makalah adm
Post on 24-Oct-2015
47 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Drs. AW. Widjaja: 1994 dalam buku Etika Administrasi Negara
Etika administrasi di kalangan pegawai negeri tertentu disebut dengankode
etik. Misal Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki kode etik KORPRI yang
disebut dengan Sapta Prasetya Korps Pegawai Republik Indonesia danDoktrin Korps
Pegawai Negara Indonesia.
Menurut Ginandjar Kartasasmita, Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Etika adalah dunianya filsafat, nilai,
dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat
abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik, dan buruk, sedangkan
administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan
(get thejob done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah
bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi
seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas dapat menjelaskan
etikadalam prakteknya, dan bagaimana gagasangagasan dasar etika mewujudkan yang
baik dan menghindari yang buruk itu dapat menjelaskan hakikat administrasi.
Menurut Cooper (dalam Frederickson,1997:160) Etika merupakandimensi
yang penting dalam administrasi negara . Etika dalam administrasinegara
adalah aplikasi dari prinsip-prinsip moral dalam perilaku pejabat pada sebuah
organisasi publik atau birokrasi. Pejabat negara menjalankan mandate
kepentingan publik sehingga dalam bertindak, membuat pernyataan, membuat
keputusan, semuanya harus mencerminkan nilai-nilai kepentingan
publik bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethes‖ berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-
peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan
kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan
dalam dirinya minta minta ditaati pula oleh orang lain. Aristoteles juga
memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi
Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal
dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saruperbuatan (lahir,
tingkah laku), Kemudian perkataan Mores tumbuh danberkembang menjadi
Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akankesusilaan1. Dengan
demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yangsama dengan Etika atau
sebaliknya, dimana kita berbicara tentang EtikaBirokrasi tidak terlepas dari
moralitas aparat Birokrasi penyelenggarapemerintahan itu sendiri.
Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari pada ilmu
pengetahuan(cognitive) bukan pada efektif. Moralitas berkaitan pula dengan
jiwa danseamangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan
denganmasyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya
tidak ada masyarakat tanpa moral, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif
dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal
yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam
kontak sosial dengan masyarakat, ini berarti Etika tidak hanya sebatas
moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu
menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani
masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis
atau tidak.Menurut Drs.Haryanto, MA. Bahwa Etika merupakan instrumen
dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu
menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti Etika
merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perulaku seseorang dalam
bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada
dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral. Dari beberapa
pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita
bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian
masyarakat setempat, jadi dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan
normative yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan
landasan normative tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam
Organisasi Birokrasi disebut sebagai Etika Birokrasi.
Etika adalah perilaku manusia yang mampu membedakan baik dan buruk
setelah diadopsi dan diadaptasikan dalam kehidupan masyarakat, tata susila
(kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) yang ada dalam keluarga,
masyarakat, organisasi, pemerintahan, bangsa dan Negara, serta nilai-nilai,
norma-norma, kaidah yg berada dalam masy dan agama. Etika berupa etika
umum (etika sosial) danetika khusus (etika politik/ETIKA PEMIMPIN, etika
pemerintahan, etika administrasi negara, dst) dikenal dengan etika
professional atau kompetensi, misalkan kode etik : kedokteran, pers,
pendidik/dosen, akuntansi, hakim, pengacara, adminstrator publik, etika
kepemimpinan, dan lain-lain. Pada tulisan makalah ini akan di bahas tentang
etika administrasi publik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dari penulisanmakalah
ini, yaitu :
1. Bagaimana sejarah etika pelayanan publik ?
2. Bagaimana definisi etika pelayanan publik ?
3. Bagaimana pentingnya etika pelayanan publik ?
4. Bagaimana etika pelayanan publik indonesia ?
5. Apa faktor penyebab lemahnya etika pelayanan ?
6. Publik Bagaimana Prinsip etika pelayanan menurut ASPA ?
7. Apa faktor pendukung etika pelayanan publik ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Etika Pelayanan Umum
Pemikiran tentang etika kaitannya dengan pelayanan publik
mengalamiperkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam
Keban, 1994:50-51). Leys berpendapat: “ bahwa seorang administrator
dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard
yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan
keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada‖.
