
Jaringan sosial juga berperan penting dalam pemasaran. Jaringan tersebut
merupakan ikatan antar pribadi bakul semanggi gendong dengan juragan. Melalui
ikatan kekerabatan, persahabatan dan komunitas yang sama, jaringan sosial
membantu bakul semanggi gendong tetap eksis di tengah globalisasi. Jaringan
sosial yang dimaksud adalah dalam bentuk pertukaran informasi, dan penyediaan
bahan baku semanggi.
Kajian Terdahulu Yang Relavan
Kajian terdahulu yang berkaitan dengan eksistensi atau mekanisme
survival yang ditemukan dari hasil penelitian terdahulu diantaranya:
Penelitian oleh Wiyono, (2010), menyimpulkan, meski di tengah era
globalisasi ini telah muncul banyak varian makanan-makanan modern yang
menarik tetapi tidak mampu mengurangi rasa kerinduan masyarakat kota
Surabaya untuk menikmati makanan tradisional yang ada utamanya adalah
semanggi. Hampir di setiap event kuliner yang diselenggarakan, semanggi dan
makanan tradisional Surabaya merupakan menu wajib untuk ditampilkan dan
dihidangkan kepada masyarakat kota. Hal ini ditunjukkan dalam upaya pelestarian
budaya-budaya tradisional, sebab jika tidak dilindungi, maka budaya tersebut
akan hilang atau punah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Granovetter (Damsar,1997:48),
memperlihatkan bahwa kuatnya suatu ikatan jaringan memudahkan seseorang
untuk mengetahui ketersediaan pekerjaan. Dalam hal ini, jaringan sosial juga
memai nkan peranan penti ng dalam berimi grasi dan kewiraswastaan imi gran.
Jaringan tersebut merupakan ikatan antar pribadi yang mengikat para migran
melalui kekerabatan, persahabatan, komunitas asal yang sama.
Septiarti. Usman, dan Sutrisno (1996), tertarik untuk meneliti strategi
kelangsungan hidup dari kelompok petani miskin desa berlahan kering yang
536| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
bergelut dengan kondisi subsistensi dan terbelit kebutuhan hidup secara social
ekonomi. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa strategi kelangsungan
hidup yang ditempuh petani miskin di Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul,
Yogyakarta dikategorikan sebagai desa tertinggal. Diungkapkan pula bahwa
bentuk dan strategi kelangsungan hidup tersebut sangat dipengaruhi oleh struktur
kelas dan pola stratifikasi masyarakat pedesaan, artinya strategi kelangsungan
hidup rumah tangga petani miskin cenderung dipengaruhi oleh luas tidaknya
penguasaan lahan garapan.
Penelitian- penelitian yang telah dikemukakan di muka menunjukkan
bahwa berbagai cara individu atau masyarakat untuk bertahan hidup dan
menghidupi keluarganya dengan situasional, artinya pada situasi yang berbeda,
dapat ditemukan strategi bertahan yang berbeda pula. Dengan strategi yang tepat,
diharapkan mereka bisa tetap mempertahankan eksistensinya.
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah disebutkan di muka akan
berbeda dengan penelitian pada bakul semanggi gendong kali ini. Perbedaan
tersebut terletak pada kelerlekatan kelembagaan baik internal maupun ekternal,
yang belum diteliti oleh penelitian terdahulu di muka. Dibuktikan dalam
penelitian ini, bahwa dengan adanya keterlekatan secara sosial ekonomi antara
bakul semanggi gendong, tradisi, pelanggan dan juragan semanggi, maka bakul
semanggi gendong mampu eksis di tengah maraknya kuliner global di Kota
Surabaya.
Eksistensi Bakul Semanggi Gendong
Terdapat paradigma yang tidak terbantahkan bahwa antara masyarakat
pelanggan dan bakul semanggi gendong ada ketergantungan romantisme masa
lalu secara ekonomi dan sosial yang mengarah pada selera kuliner khas semanggi
Surabaya. Mengapa masyarakat pelanggan semanggi masih menyukai makan
semanggi gendong yang notabene tidak ada yang berubah, baik cara berpakaian
bakul/penjualnya masih tetap dan tidak pernah ada perubahan apapun, cara
menjajakan, cita rasa, maupun kemasannya yang dipincuk, dan lain-lainnya.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |537
Selain itu mengapa bakul semanggi gendong masih mau menjajakan semanggi
seperti itu, padahal juga dihadapkan pada gempuran kuliner modern, seperti Pizza
Hut, Mac Donald, KFC, Hokben, dan yang lainnya.
Mempertahankan suatu nilai-nilai budaya tidak mudah ketika masuk di era
globalisasi sekarang ini, namun kenyataan tersebut tidak berlaku bagi bakul
semanggi gendong. Dengan bertahannya mereka sampai saat ini, menurut penulis
pasti ada nilai-nilai sosial ekonomi dan budaya yang masih melekat pada bakul
semanggi. Nilai-nilai tersebut telah berlangsung lama dan diturunkan dari generasi
ke generasi berikutnya.
Bakul semanggi gendong selama ini sering dipandang sebagai kelompok
yang terpinggirkan dalam kehidupan sosial ekonomi perkotaan. Mereka ada dari
suatu budaya yang tumbuh dan tetap bertahan di era modern sekarang ini.
Walaupun dengan jumlah yang terbilang sedikit bila dibandingkan dengan
penjual kuliner lain, keberadaannya akan sangat membantu masyarakat kota
Surabaya akan romantisme masa lalu atas kuliner khas Surabaya tersebut
yaitu semanggi Surabaya.
Penelitian lain yang juga meneliti tentang budaya adalah budaya
acung di Denpasar Bali, yang menemukan bahwa, terdapat pandangan miring
sebagian masyarakat yang menganggap pedagang acung yang selalu bertindak
memaksa dalam menjual barang dagangan sehingga terkesan memperburuk citra
pariwisata.
Bila pedagang acung yang mendapat cibiran dari sebagian masyarakat
di Denpasar, Bali, maka berbeda terhadap penelitian bakul semanggi gendong,
yang mana mereka amat dinantikan oleh masyarakat pelanggan, karena ada
keterlekatan selera, apalagi semanggi merupakan Ikon kota Surabaya yang perlu
dijaga dan dilestarikan, sehingga harus diperkenalkan pada pariwisata kota
Surabaya, khususnya budaya kulinernya.
538| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
METODE
Penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap bakul semanggi gendong
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Alasan penulis
menggunakan pendekatan ini karena penelitian kualitatif lebih cocok digunakan
untuk penelitian yang berkaitan dengan kehidupan manusia yang senantiasa
mengalami perubahan. Selain menggunakan pendekatan kualitatif, juga
menggunakan metode fenomenologi. Alasan penulis menggunakan metode
fenomenologi karena penulis berusaha mencari pemahaman tentang makna dari
sebuah realitas berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh manusia. Realitas yang
dimaksud oleh penulis adalah pemaknaan realitas bakul semanggi gendong
terhadap dirinya sendiri dan oleh pelanggannya.
Setting (Lokasi) Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya, tepatnya di desa Kendung,
Kecamatan Benowo, Kota Surabaya. Penelitian ini tergolong studi kasus, karena
hanya meneliti individu-individu bakul semanggi gendong dan pelanggannya.
Dalam konteks ini studi kasus harus dilihat dari asumsi-asumsi dasarnya. Kasus
merupakan bagian dari yang lain, untuk itu harus dapat dilihat sebagai dirinya
sendiri di mana ia merupakan satu sistem organisasi yang memiliki fungsi. Kasus
merupakan bagian dari kasus-kasus lain atau bagian sistem sosial yang jauh lebih
besar (Abdullah,1997: 6).
Studi kasus bukan mengarah pada usaha generalisasi (Abdullah,1997:7).
Menurut pendapat Maxfiled (dalam Nasir,1985), penelitian kasus adalah
penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase
spesifik atau kekhasan. Teknik analisis data yang digunakan adalah model
interaktif. Alasan penulis menggunakan metode pengolahan data ini karena
penulis memperoleh data dan informasi yang berbentuk naratif, penjelasan, dan
penafsiran terhadap gambaran dari situasi sosial. Teknik analisis data model
interaktif ini dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Mereka menjelaskan
bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara interaktif dan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |539
berlangsung secara terus-menerus hingga tuntas, sehingga data yang diperoleh
bersifat jenuh. Oleh karena data yang diperoleh berbentuk tindakan nonverbal
yang berupa deskripsi kalimat, tulisan, atau gambar, maka aktivitas analisis data
yang dilakukan terbagi ke dalam tiga bentuk, yaitu data reduction, data display,
dan conclusion drawing / verification.
Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Teknik pemeriksaan keabsahan data merupakan teknik yang digunakan
oleh peneliti untuk menguji kebenaran data yang diperoleh dan dilaporkan dalam
hasil penelitian dengan keadaan objek di lapangan sesungguhnya. Penulis
menggunakan teknik triangulasi untuk melakukan uji keabsahan data dari hasil
penelitian yang telah diperoleh. Teknik triangulasi yang digunakan oleh penulis
yaitu dengan cara membandingkan data yang telah dikumpulkan dari berbagai
metode pengumpulan data, yakni wawancara, telaah dokumen atau dokumentasi,
dan observasi. Teknik triangulasi sumber data digunakan oleh penulis dan
dilakukan dengan cara menggunakan berbagai sumber data, Teknik triangulasi
waktu yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara membandingkan hasil
wawancara dengan subyek penelitian pada waktu yang berbeda.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan wawancara dilakukan untuk studi
pendahuluan dalam menemukan gambaran dari objek yang diteliti, juga untuk
memperoleh data dan informasi secara mendalam dari narasumber. Penulis
menggunakan teknik wawancara untuk menggali pandangan subjektif dan
pengalaman dari bakul semanggi gendong sendiri dan pelanggannya.
Pendapat Esterberg yang disadur oleh Sugiyono mendefinisikan
wawancara sebagai berikut:
“’A meeting two persons to exchange information and idea through question and
responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a
540| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
particular topic’, wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu”(Sugiyono 2010:231)
Penulis menggunakan pedoman pertanyaan wawancara yang berupa garis-
garis besar pertanyaan wawancara yang telah dibuat sebelumnya, kemudian
mengingat dan mencatat data dari pernyataan narasumber yang dianggap penting
dan diperlukan untuk penelitian ini ke dalam catatan harian untuk disusun dan
dianalisis secara sistematis.
Telaah Dokumen
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi atau telaah dokumen
dilakukan oleh penulis untuk memperoleh data tambahan. Teknik ini dilakukan
oleh penulis sebelum terjun ke lapangan, ketika proses penelitian di lapangan, dan
setelah penelitian dilakukan.
Penulis mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber tertulis
yang dapat membantu dalam melakukan penelitian ini. Bogdan menyatakan “in
most tradition of qualitative research, the phrase personal documentation is used
broadly to refer to any forst person narative produced by an individual which
describes his or her own actions, experience and belief”
Penulis mengumpulkan, membaca, dan menelaah data yang berbentuk
tulisan dan gambar dari berbagai sumber tertulis dan jurnal elektronik mengenai
bakul semanggi gendong.
Observasi
Pada penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dengan observasi
merupakan teknik untuk memperoleh data pelengkap dengan mengamati secara
langsung fenomena di lapangan yang kemudian dapat dibandingkan dengan
teknik-teknik lainnya.
Teknik pengumpulan data ini dimaksudkan untuk memperoleh data
pelengkap yang dibutuhkan dalam penyusunan karya ilmiah dengan cara terjun
secara langsung ke lapangan (field research). Maksud penulis terjun ke lapangan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |541
adalah melakukan kunjungan ke lokasi tempat asal dan tempat komunitas bakul
semanggi gendong.
Subyek Penelitian
Bakul semanggi gendong dan pelanggannya adalah merupakan subyek
dalam penelitian ini. Eksistensi bakul semanggi gendong yang sudah ada dan
dikenal sejak tahun 1950 hingga sekarang menjadi daya tarik tersendiri untuk
dilakukan penelitian. Sudah 64 tahun lamanya keberadaan kuliner dan bakul
semanggi gendong tersebut masih tetap sama tidak berubah.
Selain bakul semanggi gendong, yang tidak kalah menarik pula adalah
pelanggannya, karena ini juga khas dan menarik. Dikatakan menarik karena
pelanggan semanggi Surabaya adalah pelanggan yang sudah lama hingga terjalin
keterlekatan dengan bakul semanggi gendong itu sendiri.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dan merujuk pada konsep
fenomenologi Alfred Schutz, secara because motives penulis mendiskripsikan
tentang faktor-faktor yang mendukung eksistensi bakul semanggi gendong tetap
menjajakan kuliner semanggi ke Kota Surabaya, yaitu, karena adanya keterlekatan
internal. Maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi motivasi bagi bakul
semanggi gendong untuk menjajakan kuliner semanggi di kota Surabaya.
Motivasi internal tersebut antara lain: ada keterlekatan internal sebagai
motivasi internal dan keterlekatan eksternal yang telah terjalin lama. Motivasi
internal yang dimaksud di sini adalah timbulnya rasa suka, senang, dan ingin
mendapatkan hasil sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan
mempertahankan tradisi turun temurun dari keluarga bakul semanggi gendong
sendiri.
Selain itu rasa suka bakul semanggi gendong tetap eksis karena setiap hari
mempunyai pengasilan sendiri dari hasil jerih payahnya menjajakan semanggi di
542| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kota Surabaya. Dengan penghasilan tersebut, maka bakul semanggi gendong
dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, baik kebutuhan pokok, seperti: makan,
minum, rumah dan sekolah anak-anak nya, maupun kebutuhan sosial, seperti:
kumpulan pengajian, menghadiri kondangan kerabat, tetangga dan kebutuhan
sosial lainnya.
Rasa senang dan suka dari bakul semanggi gendong juga ditunjukkan
ketika ada acara baik di tingkat Kelurahan yaitu Kelurahan Sememi, maupun di
tingkat Kecamatan Benowo, sering kali diminta untuk menyuguhkan kuliner khas
semanggi Surabaya. Demikian juga pada acara peringatan HUT Kota Surabaya
setiap tahunnya, tepatnya setiap tanggal 31 Mei, kuliner semanggi Surabaya selalu
diikutsertakan dalam ajang makan gratis bagi masyarakat Kota Surabaya
sekaligus memopulerkan kuliner tersebut kepada masyarakat.
Disamping rasa suka atau senang, ada rasa sengsara karena sebagai bakul
semanggi gendong harus bekerja keras dengan melakukan migrasi ke kota
Surabaya untuk menjajakan kuliner semanggi dari pagi hingga sore hari untuk
mencukupi kebutuhan keluarga.
Motivasi eksternal yang mengkonstruksikan makna bakul semanggi
gendong adalah lingkungan, yaitu lingkungan keluarga, teman-teman, dan
masyarakat, khususnya pelanggannya. Tujuannya, secara in order to motives
adalah ingin memasyarakatkan kuliner semanggi dan membuktikan bahwa stigma
yang melekat pada bakul semanggi gendong bergantung dari konteks dan sudut
pandang tertentu.
Keterampilan yang dimiliki bakul semanggi memberi kontribusi terhadap
pemaknaan bakul semanggi itu sendiri. Satu dari subyek penelitian yang penulis
wawancarai mengatakan bahwa keterlibatannya menjadi bakul semanggi gendong
adalah juga melestarikan budaya kuliner tradisional daerah yaitu kuliner Surabaya
yang unik dan langka. Sedangkan subyek penelitian lainnya mengatakan bahwa
keterampilannya dalam memasak dan menjajakan semanggi diperolehnya secara
turun temurun dari orang tuanya (ibu) dan neneknya atau keluarganya.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |543
Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa pembentukan dunia dan
realitas sosial melalui tahapan yang simultan, yakni eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi. Dalam tahapan tersebut, terdapat realitas yang dipandang secara
subjektif, objektif, dan simbolik. Masyarakat menurut Berger dan Luckmann
dapat dipandang sebagai realitas subjektif maupun realitas objektif.
Gambar Realitas Konstruksi Sosial Bakul Semanggi Gendong
Bakul semanggi gendong melaksanakan aktivitas komunikasi internal dalam
bentuk saling bertukar informasi mengenai hal-hal yang menyangkut ketersediaan
bahan baku kelengkapan semanggi, harga, maupun transportasi yang membawa
mereka ke Kota Surabaya, sebelum menjajakannya dengan berjalan kali sesuai
544| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
rute yang sehari-hari dilakukan. Dari uraian mengenai realitas bakul semanggi
gendong dan faktor-faktor pendukungnya hingga bermigrasi sirkuler ke Kota
Surabaya untuk menemui pelanggannya, penulis menggambarkan konstruksi
makna bakul semanggi gendong pada bakul semanggi gendong sendiri dan
pelanggannya ke dalam sebuah diagram yang bertujuan untuk lebih menjelaskan
dan memvisualisasikan dengan gambar sebagai berikut:
Gambar Model Konstruksi Makna Bakul Semanggi Gendong Pada Bakul
Semanggi Dan Pelanggan
Melalui gambar di atas, penulis memvisualisasikan bagaimana proses
konstruksi makna bakul semanggi gendong bagi dirinya sendiri dan juga bagi
pelanggannya di Kota Surabaya. Makna bakul semanggi gendong dihasilkan
melalui konstruksi dalam ranah kognitif individu dan ranah kelembagaan bakul
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |545
semanggi gendong, serta pelanggannya. Dalam ranah individu, konstruksi makna
bakul gendong melibatkan faktor internal, faktor eksternal, keterampilan, dan
tujuan. Faktor internal yang dimaksud penulis adalah perasaan senang dan
sengsara terhadap eksistensinya menjadi bakul semanggi gendong.
Perasaan senang dan sengsara terhadap suatu hal merupakan bentuk dari
kesadaran individu dalam melakukan kesengajaan. Sama dengan perasaan senang
yang dimiliki oleh masyarakat pelanggan semanggi gendong di Kota Surabaya
terhadap kuliner semanggi, dengan kesadaran dan kesengajaan sebagai salah satu
bentuk memenuhi selera makan. Perasaan senang juga dapat menimbulkan
romantisme masa lalu yang tetap dikenang.
Keterlekatan mereka terhadap kuliner semanggi disebabkan pula oleh
pengaruh dari lingkungan. Di antaranya adalah anggota keluarga yang sering
membeli semanggi memberikan pengaruh secara tidak langsung kepada individu
untuk melakukan hal yang sama. Selain keluarga, lingkungan pergaulan pun
mempengaruhi ketertarikan individu terhadap kuliner tradisional semanggi.
Kategori pertama adalah orientasi terdahulu, yaitu pemahaman dan
pengalaman yang pelanggan miliki terkait dengan kuliner semanggi yang
merupakan kuliner khas Surabaya. Kategori waktu berikutnya adalah orientasi
terhadap masa sekarang, artinya pelanggan memahami akan romantisme masa
lalu terhadap kuliner semanggi yang unik dan semakin langka. Orientasi masa
yang akan datang memiliki arti bahwa pelanggan berharap dapat memberi
kontribusi untuk memasyarakatkan kuliner semanggi Surabaya agar tidak cepat
hilang.
Dari uraian di atas, penulis menuangkan analisis konstruksi makna dan
realitas sosial bakul semanggi gendong dan kuliner semanggi yang dijajakannya
ke dalam model konstruksi makna. Penulis menggunakan konsep fenomenologi
transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan makna
546| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
secara mental pada ranah individu. Penulis menggunakan fenomenologi Alfred
Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mendukung
eksistensi bakul semanggi gendong. Sedangkan untuk proses konstruksi makna
dan realitas bakul semanggi gendong, serta keterlekatan kelembagaan, penulis
menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas secara
sosial.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari
penelitian ini adalah:
1. Pemahaman realitas makna bakul semanggi gendong khususnya tentang
eksistensinya, dilihat dari because motives atau motif sebab, didukung oleh
motivasi internal dan eksternal bakul semanggi gendong.
Secara in order to motives atau motif supaya, bakul semanggi gendong tetap
eksis, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, serta
mempertahankan tradisi keluarganya. Dengan demikian secara in order to
motives, eksistensi bakul semanggi gendong Surabaya disebabkan oleh “faktor
ekonomi dan ekonomi tradisi”.
2. Realitas makna bakul semanggi gendong menurut pemahaman bakul semanggi
gendong adalah senang dan sengsara. Makna senang karena bakul semanggi
gendong setiap hari bisa mendapatkan penghasilan sendiri sehingga bisa
mencukupi kebutuhan keluarganya baik kebutuhan pokok, seperti makan,
minum dan sekolah anak-anaknya serta kebutuhan sosial, mengikuti pengajian,
undangan kerabat atau tetangga dan amal lainnya. Makna bakul semanggi
gendong yang sengsara karena harus berjuang keras menjajakan kuliner
semanggi ke Kota Surabaya yang harus ditempuhnya dengan berjalan kaki,
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |547
berkeliling dari kampung satu ke kampung yang lain sejak pagi hingga sore
hari demi keluarganya.
3. Stigma yang melekat pada diri bakul semanggi gendong telah terkonstruksi
bahwa seorang perempuan harus malakukan produksi untuk menghidupkan
rumah tangga sebagai kegiatan ekonomi dan menggerakkan kehidupannya.
Keterlekatan ini merupakan yang eksis antara rasionalitas pemikiran ekonomi
dan hubungan sosial. (hubungan keluarga, pertemanan, lingkungan, termasuk
pelanggan. Bakul semanggi gendong terinstitusi dalam keluarga dan
lingkungan, bahkan lingkungan yang lebih luas, yaitu dusun untuk melanjutkan
tradisi keluarga menjadi bakul semanggi gendong Ini merupakan institusi
turun temurun dari norma-norma dan tingkah laku yang terus bertahan seiring
dengan waktu, juga terkait dengan pelembagaan ekonomi dan sosial keluarga
bakul semanggi gendong itu sendiri dalam menyikapi perkembangan
masyarakat.
Saran
1. Kepada para peneliti sosial, khususnya peneliti yang ingin berkonsentrasi
pada kajian sosial budaya dan ekonomi, untuk dapat mempertimbangkan
kajiannya pada proses dan makna yang harus dilihat sebagai realitas subjektif,
seperti yang terjadi pada bakul semanggi gendong yang penulis teliti, ternyata
eksistensi bakul semanggi gendong di Kota Surabaya tidak sekedar karena
motif ekonomi semata, tetapi didukung oleh motif-motif sosial budaya yang
bermakna.
2. Penelitian terhadap bakul semanggi gendong ini masih jauh dari apa yang
seharusnya digali lebih dalam lagi, misalnya tentang bagaiman pola pemasaran
yang efektif tetapi tidak menghilangkan ciri khas yang sudah kental dengan
bakul gendong dan kuliner semangginya. Untuk itu diperlukan penelitian lebih
548| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
lanjut agar kuliner semanggi Surabaya lebih dikenal dan digemari oleh
masyarakat.
3. Kepada Pemkot Surabaya, disarankan agar ada kebijakan untuk menfasilitasi
lebih dari sekedar mengadakan acara kuliner hanya satu tahun sekali, namun
fasilitas itu bisa membantu bakul semanggi gendong terus eksis dan dapat
memenuhi standart hidup layak bagi keluarganya, misalnya; perbankan
(koperasi simpan pinjam dengan bunga yang ringan), asuransi jaminan sosial,
alat transportasi atau fasilitas lain yang bisa meringankan beban bakul
semanggi gendong.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, P. and T. Luckmann, 1967, The Social Construction of Reality, London,
Allen Lane.
__________, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi
Pengetahuan, Jakarta, LP3ES.
Bogdan, CR., Knopp B., 1982, Qualitative Research for Education: A
Introduction to Theory and Method, Boston: Ally and Bacon, Inc.
Burhan Bungin, 2009, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana Prenada Goup,
Jakarta.
Bogdan RC and Biklen SK, 1990, Riset Kualitatif Untuk Pendidikan : Pengantar
ke Teori dan Metode, Alih Bahasa : Munandir; Jakarta : PAU, Dirjen
Dikti, Dep. Dik.
Berger, Peter L. dan Luckman, Thomas, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan,
Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta, LP3ES.
Craib I., 1994, Teori-Teory Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermes,
Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Damsar, Indrayanti, 2013, Pengantar Sosiologi Ekonomi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta
Daeng H.. 1992. Teori Migrasi, terjamahan A Theory of Migration. Yogyakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan, UGM.
Dorleans, Bernard. 1994. "Perencanaan Kota dan Spekulasi Tanah di Jabotabek",
dalam: Prisma No. 2 Tahun XXIII Pebruari 1994.
Effendi S, 1981. Unsur-unsur Penelitian Ilmiah ; dalam Singarimbun M dan
Effendi S (ed.): Metode Penelitian Survai, Edisi kedua. Yogyakarta:
Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |549
Engkus Kurwarno. 2009,. Metode Penelitian Fenomenologi Konsepsi pedoman
dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran
Ferguson, H.. 2001. “Phenomenology and Social Theory, dalam George Ritzer
dan Barry Smart.”, in Hand Book of Social Theory. London: SAGE
Publication
Granovetter, Mark. 1990 "The Old dan Ekonomi Sosiologi Baru: Sejarah dan
Agenda" Pp 89-112 di R. Friedland dan AF Robertson, editor, Beyond
the Marketplace:.. Rethinking Ekonomi dan Masyarakat New York:.
Aldine.
_______, Departemen Sosiologi Universitas Stanford , diedit oleh Mauro F.
Guillen, Randall Collins, Paula Inggris, dan Marshall Meyer (New York:
Russell Sage Foundation, 2002).
Gana, K, Judistira. 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung:
Garna Primaco Akademika
Gambetta, Diego, editor. 1988. Trust Oxford: Blackwell.
Geertz, Cliford. 1992. Tafsir Kebudayaan (diterjemahkan oleh Francisco Budi
Hardiman. Yogyakarta: Kanisius
Gilbert, Alan & Josef Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Goldthorpe, J.E.. 1992. Sosiologi Dunia Ketiga, Kesenjangan dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia.
Hauser, Phlilip M. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan, Studi Kasus di
Beberapa Daerah Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Harsojo, 1970. “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
----------, (1988). Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta.
Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.
_______ . 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjadjaran.
Liliweri, Alo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LKiS.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdkarya.
Severin, Werner J. and James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah,
Metode, Dan Terapan Di Dalam Media Massa. 5th ed. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 1975. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.
550| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan,Yogyakarta:
Kanisius.
Thoha, Miftah. 1998. Perilaku Organisasi. Jakarta: PT RajaGrafindo persada.
Jurnal Elektronik:
Departemen Sosiologi FISIP UNAIR. n.d. “Teori Interaksi Simbolik mead.”
(http://sosiologi.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&i
d=74:teori-interaksi-simbolik-mead&catid=34:informasi).
Jurnal SDM. 2009. “Komunikasi antar Budaya ; Definisi, dan Hambatannya.”
(http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/komunikasi-antar-budaya-
definisi-dan.html).
Manuaba, Putera, 2010,“Memahami Teori Konstruksi Sosial.”Masyarakat
Kebudayaan Dan Politik. Retrieved 2012
(http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=119:memahami-teori-konstruksi-
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |551
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN BERBASIS GENDER
Refti Handini Listyani & Ari Wahyudi
Dosen Prodi Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial FISH Universitas Negeri Surabaya
Abstrak; Berpikir tentang perempuan dalam pembangunan berarti membayangkan keadaan di
mana penyakit-penyakit sekarang ini ditransformasi. Proses perencanaan kebutuhan
gender strategis perempuan semuanya berkisar pada penciptaan model perubahan.
Pendekatan pemberdayaan mengandung makna bahwa model perubahan harus
dihasilkan oleh perempuan sendiri. Dalam mempertimbangkan bagaimana bersikap
terhadap perempuan dalam proses pembangunan yang telah dan sedang berubah,
tampak jelas bahwa pelbagai pendekatan selama bertahun-tahun merefleksikan
pandangan yang berbeda secara mendasar tentang paradigma pembangunan yang
tepat maupun peran ekonomi dan sosial perempuan. Ketidakberhasilan
mempertimbangkan perempuan sebagai individu dengan kebutuhan, hak dan
kemampuan khusus, hanya akan mengakibatkan peningkatan beban kerja dan tingkat
ketegangan perempuan, dan bukannya perbaikan status dan pilihan mereka. Penting
mengakui bahwa, jika sebab-sebab utama subordinasi perempuan tidak diperhatikan,
dan kebutuhannnya yang dijanjikan tidak diprioritaskan, projek dan program
pembangunan yang melibatkan perempuan tidak akan menghasilkan perbaikan
berarti dan abadi dalam hidup mereka.
Kata kunci: Perempuan, pembangunan, dan kemiskinan
KONSEPTUALISASI KEMISKINAN
Kemiskinan memiliki wajah perempuan. Ini merupakan kesimpulan
dalam banyak literature pembangunan yang melihatan bagaimana perempuan
tidak terwakili secara professional di antara kelompok miskin dan tak punya
kekuasaan di dunia, sebagai akibat langsung dari model pembangunan dominan
yang dipromosikan di seluruh kawasan selatan. Kehancuran perekonomian selatan
yang disebabkan oleh pinjaman yang diinvestasikan secara tidak bijaksana dan tak
mampu dibayar, krisis ekonomi berikutnya serta program penyesuaian structural
yang mengikutinya benar-benar menambah beban kerja reproduktiff dan
produuktif bagi jutaan perempuan miskin. Hasilnya, ketika kaum perempuan
552| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
membentuk dan bergabung dengan organisasi baru guna mengatasi krisis yang
membentang dihadapannya, banyak isu yang sebelumnya dilihat sebagai
kepedulian pribadi dan domestic, seperti kesehatan, pendidikan, pendapatan
keluarga dan gizi, menjadi isu public dan politik. Singkatnya, manakala mulai
terjadi konflik antara organisasi ini dengan pranata yang didominasi laki-laki,
feminisasi kemiskinan juga memiliki wajah yang lebih publik.
Krisis ekonomi dan penyesuaian struktural merupakan salah satu segi
dari krisis global yang memperburuk keadaan perempuan. Segi lainnya adalah
proses komoditisasi dan perkembangan perekonomian uang tunai, yang cenderung
memarginalkan kerja perempuan. Proses ini tampak jelas dalam produksi pangan,
khususnya ketika proses tersebut mempengaruhi bagian terbesar Afrika.
Kegagalan kebijakan pembangunan untuk memusatkan perhatian kepada
ketidakadilan di dalam dan antarnegara, yang mellahirkan distribusi sumber daya
yang tidak adil, ikut berperan mempertinggi ketegangan dan meningkatkan
pembelanjaan senjata baik untuk maksud penindasan di dalam negeri maupun
konfflik regional, nasional dan internasional.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN
Julia Cleves Mosse (2007) menyatakan bahwa kemiskinan perempuan
disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia perempuan sendiri, dan
hal itu mengakibatkan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-
laki dalam pembangunan. Secara rinci Mosse memberikan gambaran bahwa
pandangan perempuan miskin menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan:
1. Projek itu gagal menyentuh kaum perempuan yang berpendapatan rendah. Hal
ini sebagian besar memperkirakan bahwa ada “bias laki-laki” dalam projek itu,
karena perempuan adalah anggota rumah tangga yang didominasi laki-laki,
maka dinilai kepentingan mereka tercermin dalam kepentingan suami atau
ayahnya. Sebagaimana akan menjadi jelas bahwa persepsi tentang “komunitas”
sebagai satu unit dengan sejumlah persatuan konsensual adalah keliru dengan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |553
kegagalannya memahami kelompok sosio ekonomi yang berbeda di dalam
suatu kawasan geografi. Demikian pula, akan menjadi jelas bahwa perempuan
sering luput dari pertimbangan dan terlupakan, bahkan di dalam kelompok
yang tidak beruntung dalam suatu masyarakat. Akibatnya, perempuan
mengalami kemiskinan yang lebih parah disbanding laki-laki yang
berpenghasilan rendah dalam komunitasnya, khususnya perempuan yang
mengepalai rumah tangganya sendiri. Walaupun petani laki-laki miskin,
penyewa tanah, dan laki-laki yang tidak memiliki tanah secara geografis, sosial
dan cultural seringkali terisolasi dari upaya pembangunan, perempuan dari
kelompok sosio-ekonomi yang sama cenderung masih lebih buruk keadaannya,
dan terjauhkan dari peluang memperbaiki basis mata pencariannya. Mereka
tidak memiliki akses terhadap sumber pembangunan, misalnya, terhadap kredit
atau perhatian para pekerja secara luas; kesenjangan gender melahirkan
kendala bagi partisipasi social mereka yang setara, dan ketiadaan organisasi
yang kokoh untuk mewakili kepentingannya membuat membuat mereka tidak
mampu membangun suara atau menjadikannya didengar. Alasan lain untuk
memulai dari sudut
2. Alasan lain adalah resesi dahsyat mengakibatkan lebih rendahnya standar
hidup dan tingginya tingkat pengangguran. GNP (Gross National Product) per
kapita sedikitnya 10 persen lebih rendah di tahun 1986 dibanding tahun 1981;
tujuh Negara kehilangan pendapatan lebih dari 15 persen dan empat Negara
kehilangan lebih dari 20 persen. Sembilan belas dari 23 negara menunjukkan
angka pertumbuhan negatif dalam periode 16 tahun dari tahun 1970 hingga
1986. Sementara resesi menghantam setiap orang, kaum perempuan miskinlah
yang paling terhempas, karena mereka adalah orang yang bertanggungjawab
member makan, pakaian dan mendidik anak-anak, dengan sumber daya yang
terus terpuruk. Ketika pemerintah tengah berjuang dengan IMF melalui
554| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
penghematan anggaran belanja yang memotong pelayanan kesejahteraan, kaum
perempuan yang harus menanggung beban kerja lebih banyak. Selama tugas
mempertahankan keluarga tetap jadi tanggung jawab perempuan, kaum
perempuan akan terus memikul beban yang tidak seimbang akibat kerugian
karena gagalnya pembangunan. Kerja perempuan di dunia ketiga sangat vital
bagi kelangsungan hidup keluarga miskin, dan bagi kelangsungan
masyarakatnya secara keseluruhan. Perempuan berada di pusat reproduksi
kehidupan dan masyarakat, tidak hanya dalam pengertian biologis, tetapi
melalui peran mereka sebagai produsen pangan dan petani, pengumpul kayu
bakar dan air, pemasak, pengawal kultur, guru bagi anak-anaknya, dan
penyembuh penyakit.
3. Banyak kekeliruan projek pembangunan yang mendasarkan pada gagasan
steteotipe perempuan sebagai istri. Setidaknya ada empat hal yang
mengilustrasikan pelbagai konsekuensi tentang kekeliruan tersebut, yaitu:
Pertama; projek tersebut didasarkan kepada apa yang dilihat sebagai
kemampuan khas “perempuan”, pembordiran. Banyak projek pembangunan
bagi perempuan didasarkan atas gagasan tradisional tentang apa yang paling
baik dilakukan perempuan- membuat selai dan acar, menjahit, merajut, atau
membuat kuue. Sekalipun mungkin benar bahwa banyak perempuan memiliki
keterampilan dalam bidang ini, tetapi membuat projek untuk mereka berarti
gagal mengembangkan keterampilan baru. Kedua; projek tersebut dikelola dari
luar tanpa melibatkan perempuan dalam perencanaan projek itu. Pihak
perempuan diajak berembug hingga tahap mengidentifikasi kebutuhannya
sebagai uang tunai, tetapi diasumsikan bahwa perempuan tidak memiliki
kemampuan merencanakan dan melaksanakan projek. Jika perempuan mampu
bekerja sama merancang projek sendiri, menghasilkan sesuatu yang mungkin
memenuhi kebutuhan nyata dalam komunitas itu, dengan mana hanya mereka
yang memiliki kualifikasi menilai –buku-buku sekolah yang murah atau
perabotn sekolah perawat, untuk menyebut dua contoh saja dari projek yang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |555
berhasil—projek itu mungkin tidak akan lumpuh. Projek yang mengasumsikan
bahwa perempuan “hanyalah ibu rumah tangga”, berarti gagal
memperhitungkan keterampilan manajemen yang dimiliki dan dikembangkan
perempuan selama menjalankan roda rumah tangga yang senantiasa sibuk ddan
dengan sumber daya yang amat terbatas. Ketiga, projek itu gagal memahami
betapa sudah sibuknya perempuan itu sebelumnya. Sebagian besar hanya
memiliki sedikit sekali waktu luang untuk menjahit sarung bantal. Tak heran
bila mereka melibatkan anak perempuannya. Kesalahan mengasumsikan bahwa
perempuan memiliki semacam system pendukung rumah tangga yang
memungkinkan mereka mengambil bagian dalam projek yang mendatangkan
penghasilan berarti tidak peka terhadap kebutuhan mereka sekaligus
ketidakpekaan terhadap kesalahan yang sebaiknya bahwa perempuan tidak
tertarik dengan program ekonomi. Jika perencanaan projek memperbolehkan
perempuan merencanakan system kerja sama untuk memecahkan persoalan
tanggung jawab rumah tangganya (misalnya saja, dengan cara penggabungan
tempat penitipan anak dan makan siang ke dalam projek itu), tidak saja
perempuan akan lebih punya banyak keuntungan dan kontribusi, tetapi
stereotype gender lainnya akan ditolak; bahwa perempuan cukup dibatasi, atau
lebih suka, di dalam rumahnya sendiri. Dengan mengumpulkan perempuan
dalam satu tempat, projek itu membuka peluang kepada kaum perempuan
untuk membahas pengalamannya dan mulai mengatasi persoalan yang sama-
sama dihadapinya. Keempat; perencana projek memperkirakan bahwa uang
yang dihasilkan dari perbuatan sarung bantal merupakan upah subside,
penghasilan kedua. Karena itu, mereka secara khusus tidak memprihatinkan
tingkat upah yang rendah karena diasumsikan bahwa telah ada pencari nafkah
laki-laki di setiap rumah tangga. Tetapi tidak demikian kenyataannya bagi
beberapa perempuan dan mewakili stereotype gender lainnya. Projek seperti ini
556| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tidak melakukan apa-apa untuk menolak pandangan yang menganggap bahwa
pada dasarnya perempuan adalah ibu rumah tangga, pasif, tergantung dan tanpa
kerja nyata (sehingga mereka bisa mempunyai kegiatan tambahan). Dengan
pemikiran dan imajinasi lebih, projek itu bisa menolak semua stereotype ini
dan memungkinkan perempuan membuat dan turut mengawasi projek yang
berhasil.
MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Di seluruh dunia, kerja perempuan dinilai rendah. Jika petugas sensus
diinstruksikan untuk tidak memasukkan kerja rumah tangga perempuan dalam
formulir sensusnya, pesannya jelas “ jangan menghitung kerja perempuan karena
kerja perempuan tidak dipertimbangkan”. Jika pekerjaan rumah tangga
ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, diperkirakan bahwa angka
GNP global akan meningkat setidak-tidaknya sepertiga. Kerja yang dilakukan
perempuan kadang-kadang dilukiskan sebagai “tidak tampak” karena kerja itu
tidak terekam secara statistik. Kerja perempuan lebih dipandang sebagai
menghidupi ketimbang mendapatkan penghasilan. Di seluruh dunia, tetapi secara
khusus bagi perempuan berpenghasilan rendah di selatan, keberagaman tindakan
keseharian inilah yang menghidupi, yang mempertahankan kelangsungan hidup
rumah tangga yang tak terhitung jumlahnya.
Esther Boserup (1970) melihat kembali proses pembangunan tahun 1950
an dan 1960 an dengan pandangan yang peka gender. Bukannya beranggapan
bahwa perempuan hanya dibatasi oleh peran reproduktifnya sebagai istri dan ibu.
