kepailitan personal guarantee terhadap pelepasan...
Post on 04-Jan-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE TERHADAP PELEPASAN
HAK ISTIMEWA
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ALFIAN HUZHAYYA
NIM : 11150480000063
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
i
KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE TERHADAP PELEPASAN
HAK ISTIMEWA
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ALFIAN HUZHAYYA
NIM : 11150480000063
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
v
ABSTRAK
ALFIAN HUZHAYYA, NIM 11150480000063, “FAKTOR
KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE TERHADAP PELEPASAN HAK
ISTIMEWA (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor :
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai kepailitan personal
guarantee yang dipailitkan tanpa terlebih dahulu memailitkan debitur utama
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 apakah
sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan untuk
mengetahui penerapan dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam
kasus ini. Penelitian ini bertujuan agar setiap orang yang ingin menjadi suatu
penjamin dari pihak debitur memahami terkait aturan yang berlaku terkait
penjaminan perorangan.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan bersifat yuridis normative.
Yuridis normatif adalah yang mana peneliti mengacu pada norma-norma hukum
yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat ahli, dan
makalah-makalah.
Hasil dari peneliitan ini menunjukkan bahwa Hakim dalam Putusan Nomor
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 mempailitkan pihak personal guarantee tanpa terlebih
dahulu mempailitkan pihak debitur utama karena pihak personal guarantee telah
melepaskan segala hak istimewanya, walaupun menurut peneliti masih adanya
problematika terkait list BI Checking dalam menunjukkan adanya kreditor lain.
Kata Kunci : Kepailitan, Personal Guarantee, Hak Istimewa Personal
Guarantee.
Pembimbing: Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1987 Sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia
yang tidak terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga
akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillahi Robbil ‘alamin akhirnya
peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir pada perkuliahan dalam bentuk skripsi
ini dengan judul “FAKTOR KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE
TERHADAP PELEPASAN HAK ISTIMEWA (Studi Putusan Mahkamah
Agung Nomor: 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016)”.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini
tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang
terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi
peneliti, saya ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu, arahan, dan
kritik, serta saran yang diberikan dalam penelitian yang saya lakukan di
tengah-tengah kesibukannya.
vii
3. Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Dosen Pembimbing Akademik Peneliti, saya
ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bentuk dukungan yang
telah diberikan hingga saya mampu untuk menyelesaikan studi saya di
Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk
melengkapi hasil penelitian saya.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada peneliti dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Metode Penelitian........................................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II: HUKUM KEPAILITAN DAN PERSONAL GUARANTEE
A. Tinjauan Umum tentang Kepailitan dan Personal Guarantee .... 13
1. Tinjauan Umum Kepailitan .................................................... 13
a. Pengertian Kepailitan ......................................................... 13
b. Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kepailitan .......................... 15
c. Pengertian Utang, Kreditor, dan Debitor ........................... 21
d. Para Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan................. 23
e. Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit .................................. 28
f. Syarat-Syarat Mengajukan Permohonan Pailit .................. 30
g. Akibat Kepailitan ............................................................... 31
2. Tinjauan Umum Personal Guarantee .................................... 33
a. Pengertian Personal Guarantee ......................................... 33
b. Pihak yang Dapat menjadi Personal Guarantee ................ 35
viii
c. Pengaturan Personal Guarantee di Indonesia.................... 36
d. Hapusnya Penjaminan ....................................................... 36
e. Hak Istimewa Personal Guarantee .................................... 37
f. Akibat Hukum Melepaskan Hak Istimewa Bagi
Personal Guarantee .......................................................... 38
B. Kerangka Teori............................................................................ 39
1. Teori Concursus Creditorium ................................................. 39
2. Teori Pembuktian .................................................................. 39
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ........................................... 40
BAB III: KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE YANG MELEPASKAN
.HAK ISTIMEWA
A. Kedudukan Para Pihak ................................................................ 43
1. PT. Bank Mayapada Internasional, TBK sebagai Kreditur .... 43
2. Arifin (Personal Guarantee) sebagai Debitur ........................ 43
B. Kasus Posisi ................................................................................ 44
1. Duduk Perkara ........................................................................ 44
2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Pengadilan Niaga
Nomor: 49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga-Jkt.Pst .................. 47
3. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung
Nomor: 212/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 ......................................... 50
4. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung
Nomor: 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 ....................................... 50
5. Putusan Hakim Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung ..... 51
BAB.IV:.PROBLEMATIKA KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE
DALAM PELEPASAN HAK ISTIMEWA
A. Mekanisme Permohonan Pailit Terhadap Personal Guarantee .. 54
1. Permohonan Pailit Personal Guarantee ................................. 54
2. Problematika Permohonan Pailit Terhadap Personal Guarante
yang Melepaskan Hak Istimewa ............................................. 57
ix
B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 ......................................................... 59
1. Analisis Pertimbangan Hukum ............................................... 59
a. Pertimbangan Hukum Pengadilan Niaga ........................... 59
b. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung tingkat Kasasi .. 63
c. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung tingkat PK ...... 64
C. Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantee Atas Putusan
Hakim Mahkamah Agung Nomor : 141/PK/Pdt.Sus/Pailit ........ 73
BAB V:.PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 76
B. Rekomendasi ............................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebuah perusahaan dalam menjalankan roda kegiatan usahanya
kerap kali membutuhkan suntikan dana yang digunakan sebagai modal
tambahan dalam menjalankan usahanya. Banyak metode dan cara yang
dapat ditempuh oleh sebuah perusahaan untuk mendapatkan dana tersebut.
Salah satunya adalah dengan cara meminjam uang melalui pihak Bank.
Proses peminjaman uang kepada bank tersebut sering disebut sebagai
kredit. Kredit dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1997 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Pada dasarnya, pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur
dilakukan karena adanya kepercayaan dari pihak kreditur bahwa debitur
itu akan mengembalikan pinjaman itu pada waktu yang sudah ditentukan
atau sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan kesepakatan.1 Dengan demikian, faktor pertama yang
menjadi pertimbangan bagi kreditur adalah kemauan (willingness) dari
debitur untuk mengembalikan utangnya itu. Tanpa adanya suatu
kepercayaan (trust) niscaya kreditur tidak akan memberikan suatu kredit
atau pinjaman tersebut kepada pihak debitur. Oleh karena itulah, mengapa
pinjaman dari seorang kreditur kepada seorang debitur disebut sebagai
1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,(Jakarta: Prenadamedia Group,
2012), h.58
2
kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan
atau trust.2
Debitur yang ingin meminjam fasilitas kredit dari pihak perbankan
tentunya dengan memberikan suatu jaminan oleh pihak debitur, guna
kepentingan pihak perbankan ketika adanya kredit macet. Jaminan dapat
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu jaminan materil (jaminan kebendaan)
dan jaminan imateriil (jaminan perorangan). Jaminan kebendaan
mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului
di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti
benda yang bersangkutan..Jaminan perseorangan (Personal Guarantee)
tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya
dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan.3 Jaminan perorangan atau
personal guarantee diatur dalam Buku III Bab XVII Pasal 1820-1850
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disingkat KUH
Perdata), hak yang dilahirkan adalah hak yang bersifat relative yaitu hak
yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu yang terikat oleh
perjanjian.4
Debitor ketika melakukan ingkar janji, dalam perjanjian
penjaminan perorangan (personal guarantee) berlaku pula ketentuan
jaminan secara umum yang diatur di dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan
1132 KUH Perdata. Dalam hal ketika terjadinya kepailitan pada debitur,
berlaku prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor)
2 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010), h.2
3 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2017, Cet. Kesepuluh), h.23
4 Trisadini Prasatinah Usanti dan Leonora Bakarbessy, Hukum Jaminan, (Surabaya: Revka
Petra Media, 2014), h.16
3
dan prinsip pari passu prorate parte. Makna prinsip paritas creditorium
yakni menentukan bahwa para kreditur mempunyai hak yang sama
terhadap semua harta kekayaan debitor, sedangkan prinsip pari passu
prorate parte berarti bahwa harta kekayaan kepunyaan debitor merupakan
jaminan bersama untuk para kreditor dan hasil-hasilnya harus dibagikan
secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor
tersebut ada yang menurut Undang-Undang harus didahulukan menerima
pembayaran hak tagihannya.
Penjamin perseorangan atau personal guarantee di dalam
ketentuan Pasal 1831 dan 1837 KUH Perdata berhak untuk menuntut agar
debitor utama ditagih terlebih dahulu, apabila adanya kekurangan dari
utang tersebut maka barulah timbul kewajiban bagi pihak penjamin untuk
melunasinya. Jika adanya suatu penjamin lain, utang tersebut dipecah-
pecah atau dibagi di antara para penjamin itu.5
Namun disisi lain, adanya penjamin perseorangan yang telah
melepaskan hak istimewanya menurut Undang-Undang menjadi
permasalahan seringkali kreditur melakukan permohonan pailit kepada
penjamin pribadi atau personal guarantee tanpa lebih dahulu memailitkan
debitor utama, hal inilah yang perlu diperhatikan terhadap seorang
penjamin pribadi karena ia sepenuhnya ia yang bertanggung jawab atas
segala utang debitor utama, karena debitor utama tidak memenuhi
kewajibannya. Personal guarantee disisi lain dalam hal ini yang bisa saja
debitor utama sengaja tidak mau membayar kepada kreditur sehingga
debitur dapat menagih kepada personal guarantee terlebih kepada
personal guarantee yang melepaskan hak istimewanya.
Debitur dalam hal ini yang tidak dapat melaksanakan kewajiban
kepada pihak kreditur, maka sarana hukum yang dapat ditempuh bagi
penyelesaian piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap
5 Thomas Suyatno dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2007), h. 94.
4
kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit kepada pengadilan terhadap seorang debitur dengan
syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah
Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. sedangkan jika kita tinjau
syarat dari adanya putusan pailit sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal
2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan
satu atau lebih kreditornya.
Kepailitan pada penjamin pribadi atau personal guarantee pernah
terjadi kepada termohon yang bernama Arifin yang dipailitkan oleh
pemohon PT. Bank Mayapada Internasional,Tbk. Arifin merupakan
penjamin pribadi (personal guarantee) dari PT. Mitra Usaha Cemerlang,
yang telah menerima pinjaman/hutang dari Pemohon Pailit untuk modal
kerja berdasarkan Surat Hutang Nomor 104 tanggal 28 September 2012,
yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta,SH., notaris di Jakarta
dengan jumlah pinjaman setinggi-tingginya Rp.200.000.000.000,- (Dua
Ratus Milyar Rupiah), yang terdiri dari :
1. Sebesar Rp. 180.0000.000.000,- (Seratus Delapan Puluh Milyar
Rupiah) dalam bentuk fasilitas Pinjaman Tetap On Demand (PTX-
OD)
2. Sebesar Rp.20.000.000.000,- (Dua Puluh Milyar Rupiah) dalam
bentuk fasilitas Pinjaman Rekening Koran (PRK)
5
Berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107 tanggal
28 September 2012 yang dibuat dihadapan Misahardi Wilamarta, SH.,
Notaris di Jakarta tersebut, Termohon Pailit sebagai Penjamin telah
melepaskan semua hak istimewa dan wewenang yang dimilikinya.
Selain itu, Termohon Arifin juga mempunyai hutang pribadi
kepada PT. Bank Mayapada Internasional,Tbk untuk tambahan modal
kerja sebesar Rp.10.500.000.000,- (Sepuluh Milyar Lima Ratus Juta
Rupiah) dalam bentuk fasilitas Pinjaman Tetap Angsuran (PTA). Dan juga
Termohon Arifin mempunyai Hutang terhadap kreditur lainnya yakni, PT.
Bank Cimb Niaga, Tbk, PT. Bank Anz Indonesia Cabang Sudirman, PT.
Bank Central Asia Cabang Jakarta, PT. Bank Asia Cabang Gorontalo, PT.
Bank Mega Tbk Cabang Menara, dan juga PT. Bank Danamon Indonesia
Tbk. Dengan dibuktikan oleh pemohon hanya berdasarkan fotocopy BI
Checking.
Menarik untuk dikaji lebih lanjut permasalahan kepailitan personal
guarantee dalam Putusan ini karena hakim pengadilan niaga mempailitkan
Termohon Arifin karena pemohon PT. Bank Mayapada Internasional,Tbk
hanya membuktikan fotocopy BI Checking untuk menunjukkan adanya
kreditor lain dalam perkara ini. Karena dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung Putusan No. 443 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 28 Agustus 2009, di
mana dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menolak bahwa
fotocopy BI Checking dapat digunakan atas utang Termohon pailit tanpa
adanya dukungan bukti lain bahwa benar Termohon pailit mempunyai
kreditor lain selain dari Pemohon pailit a quo.
Selain itu, perlu peneliti analisis lebih lanjut terkait kedudukan dari
personal guarantee. Karena jika kita mengacu kepada syarat pailit dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dapat
6
dipailitkan adalah seorang debitur yang mempunyai utang yang sudah
jatuh tempo dan adanya kreditur lain.
Berdasarkan hal itulah, peneliti tertarik untuk mengkaji dan
membahas permasalahan tersebut dengan judul “KEPAILITAN
PERSONAL GUARANTEE TERHADAP PELEPASAN HAK ISTIMEWA
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016).
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah peneliti paparkan diatas,
maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Tidak adanya perlindungan hukum kepada personal guarantee yang
telah melepaskan hak istimewanya ketika debitur utama wanprestasi
b. Mekanisme permohonan pailit personal guarantee yang melepaskan
hak istimewanya
c. Permohonan pailit terhadap personal guarantee apakah harus
dipailitkan terlebih dahulu debitur utama
d. Kedudukan personal guarantee ketika melepaskan hak istimewanya
e. Bukti BI Checking sebagai syarat untuk menunjukkan adanya
kreditor lain menurut ketentuan hukum yang berlaku
f. Akibat hukum yang terjadi ketika personal guarantee melepaskan
hak istimewanya dinyatakan pailit
g. Pertimbangan Mahkamah Agung Nomor 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang ingin peneliti paparkan dan kaji tidak
terlalu melebar, maka pembahasan skripsi ini dibatasi mengenai perkara
kepailitan personal guarantee yang melepaskan hak istimewa dan
dipailitkan berdasarkan bukti BI Checking dalam Putusan Nomor :
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016
7
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari seluruh apa yang telah peneliti identifikasi, maka
pada penulisan skripsi ini rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti
yaitu terkait kepailitan terhadap personal guarantee yang melepaskan
hak istimewa, berdasarkan rumusan masalah tersebut maka peneliti buat
perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara kepailitan
personal guarantee yang melepaskan hak istimewa dalam Putusan
Nomor 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016?
b. Bagaimana akibat hukum atas Putusan Nomor
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 terhadap personal guarantee yang
dinyatakan pailit?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah
dipaparkan dan diuraikan diatas, maka tujuan penelitian yang hendak
dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutus kepailitan
terhadap personal guarantee
b. Untuk memahami akibat hukum atas putusan pailit terhadap
personal guarantee yang telah melepaskan hak istimewa.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah
dan menuliskan hasil-hasil penelitian tersebut dalam bentuk
tulisan.
