laporan prak. maserasi
Post on 14-Aug-2015
565 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
I. TUJUAN
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip maserasi dan kolom kromatografi.
II. DASAR TEORI
Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder dari
tanaman Zingiberaceae, khususnya Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma
xanthorhiza (temulawak). Kurkumin tergolong senyawa diarilheptonoid turunan
metana tersubstitusi dua asam farulat (diacu sebagai diferuloil metan) dengan
rumus molekul C21H20O6 dan berat molekul 368,126 serta titik lebur 183°C.
Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aceton.
Degradasi yang terjadi bila kurkumin berada pada lingkungan pH 8,5 – 10,0
dalam waktu yang relatif lama (Kristina dkk.,2010).
Gambar 1. Struktur Kimia Kurkumin (Kristina dkk., 2010)
Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana dan banyak
digunakan untuk menyari bahan obat yang berupa serbuk simplisia halus
(Voight,1994). Teknik penyarian dengan metode maserasi dilakukan dengan
merendam simplisia dengan cairan penyari tertentu. Karena perbedaaan
konsentrasi di luar dan di dalam sel, cairan penyari akan menembus dinding sel
dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut
dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di
luar sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa ini terjadi berulang
sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam
sel (Depkes RI, 1986). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang
mengandung zat aktif yang larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat
yang mudah mengembang dalam cairan penyari (Depkes RI, 1986). Cairan
penyari yang biasa digunakan untuk maserasi adalah pelarut yang bersifat non
polar, semipolar dan polar. Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan
1
bentuk dan faktor cairan penyari yang baik. Penyari harus memenuhi kriteria,
yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral,
tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif (hanya menarik zat
berkhasiat yang dikehendaki) dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Depkes RI,
1986). Pada maserasi, sejauh mungkin dihindari penggunaan logam berat tanpa
lapisan karena dapat membentuk senyawa kompleks dengan kandungan kimia
tanaman yang mempunyai gugus ortohidroksi atau hidroksikarbonil dalam
molekulnya, misalnya flavonoid, antosianin, tanin dan senyawa fenol lain (Depkes
RI, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan
dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara
maserasi adalah pengerjaan yang lama dan penyariannya kurang sempurna
(Depkes RI, 1986). Proses maserasi selesai bila keseimbangan antara bahan yang
diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan telah
tercapai maka proses difusi segera berakhir. Semakin besar perbandingan
simplisia terhadap cairan pengekstraksi akan semakin banyak hasil yang diperoleh
(Voight, 1994). Pada penyarian dengan maserasi perlu dilakukan pengadukan
untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga
dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaaan konsentrasi
yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan di luar sel (Depkes RI,
1986).
Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa
pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung
logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fasa gerak) dibiarkan mengalir melalui
kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong oleh tekanan.
Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah
dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas kolom (Gritter,R.J,1991).
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam pengerjaan metode ini antara lain
mengenai pemilihan jenis pelarut, adsorben, rancangan alat, dan sifat bahan yang
akan dianalisis (Kusmardiyani dkk., 1992). Pengisian kolom harus dikerjakan
dengan seragam. Setelah adsorben dimasukkan dapat diseragamkan kepadatannya
dalam kolom dengan menggunakan vibrator atau dengan plunger (pemadat).
2
Selain itu dapat juga dikerjakan dengan memasukkan adsorben dalam bentuk
larutan (slurry) dan partikelnya dibiarkan mengendap. Pengisian kolom yang tidak
seragam akan menghasilkan rongga-rongga di tengah-tengah kolom. Cara untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan mengadakan back fushing , sehingga terjadi
pengadukan, yang seterusnya dibiarkan lagi mengendap. Pada bagian bawah
(dasar) dan atas dari isian kolom diberi wol kaca (glass wool) atau sintered glass
disc untuk menyangga isian. Bila kolom telah diberi bahan isian, permukaan
cairan tidak boleh dibiarkan turun di bawah permukaan bahan isian bagian atas,
karena akan memberikan peluang masuknya gelembung udara masuk ke kolom
(Adnan,M., 1997).
