laporan kasus kulit herpes zoster
Post on 19-Feb-2018
292 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
1/32
1
LAPORAN KASUS
HERPES ZOSTER
Oleh :
Slamet Hadi Santoso 1050700103121009
Tri Wahyudi Iman D 105070107121009
Puti Fajri Lestari 105070107111026
Adiarani Puspitaati 105070100111025
David Christianto 105070100111078
Pembimbing :
Dr. Herwinda Brahmanti, M.Sc., Sp.KK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
2/32
2
DAFTAR ISI
COVER 1
DAFTAR ISI 2
BAB 1. PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
1.4 Manfaat 4
BAB 2. LAPORAN KASUS 5
2.1 Identitas 5
2.2 Anamnesis 52.3 Status Dermatologis 5
2.4 Status Generalis 6
2.5 Diagnosis Banding 7
2.6 Pemeriksaan Penunjang 7
2.7 Diagnosis Kerja 7
2.8 Terapi 7
2.9 Edukasi 7
2.10 Prognosis 8
2.11 Foto Klinis 8
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA 103.1 Epidemiologi Herpes Zoster 10
3.2 Etiologi dan Patogenesis Herpes Zoster 10
3.3 Manifestasi Klinis Herpes Zoster 20
3.4 Diagnosis Banding Herpes Zoster 20
3.5 Pemeriksaan Penunjang Herpes Zoster 20
3.6 Komplikasi Herpes Zoster 21
3.7 Pencegahan Herpes Zoster 23
3.8 Penatalaksanaan Herpes Zoster 23
BAB 4. PEMBAHASAN 25
BAB 5. KESIMPULAN 31DAFTAR PUSTAKA 32
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Viremia Primer 13
Gambar 2. Skema Viremia Sekunder 14
Gambar 3. Varisela, Fase Laten, dan Reaktivasinya 16
Gambar 4. Dermatom Kulit 17
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
3/32
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Herpes Zoster merupakan penyakit neurokutan yang disebabkan karena
infeksi Vaericella Zoster Virus. Manifestasi lesi herpes zoster berupa erupsi
vesicular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radicular
unilateral yang terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi
reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion
sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf otonomik
yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama. Di
Amerika Utara dan Eropa, insiden herpes zoster sekitar 1,5-3 per 1000 orang
penduduk di semua kelompok umur. Insiden herpes zoster pada usia lebih dari
60 tahun menjadi 7-11 per 1000 orang penduduk tiap tahun (Arenas R & Estrada
R, 2001).
Gejala klinis Herpes Zoster diawali dengan gejala prodromal berupa
sensasi abnormal seperti nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia
sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi,
pleuritis, infark jantung atau seperti nyeri pada apendisitis. Setelah gejala
prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya diikuti gatal atau nyeri yang
terlokalisir berupa makula yang berbatas tegas dengan dasar eritem.kemudian
berkembang menjadi papul, vesikel jernih selama 3- 5 hari. Setelah itu vesikel
jernih akan berubah menjadi keruh dan pecah menjadi krusta. Erupsi kulit
mengalami involusi setelah 2-4 minggu (Wolff K et al., 2013).
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis
Herpes zoster adalah pemerikaan Tzanck. Gambaran Multinucleated Giant Cell
pada mikroskop merupakan petunjuk pasti tentang diagnosis Herpes Zoster
(Wolff K et al., 2013).
Beberapa terapi dan manajemen dapat diberikan pada pasien dengan
Herpes Zoster. Prinsip dasar pengobatan Herpes Zoster adalah menghilangkan
nyeri secepat mungkin. Menghilangkan nyeri tersebut bisa dilakukan dengan
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
4/32
4
cara membatasi replikasi virus sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.
(Wolff K et al., 2013).
Penanganan awal yang cepat dan tepat serta pencegahan dapat
menurunkan risiko penderita yang mengalami Herpes Zoster.oleh karena itu
penulis tertarik dengan masalah ini karena dengan penanganan yang tepat dan
cepat, maka risiko terkena Herpes Zoster dapat diturunkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengetahui penegakkan diagnosa herpes zoster pada pasien ini.
2. Mengetahui faktor resiko herpes zoster pada pasien ini.
3. Mengetahui penatalaksanaanherpes zoster pada pasien ini.
4. Mengetahui bagaimana monitoring pada kondisi herpes zoster.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penegakkan diagnosa herpes zoster pada pasien ini.
2. Mengetahui faktor resikoherpes zoster pada pasien ini.
3. Mengetahui penatalaksanaan herpes zoster pada pasien ini.
4. Mengetahui bagaimana monitoring pada kondisi herpes zoster.
1.4 Manfaat .
Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda mengenai herpes zoster dalam hal anamnesa,
pemeriksaan fisik dan penunjang, penegakkan diagnosa,
penatalaksanaan dan monitoring.
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
5/32
5
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Tn. HS
Usia : 75 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Perumahan Graha Dewata blok MM-4 no. 9, Kec. Dau,
Kab. Malang
Pekerjaan : Pensiunan Apoteker
No. RM : 10613110
Tgl Pemeriksaan : 22 Oktober 2015
2.2 Anamnesis (autoanamnesis)
Keluhan utama: gatal dan nyeri di daerah lengan, dada dan punggung.