Kemudian Tahun 1950-an,muncul perkembangan pemikiran baru. Hal ini
terlihat dalam karya Anderson (dalam Keban, 1994: 51) menyempurnakan
aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya
Anderson menambah suatu point baru, bahwa standard-standard yang
digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan
nilai-nilai dasar dari masyarakat yangdilayani. Pada tahun 1960-an, muncul
lagi pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994: 51)
menambah elemen baru yaitu standar etika mungkin mengalami perubahan
dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami
perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Pada permulaan tahun 1970-an, beberapa tulisan merefleksikan
kecenderungan baru, tulisan Hart (dalam Keban, 1994) mempromosikan
nilai-nilai social equity sebagai pedoman dasar administrasi negara, dan
menyarankan teori keadilan dan rawls sebagai pedoman etika bagi
masyarakat maupun administrator sebagai individu. Kecenderungan baru
juga terlihat pada tulisan Henry (dalam Keban, 1994) yang menekankan
tanggung jawabatau keharusan administrator publik untuk memperhatikan
aspek etika, dan tidak hanya melekat pada aspek efesiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi. Menurut Henry, teori rawls tentang justice al
fanicres sangat bermanfaat untuk dipertimbangkan dalam praktek
administrasi negara. Dengan demikian aspek yang ditambahkan dalam
permulaan tahun 1970-an ini adalah aspek keadilan dan tanggung jawab.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat
mempengaruhi etika administrator publik, dua diantaranya adalah John
Rohrdan Terry L. Cooper. Rohr (dalam Keban, 1994: 51-52) menyarankan
agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai
keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan
terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-
tugasnya. Dengan cara demikian, administrator negara dapat menjadi etis
(being ethical). Namun, menurut Cooper (dalam Keban,1994: 51) etika
sangat melibatkan sub stantive reasoning tentang kewajiban, konsekwensi
dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan
pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-
pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper menunjukkan
administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada
tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan
standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
B. Definisi Etika Pelayanan Publik
Etika dalam konteks birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan
norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada
masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan
pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan
kepentingan masyarakat luas. Oleh karena etika mempersoalkan “baik-
buruk” dan bukan “benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku
manusia dalam berhubungan dengan sesamanya baik dalam masyarakat
maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam
praktek administrasi negara.
Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan
pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam
rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung
maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan
jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan
pasar. Konsepini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil
diberikan melaluisuatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini
dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan,
pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb.
Sedangkan dalam arti yang luas konsep pelayanan publik (public service)
identik dengan publik administration yaitu berkorban atas nama orang lain
dalam mencapai kepentingan publik (Perry, 1989). Dalam konteks ini
pelayanan publik lebih di titik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen
administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses
manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan
publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung
jawab.
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi
studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan
penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Kumorotomo mendefinisikan etika pelayanan publik sebagai suatu cara
dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang
mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur
tingkah laku manusia yang dianggap baik.
Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat, etika adalah teori
tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk,
sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
C. Pentingnya Etika Pelayanan Publik
Kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan
politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tersebut
merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun, administrasi negara
dalam menjalankan kebijakan politik tersebut memiliki kewenangan secara
umum disebut “discretionary power”, yaitu keleluasaan untuk menafsirkan
suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul
suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin
kewenangan itu digunakan secara “baik dan tidak secara buruk”. Atas dasar
itulah etika diperlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan
pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat
birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan
sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam
menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Beberapa pandangan yang mendukung arti pentingnya etika dalam
etikaadministrasi negara seperti dikutip dari buku karangan
Kartasasmitaterbitan tahun 1977 sebagai berikut: “Birokrasi melenceng dari
keadaan yang seharusnya. Birokrasi selalu di lihat sebagai masalah teknis
dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam
bekerjanya birokrasi publik”. Birokrasi sebagai bentuk organisasi yang
ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-
norma, nila-nilai dan etika yang berpusat pada manusia.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi
merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan
abdi negara. Sehingga maksud dari publik servis tersebut demi
mensejahterakan masyarakat. Kaitan dengan tersebut Widodo (2001: 269)
mengartikan, pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan
padaorganisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan.