2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku
perkuliahan untuk dipraktikan di lapangan.
8
3) Memperoleh manfaat dibidang hukum pada umumnya maupun
dalam bidang kepailitan dan jaminan secara khususnya dengan
mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum yang
timbul didalam kehidupan masyarakat.
b. Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan ilmu
pengetahuan serta masukan baik bagi pihak penjamin perorangan
(personal guarantee) yang melepaskan hak istimewanya dengan
segala akibat hukum dan konsekuensi yang terjadi ketika melepaskan
hak istimewanya tersebut. Serta diharapkan menambah kepekaan
bagi pihak penjamin perseorangan (personal guarantee) agar lebih
mempertimbangkan konsekuensi hukum yang terjadi ketika
melepaskan hak istimewanya.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
library research (studi kepustakaan) dengan metode penelitan yuridis
normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian hukum
yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder
belaka. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai
peraturan perundang-undangan dibidang hukum kepailitan. Metode
berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir
dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya
umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu
ditunjukkan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).
2. Jenis Penelitian
Sehubungan dengan penelitian dalam skripsi ini merupakan
penelitian normatif maka peneliti menggunakan pendekatan undang-
undang (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti
9
aturan-aturan yang berkaitan dengan Kepailitan. Pendekatan konsep
digunakan untuk memahami konsep-konsep tentang pengertian
personal guarantee, pengertian hak istimewa personal guarantee.
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
(primary data), data sekunder (secondary data), dan data tersier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer
terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.6Yang terdiri dari :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan
4) Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 49/Pdt.Sus/ Pailit/2014
5) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 212/K/Pdt.Sus/Pailit/2015
6) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 141/ PK/ Pdt.Sus /Pailit/
2016
7) Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang
Sistem Informasi Debitur
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan hukum perbankan,
hukum jaminan, hukum kepailitan, buku penjamin dalam prinsip
syariah (kafalah), skripsi hukum kepailitan, dan jurnal atau materi-
materi hukum yang mendukung tulisan ini.
6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenadamedia,2005), h. 178
10
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut mengenai bahan-bahan hukum primer dan
hukum sekunder, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kamus hukum, majalah, blog, koran dan lainnya.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini
yaitu studi keputakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari
referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai
literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi,
tesis dan peraturan perundang-undangan di berbagai perpustakaan
umum dan universitas.
Data yang dikumpulkan akan dianalisa secara kualitatif yang
berarti bahwa data bersangkutan yang dikumpulkan terkait dengan
objek penelitian ini akan dihimpun, diolah, dan dianalisa lalu
dikonstruksikan.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum seperti bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis
untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan di dalam
rumusan masalah.
Mengenai cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara
deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang
bersifat umum terhadap permasalahan yang bersifat konkret.
Selanjutnya setelah bahan hukum diolah dan dilakukan analisis
terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya dapat menjawab
permasalahan mengenai kepailitan personal guarantee yang
melepaskan hak istimewa nya.
11
E. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta Tahun
2017, yang terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab terdiri dari sub bab
yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan
yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar
Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan
Rancangan Sistematika Penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KEPAILITAN DAN
PERSONAL GUARANTEE
Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului dengan
konsep dasar dan kerangka teori dan kerangka konseptual
tentang tinjauan umum tentang kepailitan, tinjauan umum
tentang personal guarantee, hak istimewa personal
guarantee. Pada bab ini juga dibahas review studi terdahulu
yang relevan, yang fokus pembahasannya mendeskripsikan
persamaan dan perbedaan dari studi yang peneliti akan
lakukan.
BAB III KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE YANG
MELEPASKAN HAK ISTIMEWA
Bab ini merupakan penyajian data dan penelitian data
secara deskriptif dimana data yang dimaksud adalah
Putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 yang dalam hal ini membahas
12
mengenai kasus, pertimbangan hukum hakim dan putusan
hakim.
BAB IV PROBLEMATIKA DALAM KEPAILITAN
PERSONAL GUARANTEE YANG MELEPASKAN
ISTIMEWA
Bab ini merupakan analisis permasalahan yang akan
membahas dan menjawab permasalahan pada penelitian ini
diantaranya menganalisis faktor kepailitan terhadap
personal guarantee yang melepaskan hak istimewanya
sebagaimana dalam putusan hakim Mahkamah Agung
Nomor 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 dan akibat hukum yang
terjadi terhadap putusan tersebut.
BAB V PENUTUP
Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai
dengan perumusan masalah yang telah diterapkan dan
rekomendasi yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian
dan pengulasannya dalam skripsi.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEPAILITAN
DAN PERSONAL GUARANTE
A. Kerangka Konseptual
1. Tinjauan Umum Kepailitan
a. Pengertian Kepailitan
Kepailitan berasal dari kata dasar pailit. Pailit yakni segala sesuatu
yang berhubungan dengan suatu peristiwa keadaan berhenti membayar
utang, dalam hal ini utang debitor yang telah jatuh tempo.1 Bila
ditelusuri secara lebih mendasar, bahwa istilah “pailit” dijumpai di
dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris,
dengan istilah yang berbeda-beda.
Di dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau
kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang yang
mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya di dalam bahasa
Perancis disebut lefailli. Untuk arti yang sama di dalam bahasa Belanda
digunakan istilah failliet. Kepailitan di dalam bahasa Inggris dikenal
istilah “to fail”, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah
“fallire” Pailit, di dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan
sebagai keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar
utang-utangnya.2
Kepailitan secara apriori dianggap sebagai suatu kegagalan yang
disebabkan karena kesalahan dari pihak debitor dalam menjalankan
suatu usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar.
Oleh karena itu kepailitan diidentikan sebagai suatu pengemplangan
1 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), h. 349
2 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang di Indonesia, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), h.23
14
utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan
kepada Kreditor. Bagi Kartono bahwasanya kepailitan memang tidak
merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, tapi apabila
nantinya ia berupaya mendapatkan suatu kredit, maka disitulah baru
terasa baginya sisi gelap dari orang yang pernah dinyatakan pailit.3
Berbeda halnya dengan Munir Fuady yang mendefinisikan bahwa yang
dimaksud pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh
harya kekayaan debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan
para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil di
antara para kreditor.
Kepailitan dalam kepustakaan Black’s law dictionary menyatakan
“Bankrupt is the state or condition of one who is unable to pay his debts
as they are, or become, due”.4
Pengaturan kepailitan tak luput pula dari sisi yuridis yang diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Ketentuan Pasal 1 Angka 1
menyatakan bahwa :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas”
Debitor pailit setelah adanya putusan pengadilan maka pengurusan
dan pemberesan harta debitor pailit tersebut dilakukan oleh Kurator
dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Hal tersebut dilakukan demi
kepentingan daripada para kreditor-kreditor yang dimiliki oleh debitur
agar harta kekayaan debitur dibagi sesuai dengan prinsip paritas
creditorium, pari passu prorate parte, dan structured creditors.
3 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradya Paramita,
1982), h. 42
4 Henry Campbell Black. Black’s law dictionary, (West Publishing Co.,St, Paul
Minnesota, 1979), h. 134
15
b. Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kepailitan
Black mengartikan bahwa prinsip sebagai “a fundamental truth or
doctrine, as of law;a comprehensive rule of doctrine which furnishes a
basis or origin for others”5. Bruggink menyatakan bahwa asas/ prinsip
hukum adalah suatu nilai yang melandasi norma hukum. Selanjutnya
Bruggink mengikuti pendapat Paul Schoten bahwa asas hukum
merupakan pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan
perundang-undangan dan putusan hakim, yang berkenaan dengan
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual.6
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas atau prinsip hukum
bukanlah suatu hal yang konkret, melainkan prinsip hukum merupakan
pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkret yang terdapat di dalam dan di belakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan yang
konkret itu.7 Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang setidaknya
telah memiliki Asas/Prinsip umum kepailitan, antara lain :
1) Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para
kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang
sama terhadap semua harta benda debitor. Artinya apabila suatu
debitor tidak sanggup untuk membayar utang-utangnya, maka
harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor dalam melunasi
5 Henry Campbell Black. Black’s law dictionary ,… h.1074
6 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di
Peradilan), (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2015), h. 25
7 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2005), h.34
16
utang-utangnya tersebut. Prinsip ini mengartikan bahwasanya
semua harta kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak
ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang
dipunyai debitor menjadi sasaran bagi para kreditor untuk
melunasi segala bentuk utang-utangnya.
Filosofi dari adanya prinsip paritas creditorium yakni bahwa
merupakan suatu ketidakadilan apabila debitor memiliki harta
benda namun utang debitor kepada kreditornya tidak
terbayarkan.8 Makna lain dari prinsip paritas creditorium adalah
bahwa yang menjadi jaminan umum atas utang-utang debitor
hanya terbatas kepada harta kekayaannya saja bukan aspek
lainnya, seperti status pribadi dan hak-hak lainnya di luar harta
kekayaan sama sekali tidak terpengaruh terhadap utang debitor
tersebut.
Prinsip paritas creditorium kendatipun merupakan respons
atas ketidakadilan tersebut, apabila prinsip tersebut diterapkan
secara letterlijk maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan
berikutnya. Karena prinsip paritas creditorium menganggap para
kreditor berkedudukan sama dengan kreditor lainnya, padahal
secara faktanya pasti ada suatu kreditor yang memiliki piutang
besar dan ada pula kreditor yang memiliki piutang kecil. Tentu
apabila prinsip tersebut berdiri sendiri menimbulkan
ketidakadilan baru, maka dari itu prinsip ini harus dikaitkan pula
dengan prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured
creditors.
2) Prinsip Pari Passu Prorata Parte
Prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan
8 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di
Peradilan), … h. 28
17
hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka
kecuali jika diantara para kreditor itu ada yang menurut undang-
undang harus didahulukan dalam menerima pembayarannya.9
Prinsip paritas creditorium disisi lain untuk memberikan suatu
keadilan bagi semua kreditor tanpa adanya suatu perbedaan
terhadap harta kekayaan debitor, sedangkan prorata parte
bermakna perolehan yang proporsional, yaitu jumlah yang
diterima oleh kreditor dihitung berdasarkan besarnya piutang
masing-masing dibandingkan dengan piutang mereka secara
keseluruhan terhadap harta kekayaan yang dipunyai oleh
debitor.10
3) Prinsip Structured Creditors
Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dikaitkan pula
dengan prinsip pari passu prorate parte dalam kontek kepailitan
ternyata masih mempunyai kelemahan apabila ternyata kreditor
tidak sama kedudukannya bukan persoalan besar kecilnya
piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya karena ada sebagian
kreditor yang memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditor
yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh undang-
undang.11
Jika pada akhirnya kedudukannya disamakan maka
adanya lembaga hukum jaminan seperti tidak bermakna lagi.
Maka dari itu adanya suatu prinsip structured creditors sebagai
pelengkap daripada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari
passu prorate parte guna melindungi para kreditor yang
9 Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga,
Dalam: M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di Peradilan),
(Jakarta: Kencana, 2015), h. 29
10
Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan : Teori Kepailitan, (Jakarta: PT. Cahaya
Prima Sentosa, 2018), h. 59
11
M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di
Peradilan), … h.31
18
memiliki jaminan preferensi yang telah diberikan oleh undang-
undang.
Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam
kreditor menjadi tiga macam, yaitu :
(1) Kreditor Separatis
(2) Kreditor Preferen
(3) Kreditor Konkuren
4) Prinsip Utang
Dalam proses kepailitan konsep utang merupakan suatu hal
yang sangat penting, karena tanpa adanya utang tidaklah
mungkin suatu perkara kepailitan dapat diperiksa. Tanpa adanya
utang maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan
adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi asset debitor
untuk membayar utang-utangnya kepada kreditornya. Maka dari
itu M. Hadi Shubhan menyatakan utang merupakan raison d’etre
dalam perkara kepailitan. Pendapat lain dari Ned Waxman bahwa
utang dapat didefinisikan sebagai “The concept of a claim is
significant in determining which debts are discharged and who
share in distribution”.12
Konsep Utang dalam kepailitan di Amerika Serikat disebut
dengan claim. Robert L.Jordan mengartikan claim diartikan
sebagai:
(1) Right to payment, whether or not such right is reduced to
judgement, liquidated, unliquidated, fixed, contingent,
matured, unmatured, disputed, undisputed, legal,equitable,
secure or unsecured; or
(2) Right to an equitable remedy for breach of performance if
such breach gives rise to a right to payment, wether or not
12
Ned Waxman, “Bankcrupty, dalam : M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan
(Prinsip,Norma, dan Praktik di Peradilan), … h. 34
19
such right to an equitable remedy is reduced to judgement,
fixed, contingent, matured, unmatured, disputed,
undisputed, secured or unsecured.13
Utang dalam Pasal 1 Angka (6) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu :
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia
maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oeh
Debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditor
untuk mendapatkannya dari harta kekayaan debitor”.
Dapat disimpulkan bahwasanya dalam pengajuan perkara
kepailitan harus adanya konsep utang sebagai syarat permohonan
pailit, karena tanpa adanya utang esensi kepailitan menjadi tidak
ada.
5) Prinsip Debt Collection
Prinsip debt collection mempunyai makna yang berkaitan
langsung dengan prinsip consursus creditorium dan keadaan
insolven. Prinsip debt collection bersama-sama dengan concursus
creditorium menjadi suatu penanda bahwasanya untuk
membedakan mana penuntutan pembayaran utang yang
dilakukan dengan gugatan perdata dan dengan tuntutan utang
yang pembayaran utang tersebut harus dilakukan dengan
permohonan pailit.14
13
Ned Waxman, “Bankcrupty”, dalam : M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan
(Prinsip,Norma, dan Praktik di Peradilan), … h.34 14
Elyta Ras Ginting, Hukum Kepailitan : Teori Kepailitan, … h. 60.
20
Emmy menyatakan bahwa hukum kepailitan dibutuhkan
sebagai alat collective proceeding. Artinya, tanpa adanya suatu
hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-lomba
secara sendiri-sendiri mengklaim asset debitor untuk kepentingan
masing-masing.15
Maka dari itu hukum kepalitan berfungsi
sebagai alat collective proceeding bagi para kreditor bahwa
segenap harta kekayaan debitor adalah menjadi jaminan terhadap
utang para kreditornya dengan melikuidasi asset debitur. Dengan
demikian prinsip debt collection berfungsi sebagai sarana
pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditor melalui proses
likuidasi terhadap harta kekayaan debitor.
6) Prinsip Debt Polling
Prinsip ini menekankan terkait bagaimana harta kekayaan paiit
harus dibagi di antara para kreditornya. Di dalam melakukan
pendistribusian aset tersebut tentunya kurator akan berpegang
pada prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorate
parte, dan Prinsip structured creditors. Prinsip debt polling ini
juga merupakan artikulasi dari sifat-sifat yang melekat di dalam
proses kepailitan, baik hal tersebut berkenaan dari adanya
karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim.
