mengapa mereka berdoa kepada pohon - faisal oddang
Post on 25-Jul-2016
488 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
22/2/2016 Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?
http://print.kompas.com/baca/2016/02/21/MengapaMerekaBerdoakepadaPohon 1/5
CERPEN
Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?FAISAL ODDANG
Cetak | 21 Februari 2016
315 dibaca 1 komentar
Aku tumbuh menjadi pohon. Orangorang di kampung kami akan tetap percayabahkan jika harus didebat hingga mulut berbusa. Mereka mulai memercayainyasejak tahun 1947. Kini, pohon asam itu sudah besar dan semakin tua. Kirakiradapat diukur dengan lima orang dewasa melingkarkan lengan untuk mampumemeluk batangnya. Hampir setiap hari orang merubut di sana mengucapkan doayang ruparupa jenisnya lantas mengikatkan kain ruparupa warnanya dan berjanjimembuka ikatan itu setelah doa mereka terkabul. Jadi jangan heran ketika diranting, dahan, batang, atau tidak berlebihan jika kukatakan hampir semua bagianpohon penuh ikatan kain. Ada banyak doa di sana. Demi menjaga tubuhku, adapagar beton sedada manusia, berwarna hijau lumut, mengelilingi batang pohon.Para pedoalah yang membangunnya.
Ketika perang kembali pecah, awal 1947, yang orangorang temukan tentu saja bukanpohon asam, tetapi kirakira seperti ini: kami bergerombol digiring seperti kerbau. Kakitangan kami dikekangi tali dari pilinan daun pandan. Bedil Belanda menuntun denganmoncongnyadan sesekali mempercepat langkah kami dengan popor yang mendarat ditengkuk atau tulang kering. Kami tahu, beberapa saat lagi hidup kami akan direnggut satudemi satu.
Desember 1946 baru saja dimulai ketika sebuah kabar tiba di langgar tempatku setiap harimengajari anakanak mengaji. Aku memberi isyarat kepada Rahing; jangan sampai anakanak dengar, kataku memelankan suara sambil berdiri menuju belakang langgar yangkemudian disusulnya. Anakanak kuminta melanjutkan bacaannya, nanti Bapak kembali,
Karya Claudia Clara
22/2/2016 Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?
http://print.kompas.com/baca/2016/02/21/MengapaMerekaBerdoakepadaPohon 2/5
janjiku kepada mereka.
”Mereka tiba di Makassar,” suara Rahing tidak pernah secemas itu, ”pasukan tambahan,tambahannya banyak,” susulnya gemetar.
”Siapsiap saja,” kucoba setenang mungkin meski dadaku tentu saja kembali bergolak. DariMakassar baru saja kudengar kabar kalau mereka kembali ingin menguasai pusatpusatperlawanan di SulawesiSelatan, kabar itu tiba beberapa minggu sebelum Rahingmenyusulkan kabar tentang ketibaan pasukan khusus Depot Speciale TroepenDST, KNIL,yang mulai bergerak ke kampung kami ini; di Bacukikki, jantung Afdeling Parepare.
Bersama Rahing, bersama Laskar Andi Makassau lainnya, aku pernah berjuang sebelumkemerdekaandan ketika semuanya telah kami rebut, penjajah laknatullah itu kembali.Sebelum pulang, Rahing sempat menanyakan bagaimana langgar, bagaimana anakanak,dan sedikit mengeluh bahwa ia telah capek mengawal penduduk keluar masuk hutan. Akumenepuk pundaknya sebelum mengatakan: Insya Allah, semuanya akan baikbaik saja.
”Saya pamit, assalamualaikum, Ustad.”
Aku menjawab salam Rahing lantas memenuhi janji pada anakanak. Sayupsayupkudengar mereka mengeja hijaiah dengan bahasa Bugis yang membuat bola mataku terasahangat; yase'na lefue nakkeda a, yase'na lefue mallefa nakkeda aaa.... Aku mengenangbocah lima tahunku yang gugur lebih awaldan air mata tidak lagi bisa kucegah membuatlurik di pipiku.
Setelah kabar dari Rahingsusulmenyusul kabar tiba dari anggota laskar yang satu keanggota laskar yang lainnya. Seperti suara desingan peluru beberapa tahun lalu, kabar dukadari Makassar tak hentihentinya mendera. Kabar pertama tiba dari Borong dan Batua,keduanya diduga tempat berlindung pemberontakdan berbagai macam alasan tak masukakal lainnya. Setelah itu, disusul daerahdaerah lainnya, di Gowa dan Takalar, dan tentukabar buruk itu tiba tanpa pernah luput mengikutkan jumlah korban jiwa. Sebentar lagimereka menuju ke sini, begitu laporan salah satu anggota laskar pada suatu malam, dilanggar, ketika tidak ada lagi aktivitas mengaji sejak pemerintah Belanda mengeluarkansurat edaran dan pernyataan darurat perang.