Pasien mengeluh gatal dan nyeri sejak 4 hari yang lalu. Awal nya timbul
kemerahan dan plenting-plenting isi air sedikit, makin lama makin banyak di
lengan atas, dada kanan dan punggung kanan sejak 7 hari yang lalu. Tiga harisetelah muncul kemerahan, pasien merasakan gatal dan nyeri di daerah yang
kemerahan. Nyeri dirasakan cenut-cenut dan kumat-kumatan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat terkena cacar air pada usia 17 tahun. Pasien
belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat Keluarga
Di keluarga, tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengobati sakitnya menggunakan krim inerson dan krim
garamisin dipakai dua kali sehari sejak 4 hari yang lalu. Setelah pengobatan,
penyakit tidak ada perbaikan.
Riwayat Atopi
Pasien memiliki alergi terhadap debu. Apabila terpapar debu, pasien akan
berssin-bersin sepanjang hari.
2.3 Status Dermatologis
Lokasi : Regio Thoraks Anterior D, Thoraks posterior D dan Brachii D
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
6/32
6
Distribusi : Dermatom setinggi T1
Ruam : Multipel vesikel bergerombol, dinding tidak rata, isi air, ukuran
bervariasi antara 0,1 - 0,5 cm, dasar eritem, batas tegas, diantara
gerombolan vesikel terdapat kulit normal.
2.4 Status Generalis
Keadaan Umum : compos mentis, GCS 456, kesan gizi baik
Tanda Vital : tekanan darah, nadi, dan frekuensi napas tidak diperiksa
Kepala/Leher : tidak diperiksa
Thorax : tidak diperiksa
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
7/32
7
Abdomen : tidak diperiksa
Extremitas : akral hangat, edema (-)
2.5 Diagnosis Banding
1. Herpes Zoster
2. Dermatitis Kontak Iritan
2.6 Pemeriksaan Penunjang
TZANCK Test
HasilDidapatkan gambaran Multinucleated Giant Cell
(Hasil Tzanck Test)
2.7 Diagnosis Kerja
Herpes Zoster
2.8 Terapi
Asiklovir 5x800 mg selama 7 hari
Asam mefenamat 3x500 mg bila nyeri
Kompres NaCl 0,9% pada vesikel
2.9 Edukasi
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien serta menjelaskan
tentang penggunaan obat yang diberikan kepada pasien.
Menjaga Hygiene yang baik
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
8/32
8
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad kosmetika : ad bonam
2.11 Foto Klinis
(lengan kanan)
(dada kanan)
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
9/32
9
(punggung kanan)
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
10/32
10
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Epidemiologi Herpes Zoster
Herpes Zoster merupakan penyakit neurokutan yang disebabkan karena
infeksi Vaericella Zoster Virus. Di Amerika Utara dan Eropa, insiden herpes
zoster sekitar 1,5-3 per 1000 orang penduduk di semua kelompok umur. Insiden
herpes zoster pada usia lebih dari 60 tahun menjadi 7-11 per 1000 orang
penduduk tiap tahun (Arenas R & Estrada R, 2001).
3.2 Etiologi dan Patogenesis Herpes Zoster
3.2.1 Etiologi Herpes Zoster
Varisela dikatakan sebagai infeksi akut primer karena pada kontak
pertama virus varisella zoster dengan manusia menyebabkan penyakit varisella
zosteratau cacar air. Penderita dapat sembuh atau penderita sembuh dengan
virus yang menjadi laten (tanpa manifestasi klinis) dalam ganglion dorsalis, jika
kemudian terjadi reaktivitas maka virus varisella zoster akan menyebabkan
penyakit herpes zoster (Arenas R & Estrada R, 2001)
Setelah VZV masuk melalui saluran pernapasan atas, atau setelah
penderita berkontak dengan lesi kulit, selama masa inkubasinya terjadi viremia
primer. Infeksi mula-mula terjadi pada selaput lendir saluran pernapasan atas
kemudian menyebar dan terjadi viremia primer. Pada Viremia primer ini virus
menyebar melalui peredaran darah dan system limfa ke hepar, dan berkumpul
dalam monosit/makrofag, disana virus bereplikasi, pada kebanyakan kasus virus
dapat mengatasi pertahanan non-spesifik sehingga terjadi viremia sekunder.
Pada viremia sekunder virus berkumpul di dalam Limfosit T, kemudian virus
menyebar ke kulit dan mukosa dan bereplikasi di epidermis memberi gambaran
sesuai dengan lesi varisela. Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper
endotel pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel dermis, folikel kulit dan
glandula sebasea, saat ini timbul demam dan malaise, kemudian disusul
timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam
berubah menjadi vesikel (8-12 jam) (Gnann JW & Whitley RJ. 2002).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
11/32
11
Vesikel akan berada pada lapisan sel dibawah kulit dan membentuk atap
pada stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang
lebih dalam Gambaran vesikel khas, bulat, berdinding tipis, tidak umbilicated,
menonjol dari permukaan kulit, dasar eritematous, terlihat seperti tetesan air
mata/embun tear drops. Cairan dalam vesikel kecil mula-mula jernih, kemudian
vesikel berubah menjadi besar dan keruh akibat sebukan sel radang
polimorfonuklear lalu menjadi pustula. Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan
lesi mulai mengering dimulai dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta.
Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu tergantung pada dalamnya kelainan kulit.
Bekasnya akan membentuk cekungan dangkal berwarna merah muda, dapat
terasa nyeri, kemudian berangsur-angsur hilang. Lesi-lesi pada membran
mukosa (hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna, saluran kemih, vagina dan
konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta, vesikel-vesikel akan pecah dan
membentuk luka yang terbuka, kemudian sembuh dengan cepat. Karena lesi kulit
terbatas terjadi pada jaringan epidermis dan tidak menembus membran basalis,
maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari terjadi tanpa meninggalkan jaringan parut,
walaupun lesi hyper-hipo pigmentasi mungkin menetap sampai beberapa bulan.
Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi ditandai dengan demam yangberlanjut dengan suhu badan yang tinggi (39-40,5C) mungkin akan terbentuk
jaringan parut (Menaldi SL et al., 2014).
Pada sebagian besar individu satu kali infeksi VZV biasanya memberikan
perlindungan seumur hidup terhadap infeksi ulang VZV dari luar. Tetapi sudah
diketahui bahwa infeksi ulang dapat terjadi baik klinis atau sub-klinis; yang
diketahui dengan peningkatan titer antibodi VZV setelah terpapar sumber infeksi.
Hal ini biasa dijumpai pada orang dewasa yang sudah pernah menderita
varisela, tetapi mempunyai kontak serumah dengan penderita varisela. Salah
satu penelitian mengatakan infeksi ulang VZV ditemukan 64% asimtomatik pada
individu imunokompeten, yang ditandai dengan peningkatan antibodi VZV
sampai 4 kali lipat. Infeksi ulang dengan gejala klinis varisela ditemukan sekitar
13% pada kelompok imunokompeten dan 19% pada kelompok
imunokompromais (Oxman MN & Schmander KE, 2012)
Faktor-faktor yang diduga memungkinkan timbulnya infeksi ulang dengan
gejala klinis adalah : (1) usia muda (kurang dari 12 bulan), (2) infeksi primer yang
terlalu ringan sehingga tidak bisa memproduksi respon sel memori yang adekuat
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
12/32
12
untuk melawan infeksi berikutnya, (3) faktor genetik, yang didasari pada
ditemukannya 45% individu dengan infeksi ulang dengan gejala klinis
mempunyai 1 atau lebih anggota keluarga yang pernah menderita varisela
berulang. Herpes zoster tidak bisa dipisahkan dengan infeksi primernya yaitu
varisela. Untuk lebih memahami patogenesis herpes zoster ini juga dibicarakan
perjalanan penyakit yang dimulai dari munculnya varisela (Oxman MN, 2010).
3.2.1.1 Infeksi Primer Varicella zoster viru s
Infeksi primer VZV 90% terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 10
tahun dan 5% pada usia di atas 15 tahun. Pada anak imunokompetan gejala
klinis biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan jarang terjadi komplikasi. Pada
sebagian individu, infeksi VZV tidak menimbulkan gejala klinis. Manusia akan
terinfeksi oleh VZV ketika virus berkontak dengan mukosa traktus respiratorius
bagian atas atau konjungtiva. Varicella zoster virus tersebut bisa berasal dari
sekret mukosa traktus respiratorius bagian atas, cairan vesikel penderita varisela
atau cairan vesikel penderita herpes zoster. Dari mukosa traktus respiratorius
bagian atas VZV menuju kelenjar limfe regional dan mengalami replikasi pertama
(Gnann JW & Whitley RJ, 2002)
3.2.1.2 Viremia primerDi kelenjar limfe regional virus mengalami replikasi pertama di sel-sel
mononukleus darah perifer / PBMCs, diikuti dengan fase viremia primer dimana
VZV dalam jumlah yang sedikit menyebar melalui aliran limfe dan darah ke
seluruh bagian tubuh untuk selanjutnya mengalami replikasi kedua di liver, limfa
atau sel mononukleus dalam jumlah yang lebih banyak. Masa inkubasi ini
biasanya berlangsung selama 2 minggu. Adanya DNA VZV di PBMCs pasien
imunokompeten dengan varisela sudah dibuktikan dengan metode PCR setelah
24-72 jam munculnya lesi kulit. Pada pasien imunokompeten perkiraan jumlah
PBMCs yang terinfeksi VZV sekitar 0,01% - 0,001% (Menaldi SL et al., 2014).
Varicella zoster virusdimusnahkan oleh sel sistim retikuloendotelial, yang
merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Infeksi virus
dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh alami dan respon imun
didapat yang timbul. Pada sebagian besar individu replikasi virus tidak dapat
diatasi oleh sistim pertahanan tubuh yang belum berkembang. Sehingga terjadi
viremia sekunder dalam jumlah virus yang lebih banyak (Oxman MN &
Schmander KE, 2012).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
13/32
13
Gambar 1. Skema Viremia Primer
3.2.1.3 Viremia sekunder
Viremia sekunder terjadi setelah virus yang bertambah banyak dan
menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam dan malaise. Pada
viremia sekunder virus terutama menyebar ke kulit, mukosa dan neuron gangliondorsalis untuk menjadi infeksi laten. Varicella zoster virusdibawa ke kulit oleh sel
mononukleus darah perifer yang sudah terinfeksi VZV sebelum muncul lesi di
kulit. Di kulit VZV mengalami replikasi pada sel endotel kapiler, fibroblas, epitel
kulit dan menimbulkan vaskulitis di pembuluh darah kecil, degenerasi sel-sel
epitel kulit yang bermanifestasi sebagai lesi varisela (Oxman MN, 2010).