Cadangan zat pelarut
Pelarut (fase mobil)Isian kolom(fase stasioner)
Wol kaca
Penampung Eluat
Gambar 2. Alat Kromatograi Kolom (Eni Hayani, 2007)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan secara fisiko
kimia yang menggunakan media pemisahan berupa lapisan tipis adsorben yang
seragam. Prinsip kerjanya memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran
antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya
menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan
dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Data yang diperoleh dari KLT adalah
nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni
dapat dibandingkan dengan nilai Rf senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal (Pramseti, 2010).
3
III. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
- Alat – Alat Gelas - Kertas Saring
- Batang Pengaduk - Kolom Kromatografi
- Chamber - Toples Kaca
- Cawan Porselin - Spektrofotometri UV
- Batang Bambu
- Sarung Tangan
- Masker
- Botol Vial yang sudah dikalibrasi dengan volum 5 mL dan diberi
nomor I-V
B. Bahan
- Serbuk Kunyit - N-hexana
- Etanol 96% - Kloroform
- Silika Gel - Plat KLT
IV. PROSEDUR KERJA
A. Pembuatan Ekstrak Curcumae domesticate rhizomae
Ditimbang 10 gram serbuk kering Curcumae domesticae rhizoma
Dimasukkan dalam wadah (toples kaca) terlindung cahaya
Ditambah dengan 100 ml etanol 96%
Ditutup dan diamkan selama 5 hari sambil berulang diaduk
(setiap 1 hari sekali)
Setelah 5 hari sari disaring, ampas diperas
4
Ampas ditambah 25 ml etanol 96%, diaduk dan dibiarkan 2 hari lalu
disaring
Ekstrak yang diperoleh diuapkan di atas water bath menggunakan
cawan porselin (yang sudah ditimbang sebelum digunakan) sampai
didapat ekstrak kental
Ditimbang cawan porselin yang berisi ekstrak kental dan dihitung
ekstrak kental yang diperoleh
B. Pemisahan dengan Kolom Kromatografi
Pembuatan Kolom Kromatografi
Disiapkan Eluen (N-hexana : kloroform : etanol 96% = 45: 45 :10)
Dimasukkan silika gel ke dalam kolom setinggi 15 cm dengan diameter
1 cm yang telah dialasi dengan glass wool
Dituangkan ke dalam beker glass (yang sebelumnya telah ditimbang
terlebih dahulu), untuk mengetahui bobot silika gel yang digunakan
Ditambahkan eluen sambil diaduk sampai terbentuk campuran
seperti bubur
Bubur silika dimasukkan sedikit demi sedikit dengan pipet ke dalam
kolom. Hati-hati jangan sampai terbentuk gelembung /rongga
Kolom disimpan selama 1-2 hari sebelum siap digunakan
5
Pengisian Cuplikan / Sampel ke dalam Kolom
Ekstrak kental yang diperoleh ditambahkan 10 ml etanol 96%
Dimasukkan ke dalam kolom kromatografi sedikit demi sedikit
melalui dinding
Wadah ekstrak dibilas dengan sedikit eluen, lalu dituangkan
kembali ke kolom
Dibiarkan cairan mengalir ke bawah sampai terserap semua
Pemisahan
Kolom dielusi dengan eluen sampai keluar eluatnya diatur kecepatan
elusi kurang lebih 1 ml per 5 menit
Eluat ditampung dalam 5 vial sampai tanda batas (sebanyak 5 ml)
Eluat dipekatkan sampai setengah volum
C. Identifikasi Curcumin dengan KLT
Semua fraksi yang telah dipekatkan ditotolkan sebanyak 10µL pada plat
KLT silika gel GF254 yang telah dicuci dengan metanol dan diaktivasi
pada suhu 110° selama 30 menit
Dimasukkan plat KLT ke dalam chamber dan dielusi sampai jarak
pengembangan 1 cm dari tepi atas
6
Plat diangin-anginkan selama 10 menit
Diamati di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan
366 nm
Ditandai spot/noda dan dihitung Rf masing-masing spot serta