7) Prinsip Debt Forgiveness
Prinsip ini mengandung arti bahwa kepailitan tidaklah selalu
identik hanya sebagai pranata penistaan kepada para debitor
melainkan pula sebagai peringanan beban yang diberikan kepada
para debitor guna melunasi utang-utangnya. Implementasi dari
prinsip debt forgiveness ini dalam norma-norma hukum
kepailitan yaitu dengan adanya penundaan kewajiban
pembayaran utang untuk jangka waktu yang ditentukan. Bahkan
dengan adanya prinsip ini debitor yang telah dinyatakan pailit
15
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di Peradilan),
… h.38.
21
akan mendapatkan status fresh-starting bagi para debitor,
sehingga memungkinkan debitor untuk memulai usaha baru
tanpa adanya bayang-bayang atau tanpa dibebani utang-utang
debitor yang lama. Bahkan Gross menyatakan bahwa pemberian
pemaafan kepada debitor yang benar-benar mengalami
kebangkrutan merupakan penyeimbang dari adanya kepailitan
tersebut, “for debtors, the ideal system provides a fresh start,
premised on recognition that mistakes happen but debtors can be
rehabilitated through forgiveness”.16
Adanya prinsip debt forgivness tidaklah lepas bahwasanya
suatu usaha akan terkandung suatu resiko atau ketidakpastian dan
semua resiko merugikan usaha dan bahkan bisa pula sampai
membangkrutkan suatu usaha.
8) Prinsip Universal dan Prinsip Teritotial
Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa
putusan pailit dari suatu negara, maka putusan tersebut berlaku
terhadap semua harta debitur baik yang berada di dalam megeri
maupun di luar negeri. Istilah tersebut dikenal sebagai cross
border insolvency. Namun apabila negara tersebut tidak
mengikuti perjanjian internasional terkait dengan kepailitan atau
perjanjian antar negara maka berlaku lah prinsip territorial yang
hanya berlaku pada negara tempat pengadilan tersebut
memutuskan debitur pailit.
c. Pengertian Utang, Kreditor, dan Debitor
1) Pengertian Utang
Pada Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mendefinisikan bahwa “debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
16
Karen Gross, Failure and Forgiveness: Rebalancing the Bankcrupty System,
(New Heaven: Yale University Press, 1997), h.244.
22
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atau permohonan satu atau lebih
kreditornya”. Apabila kita cermati bahwa utang dalam perkara
kepailitan sangatlah penting, tanpa adanya utang maka tidak ada
artinya sarana hukum kepailitan. Sehubungan dengan itu maka perlu
kita pahami apa yang dimaksud dengan utang. Menurut Pasal 1
Angka (6) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu :
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia
ataupun dalam mata uang asing, baik yang secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang
timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan yang wajib
dipenuhi oleh debitor bila tidak dipenuhi member hak kepada
kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor”.
2) Pengertian Debitor dan Kreditor
Pasal 1 Angka (3) mendefinisikan yang dimaksud dengan debitor
adalah sebagai berikut :
“debitor adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat
ditagih di muka pengadilan”
Sementara itu, yang dimaksud kreditor diberikan pengertiannya
dalam Pasal 1 Angka (2) sebagai berikut :
“kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka
pengadilan”
Dalam KUH Perdata kita tidak mengenal istilah “debitor” dan
“kreditor”, melainkan dalam KUH Perdata dipakai istilah si berutang
(schuldenaar) dan si berpiutang (schuldeischer). Menurut Pasal 1234
23
KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1235 KUH Perdata, dan
Pasal 1239 KUH Perdata , si berutang adalah pihak yang wajib
memberikan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu yang berkenaan
dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian
ataupun karena undang-undang. Di dalam pustaka-putstaka hukum
dan kehidupan masyarakat schuldenaar disebut sebagai debitor,
sedangkan schuldeiser disebut sebagai kreditor.17
Adrian Sutedi dalam bukunya berjudul Hukum Kepailitan
membagi pengertian debitor dan kreditor dalam arti luas dan sempit
sebagai berikut :18
1) Pengertian dalam arti sempit, debitor ialah pihak yang
mempunyai utang yang timbul semata-mata dari perjanjian
utang-piutangnya saja. Berdasarkan pendirian utang dalam
arti sempit, maka yang dimaksud dengan kreditor adalah
pihak memiliki hak tagih atau tagihan yang berupa
pembayaran sejumlah uang yang hak tersebut timbul
semata-mata dari perjanjian utang-piutang.
2) Pengertian dalam arti luas, debitor adalah pihak yang
mempunyai suatu kewajiban untuk membayar utang yang
timbul dari sebab apa pun, baik karena perjanjian utang-
piutang dan perjanjian lainnya maupun yang timbul karena
undang-undang.
d. Para Pihak Yang Dapat Mengajukan Kepailitan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan, pihak
yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah sebagai berikut :19
17
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010), h. 93
18
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2009), h. 32
19
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 12
24
1) Debitur sendiri
Undang-Undang memungkinkan seorang debitur untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika
debitur masih terikat dengan pernikahan yang sah, permohonan
tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang
menjadi pasangannya (Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan).
Seorang debitor dapat mengajukan permohonan pailit terhadap
dirinya (voluntary petition) hanya apabila terpenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :20
a. Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
b. Debitor sedikitnya tidak membayar satu utang yang telah
jatuh waktu dan telah dapat ditagih
2) Seorang kreditur atau lebih
Sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan,
kreditor yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap
debiturnya adalah kreditor konkuren, kreditor preferen, ataupun
kreditor separatis. Jadi dalam peraturan kepailitan di Indonesia satu
orang kreditur dapat mengajukan kepailitan terhadap debiturnya
apabila syarat-syarat kepailitan tersebut terpenuhi.
Bila kita bandingkan dengan The Bankcrupty Ac of 1978
(Peraturan Kepailitan di Amerika), khususnya terkait “Number and
Claim of Petitioning Creditor”, dijelaskan bahwa :
“If there are twelfe or more creditor, at least three, whose
unsecured claim total $5000 or more, must sign the involuntary
petition”
Dari penjelasan diatas diartikan bahwa permohonan kepailitan
tidak dapat dimohonkan oleh hanya seorang kreditur seperti halnya
20
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, … h. 104
25
di Indonesia bahwa satu orang kreditur dapat mengajukan
permohonan pailit terhadap debiturnya.21
3) Kejaksaan
Permohonan pailit terhadap debitur juga dapat diajukan oleh
kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 Ayat (2) UU
Kepailitan). Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya :
a. Debitur melarikan diri
b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan
c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha
lain yang menghimpun dana dari masyarakt
d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan
dana dari masyarakat luas
e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu;
atau
f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum
4) Bank Indonesia
Bank menurut Undang-Undang Perbankan Indonesia No.10
Tahun 1998 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam
bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup khalayak orang banyak. Ketika bank mengalami kepailitan,
maka Bank Indonesia adalah pihak yang berwenang dalam rangka
mencabut izin usaha bank oleh Pimpinan Bank Indonesia yang
berujung pada likuidasi dan juga dimohonkan putusan kepailitan.
21
Ronald A. Anderson, dalam Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia. (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), h. 33
26
Landasan yuridis bagi bank Indonesia untuk mengajukan
kepailitan bagi bank yang bermasalah yaitu Pasal 2 Ayat (3) UU No.
37 Tahun 2004, yakni “Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak
yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika
debiturnya adalah bank”. Hal tersebut berdasarkan alasan:22
a) Perbankan beserta peraturan-peraturan pelaksananya tidak
mengenal adanya mekanisme kepailitan dalam rangka
penyelesaian hak dan kewajiban atas suatu bank;
b) Bank merupakan lembaga keuangan yang sumber dananya
dari masyarakat, sehingga dalam hal ini mempunyai
karakteristik yang khusus dibandingkan dengan badan hukum
lain. Oleh karena itu, ketentuan mengenai tata cara
pencabutan izin usaha, pembubaran, likuidasi bank diatur
secara khusus dan tersendiri (lex spesialis) dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999;
c) Mekanisme penyelesaian hak dan kewajiban bank ditempuh
melalui prosedur likuidasi (Undang-Undang Perbankan dan
peraturan pelaksananya) bukan melalui prosedur permohonan
kepailitan. Yang mana hal ini sejalan dengan surat Ketua
Mahkamah Agung RI No. KMA/379/V/1994 tanggal 13 Mei
1994.
5) Badan Pengawas Pasar Modal atau Bapepam
Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan efek, bursa
efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan
penyelesaian, hanya dapat diajukan oleh Bapepam.
6) Menteri Keuangan
Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pension, atau BUMN yang bergerak di
bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri
22
Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, … h. 178
27
Keuangan, dengan maksud untuk membangun tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap badan usaha tersebut.
Kewenangan ini yang hanya dapat diberikan kepada menteri
keuangan, didasarkan pada pengalaman sebelumnya, yaitu
banyaknya perusahaan asuransi yang dimintakan pailit oleh kreditor
secara pribadi, seperti perusahaan asuransi Manulife, perusahaan
asuransi prudential,dll.23
Sejalan dengan hadirnya tugas Otoritas Jasa Keuangan yang
mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan, maka dalam hal ini pengajuan proses
kepailitan terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah,
perusahaan reasuransi dan perusahaan reasuransi syariah yang pada
awalnya merupakan kewenangan Menteri Keuangan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beralih menjadi
kewenangan OJK berdasarkan Undang-Undang Perasuransian.24
7) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pemohon Pailit
Hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentunya mempunyai peran baru
terhadap pemohon pailit, sesuai dengan tujuan berdirinya OJK yakni
untuk mengatur, mengawasi, dan melindungi seluruh lembaga
keuangan di Indonesia. Disahkannya undang-undang tersebut
memberikan otoritas kepada OJK untuk mengawasi seluruh lembaga
keuangan di Indonesia baik itu perbankan, asuransi, maupun
perusahaan efek. Dengan telah diamanatkannya pengawasan
lembaga keuangan kepada OJK maka sudah selayaknya dalam
23
Jono, Hukum Kepailitan, … h.20
24
.https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5645b7892a4e7/peran-ojk-
sebagai-pemohon-pailit-perusahaan-asuransi/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2019 pukul
22.28)
28
pengajuan permohonan pailit pada lembaga keuangan yang telah
disebutkan sebelumnya hanya dapat diajukan oleh OJK. Namun pada
kenyataannya OJK hanya dapat mengajukan permohonan pailit
kepada perusahaan efek, lembaga kliring, dan lembaga penjamin
yang dapat diajukan permohonan pailit, dan untuk lembaga
perbankan dan asuransi tetap kewenangan dari Bank Indonesia dan
Menteri Keuangan.25
Berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perasuransian, dan Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2015 Tentang
Pembubaran,Likuidasi dan Kepailitan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan
Perusahaan Reasuransi Syariah, yang telah memberikan penafsiran
bahwasanya dengan berlakunya Undang-Undang yang baru
mengenyampingkan Undang-Undang yang lama atau lebih dikenal
dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori.26
e. Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit
Ketentuan Pasal 3 dan 4 Undang-Undang No.37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah
menjelaskan, bahwa setiap debitor (pengutang) yang berada dalam
keadaan berhenti membayar utangnya dapat dijatuhi keputusan
kepailitan. Debitor.disini dapat terdiri dari orang (badan pribadi)
maupun pihak badan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka yang
dapat dinyatakan pailit, ialah :27
25
Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 194
26
Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, … h. 195 27
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang di Indonesia …, h. 31
29
1) Dalam debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
2) Dalam hal debitor adalah perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal.
3) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau BUMN yang bergerak di
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Menteri Keuangan / Otoritas Jasa Keuangan
4) Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor
yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya
dapat diajukan atas persetujuan suami ataun istrinya.
5) Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat
nama tempat tinggal masing-masing persero yang secara tanggung
renteng terikat untuk seluruh utang firma.
Permasalahan baru berikutnya ialah apakah seorang penanggung
(bortocht) dapat dinyatakan pailit, berkenaan dengan itu perlu kita
simak terlebih dahulu ketentuan tentang penanggungan sebagaimana
yang telah diatur di dalam Pasal 1820-1830 KUH Perdata. Penanggung
adalah pihak ketiga yang dengan suatu perjanjian bersedia untuk
memenuhi perikatan pihak kedua ( si berutang) guna kepentingan pihak
pertama (si berpiutang). Maka dari itu Zainal Asikin dalam bukunya
yang berjudul Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang di Indonesia merumuskan terkait permasalahan
kepailitan penanggung sebagai berikut :
1) Seorang penanggung belum dapat dinyatakan pailit apabila
tertanggung (debitur) benar-benar masih mampu membayar
utang-utangnya, meskipun keadaan penanggung sudah dalam
keadaan tidak mampu dan harus diingat pua bahwa dengan
30
jatuh pailitnya penaggung tidaklah secara otomatis membuat
tertanggung (debitur) menjadi pailit.
2) Bahwa pihak penanggung baru dapat dinyatakan pailit atau
dimohonkan pailit apabila perusahaan tertanggung (debitur)
benar-benar sudah tidak mampu membayar utang-utangnya,
dan penanggung sendiri tidak melaksanakan fungsingnya
sebagai seorang penanggung yang baik.28
f. Syarat-Syarat Mengajukan Permohonan Pailit
Syarat mengajukan permohonan pailit tertuang jelas dalam Pasal 2
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya”.
Adanya kreditor atau lebih di dalam perkara kepailitan sangat
penting dan krusial karena hal tersebut menjadi syarat kepailitan bagi
pihak debitor. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah
menjelaskan bahwa debitor hanya dapat dinyatakan pailit ketika
memiliki paling sedikit dua kredior. Syarat mengenai keharusan adanya
dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium.29
Serlika Aprita dalam bukunya yang berjudul Hukum Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Perspektif Teori)
28
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang di Indonesia (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), h. 32
29
Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, … h. 53
31
menjelaskan seseorang atau badan hukum yang hendak mengajukan
permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga ,setidaknya untuk
menyatakan debitor dalam keadaan pailit harus memiliki syarat-syarat
berikut :
1) Keadaan berhenti membayar, yakni apabila seorang debitor
sudah tidak mampu atau tidak mau membayar lagi utang-
utangnya.
2) Harus ada lebih dari seorang kreditor, salah seorang dari
kreditor tersebut memenuhi prinsip utang yang sudah jatuh
tempo dan dapat ditagih
3) Atas permohonannya sendiri maupun permohonan para
kreditornya.30
g. Akibat Kepailitan
1) Akibat Terhadap Harta Kekayaan
Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran utang menyebutkan bahwasanya kepailitan
meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit
diucapkan serga segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Ketentuan tersebut mengartikan bahwa kepailitan hanya meliputi
terhadap harta kekayaan si debitor bukan terhadap diri debitor.