”Anakanak, Bapak akan memanggil kalian lagi kalau waktu mengaji sudah tiba. Sekaranglibur jadi kalian belajar di rumah saja dulu, ya....”
Aku mengkhawatirkan mereka dan kecemasanku semakin menjadijadi dari hari ke hari.Seperti pelaut yang tak pernah berhenti mencemasi angin limbubu. Rapat kami gelar hampirsetiap malam, menjelang Isya, bahkan tak berujung hingga Subuh tiba, rapat bukan sekadarrapat sebenarnya; kami berjaga. Sebagai pimpinan Laskar Bacukikki yang berada di bawahLaskar Andi Makassau sebagai pusat perjuangan rakyat Parepare, akulah yang menyiapkantempat, dan selalu akulah yang memimpin rapat. Itu menjadi alasanku meminta anakanak
22/2/2016 Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?
http://print.kompas.com/baca/2016/02/21/MengapaMerekaBerdoakepadaPohon 3/5
mengaji di rumah mereka, selain karena tidak ingin membahayakannya.
”Kita harus sadar diri, Ustad.”
Hening yang lama, bahkan aku berhasil mendengar desah napasku sendiri. Masih hening,tidak ada yang menimpali apa yang Rahing maksudkan dengan sadar diri, tetapi kemudiania menjelaskan meski tak seorang pun yang meminta penjelasannya.
”Kita kalah jumlah, kalah senjata, kalah pokoknya....”
Jelas sekali, Rahing tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Ia baru saja menikah, akutahu karena aku yang menjadi penghulunya, aku juga tahu ia bukan mencemaskan dirinyasendiri. Ada istridan barangkali ada janin yang tengah ia khawatirkan. Hal itulah yangmembuatku hanya bisa diam dan sesekali mengangguk seperti tekukur mengantuk.Bayangan perjuangan sebelum kemerdekaan, bayangan Fatimah istriku, bocah limatahunku Akbar, dan ingataningatan lainnya kembali menghangatkan bola mataku. Teriakantolong Akbar, teriakan Allahu Akbar Fatimah, dan teriakan keduanya setelah granatmenghancurkan rumah panggung kami malam itu. Aku dituduh melatih anakanak menjadipemberontak hanya karena mengajari mereka mengajidan setelah kehilangan segalanya,aku benarbenar memutuskan memberontak, memimpin laskar dan berhasil meraihkemerdekaan. Ketika merasa semuanya telah selesai, aku mengumpulkan kembali anakanak, mereka kembali mengeja alifbata, dengan terbatadan lagilagi, kini harus berhenti.
Pertengahan Januari, sebulan setelah kabar dari Rahing, mereka menuju kampung kami.Waktu itu musim hujan baru saja tibatetapi tak ada yang berani menggarap sawah. Semuatakut meski beberapa yang lain memberanikan diri, termasuk aku. Matahari tidak akantenggelam selain di ujung langit, begitu pula hidup takkan berakhir selain oleh ajal. Akumeyakinkan diri berkalikali, menatap biasanku di cermin, mencaricari kalau sampai adaanggota tubuh yang hilang dalam biasan. Semuanya lengkap, dan begitulah orang Bugismeyakinkan diri sebelum berperang. Janggutku lebat, uban mulai tumbuh di sana, dirambutku juga, meski memang seharusnya lelaki lima puluhan wajar jika beruban. Matakusangat sayu dan tulang pipiku semakin menonjol, biasan juga menampakkan luka besar dipelipisku, bekas serpihan granat malam itu.
Ya Hayyu, Ya Qayyumwahai yang maha hidup, wahai yang maha berdiri sendiri, akumengucapkannya di dalam hati, berkalikali, sampai aku merasa benarbenar siap. Meskiberkalikali pula terhenti karena batukku yang semakin parah juga rutin mengeluarkan dahakdarah. Diriwayatkan, Rasulullah mengucapkannya berkalikali saat Perang Badar, saat taktidur semalaman menunggu orangorang Quraisy.
Pintu digedor keras oleh seseorang yang tampak buruburu. Benar saja, ketika kubuka,kutemukan Rahing tampak pucat sebelum terbatabata mengatakan bahwa Si Jagal DariTurki sudah di perbatasan dan berusaha ditahan oleh laskar, ia kemudian melanjutkannyadengan; saya harus amankan istri saya dulu, Ustad, maaf. Detik pertama setelah kalimatnya
22/2/2016 Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?
http://print.kompas.com/baca/2016/02/21/MengapaMerekaBerdoakepadaPohon 4/5
selesai, amarahku hampir memuncak. Egois sekali! Namun, sebuah kenangan memaksakutakluk, aku tidak ingin menyampirkan luka yang sama di pundak Rahing.