ditentukan spot yang diduga curcumin
V. HASIL
a. Bobot serbuk kunyit : 10,0017 gram
b. Volume etanol 96% yang digunakan untuk maserasi : 100 ml
c. Lama proses maserasi :
d. Bobot ekstrak kental : 1,0929 gram
Tabel Bahan Untuk Maserasi
No.Bahan
Jumlah
1.Serbuk kunyit
10,0017 gram
2.Etanol 96% untuk maserasi
100 ml
3.Etanol 96% untuk remaserasi
25 ml
4.Bobot cawan porselin
67,8326 gram
5.Bobot cawan + ekstrak kental
68,9255 gram
6.Ekstrak kental
1,0929 gram
Tabel Bahan Untuk Kromatografi Kolom
No.Bahan
Jumlah
1.Bobot cawan porselin
60,9035 gram
7
2.Bobot cawan + silika gel
75,1941 gram
3.Silika gel
14, 2906 gram
7.N-hexana
45 ml
8.Kloroform
45 ml
9.Etanol 96%
10 ml
Pembuatan eluen 100 ml untuk kromatografi kolom
N-hexana : kloroform : etanol 96%
45 : 45 : 10
Perhitungan
N-hexana = 45
100x100 ml = 45 ml
Kloroform = 45
100x100 ml = 45 ml
Etanol 96% = 10
100x100 ml = 10 ml
Tabel Bahan Untuk Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
No.Bahan
Jumlah
1.N-hexana
9 ml
2.Kloroform
9 ml
3.Etanol 96%
2 ml
Pembuatan eluen 20 ml untuk kromatografi lapis tipis
N-hexana : kloroform : etanol 96%
45 : 45 : 10
Perhitungan
N-hexana = 45
100x20 ml = 9 ml
8
Kloroform = 45
100x20 ml = 9 ml
Etanol 96% = 10
100x20 ml = 2 ml
e. Tabel Rf dan warna spot curcumin :
Fraksi I
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,35 35 Hijau
terangDes. 0,34 34 Kuning
pudarBis.
2. 0,42 42 Kuning kecoklatan
Kur. 0,41 41 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,52 52 Coklat kemerahan
- 0,52 52 Kuning-jingga
-
Fraksi II
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,32 32 Hijau
terangBis. 0,31 31 Kuning
pudarBis.
2. 0,39 39 Kuning kecoklatan
Des. 0,45 45 Agak kekuningan
Kur.
3. 0,5 50 Coklat kemerahan
- 0,5 50 Kuning-jingga
-
Fraksi III
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,32 32 Hijau
terangBis. 0,32 32 Kuning
pudarBis.
2. 0,39 39 Kuning kecoklatan
Des. 0,39 39 Agak kekuningan
Des.
3. 0,48 48 Coklat kemerahan
- 0,48 48 Kuning-jingga
-
9
Fraksi IV
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,33 33 Hijau
terangBis. 0,33 33 Kuning
pudarBis.
2. 0,4 40 Kuning kecoklatan
Kur. 0,4 40 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,5 50 Coklat kemeraha
n
- 0,48 48 Kuning-jingga
-
Fraksi V
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,33 33 Hijau
terangBis. 0,33 33 Kuning
pudarbis.
2. 0,4 40 Kuning kecoklatan
Kur. 0,4 40 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,48 48 Coklat kemeraha
n
- 0,48 48 Kuning-jingga
-
Fraksi VI
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,34 34 Hijau
terangBis. 0,34 34 Kuning
pudarBis.
2. 0,4 40 Kuning kecoklatan
Kur. 0,4 40 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,48 48 Coklat kemeraha
n
- 0,48 48 Kuning-jingga
-
Fraksi VII
10
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,34 34 Hijau
terangBis. 0,34 34 Kuning
pudarBis.
2. 0,4 40 Kuning kecoklatan
Kur. 0,4 40 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,5 50 Coklat kemeraha
n
- 0,49 49 Kuning-jingga
-
Fraksi VIII
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,32 32 Hijau
terangBis. 0,32 32 Kuning
pudarBis.
2. 0,41 41 Kuning kecoklatan
Kur. 0,4 40 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,5 50 Coklat kemeraha
n
- 0,5 50 Kuning-jingga
-
Fraksi IX
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,34 34 Hijau
terangBis. 0,35 35 Kuning
pudarDes.
2. 0,42 42 Kuning kecoklatan
Kur. 0,41 41 Agak kekuninga
n
Kur.