Artinya debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
harta kekayaan yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal
putusan pailit diucapkan.31
Kepaiitan mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitur
selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan
pernyataan pailit diucapkan, kecuali :
30
Serlika Aprita, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Malang: Setara Press, 2018), h. 5
31
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, (Bandung: PT Alumni, 2010), h. 108
32
(1) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan
debitur yang berhubungan dengan pekerjaannya,
perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk
kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
digunakan debitur dan keluarganya, dan bahan makanan
untuk 30 hari bagi debitur dan keluarganya, yang berada
ditempat itu;
(2) Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya
sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa,
sebagai upah, pension, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas;
(3) Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu
kewajiban member nafkah menurut undang-undang.32
2) Akibat Kepailitan Terhadap Pasangan (Suami/Istri) Debitur Pailit
Seseorang yang dinyatakan pailit, yang pailit tersebut
termasuk juga istri atau suaminya atas dasar persatuan harta ( Pasal
23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Ketentuan ini
membawa kepada konsekuensi hukum yang serius dengan ikut
pailitnya si suami/istri yang tergabung dalam persatuan harta juga
berdampak pada sita kepailitan dan masuk kedalam boedel pailit.33
3) Akibat Kepailitan terhadap Seluruh Perikatan yang Dibuat Debitur
Pailit
Pasal 25 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang telah menjelaskan bahwa semua
perikatan Debitor yang terbit setelah adanya putusan pernyataan
32
Jono, Hukum Kepailitan Indonesia, … h. 107
33
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, … h. 65
33
pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali jika
perikatan tersebut menguntungkan harta pailit. Ketentuan ini dibuat
untuk melindungi para kreditor, karena seringkali disusupi dengan
membuat kreditor fiktif untuk kepentingan debitor pailit.
4) Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Karyawan
Jika sudah adanya suatu pernyataan putusan pailit ada
karyawan yang bekerja pada debitor pailit, baik dari karyawan
maupun kurator sama-sama berhak untuk memutuskan hubungan
kerja. Dalam hal pemutusan hubungan kerja perlu adanya suatu
pemberitahuan PHK dengam jangka waktu sebagai berikut :
(1) Jangka waktu pemberitahuan PHK yang sesuai dengan
perjanjian kerja
(2) Jangka waktu tersebut sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku di bidang ketenagakerjaan
(3) Dapat di PHK dengan pemberitahuan minimal dalam janga
waktu 45 hari34
2. Tinjauan Umum Personal Guarantee dan Hak Istimewa Personal
Guarantee
a. Pengertian Personal Guarantee
Istilah personal guarantee sering disebut pula sebagai
penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan di mana
pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk
memenuhi kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan tidak
dapat memenuhi kewajibannya.35
34
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, … h. 71
35
Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, … h. 205
34
KUH Perdata istilah personal guarantee disebut sebagai
penanggung, yang mana dijelaskan penanggung ialah suatu
persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu
tidak memenuhi perikatannya.
Jaminan perorangan / personal guarantee ini jaminan yang
diberikan kepada seorang kreditur bukanlah suatu barang yang berupa
benda melainkan berupa pernyataan oleh pihak ketiga yang tak
mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitur maupun
terhadap kreditur, bahwa dalam hal ini debitur dapat dipercaya untuk
melaksanakan kewajiban yang di perjanjikan, dengan syarat apabila
nantinya debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga
itu yang akan melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan adanya
jaminan perseorangan atau personal guarantee maka suatu hal yang
sangat berarti bagi seorang kreditur manakala debitur tidak membayar
utang-utangnya maka kreditor dapat menuntut kepada seorang
penjamin untuk membayar utang-utang tersebut.36
Dalam Wikipedia, personal guarantee merupakan “A personal
guarantee is a promise made by a person or an organization (the
guarantor) to accept responsibility for some other party’s debt (the
debtor) if the debtor fails to pay it. In the case of a personal guarantee
made by an individual on behalf of another, the person who makes the
personal guarantee is usually referred to as a co-signer of a note for a
loan. A guarantor can be any party, including an individual or another
organization, with a credit history”.37
Sedangkan menurut J Satrio,
personal guarantee (jaminan perorangan) adalah hak yang
memberikan kreditur suatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya
36
Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, … h. 205
37 https://en.m.wikipedia.org/wiki/Personal_guarantee ( diakses pada tanggal 29
April jam 20.30)
35
jaminan untuk menagih piutangnya kepada pihak personal guarantee
apabila debitor utama melakukan wanprestasi.38
Dari uraian penjelasan
diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa personal guarantee
merupakan suatu jaminan perorangan yang diberikan oleh debitur
kepada kreditur, disini pihak kreditur dapat menagih piutangnya pula
kepada personal guarantee jika debitur utama melakukan wanprestasi.
Sutarno pula dalam bukunya yang berjudul Aspek-Aspek Hukum
Pengkreditan pada Bank menjelaskan bahwa pihak penjamin adalah
cadangan, yang artinya penjamin baru dapat membayar utang debitur
jika debitur dalam hal ini tidak mampu lagi membayar utang-utangnya
atau debitur tidak sama sekali tidak mempunyai harta benda yang
dapat disita.39
Pada intinya pula jaminan perorangan atau yang biasa
disebut personal guarantee adalah pernyataan kesanggupan yang
dinyatakan oleh pihak ketiga untuk menjamin pihak kreditor apabila
dalam hal ini debitur wanprestasi.40
b. Pihak yang Dapat Menjadi Personal Guarantee
Pada hakikatnya, penanggungan itu timbul dari adanya suatu
akibat perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya
penanggungan tersebut. Tentu jika ada personal guarantee yang ingin
mengikatkan dirinya dalam penanggungan harus memenuhi syarat-
syarat tertentu, yaitu :41
1) Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk mengikatkan diri
38
J.Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2007), h. 13
39
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Pengkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 239
40
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 2
41
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok
Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty of Fset, 1980), h. 86
36
2) Memiliki kemampuan ekonomis untuk dapat memenuhi utang
debitur yang bersangkutan
3) Harus berdiam diri di wilayah Republik Indonesia
c. Pengaturan Personal Guarantee di Indonesia
Jaminan perorangan atau yang disebut dengan personal guarantee
merupakan pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga
untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada para
kreditornya apabila debitur tersebut melakukan wanpretasi.
Pengaturan terkait personal guarantee diatur di dalam KUH
Perdata dalam Buku III Bab 17 Pasal 1820-1850. Menurut ketentuan
pasal 1831 dan 1837 KUH Perdata, penjamin atau yang disebut
personal guarantee berhak untuk menuntut agar debitor ditagih lebih
dulu, bilamana ada kekurangan barulah kekurangan tersebut ditagih
kepada personal guarantee.42
d. Hapusnya Penjaminan
Hapusnya suatu kewajiban bagi penjamin disebabkan peristiwa-
peristiwa sebagai berikut, yaitu :43
1) Hapusnya perjanjian penjaminan/penanggungan (borgtocht)
tergantung dari perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya
sebagai perjanjian pokok. Apabila suatu perjanjian hapus, maka
perjanjian penjaminan juga turut terhapus;
2) Hapusnya penjaminan juga dapat disebabkan dari adanya
pembebasan terhdap penjamin atau diberhentikan dari penjamin;
3) Apabila kreditor telah menerima pembayaran utang dari debitor.
42
Thomas Suyatno dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, … h. 94
43
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Hukum di Indonesia:
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI,
2007), h. 142
37
KUH Perdata pada Pasal 1848-1849 terkait hapusnya
penanggungan utang, menjelaskan :
1) Pasal 1848 KUH Perdata : Si penanggung dibebaskan apabila ia
karena salahnya si berpiutang, tidak lagi dapat menggantikan
hak-haknya, hipotik-hipotiknya dan hak istimewanya dari si
berpiutang itu.
2) Pasal 1849 KUH Perdata : Jika si berpiutang secara sukarela
menerima suatu benda tak bergerak maupun suatu benda lain
sebagai pembayaran atas utang pokok, maka si penaggung
dibebaskan atasnya, biarpun benda itu kemudian karena suatu
putusan hakim oleh si berpiutang harus diserahkan kepada orang
lain.
e. Hak Istimewa Personal Guarantee
Hak istimewa personal guarantee adalah hak yang dimiliki
seorang penjamin untuk menuntut agar harta kepunyaan si debitur
(yang berutang) disita dan dijual/dilelang terlebih dahulu, jika
kemudian hasil daripada penjualan tersebut masih kurang untuk
melunasi utang-utang debitur atau harta debitur tidak cukup untuk
melunasi utang-utangnya, barulah pihak penjamin dapat diminta
pertanggung jawabannya.44
Hak istimewa personal guarantee dalam KUH Perdata diatur di
dalam Pasal 1832, yakni :
1) Hak si penjamin untuk menuntut agar harta kekayaan debitur disita
dan dieksekusi terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Dan
apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi utangnya,
maka harta si penjamin yang kemudian akan di eksekusi bagi
pelunasan utang debitur;
44
Notaris Sidoarjo, Bentuk Jaminan dan Hak Istimewa Penjamin Berdasarkan
KUH Perdata,.http://notaris-sidoarjo.blogspot.co.id/2012/11/bentuk-jaminan-dan-hak-
istimewa.html (diakses pada tanggal 29 April 2019 pukul 22.18)
38
2) Hak si penjamin untuk tidak mengikatkan diri bersama-sama
dengan debitur secara tanggung menanggung. Dengan kata lain
dalam hak ini ada kemungkinan penjamin telah mengikatkan diri
bersama-sama debitur dalam suatu perjanjian secara jamin-
menjamin. Dan penjamin yang telah mengikatkan dirinya bersama-
sama debitur dalam suatu akta perjanjian dapat dituntut oleh si
kreditur untuk tanggung-menanggung bersama debiturnya masing-
masing untuk keseluruhan utang;
3) Hak si penjamin untuk mengajukan tangkisan yang tertuang dalam
pasal 1849 dan Pasal 1850 KUH Perdata. Hak ini lahir dari
perjanjian penjaminan. Dalam hak ini penjamin memiliki hak
untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai oleh debitur
kepada kreditur terkecuali tangkisan yang hanya mengenai
pribadinya debitur;
4) Hak si penjamin untuk membagi utang. Dalam hak ini
dimaksudkan bahwa apabila dalam suatu perjanjian penjaminan
ada beberapa penjamin yang mengikatkan diri untuk menjamin
satu debitur dan utang yang sama maka setiap penjamin terikat
untuk keseluruhan utang\
5) Hak si penjamin diberhentikan dari penjamin. Dalam pengertian
bahwa seorang penjamin berhak meminta kepada kreditur untuk
dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang penjamin jika
terdapat alasan untuk itu.
f. Akibat Hukum Melepaskan Hak Istimewa Bagi Personal Guarantee
Personal Guarantee tidak diwajibkan membayar utang kepada
kreditor, apabila dalam hal ini debitor lalai, yang mana sesuai dengan
ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata maka atas harta benda kepunyaan
pihak debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu, baru kemudian
apabila ada kekurangan harta penjamin dapat digunakan untuk
melunasi sisa hutang tersebut. Namun, si penjamin tidak dapat
39
menuntut agar harta benda debitur terlebih dahulu disita dan dijual
untuk melunasi utangnya, dalam hal :45
1) Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut
dilakukannya lelang sita terlebih dahulu atas harta debitur;
2) Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si
berutang secara tanggung menanggung;
3) Jika si berutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya
mengenai dirinya pribadi;
4) Dalam halnya penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.
B. Kerangka Teori
1. Teori Concursus Creditorium
Consursus Creditorium merupakan salah satu teori yang lazim
dalam hukum kepailitan di Indonesia. Sutan Remy Sjahdeini dalam
bukunya yang berjudul Hukum Kepailitan : Memahami Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan menegaskan bahwa
syarat agar debitur dapat dinyatakan dalam kondisi pailit setidaknya
debitor mempunyai dua kreditor atau lebih kreditor dikenal sebagai
consursus creditorium.46
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa apabila seorang debitor
hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensi dari undang-
undang kepailitan kehilangan maknanya atau rasion d’etre-nya. Maka
apabila debitor yang hanya memiliki seorang kreditor dibolehkan
pengajuan permohonan pailit terhadapnya, maka harta kekayaan debitor
menurut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan jaminan utang
tidak perlu diatur, karena sudah pasti seluruh hasil penjualan harta
kekayaannya menjadi satu-satunya sumber pelunasan utang kepada
45
R. Soebekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), h.
167
46
Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, … h. 53
40
kreditornya. Maka dari itu dalam proses kepailitan pentingnya adanya
dua atau lebih kreditor.
2. Teori Pembuktian Sederhana
Menurut Subekti, membuktikan adalah suatu hal yang
menunjukkan bukti untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-
dalil yang dikemukakan dalam suatu perselisihan/persengketaan. Pada
dasarnya pula, esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan
hukum yang sebenarnya terjadi diantara para pihak yang berperkara,
meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang didalilkan oleh
para pihak yang menjadi objek perselisihan.47
Perkara kepailitan mengenai beban pembuktian dan alat-alat bukti
pada Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, kecuali dalam gugatan Actio Pauliana. Pembuktian sederhana
merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (4) dalam Undang-
Undang Kepailitan, yang menyatakan :
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 Ayat (1) telah
dipenuhi”
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Setelah peneliti melakukan peninjauan terhadap kajian terdahulu
terdapat beberapa kajian yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu :
1. Riris F Panjaitan dalam skripsinya yang berjudul “Kedudukan Hak
Istimewa Personal Guarantor (Penjamin Pribadi) Dalam Perkara
Kepailitan Perseroan Terbatas (Universitas Sumatera Utara:
2018)”. Skripsi ini menganalisa terkait kedudukan daripada Personal
Guarantor apabila terjadi Kepailitan Perseroan Terbatas dan bagaimana
47
Aria Syudi dkk, Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit),
(Jakarta; PSHK, 2003), h. 147
41
pengaturan mengenai Personal Guarantor di Indonesia. Persamaan
penelitian ini dengan skripsi yang ditulis oleh Riris F Panjatian yakni
sama-sama membahas terkait kepailitan terhadap penjamin pribadi
(personal guarantee). Perbedaan penelitian ini dengan skripsi yang
ditulis oleh Riris F Panjaitan yaitu peneliti lebih fokus kepada akibat
hukum terhadap penjamin pribadi (personal guarantee) melepaskan hak
istimewanya ketika debitur utama wanprestasi dan peneliti menganalisa
terkait putusan Nomor 49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga-Jkt apakah
sudah sesuai dengan prinsip consursus creditorium sedangkan skripsi
Riris F Panjaitan lebih kepada kedudukan penjamin pribadi (personal
guarantee) apabila terjadi Kepailitan Perseroan Terbatas.