Sehubungan dengan itu, dikemukakan Thoha (1988: 119) kondisi
masyarakat terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat
kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan indikasi dari
empowering yang di alami oleh masyarakat. Hal ini, berarti masyarakat
semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai
warganegara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan
aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin
berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh
pemerintah.
Dengan kondisi masyarakat semakin kritis, birokrasi publik dituntut
mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik.
Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani,
dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaburatis dan dialogis, dan dari
cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis
(Thoha, 1988: 119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan tersebut, aparat
birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih professional,
efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsive,
adaftif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti
meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif
menentukan masadepannya sendiri (Effendi, 1986: 213).
D. Etika Pelayanan Publik Indonesia
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga
macampelayanan yaitu :
1. Pelayanan dengan lisan
2. Pelayanan melalui tulisan
3. Pelayanan dengan perbuatan
Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat
selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi
pelayanan tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah. Faktor utama
dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika
sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi
kepada kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan
dan kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggung
jawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan) demi kepentingan
masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia,pelanggaran
moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu
(pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas
kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur,
formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan
tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan
kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber
daya manusia, informasi, dsb.) yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat
tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga
tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada
masyarakat.
Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika
agartidak adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang
sewajarnya adakini sudah mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari
pihak aparatur negara.
Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah :
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada
pengguna jasa, terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para
aparatur berkesempatan untuk mendapatkan uang lebih dari tawarannya
yang menguntungkan, misalkan dapat menyelesaikan pembuatan KTP
dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha yang
dilakukannya.
2. Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada
pengguna jasa. Sikap semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur
terkesan seperti merajai atau menggurui, meskipun dengan orang yang
lebih tua. Sikap tersebut dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia
rasakan sebagai derajat yang paling tingggi, meski sebenarnya dia tahu
bahwa dia merupakan pelayan bagi masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau
mejanya kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan.
Adanya ‘Bolos‘ kerja yang dilakukan aparatur membuat masyarakat
merasa dirugikan, tak jarang masyarakat yang ingin meminta bantuan
jasa merupakan masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah
sampai ditempat pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada
ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu
tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya
tidak boleh dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya
kekacauan dalam pekerjaan terhadap mayarakat. Jika pelayan
masyarakat terlalutunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan
untuk melayani masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih
menjadi pelayan pimpinan daripada pelayan masyarakat.
5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.
Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang
profesional, pelayanan publik yang professional adalah pelayanan publik
yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi
layanan yaitu aparatur pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271). Ciri-cirinya
yaitu :
1. Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi
tujuandan sasaran.
2. Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan di
selenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah
dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta
pelayanan.
3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanyakejelasan
dan kepastian mengenai :
Prosedur tata cara pelayanan
Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan
administratif
Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
dalam memberikan pelayanan
Rincian biaya/tartif pelayanan dan tata cara pembayarannya
Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tatacara persyaratan, satuan
kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu
penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar
mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupuntidak.
5. Efisiensi mengandung arti :
Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitanlangsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetapmemperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang
berkaitan
Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketepatan waktu kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan.
7. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapiapa
yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang
dilayani.
8. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadituntutan,
keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yangsenantiasa
mengalami tumbuh kembang.
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang
dapatdigunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi
publik dalammelaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni:
a. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan
perbuatanbirokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak
boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana publik
( public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang
sebesar-besarnyabagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap
anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi.
Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip ”janganlah bertanya apa
yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat
saudara berikan kepada organisasi”.
b. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan
supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan
mana milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan
untuk kepentingan pribadi.
c. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan
hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama
antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif
diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya
hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur
perasaan dari padaunsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang
salah harus diberitindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat
penghargaan.
d. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi
pegawai, hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam
penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas
kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman
(experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang
bersangkutan cakap danprofesional dalam menjalankan tugas dan
tanggung jawab, dan bukan “spoil system”.
e. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggung jawaban birokrasi
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut
Friedrich dalam Darwin (1988), responsibilitas merupakan konsep
berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang
dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya.
Untuk bias menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang administrator
harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif atau
teknis, dan bukanpolitis. Disamping itu, pertanggung jawaban
administratif menuntut administrator harus bertindak berdasarkan
moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak
membedakan client, peka terhadapketimpangan yang terjadi dalam
masyarakat, atau memegang teguh kodeetik sebagai pelayan publik.
Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan
mampu memberikan layanan publik yangbaik dan profesional.
f. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu
istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal.Sedangkan
Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable
merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang
menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya
akuntabilitas ini disebut tanggung jawab yang bersifat objektif, sebab
birokrasi dikatakan accountable bila mana mereka dinilai objektif oleh
orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggung
jawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada
pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimilikiitu berasal.
Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka
mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang
profesional dan dapat memberikan kepuasan publik)
g. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi
publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan
aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi
tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka
menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau
mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan
demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai
memiliki responsif (dayatanggap) yang tinggi terhadap tuntutan,
masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
E. Faktor Penyebab Lemahnya Etika Pelayanan Publik.
Lemahnya etika pelayanan terhadap masyarakat disebabkan
olehbeberapa faktor, antara lain :
1. Gaji rendah (56%),
2. Sikap mental aparat pemerintah (46%),
3. Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%),
4. Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan (48%),
5. Lain-lain (13%).
Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda dari
responden (Smith).
F. Prinsip Etika Pelayanan Menurut ASPA
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode
etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration)
yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta
penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan
perilaku paraanggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran,
ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap,
mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja
profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas, dedikasi,kasih sayang, penggunaan keleluasaan
untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang
sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program
affirmative action.
Adapun bentuk dari Etika administrasi negara menurut Americansociety
for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi
Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan.
2. Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam
pelayananpublik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila
hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari
cara terbaik untuk memberi pelayanan publik
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi
administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek
yang merugikan tidak dapat ditolerir
5. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, di
implementasikan dan dipromosikan
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak
dapat dibenarkan
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif
harusdipromosikan
8. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih
alternatif keputusan
9. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari
kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.
Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode etikayang
memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dandijalankan
oleh para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara,yaitu
sebagai berikut :
1. Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak pribadi,
kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar
supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap
pranata-pranata negara
2. Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam
pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi
3. Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja
menurut penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang
tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada
penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat terhadap orang-orang
yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat
4. Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah
pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau
merekaberada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggung jawab
untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah
penggunaan yang demikian
5. Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan
tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah
di atas pelayanan terhadap diri sendiri
6. Berjuang kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan
menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang
berusaha memasuki bidang administrasi negara
7. Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan
suatu sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata
hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih
8. Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak
istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban
resmi
9. Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut
hukum untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat
10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab
untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-
permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat dengan
kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan
daya guna
11. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha
untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara
bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan
diantara badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah,
dan semuawarga negara.
G. Faktor Pendukung Etika Pelayanan Publik
Proses pelayanan publik agar dapat mencapai sasaran yang
diinginkan,tentunya harus didukung oleh unsur-unsur yang terkait, yang
merupakanfaktor pendukung dari proses pelayanan tersebut. Faktor-faktor
pendukungyang tidak baik, akan dapat menghambat pelayanan itu sendiri.