Boserup malahan melihat produktivitas mereka, dan menekankan peran vital
perempuan dalam ekonomi pertanian. Karya Boserup dikritik karena kesetiaannya
kepada pendekatan ekonomi yang dominnan pada masa itu, modernisasi. Penulis
berikutnya berpendapat bahwa bukunya juga gagal memberikan perhatian kepada
kerja perempuan dalam rumah tangga sebagai dasar subordinasi, dan kepada
pengaruh akumulasi modal dalam setting colonial, dua tema terpenting bagi
teoritis WID (Women in Develompment) selanjutnya.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |557
Dasawarsa perempuan internasional menjadi pemacu utama bagi
kegiatan penelitian dan pembahasan mengenai perempuan dalam proses
pembangunan. Gagasan tentang persamaan menjadi kreteria penting bagi
pemikiran tentang apa yang dibutuhkan perempuan dari pembangunan. Menurut
Caroline Moser (1986), pendekatan kebijakan terhadap perempuan dan
pembangunan (women and development) yang berkembang dari kepedulian
terhadap persamaan ini –pendekatan persamaan –adalah pendekatan yang
mengakui bahwa:
“ perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan, yang
melalui peran produktif dan reproduktifnya memberikan kontribusi kritis,
meski tidak diakui terhadap pertumbuhan ekonomi. Pendekatan tersebut
dimulai dengan asumsi dasar bahwa strategi ekonomi seringkali
berdampak negatif kepada perempuan, dan mengakui bahwa mereka
harrus dibawa ke dalam proses pembangunan melalui akses terhadap
pekerjaan dan pasar …Namun, pendekatan keadilan juga terkait dengan
masalah mendasar tentang persamaan yang mentransendenkan bidang
pembangunan…yang kepedulian utamanya adalah ketidakadilan antara
laki-laki dan perempuan, baik dalam lingkup kehidupan publik maupun
privat…Pendekatan ini mengiddentifikasi asal usul subordinasi perempuan
yang berada tidak hanya dalam konteks keluarga, melainkan pula dalam
hubungan antara laki-laki dan perempuan di pasar”.
Ada tiga unsur penting di sini. Pertama, pengakuan terhadap nilai
ekonomi kerja perempuan yang dibayar dan tidak dibayar (yang bernilai sepertiga
dari produk ekonomi global tahunan, atau 4.000 milyar dolar dalam tahun 1985).
Kedua; ada pengakuan bahwa sebagian besar pembangunan berpengaruh
merugikan kepada perempuan. Ketiga; ada argument bahwa pengejaran
persamaan, di pasar dan di rumah, akan menyelesaikan masalah ini. Namun, di
sinilah pendekatan persamaan memunculkan kritiknya, baik sebagai pendekatan
yang lebih dari atas ke bawah (top down) dan sebagai refleksi kesuntukan feminis
dunia pertama terhadap keadilan.
558| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Pendekatan persamaan terhadap perempuan dalam pembangunan mulai
kehilangan pamornya di kalangan banyak lembaga bantuan, dan dipandang
dengan kecurigaan oleh banyak pemerintah Dunia ketiga. Dalam kasus lembaga
bantuan, redistribusi kekuasaan implisit yang diterapkan dilihat sebagai intervensi
yang tidak bisa diterima dalam tradisi suatu Negara. Beberapa pemerintah dunia
ketiga, walaupun mereka menandatangani Forward Looking Strategies for
Advancement of Women (Strategi Jangka Panjjang bagi Kemajuan Perempuan)
yang dirumuskan di Nairobi, merasa bahwa seruan akan persamaan merupakan
pengabsahan terhadap feminism yang diekspor oleh Barat. Namun begitu, Strategi
itu memberikan kerangka kerja penting bagi mereka yang bekerja dalam
pemerintahan untuk memperbaiki status perempuan melalui perundang-undangan
resmi.
IMPLEMENTASI STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
Tiga pendekatan terhadap peran perempuan dalam pembangunan ditandai
oleh Moser sebagai “pendekatan antikemiskinan (anti-poverty approach)”,
“pendekatan efisiensi (efficiency approach), dan “pendekatan pemberdayaan
(empowerment approach)”. Para penulis lain memberi sifat evolusi pendekatan
sebagai beralih dari WID (Women in Development—Perempuan dalam
Pembangunan), ke WAD (Women and Development—Perempuan dan
Pembangunan), kemudian ke GAD (Gender and Development—Gender dan
Pembangunan). Selanjutnya akan diuraikan secara singkat masing-masing
pendekatan ini. Pendekatan tersebut tidak “dicoba” secara berurutan dan masih
mungkin menemukan contoh tentang projek dan program yang mencirikan semua
pendekatan ini, dan banyak projek serta program lainnya yang tampaknya
menggabungkan beberapa unsur.
Pendekatan Antikemiskinan
Sejak akhir tahun 1960-an, tampak jelas bahwa kelompok termiskin dari
kelompok miskin tetap miskin, dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |559
Pun mulai menjadi jelas bahwa pendidikan dan pelatihan kejuruan paling-paling
hanya menguntungkan segelintir perempuan. Pendekatan antikemiskinan terhadap
perempuan dalam pembangunan lebih mengambil kemiskinan sebagai pangkal
tolaknya ketimbang subordinasi sebagai sumber ketidakadilan antara perempuan
dan laki-laki, dan dibangun untuk memperbaiki pendapatan kaum perempuan
miskin. Di sini, pendekatan ini mencerminkan prioritas Bank dunia dan ILO
maupun “Strategi kebutuhan pokok”, dengan tujuan utamanya memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, tempat berteduh dan bahan bakar.
Perempuan yang berpendapatan rendah diidentifikasi sebagai kelompok sasaran
khusus, setidaknya bukan dikarenakan peran sentralnya dalam menyediakan
kebutuhan pokok ini bagi keluarganya.
Perempuan dalam Pembangunan (WID)
Ungkapan “Perempuan dalam Pembangunan” dan singkatannya yang diterima,
WID, sedikit banyak menyimpulkan ungkapan pemikiran pertama mengenai
peran perempuan dalam pembangunan dan pendekatan yang telah kita cakup
sebegitu jauh. Uangkapan itu dicipttakan pada awal 1970-an oleh Women’s
Committee of the Washington D.C. Chapter of the Society for International
Developmen sebagai bagian dari strategi cermat untuk membawa pemikiran baru
Boserup dan lain-lainnya agar menjadi perhatian para pembuat kebijakan
Amerika. Sejak itu, WID digunakan sebagai steno bagi pendekatan terhadap isu
perempuan dan pembangunan yang sebagian besar didasarkan kepada paradigma
modernisasi. Pendekatan WID difokuskan kepada inisiatif seperti pengembangan
teknologi yang lebih baik, yang tepat, yang akan meringankan beban kerja
perempuan. WID bertujuan untuk benar-benar menekankan sisi produktif kerja
dan tenaga perempuan—khususnya penghasilan pendapatan –dengan
mengabaikan sisi reproduktifnya, dan di sini pendekatan itu memperlihatkan
asalnya dari kaum liberal Utara pada 1970-an dan 1980-an.
560| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Pendekatan Efisiensi
Pendekatan efisiensi terhadap perempuan dalam pembangunan
digambarkan dengan baik oleh dua dokumen mutakhir, satu dari Bank Dunia dan
satu lagi dari ODA Inggris. Dalam sebuah penerbitan tahun 1987 yang berjudul
“pendekatan Baru Bank Dunia terhadap Perempuan dalam Pembangunan”,
Kepala unit Women and Development, Barbara Herz menulis sebagai berikut:
Kami ingin memperlihatkan apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk
memasukkan perempuan dalam program-program pembangunan dan
bagaimana hal itu bisa memberikan sumbangan kepada kinerja ekonomi,
mengurangi kemiskinan dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya—Bank
memakai pendekatan baru, pendekatan yang lebih operasional, terhadap
perempuan dalam pembangunan—pendekatan ini menekankan hasil dalam
produktivitas ekonomi yang bisa diperoleh melalui keterlibatan perempuan
secara lebih efektif dan menitikberatkan kepada cara-cara praktis untuk
melibatkan perempuan dalam operasi-operasi normal di bidang pertanian,
pendidikan dan PHN (Primary Health and Nutrition).
Pernyataan kebijakan ODA tercatat tahun 1989 dan berbunyi:
Untuk mencapai perlakuan yang lebih baik bagi perempuan, sekaligus dan
pada saat yang sama, merupakan langkah utama menuju kea rah
penghapusan kemiskinan, perluasan kesempatan social dan rangsangan
bagi pembangunan ekonomi. Perempuan merupakan bagian yang lebih
besar dari kelompok termiskin dari yang miskin. Membantu mereka berarti
bisa member sumbangan besar guna mengurangi kemiskinan. Perempuan
memegang kunci bagi masyarakat yang lebih produktif dan dinamis. Jika
mereka sendiri sehat dan berpengetahuan, serta memiliki akses yang lebih
besar terhadap pengetahuan, keterampilan dan kredit, meraka akan lebih
produktif secara ekonomis. Selain itu, perempuan memiliki pengaruh
dominan terhaddap generasi yang akan dating melalui sikap, pendidikan
dan kesehatan mereka. Persamaan dan pertumbuhan ekonomi berjalan
bersama. Jika tantangan terhadap keberanian berusaha ini cukup hebat,
maka akan membuahkan keberhasilan.
Kedua pernyataan ini mengandung satu hal penting: keyakinan bahwa
pembangunan hanya akan efisien bila perempuan dilibatkan. Pengakuan bahwa “
50 persen sumber daya manusia bagi pembangunan disia-siakan atau tidak
dimanfaatkan sepenuhnya”, mewakili perubahan penekanan dari perempuan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |561
sendiri sebagai focus kepedulian, ke kontribusi mereka memanfaatkan
pembangunan untuk bekerja. Kecemasan di kalangan perencana pembangunan
bahwa banyak sekali uang dan sumber daya lainnya tidak berhasil membuat
dampak penting apa pun, menurut Moser, menjadikan pendekatan efisiensi
dengan cepat diambil sebagai model bagi WAD.
Perempuan dan Pembangunan (WAD)
Perempuan dan Pembangunan (WAD) merupakan satu pendekatan
feminis neo-Marxis, yang muncul dalam paruh terakhir 1970-an yang berasal dari
suatu kepedulian terhadap keterbatasan teori modernisasi. Bukannya menitik
beratkan kepada strategi untuk “mengintegrasikan perempuan dalam
pembangunan”, pendekatan ini justru menunjukkan bahwa perempuan selalu
penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukannya dalam rumah tangga dan
komunitasnya sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakat mereka. WAD
mengakui bahwa laki-laki miskin juga menjadi korban dari proses pembangunan
yang mengabaikan mereka, tetapi prose situ cenderung mengelompokkan
perempuan tanpa menganalisis pembagian kelas, ras dan etnis di antara mereka
secara memadai. Pendekatan WAD berasumsi bahwa posisi perempuan akan lebih
baik selama dan ketika struktur internasional menjadi lebih adil, dan dalam hal ini,
pendekatan ini cenderung kurang mengindahkan sifat penindasan gender khusus
perempuan. Posisi perempuan dilihat sebagai bagian dari struktur internasional
dan ketidakadilan kelas, ketimbbang sebagai akibat dari ideology dan struktur
patriarki. Pendekatan WAD cenderung menitikberatkan kepada kegiatan yang
mendatangkan pendapatan dan kurang mengindahkan tenaga perempuan yang
disumbangkan dalam mempertahankan keluarga dan rumah tangga.
Pendekatan Pemberdayaan atau Gender dan Pembangunan (GAD)
Satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam pembangunan yang
melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang dilakukan
562| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
perempuan—kerja produktif, reproduktif, privat dan publik –dan menolak upaya
apa pun untuk menilai rendah pekerjaan mempertahankan keluarga ddan rumah
tangga, mulai dikenal sebagai “pemberdayaan”, atau secara lebih umum,
pendekatan “Gender dan Pembangunan” (Gender and Development – GAD)
terhadap perempuan dalam pembangunan.
Pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari bawah ke atas
(bottom-up) ketimbang pendekatan dari atas ke wabah (top-down), dan
kebanyakan pemikiran tentang pemberdayaan dating dari tulisan feminis dan
gerakan perempuan yang muncul di selatan. Sesungguhnya pendekatan ini lebih
merupakan pendekatan perempuan selatan terhadap pembangunan, ketimbang
pendekatan laki-laki kulit putih Utara. Pendekatan ini melacak akar-akar
subordinasi dalam ras, kelas, sejarah colonial, dan posisi Negara-negara selatan
dalam tata ekonomi internasional. Pendekatan ini memahami tujuan pembangunan
bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal, dan sedikit
banyak lebih menekankan pada pembuatan undang-undang yang berkenaan
dengan kesamaan antara laki-laki dan perempuan ketimbang pemberdayaan
perempuan itu sendiri untuk berusaha mengubah dan mentransformasikan struktur
yang sangat bertentangan dengan mereka—seperi undang-undang perburuhan,
control laki-laki atas tubuh dan hak reproduktif perempuan, undang-undang sipil,
dan hak atas kekayaan.
Sementara pendekatan persamaan juga melihat perlunya melakukan
reformasi struktur-struktur ini, pendekatan ini berbeda dari pemberdayaan dalam
hal keyakinannya bahwa perubahan yang dipaksanakan dari atas itu lebih efektif.
Pendekatan pemberdayaan, seraya mengakui perlunya pembuatan undang-undang
yang bersifat mendukung, berpendapat bahwa perkembangan organisasi
perempuan, yang mengarah kepada mobilisasi politik, peningkatan kesadaran dan
pendidikan rakyat, merupakan syarat penting bagi perubahan social yang
berkelanjutan. Organisasi perempuan menawarkan kemungkinan pemberdayaan
dan perubahan pribadi, dan juga memberikan konteks bagi transformasi pribadi
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |563
ini menuju aksi politik. Kelompok perempuan yang paling berhasil adalah
kelompok-kelompok yang bergerak di sekitar kebutuhan khusus, misalnya dalam
bidang kesehatan atau pekerjaan, dan kemudian terus berjuang demi isu-isu
jangka panjang.
EVALUASI
Salah satu cara yang paling bermanfaat dalam melihat kepentingan
gender perempuan adalah dengan melakukan pembedaan antara memperbaiki
sulitnya kondisi yang setiap hari dihadapi oleh sebagian perempuan miskin di
selatan –yang menitikberatkan kebutuhan gender praktis mereka –dan
menyelesaikan masalah struktural mendasar yang menyebabkan kondisi ini.
DAWN berpendapat bahwa banyak “studi memperlihatkan bahwa bukannya
semakin membaik, status sosio-ekonomi kebanyakan perempuan Dunia Ketiga
malah semakin buruk sepanjang dasawarsa ini. Laporan dan statistik lainnya
menunjukkan perbaikan tingkat pemberantasan buta huruf, kematian anak dan
pertumbuhan pendapatan perkapita setidak-tidaknya di beberapa Negara selatan.
Kontradiksinya bisa jadi dijelaskan oleh kenyataan bahwa sebagian besar
keuntungan pembangunan tidak dinikmati secara merata antara laki-laki dan
perempuan atau antar perempuan dari kelas yang berbeda. Akses relatif
perempuan terhadap sumberdaya ekonomi dan pekerjaan makin buruk, kendati
“kue” sumber daya meningkat. Perbaikan dalam bidang kesehatan, perumahan
dan pendidikan tidak pernah menjangkau orang-orang yang merupakan focus
nyata dalam literature WID, kelompok termiskin dari perempuan miskin.
Jelaslah bahwa hanya dua macam pendekatan terhadap perempuan dalam
pembangunan yang kita lihat bakal bekerja demi kepentingan strategis jangka
panjang perempuan—pendekatan persamaan dan pendekatan pemberdayaan. Dari
keduanya, pemberdayaan mungkin yang paling efektif dalam mewujudkan
pelbagai macam transformasi yang diinginkan.
564| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Analisis ini memunculkan beberapa pertanyaan penting tentang hakikat
proses pembangunan itu sendiri; yang terpenting, pertanyaan tentang apakah arti
pembangunan sebenarnya bagi perempuan. Dalam menjawab masalah ini akan
muncul satu dilema dan menggemakan tema yang berulang-ulang muncul dalam
perdebatan feminis sejak abad ke-19. Ini merupakan pertanyaan tentang apakah
perempuan telah mencapai pembebasan –atau dalam istilah pembahasan ini,
pembangunan –atas dasar kesamaan mereka dengan laki-laki, atau perbedaan
mereka dari laki-laki. Pendekatan persamaan, seperti kita lihat, menekankan
bahwa jalan ke depan adalah dengan membolehkan keterlibatan perempuan
berdasarkan kesamaan dengan laki-laki, dengan cara mempertinggi keterampilan
perempuan sehingga mereka bisa mengangkat diri mereka keluar dari sektor
informal, dan menjadi bagian dari perekonomian yang mendapatkan upah.
Menurut pandangan ini, perempuan belum berada di pusat pembangunan, tetapi
pinggiran. Dengan cara degendering (melepaskan gender—pen) mereka, kaum
perempuan bisa menjadi “seperti laki-laki” dalam proses pembangunan.
Pandangan yang bertolak belakang, yang menegaskan sentralitas
perempuan bagi pembangunan, membutuhkan pengakuan dan penilaian yang
tepat mengenai kerja tradisional perempuan (dengan memasukkannya ke dalam
angka-angka untuk GNP, misalnya). Dalam bentuknya yang paling radikal,
pandangan ini mendesak pemulihan “prinsip feminine” dalam pembangunan.
Dalam peran gender tradisionalnya, perempuan mengejar bentuk pembangunan
yang peka lingkungan, kuat secara ekologis, berkelanjutan, memperbaiki
kehidupan, dan adil. Pandangan tentang pembangunan perempuan ini menuntut
kebangkitan kembali cara-cara mempertahankan dan melindungi kerja itu, dan
bukan menolaknya.
Konflik antara kedua model ini tampaknya tak bisa didamaikan. Di satu
sisi, kita memiliki satu gambaran tentang kemajuan perempuan di mana,
misalnya, para kontraktor perempuan yang terdidik mendapat gaji yang baik,
dengan mengikuti kebijakan pemerintah yang diputuskan oleh perempuan dan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |565
laki-laki, yang bekerja di satu projek bubur kayu komersial untuk meningkatkan
konsumsi kertas perkapita—keadaan ini terkadang dilihat sebagai satu indikasi
pembangunan. Pada sisi lain, kita mendapati kaum perempuan desa sedang
mendekap pohon-pohon “miliknya” untuk menunjukkan kepada para kontraktor
laki-laki tentang arti penting pohon bagi komunitas mereka. Mereka yang
menjunjung tinggi sentralitas peran perempuan dalam pembangunan yang “baik”
mungkin akan berpendapat bahwa bagi perempuan menebang pohon atau
membangun bendungan akan menjadi contoh dari pilihan perempuan masuk ke
“pembangunan keliru” yang didasarkan kepada prinsip ekspansionisme ekonomi,
eksploitasi ekologi dan neokolonialisme. Kontra argumennya adalah perempuan
telah begitu lama tidak menikmati penghargaan material dari pembangunan, dan
tetap bertahan pada kemurnian ideologinya yang bekerja secara efektif sebagai
cara lain untuk mengghetokan mereka –manifestasi lain dari paternalism.
Bukan hanya penulis selatan yang mengejar gagasan penilaian kembali
peran gender tradisional perempuan sebagai dasar bagi jenis pembangunan yang
lebih baik. Kate Young (1989), misalnya, berpendapat bahwa kegiatan perempuan
di seputar melahirkan dan membesarkan anak “di mana-mana tidak diakui sebagai
golongan yang sama dengan kegiatan yang bertujuan menghasilkan barang –jadi
pangkal tolak bagi kritik feminis terhadap pembangunan haruslah produksi atau
pemeliharaan barang dalam cara apapun seharusnya mengambil preseden dari
produksi dan pemeliharaan orang. Dan perencanaan bagi pertumbuhan ekonomi
harus memberi bobot yang sama kepada produksi dan pemeliharaan manusia serta
pemeliharaan hubungan sosial seperti kepada produksi dan distribusi barang dan
jasa.
Berpikir tentang perempuan dalam pembangunan berarti membayangkan
keadaan di mana penyakit-penyakit sekarang ini ditransformasi. Proses
perencanaan kebutuhan gender strategis perempuan semuanya berkisar pada
566| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
penciptaan model perubahan. Pendekatan pemberdayaan mengandung makna
bahwa model perubahan harus dihasilkan oleh perempuan sendiri. (Misalnya,
bukan lembaga dana luar negeri yang mendiktekan jenis perubahan yang
diperlukan oleh pemulung kertas di Ahmedabad untuk memulai proses
pemberdayaan). Dalam mempertimbangkan bagaimana bersikap terhadap
perempuan dalam proses pembangunan yang telah dan sedang berubah, tampak
jelas bahwa pelbagai pendekatan selama bertahun-tahun merefleksikan pandangan
yang berbeda secara mendasar tentang paradigma pembangunan yang tepat
maupun peran ekonomi dan sosial perempuan. Ketidakberhasilan
mempertimbangkan perempuan sebagai individu dengan kebutuhan, hak dan
kemampuan khusus, hanya akan mengakibatkan peningkatan beban kerja dan
tingkat ketegangan perempuan, dan bukannya perbaikan status dan pilihan
mereka. Penting mengakui bahwa, jika sebab-sebab utama subordinasi perempuan
tidak diperhatikan, dan kebutuhannnya yang dijanjikan tidak diprioritaskan,
projek dan program pembangunan yang melibatkan perempuan tidak akan
menghasilkan perbaikan berarti dan abadi dalam hidup mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Boserup,E. 1970. Women’s Role in Economic Development, New York: St.
Martins. Hal. 5.
Moser, C.On. dan Levy, C. 1986. A Theory and Methodology of Gender.
University of London: DPU Gender and Plsnning Working Paper11, hal 3.
Mosse, Julia Cleves. 2007. Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Rifka Annisa Women’s Crisis Centre.
Oakley,P dan Marsden.D. 1984. Approaches to Participation in Rural
Development. Geneva: ILO, hal. 5.
Young,K.1989. Serving Two Masters, Ahmedabad: Allied Publishers Ltd, hal.
Xiv
War on Want.1987.”Women, food, and famine”, dalam Women for a Change.
London: War on Want.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |567
KEMISKINAN DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN KAWASAN
Murtedjo* & Suharningsih**
*) Jurusan Pendidikan Geografi FIS-H Unesa dan **)Jurusan PMP-KN
FISH Unesa
Abstrak
Pembangunan kawasan dianggap sebagai program pembanguanan yang efektif
dalam menanggulangi kemiskinan. Pembangunan kawasan bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi melalui pembentukan focal point.
Implementasi pembentukan focal ponit dilakukan dengan pendekatan langsung
(direct attact) maupun tidak langsung (tricle -down effect). Melalui
pembangunan kawasan dengan menggunakan pendekatan tersebut proses
akselerasi industrialisasi berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan serta pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat miskin.
Hasil konkrit pembangunan kawasan yang dilaksanakan pemerintah, secara
perlahan lahan namun pasti dapat menurunkan kemiskinan baik absolut
maupun relatif.
Kata kunci: kemiskinan, pengembangan wilayah
PENDAHULUAN
Tulisan ini dimaksutkan untuk membahas pergeseran pembangunan
nasional yang terjadi di Indonesia. Meskipun tujuan pembangunan telah
dirumuskan denganjelas, namun secara garis besar mempunyai kecenderungan
yang selalu berubah ubah dengan maksud menyesuaikan dengan
perkembangan situasi dan kondisi pembanguan yaitu pergeseran dari
pembangunan ekonomi semata, menuju pembangunan yang merefleksikan
komplementaritas antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial
dalam menghapus kemiskinan. (Tjokrowinoto, 1996).
Kemajuan negara negara sedang berkembang melalui dekolonisasi
menimbulkan tantangan baru bagi negara negara tersebut, yaitu bagaimana
568| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mewujutkan masyarakat yang dicita-citakan. Mewujutkan masyarakat yang
dicita-citakan tidak dapat diserahkan begitu saja pada proses evolosioner,
spontan, dan alami, sebagaimana proses sosio-historis yang telah dialami oleh
negara negara maju.
Tuntutan sosio-historis bagi negara negara baru mendorong
melakukan proses perubahan sosial yang terencana untuk mewujudkan model
masyarakat tersebut. Proses perubahan sosial yang terencana itu disebut
“pembangunan”, dan merupakan fenomena sosial yang menonjol yang terjadi
di negara negara berkembang. Karenanya secara periodik PBB sejak tahun
tujuh puluhan mencanangkan United Nations Decade of Development (Esman,
1991) sampai dengan tahun 2016 muncul sustainable development Goals.
Namun apapun corak dan strategi pembangunan yang dilaksanakan oleh
negara negara berkembang, masih belum dapat menghapus kemiskinan.
Suatu dilema klasik yang selalu menjadi tantangan bagi negara negara
berkembang adalah antara menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai orientasi
pembangunan nasional disatu fihak, atau menjadikan pemerataan dan
pengentasan kemiskinan sebagai acuan pembangunan nasional dilain fihak.
Dikutub yang satu ada kinerja mereka yang gagal mewujutkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, dan gagal pula dalam penanggulangan kemiskinan dan
pemerataan dan ada negara-negara yang secara relatif berhasil mewujudkan
petumbuhan ekonomi, akan tetapi gagal dalam melaksanakan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan, dan dikutub lain ada negara negara yang berhasil
mewjudkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus berhasil dalam pemerataan
pembangunan dan penanggulangan kemiskinan (Jazairy, et, all, 1992).
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat lokus dan
kondisinya nyata dan selalu ada dalam kehidupan masyarakat dinegara negara
berkembang. Konteks Indonesia, kemiskinan merupakan masalah sosial yang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |569
bersifat laten dan selalu relevan untuk dibahas dan dikaji secara serius dan
terus menerus.
Pengkajian kemiskinan di Indonesia bukan karena kemiskinan telah
ada sejak lama, melainkan karena kemiskinan dapat mempengaruhi
pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Selain itu karena
gejala kemiskinan semakin meningkat sejalan dengan terjadinya krisi
multidemensional, terutama terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, selain itu
menyebabkan jumlah penduduk miskin kembali meninggkat. Dalam kontek
penanggulangan terjadinya kemiskinan, berbagai program pengentasan
kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah seperti tricle-down effect, disatu
fihak, dan kebijakan penanggulangan langsung (direct attack) dengan strategi
karitas (charity strategy) pada fihak yang lain, dalam konteks delivered
development maupun melalui strategi pemberdayaan dan pemampuan
nampaknya belum sepenuhnya berhasil.
Terdapat beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya kemiskinan
yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif, serta kemiskinan struktural ,
kemiskinan situasional dan kemiskinan kultural (Mardimin, 1996). Dampak
dari situasi kemiskinan ini serta kurangnya kompetensi dalam liadership dan
manajerial para birokrat mengakibatkan sulitnya keluar dari situasi kemiskinan
tersebut.
Permasalahan
Persoalan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah seberapa jauh
pengembangan kawasan dapat memberikan kontribusi pada penanggulangan
kemiskinan, melampaui peranan konvensionalnya sebagai pemicu
pertumbuhan?
570| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
PEMBAHASAN.
Konsep Kemiskinan di Indonesia.
Konsep pengembangan kawasan yang konvensional bertumpu pada
sejumlah asumsi bahwa : tingkat hidup masyarakat akan meningkat dengan
adanya pertumbuhan ekonomi; bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai
melalui akselerasi industrialisasi; bahwa akselerasi industrialisasi ini akan
terjadi di urban- metropolitan economy yang menjadi focal point hubungan
ekonomi; bahwa dari urban-metropolitan economy ini buah pembangunan
akan menebar pada bagian lain dari suatu negara; bahwa proses globalisasi dan
liberalisasi akan menghubungkan urban-metropolitan economy ini pada pusat
pusat pertumbuhan tingkat global dan akan mempercepat pertumbuhan
ekonomi; dan karenanya perlu perencanaan pengembangan kawasan yang
tersentralisasi untuk mendorong pertumbuhan, industrialisasi dan urbanisasi.
Pergeseran paradigma pembanunan dari paradigma yang beranggapan
bahwa pemerataan dan penanggulangan kemiskinan akan tercapai melalui efek
tetesan dari pertumbuhan, menuju paradigma pembangunan yang ingin
mewujudkan pertumbuhan ekonomi melalui kontribusi, partisipasi dan
peningkatan produktifitas setiap pelaku ekonomi, menuntut konsep
pengembangan kawasan yang berbeda. Paradigma yang demikian menuntut
kerangka spatial bagi perencanaan pengembangan kawasan. Kebijakan
pengembangan kawasan dalam hal ini harus dapat menjawab beberapa
persoalan mendasar berkaitan dengan peningkatan kontribusi, partisipasi dan
produktifitas penduduk dari lapisan sosial bawah (Tjokrowinoto, 1996).
Selanjutnya Tjokrowinoto (1996) menjelaskan bahwa dalam sejarah
pembangunan nasional Indonesia, pernah dikenal pembangunan unit spatial
supra desa yang dikenal dengan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP).
Namun dalam perkembangannya konsep UDKP mengalami pergeseran makna
dan peranan sehingga tidak efektif dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |571
dan penanggulangan kemiskinan. Maka perlu reinterpretasi dan
refungsionalisasi UDKP, sehingga dapat meningkatkan peran dan fungsinya
dalam pembangunan kawasan dalam rangka menanggulangi kemiskinan
(Friedman dan Douglas, 1975).
Secara harfiah, miskin berarti tidak berharta benda. Miskin juga
berarti tidak mempunyai kemampuan untuk mengimbangi tingkat kebutuhan
hidup standar dan tingkat penghasilan serta ekonominya rendah.
Secara singkat kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar
tingkat hidup yang rendah yaitu adanya kekurangan materi pada sejumlah
orang dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan (wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/ekonomi,12/13/09).
Sedangkan secara umum kemiskinan diartikan kurangnya pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok/dasar. Mereka yang dikatakan berada
pada garis kemiskinan apabila tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup
pokok.
Biro Pusat Statistik (BPS-2015), mendefinisikan kemiskinan
dipandang sebagai ketidak mampuan dari aspek ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar, yang meliputi makanan dan bukan makanan atau
pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Kemiskinan dapat dikelompokan kedalam dua katagori yaitu
kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif
(http://id.wikipedia.org/w/index.php? Title= kemiskinan relatif & actions=edit
& redlink=1). Kemiskinan absolut mengacu kepada situasi standar yang
konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat/negara. Sebuah contoh
dari pengukuran absolut adalah sejumlah populasi yang makan dibawah
572| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
jumlah yang cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira-kira 2000- 2500
kalori untuk laki-laki dewasa).
Bank Dunia (World Bank) (http://id.wikipedia.org/wiki/World Bank
Group), mendefinisikan kemiskinan absolut adalah sebagai hidup dengan
pendapatan dibawah USD 1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan
USD 2 perhari. Sedang kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat
karena kebijakan pembangunan yang belum mampu mejangkau seluruh
lapisan masyarakat sehingga menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan.
Kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kemiskinan struktural dan kultural
merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktural dan faktor
faktor adat bagi suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau
kelompok orang.
Faktor Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Kemiskinan
Pada negara negara berkembang seperti Indonesia, istilah kemiskinan
selalu melekat dan populer. Istilah kemiskinan sangat mudah diucapkan, akan
tetapi begitu sulit untuk menentukan yang miskin itu yang bagaimana, siapa
yang tergolong miskin?
Laju pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan yang
signifikan. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, yakni 1,98% pertahun
menyebabkan jumlah penduduk absolut sebesar 24,9 juta jiwa (BPS 2015).
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,3% sehingga setiap tahun
jumlah penduduk Indonesia secara absolut bertambah 3 juta jiwa. Dari tingkat
pertumbuhan tersebut terselip masalah: (1) Pada bulan Maret 2015 jumlah
penduduk miskin Indonesia mencapai 28,5 juta jiwa (11,22%), bertambah
sebesar 0,86% dibanding dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |573
juta jiwa (10,96). (2) Persentase penduduk miskin daerah perkotaan pada 2014
sebesar 8,16%, naik menjadi 8,29% pada 2015. Sementara penduduk miskin
pedesaan naik dari 13,76% pada 2014 menjadi 14,21% pada 2015. (3) Selama
periode September 2014 – Maret 2015 jumlah penduduk miskin perkotaan
naik sebanyak 029%. Sementara di daerah pedesaan naik sebanyak 057%.
Di samping pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi,
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) juga masih relatif rendah. Perspektif
SDM Indonesia dalam konteks pembangunan manusia yang di gambarkan oleh
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia menempati peringkat ke 110
dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684 (Wardah, 2015).
Selanjutnya, Direktur UNDP Indonesia Christophe Bahuet (2015)
mengatakan ada empat indikator yang digunakan untuk mengukur IPM
Indonesia tahun 2014, yakni angka harapan hidup (sebesar 68,9), harapan tidak
bersekolah (130), rata-rata waktu sekolah yang sudah dijalani oleh orang
berusia 25 tahun ke atas (7,6) sedangkan pendapatan nasional Bruto per kapita
(9.288).
Dicontohkan bagaimana indikator harapan hidup tahun 1986 yang
berada di bawah 60 tahun, kini mencapai 68,9. Sementara pendapatan nasional
bruto meningkat dari 3000$ Amerika perkapita menjadi 9.788$ Amerika
perkapita.
Dari beberapa kenyataan tersebut ternyata masih belum dapat
mengurangi terjadinya kemiskinan.
1. Angkatan Kerja dan Pengangguran
Dari sisi lain ketenagakerjaan secara garis besar penduduk suatu negara
digolongkan sebagai tenaga kerja dan bukan tenaga kerja.
574| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Tabel 1. Tenaga kerja Indonesia menurut BPS (2016) adalah sebagai
berikut:
Dalam Juta 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tenaga kerja 116.5 119.4 120.3 120.2 121.9 122.4 127.8
Bekerja 108.2 111.3 113.0 112.8 114.6 114.8 120.8
Menganggur 8.3 8.1 7.3 7.4 7.2 7.6 7.0
Sumber: BPS 2016
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pertahun jumlah pengangguran
masih cukup tinggi. Contoh pada tahun 2016 jumlah pengangguran sebesar
7 juta jiwa.
2. Tingkat Pendidikan yang Rendah
Jumlah penduduk Indonesia sangat besar. Jumlah penduduk terus
bertambah yang menuntut ketersediaan pangan dan lapangan kerja.
Lapangan kerja memberi peluang kepada penduduk berdasarkan tingkat
pendidikan.
Gambaran tentang komposisi penduduk Indonesia berdasarkan tingkat
pendidikan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Komponen penduduk Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan
No Tingkat Pendidikan yang
ditamatkan
Populasi (jiwa)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tidak/belum sekolah
Tidak/belum tamat SD
SD/M1/sederajat
SLTP/MTs/sederajat
SLTA/MA/sederajat
SMK
D1/D2/D3/D4/S1
S2/S3
Tidak terjawab
19.861.216
41.451.552
65.661.314
36.304.128
36.375.380
4.075.007
10.718.888
512.002
214.962.624
Sumber: BPS 2010
Tabel 2 komposisi penduduk Indonesia menunjukkan bahwa sebagian
besar penduduk Indonesia berpendidikan SD/M1/sederajat. Karena itu
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |575
secara umum tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih tergolong
rendah.
Tingkat pendidikan penduduk yang dicapai oleh suatu negara memberikan
gambaran/petunjuk tentang kualitas sumber daya manusia yang ada di
negara tersebut. Negara-negara berkembang adalah negara yang memiliki
tingkat pendidikan penduduknya relatif rendah.
Terdapat beberapa ukuran untuk melihat tingkat pendidikan suatu
daerah/negara sebagai berikut: (1) Rata-rata lama sekolah, angka melek
huruf (AMH). Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun pelajaran
penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan
formal. (2) Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Melek Huruf adalah
persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan
menulis dan memiliki kalimat sederhana dalam hidup sehari-hari. (3)
Angka Partisipasi Sekolah merupakan ukuran daya serap sistem
pendidikan terhadap penduduk usia sekolah
KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN WILAYAH
Satu dilema klasik yang selalu menjadi tantangan bagi negara
berkembang adalah antara menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai orientasi
pembangunan nasional di satu pihak, atau menjadikan pemerataan dan
pengentasan kemiskinan sebagai acuan pembangunan nasional di lain pihak.
Respon setiap negara bervariasi meskipun tetap terletak diantara
kedua kontinum bipolar. Di kutub yang satu ada negara-negara yang gagal
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan gagal pula dalam
melaksanakan penanggulangan kemiskinan dan pemerataan dan ada negara-
negara yang secara relatif berhasil mewujudkan pertumbuhan ekonomi, akan
576| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tetapi gagal dalam melaksanakan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan
(Tjokrowinoto, 1996), dan di kutub yang lain ada negara yang berhasil
mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus berhasil dalam pemerataan
dan penanggulangan kemiskinan (Jazairy, et.al, 1992).
Banyak faktor yang menentukan kinerja suatu negara dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan menanggulangi
kemiskinan. Namun ada salah satu faktor yang dominan dalam menentukan
kinerja ini adalah kebijakan yang di pilih (policy choice) dan strategi yang
diterapkan (Tjokrowinoto, 1996).
Pada prinsipnya pilihan kebijakan merentang di antara dua kutub yaitu
kebijakan ekonomi makro yang berorientasi pada pertumbuhan yang
mewujudkan pemerataan dan penanggulangan kemiskinan melalui efek tetesan
(tricle down effect), serta kebijakan penanggulangan (direct attack) terhadap
masalah kemiskinan dalam konteks delivered development maupun melalui
strategi pemberdayaan dan pemampuan.
Indonesia sejak awal pembangunan menganut strategi pertumbuhan
dan sekaligus pemerataan dan penanggulangan kemiskinan (growth-cum-
poverty allevation and social equity) (Friedman, 1975).
Setelah melalui tahap-tahap konsolidasi, rehabilitasi, dan stabilisasi
ekonomi, kebijakan pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan dan
pemerataan semakin meningkat melalui efek tetesan dan intervensi langsung
agaknya telah memberikan kontribusi pada pencapaian kinerja.
Kebijakan makro yang berorientasi pada pertumbuhan mencakup (a)
kebijakan nilai tukar secara aktif, (b) sistem anggaran berimbang, (c) berbagai
kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mengendalikan pengeluaran negara, (d)
pengelolaan hutang secara sehat, (e) referensi perpajakan dari perdagangan, (f)
deregulasi untuk meningkatkan efisiensi memperbesar daya saing, dan
memobilisasi sumber-sumber daya (Syahrir, 1992, World Bank 1989)
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |577
Kebijakan penanggulangan kemiskinan secara langsung dilakukan
melalui (1) pembangunan infrastruktur ekonomi pedesaan, (2) perluasan
berbagai layanan publik, (3) perluasan jangkauan perkreditan, dll.
Melalui kebijakan growth-cum poverly induction, Indonesia sudah
mampu membatasi perkembangan penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan.
Tabel 3. memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun
absolut
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Kemiskinan
relatif (%) 17,8 16,6 15,4 14,2 13,3 12,5 11,7 11,5 11,0
Kemiskinan
absolut
(dalam juta)
39 37 35 33 31 30 29 29 28
Sumber: Bank Dunia dan BPS 2015
Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan secara perlahan namun
pasti. Penurunan ini merupakan hasil jangka panjang dari upaya pemerintah
dalam menurunkan kemiskinan baik melalui pendekatan tidak langsung (tricle
down -effect) maupun pendekatan langsung (direct attact).
UPAYA PEMERINTAH DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN.
Komitmen dan Kompetensi strategis dalam pengembangan kawasan
pada hakekatnya adalah mengimplemetasikan pembangunan kawasan melalui
dua pendekatan yaitu efek tetesan pembangunan dan pembangunan secara
langsung. Hal tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menanggulangi
kemiskinan.
Berdasarkan uraian dalam JOKBAGIN.COM 2016, dijelaskan bahwa
beberapa yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan antara
578| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
lain dengan memfokuskan arah pembangnan pada tahun 2008 pada
pengentasan kemiskinan. Fokus program tersebut meliputi 5 hal antara lain;
(1) Menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok, (2) Mendorong
pertumbuhan yang berfihak kepada rakyat miskin, (3) Menyempurnakan dan
memperluas cakupan program pembangunan yang berbasis masyarakat, (4)
Meningkatkan akses masyarakat miskin pada pelayanan dasar, (5) Membangun
dan menyempernakan sistem perlindingan sosial bagi masyarakat miskin
Dari lima fokus program pemerintah tersebut, diharapkan jumlah
rakyat miskin yang ada dapat tertanggulangi sedikit demi sedikit. Beberapa
langkah teknis yang strategis dilakukan oleh pemerintah terkait lima program
tersebut antara lain: (a) Menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Program ini
ditujukan untuk menjamin daya beli masyarakat miskin atau keluarga miskin
untuk memenuhi kebutuhan pokok terutama dan kebutuhan pokok utama lainya.