2. Hadi Shubhan dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kepailitan:
Prinsip, Norma, danPraktik di Pengadilan (Prenada Media Group:
2008)”. Buku ini berisi tentang penjelasan Hukum Kepailitan terkait
prinsip-prinsip hukum yang umum dan lazim dalam hukum kepailitan
diberbagai sistem hukum, pengaturan norma prinsip-prinsip hukum
kepailitan dalam Undang-Undang kepailitan di Indonesia, aspek hukum
kepailitan Perseroan Terbatas di Indonesia, praktik penerapan norrma
dan prinsip hukum kepailitan dalam putusan peradilan. Berbeda dengan
peneliti, peneliti tidak membahas secara luas, peneliti hanya focus
terhadap akibat hukum jika penjamin melepaskan hak istimewanya
dalam perjanjian jaminan perorangan serta yang menjadi alasan Hakim
Pengadilan Niaga dalam perkara Nomor 49/Pdt.Sus/Pailit/2014 apakah
sudah sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
3. Meiska Veranita dalam jurnal yang berjudul “Kedudukan Hukum
Penjamin Perorangan (Personal Guarantor) Dalam Hal Debitur
Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang(Jurnal
Repertorium, ISSN: 2355-2646, Volume II Nomor2 Juli – Desember
2015)” membahas mengenai terkait kedudukan penjamin perorangan
42
dalam hal debitur pailit menurut Undang-Undang Kepailitan,serta
mengenai kedudukan debitor utama dengan penjamin atau personal
guarantee atau borghtocht. Persamaan dengan penelitian ini adalah
mengenai permasalahan kepailitan penjamin perorangan. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah dimana peneliti membahas mengenai
terkait akibat hukum jika perorangan yang menjadi penjamin pribadi
melepaskan hak istimewanya ketika debitur utama wanprestasi dan
menganalisa putusan Pengadilan Niaga Nomor49/Pdt.Sus/Pailit/2014
apakah sudah sesuai hukum yang berlaku. sedangkan Meiska Veranita
hanya membahas kedudukan penjamin perorangan dalam hal debitur
pailit menurut Undang-Undang Kepailitan.
43
BAB III
KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE YANG MELEPASKAN
HAK ISTIMEWA
A. Kedudukan Para Pihak
1. PT. Bank Mayapada Internasional, TBK sebagai Kreditur
(Pemohon Pailit)
PT. Bank Mayapada Internasional, TBK adalah suatu perusahaan
Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas dan bergerak di bidang
jasa keuangan perbankan. Bank ini didirikan dan berdasarkan hukum
Negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Mayapada Tower
lantai dasar-lantai 3 Jl. Jendral Sudirman Kav.28 Jakarta Selatan
PT. Bank Mayapada Internasional, TBK melakukan perjajian
pinjam-meminjam dengan jaminan perorangan (personal guarantee)
bersama PT. Mitra Usaha Cemerlang, dimana dalam hal ini PT. Bank
Mayapada Internasional, TBK bertindak sebagai kreditur dengan
memberikan pinjaman berupa sejumlah uang sebesar Rp.
200.000.000.000,- (Dua Ratus Milyar Rupiah) kepada PT. Mitra Usaha
Cemerlang dengan jaminan perorangan (personal guarantee) bernama
saudara Arifin.
2. Arifin (Personal Guarantee) sebagai Debitur (Termohon Pailit)
Arifin sebagai personal guarantee dari perusahaan PT. Mitra
Usaha Cemerlang merupakan seorang Warga Negara Indonesia.
Pemegang Kartu Tanda Penduduk 3175023012680005, bertempat
tinggal di Pulomas Barat V D Nomor 10 Rt/Rw.014/012, Kelurahan
Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur.
Arifin dalam hal ini bertindak sebagai personal guarantee dari PT.
Mitra Usaha Cemerlang yang menerima pinjaman berdasarkan Surat
44
Hutang Nomor 104 tanggal 28 September 2012 dan berdasarkan Akta
Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107 tanggal 28 September 2012.
B. Kasus Posisi
1. Duduk Perkara
a. Bahwa termohon pailit berdasarkan Surat Hutang Nomor 20 tanggal
13 November 2013, yang dibuat di hadapan Muliani Santoso, SH.,
Notaris di Jakarta, telah menerima pinjaman/hutang dari pemohon
pailit dalam hal ini PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk untuk
tambahan modal kerja sebesar Rp 10.500.000.000,- (sepuluh milyar
lima ratus juta Rupiah) dalam bentuk fasilitas Pinjaman Tetap
Angsuran (PTA).
b. Bahwa selain memiliki pinjaman/hutang pribadi kepada pemohon
pailit, termohon pailit juga mempunyai hutang kepada pemohon
pailit berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107
tanggal 28 September 2012, yang dibuat di hadapan Misahardi
Wilamarta, SH., Notaris di Jakarta, dimana termohon pailit
merupakan penjamin dari PT. Mitra Usaha Cemerlang, yang telah
menerima pinjaman/hutang dari pemohon pailit untuk modal kerja
berdasarkan Surat Hutang Nomor 104 tanggal 28 September 2012,
yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, SH., Notaris di
Jakarta, dengan jumlah pinjaman setinggi-tingginya sebesar Rp.
200.000.000.000,- (Dua Ratus Milyar Rupiah), yang terdiri dari :
1) Sebesar Rp 180.000.000.000,- (Seratus Delapan Puluh Milyar
Rupiah) dalam bentuk fasilitas Pinjaman Tetap On Demand
(PTX-OD);
2) Sebesar Rp 20.000.000.000,- (Dua Puluh Milyar Rupiah) dalam
bentuk fasilitas Pinjaman Rekening Koran (PRK).
45
c. Bahwa berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107
tanggal 28 September 2012 yang dibuat di hadapan Misahardi
Wilamarta, SH., Notaris di Jakarta tersebut TERMOHON PAILIT
sebagai Penjamin telah melepaskan semua hak istimewa dan
wewenang yang dimilikinya berdasarkan undang-undang,
sebagaimana terkutip sebagai berikut :
“bahwa pengikatan sebagai Penjamin tersebut dilakukan dengan
melepaskan semua hak istimewa dan wewenang yang pada
umumnya diberikan kepada Penjamin oleh undang-undang,
khususnya yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum
Perdata Indonesia sebagai berikut:
1) Pasal 1831 dan Pasal 1833, yaitu hak untuk meminta
Kreditur,agar harta kekayaan Debitur disita dan dijual terlebih
dahulu, untuk membayar semua kewajiban yang harus dipenuhi
oleh Debitur.
2) Pasal 1837, yaitu hak untuk meminta Kreditur agar membagi
hutang tersebut diantara penjamin.
3) Pasal 1430, Pasal 1843, Pasal 1847, Pasal 1848 dan Pasal 1849,
yaitu hak-hak lain yang dapat membatalkan kewajiban
Penjamin.
Dengan demikian, TERMOHON PAILIT sebagai Penjamin PT.
MITRA USAHA CEMERLANG, bertanggung jawab dengan semua
harta kekayaannya, untuk menjamin ketertiban pelunasan semua
kewajiban yang harus dibayar oleh PT. MITRA USAHA
CEMERLANG kepada PEMOHON PAILIT, baik berupa hutang
pokok, bunga, provisi, denda dan biaya lainnya/pembayaran apapun
juga.
46
d. Bahwa ternyata hingga saat ini, TERMOHON PAILIT dan/atau PT.
MITRA USAHA CEMERLANG belum membayar biaya provisi dan
bunga fasilitas kredit yang telah jatuh tempo total sebesar Rp
12.128.769.799,- (dua belas milyar seratus dua puluh delapan juta
tujuh ratus enam puluh sembilan ribu tujuh ratus sembilan puluh
sembilan Rupiah), dengan rincian sebagai berikut :
1) Bunga bulan September 2014 sebesar Rp. 2.400.000.000,-
2) Bunga bulan Oktober 2014 sebesar Rp. 2.480.000.000,-
3) Bunga bulan November 2014 sebesar Rp. 2.400.000.000,-
4) Bunga PRK sebesar Rp. 848. 769. 799,-
5) Biaya Provosisi sebesar Rp. 4.000.000.000,-
e. Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas, pemohon pailit telah
berulangkali memperingatkan termohon pailit dan/ atau PT. Mitra
Usaha Cemerlang, baik secara lisan maupun tertulis, berdasarkan :
1) Surat Peringatan I Nomor 388/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal 4
November 2014
2) Surat Peringatan II Nomor 399/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal 18
November 2014
3) Surat Peringatan III Nomor 404/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal
2014
f. Bahwa termohon pailit mendalilkan termohon pailit mempunyai
utang kepada kreditur lain, yaitu :
1) PT. Bank Cimb Niaga Tbk, Cabang Jakarta Falatehan,
beralamat di Jalan Falatehan I Nomor 27, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan 12160, kurang lebih sebesar Rp 8.280.000.000,-
(delapan milyar dua ratus delapan puluh juta Rupiah).
2) PT. Bank Anz Indonesia Cabang Sudirman, beralamat di ANZ
Tower Lantai 8, Jalan Jend. Sudirman Kav. 33A, Karet Tengsin,
Tanah Abang, Jakarta Pusat 10220, kurang lebih sebesar Rp
47
92.921.740,- (sembilan puluh dua juta sembilan ratus dua puluh
satu ribu tujuh ratus empat puluh Rupiah).
3) PT. Bank Central Asia Cabang Jakarta, beralamat di Menara
BCA, Grand Indonesia, Jalan M.H. Thamrin Nomor 1, Jakarta,
kurang lebih sebesar Rp 63.459.591,- (enam puluh tiga juta
empat ratus lima puluh sembilan ribu lima ratus sembilan puluh
satu Rupiah)
4) PT. Bank Central Asia Cabang Gorontalo, beralamat di Jalan H.
Nani Wartabone (d/h. Jalan Ahmad Yani) Nomor 10, Gorontalo,
kurang lebih sebesar Rp 71.443.500,- (tujuh puluh satu juta
empat ratus empat puluh tiga ribu lima ratus Rupiah)
5) PT. Bank Mega Tbk, Cabang Menara Bank Mega, beralamat di
Menara Bank Mega lantai 15, Jalan Kapten Tendean Kav. 12-
14A, Jakarta 12790, kurang lebih sebesar Rp 48.367.734,-
(empat puluh delapan juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu
tujuhratus tiga puluh Empat Rupiah);
6) PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk, beralamat di Menara Bank
Danamon, Jalan Prof. Dr. Satrio Kav. E4 No. 6, Mega
Kuningan, Jakarta Selatan, kurang lebih sebesar Rp 29.395.000,-
(dua puluh sembilan juta tiga ratus sembilan puluh lima ribu
Rupiah).
Bahwa berdasarkan hal tersebut, pemohon pailit menunjukkan
termohon pailit mempunyai kreditur seperti diuraikan diatas
berdasarkan fotocopy bukti bi checking termohon pailit.
2. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Pengadilan Niaga Nomor :
49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga-Jkt.Pst
a. Menimbang, bahwa Termohon Pailit / Arifin mempunyai utang
kepada Pemohon Pailit (PT.Bank Mayapada Internasional Tbk)
sebesar Rp 10.500.000.000,- (sepuluh milyar lima ratus juta Rupiah)
48
dalam bentuk fasilitas Pinjaman Tetap Angsuran (PTA), bahwa
selain memiliki pinjaman/hutang pribadi kepada Pemohon Pailit,
Termohon Pailit juga mempunyai hutang kepada Pemohon Pailit
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107 tanggal
28 September 2012, yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta,
SH., Notaris di Jakarta, dimana Termohon Pailit merupakan
penjamin dari PT. MITRA USAHA CEMERLANG, yang telah
menerima pinjaman/hutang dari Pemohon Pailit untuk modal kerja
berdasarkan Surat Hutang Nomor 104 tanggal 28 September 2012,
yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, SH., Notaris di
Jakarta, dengan jumlah pinjaman setinggi-tingginya sebesar Rp
200.000.000.000,- (Dua Ratus Milyar Rupiah).
b. Menimbang, bahwa dalam perkara ini yang menjadi persoalan adalah
bahwa termohon pailit mempunyai utang kepada pemohon pailit
daam hal ini PT. Bank Mayapada Internasional, Tbk sebesar Rp.
200.000.000.000,- (Dua Ratus Milyar Rupiah) telah jatuh tempo
pada tanggal 4 November 2014 tetapi termohon tidak memenuhi
kewajibannya.
c. Menimbang, bahwa untuk dikabulkannya suatu permohonan
pernyataan pailit secara tegas Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang mensyaratkan bahwa permohonan tersebut harus memenuhi
ketentuan Pasal 2 Ayat (1) yang mempunyai unsur-unsur esensian
sebagai berikut :
1) Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
2) Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih
3) Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang
atau lebih kreditur
49
d. Menimbang, untuk itu majelis akan mempertimbangkan bahwa
termohon pailit mempunyai kreditor lain, antara lain seperti dibawah
ini :
1) PT. Bank Cimb Niaga Tbk, Cabang Jakarta Falatehan, beralamat
di Jalan Falatehan I Nomor 27, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
12160, kurang lebih sebesar Rp 8.280.000.000,- (delapan milyar
dua ratus delapan puluh juta Rupiah).
2) PT. Bank Anz Indonesia Cabang Sudirman, beralamat di ANZ
Tower Lantai 8, Jalan Jend. Sudirman Kav. 33A, Karet Tengsin,
Tanah Abang, Jakarta Pusat 10220, kurang lebih sebesar Rp
92.921.740,- (sembilan puluh dua juta sembilan ratus dua puluh
satu ribu tujuh ratus empat puluh Rupiah).
3) PT. Bank Central Asia Cabang Jakarta, beralamat di Menara
BCA, Grand Indonesia, Jalan M.H. Thamrin Nomor 1, Jakarta,
kurang lebih sebesar Rp 63.459.591,- (enam puluh tiga juta
empat ratus lima puluh sembilan ribu lima ratus sembilan puluh
satu Rupiah).
4) PT. Bank Central Asia Cabang Gorontalo, beralamat di Jalan H.
Nani Wartabone (d/h. Jalan Ahmad Yani) Nomor 10, Gorontalo,
kurang lebih sebesar Rp 71.443.500,- (tujuh puluh satu juta
empat ratus empat puluh tiga ribu lima ratus Rupiah).
5) PT. Bank Mega Tbk, Cabang Menara Bank Mega, beralamat di
Menara Bank Mega lantai 15, Jalan Kapten Tendean Kav. 12-
14A, Jakarta 12790, kurang lebih sebesar Rp 48.367.734,- (empat
puluh delapan juta tiga ratus enam puluh tujuh ribu tujuhratus
tiga puluh Empat Rupiah).
6) PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk, beralamat di Menara Bank
Danamon, Jalan Prof. Dr. Satrio Kav. E4 No. 6, Mega Kuningan,
Jakarta Selatan, kurang lebih sebesar Rp 29.395.000,- (dua puluh
sembilan juta tiga ratus sembilan puluh lima ribu Rupiah).
50
e. Menimbang, bahwa meskipun bukti tersebut hanya berupa print out
dari data informasi keuangan termohon pailit yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia maka telah memenuhi unsure debitur mempunyai dia
atau lebih kreditur telah terpenuhi
f. Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan
hukum diatas, pada akhirnya majelis hakim berpendapat hukum
bahwa permohonan pernyataan pailit dari pemohon pailit harus
dikabulkan karena telah terdapat fakta atau keadaan terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi.
3. Petimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung Nomor :
212/K/Pdt.Sus-Pailit/2015
a. Menimbang, bahwa setelah menerima dan meneliti secara seksama
memori kasasi yang diterima pada tanggal 4 Februari 2015, dan
kontra memori kasasi yang diterima pada tanggal 12 Februari 2015
dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, ternyata Judex Facti
Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum.
b. Menimbang, bahwa Judex Facti telah tepat dan benar dalam
pertimbangan hukumnya karena menurut huum, telah terpenuhi
persayaratan dapat dijatuhkan pailit dengan adanya lebih dari satu
kreditor dan adanya hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
4. Pertimbangan Hukum oleh Hakim Mahkamah Agung Nomor :
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016
a. Menimbang, bahwa setelah meneliti dengan seksama memori
peninjauan kembali dan dihubungkan dengan pertimbangan Judex
Juris dan Judex Facti ternyata tidak terdapat adanya suatu ke
51
khilafan hakim, atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan
Judex Juris maupun Judex Facti
b. Menimbang, bahwa pemohon peninjauan kembali sebagai debitor
dan guarantor/ penjamin hutang berdasarkan Jaminan Borgtocht
Nomor 107 tanggal 28 September 2012 telah melepaskan hak-hak
istimewanya sehingga pemohon bertanggung jawab dengan semua
harta kekayaanya untuk pelunasan semua kewajiban yang harus
dibayar oleh PT Mitra Usaha Cemerlang kepada termohon
peninjauan kembali, dengan demikian bila tidak membayar hutang
tersebut maka penjamin dapat dimohonkan pailit.
5. Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam putusan Nomor:
141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 serta Putusan Hakim Mahkamah
Agung dalam putusan Nomor : 212/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dan
Putusan Hakim dalam perkara Pengadilan Niaga Nomor:
49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga-Jkt.Pst
Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada
tingkat Peninjauan Kembali melalui Soltony Mohdally, S.H, M.H
sebagai ketua Majelis Hakim yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung pada tanggal 10 Januari 2017 menghasilkan putusan sebagai
berikut :
a. Menolak permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dari
Pemohon Peninjauan Kembali Arifin tersebut.
b. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali/ Termohon Pailit untuk
membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini
yang ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Maka dengan kata lain Putusan Mahkamah Agung pada tingkat
Peninjauan Kembali memperkuat putusan Judex Juris dan Judex Facti
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 212/K/Pdt.Sus-Pailit/2015
52
dan Putusan Pengadilan Niaga Nomor 49/Pdt.Sus /Pailit/
2014/PN.Niaga-Jkt.Pst yaitu :
Putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim pada tingkat kasasi
melalui Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H, LL.M Hakim Agung yang
ditetapkan Mahkamah Agung menghasilkan putusan sebagai berikut :
a. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi Arifin tersebut.
b. Menghukum pemohon kasasi dahulu termohon pailit untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan
sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Putusan yang dikeluarkan Majelis Hakim Pengadilan Niaga
melalui Robert Siahaan,SH,MH sebagai Hakim Ketua Majelis pada hari
Kamis, 29 Januari 2015 menghasilkan putusan sebagai berikut :
a. Mengabulkan permohonan pemohon pailit untuk seluruhnya.
b. Menyatakan termohon pailit / Arifin pailit dengan segala akibat
hukumnya.
c. Mengangkat Jumaluddin Samosir, SH, MH Hakim Pengadilan Niaga
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai hakim pengawas
dalam kepailitan ini
d. Menunjuk dan mengangkat :
1) Dwiana Miranti, S.H., Kurator dan Pengurus yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM RI dengan Nomor : AHU.AH.
04.03-21, beralamat di Dwipa Law Firm, Gedung World Trade
Center I Lantai 12, Jalan Jend. Sudirman Kav. 29-31, Jakarta
Selatan 12920.
2) Emi Rosminingsih, S.H., Kurator dan Pengurus yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM RI dengan Nomor :
AHU.AH.04.03-45, Cakra & Co., Gedung World Trade Center
II Lantai 18, Jalan Jend. Sudirman Kav. 29-31, Jakarta Selatan
12920.
53
3) Widia Gustiwardini, S.H., Kurator dan Pengurus yang terdaftar
di Departemen Hukum dan HAM RI dengan Nomor :
AHU.AH.04.03-37, beralamat di Summit Law Firm, Gedung
World Trade Center I Lantai 8, Jalan Jend. Sudirman Kav. 29-
31, Jakarta Selatan 12920.
e. Menetapkan besarnya imbalan jasa kurator akan ditetapkan
kemudian setelah menjalankan tugas ini.
f. Menghukum termohon pailit untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 316.000 (tiga ratuh enam belas ribu rupiah).
54
BAB IV
PROBLEMATIKA KEPAILITAN PERSONAL GUARANTEE DALAM
PELEPASAN HAK ISTIMEWA
A. Mekanisme Permohonan Pailit Terhadap Personal Guarantee
1. Permohonan Pailit Personal Guarantee
Pada prinsipnya, permohonan kepailitan bagi suatu bidang usaha
berbentuk perseroan terbatas (PT) sudah biasa terjadi dan banyaknya
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam
mempailitkan suatu badan usaha, yang hal tersebut tentunya sudah
sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Alasan pailitnya suatu badan usaha berbentuk perseroan terbatas
dilandasi karena adanya bentuk utang-piutang antara debitur dan
kreditor dalam perjanjian tersebut, yang mana bisa saja permohonan
kepailitan tersebut diajukan oleh pihak debitor maupun pihak kreditor,
namun lazimnya permohonan pailit diajukan oleh pihak kreditor yang
dilandasi atas suatu bentuk wanprestasi dari pihak debitor yang tidak
membayar utang-utangnya, demi kepentingan sang kreditor maka dari
itu sarana kepailitan menjadi sangat penting untuk melunasi utang-
utang tersebut.
Namun, disisi lain selain adanya kepailitan terhadap badan usaha
juga ada beberapa kasus permohonan pailit terhadap penjamin pribadi
(personal guarantee), peraturan terkait penanggungan tersebut diatur
dalam Pasal 1820-1850 KUH Perdata. Dari ketentuan-ketentuan dalam
KUH Perdata dapat disimpulkan pula bahwa seorang penjamin atau
penanggung adalah seorang debitur. Mengenai penjamin atau
penanggungan dijelaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa penanggungan merupakan suatu persetujuan dimana
pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk
55
memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi
perikatannya.1
Personal guarantee sebagai pihak ketiga yang mengikatkan dirinya
dalam memenuhi kewajiban debitur utama terhadap utang-utangnya
yang diperoleh dari kreditur. Berdasarkan hal tersebut maka personal
guarantee bertanggung jawab apabila debitor utama wanprestasi
terhadap utangnya, namun tanggung jawab penjamin tidaklah bersifat
mutlak, karena pada prinsipnya penanggung tidak memiliki kewajiban
utang, kecuali jika debitor utama lalai dalam melunasi utangnya.
Pasal 1831 KUH Perdata juga telah menjelaskan bahwa :
“penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur
lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur
harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya”.
Ketentuan pasal tersebut menjelaskan personal guarantee tidak
mempunyai kewajiban untuk melunasi utang debitor utama tanpa
terlebih dahulu menyita dan menjual seluruh kekayaan debitur utama,
apabila kekayaan debitur utama tersebut tidak cukup untuk melunasi
utang-utangnya maka baru kreditor dapat menagih kepada penjamin /
penanggung tersebut untuk melunasi utang-utang debitur utamanya.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban mengatur mengenai penjaminan, namun dalam
undang-undang tersebut dikenal dengan istilah penanggungan, hal
tersebut diatur di dalam Pasal 141, Pasal 164, dan Pasal 165, namun di
dalam pasal tersebut tidak adanya ketentuan secara tegas bahwa seorang
penjamin dapat diajukan permohonan pernyataan pailit terhadapnya.
Selama ini sering tidak disangka oleh pihak bank maupun pihak
pengusaha bahwa seorang personal guarantee dapat mempunyai
konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantee tidak
melaksanakan kewajibannya sebagai penanggung. Konsekuensi tersebut
1 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 205
56
ialah bahwa guarantor (baik personal guarantee maupun corporate
guarantee) dapat dinyatakan pailit. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan
bahwa selama ini banyak bankir dan pengusaha merasa bahwa personal
guarantee hanya memberikan ikatan moral saja dan tidak dapat
diajukan permohonan pailit.2
Pasal 1832 Angka 1 KUH Perdata menjelaskan, bahwa pengajuan
permohonan pailit kepada seorang penjamin atau penanggung dapat
diajukan tanpa permohonan pailit terhadap debitur utama karena
beberapa faktor, yaitu :3
1) Apabila guarantor telah melepaskan hak istimewanya untuk
menuntut agar benda-benda debitor terlebih dahulu disita dan
dijual;
2) Apabila guarantor telah mengikatkan dirinya bersama-sama
dengan debitor secara tanggung-menanggung dalam hal mana
akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang diletakan
untuk hutang-hutangnya secara tanggung renteng;
3) Jika debitor dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya
mengenai dirinya pribadi;
4) Jika debitor dalam keadaan pailit.
Apabila tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata
tersebut maka berlaku ketentuan Pasal 1821 KUH perdata yang mana
permohonan pernyataan pailit tidak dapat diajukan tanpa disertakan
pula permohonan pernyataan pailit kepada debitor utama atau debitor
utama setidak-tidaknya sudah dalam putusan pailit. Artinya personal
guarantee tidak dapat dipailitkan sebelum terbukti bahwa hasil dari
penjualan harta kekayaan debitur utama yang dinyatakan pailit masih
tersisa utang yang belum dapat dilunasi.
2 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010), h. 97
3 Djoko Prakoso, Bambang Riady Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di
Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), h. 202
57
2. Problematika Permohonan Pailit terhadap Personal Guarante yang
Melepaskan Hak Istimewa
Penjamin pribadi (personal guarantee) merupakan pihak ketiga
yang mengikatkan dirinya melalui suatu persetujuan di mana pihak
ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan debitur bia debitur itu tidak memenuhi perikatannya.
Tentunya dalam kondisi debitur utama tidak membayar utang-utangnya
kepada kreditor maka pihak personal guarantee juga bertanggung
jawab terhadap utang-utang debitor utama tersebut, karena ia telah
mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.
Dalam hal debitur utama tidak melakukan prestasinya kepada
kreditornya maka disisi lain pihak personal guarantee juga bertanggung
jawab atas utang-utang debitur utama tersebut, terlebih apabila seorang
personal guarantee telah melepaskan hak istimewanya yang diberikan
oleh undang-undang.
Konsekuensi atas pelepasan hak istimewa personal guarantee
dalam KUH Perdata maka pihak personal guarantee bisa dimohonkan
pailit atas utang-utang debitur utama tersebut, dalam hubungannya
dengan syarat-syarat pailit di mana syarat mempailitkan personal
guarantee diatur pula dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yakni debitur yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas dan sedikitnya mempunya satu
utang yang dapat ditagih dan sudah jatuh waktu.4
Peneliti berpendapat bahwasanya permohonan pernyataan pailit
terhadap personal guarantee yang melepaskan hak istimewanya
sangatlah memunculkan problematika, karena dalam hal ini seorang
personal guarantee bisa saja dipailitkan oleh kreditor tanpa terlebih
dahulu mempailitkan pihak debitur utama, masalah yang muncul adalah
4 Susanti Adi Nugroho, Hukum Kepailitan di Indonesia Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, … h. 447
58
bagaimana mungkin seorang personal guarantee dipailitkan karena
utang-utang debitor utama tersebut, namun disisi lain kondisi keuangan
debitor utama masih keadaan sehat dan sanggup membayar utang-
utangnya. Karena bisa saja pihak debitur utama memang sengaja tidak
memenuhi prestasinya padahal ia sanggup untuk membayar utang-
utangnya atau tidak adanya itikad baik dari debitur utama tersebut.
Karena menurut Subekti, wanprestasi (kealpaan atau kelalaian) seorang
debitur dapat berupa empat macam:5
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukannya;
2) Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Masalah utama dewasa ini, dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai syarat-syarat pailit
yang menurut peneliti tidak rasional, karena pihak personal guarantee
dapat dipailitkan oleh kreditor ketika kondisi keuangan debitor utama
masih dalam keadaan solven, yaitu jumlah asetnya lebih besar
dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang-utangnya.
Menurut peneliti, seharunsya permohonan pailit terhadap personal
guarantee yang kondisi debitur utamanya dalam keadaan masih solven,
tidak diajukan permohonan pailit terhadap pihak personal guarantee
tersebut secara tersendiri, melainkan juga seharusnya pihak debitur
utama harus bertanggung jawab atas utang-utangnya terhadap
kreditornya. Jika memang ternyata telah terbukti bahwa memang pihak
debitur utama tidak sanggup membayar utang-utangnya maka baru lah
pihak personal guarantee dapat dipailitkan oleh Pengadilan. Hal tesebut
5 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1979), h. 45
59
tentunya guna memberikan perlindungan hukum yang adil kepada pihak
personal guarantee.
B. Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 141/
PK/Pdt.Sus/Pailit/2016
Berangkat dari serangkaian pemahaman sebagaimana yang telah peneliti
paparkan diatas, maka dapat peneliti jabarkan hal substansial dalam
analisis penelitian ini, yaitu :
1. Analisis Pertimbangan Hukum Putusan Hakim Mahkamah Agung
Nomor: 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 Juncto Putusan Hakim Mahkamah
Agung Nomor : 212/K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dan Putusan Hakim dalam
perkara Pengadilan Niaga Nomor : 49 /Pdt.Sus /Pailit/ 2014/ PN.Niaga-
Jkt.Pst
a. Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
Guna keperluan penelitian agar lebih menyeluruh maka kiranya
dalam hal ini peneliti akan menganalisis hal-hal yang menjadi
pertimbangan hakim Pengadilan Niaga dalam memutus perkara
kepailitan penjamin pribadi (personal guarantee) antara Saudara
Arifin dengan PT. Bank Mayapada Internasional.
Hal-hal yang mendasari pertimbangan hakim, antara lain :
1. Menimbang gugatan yang diajukan pada intinya berisi:
a) Karena Arifin sebagai pihak penjamin pribadi (personal
guarantee) tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang
penanggung utang atas utang debitor utama, maka Arifin
sebagai penjamin pribadi yang telah melepaskan hak
istimewanya dapat dimintakan permohonan pailit.
Berdasarkan surat bukti yang diajukan oleh pemohon pailit
memang bahwa pihak termohon pailit (personal guarantee) dan PT.
Mitra Usaha Cemerlang telah berulangkali memperingatkan untuk
60
membayar utang-utang tersebut baik secara lisan maupun tertulis
melalui bukti P5a-P5c:
a) Surat Peringatan I Nomor 388/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal 4
November 2014
b) Surat Peringatan II Nomor 399/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal 18
November 2014
c) Surat Peringatan III Nomor 404/Ext/ CB-BMI/XI/2014 tanggal 26
November 2014
Maka dari itu pihak personal guarantee harus bertanggung jawab
terhadap utang-utang PT. Mitra Usaha Cemerlang karena sudah
menjadi penjamin yang telah melepaskan hak istimewanya .