Respon imun alami dan didapat menghambat berlanjutnya viremia
sekunder ini, sehingga menghambat berkembangnya lesi di kulit, timbulnya
varisela yang luas dan varisela pada organ viseral seperti paru yang dikenal
dengan varisela pneumonia. Respon imun seluler yang berperan dalam
menghambat penyebaran VZV adalah natural killer cells, dengan cara
membunuh sel yang terinfeksi oleh VZV. Terjadinya komplikasi varisela
mencerminkan gagalnya sistim imun dalam menghentikan replikasi dan
penyebaran virus (Wolff K et al., 2013).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
14/32
14
Gambar 2. Skema Viremia Sekunder
3.2.2 Patogenesis Herpes Zoster
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisella
zoster (virus DNA). Setelah seseorang terkena infeksi primer dari virus varisella
zoster atau setelah seseorang terkena penyakit cacar air. Virus varisella zoster
akan menetap dalam kondisi dorman pada ganglion posterior susunan saraf tepi
dan ganglion kranialis orang tersebut. Apabila sistem imun orang tersebut rendah
atau menurun misalnya karena pertambahan usia pada pasien usia lanjut atau
karena penyakit imunosupresif contohnya penyakit AIDS, penyakit leukimia, dan
penyakit limfoma maka virus varisella zoster tersebut dapat aktif kembali dan
menyebar melalui saraf tepi ke kulit sehingga menimbulkan penyakit herpes
zoster (Wolff K et al., 2013).
Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala predormal baik sistemik
(demam,pusing,malese), maupun gejala predormal lokal (nyeri otot-tulang, gatal,
pegal dan sebagainya). Setelah itu virus varisella zoster akan memperbanyak diri
(multipikasi) dan membentuk eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel
yang berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema, gejala ini akan
terjadi selama 3-5 hari. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi
keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta. Penyebaran vesikel
bersifat dermatomal mengikuti tempat persarafan yang dilaluivirus varisella
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
15/32
15
zoster. Biasanya hanya satu saraf yang terlibat, namun di beberapa kasus bisa
jadi lebih dari satu saraf ikut terlibat. Vesikel akan pecah dan berair, kemudian
daerah sekitarnya akan mengeras dan mulai sembuh, gejala ini akan terjadi 3-4
minggu. Pada sebagian kecil kasus, eritema tidak muncul tetapi ada rasa sakit
(Arenas R & Estrada R, 2001).
3.2.2.1 Infeksi Laten Varicella Zoster Virus
Selama penyembuhan varisela, Varicella zoster virus menjadi laten di
nervus kranialis seperti nervus trigeminal, fasialis dan di serabut ganglion
posterior medula spinalis. Pada sebagian besar individu virus ini menjadi laten
seumur hidup. Perjalanan virus ke ganglion sensoris diduga dengan cara
hematogenik, transport neuronal retrograde atau keduanya. Selama infeksi laten
di serabut ganglion posterior ini tidak menimbulkan apoptosis sel saraf, karena
pada infeksi laten tidak terjadi inflamasi sehingga tidak merusak sel-sel neuron
(Arenas R & Estrada R, 2001)
Pada fase laten ini VZV tidak infeksius dan sebagian besar ekspresi gen
VZV tidak ditemukan pada sel neuron dari ganglion dorsalis yang merupakan
tempat infeksi laten VZV. Sehingga virus tidak bisa dideteksi dan dibersihkan
oleh sistim imun. Sistim imun yang berperan dalam mempertahankan keadaanlaten ini adalah sistim imun seluler. Hal ini terbukti dengan tingginya insiden
herpes zoster pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun dibandingkan
insiden pada individu dengan status imun yang baik. Hanya beberapa material
genetik VZV yang diekspresikan di ganglion posteriror. Gen-gen yang biasa
ditemukan pada fase ini adalah gen 21, 29, 62, dan 63. Gen-gen tersebut
umumnya ditemukan dalam sitoplasma neuron ganglion dorsalis. Kadang-
kadang juga ditemukan di sel-sel satelit ganglion seperti sel Schwann dan
astrosit. Berbeda pada fase reaktivasi, gen-gen tersebut terdapat di dalam
nukleus sel neuron yang terinfeksi VZV. Gen 63 berfungsi sebagai protein yang
menekan apoptosis neuron selama fase laten. Gen 62 berfungsi sebagai
regulator transkripsi ketika gen tersebut berada di dalam nukleus pada fase
reaktivasi. Tidak adanya gen-gen regulator transkripsi lainnya menyebabkan
tidak terjadi replikasi VZV selama fase laten (Gnann JW & Whitley RJ, 2002).
Dari penelitian kuantitatif PCR mengindikasikan sangat sedikit jumlah gen
VZV, yaitu sekitar 6-31 per 100.000 sel ganglion yang terinfeksi laten.
Pengetahuan mengenai gen mana yang diekspresikan selama fase laten penting
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
16/32
16
untuk berbagai alasan. Dengan diketahuinya berbagai fungsi gen VZV
diharapkan dapat lebih memahami proses yang terjadi pada fase laten ini.
Ekspresi gen VZV tersebut dapat digunakan sebagai dasar terapi antivirus dalam
mencegah terjadinya reaktivasi virus, dan selanjutnya dapat mengidentifikasi
secara spesifik enzim-enzim yang dapat menghambat reaktivasi VZV, seperti
enzim anti-sense oligonukleotidase dapat menghambat reaktivasi virus laten dan
kemungkinan pengembangan vaksin melawan protein VZV (Oxman MN, 2010).
Komponen genetik VZV terdapat ekstrakromosomal dalam bentuk yang
tidak infeksius. Hal ini berbeda dengan retrovirus, dimana komponen genetiknya
terdapat di DNA sel host. Sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa
komponen DNA virus berada di dalam sitoplasma sel neuron serabut saraf baik
nervus trigeminal ataupun di neuron serabut ganglion posterior. Pada infeksi ini
ditemukan sedikit perubahan morfologi tanpa disertai peradangan pada neuron-
neuron tersebut (Wolff K et al., 2013).