3. 0,52 52 Coklat kemeraha
n
- 0,51 51 Kuning-jingga
-
Fraksi X
11
SpotDi bawah UV 366 nm Di bawah sinar matahari
Rf hRf Warna Ket. Rf hRf Warna Ket.1. 0,46 46 Hijau
terang- 0,48 48 Kuning
pudar-
2. 0,55 55 Kuning kecoklatan
- 0,55 55 Agak kekuninga
n
-
3. 0,64 64 Coklat kemerahan
- 0,65 65 Kuning-jingga
-
Keterangan :
Bis : Bisdesmetoksikurkumin
Des : Desmetoksikurkumin
Kur : Kurkumin
VI. PERHITUNGAN
Perhitungan Rf dan hRf masing-masing spot
Rf = jarak yangditempuh senyawa dari titik asaljarak yangditempuh pelarut darititik asal
hRf = Harga Rf x 100
4.1. Pada pengamatan di bawah sinar UV 366 nm
Fraksi I
Spot 1
Rf = 2,8 cm8cm
= 0,35 hRf = 0,35 x 100 = 35
Spot 2
Rf = 3,4 cm8 cm
= 0,42 hRf = 0,42 x 100 = 42
Spot 3
12
Rf = 4,2 cm8 cm
= 0,52 hRf = 0,52 x 100 = 52
Fraksi II
Spot 1
Rf = 2,6cm8cm
= 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32
Spot 2
Rf = 3,15 cm
8 cm = 0,39 hRf = 0,39 x 100 = 39
Spot 3
Rf = 4 cm8 cm
= 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50
Fraksi III
Spot 1
Rf = 2,6 cm8 cm
= 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32
Spot 2
Rf = 3,15 cm
8cm = 0,39 hRf = 0,39 x 100 = 39
Spot 3
Rf = 3,9 cm8 cm
= 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Fraksi IV
Spot 1
Rf = 2,7cm8cm
= 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33
Spot 2
Rf = 3,2 cm8 cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 4 cm8 cm
= 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50
Fraksi V
13
Spot 1
Rf = 2,65 cm
8 cm = 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33
Spot 2
Rf = 3,2 cm8cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 3,9 cm8 cm
= 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Fraksi VI
Spot 1
Rf = 2,7cm8cm
= 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34
Spot 2
Rf = 3,2 cm8 cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 3,85 cm
8cm = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Fraksi VII
Spot 1
Rf = 2,7 cm8 cm
= 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34
Spot 2
Rf = 3,2 cm8cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 4 cm8 cm
= 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50
Fraksi VIII
Spot 1
Rf = 2,6cm8cm
= 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32
Spot 2
14
Rf = 3,3 cm8 cm
= 0,41 hRf = 0,41 x 100 = 41
Spot 3
Rf = 4 cm8 cm
= 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50
Fraksi IX
Spot 1
Rf = 2,75 cm
8 cm = 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34
Spot 2
Rf = 3,4 cm8cm
= 0,42 hRf = 0,42 x 100 = 42
Spot 3
Rf = 4,2 cm8 cm
= 0,52 hRf = 0,52 x 100 = 52
Fraksi X
Spot 1
Rf = 3,75 cm
8cm = 0,46 hRf = 0,46 x 100 = 46
Spot 2
Rf = 4,4 cm8 cm
= 0,55 hRf = 0,55 x 100 = 55
Spot 3
Rf = 5,15 cm
8cm = 0,64 hRf = 0,64 x 100 = 64
4.2. Pada pengamatan di bawah sinar matahari
Fraksi I
Spot 1
Rf = 2,75 cm
8 cm = 0,34 hRf = 0,35 x 100 = 35
Spot 2
Rf = 3,3 cm8cm
= 0,41 hRf = 0,42 x 100 = 42
15
Spot 3
Rf = 4,2 cm8 cm
= 0,52 hRf = 0,52 x 100 = 52
Fraksi II
Spot 1
Rf = 2,5 cm8cm
= 0,31 hRf = 0,31 x 100 = 31
Spot 2
Rf = 3,6 cm8 cm
= 0,45 hRf = 0,45 x 100 = 45
Spot 3
Rf = 4 cm8 cm
= 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50
Fraksi III
Spot 1
Rf = 2,6 cm8 cm
= 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32
Spot 2
Rf = 3,15 cm
8cm = 0,39 hRf = 0,39 x 100 = 39
Spot 3
Rf = 3,9 cm8 cm
= 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Fraksi IV
Spot 1
Rf = 2,7cm8cm
= 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33
Spot 2
Rf = 3,2 cm8 cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
16
Rf = 3,9 cm8 cm
= 0,48 hRf = 0,5 x 100 = 48
Fraksi V
Spot 1
Rf = 2,65 cm
8cm = 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33
Spot 2
Rf = 3,2 cm8 cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 3,9 cm8cm
= 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Fraksi VI
Spot 1
Rf = 2,7 cm8 cm
= 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34
Spot 2
Rf = 3,2 cm8cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 3,85 cm