Karena apabila seorang penjamin telah melepaskan hak
istimewanya berlaku Pasal 1832 KUH Perdata yang pada intinya,
yakni :
1) Hak si penjamin untuk menuntut agar harta kekayaan debitur
disita dan dieksekusi terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.
Dan apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi
utangnya, maka harta si penjamin yang kemudian akan di
eksekusi bagi pelunasan utang debitur;
2) Hak si penjamin untuk tidak mengikatkan diri bersama-sama
dengan debitur secara tanggung menanggung. Dengan kata
lain dalam hak ini ada kemungkinan penjamin telah
mengikatkan diri bersama-sama debitur dalam suatu perjanjian
secara jamin-menjamin. Dan penjamin yang telah
mengikatkan dirinya bersama-sama debitur dalam suatu akta
perjanjian dapat dituntut oleh si kreditur untuk tanggung-
menanggung bersama debiturnya masing-masing untuk
keseluruhan utang;
3) Hak si penjamin untuk mengajukan tangkisan yang tertuang
dalam pasal 1849 dan Pasal 1850 KUH Perdata. Hak ini lahir
61
dari perjanjian penjaminan. Dalam hak ini penjamin memiliki
hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat dipakai oleh
debitur kepada kreditur terkecuali tangkisan yang hanya
mengenai pribadinya debitur;
4) Hak si penjamin untuk membagi utang. Dalam hak ini
dimaksudkan bahwa apabila dalam suatu perjanjian
penjaminan ada beberapa penjamin yang mengikatkan diri
untuk menjamin satu debitur dan utang yang sama maka setiap
penjamin terikat untuk keseluruhan utang;
5) Hak si penjamin diberhentikan dari penjamin. Dalam
pengertian bahwa seorang penjamin berhak meminta kepada
kreditur untuk dibebaskan dari kedudukannya sebagai seorang
penjamin jika terdapat alasan untuk itu.
Ketentuan Pasal tersebut secara tegas menjelaskan
bahwasanya seorang personal guarantee ketika sudah melepaskan
hak istimewanya maka seorang kreditor bisa meminta kewajiban
seorang penjamin untuk melunasi utang-utang debitor utama,
bahkan seorang personal guarantee bisa saja dimohonkan pailit
tanpa terlebih dahulu mempailitkan debitor utama karena
kedudukan seorang penjamin pribadi / personal guarantee sama-
sama menjadi debitor ketika penjamin melepaskan hak
istimewanya yang sudah tertuang dalam undang-undang.
b) Karena personal guarantee mempunyai utang yang sudah jatuh
tempo dan dapat ditagih
Pemohon pailit (PT Bank Mayapada Internasional,TBK)
mendalilkan bahwa termohon pailit (Arifin) mempunyai utang
kepada pemohon pailit sebesar Rp. 10.500.000.000,- (sepuluh
milyar lima ratus juta rupiah) dalam bentuk fasilitas Pinjaman
Tetap Angsuran (PTA), bahwa selain itu pemohon pailit juga
mempunyai utang kepada pemohon pailit berdasarkan Akta
62
Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107 tanggal 28 September
2012, dimana dalam hal ini pemohon pailit sebagai penjamin
dari PT. Mitra Usaha Cemerlang, yang telah menerima
pinjaman/hutang dari pemohon pailit untuk modal kerja
berdasarkan Surat Hutang Nomor 104 tanggal 28 September
2012, yang dibuat di hadapan notaries Misahardi
Wilamarta,SH.
Berdasarkan hal tersebut dan dikuatkan dengan bukti
bahwa benar termohon pailit (Arifin) mempunyai utang
terhadap pemohon pailit dengan menunjukkan bukti P-1
sampai dengan P-3 maka hal tersebut telah sesuai dengan
prinsip utang yang diatur dalam Pasal 1 Angka (6) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, karena bagaimana
pun seorang personal guarantee yang melepaskan hak
istimewanya yang bermula kedudukan personal guarantee
hanya menjadi penjamin maka kedudukannya sama-sama
menjadi debitur ketika debitur utama melakukan wanprestasi
terhadap isi perjanjian utang-piutang. Sehingga dalam hal ini
ketentuan dalam hukum kepailitan yang tertuang dalam Pasal 2
Ayat (1) terkait syarat kepailitan yaitu adanya utang yang jatuh
tempo dan dapat ditagih menjadi terpenuhi.
c) Bahwa termohon pailit (Arifin) mempunyai kreditur lain
Syarat kepailitan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat
(1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yaitu :
“debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
63
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih krediturnya”
Perkara kepailitan antara pemohon pailit (PT.Bank Mayapada
Internasional,Tbk) dan termohon pailit (Arifin) sebagai personal
guarantee dalam menunjukkan adanya kreditor lain, pihak
pemohon pailit hanya menunjukkan bukti checking termohon
pailit yakni Arifin.
b. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi adalah:
Adapun pertimbangannya sebagai berikut :
1) Menimbang, bahwa setelah meneliti secara seksama memori
kasasi yang diterima pada tanggal 4 Februari 2015 dan konta
memori kasasi yang diterima pada tanggal 12 Februari 2015
dihubungkan dengan Judex Facti , ternyata Judex Facti tidak
salah menerapkan hukum
2) Bahwa Judex Fakti telah tepat dan benar dalam pertimbangan
hukumnya karena menurut hukum, telah terpenuhi persyaratan
dapat dijatuhkan pailit dengan adanya lebih dari satu Kreditor
dan adanya hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
3) Bahwa lagipula alasan-alasan terkait dengan penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang sesuatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan tingkat kasasi.
4) Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor : 49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt tanggal 23
Januari 2015 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: Arifin tersebut, harus
ditolak.
64
Menurut peneliti, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi sudah sesuai dengan dasar
hukum yang kuat. Hal ini terlihat dalam penerapan hukum yang
digunakan oleh hakim yang mengacu kepada syarat kepailitan
yaitu Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, hal ini pun tidak terlepas karena
status Mahkamah Agung hanya sebagai Judex Juris. Sehingga
tidak terdapat alasan yang kuat bagi Hakim Mahkamah Agung
pada tingkat Kasasi untuk membatalkan putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat.
c. Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung pada perkara Peninjauan
Kembali adalah sebagai berikut :
Menimbang, bahwa setelah meneliti secara seksama memori
peninjauan kembali tanggal 12 Oktober 2016 dihubungan dengan
pertimbangan Judex Juris yang menolak kasasi maupun putusan
Judex Facti yang mengabulkan permohonan Pemohon pailit,
ternyata tidak terdapat adanya suatu kekhilafan hakim, terlebih
Penjamin Hutang telah melepaskankan hak-hak istimewanya
sehingga pemohon Peninjauan Kembali selaku penjamin
bertanggung jawab dengan semua harta kekayaan untuk pelunasan
semua kewajiban yang harus dibayar oleh PT. Mitra Usaha
Cemerlang kepada termohon peninjauan kembali.
Pertimbangan Hakim demikian yang dibuat oleh Mahkamah
Agung pada tingkat Peninjauan Kembali memungkinkan adanya
perdebatan yang muncul,hal tersebut dilandasi karena inti dari poin-
poin keberatan pemohon peninjauan kembali tidak terjawab secara
mendasar dan mendetail dari apa yang diajukan oleh pihak pemohon
peninjauan kembali. Namun, menurut peneliti hal ini tidak terlepas
dari status Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali yang
hanya menilai apakah Judex Juris dan Judex Facti terdapat
65
kekeliruan yang nyata dan didasarkan dengan bukti baru yang belum
terungkap dalam persidangan sebelumnya. Hal ini menjadi logis dan
tepat karena bila peneliti teliti Pemohon Peninjauan Kembali (debitur
pailit) hanya mendalihkan berdasarkan bukti-bukti yang sudah
pernah diungkapkan. Adapun dalil-dalil keberatannya sebagai
berikut :
1) Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali adalah Penanggung atau
Penjamin ("borgtocht") atas pinjaman PT Mitra Usaha
Cemerlang kepada PT Bank Mayapada berdasarkan Akta
Jaminan Pribadi (borgtocht) nomor 107 tanggal 28 September
2012;
2) Bahwa Judex Facti dan Judex Juris telah keliru memberi
pertimbangan terkait utang yang jatuh tempo (Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
3) Bahwa Judex Facti dan Judex Juris telah keliru dalam
menerapkan hukum yang berkaitan dengan tidak
mempertimbangkan kedudukan pemohon Peninjauan Kembali
yang hanya sebagai Penjamin utang (personal guarantee)
4) Bahwa Judex Juris telah keliru dalam menerapkan hukum
karena menguatkan putusan Judex Facti yang dalam
pertimbangannya menyatakan print out dari Data Informasi/ BI
checking keuangan pemohon peninjauan kembali dahulu
termohon pailit yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, telah
memenuhi unsur Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
telah terpenuhi, merupakan pertimbangan yang sangat tidak
berdasar.
5) Bahwa Pasal 1831 KUHPerdata menyatakan “Si penanggung
tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selainnya
jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini
66
harus terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi
utangnya”
6) Bahwa Judex Facti dan Judex Juris telah keliru dalam
menerapkan hukum karena mengabulkan permohonan pailit dari
termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Pailit langsung
kepada Pemohon Peninjauan Kembali, tanpa terlebih dahulu
membuktikan PT Mitra Usaha Cemerlang tidak mempunyai
kemampuan membayar atas hutang-hutangnya kepada Termohon
Peninjauan Kembali.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali mendalilkan bahwasanya
kedudukannya hanya sebagai Penjamin Pribadi dari PT Mitra Usaha
Cemerlang sehingga tidak dapat dimohonkan pailit sebelum adanya
bukti bahwa PT Mitra Usaha Cemerlang tidak mempunyai
kemampuan membayar atas hutang-hutangnya kepada Termohon
Peninjauan Kembali. Menurut peneliti dalil argumentasi daripada
pemohon Peninjauan Kembali justru yang tidak berdasar, karena
berdasarkan Akta Jaminan Pribadi (Borgtocht) Nomor 107 tanggal
28 September 2012 yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta,
SH., Notaris di Jakarta tersebut Pemohon Peninjauan Kembali
sebagai Penjamin telah melepaskan semua hak istimewa dan
wewenang yang dimilikinya, sehingga Pemohon Kasasi (termohon
pailit) harus bertanggung jawab atas utang-utang PT.Mitra Usaha
Cemerlang.
Namun, peneliti juga berpendapat bahwa dalam putusan ini
Majelis Hakim pada tingkat peninjauan kembali tidak menjelaskan
lebih rinci terkait kedudukan daripada seorang personal guarantee.
Karena apabila kita mengacu kepada Pasal 2 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang bahwa yang dapat dipailitkan adalah
seorang debitur yang mempunyai utang yang sudah jatuh tempo dan
adanya kreditur lain.
67
Pasal 1831 KUH Perdata dijelaskan bahwa “Si penanggung
tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si
berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus terlebih
dahulu disita dan dijual untuk melunasi utang-utangnya.
Ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata yang menjelaskan
bahwasanya penanggung tidak dapat menuntut supaya harta benda-
benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi
utangnya ketika pihak penanggung sudah melepaskan hak
istimewanya menurut peneliti tidak dapat diartikan secara langsung
bahwa berarti pihak personal guarantee bisa langsung dapat
dipailitkan sebelum adanya kejelasan mengenai kedudukan personal
guarantee tersebut.
Pemohon Kasasi juga mendalilkan bahwasanya Judex Juris dan
Judex Facti telah keliru dalam pembuktian adanya kreditor lain yang
merupakan syarat dari perkara kepailitan dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang :
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih kreditornya”
Karena termohon Peninjauan Kembali menggunakan BI
Checking dalam membuktikan adanya kreditor lain, namun yang
menjadi permasalahan menurut peneliti yaitu Pemohon Peninjauan
Kembali tidak menunjukkan bukti baru dalam mengajukan perkara
Peninjauan Kembali, atau bukti sebaliknya bahwa pemohon
Peninjauan Kembali tidak mempunyai utang terhadap para
kreditornya yang tertuang dalam BI Checking tersebut. Namun disisi
lain Hakim Mahkamah Agung tidak mempermasalahkan bukti BI
68
Checking sebagai syarat untuk menunjukan kreditor lain dalam
perkara ini.
Jika kita teliti di dalam Pasal 22 Ayat 1 Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 9/14/PBI/2007, informasi debitur (list BI
Checking) hanya dapat diperoleh dan dapat digunakan untuk
keperluan pelapor dalam rangka :
a) kelancaran proses penyediaan dana;
b) penerapan manajemen resiko;
c) identifikasi kualitas debitur dalam rangka pemenuhan ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku;
Pengaturan dalam PBI Nomor : 9/14/PBI/2007 tidak mengatur
secara jelas apakah dalam hal ini informasi debitur (List BI
Checking) dapat dijadikan bukti dalam persidangan, artinya dalam
perkara ini seharusnya pemohon pailit tidak dapat menggunakan BI
Checking atau Informasi debitur untuk menunjukkan adanya kreditor
lain. Terlebih dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusan
Nomor 443/K/Pdt.Sus/2009 tanggal 28 Agustus 2009, dimana dalam
pertimbangan hukumnya majelis hakim menyatakan:
a) bahwa BI Checking tidak dapat dipergunakan sebagai bukti yang
dapat berdiri sendiri untuk membuktikan adanya kreditor lain;
b) sebab dipersidangan tidak terbukti adanya kreditor lain selain
pemohon pailit/pemohon kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, oleh karena itu
bukti P-5 berupa photo copy dari copy tanpa ada aslinya dan
hanya merupakan daftar checking atas utang termohon pailit tanpa
adanya dukunga bukti lain bahwa benar termohon pailit
mempunyai kreditor lain selain dari pemohon pailit a quo;
Namun, peneliti berpendapat beda dalam putusan Mahkamah
Agung pada Peninjauan Kembali ini, karena disisi lain pihak
termohon pailit yaitu Arifin tidak membuktikan bukti baru bahwa
termohon pailit tidak mempunyai utang terhadap para krediturnya
69
walaupun pihak pemohon pailit hanya menunjukkan bukti BI
Checking untuk menunjukkan adanya kreditor lain sebagai syarat
putusan pailit.
Terlebih dalam Pasal 295 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dijelaskan bahwa :
(2) Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan, apabila:
a. setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan
sudah ada, tetapi belum ditemukan, atau
b..dalam waktu putusan hakim yang bersangkutan terdapat
kekeliruan yang nyata.
Maka dari itu peneliti berpendapat bahwa permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon yakni Arifin tidak
dapat dibenarkan karena tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 295
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sehingga putusan
Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali dapat
dibenarkan, yang berakibat pailitnya pemohon peninjauan kembali
dengan segala akibat hukumnya.