3.2.2.2 ReaktivasiVaricella Zoster Viru s
Reaktivasi VZV bisa terjadi secara spontan atau mengikuti berbagai faktor
pencetus, seperti infeksi, imunosupresi, trauma, radiasi dan keganasan. Selama
fase klinis aktivasi terjadi berbagai perubahan patologik pada serabut ganglion.Perubahan utama adalah nekrosis dari sel-sel neuron baik sebagian maupun
keseluruhan ganglion. Perubahan lain adalah infiltrasi limfosit dan hemoragik
pada sel-sel neuron (Wolff K et al., 2013).
Gambar 3. Varisela, fase laten, dan reaktivasinya.
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
17/32
17
Proses patologik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
neuralgia. VZV kemudian menyebar secara sentrifugal ke saraf sensorik dan
menyebabkan neuritis. Virus yang terdapat pada ujung saraf sensorik menyebar
di kulit menimbulkan kelompok-kelompok vesikel herpes zoster. Biasanya
keadaan ini berada pada satu unilateral dermatom (Oxman MN & Schmander
KE, 2012).
Pada keadaan reaktivasi didahului dengan keberadaan komponen
genetik virus yang sebelumnya berada di sitoplasma neuron selama fase laten,
mencapai nukleus dan mengaktifkan proses replikasi virus, kemudian
memproduksi virus yang infeksius. Virus tersebut kemudian keluar dari sel
neuron ganglion posterior ke saraf sensorik, dan mencapai kulit menginfeksi sel-
sel epitel kulit dan menimbulkan lesi herpes zoster.Pada keadaan reaktivasi ini,
VZV menstimulasi respon imun yang mampu mencegah reaktivasi pada ganglion
lainnya dan reaktivasi klinis berikutnya. Sehingga herpes zoster hanya
menyerang satu dermatom dan muncul hanya sekali seumur hidup (Wolff K et
al., 2013).
Gambar 4. Dermatom Kulit.
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
18/32
18
Reaktivasi bisa menghasilkan klinis herpes zoster yang generalisata hal
ini disebabkan karena gagalnya sistem imun menghamabat perkembangan lesi
herpes yang terjadi. Keadaan ini biasanya ditemui pada pasien-pasien
imunokompromais seperti penderita HIV, pasien yang mendapat pengobatan
dengan imunosupresan atau sitostatik. Hal ini bertolak belakang dengan variasi
klinis herpes zoster lainnya seperti pada zoster sine herpete dimana klinis hanya
berupa rasa nyeri pada dermatom yang terkena tanpa disertai munculnya erupsi
kulit. Pada keadaan tersebut sistim imun dapat mencegah penyebaran virus ke
kulit saat reaktivasi sehingga lesi kulit tidak muncul. Herpes zoster abortif dimana
klinis yang muncul sangat ringan dan berlangsung sebentar disebabkan sistim
imun dapat menekan perkembangan lebih lanjut virus sehingga tidak
menimbulkan lesi yang lebih berat (Oxman MN & Schmander KE, 2012).
3.2.2.3 Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Neuralgia Paska Herpetik
Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster.
Khususnya pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa
menetap sampai beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit
sembuh. Nyeri kronis yang menetap ini disebut neuralgia paska herpetik,didefinisikan dengan nyeri yang menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang
menetap lebih dari 4 minggu, tanpa melihat derajat perbaikan. Tidak seperti nyeri
yang menyertai kerusakan jaringan akut dimana pada NPH tidak ditemukan
kelainan biologik. Nyeri pada herpes merupakan hasil dari aktifitas jaras
spinotalamikus dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri
neuropati yang disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri
tersebut merupakan hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi di
susunan saraf pusat (Arenas R & Estrada R, 2001).
Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh
herpes zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini
menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer
sepanjang saraf sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik
dan motorik dari dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion
posterior menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga
terjadi peningkatan sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor /
reseptor taktil yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
19/32
19
terjadi pelepasan sitokin-sitokin yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri
pada herpes tidak disebabkan oleh kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik,
tetapi disebabkan oleh gangguan fungsi transmisi pada serat saraf sensorik
setelah rangsangan taktil pada nosireseptor di kulit (Oxman MN & Schmander
KE, 2012).
Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri
pada herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang
mengalami hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti
allodyniaatau hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu
perubahan yang terjadi pada kornu posterior medula spinalis sebagai
konsekuensi rangsangan pada nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena
herpes zoster menimbulkan gangguan impuls yang menyebabkan depolarisasi
terus-menerus pada medula spinalis menimbulkan respon yang berlebihan pada
kornu posterior medula spinalis terhadap semua rangsangan (wind up
mechanism) (Menaldi SL et al., 2014).
Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior
medula spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk
ke sel neuron. Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartatterhadap reseptor N-metil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel
neuron yang rusak di kornu posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau
aspartat merupakan neurotransmiter yang dikeluarkan oleh sel neuron yang
rusak akibat proses peradangan. Akibat gangguan fungsi pada kornu posterior
medula spinalis terjadi sensitisasi sentral temporer bahkan permanen meskipun
tidak ada rangsangan taktil pada nosireseptor (Gnann JW & Whitley RJ, 2002)
Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan
yang susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan
nyeri sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan
neurotransmiter timbul dalam beberapa detik setelah kerusakan saraf.