8 cm = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Fraksi VII
Spot 1
Rf = 2,7cm8cm
= 0,34 hRf = 0,27 x 100 = 34
Spot 2
Rf = 3,2 cm8 cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 3,95 cm
8cm = 0,49 hRf = 0,49 x 100 = 49
Fraksi VIII
17
Spot 1
Rf = 2,6 cm8 cm
= 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32
Spot 2
Rf = 3,2 cm8cm
= 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40
Spot 3
Rf = 4 cm8 cm
= 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50
Fraksi IX
Spot 1
Rf = 2,8 cm8cm
= 0,35 hRf = 0,35 x 100 = 35
Spot 2
Rf = 3,3 cm8 cm
= 0,41 hRf = 0,41 x 100 = 41
Spot 3
Rf = 4,1 cm8cm
= 0,51 hRf = 0,51 x 100 = 51
Fraksi X
Spot 1
Rf = 3,8 cm8 cm
= 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48
Spot 2
Rf = 4,4 cm8cm
= 0,55 hRf = 0,55 x 100 = 55
Spot 3
Rf = 5,2cm8 cm
= 0,65 hRf = 0,65 x 100 = 65
18
V. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan proses pemisahan dan identifikasi senyawa
curcumin dari serbuk simplisia Curcumae domesticae rhizoma. Metode yang
digunakan untuk proses ini yaitu maserasi, kromatografi kolom dan kromatografi
lapis tipis (KLT).
Metode maserasi digunakan untuk tahap awal pemisahan senyawa curcumin
dari campurannya. Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana
yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia pada cairan penyari. Mula-
mula serbuk kering Curcumae domesticae rhizoma ditimbang sebanyak 10 gram.
Serbuk yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam toples kaca terlindung cahaya.
Hal ini dilakukan untuk mencegah curcumin kontak dengan cahaya yang dapat
menyebabkan penguraian curcumin. Serbuk kemudian ditambahkan dengan 100
ml etanol 96% yang berfungsi sebagai cairan penyari. Etanol digunakan sebagai
cairan penyari karena senyawa curcumin yang bersifat non polar dapat larut dalam
etanol yang cenderung bersifat non polar dibandingkan air. Etanol (C2H5OH)
memiliki dua gugus yang berbeda, yaitu gugus hidroksi (OH) yang bersifat polar
dan gugus alkana (C2H5) yang cenderung bersifat non polar sehingga dapat
melarutkan senyawa curcumin. Karena perbedaaan konsentrasi di luar dan di
dalam sel, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga
sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan
konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang
pekat didesak keluar. Peristiwa ini terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan
konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986). Proses
perendaman simplisia ini dilakukan selama 5 hari sambil diaduk berulang setiap
satu kali sehari. Perendaman dilakukan selama beberapa hari dimaksudkan agar
zat pengotor dapat mengendap sedangkan pengadukan dilakukan dengan
tujuan untuk meratakan konsentrasi diluar butir-butir serbuk simplisia dan
menjaga perbedaan konsentrasi sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dan di
luar sel (Sudjadi, 1986). Ekstrak yang didapat disaring dengan corong yang telah
dilapisi kertas saring. Sebelum digunakan kertas saring dibasahi terlebih dahulu
19
dengan etanol 96% yang bertujuan untuk mengkondisikan kertas saring pada
corong sehingga mempermudah dan mempercepat proses penyaringan. Selain itu
juga dapat membersihkan pengotor-pengotor yang mungkin tertinggal pada kertas
saring. Ampas yang didapat selanjutnya diremaserasi dengan 25 ml etanol 96%
yang bertujuan untuk melarutkan kembali senyawa analit curcumin yang
tertinggal pada ampas dan mengendapkan senyawa pengotor saat perendaman
kembali. Selain itu proses maserasi juga masih belum menjamin senyawa analit
yang diinginkan terekstraksi sempurna. Setelah perendaman selama 2 hari, ekstrak
disaring kembali. Ekstrak yang diperoleh diuapkan di atas water bath dengan
cawan porselin sampai didapat ekstrak kental. Untuk mempercepat penguapan
pelarut, maka saat menguapkan dilakukan pengadukan dan diangin-anginkan
secara terus menerus. Kemudian ekstrak kental yang diperoleh dihitung bobotnya.