”Begitu selesai, gabunglah segera,” timpalku hampir berteriak menyusul langkahnya yangtergesagesa.
Aku menuju perbatasan bersama lebih kurang dua puluh anggota Laskar Bacukikki lainnyadi tengah deras hujan yang belum berhenti dari kemarin sore. Namun, seperti ajal yang takmampu kami tebak tibanya, keadaan berubah, pertahanan di perbatasan kalah, kamiterdesak masuk bersembunyi di rumahrumah penduduk. Hal itulah yang kusesali.Penduduk yang menampung kami waktu itu juga digiring seperti kerbau ke tengah lapanganketika sore hampir selesai. Tidak peduli perempuan dan anakanak, tidak peduli tua danmuda.
Kami berbaris di lapangan dengan lutut menumpu di tanah dan tangan kami dikekang kebelakang. Ratusan orang diam tanpa mampu mengelak apalagi melawan, dadaku sepertipendiangan menyadari semua itu. Seseorang yang tampak sebagai pemimpin DST menujukerumunan. Ia memerhatikan wajah kami satu per satu dalam remang, siapakah yangtengah ia cari? Aku bertanyatanya di dalam hati. Tatapannya dingin, ia tidak seperti yanglain; yang menyeringai penuh ejekan kepada kami. Wajahnya hampir tanpa ekspresi.Mungkin.., mungkin, dia yang Rahing sebut sebagai Si Jagal Dari Turki itu? Westerling yangdilaknat Allah? Dadaku semakin panas, namun aku kini seperti burung patah sayap patahparuh. Ia masih menyelidiki wajah kami satu per satu dengan diam. Tangannya memegangBrowning P35 yang sesekali ia gunakan ujungnya untuk mengangkat dagu jika ada darikami yang menunduk. Tibatiba pistol itu meletus, suaranya memekakkan telingaku dan baumesiu sontak menguar disusul tubuh perempuan rubuh di depanku.
Dia istri pemberontak! Hanya itu yang kutangkap dari bahasa Indonesianya yang kacaubalau lagi pelan. Suasana mulai ricuh, beberapa orang berusaha melarikan diri sebelumtubuh mereka jatuh menimpa tanah dengan darah yang bercampur air hujan. Puluhannyawa dicampakkan seketika, kurang dari lima menit. Ketika pasukanpasukan DST itukembali dapat menenangkan situasi, interogasi berlanjut dan bedil mereka mengantartubuhtubuh tak berdosa satu per satu menuju maut. Malam semakin larut ketika hujanbertambah deras, juga petir yang beberapa kali menyambar disertai badai. Hal itu membuatbeberapa DST kerepotan, dan tentu saja keadaan kembali ricuh. Di dalam gelap itulah,mereka menembaki kami tanpa iba. Teriakan dan erangan berganti saling sahut, aromaanyir darah menguar bersama mesiu. Besoknya, hujan reda dan ratusan mayatbergelimpangan di tengah lapangan, kecuali tubuhku yang hilang karena aku suci bagiorang di Bacukikki.
”Beginilah Ustad Syamsuri semasa hidupnya. Seperti pohon asam. Buahnya jadi bumbumasak, daunnya jadi sayur, rantingnya jadi kayu bakar, dan batangnya bisa jadi papan atautiang rumah.”
22/2/2016 Mengapa Mereka Berdoa kepada Pohon?
http://print.kompas.com/baca/2016/02/21/MengapaMerekaBerdoakepadaPohon 5/5
Air mata Rahing jatuh menyampaikan itu semua kepada warga yang merubut di tengahlapangan, menyaksikan pohon asam yang mulai tumbuh di sana beberapa bulan setelahDST angkat kaki dari Parepare.
”Sebaikbaiknya manusia adalah orang yang bermanfaat bagi sesamanya,” lanjut Rahingterisak, ”arwah Ustad Syamsuri di lapangan ini tumbuh jadi pohon asam, pohon yang penuhmanfaat. Tubuhnya naik ke langit. Menyesal aku tak syahid bersamanya. Mari berdoa untukbeliau. Alfatiha!”
Sejak hari itu orangorang berdatangan dan semakin rajin berdoa di sana, hingga sekarangpuluhan tahun kemudian. Padahal, malam itu aku berhasil melarikan diri ke OnderafdelingWajo dan meninggal di sana karena tuberkulosis yang tidak mampu lagi kulawan. Akumeninggal beberapa saat setelah Jenderal Simon Spoor sebagai pimpinan agresi militerBelanda menghentikan darurat perang di Sulawesi Selatan pada bulan kedua tahun 1947.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2016, di halaman 27 dengan judul "Mengapa MerekaBerdoa kepada Pohon?".
top related