Hipersensitifitas dan sensitisasi sel neuron terjadi dalam beberapa menit,
remodeling sel-sel neuron terjadi dalam beberapa jam, responstruktural terjadi
dalam beberapa hari atau dalam beberapa bulan. Hal ini berarti setiap usaha
pengobatan bisa mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut selama dilakukan pada
fase akut (Arenas R & Estrada R, 2001).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
20/32
20
3.3 Manifestasi Klinis Herpes Zoster
Manifestasi Herpes Zoster dapat dimulai dengan gejala prodromal berupa
nyeri dan parasthesia kemudian diikuti dengan timbulnya sensasi gatal,
kesemutan, rasa terbakar, hingga rasa nyeri dan pedih setelah beberapa hari.
Rasa sakit dapat muncul secara konstan atau intermiten. Brntukan khas dari
herpes zoster adalah lokalisasi dan distribusi dari ruam yang hampir selalu
unilateral dan umumnya terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh
ganglion sensoris tunggal. Lokasi yang sering terkena oleh herpes zoster adalah
T3 L2 dan daerah yang disarafi oleh saraf trigeminal terutama bagian mata.
Lesi herpes zoster bermula berbentuk makula erimatosa dan papula yang
pertama kali muncul pada cabang superficial dari saraf yang terkena. Vesikel
terbentuk pada 12-24 jam pertama dna berkembang menjadi pustula pada hari
ke tiga. Ruam akan mengering dan berkrusta pada hari ke 7 10, krusta
umumnya akan bertahan 2 3 minggu. Pada individu normal, ruam baru akan
muncul untuk 1-4 hari kadang 7 hari (Wolff K et al., 2013).
Rasa sakit atau ketidaknyamanan pada penderita herpes zoster sering
pada fase akut yang berkisar dari ringan hingga berat. Pasien menggambarkan
rasa sakit mereka atau ketidaknyamanan mereka sebagai rasa terbakar, gatal,
sakit yang mendalam, dan sensasi menusuk (Wolff K et al., 2013).
3.4 Diagnosis Banding Hepes Zoster
Zosteriform herpes simplex
Dermatitis kontak iritan
Papular urtikaria
Erythema Multiforme
Scabies
Drug Eruption
3.5 Pemeriksaan Penunjang Herpes Zoster
Tzanck Smear: dapat mengidentifikasi virus herpes, tetapi tidak dapat
membedakan herpes zoster dan herpes simpleks. Dikatakan positif bisa
didapatkan Multinucleated Giant Cell dan sel epitel yang mengandung
badan inklusi intranuklear acidophilic.
Kultur cairan vesikel , darah, atau cairan cerebrospinal dan tes antibodi
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
21/32
21
Immunoflouresent
3.6 Komplikasi Herpes Zoster
A. Neuralgia paska herpetik
Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah
bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion
memicu signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive
yang menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan
neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls afferen
selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkankerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu
dorsal spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada
saraf perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH (Wolff K et al.,
2013).
Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan
hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya,
kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka
neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambahrespon sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun. Secara
klinis, hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak
nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit, contoh :
sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan
menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain (Wolff K et al., 2013).
Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerah kulit yang dipersarafi
oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa
dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada
malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering dirasakan
pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas 50%
mengalami neuralgia pasca-herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh penderita
yang mengalami neuralgia pasca-herpetik. Pada sebagian besar kasus, nyeri
akan menghilang dalam waktu 1-3 bulan; tetapi pada 10-20% kasus, nyeri
menetap selama lebih dari 1 tahun dan jarang berlangsung sampai lebih dari 10
tahun (Wolff K et al., 2013).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
22/32
22
Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan
pengobatan khusus.Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab
pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten
dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri
prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi
antiviral untuk mencegah penuh NPH (Wolff K et al., 2013).
B. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknyapada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV,
keganasan, atau berusia lanjutdapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi
ulkus dengan jaringan nekrotik (Wolff K et al., 2013).
C. Kelainan pada mata
Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi dan
diterapidengan tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi dan
pasien harusdirujuk ke spesialis mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus
kornea dapat terjadipada kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah fisura
palpebra inferior tanpadisertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal
menunjukkan tidak adanya komplikasipada mata karena daerah kelopak bawahdiinervasi oleh nervus maksillaris superior (Wolff K et al., 2013).
D. Sindrom Ramsay Hunt
Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus gangliongenikulatum), sehingga memberikan gejala paralisis otot muka
(paralisis Bell), kelainankulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus,
vertigo, gangguan pendengaran,nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan
(Wolff K et al., 2013).
E. Paralisis motorik
Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virussecara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang
berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi.
Berbagai paralisis dapatterjadi seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh,
ekstremitas, vesika urinaria dan anus.Umumnya akan sembuh spontan (Wolff K
et al., 2013).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
23/32
23
3.7 Pencegahan Herpes Zoster
Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh
adalah pemberian vaksinasi. Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon
spesifik limfosit sitotoksik terhadap virus tersebut pada pasien seropositif usia
lanjut.Vaksin herpes zoster dapat berupa virus herpes zoster yang telah
dilemahkan atau komponen selular virus tersebut yang berperan sebagai
antigen. Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat mencegah
atau mengurangi risiko terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu
orang lanjut usia dan penderita imunokompeten, serta imunosupresi (Wolff K et
al., 2013).