Program yang berkaitan dangan fokus ini seperti : penyediaan cadangan beras
pemerintah 1 juta ton dan stabilisasi harga komoditas primer. (b) Mendorong
pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin. Program ini bertujuan
mendorong terciptanya dan terfasilitasinya kesempatan berusaha yang lebih luas
dan berkualitas bagi masyarakat atau keluarga miskin. Beberapa program yang
berkaitan dengan fokus ini: penyediaan dan bergulir untuk kegiatan produktif
skala micro dengan pola bagi hasil/syariah dan konvensional, bimbingan
teknis/pendampingan dan pelatihan pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM)dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), pelatihan budaya, motivasi usaha
dan teknis manajemen usaha mikro, pembinaan sentra sentra prodksi didaerah
terisolir dan tertinggal, fasilitas sarana prasarana usaha mikro, pemberdayaan
ekonomi masyarakat pesisir, pengembangan usaha perikanan tangkap skala
kecil, peningkatkan akses informasi dan pelayanan pendampingan
pemberdayaan dan ketahanan keluarga, percepatan pelaksanaan pendaftaran
tanah, peningkatan koordinasi penanggulangan kemiskinan berbasis kesempatan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |579
usaha bagi masyarakat miskin. (c) Menyempurnakan dan memperluas cakupan
program pembangunan berbasis masyarakat. Program ini bertujuan untuk
meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat didaerah
pedesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan
kesempatan berusaha bagi penduduk miskin. Program yang berkaitan dengan
fokus ini adalah: program pemerintah pemberdayaan masyarakat (PNPM) di
daerah pedesaan dan perkotaan, program pengembangan infrastruktur sosial
ekonomi wilayah, program pembangunan daerah tertinggal dan khusus,
penyempurnaan dan pemantapan program pembangunan berbasis masyarakat.
(d) Meningkatkan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar. Fokus pada
program ini adalah : meningkatkan akses penduduk miskin memenuhi
kebutuhan pendidikan, kesehatan dan prasarana dasar. Beberapa program
berkaitan dengan fokus ini antara lain : penyediaan beasiswa bagi siswa miskin
bagi pendidikan dasar di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan SMP/MTs,
beasiswa siswa miskin jenjang SMA/MA/SMK, beasiswa untuk mahasiswa
miskin dan berprestasi, pelayanan kesehatan rujukan bagi keluarga miskin
secara Cuma Cuma di kelas III rumah sakit. ( e) Membangun dan
penyempurnaan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Fokus ini
bertujuan untuk melindungi penduduk miskin dari kemungkinan ketidak
mampuan dalam menghadapi goncangan sosial dan ekonomi. Program teknis
yang dibuat oleh pemerintah seperti: meningkatkan kapasitas kelembagaan
pengarusutamaan gender (PUG) dan anak (PUA), pemberdayaan sosial
keluarga, fakir miskin, komunitas adat terpencil dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial dan lainya, bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban
bencana alam, dan korban bencana sosial, penyediaan bantuan tunai bagi rumah
tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhu persaratan (pemeriksaan
580| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
kehamilan ibu, imunisasi dan pemeriksaan rutin BALITA menjamin keberadaan
anak usia sekolah di SD/MI dan SMP/MTs dan penyempurnaan pelaksanaan
pemberian bantuan sosial bagi keluarga miskin, melalui program keluarga
harapan (PKH) dan pendataan pelaksanaan PKH.
Untuk mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi
kemiskinan, dilaksanakan program program pembangunan sebagai berikut : (1)
Anggaran untuk program program yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan penanggulangan kemiskinan dan pengangguran dilaksanakan
dengan pendekatan pemberdayaan berbasis komunitas dan kegiatan padat karya,
(2) Mendorong APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota pada tahun tahun
selanjutnya untuk meningkatkan anggaran bagi penanggulangan kemiskinan dan
perluasan kesempatan kerja, (3) Tetap mempertahankan program program
seperti:( a) bantuan operasional sekolah; (b) bantuan raskin; (c) bantuan tunai
langsung; (d) asuransi miskin. (4) Akselerasi pertumuhan ekonomi dan stabilitas
harga khususnya harga beras, tidak lebih dari Rp.5000,-/kg. (5) Memberikan
kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan
pembangunan. (6) Sinergi masyarakat dengan dalam penanggulangan
kemiskinan. (7) Mendayagunakan potensi dan sumber daya lokal sesuai dengan
karakteristik lokal. (8) Menerapkan pendekatan budaya lokal dalam proses
pembangunan. (9) Priritas kelompok masyarakat paling miskin dan rentan pada
desa desa dan kampung kampung paling miskin. (10) Kelompok masyarakat
dapat menentukan sendiri kegiatan pembangunan yang dipilih tetapi tidak
tercantum dalam negative list. (11) Kompetitif desa desa dalam kecamatan harus
berkompetisi untuk untuk memperbaiki kualitas kegiatan dan cost effectivenees.
(12) Program keluar harapan (PKH) berupa bantuan husus untuk pendidikan dan
kesehatan. (13) Program pemerintah lain yang bertujuan untuk meningkatkan
akses masarakat miskin kepada sumber permodalan usaha mikro dan kecil
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |581
listrik pedesaan sertifikasi tanah dan kredit mikro. (14) Program penembangan
bahan bakar nabati (EBN) Program ini dimaksudkan untuk mendorong
kemandirian penyediaan energi terbarukan dengan menumbuhkan desa mandiri
energi. (15) Penegakan hukum dan ham perberantasan korupsi dan reformasi
birokrasi. (16) Percepatan pembangunan infrastruktur. (17) Pembangunan
daerah perbatasan dan daerah terisolir. (18) Revitalisasi pertanian, perikanan,
kehutanan, dan pedesaan. (19) Peningkatan kemampuan pertahanan pemantaban
keamanan dan ketertiban serta penyelesaian konflik. (20) Peningkatan
aksesibilitas dan kualitaspendidikan dan kesehatan. (21) Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri (PNPM-Mandiri).
KESIMPULAN
Penanggulangan kemiskinan sebagaimana masyarakat yang dicita
citakan tidak dapat begitu saja diserahkan pada proses evolusioner, spontan
dan alami. Tuntutan sosio-historis bagi negara negara baru adalah melakukan
proses perubahan sosial terencana melalui pembangunan kawasan yang disebut
dengan pembangunan.
Pembangunan pada hakekatnya peningkatan nilai nilai sosio-ekonomis
melalui program program pembangnan baik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Implementasi pendekatan tersebut dilaksanakan oleh
pemerintah melalui beberapa program pembangunan yang bertujuan untuk
pengentasan kemiskinan, pemerataan dan pemberdayaan.
Dengan upaya tersebut diharapkan dapat menanggulangi sekaligus
menghapus kemiskinan seraya melaksanakan pemerataan hasil hasil
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat miskin, membuka akses yang
seluas luasnya bagi masyarakat dan keluarga miskin.
582| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
DAFTAR PUSTAKA
Bachuet, Christophe. 2015. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
Mengalami Kemajuan, UNDP, 2015.
Biro Pusat Statistik, 2010. Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.
Nanang Ajim, Posted on 1: 59 PM
BPS ,2015.(http://www.ndonesia.invesment.com/id/keuangan/angka-ekonomi-
macro/pengangguran
Esman, Melton,J. 1972. The Elements of Institution Building dalam Eaton,
Joseph, W. 1972. Institution Building and Development : From Concept
to Aplication, Beverly Hills, California, Sage Publication.
Friedmann, John, 1993. Empowerment: The Politic of Alternative
Development, Cambridge, Mass: Black Well Publisher.
Friedman, John dan Mike Douglas, 1995. Agropolitan Development : Toward
a News Strategy for Regional Planning in Asia, dalam buku UNCRD,
Op. Cit. Nagoya UNCRD.JOGBAGIN. 2016
Jazairy, Idris, Mohinudin Alangir, Theresie Panuccio, 1992. The State of
World Rural Poverty : An Inquiry into the Couse and Consequences
New York : New York University Press.
Mardini,1996.DalamWikipedia,http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi,12/03/09
Syahrir, 1992. Refleksi PembangunanEkonomi Indonesia 1968-1992, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama.
Tjokrowinoto, Muljarto, 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Wardah, Fatiyah, 2015. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, VOA
Indonesia.
World Bank (http://id.wikipedia.org/wiki/World Bank Group.
http://id.wikipedia.org/wiki/ekonomi,12/13/09
http://id.wikipedia.org/w/index.php? Title=absolut dan
kemiskinan relatif & action=edit & redlink=1
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |583
PARTISIPASI NELAYAN DALAM PENGEMBANGAN COMMUNITY
BASED TOURISM (CBT) DI PANTAI PAYANGAN JEMBER
Akhmad Ganefo
Program Studi Sosiologi FISIP UNEJ, E-mail: aganefo@gmail.com, Nomor HP:
085236310622
Abstrak
Tidak seperti nelayan di daerah lain yang mengalami kesulitan ekonomi pada musim
paceklik ikan, nelayan di Payangan memiliki alternatif pendapatan dari menangkap benih
udang yang tersedia pada semua musim. Benih udang yang memiliki nilai ekonomi tinggi
menjadi menjadi penyelamat ekonomi nelayan pada musim paceklik. Disamping itu,
nelayan juga mampu berpartisipasi dalam pariwisata Pantai Payangan yang tiba-tiba
muncul wilayah mereka dalam beberapa tahun belakangan ini. Oleh katena itu menarik
untuk diteliti mengapa dan bagaimana bentuk partisipasi nelayan dalam pengembangan
community based tourism di Pantai Payangan?. Untuk menjawab permasalahan tersebut,
peneliti melakukan penelitian terhadap kasus tersebut dengan metode kualitatif. Data
dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara secara tidak terstruktur kepada
beberapa informan, yakni tokoh masyarakat, nelayan dan aparat dusun. Data-data tersebut
kemudian diolah dan dianaisis secara kualitatif. Hasil menelitian ini menunjukkan bahwa
partisipasi nelayan dalam pariwisata Pantai Payangan didorong untuk meningkatkan
pendapatan dengan cara berperan menyediakan berbagai kebutuhan wisatawan. Akan
tetapi partisipasi nelayan dalam pengembangan community based tourism dapat
terkendala oleh tidak adanya koordinasi dan perencanaan wisata di kalangan nelayan dan
resistensi nelayan terhadap peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator pariwisata
di Pantai Payangan.
Kata Kunci: partisipasi, jasa dan produk wisata, peningkatan kesejahteraan, kemandirian
nelayan.
PENDAHULUAN
Wisata bahari di pantai Payangan, Dusun Watu Ulo, Desa Sumberejo,
Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember merupakan obyek wisata yang ”baru”.
Sebelum pantai Payangan diminati wisatawan, wisata bahari yang terkenal di
Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember adalah Pantai
Watuulo dan Papuma (Pasir Putih Malikan). Kedua pantai yang terakhir
tersebut menjadi kurang populer sejak Pantai Payangan menjadi destinasi
wisata. Pantai Payangan sebenarnya berada di sebelah timur Pantai Watuulo
584| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dan Papuma. Sebelum menjadi desinasi wisata, Pantai Payangan tidak pernah
dipromosikan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Jember. Waktu itu Dinas
Pariwisata lebih fokus pada pengelolaan Pantai Watuulo dan Papuma.
Asal-usul Pantai Payangan menjadi destinasi wisata ketika
diperkenalkan oleh para pecinta alam atau wisatawan petualangan yang
menjelajah pantai dan bukit di pantai selatan Jember melalui media sosial.
Setiap kali mereka naik bukit di sekitar Pantai Payangan mereka mengupload
foto-foto di media sosial. Sharing foto-foto di pantai dan bukit di Payangan
menarik perhatian dan mendorong pencita alam lain untuk mengunjungi pantai
Payangan. Semenjak itu wisatawan mengunjungi Pantai Payangan sebagai
destinasi wisata yang baru.
Sebagai destinasi wisata bahari yang baru, pantai Payangan memiliki
keunggulan obyek wisata berupa 3 bukit dengan pepohonan hijau, panorama
matahari terbenam dilihat dari atas bukit dan pantai karang, wisata perahu
diteluk love (teluk yang bentuknya seperti daun waru) dan wisata kuliner.
Semua obyek wisata tersebut memiliki daya tarik yang luar biasa pada
wisatawan dan masyarakat pesisir setempat (nelayan) untuk berpartisasipasi
dan berperan dalam pariwisata Pantai Payangan.
Partisipasi nelayan pada pariwisata diharapkan merupakan inisiatif
murni dari kalangan mereka sendiri dalam pengembangan maupun
pengelolaan wisata. Pengembangan wisata di banyak daerah kebanyakan
masyarakatnya cenderung pasif. Justru Pemerintah Daerah melalui Dinas
Pariwisata setempatlah yang aktif mengelola dan mendorong peran masyarakat
mengelola pariwisata. Pengembangan wisata di Indonesia lebih banyak
difasilitasi negara. Akibatnya, kapasitas lokal di dalam merespon
pengembangan yang dimotori oleh negara dengan konsep pengembangan
wisata berbasis komunitas, masih menghadapi banyak persoalan di masyarakat
(Damanik, 2009:130-134).
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |585
Secara konseptual, community based tourism (CBT), menuntut
partisipasi yang tinggi dari warga masyarakat untuk mengembangkan dan
mengelola destinasi wisata. Partisipasi masyarakat dalam kerangka CBT dalam
bentuk penyediaan produksi barang dan jasa wisata, adat-istiadat dan budaya
lokal dan pelestarian lingkungan, merupakan proses pemberdayaan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Menurut
Murphy, pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, sebagai bagian dari
produk turisme, kalangan industri juga harus melibatkan masyarakat lokal
dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan wisata. Sebab,
masyarakat lokallah yang harus menanggung dampak kumulatif dari
perkembangan wisata dan mereka butuh untuk memiliki input yang lebih
besar. Masyarakat harus bisa dikemas dan dijual sebagai produk pariwisata
(Murphy, 1985: 16)
Secara sosiologis, lingkungan memberikan ruang bagi individu dan
populasi untuk bekerja secara aktif memodifikasi perilaku mereka dalam
rangka memelihara kondisi tertentu, menanggulangi resiko tertentu pada suatu
kondisi yang baru, atau mengimprovisiasi kondisi yang ada. Proses adaptif
yang aktual tersebut merupakan kombinasi dari ketiga mekanisme tersebut
diatas (memelihara, menanggulangi, improvisasi). Oleh karena itu, variasi
dalam praktek kultural mungkin meningkat karena kesempatan/ tekanan pada
sumber-sumber daya /group. Sehingga adaptasi bisa kita sebut sebagai sebuah
strategi aktif manusia dalam menghadapi lingkungannya. Adaptasi dapat
dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi
perubahan. Oleh karena itu dalam hal ini, partisipasi nelayan dalam pariwisata
merupakan salah satu bentuk adaptasi nelayan terhadap lingkungan alam dan
586| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
sosial yang berubah. Proses adaptasi tersebut bisa berdampak pada mobilitas
nelayan secara horisontal maupun vertikal (Satria, 2001 & 2002).
Partisipasi masyarakat dapat dipahami sebagai bentuk keterlibatan
secara mental sekaligus emosional warga masyarakat dalam situasi kelompok
yang mendorongnya untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam
mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas tujuan kelompok,
termasuk dalam pelaksanaan program. Pelibatan ini membuat masyarakat
merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap proses keberlanjutan
program tertentu. Pendekatan partisipatif yang dilaksanakan diharapkan akan
memberikan ruang bagi perkembangan aktivitas yang berorientasi kompetisi
dan tanggung jawab sosial oleh anggota komunitas itu sendiri. Pentingnya
partisipasi dalam pengembangan program menimbulkan kosekwensi bahwa
segala hal yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan ekonomi, seperti
menarik investor luar, maka harus melibatkan warga (Bryson, 1995;2007).
Berdasarkan uraian di bagian awal, pariwisata di Pantai Payangan
menarik perhatian wisatawan maupun nelayan setempat. Jika ketertarikan
wisatawan pada Pantai Payangan didasarkan pada aspek keindahannya sebagai
obyek wisata, nelayan tertarik untuk berpartisipasi dalam pariwisata di Pantai
Payangan karena sebab-sebab tertentu. Oleh karena itu, dalam artikel ini akan
dijawab rumusan masalah sebagai berikut. Pertama, mengapa nelayan
berpartisipasi dalam pariwisata Pantai Payangan? Kedua, bagaimana bentuk
partisipasi nelayan pada pariwisata tersebut?
Jawaban terhadap masalah-masalah tersebut diharapkan dapat
menjelaskan sebab-sebab maupun bentuk-bentuk partisipsi nelayan serta
dampak dari partisipasi nelayan tersebut. Tentu saja hasil penelitian ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan yang bermanfaat bagi Pemerintah maupun
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |587
swasta dalam melibatkan maupun dalam melakukan pembinaan terhadap
masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.
METODE
Penulisan artikel ini merupakan hasil studi kasus. Fokus studi kasus
adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup
individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan (Creswell, 1988).
Penelitian ini dilakukan dengan metode dan analisis kualitatif. Peneliti
mengumpulkan data dengan cara wawancara pada beberapa informan yang
banyak mengetahui informasi tentang wisata Pantai Payangan. Para informan
tersbut adalah Pak Munif (tokoh pemuda), Pak Ahmad (tokoh nelayan), Pak
Satrudin (tokoh masyarakat) dan Pak Ngadi (Kepala Dusun Watuulo).
Wawancara pada tokoh-tokoh masyarkat tersebut dilakukan secara
tidak terstruktur untuk menggali data selengkap mungkin. Informasi dari hasil
wawancara dengan tokoh tertentu kemudian penulis kroscek dengan informsi
dari tokoh lain untuk memastikan validitasnya. Setelah itu data-data dianalisis
secara kulitatif.
PEMBAHASAN
Nelayan Payangan
Payangan secara administratif sebagai salah satu RW di Dusun
Watuulo, Desa Sumberrejo, Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Payangan
sebagai wilayah pesisir menjadi tempat pemukiman penduduk yang sebagian
besar nelayan. Menurut Pak Ngadi (Kepala Dusun Watuulo), jumlah nelayan
dari Payangan tidak diketahui dengan pasti karena dokumen kependudukan di
Dusun Watuulo tidak ada perincian tentang jumlah nelayan dari tiap RW di
588| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Dusun Watuulo. Jumlah nelayan di Dusun Watuulo adalah 783 orang dari
3.502 jiwa penduduk Dusun Watuulo. Menurut Pak Ngadi, diperkirakan 30%
tinggal di Payangan. Diperkirakan hampir semua nelayan Payangan memiliki
perahu kecil (Perahu Jukung), sedangkan nelayan yang mempunyai perahu
besar puluhan orang. Perahu-perahu nelayan Payangan (perahu besar atau
kecil) tidak selalu bersandar di Pantai Payangan. Sebagian perahu-perahu
tersebut bersandar di Pantai Watuulo, Papuma atau di Puger. Pada musim ikan,
perahu-perahu tersebut dipakai melaut, menangkap ikan diperairan yang tidak
terlalu jauh dari Payangan. Jika pada sore hari nelayan berangkat melaut, pada
pagi hari mereka mendarat di pantai yang sudah menjadi kebiasaan mereka.
Pada musim paceklik ikan, kebanyakan nelayan Payangan memarkir perahu
mereka di Payangan, dekat dengan pemukinan mereka.
Nelayan Payangan dan Watuulo pada umumnya tidak hanya
menangkap ikan besar yang lokasinya agak jauh dari pantai, tetapi nelayan
juga memancing ikan di laut dalam di sekitar bukit karang. Di samping itu
nelayan juga biasa menangkap bibit udang yang adanya pada semua waktu.
Setiap hari ada bibit udang yang bisa ditangkap. Bibit udang yang harganya
mahal tersebut (Rp 30.000,-/ekor) menjadi primadona tangkapan nelayan di
Pantai Payangan. Nelayan Payangan mulai banyak yang enggan melaut untuk
menangkap ikan, karena ada alternatif komoditas yang bisa diambil yakni bibit
udang. Oleh karena itu sebenarnya nelayan Payangan atau Watuulo tidak
mengenal musim paceklik. Jika pada bulan purnama (musim paceklik ikan)
tiba, nelayan payangan memiliki alternatif pendapatan dari benih udang. Jika
secara fisik nelayan masih punya tenaga dari menangkap ikan pada pagi hari,
mereka bisa kerja lagi setngah hari untuk mencari bibit udang. Setelah itu,
pada sore harinya mereka melaut lagi.
Partisipasi Nelayan dalam Pariwisata
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |589
Suatu partisipasi individu atau kelompok dalam kegiatan tertentu
idealnya mulai dari tahap awal (misal perencanaan) sampai dengan
pemanfaatan hasil kegiatan, karena ecara teoritis partisipasi mencakup
keseluruhan tahap tersebut. Partisipasi masyarakat dirasa penting untuk
mengambil keputusan (dalam proses perencanaan) dalam pembangunan
kepariwisataan maupun manfaat yang akan diterima sebagai implikasi
berlangsungnya aktivitas wisata di kawasan pedesaan (Tosun, 1999).
Di Pantai Payangan, nelayan berpartisipasi dalam pariwisata secara
spontan, mengikuti peningkatan kunjungan wisatawan ke Pantai Payangan.
Menurut Pak Ahmad (tokoh nelayan), nelayan tidak menduka kalau ternyata
Pantai Payangan diminati wisatawan. Tiba-tiba saja wisatawan datang. “Kita
tidak promosi ke wisatawan”, kata Pak Ahmad. Nelayan hanya berfikir bahwa
ini ada peluang untuk menambah pendapatan, cari rejeki dari wisata. Yang bisa
dagang, ya jualan minuman, yang punya halaman di rumah, ya menawarkan
parkir. Menurut Pak Ahmad, wisatawan yang suka naik bukit dibantu nelayan
dengan cara meminjamkan tongkat atau memandu jalan ke atas bukit.
Selanjutnya nelayan meratakan jalan setapak, melebarkan, dan memberi
batuan supaya tidak licin. Di pihak lain, ketika wisatawan ingin diantar pergi
mancing ikan di laut, nelayan membantu dengan mengantar pakai perahu,
begitu seterusnya. Jadi awalnya semua kegiatan nelayan pada sektor pariwisata
awalnya hanya sekedar memenuhi kebutuhan wisatawan.
Bentuk partisipasi nelayan dalam pariwisata di Pantai Payangan sesuai
dengan kebutuhan wisatawan. Oleh karena itu, dalam pariwisata Pantai
Payangan, nelayan berparisipasi dalam hal: (a) Penyediaan tempat parkir.
Tempat parkir yang disediakan oleh nelayan berada di sekitar rumah mereka,
yang kebetulan berada di sekitar pantai. Sebagian tempat parkir lainnya berada
590| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
di sekitar warung-warung. Jasa parkir baik yang ada di sekitar rumah maupun
warung tersebut untuk parkir sepeda motor, sedangkan parkir mobil
menempati kanan-kiri jalan di sepanjang lokasi pemukiman warga dan
beberapa lapangan yang cukup luas. Tarif parkir sepeda motor Rp 5.000,- dan
tarif parkir mobil Rp 10.000,-. Menurut pengamatan peneliti, tempat parkir
motor maupun mobil setiap hari libur (Sabtu-Minggu) selalu dipenuhi
kendaraan. Oleh karena itu pendapatan dari parkir cukup besar. Menurut
Batrudin (tokoh masyarakat), pendapatan dari parkir tiap hari libur bisa
mencapai jutaan rupiah untuk tiap petak parkir. (b) Warung kuliner. Warung
kuliner di Pantai Payangan terdapat di sekitar pantai, mulai dari pemukiman
sampai di sekitar pantai. Warung-warung tersebut menyediakan makanan
berupa ikan bakar dan makanan lain yang khas Jawa Timur, misalnya nasi
Pecel, Rawon, Soto, Bakso dan lain-lain. Sedangkan minumannya berupa
aneka minuman kemasan dalam botol dan aneka es (es Campur, Buah, Degan)
dan lain-lain. Makanan dan minuman favorit di Pantai Payangan adalah Ikan
Bakar dan Es Degan, dengan harga yang tidak terlalu mahal (Rp 25.000,-
/paket), cukup terjangkau oleh wisatawan lokal. Oleh karena itu mulai tengah
hari hingga menjelang sore, wisatawan banyak memenuhi warung untuk
makan. (c) Penyewaan perahu di muara sungai. Perahu-perahu nelayan yang
disediakan untuk wisatawan sebenarnya bukanlah perahu yang dirancang
khusus untuk wisata, melainkan perahu jukung yang biasa dipakai untuk
menangkap ikan. Perahu nelayan yang sedang sandar di tepi pantai, sewaktu-
waktu bisa dipakai mengantar wisatawan yang membutuhkan, atau sebaliknya
nelayanlah yang menawarkan jasa angkutan perahu kepada wisatawan dengan
tarif Rp 10.000,-/orang sekali jalan mengitari muara sungai di sekitar pantai.
Rute lain yang acapkali diinginkan wisatawan adalah menyeberang laut
menuju pantai atau bukit lainnya. Tarif penyeberangan ini tergantung
kesepakatan hasil tawar-menawar antara wisatawan dengan nelayan. (d)
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |591
Penyediaan sarana jalan setapak menuju puncak bukit. Pemandangan pantai
atau laut dari atas bukit merupakan menu yang unik Pantai Payangan. Di atas
bukit-bukit yang ada (bukit Domba/Kambing, bukit Samboja dan bukit
Seroya), wisatawan bisa menyaksikan panorama matahari terbenam yang
indah. Semula jalan menuju puncak beberapa bukit tersebut berupa jalan
setapak yang sempit. Dengan banyaknya wisatawan yang naik ke atas bukit,
maka nelayan setempat melebarkan dan meratakan jalan naik ke puncak bukit
tersebut. Sekarang tidak hanya jalan yang bisa dimanfaatkan wisatawan,
melainkan juga lokasi untuk berkemah (camping ground) dan tempat
peristirahatan. Di lereng bukit juga dibangun mushola untuk ibadah bagi
wisatawan muslim.
Sekelompok nelayan yang menyediakan fasilitas di bukit-bukit
Payangan tersebut kemudian menguasai bukit tertentu dan menarik biaya naik
bukit sebesar Rp 5.000,-/orang. Hasil dari kutipan biaya tersebut sebagian
dipergunakan untuk pemeliharaan dan penghijauan bukit. Menurut Pak Munif,
hasil dari bukit-bukit tersebut sangat besar sehingga sempat membuat iri warga
masyarakat lainnya. Banyak warga Payangan yang merasa berhak atas bukit-
bukit itu, karena bukit-bukit itu sebenarnya milik negara, bukan milik
perorangan atau kelompok. Oleh karena itu, hasil dari pengelolaan bukit-bukit
tersebut seharusnya dibagi secara merata kepada masyarakat. Di pihak lain,
Pak Ahmad sebagai salah seorang tokoh nelayan dan pengelola salah satu
bukit, menyatakan bahwa semua kegaiatan nelayan dalam pariwisata
sebenarnya menempati tanah negara. Baik itu bukit, lahan parkir, warung dan
bahkan tanah yang dibagun rumah oleh penduduk di sekitar pantai, semuanya
milik negara. Oleh karena itu masyarakat di Payangan sebenarnya sudah
mendapat bagian sesuai dengan peran masing-masing. Dengan peran tersebut,
592| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
warga masyarakat makin meningkat kesejahteraannya, sehingga mereka akan
berusaha mempertahankan apa saja yang sudah diperoleh selama ini.
Bentuk-bentuk partisipasi nelayan tersebut dilakukan nelayan secara
mandiri, dalam pengertian tanpa koordininasi di antara kelompok-kelompok
yang menyediakan jasa atau produk wisata. Jasa parkir, kuliner, perahu dan
bukit berjalan sendiri-sendir sesuai dengan kemauan masing-masing. Dengan
demikian, di dalam pariwisata Pantai Payangan sebenarnya tidak ada proses
perencanaan maupun koordinasi dalam menjalankan peran dalam pariwisata.
Pemerintah Kabupaten atau Desa yang berwenang atas wilayah Pantai
Payangan tidak menjalankan peran sebagai regulator atau fasilitator di
Payangan. Sebenarnya ada keinginan dari Pemda untuk mengelola Pantai
Payangan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki, akan tetapi masyarakat
nelayan Payangan dengan tegas menolak kehadiran Pemerintah Kabupaten
Jember ataupun Pemerintah Desa Ambulu. Menurut Pak Suto Wijoyo (tokoh
Masyarakat), tidak selayaknya Pemerintah mengambil-alih wisata Payangan,
karena wisata di Payangan sudah berkembang atas usaha masyarakat, kok tiba-
tiba Pemerintah mau mengabil alih pengelolaannya, kan tidak bijaksana itu”,
kata Pak Suto (www.majalah-gempur.com).
Dalam konteks community based tourism (CBT), nelayan di Payangan
sebenarnya agen utama wisata di Payangan tersebut. Justru masyarakat
nelayanlah yang berinisiatif untuk berperan menyediakan jasa dan produk
wisata lainnya (misalnya kuliner). Pelibatan nelayan dalam kegiatan pariwisata
justru menjadi proses yang memberdayakan mereka, untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan sosial-ekonomi nelayan. Nelayan menjadi
semakin mandiri secara ekonomi dan politis. Indikasi ini terbukti dengan
keberanian mereka menolak kehadiran Pemerintah dalam pariwisata Payangan.
Menurut Pak Ahmad, “kita siap mempertaruhkan apa saja untuk
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |593
mempertahankan peran nelayan di sini, tidak bisa kita serahkan begitu saja
kepada Pemerintah”.
Walau begitu, sebenarnya masyarakat Payangan belum memiliki
pemikiran atau rencana untuk pengembangan wisata, karena mereka berjalan
sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan berperan dalam
pariwisata. Belum ada perencanaan secara terintegrasi tentang bagaimana
menjamin keamanan di pantai, bukit atau laut (yang menggunakan perahu),
meningkatkan kepuasan wisatawan, promosi dan sebagainya.
Resistensi nelayan terhadap Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator
wisata di Payangan akan berlanjut jika Pemerintah Kabupaten Jember tetap
membiarkan nelayan menguasai pariwisata Pantai Payangan dan tidak
mempunyai kebijakan wisata yang bisa diterima oleh masyarakat Payangan.
SIMPULAN
Berdasar informasi yang diperoleh sebagai mana tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa partisipasi nelayan dalam pariwisata di Payangan bersifat
spontalitas sesuai dengan kemampuan dan minat nelayan. Setiap kelompok
nelayan merespon banyaknya wisatawan di Pantai Payangan dengan
menyediakan segala sesuai yang dibutuhkan oleh wisatawan. Dengan cara
seperti itu, nelayan memperoleh tambahan pendapatan untuk peningkatan
kesejahteraan mereka. Pengembangan community based tourism (CBT) di
Payangan sangat tergantung pada masyarakat nelayan, karena Pemerintah atau
pun swasta tidak hadir dan menjalankan wewenangnya di Payangan. Akan
594| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tetapi peran nelayan untuk mengembangkan pariwisata terkendala oleh tidak
adanya koordinisasi dan perencaaan wisata di antara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Bryson, J. M, 2007, Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial
(terj),Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bryson, J. M., 1995, Strategic Planning for Public and Non Pro_ t
Organizations : A guide to Strengthening and Sustaining
Organizational Achievement, Jossey-Bass Publishers: San Francisco.
Creswell, John W, 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing
Among Five Tradition. London: SAGE Publications.
Damanik, J., 2009. “Isu-Isu Krusial Dalam Pengelolaan Desa Wisata Dewasa
Ini”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia 5 (3).
Murphy, 1985. Tourism: A Community Approach. Publisher Methuen.
Satria, 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan Formasi Sosial dan Mobilitas
Nelayan. Humaniora Utama Press, Bandung.
Satria, 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo, Jakarta.
Tosun C, 1999, “Towards a typology of community participation in the
tourism development Process”, International Journal of Tourism and
Hospitality 10.
www.majalah-gempur.com
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |595
PEMETAAN SOSIAL UNTUK PERENCANAAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DESA KEMANTREN, LAMONGAN
Pambudi Handoyo & Arief Sudrajat
pambudihandoyo@unesa.ac.id, arief55281@yahoo.com.au
Abstrak
Pemetaan sosial merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk memahami kondisi sosial
masyarakat local. Pemetaan sosial dilakukan dalam rangka perencanaan model
pemberdayaan masyarakat untuk memberikan gambaran menyeluruh dari lokasi yang
dipetakan, meliputi aktor yang berperan dalam proses relasi sosial, jaringan sosial,
kekuatan dan kepentingan masing-masing aktor dalam kehidupan masyarakat terutama
dalam peningkatan kondisi kehidupan masyarakat, masalah sosial yang ada termasuk
keberadaan kelompok rentan, serta potensi yang tersedia, baik alam, manusia, finansial,
dan infrastruktur maupun modal sosial.
Kata kunci :pemetaan sosial, perencanaan, pemberdayaan masyarakat
PENDAHULUAN
Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat
pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan
yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat.
Sebelum melakukan implementasi tanggung jawab sosial perusahaan dan
perencanaan pengembangan masyarakat, maka diawali melalui pemetaan sosial
(Social Mapping).Pemetaan sosial merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk
memahami kondisi sosial masyarakat lokal. Kegiatan ini penting untuk dilakukan
oleh perusahaan karena setiap masyarakat memiliki kondisi sosial berbeda yang
akan menyebabkan masyarakat memiliki masalah dan kebutuhan yang berbeda
pula. Pemetaan sosial selain untuk mengetahui kebutuhan dasar masyarakat,
potensi sumber daya dan modal sosial masyarakat, juga dilakukan untuk
mengenal stakeholder dalam kaitannya dengan keberadaan dan aktivitas pelaku
dalam program, mengidentifikasi akar permasalahan yang dirasakan komuniti
596| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya serta menganalisis potensi konflik
yang terdapat di masyarakat.
Sebagaimana tertuang dalam Buku Indikator Proper Hijau Kementerian
Lingkungan Hidup, tentang Aspek pengembangan Masyarakat ( Community
Development) dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
No 6 Tahun 2013 tentang Proper, bahwa Social Mapping memberikan gambaran
menyeluruh dari lokasi yang dipetakan, meliputi aktor yang berperan dalam
proses relasi sosial, jaringan sosial, kekuatan dan kepentingan masing-masing
aktor dalam kehidupan masyarakat terutama dalam peningkatan kondisi
kehidupan masyarakat, masalah sosial yang ada termasuk keberadaan kelompok
rentan, serta potensi yang tersedia, baik alam, manusia, finansial, dan infrastruktur
maupun modal sosial.
PT Pertamina EP adalah perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha
di sektor hulu bidang minyak dan gas bumi, meliputi eksplorasi dan eksploitasi.
Di samping itu, Pertamina EP juga melaksanakan kegiatan usaha penunjang lain
yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung bidang kegiatan usaha
utama.Wilayah Kerja Pertamina EP terbagi ke dalam lima asset. Operasi kelima
asset terbagi ke dalam 19 Field, yakni Rantau, Pangkalan Susu, Lirik, Jambi, dan
Ramba di Asset 1, Prabumulih, Pendopo, Limau dan Adera di Asset2 , Subang,
Jatibarang dan Tambun di Asset 3, Cepu dan Poleng di Asset 4 serta Sangatta,
Bunyu, Tanjung, Sangasanga, Tarakan dan Papua di Asset 5.
PT Pertamina EP memiliki komitmen tinggi dalam membina hubungan
dengan masyarakat, mencakup diantaranya membina hubungan baik dengan
masyarakat, program Community Development (CD) serta proaktif dalam
antisipasi dampak operasional. Maka Sosial Mapping sebagai proses pemahaman
kondisi sosial masyarakat menjadi hal yang penting untuk dilaksanakan dalam
rangka penyusunan program CSR. Tujuan Penelitianya adalah; (1)
Mengidentifikasi aktor sosial yang memiliki peranan penting dalam kehidupan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |597
sosial di wilayah Ring I; (2) Mengidentifikasi kepentingan yang dimiliki para
aktor sosial di wilayah Ring I; (3) Menganalisis jaringan sosial yang dimiliki oleh
para aktor sosial di wilayah Ring I; (4) Menganalisis posisi sosial para aktor di
tengah masyarakat yang berada di wilayah Ring I; (5) Mengidenifikasi masalah
sosial yang dimiliki masyarakat yang berada di wilayah Ring I.; (6) Menganalisis
pengembangan potensi yang dimiliki masyarakat di wilayah Ring I.
METODE
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena dalam penelitian ini
mendeskripsikan data pemetaan sosial masyarakat desa yang akan menerima dan
melaksanakan program CSR. Ruang lingkup penelitian ini mencakup pemetaan
sosial dalam rangka memperoleh program CSR PT Pertamina EP Field Poleng.
Pemetaan sosial dilaksanakan di desa Kemantren yang merupakan wilayah Ring-
1, yaitu area geografis yang berpotensi terkena dampak kegiatan operasi
perusahaan dengan radius kurang lebih 0-5 km.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi : (1) Profil desa meliputi :
Demografi, statistik mengenai komposisi penduduk (jenis kelamin,
ketenagakerjaan, tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan,
dsb). Sosial ekonomi, budaya, norma dan nilai masyarakat,struktur masyarakat,
hubungan sosial, mobilitas sosial, kepemimpinan masyarakat, adat istiadat dan
kebiasaan. Geografis, meliputi lokasi masyarakat, lokasi-lokasi fasilitas, akses
jalan, penggunaan lahan, dan aspek geografis lainnya.(2) Pemetaan Jaringan
Sosial mencakup : Hubungan antar aktor, baik individu maupun institusi
beserta sifat hubungannya, baik positif maupun negatif yang dituangkan dalam
bentuk skema. Forum-forum yang digunakan masyarakat untuk membahas
kepentingan public. Potensi yang berada dalam masyarakat yang mungkin bisa
dikembangkan: potensi alam, potensi sumberdaya manusia, potensi finansial,
598| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
potensi fisik/infrastruktur, potensi modal sosial. Masalah-masalah sosial yang
menjadi kendala atau sering muncul sehingga menjadi penghambat
berkembangnya masyarakat. Pertama melihat masalah sosial pada satuan individu
atau person. Kedua melihat masalah sosial yang terjadi pada level sistem dan
struktur masyarakatnya. Dalam pendekatan pertama fokus yang diamati adalah
kondisi atau perilaku dari orang perorang sebagai warga masyarakat. Dalam
identifikasi dengan pendekatan kedua, fokus perhatian kepada sistem atau struktur
sosialnya.
Untuk itu teknik pengumpulan data dalam pelaksanaan penelitian ini dengan
cara Observasi yang bertujuan untuk memperoleh data tentang geografis,
orbitasi, sosial ekonomi, interaksi sosial dan potensi. Selain itu, observasi
dilaksanakan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan program CSR dan
manfaatnya bagi masyarakat. Wawancara dilaksanakan di desa sasaran secara
terstruktur untuk memperoleh data tentang pemetaan sosial dengan menggunakan
instrumen pedoman wawancara. Subyek yang diwawancara meliputi kepala
desa/lurah, perangkat desa, serta tokoh informal seperti tokoh agama, gapoktan,
tokoh pemuda, tokoh wanita serta masyarakat desa seperti petani, nelayan, buruh
pelabuhan. Wawancara ini dilaksanakan secara terpisah dan cross check melalui
Focus Group Discussion (FGD).Selain itu FGD dimanfaatkan untuk melengkapi
data profil desa yang kurang saat survey atau wawancara. Focus Group
Discussiondilakukan di balai desa dengan membentuk tiga kelompok kecil yang
membahas tentang aktor, forum, masalah desa, kelompok rentan, potensi desa dan
pengembangan potensi. Adapun yang terlibat di FGD adalah perangkat desa,
gapoktan, karang taruna, BPD,tokoh agama, kepala dusun, ketua RW, ketua RT,
posyandu, ketua penggerak PKK. Dokumentasi, yang digunakan untuk
memperoleh data tentang pemetaan sosial dan pelaksanaan CSR melalui kamera,
voice order dan surat-surat, atau dokumen lain yang mendudung terlaksananya
CSR.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |599
Secara diagramatik kerangka kerja penelitian pemetaan sosial sebagai
evaluasi tanggung jawab sosial PT Pertamina EP Poleng sebagai berikut :
Analisis Data sekunder terhadap Wilayah dan Kelompok Sasaran CSR
di lokasi Ring 1
Studi Literatur tentang Aktor, Kepentingan,
Jaringan sosial dan IKM
Pembuatan laporan pendahuluan
Pengumpulan data tentang Aktor, kepentingan, jaringan, posisi sosial,
masalah sosial, potensi wilayah Dan IKM
Analisis Hasil Penelitian
Jenis & Peran Aktor
KepentinganAktor
Jaringan Aktor
Posisi Sosial Aktor
Masalah Sosial
Potensi & Pengembangan
Nilai Capaian IKM
Penyusunan Laporan Antara
Seminar
Revisi dan Penyusunan Laporan Akhir
Penyerahan Laporan akhir
LaporanPendahuluan
LaporanAntara
LaporanAkhir
Gambar 3.1.Kerangka Kerja Penelitian
600| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
PEMBAHASAN
Pemetaan Sosial
Desa Kemantren terletak di kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Desa ini
memiliki karakter yang berbeda meskipun dari segi mata pencaharian keduanya
mayoritas adalah petani.