Dalam konsepsi hukum islam pun pengertian penjaminan
perorangan dikenal dengan istilah Kafalah Bin Nafs yang merupakan
jaminan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang
mengajukan utang kepada pihak lain. dalam aplikasi bank syariah,
kafalah bin nafs diberikan oleh seseorang yang menjamin orang lain
yang mengajukan pembiayaan di Bank syariah.6 Sedangkan menurut
Syafi”I Antonio, kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
6 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 203
70
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak
kedua atau yang ditanggung.7
Rukun dan syarat al-kafalah menurut mahzab Hanafi bahwa
rukun al-kafalah adalah satu, yaitu ijab dan Kabul. Sedangkan
menurut para ulama yang lainnya bahwa rukun dan syarat al-kafalah
adalah sebagai berikut :
a. Dhamin, Kafil atau Za‟im, yaitu orang yang menjamin di
mana ia disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah
membelanjakan hartanya (mahjur) dan dilakukan dengan
kehendaknya sendiri.
b. Madmum lah atau makful lahu, yaitu orang yang berpiutang,
syaratnya ialah bahwa yang berpiutang diketahui oleh orang
yang menjamin. Madmun lah kerapkali disebut juga makful
lah.
c. Madmun „anhu atau makful „anhu adalah orang yang
berutang
d. Makful bih adalah utang, barang atau orang, disyaratkan pada
makful bih dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah
tetap maupun akan tetap.
e. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin,
tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti
sementara.8
Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia, Rukun dan Syarat Kafalah terdiri dari :
1. Pihak Penjamin (Kafil)
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam
urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan
kafalah tersebut.
7 Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah (Jakarta: Zikrul Hakim,
2003), h.31 8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 191
71
2. Pihak orang yang berhutang (Ashiil makfuul‟annhu)
a. Sanggup untuk menyerahkan tanggungannya (piutang)
kepada penjamin.
b. Dikenal oleh penjamin.
3. Pihak orang yang berpiutang (makful lahu)
a. Diketahui identitasnya.
b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c. Berakal sehat.
4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik
berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c. Harus merupakan piutang yang mengikat (lazim), yang
tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau
dibebaskan.
d. Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan)
Maka dari itu, dalam penelitian ini jika kita kaitkan antara
hukum positif dan hukum islam maka personal guarantee (Arifin)
yang merupakan penjamin adalah sebagai Kafil, PT. Mitra Usaha
cemerlang sebagai makful „anhu, dan PT. Bank Mayapada
Internasional,Tbk sebagai Madmum lah.
Terbukti bahwa dalam kasus ini makful anhu tidak dapat
memenuhi kewajibannya walaupun pihak makful lahu sudah
berulangkali mengingatkannya untuk melakukan pembayaran baik
secara lisan maupun secara tulisan berdasarkan :
a) Surat Peringatan I Nomor 388/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal
4 November 2014
b) Surat Peringatan II Nomor 399/Ext/CB-BMI/XI/2014 tanggal
18 November 2014
c) Surat Peringatan III Nomor 404/Ext/ CB-BMI/XI/2014
tanggal 26 November 2014
72
Sehingga pada kesimpulan penelitian ini, peneliti berpendapat
bahwa Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali,
dan Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi yang
menguatkan Putusan Pengadilan Niaga Nomor
49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga-Jkt.Pst telah tepat mempailitkan
personal guarantee yang melepaskan hak istimewa untuk
bertanggung jawab atas utang-utang PT.Mitra Usaha Cemerlang
walaupun dalam pembuktian adanya kreditor lain masih adanya
problematika karena pihak pemohon pailit hanya menggunakan List
BI Checking untuk menunjukkan adanya kreditor lain terhadap
termohon pailit.
Hal tersebut tidak terlepas jika kita kaitkan dengan teori
Consurcus Creditorium yaitu bahwa syarat dapat dipailitkan harus
memenuhi unsur adanya dua kreditor atau lebih, yang mana dalam
perkara ini walaupun pihak pemohon pailit yaitu PT. Bank
Mayapada Internasional menggunakan List BI Checking untuk
menunjukkan adanya kreditor lain terhadap termohon pailit (Arifin),
namun termohon pailit tidak dapat membuktikan bahwa pihak
termohon pailit tidak mempunyai utang-utang terhadap para kreditor
lain yang disebutkan dalam List BI Checking yang dijadikan bukti
oleh pemohon pailit.
Maka dari itu berdasarkan teori pembuktian sederhana pula
bahwa termohon pailit dapat dinyatakan pailit dengan segala akibat
hukumnya, karena berdasarkan Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang :
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti sederhana bahwa
persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2
Ayat (1) telah dipenuhi”
73
C. Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantee Atas Putusan Hakim
Mahkamah Agung Nomor : 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016
Mengingat adanya suatu putusan yang menyatakan bahwa pihak
personal guarantee dinyatakan pailit oleh Hakim Mahkamah Agung
Nomor : 141/PK/Pdt.Sus/Pailit/2016 tentunya mengubah status hukum
personal guarantee menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan
pernyataan pailit diucapkan.
Akibat hukum adanya suatu putusan pailit menurut Pasal 21
UUKPKPU menyebutkan bahwasanya kepailitan meliputi seluruh
kekayaan debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Ketentuan tersebut mengartikan
bahwa kepailitan hanya meliputi terhadap harta kekayaan si debitor bukan
terhadap diri debitor. Artinya debitor kehilangan haknya untuk menguasai
dan mengurus harta kekayaan yang termasuk dalam harta pailit, sejak
tanggal putusan pailit diucapkan.9 Dalam hal ini artinya Arifin selaku
personal guarantee(debitor pailit) kehilangan haknya untuk menguasai
dan mengurus harta kekayaannya semenjak adanya putusan pailit,
selanjutnya pengurusan dan pemberesan harta pailit diambil alih oleh
kurator dan hakim pengawas yang diangkat oleh oleh Hakim Pengadilan
Niaga Nomor : 49/Pdt.Sus/Pailit/2014/PN.Niaga-Jkt.Pst yaitu :
1. Dwiana Miranti, S.H., Kurator dan Pengurus yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM RI dengan Nomor : AHU.AH. 04.03-
21, beralamat di Dwipa Law Firm, Gedung World Trade Center I
Lantai 12, Jalan Jend. Sudirman Kav. 29-31, Jakarta Selatan 12920.
2. Emi Rosminingsih, S.H., Kurator dan Pengurus yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM RI dengan Nomor : AHU.AH.04.03-
45, Cakra & Co., Gedung World Trade Center II Lantai 18, Jalan
Jend. Sudirman Kav. 29-31, Jakarta Selatan 12920.
9 H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung: PT Alumni, 2010), h. 108.
74
3. Widia Gustiwardini, S.H., Kurator dan Pengurus yang terdaftar di
Departemen Hukum dan HAM RI dengan Nomor : AHU.AH.04.03-
37, beralamat di Summit Law Firm, Gedung World Trade Center I
Lantai 8, Jalan Jend. Sudirman Kav. 29-31, Jakarta Selatan 12920.
Apabila seseorang dinyatakan pailit, yang pailit tersebut termasuk
juga istri atau suaminya atas dasar persatuan harta (Pasal 23 UUKPKPU)
Ketentuan ini membawa kepada konsekuensi hukum yang serius dengan
ikut pailitnya si suami/istri yang tergabung dalam persatuan harta juga
berdampak pada sita kepailitan dan masuk kedalam boedel pailit.10
Sehingga apabila pihak personal guarantee atau Arifin tidak adanya
pemisahan harta terhadap istrinya, maka harta istri dari pihak personal
guarantee tersebut juga termasuk ke dalam boedel pailit yang akan
dibereskan oleh kurator.
Menurut peneliti, putusan Pengadilan Niaga Jakarta, putusan
Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, dan Putusan Mahkamah Agung
pada tingkat Peninjauan Kembali yang menyatakan pailit pihak personal
guarantee adalah sudah tepat guna melindungi kepentingan kreditur.
Karena walaupun pada awalnya pihak personal guarantee hanya sebagai
penjamin utang dari PT. Mitra Usaha Cemerlang namun kedudukannya
sama-sama menjadi debitur ketika adanya suatu wanprestasi terhadap
perjanjian utang-piutang yang dibuatnya, terlebih pihak personal
guarantee telah melepaskan hak istimewanya yang diatur dalam undang-
undang.
Hal itupun tidak terlepas jika kita kaitkan dengan teori Consursus
Creditorium bahwa dalam hal ini pihak personal guarantee mempunyai
dua kreditor sebagai syarat dijatuhkan putusan pailit walaupun pihak
pemohon pailit yakni PT.Bank Mayapada Internasional dalam
membuktikan adanya kreditor lain menggunakan List BI Checking yang
pada esensinya hanya dapat digunakan untuk mengetahui proses
kelancaran nasabah, namun disisi lain pihak termohon pailit (personal
10
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek …, h. 65.
75
guarantee) tidak membuktikan sebaliknya bahwa ia tidak mempunyai
utang kepada kreditur-kreditur tersebut. Dalam teori pembuktian
sederhana pun, pihak personal guarantee dapat dibuktikan secara
sederhana bahwa mempunyai utang yang sudah jatuh tempo dan dapat
ditagih dan adanya kreditor lain, yang pada akhirnya berujung kepailitan
dan segala akibat hukumnya seperti yang penulis paparkan diatas.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti
kaji pada setiap sub bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali
menyatakan pailit Arifin sebagai personal guarantee tanpa terlebih
dahulu mempailitkan debitur utama karena ia telah melepaskan hak
istimewanya, namun majelis hakim tidak menjelaskan dengan rinci
terkait kedudukan daripada personal guarantee tersebut. Karena majelis
hakim dalam memutus kepailitan harus memenuhi syarat kepailitan dan
terbukti secara sederhana sesuai Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (4)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dan menurut peneliti masih
adanya sedikit problematika terkait pembuktian adanya kreditor lain
karena kreditor hanya menggunakan list BI Checking untuk
menunjukkan adanya kreditor lain, namun disisi lain pihak personal
guarantee pun tidak mampu membuktikan terbalik bahwa ia tidak
mempunyai utang-utang tersebut.
2. Personal guarantee dari PT. Mitra Usaha Cemerang menjadi berstatus
debitor pailit yang mana berlaku pula akibat hukum kepailitan, yaitu
debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam boedel pailit sejak tanggal putusan
pailit tersebut, yang nantinya pemberesan harta pailit akan diurus oleh
kurator dan hakim pengawas. Bahkan ketika tidak adanya pemisahan
harta antara Arifin dengan Istrinya maka harta istri dari pihak personal
guarantee termasuk ke dalam boedel pailit.
77
B. Rekomendasi
Berdasarkan pada permasalahan yang telah peneliti paparkan diatas,
maka peneliti mencoba untuk memberikan rekomendasi berupa :
1. Diharapkan bagi regulator untuk memperjelas status dan kedudukan
personal guarantee karena dalam hal ini masih banyaknya perbedaan
pendapat ahli hukum serta perbedaan penafsiran hakim terkait
kedudukan hukum personal guarantee.
2. Perlu adanya insolvency test ketika pihak personal guarantee yang
melepaskan hak istimewanya dipailitkan oleh kreditor tanpa terlebih
dahulu mempailitkan debitur utama untuk menciptakan keadilan bagi
kedua belah pihak.
3. Mengenai syarat pailit perlu adanya penegasan apakah untuk
membuktikan adanya kreditor lain dalam perkara kepailitan bisa
menggunakan list BI Checking karena dalam PBI Nomor 9/14/2007
Tentang Sistem Informasi Debitur list BI Checking hanya dapat
digunakan untuk mengetahui proses kelancaran nasabah.
4. Diharapkan bagi seseorang yang ingin menjadi personal guarantee
memahami benar terkait tanggung jawab dan resiko yang harus diterima
dikemudian hari agar tidak adanya kerugian tersendiri bagi personal
guarantee.
78
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anderson, Ronald A, dalam Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka
Cipta, 2013.
Aprita, Serlika, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Malang: Setara Press, 2018.
Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
di Indonesia, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.
Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017.
Bahsan, M, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Citra Aditya
Bakti, 2017.
Ginting, Elyta Ras, Hukum Kepailitan : Teori Kepailitan, Jakarta: PT. Cahaya
Prima Sentosa, 2018.
Gross, Karen, Failure and Forgiveness: Rebalancing the Bankcrupty System, New
Heaven: Yale University Press, 1997.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2012.
HS, Salim , Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2017.
Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
79
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradya Paramita,
1982.
Marzuki, Peter Mahmud Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana Prenadamedia, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2005.
Muljadi, Kartini, (2001), Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan
Niaga, Dalam: M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma,
dan Praktik di Peradilan), (akarta: Kencana, 2015.
Nugroho, Susanti Adi, Hukum Kepailitan di Indonesia: Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018.
Prakoso, Djoko dan Bambang Riady Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu di
Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987.
Sastrawidjaja, H. Man, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung: PT Alumni, 2010.
Satrio, J, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2007.
Shubhan, M. Hadi , Hukum Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di Peradilan),
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015.
Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2010.
Soebekti, R, Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2001.
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan
Menurut Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
80
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Pengkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2009.
Sutedi, Adrian Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Syudi, Aria, dkk. Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit),
Jakarta; PSHK, 2003.
Thomas Suyatno dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007.
Waxman, Nex, “Bankcrupty”, (1992), dalam M. Hadi Shubhan, Hukum
Kepailitan (Prinsip,Norma, dan Praktik di Peradilan), Jakarta: PT.
Kencana Prenada Media Group, 2015.
JURNAL
Veranika, Meiska, “Kedudukan Hukum Penjamin Perorangan (Personal
Guarantor) Dalam Hal Debitur Pailit Menurut Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang”, Jurnal Repertorium, ISSN: 2355-2646, Volume II
Nomor2 Juli – Desember 2015.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Panduan Hukum di Indonesia:
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum,
Jakarta: YLBHI, 2007.
SKRIPSI
Panjaitan, Riris F, “Kedudukan Hak Istimewa Personal Guarantor (Penjamin
Pribadi) Dalam Perkara Kepailitan Perseroan Terbatas”, Skripsi S1
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2018.
INTERNET
Notaris, Sidoarjo, Bentuk Jaminan dan Hak Istimewa Penjamin Berdasarkan
KUH Perdata, artikel diakses pada tanggal 29 April 2019 pukul 22.18
81
dari http://notaris-sidoarjo.blogspot.com/2012/11/bentuk-jaminan-dan-
hak-istimewa.html?m=1
Qur’ani, Hamalatul, Pandangan Ahli Soal Penarikan Guarantor Sebagai
Termohon PKPU, artikel diakses pada tanggal 27 Mei 2019 pukul 01.45
dari
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5cb8637c0a35d/pandangan-
ahli-soal-penarikan-guarantor-sebagai-termohon-pkpu/
Yunita, Maria Astri, Peran OJK Sebagai Pemohon Pailit Perusahaan Asuransi,
artikel diakses pada tanggal 16 Mei 2019 pukul 22.28 dari
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5645b7892a4e7/peran-
ojk-sebagai-pemohon-pailit-perusahaan-asuransi/
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi
Debitur
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
LAMPIRAN
Putusan Mahkamah Agung Nomor : 141/ PK/ Pdt.Sus /Pailit/ 2016
top related