Untuk memberantas cacar/herpes, setiap wabah harus dihentikan dari
menyebarnya, isolasi khusus dengan vaksinasi semua orang yang tinggal
didekat. Proses ini dikenal sebagai dikenal sebagai cincin vaksinasi. Kunci
untuk starategi ini pemantauan kasus dalam masyarakat (dikenal sebagai
pengawasan ) dan penahanan (Wolff K et al., 2013).
3.8 Penatalaksanaan Herpes Zoster
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
Mengatasi infeksi virus akut
Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster
Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang
dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan
digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga
kebersihan badan. Pasien juga disarankan untuk memangkas kuku secarateratur untuk mencegah kerusakan kulit karena garukan (Wolff K et al., 2013).
Pasien harus menjaga diri agar terhindar dari cidera termal akibat
penggunaan kompres hangat dengan suhu terlalu tinggi & akibat cedera panas
yg tidak terasa (bantalan pemanas, radiator), serta hindari pemajanan berulang
terhadap deterjen, pembersih, dan pelarut. Jika kulit pasien sangat kering
dianjurkan menggunakan sabun yang tidak menggandung antiseptik seperti
sabun bayi. Pasien juga disarankan untuk menggunakan preparat tabir surya.
Dalam mempertahankan kelembaban kulit agar tidak terjadi penguapan air
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
24/32
24
dipermukaan kulit maka pasien dianjurkan menggunakan pelembab setiap
setalah mandi ataupun setiap kulit terasa kering. Pasien harus menggunakan
obat-obatan yang diberikan secara teratur, tanpa membeli sendiri jika obat sudah
habis. Maka dari itu pasien harus rajin kontrol (Wolff K et al., 2013).
3.8.1 Pengobatan Khusus
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir danfamsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun
intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertamasejak lesi muncul.
Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama7
hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada
pasien yangimunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum
obat. Obat lain yang dapatdigunakan sebagai terapi herpes zoster adalah
valasiklovir. Valasiklovir diberikan31000 mg/hari selama 7 hari, karena
konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itufamsiklovir juga dapat dipakai.
Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNApolimerase. Famsiklovir
diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari (Wolff K et al., 2013).
2. Analgetik
Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh
virus herpeszoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat.
Dosis asam mefenamatadalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali,
atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul (Wolff K et al.,
2013).
3. Kortikosteroid Indikasi
Pemberian kortikostreroid ialah untuk mencegah Sindrom Ramsay Hunt.
Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.
Yang biasa diberikan ialah Prednison dengan dosis 320 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secarabertahap. Dengan dosis prednison
setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebihbaik digabung dengan
obat antivirus (Wolff K et al., 2013).
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
25/32
25
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, dapat di diagnosis sebanyak penyakit herpes zoster.
Diagnosis tersebut didapatkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Keluhan utama: Gatal dan nyeri di daerah lengan, dada dan punggung.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh gatal dan nyeri sejak 4 hari yang lalu. Awal nya timbul
kemerahan dan plenting-plenting isi air sedikit, makin lama makin banyak di
lengan atas, dada kanan dan punggung kanan sejak 7 hari yang lalu. Tiga hari
setelah muncul kemerahan, pasien merasakan gatal dan nyeri di daerah yang
kemerahan. Nyeri dirasakan cenut-cenut dan kumat-kumatan.
Pembahasan:
Gatal, nyeri, dan kemerahan menandakan terjadinya proses inflamasi,
dan inflamasi yang merujuk pada interaksi antara infeksi dan pertahanan tubuh.
Sejak 4 hari yang lalu menandakan penyakit ini bersifat akut. Plenting berarti
vesikel, vesikel adalah peninggian kulit berisi cairan berukuran < 0,5cm,
disebutkan lebih lanjut muncul plenting di lengan atas, dada kanan dan
punggung kanan, menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan mengikuti
persyarafan yang menjadi jalur datangnya virus pertama kali di kulit. Plenting
bertambah banyak sampai ke lengan atas, dada kanan dan punggung kanan
menunjukan progresifitas perkembangan keparahan penyakit yang dialami. Nyeri
dirasa cenut-cenut disebabkan karena infeksi yang menyerang saraf sehingga
menyebabkan hipereksitasi dari saraf tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat terkena cacar air pada usia 17 tahun. Pasien
belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Pembahasan:
Apabila memang benar dahulu pasien pernah terkena penyakit cacar air
berarti ada kemungkinan penyakit yang sekarang adalah bangkitan dari penyakit
cacar air yang dulu, karena cacar air yang disebabkan oleh virus varisella zoster
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
26/32
26
dapat dorman di ganglion sensorik manusia dan sewaktu-waktu dapat bangkit
apabila sistem imun inang sedang turun drastik.
Riwayat Keluarga
Di keluarga, tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien.
Pembahasan:
Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan infeksi yang terjadi sekarang
merupakan bangkitan dari penyakit cacar air yang dorman, bukan infeksi baru
yang ditularkan oleh keluarga yang sakit.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengobati sakitnya menggunakan krim inerson dan krim
garamisin dipakai dua kali sehari sejak 4 hari yang lalu. Setelah pengobatan,
penyakit tidak ada perbaikan.
Pembahasan:
Kirim inerson mengandung desoximetasone, suatu kortikosteroid yang
mempunyai khasiat sebagai antiflogistik, antipuritik. Krim garamisin mengandung
antibiotik gentamicin yang merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, yangmempunyai efek bakterisidal terutama terhadap basilus aerobik gram negatif
yang sensitif, dan bakteri gram positif yang sensitif. Dengan pemberian inerson
sebagai kortikosteroid dapat meredakan gejala yang ditimbulkan akibat proses
inflamasi, akan tetapi pasien tidak sembuh karena pada kasus ini yang terjadi
adalah pasien diberikan antibiotik dimana penyakit pasien sebenarnya
disebabkan oleh virus.