Tabel 1
MatrikProfil Desa Kemantren
No Profil Desa Kemantren
1 Letak geografis 3,8 meter di atas permukaan
laut
2 Pemerintahan Terdiri dari 5 RW, 30 RT
3 Pendidikan Mayoritas tamatan SD dan
SMP
4 Pekerjaan Petani
5 Agama Mayoritas Islam
6 Budaya Budaya bernuansa Islami,
tradisi sudah hilag
Sumber: diolah dari Monografi desa Kemantren
Pemetaan sosial (social mapping) sebagai proses penggambaran masyarakat
yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai
masyarakat termasuk di dalamnya profil dan masalah sosial yang ada pada
masyarakat tersebut. Netting et al (1993), menyebutkan bahwa pemetaan sosial
dapat disebut juga sebagai social profiling atau “pembuatan profile suatu
masyarakat”. Social mapping memberikan gambaran yang menyeluruh dari
lokasi yang dipetakan, meliputi aktor-aktor yang berperan dalam proses relasi
sosial, jaringan sosial dari aktor tersebut, kekuatan dan kepentingan masing
masing aktor dalam kehidupan masyarakat terutama dalam upaya peningkatan
kondisi kehidupan masyarakat, masalah sosial yang ada termasuk keberadaan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |601
kelompok rentan, serta potensi yang tersedia baik potensi alam, manusia,
finansial, infrastruktur maupun modal sosial. (Bahruddin dkk,2013)
Desa Kemantren, kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan
1. Peta Jaringan Aktor dalam Program CSR yang sudah berjalan
Di desa Kemantren dan Sidokelar, kecamatan paciran, lamongan, terdapat
beberapa perusahaan besar antara lain ; PT Lamongan Shorebase, PT DOC, dan
PT Lamongan Marine Industries (LMI). Keberadaan beberapa perusahaan besar
tersebut ternyata berdampak positif terhadap masyarakat desa Kemantren dan
Sidokelar, salah satunya adalah mengurangi jumlah pengangguran yang ada di
desa Kemantren. Disamping itu juga dengan adanya dana Corporate Social
Responsibility (CSR), maka sedikit banyak desa juga diuntungkan. Bantuan dana
CSR perusahaan di sekitanya yang salama ini sudah berjalan antara lain:
a. Pemberian bantuan untuk pelaksanaan acara-acara desa, seperti kegiatan Hari
ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
b. Program pembangunan infrastruktur seperti : mushola dan masjid, lampu
penerangan jalan, pavingisasi jalan desa.
c. Pemberian santunan untuk warga tidak mampu.
d. Pemberian bantuan ketika acara Buka bersama di bulan Romadlon, pemberian
bantuan untuk peringatan Hari ulang tahun (Haul) Maulana Ishak, pemberian
bantuan dalam rangka peringatan hari besar agama.
Tetapi dari program-program CSR yang ada, sampai saat ini belum ada program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengucuran dana CSR bagi
desa ini juga tergantung pada jaringan aktor dalam program CSR ini. Ada
beberapa orang pejabat desa yang berkaitan dengan pelaksanaan program CSR
yang sudah ada, berikut adalah peta jaringan aktor, posisi sosial dan perannya
dalam program CSR yang sudah berjalan :
602| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Tabel 2
Peta Jaringan Aktor dalam Program CSR yang sudah berjalan di Desa
Kemantren.
Posisi Sosial Peran dalam Program CSR
Kepala Desa Legitimasi usulan program CSR
Sekretaris Desa Pelaksana administratif program
CSR
Ketua BPD (Badan Perwakilan Desa) Pengawas pelaksanaan program
CSR
Sumber : diolah dari data primer
2. Peta Aktor, Jaringan & Sosial Mapping Desa
Disamping jaringan aktor dalam program CSR yang sudah berjalan, desa
kemantren juga mempunyai beberapa orang yang dianggap mempunyai posisi
sosial yang baik dan sangat berpengaruh dalam masyarakat, terutama dalam
proses pengambilan kebijakan yang menyangkut kepentingan desa. Orang-orang
tersebut dianggap oleh masyarakat sangat menentukan arah kebijakan desa
terutama peran dan kontribusinya terhadap pembangunan di desa. Orang-orang
tersebut berasal dari tokoh elit desa/pejabat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama. Keberadaan mereka sesuai dengan perannya sangat disegani oleh
masyarakat. Berikut adalah posisi sosial di kedua desa tersebut dan peran dalam
pembangunan.
Tabel 3
Aktor, Posisi Sosial, Kepentingan & Peran dalam Pembangunan di desa
Kemantren
Posisi
Sosial
Pengaruh
dalam masy
(Kuat/tidak)
Kepentingan Peran dalam
pembangunan
Tokoh
Masyarakat
Kuat Berkepentingan dalam
memberi pertimbangan
pelaksanaan program
desa.
Mendorong dan
memberikan
masukan/usulan tentang
program desa.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |603
Posisi
Sosial
Pengaruh
dalam masy
(Kuat/tidak)
Kepentingan Peran dalam
pembangunan
Mediator antara desa dan
masyarakat
Memberi penguatan nilai-
nilai budaya desa
Kepala
Desa
Kuat Mengayomi warga desa Legitimasi setiap program
desa
Sekretaris
Desa
Kuat Melaksanakan fungsi
administrasi desa
Pelaksana administratif
program desa
Ketua BPD
(Badan
Perwakilan
Desa)
Kuat Pengawasan pelaksanaan
program desa
Mengawasi pelaksanaan
peraturan desa,
menyalurkan aspirasi
masyarakat.
Gabungan
Kelompok
tan
Kuat Membina kelompok tani Membina petani serta
menumbuhkembangkan
kerjasama antar petani
dan pihak lain terkait
Lembaga
Keswadaya
an
Masyarakat
(LKM)
Kuat Penggerak agar
masyarakat berdaya menjadi penggerak
masyarakat agar
dapat berdaya dalam
mengatasi masalah
kemiskinan.
memperjuangkan
aspirasi dan
kebutuhan
masyarakat miskin,
agar terlibat secara
aktif dan intensif
dalam setiap
pengambil keputusan
Tokoh
Agama
Kuat Membina pemeluk
agama
Membina
kerukunan umat
beragama desa.
Mediator
pemerintahan desa
dan masyarakat.
Sumber : diolah dari data primer
604| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Disamping posisi aktor seperti pada tabel di atas, di kedua desa tersebut juga ada
institusi yang keberadaan dan perannya memang sangat penting dalam masyarakat
desa Kemantren, seperti Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM), Badan
Perwakilan Desa (BPD), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), dan Gabungan
Kelompok Nelayan. Institusi ini dianggap perlu karena masing-masing
mempunyai peran dalam menampung aspirasi masyarakat, baik petani maupun
nelayan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat kedua Desa tersebut. Berikut
adalah tabel tentang institusi sosial, pengaruh, kepentingan dan perannya dalam
pembangunan desa.
Tabel 4
Institusi sosial, Pengaruh, Kepentingan dan Perannya dalam Pembangunan desa
Kemantren dan Sidokelar
Aktor
(Institusi)
Posisi Sosial Pengaruh
dalam
masy
(Kuat/tida
k)
Kepentingan Peran dalam
pembangunan
Lembaga
Keswadayaan
Masyarakat
(LKM)
Lembaga
penggerak
swadaya
Masyarakat
Kuat Menumbuhkan
keswadayaan
masyarakat
Menggerakkan
masyarakat dalam
mengatasi kemiskinan
Badan
Perwakilan Desa
(BPD)
Lembaga
perwakilan
masyarakat
Kuat Menyalurkan
aspirasi
masyarakat desa
Mengawasi pelaksanaan
program desa
Gabungan
Kelompok Tani
(Gapoktan)
Kelompok
Tani
Kuat Saluran aspirasi
kelompok tani
Menyalurkan aspirasi
kelompok tani
Gabungan
Kelompok
Nelayan
Kelompok
nelayan
Kuat Saluran aspirasi
kelompok
nelayan
Menyalurkan aspirasi
kelompok nelayan
Sumber : diolah dari data primer
3. Forum/ Media yang Digunakan untuk Pembahasan Masalah Publik
Disamping aktor dan institusi yang ada di desa, ada forum atau media yang
penting yang biasanya digunakan masyarakat desa Kemantren untuk membahas
masalah-masalah bersama, baik masalah di tingkat desa, di tingkat RW, maupun
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |605
masalah yang berkaitan dengan keagamaan maupun kesehatan. Forum ini juga
merupakan ajang silaturahmi warga kedua desa. Berikut adalah forum atau media
yang digunakan masyarakat kemantren untuk membahas masalah publik.
Tabel 5
Forum/ Media yang Digunakan Masyarakat Kemantren untuk Pembahasan
Masalah Publik
Nama Forum Keaggotaan
(terbuka/tertutup)
Jadwal Pertemuan
Rapat Desa Terbuka Setiap akan ada kegiatan, atau
ada masalah desa ( sifatnya
insidentil)
Rapat RW Terbuka Insidentil
PKK Terbuka Sebulan sekali
Gapoktan khusus petani insidentil
Kelompok
Nelayan
Khusus nelayan insidentil
Karang Taruna Terbuka insidentil
Keagamaan:
Tahlil dan
yasin,
Istigoshah,
diba’,
Fatayat,
Muslimat
Terbuka untuk semua umat
islam
Seminggu sekali
Posyandu balita Terbuka untuk keluarga
yang mempunyai balita
Sebulan sekali
Posyandu lansia Terbuka untuk lansia Sebulan sekali
Sumber : diolah dari data primer
4. Permasalahan Desa Kemantren
Pemetaan permasalahan desa adalah hal yang penting dalam rangka mengetahui
permasalahan yang ada di desa dalam kurun waktu tertentu. Desa Kemantren
meskipun secara umum masyarakatnya kelihatan makmur dan damai tetapi
masih juga menyimpan permasalahan desa. Permasalahan inilah merupakan
606| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pekerjaan rumah bagi kedua desa yang harus dicarikan solusi. Permasalahan
tersebut meliputi permasalahan sosial-budaya, seperti masih adanya
pengangguran meskipun di sekitarnya terdapat beberapa perusahaan besar,
konflik remaja antar desa, pudarnya semangat kegotong-royongan warga akibat
masuknya industri di wilayah tersebut sehingga merubah dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat industri, memudarnya tradisi “Petik Laut” akibat
berkembangnya nilai-nilai agama yang semakin kuat pada masyarakat desa
Kemantren, tingkat pendidikan masyarakat Kematren yang masih rendah (tamatan
SD 909 orang, Tamat SMP 618 Orang, tamat SMA 428 Orang). Masalah
ekonomi seperti adanya shorebase yang menutup akses jalan nelayan setempat,
dan pertanian tadah hujan sehingga pada musim kemarau mengalami paceklik.
Masalah infrastruktur seperti lampu penerangan jalan desa mati dan fasilitas
olahraga yang kurang mendukung.
Tabel 6
Pemetaan Permasalahan desa Kematren
Sosial-budaya Ekonomi Infrastruktur
Pengangguran, Pemuda
kurang skill karena
mayoritas tamatan SMU
Adanya shorebase yang
menutup akses jalan
nelayan setempat sehingga
berpengaruh terhadap hasil
nelayan.
Fasilitas olahraga kurang
mendukung
Konflik remaja Pertanian tadah hujan,
sehingga pada musim
kemarau mengalami
paceklik.
Sebagian lampu penerangan
jalan desa mati
Gotong-royong pudar
Budaya adat hilang (petik
laut, sedekah bumi)
Tingkat Pendidikan yang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |607
Sosial-budaya Ekonomi Infrastruktur
masih rendah (tamatan SD
909 orang, Tamat SMP
618 Orang, tamat SMA
428 Orang)
Sumber : diolah dari data primer dan profil desa Kemantren 2014
5. Kelompok Rentan Masalah
Disamping pemetaan permasalahan desa Kemantren seperti di atas, juga ada
kelompok-kelompok rentan masalah. Kelompok rentan masalah ini adalah
kelompok yang harus mendapat perhatian di desa Kemantren, baik warga miskin,
remaja, penyandang cacat, kelompok petani maupun nelayan. Berikut adalah
golongan rentan masalah yang ada di desa Kemantren.
Tabel 7
Kelompok Rentan Masalah di desa Kemantren
Kelompok Masalah Kebutuhan Intervensi
Warga Miskin pekerjaan tidak tetap,
penghasilan tidak
cukup
Bantuan untuk
pemberdayaan warga dalam
rangka pengentasan
kemiskinanseperti
pemberian pelatihan
ketrampilan.
Remaja Warga usia 7-18 tahun
yang tidak pernah
sekolah (25 orang)
Pengangguran
Perlu penyelenggaraan
kejar paket A,B,C.
Remaja perlu diisi
dengan kegiatan
berguna seperti :olah
raga.
Pengangguran perlu
adanya pelatihan
ketrampilan
Penyandang Disabilitas Ada penyandang Pemberdayaan penyandang
608| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
disabilitas disabilitas, berupa
pemberian pelatihan
ketrampilan.
Petani Pengiriman bibit selalu
telat, pupuk sering telat dan
tidak tepat musim.
Proses pengiriman bibit dan
pupuk perlu diperhatikan
dan diprioritaskan bagi
petani.
Nelayan
Tertutupnya jalan nelayan
akibat pembangunan
Shorebase
Perlu penyelesaian dari
pihak terkait
Sumber : diolah dari data primer dan profil desa Kemantren 2014
6. Potensi Desa Kemantren
Desa kemantren mempunyai berbagai potensi. Potensi tersebut mencakup potensi
alam, sumber daya manusia, finansial, infrastruktur, modal sosial dan potensi lain
yang ada. Berikut adalah potensi yang dimiliki desa Kemantren.
Tabel 8
Potensi desa Kemantren
Potensi
Alam
Potensi
SDM
Potensi
Financial
Potensi
Infrastruktur
Potensi
Modal
Sosial
Potensi
Lainnya
Laut (ikan
dan hasil
laut, seperti
rajungan)
Nelayan Anggaran desa
dari
pemerintah
Tempat ibadah Jaringan
sosial (relasi)
dengan
perusahaan
sekitar dalam
rangka
rekrutmen
tenaga kerja
Wisata
religi
makam
Maulana
Ishak.
pertanian Pertanian
tadah hujan
Donatur
pribadi
(terutama
untuk
pembangunan
masjid)
Lapangan
olahraga, tetapi
berada di luar
desa kemantren
Membangun
relasi dengan
perusahaan
sekitar
terutama bila
desa
mempunyai
hajat, seperti
agustusan,
tradisi
keagamaan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |609
Potensi
Alam
Potensi
SDM
Potensi
Financial
Potensi
Infrastruktur
Potensi
Modal
Sosial
Potensi
Lainnya
yang
berkembag.
Peternakan
(sapi, ayam
kampung,
ayam
broiler,
bebek,
kambing)
Tingkat
pendidikan
masyarakat
mayoritas
tamat SMU
Dana dari
perusahaan
sekitar( PT.
DOC, LMI)
Jalan desa
aspal (+/- 10
Km), jalan
paving((+/- 22
Km)
Gabungan
Kelompok
Tani
100% etnis
Jawa
Pungutan
Pajak
Lampu
penerangan
jalan
Gabungan
kelompok
nelayan
Penduduk
yang cacat
mental dan
fisik
sebanyak
27 orang
Tanah Kas
Desa
Prasarana
kesehatan
:Posyandu ada
3
Koperasi
Wanita
(Kopwan)
Prasarana
Kebersihan :
TPS :1, TPA
:1, tong
sampah: 679,
mobil sampah:
1, satgas
kebersihan :2
orang.
Sumber : diolah dari data primer dan profil desa Kemantren 2014
610| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
7. Pengembangan Potensi
Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh desa Kemantren seperti disebut di atas,
maka menjadi perlu untuk mengetahui kondisi potensi tersebut pada saat sekarang
serta peluang pengembangan potensi tersebut. Berikut disajikan tentang peluang
pengembangan potensi yang ada di desa Kemantren.
Tabel 8
Peluang Pengembangan Potensi desa Kemantren
Potensi Kondisi Saat ini Peluang Pengembangan
Potensi Alam Tanah kering Ditanami palawija
Potensi SDM Petani mengalami
kekeringan, nelayan
merasa jalannya tertutup
shorebase
Harus ada upaya di bidang
pertanian supaya tidak hanya
menggantungkan hujan, perlu
dipikirkan masalah akses jalan
nelayan.
Potensi Finansial dana desa,
tanah kas desa
dana CSR
pungutan Pajak
donatur pribadi
koperasi wanita
Pengelolaan finansial
(dana desa, tanah kas desa,
dana CSR, pungutan
pajak) disesuaikan dengan
kebutuhan desa saat ini.
Koperasi Wanita,
pengembangan modal
untuk memperbesar
pinjaman yang diberikan
ke anggota.
Potensi Infrastruktur Tempat ibadah
memadai
Jalan desa paving
Lampu penerangan
Perlu perbaikan ataupun
penggantian lampu jalan yang
mati.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |611
Potensi Kondisi Saat ini Peluang Pengembangan
jalan sebagian ada
yang mati
Lapangan desa berada
di luar desa
Kemantren
Potensi Modal Sosial Kerjasama dengan
perusahaan sekitar
berjalan baik.
Gabungan kelompok
tani (Gapoktan)
Kelompok Nelayan
Kerjasama dalam hal
pemberdayaan
masyarakat sesuai
dengan potensi
masyarakat
Menumbuhkembangkan
kerjasama antar petani
dan pihak lain terkait
pengembangan usaha
tani, peningkatan
kemampuan kelompok
tani, penguatan
kelompok tani menjadi
kuat dan mandiri.
Menumbuh kembangkan
kerjasama antar nelayan
dan pihak lain terkait
pengembangan usaha,
peningkatan kemampuan
kelompok nelayan,
penguatan kelompok
nelayan menjadi kuat dan
mandiri.
Potensi Lain (wisata
religi makam Maulana
Ishak)
Makam selalu dikunjungi
peziarah terutama pada
hari-hari tertentu.
Wisata religi perlu
dikembangkan lagi dengan
perbaikan sarana prasarana.
Sumber : diolah dari data primer
612| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
SIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, maka pengembangan
program CSR akan memberikan manfaat optimal jika melibatkan aktor dan
institusi yang berpengaruh di desa. Pelibatan aktor tidak saja pada tahap
pelaksanaan tetapi juga diharapkan dimulai pada tahap penentuan program CSR.
Program- Program CSR yang dapat dikembangkan di desa Kemantren dapat
meliputi: Pembangunan sarana dan prasarana untuk pertanian di musim kemarau.
Kedua, potensi finansial, koperasi wanita perlu pengembangan modal untuk
memperbesar pinjaman yang diberikan ke anggota. Ketiga, potensi SDM, perlu
pengembangan dengan pelatihan ketrampilan kerja bagi pengangguran yang ada,
seperti pelatihan ketrampilan mengelas. Peningkatan kemampuan kelompok
nelayan, penguatan kelompok nelayan menjadi kuat dan mandiri melalui
pembentukan kelompok usaha nelayan. Potensi Infrastruktur dan potensi wisata
religi perlu adanya pengembangan lebih lanjut dalam rangka pemberdayaan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bahruddin, Krisdyatmiko, Danang Arif Darmawan dan Soetomo, 2013.
Indikator Proper Hijau: Aspek pengembangan Masyarakat (Community
Development).Deputi Pengendalian dan Pencemaran Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Miles, MB dan Huberman, AM, 1992, Analisis data Kualitatif, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta
Netting, F Ellen, Peter M. Kettner dan Steven L. McMurty. 1993. Social Work
Macro Practice, New York: Longman
Profil Desa Kemantren, 2014.
Wibisono, Yusuf.2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho
Publishing
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |613
EVALUASI PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM/
MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS TAHUN 2014
DI KABUPATEN NGANJUK28
Mochamad Arif Affandi & Diyah Utami
Dosen Prodi Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial FISH Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK
Pengarusutamaan Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia salah satunya
diwujudkan melalui upaya sinkronisasi MDGs dengan dokumen perencanaan
pembangunan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah (kabupaten/kota). Kabupaten
Nganjuk dalam hal ini telah mengintegrasikan target-target MDGs ke dalam RPJMD
Kabupaten Nganjuk Tahun 2009-2013, yang kemudian dirumuskan dalam Roadmap
Percepatan Pencapaian MDG’s Tahun 2013-2015. Roadmap tersebut terwujud dalam
berbagai program dan kegiatan pemerintah daerah sejak tahun 2009 hingga 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi publik terhadap pelaksanaan MDGs di
Kabupaten Nganjuk. Melalui pendekatan survey dan perhitungan indeks kepuasan publik,
evaluasi pencapaian MDG’s di Kabupaten Nganjuk masuk dalam kategori “BAIK”,
dengan nilai indeks sebesar 2,51 atau 62,78.
Kata kunci: MDGs, Evaluasi, Kepuasan Publik
LATAR BELAKANG
Komitmen Indonesia untuk mencapai MDG's mencerminkan komitmen
Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan memberikan
kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dunia. Oleh karena itu,
MDG's merupakan acuan penting dalam penyusunan Dokumen Perencanaan
Pembangunan Nasional. Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDG's
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005–2025),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009 dan
28 Hasil penelitian bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Nganjuk Tahun 2014
614| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
RPJMN 2009–2014), Rencana Kerja Program Tahunan (RKP), serta Dokumen
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Keberhasilan dalam pencapaian MDG's di Indonesia tergantung pada
pencapaian tata pemerintahan yang baik, kemitraan yang produktif pada semua
tingkat masyarakat dan penerapan pendekatan yang komrehensif untuk mencapai
pertumbuhan yang pro–masyarakat miskin, meningkatkan pelayanan publik,
memperbaiki koordinasi antar pemangku kepentingan, meningkatkan alokasi
sumber daya, pendekatan desentralisasi untuk mengurangi disparitas serta
memberdayakan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.
Kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan percepatan pencapaian
target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG's) didasarkan pada amanah dari
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Percepatan Pembangunan
Nasional, Indonesia sebagai salah satu Negara yang ikut mengadopsi kesepakatan
MDG's juga menetapkan target-target tujuan MDGs di tahun 2015 sebagai
berikut:
1. Penghapusan kemiskinan :
Target 1A : Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat
pendapatannya di bawah $ 1 perhari menjadi setengahnya antara tahun
1990-2015;
Target 1B : Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif serta
pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda;
Target 1C : Merupakan proporsi penduduk yang menderita kelaparan
menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015.
2. Pencapaian pendidikan dasar untuk semua :
Target 2A : Memastikan pada tahun 2015 semua anak dimanapun, laki-
laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
3. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan :
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |615
Target 3A : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan
dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak
lebih dari tahun 2015.
4. Penurunan angka kematian anak :
Target 4A : Menurukan angka kematian balita sebesar dua pertiganya
antara tahun 1990-2015.
5. Meningkatkan kesehatan ibu :
Target 5A : Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya
antara tahun 1990-2015;
Target 5B : Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada
tahun 2015;
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya :
Target 6A : Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai
menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015;
Target 6B : Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV/AIDS bagi
semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010;
Target 6C : Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya
jumlah malaria dan penyakit hingga tahun 2015.
7. Menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan :
Target 7A : Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan dan program nasional;
Target 7B : Mengurangi laju kehilangan keanekaragaman hayati, dan
mencapai pengurangan yang signifikan pada 2015;
Target 7C : Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses
terhadap sumber air minun yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
dasar pada 2015;
616| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Target 7D : Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan
penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020;
8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan MDG's dan Pembangunan
Daerah
Target 8A : Mengembangkan Sistem Keuangan dan Perdagangan yang
Terbuka, Berbasis Peraturan, Dapat Diprediksi, dan Tidak Diskriminatif;
Target 8B : Menangani Utang Negara Berkelanjutan Melalui Upaya
Nasional Maupun Internasional untuk Dapat Mengelola Utang dalam
Jangka Panjang;
Target 8C : Bekerjasama dengan Swasta dalam Memanfaatkan
Teknologi Baru, Terutama Teknologi Informasi dan Komunikasi;
Tujuan Pembangunan milenium telah diintegrasikan ke dalam RPJMD
Kabupaten Nganjuk (Tahun 2009-2013 dan Tahun 2014-2018), hal ini terlihat
dalam tujuan dan sasaran pembangunan dalam RPJMD Kabupaten Nganjuk. Pada
Tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Nganjuk telah menyusun Roadmap
Percepatan Pencapaian MDG’s Tahun 2013-2015 dengan gambaran masing-
masing tujuan MDGs sebagai berikut:
Tujuan 1 MDG’s (menghapuskan kemiskinan dan kelaparan); masih
memerlukan upaya keras, karena masih banyaknya jumlah masyarakat miskin
yang tersebar di semua kecamatan. Bahkan masih banyak pula kelompok
miskin yang masuk golongan pra sejahtera.
Tujuan 2 MDG’s (Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua); secara
umum kabupaten Nganjuk sudah bisa mencapai target.
Tingkat APM yang tinggi didukung adanya fasilitas pendidikan yang
terjangkau di semua wilayah.
Tujuan 3 MDG’s (mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan); capaian untuk sektor pendidikan sudah baik, tidak ada
ketimpangan gender. Untuk sektor tenaga kerja, pencari pekerjaan masih
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |617
didominasi perempuan dari pada laki-laki. Hal ini merupakan tantangan bagi
pemerintah Kabupaten Nganjuk untuk melakukan pengarustamaan gender di
bidang penambahan lapangan pekerjaan dan pemberdayan perempuan. Begitu
pula, untuk partisipasi perempuan di lembaga legislatif juga masih sangat
minim.
Tujuan 4 MDG’s (menurunkan angka kematian anak); masih memerlukan
upaya serius, karena masih ada bayi dengan gizi buruk di Kabupaten
Nganjuk.
Tujuan 5 MDG’s (meningkatkan kesehatan ibu); capaian untuk indikator ini
sudah cukup baik, termasuk layanan kesehatan untuk ibu hamil.
Tujuan 6 MDG’s (memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular
lainnya) ; untuk memerangi HIV/AIDS, pemerintah Kabupaten Nganjuk
masih memerlukan kerja keras, karena jumlah penerita HIV/AIDS cukup
banyak, mencapai angka 305 orang Sedangkan penderita HIV lanjut sejumlah
156, dan yang bisa mengakses obat antiretroval hanya sekitar 68 orang saja.
Bicara masalah penyakit menular, Kabupaten Nganjuk juga memiliki masalah
serius karena tingginya penderita tuberculosis, dan hanya sebagian kecil saja
yang bisa terdetaksi dan diobati melalui program DOTS
Tujuan 7 (memastikan kesehatan lingkungan hidup); masih memerlukan
perhatian serius karena minimnya data menyebabkan sulitnya menentukan
metode penanganan yang sesuai.
Sesuai dengan target waktu pencapaian MDGs di Kabupten Nganjuk pada
tahun 2015, maka diperlukan kajian untuk mengetahui sampai sejauhmana
pencapaian yang sudah dilaksanakan hingga tahun 2014. Kajian juga diperlukan
untuk merumuskan kebijakan yang dapat dilakukan dalam kurun waktu 2015
sehingga dapat mencapai target yang sudah ditetapkan. Berdasarkan latar belakang
618| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
permasalahan yang diuraikan sebelumnya, penelitian ini akan menjawab rumusan-
rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana pencapaian target 1 MDG’s Kabupaten
Nganjuk tentang penghapusan kemiskinan dan kelaparan?, (2) Bagaimana pencapaian
tujuan 2 MDG’s Kabupaten Nganjuk tentang mewujudkan pendidikan dasar untuk
semua?, (3) Bagaimana pencapaian tujuan 3 MDG’s Kabupaten Nganjuk tentang
mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan?, (4) Bagaimana pencapaian
tujuan 4 MDG’s Kabupaten Nganjuk tentang penurunan angka kematian anak?, (5)
Bagaimana pencapaian tujuan 5 MDG’s Kabupaten Nganjuk tentang peningkatan
kesehatan ibu?, (6) Bagaimana pencapaian tujuan 6 MDG’s Kabupaten Nganjuk
tentang memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya?, (7)
Bagaimana pencapaian tujuan 7 MDG’s Kabupaten Nganjuk tentang jaminan
kelestarian lingkungan hidup?, (8) Faktor-faktor apa saja yang mendorong dan
menghambat pencapaian MDG’s di Kabupaten Nganjuk?, (9) Alternatif-alternatif
kebijakan apa saja yang perlu dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Nganjuk untuk
mencapai target MDG’s 2015 dan mengeliminasi hambatan-hambatan pencapaian
target MDG’s 2015?
TUJUAN PENELITIAN
Maksud diadakannya kegiatan Evaluasi Pencapaian Tujuan Pembangunan
Millenium di Kabupaten adalah untuk menggambarkan pencapaian target MDG's
yang telah ditetapkan sampai tahun 2014. Termasuk mengidentifikasi faktor-
faktor pendorong dan penghambat pencapaian MDG’s di Kabupaten Nganjuk
serta perumusan alternatif kebijakan yang akan dilaksanakan pada tahun 2015.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif
melalui survey opini publik dan observasi, sedangkan kualitatif melalui indepth
interview kepada elit masyarakat (stakeholder) dan Dinas/SKPD yang terkait
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |619
dengan penelitian. Pendekatan survey opini publik dilakukan untuk mengetahui
persepsi dan evaluasi publik terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam rangka
pencapaian MDG’s.
Skema Penelitian
Lokasi Penelitian dan Penentuan Responden/Informan
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Nganjuk, dengan mengambil lokasi
penelitian di seluruh kecamatan (20 kecamatan). Oleh karena penelitian
menggunakan pendekatan mix methodology, maka terdapat dua sumber data
primer, yaitu responden masyarakat umum (penerima dan pemanfaat program)
dan subyek elit (stakeholder) baik dari instansi maupun masyarakat. Jumlah
responden yang diambil dalam penelitian ini adalah 1000 orang, ditentukan
dengan teknik sampel acak bertahap (multistage random sampling).
Dengan jumlah responden sebanyak 1000 orang, maka perhitungan margin of
error adalah sebagai berikut.
Roadmap
Pencapaian
MDG’s
Kab.
Nganjuk
7 Target MDG’s
Kab. Nganjuk
SKPD/ Dinas/
Instansi
Masyarakat/
User
Program dan
Kegiatan
Capaian, Persepsi dan Evaluasi Publik
620| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Margin of error dari sampel :
n* = 2
2 **
e
qpZ
Dimana :
n* : jumlah sampel yang diambil
Z : Nilai distribusi normal, jika = 5% maka Z = 1.96
p : proporsi laki-laki, diperkirakan p = 0.5
q : proporsi perempuan, diperkirakan q = 0.5
e : margin of error
Maka besarnya margin of error sebagai berikut:
1000 = (1.962 * 0.5 * 0.5) / e2
= 3.84. 0.25/ e2
= 0.96/e2
e2 = 0.96/1000
= 0.0096
e = 0.0309
e = 3.09 %
Maka margin of error dari penelitian ini ditetapkan sebesar 3.09%.
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur
dengan kuesioner kepada masyarakat Setelah data terkumpul, dilakukan editing
(penyuntingan), hal ini untuk menghindari terjadinya kesalahan. Setelah itu
dilakukan koding (penandaan) serta entry data sesuai dengan keperluan dan tujuan
penelitian sehingga mempermudah untuk analisis. Data dianalisis dengan bantuan
perangkat computer program SPSS. Sedangkan penghitungan evaluasi publik
dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata tertimbang dari beberapa target
MDG’s. Dalam penghitungan evaluasi MDG’s terdapat 11 target yang memiliki
angka penimbang yang sama dengan rumus,
Jumlah Bobot 1 Bobot nilai rata-rata tertimbang = = = 0.09 Jumlah Target 11
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |621
Selanjutnya untuk memperoleh nilai Indeks Evaluasi MDG’s digunakan
pendekatan nilai rata-rata tertimbang dengan rumus sebagai berikut:
Untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian Indeks Evaluasi MDG’s yaitu
antara 25 sampai dengan 100 maka hasil penilaian tersebut diatas dikonversikan
dengan nilai dasar 25 dengan rumus sebagai berikut:
Kemudian dari hasil perhitungan yang telah didapat, dikatagorikan sebagai berikut
: Nilai Persepsi, Interval Indeks, Interval Konversi Indeks, Nilai Indeks dan
Evaluasi Masyarakat.
SKOR
PERSEPSI
INTERVAL
INDEKS INTERVAL INDEKS
NILAI
INDEKS
EVALUASI
MASYARAKAT
1 1,00 – 1,75 25 – 43,75 D Tidak baik
2 1,76 – 2,50 43,76 – 62,50 C Kurang baik
3 2,51 – 3,25 62,51 – 81,25 B Baik
4 3,26 – 4,00 81,26 – 100,00 A Sangat baik
KAJIAN PUSTAKA
Millenium Development Goals (MDG’s)
MDGs adalah singkatan dari Millennium Development Goals yang dalam
bahasa Indonesia disebut Tujuan Pembangunan Milenium. Pada Konferensi
Total Nilai Persepsi Per Target Indeks MDG’s = X Nilai Penimbang Total Target yang Terisi
Indeks MDG’s X 25
622| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan
September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, yang
sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi
Deklarasi Milenium. Dalam konteks inilah, negara-negara anggota PBB
kemudian mengadopsi MDGs dengan 8 Tujuan. Setiap tujuan memiliki satu atau
beberapa target beserta indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan
manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tenggat waktu dan
kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan pada konsensus dan kemitraan global,
sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan
pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung
upaya tersebut.
Beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan MDG
adalah sebagai berikut:
Pertama, MDG bukan tujuan PBB, sekalipun PBB merupakan lembaga yang aktif
terlibat dalam promosi global untuk merealisasikannya. MDG adalah tujuan dan
tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium, baik
pada rakyatnya maupun secara bersama antar pemerintahan.
Kedua, tujuh dari delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target dengan
waktu pencapaian yang jelas, hingga memungkinkan pengukuran dan pelaporan
kemajuan secara obyektif dengan indikator yang sebagian besar secara
internasional dapat diperbandingkan.
Ketiga, tujuan-tujuan dalam MDG saling terkait satu dengan yang lain. Misalnya,
Tujuan 1—menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah—adalah kondisi
yang perlu tapi belum cukup bagi pencapaian Tujuan 2 hingga Tujuan 7.
Demikian juga, tanpa kemitraan dan kerja sama antara negara miskin dan negara
maju, seperti yang disebut pada Tujuan 8, negara-negara miskin akan sulit
mewujudkan ketujuh tujuan lainnya. Keempat, dengan dukungan PBB, terjadi
upaya global untuk memantau kemajuan, meningkatkan perhatian, mendorong
tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |623
kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang
dibutuhkan untuk mencapai semua target. Kelima, 18 belas target dan lebih dari
40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai dalam jangka waktu 25 tahun
antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk memonitor
perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target.
Indonesia ikut mengadopsi kesepakatan MDG's juga menetapkan target-target
tujuan MDGs di tahun 2015 sebagai berikut:
1. Penghapusan kemiskinan :
Target 1A : Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat
pendapatannya di bawah $ 1 perhari menjadi setengahnya antara tahun
1990-2015;
Target 1B : Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif serta
pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda;
Target 1C : Merupakan proporsi penduduk yang menderita kelaparan
menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015.
2. Pencapaian pendidikan dasar untuk semua :
Target 2A : Memastikan pada tahun 2015 semua anak dimanapun, laki-
laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar.
3. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan :
Target 3A : Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan
dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak
lebih dari tahun 2015.
4. Penurunan angka kematian anak :
Target 4A : Menurukan angka kematian balita sebesar dua pertiganya
antara tahun 1990-2015.
5. Meningkatkan kesehatan ibu :
Target 5A : Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya
antara tahun 1990-2015;
Target 5B : Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada
tahun 2015;
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya :
Target 6A : Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai
menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015;
Target 6B : Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV/AIDS bagi
semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010;
Target 6C : Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya
jumlah malaria dan penyakit hingga tahun 2015.
624| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
7. Menjamin kelestarian lingkungan berkelanjutan :
Target 7A : Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
dengan kebijakan dan program nasional;
Target 7B : Mengurangi laju kehilangan keanekaragaman hayati, dan
mencapai pengurangan yang signifikan pada 2015;
Target 7C : Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses
terhadap sumber air minun yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas
dasar pada 2015;
Target 7D : Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan
penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020;
8. Membangun kemitraan global untuk pembangunan MDG's dan Pembangunan
Daerah
Target 8A : Mengembangkan Sistem Keuangan dan Perdagangan yang
Terbuka, Berbasis Peraturan, Dapat Diprediksi, dan Tidak Diskriminatif;
Target 8B : Menangani Utang Negara Berkelanjutan Melalui Upaya
Nasional Maupun Internasional untuk Dapat Mengelola Utang dalam
Jangka Panjang;
Target 8C : Bekerjasama dengan Swasta dalam Memanfaatkan
Teknologi Baru, Terutama Teknologi Informasi dan Komunikasi;
Kebijakan Publik
Kebijakan publik yang menurut Thomas R. Dye adalah apapun yang dipilih
oleh pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan public (Winarno, 2002).
Dan ini dapat dijadikan sebagai isu-isu politik yang digunakan seseorang
sebagai pertimbangan dalam perilaku memilih.
The Changing American Voter challanged this claim, however, arguing that
voters in more recent years had become more sophisticated about issues and
better able to use policy position to gauge alternative.
Kebijakan Publik adalah out put dari suatu sistem politik dimana didalam
suatu sistem politik terjadi dengan apa yang disebut sebagai proses politik.
Yaitu segala kegiatan dan interaksi manusia yang berkaitan dengan proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat masyarakat umum
(Surbakti, 1988). Walaupun kebijakan publik adalah merupakan hasil dari
suatu proses politik yang melibatkan banyak pihak dan implementasinya
mengikat masyarakat secara keseluruhan, namun kebijakan publik bukanlah
sesuatu yang free value (bebas nilai). Konsekwensi dari tidak demokratisnya
suatu proses kebijakan publik akan berakibat pada rendahnya partisipasi dan
terjadinya multi interpretasi dalam implementasinya.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |625
Dalam implemetasinya kebijakan publik merupakan alat administrasi hukum
dimana berbagai aktor, oganisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-
sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
dinginkan (Winarno, 2002). Menurut Van Horn dan Van Meter, struktur
birokrasi tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi yang diartikan sebagai
karakteristik-karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi
berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan,
baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan
menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter mengetengahkan beberapa
unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam
mengimplementasikan kebijakan: (1) Kompetensi dan ukuran staf suatu
badan, (2) Tingkat pengawasan hirearkis terhadap putusan-putusan sub unit
dan proses-proses dalam badan pelaksana, (3) Sumber-sumber politik suatu
organisasi, (4) Vitalitas suatu organisasi, (5) Tingkat komunikasi-komunikasi
“terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontal
dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi
dalam komunikasi dengan individu diluar organisasi, (6) Kaitan formal dan
informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” dan “pelaksana
keputusan”. Ketika suatu kebijakan tidak dapat di implementasikan sesuai
dengan tujuan utamanya yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan
publik tetapi dikemudian hari cenderung menciptakan permasalahan baru
karena ketidakmampuan pelaksana keputusan dalam
mengimplementasikannya maka secara langsung akan menimbulkan apa yang
dinamakan oleh Ted Robert Gurr, Denton E. Morrison dan James Davis
sebagai deprivasi dimasyarakat.
Kepuasan Masyarakat Sebagai Bentuk Evaluasi Pelayananan Publik
Sebagaimana amanat yang termuat dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No 16 tahun 2014, salah satu upaya yang harus
dilakukan dalam perbaikan pelayanan publik adalah melakukan kajian Survei
Kepuasan Masyarakat. Pengukuran terhadap kepuasan masyarakat menjadi sangat
penting terutama di era keterbukaan dan meluasnya teknologi infornasi.
