kerajaan sunda ilmu pengetahuan sosial

Post on 18-May-2015

477 Views

Category:

Data & Analytics

12 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

ini adalah sebuah presentasi yang menjelaskan tentang sejarah dan prasasti pada masa kerajaaan sunda . Dan berkategorikan ilmu pengetahuan sosial dalam bidang sejarah

TRANSCRIPT

Sophia Eunike Damaris Chelsea Trista Angesti Enjelika Bangun Nurunnasywa Hanifah

DAFTAR ISI

1. Peta persebaran kerajaan sunda2. Catatan sejarah3. temuan arkeologi4. naskah kuno5. Berdirinya kerajaan sunda6. Wilayah kekuasaan7. Menyebarnya islam8. Masa penurunan9. Raja raja kerajaan sunda dan galuh

CATATAN SEJARAH

Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno, dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan.[3] Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan berakhir di Pakuan Pajajaran.

Durgamahasisuramardhini yang merupakan gabungan dari kata Durga, Mahisa, Asura, dan Mardhini. Arca Dewi Durga memiliki banyak tangan, lebih dari 8, 12 atau pada beberapa arca sampai dengan 16. Dewi Durga adalah nama sakti atau istri Dewa Siwa, Mahisa adalah kerbau, Asura berarti raksasa, sedang Mardhini berarti menghancurkan atau membunuh.

ARCA BATARA GURU ARCA BRAHMA

Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan candi yang tersebar di beberapa titik

Contoh peninggalan makam

Selain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan Kerajaaan Sunda,[6] antaranya naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah Sajarah Banten.

Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda kuna yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan keraton Pakuan.

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur)

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur)

Berdirinya kerajaan sunda

Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera. Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.[2]

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda

Islam mulai masuk ke wilayah Tatar Pasundan pada abad ke-7 Masehi. Namun penyebarannya secara signifikan baru

dimulai pada abad ke-13 Masehi. Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming

melakukan ekspedisi ke-5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya terdapat Syekh Hasanuddin, juga dikenal sebagai Syekh Qura yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana, Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di Tanjungpura, yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subanglarang, salah-satu istri dari Prabu Sri Baduga Maharaja yang menganut Islam

Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.[rujukan?]

Raja raja kerajaan sunda galuh

Raja raja kerajaan sunda galuh

Rakeyan Banga (739 - 766)

Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)

Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)

Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)

Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)

Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)

Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)

Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)

Tamperan Barmawijaya (732 - 739)

Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)

Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)

Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954) Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, Munding Ganawirya (964 - 973) Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989) Brajawisésa (989 - 1012) Déwa Sanghyang (1012 - 1019) Sanghyang Ageng (1019 - 1030) Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042) Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065) Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155) Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157) Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175) Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297) Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303) Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311) Prabu Linggadéwata (1311-1333) Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)

RAJA RAJA KERAJAAN SUNDA

Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350) • Prabu Maharaja Linggabuanawisésa •Prabu Bunisora (1357-1371) •Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475) •Prabu Susuktunggal (1475-1482) •Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521) •Prabu Surawisésa (1521-1535) •Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543) •Prabu Sakti (1543-1551) •Prabu Nilakéndra (1551-1567) •Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana

top related