Riwayat Atopi
Pasien memiliki alergi terhadap debu. Apabila terpapar debu, pasien akan
bersin-bersin sepanjang hari.
Pembahasan:
Dengan diketahuinya riwayat atopi membantu untuk membedakan gejala
yang ditimbulkan penyakit kulit atopi ataukah manifestasi dari herpes zoster.
Status Dermatologis
Lokasi : Regio Thoraks Anterior D, Thoraks posterior D dan Brachii D
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
27/32
27
Distribusi : Dermatom setinggi T1
Ruam : Multipel vesikel bergerombol, dinding tidak rata, isi air, ukuran
bervariasi antara 0,1 - 0,5 cm, dasar eritem, batas tegas, diantara
gerombolan vesikel terdapat kulit normal.
Pembahasan:
Diatas telah dijelaskan mengenai timbulnya vesikel dan bula. Barangkali
yang perlu ditambahkan disini adalah mengenai vesikel dan bula yang pecah
menjadi erosi dan krusta kekuningan disebabkan karena kombinasi antara agen
infeksi dengan sistem imun yang berusaha melawan agen infeksi tersebut
sehingga terbentuklah nanah yang pada kasus ini mengisi vesikel dan bula
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
28/32
28
dimana apabila jumlahnya terus meningkat sehingga vesikel atau bula sudah
tidak mampu menahannya, maka vesikel atau bula akan pecah
Pemeriksaan Penunjang
TZANCK Test
Pembahasan:
Dari gambaran mikroskopis dapat ditemukan gambaran Multinucleated
Giant Cell yang merupakan gambaran khas dari penyakit herpes zoster.
Terapi
Asiklovir 5x800 mg selama 7 hari
Asam mefenamat 3x500 mg bila nyeri
Kompres NaCl 0,9% pada vesikel
Pembahasan:
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
Mengatasi infeksi virus akut oleh virus varisela zoster
Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster dan
mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Cegah komplikasi, misalnya infeksi sekunder oleh bakteri dan viremia
yang menyebar sampai ke organ.
Berdasarkan tujuan diatas maka regimen pengobatan kami menggunakan:
Asiklovir 5x800 mg selama 7 hari.
Obat antiviral yang biasa digunakan pada herpes zoster adalah asiklovir
dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir dapat
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
29/32
29
diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir sebaiknya pada 3 hari pertama
sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800
mg/hari selama 7hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya
digunakan pada pasien. Maka pada kasus ini diberikan obat antivirus berupa
Asiklovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari.
Asam mefenamat 3x500 mg bila nyeri.
Dosis asam mefenamatadalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali,
atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul..
Kompres NaCl 0,9% pada vesikel.
Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif
diberikan kompres terbuka. Kalo terjadi ulserasi dapat diberikan salep
antibiotik. Sesuai dengan teori, maka pada kasus ini juga diberikan kompres
terbuka.
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
30/32
30
Penulisan Resep
dr. David Christianto, M.Biomed
S.I.P. 105070100111078
Praktek Jl. Raya Satelit Utara KN 7
Telepon (031) 7321033
Surabaya, 6 November 2017
R/ Tab Acyclovir tab. 400 mg no. LXX
s. 5. d.d. tab II
_________________________________________________R/ Tab Asam Mefenamat tab. 500 mg no. X
s. 3. d.d. tab. I. p.r.n
_________________________________________________
Pro : Tn. HS
Usia : 75 tahun
Alamat : Perumahan Graha Dewata blok MM-4 no. 9, Kec. Dau, Kab. Malang
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
31/32
31
BAB 5
KESIMPULAN
Berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan usulan pemeriksaan
penunjang, maka diagnosis kerja untuk Tn. HS adalah herpes zoster. Pokok
dasar terapi herpes zoster adalah mengatasi virus varisela zoster, mengatasi
gejala utama yaitu nyeri dan gejala sistemik lain yaitu demam, mencegah
kekambuhan, dan mencegah komplikasi.
-
7/23/2019 Laporan Kasus Kulit Herpes Zoster
32/32
DAFTAR PUSTAKA
Arenas R & Estrada R. 2001. Tropical dermatology. Georgetown: Landes
Bioscience
Gnann JW & Whitley RJ. 2002. Herpes Zooster. N Engl J Med347: 340
Handoko RP. Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke -6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010; 110-2.
McCrary ML, Severson J, Tyring SK. 2009. Varicella Zoster Virus. Journal of the
American Academy of Dermatology;41:1-13.
Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. 2014. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Opstelted W, Just E, Arie K, Theo V. Treatment of Herpes Zoster. Can Fam
Physician 2008; 54:573-7.
Oxman MN & Schmander KE. 2012. Varicella and Herpes Zooster. Dalam
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Edisi ke-8 Volume 2.
Amerika Serikat: McGraw Hill: 2383-2401
Oxman MN. 2010. Zooster vaccine: Current status and future prospects. Clin
Infect Dis51: 197Prabhu S, Sripathi H, Gupta S, Prabhu M. 2009. Chilhood Herpes Zoster. Journal
of Indian Dermatology;54:379-84.
Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic
Consideration. Alternative Medicine Review 2006 vol 11 no 2; p.88.
Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. 2013. Fitzpatricks color atlas & synopsis of
clinical dermatology. Edisi ke-7. Singapura: Elsevier Saunders
-
top related