Munculnya berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media masa
dan jaringan sosial, dapat memberikan dampak buruk terhadap pelayanan
626| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pemerintah, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat.
Konsep kepuasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepuasan yang bersifat
perseptual. Persepsi sendiri merupakan suatu proses dimana seseorang melakukan
pemilihan, penerimaan, pengorganisasian, dan penginterpretasian atas informasi yang
diterimanya dari lingkungan. Persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dialami
oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya.
Persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor: karakteristik yang mempersepsikan,
meliputi kebutuhan, pengalaman, norma-norma yang melingkupi, sikap dan
kepribadian; karakrteristik yang dipersepsikan meliputi: penampakan dan
perilaku; dan konteks situasi meliputi: setting fisik, setting budaya dan sosial,
setting organisasi.
Hanya saja, ada beberapa distorsi dalam persepsi. Pertama, stereotip:
menggeneralisasi persepsi atas dasar informasi umum. Kedua, efek halo:
kecenderungan hanya menggunakan satu informasi saja untuk mempersepsikan
sesuatu. Ketiga, seleksi : hanya memperhatikan informasi-informasi tertentu.
Keempat, Proyeksi : menggunakan atribut pribadi (self concept) sebagai dasar
persepsi. Dan kelima, harapan : menggunakan harapan pribadi sebagai dasar
persepsi.
Kepuasan sendiri menurut Kotler (2000) adalah tingkat perasaan seseorang
setelah membandingkan kinerja atau hasil yang ia rasakan dibandingkan dengan
harapannya. Sedangkan Wilkie mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai suatu
tanggapan emosial pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk
atau jasa.
Dalam khasanah ilmu ekonomi, menurut Kotler kepuasan yang ada pada
konsumen atas suatu produk atau jasa akan : pertama, melakukan pembelian
ulang. Kedua, mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan kepada orang
lain. Ketiga, kurang memperhatikan mereka atau iklan dari produk pesaing. Dan
keempat akan membeli produk yang lain dari perusahaan yang sama.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |627
TEMUAN DATA DAN ANALISIS
Evaluasi masyarakat terhadap pelaksanaan MDG’s di Kabupaten Nganjuk
dihitung dengan menggunakan nilai rata-rata tertimbang dari beberapa target
MDG’s. Berikut disajikan perhitungan skor dan evaluasi masyarakat untuk
masing-masing target.
Tabel. 1
Skor Persepsi, Nilai Indeks dan Evaluasi Masyarakat
Terhadap 11 Target MDG’s
Skor Persepsi Nilai Indeks
Evaluasi
Masyarakat
Target 1. Evaluasi penanggulangan
kemiskinan 2.36 58.975 Kurang Baik
Target 2. Evaluasi penanggulangan
kerawanan pangan/kelaparan 2.46 61.525 Kurang Baik
Target 3. Evaluasi pemberian akses
pendidikan untuk semua 2.75 68.7 Baik
Target 4. Evaluasi penghapusan
ketimpangan gender diberbagai tingkat
pendidikan 2.74 68.425 Baik
Target 5. Evaluasi penurunan Angka
Kematian Balita (AKB) 2.81 70.175 Baik
Target 6. Evaluasi penurunan Angka
Kematian Ibu (AKI) 2.72 67.95 Baik
Target 7. Evaluasi pengendalian
HIV/AIDS serta penurunan angka
kejadian 2.52 63 Baik
Target 8. Evaluasi pengendalian
malaria serta penurunan angka kejadian 2.60 64.95 Baik
Target 9. Evaluasi pelestarian
lingkungan dan pengembalian
sumberdaya lingkungan yang hilang 2.29 57.275 Kurang Baik
Target 10. Evaluasi penyediaan
fasilitas/sumber air minum dan sanitasi
dasar 2.34 58.525 Kurang Baik
Target 11. Evaluasi peningkatan
kualitas rumah sehat dan layak huni 2.33 58.15 Kurang Baik
628| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Tabel 1 menunjukkan hasil perhitungan Indeks evaluasi masyarakat
terhadap 11 target Tujuan Pembangunan Millenium yang dilaksanakan di
Kabupaten Nganjuk hingga tahun 2014.
Dari 11(sebelas) target yang ingin dicapai, terdapat 5 target yang masih
mendapat penilaian kurang baik, yaitu: target 1 (penanggulangan kemiskinan),
target 2 (penanggulangan kelaparan), target 9 (pengembalian sumberdaya
lingkungan yang hilang), target 10 (penyediaan fasilitas/sumber air minum dan
sanitasi dasar) dan target 11 (peningkatan kualitas rumah sehat dan layak
huni).
Sedangkan 6 target MDG’s yang dinilai baik hingga kurun waktu 2014
adalah sebagai berikut: target 3 (penyediaan akses pendidikan untuk semua),
target 4 (penghapusan ketimpangan gender diberbagai tingkat pendidikan),
target 5 (penurunan Angka Kematian Balita), target 6 (penurunan Angka
Kematian Ibu), target 7 (pengendalian HIV-AIDS dan penurunan angka
kejadian), target 8 (pengendalian malaria dan penurunan angka kejadian.
Penilaian masyarakat terhadap 11 target secara jelas ditampilkan dalam
gambar 1
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |629
Gambar 1
Skor Indeks Evaluasi 11 Target MDG’s
Jika perhitungan indeks evaluasi masyarakat diturunkan dalam rangkaian
7 tujuan utama MDG’s diperoleh perhitungan sebagaimana disajikan pada tabel 2.
Tabel. 2
Skor Persepsi, Nilai Indeks dan Evaluasi Masyarakat
Terhadap 7 Tujuan MDG’s
Skor
Persepsi
Nilai
Indeks
Evaluasi
Masyarakat
Tujuan 1. Menanggulangi Kemiskinan
dan Kelaparan 2.41 60.25 Kurang Baik
Tujuan 2. Mencapai Pendidikan Dasar
Untuk Semua 2.75
68.75 Baik
Tujuan 3. Mendorong Kesetaraan
Gender dan Pemberdayaan Kaum
Perempuan
2.74
68.5 Baik
Tujuan 4. Menurunkan Angka 2.81 70.25 Baik
630| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kematian Anak
Tujuan 5. Meningkatkan Kesehatan
Ibu 2.72
68 Baik
Tujuan 6. Memerangi HIV/AIDS,
Malaria dan Penyakit Menular
Lainnya
2.56
64 Baik
Tujuan 7. Memastikan Kelestarian
Lingkungan Hidup 2.32
58 Kurang Baik
Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan Indeks evaluasi masyarakat
terhadap 7 tujuan MDG’s yang dilaksanakan di Kabupaten Nganjuk hingga tahun
2014.
Dari tujuh tujuan yang ingin dicapai, terdapat 2 tujuan yang masih
mendapat penilaian kurang baik, yaitu: tujuan 1 (Menanggulangi Kemiskinan dan
Kelaparan) dan tujuan 7 (Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup)
Sedangkan 5 tujuan MDG’s yang dinilai baik hingga kurun waktu 2014
adalah sebagai berikut: tujuan 2 (mencapai pendidikan dasar untuk semua), tujuan
3 (Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan), tujuan 4
(menurunkan Angka Kematian Anak), tujuan 5 (meningkatkan kesehatan ibu),
dan tujuan 6 (Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya)
Penilaian masyarakat terhadap 7 tujuan MDG’s secara jelas ditampilkan
dalam gambar 4.2
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |631
Gambar 2
Skor Indeks Evaluasi 6 Tujuan MDG’s
Berdasarkan nilai dari 7 tujuan MDG’s tersebut, secara keseluruhan Indeks
Evaluasi MDG’s Kabupaten Nganjuk adalah sebesar 2,51 atau 62,78 (setelah
dikonversi). Skor ini menunjukkan bahwa mayarakat menilai upaya pencapaian
MDG’s yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk masuk dalam
kategori “BAIK”.
PENUTUP
Kesimpulan
Pertama, berdasarkan persepsi masyarakat Indeks Evaluasi Pencapaian
MDG’s di Kabupaten Nganjuk masuk dalam kategori “BAIK”, dengan nilai
indeks sebesar 2,51 atau 62,78 (setelah dikonversi); Kedua, dari 7 (tujuh)
tujuan yang ingin dicapai, terdapat 2 tujuan yang masih mendapat penilaian
kurang baik, yaitu: tujuan 1 (Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan) dan
632| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
tujuan 7 (Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup); Ketiga, terdapat 5
(lima) tujuan MDG’s yang dinilai baik hingga kurun waktu 2014 yaitu: tujuan
2 (mencapai pendidikan dasar untuk semua), tujuan 3 (Mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan), tujuan 4 (menurunkan Angka
Kematian Anak), tujuan 5 (meningkatkan kesehatan ibu), dan tujuan 6
(Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya); Keempat,
Dari 11 (sebelas) target yang ingin dicapai, terdapat 5 target yang masih
mendapat penilaian kurang baik, yaitu: target 1 (penanggulangan kemiskinan),
target 2 (penanggulangan kelaparan), target 9 (pengembalian sumberdaya
lingkungan yang hilang), target 10 (penyediaan fasilitas/sumber air minum dan
sanitasi dasar) dan target 11 (peningkatan kualitas rumah sehat dan layak
huni).; Kelima, Sedangkan 6 target MDG’s yang dinilai baik hingga kurun
waktu 2014 adalah sebagai berikut: target 3 (penyediaan akses pendidikan
untuk semua), target 4 (penghapusan ketimpangan gender diberbagai tingkat
pendidikan), target 5 (penurunan Angka Kematian Balita), target 6 (penurunan
Angka Kematian Ibu), target 7 (pengendalian HIV-AIDS dan penurunan angka
kejadian), target 8 (pengendalian malaria dan penurunan angka kejadian.
Rekomendasi
Pertama, dalam upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium tahun
2015, tujuan dan target MDG’s harus secara tegas masuk dalam dokumen
perencanaan pembangunan tidak hanya di tingkatan RPJMD tetapi masuk
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan durasi satu tahunan; Kedua,
agar memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat, upaya pencapaian
tujuan MDG’s perlu didesain menjadi sebuah gerakan. Sehingga dapat
mengoptimalkan sekaligus menyatukan semua potensi daerah, bukan hanya di
tingkatan Dinas/SKPD/Instansi tetapi juga menjadi gerakan bersama seluruh
stakeholders di Kabupaten Nganjuk; Ketiga, untuk semakin mengefektifkan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |633
pelaksanaan MDG’s dalam bentuk gerakan perlu diperkuat dengan landasan
hukum, misalnya dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati;
Keempat, perlu adanya desain sosialisasi/pemasyarakatan yang lebih optimal
tentang Tujuan Pembangunan Millenium kepada masyarakat. Sehingga dapat
mendorong masyarakat untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai program
dan kegiatan yang didesain oleh pemerintah daerah. Misalnya dengan
melakukan kerjasama penyiaran iklan layanan masyarakat di media cetak dan
elektronik; Kelima, peningkatan koordinasi antara Dinas, SKPD, Badan dan
Lembaga yang ada di pemerintahan daerah untuk menunjang pelaksanaan
MDG’s. Bila dimungkinkan dapat dibentuk Task Force (gugus tugas) yang
terdiri dari gabungan instansi dan sektoral yang terkait, untuk semakin
memudahkan koordinasi dan efektifitas pencapaian MDG’s; Keenam,
membangun sinergitas dengan kabupaten/kota di sekitar Nganjuk, serta
koordinasi dan sinergi yang terus menerus dengan pemerintah provinsi bahkan
hingga pemerintah pusat untuk mempercepat pencapaian target MDG’s di
tahun 2015; Ketujuh, membangun komunikasi dan kerjasama dengan pihak-
pihak diluar pemerintahan yang memiliki kompetensi dan keahlian untuk
mendorong tercapainya target MDG’s di tahun 2015, diantaranya dengan
lembaga pendidikan (Universitas, Institut dll) dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM)
DAFTAR PUSTAKA
Al Husin, Syahri. Aplikasi Statistik Praktis Dengan SPSS 9. Jakarta : Elex
Media Komputindo, 2001.
Azwar, Azrul, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, , Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,1996
634| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Bovaird, Tony and Loffler, Elke. 2003. Publik Management and Governance.
New York: Routledge,
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format
Kuantitatif/kualitatif. Surabaya ; Airlangga University Press, 2001
Denhardt, Janet and Denhardt, Robert B. 2003. The New Publik Service:
Serving, not Steering. New York: M.E. Sharpe.
Islamy, M. Irfan. 2005. Teori Administrasi Publik. Malang: Universitas
Brawijaya.
Keraf, Gorys. Komposisi. Ende ; Nusa Indah. 1997
Kotler, Phillip. Marketing Management, The Millenium Edition. New Jersey :
Prentice- Hall, 2000.
Lovelock, Christopher H. Sevices Marketing : Text, Cases, and Reading, . New
Jersey : Prentice- Hall, 1984.
Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN
Mudie, Peter and Angela Cottam, The Management and Marketing of Services,
Butterworth-Heinemann Ltd, Oxford, 1993.
Marijan, Kacung. Demokratisasi di Daerah : Pelajaran Dari Pilkada Secara
Langsung. Pustaka Eureka&PusDeHAM : Surabaya 2006.
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi
(Edisi 3) (Terj). Jakarta: Penerbit Arcan
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta ; Bandung, 2003
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Grasindo, Jakarta 1998.
Tjiptono, Fandy., Manajemen Jasa, Penerbit Andi , Yogyakarta, 2000.
W. Finifter, Ada. (ed) Political Science : The State of the dicipline II.
American Political Science Association :Washington. 1993.
Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta ; Media
Pressindo, 2002.
Zeithaml, Valarie A., A. Parasuraman, and Leonard L. Barry, “Communication
and Control Processes in the Delivery of Service Quality”, Journal of
Marketing,American Marketing Association, April, 1988.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |635
PERLINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN
EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM UPAYA
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Indri Fogar Susilowati
Dosen Prodi Ilmu Hukum FISH Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Indonesia negara yang kaya akan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional yang merupakan aset bagi negara yang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kasus-kasus klaim pengetahuan tradisional dan
ekspresi budaya tradisional menunjukan bahwa sistem HAKI di Indonesia belum
sepenuhnya memberikan perlindungan. Pendaftaran hak kekeyaan intelektual yang
berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradsional berpontensi
pelanggaran HAM masyarakat Indonesia pada umumny dan msyarakat adat pada
khususnya. Oleh karena itu perlu keseungguhan pemerintah untuk memberikan
perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
Indonesia yang sudah berkembang secara turun temurun.
Kata Kunci ; Perlindungan Hukum, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional, Kesejahteraan Masyarakat
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara kepulauan, terbentang dari sabang sampai
merauke. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama.
Keberagaman Negara Indonesia seperti tergambar dalam semboyan nasional,
yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda namun tetap satu.
Keberagaman Indonesia menjadikan Indonesia negara yang kaya akan kekyaan
alam dan budayanya. Kekayaan-kekayaan yang dimiliki Indonesia harus
dilindungi oleh negara karena mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi,
sehingga dapat bermanfaat mensejahterakan masyarakat Indonesia. Perlindungan
hak terhadap kekayaan-kekayaan budaya menjadi keharusan agar memberikan
kemanfaatan secara ekonomi bagi masyarakat.
636| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Hak kekayaan intelektual yang dicetuskan pada masa revolusi industri,
merupakan hak yang memberikan penghargaan terhadap hasil olah pikiran
manusia. Konsep kekayaan intelektual yang mendapat perlindungan hukum
merupakan konsep yang relatif lama bagi sebagaian besar negara-negara di dunia,
tetapi untuk negara-negara berkembang baru dipenghujung abad ke-20 yang lalu
tercapai kesepakatan global negara-negara yang memasukkan konsep kekayaan-
keyaan intelektual diindungi menjadi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
dikaiatkan denga tata niaga dan perdagangan internasional.29 Oleh karena itu
memunculkan sistem hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights) yang telah dibangun oleh negara-negara maju dan menjadi perjanjian
internasional melalui Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (selanjutnya disingkat TRIPs Agreement) telah menimbulkan
pertentangan kepentingan antara negara maju (developed country) dengan
kepentingan negara berkembang (developing country).
Pertentangan kepentingan timbul sebagai akibat adanya globalisasi
ekonomi mliberalisasi perdagangan dan keuangan yang tidak selalu memberikan
keuntungan bagi semua pihak. Globalisasi yang timbul tidak bisa dibendung,
tetapi perlu ada strategi dalam menghadapi globalisasi ekonomi agar tidak
berdampak buruk bagi keadilan itu sendiri. Dampak buruk bagi keadilan ini
berkembang dari adanya pandangan kaum neoliberal yang berpendapat bahwa
hanya pelaku swasta yang dapat menikmati Hak atas Kekayaan Intelektual
(selanjutnya disingkat HAKI).Dengan demikian, kepemilikan HAKI harus
dimiliki secara individual, baik orang pribadi maupun perusahaan. Hal ini
didasarkan pada alasan bahwa bila HAKI mereka tidak dilindungi, maka kegiatan
inovasi, investasi dan pengembangan teknologi akan terhambat karena tidak
adanya kesempatan memperoleh keuntungan finansial yang lahir dari adanya hak
tersebut. Pandangan di atas sepertinya menafikan kemungkinan keuntungan sosial
29 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI. 2013.
Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional & Ekspresi Budaya Tradisional.
Bandung: Alumni. Hal 1
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |637
dapat menjadi pendorong inovasi, bahkan pemerintah bisa saja memiliki HAKI
tertentu.
Perkembangan pengaturan HAKI yang tertuang dalam Agreement on
Trade Relaed Aspect of Intelektual Property Rights (TRIPs Agreement) ,
mencakup : (a) Hak cipta dan Hak terkait, (b) Merek dagang, (3) Indikasi
geografis, (4) Desain industri, (5) Paten, (6) Desain tata letak sirkuit terpadu, (7)
Perlindungan rahasia dagang, (8) Kontrol praktik-praktik monopoli didalam
perjanjian-perjanjian lisensi30
Saat ini hukum HAKI belum mengatur tentang Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat PTEBT) dalam
internasional legislation. Konsep HAKI dewasa ini menimbulkan berbagai isu
strategis yang bermuara pada kepentingan negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.31Adapun salah satu isu yang terjadi di Indonesia adalah klaim
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional Indonesia oleh Malaysia.
Dalam sebuah iklan di Discovery Channel dalam enigmatic Malaysia.
Ditayangkan tari pendet, wayang, dan reog Ponorogo dikalim merupakam
kekayaan tradisional Malaysia. Padahal, sejatinya ketiganya merupakan ekspresi
budaya tradisional Indonesia. Selain itu, pengetahuan pengobatan tradisional
masyarakat Jawa, telah dipatenkan oleh pengusaha-pengusaha Jepang, dan
jumlahnya tidak sedikit, yaitu sekitar 39 pendaftran paten telah diterbitkan oleh
Japan Patent Office (JPO).32 Artinya pengusaha-pengusaha Jepang telah berhasil
mengembangkan bahan dan pengetahuan trdisional Indonesia menjadi temuan
mereka sendiri yang banyak keuntungan dari paten yang didaftarkan, sementara
pemerintah Indonesia maupun puhak-pihak yang berkompten tidak mendapatkan
benefit sharing dari Jepang.
30 Ibid. Hal 2 31 Tim Lindsey.et.al. 2001. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: Alumni. hal
259 32 Ibid. Hal 3
638| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Kasus-kasus yang diuraikan diatas merupakan sebagaian kasus HAKI
yang ada di Indonesia, dengan karakter budaya orang Indonesia dimana gagasan
dan kreatifitas yang mereka kembangkan tanpa memikirkan keuntungan secara
ekonomi saja. Hal ini sesuai hasil penelitian yang dilakukan penulis tentang HAKI
pada Perajin Batik Di Kampung Batik Jetis Sidoarjo, bahwa para perajin
beranggapan persoalan ekonomi tidak secara langsung membatasi orang lain
memakai desain batik yang dibuat para perajin lain. Desain yang mereka buat
dapat dinikmati oleh perajin lain karena mereka beranggapan bahwa desain batik
tersebut merupakan bagian dari budaya mereka. Oleh karena itu, Indonesia
sebagai negara yang sangat kaya dengan keanekaragaman etnik dan budaya yang
berasal dari pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional, maka
dipertimbangkan tentang HAKI yang berorientasi pada kepemilikan publik atau
komunal di Indonesia. Masyarakat lokal harus mampu memanfaatkan
perlindungan yang diberikan dalam sistem Hukum HAKI guna meningkatkan
kesejahteraan dari masyarakat.
Perlindungan HAKI terhadap Pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya tradisional Indonesia menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju
perekonomian Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya, akhirnya
membawa kesejahteraan pada umat manusia. Pengetahuan tradisional adalah
istilah umum yang mencakup ekspresi kreatif, informasi dan know how yang
secara khusus mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat mengidentifikasi unit sosial.33
Pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari
masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia. Dikembangkan dari pengalaman oleh
negara-negara dan diadaptasi ke budaya lokal dan lingkungan masyrakat
tradisional mereka dan menjadi bagian dari kehidupam mereka, pengetahuan
tradisional ditransmisikan secara lisan dari generasi ke generasi. Pengetahuan
tradisional tersebut menjadi kepemilikan secara kolektif dan mengambil bentuk
33 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2006. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 26
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |639
cerita, lagu, foklore, peribahasa, nilai-nilai budaya, keyakinan, ritual, hukum
masyarakat, bahasa daerah dan praktek pertanian, mencakup pengembangan
spesies tumbuhan dan keturunan binatang. Pengetahuan tradisional utamanya
merupakan praktik alamiah, secara khusus seperti dalam wilayah pertanian,
perikanan, kesehatan, hortikultural dan kehutanan.34 Sejalan dengan hal tersebut
pengetahuan tradisional sangat dibutuhkan untuk dijadikan nilai tambah bagi
setiap daerah di Indonesia, yaitu dengan memanfaatkan pengetahuan tradisional
dari masyarakat tradisional/ asli yang meliputi:35 (1) Obat-obatan tradisional yang
proses pembuatannya didasarkan pada pengetahuan umum atau kebiasaan
masyarakat setempat. (2) Karya-karya budaya: hasil tenun, songket, anyaman, dan
kerajinan tangan. (3) Karya-karya seni: seni tari, seni ukir, dan seni suara.
Pengetahuan tradisional Indonesia di manca negara telah dikenal
memiliki beragam karya seni, mulai dari patung Bali, tenunan, batik, dan
anyaman dll. Namun, sayangnya produk pengetahuan tradisional tersebut tidak
sedikit telah dinyatakan sebagai milik asing, antara lain produk kerajinan rotan
yang terdaftar di lembaga paten AS atas nama orang Amerika.36 Dengan
merebaknya industrialisasi di seluruh dunia, terjadi benturan kepentingan antara
pemilik pengetahuan tradisional dengan pengusaha yang sebagian besar penganut
HAKI. Negara-negara maju menuduh bahwa negara berkembang melakukan
pembajakan HAKI secara besar-besaran. Benturan kepentingan juga disebabkan
bahwa di satu sisi masyarakat pemilik pengetahuan tradisional menganggap
34 Article 8J Traditional Knowledge, Innovationss, and Practices Introduction
(dalam artikel Yeni Eta yang berjudul Rancangan Undang-Undang
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisonal ditinjau dari
Aspek Benefit Pasal 8J UNCBD) 35 Nina Nuraini, Wewenang Daerah Otonom dalam Meningkatkan Pembangaunan Daerah
melalui Pemanfaatan HaKI Bidang Pengetahuan Tradisional dalam Jurnal Hukum,
Manajemen dan Ekonomi, Volume 7, No. 3, Februari 2006 36 Adrian Sutedi. 2009. Hak atas Kekayaan Intelektual. Jakarta:Sinar Grafika. Hal 6
640| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
bahwa seharusnya dalam pemanfaatan pengetahuan tradisional dan sumber
genetik, negara industri maju tidak mengabaikan kepentingan komunitas pemilik
pengetahuan tradisional. Namun pada sisi yang lain negara industri maju
menganggap sumber hayati dan pengetahuan tradisional sebagai warisan leluhur
(common heritage of mankind) sehingga bebas dimanfaatkan oleh siapapun juga.37
Oleh karena itu terjadi ketidakcocokan pengaturan pengetahuan tradisional dalam
sistem hukum HAKI sehingga diperlukan suatu aturan hukum yang sui generis.
Berdasar hal tersebut diatas jelas bahwa pentingnya perlindungan hukum terhadap
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional bagi Indonesia, karena
memiliki nilai yang sangat strategis. Nilai strategis tersebut dapat dilihat dari segi
budaya, ekonomi, dan sosial. Dari segi budaya, tampak sekali bahwa dengan
adanya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional maka budaya-budaya Indonesia akan tetap lestari. Segi sosial, dengan
perlindungan terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
maka pelestarian nilai-nilai social akan terjaga dan terpelihara. Nilai sosial adalah
nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan
apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap
menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods
mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama,
yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam
dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang
mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan
karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku
dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Oleh karena itu
pemerintah tidak lagi bisa mengabaikan pengetahuan tradisional yang dimiliki
37 Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual terhadap Pengetahuan
Tradisional, www.alsaindonesia.org, diakses 27 Agustus 2016 pukul
22.00 WIB.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |641
oleh masyarakat Indonesia. Terakhir dari segi ekonomi, yaitu dengan
dilakukannya perlindungan terhadap pengetahuan tradisional maka nilai ekonomi
yang akan dihasilkan dari pengetahuan tradisional akan memiliki nilai tambah,
artinya devisa negara dapat ditingkatkan. Hal ini menjadi logis mengingat selama
ini eksploitasi terhadap pengetahuan tradisional hanya sebatas pemanfaatan secara
konvensional, tetapi belum dikembangkan sehingga menjadi sesuatu yang sangat
bernilai.38 Perlindungan Hukum terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya tradisional merupakan solusi terbaik dalam mengoptimalkan perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional dari pihak asing. Konsep
perlindungan HAKI yang bersifat individual memang tidak sepenuhnya bisa
diterapkan dan digeneralisasi terhadap HAKI yang bersifat komunal. Pembagian
keuntungan maupun pembagian manfaat terhadap HAKI secara komunal, kecil
kemungkinan diterapkan dalam perlindungan HAKI secara individual. Yang
perlundiperhatiakn dan diimplementasikan dalam memberikan perlindungan
kepada dua jenis HAKI baru ini oleh Negara cq. Pemerintah Indonesia adalah
perlu menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia yang bukan sekedar konsep
belas kasihan semata atau pembangunan ekonomi semata tetappi berdasarkan
sebuah proses utuh menyeluruh yang menguatkan dan memberdayakan
masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat adat pada khususnya yang belum
menikmati hak-hak komunalnya atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional.39
METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini dengan menggunakan
Jenis Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
meneliti bahan pustaka atau disebut juga penelitian hukum studi kepustakaan.
38 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Op.cit., hal.. 39-40 39 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI. Op.cit. hal. 7
642| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Penelitian ini menggunakan kajian yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dan
menganalisis bahan hukum, berupa bahan hukum primer dan sekunder yang
terkait dengan pengetahuan tradisional. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) yaitu
meneliti peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang menjadi landasan
pengaturan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Statute
approach adalah pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan,
karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus penelitian.
Penelitian normatif dapat dan harus memanfaatkan hasil penelitian empiris,
namun ilmu empiris itu berstatus sebagai ilmu bantu, sehingga tidak merubah
hakikat ilmu hukum sebagai ilmu normatif.
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian normatif yaitu bahan
hukum primer yang berupa undang-unadang yang berkaitan dengan pengetahuan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional yang ada di Indonesia , sedangkan
bahan hukum sekunder yang dibutuhkan berupa buku-buku tentang HAKI, jurnal
dll.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum, Data yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari penelusuran melalui kegiatan studi kepustakaan, yaitu
mengumpulkan berbagai bahan hukum baik yang berupa tulisan, dan sebagainya
yang terkait dengan pengetahuan tradisional.
Teknik Analisis Bahan Hukum Data penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis preskriptif untuk memperoleh informasi apakah
pengaturan HAKI sekarang sudah dapat memberikan perlindungan hukum
terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |643
PERLINDUNGAN HUKUM PENGETAHUAN TRADISONAL DAN
EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
1. Pengetahuan Tradisional
Pengertian pengetahuan tradisonal menurut Johnson dalam buku Badan
Penelitian dan pengembangan HAM yaitu :
A body of knowledge built by a group of people through generation living in close contact
with nature. It includes a system of clasification, a set of empirical observation about the
local enviroments, and a system of selfmanagement that governs resourse use.
Convention on Biological Diversity 1992, mendefinikan pengetahuan
tradisonal sebagai berikut :
Traditional knowledge refers to the knowledge, innovations and practices of indigenous
and local communities around the world. Developed from experience gained over the
centuries and adapted to the local culture and environment, traditional knowledge is
transmitted rally from generation to generation. It tend to he collectivelyowned and takes
the form of stories, song, folklore, proverbs, cultural values, beliefs, rituals, community
laws, plant species and animal breeds traditional knowledge is mainly of a practical
nature in such fields as agriculture, fisheries, health, horticulture, and forestry.40
Beberapa pengertian diatas dapat dilihat bahwa pengetahuan tradisional
memiliki karakteristik khusus, yaitu : (1) Merupakan sebuah pengetahuan yang
dipraktekkan secara turun temurun; (2) Kepemilikan dari pengetahuan tradisional
bersifat komunal; (3) Pengetahuan tradisional merupkan hasil interaksi antara
penemu dan alamnya.41
Dari uraian diatas jelas yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional
merupakan pengrtahaun yang secara turun temurun telah dipraktekkan dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia, yang dimiliki secara komunal dan
40 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI. Op.cit. hal. 22
41 Loc.cit
644| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pengetahuan tersebut merupak hasil interaksi dengan alamnya. Wilayah Indonesia
yang kepulauan dimungkinkan banyak terdapat pengetahuan tradisional yang
berkembang. Perbedaan karakteristik dan bentuk-bentuknya dari pengatahuan
tradisional antara tenpat satu dengan yang lain, kebudayaan yang satu dengan
yang lain, tidak memungkinkan untuk dirangkum dalam sebuah kalimat yang
dapat diterima baik secara hukum ataupun teknis oleh seluruh pihak. Hingga saat
ini terminologi pengetahuan tradisional yang digunakan di seluruh dunia
merupakan salah satu upaya untuk memudahkan dllam penyebutan mengenai
suatu hal yang sama, yaitu segala sesuatu yang terkait ataupun hasil karya yang
biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu.42 Dengan adanya pluralitas
golongan etnik yang luar biasa di Indonesia, maka dengan sendirinya Pengetahuan
Tradisional bervariasi dalam berbagai bidang kehidupan. Bidang-bidang yang
dapat disebutkan adalah misalnya : kesenian, landasan pengetahuan dalam sistem
kepercayaan, sistem penyembuhan, penyiapan makanan, praktek pertanian dalam
arti luas, transportasi, arsitektur, serta pembuatan berbagai benda yang digunakan
dalam kehidupan. Di dalam cakupan seluruh pengetahuan itu termasuk berbagai
teknologi maupun berbagai nilai, kaidah, dan aturan sebagian pengetahuan
tradisional masih berfungsi penuh di dalam suku bangsa atau komunitas pemilik
aslinya. Faktor yang menyebabkan kondisi tersebut kemungkinan adalah : (1)
Penggunaan Pengetahuan Tradisional tersebut masih dirasakan sebagai penanda
jati diri budaya yang dianggap dan dirasakan perlu dipertahankan; atau (2) Aspek
tertentu dari Pengetahuan Tradisional itu dapat diintegrasikan ke dalam segi-segi
kehidupan yang dipandu oleh nilai-nilai modern (keterbukaan, keilmiahan,
keadilan demokratik).
42 Afrillyanna Purba. 2012. Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Bandung: Alumni.
hal 91
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |645
Contoh dari yang pertama, yaitu Pengetahuan Tradisional sebagai penanda
jati diri budaya diperlihatkan oleh penggunaannya dalam kaitan dengan busana,
boga, kaida-kaida estetik, penggunaan bahasa, dan lain-lain. Adapun hal yang
disebutkan terakhir itu dapat dicontohkan oleh penggunaan Pengetahuan
Tradisional dalam industri farmasi, kosmetika, pertekstilan dan lain-lain,
disamping juga pengkajian Pengetahuan Tradisional dalam rangka upaya
pengembangan ilmu. Dengan kata lain, kegunaan Pengetahuan Tradisional dalam
kehidupan di masa kini berada dalam dua ranah pengelolaan yaitu: pengelolaan
yaitu: (a) Pelestarian dalam arti pemertahanan eksistensinya, baik dalam
keseluruhan format aslinya maupun dalam format-format dan atau pengembangan
baru, mengikuti gagasan-gagasan kreatif pemiliknya; atau, (b) Pemanfaatan untuk
dikembangkan dalam upaya ekonomi/industrial, di mana terkait hak-hak atas
kekayaan intelektual dari kelompok/ komuniti/suku bangsa sebagai pemilik asal
dari Pengetahuan Tradisional (PT) yang dimanfaatkan itu.
Adapun teknologi tradisi khususnya dapat dipilah ke dalam: (1) Teknik-
teknik produksi barang (dalam berbagai bahan, misalnya logam, tekstil, kayu,
keramik, rempah, dan lain-lain); (2) Teknik-teknik melakukan sesuatu, seperti :
mengenakan busana, melaksanakan gerakan-gerakan dalam tarian, memainkan
instrumen-instrumen musik, memasak, dan lain-lain; dan (3) Teknik-teknik
penataan lingkungan (terkait dengan tata permukiman, pengendalian air,
pengunaan hutan, dan lain-lain).
2. Ekspresi Budaya Tradisional
Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), atau di dalam wacana di tingkat
internasional seringkali digunakan istilah expressions of folklore, adalah segala
sesuatu yang dianggap milik bersama suatu komunitas atau suatu masyarakat, dan
penciptaannya anonim. Secara garis besar Ekspresi Budaya Tradisional (EBT),
646| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
sebagaimana karya budaya pada umumnya, dapat digolongkan atas yang tangible
(dapat disentuh, berupa benda padat) dan yang intangble (termasuk ke dalamnya
nilai-nilai, konsep, dan juga tata tindakan seperti upacara, teater, tari, serta musik
dan sastra)43 Ungkapan-ungkapan seni tradisional ini dapat mengandung di
dalamnya terdapat : (1) Nilai-nilai estetik, dan ini pada gilirannya terkait dengan
teknik-teknik berungkap (para pelakunya) maupun teknik-teknik dalam membuat
peralatan pendukungnya (instrumen dan properti); (2) Nilai-nilai simbolik, yang
dapat terkait dengan pandangan dunia serta sistem kepercayaan pada kebudayaan
yang bersangkutan; dan Fungsi dalam peneguhan sistem kepercayaan dan atau
sistem sosial dalam masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan.44
Penjelasan pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta dijelaskan mengenai hal-hal yang mencakup Ekspresi Budaya
Tradisional. Yang dimaksud dengan “ ekspresi budaya tradisional” mencakup
salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi sebagai berikut : (a) Verbal tekstual,
baik lisan maupun tulisan, yang berbentuk prosa maupun puisi, dalam berbagai
tema dan kandungan isi pesan, yang dapat berupa karya sastra ataupun narasi
informative; Music, mencakup antara lain vocal, instrumental, atau kombinasinya;
(b) Gerak, mencakup antara lain tarian; (c) Teater, mencakup antara lain
pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; (d) Seni rupa, baik dalam bentuk dua
dimensi maupun 3 dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit,
kayu, bamboo, logam, batu, keramik, kertas, tekstil dan lain-lain atau
kombinasinya; dan ( e) Upacara adat.
3. Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional di Indonesia
Isu mengenai perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional muncul akhir tahun 2010 an. Penyebutan secara konvensional yang
43 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Op.cit., hal.29
44 Ibid
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |647
digunakan adalah ekspresi folklor. Pada tahun 1982 WIPO bersama UNESCO
mengambil langkah untuk mengatasi masalah ini dengan mengundangkan Model
Ketentuan Bagi Perundang-undangan Nasional tentang Perlindungsn Espresi
Folklore. Dua dasawarsa setelah dikeluarkan model ini, penggunaan floklore
sering menuai kritik, seolah-olah melambangkan mentalitas kolonial yang
merendahkan produk yang dihasilkan masyarakat setempat atau masayarakat asli
pribumi atau indigenous.45 Menurut WIPO ekspresi budaya tradisional
(Traditional Cultural Expressions), yaitu:
.........bentuk apapun,kasat mata atau tak kasat mata, dimana pengetahuan dan
budaya tradisional diekspresikan, tampil atau manifestasikan dan mencakup
bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini.......
Ekspresi budaya tradisional meliputi ekspresi lisan, sepeti legenda, epik, puisi, dll,
ekpresi gerak meliputi tarian, drama, upacara, ritual. Sedangkan ekspresi yang
kasat mata sperti produk seni. Gambar, desain dll.
Pembahasan HAKI tidak hanya berkaitan dengan Paten, Hak Cipta dan
Merk Dagang saja karena konsep kekayaan intelektual yangdimaksudkan WIPO
adalah konsep kekayaan intelektual secara luas, yaitu : mencakup pelbagai karya
intelektual manusia. Pasal 2 WIPO kekayaan-kekayaan intelektual berupa :...from
intellectual property activity in industrial, scientific, literary or artictic field....
Adanya pasal ini bermakna bahwa kekayaan intelektual, setelah adanya WIPO
bersifat evolusioner dan adaptif (mudah menyesuaikan).46 Artinya proses
penciptaan hasil karya intelektual manusia tidak hanya ada pada masa sekarang
saja, Proses tersebut telah berkembang lama dalam masyarakat Indonesia secara
turun temurun. Setiap masyarakat memiliki suatu kebudayaan yaitu hasil cipta dan
45 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI. Op.cit. hal. 25 46 Afrillyanna Purba. Op.cit. hal 1
648| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
rasa manusia yang berfugsi sebagai sarana untuk memprtahankan hidup dalam
lingkungan sosialnya. Salah satu unsur dalam kebudayaan adalah karya,
pengetahuan dan teknologi yang diartikan kemampuan masyarakat untuk
memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam untuk mensejahterakan kehidupannya.47
Perlindungan HAKI sebagai sebuah Hak yang menjadi bagian aktivitas
perekonomian atau dengan kata lain HAKI tidak bisa dilepaskan dari persoalan
ekonomi. Hal ini disebabkan HAKI identitik dengan komersialisai karya
iltelektual.48 Fase adanya TRIPs Agreement merupakan fase dimana perdagangan
internasional memunculkan pembicaraan tentang pentingnya perlindungan HAKI.
Kesepakatan internasional ini secara lengkap memberikan perlindungan terhadap
HAKI. TRIPs Agreement yang dimotori oleh negara-negara maju tujuannya untuk
melindungi kepentingan negara-negara maju di negara berkembang. Isu-isu
bahwa negara berkembang harus memberikan perlindungan HAKI jika mereka
menanamkan modalnya di negara berkembang. Permsalahan yang dihadapi
negara berkembang adalah alih teknologi yang dicanangkan oleh negara-negara
maju menjadu beban bagi negara-negara berkembang, selain itu negara-negara
berkembang harus menyesuai pekembangan teknologi dengan mereka.
Wacana atau isu penerapan konsep kepemilikan bersama atas
pengetahauan tradisional dan ekspresi budaya tradisional Indonesia sangat
bertentang dengan sistem HAKI itu sendiri, walaupun kreativitas dan inovasi
berkaitan dengan bagian dari kekayaan intelektual yang bersifat tradisi (common
heritage)49 Jika pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional
merupakan hasil karya manusia harusnya mendapat perlindungan HAKI, namun
pada akhirnya pelindungan hukum terhadap HAKI di Indonesia belum menyentuh
tentang hal tersebut. Misalnya HAKI yang dekat dengan pengetahuan tradisional
47 Suyud Mergono. 2015. Hukum Hak Kekayaan Intektual (HKI).Bandung: Pustaka Reka Cipta.
Hal3 48 Ibid. Ha. 5 49 Ibid. Hal. 7
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |649
di Indonesia hanya dilindungi oleh UU No. 19 Tahun 2002 sebagaimana yang
telah dipebaharui oleh UU No.28 Tahun 2014 tentang HAK Cipta. Dalam UU
Hak Cipta tahun 2002 tidak disebutkan tentang perlindungan pengtehauan
tradisional dan ekspresi budaya tradisional, Pasal 10 menjelaskan bahwa “
memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya
nasional lainnya berupa folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik
bersama seperti cerita, hikayat, dogeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan,
koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. Namun Pasal 10 ini
mengandung banyak kelemahan diantaranya yaitu tidak jelasnya siapa yang
menjadi subyek pemegang hak cipta atas berbagai ciptaan komunal. Kewenangan,
prosedur dan substansi yang mengatur pemegang hak belum diatur secara jelas.