Tahap selanjutnya dilakukan dengan metode kromatografi kolom. Sebelum
dilakukan proses pemisahan dengan metode ini, kolom kromatografi disiapkan
sebagai tempat dari fase diam dan fase garak. Pada prinsipnya ada dua cara
pengemasan kolom yaitu cara basah dan cara kering. Pada praktikum ini,
pengemasan kolom dilakukan dengan cara basah. Mula-mula kolom dipasang
tegak lurus pada statif. Kolom yang digunakan berupa tabung kaca yang
dilengkapi dengan keran pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran pelarut.
Kolom yang digunakan harus dalam keadaan kering untuk mencegah
menempelnya adsorben pada kolom saat adsorben dikeluarkan dari dalam kolom.
Selain itu apabila kolom dalam keadaan basah, permukaan adsorben akan
menyerap air sehingga adsorben akan mengalami reaksi pendeaktifasian pada sisi
aktifnya. Pada bagian dasar kolom dilapisi dengan glass wool untuk menahan
agar adsorben yang nantinya akan dimasukkan tidak sampai masuk ke bagian
bawah kolom di dekat keran. Adsorben yang digunakan praktikum kali ini adalah
silika gel. Selanjutnya disiapkan eluen (N-hexana : kloroform : etanol 96% = 45 :
45 : 10). Eluen merupakan fase gerak yang bersifat non polar. Di dalam beker
glass silika gel ditambahkan dengan eluen secukupnya sambil diaduk hingga
terbentuk campuran seperti bubur. Sisa eluen tadi dimasukkan terlebih dahulu ke
dalam kolom dan dilanjutkan dengan memasukkan bubur silika gel ke dalam
20
kolom melalui dinding kolom. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya udara
yang terperangkap di dalam kolom yang nantinya dapat terbentuk gelembung-
gelembung udara yang dapat merusak kolom sehingga proses pengelusian tidak
akan baik. Akan tetapi jika memang terjadi gelembung-gelembung, maka dapat
diatasi dengan memukul-mukul bagian dinding kolom secara perlahan sehingga
udara dapat digantikan dengan pelarut. Beberapa silika gel akan menempel pada
dinding kolom sehingga perlu dilakukan pembilasan dengan menggunakan eluen
untuk mencegah mengerasnya silika gel pada dinding. Eluen yang ada di dalam
kolom dikeluarkan namun tetap dijaga agar silika gel pada kolom tidak kering
dengan cara mengatur aliran keran. Eluen inilah yang dipakai untuk membilas
silika gel yang menempel di dinding. Setelah semua silika gel masuk ke dalam
kolom, bagian atas kolom ditutup rapat dengan aluminium foil untuk mencegah
eluen di dalam kolom agar tidak menguap.
Setelah didiamkan selama 1 hari, kolom kromatgrafi sudah siap untuk
digunakan. Ekstrak kental yang diperoleh tadi selanjutnya dilarutkan dengan 10
ml etanol 96% dan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi sedikit demi sedikit
melalui dinding. Cairan dibiarkan mengalir ke bawah sampai terserap semua.
Pengelusian kromatogram dilakukan dengan cara mengalirkan pelarut dan
mengatur kecepatan penetesan larutan yang keluar dari dalam kolom
(Kusmardiyani dkk., 1992). Prinsip pengelusian yang digunakan pada
kromatografi kolom yaitu pada afinitas kepolaran analit dengan fase diam,
sedangkan fase gerak selalu memiliki kepolaran yang berbeda dengan fase diam.
Semakin besar afinitasnya terhadap fasa gerak, zat akan semakin lama tertahan di
fasa gerak. Semakin kecil afinitasnya terhadap fasa gerak, zat akan semakin lama
tertahan di fasa diam. Sehingga senyawa yang bersifat polar cenderung akan
berinteraksi dengan fase diam yang cenderung bersifat polar, sedangkan senyawa
non polar akan bergerak ke bawah bersama pelarut yang kemudian ditampung
sebagai fraksi-fraksi pada dasar kolom. Hal inilah yang menyebabkan nantinya
terbentuk seperti lapisan-lapisan pada kolom. Hasil pengelusian ditampung dalam
10 botol vial yang masing-masing telah ditera sebanyak 5 ml. Tiap botol terdapat
21
fraksi yang berbeda-beda. Semua farksi pada botol didiamkan selama beberapa
hari.