Adapun faktor-faktor pendukung proses pelayanan yang
semestinyaselalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah :
1. Faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam
pelayanan
2. Faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan
3. Faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang
memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan
4. Faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum
5. Faktor ketrampilan petugas
6. Faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan.
Adanya dukungan dari faktor-faktor yang telah dijabarkan, makadalam
pelayanan publik tentunya diharapkan dapat memenuhi harapan yang
didambakan oleh setiap orang yang membutuhkan pelayanan. Dambaan itu
diantaranya adalah :
1. Kemudahan dalam pengurusan kepentingan
2. Mendapatkan pelayanan yang wajar
3. Mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih
4. Mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang
Pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada
manajemenmaupun masyarakat, tentunya akan muncul suatu dampak yang
positif dimasyarakat yaitu :
1. Masyarakat menghargai korps pegawai
2. Masyarakat patuh terhadap aturan-aturan pelayanan
3. Masyarakat bangga terhadap korps pegawai
4. Ada kegairahan usaha dalam masyarakat
5. Ada peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat menuju
segeratercapainya masyarakat adil dan makmur
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia,
ditambahkompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang
diperlukan lebihbanyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan,
pelayanan melaluitulisan dan pelayanan dengan perbuatan. Apalagi
pelayanan publik padasebuah kantor pemerintahan. Disamping itu pola
pelayanan lain yangdiharapkan dalam etika pelayanan publik adalah
pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang
mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan
karena kebenaran yang adadalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat
atau konsekuensi dari keputusanyang diambil. Dengan pelayanan seperti ini
diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk
mengupayakan agar sebuah kebijakanmenjadi karakter masyarakat. Bila hal
ini melembaga dalam diri pejabatpublik dan masyarakat, maka birokrasi
patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan
negara dan masyarakat, misalnya korupsi,kolusi, dan nepotisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang
sangatdiharapkan, karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan
parapelayan masyarakat (aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung
kode etikapelayanan kepada masyarakat. Terbukti dengan adanya perbuatan
nakal paraoknum aparatur pemerintah yang melakukan beberapa
kecurangan yangdiantaranya melakukan pemungutan kepada masyarakat
yang menginginkankelebihan pelayanan, seperti mempercepat penyelesaian
pembuatan KTPnamun dengan cara membayar uang balas jasa mereka.
Perbuatan tersebuttidak seharusnya dilakukan karena bertentangan dengan
norma yang sudahada.
Walau mungkin etika pelayanan kepada publik belum disebutkansecara
jelas, namun etika pelayanan publik dapat dilakukan sesuai dengan
hatinurani. Karena dengan hati nurani kita dapat membedakan yang mana
yangbaik dan yang mana yang buruk, dengan adanya pelayanan yang
baik diharapkan masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam
pelayanan.
B. Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya di sosialisasikan kepada pihak-
pihak yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar
pelayan masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat.
Sebagian mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya
tindakan untuk melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan
dalam melakukan pelayanan atas ke tidaktahuannya. Sangat disayangkan
jika kesalahan dalam pelayanan dilakukan karena kebutaan akan
bagaimanan seharusnya etika yang diterapkan kepada masyarakat.
Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan
tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah sanksi yang tegas kepada
pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan dengan sengaja.
Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan masyarakat
termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga
tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Etika Pelayanan Umum ........................................ 5
B. Definisi Etika Pelayanan Publik ......................................... 7
C. Pentingnya Etika Pelayanan Publik ................................... 9
D. Etika Pelayanan Publik Indonesia ..................................... 11
E. Faktor Penyebab Lemahnya Etika Pelayanan Publik ..... 19
F. Prinsip Etika Pelayanan Menurut ASPA .......................... 19
G. Faktor Pendukung Etika Pelayanan Publik ...................... 23
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 26
B. Saran ..................................................................................... 27
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas tentang “ Menganalisis
Etika Dalam Kebijakan Publik “.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.
Unaaha, November 2013
Penulis
Makalah
STRATEGI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
“ Menganalisis Etika Dalam Kebijakan Publik “
Kelompok IV :
JIANSYAHVERISMITRASUSRINDACICI AMINA HARDIATIKALVINTRI WIJAYANTO
210 101 020210 101210 101210 101210 101210 101210 101
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS LAKIDENDE
2013
top related