Negara sebagai pihak yang memberikan ijin penggunaan hak cipta yang
dimaksudkan dalam pasal 10, diartikan bahwa negara memberikan perlindungan
terhadap komersialisai terhadap hak cipta tanpa ijin. Namun disisi lain
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional ada “pemiliknya”, konsep
negara yang menberikan ijin dapat diartikan bahwa negara sebagai pihak yang
paling berkepentingan terhadap pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya
tradisional tersebut, sehingga “pemilik” tidak mendapatkan hak unyuk menikmati
keuntungan dari hasil karya mereka.
Penyelenggataan pemerintah daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 secara rinci mengatur pembagian kewenangan pemda secara teknis diatur
dalam PP No. 38 Tahun 2008 tentang pembagian urusan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota dengan pemerintah pusat. Perturan perundang-undangan tentang
otonomi daerah tidak secara langsung memberikan penjelasan tentang keterkaitan
antara pemerintah daerah dengan sistem HAKI Nasional. Penyelenggaraan sistem
HAKI diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 189/1998 bahwa
penyelenggaraan Sistem HAKI dipercayakan kepada Kementerian Hukum dan
650| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
HAM cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan visi
mengembangkan sistem HAKI yang efektif dan kompetitif secara internasional
dan menopang pembangunan nasional. Penyelenggaan sistem HAKI dalm konteks
otonomi daerah diberikan secara delegatif oleh Departemen Kehakiman yang
mencakup beberapa kewenangan dalam kaitannnya dengan pendaftaran HAKI,
dengan tujuan pokok memudahkan masyarakat mendapatkan hak atas karya
intelektual mereka.50 UU No. 28 Tahun 2014 juga tidak spesifik menyebutkan
tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Dalam Pasal 38
menyebutkan bahwa ekpresi budaya tradisional dan ciptaan yang dilindungi
adalah : (a) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara. (b)
Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (c) Penggunaan ekspresi budaya
tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat pengembannya. (d) .Ketentuan lebih lanjut
mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara atas ekspresi budaya tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38 UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta tidak berbeda jauh
dengan UU Hak cipta sebelumnya, negara pemegang hak cipta tersebut jika
memang tidak jelas siapa pemiliknya, sehingga kedua UU Hak Cipta ini tidak bisa
memberikan perlindungan hukum terhadap pengetahuan dan ekpresi budaya
tradisional yang dimilik oleh masyarakat.
Belum memadainya pengaturan tentang pengetahuantradisonal dan
ekspresi budaya tradisional menimbulkan tuntutan dari masyarakat adanya
perlindungan hukum menganai hal ini. Pembahasan mengenai perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sangat penting setidak-
tidaknya karena tiga alasan, yaitu : (1) adanya potensi keuntungan ekonomi yang
dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional, (2) keadilan dalam sistem
50 Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI. Op.cit. hal. 27
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |651
perdagangan dunia, dan (3) perlunya perlindungan hak masyarakat terutama
masyarakat adat.51 Perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional dan
ekpresi budaya tradisional menjadi isu yang harus diperhatikan oleh negara-
negara berkembang. Karena negara-negara berkembang yang kaya akan
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional seringkali menjadi korban
dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang ingin mengambil keuntungan
atas pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional masyarakat lokal.
Perlunya ada pengaturan tersendiri tentang pengetahuan tradisional dan ekspresi
budaya tradisional lebih memberikan perlindungan yang tidak dapat dilindungan
oleh UU HAKI yang lain. Pengaturan tentang pengetahuan tradisional dan ekpresi
budaya tradisonal ini selain memberikan perlindungan terhadap hak pemilik
pengetahuan dan ekspresi budaya tradisional juga dpat meningkatkan
perekonomian masyarakat/masyarakat lokal dengan benefit sharing dari
penggunaan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional. Masyarakat
yang sejahtera segaera dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta.
Agus Sardjono.2010. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.
Bandung: Alumni
Afrillyanna Purba. 2012. Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai Sarana Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia. Bandung
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM RI.
2013. Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisional &
Ekspresi Budaya Tradisional. Bandung: Alumni
51 Ibid. Hal 28
652| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2005, Hak Kekayan Intelektual dan
Budaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Suyud Mergono. 2015. Hukum Hak Kekayaan Intektual (HKI).Bandung: Pustaka
Reka Cipta.
Tim Lindsey.et.all.2006. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung:
Alumni.
Peraturan Perundang-undangan
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |653
MODEL PEMBANGUNAN PARTISIPATIF: PROGRAM NASIONAL
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERKOTAAN((PNPM
MP) STUDI KASUS DI DESA SEKARJALAK, KECAMATAN
MARGOYOSO, KAB. PATI, JAWA TENGAH
Bambang Hariyanto
Pengajar di Jurusan Pend. Geografi FISH UNESA Surabaya
Abstak
Sekarjalak adalah yang secara administrative dikelompokan sebagai sebuah desa namun
status dalam program PNPM dikelompokan dalam daerah perkotaan, maka program
nasional PNPM yang ada di Sekarjalak termasuk dalam PNPM Mandiri Perkotaan.
PNPM-Mandiri Perkotaan atau Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
merupakan upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan
Pemerintah Daerah dalam menanggulangi kemiskinan di perkotaan secara mandiri.
Program penanggulangan kemiskinanan yang dibiayai. Fokus penelitian adalah ;1).
Pembentukan organisasi pengelola program 2). Penentuan kelompok sasaran pengentasan
kemiskinan. 3). Tingkat partisipasi masyarakat sasaran dan masyarakat bukan kelompok
sasaran dalam pelaksanaan program. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan besifat
kualitatif fenomenologi. Dalam pelaksanaan pengumpulan informasi/data dilakukan
dengan grounded dan peneliti terlibat langsung dalam jalannya program ini. Hasil
penelitian dapat disimpulkan: 1). Pembentukan organisasi pengelola program dilakukan
dengan musyawarah untuk menentukan pimpinan sidang. 2). Penentuan kelompok
sasaran pengentasan kemiskinan didasarkan dengan criteria local yaitu : rumah yang
paling jelek di lingkungan yaitu rumah ukuran dibawah 6 x 6 m2 , dinding Gedeg (
bambu ) atau semi permanen, dan pengangguran atau semi pengangguran. 3).Tingkat
partisipasi masyarakat sasaran dan masyarakat bukan kelompok sasaran dalam
pelaksanaan program secara kualitatif partisipasi masyarakat pada awal program sangat
aktif, seiring berjalannya waktu makin mengendur... Motif mengingkari kesepakatan dari
kelompok sasaran ada dua, yaitu tidak punya uang seperti pada kelompok WC dan
Listrik. Sedangkan untuk kelompok bedah rumah motif yang dipakai adalah “jahat”
dengan alas an bahwa bedah rumah harus dibiayai uang negara dan kepentingan negara.
Kata Kunci : Partisipatif, Swadaya, BKM, KSM
PENDAHULUAN
Latar Belakang/kontek penelitian
PNPM adalah program nasional dalam wujud kerangka sebagai dasar
dan acuan pelaksanaan program – program penanggulangan kemiskinan berbasis
654| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pemberdayaan masyarakat. Program PNPM Mandiri terdiri dari berbagai
program, yaitu: (1) PNPM Mandiri Perdesaan, (2) PNPM Perdesaan R2PN
(Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Nias), (3) PNPM Mandiri Agribisnis/SADI
(Smallholder Agribusiness Development Initiative), (4) PNPM Generasi Sehat
Dan Cerdas). (5) PNPM Lingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM- LMP), (6)
Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P2SPP), (7) PNPM
Mandiri Respek (RenStra Pengembangan Kampung) Bagi Masyarakat Papua, (8)
PNPM Mandiri Perkotaan, (9) PNPM Mandiri Infrastruktur Perdesaan, (10)
Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW). (11) Program
Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS)
Program WSLIC-3/PAMSIMAS merupakan program dan aksi nyata
pemerintahpusat, (12) PNPM-Mandiri Daerah Tertinggal Dan Khusus/ Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Khusus (P2DTK). (13) PNPM Mandiri
Kelautan Dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP)
penerima PNPM Mandiri-KP. Mereka adalah warga yang tinggal di wilayah
pesisir atau di luar pesisir yang memiliki kegiatan di bidang kelautan dan
perikanan.(14) PNPM-Mandiri Pariwisata.(15) PNPM-Mandiri Perumahan dan
Permukiman (PNPM-Mandiri Perkim)
Sekarjalak adalah yang secara administrative dikelompokan sebagai
sebuah desa namun status dalam program PNPM dikelompokan dalam daerah
perkotaan, maka program nasional PNPM yang ada di Sekarjalak termasuk dalam
PNPM Mandiri Perkotaan.PNPM-Mandiri Perkotaan atau Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) merupakan upaya pemerintah
untuk membangun kemandirian masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam
menanggulangi kemiskinan di perkotaan secara mandiri. Dengan Tujuan : a.
Terbangunnya lembaga masyarakat berbasis nilai-nilai universal kemanusiaan,
prinsip- prinsip kemasyarakatan dan berorientasi pembangunan berkelanjutan,
yang aspiratif, representatif, mengakar, mampu memberikan pelayanan kepada
masyarakat miskin, mampu memperkuat aspirasi/ suara masyarakat miskin dalam
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |655
proses pengambilan keputusan lokal, dan mampu menjadi wadah sinergi
masyarakat dalam penyelesaian permasalahan yang ada di wilayahnya;
b.Meningkatnya akses bagi masyarakat miskin perkotaan kepelayanan sosial,
prasarana dan sarana serta pendanaan (modal), termasuk membangun kerjasama
dan kemitraan sinergi ke berbagai pihak terkait, dengan menciptakan kepercayaan
pihak- pihak terkait tersebut terhadap lembaga masyarakat; c. Mengedepankan
peran Pemerinatah Kota / Kabupaten agar mereka makin mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat miskin, baik melalui pengokohan Komite Penanggulangan
Kemiskinan (KPK) di wilayahnya, maupun kemitraan dengan masyarakat serta
kelompok peduli setempat.
Program penanggulangan kemiskinanan yang dibiayaai oleh World Bank
bersifat jangka menengah sehingga dalam pelaksanaanya betul betul terencana
dan bersifat partisipatif. Konsep pembangunan yang dilakukan adalah with
community bukan for community. Berdasarkan hal di atas maka penelitian ini
dilakukan dengan judul : MODEL PEMBANGUNAN PARTISIPATIF :
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri ((PNPM Mandiri)
Studi Kasus Di Desa Sekarjalak, Kecamatan Margoyoso, Kab. Pati, Jawa
Tengah. Fokus penelitian yang dilakukan adalah ; (1) Pembentukan organisasi
pengelola program, (2) Penentuan kelompok sasaran pengentasan kemiskinan, (3)
Tingkat partisipasi masyarakat sasaran dan masyarakat bukan kelompok sasaran
dalam pelaksanaan program
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan besifat kualitatif
fenomenologi. Dalam pelaksanaan pengumpulan informasi/data dilakukan dengan
grounded dan peneliti terlibat langsung dalam jalannya program ini. Dalam
programini peneliti terlibat sebagai Koordinator Program tingkat desa yaitu
656| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
jabatan yang mempunyai tugas mengkordinasi perencanaan dalam bentuk RPJM
dan sebagai Koordinator pembentukan tim pelaksana pembangunan yang disebut
sebagai KSM ( Kelompok Swadaya Masyarakat ).
KAJIAN TEORETIS
Fungsi dari pemerintahan yaitu mensejahterakan masyarakat secara
berkeadilan. Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tersebut, pemerintah
harus melaksanakan pembangunan. Untuk meperoleh hasil guna yang optimal ,
pertama : perlu aspiratif terhadap aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh
masyarakatnya, dan peka terhadap kebutuhan rakyatnya. Kedua : pemerintah
perlu melibatkan segenap kemauan dan kemampuan yang dimiliki oleh
masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dengan demikian pemerintah
perlu menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan hanya sebagai
objek pembangunan. Keberhasilan pelaksanaan pembangunan
masyarakat/Community development sangat bergantung kepada peranan
pemerintah dan masyarakatnya. Keduanya harus mampu menciptakan sinegri.
Dalam UU No. 22 / 1999, perencanaan pembangunan dan
pelaksanaannya harus berorientasi ke bawah dan melibatkan masyarakat luas,
melalui pemberian wewenang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di
tingkat daerah. Dengan cara ini pemerintah makin mampu menyerap aspirasi
masyarakat banyak, sehingga pembangunan yang dilaksanakan dapat
memberdayakan dan memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Rakyat harus menjadi
pelaku dalam pembangunan, masyarakat perlu dibina dan dipersiapkan untuk
dapat merumuskan sendiri permasalahan yang dihadapi, merencanakan langkah-
langkah yang diperlukan, melaksanakan rencana yang telah diprogramkan,
menikmati produk yang dihasilkan dan melestarikan program yang telah
dirumuskan dan dilaksanakan.
1. Pengertian Perencanaan dan Perencanaan Pembangunan Masyarakat
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |657
Pengertian atau batasan perencanaan tersebut antara lain sebagai berikut : (a)
Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-
kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu
pada hakekatnya terdapat pada setiap jenis usaha manusia (Khairuddin, 1992 :
47). (b) Perencanaan adalah merupakan suatu upaya penyusunan program baik
program yang sifatnya umum maupun yang spesifik, baik jangka pendek maupun
jangka panjang (Sa’id & Intan, 2001 : 44 ). (c) Perencanaan sebagai Analisis
Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu, merupakan tradisi yang diilhami
oleh logika-logika berpikir ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan
kembali ekonomi neoklasik, dan teknologi informasi yang disebut sibernetika
(Aristo, 2004).
Mosher (1965 : 191) menyatakan bahwa, seringkali perencanaan hanya
meliputi kegiatan-kegiatan baru, atau alokasi keuangan untuk kegiatan-kegiatan
lama, tanpa menilai kembali kualitasnya secara kritis. Perencanaan pada dasarnya
adalah penetapan prioritas, yaitu menentukan bidang-bidang dan langkah-langkah
perencanaan yang akan dilakukan terlebih dahulu dari berbagai kemungkinan
bidang dan langkah yang ada.. Oleh sebab itu, dalam penentuannya timbul
berbagai bentuk perencanaan yang merupakan alternatif-alternatif ditinjau dari
berbagai sudut, seperti yang dijelaskan oleh Westra (1980) dalam Khairuddin
(1992 : 48), antara lain :
a) Dari segi jangka waktu, perencanaan dapat dibedakan : (1) perencanaan
jangka pendek (1 tahun), dan (2) perencanaan jangka panjang (lebih dari 1
tahun).
b) Dari segi luas lingkupnya, perencanaan dapat dibedakan : (1) perencanaan
nasional (umumnya untuk mengejar keterbelakangan suatu bangsa dalam
berbagai bidang), (2) perencanaan regional (untuk menggali potensi suatu
wilayah dan mengembangkan kehidupan masyarakat wilayah itu), dan (3)
658| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
perencanaan lokal, misalnya; perencanaan kota (untuk mengatur pertumbuhan
kota, menertibkan penggunaan tempat dan memperindah corak kota) dan
perencanaan desa (untuk menggali potensi suatu desa serta mengembangkan
masyarakat desa tersebut).
c) Dari segi bidang kerja yang dicakup, dapat dikemukakan antara lain :
industrialisasi, agraria (pertanahan), pendidikan, kesehatan, pertanian,
pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya.
d) Dari segi tata jenjang organisasi dan tingkat kedudukan menejer, perencanaan
dapat dibedakan : (1) perencanaan haluan policy planning, (2) perencanaan
program (program planning) dan (3) perencanaan langkah operational
planning.
Pengembangan masyarakat / community development yang dilakukan
harus secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses
masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang
lebih baik. Dengan dasar itulah maka pembangunan masyarakat dapat dibagi
menjadi beberapa kategori sebagai berikut : (1) community service, (2) community
empowering, dan (3) community relation (Rudito & Budimanta, 2003 : 29, 33).
2. Perencanaan Pembangunan Partisipasi
a. Pengertian Partisipasi
Parisipasi adalah peran serta, dan menurut Asngari (2001: 29)
menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi oleh pengertian
bersama dan adanya pengertian tersebut karena diantara orang-orang itu saling
berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran serta semua
pihak dibutuhkan : (1)suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya
kebersamaan. Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada
tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan
masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2)
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |659
partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga Citizen
Participation/Citizenship.
b. Proses Perencanaan Pembangunan Partisipasi
Ndraha (1990 : 104) menyatakan bahwa, dalam menggerakkan
perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat, maka perencanaan
partisipasi harus dilakukan dengan usaha : (1) perencanaan harus disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt need), (2) dijadikan stimulasi
terhadap masyarakat, yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response),
dan (3) dijadikan motivasi terhadap masyarakat, yang berfungsi membangkitkan
tingkah laku (behavior). Dalam perencanaan yang partisipatif (participatory
planning), masyarakat didorong untuk merencanakan, melaksanakan dan
bertanggungjawab atas pembangunan yang akan dilaksanakan.
Dalam pembangunan partisipasi perlu memperhatikan antara lain : (1)
perencanaan program harus berdasarkan fakta dan kenyataan dimasyarakat, (2)
Program harus memperhitungkan kemampuan masyarakat dari segi teknik,
ekonomi dan sosialnya, (3) Program harus memperhatikan unsur kepentingan
kelompok dalam masyarakat, (4) Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
program (5) Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang ada (6) Program
hendaknya memuat program jangka pendek dan jangka panjang, (7) Memberi
kemudahan untuk evaluasi, (8) Program harus memperhitungkan kondisi, uang,
waktu, alat dan tenaga (KUWAT) yang tersedia, Cahyono (2006)
Community Development dengan segala kegiatannya dalam
pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community",
tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community".Metode kerja doing
with, mendorong masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu
mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan
expected need . Tehnik untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam
660| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
pembangunan diantaranya adalah dengan pendekatan, metode dan teknik PRA
(Participatory Rural Appraisal) Teknik-teknik PRA antara lain : (1) Secondary
Data Review (SDR) – Review Data Sekunder. Merupakan cara mengumpulkan
sumber-sumber informasi yang telah diterbitkan maupun yang belum disebarkan.
Tujuan dari usaha ini adalah untuk mengetahui data yang telah ada. (2) Direct
Observation – Observasi Langsung adalah kegiatan observasi langsung pada
obyek-obyek tertentu, kejadian, proses, hubungan-hubungan masyarakat dan
mencatatnya. Tujuannya adalah untuk melakukan cross-check terhadap jawaban-
jawaban masyarakat. (3) Semi-Structured Interviewing (SSI) – Wawancara Semi
Terstruktur adalah wawancara yang mempergunakan panduan pertanyaan
sistematis yang terbuka dan dapat berkembang selama interview dilaksanakan.
SSI dapat dilakukan pada informan dianggap mewakili informasi, misalnya
wanita, pria, anak-anak, pemuda, petani, pejabat lokal. (4) Focus Group
Discussion – Diskusi Kelompok Terfokus adalah diskusi antara beberapa orang
untuk membicarakan hal-hal bersifat khusus secara mendalam. Tujuannya untuk
memperoleh gambaran terhadap suatu masalah dengan lebih rinci. (5) Preference
Ranking and Scoring. Adalah teknik untuk menentukan secara tepat problem-
problem utama dan pilihan-pilihan masyarakat. Tujuannya adalah untuk
memahami prioritas-prioritas kehidupan masyarakat sehingga mudah untuk
diperbandingkan. (6) Direct Matrix Ranking. Adalah sebuah bentuk ranking yang
mengidentifikasi daftar criteria obyek tertentu. Tujuannya untuk memahami
alasan terhadap pilihan-pilihan masyarakat. (7) Peringkat Kesejahteraan.
Tujuannya untuk memperoleh gambaran profil kondisi sosio-ekonomis dengan
cara menggali persepsi perbedaan-perbedaan kesejahteraan antara satu keluarga
dan keluarga yang lainnya, serta menemukan indikator-indikator lokal mengenai
kesejahteraan. (8) Pemetaan Sosial. Teknik ini adalah suatu cara untuk membuat
gambaran kondisi sosial-ekonomi masyarakat, misalnya gambar posisi
pemukiman, sumber-sumber mata pencaharian, peternakan, jalan, dan sarana-
sarana umum. Hasil gambaran ini merupakan peta umum sebuah lokasi yang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |661
menggambarkan keadaan masyarakat maupun lingkungan fisik. (9) Transek
(Penelusuran). Transek merupakan teknik penggalian informasi dan media
pemahaman daerah melalui penelusuran dengan berjalan mengikuti garis yang
membujur dari suatu sudut ke sudut lain di wilayah tertentu. (10) Kalender
Musim. Adalah penelusuran kegiatan musiman tentang keadaan-keadaan dan
permasalahan yang berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu (musiman) di
masyarakat. Tujuannya untuk memahami pola kehidupan masyarakat, kegiatan,
masalah-masalah, fokus masyarakat terhadap suatu tema tertentu, mengkaji pola
pemanfaatan waktu. (11) Alur Sejarah. Tujuannya dari teknik ini adalah untuk
memperoleh gambaran mengenai topik-topik penting di masyarakat. (12) Analisa
Mata Pencaharian. Masyarakat akan terpandu untuk mendiskusikan kehidupan
mereka dari aspek mata pencaharian. Tujuan dari teknik ini yaitu memfasilitasi
pengenalan dan analisa terhadap jenis pekerjaan, pembagian kerja pria dan wanita,
potensi dan kesempatan, hambatan. (13) Diagram Venn. Teknik ini adalah untuk
mengetahui hubungan institusional dengan masyarakat. Tujuannya untuk
mengetahui pengaruh masing-masing institusi dalam kehidupan masyarakat serta
untuk mengetahui harapan-harapan dari masyarakat terhadap institusi-institusi
tersebut. (14) Kecenderungan dan Perubahan. Adalah teknik untuk
mengungkapkan kecenderungan dan perubahan yang terjadi di masyarakat dan
daerahnya dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya untuk memahami
perkembangan bidang-bidang tertentu dan perubahan-perubahan apa yang terjadi
di masyarakat dan daerahnya.
Pendekatan lain untuk membangun partisipasi masyarakat adalah yang
disebutkan oleh Agusta (2005) menyatakan bahwa Kaji-Tindak Partisipatif (KTP)
adalah belajar dari bertindak secara partisipatif; belajar dan bertindak bersama,
aksi-refleksi partisipatif. Kaji-Tindak Partisipatif, dan nama kegiatan
662| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
mencerminkan suatu dialektika yang dinamis antara kajian dan tindakan secara
tak terpisahkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembentukan organisasi pengelola program
Pada pembentukan awal organisasi BKM awalnya dipadu oleh fasilitator
yaitu pendamping program yang merupakan professional dari luar desa yang
disediakan oleh pemerintah. Tugas fasilitator adalah sebagai pengarah tehnis.
Pada tahap ini arahan dari fasilitator menjadi pedoman seluruh peserta inisiator
pengelola program pada tingkat desa. Proses pembentukan dilakukan dengan
musyawarah untuk menentukan pimpinan sidang. Selanjutnya pimpinan sidang
yang memimpin pemilihan Badan Keswadayaan Masyarakat yang merupakan
Badan tertinggi Desa dalam Proyek PNPM. Partisipasi masyarakat Dlam
pembentukan organisasi adalah dengan mengusulkan perwakilan yang akan duduk
di BKM. Dasar perwakilan adalah keterwakilan RT. Dan ini sedikit berbeda
dengan arahan Fasilitator yang mendasarkan pada demokrasi langsung. Dan
semua yang ditunjukyang berjumlah 11 orang tidak ada satupun yang mengajukan
diri sebagai calon melainkan berdasarkan usulan peserta rapat. Partisipasi ini
termasuk partisipasi social daripada partisipasi politik ataupun parisipasi warga,
sebagaimana yang dikemukan oleh Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito
(2004).
2. Penentuan kelompok sasaran pengentasan kemiskinan.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah melalui PNPM adalah lam
pembiapembangunan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan msyarakat
sebagai perencana dan pelaksana pembangunan. Sementara pembiayaan diperoleh
dari pemerintah dan swadaya masyarakat. Pelaksana ditentukan bersama dalam
rapat koordinasi BKM dengan RT dimana proyek akan dilaksanakan. Pelaksana
proyek yang disebut sebagai BKM adalah tim yang menyusun Proposal dan RAB
serta melaksanakan, tapi pada prakteknya pekerjaan ini masih tergantung pada
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |663
Fasilitator dan UPL yaitu sub lembaga di bawah BKM. UPL ( Unit Pengelola
Lingkungan ) adalah pendamping KSM yang merupakan kepanjangan dari
BKM. Sasaran pembangunan adalah Kelompok Prasejahtera 2, namun criteria
kelompok sasaran ditentukan oleh warga masyarakat itu sendiri. Di desa
Sekarjalak yang disebut kelompok miskin bukan seperti yang ditentukan oleh
BKKBN dengan 14 kririanya namun hanya dengan criteria rumah yang paling
jelek di lingkungan yaitu rumah ukuran dibawah 6 x 6 m2 , dinding Gedeg (
bambu ) atau semi permanen, dan pengangguran atau semi pengangguran.
Sementara yang menjadi masalah sampai berakhirnya program ini adalah tentang
persaratan memiliki tanah bagi penerima manfaat langsung. Sarat ini adalah sarat
yang diharuskan oleh pemerintah,sebagimana yang disampaikan oleh fasilitator
yang menjadikan ada beberapa warga miskin tidak tercakup dalam program ini.
3. Tingkat partisipasi masyarakat sasaran dan masyarakat bukan kelompok
sasaran dalam pelaksanaan program
Dalam pelaksanaan program PNPM-MP di desa sekarjalak diharapkan
dapat menggairahkan kembali semangat gotong royong oelh karena itu didalam
pembiayaan program direncanakan adanya swadaya dari masyarakat sasaran
maupun yang bukan sasaran sebesar 30 %. Adapun proyek pembangunan yang
dilaksanakan oleh ProgramPNPM-MP di Desa Sekarjalak ada 4 macam ( lihat
table 1).
Tabel 1. Proyek Pembangunan Program PNPM-MP di Desa Sekarjalak
Nomer Jenis Program Keterangan
Sasaran
Volume
1. Pembangunan Jalan Masyarakat Umum 500 m2
2. Saluran air Masyarakat Umum 600 m
3. WC Perorangan Warga Miskin 65
4. Listrik Warga Miskin 59
5. Bedah Rumah Warga Miskin 4
Sumber : Data Primer
664| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Berdasarkan manfaat proyek maka proyek tersebut dapat digolongkan
menjadi dua kelompok penerima manfaat yaitu kelompok dan individu. Apabila
sasarannya adalah kelompok maka penerima manfaat tidak hanya warga miskin
sebagaimana tujuan dari program ini, karena tentu ada warga mampu yang
memanfaakan fasilitas yang dibangun tersebut. Sedangkan bila sasaran program
adalah warga miskin yang terpilih sasaran program akan langsung diterima oleh
sasaran program.
Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat dapat dilihat dari dalam
pertemuan, keaktifan dalam ikut kerja bakti, sumbangan yang diberikan. Secara
kualitatif partisipasi masyarakat pada awal program sangat aktif, seiring
berjalannya waktu keaktifan masyarakat bila diukur dari yang hadir dalam
bertemuan makin mengendur. Namun bila dilihat dari respon masyarakat ketika
dimintai komentarnya pada saat rapat warga tahunan jawaban yang diperoleh
selalu puas dengan pekerjaan BKM, masyarakat menganggap bahwa pekerjaan ini
adalah pekerjaan rutin dan pada saat rapat tidak ada pembagian uang rapat
sebagaimana yang lakukan forum lain seperti forum rembug desa maupun rapat
partai .
.Partisipasi masyarakat juga bisa dilihat dari besarnya sumbangan. Bila
ditelusur lebih jauh berdasarkan penyumbang maka terdapat dua kelompok yaitu
penyumbang dari masyarakat yang bukan sasaran program dan dari masyarakat
penerima manfaat. Bentuk sumbangan dan jumlah penyumbang dari sasaran dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel 2. Partisipasi Masyarakat Desa Sekarjalak Pada Program PNPM-MP
No. Jenis
Program
Sasaran Volume Bentuk
Swadaya
Jlm.
Penyumbang
1. Pembangunan
Jalan
Masy.
Umum
500 m2 Konsumsi Semua yg
diminta
2. Saluran air Masy.
Umum
600 m Konsumsi Semua yg
diminta
3. WC Warga 65 Konsumsi 63
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |665
Perorangan Miskin +1Jt
4. Listrik Warga
Miskin
59 Konsumsi
+300 rb
57
5. Bedah Rumah Warga
Miskin
4 Konsumsi +
1,2Jt
2
Sumber : Data Primer
Pada program yang yang kelompok sasarannya adalah komunitas,
partisipasi dalam bentuk uang tidak ada sama sekali, partisipasi hanya dalam
bentuk konsumsi untuk pekerja. Pekerja umumnya berasal dari masyarakat
setempat yang tidak semuanya professional. Yang tenaga trampil umumnya
hanya kepala tukang.
Sementara RAB-nya mencantumkan 30 % biaya dari masyarakat
namun sesungguhnya dana tersebut tidak pernah ada. Untuk anggota KSM
yang semestinya tanpa bayaran biasanya mengambil uang jamu dari dana
yang disediakan pemerintah. Akibat dari kejadian yang demikian maka
kualitas proyek diturunkan untuk menutup pengeluaran tersebut.
Kelompok penerima manfaat pada program WC, Listrik dan Bedah
rumah yang tidak memberi sumbangan masing masing 2 orang, padahal
berdasarkan kesepakatan warga sasaran dengan KSM selaku pelaksana proyek
telah sepakat akan berswadaya sejumlah yang telah disepakati. Kenyataan ini
menyebabkan KSM harus mencari dana dari sumber lain. Berdasarkan temuan
di lapangan ternyata yang menutup kekurang akibat dari pengingkaran
terhadap kesepakatan tersebut adalah pimpinan KSM untuk kelompok listrik
dan WC, Kas BKM untuk bedah rumah. Motif mengingkari kesepakatan dari
kelompok sasaran ada dua, yaitu tidak punya uang seperti pada kelompok WC
dan Listrik. Sedangkan untuk kelompok bedah rumah motif yang dipakai
adalah “jahat” dengan alas an bahwa bedah rumah harus dibiayai uang negara
dan kepentingan negara.
666| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Motif dari penyumbang program WC dan Listrik yang bukan dari
kelompok sasaran bila ditelusuri adalah adanya kewajiban social dan rasa
malu bila gagal karena penyumbang adalah ketua RT dan juga Ketua KSM.
sementara bagi BKM motif utamanya agar proyek tidak terbengkalai dan
dinyatakan gagal bila di audit.
SIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulah bahwa :
1. Pembentukan organisasi pengelola program dilakukan dengan musyawarah
untuk menentukan pimpinan sidang. Partisipasi masyarakat dalam
pembentukan organisasi adalah dengan mengusulkan perwakilan yang akan
duduk di BKM. Dasar perwakilan adalah keterwakilan RT. Dan ini sedikit
berbeda dengan arahan Fasilitator yang mendasarkan pada demokrasi
langsung. Partisipasi ini termasuk partisipasi social daripada partisipasi politik
ataupun parisipasi warga.
2. Penentuan kelompok sasaran pengentasan kemiskinan didasarkan dengan
criteria local yaitu : rumah yang paling jelek di lingkungan yaitu rumah
ukuran dibawah 6 x 6 m2 , dinding Gedeg ( bambu ) atau semi permanen, dan
pengangguran atau semi pengangguran.
3. Tingkat partisipasi masyarakat sasaran dan masyarakat bukan kelompok
sasaran dalam pelaksanaan program secara kualitatif partisipasi masyarakat
pada awal program sangat aktif, seiring berjalannya waktu keaktifan
masyarakat bila diukur dari yang hadir dalam bertemuan makin
mengendur..Partisipasi masyarakat berdasarkan besarnya sumbangan maka
terdapat dua kelompok yaitu penyumbang dari masyarakat yang bukan sasaran
program dan dari masyarakat penerima manfaat. Motif dari penyumbang
program WC dan Listrik yang bukan dari kelompok sasaran adalah merasa
adanya kewajiban social dan rasa malu bila gagal,sementara bagi BKM motif
utamanya agar proyek tidak terbengkalai dan dinyatakan gagal bila di audit..
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |667
Motif mengingkari kesepakatan dari kelompok sasaran ada dua, yaitu tidak
punya uang seperti pada kelompok WC dan Listrik. Sedangkan untuk
kelompok bedah rumah motif yang dipakai adalah “jahat” dengan alas an
bahwa bedah rumah harus dibiayai uang negara dan kepentingan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, I. 2007. Aneka Metode Partisipasi Untuk Pembangunan Desa. Blogspot
http://iagusta.blogspot.com/. Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor.
Di akses, 2 November 2007.
Asngari, P.S. 2001. Perenan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha
Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola
Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Aristo, D.A. 2004. Rejuvinasi Peran Perencana Dalam Menghadapi Era
Perencanaan Partisipatif “Sebuah Tahapan Awal dalam Pembentukan
Kultur Masyarakat Partisipatif”. Disampaikan Dalam : Seminar
Tahunan ASPI (Asosiasi Sekolah Perencana Indonesia) Universitas
Brawijaya, Malang Juli 2004. Teknik Planologi ITB.
Cahyono. B.Y. 2006. Metode Pendekatan Sosial Dalam Pembangunan
Partisipatif. lppm.petra.ac.id/ppm/COP//download. Di akses, 2
November 2007.
Dayal. R. Christine van Wijk, and Nilanjana Mukherjee. 2000. Methodology for
Participatory Assessments with Communities, Institutions and Policy
Makers. Website. http://www.waspola.org/default/policy/web. Di akses,
2 November 2007.
Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat. Tinjauan Aspek; Sosiologi,
Ekonomi, dan Perencanaan. Liberty. Yogyakarta.
Mahmudi, A. 2004. Metode Penelitian Kritis dan Prinsip-prinsip Participatory
Action Research (PAR). Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam
Swara Ditpertais: No. 19 Th. II, 15 November 2004.
http://www.ditpertais.net/swara . Di akses, 2 November 2007.
Mosher, A.T. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Syarat-Syarat Mutlak
Pembangunan dan Modernisasi. Disadur oleh : Ir. S. Krisnandhi dan
Bahrin Samad. C.V. Yasaguna. Jakarta.
668| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Ndraha, T. 1990. Membangun Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal
Landas. Rineka Cipta. Jakarta.
Rudito, B. dan Budimanta, A. 2003. Pengelolaan Community Development.
Indonesia Center For Sustainable Development. Jakarta.
Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB. Press.
Bogor.
Solihin, D. 2006. Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Makalah disampaikan
pada Pelatihan Aparatur Pemerintahan Daerah. Jakarta, 27 Desember
2006. Sekolah Tinggi Pemerintahan Abdi Negara.
Soetomo, 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Tampobulon, M. 2006. Pendidikan Pola Pemberdayaan Masyarakat
Dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan
Sesuai Tuntutan Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Pendidikan.
Universitas Negeri Medan. Sumatera Utara.
Suharto, E. 2002. Metodologi Pengembangan Masyarakat. Community work in
New Zealand. http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_19.htmn
. Di akses, 3 November 2007.
Suzetta, P. 2007. Perencanaan Pembangunan Indonesia. Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS.
www.bappenas.go.id. (pdf) Di akses, 3 November 2007.
Saharia. 2003. Pemberdayaan Masayarakat Di Pedesaan Sebagai Salah Satu
Upaya Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Manusia Secara Optimal.
Makalah Individu Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Sekolah
Pascasarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. E-mail:
sahauntad@yahoo.com. Di akses, 3 November 2007.
Thoyib, M. 2007. Model pembelajaran partisipatif. Website. Departemen Sosial
RI. http://www.mirror.depsos.go.id/, Di akses, 3 November 2007.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |669
STRATEGI BERTAHAN HIDUP RUMAHTANGGA MISKIN
DI PERDESAAN
Sugeng Harianto
Program Studi Sosiologi Jurusan Ilmu Sosial FISH Universitas Negeri Surabaya
sugengharianto@unesa.ac.id
Abstrak
Pemerintah Indonesia telah mengadopsi MDGs (Milenium Development Goals) dalam
menanggulangi kemiskinan. Namun, program penanggulangan kemiskinan yang
dirancang dan dilaksanakan pemerintah gagal mengentaskan rumahtangga miskin dari
perangkap kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan hanya mampu meringankan
beban rumahtangga miskin. Ditemukan kelemahan-kelemahan seperti bersifat langsung,
top down, populis, karitatif, dan salah dalam menggunakan paradigma. Akibatnya
rumahtangga miskin berupaya sendiri agar mampu bertahan hidup. Dengan metode
penelitian kualitatif, penelitian ini secara empiris menjawab fokus tentang strategi
bertahan hidup apa yang dikembangkan rumahtangga miskin di perdesaan. Penelitian ini
menemukan bahwa rumahtangga miskin mengembangkan strategi bertahan hidup yang
dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu: mengatur pola makan,
mengembangkan ekonomi/produksi subsisten, gali lubang tutup lubang, mengandalkan
bantuan pemerintah dan dermawan, dan menitipkan anak di pondok pesantren.
Kata kunci: kemiskinan, strategi bertahan hidup, ekonomi/produksi subsisten
PENDAHULUAN
Angka kemiskinan di Desa Mulyodadi Kecamatan Wonoayu Kabapaten
Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 2009 masih menunjukkan angka cukup besar.
Terbukti keluarga yang masuk kategori Pra Sejahtera sebanyak 57 keluarga atau
9,42 persen dan Keluarga Sejahtera I sebesar 152 keluarga atau 25,12% dari
keseluruhan 605 keluarga yang ada di desa itu atau jumlah keseluruhan 34,55%.
Desa ini juga dikenal sebagai desa termiskin di Kecamatan Wonoayu.
Berkaitan dengan fenomena kemiskinan di wilayah pedesaan ini, James C.
Scott (1989) dengan meminjam metafora Tawney menggambarkan “ada daerah-
daerah di mana posisi penduduk pesedaan ibarat orang yang selamanya berdiri
terendam dalam air sampai leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah
670| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
cukup menenggelamkannya.” Metafora ini menggambarkan bahwa masyarakat
desa hidup dalam kondisi kemiskinan. Kemiskinan masyarakat terlihat dari
kehidupannya yang subsisten. Clifford Geertz (1983) menggambarkan
kemiskinan masyarakat pedesaan di Jawa sebagai masyarakat mengalami
pertumbuhan yang bersifat involutif. Jumlah penduduk di wilayah pedesaan yang
terus meningkat menimbulkan kerumitan dan penyambungan mekanisme yang
dilalui oleh produk pertanian tersebar luas ke segenap manusia yang harus hidup
dari produk pertanian itu secara merata. Namun, dibawah tekanan jumlah
penduduk yang terus meningkat dan sumberdaya yang terbatas itu, masyarakat
desa di Jawa tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonomi
cukup tinggi dengan membagi-bagi kemiskinan (shared poverty).
Dalam mengatasi masalah kemiskinan ini pemerintah Indonesia telah
mengadopsi MDGs. Untuk mengimplementasikan program MDGs itu pemerintah
telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan. Berbagai upaya
penanggulangan kemiskinan sebenarnya telah lama dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah Orde Baru, misalnya, telah menjalankan program penanggulangan
kemiskinan seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan beras untuk rakyat miskin
(Raskin). Namun hasil penelitian Harianto, dkk, (2001, 2002, 2003, dan 2004)
menunjukan bahwa program penanggulangan kemiskinan alih-alih
menanggulangi kemiskinan, justru menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan
masyarakat dan tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mentargetkan pengentasan kemiskinan
akan dicapai pada 2015. Pada 2015 jumlah penduduk miskin diharapkan akan
berkurang separoh dari jumlah penduduk miskin yang ada. Untuk mencapai
tujuan itu sejak 2005 pemerintah mengembangkan model penanggulangan
kemiskinan melalui empat klaster (cluster).