Tahap akhir pada praktikum ini dilakukan dengan metode kromatografi lapis
tipis (KLT). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi senyawa curcumin
pada sampel. Semua fraksi yang didapat masing-masing ditotolkan sebanyak
10µL pada plat KLT. Seharusnya plat KLT yang akan digunakan yang dicuci
dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110° selama 30 menit tetapi pada
praktikum kali ini tidak dilakukan. Pemilihan metanol dibandingkan dengan
etanol karena sifat semipolar metanol (CH3OH) yang mengandung tiga atom H
dan satu gugus OH. Karena sifatnya yang semipolar, metanol lebih mampu
membersihkan zat-zat pengotor dibandingkan dengan etanol yang
bersifat non polar dan metanol juga lebih mudah menguap. Penotolan
harus tegak lurus agar didapat spot atau noda yang baik. Selain itu saat melakukan
penotolan pada plat KLT totolan jangan sampai dempet dengan totolan
sebelahnya. Hal ini dapat mempengaruhi hasil pada plat yang kemungkinan akan
terjadi hasil ganda (Gandjar, 2007). Plat yang digunakan sebagai fase diam adalah
silika gel GF254 yang berukuran (10 x 10) cm. Fase diam silika gel GF254 yang
mana G yang berarti Gypsum (pengikat) biasanya pengikat yang digunakan
adalah kalsium sulfat, F yang berarti Flouresence (panjang gelombang), dan
254 yang berarti panjang gelombang yang digunakan yaitu
254nm.Sehingga GF 254 adalah penjerap silika gel dengan pengikat kalsium
sulfat dengan ditambahkan indikator yang dapat berflouresensi jika dideteksi pada
sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm. Indikator flouresensi adalah
senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar ultraviolet
(Gritter,R.J,1991). Pada plat terdapat 10 buah totolan yang masing-masing
mewakili tiap fraksi. Setelah penotolan berakhir, dilakukan pengelusian sampai
jarak pengembangan 1 cm dari tepi atas. Pengelusian dilakukan di dalam chamber
yang telah diisi dengan fase gerak. Fase gerak yang digunakan untuk mengelusi
yaitu N-hexana : kloroform : etanol 96% (45 : 45 : 10). Penggunaan N-hexana,
kloroform dan etanol 96% dikarenakan prinsip ”like dissolved like” yaitu
senyawa akan cenderung mudah larut pada pelarut yang memilki kepolaran yang
22
relatif sama, yang menyebabkan pelarut harus sesuai dengan sampel yang akan
diidentifikasi. Plat kemudian diangin-anginkan dengan tujuan untuk menguapkan
sisa-sisa pelarut yang digunakan saat proses pengelusian. Plat selanjutnya diamati
di bawah sinar matahari. Di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm plat juga diamati
spot/noda yang terbentuk. Hanya saja pada sinar UV 254 nm terjadi pemadaman
yang disebabkan karena adanya flouresensi. Adanya noda/spot pada plat saat
diamati di bawah UV 366 nm karena di dalam senyawa tersebut terdapat gugus
kromofor yang akan menyerap panjang gelombang tertentu dan memancarkan
sinar tampak. Kromofor berfungsi sebagai antena, alat penangkap gelombang
elektomagnetik pada panjang gelombang tertentu. Suatu panjang gelombang
tertentu merangsang perubahan struktur molekul kromofor karena molekul
tersebut tereksitasi. Perubahan struktur ini mengakibatkan pelepasan energi /
electron. Energi atau elektron ini lalu ditangkap oleh sistem pembawa signal yang
pada akhirnya noda dapat terlihat. Dan selanjutnya dideteksi dan dihitung nilai Rf
pada masing-masing noda/spot.
23
Replika plat saat dimati di bawah sinar UV 366 nm
Saat diamati di bawah sinar matahari sudah mulai tampak spot-spot pada tiap
fraksi yang terdapat 3 spot pada masing-masing fraksi. Warna spot 1,2, dan 3
adalah kuning pudar, agak kekuningan, dan kuning-jingga. Begitu saat diamati di
bawah sinar UV 366 nm pada tiap fraksi yang terdapat 3 spot pada masing-masing
fraksi. Warna spot 1,2, dan 3 adalah hijau terang, kuning kecoklatan, dan coklat
kemerahan. Jika dilihat warna spot pada tiap fraksi yang diamati di bawah sinar
UV 366 nm masih belum sesuai pada pustaka.