Meskipun pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk
menanggulangi kemiskinan, namun tidak berdampak pada penurunan angka
kemiskinan. Terlepas dari pengaruh resesi ekonomi global, program
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |671
penanggulangan kemiskinan tidak cukup efektif untuk mereduksi angka
kemiskinan, apalagi mengentaskannya. Kemiskinan tetap menjadi masalah
penting yang dihadapi Indonesia pada masa mendatang.
Salah satu penyebab kegagalan itu antara lain dikemukakan oleh Robert
Sparrow, dkk. (2010), yang melakukan kajian tentang Askeskin yang hasilnya
menunjukkan bahwa program itu hanya jangka pendek. Untuk efektivitas
program Raskin, Olken, dkk. (2001) dan Harianto, dkk. (2001, 2002, 2003, dan
2004), melakukan penelitian di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Secara
umum dapat disimpulkan bahwa penyaluran Raskin di wilayah pedesaan
menimbulkan banyak masalah diantaranya banyak orang miskin tidak menerima
bantuan, sementara orang yang tidak miskin justru menerima bantuan. David T.
Ellwood (Kompas, 16 September 2010), Bagong Suyanto (Kompas, 18
September 2010), Wagle (2008), Nolan dan Whelan (2007), Nasikun (1993), dan
Andre Bayo Ala (1981) melihat kelemahan-kelemahan itu disebabkan karena
program-program penanggulangan kemiskinan bersifat karitatif dan populis, serta
adanya kesalahan penggunaan paradigma dalam memandang kemiskinan itu
sendiri.
Di tingkat lokal, meskipun rumahtangga miskin telah tersentuh berbagai
macam program penanggulangan kemiskinan, seperti Raskin, Jamkesmas, BLT,
BOS, dan PKH, namun program-program itu gagal mengentaskan kemiskinan
mereka. Mereka tetap saja tidak dapat melepaskan diri dari perangkat kemiskinan.
Akibat kegagalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinannya, terpaksa
mereka harus berupaya sendiri, baik secara individual maupun berkeompok, agar
bisa bertahan hidup.
Penelitian ini secara empiris menjawab fokus penelitian setiap masyarakat
yang mengalami kemiskinan akan berupaya untuk melepaskan diri, paling tidak
672| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
meringankan beban hidup, dari perangkap kemiskinan melalui berbagai stratagi
agar rumahtangga miskin bisa bertahan hidup.
METODE PENELITIAN
Fokus penelitian di atas dijawab secara empiris dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif. Unit analisis penelitian ini adalah rumahtangga
miskin, sementara yang menjadi subjek penelitian adalah penduduk miskin (suami
dan istri). Data primer yang bersumber dari subjek penelitian dikumpulkan
melalui observasi dan wawancara mendalam. Data yang telah dikumpulkan
dianalisis dengan menggunakan model analisis data yang dikembangkan oleh
Miles dan Huberman. Pertama, analisis data dimulai ketika peneliti menyusun
catatan-catatan lapangan (fieldmotes). Kedua, peneliti kemudian melakukan telaah
secara menyeluruh terhadap data yang diperoleh dari lapangan yang merupakan
hasil pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah tersaji dalam catatan-
catatan lapangan (fieldnotes). Ketiga, setelah ditelaah secara menyeluruh, langkah
berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan
membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,
proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di
dalamnya. Keempat, peneliti melakukan pemrosesan satuan (unityzing). Dalam
melakukan pemrosesan satuan ini, ada dua langkah yang dilakukan peneliti, yaitu
menyusun tipologi satuan dan penyusunan satuan. Kelima, setelah pemrosesan
satuan selesai dilakukan, peneliti kemudian menemukan dan menyusun
kategorisasi. Keenam, setelah berhasil menemukan dan menyusun kategorisasi,
peneliti melakukan penafsiran data.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan data, strategi bertahan hidup rumahtangga miskin
dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu:
1. Mengatur Pola Makan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |673
Alih-alih memenuhi paradigma empat sehat lima sempurna dan yang
sudah disempurnakan oleh Kementerian Kesehatan menjadi paradigma gizi
seimbang, rumahtangga miskin di Desa Mulyodadi tidak mampu memenuhi
standar minimum ketercukupan kalori berdasarkan paradigma empat sehat lima
sempurna. Bahkan yang lebih memprihatinkan, tidak satu pun rumahtangga
miskin yang memikirkan paradigma gizi seimbang itu. Rumahtangga miskin
berargumentasi paradigma gizi seimbang bagi mereka adalah sebuah mimpi, yang
mereka tidak mengetahui kapan akan menjadi kenyataan. Mereka pun tidak
pernah mengenal istilah paradigma gizi seimbang dan tidak pernah memikirkan
pola konsumsi yang memenuhi paradigma itu.
Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi dengan menggunakan
paradigma gizi seimbang masih sebatas konsepsi ideal, yang tidak pernah
menyentuh masyarakat strata sosial bawah, terutama rumahtangga miskin.
Paradigma gizi seimbang itu hanya menyentuh masyarakat strata sosial menengah
dan atas, yang memiliki tingkat literasi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
sosialisasi tentang paradigma gizi seimbang tidak sampai menyentuh masyarakat
strata sosial bawah. Pemerintah pusat hingga pemerintah desa tidak menjalankan
fungsi sosialisasi paradigma gizi seimbang kepada penduduk di wilayah pedesaan.
Dalam melakukan konsumsi mereka tidak pernah menjadikan paradigma
gizi seimbang sebagai rujukan. Mereka mengembangkan konsumsi berorientasi
pada kemampuan finansialnya pada hari itu. Dalam banyak kasus, rumahtangga
miskin sehari-hari lebih disibukkan oleh upaya mereka mencari pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hari itu. Karena rumahtangga miskin ini, oleh Harold dan
Domar (Budiman, 1995), dicirikan oleh tiadanya tabungan atau investasi, maka
pola konsumsi yang mereka kembangkan berdasarkan penghasilan yang mereka
peroleh saat itu. Mereka tidak mempunyai preferensi untuk mengembangkan pola
674| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
konsumsi untuk hari esok dan seterusnya. Seperti dijelaskan oleh Chambers
(1988), pendapatan yang diperoleh habis dipakai untuk konsumsi hari itu.
Temuan ini mencabar tesis Harold dan Domar (Budiman, 1995),
menunjukkan bahwa kondisi kehidupan subsisten dengan pendapatan rendah,
bahkan tidak mempunyai pendapatan, justru menjadi salah satu penyebab
rumahtangga miskin tidak mempunyai tabungan dan investasi. Rumahtangga
miskin bukan tidak mempunyai keinginan untuk menabung atau investasi, namun
penghasilan yang rendah memaksa mereka tidak mampu melakukan hal itu.
Temuan ini mendukung tesis Chambers (1988: 137) yang menyatakan bahwa
perilaku tidak menabung atau investasi ini merupakan pencerminan dari tuntutan
hidup rumahtangga miskin yang sangat mendesak, untuk konsumsi, jaminan
kebutuhan pokok, menutupi keperluan karena ketidakpastian, karena rongrongan
keluarga yang memerlukan bantuan dan pertolongan. Penghasilan rumahtangga
miskin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pangan yang
paling minimum.
Karena pendapatan rendah, rumahtangga miskin mengembangkan strategi
pola konsumsi dengan jalan menekan konsumsi. Mereka mengatur pola konsumsi
pangan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kemampuan mereka
menghasilkan uang. Mereka membatasi masukan (asupan) kalori pada jenis-jenis
makanan yang paling pokok saja. Mereka menekan belanjanya di pasar dengan
hanya membeli beberapa jenis barang yang dianggap esensial saja. Meskipun di
pasar ditawarkan berbagai macam barang konsumsi, namun rumahtangga miskin
hanya memilih bahan-bahan makanan yang mereka mampu membelinya.
Data menunjukkan bahwa mengatur pola konsumsi pangan ini dilakukan
semua rumahtangga miskin baik berusia tidak produktif maupun berusia
produktif. Pengaturan pola konsumsi pangan berkaitan dengan dua hal, yaitu:
berkaitan dengan frekuensi konsumsi dan kualitas makanan yang dikonsumsi.
Rumahtangga miskin menggunakan strategi utama menjarangkan frekuensi
makan untuk meringankan beban dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan, yang
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |675
memang tidak bisa ditunda pemenuhannya. Bagi mereka frekuensi makan tiga
kali sehari merupakan sesuatu yang mewah. Kecuali anak-anaknya, mereka
makan dalam sehari rata-rata dua kali. Tidak ditemukan keajegan dalam frekuensi
makan ini, hal ini sangat tergantung pada ketersediaan makanan. Temuan ini
memperkuat temuan Kenji (1994), Beneria (1992), Rocha (1995), Annelet (1997),
Lingam (2005), dan Florence (1996) yang menunjukkan bahwa salah satu
mekanisme bertahan hidup rumahtanga miskin adalah dengan memotong atau
mengurangi pengeluaran untuk konsumsi makanan.
Bagi yang bekerja di luar rumah, mereka menggunakan strategi membawa
makanan dan minuman dari rumah (mbontot). Mereka mengaku harga makanan
di sekitar pabrik sangat mahal, sementara mereka tidak mampu membelinya.
Makanan dan minuman yang dibawa pun juga sederhana berupa nasi putih, tahu
goreng atau tempe goreng, atau tahu dan tempe yang dimasak tumis, dan air putih
yang sudah direbus. Bontotan ini dikonsumsi pada istirahat siang atau malam.
Bagi mereka jenis makanan yang paling pokok adalah beras. Mereka
merasa aman bila mempunyai persediaan nutrisi yang mengandung karbohidrat
tinggi itu. Mereka merasakan selain harga beras di pasar sangat mahal, beras juga
merupakan kebutuhan utama dalam pola konsumsi sehari-hari. Meskipun
mendapatkan bantuan beras melalui program penanggulangan kemiskinan, namun
bantuan yang volumenya hanya 5 kg memaksa mereka harus mengeluarkan uang
untuk membeli beras di pasar. Bahkan beras yang dibeli di pasar, volumenya jauh
lebih banyak dibandingkan dengan bantuan Raskin.
Mereka mengkonsumsi makanan yang hanya mampu mereka beli.
Pendapatan rendah memaksa mereka membeli bahan makanan yang harganya
murah dan terjangkau. Untuk memenuhi kebutuhan protein, mereka membeli
bahan makanan yang juga menjadi sumber protein seperti tahu, tempe, telor dan
ikan asin. Kebutuhan jenis nutrisi lain dipenuhi dari bahan makanan seperti sayur-
676| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
sayuran. Untuk memenuhi kebutuhan sayuran ini, mereka memenuhi dengan cara
membeli di pasar atau mengembangkan ekonomi subsisten dengan memanfaatkan
sayuran yang ada di sekitar rumah. Pola konsumsi seperti ini dilakukan oleh
semua rumahtangga miskin.
Jenis makanan daging, baik ayam, sapi, maupun kambing, merupakan
makanan kategori mewah. Pendapatan rendah menyebabkan daya beli mereka
terhadap jenis makanan ini juga rendah. Terjadinya fluktuasi harga daging di
pasar, yang cenderung mahal, lebih memperparah rendahnya daya beli mereka.
Data menunjukkan bahwa mereka jarang mengkonsumsi daging. Mereka jarang
mengeluarkan uang untuk membeli daging di pasar. Mereka menganggap bahwa
selain harganya mahal dan tidak terjangkau, daging merupakan makanan mewah.
Mereka mengkonsumsi daging bila menghadiri acara hajatan seperti
pernikahan, kitanan, selamatan, dan jamaah tahlil. Mereka memfungsikan
lembaga-lembaga sosial itu sebagai substitusi untuk memenuhi kebutuhan protein
yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Dalam perspektif fungsionalisme struktural
Robert K. Merton, lembaga-lembaga sosial itu selain mempunyai fungsi manifes,
juga mempunyai fungsi laten bagi mereka, yaitu mereka dapat memenuhi
kebutuhan protein yang bersumber dari daging.
Pola konsumsi pangan yang tidak memenuhi standar minimum
Kementerian Kesehatan mempengaruhi kondisi jasmaninya. Menurut Chambers
(1988: 146), pola konsumsi pangan seperti itu mengakibatkan mereka mengalami
kelemahan jasmani. Temuan ini memperkuat tesis Chambers (1988: 146) yang
menyatakan bahwa kelemahan jasmani mendorong rumahtangga miskin ke arah
kemiskinan yang lebih parah seperti tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih
rendah, tidak mampu bekerja lebih lama, upah yang lebih rendah, bahkan
berhenti bekerja karena menderita penyakit. Jasmani yang lemah menjadikan
mereka tidak berdaya, karena kekurangan tenaga dan waktu. Bahkan orang yang
sakit-sakitan menyebabkan orang itu tidak berani berbuat macam-macam.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |677
Kelamahan jasmani juga menyebabkan mereka terisolasi karena tidak kuat
mengikuti pertemuan-pertemuan.
Temuan ini sesuai dengan temuan Scott (1989), Beneria (1992), Rodrigues
(1994), Rocha (1995), Florence, (1996), Annelet (1997), Lingam (2005), Shariff
dan Khor (2008) yang menunjukkan kemiskinan yang dialami oleh rumahtangga
mamaksa rumahtangga itu mengurangi kualitas makanan yang dikonsumsi.
Temuan Rocha (1995), Beneria (1992), Mupedziswa dan Gumbo (1998), dan
Rodrigues menunjukkan bahwa rumahtangga miskin telah mengurangi
mengkonsumi daging, susu, roti, dan buah-buahan. Temuan Scott (1989)
menunjukkan bahwa pada saat krisis rumahtangga miskin beralih mengkonsumsi
makanan yang lebih rendah. Rumahtangga miskin yang mengembangkan strategi
mengatur pola makan agar bisa bertahan hidup dapat dijelaskan dalam gambar di
bawah ini:
Gambar 1 Mekanisme Bertahan Hidup Rumahtangga Miskin dengan Mengatur Pola
Makan
K E M I S K
I
N
A
N
MENGURANGI KUALITAS MAKANAN
TIDAK MAMPU
BEKERJA LAMA
BERHENTI BEKERJA
PRODUKTIVITAS
RENDAH KELEMAHAN JASMANI
KELEMAHAN JASMANI
MENGATUR FREKUENSI MAKAN
BERTAM
BAH
MISKIN
678| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
2. Mengembangkan Ekonomi Subsisten
Menurut Hans-Dieter Evers (1995), untuk menutupi kekurangan
pendapatan yang diterima dari pekerjaan utama banyak rumahtangga yang harus
bertopang pada pinjaman. Namun terdapat satu sumber untuk pemenuhan
kebutuhan dasar yang acapkali diabaikan yaitu produksi barang dan jasa dalam
rumahtangga itu. Evers menyebut produksi barang dan jasa dalam rumahtangga
itu sebagai produksi subsisten atau perekonomian subsisten. Dalam perekonomian
seperti ini produsen sekaligus merupakan konsumen dan interaksi pasar tidak
terjadi. Jika nilai-nilai produksi subsisten dihitung dengan harga pasar, maka nilai
produksi subsisten itu sangat tinggi.
Kata Evers (1995: 16-17), yang sering terlibat dalam produksi subsisten
adalah ibu rumahtangga. Kerja produksi subsisten dijalankan oleh tenaga kerja
keluarga yang tidak dibayar, terutama perempuan, yang dalam proses produksi
bekerja sampai tingkat sibsistensi tanpa upah. Proses ini oleh Evers disebut
sebagai produksi subsisten rumahtangga (household subsistence production).
Penelitian ini menemukan cukup banyak bentuk-bentuk produksi subsisten
rumahtangga (household subsistence production). Bila dihitung dengan nilai
Rupiah, produksi subsisten rumahtangga ini mempunyai kontribusi cukup besar
dalam pendapatan rumahtangga. Namun, para ahli ekonomi pun tidak pernah
memasukkan produksi subsisten rumahtangga ini menjadi salah satu komponen
pendapatan rumahtangga dan pendapatan nasional. Anggota rumahtangga yang
paling banyak terlibat dalam produksi subsisten rumahtangga ini adalah
perempuan. Kaum perempuan, dalam hal ini istri, terlibat dalam pekerjaan-
pekerjaan di sektor domestik. Pekerjaan di sektor ini lebih banyak berbentuk
produksi subsisten mulai dari memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah,
merawat dan mendidik anak, melayani suami, dan sebagainya. Dengan demikian,
bila dihitung dengan menggunakan nilai Rupiah dan dimasukkan ke dalam
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |679
komponen pendapatan rumahtangga, sebenarnya perempuan mempunyai
kontribusi sangat besar dalam pendapatan rumahtangga dibandingkan laki-laki
(suami). Budaya patriarkhi yang menghasilkan ketidakadilan gender tidak pernah
menganggap penting kontribusi perempuan dalam kegiatan produksi subsisten.
Data menunjukkan bahwa produksi subsisten rumahtangga mempunyai
kontribusi cukup penting. Konversi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bahan
bakar gas berupa penggantian penggunaan BBM menjadi gas LPG tidak
mempunyai dampak signifikan pada rumahtangga miskin. Pada program koversi
ini pemerintah memberikan bantuan berupa kompor gas dan tabung LPG ukuran 3
kg kepada setiap rumahtangga. Namun, pada kelompok rumahtangga miskin,
program konversi itu tidak mempunyai dampak siginifikan. Rumahtangga miskin
memang tidak lagi menggunakan minyak tanah, namun juga tidak menggunakan
kompor gas dan tabung LPG untuk memasak, mereka justru lebih memilih
menggunakan kayu bakar yang tersedia cukup banyak di sekitar rumah. Mereka
justru menyimpan kompor gas dan tabung LPG-nya.
Bagi mereka pemakaian kompor gas berbahan bakar gas LPG bermakna
biaya sangat besar yang harus dikeluarkan. Harga gas LPG ukuran tabung 3 kg di
pasar sekitar Rp 14.500. Bila dalam satu bulan membutuhkan 3 tabung maka
mereka harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 43.500. Bagi mereka uang sebesar
itu dapat membebani anggaran rumahtangga. Merespon harga gas LPG terus naik,
mereka secara rasional memilih mengembangkan produksi subsisten rumahtangga
berupa penggunaan kayu bakar.
Air bersih merupakan kebutuhan sangat vital bagi manusia. Demikian juga
mereka sangat membutuhkan air bersih untuk memenuhi berbagai kebutuhan
seperti memasak, air minum, mandi, mencuci, dan sebagainya. Bila rumahtangga
di wilayah perkotaan memenuhi kebutuhan air dari jaringan pipa dari PDAM
(Perusahaan Daerah Air Minum) dan air kemasan, tidak demikian dengan
680| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
rumahtangga miskin di Desa Mulyodadi. Mereka memanfaatkan air tanah dari
sumur. Mereka menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan air minum,
memasak, mandi, dan mencuci. Pengambilan air sumur dilakukan melalui dua
cara, yaitu: dengan menggunakan timba dan mesin pompa. Mereka yang
menggunakan timba menganggap cara itu lebih hemat karena tidak membutuhkan
biaya untuk membayar rekening listrik. Sementara itu, mereka yang menggunakan
mesin pompa di rumahnya sudah terpasang aliran listrik dari PLN, walaupun
dayanya masih 450 watt.
Mereka menilai kualitas air sumur baik. Meskipun dinding sumur terbuat
dari batu bata yang ditata melingkar, air sumur berwarna jernih dan tidak bau.
Namun kualitas air sumur yang dipergunakan untuk memenuhi berbagai macam
kebutuhan ini belum pernah diuji kualitasnya di laboratorium. Meskipun
demikian, mereka tidak mengkonsumsi langsung air sumur itu untuk minum.
Mereka terlebih dahulu merebusnya.
Bila fungsi sosialisasi dan pengasuhan anak-anak dari rumahtangga strata
sosial menengah dan atas banyak diambil alih oleh lembaga subtitusi seperti
pembantu rumahtangga, baby sister, dan tempat penitipan anak, maka pada
rumahtangga miskin melakukan sendiri fungsi-fungsi itu. Penghasilan rendah
tidak memungkinkan mereka membeli jasa lembaga-lembaga subtitusi itu. Selain
itu mereka mempunyai waktu luang cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi itu.
Dalam perspektif Scottian (1989) perilaku seperti itu disebut sebagai
ekonomi susbsisten. Dalam ekonomi subsisten rumahtangga miskin dipandang
sebagai unit produksi, sekaligus juga sebagai unit konsumsi. Untuk memenuhi
kebutuhan dasar, mereka memaksimumkan sumber-sumber daya, baik berupa
tanah maupun tenaga kerja, seperti menanam sayuran di pekarangan,
memperbaiki rumah, merawat dan membesarkan anak, mencuci, memasak, dan
sebagainya.
Usaha-usaha seperti itu untuk menyesuaikan pengeluaran kepada
penghasilan dengan jalan mengurangi konsumsi, untuk sebagian besar dapat
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |681
menjelaskan apa sebabnya mereka cenderung terus melekat pada cara hidupnya
yang tradisional dan takut pada hal-hal baru. Menurut Scott (1989), setiap hal
yang baru dapat membahayakan keseimbangan yang rapuh itu. Hal yang baru itu
ibarat riak gelombang, meskipun kecil, namun sudah cukup menenggelamkan
kehidupan rumahtangga miskin yang subsisten. Pada waktu bersamaan
rumahtangga miskin mendukung usaha mempertahankan hubungan social yang
tradisional dan pengeluaran dana seremonial yang diperlukan untuk menopang
hubungan social itu. Selama hubungan social itu dapat dipertahankan, suatu
komunitas rumahtangga miskin dapat menolak penetrasi lebih lanjut oleh
tuntutan dan tekanan dari luar, sementara komunitas memaksa anggotanya yang
lebih beruntung untuk membagi sebagian dari kerja dan barang mereka dengan
tetangga mereka yang kurang beruntung (Wolf, 1985: 25 – 26).
Krisis apapun bentuknya memang dipahami sebagai suatu ketidakpastian,
terutama bagi rumahtangga miskin. Scott (1989) menganalogikan dengan orang
berada di dalam air di panati sebatas leher, krisis dianggapnya sebagai gelombang
air yang sudah cukup menenggelamkan dirinya. Di dalam situasi krisis, mereka
akan benar-benar mengalami kesulitan bila terjadi (1) erosi hubungan sebagian
rumahtangga miskin, nilai desa dan kelompok kerabat sebagai pemberi
perlindungan dan pemikul resiko, dan (2) berkurang atau hilang sama sekali
berbagai katup penyelamat (safety valve) subsistensi tradisional atau pekerjaan
tambahan untuk menyambung hidup, meskipun strataginya tetap sama, yaitu
safety first (mendahulukan selamat), atau dengan kata lain menghindari resiko
(risk aversee). Untuk meratakan riak gelombang itu rumahtangga miskin
mengembangkan pengaturan-pengaturan pola makan. Rumahtangga miskin
berupaya agar tetap bertahan hidup atau tetap selamat, meskipun harus melakukan
seperti apa yang digambarkan oleh Wolf (1985) dengan mengatur pola
konsumsinya.
682| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Temuan di atas juga mendukung bentuk-bentuk produksi subsisten yang
diidentifikasi oleh Hans-Dieter Evers. Evers (1995) mengidentifikasi bentuk-
bentuk produksi subsisten antara lain: mananam sayur-sayuran untuk dikonsumsi
sendiri, berternak ayam atau bebek, membangun atau memperbaiki sumah sendiri,
mengambil air dari sumur, penyiapan makanan sehari-hari, mengajar sendiri anak-
anaknya, atau merawat anak yang sakit, dan sebagainya.
Temuan penelitian ini juga memperkuat tesis Dubihlela (2010), Shariff
dan Khor (2008), Scott (1989), dan Evers (1995). Penelitian Dubihlela (2010)
menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi kepala rumahtangga sehari-hari
terlibat berjuang untuk bertahan hidup. Rumahtangga ini telah menyusun berbagai
cara untuk bertahan hidup, di antaranya mencari buah-buahan liar di daerah
terdekat. Temuan Shariff dan Khor (2008) menunjukkan bahwa rumahtangga
rawan pangan yang hidup dibawah garis kemiskinan dengan ukuran rumahtangga
besar dan memiliki banyak anak sekolah serta istri sebagai ibu rumahtangga
berupaya untuk bertahan hidup dengan mengembangkan ekonomi subsisten.
Kemiskinan memaksa rumahtangga memasak makanan apapun yang tersedia di
rumah untuk makanan mereka.
Mereka selain mengembangkan produksi subsisten rumahtangga, juga
terlibat dalam produksi subsisten lingkungan (habitat subsistence production)
(Evers, 1995). Pembangunan rumah, seperti rumah Kasmi, dilakukan sendiri oleh
masyarakat lokal. Pembangunan rumah seperti itu tidak melibatkan kontraktor
bangunan dengan buruh yang diupah. Pembangunan rumah itu tidak melibatkan
produksi kapitalis murni. Kasmi tidak perlu mengeluarkan uang untuk memberi
upah pendududk yang terlibat dalam pembangunan rumahnya, karena
keterlibatan penduduk merupakan kerja sosial.
Di desa Mulyodadi, pembangunan rumah dengan menggunakan sistem
produksi subsisten lingkungan disebut sambatan. Dalam sistem sambatan ini,
penduduk lokal dengan sukarela membantu pelaksanaan pembangunan rumah.
Pemilik rumah tidak perlu meminta tolong kepada penduduk lokal untuk menjadi
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |683
tenaga kerja. Tanpa dimintai tolong pun penduduk lokal dengan sukarela
memberikan bantuan tenaga. Pemilik rumah hanya menyediakan makanan dan
minuman serta rokok. Namun mereka yang pernah mendapatkan bantuan dari
tetangga mempunyai kewajiban sosial dan moral untuk memberikan bantuan
serupa pada saat tetangganya mempunyai kegiatan yang sama. Mereka menyadari
mempunyai hutang budi dan harus membayar yang sepadan dengan tenaga.
Produksi subsisten lingkungan seperti itu, kata Scott (1989: 255),
mendasarkan diri pada prinsip moral, yang dia sebut sebagai resiprositas. Prinsip
ini, kata Scott, sangat sederhana, yaitu orang harus membantu mereka yang
pernah membantunya, atau setidak-tidaknya jangan merugikan mereka yang
pernah membantunya. Atau, satu hadiah atau jasa yang diterima seseorang
menciptakan, bagi si penerima, satu kewajiban timbal balik untuk membalas
dengan hadaiah atau jasa dengan nilai yang setidak-tidaknya sebanding di
kemudian hari.
Selain sambatan, ditemukan kegiatan-kegiatan yang menganut prinsip
moral resiprositas, yang di dalamnya melibatkan penduduk miskin. Kegiatan
seperti selamatan, gotongroyong, pesta pernikahan atau kitanan, jamaah tahlil
menganut prinsip moral resiprositas. Mereka terlibat dalam kegiatan ini
mempunyai hak dan kewajiban moral untuk memperoleh bantuan dari
tetangganya yang dahulu pernah dia bantu, dan memberikan bantuan kepada
tetangga yang pernah membantunya. Namun tidak semua dari mereka mampu
memenuhi kewajiban moral itu. Merespon kewajiban moral itu, mereka
mengembangkan strategi yang berbeda-beda tergantung dari kewajiban moral
yang dihadapi.
684| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Gambar 2 Mekanisme Bertahan Hidup dengan Mengembangkan Ekonomi
Subsisten
Gambar 2 Mekanisme Bertahan Hidup dengan Mengembangkan Ekonomi
Subsisten
Banyak ekonom berpandangan bahwa tenaga kerja yang memasuki
produksi subsisten tidak produktif karena tidak dapat dipasarkan. Namun,
pandangan para ekonom itu tidak sepenuhnya tepat, karena tanpa tenaga kerja
produktif sistem ekonomi apapun akan ambruk. Temuan ini juga menunjukkan
bahwa produksi subsisten, baik rumatangga maupun lingkungan, mempunyai
USIA
PRODUKTIF
USIA TIDAK
PRODUKTIF
PEMANFAATAN KAYU
BAKAR
PEMANFAATAN AIR
SUMUR
PEMANFAATAN SAYURAN
DI SEKITAR RUMAH
PRODUKSI
SUBSISTEN
LINGKUNGAN
PRODUKSI
SUBSISTEN
RUMAHTANG
GA
PENDA
PATAN
RUMAH
TANGGA
R
U
M
A
H
T
A
N
G
G
A
M
I
S
K
I
N
MENGERJAKAN
PEKERJAAN DOMESTIK
MEMBANGUN RUMAH
SENDIRI
PEMBANGUNAN RUMAH:
SISTEM SAMBATAN
PESTA PERNIKAHAN
/KITANAN
SELAMATAN/JAMAAH
TAHLIL
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |685
kontribusi cukup penting dalam ekonomi rumahtangga miskin. Meskipun
penelitian ini secara khusus tidak memfokuskan untuk menghitung nilai Rupiah
produksi subsisten, namun temuan ini menunjukkan pentingnya kontribusi
produksi subsisten dalam ekonomi rumahtangga miskin.
3. Gali Lubang Tutup Lubang
Rumahtangga miskin juga memilih utang menjadi salah satu mekanisme
bertahan hidup. Mereka menganggap utang sebagai mekanisme yang rasional
untuk memenuhi kebutuhan dasar di tengah-tengah kekurangan pendapatan.
Meskipun menjadi pilihan rasional, namun tidak semua dari mereka memilih
utang. Yang memilih utang adalah meraka yang berusia produktif yang
mempunyai pekerjaan dan pendapatan. Sementara itu, mereka yang berusia tidak
produktif, yang sehari-hari hidup tanpa pekerjaan dan pendapatan, tidak memilih
mekanisme utang.
Bagi mereka yang berusia tidak produktif, utang bukan pilihan rasional.
Mereka melakukan kalkulasi secara rasional sebelum melakukan utang. Dalam
kalkulasinya, mereka menganggap bahwa utang bukan pilihan yang rasional.
Mereka tidak mempunyai pendapatan atau aset yang dapat dipakai untuk
mengembalikan utang. Di lain pihak, mereka hidup di daerah perdesaan sangat
kuat terikat oleh nilai-nilai sosial. Salah satu nilai sosial itu adalah kepercayaan
dan kejujuran. Kepercayaan dan kejujuran inilah yang menjadi modal sosial
(social capital) mereka. Mereka memang tidak mempunyai modal ekonomi
(economic capital) dan modal manusia (human capital), namun mereka masih
mempunyai modal sosial itu. Meskipun mereka miskin, dua modal sosial itu
masih mereka pegang teguh. Mereka menyadari bahwa pelanggaran atau
pengingkaran terhadap dua modal sosial itu akan mendatangkan sanksi sosial.
686| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Masyarakat di wilayah pedesaan akan menjatuhkan sanksi sosial berupa gossip
bagi individu yang melanggar atau mengingkari dua modal sosial itu.
Sebaliknya mereka yang berusia produktif memilih utang sebagai salah
satu mekanisme bertahan hidup. Pilihan utang ini pun juga didasarkan pada
kalkulasi rasional berdasarkan kemampuan mereka mengembalikan utang itu.
Mereka mempunyai pekerjaan dan pendapatan, yang menjadi modal ekonomi.
Selain itu, mereka juga mempunyai modal manusia berupa tenaga kerja yang
secara fisik masih mempunyai kemampuan untuk bekerja, meskipun mereka
bukan tenaga kerja terampil. Mereka adalah tenaga kerja kategori tidak terampil.
Karena tidak mempunyai keterampilan, mereka hanya bekerja sebagai buruh tani,
buruh pabrik, dan pedagang. Meskipun demikian, setidaknya mereka mempunyai
pendapatan yang bisa dipakai sebagai agunan untuk mengembalikan utang.
Meskipun memilih utang, etika moral mendahulukan selamat (safety first)
masih cukup kuat tergambar dalam setiap pengambilan keputusan berkaitan
dengan jumlah, tempat, dan jangka waktu utang. Sebagai warga masyarakat
pedesaan, seperti digambar oleh Scott (1989), dalam mengambil keputusan untuk
utang, mereka mempertimbangkan resiko. Bagi mereka memilih utang sama
menghadapi riak gelombang yang jika tidak dipertimbangkan resikonya maka
dapat menenggelamkan kehidupan mereka.
Sikap mendahulukan selamat tergambar dari pilihan jumlah, tempat, dan
jangka waktu pengembalian utang. Mereka lebih memilih utang dengan jumlah
uang relatif kecil. Mereka menyesuaikan jumlah utang dengan kebutuhan dasar.
Mereka hidup seperti “besar pasak daripada tiang (pengeluaran lebih besar
daripada pendapatan).” Mereka selalu dalam kondisi kekurangan. Mereka
mempunyai pendapatan lebih kecil dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan
untuk kebutuhan dasar.
Mereka tidak mengenal institusi perbankan dan keuangan. Mereka lebih
memilih meminjam ke toko di sekitar rumah atau pedagang keliling, yang tidak
membutuhkan prosedur yang rumit dan tidak meminta agunan. Mereka hanya
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |687
mengagunkan modal sosial berupa kepercayaan dan kejujuran. Agunan ini
terlihat dari ketaatan dan kedisiplinan dalam mengembalikan utang. Mereka
mengembalikan utang selalu tepat waktu. Bagi mereka kepercayaan dan kejujuran
merupakan modal sosial penting. Mereka tidak ingin akses kredit ke toko dan
pedagang keliling tertutup akibat dari pelanggaran terhadap dua modal social itu.
Temuan ini mencabar sebagian tesis Chambers (1988: 141) yang
menyatakan bahwa rumahtangga miskin selalu dalam keadaan berhutang kepada
tetangga, sanak saudara, dan pedagang, baik utang jangka pendek maupun jangka
panjang. Temuan ini menunjukkan bahwa kehidupan yang subsisten
menyebabkan mereka hanya mempunyai keberanian utang dengan pengembalian
jangka pendek. Mereka yang hidup tanpa pekerjaan dan pendapatan tetap serta
tidak mempunyai tabungan dan aset berharga menjadi faktor determinan
ketidakberanian berhutang dalam jangka panjang.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa tesis Chambers itu tidak selamanya
ditemukan di lapangan. Temuan ini justru menunjukkan bahwa tidak semua
rumahtangga miskin berani utang, meskipun kepada saudaranya. Realitas ini
ditemukan pada rumahtangga tangga miskin dari kelompok usia tidak produktif.
Kelompok ini tidak berani berutang karena: pertama, mereka tidak mempunyai
pekerjaan dan penghasilan tetap, dan kedua, mereka tidak mempunyai aset yang
bisa diagunkan. Sementara itu, keberanian utang ditemukan pada rumahtangga
miskin usia produktif. Temuan ini menolak sebagian dari tesis Chambers di atas.
Jasmani yang lemah tidak saja mendorong orang ke arah kemiskinan, terisolasi
dari informasi dan pengetahuan, memperpanjang kerentanan, serta merasa tidak
berdaya seperti yang digambarkan (Chambers, 1988: 146), melainkan juga
mempengaruhi keberanian untuk mengambil keputusan melakukan utang.
Meskipun terkategori usia produktif, karena mengalami kelemahan jasmani,
sebagian dari mereka tidak berani utang.
688| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Gambar 3 Mekanisme Bertahan Hidup dengan Mengembangkan Gali Lubang Tutup Lubang
4. Ketergantungan pada Bantuan
Orang-orang miskin sebenarnya tidak pernah merasa pensiun dari
pekerjaannya, karena sejak masih muda, mereka pun hanya bekerja di sektor
informal seperti pedagang keliling, buruh tani dan buruh di perkebunan tebu. Pada
saat masih muda dan produktif, mereka pun sebenarnya juga masuk kategori
penduduk tidak produktif karena hanya mampu menghasilkan uang tidak lebih
sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka mengaku hingga sekarang
tidak pernah mempunyai tabungan atau investasi. Bila mempunyai tabungan atau
investasi pun dalam jumlah kecil. Bila memiliki kelebihan penghasilan, mereka
menyimpannya dalam bentuk barang, ternak, atau uang. Tabungan itu pun tidak
berjangka panjang. Dalam jangka pendek mereka menggunakannya kembali
RUMA
HTANG
GA
MISKIN
USIA PRODUKTIF
PEDAGANG
KELILING
TIDAK
BERANI UTANG
TIDAK MEMPUNYAI PEKERJAAN DAN PENGHASILAN
MEMPUNYAI PEKERJAAN DAN PENGHASILAN
BERANI
UTANG
LEMAH
JASMANI
USIA TIDAK PRODUK TIF
BERTAHAN HIDUP
TOKO
TEMAN
BANTUAN
PEMERINTAH
BANTUAN
DERMAWAN
IKUT ANAK
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |689
tabungan itu untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mendadak dan mendesak,
seperti anggota keluarga sakit, biaya sekolah, memenuhi kewajiban adat, biaya
pendidikan anak, dan sebagainya.
Mereka sebenarnya bukan tidak ingin menabung atau berinvestasi, namun
bekerja sebagai buruh tani dan buruh di perkebunan tebu tidak memberikan
penghasilan yang besar. Dari sektor pekerjaan itu, mereka memperoleh
penghasilan sangat kecil, bahkan bila dibandingkan dengan UMR (upah minimum
regional), penghasilannya di bawah UMR.
Realitas di atas menunjukkan adanya kehidupan rumahtangga yang
menjalani kehidupan tanpa pekerjaan dan penghasilan tetap. Chambers (1988:
141-143) menggambarkan kondisi seperti itu sebagai perangkap kemiskinan.
Menurut Chambers (1988: 141-143), rumahtangga seperti itu selain miskin, juga
mengalami lemah jasmani, rentan, dan tidak berdaya. Rumahtangga seperti itu
hidup tanpa pekerjaan tetap dengan produktivitas tenaga kerja rendah, penghasilan
kecil, tidak mempunyai kekayaan, kekayaan produktif satu-satunya adalah tenaga
kerja anggota keluarga, persediaan dan arus makanan atau uang dalam keluarga
sedikit sekali. Rumahtangga ini sangat tergantung dari orang lain yang
memberinya pekerjaan. Hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
sehari-hari. Pada musim-musim tertentu mereka mengalami kekurangan pangan
sehingga mengakibatkan kelemahan jasmani. Karena penghasilan kecil, mereka
tidak memiliki penyangga untuk menghadapi kebutuhan yang mendesak. Mereka
biasanya juga tidak berdaya, misalnya di pasar tenaga kerja, mereka tidak
mempunyai posisi yang kuat.
Mereka mengalami kemiskinan absolut. Data peneliian ini menunjukkan
bahwa mereka berpenghasilan rendah, bahkan tidak mempunyai penghasilan.
Oleh karena itu, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Untuk
690| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
memenuhi kebutuhan dasar, mereka sangat tergantung pada program-program
penanggulangan kemiskinan dan bantuan dari orang lain.
a. Bantuan Pemerintah
Semua rumahtangga, baik miskin maupun tidak miskin, ingin
mendapatkan program penanggulangan kemiskinan. Mereka menganggap penting
program seperti Raskin (beras untuk rumahtangga miskin), BLT (bantuan
langsung tunai), PKH (program keluarga harapan), dan Jamkesmas (Jaminan
Kesehatan Masyarakat). Yang membedakan di antara mereka adalah kontribusi
bantuan terhadap perekonomian rumahtangga dan tingkat ketergantungan
terhadap program-program itu. Rumahtangga miskin pun ternyata tidaklah
tunggal, terpolarisasi ke dalam berusia tidak produktif dan berusia produktif.
Rumahtangga miskin usia tidak produktif adalah rumahtangga yang kepala
keluarga berusia di atas 60 tahun, untuk ukuran masyarakat Indonesia sudah
memasuki masa pension, namun tidak memiliki pensiunan atau jaminan hari tua.
Mereka adalah penduduk yang pada masa muda hingga usia pensiun bekerja di
sektor informal. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, mereka menganggur dan
tidak mempunyai penghasilan. Bagi mereka, program Raskin, BLT, dan PKH
mempunyai kontribusi penting dalam pendapatan. Mereka sangat menunggu
pencairan bantuan-bantuan itu. Keterlambatan atau penghentian bantuan-bantuan
itu dapat mengganggu keseimbangan perekonomian rumahtangga itu.
Dalam perspektif Scott (1989), keterlambatan atau penghentian bantuan-
bantuan itu dapat menjadi riak gelombang yang sudah cukup menenggelamkan
kehidupan mereka yang sudah subsisten. Realitas ini menunjukkan adanya
ketergantungan sangat kuat terhadap program-program penanggulangan
kemiskinan dari pemerintah. Dalam posisi seperti itu, mereka memaknai setiap
program penanggulangan kemiskinan merupakan program yang sangat baik dan
dapat membantu mempertahankan kehidupan sehari-hari.
Realitas itu juga menunukkan bahwa rumahtangga miskin dalam posisi
tidak berdaya lebih memilih strategi mendahulukan selamat (safety first) demi
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |691
untuk menjaga kelangsungan hidupnya yang sudah subsisten. Mereka lebih
memilih menghindari resiko (risk averse). Resiko dianggapnya sebagai riak
gelombang. Oleh karena itu, mereka memilih meratakan riak gelombang itu
dengan bersikap memberikan penilaian baik terhadap semua program
penanggulangan kemiskinan. Dengan meratakan riak gelombang itu, rumahtangga
miskin minimum dapat tetap berdiri sebatas leher di pantai.
Tindakan safety firts seperti itu oleh Giddens (2003: 58) dianggap sebagai
tindakan yang berorientasi rutin-praktis. Mereka secara psikologis hanya mencari
rasa aman ontologis untuk menghindari resiko dari tindakan-tindakannya yang
tidak disadari atau yang belum dibayangkan. Dengan menilai semua program
penanggulangan kemiskinan itu baik dapat memberikan rasa aman. Dengan
penilaian seperti itu mereka terhindar dari resiko seperti tidak diberi bantuan lagi.
Mereka menganggap program penanggulangan kemiskinan harus diterima apa
adanya tanpa harus mempertanyakan lebih lanjut hakikat, tujuan, dan
pelaksanaannya. Dalam terminologi Giddens (2003; Priyono, 2002: 29), orientasi
tindakan seperti itu akan menghasilkan gugus pengetahuan yang sudah diandaikan
(taken for granted knowledge). Giddens (Priyono, 2002: 29) menyebutnya
sebagai rasa aman ontologis (ontological security) atau John Kenneth Galbraith
menyebutnya mereka telah berdamai dengan keadaan. Jika tidak begitu, sungguh
ini suatu yang ajaib. Mereka tidak bisa ulet berusaha, generasi demi generasi,
abad demi abad, untuk mengatasi keadaan yang sudah kuasa menghancurkannya.
Mereka nrimo (menerima). Sikap menerima ini bukan pertanda dari kelemahan
watak. Sebaliknya, kata Galbraith, ia merupakan jawaban yang sangat rasional,
penyesuaian diri adalah pilihan terbaik. Sifat penyesuaian diri yang rasional ini
berasaldari ajaran-ajaran pokok agama penting di dunia.
Mereka yang usia produktif menganggap program Raskin, BLT, dan PKH
bukan menjadi komponen pendapatan yang utama. Meskipun mereka
692| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
memasukkan bantuan menjadi salah satu komponen pendapatan, namun
komponen ini sifatnya membantu meringankan beban. Mereka tidak terlalu
tergantung pada program-program itu, karena masih mampu bekerja dan
mempunyai pendapatan.
Kurangnya ketergantungan ini menyebabkan mereka mempunyai
kemampuan mempertanyakan hakikat, tujuan, dan pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan. Dalam konteks ini, kata Giddens (2003), mereka
sebagai pelaku tindakan mempunyai kemampuan untuk instropeksi dan mawas
diri (reflective monitoring of conduct). Mereka mengembangkan kesadaran
diskursif. Dalam kesadaran ini, mereka mempunyia kapasitas untuk merefleksikan
dan memberikan penjelasan rinci serta eksplisit atas tindakannya. Mereka mampu
memberikan penjelasan secara rinci tentang program Raskin, BLT, dan
Jamkesmas. Bagi mereka, program-program itu adalah untuk orang miskin
dengan tujuan untuk meringankan beban. Mereka mengetahui bahwa orang dari
strata social menengah dan atas tidak berhak atas program-program itu. Mereka
juga mampu memberikan penilaian bahwa pelaksanaan program-program itu
menyimpang dari aturan dengan adanya praktik KKN (Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme), seperti dipraktikkan oleh perangkat desa.
Temuan ini sekaligus juga menjadi catatan untuk Giddens bahwa ternyata
bukan hanya orang yang mengusai sumberdaya, baik materi maupun non materi,
yang mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan (kekuasaan) dalam
memberikan respon kritis terhadap program-program penanggulangan
kemiskinan. Penduduk miskin pun, walaupun tidak mengusai sumberdaya,
mereka mempunyai kemampuan memberikan respon secara kritis terhadap
program-program penanggulangan kemiskinan.
b. Bantuan Dermawan
Rumahtangga miskin usia tidak produktif bukan hanya memiliki
ketergantungan terhadap program-program penanggulangan kemiskinan dari
pemerintah, mereka juga mengharapkan dan memiliki ketergantungan pada
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |693
bantuan para dermawan. Meskipun mereka tidak “meminta-minta”, namun
mereka sangat berharap ada dermawan yang memberikan bantuan baik dalam
bentuk uang maupun makanan. Perilaku mereka seperti itu, kata Lewis (1993),
sebagai kebudayaan kemiskinan. Orang miskin mempunyai cara hidup tertentu
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan kehidupannya. Salah satu cara hidup yang
dikembangkan adalah “meminta-minta.” Kebudayaan ‘meminta-minta” ini
merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi
terhadap kedudukan marjinal mereka dalam masyarakat. Kebudayaan “meminta-
minta” itu juga merupakan perwujudan dari upaya pemecahan masyarakat
setempat atas masalah-masalah yang tak teratasi karena tak terpenuhinya syarat-
syarat tertentu dari lembaga-lembaga yang ada, atau karena ketidaksanggupan
atau ketidakpedulian dan kecurigaan terhadap lembaga-lembaga itu. Mereka yang
tidak sanggup memperoleh kredit bank terpaksa harus mencari sumber lain dari
kalangan mereka sendiri dengan mengharapkan bantuan dari orang lain.
Temuan ini sekaligus mencabar sebagian tesis Lewis (1993) yang
menyatakan, sebagai respon terhadap masalah terdapat praktik gadai-menggadai
barang, hidup dibelit utang kepada lintah darat atau rentenir dengan bungan sangat
tinggi, dan munculnya kredit informal. Temuan ini menunjukkan, strategi-strategi
itu tidak ditemukan di rumahtangga miskin, disebabkan oleh beberapa hal:
pertama, mereka tidak mempunyai aset berharga yang dapat digadaikan; kedua,
adanya intervensi pemerintah melalui program penanggulangan kemiskinan, yang
telah memutus mata rantai institusi lembaga keuangan non formal seperti lintah
darat dan rentenir yang mengenakan bunga tinggi pada peminjamnya. Sebelum
ada intervensi pemerintah, mereka memfungsikan rentenir sebagai salah satu
strategi untuk memecahkan masalah kekurangan penghasilan.
694| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
5. Pondok Pesantren sebagai Institusi Penitipan Anak
Pendapatan yang rendah di kalangan rumahtangga miskin tidak berarti
bahwa anggota keluarganya akan mati kelaparan. Mereka bisa betahan hidup. Selain
mereka mengatur pola makan, mengembangkan ekonomi subsisten, gali lubang tutup
lubang, tergantung pada bantuan pemerintah dan dermawan, ada yang menggunakan
mekanisme menitipkan anak-anaknya ke institusi penitipan anak. Dengan menitipkan
anak-anaknya ke institusi penitipan anak dapat mengurangi beban yang harus
ditanggung. Mereka paling tidak dapat mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan
makan dan pendidikan. Selain itu, mereka mempunyai waktu dan kekebasan untuk
mencari pendapatan. Salah satu institusi penitipan anak yang dipilih adalah pondok
R
U
M
A
H
T
A
N
G
G
A
SECARA
EKONOMI
MAMPU
MISKIN USIA
PRODUKTIF
MISKIN USIA
TIDAK
PRODUKTIF
BANTUAN PEMERINTAH:
- RASKIN - BLT - PKH - PNPM
MANDIRI - JAMKESMAS
BANTUAN DERMAWAN:
- UANG - BARANG
BERTAHAN
HIDUP
BANTUAN PEMERINTAH: - RASKIN - BLT - PKH - PNPM MANDIRI - JAMKESMAS
KESEIMBANGAN HAK DAN KEWAJIBAN
Gambar 4 Strategi Bertahan Hidup Rumahtangga Miskin Melalui Bantuan
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |695
pesantren. Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan yang
mengasramakan peserta didiknya.
Pondok pesantren merupakan salah satu institusi yang membantu
rumahtangga miskin untuk tetap bertahan hidup di tengah-tengah minimumnya
pendapatan dan bahkan ketika menghadapi krisis subsistensi. Temuan ini sesuai
dengan tesis Scott (1989: 25) yang menyatakan bahwa krisis subsistensi sudah tentu
tidak berarti bahwa keluarga-keluarga petani yang hasil panennya di bawah tingkat
subsistensi secara otomatis mati kelaparan. Dalam praktiknya, petani-petani itu akan
beralih makan jawawut atau umbi-umbian, anak-anak mereka mungkin dititipkan
untuk sementara waktu kepada kerabat-kerabat mereka, mungkin pula ternak atau
tanah terpaksa dijual, atau mungkin seluruh keluarga bermigrasi.
SIMPULAN
Kehidupan yang subsisten dan menghadapi berbagai macam kebutuhan pokok
memaksa rumahtangga miskin harus bertahan hidup. Rumahtangga miskin
mengembangkan pola yang tidak seragam sebagai mekanisme bertahan hidup
(survival mechanism). Mekanisme bertahan yang dikembangkan antara lain:
mengatur pola makan dalam hal kualitas dan kuantitas; mengembangkan ekonomi
atau produksi subsisten, baik ekonomi subsisten rumahtangga maupun ekonomi
subsisten lingkungan; mengembangkan strategi utang (strategi gali lubang tutup
lubang); ketergantungan pada bantuan pemerintah; dan menjadikan institusi
pendidikan sebagai penitipan anak.
Berkaitan dengan mekanisme ekonomi atau produsksi subsisten, rumahtangga
yang miskin memposisikan diri selain sebagai unit produksi, sekaligus juga sebagai
unit konsumsi. Terdapat dua bentuk produksi subsisten, yaitu: produksi subsisten
rumahtangga (household subsistence production) dan produksi subsisten lingkungan
(habitat subsistence production). Dalam produksi subsisten rumahtangga, anggota
yang sering terlibat adalah ibu rumahtangga. Ibu rumahtangga merupakan tenaga
kerja tidak dibayar. Ibu rumahtangga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik.
696| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Selain bersumber dari pekerjaan-pekerjaan domestik, rumahtangga miskin juga
memanfaatkan sayuran yang tumbuh di sekitar rumah sebagai sumber pangan.
Rumahtangga miskin juga memanfaatkan sumur sebagai sumber air bersih.
Sementara itu, produksi subsisten lingkungan berupa keikutsertaan anggota
rumahtangga miskin dalam kegiatan pengajian rutin, khitanan, pernikahan, dan
selamatan. Rumahtangga miskin juga menerima pembagian zakat dan daging kurban
setiap tahun pada perayaan hari besar Idul Fitri dan Idul Adha.
Meskipun mengalami kemiskinan, tidak semua rumahtangga miskin
mempunyai keberanian berhutang. Temuan penelitian menunjukkan bahwa hanya
rumahtangga miskin yang mempunyai pekerjaan dan pendapatan yang mempunyai
keberanian berhutang, sementara rumahtangga miskin yang tidak mempunyai
pekerjaan dan pendapatan tidak mempunyai keberanian utang. Rumahtangga miskin
yang mempunyai keberanian, hanya berani berhutang dalam jangka pendek. Mereka
tidak berani berhutang dalam jangka penjang, karena tidak mempunyai barang yang
bisa diagunkan dan tidak bisa menjamin bisa mengembalikan utang.
Berkaitan dengan ketergantungan pada bantuan pemerintah, temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan yang dialami rumahtangga miskin
merupakan perangkap kemiskinan. Rumahtangga seperti itu selain miskin, juga
merupakan rumahtangga yang lemah jasmani, rumahtangga yang rentan, dan
rumahtangga yang tidak berdaya. Rumahtangga seperti itu hidup tanpa pekerjaan
tetap dengan produktivitas tenaga kerja rendah, penghasilan kecil, tidak mempunyai
kekayaan, kekayaan produktif satu-satunya adalah tenaga kerja anggota keluarga,
persediaan dan arus makanan atau uang dalam keluarga sedikit sekali. Rumahtangga
ini sangat tergantung dari pemerintah. Mereka sangat mengharapkan mendapatkan
bantuan dari pemerintah, bahkan rumahtangga usia tidak produktif memasukkan
bantuan pemerintah sebagai salah satu komponen pendapatan.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |697
DAFTAR PUSTAKA
Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan.
Yogyakarta: Liberty.
Annele, Harts-Broekhuis .1997. “How to Sustain a Living? Urban Households and
Poverty in the Sahelian Town of Mopti”. Africa, Vol. 67, No 1, pp. 106-129.
Beneria, Lourdes. 1992. "The Mexican Debt Crisis: Restructuring the Economy and
the Household". In Lourdes Beneria & Shelley Feldman. Ed. Unequal
Burden: Economic Crises, Persistent Poverty and Women's Work. Westveiw
Press, USA.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Chambers, Robert. 1988. Membangun Desa Dari Belakang. Terjemahan. Jakarta:
LP3ES.
De la Rocha, Gonzalez. at all. 1995. “The Urban Family and Poverty in Latin
America”. Latin American Perspectives, Vol. 22, Issue 2, pp. 12-31.
Dubihlela, Dorah. 2010. Socio-economic Challanges and the Survival Mechanism for
the Female-Heads Households in the Bophelong Township. Dissertation.
Vandrbijlpark: the Nort-West University in the School of Economic Sciences.
Evers, Hans-Dieter. 1995. Sosiologi Perkotaan. Urbanisasi dan Sengketa Tanah di
Indonesia dan Malaysia. Jakarta: LP3ES.
Florence, Babb E.. 1996. “After the Revolution: Neo-liberal Policy and Gender in
Nicaragua”. Latin American Perspectives, Vol. 23, Issue 1, 1996, pp. 27-48.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Terjemahan.
Giddens, Anthony. 2003. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk
Analisis Sosial. Terjemahan. Pasuruan: Pedati.
Harianto, Sugeng. 2002. Evaluasi Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga
Miskin Tahun Anggaran 2002. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas
Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. 2003. Evaluasi Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga
Miskin Tahun Anggaran 2003. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas
Negeri Surabaya.
Harianto, Sugeng. 2004. Evaluasi Pelaksanaan Program Beras Untuk Keluarga
Miskin Tahun Anggaran 2004. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas
Negeri Surabaya.
Kementerian Kesehatan. 2008. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas) Tahun 2008. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
698| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
Lewis, Oscar. 1993. “Kebudayaan Kemiskinan.” Dalam Parsudi Suparlan.
Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lingam, Lakshmi. 2005. Structural Adjustment, Gender and Household Survival
Strategies: Review of Evidences and Concerns. Liberty St. Ann Arbor :
Center for the Education of Women The University of Michigan.
Mupedziswa, Rodrick & Perpetua Gumbo. 1998. Structural Adjustment and Women
Informal Sector Traders in Harare, Zimbabwe. Research Report No.106,
Nordiska, Africans, Uppsala, Sweden.
Nasikun. 1993. “Redifinisi Kriteria Batas Ambang Kemiskinan Berwawasan
Martabat Manusia.” Makalah disampaikan pada Seminar Bulanan Pusat
Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK), tanggal 7 Juni,
Yogyakarta: UGM.
Nolan, Brian and Christopher T. Whelan. “On the Multidimensionality of Poverty
and Social Exclusion.” Dalam Stephen P. Jenkins and John Micklewright. (
2007) Inequality and Poverty Re-Examined. New York: Oxford University
Press.
Olken, Benjamin A.. Et.Al. 2001. Sharing the Wealth: How Villages Decide to
Distribute OPK Rice. Research Report. Jakarta: SMERU Research Instutute.
Priyono, B. Herry. 2002. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG).
Rodriguez, Lilia. 1994. “Housing and Household Survival Strategies in Urban Areas:
A Case study of the Solanda Settlement, Quito, Ecuador”. In Meer Fatima.
ed.. Poverty in the 1990s: The Responses of Urban Women. Paris: UNESCO
and International Social Science Council.
Shariff, Zalilah Mohd and Geok Lin Khor. 2008. “Household Food Insecurity and
Coping Strategies in A Poor Rural Community in Malaysia”. Nutrition
Research and Practice (2008), 2(1), 26-34
http://search.webssearches.com/search/web?fcoid=417&fcop=topnav&fpid=2
&q=poor+household%27s+survival+mechanism+pdf&ql= Accessed:
18/07/2014 08:20
Scott, James C.. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Scott, James C.. 1989. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.
Sparrow, Robert. Et.Al. 2010. Social Health Insurance for the Poor: Targeting and
Impact of Indonesia’s Askeskin Program. Research Report. Jakarta: SMERU
Research Institute.
Wolf, Erick R.. 1985. Petani:Suatu Tinjauan Antropologis. Diterjemahkan oleh
Yayasan Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |699
POTENSI DAN HAMBATAN DESA PLUMBON GAMBANG, GUDO,
JOMBANG UNTUK DIKEMBANGKAN MENJADI DESA WISATA
Sri Murtini
Dosen Pendidikan Geografi FISH Universitas Negeri Surabaya
email:srimurtini@unesa.ac.id
Abstrak
Pariwisata telah menjadi trend kehidupan manusia modern karena aktivitas manusia ini
memiliki dimensi yang luas, tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan bersenang-senang
untuk menikmati perjalanan, namun aktivitas ini banyak menimbulkan aktivitas ekonomi,
sosial dan budaya. Aktivitas ekonomi masyarakat di Desa Plumbon Gambang, Gudo
Jombang telah berlangsung cukup lama yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai
desa wisata karena mempunyai karakteristik yang khas dibandingkan desa yang lain. Di
sanping memiliki potensi juga memiliki hambatan.Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui potensi dan hambatan desa Plumbon Gambang, Gudo, Jombang untuk
dijadikan sebagai desa wisata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
cara mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari informan. Informan adalah orang
yang mempunyai kemampuan memberikan semua data yang dibutuhkan. Teknik
pengumpulan data menggunakan snowball. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya
potensi yang dimiliki desa Plumbon Gambang antara lain: 1) satu-satunnya desa yang
masyaraknya banyak yang mempunyai ketrampilan mengolah pecahan kaca untuk
dijadikan manik-manik 2) letak desa yang strategis karena dekat dengan jalan raya
sehingga mudah untuk dijangkau, 3) pasar baik lokal, regional maupun internasional, 4)
perkembangan daerah karena adanya industri, obyek wisata dan pendidikan. Sedangkan
hambatan yang dialami desa Plumbon Gambang untuk dijadikan sebagai desa wisata
antara lain: 1) Bahan baku yang semakin sulit diperoleh sehingga meningkatkan biaya
operasional produksi seperti tempat yang jauh, waktu yang lama dan bertambahnya biaya,
2) peralatan yang digunakan masih sederhana atau dibuat sendiri, 3) peran pemerintah
sangat kecil dalam upaya memberikan pelatihan inovasi produk, membantu mencari
bahan baku, membantu memperluas pasar dan membantu mencari tambahan modal
maupun promosi.
Kata Kunci: potensi, hambatan, desa wisata
PENDAHULUAN
Pariwisata telah menjadi trend kehidupan manusia modern karena aktivitas
manusia ini memiliki dimensi yang luas, tidak sekedar untuk memenuhi
kebutuhan untuk bersenang-senang, untuk menikmati perjalanan namun aktivitas
700| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
ini banyak menimbulkan aktivitas ekonomi, seni dan budaya. Pariwisata memiliki
dampak yang luas membangun dalam pembangunan ekonomi, sosial dan budaya,
kegiatan pendidikan, kegiatan agama, olahraga dan kegiatan ilmiah. Pariwisata
menjadi program pribadi ketika orang merencanakan melakukan perjalanan untuk
menikmati perjalanannya ke suatu wilayah destinasi dan menjadi program
pemerintah daerah dan pemerintah pusat atau bahkan badan swasta ketika
melakukan pengelolaan dan mengorganisasikannya sehingga dapat memetik nilai
eknomi maupun nilai budaya dari kegiatannya itu (Arjana, 2005)
Pentingnya peranan dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara
sudah tidak diragukan lagi. Banyak negara sejak beberapa tahun terakhir
menggarap pariwisata dengan serius dan menjadikan pariwisata sebagai sektor
unggulan di dalam perolehan devisa, penciptaan lapangan kerja maupun
pengentasan kemiskinan. Pariwisata dengan berbagai aspek positifnya, dipandang
sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional
development, invisible export, non-polluting industry, dan sebagainya (Pitana,
2002)
Aspek positif tersebut akan diperoleh karena adanya kekayaan alam dan
keberagaman bangsa Indonesia yang menyimpan banyak potensi sekaligus
peluang berharga untuk membangun kepariwisataan Indonesia agar lebih
bergairah di mata dunia serta memiliki karakteristik berdasarkan kearifan lokal.
Oleh karena itu, pemerintah memiliki peranan penting dalam menggali potensi
dan membuat kebijakan terhadap pengembangan kepariwisataan, sehingga
masyarakat lokal tergugah kesadarannya untuk menggali potensi dan bergerak
membangun desa maupun kota masing-masing.
Menurut Yoeti (2008) prospek industri pariwisata di Indonesia sangat
besar dan menggembirakan mengingat pariwisata dianggap sebagai ‘ penyelamat’
sekaligus ‘primadona” penghasil devisa bagi negara. Di samping itu,
pertumbuhan sektor pariwisata sebesar 15 persen setiap tahunnya, sehingga
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |701
pariwisata mampu mempercepat pemerataan pembangunan daerah urban,
membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan produk hasil kesenian dan
kebudayaan serta memperluas pasar produk kecil ke dunia internasional.
Menurut Mubyarto sewaktu menjabat di kementerian Bappenas tahun
1993 mengungkapkan bahwa pariwisata merupakan suatu sektor ekonomi yang
terbukti mampu mengentaskan kemiskinan pada suatu daerah, karena di dalam
pengelolaan pariwisata pasti akan memiliki dampak trickle down effect bagi
masyarakat lokal baik kecil maupun yang besar.
Kepedulian dan komitmen serta peran pemerintah dalam upaya
pemberdayaan masyarakat di bidang kepariwisataan telah diatur dan tertuang
dalam UU No.10 Tahun 2009 pengganti UU No.9 tahun 1990 tentang
kepariwisataan yang menyebabkan bahwa dampak yang diakibatkan dari
pengembangan kepariwisataan berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat,
pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta pelestarian lingkungan.
Sebagai upaya nyata pada tahun 2007, pemerintah Indonesia giat
mencanangkan visit Indonesian sebagai upaya mempromosikan destinasi
pariwisata Indonesia kepada wisatawan mancanegara maupun lokal. Tahun
kunjungan tersebut mampu menarik wisatawan mancanegara maupun lokal untuk
berwisata di Indonesia.
Sejak adanya kebijakan tentang kepariwisataan itulah, pengembangan
desa-desa wisata di Indonesia mulai bermunculan. Desa wisata muncul di setiap
daerah. Daerah menggali semua potensi yang dimiliki oleh setiap desa untuk
dijadikan sebagai desa wisata. Salah satu desa di Kabupaten Jombang memiliki
potensi untuk dijadikan sebagai desa wisata.
Desa wisata adalah sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa
karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan desa wisata,
702| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Di
samping itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian
dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-
faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah
satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata.
Selain berbagai keunikan, kawasan desa wisata juga harus memiliki
berbagai fasilitas untuk menunjangnya sebagai kawasan tujuan wisata. Berbagai
fasilitas ini akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan
kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang sebaiknya dimilki oleh kawasan desa
wisata antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan dan
akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata menyediakan sarana
penginapan berupa pondok wisata (homestay) sehingga para pengunjung turut
merasakan suasana pedesaan yang masih asli.
Desa Plumbon Gambang merupakan salah satu desa di Kecamatan Gudo
Kabupaten Jombang. Desa Plumbon Gambang adalah desa yang mayoritas
masyarakatnya memiliki ketrampilan mengolah pecahan kaca untuk dijadikan
manik-manik. Ketrampilan mengolah limbah pecahan kaca diperoleh dari salah
seorang warga yang mempunyai bakat luar biasa untuk memanfaatkan pecahan
kaca menjadi barang yang mempunyai nilai ekonomi. Sekitar tahun 1977-an,
menjadi awal kegiatan usaha pengolahan pecahan kaca menjadi berbagai jenis
manik-manik yang mempunyai nilai ekonomi. Seiring berjalannya waktu, banyak
warga masyarakat yang tertarik untuk belajar mengolah pecahan kaca dan
akhirnya semakin bertambah banyak masyarakat yang terlibat pada kegiatan ini.
Ketrampilan masayarakat dalam mengolah limbah pecahan kaca ini tidak
sekedar ketrampilan saja namun sudah dapat dijadikan sebagai mata pencaharaian
bagi sebagian masyarakat di desa Plumbon Gambang. Namun seiring dengan
kemajuan dibidang teknologi yang masuk ke segala aspek kehidupan, masyarakat
mulai merasa kesulitan utk mendapatkan limbah pecahan kaca karena salah satu
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |703
alasan masyarakat lebih memilih barang berbahan plastik yang lebih praktis. Di
samping itu juga ada beberapa kesulitan lain yang dihadapi oleh para pengrajin
manik-manik ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) potensi desa
Plumbon Gambang untuk dijadikan sebagai desa wisata, 2) hambatan desa
Plumbon Gambang untuk dijadikan sebagai desa wisata.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk
menggambarkan data melalui kata-kata atau uraian penjelasan yang bersumber
dari hasil wawancara dengan informan, observasi partisan dan dokumentasi.
Peneliti memberikan beberapa batasan yang gunanya untuk merangkai data yang
diperlukan sesuai dengan kebutuhan dan tidak bias menjangkau masalah-masalah
lainnya (Miles & Hubberman, 1992). Subyek penelitian adalah masyarakat yang
mempunyai ketrampilan mengolah bahan pecahan kaca yang kemudian dijadikan
sebagai mata pencaharian. Teknik pengumpulan data menggunakan snowball
untuk mendapatkan data yang akurat dari informan. Melalui teknik pengumpulan
informan tersebut, didapatkan beberapa informan kunci yang menjelaskan dan
menjabarkan permasalahan yang ada di Desa Plumbon Gambang, Gudo,
Jombang. Dipilihnya desa Plumbon Gambang karena desa ini satu-satunya desa
yang masyarakatnya mampu mengolah bahan pecahan kaca untuk dijadikan
barang yang mempunyai nilai ekonomi lebih di Jombang.
PEMBAHASAN
Potensi Desa Plumbon Gambang
Potensi desa adalah segenap sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang dimiliki desa sebagai modal dasar yang perlu dikelola dan dikembangkan
bagi kelangsungan dan perkembangan desa. Desa wisata adalah suatu
704| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan
dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan
tradisi yang berlaku.(Nuryanti, 1993). Desa Plumbon Gambang merupakan desa
yang memiliki potensi untuk menjadi desa wisata karena desa Plumbon Gambang
memiliki:
1. Karakteristik yang khas dan unik, yaitu banyak warga masyarakat yang
memiliki ketrampilan mengolah pecahan kaca untuk menjadi manik-manik
yang memiliki keunikan, kekhasan dan ramah lingkungan. Dikatakan ramah
lingkungan karena bahan baku yang menjadi dasar pembuatan manik-manik
berasal dari pecahan kaca yang dianggap sebagai sampah. Pengolahan barang
yang sudah tidak terpakai (recycle) ini memiliki makna membantu
menciptakan lingkungan yang bersih.. Ketrampilan mengolah pecahan kaca
hanya dimiliki oleh masyarakat di desa Plumbon Gambang. Karena satu-
satunya desa yang memiliki ketrampilan membuat manik-manik tentunya
memiliki tingkat daya saing yang tinggi. Ketrampilan yang dimiliki dapat
dijadikan sebagai mata pencaharian. Dengan adanya mata pencaharian ini
maka akan berpengaruh pada kesejahteraan hidup masyarakat yang terlibat
sebagai pembuat manik-manik. Banyak manfaat yang diperoleh antara lain
menyerap pengangguran, memberikan kesempatan kerja, menambah
penghasilan keluarga dan mengasah kreativitas. Kreativitas merupakan
kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Di dunia,
bangsa yang kreatif menjadi negara industri maju, seperti negara industri di
Eropa, Amerika, Jepang, Korea dan Tiongkok. Kreativitas berkorelasi dengan
produktivitas, yang merupakan hasil pergumulan ide, gagasan yang mampu
diwujudkan, Modal kreatif dimiliki oleh salah seorang warga masyarakat desa
Plumbon Gambang yaitu Bapak Sugiyo yang kemudian menularkan
ketrampilannya kepada warga masyarakat yang lain yang jumlahnya banyak.
2. Pasar produk manik-manik yang dihasilkan masyarakat desa Plumbon
Gambang tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyakalat lokal tetapi
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |705
sudah sampai ke wilayah luar Jombang seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta
dan Bali. Di samping itu produk manik-manik juga sudah mampu menembus
pasar luar negeri seperti Malaysia, Thailand, Jepang, Belanda, Australia dan
Jerman. Dengan banyaknya pasar yang terbentuk menandakan sudah ada
kepercayaan masyarakat akan sebuah produk. Pasar tersebut merupakan
potensi untuk dijaga dan atau dikembangkan lebih luas agar memberikan
dampak yang lebih banyak seperti: produktivitas semakin meningkat,
kesempatan kerja semakin terbuka dan penghasilan masyarakat juga semakin
bertambah.
3. Ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat desa Plumbon Gambang
memungkinkan untuk diketahui dan ditularkan kepada masyarakat luas. Jadi
penting kiranya untuk membuat bentuk wisata edukasi yang mengajarkan
bagaimana proses pembuatan manik-manik mulai tahap awal sampai tahap
akhir. Jenis wisata ini memiliki nilai lebih dibandingkan wisata yang lain.
Kelebihannya ini antara lain, dari aspek lingkungan mulai dari mengasah
kepekaan melihat lingkungan dimana terdapat banyak sampah yang bermacam-
macam seperti pecahan kaca, plastik, barang elektronik serta yang lainnya dan
kebersihan lingkungan. Di samping itu juga mengasah kreativitas karena
kreativitas dapat diperoleh dari melihat, meniru kemudian
mempraktekkan/mencoba. Jadi proses pembuatan produk manik-manik di desa
Plumbon Gambang memberikan nilai edukasi sehingga memungkinkan untuk
dikemas dalam paket wisata edukasi.
4. Letak desa Plumbon Gambang berada dekat jalan raya arah Nganjuk Kediri,
dengan kondisi jalan yang bagus dan masih baru diperbaiki. Letak yang
strategis menjadi modal dasar pengembangan desa Plumbon Gambang untuk
menjadi desa wisata. Dengan letak yang strategis akan memudahkan distribusi
706| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
barang dan akan memberikan kemudahan konsumen menjangkau desa
Plumbon Gambang.
5. Jombang merupakan daerah yang mulai berkembang yang ditandai dengan
semakin berkembangnya berbagai macam industri, berkembangnya tingkat
pendidikan dari pendidikan tingkat rendah sampai pendidikan tingkat tinggi
baik swasta maupun negeri, berkembangnya sektor jasa, berkembangnya jenis
obyek wisata baik wisata alam, buatan, budaya dan kuliner. Faktor- faktor
tersebut menjadi pendukung untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
Dengan melihat potensi yang dimiliki desa Plumbon Gambang seperti
tersebut di atas maka perlu dukungan dan perhatian dari berbagai pihak.
Pemerintah memiliki peran paling besar untuk membantu mengoptimalkan
potensi desa Pengembangan potensi desa wisata membutuhkan partisipasi dari
seluruh masyarakat dari hanya sebagai obyek menjadi subyek pembangunan
dan karenanya harus menguntungkan masyarakat. Bilamana desa wisata
dikembangkan, maka desa wisata harus memiliki manfaat terhadap
pemberdayaan ekonomi rakyat. Desa wisata perlu dukungan melalui
kelancaran dan efektivitas pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama untuk
mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Koperasi (UMKK) dan Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) agar masyarakat desa mendapatkan pekerjaan yang
layak, untuk itu perlu adanya pengembangan usaha ekonomi dan mata
pencaharian berkelanjutan yang dapat ditempuh dengan cara: (1) Usaha
Ekonomi Rakyat (usaha kecil, mikro dan koperasi) yang memanfaatkan sumber
daya lokal secara optimal dan lestari, (2) dikembangkan badan usaha milik
rakyat yang dapat berdampingan, kemitraan dengan Koperasi, (3)
pengembangan klaster-klaster usaha ekonomi rakyat yang menampilkan
produk-produk unggulan bernilai tambah tinggi sebagai sentra-sentra
kemandirian ekonomi rakyat.
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |707
Tujuan pengembangan kawasan desa wisata antara: 1) Mengenali jenis
wisata yang sesuai dan melengkapi gaya hidup yang disukai penduduk
setempat. 2) Memberdayakan masyarakat setempat agar bertanggung jawab
terhadap perencanaan dan pengelolaan lingkungannya. 3) Mengupayakan agar
masyarakat setempat dapat berperan aktif dalam pembuatan keputusan tentang
bentuk pariwisata yang memanfaatkan kawasan lingkungannya, dan agar
mereka mendapat jaminan memperoleh bagian pendapatan yang pantas dari
kegiatan pariwisata. 4) Mendorong kewirausahaan masyarakat setempat. 5)
Mengembangkan produk wisata desa.
Salah satu tujuan pengembangan kawasan desa wisata adalah
mengembangkan produk wisata desa. Produk wisata desa Plumbon ini
memiliki kekhasan, keunikan dan tidak ditemui di daerah lain sehingga
dijadikan produk unggulan dan ikon dari kota Jombang. Kegiatan pengolahan
pecahan kaca ini melibatkan banyak masyarakat sehingga mampu memberikan
lapangan pekerjaan, menambah penghasilan, mengurangi kemiskinan,
meningkatkan pendapatan daerah, memperkenalkan kota Jombang sehingga
dampak yang ditimbulkan tidak hanya berdimensi ekonomi saja tetapi sosial
dan lingkungan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan dengan upaya
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta merubah
pola produksi dan konsumsi ke arah yang seimbang, sedangkan dimensi sosial
bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan perbaikan
pelayanan masyarakat, peningkatan pendidikan dan lain-lain. Adapun dimensi
lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan
terhadap polusi pengelolaan limbah serta konservasi/preservasi sumber daya
alam.
Dalam rangka pengendalian dampak sosial ekonomi dan budaya,
pengembangan kawasan desa wisata harus ditujukan kepada upaya
708| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
meningkatkan pemerataan kesempatan, pendapatan, peran serta dan tanggung
jawab masyarakat setempat yang terpadu dengan upaya pemerintah (daerah)
dan dunia usaha yang relevan. Pengembangan kawasan desa wisata tidak dapat
dilepaskan dari desa pusat, pemerintah desa, desa tempat masyarakat desa
sebagai tempat hidup mereka dan desa tempat berekreasi masyarakat, hal ini
penting untuk mencegah beralihnya aset desa dan kepemilikan lahan
masyarakat desa kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab serta
tersisihkannya masyarakat oleh berkembangnya pendatang. Sejalan dengan
strategi tersebut di atas maka dalam pengelolaan sumber daya alam pedesaan
melalui pelibatan masyarakat desa dalam mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam di pedesaan adalah mencakup peningkatan efisiensi dan
produktivitas, pemerataan hasil dan kesejahteraan secara profesional dan
pencapaian sumber daya berkelanjutan. Ke-tiga tujuan ini merupakan tiga pilar
yang secara bersama dan seimbang mendukung, keberadaan satu sumber daya
alam bagi kepentingan masyarakat di desa.
Dari gambaran kondisi desa Plumbon Gambang maka dapat dikatakan
bahwa desa Plumbon Gambang dapat dijadikan sebagai desa wisata dengan
pendekatan pasar. Pasar yang dimaksud disini adalah calon konsumen yang
menjadi sasaran untuk datang berkunjung ke desa Plumbon Gambang.
Sementara itu untuk pengembangan desa wisata dengan menggunakan
interaksi setengah langsung. Maksud dari interaksi setengah langsung ini
adalah suatu bentuk interaksi yang dilakukan antara masyarakat dengan
wisatawan dalam bentuk one day trip, dimana wisatawan berkegiatan untuk
melihat proses pembuatan manik-manik dari mulai tahap awal sampai
menghasilkan produk jadi dengan hanya singgah dan tidak tinggal bersama
dengan penduduk
SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa |709
Hambatan Desa Plumbon Gambang
1. Bahan baku yang semakin sulit diperoleh menjadi hambatan dalam melakukan
produksi sementara itu bahan baku merupakan salah satu faktor yang harus ada
dalam proses produksi. Kesulitan dalam mendapatkan bahan baku akan
menghambat proses produksi. Kurun waktu lima tahun terakhir merupakan
waktu yang terasa sulit bagi masyarakat yang terlibat pada kegiatan ini. Bahan
baku yang awalnya mudah diperoleh lewat pengepul atau mencari sendiri di
sekitar desa, tempat yang dekat sekarang tidak demikian. Bahan baku semakin
langka diperoleh. Masyarakat untuk mendapatkan bahan baku harus
menempuh jarak yang cukup jauh, waktu yang lebih lama dengan biaya yang
relatif lebih banyak. Meskipun dengan pengorbanan yang cukup besar
seringkali masyarakat hanya mendapatkan bahan baku yang jauh dari harapan.
Masalah kesulitan memperoleh bahan baku mempengaruhi minat masyarakat
untuk tetap menggeluti kegiatan ini sehingga semakin berkurang masyarakat
yang masih bertahan. Kesulitan memperoleh bahan baku dipengaruhi oleh
peralihan penggunaan barang berbahan non kaca seperti plastik.
2. Peran Pemerintah kecil dalam membantu usaha masyarakat desa Plumbon
Gambang baik pemodalan, pemasaran lewat berbagai macam promosi baik
cetak, elektonik atau berbagai event penting. Promosi dianggap mempunyai
pengaruh yang luar biasa dalam rangka memperkenalkan suatu produk. Saat ini
promosi dapat dilakukan di berbagai media sosial seperti facebook, path,
instagram. Di samping promosi, pemerintah harus membantu kesulitan yang
lain terkait dengan perolehan bahan baku, penggunaan teknologi dan pelatihan
untuk meningkatkan inovasi agar diperoleh produk yang variatif dan sesuai
dengan kondisi saat ini. Peran pemerintah saat ini harus ditingkatkan dalam
rangka untuk mengembangkan potensi desa untuk dijadikan desa-desa wisata
710| SeNaRi “Mengawal Pelaksanaan SDGs”28 Juli 2016-Prodi Sosiologi FISH Unesa
agar pendapatan masyarakat meningkat, pengangguran menurun, kemiskinan
menurun dan pendapatan daerah juga meningkat.
3. Teknologi yang dimiliki rata-rata masih menggunakan teknologi yang
tradisional dengan alat yang sederhana dengan cara membuat sendiri dan
membeli di toko terdekat.
SIMPULAN
1. Desa Plumbon Gambang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai desa
wisata karena memiliki karakateristik produk unik, khas yaitu manik-manik
yang tidak ditemukan di daerah lain sehingga dapat memiliki daya saing tinggi.
Kekahasan dan keunikan produk yang dihasilkan sehingga dijadikan sebagai
produk unggulan dan ikon kota Jombang.
2. Produk manik-manik sudah mempunyai pasar yang bagus baik lokal, regional
maupun mancanegara dan masih banyak kemungkinan untuk dapat diperluas
lagi
3. Faktor pendukung yang lain adalah lokasi yang strategis, dekat jalan raya,
banyak obyek wisata, semakin berkembangnya industri dan banyaknya
pendidikan memberikan peluang untuk meningkatkan produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Arjana, Ida Bagus. Geografi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Huberman & Miles. 1990. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta. UIN
Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian
dari Laporan Konferensi Internasional mengenai Pariwisata
Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 2-3)
Undang Undang No.10 Tahun 2009. Bab II, pasal 4.
Pitana, 2002. Pariwisata, Wahana Pelestarian Kebudayaan dan Dinamika
Masyarakat Bali. Denpasar Bali. Universitas Udayana.
Pitana, 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Andi Offset. Yogyakarta.
Yoeti, Oka. 2008. Ekonomi Pariwisata: Intruduksi, Informasi dan Implementasi.
Jakarta: Kompas
top related