Komponen hRf
Warna dengan
(Egon, 1985)
UV 366 nm Matahari
Bisdemetoksikurkumi
n25-35
Merah-
jingga mudaKuning
Desmetoksikurkumin 35-40 Salmon Jingga
Kurkumin 40-45 Merh-darah Jingga
24
Selain itu pada plat juga ditunjukkan adanya tailing (pengekoran). Sehingga
proses pemisahan dapat dikatakan kurang baik. Dengan spot tersebut Rf dan hRf
dapat dihitung dimana Rf merupakan jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik
asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Pada metode
KLT kali ini jarang pengembang pada setiap spot adalah 8 cm. Berdasarkan Rf
dan hRf pada masing-masing fraksi semua fraksi mengandung senyawa
kurkuminoid keculai pada fraksi X. Dimana senyawa kurkuminoid antaralain
bisdesmetoksikurkumin, desmetoksikurkumin, dan kurkumin.
Gambar 3. Senyawa Kurkuminoid
Pada fraksi I terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm
dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,35 dan 0,34 dengan hRf 35 dan 34.
Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai
Rf 0,42 dan 0,41 dengan hRf 42 dan 41. Dan pada spot 3 yang diamati pada
25
UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,52 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 52.
Pada fraksi II terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm
dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,32 dan 0,31 dengan hRf 32 dan 31.
Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai
Rf 0,39 dan 0,45 dengan hRf 39 dan 45. Dan pada spot 3 yang diamati pada
UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,5 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 50.
Pada fraksi III terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,32 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 32. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,39 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 39. Begitu juga pada spot 3 yang diamati
pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,48
dengan hRf 48.
Pada fraksi IV terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,33 dan 0,34 dengan hRf 33 dan 34.
Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai
Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 40. Dan pada
spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,5
dan 0,49 dengan hRf 50 dan 49.
Pada fraksi V terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm
dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,33 dan dengan
hRf yang sama juga yaitu 33. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan
sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan hRf
yang sama juga yaitu 40. Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,48 dengan hRf
48.
Pada fraksi VI terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,34 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 34. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366
26
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan
hRf yang sama juga yaitu 40. Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV
366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,48 dengan
hRf 48.
Pada fraksi VII terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,34 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 34. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan
hRf yang sama juga yaitu 40. Dan pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm
dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,5 dan 0,49 dengan hRf 50 dan 49.
Pada fraksi VIII terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,32 dan
dengan hRf yang sama juga yaitu 32. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366
nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,41 dan 0,4 dengan hRf 41 dan 40.
Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari
memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,5 dengan hRf 50.
Pada fraksi IX terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm
dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,34 dan 0,35 dengan hRf 34 dan 35.
Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai
Rf 0,42 dan 0,41 dengan hRf 42 dan 41. Dan pada spot 3 yang diamati pada
UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,52 dan 0,51 dengan hRf 52
dan 51.
Pada fraksi X terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm
dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,46 dan 0,48 dengan hRf 46 dan 48.
Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai
nilai Rf yang sama yaitu 0,55 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 55. Dan
pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai
Rf 0,64 dan 0,65 dengan hRf 64 dan 65.
Dari data data di atas dapat dilihat pada spot 3 pada tiap fraksi tidak
mengandung senyawa kurkuminoid.
27
VII. KESIMPULAN
7.1. Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana dengan
prinsip merendam simplisia dengan cairan penyari tertentu sehingga
cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif , zat aktif akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
di dalam sel dengan yang diluar sel, maka zat aktif yang di
dalam sel didesak keluar.
7.2. Kromatografi kolom merupakan metode pemisahan dengan kolom
kromatografi dengan menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip
yang digunakan dengan kromatografi lapis tipis yaitu adanya
perbedaan afinitas antara fasa diam dan fasa gerak.
7.3. Fraksi yang diduga terdapat curcumin yaitu pada fraksi I, II, III, IV, V,
VI, VII, VIII, dan IX.
28
top related